KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami berhasil menyelesaikan “Riset Operasional Advokasi Keluarga Berencana untuk Meningkatkan Metode Ragam Kontrasepsi di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat” yang dilaksanakan dari Bulan April hingga Mei 2013.
Laporan ini berisi hasil studi kualitatif di Kabupaten Kediri yang merupakan satu dari enam laporan studi kualitatif di tingkat kabupaten. Enam laporan tersebut berisi informasi terkait Keluarga Berencana di 3 kabupaten di Provinsi Jawa Timur yakni Kabupaten Kediri, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Tuban; serta 3 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat yakni Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Sumbawa. Pengumpulan data dilaksanakan dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. Secara garis besar, informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga Berencana, serta pembelajaran yang diperoleh dari desa Metode Kontrasepsi Jangka Panjang tinggi dan rendah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar informasi upaya advokasi dan intervensi untuk meningkatkan ragam kontrasepsi di lokasi penelitian.
Berlangsungnya penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Susan Krenn, Direktur Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs 2. Duff Gillespie dari Bill & Melinda Gates Institute for Population and Reproductive Health 3. J. Douglas Strorey, Sarah V. Harland, Priya Emmart dan Jennifer Kreslake dari John Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs 4. Fitri Putjuk, Eugenita Garot dan Anggita Florenita dari John Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs Indonesia Office 5. Mayun Pudja, Dini Haryati dan Christiana Tri Desintawati dari Cipta Cara Padu Foundation 6. Sabarinah Prasetyo (Direktur) dan seluruh staff Pusat Penelitian Kesehatan UI 7. Ruth Stella, Anwar Fachmy, Cahyowati, Halimatus Sa’diyah, Menik Aryani, Rosmilawati, dari Universitas Mataram di Provinsi Nusa Tenggara Barat; serta Windhu Purnomo, Irma Prasetyowati, Ni’mal Baroya, Annis Catur Adi, Riris Diana Rachmayanti, Nurul Fitriyah, dan Dini Ririn Andrias dari Universitas Airlangga di Provinsi Jawa Timur 8. Serta semua informan yang bersedia berkontribusi dalam penelitian ini. Secara khusus, kami memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua peneliti yang terlibat, yakni Agus Dwi Setiawan, Christiana R. Titaley, Dadun, Dini Dachlia, Dwi Astuti Yunita Saputri, Ferdinand Siagian, Heru Suparno, dan Yudarini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Donal Husni, Hafizah, Vetty Yulianty, dan Ade W. Prastyani yang telah membantu proses akhir penyelesaian laporan ini. Kami berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk memajukan program keluarga berencana di Indonesia, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Jawa Timur.
Depok, 31 Maret 2014 Dr. dra. Rita Damayanti, MSPH Peneliti Utama
i
RINGKASAN EKSEKUTIF UNTUK KABUPATEN STUDI DI PROVINSI JAWA TIMUR
1. Cakupan KB dan permasalahannya Pencapaian angka-angka terkait Keluarga Berencana (KB) di Provinsi Jawa Timur lebih tinggi dari rata-rata nasional. Sebagai contoh, peserta KB aktif pada tahun 2010 adalah 59,4%, sementara rata-rata untuk Indonesia 55,8%. Namun demikian, Total Fertility Rate (TFR) masih 2,3 sementara target Millenium Development Goals (MDGs) 2,1, demikian pula dengan unmet need yang masih berkisar pada 6,7% sementara targetnya adalah 5%. Permasalahan yang dihadapi adalah sulitnya menggeser penggunaan metode kontrasepsi jangka pendek (non-MKJP) menjadi Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di masyarakat Jawa Timur.
2. Non-MKJP versus MKJP
Angka kepesertaan KB di Jawa Timur cenderung meningkat namun tidak diikuti dengan penurunan TFR. Hal ini menimbulkan pertanyaan pada para pemegang program KB. Data menunjukkan penggunaan kontrasepsi jenis non-MKJP jauh lebih tinggi dibandingkan MKJP karena masyarakat menggunakan KB untuk menjaga jarak anak dan bukan untuk membatasi anak. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap rendahnya cakupan MKJP adalah karakteristik masyarakat, aksesibilitas terkait letak geografis wilayah, jumlah dan kinerja petugas/penyuluh KB, kondisi sosial ekonomi, kepercayaan masyarakat setempat, dan isu yang beredar. Namun demikian, semua kabupaten merasakan adanya peningkatan MKJP, terbukti dengan sering terjadinya kekurangan stok implan. Rekomendasi:
• Mengarahkan program momentum KB hanya untuk MKJP, dengan pelayanan yang tidak dilakukan di tempat-tempat darurat seperti pasar atau mobil pelayanan KB (kecuali untuk daerah terpencil). Hal ini untuk menjaga mutu serta mengurangi kesulitan dalam melacak dan menangani komplikasi. • Meningkatkan jumlah stok implan. • Meningkatkan kualitas pemasangan MKJP melalui pelatihan dan praktek pemasangan alat kontrasepsi MKJP seperti Intra Uterine Device (IUD) dan implan. • Memperluas akses masyarakat terhadap MKJP melalui Bidan Praktek Swasta (BPS). • Mempertegas kewenangan bidan dalam layanan pemasangan alat kontrasepsi MKJP. Khususnya alat kontrasepsi IUD dan implan karena adanya kesimpangsiuran interpretasi peraturan kewenangan bidan dalam melakukan pemasangan IUD dan implan. • Meningkatkan promosi MKJP melalui strategi inovatif seperti melibatkan tokoh agama atau tokoh masyarakat, khususnya untuk menghadapi tantangan terkait rumor negatif tentang ketidaknyamanan saat pemasangan dan efek samping dari masing-masing alat kontrasepsi.
3. Kebijakan dan alokasi anggaran
Dukungan pemerintah kabupaten di Jawa Timur terhadap program KB cukup bervariasi namun relatif baik, misalnya Kabupaten Tuban yang berkomitmen untuk menyediakan alat kontrasepsi gratis bagi seluruh penduduknya. Alokasi anggaran KB juga cukup memadai dan program KB dimasukkan ke dalam jaminan kesehatan daerah.Namun ada pula kabupaten yang membuat peraturan daerah tentang tarif jasa dan bahan habis pakai sehingga memberatkan masyarakat. ii
Rekomendasi: •
Meninjau ulang peraturan daerah yang menghambat keterjangkauan alat kontrasepsi KB bagi seluruh lapisan masyarakat, seperti di Kediri, tentang tentang tarif jasa, dan bahan habis pakai.
Kebijakan desentralisasi menyebabkan ketidaksinambungan program dari pusat ke provinsi dan kabupaten. Program-program yang dicanangkan dari pusat sering kali tidak mendapatkan anggaran dari pemerintah tingkat kabupaten sehingga tidak dapat dilaksanakan. Untuk tingkat kabupaten/kota, telah dibentuk unit yang salah satu tugasnya menangani KB seperti Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB). Rekomendasi:
•
Meningkatkan koordinasi antara tiga instansi di tingkat kabupen/kota, mengingat dengan adanya satu instansi lagi yang menangani KB, sehingga program KB dapat dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota.
4. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi
Pengadaan alat kontrasepsi dilakukan di tingkat pusat. Kewenangan provinsi dan kabupaten adalah hanya pada pendistribusiannya saja, walau pemerintah daerah kadang memiliki dana untuk melakukan pengadaan untuk menutupi kekurangan alat kontrasepsi dalam jumlah yang tidak banyak.
Alat kontrasepsi dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) langsung didistribusikan melalui jalur BKKBN dan unit KB di tingkat kabupaten. Dari Unit KB kabupaten ada dua cara yang dapat digunakan. Pertama, Puskesmas diminta mendistribusikan alat kontrasepsi baik ke bidan didesa maupun BPS. Kedua, Unit Pelaksana Teknis (UPT) KB langsung mendistribusikan alat kontrasepsi ke Puskesmas, bidan di desa dan bidan klinik swasta. Dari kedua cara ini, Dinas Kesehatan tidak dilibatkan dimana hal ini menimbulkan rentang koordinasi yang lemah dengan petugas kesehatan yang melayani KB. Rekomendasi:
•
Melibatkan pihak Dinas Kesehatan dalam pendistribusian alat kontrasepsi mulai dari tingkat provinsi hingga Puskesmas.
5. Pelayanan KB dan biayanya
Ada tiga tingkat pelayanan KB berdasarkan jenis pelayanan yangdiberikan. Tingkat pertama adalah Pondok Bersalin Desa (Polindes) yang hanya menyediakan pelayanan KB sederhana seperti pil dan suntik. Tingkat berikutnya adalah Puskesmas, dimana pada tempat ini pelayanan pemasangan IUD dapat dilakukan. Sementara Rumah Sakit dapat menyediakan pelayanan KB yang kompleks seperti sterilisasi baik pada pria maupun wanita. Sementara unit pelayanan dapat berada di bawah naungan pemerintah maupun non-pemerintah. Keterlibatan dan dukungan klinik non-pemerintah terhadap MKJP cukup baik sehingga dapat menjadi perpanjangan tangan pelayanan KB. Rekomendasi:
• • •
Meningkatkan keterlibatan pihak swasta dalam pelayanan KB. Memperbaiki sistem pelaporan klinik swasta atau BPS. Melakukan pelatihan Contraceptive Technology Update(CTU) juga pada pihak pelayanan KB swasta sehingga dapat di update pula pengetahuannya dan ketrampilannya. iii
Kabupaten Tuban dan Lumajang sudah menerapkan KB gratis bagi seluruh penduduknya, bukan hanya untuk mereka yang miskin saja. Ada dua komponen biaya pelayanan dalam perhitungan pembiayaan: komponen biaya alat kontrasepsi dan bahan habis pakai, dan komponen biaya pelayanan. Untuk non-MKJP seperti pil, pasien hanya membayar biaya pendaftaran, sedangkan alat kontrasepsi sudah dibiayai oleh BKKBN namun tidak termasuk untuk obat jika ada efek samping. Untuk MKJP, pasien membayar biaya registrasi, konsultasi, pelayanan medis dan bahan habis pakai. Jika pasien tidak ingin merek yang disediakan BKKBN, maka pasien harus membayar biaya alat kontrasepsisendiri; kecuali untuk pasien miskin dimana biaya ini di tanggung pemerintah. Rekomendasi: •
Mendorong masuknya biaya pelayanan medis MKJP dalam skema Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat.
Standar pelayanan bagi peserta KB pertama adalah sebelum memutuskan untuk KB dilakukan konseling oleh petugas kesehatan dan idealnya sudah dimotivasi oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB). Dalam konseling idealnya prinsip kafetaria dilaksanakan, namun pada kenyataannya sulit karena keterbatasan jenis alat kontrasepsi yang tersedia, sementara masyarakat masih sulit untuk membayar sendiri. Dalam konseling banyak keluhan dari akseptor non-MKJP, karena yang digunakan adalah jenis hormonal, sedangkan MKJP masih belum populer di masyarakat. Rekomendasi:
•
Melakukan pelatihan konseling bagi petugas yang belum mendapatkan pelatihan maupun penyegaran bagi yang sudah, untuk menekankan pentingnya edukasi terutama untuk alat kontrasepsi MKJP.
6. Sumber Daya Manusia
Jumlah tenaga bidan untuk pelayanan KB cukup memadai, namun untuk PLKB jumlahnya sudah sangat berkurang sebagai efek dari desentralisasi. Namun demikian, pada tingkat kecamatan dan desa ada sub Petugas Pembantu Keluarga Berencana Desa (PPKBD), walaupun kemampuan para petugas ini masih jauh di bawah PLKB.
Rekomendasi: •
•
Menambah jumlah tenaga PLKB perlu menjadi perhatian penting bagi BPPKB di berbagai kabupaten, sesuai dengan rasio ideal seorang PLKB bagi dua desa. Di samping itu, upaya untuk meningkatan kualitas dan kemampuan manajerial tenaga PLKB juga perlu diperhatikan. Meningkatkan kapasitas PPKBD dan sub-PPKBD sehingga setara dengan PLKB.
Dana pelatihan untuk peningkatan keterampilan petugas kesehatan (Contraceptive Technology Update) yang melayani MKJP, lebih banyak dianggarkan oleh BKKBN dibanding Dinas Kesehatan. Pelatihan ini dikelola langsung oleh JNPK-KR (Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi) dan P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) untuk tingkat provinsi. Namun, pengelolaan pelatihan tersebut kurang melibatkan Dinas Kesehatan sehingga Dinas Kesehatan kurang dapat memantau pengembangan kapasistas dari tenaga kesehatannya.
Rekomendasi: •
Melibatkan Dinas Kesehatan dalam perencanaan pelatihan sehingga pengembangan kapasitas tenaga kesehatan dapat lebih efisien dan tepat sasaran.
iv
Adanya peraturan yang tidak mengizinkan bidan untuk melalukan pelayanan MKJP secara mandiri sehingga kurang mendukung peningkatan akses MKJP. Namun dilain pihak, pil dapat di distribusikan oleh orang awam, mengingat cukup banyak petugas kesehatan yang mendapatkan pasien pengguna kontrasepsi pil yang datang dengan efek samping kesehatan akibat pengabaian sistem penapisan sebelum penggunaan alat kontrasepsi pil.
Rekomendasi: •
• •
Mengkaji ulang peraturan yang tidak mengizinkan bidan melakukan pelayanan MKJP secara mandiri, mengingat sebagaian besar pelayanan KB dilakukan oleh bidan. Membuat sanksi bagi orang awam yang ikut memperjualbelikan pil KB karena dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Mengikutsertakan PLKB dalam pelatihan konseling medis, sehingga PLKB juga dapat memahami persyaratan medis yang dibutuhkan untuk metode kontrasepsi tertentu.
7. Kerjasama antar instansi
Walaupun pembagian tugas telah ditetapkan, dimana BKKBN bekerja pada demand side dan Dinas Kesehatan pada supply side, namun koordinasi antara keduanya kurang berjalan dengan baik.Kurangnya harmonisnya koordinasi antara Dinas kesehatan dan BKKBN bukan hanya ditemui ditingkat provinsi namun juga diantara unit KB Kabupaten (misalnya BPPKB atau Bapemas) dan Dinas Kesehatan kabupaten. Aspek yang muncul dalam diskusi adalah terkait pendataan, pendistribusian alat kontrasepsi, pelatihan, dan koordinasi tenaga kesehatan yang langsung melayani KB. Rekomendasi:
•
•
•
•
Mengembangkan District Working Group (DWG) yang hanya ada di tingkat kabupaten, di tingkat provinsi karena kelompok ini dapat menjadi sarana koordinasi dan kerjasama antar instansi di tingkat provinsi. Karena itu diperlukan dana operasional bagi DWG di tingkat provinsi. Menentukanan target bersama perlu dilakukan, sehingga terjadi sinergi antara pihak pemberi pelayanan dan pihak yang menggarap masyarakat. Misalnya dalam hal ini Dinas Kesehatan menganggap bahwa penurunan unmet need bukan menjadi tugas pokok dan fungsi mereka, namun lebih fokus pada penanganan efek samping dan komplikasi. Meningkatkan koordinasi yang lebih baik antara unit KB di tingkat kabupaten dan Dinas Kesehatan untuk lebih memaksimalkan peran masing-masing dalam pelaksanaan program KB sesuai dengan tupoksinya sehingga tidak terjadi kesalahan persepsi dalam implementasi program di lapangan. Membuat kesepakatan pembagian kerja yang jelas melalui rapat koordinasi di tingkat kecamatan antara PLKB dan bidan Puskesmas terkait pencatatan dan pelaporan.
Kerjasama dengan sektor swasta belum banyak digarap, walaupun di Jawa Timur hal ini sangat potensial untuk dikembangkan karena banyak pabrik yang padat karya. Demikian pula bidan praktek swasta (BPS) juga cukup besar jumlahnya dan banyak pula masyarakat yang mendapatkan pelayanan KB dari BPS. Rekomendasi: •
Mengembangkan inovasi kerjasama dalam bentuk Corporate Social Responsibility(CSR) perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakukandengan melakukan advokasi pada pemerintah daerah yang memiliki pabrik padat karya untuk mengajak pihak swasta agar terlibat dalam program KB misalnya melalui Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). v
•
Meningkatkan kerjasama dengan pihak swasta yang mendapatkan distribusi alat kontrasepsi gratis untuk juga menerima peserta Jamkesda/Jamkesmas.
8. Menciptakan kebutuhan
Secara umum demand creation atau menciptakan kebutuhan di masyarakat atau lebih kongkritnya promosi KB, lebih banyak dilakukan oleh BKKBN. Walaupun dana promosi tidak besar, namun BKKBN selalu memiliki anggaran untuk promosi KB. Beberapa kegiatan yang dilakukan promosi KB diantaranya promosi melalui TV, pengecetan genteng hingga mendapatkan penghargaan MURI, penggambaran mobil, becak, dll. Sementara Dinas Kesehatan, lebih tepatnya bidang atau seksi promosi kesehatan tidak memiliki dana khusus untuk promosi KB.
BKKBN juga mengandalkan momentum KB untuk mendongkrak MKJP.Berbeda dengan BKKBN, Dinas Kesehatan tidak menyukai momentum KB dengan target yang ditetapkan terlalu besar karena tidak sebanding dengan jumlah tenaga kesehatan sehingga kualitas pelayanan yang diberikan dipertanyakan. Dalam momentum ini, PLKB membawa calon akseptor, namun terkadang harus ditolak bidan karena tidak memenuhi persyaratan medis. Hal ini menimbulkan kekecewaan pihak PLKB. Rekomendasi:
•
•
•
Melaksanakan kegiatan momentum KB hanya untuk MKJP. Penetapan momentum ini membuat target-target kecil bagi PLKB untuk mengajak masyarakat menggunakan MKJP. Melaksanakan kegiatan momentum KB hanya di Puskesmas, klinik atau Rumah Sakit. Dengan kata lain, kegiatan ini tidak perlu dilakukan di pasar, sehingga jika terjadi komplikasi akan lebih mudah menanganinya. Persyaratan tempat untuk melakukan tindakan pun menjadi lebih baik. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan momentum KB dengan tenaga kesehatan dan pihak Dinas Kesehatan karena momentum KB sering mengganggu aktivitas rutin Puskesmas.
Pada umumnya masyarakat menggunakan KB untuk menjarangkan anak dan bukan untuk membatasi anak. Pengetahuan yang masih terbatas tentang MKJP dan banyaknya isu buruk di masyarakat menyebabkan keengganan mereka untuk menggunakan MKJP. Pola kebergantungan pada kelompok masih cukup kental di Jawa Timur sehingga jika ada satu yang menggunakan MKJP dan berhasil maka dapat menarik akseptor lainnya untuk berpindah. Pendekatan agama juga dilakukan oleh BKKBN dengan melatih Penyuluh Agama Islam dengan pengetahuan KB sehingga jika ada pasangan baru yang akan menikah maka garda terdepan sudah melakukan edukasi tentang KB. Rekomendasi: •
•
Meningkatkan peran serta tokoh agama dan masyarakat untuk menjadi menjadi akseptor Metode Operasi Pria (MOP)/Metode Operasi Wanita (MOW) sehingga bisa menjadi stimulus bagi masyarakat luas. Menggunakan teknik promosi dari mulut ke mulut, dimana petugas kesehatan menawarkan MKJP dengan memberi contoh teman atau kerabat yang dikenalnya yang menggunakan MKJP dan tidak mengalami masalah.
9. Pencatatan dan pelaporan
Adnya dua sistim pelaporan antara BKKBN dan Dinas Kesehatan menyebabkan angka-angka kepesertaan KB berbeda.Pada umumnya, data angka kepesertaan dari BKKBN lebih tinggi daripada Dinas Kesehatan. Ini terjadi karena terdapat perbedaan definisi operasional dan
vi
cara perhitungan akseptor baru di lapangan. Hal ini menjadi masalah dalam penentuan target untuk program BKKBN.
Kedua instansi tersebut juga memiliki fokus pendataan dan kepedulian yang berbeda. BKKBN berfokus kepada kepesertaan KB aktif dan unmet need, sedangkan Dinas Kesehatan lebih kepada penanganan efek samping. Dari wawancara muncul pula Dinas Kesehatan merasakan beban bidan sebagai pelayan kesehatan semakin bertambah dengan adanya kewajiban membuat pelaporan cakupan KB.
Rekomendasi: •
• •
Menetapkan kesepakatan mengenai pendataan peserta KB dan merancang satu sistim pelaporan yang didukung oleh kedua instansi. Sistim pelaporan ini di mulai dari tingkat pusat terlebih dahulu untuk menghindari beban ganda bidan di desa dan menghindari perbedaan cakupan. Menetapkan standarisasi definisi operasional dari indikator KB untuk mencegah terjadinya perbedaan angka dalam pencatatan dan pelaporan. Menyelenggarakan pelatihan penyegaran untuk pendataan terkait indikator KB.
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................................................i
RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................................................................... ii
UNTUK KABUPATEN STUDI DI PROVINSI JAWA TIMUR ................................................................................ ii DAFTAR ISI ...................................................................................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ..................................................................................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................................................... xi 1.
2.
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................................... 1
1.1 Latar belakang................................................................................................................................................. 1 1.2 Tujuan................................................................................................................................................................. 2
METODOLOGI ........................................................................................................................................................... 3
2.1 Rancangan Penelitian................................................................................................................................... 3
2.2 Lokasi Penelitian ............................................................................................................................................ 3
2.3 Metode Penelitian.......................................................................................................................................... 4 A. Kerangka sampel...................................................................................................................................... 4
B. Populasi penelitian.................................................................................................................................. 4 C. Pengambilan sampel .............................................................................................................................. 5
D. Metode pengumpulan data .................................................................................................................. 5
E. Kerangka konsep ..................................................................................................................................... 8 F. Pedoman diskusi kelompok dan wawancara ............................................................................... 8
G. Data Analisis .............................................................................................................................................. 9
3. 4.
H. Etik ................................................................................................................................................................. 9
KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI DAERAH STUDI ..................................................................... 11 3.1 Provinsi Jawa Timur .................................................................................................................................. 11
3.2 Provinsi Nusa Tenggara Barat ............................................................................................................... 13 TEMUAN DI PROVINSI JAWA TIMUR DAN KABUPATEN KEDIRI .................................................... 16
4.1 Provinsi Jawa Timur .................................................................................................................................. 16
A. Pendahuluan ........................................................................................................................................... 16
B. Manajemen program Keluarga Berencana................................................................................. 18
4.2 Kabupaten Kediri ........................................................................................................................................ 25
A. Pendahuluan ........................................................................................................................................... 25
B. Manajemen program Keluarga Berencana................................................................................. 29
C. Pendapat masyarakat ......................................................................................................................... 40
D. Pembelajaran dari desa MKJP tinggi dan rendah .................................................................... 49 viii
4.3. Diskusi, Kesimpulan dan Saran Provinsi Jawa Timur .................................................................. 50
A. Ringkasan hasil penelitian di tingkat provinsi dan kabupaten ......................................... 50
B. Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi) .............................. 52
C. Kesimpulan dan saran tingkat provinsi ...................................................................................... 53
D. Kesimpulan dan saran tingkat kabupaten.................................................................................. 54
REFERENSI ....................................................................................................................................................................... 56
ix
DAFTAR TABEL Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Daerah penelitian .................................................................................................................................... 4
Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif ..................... 6
Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif ..................... 7
Tabel 2.4
Topik utama pertanyaan dalam studi kualitatif.......................................................................... 8
Tabel 4.2
CPR, unmet need, TFR dan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Kediri ............... 25
Tabel 4.1
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Indikator pencapaian dan target Provinsi Jawa Timur......................................................... 16
Cakupan KB berdasarkan jenis kontrasepsi di Kabupaten Kediri ................................... 28 Anggapan masyarakat menurut informan tentang MKJP dan non-MKJP di
Kabupaten Kediri .................................................................................................................................. 28
Tabel 4.5
Biaya jasa dan barang habis pakai untuk alat kontrasepsi sesuai Perda di Kabupaten
Tabel 4.6
Alokasi APBD bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri........................................................ 31
Tabel 4.7
Tabel 4.8
Tabel 4.9
Kediri ......................................................................................................................................................... 30
Biaya pelayananan KB di salah satuPuskesmas Kabupaten Kediri ................................. 35
Tarif pelayanan KB di Bidan Praktek Swasta Kabupaten Kediri ...................................... 35 Tenaga lapangan KB di Kabupaten Kediri .................................................................................. 37
Tabel 4.10 Ringkasan hasil penelitian kualitatif ............................................................................................ 50 Tabel 4.11 Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi) .............................. 52
x
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Cakupan KB Nasional ........................................................................................................................... 1
Gambar 2.1 Lokasi penelitian .................................................................................................................................... 3
Gambar 2.2 Kerangka sampel studi kualitatif .................................................................................................... 4
Gambar 2.3 Kerangka konsep ................................................................................................................................... 8
Gambar 3.1 Wilayah administratif Provinsi Jawa Timur ............................................................................ 11
Gambar 3.2 Piramida penduduk Provinsi Jawa Timur ................................................................................ 12
Gambar 3.3 Provinsi Nusa Tenggara Barat....................................................................................................... 13
Gambar 3.4 Piramida penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat ............................................................. 13
Gambar 4.3 Jalur pengadaan dan permintaan alat kontrasepsi di Kabupaten Kediri .................... 33
xi
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Implementasi program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia.Walaupun demikian, masih ditemukan berbagai tantangan terkait keragaman penggunaan metode kontrasepsi. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 19872012 menunjukkan bahwa presentase pasangan yang menggunakan kontrasepsi jangka pendek (suntik dan pil) di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan jenis kontrasepsi jangka panjang dan permanen (MKJP) seperti IUD, implan, dan metode operasi wanita (MOW)/pria (MOP). Lebih jauh lagi, sebagian besar pasangan yang ingin membatasi kehamilan (tidak ingin punya anak lagi) masih memilih menggunakan kontrasepsi pil dan suntik, yang sebenarnya lebih bertujuan untuk menjarangkan kehamilan. Data SDKI 2007 menunjukkan bahwa sebanyak 78% pasangan pengguna kontrasepsi modern menggunakan kontrasepsi jangka pendek (suntik dan pil) dan hanya 27%yang menggunakan kontrasepsi jangka panjang/permanen(Gambar 1.1). Selain rendahnya keragaman kontrasepsi, data SDKI 2007 juga menunjukkan bahwa angka ketidakberlanjutan metode kontrasepsi pil dan suntik lebih tinggi dibandingkan MKJP. Dalam 12 bulan pertama sejak menggunakan alat kontrasepsi, angka ketidakberlanjutan akseptor pil mencapai hampir 40% dan suntik lebih dari 20%, dibandingkan IUD sebesar 10% dan implan yang hanya 5%. 100
Non-MKJP
MKJP
80 %
60 40
48
6 51
6 52
2002/3
2007
2012
10
10
9
42
45
1994
1997
20 0 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Gambar 1.1 Cakupan KB Nasional
Penggunaan alat kontrasepsi oleh masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk adanya izin dari pasangan, kualitas pelayanan, keramahan pemberi pelayanan kesehatan, dan pengetahuan wanita tentang.Selain itu, tingkat pendapatan, akses terhadap pelayanan, dan kepercayaan yang dianut juga berpengaruh pada besarnya penggunaan KB di suatu daerah (Okech, et. al, 2011). Di Indonesia sendiri, studi BKKBN menunjukkan umur Pasangan Usia Subur (PUS), lama menikah, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal, tingkatan keluarga sejahtera, tujuan ber-KB, dan sumber pelayanan mempengaruhi penggunaan MKJP di Indonesia. Studi kualitatif BKKBN pada tahun 2011 ini juga mengungkapkan banyaknya rumor yang beredar di masyarakat terkait kegagalan IUD menjadi hambatan dalam upaya peningkatan MKJP (BKKBN, 2011).
Untuk mempromosikan KB termasuk MKJP di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan memperkuat aspek pelayanan dan aspek penggerakan program KB (menciptakan kebutuhan/demand creation). Pada aspek pelayanan,
1
pemerintah memperkuat kerjasama dengan mitra pelayanan program KB, memastikan ketersediaan sarana-prasarana dan alat kontrasepsi di semua pelayanan kesehatan, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia penyedia pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2013). Dari aspek penggerakkan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), merubah kembali moto “Dua Anak Lebih Baik” ke moto sebelumnya yang lebih popular yaitu “Dua Anak Cukup” untuk menumbuhkan pola pikirkeluarga kecil bahagia sejahtera (BKKBN, 2013). Walaupun demikian, terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan program KB di Indonesia, masih sedikitnya penggunaan MKJP di antara pasangan yang ingin membatasi kehamilan atau tidak ingin hamil menunjukkan masih diperlukannya upaya peningkatan penggunaan keragaman metode/alat kontrasepsi sesuai dengan tujuan penggunaan.
Menyikapi hal tersebut, Center for Communication Program of Johns Hopkins University (JHUCCP) bekerja sama dengan Yayasan Cipta Cara Padu, Kementerian Kesehatan RI, dan BKKBN, serta Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK-UI) mengadakan kegiatan Operational Research (OR) yang diharapkan dapat mendemonstrasikan upaya di tingkat kabupaten dalam meningkatkan ketersediaan dan penggunaan pelayanan Keluarga Berencana di daerah. Kegiatan ini dilakukan di enam kabupaten yaitu Kabupaten Kediri, Tuban, Lumajang (Provinsi Jawa Timur), dan Kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur dan Sumbawa (Provinsi Nusa Tenggara Barat).
Dalam kegiatan OR ini, pengumpulan data dasar dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Laporan ini hanya mendiskusikan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh PPK UI bekerja sama dengan mitra lokal di masing-masing provinsi. Data dasar ini akan dipergunakan oleh Yayasan Cipta Cara Padu untuk melakukan intervensi advokasi di enam kabupaten tersebut.
1.2 Tujuan A.
Tujuan umum
B.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan perlaku masyarakat terkait penggunaan alat kontrasepsi Keluarga Berencana.
Tujuan khusus
• Untuk mengetahui prevalensi penggunaan kontrasepsi khususnya Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). • Untuk menilai pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terkait MKJP. • Untuk mengetahui alasan masyarakat menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi. • Untuk mengetahui hambatan yang dialami masyarakat dalam mengakses pelayanan keluarga berencana.
2
2. METODOLOGI 2.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah dengan informan dan informan kunci. Penelitian kualitatif ini dilakukan sebelum penelitian kuantitatif.
2.2 Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakaan di dua provinsi: Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 2.1). Di masing-masing provinsi dipilih tiga kabupaten sebagai lokasi penelitian: Kabupaten Tuban, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Lumajang untuk Provinsi Jawa Timur; serta Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Sumbawa untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Provinsi Jawa Timur
Provinsi Nusa Tenggara Barat Gambar 2.1 Lokasi penelitian
Penelitian kualitatif dilaksanakan di dua desa terpilih dari masing-masing kabupaten untuk mewakili gambaran desa dengan tingkat penggunaan MKJP tinggi dan rendah (Tabel 2.1). Data dikumpulkan dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa.
3
Tabel 2.1 Daerah penelitian Provinsi
Jawa Timur Kediri
Kabupaten
Cakupan MKJP
Rendah
Kecamatan
Pagu
Desa
Semanding
Provinsi
Lumajang Tinggi
Tarokan
Cakupan MKJP Kecamatan Desa
Rendah
Kediri Banyumulek, Lelede
Tekung
Tarokan
Wonogriyo
Tinggi
Rendah
Lombok Barat
Kabupaten
Rendah
Narmada Dasan Tereng
Tuban
Tinggi
Rendah
Candipuro
Rengel
Jarit
Nusa Tenggara Barat Lombok Timur
Jerowaru Paro Mas
Tinggi
Parengan
Maibit
Sidangrejo
Rendah
Tinggi
Sumbawa
Tinggi
Selong Kelayu Utara
Rhee
Sampe
Seketeng Seketeng
2.3 Metode Penelitian A.
Kerangka sampel
Enam sampai delapan wawancara mendalam dilaksanakan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Selain itu, kurang lebih empat wawancara mendalam dan empat diskusi kelompok diselenggarakan di tingkat desa. Lebih lanjut, kerangka sampel dapat dilihat di Gambar 2.2. PROVINSI (6 wawancara)
KABUPATEN 1 (6 wawancara)
KABUPATEN 2 (6 wawancara)
KABUPATEN 3 (6 wawancara)
Kecamatan 1 (6 wawancara)
Kecamatan 2 (6 wawancara)
Kecamatan 1 (6 wawancara)
Kecamatan 2 (6 wawancara)
Kecamatan 1 (6 wawancara)
Kecamatan 2 (6 wawancara)
Desa 1 (Prevalensi MKJP rendah) (5 wawancara dan 4 FGDs)
Desa 2 (Prevalensi MKJP tinggi) (5 wawancara dan 4 FGDs)
Desa 1 (Prevalensi MKJP rendah) (5 wawancara dan 4 FGDs)
Desa 2 (Prevalensi MKJP tinggi) (5 wawancara dan 4 FGDs)
Desa 1 (Prevalensi MKJP rendah) (5 wawancara dan 4 FGDs)
Desa 2 (Prevalensi MKJP tinggi) (5 wawancara dan 4 FGDs)
B.
Populasi penelitian
Gambar 2.2 Kerangka sampel studi kualitatif
Untuk mengetahui tingkat pengetahan, sikap, dan perilaku terkait penggunaan MKJP, populasi penelitian yang diambil adalah sebagai berikut: • Wanita menikah (15-49 tahun) bertempat tinggal di lokasi penelitian, memiliki setidaknya satu orang anak, dan yang memenuhi kriteria berikut: a. Menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) b. Menggunakan metode kontrasepsi lain c. Tidak menggunakan metode kontrasepsi jenis apapun (tidak ber-KB) • Pihak lain yang berperan: a. Suami dari wanita yang menggunakan MKJP
4
•
•
C.
b. Suami dari wanita yang menggunakan metode lain c. Suami dari wanita yang tidak ber-KB d. Pria yang menggunakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi (15-49 tahun) e. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang menggunakan MKJP f. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang menggunakan metode lain g. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang tidak ber-KB Pembuat kebijakan atau tokoh masyarakat terkait program keluarga berencana, termasuk: a. Tingkat provinsi: pegawai pemerintah daerah, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), BKKBN provinsi, PKK, Ikatan Bidan Nasional (IBI) b. Tingkat kabupaten: wakil bupati, pegawai pemerintah daerah, Bappeda, Badan Keluarga Berencana (BKB), PKK c. Tingkat kecamatan: kepala kecamatan, BKB, PKK, KUPT-KB d. Tingkat desa: kepala desa dan tokoh masyarakat/agama Pemberi layanan kesehatan a. Tingkat provinsi: pegawai dinas kesehatan, pegawai RSUD, pegawai rumah sakit swasta b. Tingkat kabupaten: pegawai dinas kesehatan, pegawai RSUD, RS swasta c. Tingkat kecamatan: pegawai dinas kesehatan dan bidan koordinator, Bidan Praktek Swasta (BPS) d. Tingkat desa: petugas lapangan keluarga berencana (PLKB), sub-PPKBD, kader, bidan desa, BPS.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dari populasi penelitian menggunakan metode non-probabilitas. Pengambilan sampel di tingkat desa dilakukan dengan meminta bantuan dari kader atau bidan desa. Detail informasi terkait informan disajikan di Tabel 2.2 dan 2.3. D.
Metode pengumpulan data
Penelitian kualitatif ini menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion/FGD) untuk mengumpulkan informasi dari masyarakat. Setiap diskusi kelompok melibatkan enam hingga delapan peserta. FGD dilaksanakan secara terpisah untuk pria dan wanita di tingkat desa.
Di setiap desa, dilakukan dua FGD untuk kelompok wanita yang terdiri dari satu FGD ibu yang ber-KB dan satu FGD ibu yang tidak ber-KB. Pada FGD ibu ber-KB, baik ibu yang menggunakan MKJP ataupun metode lain dilibatkan sebagai peserta FGD. Hal serupa juga berlaku untuk FGD pria, satu FGD bapak untuk bapak atau pasangannya yang ber-KB dan satu FGD bapak untuk bapak dan pasangannya yang tidak ber-KB. Lebih lanjut, kategori responden dan metode pengumpulan data dapat dilihat di Tabel 2.2 dan Tabel 2.3.
Data dikumpulkan dari total 453 informan yang terdiri atas 237 informan di provinsi Jawa Timur dan 216 informan di provinsi Nusa Tenggara Barat. Lebih lanjut, detail jumlah informan untuk masing-masing kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat disajikan di Tabel 2.2 dan Tabel 2.3.
5
Tabel 2.2 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif
Provinsi Jawa Timur Kegiatan
Jumlah Informan
Provinsi
Jawa Timur
WM: Wakil bupati
1
WM: BKKBN
1
WM: Pemda
1
WM: Dinkes
1
WM: RS swasta WM: IBI
Kabupaten
Kediri
WM: Pemda
1
WM: Bappeda WM:PKK
WM: RSUD
WM: RS swasta Lainnya
Kecamatan WM: Bidan koordinator
1
Lumajang
1
1
Digabung dengan inst KB
1
WM: Dinkes
WM: Institusi KB
1
1
1 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Semanding
Tarokan
FGD: Ibu KB
6
FGD: Bapak non-KB
6
WM: PKK WM: BPS Desa
FGD: Ibu non-KB FGD: Bapak KB WM: Kades WM: kader
WM: Toga/toma WM: Bidan desa
WM: PLKB WM: ibu/mertua dari PUS KB WM: ibu/mertua dari PUS non KB Lainnya
1
8 6 1 1 1 1
1
1
1
1
Candipuro
1
1
Parengan
1
Tarokan
1
1
Tekung
WM: KUPT-KB
Pagu
1
1
1 1
Tuban
1 Sama dengan bidan
1
1
Sama dengan PLKB
1
1
Jarit
Wonogriyo
1
Sidangrejo
Maibit
8
6
8
8
6
6
6
6
6
6
6 8 1 1 1 1
1
1
1
1
1
Rengel
1
Sama dengan KUPT KB
1
1
1
Total 82 WM = Wawancara Mendalam FGD = Focus Group Discussion
6
6
6
6
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 76
1
7
6
7
5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 79
6
Tabel 2.3 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif
Provinsi Nusa Tenggara Barat Kegiatan
Jumlah Informan
Provinsi
Nusa Tenggara Barat
WM: Pemda
1
WM: BKKBN
1
WM: Bappeda
1
WM: Dinkes
1
WM: PKK
1
WM: RSUD
1
WM: RS swasta WM: IBI District
1 1
Sumbawa
Lombok Timur
Lombok Barat
WM: Pemda
1
1
1
WM: Institusi KB
1
1
1
WM: Bappeda
1
WM: Dinkes WM:PKK Lainnya
Sub-district:
1 Jerowaru
1
1
Sampe
1
FGD: Ibu KB
FGD: Bapak non-KB
WM: PKK WM: BPS Village:
FGD: Ibu non-KB FGD: Bapak KB WM: Kades WM: kader
WM: Toga/toma WM: Bidan desa WM: PLKB
1
1 Seketeng
WM: KUPT-KB
1
1
Rhee
WM: Bidan koordinator
1
1
1
WM: RSUD
WM: RS swasta
1
1
1 1
1
Tidak ada RS swasta 1
Selong
Kediri
1
1
1
1
Seketeng
1
Paro Mas
Kelayu Utara
1
Banyumulek, Lalede
1
Dasan Tereng
6
6
6
6
7
6
3
4
6
6
7
7
1 1
6 5 1 1 1 1 1
1 1
3 5 1 1 1 1 1
WM: ibu/mertua dari PUS KB 1 1 WM: ibu/mertua dari PUS non 1 KB Total 64 WM = Wawancara Mendalam FGD = Focus Group Discussion
1
1
1
1
6
5
6
5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 1
1 76
1
1
1
1
6
1 1 6
7
6
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 1
Narmada
1 81
1
7
E. Kerangka konsep Kerangka konsep yang digunakan pada penelitian ini disesuaikan dari Theory of Diffusion of Innovations (Rogers, 1962) dan Health Belief Model (Rosenstock, 1966) yang telah banyak digunakan untuk memprediksi perilaku kesehatan. Kerangka konsep penelitian ini terlihat di Gambar 2.3. Antecedents
Proses
Dampak
Gambar 2.3 Kerangka konsep
F.
Pedoman diskusi kelompok dan wawancara
Variabel, indikator, dan metode penilaian pada penelitian ini disajikan di Tabel 2.4. Tabel 2.4 Topik utama pertanyaan dalam studi kualitatif No
Topik
1
Kondisi SES (kuesioner pendek)
2
Pengetahuan, pengalaman masyarakat mengenai penggunaan alat kontrasepsi
3
Faktor pendorong maupun penghambat penggunaan metode kontrasepsi
Informan • • • • • • • • • •
Perempuan usia subur Suami Ibu atau mertua dari PUS Perempuan usia subur Suami Ibu atau mertua dari PUS Tenaga kesehatan Tokoh masyarakat/agama Perempuan usia subur Suami
8
No
Topik
4
Pandangan masyarakat mengenai Keluarga Berencana dan alat/cara kontrasepsi
5
Ketersediaan, keterjangkauan, dan akses untuk mendapatkan alat kontrasepsi
6
Kebijakan KB di daerah tersebut, kerja sama lintas institusi dan sektor terkait program KB, ketersediaan dan keterjangkauan metode kontrasepsi, promosi program KB dan MKJP, sumber pendanaan program KB, SDM yang ada, pelatihan bagi SDM yang ada, pemantauan dan evaluasi.
G.
Informan • • • • • • • • • • • • • •
Tenaga kesehatan Tokoh masyarakat/agama Perempuan usia subur Suami Tenaga kesehatan Tokoh masyarakat/agama Perempuan usia subur Suami Tenaga kesehatan Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya Tokoh masyarakat/agama Tenaga kesehatan Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya Tokoh masyarakat/agama
Data Analisis
Semua hasil diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam direkam audio dan kemudian ditranskrip oleh petugas lapangan. Wawancara dan FGD yang dilakukan dalam bahasa daerah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Analisis isi dan tematik dilakukan untuk mengidentifikasi tema yang muncul dari transkrip tersebut. Analisis dilakukan secara terpisah untuk setiap provinsi dan kabupaten. Identifikasi tema mengacu kepada tujuan penelitian yang telah ditetapkan.
Secara umum, data analisis yang terkumpul dilakukan dalam beberapa tahapan. Pertama, konseptualisasi informasi yang terkumpul dan identifikasi hasilke dalam beberapa area utama seperti cakupan program KB dan permasalahannya, manajemen program KB, pendapat masyarakat terhadap KB, serta pembelajaran yang diperoleh dari desa MKJP tinggi dan rendah. Proses ini berguna untuk mempermudah analisis selanjutnya ke dalam tema yang teridentifikasi. Kemudian dilakukan penilaian kritis terhadap kondisi program termasuk kekuatan, kelemahan, hambatan, area yang perlu ditingkatkan, dan faktor-faktor yang berhubungan serta berguna agar dapat diajukan sebagai saran nyata. Selanjutnya, kutipan teks dari transkrip yang relevan diletakkan dibawah tema yang diidentifikasi.
Selain itu, untuk meningkatkan kevalidan data, hasil wawancara mendalam dan FGD dianalisis dengan menggunakan: 1. Triangulasi sumber, yakni membandingkan konsistensi hasil yang diperoleh dari berbagai sumber penelitian. 2. Triangulasi metode, yakni membandingkan konsistensi hasil yang diperoleh dari berbagai metode pengumpulan data. 3. Triangulasi teori, yakni membandingkan hasil yang diperoleh dengan teori yang ada. H.
Etik
Perizinan etik untuk penilitian ini diperoleh dari Komite Etik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Izin penelitian juga diperoleh dari Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri, Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat
9
dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten. Perizinan pelaksanaan studi juga diperoleh dari tingkat desa dan kecamatan.
Dalam pengambilan data, fasilitator FGD dan pewawancara lebih dahulu menjelaskan protokol penelitian kepada informan/peserta FGD. Selain itu, informan dan peserta FGD yang terlibat juga telah mengerti bahwa informasi yang diberikan dalam penelitian ini bersifat rahasia. Untuk itu, informan dan peserta FGD yang terlibat diminta menandatangi informed consent sebelum wawancara mendalam atau FGD dilaksanakan. Informed consent ini berfungsi sebagai bukti kebersediaan informan dan peserta FGD untuk terlibat dalam peneitian serta kebersediaan informan dan peserta FGD bahwa proses wawancara mendalam atau FGD direkam secara audio.
10
3. KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI DAERAH STUDI 3.1 Provinsi Jawa Timur A.
Provinsi
Provinsi Jawa Timur terletak di bagian timur Pulau Jawa dan berbatasan dengan Pulau Kalimantan, Pulau Bali, perairan terbuka Samudera Indonesia dan Provinsi Jawa Tengah (Gambar 3.1). Provinsi Jawa Timur dari permukaan laut terbagi menjadi 3 bagian dimana sebagian besar (20 kabupaten/kota) terletak di daratan rendah (< 45 meter) dan sisanya tersebar di dataran tinggi dan sedang. Dari sudut kepulauannya, Provinsi Jawa Timur terbagi atas dua bagian besar yaitu Jawa Timur daratan dan Pulau Madura dengan luas wilayah 47.281 km2. Provinsi ini terbagi atas 29 kabupaten dan 9 kota, dengan 658 kecamatan dan 8.497 desa/kelurahan.
Gambar 3.1 Wilayah administratif Provinsi Jawa Timur
Jumlah penduduk di Jawa Timur sebanyak 37.476.757 jiwa (BPS, 2010) dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,76. Perbandingan urban dan rural adalah 47,6% tinggal di perkotaan dan sisanya di perdesaan. Di bawah ini (Gambar 3.2) adalah gambaran dari piramida penduduk di Jawa Timur, yang menggambarkan jumlah penduduk usia anak-anak masih cukup tinggi. Seks rasio di Jawa Timur adalah 98 yang berarti terdapat 98 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Median umur penduduk Provinsi Jawa Timur tahun 2010 adalah 31,03 tahun atau tergolong dalam kategori tua dengan rasio ketergantungan penduduk: 46,33. Dengan kata lain, setiap 100 orang usia produktif terdapat sekitar 46 orang usia tidak produkif, yang menunjukkan banyaknya beban tanggungan penduduk suatu wilayah.
11
Gambar 3.2 Piramida penduduk Provinsi Jawa Timur
Rata-rata umur kawin pertama penduduk laki-laki di Jawa Timur adalah 26,6 tahun dan perempuan lebih muda empat tahun yakni 22,0 tahun. Di atas kertas, angka ini sudah menunjukkan tercapainya anjuran Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menunda perkawinan hingga usia 25 tahun bagi laki-laki dan 20 tahun bagi perempuan. B.
Kabupaten Tuban
Pada bulan Agustus 2005, Kabupaten Tuban mengalami pemekaran kecamatan dari 19 menjadi 20 . Jumlah penduduk Kabupaten Tuban pada tahun 2011 adalah 1.258.816, dengan komposisi laki-laki 630.576 jiwa dan perempuan berjumlah 628.240 jiwa. Kepadatan penduduk Kabupaten Tuban meningkat dibandingkan tahun lalu. Kepadatan penduduk tahun 2011 adalah 684 jiwa/km2. Kecamatan yang paling padat adalah Kecamatan Tuban dengan kepadatan 4.297 jiwa/km2 (Kabupaten Tuban Dalam Angka Tahun 2011, BPS Kabupaten Tuban). C.
Kabupaten Lumajang
Kabupaten Lumajang memiliki 21 kecamatan yang meliputi 197 desa dan 7 kelurahan.Jumlah total penduduk di Kabupaten Lumajang adalah 1.006.563 jiwa dengan kepadatan penduduk 567 jiwa/km². Jumlah penduduk pria adalah 490.490 jiwa dan penduduk wanita berjumlah 516.073 jiwa. D.
Kabupaten Kediri
Pada tahun 2011, Kabupaten Kediri memiliki 26 kecamatan, 343 desa, dan satu kelurahan (Sumber: Kabupaten Kediri dalam Angka, 2012). Berdasarkan hasil sensus penduduktahun 2000, Proyeksi Penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur menyatakan jumlah penduduk Kabupaten Kediri sebesar 1.546.782 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 771.675 jiwa dan perempuan sebanyak 775.107 jiwa.
12
3.2 Provinsi Nusa Tenggara Barat A.
Provinsi
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki perbatasan di sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Samudera Hindia, sebelah timur dengan Selat Sepadan dan sebelah barat dengan Selat Lombok. NTB terdiri dari dua pulau besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Secara total NTB memiliki luas wilayah 20.153,15 km2 dengan 8 kabupaten, 2 kota, dan 116 kecamatan serta 1.110 desa.
Gambar 3.3 Provinsi Nusa Tenggara Barat
NTB memiliki jumlah penduduk sebesar 4,5 juta jiwa (Profil NTB 2010) dengan tingkat kepadatan penduduk 225 kilometer persegi. Jumlah penduduk usia produktif sebanyak 2,99 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, jumlah angkatan kerja berjumlah 2,03 juta jiwa dan yang bukan angkatan kerja sebanyak 968,64 ribu jiwa.
Gambar 3.4 Piramida penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat
Jumlah penduduk miskin NTB pada tahun 2007 sebanyak 25% yang tersebar merata baik diperkotaan maupun pedesaan. Pada tahun 2010 NTB tercatat sebagai provinsi dengan IPM kedua terendah setelah Papua dengan laju pertumbuhan penduduk (2000-2010) sebesar 1.17. Gambaran piramida penduduk di provinsi NTB yang menggambarkan rata-rata usia penduduk berusia 25,4 tahun dapat dilihat di Gambar 3.4 (Sensus, 2010). Angka ini menunjukkan bahwa
13
penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat termasuk kategori menengah (median antara 20-30 tahun).
Rasio ketergantungan penduduk NTB adalah 55,5 atau untuk setiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) terdapat sekitar 56 orang usia tidak produkif (dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun). Hal ini menunjukkan beban tanggungan penduduk suatu wilayah. Sementara rasio ketergantungan di daerah perkotaan adalah 51,5 dibandingkan dengan daerah perdesaan 58,5.
Perkiraan rata-rata umur kawin pertama penduduk laki-laki sebesar 24,8 tahun dan perempuan 22,1 tahun. Di atas kertas tampak bahwa anjuran dari BKKBN untuk usia menikah laki-laki 25 tahun dan perempuan 20 tahun tampaknya telah tercapai. Seks rasio di NTB adalah 94, berarti terdapat 94 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Seks rasio menurut kabupaten/kota yang terendah adalah Kabupaten Lombok Timur sebesar 87 dan tertinggi adalah Kabupaten Sumbawa sebesar 104. B.
Kabupaten Lombok Barat
Presentase wanita berstatus kawin usia 15-49 tahun yang menggunakan alat kontrasepsi KB di Indonesia (KB aktif) adalah sebesar 64,2%. Angka ini diatas angka Nasional 61,9% (SDKI 2007 dan 2012 dalam Ringkasan Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2012). Kabupaten Lombok Barat saat ini memiliki 10 kecamatan, 88 desa, dan 657 dusun.
C.
Kabupaten Lombok Timur
Kabupaten Lombok Timur terdiri dari 20 kecamatan. Pada tahun 2010, jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Lombok Timur tercatat sebanyak 215 desa/kelurahan, sedangkan pada bulan Desember 2011 jumlah desa/kelurahan dimekarkan menjadi 252. Satuan pemerintahan di bawah desa yakni dusun/lingkungan tercatat berjumlah sekitar 1.271 pada akhir tahun.
Berdasarkan buku Penduduk Lombok Timur Dalam Angka 2011, jumlah penduduk Kabupaten Lombok Timur tahun 2011 sekitar 1.116.745 jiwa. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sekitar 1,01% jika dibandingkan jumlah penduduk tahun 2010. Apabila dirinci menurut jenis kelamin, penduduk Lombok Timur tahun 2011 terdiri dari 519.898 laki-laki dan 596.847 perempuan. Dengan demikian, rasio jenis kelamin penduduk Lombok Timur sebesar 87,11 artinya terdapat 87 laki-laki setiap 100 penduduk perempuan.
Sementara itu perkembangan tingkat kepadatan penduduk juga mengalami perubahan dimana pada tahun 2005 Kabupaten Lombok Timur tercatat memiliki 644 jiwa/km2 dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 689 jiwa/km2. Jumlah ini terus meningkat dimana pada tahun 2011 tingkat kepadatan penduduk tercatat menjadi 696 jiwa/km2. Hal ini menunjukkan ketersediaan ruang bagi penduduk di Kabupaten Lombok Timur semakin terbatas. D.
Kabupaten Sumbawa
Penduduk Kabupaten Sumbawa pada tahun 2011 berjumlah sekitar 419.989 jiwa, terdiri dari 214.387 laki-laki dan 205.602 perempuan dengan sex rasio 104. Bila jumlah penduduk dibandingkan dengan luas wilayah Kabupaten Sumbawa yakni 6.643,98 km2, maka setiap km2 dihuni oleh 63 jiwa. Ini memperlihatkan penduduk Kabupaten Sumbawa masih jarang. Jika dilihat keadaan masing-masing kecamatan, maka kecamatan Sumbawa merupakan yang terpadat yaitu sebesar 1.269 jiwa/km2, diikuti Kecamatan Alas dan Unter Iwes dengan masingmasing sebesar 231 dan 223 jiwa/km2.
Sumbawa mempunyai beberapa wilayah remote dan pulau-pulau kecil yang didiami oleh beberapa etnis yang berbeda, etnis terbesar adalah suku Sumbawa, dan pendatang dari Lombok, Bali serta Jawa.
14
Kabupaten Sumbawa cukup berhasil melakukan pengendalian laju pertumbuhan penduduk, hal ini terbukti dengan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 (SP-2010) yang menunjukkan jumlah penduduk Kabupaten Sumbawa sebanyak 415,789 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 0,94 % (LLP 2000-2010).
15
4. TEMUAN DI PROVINSI JAWA TIMUR DAN KABUPATEN KEDIRI 4.1 Provinsi Jawa Timur A.
Pendahuluan
A.1. Cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya di Provinsi Jawa Timur Semua dinas terkait di tingkat provinsi menganggap bahwa Keluarga Berencana (KB) adalah sesuatu yang penting untuk ditingkatkan. Dinas Kesehatan (Dinkes) menganggap bahwa KB penting karena sejalan dengan tugas utamanya dalam mencapai Millenium Development Goals (MDGs) yaitu menurunkan angka kematian ibu. Jika tidak ada ibu yang hamil, maka tidak akan ada persalinan, jika tidak ada persalinan maka tidak ada kematian ibu atau bayi. Hal ini didukung oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) yang percaya bahwa untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, Dinkes harus bermain di hulu yaitu KB dan jangan berkutat di hilir saja atau hanya memperhatikan Angka Kematian Ibu dan Bayi saja. Peserta KB aktif 59,4% atau berada di atas rata-rata peserta KB aktif di Indonesia (57.9%) Jawa Timur memang menempati ranking ke 14 dari 33 provinsi (Pusat Data dan Informasi, Kementrian Kesehatan RI, 2012) Tabel 4.1 Indikator pencapaian dan target Provinsi Jawa Timur Indikator Tingkat Pertumbuhan Penduduk Total Fertility Rate (TFR)
Capaian Jawa Timur Sensus Susenas Penduduk SDKI 2012 (2010) (2010) 0,76
Contraception Prevalence Rate (CPR)
2,3 62,4%
Age Specific Fertility Rate (ASFR) untuk 15-19 tahun
Unmet need
Rata-rata umur pertama menikah
0,49
6,7% Laki-laki: 26,6 Perempuan: 22,0
Perempuan: 19
50/1000 (Gabungan Susenas, 20032005)
Capaian Nasional 1,49 (SP, 2010) 2,6 (SDKI, 2012, hasil sementara) 57,9 (SDKI, 2012, hasil sementara) 48/1000 (SDKI, 2012, hasil sementara) 11,4% (SDKI, 2012, hasil sementara) Perempuan: 19 tahun
Target MDGs 1,1 2,1 65% 30/1000 perempuan 5% 21 tahun
Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa pencapaian Provinsi Jawa Timur selalu lebih baik dari rata-rata nasional (Tabel 4.1). Dalam data/informasi kesehatan untuk Provinsi Jawa Timur, Pusat Data Kesehatan Kementrian Kesehatan dengan menggunakan data Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, mengeluarkan angka peserta KB aktif 59,4%, sementara rata-rata untuk Indonesia 55,8% (Pusat Data dan Informasi, Kementrian Kesehatan RI, 2010). Namun demikian, jika dikaitkan dengan target MDGs, maka beberapa indikator perlu diperbaiki seperti
16
misalnya Total Fertility Rate (TFR) dan unmet need.
Dari wawancara yang dilakukan, ditemukan angka-angka terkait KB berbeda-beda dari sumber yang berbeda misalnya dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional(BKKBN) dan dari Dinkes, maupun dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI). Di lapangan, adanya angka yang berbeda ini membawa kerancuan, mana yang harus dijadikan acuan? Hal ini juga menimbulkan tanda tanya, mengapa angka akseptor KB baru naik terus, namun angka TFR dari 2,1 naik menjadi 2,3. Dari diskusi ditemukan bahwa ternyata terdapat perbedaan definisi operasional dan cara perhitungan akseptor barudi lapangan.
Perbedaan definisi operasional di lapangan terjadi karena adanya perbedaan target. Pencapaian akseptor baru bagi BKKBN terkait dengan dana pelayanan dan pembelian kontrasepsi, sedangkan pencapaian akseptorbaru bagi Dinkes tidak terkait dengan hal tersebut. Dengan demikian akseptor baru bagi BKKBN adalah siapa saja yang menggunakan alat kontrasepsi termasuk akseptor yang berganti alat, sementara Dinkestidak menganggap pergantian KB sebagai peserta baru.
Dalam hal perhitungan, terdapat perbedaan rumus perhitungan untuk akseptor baru: • Dinkes: (Jumlah peserta KB baru/jumlah PUS) X 100% • BKKBN: (Jumlah peserta KB baru/Perkiraan Permintaan Masyarakat) X 100% Kedua hal ini menyebabkan perbedaan angka akseptor baru dari Dinkes maupun dari unit KB di tingkat kabupaten/kota.
Menurunkan angka unmet need hingga 7% merupakan salah satu target dari BKKBN di Jawa Timur. Namun dalam kenyataannya, angka ini masih berkisar pada 12,2%, menurun sedikit namun signifikan (12,4% untuk tahun yang lalu). Dengan kata lain, masih ada 900.000 Pasangan Usia Subur (PUS) yang belum menggunakan KB walaupun mereka sudah tidak ingin punya anak lagi atau mereka ingin menunda anak. Menurut Dinkes, sebagian perempuan masih menggunakan KB alamiah karena takut atau tidak diijinkan suami. Fenomena ini banyak terjadi pada kelompok miskin dan kurang berpendidikan. Namun ada kecenderungan saat ini, kelompok berpendidikan juga tidak menggunakan alat KB karena alasan keyakinan agama.
BPPKB sebagai bagian dari aparat pemerintah daerah mencobamembuat peraturan daerah untuk menurunkan unmet need, namun belum selesai karena banyaknya kegiatan lain yang lebih diprioritaskan. A.2. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) versus Jangka Pendek (non-MKJP)
Gambaran pemilihan alat kontrasepsi di Jawa Timur juga masih menunjukkan tingginya pemilihan alat kontrasepsi jangka pendek, dimana laporan SDKI 2012 menunjukan bahwa suntik (34,7%) dan pil (14,7%) merupakan yang tertinggi. Suntik menjadi alat kontrasepsi yang paling diminati masyarakat walaupun keluhan efek samping seperti menjadi gemuk, kurus, bercak-bercak sering terdengar di masyarakat. Banyaknya efek samping ini sering menimbulkan rumor terkait non-MKJP dimana alat kontrasepsi non-MKJP mengandung hormon yang berkaitan dengan timbulnya efek samping tersebut.
Namun demikian, BKKBN mengakui kecenderungan penggunaan MKJP seperti implan, Intra Uterine Device (IUD), Metode Operasi Wanita (MOW) dan Metode Operasi Pria (MOP) dalam tiga tahun terakhir mulai meningkat. Hal ini didorong dengan seringnya diadakan pelayanan serentak, dimana ditargetkan tujuh kali pelayanan serentak diadakan selama seminggu berturut-turut dalam setahun. Prioritas dari pelayanan serentak ini adalah pelayanan MKJP dan memperkuat Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang MKJP.
17
B.
Manajemen program Keluarga Berencana
B.1.
Kebijakan dan alokasi anggaran
Pemerintah Jawa Timur menganggap KB sebagai hal yang penting mengingat jumlah penduduk di Provinsi Jawa Timur adalah yang terbanyak kedua setelah Provinsi Jawa Barat. Oleh karena itu, pemerintah daerah membentuk satuan kerja perangkat daerah yang baru yaitu BPPKB di tingkat provinsi. Anggaran untuk unit ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Akan tetapi,dana yang dialokasikan memang bukan hanya dipergunakan untuk KB, melainkan untuk pemberdayaan perempuan juga. Tahun ini anggaran yang disediakan sebesarRp. 2 Milyar. Anggaran ini sangatlah kecil jika dibandingkan dengan anggaran BKKBN Provinsi Jawa Timur yang mencapai sekitar Rp. 38 Milyar. Karena itu diharapkan BPPKB tidak mengulangi kegiatan yang sudah ada anggaraannya dari BKKBN, namun mengisi kegiatan yang tidak teranggarkan.
Anggaran di Dinkes tahun 2012 sebesar Rp.71 Milyar dengan penyerapan 62%. Anggaran Dinkes difokuskan untuk mencapai MDGs, terutama untuk menurunkan angka kematian ibu (sekitar 60%), untuk menangani masalah kesehatan remaja (30%) dan untuk Kesehatan Reproduksi dan KB yang hanya sekitar 10%. Hal ini memang terkait dengan tugas pokok dan fungsi dari Dinkes. Dalam kegiatan KB, Dinkes menangani disisi supply, yakni menyediakan provider pelayanan KB, sementara pengadaan alat kontrasepsi dan jalur distribusinya ditangani oleh BKKBN. Dengan kondisi seperti ini, Dinkes menjadi kesulitan untuk berperan dalam meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan.
Dengan kebijakan desentralisasi, program dari pusat yang turun ke provinsi, akan terputus jika tidak ada dana. Hal ini karena belum tentu pemerintah daerah di tingkat kabupaten memprioritaskan program tersebut. Karena itu ketika provinsi mengadakan pelatihan untuk petugas tekait di kabupaten, hal ini tidak diteruskan di tingkat kabupaten karena tidak adanya dana. Selain itu, pola segitiga terbalik, dimana di tingkat pusat dan provinsi tenaganya lebih banyak di bandingkan di tingkat kabupaten, membuat tenaga di tingkat kabupaten yang sama yang mendapatkan pelatihan dari berbagai program terkait. Belum lagi di tingkat lapangan, terutama bidan di desa, mereka terbebani banyak pekerjaan dari berbagai program walaupun pelaksana program-program ini adalah orang-orang yang sama.
Mekanisme pengusulan anggaran sama seperti provinsi lainnya dimana anggaran diperjuangkan berdasarkan musyawarah perencanaan dan pembangunan. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait kemudian mengkompilasi dan mengusulkannya rencana dan anggarannya ketingkat provinsi.
Untuk menggeser anggaran alat kontrasepsi di tingkat pusat agak sulit karena anggaran disusun berdasarkan permintaan yang banyak di masyarakat sehingga sulit untuk diubah. Pendapat lain mengatakan bahwa permintaan ini adalah provider driven, dengan kata lain, provider kesehatanlah yang mengarahkan masyarakat untuk memiliki jenis alat kontrasepsi tertentu, sehingga sebenarnya permintaan ini dapat digeser. Namun dalam kenyataan di lapangan jika tidak sesuai permintaan maka akan terjadi overstock karena masyarakat tidak menyukainya.
B.2. Kebijakan Keluarga Berencana dalam asuransi kesehatan
KB akhirnya sudah masuk dalam Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda), namun yang ditanggung oleh jaminan kesehatan daerah terbatas pada pelayanannya saja. Permasalahan yang muncul adalah siapa yang menanggung alat kontrasepsi sementara alat kontrasepsi dari BKKBN hanya mencukupi kelompok masyarakat miskin saja. BKKBN hanya menyediakan kurang lebih satu juta kontrasepsi, namun sebenarnya estimasi termasuk peserta KB baru dan 18
akseptor lama diperkirakan berjumlah Rp. 4,3 juta. Siapa yang menanggung sisanya? Situasi ini dapat meningkatkan unmet need.
Persoalan lain timbul dari kurang baiknya sosialisasi tentang program jaminan kesehatan. Dengan kebijakan satu pintu maka semua dana harus masuk ke kas kabupaten terlebih dahulu, baru kemudian disalurkan ke SKPD setelah adanya klaim dari tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) tentang pelayanan KB yang diberikan. Berdasarkan klaim inilah kemudian pemerintah mereimburse biaya pelayanan yang telah dikerjakan provider kesehatan. Mekanisme ini tampaknya belum diketahui oleh kepala dinas di tingkat kabupaten, sehingga klaim terlambat dirimkan.
Untuk provider pemerintah daerah seperti bidan desa, klaim mereka tidak dapat dibayarkan penuh karena semua obat sudah disediakan di Puskemas. Hal ini menjadikan insentif bagi pelayanan KB menjadi kecil. Sementara, untuk bidan swasta, klaim mereka dapat dibayarkan penuh karena obat-obatan dibeli sendiri, sementara bidan di desa harus dipotong dengan obatobatan yang sudah disediakan. Namun demikian sekarang Dana Alokasi Khusus (DAK) sudah menanggung obat-obatannya. B.3. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi Mekanisme pengadaan dan peruntukan Sesuai dengan peraturan yang ada, pengadaan alat kontrasepsi dilakukan oleh BKKBN Pusat. BKKBN Provinsi tidak boleh mengadakan pembelian alat kontrasepsi sendiri.
Alat kontrasepsi jenis pil dan kondom yang diberikan dari pusat dapat didistribusikan untuk semua orang. Namun demikian, alat kontrasepsiimplan, IUD dan suntik hanya diberikan untuk masyarakat yang tergolong miskin yaitu golongan KS I dan pra KS1. Demikian juga bagi pemegang kartu RTSM (Rumah Tangga Sangat Miskin) dan Jamkesmas/Jamkesda gratis untuk semua alat kontrasepsi termasuk jasa pelayanannya.Skema bantuan KB yang dikaitkan dengan persalinan adalah Jampersal (Jaminan Persalinan) KB pasca persalinan. Dalam hal ini, ibu yang baru melahirkan akan mendapatkan pelayanan KB gratis terutama untuk pemasangan IUD atau MOW sampai dengan 42 hari setelah persalinan. Skema ini tampaknya belum optimal digunakan oleh masyarakat karena ditemukan baru sekitar 39% menggunakan skema tersebut. Kecukupan alat kontrasepsi
Secara umum stok alat kontrasepsi terkendali karena ada tim penjamin ketersediaan alat kontrasepsi yang memantau stok alat kontrasepsi untuk jangka waktu ketersediaan tiga bulan ke depan. Namun, tahun lalu pernah terjadi kekurangan alat kontrasepsi karena sistem pelaporan yang kurang akurat. Setelah sistem pelaporan diperbaiki kekurangan alat kontrasepsi tidak pernah terjadi lagi. Untuk acara-acara khusus seperti momentum KB seperti hari ulang tahun instansi tertentu atau perayaan lainnya, kabupaten akan mengajukan permohonan tambahan alat kontrasepsi pada BKKBN Provinsi dan mengambil sendiri stok tersebut. Yang kerap terjadi adalah kekurangan stok implan.Alat kontrasepsi implan ternyata mulai dimininati masyarakat di Provinsi Jawa Timur. Pelaporan stok alat kontrasepsi
Setiap bulan unit KB tingkat kabupaten mendapatkan informasi dari Puskesmasdesa dan koordinator PLKB tentang stok KB yang ada. Kemudian unit KB tingkat kabupaten mengisi form evaluasi F5 dan melaporkannya ke tingkat provinsi. 19
Distribusi alat kontrasepsi Dari BKKBN Pusat, alat kontrasepsi langsung didistribusikan ke BKKBN Provinsi. Dalam hal ini DinkesProvinsisama sekali tidak terlibat dalam pendistribusian alat kontrasepsi.Namun pemeriksa keuangan sering kali datang dan menanyakan tentang pengadaan dan pendistribusian alat kontrasepsi. Bagi Dinkes, hal ini tidak begitu nyaman karena yang melayani pemasangan KB adalah petugas kesehatan di bawah kendali Dinkes. Dinkes pernah menyarankan agar alat kontrasepsi dititipkan di gudang obat Dinkes, namun usulan ini ditolak karena dianggap hanya memperlambat pendistribusian alat kontrasepsi Dari BKKBN Provinsi alat kontrasepsi kemudian didistribusikan ke unit KB tingkat kabupaten yang kemudian mendistribusikannya ke seluruh Puskesmas dan rumah sakit di tingkat kabupatenseperti Rumah Sakit (RS) Bhayangkara, RS/Klinik Polres dsb.Puskesmas lalu mendistribusikan alat kontrasepsi ke bidan di desa dan ke klinik swasta yang berada di wilayahnya.Untuk mendistribusikan ke tingkat desa, Puskesmas sering dibantu oleh PLKB. B.4. Pelayanan Keluarga Berencana dan pembiayaannya Unit Pelayanan KB Secara umum ada tiga tingkat pelayanan KB. Tingkat yang paling dasar adalah Pondok Bersalin Desa (Polindes), dimana poli ini hanya dapat melayani KB sederhana seperti suntik. Tingkat yang lebih tinggi adalah Puskesmas, dimana klinik ini dapat melayani pemasangan IUD dan implan. Tingkat yang lebih tinggi lagi adalah Rumas Sakit, dimana pelayanan KB yang kompleks seperti MOP dan MOW hanya dapat dilaksanakan di rumah sakit. Dalam studi ini peneliti mengunjungi salah satu RS swasta. Bulan Maret 2013, RS swasta ini melayani 87 pasien KB dengan rincian 60% suntik, 11% pil dan sisanya memilih MKJP. Ratarata pasiennya adalah pasangan muda karena pendidikan mereka relatif lebih tinggi. Dengan demikian kesadaran mereka untuk ber-KB lebih baik dibanding dengan angkatan orang tua mereka. Pembiayaan
Ada dua komponen biaya untuk pelayanan KB, yaitu biaya alat kontrasepsi dan bahan habis pakai lain serta biaya untuk pelayanan atau tindakan.
Untuk alat kontrasepsi jangka pendek seperti pil, pasien hanya membayar biaya pendaftaran karena alat kontrasepsi sudah dibiayai oleh BKKBN. Namun demikian, jika diperlukan obat tertentu untuk mengatasi efek samping maka pasien harus membayar sendiri obat tersebut. Sebagai contoh, di klinik tersebut biaya untuk suntik KB berkisar antara Rp.6.000,- hingga Rp.16.000,-.
Untuk Metode Kontrasepsi Jangka Pendek (non-MKJP), pasien membayar biaya registrasi, konsultasi, pelayanan medis dan bahan habis pakai. Alat kontrasepsinya sendiri ditanggung oleh BKKBN. Namun jika pasien tidak ingin menggunakan alat kontrasepsi yang disediakan BKKBN maka pasien harus membayar sendiri alat kontrasepsi yang diinginkan. Sebagai contoh biaya pemasangan IUD di klinik tersebut berkisar antara Rp.150.000,- hingga Rp.300.000,-. Klinik swasta tidak menerima pasien Jamkesda/Jamkesmas. Klinik tersebut hanya menerima pasien yang kebanyakan bekerja di pabrik dan telah memiliki asuransi dari tempatnya bekerja.
20
B.5.
Sumber daya manusia
Jumlah tenaga terkait program KB Dinkes Jawa timur memiliki kurang lebih 5000 bidan yang tersebar di 956 Puskesmas. Dalam kenyataannya memang bidanlah yang lebih banyak memberikan pelayanan KB dari pada dokter. Hanya sepertiga dokter yang tertarik untuk memberikan pelayanan KB.
Sementara di BKKBN Provinsi, jumlah Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) sangat berkurang setelah kebijakan desentralisasidiberlakukan. Hal ini disebabkan karena pihak kabuptenlah yang harus menanggung tenaga PLKB. Pemerintah pusat hanya menanggung tenaga BKKBN di tingkat provinsi. Saat ini seorang PLKB memegang kurang lebih empat desa. Pemerintah tingkat kabupaten sendiri sudah membentuk sub Petugas Pembantu Keluarga Berencana Desa (PPKBD) di setiap dusun, namun supervisi dari PLKB masih dibutuhkan karena kompetensi PPKBD tidak sekuat PLKB. Salah satu unit di tingkat provinsi yang menangani KB adalah Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB). Unit ini baru dibentuk sekitar tahun 2009. Tenaga yang ada hanya 13 orang dan tujuh di antaranya bekerja khusus untuk seksi KB. Namun demikian, unit ini mempunyai perpanjangan tangan di kabupaten. Pelatihan
Untuk pelatihan BKKBN Provinsi memiliki anggaran pelatihan CTU (Contraceptive Technology Update) untuk 5000 bidan dan dokter dengan perbandingan 7:3 karena yang banyak melayani KB adalah bidan. Selain pelatihan CTU, BKKBN juga memiliki anggaran untuk pelatihan bagi penyuluh agama Islam (Penais). Saat ini di setiap kabupaten ada empat orang Penais yang telah dilatih. Sudah ada empat angkatan Penais yang dilatih tentang pengetahuan KB sehingga diharapkan mereka dapat ikut memotivasi masyarakat untuk ber-KB. Dinkes sendiri memiliki anggaran untuk 20 kali pelatihan. Dari sekitar 5000 bidan baru, setengahnya telah terlatih untuk melakukan KB pasca nifas. Demikian juga dengan IUD kit dimana baru setengah bidan yang memilikinya.
Koordinasi antara BKKBN dan Dinkes dalam hal pelatihan masih lemah karena BKKBN langsung bekerja sama dengan Jaringan Nasional Pelatihan Klinis (JNPK) dan Pusat Pelatihan Klinik Tertier (P2KT) tanpa melibatkan Dinkes sementara bidan yang akan dilatih berada dalam koordinasi Dinkes. Dinkes merasa tidak pernah mendapatkan laporan jumlah bidan/dokter yang sudah dilatih.
Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
IBI merupakan kelompok profesi yang menaungi para bidan. IBI melakukan pembinaan di cabang-cabangnya bagi para bidan dan memberikan orientasi pada mahasiswa baru tentang etika bidan. Pelatihan yang dilakukan IBI utamanya bertujuan untuk meningkatkan keterampilan bidan dalam hal manajemen bagi bidan praktek swasta atau disebut sebagai bidan delima. Hal ini untuk menjembatani kurang terlatihnya Bidan Praktek Swasta (BPS), sementara untuk bidan yang bekerja pada pemerintah seperti bidan di desa sering mendapatkan pelatihanpelatihan.
Setiap bulan IBI mengundang BPS secara bergantian untuk mendapatkan pelatihan. Sebagai tenaga profesional, bidan yang baru lulus harus lolos uji kompetensi yang difasilitasi oleh Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP). Dalam hal ini, soal-soal dibuat oleh IBI dan dikoreksi oleh MTKP. IBI juga turun ke daerah untuk menjelaskan uji kompetensi ini dengan
21
mengumpulkan para calon bidan di institusi-institusi pendidikannya. Siswa yang tidak lulus uji kompetensi dilatih lagi oleh IBI agar dapat mengikuti ujian berikutnya.
Kewenangan untuk memberikan pelayanan KB
Walaupun terdapat Keputusan Menteri tentang kewenangan bidan, kewenangan bidan dalam melakukan pelayanan KB di Provinsi Jawa Timur masih beragam antar kabupaten. Bidan praktek di Kabupaten Tuban tidak diperkenankan memberikan pelayanan IUD dan implan. Pelayanan kedua jenis alat kontrasepsi tersebut harus dilakukan di Puskesmas atau RS. Di Kabupaten Lumajang belum jelas kewenangan bidan untuk melakukan praktek pemasangan IUD dan implan di rumah atau di klinik pribadi. Di Kabupaten Kediri pelayanan KB termasuk MKJP masih dilakukan bidan praktek swasta di klinik masing-masing.
B.6. Kerjasama antar instansi
Instansi pemerintah terkait KB Di tingkat provinsi, ada tiga institusi yang bekerja untuk program KB dengan pembagian tugas masing-masing.
BBKBN Provinsi BKKBN Provinsi bekerja di sisi permintaan (demand side), yaitu dengan mengkoordinir dan menggerakkan masyarakat. PLKB memotivasi dan menggerakkan masyarakat agar ikut ber-KB. BKKBN juga memiliki anggaran untuk melakukan pelatihan bagi petugas kesehatan yang melayani KB.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Dinas Kesehatan (Dinkes) bekerja pada sisi penyediaan (supply side) dalam hal ini menyediakan tenaga untuk melayani KB. Hal yang membuat ganjalan bagi Dinkes adalah sering tidak dilibatkannya Dinkes dalam hal perencanaan dan pelaksanaan pelatihan. Dinkes mengaku bahkan tidak dilibatkan dalam pendistribusian alat kontrasepsi. Namun, yang mengherankan adalah Dinkes diminta untuk menjadi leading sektor dalam penjaminan mutu pelayanan KB.
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Unit ini didirikan sejak sejak tahun 2009. KB hanya merupakan sebagian dari pekerjaan mereka selain pemberdayaan perempuan. Pembagian kerjanya adalah unit ini mengerjakan aktivitas yang tidak mendapatkan pendanaan dari BKKBN Provinsi. Karena tenaga yang sedikit dan anggaran yang tidak besar, unit ini belum banyak berperanwalaupun unit ini memiliki perpanjangan tangan di tingkat kabupaten. Peran sektor swasta
Pembagian antara sektor swasta dan bukan, sering kali menjadi rancu karena sebagian besar bidan di desa atau bidan Puskesmas juga membuka praktek mandiri pada sore hari. Namun bidan-bidan ini juga harus terdaftar jika akan mengklaim Jampersal.
Klinik swasta juga menerima alat kontrasepsi yang dapat digunakan untuk klien yang memiliki asuransi swasta untuk karyawan pabrik. Hal ini karena kondom dan suntik diperuntukan bagi semua lapisan masyarakat. Klinik yang memperoleh alat kontrasepsi juga harus melaporkan pelayanan yang diberikan ke masyarakat.
22
B.7. Menciptakan kebutuhan Menciptakan kebutuhan di masyarakat memerlukan promosi program KB. Dalam hal ini, BKKBN memiliki anggaran untuk promosi KB walaupan jumlahnya tidak besar. Contoh kegiatan yang dilakukan untuk mempromosikan KB adalah acara di TV. Salah satu promosi yang dilakukan karena dana yang terbatas diantaranya pengecetan genteng (gentengisasi)rumahrumah masyarakat. Banyaknya rumah yang di cat untuk promosi KB membuat BKKBN Provinsi Jawa timur mendapat penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI). Bentuk promosi lain selain gentengisasi adalah penggambaran mobil, becak, bus danangkot. BKKBN mengandalkan momentum KB untuk meningkatkan minat ber-KB di masyarakat. Hal ini terutama untuk mendongkrak penggunaan MKJP. Momentum ini pernah mendapatkan MURI untuk pemasangan alat kontrasepsi terbanyak, dimana tenaganya dikerahkan dari IBI.
Untuk meningkatkan MKJP terutama untuk Metode Operasi Wanita (MOW) dan Metode Operasi Pria (MOP), disediakan dana pengayoman. Akseptor yang bersedia melakukan operasi KB akan diberi kompensasi untuk hilangnya waktu kerja mereka sebesar Rp. 150.000.- baik untuk MOW maupun MOP.
Untuk Dinkes, dana untuk promosi kesehatan juga sangat terbatas.Dana tersebut dipergunakan untuk Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti mencuci tangan dan lain-lainnya, namun difokuskan untuk KB karena dianggap bahwa program Komunikasi Informasi dan Edukasinya diselenggarakan oleh BKKBN. Namun demikian promosi KB dapat dilakukan dengan menumpang pada kegiatan lain seperti Komda lanjut usia (lansia). Dalam program ini para lansia menjadi Kakek Nenek Asuh yang menjadi pembimbing bagi keluarga muda. Dalam hal ini, pesan KB dapat dititipkan pada mereka untuk disampaikan pada pasangan muda yang diasuhnya.
Berbeda dengan BKKBN, Dinkes tidak menyukai momentum KB sebagai cara mempromosikan KB. Hal ini disebabkan target yang ditetapkan untuk momentum KB terlalu besar dan tidak seimbang dengan tenaga yang disediakan sehingga kualitas pelayanannyadipertanyakan. Jika terjadi komplikasi, yang harus bertanggung jawab adalah Dinkes, sementara sulit melacak siapa yang melakukan pelayanan KB sebelumnya.
Dalam melakukan momentum KB, BKKBN sering bekerjasama dengan IBI untuk tenaga pelayanannya tanpa memberitahukan Dinkes. Padahal tenaga yang ikut serta dalam momentum KB banyak pula yang berasal dari bidan Puskesmas. Akibatnya, hal ini mengganggu pelayanan di Puskesmas. Hal lain yang sering menjadi masalah di lapangan adalah sering ditolaknya masyarakat yang telah dimotivasi oleh PLKB untuk ikut datang dalam acara momentum KB. Masyarakat ini harus ditolak oleh bidan karena tidak terpenuhinya persyaratan medis. Dengan waktu yang sangat sempit dan jumlah pasien yang banyak, screeningdalam momentum KB ini juga menjadi pertanyaan; apakah masih ada waktu untuk melakukan screening kesehatan sebelum melakukan pelayanan KB.
Untuk mempromosikan KB, BPPKB memiliki website sendiri dan membuat buku tentang KB untuk 10 ribu dasa wisma.Dikaitkan dengan tupoksinya, BPPKB juga membuat permainan simulasi KB yang responsif gender. Konseling KB
Salah satu standar mutu yang telah ditetapkan adalah konseling KB. Sebelum memutuskan untuk menjadi akseptor KB, pasien perlu dikonseling oleh bidan untuk mendapatkan penjelasan mengenai metode yang dipilih. Secara prosedur, prinsip cafetaria seharusnya dilaksanakan, dimana pasien setelah mendapatkan penjelasan, dapat memilih metode apa yang
23
paling cocok menurut pasien. Namun hal ini hanya terjadi di atas kertas. Di lapangan hal ini sulit diterapkan karena jenis alat kontrasepsi yang terbatas. Jika alat kontrasepsi yang dipilih tidak tersedia, masyarakat pada umumnya masih banyak yang sulit untuk membayar sendiri. Konseling juga diperlukan untuk mengantisipasi keluhan yang akan terjadi. Keluhan banyak terjadi jika pasien memilih metode non-MKJPdimana alat kontrasepsi metode ini mengandung hormon, sedangkan MKJP sendiri belum terlalu populer di masyarakat.
Walaupun secara prosedur bidan seyogyanya melakukan konseling terutama pada pasien baru, namun petugas kesehatan mengharapkan agar PLKB yang merupakan motivator KB di masyarakat dapat lebih banyak memberikan penjelasan. Kadang-kadang terjadi konflik antara PLKB dan bidan. Beberapa kasus terjadi dimanacalon akseptor baru yang dibawa oleh PLKB ditolak oleh bidan karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Untuk mengatasi hal ini,Dinkes mengikutsertakan PLKB dalam pelatihan-pelatihan sehingga PLKB lebih memahami persyaratan kesehatan yang perlu diperhatikan untuk metode kontrasepsi tertentu.
B.8. Pencatatan dan pelaporan
Ada dua sistem pencatataan terkait KB: dari BKKBN dan dari Dinkes. Sistem pencatatan dari BKKBN lebih rinci dibandingkan dari Dinkes. Dinkes melaporkan peserta KB aktif, namun tidak sampai menghitung unmet need. Dinkes lebih memfokuskan pada efek samping dan komplikasi. Sementara BKKBN memiliki pencatatan tentang KB yang lebih rinci karena fokusnya memang hanya pada kependudukan dan KB. Angka peserta KB aktif yang dikeluarkan Dinkes kerap berbeda dengan angka yang dikeluarkan dari BKKBN. Sebab dalam kohort ibu, akseptor baru didefinisikan sebagai yang pertama kali menggunakan KB, sementara sebagian PLKB mempersepsikan, akseptor baru adalah penggunaan alat kontrasepsi yang baru, sehingga pasangan yang mengganti cara juga dihitung sebagai akseptor baru. Hal ini tentu saja menyebabkan adanya dua versi pencatatan dengan angka yang berbeda.
Untuk memperbaiki kualitas pencatatan, dua bulan yang lalu BKKBN menyelenggarakan pelatihan bagi bidan di desa untuk mengisi formulir KB yang baru. Target dari pusat dibagi untuk KB pasca persalinan atau pergantian dari non-MKJP ke MKJP. BKKBN akan memberikan insentif bagi bidan untuk pengisian formulir tersebut. Kurangnya koordinasi dengan Dinkes menyebabkan ketidaknyamanan, belum lagi jika insentif pengisian formulir hanya bersifat insidentil, maka hal ini akan menyulitkan Dinkes Provinsi.
Untuk memantau program KB, mekanisme pemantauan yang dilakukan oleh Dinkes dilakukan setiap tiga bulan sekali. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut, dilakukan validasi data serta pemberian umpan balik bagi Puskesmas. Untuk mekanisme pemantauan dilakukan juga umpan balik bulanan dari BPPKB di tingkat kecamatan. Hal ini perlu dilakukan karena kualitas pelaporan dari PLKB masih harus di tingkatkan.
24
4.2 Kabupaten Kediri A.
Pendahuluan
A.1. Cakupan program Keluarga Berencana (KB) dan permasalahannya Cakupan KB, angka penggunaan kontrasepsi dan unmet need di kabupaten Data Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Kediri adalah 1.499.768 jiwa, dengan angka kelahiran (Total Fertility Rate/TFR) sebesar 2,3, yang berarti ratarata satu perempuan memiliki 2-3 orang anak. Angka kelahiran di Kabupaten Kediri sama dengan angka kelahiran di Provinsi Jawa Timur, berdasarkan laporan awal Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2012) dan sedikit lebih rendah dibandingkan angka kelahiran di tingkat nasional (2,6). Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Kediri sebesar 0,64, lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Jawa Timur (0,76) dan di tingkat nasional (1,49), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.2. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPKB) Kabupaten Kediri menunjukkan bahwa dari 304.111 Pasangan Usia Subur (PUS), 76% telah menggunakan kontrasepsi modern. Walaupun angka penggunaan kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate) ini lebih tinggi dibandingkan angka di Provinsi Jawa Timur (62%) dan bahkan di tingkat nasional (58%), hasil wawancara dengan pemangkukepentingan dari Dinas Kesehatan (Dinkes) danBPPKB menyebutkan bahwa penurunan angka kelahiran belum terlihat di Kabupaten Kediri dalam beberapa tahun terakhir. Angka unmet need sebesar 11% juga mengindikasikan masih diperlukannya peningkatan upaya promosi dan penjangkauan pelayanan KB dalam meningkatkan penggunaan kontrasepsi di Kabupaten Kediri. Lebih lanjut, CPR, unmet need dan TFR disajikan di Tabel 4.2 berikut. Tabel 4.2 CPR, unmet need, TFR dan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Kediri Total Fertility Rate (TFR)
Laju pertumbuhan penduduk Pasangan Usia Subur
Contraception Prevalence Rate (CPR) Unmet need
Kediri
Jawa Timur
Nasional
2,271)
2,33)
2,63)
0,641)
0,762)
11%1)
10,13)
304.111
Usia kawin pertama
76%1)
--
62,43)
L: 26,6 P: 22,0
1,492) --
57,9%3) 11,4%3) P: 19
Sumber: 1Sensus Penduduk 2010-BPS, Rakerda 2013-BPPKB, 2BPS (Sensus Penduduk 2010); 3) Survei Demografi Kesehatan Indonesia, 2012
Penerimaan program KB di masyarakat Kabupaten Wawancara dengan informan dari Dinkes dan BPPKB Kabupaten Kediri menunjukkan secara umum tidak ditemukan lagi hambatan besar dalam sosialisasi program KB di masyarakat. Perkembangan ini nampak dari tahun ke tahun, ketika masyarakat semakin menyadari akan pentingnya pelayanan KB untuk kesejahteraan keluarganya. Informan dari tingkat kabupaten juga menyatakan bahwa masyarakat kini dengan sukarela mencari pelayanan KB.
Penggunaan alat kontrasepsi dilaporkan masih didominasi oleh non-MKJP, terutama alat kontrasepsi suntik (52%). Pada kelompok masyarakat tertentu, misalnya mereka yang berasal dari daerah pesantren, walaupun tidak menolak program KB, namun mereka hanya
25
menginginkan jenis non-MKJP seperti pil dan suntik. Bagi sebagian masyarakat, tindakan pemasangan MKJP dianggap tidak praktis karena memerlukan tindakan yang invasif, bahkan operasi untuk MOW dan MOP. Selain itu, terdapat anggapan bahwa pemasangan MKJP bertentangan dengan ajaran agama karena perlu menunjukkan aurat, atau pandangan bahwa kondisi akseptor MKJP "tidak suci" karena adanya benda asing di dalam tubuh. Hasil wawancara di tingkat kabupaten juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat tidak ingin menggunakan MKJP karena rasa takut terhadap tindakan invasif yang diperlukan saat pemasangan alat kontrasepsi atau saat operasi dilakukan dan berbagai rumor negatif yang beredar, misalnya kekhawatiran karena MKJP dapat menghambat ketika melakukan pekerjaan berat.
Walaupun penggunaan kontrasepsi masih didominasi oleh penggunaan non-MKJP, penerimaan dan penggunaan MKJP disebutkan oleh infoman semakin meningkat. Data BPPKB tahun 2012 menyebutkan bahwa 28% dari peserta aktif KB telah menggunakan MKJP. Informan BPPKB juga menekankan komitmen pemerintah besar dalam upaya promosi penggunaan MKJP; melalui berbagai terobosan termasuk penetapan target khusus bagi Kabupaten Kediri, di samping target yang ditetapkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dari tingkat pusat dan provinsi.Komitmen pemerintah yang besar juga tercermin dari diperolehnya penghargaan MURI, dengan capaian 659 MOW dalam waktu dua hari. Di samping itu, melalui dana APBD, pemeritah Kabupaten Kediri mengadakan pembelian alat kontrasepsi implan, walaupun hanya dalam jumlah kecil untuk mengantisipasi terjadi kekurangan alat kontrasepsi implan yang disediakan dari tingkat pusat melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini didasarkan pada animo masyarakat yang semakin tinggi terkait penggunakan alat kontrasepsi implan. Dengan terbentuknya kembali Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) KB di tingkat Kabupaten setelah mengalami peleburan pada tahun 2009, semakin banyak bermunculan program KB yang bersifat masal, seperti Safari KB dan pelayanan mobile (untuk MOW/MOP). Bekerja sama dengan berbagai instansi seperti TNI/Polri, program ini memberikan pelayanan KB untuk pemasangan MKJP secara gratis. Antusiasme masyarakat terhadap program ini terlihat jelas dengan banyaknya calon akseptor yang hadir saat pelayanan masal ini dilangsungkan.
Tingginya antusiasme dan penerimaan masyarakat untuk program KB juga terlihat pada penggunaan KB pasca-salin yang dicakup dalam program Jamninan persalinan(Jampersal). Di dalam program Jampersal ini, ibu yang baru melahirkan dapat memperoleh KB pasca salin secara gratis sampai 42 hari setelah persalinan. Walaupun relatif baru, informan dari RSUD Kabupaten Kediri menyebutkan telah ada sejumlah ibu bersalin yang menyetujui pemasangan KB pasca-salin dengan program Jampersal. Kecamatan
Wawancara mendalam yang dilakukan dengan pemangku kepentingan di Kecamatan Tarokan dan Pagu juga membenarkan informasi yang diperoleh di tingkat kabupaten. Tingkat penerimaan masyarakat terhadap pelayanan KB sudah semakin baik. Menurut petugas Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), kesadaran masyarakat akan kebutuhan kontrasepsi saat ini sudah baik, seperti tercermin dari tingkat keaktifan masyarakat di Kecamatan Pagu dan Tarokan. Di waktu lampau, program KB bergantung penuh pada keaktifan PLKB dalam melakukan kunjungan rumah untuk penjaringan akseptor. Sekarang ini, masyarakatlah yang secara aktif datang mencari pelayanan KB dari tenaga kesehatan. Menurut informan di kecamatan, tingginya kesadaran masyarakat tentang penggunaan KB juga didorong oleh keinginan masyarakat untuk menjarangkan dan membatasi jumlah anak sebagai akibat tingginya biaya hidup, termasuk kesehatan dan pendidikan anak. Besarnya penerimaan masyarakat untuk menggunakan pelayanan KB dapat dilihat pada tingginya pencapaian peserta KB aktif di kedua kecamatan tersebut. Dari PLKB kecamatandiketahui bahwa sekitar 75% dari jumlah PUS di Kecamatan Pagu dan 82% dari jumlah PUS di Kecamatan Tarokan telah menggunakan alat kontrasepsi modern. 26
Informan di Kecamatan Pagu menyebutkan bahwa non-MKJP, terutama suntik, sebagai alat kontrasepsi yang paling banyak peminatnya. Di Kecamatan Pagu, terdapat sebanyak 78% PUS menggunakan kontrasepsi suntik, 5% menggunakan pil dan hanya 17% yang menggunakan MKJP. Salah satu faktor yang disebutkan petugas Puskesmas dan PLKB di Kecamatan Pagu yang mempengaruhi tingginya penggunaan non-MKJP adalah penolakan kelompok masyarakat yang berasal dari daerah pesantren terhadap penggunaan MKJP. Penggunaan MKJP dianggap sebagai hal yang memutuskan atau menghindari kodrat untuk memiliki anak. Selain itu, adanya benda asing dalam tubuh juga dapat menodai kesucian, misalnya karena adanya benang IUD di jalan lahir. Selain itu, miskonsepsi adanya bahaya yang besar terkait penggunaan MKJP kerap ditemukan, terutama bila ada anggota keluarga diberitakan pernah mengalami hal yang tidak diinginkan, yang diasosiasikan dengan penggunaan MKJP. Pengguna alat kontrasepsi juga disebutkan cenderung mengelompok sesuai wilayah, misalnya pada masyarakat di suatu area tertentu semua cenderung menggunakan kontrasepsi suntik atau implan.
Sebaliknya, di Kecamatan Tarokan, persentase tertinggi penggunaan kontrasepsi adalah MKJP (40%), terutama IUD (26%), diikuti oleh kontrasepsi suntik (35%) dan pil (25%). Salah satu hal pendorong tingginya penggunaan MKJP di kecamatan ini adalah keaktifan masyarakat untuk mengikut berbagai program Safari dan mobile yang diselenggarakan oleh pemerintah. Menurut tenaga PLKB, berbagai upaya telah dilakukan untuk menyebarluaskan informasi terkait penyelenggaraan program masal secara gratis tersebut, sebagai upaya peningkatan cakupan program KB. Dukungan dan perhatian tokoh masyarakat di Kecamatan Tarokan, misalnya dalam menyediakan sarana transportasi bagi calon akseptor yang akan mengikuti program mobile MOW dan MOP di rumah sakit, juga disebutkan sebagai faktor pendorong tingginya penggunaan MKJP di daerah tersebut. Desa
Semakin baiknya penerimaan masyarakat terhadap pelayanan KB juga dikonfirmasi oleh masyarakat dari kedua desa studi. Secara umum, informan kepala desa, kader dan tokoh masyarakat menyebutkan masyarakat sudah semakin mengenalprogram KB dengan baik.Masyarakat semakin merasakan perlunya mengikuti progam KB karena berbagai faktor, termasuk untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dengan meningkatnya kesadaran mengenai pentingnya dan manfaat program KB, masyarakat pun dengan sukarela mencari pelayanan KB. "Kondisinya jelas sangat maju karena berangkat dari kesadaran. Banyak masyarakat kalau kemaren harus pakai sosialisasi,dipaksa-paksa..., kalau untuk saat ini tanpa dipaksa tanpa sosialisasi,dia sendiri sudah dapat ilmu dari mungkin dari orang tua dari teman untuk tentang program KB. Jadi gak harus dipaksa-paksakan gitu lho... Jadi berangkat dari kesadaran. Banyak seperti itu." (Kepala desa,Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
"Kalau di daerah sini sebenarnya warganya itu sudah banyak yang sadar, gak seperti dulu... Gak usah disuruh. Kalau ada yang program dari pemerintah apa itu gratis seperti implan, IUD, MOW atau MOP itu memang kadernya keliling, tapi kalau yang seperti.... Suntik yang pil itu kan kesadaran sendiri. Jadi kan warganya tuh sudah sadarlah masalah KB."(Kader KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri) "Kalau menurut ukuran saya, KB di daerah sini itu cukup berhasil..Dulu kayaknya orang itu cenderung untuk memperbanyak anak, tapi untuk sekarang kayaknya sadar dengan sedikit anak dengan kesejahteraan yang bagus."(Tokoh masyarakat, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
Salah satu manfaat program KB yang dirasakan oleh masyarakat desa termasuk untuk mencegah terjadinya kesulitan ekonomi di kemudian hari disebabkan banyaknya jumlah anak.
"...KB itu perlu...untuk mengatur... kehidupannya itu tidak terlalu sibuk, karena biasanya itu rumah tangga di desa kan kesulitan ekonomi, nanti kalau ditambah punya anak lagi, sudah punya anak [tapi] belum kerja kan repot. Jadi akhirnya orang-orang sini setelah menikah... banyak yang belum
27
punya anak dulu.Ada yang [ingin] punya anak, tapi ya tidak banyak, satu atau dua...sudah KB."(Tokoh masyarakat, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
A.2. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) versus Jangka Pendek (non-MKJP) Kabupaten - Kecamatan Proporsi PUS yang menggunakan kontrasepsi di Kabupaten Kediri dapat dilihat pada Tabel 4.3 di bawah ini. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, penggunaan kontrasepsi di Kabupaten Kediri masih didominasi oleh non-MKJP, terutama suntik dan pil. Walaupun demikian, persentase penggunaan MKJP di Kabupaten Kediri lebih tinggi dibandingkan Provinsi Jawa Timur dan nasional seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4.3 berikut ini. Persentase penggunaan IUD di Kabupaten Kediri juga dilaporkan tiga kali lipat persentase penggunaan IUD di Jawa Timur dan empat kali lipat persentase penggunaan IUD di Indonesia. Tabel 4.3 Cakupan KB berdasarkan jenis kontrasepsi di Kabupaten Kediri Jenis kontrasepsi Non-MKJP1)
MKJP1)
Kediri2)
Jawa Timur3)
Nasional3)
Pil
19.3*
14.7
13.6
IUD
15.4*
Suntik
Kondom Implan MOW MOP
52.0 1.1* 5.5* 6.4* 0.3*
34.7 1.3 3.1
31.9 1.8 3.3
5.0
3.9
3.5
3.2
0.3
0.2
Sumber:1Persentase dari jumlah total PUS; 2Rakerda 2013-BPPKB, 3Survei Demografi Kesehatan Indonesia
Hasil wawancara mendalam dengan pemangkukepentingan di Kabupaten Kediri menunjukkan beberapa faktor melatarbelakangi tingginya penggunaan non-MKJP di Kabupaten Kediri, seperti yang dirangkum pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Anggapan masyarakat menurut informan tentang MKJP dan non-MKJP di Kabupaten Kediri Faktor
Cara pemasangan
Efek samping dan kenyamanan Akses dan keterjangkauan
Kepercayaan
Kegagalan
Non-MKJP
MKJP
Lebih sederhana dalam pemasangan
Lebih sulit dalam pemasangan, rasa malu Rasa malu terutama untuk IUD dan operator laki-laki
Lebih murah (dalam jangka pendek)
Gampang diperoleh, mis. pil
Lebih mahal (karena pemasangan pertama biaya cukup tinggi) Hemat untuk jangka waktu panjang Tidak semudah non-MKJP, terutama pil
Kemungkinan terjadinya kegagalan lebih besar
Kemungkinan terjadinya kegagalan lebih kecil
Tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari
Tidak bertentangan dengan agama
Khawatir mengganggu pekerjaan seharihari
Larangan agama, lebih memilih alat kontrasepsi yang non-MKJP Lebih berbahaya – alat kontrasepsi bisa berjalan Mengganggu kenyamanan
28
Secara umum, menurut informan di tingkat kabupaten masih dijumpai banyak miskonsepsi yang terjadi terkait penggunaan MKJP, termasuk akseptor MKJP dilarang untuk melakukan pekerjaan fisik yang berat (contoh: akseptor implan tidak akan kuat lagi mengangkat barang berat) atau alat kontrasepsi yang dapat "berjalan-jalan" atau "berpindah tempat" ke bagian tubuh yang lain (contoh: IUD dapat berpindah ke perut). Menurut informan bidan disalah satu kecamatan wilayah studi, di waktu yang lampau terjadi kasus kanker rahim pada salah satu akseptor IUD.Hal ini memicu penyebaran rumor bahwa IUD-lah yang menjadi penyebab terjadinya kanker. Dengan kejadian ini, para akseptor IUD meminta petugas kesehatan untuk melepas IUD yang digunakan. Dengan usaha yang keras dari petugas kesehatan untuk memberikan penjelasan dan peyuluhan hal ini perlahan mulai teratasi.
Selain itu, perlunya tindakan yang lebih invasif dalam pemasangan MKJP dan pandangan sebagian masyarakat bahwa MKJP bertentangan dengan ajaran agama Islam juga menjadi salah satu alasan keengganan menggunakan MKJP. Walaupun sebenarnya dalam jangka panjang penggunaan MKJP akan lebih efisien, namun biaya yang dibutuhkan untuk pemasangan MKJP yang pertama kali jauh lebih besar dibandingkan non-MKJP. Hal ini dianggap sebagai salah satu faktor penghambat bagi masyarakat yang tidak memiliki jaminan perlindungan kesehatan. Desa
Temuan di tingkat kabupaten dan kecamatan juga dikonfirmasi kepada tokoh masyarakat di tingkat desa. Menurut informan kunci di tingkat desa, non-MKJP (pil dan suntik) masih merupakan pilihan utama masyarakat, dikarenakan berbagai faktor, termasuk kepraktisan, tidak diperlukannya tindakan invasif dan untuk jangka pendek dianggap murah. Kondom juga disebutkan sangat jarang penggunaannya di kalangan masyarakat. Walaupun non-MKJP masih menjadi pilihan utama, penggunaan MKJP disebutkan semakin meningkat seiring maraknya berbagai program masal KB seperti Safari KB. Implan dan IUD disebutkan merupakan salah satu metode kontrasepsi yang paling digemari oleh masyarakat, sedangkan MOW dan MOP masih dianggap bertentangan dengan ajaran agama.
"Ya steril itu kan ada [tapi] gak berani. MOW itu takut katanya nanti kalau untuk kerja berat kerasa gimana gitu. Yang menggunakan kadang cerita gitu.. [saya] ndak berani bu. Takut. Terus yang steril, yang MOW itu... katanya... nanti klo buat berhubungan itu ndak enak... Saya ya ndak pernah pakai. Saya cuman... tanya-tanya..." (Kader KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri) "... kalau yang implan sama IUD saya bisa memberi keterangan [penjelasan kepada masyarakat], kalau yang MOP [dan] MOW saya tidak bisa memaksa, kan alasannya haram untuk agama." (Kader KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
B.
Manajemen program Keluarga Berencana
B.1. Kebijakan dan alokasi anggaran terkait KB Kebijakan Terkait pengadaan alat kontrasepsi, alat kontrasepsi IUD dan kondom disediakan secara gratis oleh BKKBN Pusat kepada seluruh anggota masyarakat, sedangkan kontrasepsi pil, suntik dan implan disediakan secara gratis hanya kepada keluarga pra-sejahtera dan sejahtera I. Dari wawancara dengan BPKKB dan Dinkes Kabupaten Kediri diketahui adanya dukungan penuh pemerintah daerah melalui pengadaan alat kontrasepsi implan melalui dana APBD, walaupun dalam jumlah yang kecil (sekitar 100 unit). Pengadaan alat kontrasepsi ini didasarkan atas beberapa pertimbangan, termasuk semakin tingginya permintaan masyarakat akan kontrasepsi implan yang menyebabkan target penggunaan kontrasepsi implan sering terlewatkan dan sulitnya dilakukan perubahan alokasi jumlah alat kontrasepsi implan yang disediakan BKKBN dalam waktu singkat.
29
Dukungan pemerintah daerah bagi program kesehatan juga ditunjukkan melalui pembebasan tarif retribusi Puskesmas bagi seluruh penduduk Kabupaten Kediri yang dapat menunjukkan kartu. Apabila ada calon akseptor yang berasal dari keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang ingin menggunakan pelayanan KB, calon akseptor hanya perlu menunjukkan kartu Jamkesmas/Jamkesda atau Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) kepada staf Puskesmas untuk mendapatkan pelayanan secara gratis, termasuk untuk jasa, alat kontrasepsi dan bahan habis pakai. Bagi calon akseptor lainnya, diberlakukan Peraturan Daerah tahun 2011 untuk mengatur jasa dan barang habis pakai, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.5 berikut ini. Ada beberapa pengecualian pemberlakuan Perda, misalnya untuk IUD, dimana ditetapkan biaya tidak melebihi Rp.40,000,-. Tabel 4.5 Biaya jasa dan barang habis pakai untuk alat kontrasepsi sesuai Perda di Kabupaten Kediri Alat kontrasepsi
Harga sesuai Perda 2011 (Rp.)
MOW / MOP
450.000,-
Lepas IUD (oleh dokter umum)
200.000,-
Pasang IUD (oleh dokter umum) Pasang IUD (oleh bidan) Lepas IUD (oleh bidan) Pasang implan Lepas implan Suntik
175.000,125.000,125.000,150.000,200.000,35.000,-
Alokasi anggaran Perencanaan anggaran terkait program KB dilakukan secara "bottom-up". Masing-masing SKPD membuat rancangan anggaran yang akan diteruskan ke Bappeda untuk dikaji dan disesuikan dengan rencangan strategiskabupaten. Setelah melalui beberapa kali koordinasi dengan SKPD terkait, rancangan ini akan diajukan kepada Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten. Koordinasi di tingkat DPRD juga akan dilakukan dengan Bappeda, SKPD terkait dan parapemangkukupentingan, sebelum rancangan anggaran disahkan menjadi APBD Kabupaten. Informasi dari staf Dinkes dan BPPBK mengakui tidak ditemukannya masalah berarti dari proses pengusulan anggaran.
Informasi anggaran terkait KB diperoleh dari dua instansi utama di Kabupaten Kediri, (1) Badan Perlindungan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) di Bidang KB, dan (2) Dinkes Kabupaten Kediri. •
BPPKB Sekitar 60% (sekitar Rp. 2 Milyar) dana belanja langsung yang diterima BPPKB yang bersumber dari APBD diperuntukkan bagi program KB di Kabupaten Kediri, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.1 di bawah ini. Dana APBD yang diterima oleh Bidang KB di BPPKB dipergunakan antara lain untuk melaksanakan pelayanan mobile MOP dan MOW (target tahun 2013: 900 MOW dan MOP), Safari KB minimal 4x setahun, pengadaan unit implan dalam jumlah kecil, serta pembiayaan operasional PPKBD dan sub-PPKBD (satu PPKBD = Rp.10.000-15.000 per bulan; satu sub-PPKBD = Rp.7.500,- per bulan).
30
Selain itu, bidang KB juga menerima sekitar Rp. 1,1 Milyar dana bersumber APBN. Dana yang diterima secara umum dipergunakan untuk melaksanakan pelayanan KB dan sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK). Program dan kegiatan KB yang dilaksanakan dengan menggunakan dana APBN termasuk jasa medis pada pelayanan kontrasepsi KB, pelatihan CTU dan refreshing PLKB serta gaji PLKB dan fee untuk penjaringan akseptor saat Safari atau pelayanan mobile (untuk KIE implan dan IUD = Rp.25.000,-; MOW/MOP = Rp.100.000,-). Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
Sumber APBD (9.4 M)
Belanja Langsung (3.4 M)
Belanja Tidak Langsung (5.9 M)
Program KB (2 M) (60%)
Pelayanan KB (800 juta) (40%)
Sumber APBN (1.1 M)
DAK KB (1.2 M) (60%)
Gambar 4.1 Anggaran kegiatan KB di BPPKB Kabupaten Kediri
•
Dinas Kesehatan (Dinkes) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kediri pada tahun 2012 menerima dana APBD sebesar Rp. 72 Milyar (di luar anggaran yang diterima oleh rumah sakit) yang berarti sekitar 4,5% dari total APBD Kabupaten Kediri. Dibandingkan tahun 2011, terjadi penurunan alokasi anggaran dari Rp. 92 Milyar. Hal ini menyebabkan lebih tingginya proporsi APBD Dinkes untuk pembayaran gaji pada tahun 2012 (71%) dibandingkan tahun 2011 (52%), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Alokasi APBD bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri Total APBDKabupaten
Persentase alokasi APBD untuk Dinkes Alokasi gaji dari Anggaran Dinkes Anggaran Kesehatan per kapita 1 Belum
termasuk anggaran rumah sakit Sumber: Dinas Kesehatan Kab Kediri
2011
2012
1,5 T
1.7 T
92M (6.3%)1
(72 M) 4.5%1
129.000
67.2471
52%
71%
31
Jaminan kesehatan Bagi masyarakat yang mendapatkan Jamkesmas dan Jamkesda, semua pelayanan KB digunakan tanpa dipungut bayaran, termasuk untuk alat kontrasepsi, jasa medis dan barang habis pakai. Selain itu, masyarakat yang tidak mampu dapat menunjukkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk mendapatkan pelayanan gratis dari pihak Puskesmas.
Bagi mereka yang menggunakan Jampersal, pelayanan KB pasca salin diberikan secara gratis bagi ibu yang akan menggunakan alat kontrasepsi dalam 42 hari pertama setelah melahirkan. Hasil wawancara dengan pihak RSUD Kabupaten Kediri menyebutkan bahwa sudah semakin banyak masyarakat pengguna Jampersal di Kabupaten Kediri yang menggunakan KB pascasalin. Namun, juga tidak sedikit masyarakat yang pada awalnya telah setuju menggunakan KB pasca salin namun kemudian berubah pikiran setelah melahirkan dengan dalih tidak ada ketentuan yang mengharuskan ibu untuk menggunakan KB pasca-salin.
Dalam pembiayaan pelayanan kesehatan, yang menjadi permasalahan adalah bagi mereka yang berada di "grey zone", yaitu mereka yang tidak mendapatkan Jamkesmas/Jamkesda, bukan berasal dari golongan dalam rumah tangga Keluarga Pra-Sejahtera maupun Sejahtera I, namun kenyataannya tidak mampu membayar pelayanan KB terutama untuk menggunakan MKJP. Oleh karena itu, solusi yang diberikan dari BPPKB adalah dengan menjadikan masyarakat kelompok ini untuk pada saat pelayanan KB Safari. Hasil wawancara di tingkat desa menunjukkan bahwa masyarakat merasa sangat terbantu dengan pelayanan gratis di dalam skema jaminan kesehatan yang disediakan pemerintah, baik Jamkesmas, Jamkesmas maupun Jampersal.
"Gak ada keluhan terkait dengan masalah pembayaran untuk warga kami... kecuali kalau... harus dirujuk di rumah sakit, yang misalnya di bidan gak bisa dan harus dirujuk misalnya di rumah sakit swasta di klinik misalnya... Namun terkait dengan biaya di bidan,di rumah sakit yang terikat dengan kontrak Jampersal saya kira gak ada [masalah]." (Kepala Desa, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Walaupun pembiayaan kesehatan menggunakan Jamkesmas, Jamkesda maupun Jampersal telah diketahui secara luas, hasil studi menunjukkaninformasi bahwa pelayanan KB juga termasuk dalam skema pembiayaan ini masih belum diketahui oleh sebagian masyarakat, bahkan termasuk kader KB sendiri. B.2. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi
Mekanisme pengadaan Seperti yang diuraikan sebelumnya, pengadaan alat kontrasepsi dari BKKBNProvinsi disediakan untuk Keluarga Pra-Sejahtera dan Sejahtera I, kecuali kondom dan IUD yang memang diperuntukkan bagi seluruh anggota masyarakat. Jumlah alat kontrasepsi yang disediakan yang diberikan oleh BKKBN Provinsi kepada kabupaten didasarkan atas Perkiraan Permintaan Masyarakat (PPM) yang telah ditetapkan sebelumnya. Di Kabupaten Kediri, pengadaan implan dalam jumlah kecil juga dilakukan oleh BPPKB Kabupaten dengan menggunakan dana APBD. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kekurangan alat kontrasepsi implan akibat permintaan masyarakat yang tinggi terkait kontrasepsi implan.
Alat kontrasepsi dari BPPKB didistribusikan kepada klinik KB (termasuk Puskesmas dan rumah sakit) umunya melalui koordinator PLKB di tingkat kecamatan. Pendistribusian alat kontrasepsi dilakukan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh klinik KB dengan mengisi formulir yang tersedia. Di jalur Puskesmas, BPPKB akan menyerahkan alat kontrasepsi melalui PLBK kecamatan kepada Puskesmas induk, yang nantinya juga akan mendistribusikan alat 32
kontrasepsi tersebut kepada Pustu, Polindes atau Bidan Praktek Swasta (BPS). Di jalur rumah sakit, BPPKB akan menyerahkan alat kontrasepsi kepada rumah sakit dengan bantuan PLKB kecamatan setempat. Mekanisme distribusi alat kontrasepsi dapat dilihat pada Gambar 4.3. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemangku kepentingan di kabupaten dan kecamatan diketahui, bahwa sejauh ini tidak pernah terjadi kekurangan alat kontrasepsi.Bila Puskemas memperkirakan kemungkinan terjadinya kekurangan, maka langkah yang diambil adalah dengan meminjam terlebih dahulu dari Polindes atau Pustu, dan sebaliknya. Studi ini juga menegarai adanya beberapa masalah terkait distribusi alat kontrasepsi di masyarakat:
Pertama, pihak Dinkes sering tidak mengetahui jumlah dan jenis alat kontrasepsi yang didistribusikan oleh BPPKB kepada Puskesmas.Oleh karena itu, pihak Dinkes mengharapkan agar pada saat pengiriman alat kontrasepsi, Dinkes juga mendapatkan tembusan sehingga hal ini dapat terpantau oleh pihak Dinkes. Kedua, terjadi penjualan alat kontrasepsi pil secara bebas di apotek tanpa konsultasi tenaga kesehatan.Hal ini mengarah kepada terjadinya sejumlah efek samping pada akseptor pil yang sejak awal mungkin tidak indikasi untuk menggunakan pil KB.Wawancara dengan tenaga kesehatan di tingkat desa dan kecamatan menyebutkan terjadinya masalah penjualan pil KB secara bebas dengan harga yang murah oleh para pekerja di salah satu pabrik besar di Kabupaten Kediri.
Ketiga, ada beberapa masalah terkait kualitas alat kontrasepsi yang diberikan pihak BKKBN, seperti ukuran jarum yang lebih besar untuk alat kontrasepsi suntik dan kesulitan penggunaan alat insersi untuk kontrasepsi implan. Hal ini telah disampaikan kepada BPPKB kabupaten untuk ditindaklanjuti ke tingkat provinsi. BPPKB Kabupaten Kediri Petugas Lapangan KB
Rumah Sakit
Puskesmas Induk
Pustu
Bidan Praktek Swasta
Polindes
Keterangan: Jalur penyediaan (supply) alat kontrasepsi Jalur permintaan
Gambar 4.1 Jalur pengadaan dan permintaan alat kontrasepsi di Kabupaten Kediri
33
Pelayanan KB dan pembiayaannya Kabupaten dan kecamatan Pelayanan KB di Kabupaten Kediri terdiri atas pelayanan rutin dan non-rutin, seperti yang didiskusikan dibawah ini. •
Pelayanan rutin
Pelayananan KB sebagai pelayanan rutin di Kabupaten Kediri tersedia di seluruh fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit (pemerintah dan swasta), Puskesmas, Pustu, Polindes, dokter dan bidan praktek swasta dan klinik swasta. Berbagai macam alat kontrasepsi ditawarkan baik MKJP maupun non-MKJP. Hasil wawancara mendalam dengan bidan di kedua wilayah studi menunjukkan bahwa sebelum akseptor memutuskan memilih jenis alat kontrasepsi tertentu, berdasarkan prinsip cafetaria, bidan akan menjelaskan berbagai alat kontrasepsi yang tersedia, beserta kelebihan dan kekurangannya masing-masing, sebelum akhirnya diputuskan jenis alat kontrasepsi yang paling sesuai dengan keadaan calon akseptor. Pelayanan KB pemerintah tersedia di rumah sakit, Puskesmas, Pustu dan Polindes; sedangkan pelayanan KB Mandiri dapat diperoleh selain di fasilitas kesehatan yang mnenyediakan pelayanan KB pemerintah, juga di praktek swasta termasuk BPS.Menurut informan bidan di kedua wilayah desa studi, BPS hanya berusaha menyediakan pelayanan KB Mandiri. Bila ada masyarakat yang ingin menggunakan pelayanan KB pemerintah di tempat praktek swasta (di luar jam kerja Puskesmas), maka bidan akan menyarankan masyarakat untuk berkunjung ke Puskesmas pada hari dan waktu jam kerja Puskesmas. Pembagian ini dimaksudkan untuk memudahkan bidan dalam melaksanakan pelayanan KB dan menghindari terjadinya kesalahpahaman di masyarakat bahwa bidan menggunakan alat kontrasepsi BKKBN yang seharusnya gratis atau menggunakan alat kontrasepsi BKKBN bagi pasien yang mungkin tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Menurut informan bidan, sejauh ini tidak ditemukan adanya masalah dan hambatan dengan pembagian kerja tersebut.
Di Kabupaten Kediri, bidan merupakan tenaga utama dalam memberikan pelayanan KB kecuali MOW dan MOP yang hanya dapat dilakukan di rumah sakit oleh dokter yang sudah mengikuti pelatihan khusus. Hanya bidan yang telah mendapatkan sertifikat pelatihan Contraceptive Technology Update (CTU) yang dapat memberikan pelayanan KB. Untuk pelayanan KB pasca salin, hanya bidan yang telah mendapatkan pelatihan khusus KB Pasca-Salin yang diperbolehkan memberikan pelayanan ini. Bagi bidan yang belum mendapatkan pelayanan CTU, pelayanan hanya dapat diberikan di Puskesmas di bawah pengawasan dokter atau bidan lain yang telah mendapatkan sertifikat CTU. Menurut informan dari BPPKB, adanya Keputusan Menteri Kesehatan mengenai tidak diperbolehkannya bidan dalam melakukan pelayanan implan di tempat prakteknya telah menimbulkan berbagai pertanyaan dan kebingungan di lapangan. Walaupun demikian, pelaksanaan peraturan di Kabupaten Kediri ini sangat bervariasi. Bidan dari kedua desa wilayah studi ini berlangsung masih melakukan pemasangan implan di tempat praktek swastanya.
Seperti yang diuraikan di atas, pembiayaan pelayanan KB di Puskesmas diatur di dalam Perda Kabupaten Kediri tahun 2011, yang mencakup jasa dan bahan habis pakai. Berdasarkan informasi dari Dinkes Kabupaten, implementasi tarif Perda ini dilakukan secara bertahap. Sebagai contoh, berdasarkan informasi dari Dinkes Kabupaten Kediri, harga pelayanan KB di salah satu Puskesmas dapat dilihat pada Tabel 4.7. Bagi keluarga miskin, tidak dipungut bayaran apapun (termasuk untuk alat kontrasepsi, jasa dan bahan habis pakai). 34
Tabel 4.7 Biaya pelayananan KB di salah satuPuskesmas Kabupaten Kediri Tarif Perda (Rp.)
Harga di Puskesmas (Rp.)
Pasang IUD (oleh dokter umum)
175,000
45,000
Pasang IUD (oleh bidan)
125,000
40,000
Jenis pelayanan
Lepas IUD (oleh dokter umum) Lepas IUD (oleh bidan) Pasang implan Lepas implan
200,000 125,000 150,000 200,000
Suntik
Sumber: Dinas Kesehatan Kab Kediri
35,000
50,000 40,000 35,000 50,000 15,000
Harga pelayanan KB di BPS berbeda-beda untuk setiap daerah dan secara umum didasarkan atas kesepakatan bidan di wilayah tersebut.Berikut pada Tabel 4.8 adalah tarif pelayanan KB oleh BPS berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan di tingkat kecamatan dan desa. Tabel 4.8 Tarif pelayanan KB di Bidan Praktek Swasta Kabupaten Kediri Non-MKJP1)
MKJP1)
•
Jenis pelayanan
Tarif BPS (Rp.)
Suntik
17,000 s.d. 25000
Implan
200,000 s.d. 300,000
Pil
IUD
Pelayanan non-rutin
5,000
200,000 s.d. 200,000
Pelayanan KB non-rutin dilakukan di Kabupaten Kediri melalu berbagai cara seperti pelayanan Safari KB bagi calon penggguna akseptor MKJP dan pelayanan mobile bagi mereka yang ingin menggunakan metode operasi (MOW dan MOP). Pelayanan non-rutin ini dilakukan oleh BPPKB secara lintas sektor, bekerja sama dengan berbagai instansi termasuk BPPKB, Dinkes, IBI , TNI Polri, rumah sakit (swasta dan pemerintah), kelompok masyarakat seperti kader dan Program Kesejahteraan Keluarga (PKK), serta para pemimpin dan pemuka agama.
Pelayanan Safari biasanya dilakukan empat kali setahun, dilaksanakan serentak di seluruh Puskesmas dengan melibatkan petugas kesehatan setempat terutama bidan. Dalam pelayanan masal ini, pelayanan KB diberikan kepada masyarakat tanpa dipungut bayaran, baik untuk alat kontrasepsi, jasa maupun bahan habis pakai. Antusiasme masyarakat yang mengikuti pelayanan KB Safari dan mobile ini juga sangat tinggi. Menurut informan di tingkat kabupaten dan kecamatan, hal ini disebabkan karena tidak adanya pungutan untuk setiap pelayanan yang diberikan dan adanya rasa kebersamaaan dengan calon akseptor lainnya saat pelayanan berlangsung. Akseptor kegiatan Safari terbuka untuk semua orang, namun disarankan pelayanan difokuskan kepada kelompok masyarakat di "grey zone" yang tidak termasuk kelompok masyarakat miskin, namun dinilai tidak mampu untuk membayar pelayanan MKJP rutin. Pelayanan mobile disediakan bagi masyarakat yang ingin menggunakan MOW dan MOP.
35
Untuk kegiatan ini, BPPKB Kabupaten Kediri bekerja sama dengan RS pemerintah dan swasta menyediakan tempat dan tenaga pendukung. BPPKB bekerja sama dengan pihak TNI/Polri menyediakan alat kontrasepsi, bahan dan operator.
Dalam kegiatan masal ini, penjaringan akseptor dilakukan oleh PLKB bekerja sama dengan PPKBD (Petugas Pembantu Keluarga Berencana Desa) di tingkat desa, sub-PPKBD di tingkat dusun dan petugas kesehatan di desa dan kecamatan. Kerjasama yang erat juga diperlukan dengan perangkat desa dan para tokoh masyarakat. Kerjasama ini penting dalam menyebarluaskan informasi pelayanan masal maupun dalam memfasilitasi calon akseptor untuk mendapatkan pelayanan KB, misalnya dengan menyiapkan kendaraan bagi mereka yang perlu mengunjungi rumah sakit yang letaknya jauh dari wilayah tempat tinggal. Selain kegiatan masal yang sering dilakukan, pemerintah Kabupaten Kediri pernah melakukan kegiatan Grebeg Pasar. Kegiatan ini berhasil menjaring 50 akseptor, namun akhirnya dihentikan karena alasan etika.
Desa
Menurut informan di tingkat desa, ketersediaan alat kontasepsi bukan merupakan suatu masalah. Berbagai alat kontrasepsi KB telah tersedia. Dalam mengakses layanan KB, sebagian besar mengakui menggunakan pelayanan KB yang diberikan oleh BPS yang menyedikan layanan di wilayah sekitar desa. Beberapa faktor yang disebutkan berkaitan dengan tingginya penggunakan pelayanan KB yang disediakan oleh BPS termasuk: (1) akses yang mudah karena BPS berdomisili di area kawasan akseptor tinggal; (2) biaya pelayanan yang cukup terjangkau, (3) kenyamanan karena tidak perlu mengantri lama sepertinya yang sering terjadi di Puskesmas; dan (4) fleksibilitias waktu karena dapat melakukan kunjungan ke bidan setelah menyelesaikan pekerjaan di luar rumah tanpa terikat waktu kerja Puskesmas yang biasanya hanya pagi sampai dengan siang hari.
Keterlibatan pemangku kepentingan, misalnya tokoh masyarakat dan tim penggerak PKK di tingkat desa juga menjadi salah satu hal yang disebutkan informan dari kedua wilayah studi. Di Desa Tarokan, Kecamatan Tarokan, informan dari desa menyebutkan bahwa penyuluhan KB dilakukan pada hampir setiap kesempatan termasuk melalui pertemuan-pertemuan desa dan kegiatan pengajian. Penyuluhan tentang KB juga telah sering dilakukan melalui pelayanan Posyandu. Sebaliknya, salah seorang informan di Desa Semanding, Kecamatan Pagu menyebutkan program KB kurang menjadi prioritas di tingkat desa. Kegiatan sosialisasi dan koordinasi yang dilakukan di tingkat desa, yang melibatkan pemimpin desa dinilai masih kurang. "Mungkin, kalau di desa sebenarnya masyarakatnya kan SDM-nya, kalau di desa sini lho SDM-nya memang agak rendah, jadi memang perlu... Sosialisasi, perlu penyuluhanlah, sering-sering, ya lha gitu...kurangnya koordinasi lah dari ibu-ibu itu..." (Kepala Desa, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
"... ndak pernah seperti kades-kades itu di ajak musyawarah tentang KB. Kan seharusnya ya... agar program KB itu bisa [berjalan], kan kita bisa [diajak] sosialiasi atau koordinasi..." (Kepala Desa, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
B.3.
Sumber daya manusia
Jumlah tenaga Sektor Keluarga Berencana Di sektor KB, tenaga lapangan di Kabupaten Kediri dapat dilihat pada Tabel 4.21 Jumlah tenaga PLKB masih tergolong minim. Idealnya, seorang PLKB bertanggungjawab terhadap satu hingga dua desa (Tabel 4.9). Namun di Kabupaten Kediri, rata-rata satu tenaga PLKB masih menangani
36
tiga sampai empat desa. Di salah satu kecamatan di Kabupaten Kediri, satu orang PLKB bertanggungjawab bahkan untuk 13 desa.
Tabel 4.9 Tenaga lapangan KB di Kabupaten Kediri Tingkat
Kecamatan
Desa Dusun
Petugas
Wilayah kerja ideal
Koordinator Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB)
Membawahi 1 kecamatan
PPKBD (Petugas Pembantu KB Desa)
Membawahi 1 desa
PLKB
Sub-PPKBD
Membawahi 1-2 desa (idealnya)
Membawahi 1 atau lebih dusun
Informan dari BPPKB menyebutkan sulitnya mendapatkan dan mempertahankan tenaga PLKB yang baik dan berkualitas karena sering dipindahkan ke bagian struktural. Akibatnya, sering terjadi kekurangan tenaga lapangan yang berkualitas. Studi ini menengarai pentingnya peningkatan keahlian manajerial dari PLKB untuk mengkoordinir PPKBD and sub-PPKBD. Walaupun jumlah PPKBD dan sub-PPKBD sudah dinilai cukup, belum seluruhnya memiliki kompetensi yang memadai. Sektor kesehatan
Di sektor kesehatan, walaupun dokter dan bidan merupakan ujung tombak pelayanan KB bagi masyarakat, tenaga penyedia layanan KB yang utama adalah bidan. Di Kabupaten Kediri, seluruh desa disebutkan telah memiliki minimal seorang bidan desa. Meskipun demikian, belum semua bidan mendapatkan pelatihan yang memampukan mereka untuk memberikan pelayanan KB secara mandiri, tanpa pengawasan dokter atau bidan yang terlatih. Pelatihan
Bagi para penyedia pelayanan KB, beberapa pelatihan yang diselenggarakan termasuk: a.
b.
c.
Contraceptive Technology Update (CTU) Hanya tenaga kesehatan yang dinyatakan selesai mengikut pelatihan ini dan mendapat sertifikat CTU yang diperbolehkan untuk memberikan pelayanan KB. Kegiatan pelatihan dilaksanakan oleh tenaga independen (P2KP – Pusat Pelatihan Klinik Primer di tingkat kabupaten) selama lima hari, ditambah praktek pemasangan IUD sebanyak lima kasus dan implan sebanyak lima kasus. Peserta yang mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh BKKBN tidak dipungut bayaran. Bagi mereka yang mengikuti pelatihan mandiri, diharuskan membayar sekitar Rp.1,000,000,- hingga Rp.1,500,000,-. Secara umum, sebagian besar bidan telah mengikut pelatihan ini. Bidan yang belum biasanya adalah bidan yang baru menyelesaikan pendidikan kebidanannya.
Alat Bantu Pengambil Keputusan (ABPK) Pelatihan diselenggarakan selama kurang lebih tiga hari. Pada pelatihan ini, peserta secara khusus dilatih untuk melakukan konseling dengan menggunakan alat bantu (flip chart) yang telah tersedia. Tidak semua bidan mendapatkan pelatihan ABPK.
KB Pasca Salin Pelatihan KB pasca salin baru saja mulai dilaksanakan di Kabupaten Kediri dan diikuti oleh sebagian kecil bidan, terutama bidan di rumah sakit. 37
d.
Reporting and recording (RR) Pelatihan ini dilaksanakan oleh BKKBN kepada petugas Puskesmas yang bertanggung jawab dalam pencatatan dan pelaporan data yang berhubungan dengan pelayanan KB di Puskesmas dan unit kesehatan di wilayahnya.
Bagi PLKB dan BPPKB juga diselenggarakan pelatihan penyegaran walaupun masih dalam jumlah yang terbatas, yakni satu kali dalam dua tahun. PLKB dapat mengikuti pelatihan ini bergantian.
B.4. Kerjasama antar instansi Instansi pemerintah
Instansi pemerintah terkait KB di Kabupaten Kediri mencakupDinkes, BPPKB Pemerintah Daerah danTim Penggerak PKK dengan peran dan fungsi yang berbeda-beda. Dinkesberperanterutama melalui bidan sebagai penyedia berbagailayanan KB sedangkan BPPKBberperan dalam pengadaan alat kontrasepsi dan mendorong sisi demand untuk mempergunakan pelayanan. Perpanjangan tangan BPPKB di tingkat kecamatan adalah PLKB yang dikoordinir oleh seorang koordinator PLKB; dan di tingkat desa dan dusun adalah PPKBD dan sub-PPKBD. Para petugas ini bekerja setiap hari berdasarkan PPM (Perkiraan Permintaan Masyarakat) yang sudah ditetapkan dari kabupaten.
Dalam program KB, tim penggerak PKK berperan dalam mendukung sisi demand. Dalam kegiatan pleno PKK yang rutin diadakan setiap bulan, kader PKK dan para pemangku kepentingan yang juga adalah peserta pleno akan mendapatkan penjelasan dan penyuluhan dari berbagai SKPD, termasuk Dinkes dan BPPKB yang juga menjelaskan tentang program dan upaya promosi KB. Sekarang ini disebutkan terdapat berbagai program PKK yang terkait dengan KB. Melalui tim penggerak PKK dari tingkat kecamatan sampai desa, kader PKK dapat menjangkau masyarakat sampai ke daerah yang terpencil.
Di tingkat kabupaten, koordinasi antara BPPKB, Dinkes dan Pemerintah Kabupaten Kabupaten Kediri sudah dinilai sudah cukup baik oleh informan dari masing-masing instansi tesebut. Namun diakui oleh para informan bahwa belum ada koordinasi yang bersifat rutin, melainkan koordinasi yang lebih insidential, terutama terkait kegiatan masal seperti pelaksanaan Safari atau pelayanan mobile. Kerjasama antar BPPKB dan Dinkes juga terjalin baik dalam rangkaian kegiatan pelatihan bagi tenaga kesehatan, misalnya pada pelatihan CTU. Di tingkat kecamatan, koordinasi antar bidan dan petugas KB di daerah studi secara umum dinilai cukup baik. Beberapa bentuk kerjasama antara bidan dan PLKB yang terjadi termasuk kunjungan rumah oleh PLKB untuk keperluan konseling kepada akseptor sebelum dilakukan pemasangan kontrasepsi oleh bidan. Kunjungan rumah oleh PLKB juga dilaksanakan pascapelayanan MOP dan MOP. Bila ada keluhan, akseptor akan dirujuk ke petugas kesehatan terdekat. Kerjasama bidan dan PLKB juga terjadi secara rutin dalam pelaporan data bulanan terkait pelayanan KB. Selain itu, PLKB memainkan peran yang sangat vital dalam pendistribusian alat kontrasepsi dari BPPKB ke Puskesmas. PLKB juga berperan sebagai penyambung tangan BPPKB dalam membayarkan insentif kepada bidan yang telah melakukan pelayanan MKJP.
Seperti yang diuraikan sebelumnya, jumlah tenaga PLKB yang masih minim menjadi kendala, mengingat beban kerja PLKB yang sangat besar di lapangan. Informan dari BPPKB dan Dinkes juga menyebutkan adanya permasalahan permintaan data yang kadang terjadi antara bidan dan PLKB ataupun insentif yang tidak terbayarkan tepat waktu. 38
Sektor swasta Selain sektor pemerintah, sektor swasta juga memainkan peranan penting dalam keberhasilan program KB. Di Kabupaten Kediri, RS swasta berperan dalam pelaksanaan pelayanan Safari serta pelayanan mobile MOW dan MOP dalam menyediakan tempat dan tenaga. Di samping itu, pihak TNI/Polri juga disebutkan oleh informan telah secara aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan massal di Kabupaten Kediri.
Walaupun jumlah perusahaan swasta di Kabupaten Kediri cukup banyak, informan dari tingkat kabupaten menyebutkan bahwa belum pernah dilakukan kerjasama dengan perusahaan swasta melalui skema Corporate Social Responsibility(CSR). Saat studi dilakukan BPPKB Kabupaten Kediri sedang berusaha melakukan kerjasama dengan perusahaan swasta seperti APACHE (perusahaan rokok) agar memiliki klinik yang juga menyediakan pelayanan KB. B.5. Menciptakan kebutuhan Promosi program
Promosi program KB sebagai upaya untuk menciptakan kebutuhan ber-KB gencar dilakukan bagi masyarakat di Kabupaten Kediri, baik dari pihak BPPKB maupun Dinkes. Kegiatan promosi dilaksanakan mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, sampai desa, melalui pendekatan individual maupun berkelompok. Pendekatan individual dilakukan misalnya melalui kunjungan rumah untuk memberikan penyuluhan bagi calon akseptor atau saat calon akseptor berkunjung ke fasilitas kesehatan dan Posyandu. Pendekatan berkelompok biasanya dilakukan pada pertemuan di dalam masyarakat sepertidalam arisan dan pengajian dimana tenaga kesehatan, PLKB dan jajarannya, pengurus PKK dan tokoh masyarakat diundang untuk memberikan penyuluhan. Bagi kelompok masyarakat yang tinggal di daerah Pesantren, upaya pendekatan dilakukan dengan bantuan pemuka agama setempat.
Penyuluhan KB dilakukan oleh PLKB, PPKBD dan sub-PPKBD, petugas kesehatan seperti bidan Puskesmas, bidan desa dan kader PKK. Di Kabupaten Kediri, kegiatan pengecetan genteng (mural) menjadi salah satu upaya promosi KB yang bertujuan untuk rangka meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai manfaat KB bagi masyarakat. Selain itu, menurut informan dari BPPKB, upaya pemutaran film untuk promosi KB pernah dilakukan, namun dinilai tidak terlalu banyak digemari dan tidak tepat sasaran, karena lebih lebih banyak dihadiri oleh kelompok anak-anak. Upaya penjaringan akseptor juga secara aktif dilakukan sebelum dimulai kegiatan Safari KB atau pelayanan mobile. Bekerja sama dengan petugas kesehatan, PLKB dibantu oleh kader Posyandu dan kader KB seara aktif melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan KB dengan menggunakan MKJP yang diberikan secara gratis. Untuk meningkatkan semangat dan kinerja petugas KB di lapangan, insentif disediakan bagi PLKB/PPKBD/sub-PPKBD yang dapat menyediakan akseptor. Untuk meningkatkan minat masyarakat melakukan MOW dan MOP, disediakan sembako bagi peserta MOW dan insentif bagi peserta MOP untuk mengkompensasi waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan pasca operasi (karena tidak bisa bekerja).
Kegiatan promosi KB juga dilakukan dengan pengecatan genteng "Dua Anak Cukup" (Mural). Di salah satu kecamatan tempat studi ini dilakukan, menurut informasi dari koordinator PLKB kecamatan, sekitar 15 genteng yang telah dicat, termasuk kantor kepala desa, taman kanakkanak, rumah guru dan rumah PLKB. Promosi KB juga dilakukan melalui pemutaran film dengan tema KB serta dengan menggunakan mobil penerangan saat dilakukannya kegiatan Grebeg Pasar.
39
Konseling KB Konseling KB dilakukan secara personal pada saat kontak dengan petugas kesehatan atau PLKB. Konseling dapat dilakukan dalam bentuk kunjungan rumah (biasanya oleh PLKB) atau saat akseptor atau calon akseptor berkunjung ke fasilitas kesehatan dan Posyandu (oleh petugas kesehatan).
Informan bidan dalam studi ini menyebutkan bahwa upaya promosi program KB dan alat kontrasepsi oleh bidan selalu dilakukan, salah satunya adalah dengan menerapkan prinsipcafetaria dengan cara menawarkan pilihan cara KB terlebih dahulu. Untuk calon akseptor, pemilihan kontrasepsi dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, termasuk keadaan umum pasien, keadaan klinis dan psikologis, jumlah anak dan keinginan pasien. Namun menurut bidan yang diwawancara dalam studi ini, calon akseptor ketika datang ke fasilitas kesehatan pada umumnya telah memiliki keinginan untuk menggunakan alat kontrasepsi tertentu. Dalam melakukan konseling, bidan yang telah mengikuti pelatihan ABPK diharapkan menggunakan lembar balik (flip chart) yang dianggap sangat membantu dalam proses konseling. Di Kabupaten Kediri, belum semua bidan mengikuti pelatihan ABPK dan memiliki lembar balik. Bagi mereka yang tidak memiliki lembar balik, konseling biasanya dilakukan dengan menunjukkan langsung berbagai alat kontrasepsi. Konseling ini diberikan baik kepada calon akseptor maupun akseptor aktif untuk memastikan kunjungan tepat waktu terutama pada peserta yang menggunakan non-MKJP. C.
Pendapat masyarakat
C.1. Sikap masyarakat Sikap pasangan usia subur Akseptor KB Diskusi kelompok terfokus dengan PUS di kedua wilayah studi ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat telah memiliki sikap yang positif terhadap program KB. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, semakin banyak masyarakat yang mengetahui manfaat dan keuntungan ber-KB dan dengan sukarela menggunakan kontrasepsi KB tanpa adanya paksaan dari pihak lain. "... KB pertama itu kebanyakan... menolak semua, karena belum tahu. Dulu 2 per 3 orang itu masih banyak yang menolak. Kalau sekarang, … tidak didatangi sudah mendaftar sendiri. Alasannya ya untuk mengatur… jarak kelahiran anak... supaya anak itu agak jarang dan penghasilan pun bisa banyak..." (Bapak KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Salah satu motivasi utama masyarakat ber-KB adalah untuk memperbaiki dan mencegah terjadinya permasalahan ekonomi keluarga. Informan juga mengungkapkan pentingnya ber-KB untuk mencapai kebahagiaan keluarga dan terpenuhinya kebutuhan anak, terutama dalam kebutuhan pendidikan. "Yang ber-KB itu hidupnya gak kesusahan. Kalau gak pake KB kan anaknya banyak dan kebutuhannya juga banyak." (Bapak KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
"KB itu yang jelas ujung-ujungnya masalah ekonomi, masalahnya misalnya anaknya tidak banyak kan kita bisa kerja...ya kan..." (Bapak KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri) "Pokoknya saya ikut KB itu biar gak punya anak lagi. Bisa mengatur ekonomi, biaya pendidikan sekolah itu biar apa yang di ingini anak bisa tercapai. Yang penting bisa membiayai pendidikan itu lho." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
40
"Kalau menurut orang tua saya itu ... ngopeni anaklah,memelihara anak itu kan juga bisa terpenuhi keinginannya gitu. Kalau anaknya sedikit kan bisa membuat kebahagiaan anak itu tadi." (Bapak KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Non-akseptor KB Diskusi bersama pasangan usia subur yang tidak ber-KB juga dilakukan di kedua wilayah studi. Selain alasan untuk mendapatkan anak, beberapa faktor yang melatarbelakangi masyarakat untuk tidak menggunakan KB dapat dikelompokkan dalam beberapa komponen sebagai berikut: a.
Efek samping dan masalah kesehatan yang mungkin timbul
Beberapa informan menyebutkan kemungkinan terjadinya efek samping dan berbagai gangguan kesehatan yang mungkin timbul sebagai akibat penggunaan alat kontrasepsi. Hal ini mendorong mereka untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun. "Alasanya istri saya itu kalau pakai alat-alat seperti itu, takut kegemukan. Menstruasi ngga begitu lancar, akhirnya ya memutuskan gak pakai KB." (Bapak non-KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri) "Kalau aku..., gak ikut KB, tapi takut [di]suntik, pusing, gemuk." (Ibu non-KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri) "Waktu [dulu] mulai berhenti KB, menstruasinya tidak lancar sampai saat ini belum lancar saya. Dua tahun belum lancar. Kalau mens itu ada sih sediki...tapi sering... [dan] nggak teratur [sudah] 2 tahun..." (Ibu non-KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri) "... kalau suntik nanti gemuk, ya... susah. Saya tidak pakai apa apa [saja]... tetap gemuk." (Ibu nonKB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri) "Kalau saya sudah tua... Saya 40 keatas e, sudah punya cucu. Saya ya ingin [KB], tapi resikonya kan jadi takut." (Ibu non-KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri) "[Kata mereka yang tidak ikut KB], ikut KB itu ada... gangguan [kesehatan] itu lho mbak. Pokoknya resikonya ada!" (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
b.
Terganggunya ritual keagamaan Menurut beberapa informan, penggunaan KB dapat "menganggu" pelaksanaan ritual keagamaan, karena efek samping timbulnya "spotting" atau gangguan menstruasi.
"Keuntungannya, bisa mencegah kehamilan, kerugiannya pada ibu–ibu itu kadang–kadang menstruasinya nggak lancar. Ya aslinya bisa, tapi cuman nggak bisa rutin. Misalnya cara Islam itu kan, masa suci kan paling sedikit 15 hari. Lah itu kadang – kadang, 3 hari , 4 hari dan pagi." (Bapak non- KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
c.
Pengalaman buruk orang lain Pengalaman buruk yang dialami orang lain akibat penggunaan alat kontrasepsi menjadi kekhawatiran PUS. Akibatnya PUS memilih untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi.
"... pengalaman dari ibu saya pakai IUD. Ibu saya hampir meninggal dunia. Akhirnya dicopot lagi [IUDnya], terus akhirnya sembuh, terus punya anak lagi, terus baru meninggal beberapa tahun setelahnya. Jadi dulu memang ibu saya pernah mengalami sakit saat pasang IUD." (Bapak non-KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
41
"Adik saya itu pake IUD disuruh kontrol, ndak kontrol, akhirnya tetap hamil, tapi jarak 2 tahun baru hamil. Diperiksakan ke dokter..., [ternyata] IUDnya masuk dalam kandungan. Nanti kalau hamilnya itu tetap mens, selama hamil 3 bulan terus mens tidak berhenti disini akhirnya luka.Terus mau diobati, tapi adek saya ndak mau (diperiksa ke dokter), terus dikasih obat.. tetapi obatnya ndak diminum sama adek saya malah dibuang, terus (anaknya) belum waktunya itu lahir tapi ya ndak normal (premature). Itu pengalaman saya." (Ibu non-KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
d.
Kegagalan alat KB Informan menyebutkan kemungkinan terjadinya kegagalan KB karena akseptor tetap saja bisa hamil. Hal ini dianggap informan sebagai kerugian. "Disuntik, sebenarnya masih ada berapa tahun, setelah itu ya tau tau ada [hamil]...rugi bayar itu, suntik kok hamil." (Ibu non-KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
e.
Tidak merasa perlu menggunakan alat kontrasepsi Ada informan yang menyebutkan tidak merasa perlu menggunakan kontrasepsi KB karena bisa mengatur sendiri kehamilannya. "... kalau saya cocok begini ini... sudah anak dua... tidak KB ya tidak apa apa pokoknya tidak hamil! Begitu pokoknya diatur sendiri, ikut [cara] nenek saja." (Ibu non-KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Sikap orang tua Penerimaan masyarakat akan program KB yang lebih baik dibandingkan di waktu lampau juga diutarakan oleh mertua perempuan atau ibu dari PUS yang ber-KB maupun yang tidak ber-KB.
"... semua warga [desa ini]... anak-anaknya hanya dua dua saja. Gitu yang paling banyak sekarang. Yang seumuran sekarang ini lho... Zaman saya dulu, ya banyak-banyak [anaknya], teman-teman saya juga begitu, anaknya juga banyak itu." (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri).
Hasil wawancara dengan ibu/mertua PUS menunjukkan bahwa adanya dukungan yang diberikan oleh mereka kepada anak/menantu untuk menggunakan kontrasepsi.
"Senang dan menenangkan hati [tentang KB]. Anak-anak itu [merawatnya] nggak seperti keburuburu gitu loh. Kan tenang gitu." (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
"Kalau nggak ber-KB itu aku suruh-suruh gitu. Anak-anak-ku semua. Udah kamu pasang KB. Udah kamu ikut KB gitu aku." (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
C.2. Pengetahuan alat kontrasepsi Terkait pengetahuan masyarakat tentang manfaat KB, secara umum pengetahuan masyarakat di kedua desa sudah baik, bahkan di kalangan non-akseptor. PUS mengemukakan manfaat KB untuk menjarangkan dan membatasi jumlah kehamilan. "[manfaat KB]... untuk menjaga supaya tidak hamil lagi." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
"[ber-KB] bisa menjaga jarak anak, menurut saya." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
42
"Ya karena untuk menjarakkan anak. Biar ga terlalu deket, ngaturnya juga susah." (Ibu non-KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri) "Ya ngerti semua kalau KB itu untuk mengatur jarak kelahiran, bukan untuk memberhentikan, tapi untuk mengatur,mengatur banyak yang tau banyak yang mengerti." (Ibu non-KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Meskipun demikian, masih ada PUS yang tidak menggunakan alat kontrasepsi KB karena menganggap merasa tidak memahami tentang KB. Pengetahun non-MKJP pada PUS dan orang tua/mertua
Pengetahuan PUS tentang alat kontrasepsi non-MKJP juga cukup baik. Informan menyebutkan pil dan suntik sebagai metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan. Sebagian besar informan dapat menyebutkan nama berbagai alat kontrasepsi, walaupun ada juga alat kontrasepsi yang belum diketahui sebelumnya.
Sejalan dengan rendahnya penggunaan kontrasepsi oleh pria (kondom dan MOP), tingkat pengetahuan masyarakat terkait kedua alat kontrasepsi tersebut juga masih rendah. Walaupun informan PUS mengaku pernah mendengar sekilas tentang kondom dan MOP, masih ada informan yang belum mengetahui MOP, ketersediaannya dan dimana bisa mendapatkan alat/metode kontrasepsi tersebut. "Tahu saya itu namanya kondom. Tapi pemakaiannya gak tahu. Soalnya gak ada yang menggunakan." (Bapak KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
"Di toko-toko sini gak ada yang jualan [kondom]... mungkin kalau ada ... mungkin ya juga banyak yang pake." (Bapak KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Orang tua/mertua juga dapat menyebutkan alat/cara kontrasepsi non-MKJP, walaupun sebagian mengakui belum pernah alat kontrasepsi tersebut. Ada informan mertua yang menyebutkan pernah menggunakan pil dan suntik. Pengetahuan MKJP pasangan usia subur dan orang tua/mertua
Pengetahuan tentang MKJP di Kabupaten Kediri juga cukup baik. Informan menyebutkan implan, IUD, maupun metode operasi pada pria dan wanita. Seperti halnya dengan non-MKJP, orang tua/mertua juga menyebutkan pernah mendengar dan dapat menyebutkan beberapa MKJP, walaupun diakui belum pernah menggunakannya atau melihat secara langsung alat kontrasepsi tersebut.
C.3. Penerimaan jenis alat kontrasepsi Berdasarkan teori diffusion of innovation, beberapa karakteristik yang berhubungan dengan alat kontrasepsi dikelompokkan ke dalam: (1) keuntungan relatif; (2) kompatibilitas; (3) kepraktisan dan kemudahan penggunaan; (4) kemungkinan bisa mencoba; dan (5) hasil yang nyata, seperti yang diuraikan berikut ini: Non-Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
Keuntungan relatif Informan di tingkat desa menyebutkan salah satu keuntungan menggunakan non-MKJP dibandingkan MKJP adalah karena harganya yang lebih murah (dalam jangka waktu pendek). "[Suntik] irit biaya." (Ibu KB, Desa Tarokan, KecamatanTarokan, Kabupaten Kediri)
43
"[Suntik] terjangkau, kan 3 bulan... 3 bulan, kurang 5 hari-lah." (Ibu KB, Ds. Semanding, Kecamatan Pagu, Kab. Kediri)
Selain itu, non-MKJP dianggap mudah untuk diperoleh.Suntik tersedia di seluruh bidan, sedangkan pil bahkan dijual dimana-mana secara bebas.
"Kalau pil itu di toko ada [dan] di apotek." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
"Sudah, pilihan saya sudah mantap. Itu yang paling aman. Karena menurut saya kan semuanya kan baik,bagus. Katanya kan pil itu bukan kontrasepsi terbaik, [tapi] hati saya kan udah mantep itu. Menurut apa itu,orang lain belum tentu terbaik toh bu buat dia, tapi saya sudah mantep itu." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Informan juga mengungkapkan keinginan menggunakan non-MKJP karena alasan kenyamanan. "Saya rasa [suntik] itu nyamanlah, nyamanlah... daripada [pil yang]setiap hari, lha daripada beranak lagi hehehe, hari terahkhir suntik juga bisa diinget, hari untuk suntik selanjutnya juga bisa." (Ibu KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
Sebaliknya, terkait penggunaan kondom, seperti yang diuraikan sebelumnya, informan suami dari PUS menyebutkan ketidakpraktisan kondom pasca penggunaan dan ketidaktahuan di mana bisa mendapatkan kondom. "Semuanya aku rasa juga praktis. Karena semuanya banyak yang menggunakan, kecuali yang kondom. Ketika mau berkumpul pake dan susahnya kalau selesai berkumpul masih harus merapihkan kondom itu." (Bapak KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
"Ya mungkin kalau ada yang ngasih solusi itu [jual di toko-toko sekitar] mungkin ya juga banyak yang pake." (Bapak KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Kompatibilitas Penggunaan non-MKJP yang tinggi juga didorong oleh banyaknya akseptor non-MKJP di masyarakat. Selain non-MKJP lebih diterima oleh kelompok Pesantren, hasil wawancara mendalam dengan PUS juga mengungkapkan bahwa non-MKJP lebih disukai dan disetujui oleh pasangan.
"Kalau alat saya takut sama sekali. Jadi sama suami diputuskan kalau gak suntik ya pil gitu. Terus tanya sama bu bidan [katanya] nggak papa.” (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Kepraktisan dan kemudahan penggunaan Bagi sebagian informan, non-MKJP dianggap sebagai metode yang lebih praktis, terutama bagi mereka yang mengkonsumsi pil dan menggunakan kontrasepsi suntik dengan telaten dan rutin. "Kalau saya ya pil sama suntik itu praktis. Tergantung sendirinya." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
"Kalau saya ya mantep suntik itu. Kalau ngepil kan tiap hari." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri) "Kalau saya ya telaten itu buat suntik buat pil. Iyaa…Ya itu,kudu [haru] telaten itu. Kudu ati-ati. Hehehe. Waktune balik yo balik."(Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
44
Kemungkinan untuk mencoba Dikarenakan sifatnya kontrapsepsinya untuk digunakan dalam jangka pendek, maka kemungkinan akseptor untuk mencoba menggunaan non-MKJP lebih tinggi, dibandingkan MKJP. Bila kemudian akseptor merasa tidak cocok, dapat menggantikannya dengan alat kontrasepsi yang lain.
"Menggunakan suntik, tapi berat badan naik. Jadi mencoba pil... Tapi sebelum pil habis, badan sudah gak kuat, padahal cuman seminggu."(Ibu KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
Hasil yang nyata Informan juga mengidentifikasikan non-MKJP dengan faktor efek samping tertentu.
"Kalau suntik itu ada yang berbahaya. Kalo yang steril... yang operasi efek sampingnya kok besar. Menakutkan! Kalau pil... efeknya agak ringan." (Bapak non- KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
Non-MKJP juga diasosiasikan dengan tingkat keberhasian yang rendah.
"Suntik sama yang pil...katanya sering kebobolan... karena lupa." (ibu KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri) "Kalau pil berpeluang untuk punya anak. Iyaa kalau lupa gak minum... Kalau saya mbak, pake pil tiap hari minum trus ada si kecil itu lho. Padahal saya gak pernah telat, tiap hari minum pil koq jadi itu. Aku gak lali aku, sumpah gak lupa aku." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
"Iyaa,itu kan menurut saya takutkan padahal kan sudah pasang to itu tapi koq bisa hamil tapi di luar kandungan. Saya takut gitu trus saya pilih suntik." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) Keuntungan relatif Informan PUS dalam studi ini menyebutkan beberapa keuntungan menggunakan MKJP dibandingkan non-MKJP termasuk kenyamanan yang diperoleh. "Sakit sekali trus nggak sakit lagi." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
"Gak papa 1 kali sakit [steril] tapi selamanya gak sakit." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Penggunaan MKJP juga disebutkan harganya relatif murah dalam jangka waktu panjang. "... susuk dibanding suntik, juga lebih irit." (Ibu KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
"Susuk itu karena jangkanya panjang. Tidak mengeluarkan setiap bulan biaya." (Bapak KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri) "Kalau pasang susuk keuntungannya jaraknya biaya kan lama, lima tahun. Walaupun banyak kan lima tahun sekali." (Bapak KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
Kompatibilitas Ada beberapa informan yang tidak mendapatkan izin dari suami untuk menggunakan MKJP. 45
"Sama suami gak boleh [MKJP].” (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri) "Kalau disini jangka panjang malah kasihan sama si istri... Ya sudah gak usah... Iya kasian, iya takut kalau suami saya gimana gimanaa gituu (khawatir ndak setuju).. kan efeknya katanya kalau kecapekan badannya kaku, karena diujungnya (rahim) diiket." (Ibu KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
Kepraktisan dan kemudahan penggunaan MKJP juga diasosiasikan dengan kepraktisan karena tidak memerlukan ketelatenan seperti suntik atau pil yang perlu dipakai atau dikonsumsi secara rutin.
"Ya [implan] gak bolak balek [seperti] suntik. Kan bisa 3 tahun sekali Yang mantep steril, sakit sekali trus nggak sakit lagi... Gak mikir lagi tanggal berapa waktunya kembali." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri)
Walaupun demikian, masih ada informan yang takut menggunakan MKJP karena memerlukan tindakan yang lebih invasif dibandingkan non-MKJP.
"Kalau steril [dan] implan, saya takut. Ya gak tahu pokoknya takut ...takut dibius. Suntik itu aja udah sakit lho. Kalau di suntik [selama] dua hari itu sakitnya minta ampun!" (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Kemungkinan untuk mencoba Bagi informan, MKJP lebih sulit untuk "dicoba" dibandingkan non-MKJP. Akseptor MKJP dianggap lebih sulit untuk berubah pikiran, bila suatu ketika masih ingin memiliki anak lagi.
"Kalau pasang [IUD] kerugiannya tidak punya anak lagi. Kalau mau berubah pikiran tidak bisa." (Bapak KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri) "Tidak berani coba [steril]. Takut [nanti] inginnya punya anak lagi, tidak bisa." (Ibu non- KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Hasil yang nyata MKJP juga dianggap informan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.
"Saya [steril] karena... sudah tidak itu tidak ingin punya anak lagi." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri). "Saya steril biar gak kerepotan momong lagi." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Di samping tingkat keberhasilannya yang tinggi, MKJP juga dianggap berhubungan dengan efek samping atau masalah kesehatan tertentu. "[Akseptor implan] nggak boleh angkat – angkat berat..., [nanti] jarumnya itu bisa berjalan." (Ibu KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
"Jarang yang susuk ya..., ada tapi takutnya itu buat angkat-angkat itu kadang kemeng, [susuk] bisa keluar juga, gak bisa angkat berat-besar ... udah ada yang pernah kejadian." (Ibu non-KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri) "...saya takut, padahal kan sudah pasang to, tapi koq bisa hamil tapi di luar kandungan, saya takut gitu trus saya pilih suntik ajah gitu." (Ibu KB, Desa Tarokan, Kec. Tarokan, Kabupaten Kediri)
46
"IUD gratis... tapi resikonya kematian. Dulu tahun berapa.... 86... orang-orang pasang IUD karena gratis di rumah sakit untuk praktek bidan mudah gitu. Jadi alasannya karena perdarahan hebat, kemudian terjadi kematian." (Bapak KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
C.4. Proses pengambilan keputusan Pengambilan keputusan dalam ber-KB Menurut PUS yang terlibat dalam studi ini, keputusan untuk menggunakan alat kontrasepsi di masyarakat pada umumnya dibuat oleh akseptor bersama pasangannya. Hanya sebagian kecil informan yang menyebutkan keterlibatan ora
ng tua dalam proses pengambilan keputusan untuk ber-KB, itu pun lebih kepada pendukung dan bukan sebagai pengambil keputusan. Keterlibatan suami dan istri dalam pengambilan keputusan
Beberapa informan dari kedua desa menyebutkan peran suami sebagai pengambil keputusan utama untuk KB serta jenis alat kontrasepsi yang digunakan. "Kalau alat saya takut sama sekali. Jadi sama suami diputuskan kalau gak suntik ya pil gitu. Terus tanya sama bu bidan nggak papa." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
"Kalau saya endak [MKJP] mbak. Takut terjadi apa-apa, sama bapaknya gak di setujui." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri) "Ya perasaannya ikut aja lha, yang mencari uang gitu itu,ikut yang mencari kerja lha yang mencari uang itu." (Ibu non-KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Bagi beberapa informan, penggunaan KB lebih bergantung kepada keputusan istri, walupun juga didiskusikan bersama suami.
"Kalau saya KB, ya saya sendiri [yang memutuskan], bapak menyetujui." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri) "Kalau suami itu terserah pokoknya ya tergantung sama ibunya [istrinya] itu." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri) "Kalau sudah memakai itu kan dulunya musyawarah dulu kepada suami dan istri. Kemudian istri lah yang memutuskan itu.. Jadi yang perlu diperhatikan itu adalah istrilah. Terutama kan kebanyakan orang lelaki seharian penuh mencari nafkah. Jadi yang harus tahu itu orang istri." (Bapak KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Peran orang tua dalam pengambilan keputusan Hasil wawancara menunjukkan bahwa orang tua tidak menjadi pengambil keputusan penggunaan KB. Peran orang tua lebih kepada memberikan masukan dan dorongan kepada PUS. Orang tua juga diberitahukan mengenai rencana PUS menggunakan KB. "Jadi yang mengatur caranya rumah tangga itu kita berdua. Orang tua gak ikut campur, gak tahu gimana caranya supaya anaknya itu bagaimana itu gak tau." (Ibu non-KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
“Ya aku rasa orang tua, setelah....musyawarah suami istri itu baru memberitahu kepada orang tua." (Bapak KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
47
"Kalau orang tua ya mendorong anaknya. [Katanya] ya tidak apa apa ikut KB,tidak hamil dulu,kehidupannya biar agak enak, anaknya yang satu biar besar dulu,besok kalau anak besar bisa nambah lagi... Inggih dorongan mertua nggih ojok meteng sik. Biar gak capek ngurusnya gitu." (Ibu non-KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri) "Kalau ibu saya ya silahkan KB dulu kan mumpung anak masih kecil, nanti keburu, masih kecil uda punya anak lagi entar ribet sendiri lebih baik sekarang dijaga, berangkat KB aja dulu, gitu." (Ibu non-KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kabupaten Kediri)
Hal ini juga dikonfirmasi melalui wawancara yang dilakukan kepada ibu/mertua dari PUS.
"Dengan anak ya... terserah saja. Saya hanya mendukung. Kalau anak mau (ber-KB) ya silakan saja."(Ibu/mertua PUS KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
Keyakinan terhadap berkurangnya risiko jika ber-KB Informan akseptor KB dari kedua desa mengungkapkan berkurangnya risiko terjadinya kehamilan bila mereka menggunakan alat kontrasepsi KB. "... kita kan KB, [jadi] nggak hamil lagi." (Ibu KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri)
Beberapa informan juga mengungkapkan keheranan terjadinya kegagalan (kehamilan) pada akseptor KB.
"Setelah suntik ngepil,ngepil lancar tiap bulan,trus 3bulan koq gak bulanan,saya priksakan ke bidan ternyata hamil lagi,yaa bingung mbak." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri) "Kalau saya..., pake pil tiap hari minum, trus ada si kecil itu. Padahal saya gak pernah telat, tiap hari minum pil. Koq jadi [hamil]." (Ibu KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Berkurangnya risko kehamilan juga diungkapkan akan bervariasi berdasarkan jenis alat kontrasepsi. Menurut informan, risiko kegagalan yang tinggi berkaitan dengan non-MKJP, terutama pil.
"Kan yang 3 bulan sekali (suntik) kan tidak begitu [merepotkan]. Yang jelas ya itu biar tidak angenangen biar jelas, kalau IUD ya itu tidak, ya ribet lah. Nanti kalau pil kita belum siap punya anak.. .lupa.. .terus jadi gitu kan hehehe. 3bulan sekali 4 bulan sekali [suntik] kan gak ini [merepotkan]." (Ibu non-KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kabupaten Kediri)
Hambatan dalam pengambilan keputusan Beberapa hambatan dalam pengambilan keputusan untuk ber-KB nampak dari diskusi kelompok dengan PUS di kedua daerah studi. Ada informan yang tidak menggunakan alat kontrasepsi karena kurangnya pengetahuan tentang KB.
"... [saya] memutuskan untuk tidak KB, ndak KB ya ndak papa... Soale nggak mengerti kontrasepsi sama sekali, [jadi] hati-hati sendiri." (Ibu non-KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Seperti yang diungkapkan sebelumnya mengenai kurangnya informasi tentang kontrasepsi pria seperti ketersediaan kondom, keterbatasan informasi mengenai MKJP bagi pria pun terjadi. "Nah itu [metode opeasi pria], baru dengar sekarang itu! Itu efeknya bagaimana?... [saya] baru tau!" (Bapak KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
Nilai sosial yang berlaku juga mendorong PUS untuk memiliki lebih banyak anak, misalnya contoh yang ada dalam masyarakat. Pendapat banyak anak banyak rezeki pun masih berlaku pada beberapa informan.
48
"Kalau saya mikir gini, orang ibu saya aja keturunannya banyak , masa saya... cuma satu. " (Ibu non-KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kab. Kediri) "Kadang yang seumur udah punya adik [anak], [tapi saya] belum punya adik, iri gitu lo. Masa itu punya adik saya gak punya.... padahal adiknya udah ada, hehehe. Ingin hamil lagi... karena kasian sama anaknya itu juga. Misalnya sebayanya gitu... sudah punya adik juga katanya aku kok gak punya adik." (Ibu non-KB, Ds. Semanding, Kec. Pagu, Kabupaten Kediri)
Keinginan mendapatkan anak laki-laki juga mendorong PUS untuk tidak ber-KB.
"... pilihan saya, pilihannya bapak [untuk] tidak usah ikut suntik KB itu. Kalau menurut orang perempuan itu, kalau anak perempuan ya sudah [cukup], kalau ingin orang laki ya [masih] ingin lagi..." (Ibu non-KB, Ds. Tarokan, Kec. Tarokan, Kab. Kediri)
D.
Pembelajaran dari desa MKJP tinggi dan rendah
Studi kualitatif di Kabupaten Kediri dilakukan di dua kecamatan yang dipilih berdasarkan angka pengguna MKJP. Dari hasil wawancara dan diskusi kelompok terarah yang dilakukan dengan pemangku kepentingan di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa, beberapa topik pembelajaran perbedaan penggunaan MKJP di kedua kecamatan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: Jumlah, beban kerja dan kinerja PLKB
Idealnya, seorang PLKB bertanggung jawab terhadap satu sampai dua desa. Seorang koordinator PLKB di tingkat kecamatan bertanggung jawab terhadap satu kecamatan. Di desa dengan MKJP rendah, rasio optimal PLKB dan desa masih jauh dari keadaan ideal. Hanya ada seorang PLKB di Kecamatan Pagu, walaupun jumlah PPKBD (13 orang; satu orang untuk setiap desa) dan sub-PPKB (70 orang; satu orang untuk setiap dusun) cukup besar. Hal ini menyebabkan beban kerja yang sangat besar bagi PLKB yang bertugas di kecamatan tersebut. Walaupun kinerja PLKB dinilai banyak pihak sangat baik, kemampuan untuk menjalankan program KB dikarenakan beban kerja yang besar, tidaklah optimal. Salah satu cara menyiasati kekurangan tenaga PLKB adalah dengan menjalin kerjasama yang baik dengan tenaga Puskesmas di wilayah kerjanya sehingga kegiatan pencatatan dan pelaporan dapat tetap berjalan secara baik.
Sebaliknya, di kecamatan dengan MKJP tinggi, dijumpai seorang koordinator PLKB yang membawahi tiga orang PLKB untuk menangani 10 desa. Walaupun rasio PLKB dan jumlah desa masih kurang dari ideal, namun hal ini sangat membantu dalam menjalankan program KB di kecamatan tersebut. Proses pencatatan dan pelaporan pun dapat berlangsung dengan lebih baik. Dalam kegiatan massal KB, PLKB di daerah dengan MKJP tinggi pun secara aktif melakukan berbagai kegiatan penjaringan. Informasi disebarluaskan melalui berbagai cara, termasuk melalui pedagang sayur keliling yang secara mudah menjangkau masyarakat yang tinggal di dearah yang terpencil. Akses terhadap pelayanan
Akses terhadap pelayanan KB pun dinilai memainkan peranan penting. Puskesmas, Polindes, Pustu dan bidan praktek swasta sangat membantu masyarakat dalam mengakses pelayanan KB. Menariknya, di desa dan kecamatan dengan angka penggunaan MKJP rendah, secara umum akses tidak menjadi permasalahan yang besar. Ditengarai akses yang mudah untuk mendapatkan non-MKJP menjadi salah satu alasan tingginya penggunaan non-MKJP di kecamatan tersebut. Lebih jauh lagi, sebagian besar istri dari PUS yang tinggal di kecamatan ini
49
bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik terbesar di Kota dan Kabupaten Kediri. Peredaran pil KB di kalangan pekerja pabrik pun mendorong penduduk kecamatan ini untuk menggunakan pil, di samping akses alat kontrasepsi suntik yang mudah yang ikut mendorong masyarakat untuk menggunakan non-MKJP. Di kecamatan dan desa dengan tingkat penggunaan MKJP yang tinggi yang juga merupakan daerah pegunungan hambatan geografis merupakan salah satu faktor utama. Dengan akses sulit ke pelayanan KB, masyarakat lebih memilih MKJP karena tidak perlu rutin membeli pil atau mengunjungi tenaga suntik untuk disuntik.
Karakteristik sosial masyarakat
Di desa dengan penggunaan MKJP yang rendah, salah satu hal turut menyebabkan rendahnya penggunakan MKJP adalah keberadaan komunitas Pesantren yang lebih memilih menggunakan non-MKJP.Walaun secara umum program KB tidak ditolak oleh komunitas di daerah "kaum" (Pesantren), MKJP cenderung ditolak dan masih belum dapat diterima karena berbagai faktor seperti yang telah diuraikan di atas.
Dukungan tokoh masyarakat
Keterlibatan tokoh masyarakat termasuk aparat desa lebih jelas terlihat pada desa dengan penggunaan MKJP yang tinggi. Keaktifan aparat desa dapat mempromosikan program KB dan kerjasama yang baik yang dijalin dengan PLKB menjadi faktor pendorong tingginya penggunaan KB serta MKJP. Di desa ini, tokoh desa turun memastikan keterlibatan anggota masyarakatnya dalam kegiatan pelayanan masal KB yang mempromosikan MKJP, dan berperan serta menyediakan fasilitas pendukung, seperti kendaraan untuk mengantar masyarakat ke tempat pelayanan masal KB.
4.3. Diskusi, Kesimpulan dan Saran Provinsi Jawa Timur A.
Ringkasan hasil penelitian di tingkat provinsi dan kabupaten
Selain melakukan wawancara pada pemangku kepentingan ditingkat provinsi, dilakukan pula penelitian kualitatif di tingkat kabupaten. Tiga kabupaten terpilih adalah Kabupaten Tuban, Lumajang dan Kediri. Di bawah ini di tampilkan matriks ringkasan dari hasil penelitian kualitatif (Tabel 4.10), dimana laporan lebih rinci untuk masing-masing kabupaten akan diuraikan pada bagian selanjutnya. Tabel 4.10 Ringkasan hasil penelitian kualitatif Topik Provinsi bahasan A. Gambaran Umum Cakupan KB 1. Cakupan KB • Akseptor naik tapi dan TFR juga naik permasalah annya No.
2.
Persepsi tentang MKJP versus nonMKJP
• MKJP mulai naik walau non-MKJP masih tinggi • Rumor efek samping non-MKJP banyak
Tuban
• Melebihi target tapi TFR tetap naik • Beda definisi dalam menghitung akseptor baru • MKJP mulai naik walau non-MKJP masih tinggi • Peran KB laki-laki belum tercapai walau ada kompensasi • Mispersepsi: pil hanya diminum saat
Kabupaten Lumajang • Unmet need rendah (< 5%) • Cakupan > dari 100% • Beda definisi dalam menghitung akseptor baru • MKJP mulai naik walau non-MKJP masih tinggi • Minat masyarakat terhadap implan cukup tinggi
Kediri • CPR naik TFR naik • Beda definisi dalam menghitung akseptor baru
• MKJP mulai naik walau non-MKJP masih tinggi • Miskonsepsi MKJP masih tinggi • MKJP dianggap tidak sejalan dengan ajaran agama
50
No.
Topik bahasan
Provinsi
B. Manajemen Program KB 1. Kebijakan dan • Dinkes tidak alokasi menargetkan MKJP anggaran atau unmet need hanya CPR • Ada dana pengayoman:Aksept or MOP/MOW diberi kompensasi hilangnya waktu kerja 150 ribu 2. Pengadaan dan • Dinkes tidak distribusi alat mengetahui sama kontrasepsi sekali tentang pendistribusiannya
Kabupaten Lumajang
Kediri
• Dinkes tidak menarget kan MKJP atau unmet need hanya CPR • KB total coverage • Budget cukup tinggi • Setiap pasangan yang akan menikah dibagikan kondom.
• KB gratis untuk semua • MOP/MOWnya lebih tinggi dari daerah lain (1.17% dan 12.83%, tahun 2012)
• Dinkes tidak menargetkan MKJP atau unmet need hanya CPR • Alokasi APBD Dinkes menurun dari 6.3% 4.5%
• Dinkes tidak mengetahui sama sekali tentang pendistribusiannya • Bapemas pengadaan alat kontrasepsi melalui lelang di Bappeda
• Stok implan pernah kurang karena banyak peminat
• Klien mengakses BPS 75% pasien mandiri-25% Jamkesmas • Masih banyak perawat yang melayani KB
• Klinik swasta menyediakan 2 macam sumber alat kontrasepsi: dari BKKBN dan pengadaan sendiri
• Dinkes tidak mengetahui sama sekali tentang pendistribusiannya • Pil KB ada yang dijual bebas tanpa resep oleh pegawai pabrik
• KurangnyaPLKB, 1 untuk 2-4 desa • Bidan tidak memahami mengapa layanan IUD dan implan harus di Puskesmas • Pelatihan CTU kurang praktek • Koordinasi antar instansi pemerintah perlu ditingkatkan • Kerjasama dengan sektor swasta belum optimal
Tuban suami pulang saja.
3.
Pelayanan KB
• Walaupun alat kontrasepsi gratis tapi alat, tenaga dan bahan habis pakai dikenakan biaya • Prinsip cafetaria sulit diterapkan karena alat kontrasepsi terbatas dan masyarakat masih sulit untuk membayar sendiri
4.
Sumber Daya Manusia
• Tumpuan pelayanan KB ada pada bidan karena hanya sepertiga dokter tertarik melayani KB
• Kurangnya PLKB, 1 untuk +/_ 4 desa • Bidan swasta tidak punya kewenangan untuk pasang implan dan IUD
5.
Kerjasama antar institusi
• Ada konflik antara BKKBN dan Dinkes ditambah pemain baru BPPKB
• Bapemas dan Dinkes konflik masalah koordinasi • CSR belum maksimal padahal potensi sangat besar
6.
Menciptakan kebutuhan
• Anggaran promosi KB ada di BKKBN walau kecil, di Dinkes tidak ada khusus untuk KB
• Menjangkau karyawan pabrikpabrik besar • Pengecetan genteng: gerbangmas
7.
Pencatatan dan pelaporan
• Insentif untuk bidan yang mengumpulkan
• Insentif untuk bidan yang mengumpulkan laporan 600
• Dinkes berharap agar PLKB bukan hanya membawa akseptor baru saja namun juga dibekali dengan screening. • Pengecetan genteng: dua anak cukup • Pelaporan bulanan sering terlambat
• Perda (2011) mengatur jasa pelayanan KB dan barang habis pakai di Puskesmas. Implementasi dilakukan secara bertahap. • Masih ada masyarakat yang tidak dicover asuransi & tidak mampu membayar pelayanan KB terutama MKJP • Kurangnya PLKB, 1 untuk 13 desa • Ketidak jelasan wewenang bidan untuk pemasangan impant dan IUD • Bidan kurang dilatih ABPK
• Di tingkat kabupaten tidak ada konflik, namun di tingkat kecamatan ada konflik antara PLKB dan bidan Puskesmas yang mengumpulkan data • Belum ada kerjasama dengan swasta • Mengandalkan bentuk-bentuk momentum dan pelayanan mobile • Pengecetan genteng:KB Dua anak cukup • Pelaporan PUS tahunan sering terlambat sehingga
51
No.
Topik bahasan
Provinsi laporan 600 ribu/tahun
B.
Kabupaten Lumajang
Tuban ribu/tahun
Kediri dinkes menggunakan estimasi PUS
Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi)
Tabel 4.11 di bawah ini merupakan rangkuman perspektif masyarakat terhadap alat kontrasepsi. Berikut uraian perspektif masyarakat dari sisi keuntungan relatif, kenyamanan, kepraktisan, kemungkinan dicoba dan hasil yang nyata. Semakin banyak perspektif positif yang muncul di masyarakat menunjukkan umumnya alat kontrasepsi tersebut semakin digemari dan digunakan. Tabel 4.11 Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi) Penilaian masyarakat
Alat kontrasepsi
Pil
Suntik
Kondom
IUD
Implan
MOW
MOP
+++
+
++
+/-
+/--
+/---
+/---
+
-
+
+
++
++
Keuntungan relatif Murah dalam jangka pendek Mudah diperoleh
+++
++
Tidak perlu buka aurat
+++
+
Tidak dilarang suami/istri
++
Kenyamanan dalam penggunaan Kompatibilitas
Banyak digunakan di masyarakat/keluarga
+
++
+++
+
Kepraktisan dan kemudahan penggunaaan
+
Tidak perlunya kepatuhan
---
--
Kemungkinan bisa mencoba
+++
++
+++
Gampang berganti/berhenti
+++
++
+++
---
--
Tidak dilarang agama
Tidak perlu digunakan tiap hari Mudah digunakan (tdk perlu operasi) Hasil yang nyata Keberhasilan
Tanpa efek samping
---
--
+
+
--
--
+
+
+/--
+/--
---
++
---
---
+/-+/--
+/-
+/--
+/---
+/---
+
+
++
++
-
--
---
---
-
--
---
---
+
+
++
++
++
+
+/-
+
+
+/--
-
+/--
++
+/--
-
+/--
++
+/--
Berdasarkan perspektif klien, metode kontrasepsi jangka pendek (non-MKJP) seperti pil dan suntik dinilai mudah diperoleh, murah, tidak perlu buka aurat, banyak digunakan masyarakat, mudah digunakan (tidak perlu operasi atau tindakan invasif) dan mudah berganti ke alat kontrasepsi lain bila menginginkannya atau bila ingin hamil lagi. Sedangkan pada Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) seperti IUD, implan dan MOW, ditemukan adanya larangan dari suami. Hal iniberbeda dengan pil dan suntik yang secara umum tidak ditemui adanya larangan tersebut. Berdasarkan kepraktisannya, pil dinilai masih membutuhkan kepatuhan untuk minum setiap hari dan tingkat keberhasilan pil dinilai rendah.
52
Sebagian informan menilai bahwa IUD dan implan cukup murah (bagi akseptor KB pemerintah), namun sebagian lain menyatakan cukup mahal (untuk akseptor KB mandiri). IUD dan implan mudah diperoleh, namun dalam pemasangan membutuhkan tindakan yang invasif oleh karena itu masyarakat cenderung takut untuk menggunakannya. Kedua alat kontrasepsi ini juga diasosiasikandengan berbagai efek samping. Dibandingkan non-MKJP, akseptor IUD dan implan disebutkan akan lebih sulit berganti alat bila suatu saat ingin memiliki anak. Tingkat keberhasilan IUD dan implan dinilai lebih baik dibandingkan non-MKJP.
Diantara MKJP, informan yang menggunakan MOW/MOP berpendapat bahwa alat kontrasepsi yang digunakan cukup nyaman, hanya diperlukan sekali tindakan. MOW/MOP tidak memerlukan kepatuhan dan ketelatenan seperti non-MKJP yang harus diminum setiap hari atau disuntik secara rutin. Bagi akseptor KB Mandiri, tarif MOW dan MOP tergolong mahal. Kedua metode kontrasepsi ini disebutkan memiliki tingkat keberhasilan yang paling tinggi, namun hampir tidak dapat berganti atau bila suatu saat akseptor ingin memiliki anak.
Ditemukan adanya penilaian sebagian kecil masyarakat bahwa memasang MKJP (IUD, implan dan MOW/MOP) bertentangan dengan norma dan agama. Penilaian ini berkaitan dengan pendapat KB sebagai upaya menghalangi kehamilan sedangkan kehamilan merupakan ibadah dan pendapat terkait memasang IUD memperlihatkan aurat kepada orang lain. Umumnya informan menyadari bahwa dari aspek kepraktisan, MKJP dinilai lebih praktis karena tidak perlu harus mengingat waktu pemakaian. Namun dari aspek cara penggunaannya, pil dan suntik dinilai lebih praktis karena penggunaannyabisa dihentikan kapan saja.
Pil dan suntik dinilai gampang untuk dicoba, mudah diperoleh dan murah. Sebaliknya, IUD, implan dan MOW/MOP dinilai cukup repot untuk dipasang. Alat ini tidak untuk dicoba karena akan repot melepasnya kembali bila ada masalah. Namun demikian mereka umumnya mengetahui bahwa MKJP lebih berhasil mencegah kehamilan dibanding non-MKJP. C.
Kesimpulan dan saran tingkat provinsi
Kesimpulan Dari studi kualitatif ini terlihat bahwa koordinasi antara BKKBN dan Dinas Kesehatan (Dinkes) masih perlu ditingkatkan. Pembagian tugas yang telah ditetapkan adalah BKKBN bekerja pada demand side dan Dinkes pada supply side. Namun pada saat terjadi persentuhan kegiatan pelayanan KB, koordinasi antara BKKBN, yang memiliki anggaran untuk KB lebih besar dari pada Dinkes, kurang kuat. Misalnya dalam pelatihan atau ketika BKKBN melalukan kegiatan kegiatan momentum KB. Kerjasama dengan sektor swasta belum optimal walaupun potensial untuk dikembangkan.
Terkait pencatatan dan pelaporan, terdapat sistem pelaporan yang berbeda, menyebabkan adanya angka-angka kepesertaan KB yang berbeda. Hal ini disebabkan ketidaksamaan formula dan persepsi dari definisi operasional di lapangan tentang peserta KB baru. Kebijakan desentralisasi menyebabkan ketidaksinambungan program dari pusat ke provinsi dan kabupaten. Program yang dicanangkan dari pusat sering kali tidak mendapatkan anggaran dari pemerintah tingkat kabupaten sehingga tidak dapat dilaksanakan.
Saran •
District Working Group (DWG) yang hanya ada di tingkat kabupaten, dapat dikembangkan di tingkat provinsi karena kelompok ini dapat menjadi sarana koordinasi dan kerjasama 53
• •
• •
antar instansi. Karena itu disarankan untuk mencarikan dana operasional bagi DWG di tingkat provinsi. Program momentum KB dapat diarahkan hanya untuk MKJP saja dan dilaksanakan di Puskesmas saja namun dengan momentum khusus. Hal ini untuk menjaga mutu serta mengurangi kesulitan dalam melacak dan menangani komplikasi. Meningkatkan kerjasama dengan pihak swasta yang mendapatkan distribusi alat kontrasepsi gratis untuk juga menerima peserta Jamkesda/Jamkesmas. Mengikutsertakan Dinkes sebagai panitia pelatihan dari BKKBN. Pihak Dinkes dapat mengatur dan mengetahui tingkat ketrampilan dari tenaga kesehatannya. Mengikutsertakan PLKB dalam pelatihan konseling medis, sehingga PLKB juga memahami persyaratan medis yang dibutuhkan untuk metode kontrasepsi tertentu.
D. Kesimpulan dan saran tingkat kabupaten Kesimpulan Hasil studi ini menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat akan alat kontrasepsi KB di Kabupaten Kediri mengalami perkembangan yang besar, dibandingkan waktu yang lampau. Hal ini dipengaruhi oleh semakin tingginya pemahaman masyarakat akan manfaat KB.
Penggunaan alat kontrasepsi masih didominasi oleh penggunaan non-MKJP (suntik dan pil), walaupun jumlah pengguna MKJP sudah mulai meningkat, seiring maraknya kegiatan masal pemasangan MKJP seperti SAFARI KB serta kegiatan mobile untuk MOW dan MOP. Implan merupakan salah satu MKJP yang paling digemari oleh masyarakat. Beberapa faktor yang menghambat penggunaan MKJP diantaranya rumor negatif tentang MKJP, ketakutan perlunya tindakan yang invasif dan penolakan MKJP dari kelompok masyarakat agamis.
Untuk jenis non-MKJP, alat kontrasepsi suntik dan pil merupakan alat kontrasepsi yang paling sering digunakan. Namun masalah distribusi pil secara bebas tanpa didahului dengan pemeriksaan oleh petugas kesehatan menimbulkan berbagai masalah efek samping. Untuk kondom, masih ada masyarakat yang belum mengetahui dimana bisa mendapatkan alat kontrasepsi tersebut dengan mudah.
Pelayanan pemasangan alat kontrasepsi sebagian besar dilakukan oleh Bidan Praktek Swasta (BPS) dan Puskesmas. Akses ke klinik KB dianggap mudah oleh masyarakat. Untuk masyarakat yang menggunakan Jamkesmas/Jamkesda/Surat Keterangan Tidak Mampu/Keluarga PraSejahtera dan Sejahtera I, pelayanan KB diberikan tanpa dipungut bayaran. Bagi pengguna Jampersal, layanan pemasangan alat kontrasepsi pasca-salin diberikan secara gratis. Sedangkan untuk masyarakat di luar kelompok ini (KB Mandiri), biaya pelayanan KB bervariasi tergantung tempat pelayanan. Di Puskesmas mulai diberlakukan tarif pelayanan KB yang cukup tinggi berdasarkan Perda Tahun 2011 yang mencakup jasa dan bahan habis pakai. Pemberlakuan tarif ini dilakukan secara bertahap. Jumlah petugas kesehatan yang menyediakan pelayanan KB di Kabupaten Kediri disebutkan cukup memadai dengan adanya satu bidan di setiap desa. Akan tetapi, jumlah PLKB disebutkan masih kurang memadai. Kualitas dan kemampuan manajerial PLKB juga masih menjadi kendala utama. Sebagian besar bidan telah mendapatkan pelatihan CTU sehingga mereka dapat memberikan pelayanan KB secara mandiri. Namun, beberapa pelatihan seperti ABPK dan KB pasca-salin masih belum diikuti oleh sebagian besar bidan. Secara umum dukungan pemerintah daerahterhadap program KB sudah cukup memadai. Pengadaan implan dalam jumlah kecil juga dilakukan untuk mengantisipasi berkurangnya alat kontrasepsi karena animo masyarakat yang tinggi terhadap implan. Sejauh ini tidak dijumpai adanya kekurangan alat kontrasepsi. BKKBN menyediakan alat kontrasepsi kondom dan IUD
54
bagi seluruh anggota masyarakat. Jenis alat kontrasepsi lainnya disediakan secara gratis hanya bagi Keluarga Pra-Sejahtera dan Sejahtera 1. PLKB berperan penting dalam mekanisme permintaan dan distribusi alat kontrasepsi dari dan ke Puskesmas serta rumah sakit.
Walaupun kerjasama antara sektor KB dan Dinkes di Kabupaten Kediri dianggap sudah baik, perbedaan definisi operasional terkait beberapa variabel menjadi salah satu masalah yang kerap ditemui. Dinkes tidak memiliki target yang spesifik untuk MKJP dan unmet need, berbeda dengan BPPKB. Distribusi alat kontrasepsi dari BPPB langsung ke klinik KB tanpa memberikan tembusan kepada Dinkes juga menjadi salah satu isu utama. Di tingkat kecamatan, pembagian pekerjaan antara bidan dan PLKB dalam kegiatan pencatatan dan pelaporan masih sering menjadi masalah. Saran
•
•
• •
•
Mengembangkan strategi KIE yang inovatif untuk mengatasi rumor negatif terkait penggunaan kontrasepsi serta mengurangi penolakan masyarakat akan kontrasepsi MKJP. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam program promosi kesehatan. Advokasi untuk melaksanakan program penyediaan alat kontrasepsi BKKBN dengan prinsip "total coverage" terutama untuk MKJP perlu dilaksanakan di Kabupaten Kediri untuk memastikan keterjangkauan alat kontrasepsi KB bagi seluruh lapisan masyarakat. Pemberlakuan Perda 2011 tentang tarif jasa dan bahan habis pakai juga penting untuk ditinjau kembali. Memberlakuan peraturan distribusi pil, mengingat cukup banyaknya petugas kesehatan yang mengeluhkan pasien pengguna kontrasepsi pil yang datang dengan efek samping kesehatan akibat pengabaian sistem screening sebelum penggunaan alat kontrasepsi pil. Penambahan tenaga PLKB perlu menjadi perhatian penting bagi BPPKB di Kabupaten Kediri sesuai rasio seorang PLKB bagi dua desa, di samping upaya peningkatan kualitas dan kemampuan manajerial tenaga PLKB. Kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas PPKBD dan sub-PPKBD juga perlu dilaksanakan. Bagi tenaga bidan, pelatihan CTU bagi tenaga bidan yang baru, ABPK dan KB pasca-salin juga penting dilakukan. Kejelasan kewenangan bidan dalam memberikan pelayanan MKJP juga diperlukan untuk mencegah terjadinya kebingungan tenaga bidan dalam memberikan pelayanan KB. Meningkatkan koordinasi antara BPPKB dan Dinkes tentang target terkait program KB. Selain itu, diperlukan upaya untuk melakukan standarisasi definisi operasional dari indikator KB untuk mencegah terjadinya perbedaan angka dalam pencatatan dan pelaporan. Dinkes perlu diinformasikan terkait distribusi konstrasepsi dari BPPKB kepada Puskesmas. Kesepakatan pembagian kerja yang jelas di tingkat kecamatan antara PLKB dan bidan Puskesmas berkenaan dengan pencatatan dan pelaporan perlu dilakukan. Kerjasama dengan sektor swasta juga dapat dan perlu ditingkatkan mengingat keberadaan berbagai perusahaan besar dengan dana CSR yang dapat digunakan.
55
REFERENSI Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (Mei 17 2013). Aktifkan kembali kampanye "Dua Anak Cukup". http://www.bkkbn.go.id/View Berita.aspx? BeritaID=813.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2012). Petunjuk teknis tata cara pelaksanaan pelayanan kontrasepsi program kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Jakarta: BKKBN.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2011). Analisis lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP di enam wilayah Indonesia.Jakarta: BKKBN
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2012). Laporan pendahuluan Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2012. Jakarta: BKKBN
BKKBN NTB. (2009). Selayang pandang program KB nasional, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Lombok Barat. (2013). Laporan bulanan pengendalian lapangan tingkat kabupaten/kota, Sistem Informasi Kependudukan dan Keluarga (Siduga) Bulan Februari 2013. Lombok Barat: BKBPP Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Kediri. (2013). Rapat kerja daerah (Rakerda) tahun 2013. Kediri: BPPKB
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Kemenkes RI
Badan Pusat Statistik. (2010). Survei Sosial Ekonomi Nasional 2010. http://sirusa.bps.go.id/index.php?r=sd/view&kd=1558&th=2010 Badan Pusat Statistik. (2010). Laporan eksekutif hasil Sensus Penduduk 2010.
Badan Pusat Statistik et.al. (Desember 2012). Laporan pendahuluan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang. (2012). Kabupaten Lumajang dalam angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat. (2011). Lombok Barat dalam angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur. (2011). Lombok Timur dalam angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. (2012). Sumbawa dalam angka
Badan Pusat Statistik KabupatenTuban. (2011). Kabupaten Tuban dalam angka.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri. (2011). Profil kesehatan Kabupaten Kediri Tahun 2010.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Data informasi kesehatan Provinsi JawaTimur
Okech, Timothy C., et.al. (2011). Empirical analysis of determinants of demand for family palnning services in Kenya's city slums. Global Journal of Health Science Vol.3, No.2, October 2011 Pemerintah Dearah Lombok Timur. (2011). Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2013). Ringkasan eksekutif data dan informasi kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. (Juni 13, 2013). Program KB Nasional perlu dukungan semua pihak. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/2321-program-kbnasional-perlu-dukungan-semua-pihak.html
56
Rogers, M. Everett. (1962). Diffusion of innovations. Illinois: Free Press of Glencoe
Rosenstock, IM. (1966). Why people use health services, Milbank Memorial Fund Quarterly 44, 94-124, 1966.
Rosenstock IM. (1974). Historical origins of the health belief model, Health Education Monographs 2:328-335, 1974.
Satriani.(2012). Pergeseran makna perkawinan adat dalam masyarakat Sasak. http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-lokal/629-amak-bangkol-inakbangkol-dan-merariq-pergeseran-makna-perkawinan-adat-dalam-masyarakatsasak.html
United Nations Development Program. (2008). Millennium Development Goals. Jakarta: UNDP. http://www.undp.or.id/pubs/docs/Let%20Speak%20Out%20for%20MDGs%20%20ID.pdf
57