KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami berhasil menyelesaikan “Riset Operasional Advokasi Keluarga Berencana untuk Meningkatkan Metode Ragam Kontrasepsi di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat” yang dilaksanakan dari Bulan April hingga Mei 2013.
Laporan ini berisi hasil studi kualitatif di Kabupaten Lombok Timur yang merupakan satu dari enam laporan studi kualitatif di tingkat kabupaten. Enam laporan tersebut berisi informasi terkait Keluarga Berencana di 3 kabupaten di Provinsi Jawa Timur yakni Kabupaten Kediri, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Tuban; serta 3 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat yakni Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Sumbawa. Pengumpulan data dilaksanakan dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. Secara garis besar, informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga Berencana, serta pembelajaran yang diperoleh dari desa Metode Kontrasepsi Jangka Panjang tinggi dan rendah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar informasi upaya advokasi dan intervensi untuk meningkatkan ragam kontrasepsi di lokasi penelitian. Berlangsungnya penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Susan Krenn, Direktur Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs 2. Duff Gillespie dari Bill & Melinda Gates Institute for Population and Reproductive Health 3. J. Douglas Strorey, Sarah V. Harland, Priya Emmart dan Jennifer Kreslake dari John Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs 4. Fitri Putjuk, Eugenita Garot dan Anggita Florenita dari John Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs Indonesia Office 5. Mayun Pudja, Dini Haryati dan Christiana Tri Desintawati dari Cipta Cara Padu Foundation 6. Sabarinah Prasetyo (Direktur) dan seluruh staff Pusat Penelitian Kesehatan UI 7. Ruth Stella, Anwar Fachmy, Cahyowati, Halimatus Sa’diyah, Menik Aryani, Rosmilawati,dari Universitas Mataram di Provinsi Nusa Tenggara Barat;sertaWindhu Purnomo, Irma Prasetyowati, Ni’mal Baroya, Annis Catur Adi, Riris Diana Rachmayanti, Nurul Fitriyah, dan Dini Ririn Andrias dari Universitas Airlangga di Provinsi Jawa Timur 8. Serta semua informan yang bersedia berkontribusi dalam penelitian ini. Secara khusus, kami memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua peneliti yang terlibat, yakni Agus Dwi Setiawan, Christiana R. Titaley, Dadun, Dini Dachlia, Dwi Astuti Yunita Saputri, Ferdinand Siagian, Heru Suparno, dan Yudarini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Donal Husni, Hafizah, Vetty Yulianty, dan Ade W. Prastyani yang telah membantu proses akhir penyelesaian laporan ini. Kami berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk memajukan program keluarga berencana di Indonesia, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Jawa Timur. Depok, 31 Maret 2014 Dr. dra. Rita Damayanti, MSPH Peneliti Utama
i
RINGKASAN EKSEKUTIF UNTUK KABUPATEN STUDI DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1. Cakupan KB dan permasalahannya Secara nasional Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan satu dari tujuh provinsi yang mendapatkan alat kontrasepsi 100% dari tingkat pusat. Hal ini dipicu oleh rendahnya angka Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) NTB dimana provinsi menempati urutan ke 32 dari 33 provinsi di Indonesia. Namun demikian, Provinsi NTB dapat menekan laju pertumbuhan penduduknya dari 1,29 menjadi 1,17, sementara rata-rata laju pertumbuhan penduduk secara nasional berkisar pada angka 1,49. Komitmen pemerintah Provinsi NTB cukup tinggi untuk meningkatkan IPM dengan KB menjadi salah satu prioritas utama. Arahan yang jelas dari pemimpin daerah untuk menjadikan KB menjadi salah satu investasi sumber daya manusia. Saat ini angka penggunaan kontrasepsi aktif adalah 56%, sedikit di bawah angka nasional yaitu 57,9%. Persentase unmet need di Provinsi NTB lebih tinggi (14%) dibandingkan rata-rata nasional (11,4%) (SDKI 2012). Indikator-indikator ini tidak dicatat dan dilaporkan oleh Dinas Kesehatan.
2. Non MKJP versus MKJP
Seperti halnya provinsi lainnya, angka pengguna non-MKJP Provinsi NTB jauh lebih tinggi (86,1%) dibandingkan MKJP (13,9%). Walaupun demikian, cakupan MKJP cenderung meningkat seiring berjalannya waktu. Pada umumnya, kontrasepsi suntik menjadi kontrasepsi yang paling diminati di daerah dengan akses layanan kesehatan yang baik. Walaupun secara teknis kontrasepsi pil lebih mudah penggunaannya, lebih murah dan praktis, kontrasepsi jangka panjang seperti implan lebih diminati di daerah dengan akses yang sulit ke layanan kesehatan. IUD lebih banyak diminati di daerah perkotaan dibandingkan pedesaan. Perempuan di daerah pedesaan cenderung merasa khawatir suami akan mengeluh mengenai IUD dan khawatir akseptor IUD akan mengalami kesulitan saat melakukan pekerjaan berat. Walau jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) yang melakukan sterilisasi masih kecil, penggunaannya diminati di daerah tertentu yang lebih permisif terhadap poligami. Rekomendasi:
Mengintensifkan kegiatan KB masal dengan lebih mendorong masyarakat menggukan alat kontrasepsi MKJP dan membatasi alat konstrasepsi non-MKJP. Meningkatkan kualitas pemasangan MKJP melalui pelatihan dan praktek pemasangan alat kontrasepsi MKJP seperti IUD dan implan pada petugas pemberi pelayanan kesehatan termasuk BPS. Meningkatkan kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) serta promosi MKJP mengenai keuntungan menggunakan MKJP melalui penyuluhan, sharing dan integrasi kegiatan.
3. Kebijakan dan alokasi anggaran
Komitmen provinsi NTB untuk meningkatkan IPM sangat kuat karena NTB saat ini menempati ranking 32 dari 33 provinsi yang ada. Oleh karena itu, program kesehatan dan pendidikan menjadi sektor pembangunan yang diprioritaskan. Komitmen yang kuat dari pusat dengan memberikan alat kontrasepsi untuk seluruh penduduk juga didukung oleh komitmen yang kuat dari daerah, dengan memberikan pelayanan KB gratis di Puskesmas.
ii
Gubernur Provinsi NTB yang telah terpilih untuk kedua kalinya memiliki kewibawaan untuk memberikan arahan pada seluruh kabupaten terkait program yang meningkatkan IPM dengan membuat Nota Kesepakatan dan moto yang dibuat oleh provinsi. Beberapa jargon yang dikembangkan di tingkat provinsi seperti Generasi Emas, AKINO (angka kematian ibu NOL) membuat kabupaten harus bergerak ke arah yang sama. Dengan perkataan lain, desentralisasi hanya memiliki sedikit dampak terhadap variasi program di tingkat kabupaten terutama dalam konteks pembangunan manusia. Pendanaan untuk program-program ini ditanggung baik oleh provinsi maupun kabupaten.
4. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi
Pengadaan alat kontrasepsi dilakukan di tingkat pusat untuk seluruh penduduk. Perhitungan alat kontrasepsi dilakukan berdasarkan perhitungan target, potensi tahun lalu, angka unmet need, serta ketersediaan budget, yang kemudian menjadi KKP (Kontrak Kinerja Provinsi). Dinas Kesehatan mengeluh bahwa BKKBN kurang memperhatikan hal teknis dalam pendistribusian alat kontrasepsi ke Puskesmas/klinik. Kontrasepsi juga tergolong kelompok obat, sehingga pendistribusian harus berada dalam pengawasan apoteker. Namun bila kegiatan pendistribusian didelegasikan kepada Dinas Kesehatan, maka kemungkinan dapat terjadi keterlambatan. Stok kebutuhan alat kontrasepsi tidak boleh kurang dari dua sampai tiga bulan ke depan. Sejauh ini tidak ada masalah supply yang terjadi. Hanya pendistribusian untuk tempat terpencil sering menjadi masalah. Mekanisme distribusi alat kontrasepsi di tingkat kecamatan ada yang menerapkan kebijakan "satu pintu" melalui Puskesmas, atau "beberapa pintu", dimana PLKB mendistribusikan alat kontrasepsi langsung ke bidan desa dan ke BPS. Rekomendasi:
Melibatkan Dinas Kesehatan dalam pendistribusian alat kontrasepsi mulai dari tingkat provinsi hingga Puskesmas. Kebijakan "satu pintu" sebaiknya dilaksanakan dengan Puskesmas bertanggung jawab untuk mendistribusikan alat kontrasepsi, bukan hanya kepada bidan di desa tapi juga kepada bidan praktek swasta. Mekanisme ini membantu Puskesmas dalam melakukan kontrol sistem pelaporan.
5. Pelayanan KB dan pembiayaannya
Pelayanan KB paling sederhana yang dikelola pemerintah dilakukan di tingkat desa oleh bidan desa yang menyediakan pil dan suntik. Pelayanan MKJP seperti implan dan IUD diberikan di Puskesmas, sedangkan pelayanan sterilisasi dilakukan di Rumah Sakit. Unit pelayanan KB dapat berada dibawah naungan pemerintah maupun non-pemerintah. Keterlibatan dan dukungan klinik non-pemerintah terhadap MKJP pun cukup baik, sehingga dapat merupakan perpanjangan tangan pelayanan KB.
Dalam kenyataannya, pihak non-pemerintah juga memberikan pelayanan KB melalui klinik atau BPS. Di Provinsi NTB alat kontrasepsi diberikan secara gratis, namun biaya pelayanan dan bahan habis pakai dibebankan kepada pasien. Demikian pula jika ada keluhan tentang efek samping dan pasien membutuhkan obat, maka pasien harus membayar sendiri obatnya. Kika pasien adalah pasien Jamkesmas atau Jamkesda, maka biaya obat ditanggung oleh pemerintah.
iii
Rekomendasi:
Meningkatkan keterlibatan sektor swasta dalam pelayanan KB, terutama MKJP, dengan membentuk sistim kerjasama yang saling menguntungkan dan melibatkan mereka dalam Jampersal, Jamkesmas/Jamkesda. Memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk mengikuti pelatihan CTU dan konseling untuk selalu memperbarui pengetahuan dan keterampilannya. Mendorong disertakannya biaya pelayanan medis MKJP ke dalam skema Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat, sehingga pelayanan diberikan kepada seluruh masyarakat tanpa dipungut bayaran (bukan hanya keluarga miskin).
Konseling dilakukan sebelum akseptor memutuskan untuk ber-KB; namun pada umumnya pasien telah memutuskan sendiri jenis alat kontrasepsi yang ingin digunakan berdasarkan penjelasan yang didapat saat ANC atau dari PLKB. Konseling KB juga dilakukan setelah persalinan, dimana pasien dimotivasi untuk mendapatkan pelayanan IUD gratis jika pemasangan dilakukan dalam kurun waktu 40 hari. Dengan masuknya KB pasca persalinan dalam skema Jampersal, maka bidan dapat lebih memotivasi pasien untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi hormonal karena banyaknya efek samping yang terjadi. Prinsip kafetaria dalam konseling sulit dilaksanakan karena terbatasanya jenis alat kontrasepsi yang tersedia. Jika alat kontrasepsi yang dipilih tidak ada, beberapa pasien terpaksa membeli sendiri atau diminta menunggu hingga alat kontrasepsi ada. Rekomendasi:
Melakukan pelatihan ABPK (Alat Bantu Pengambilan Keputusan) bagi bidan, baik bidan swasta maupun yang bekerja di pemerintah.
Standar pelayanan bagi peserta KB baru adalah petugas kesehatan melakukan konseling ke calon akspetor sebelum calon akseptor memutuskan ber-KB. Idealnya, calon akseptor juga sudah dimotivasi oleh PLKB. Dalam kondisi yang ideal, konseling menerapkan prinsip kafetaria, namun pada kenyataannya hal ini sulit dilakukan karena keterbatasan jenis alat kontrasepsi yang tersedia. Dalam konseling ditemukan banyak keluhan terkait non-MKJP yang merupakan kontrasepsi hormonal. MKJP ditemukan belum terlalu populer di masyarakat. Rekomendasi:
Melakukan pelatihan konseling bagi yang belum mengikuti pelatihan, dan pelatihan penyegaran bagi yang telah mengikut pelatihan, untuk menekankan pentingnya edukasi terutama terkait alat kontrasespsi MKJP.
6. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia yang memberikan pelayanan KB di Provinsi NTB sudah cukup memadai dengan adanya dokter ahli kandungan tersebar hampir di semua kabupaten dan bidan yang tersebar di desa. Namun untuk PLKB, distribusi tidak merata karena jumlahnya yang kurang dan tidak adanya regenerasi. Rekomendasi:
Penambahan tenaga PLKB perlu menjadi perhatian penting bagi pemerintah kabupaten, di samping upaya peningkatan kualitas PLKB. Meningkatkan kapasitas PPKBD dan sub-PPKBD untuk membantu PLKB dalam program KB. iv
Dana pelatihan untuk petugas kesehatan ada di BKKBN, namun selalu berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan yang lebih mengetahui tentang ketenagaan bidan. Pelatihan Contraceptive Technology Update (CTU) dilakukan di RSU melalui jejaring P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) sejak tahun 2006 dengan materi: konseling, pencegahan infeksi, pengetahuan umum tentang kontrasepsi, serta tindakan pemasangan IUD dan implan bagi bidan dan dokter. Pelatihan CTU dilaksanakan dua kali setahun dan tidak termasuk MOP dan MOW. MOP dapat dilakukan dengan dokter umum dan MOW oleh dokter spesialis. Rekomendasi: Mengikusertakan BPS dalam pelatihan CTU dan konseling. Mengikutsertakan PLKB dalam pelatihan konseling medis, sehingga PLKB memahami persyaratan medis yang dibutuhkan untuk metode kontrasepsi tertentu.
Terjadi perdebatan tentang kewenangan bidan untuk memasang IUD dan implan karena ada UU kedokteran yang tidak mengizinkan bidan melakukan tindakan medis. Namun di NTB, hal ini tidak terlalu dipermasalahkan. Di daerah terpencil, bidan diperbolehkan menyediakan layanan implan dan IUD. Sementara itu, juga ditemukan perawat yang memberikan pelayanan kontrasepsi suntik. Rekomendasi:
Diperlukan adanya kejelasan kewenangan bidan tentang pelayanan KB dengan mempertimbangkan aksesibilitas masyarakat terutama dalam pelayanan MKJP, mengingat sebagaian besar pelayanan KB dilakukan oleh bidan.
7. Kerjasama antar instansi
Ada empat instansi yang terkait dengan KB ditingkat provinsi: BKKBN yang bekerja di sisi demand/permintaan dan bertindak sebagai koordinator, Dinas Kesehatan yang bekerja di sisi supply/pelayanan, Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) dan Program Kesejahteraan Keluarga (PKK). BP3AKB yang didirikan tahun 2008 bukan hanya mengelola kegiatan KB, tapi juga mengelola progam pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Institusi ini memiliki perpanjangan tangan di tingkat kabupaten. Instansi lainn yang tidak kalah pentingnya adalah PKK yang selalu memberikan dukungan pada pelayanan rutin dan momentum KB. Rekomendasi:
Meningkatkan koordinasi antar instansi dengan melibatkan Bappeda agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan di tingkat kabupaten. Memanfaatkan District Working Group (DWG) sebagai pemicu kerjasama antar instansi, namun tidak tersedianya dana operasional dapat menjadi kendala.
Beberapa klinik swasta telah ikut serta membantu pelayanan KB dengan memperolah alat kontrasepsi dari BKKBN, walaupun pasien tetap membayar jasa medis dan bahan habis pakai. Rekomendasi:
Meningkatkan kerjasama dengan klinik swasta atau BPS terutama dalam pelayanan MKJP, dengan membentuk sistim yang saling menguntungkan. Mengembangkan mekanisme kerjasama dengan pihak swasta untuk juga menerima akseptor dengan Jamkesda atau Jamkesmas. v
Potensi kerjasama dengan sektor swasta dapat dikembangkan dengan perusahaan padat karya. Rekomendasi:
Mengembangkan inovasi kerjasama dengan perusahaan menggunakan skema Corporate Social Responsibility (CSR). Hal ini dapat dilakukan melalui upaya advokasi pada pemerintah daerah yang memiliki pabrik padat karya untuk mengajak pihak swasta agar terlibat dalam program KB misalnya melalui APINDO.
8. Menciptakan kebutuhan
Secara umum, program KB sudah diterima masyarakat baik yang berusia muda maupun yang berusia tua. Meskipun demikian, terdapat faktor budaya mempengaruhi angka akseptor KB, misalnya pandangan masyarakat tentang pentingnya memiliki seorang anak laki-laki dalam keluarga. Hal ini menyebabkan banyak keluarga berhenti menggunakan alat kontrasepsi untuk mendapatkan anak laki-laki yang didambakan. Masih kuatnya pengaruh agama dan efek samping alat konstrasepsi menghambat keputusan untuk menggunakan alat kontrasepsi, terutama alat kontrasepsi jenis MKJP. Rekomendasi:
Mendorong pemerintah daerah dan SKPD yang terkait untuk lebih melibatkan Tuan Guru atau tokoh agama untuk memberikan informasi tentang keuntungan ber-KB dari sisi agama. Menggunakan testimoni pasangan yang berhasil menggunakan MKJP.
Untuk menciptakan kebutuhan, BKKBN sering menggunakan momentum KB dengan mengadakan pelayanan KB massal dengan menggunakan organisasi profesi IBI untuk menjadi petugas. Permasalahannya adalah banyak anggota IBI yang juga berstatus pegawai negeri, sehingga ketika mereka bertugas dalam kegiatan momentum tersebut, pelayanan di Puskesmas menjadi terganggu. Rekomendasi:
Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan jika BKKBN atau unit KB tingkat kabupaten akan melakukan momentum KB untuk mempromosikan MKJP. Disarankan agar BKKBN hanya menggunakan bidan swasta saja saat Momentum KB. Melaksanakan kegiatan momentum KB hanya di Puskesmas, klinik atau Rumah Sakit sehingga tidak mengganggu pelayanan dan jika terjadi komplikasi akan lebih mudah menanganinya. Menggunakan testimoni atau atau menggunakan teknik dari mulut ke mulut untuk promosi KB MKJP, dimana petugas kesehatan menawarkan MKJP dengan memberi contoh teman atau kerabat yang dikenalnya yang menggunakan MKJP dan tidak mengalami masalah. Menyertakan Tuan Guru untuk turut mempromosikan MKJP.
9. Pencatatan dan pelaporan
Di Provinsi NTB, pendataan KB lebih di tangan BKKBN dan jajarannya. Dinas Kesehatan lebih bersikap pasif dan menunggu dari BKKBN. Jika memerlukan data, maka Dinas Kesehatan akan memintanya dari BKKBN. Oleh karena itu, perbedaan angka peserta KB aktif atau angka KB lainnya tidak terlalu dipersoalkan di Provinsi NTB. Namun untuk menetapkan taget, ada perbedaan karena BKKBN menetapkan target berdasarkan PPM (Perkiraan Permintaan Masyarakat) sedangkan Dinas Kesehatan menggunakan data kohort
vi
berdasarkan PUS.
Terkait dengan pencatatan dan pelaporan, bidan desa mengeluhkan adanya beban ganda terkait pencatatan data KB bagi Unit KB dan bagi Dinas Kesehatan dalam register kohort KB. Rekomendasi:
Menetapkan kesepakatan mengenai pendataan peserta KB dan adanya satu sistim pelaporan yang didukung oleh kedua instansi, dimulai dari tingkat pusat untuk menghindari beban ganda bidan di desa dan menghindari perbedaan data.
Tidak ada sistim pelaporan dari klinik swasta, kecuali jika mereka mengambil alat kontrasepsi dari BKKBN. Jika bidan swasta adalah PNS, maka mereka akan juga memberikan laporan kepada Dinas Kesehatan. Rekomendasi:
Memperbaiki sistim manajemen data sehingga pelayanan klinik swasta dapat ikut terdata.
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................................................................i RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................................................................... ii UNTUK KABUPATEN STUDI DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ....................................................... ii DAFTAR ISI...................................................................................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL..................................................................................................................................................................x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................................................... xi
1.PENDAHULUAN............................................................................................................................................................. 1 1.1 Latar belakang...................................................................................................................................................... 1 1.2 Tujuan ...................................................................................................................................................................... 2 A. Tujuan umum ............................................................................................................................................... 2 B. Tujuan khusus.............................................................................................................................................. 2
2.METODOLOGI................................................................................................................................................................. 3 2.1 Rancangan penelitian...................................................................................................................................... 3 2.2 Lokasi penelitian ............................................................................................................................................... 3 2.3 Metode penelitian ............................................................................................................................................. 4 A. Kerangka sampel......................................................................................................................................... 4 B. Populasi penelitian..................................................................................................................................... 4 C. Pengambilan sampel ................................................................................................................................. 5 D. Metode pengumpulan data ..................................................................................................................... 5 E. Kerangka konsep ........................................................................................................................................ 8 F. Pedoman diskusi kelompok dan wawancara.................................................................................. 8 G. Data analisis.................................................................................................................................................. 9 H. Etik.................................................................................................................................................................... 9
3.KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI DAERAH STUDI ........................................................................... 11 3.1 Provinsi Jawa Timur ..................................................................................................................................... 11 A. Provinsi........................................................................................................................................................ 11 B. Kabupaten Tuban .................................................................................................................................... 12 C. Kabupaten Lumajang ............................................................................................................................. 12 D. Kabupaten Kediri..................................................................................................................................... 12
3.2 Provinsi Nusa Tenggara Barat .................................................................................................................. 13 A. Provinsi........................................................................................................................................................ 13 B. Kabupaten Lombok Barat .................................................................................................................... 14 C. Kabupaten Lombok Timur................................................................................................................... 14 D. Kabupaten Sumbawa.............................................................................................................................. 14
4.HASIL TEMUAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ......................................................................... 16 viii
4.1 PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ..................................................................................................... 16 A. Pendahuluan.............................................................................................................................................. 16 B. Manajemen program keluarga berencana .................................................................................... 17
4.2 KABUPATEN LOMBOK TIMUR ................................................................................................................. 23 A. Pendahuluan.............................................................................................................................................. 23 B. Manajemen program keluarga berencana .................................................................................... 28 C. Pendapat masyarakat............................................................................................................................. 37 D. Pembelajaran dari desa MKJP tinggi dan rendah ....................................................................... 48
4.3 KESIMPULAN DAN SARANPROVINSI NUSA TENGGARA BARAT .............................................. 49 A. Ringkasan hasil penelitian di tingkat provinsi dan kabupaten ............................................ 49 B. Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi) ................................. 51 C. Kesimpulan dan saran tingkat provinsi ......................................................................................... 52 D. Kesimpulan dan saran tingkat kabupaten..................................................................................... 53
REFERENSI....................................................................................................................................................................... 55
ix
DAFTAR TABEL Tabel 2.1
Daerah penelitian .................................................................................................................................... 4
Tabel 2.3
Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif ..................... 7
Tabel 2.2 Tabel 2.4 Tabel 4.1
Tabel 4-2 Tabel 4-3 Tabel 4-4 Tabel 4-5 Tabel 4-6 Tabel 4-7 Tabel 4-8 Tabel 4-9
Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif ..................... 6 Topik utama pertanyaan dalam studi kualitatif.......................................................................... 8 Indikator pencapaian dan target Provinsi Nusa Tenggara Barat ..................................... 16 Laju pertambahan penduduk, TFR, CPR dan unmet need Kab. Lombok Timur .......... 23 Cakupan dan jenis kontrasepsi yang digunakan di Kecamatan Jerowaru dan Selong ........................................................................................................................................................ 25 Cakupan KB berdasarkan jenis alat kontrasepsi di Kabupaten Lombok Timur......... 27 Anggapan masyarakat Kabupaten Lombok Timur tentang MKJP dan non-MKJP ..... 27 Alokasi anggaran terkait KB di Kabupaten Lombok Timur ................................................ 30 Klaim Dana Dekon dan Jampersal untuk pelayanan KB Pasca Salin ............................... 31 Harga alat kontrasepsi dan pelayanan beragam jenis KB di Kabupaten Lombok Timur ......................................................................................................................................................... 34 Ringkasan hasil penelitian kualitatif di Provinsi Nusa Tenggara Barat......................... 49
Tabel 4.13 Penerimaan masyarkat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi) ................................ 51
x
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Cakupan KB Nasional............................................................................................................................. 1 Gambar 2.1 Lokasi penelitian................................................................................................................................... 3 Gambar 2.2 Kerangka sampel studi kualitatif ................................................................................................... 4 Gambar 2.3 Kerangka konsep .................................................................................................................................. 8 Gambar 3.1 Wilayah administratif Provinsi Jawa Timur........................................................................... 11 Gambar 3.2 Piramida penduduk Provinsi Jawa Timur............................................................................... 12 Gambar 3.3 Provinsi Nusa Tenggara Barat...................................................................................................... 13 Gambar 3.4 Piramida penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat............................................................ 13
xi
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Implementasi program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia.Walaupun demikian, masih ditemukan berbagai tantangan terkait keragaman penggunaan metode kontrasepsi.Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 19872012 menunjukkan bahwa presentase pasangan yang menggunakan kontrasepsi jangka pendek (suntik dan pil) di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan jenis kontrasepsi jangka panjang dan permanen (MKJP) seperti IUD, implan, dan metode operasi wanita (MOW)/pria (MOP).Lebih jauh lagi, sebagian besar pasangan yang ingin membatasi kehamilan (tidak ingin punya anak lagi) masih memilih menggunakan kontrasepsi pil dan suntik, yang sebenarnya lebih bertujuan untuk menjarangkan kehamilan. Data SDKI 2007 menunjukkan bahwa sebanyak 78% pasangan pengguna kontrasepsi modern menggunakan kontrasepsi jangka pendek (suntik dan pil) dan hanya 27%yang menggunakan kontrasepsi jangka panjang/permanen(Gambar 1.1). Selain rendahnya keragaman kontrasepsi, data SDKI 2007 juga menunjukkan bahwa angka ketidakberlanjutan metode kontrasepsi pil dan suntik lebih tinggi dibandingkan MKJP.Dalam 12 bulan pertama sejak menggunakan alat kontrasepsi, angka ketidakberlanjutan akseptor pil mencapai hampir 40% dan suntik lebih dari 20%, dibandingkan IUD sebesar 10% dan implan yang hanya 5%. 100
Non-MKJP
80 %
60 40
MKJP
48
6 51
6 52
2002/3
2007
2012
10
10
9
42
45
1994
1997
20 0 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
Gambar 1.1 Cakupan KB Nasional
Penggunaan alat kontrasepsi oleh masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk adanya izin dari pasangan, kualitas pelayanan, keramahan pemberi pelayanan kesehatan, dan pengetahuan wanita tentang.Selain itu, tingkat pendapatan, akses terhadap pelayanan, dan kepercayaan yang dianut juga berpengaruh pada besarnya penggunaan KB di suatu daerah (Okech, et. al, 2011).Di Indonesia sendiri, studi BKKBN menunjukkan umur Pasangan Usia Subur (PUS), lama menikah, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal, tingkatan keluarga sejahtera, tujuan ber-KB, dan sumber pelayanan mempengaruhi penggunaan MKJP di Indonesia. Studi kualitatif BKKBN pada tahun 2011 ini juga mengungkapkan banyaknya rumor yang beredar di masyarakat terkait kegagalan IUD menjadi hambatan dalam upaya peningkatan MKJP (BKKBN, 2011). 1
Untuk mempromosikan KB termasuk MKJP di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan memperkuat aspek pelayanan dan aspek penggerakan program KB (menciptakan kebutuhan/demand creation). Pada aspek pelayanan, pemerintah memperkuat kerjasama dengan mitra pelayanan program KB, memastikan ketersediaan sarana-prasarana dan alat kontrasepsi di semua pelayanan kesehatan, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia penyedia pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2013). Dari aspek penggerakkan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), merubah kembali moto “Dua Anak Lebih Baik” ke moto sebelumnya yang lebih popular yaitu “Dua Anak Cukup” untuk menumbuhkan pola pikirkeluarga kecil bahagia sejahtera (BKKBN, 2013). Walaupun demikian, terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan program KB di Indonesia, masih sedikitnya penggunaan MKJP di antara pasangan yang ingin membatasi kehamilan atau tidak ingin hamil menunjukkan masih diperlukannya upaya peningkatan penggunaan keragaman metode/alat kontrasepsi sesuai dengan tujuan penggunaan.
Menyikapi hal tersebut, Center for Communication Programof Johns Hopkins University(JHU-CCP) bekerja sama dengan Yayasan Cipta Cara Padu, Kementerian Kesehatan RI, dan BKKBN, serta Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK-UI) mengadakan kegiatan Operational Research (OR) yang diharapkan dapat mendemonstrasikan upaya di tingkat kabupaten dalam meningkatkan ketersediaan dan penggunaan pelayanan Keluarga Berencana di daerah. Kegiatan ini dilakukan di enam kabupaten yaitu Kabupaten Kediri, Tuban, Lumajang (Provinsi Jawa Timur), dan Kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur dan Sumbawa (Provinsi Nusa Tenggara Barat). Dalam kegiatan OR ini, pengumpulan data dasar dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Laporan ini hanya mendiskusikan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh PPK UI bekerja sama dengan mitra lokal di masing-masing provinsi. Data dasar ini akan dipergunakan oleh Yayasan Cipta Cara Padu untuk melakukan intervensi advokasi di enam kabupaten tersebut.
1.2
Tujuan
A.
Tujuan umum
B.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan perlaku masyarakat terkait penggunaan alat kontrasepsi Keluarga Berencana. Tujuan khusus
Untuk mengetahui prevalensi penggunaan kontrasepsi khususnya Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Untuk menilai pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terkait MKJP. Untuk mengetahui alasan masyarakat menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi. Untuk mengetahui hambatan yang dialami masyarakat dalam mengakses pelayanan keluarga berencana.
2
2. METODOLOGI
2.1
Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah dengan informan dan informan kunci. Penelitian kualitatif ini dilakukan sebelum penelitian kuantitatif.
2.2
Lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakaan di dua provinsi: Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 2.1). Di masing-masing provinsi dipilih tiga kabupaten sebagai lokasi penelitian: Kabupaten Tuban, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Lumajang untuk Provinsi Jawa Timur; serta Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Sumbawa untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Provinsi Jawa Timur
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Gambar 2.1 Lokasi penelitian
Penelitian kualitatif dilaksanakan di dua desa terpilih dari masing-masing kabupaten untuk mewakili gambaran desa dengan tingkat penggunaan MKJP tinggi dan rendah (Tabel 2.1).Data dikumpulkan dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa.
3
Tabel 2.1 Daerah penelitian Provinsi
Kabupaten
Cakupan MKJP Kecamatan Desa
Provinsi
Kabupaten
Cakupan MKJP Kecamatan Desa
Jawa Timur Kediri
Rendah Pagu
Semanding
Lumajang Tinggi
Tarokan Tarokan
Lombok Barat
Rendah
Kediri Banyumulek, Lelede
2.3
Metode penelitian
A.
Kerangka sampel
Tinggi
Narmada Dasan Tereng
Rendah Tekung
Wonogriyo
Tuban
Tinggi
Candipuro Jarit
Nusa Tenggara Barat Lombok Timur
Rendah
Jerowaru Paro Mas
Tinggi
Selong Kelayu Utara
Rendah Rengel Maibit
Tinggi
Parengan
Sidangrejo
Sumbawa
Rendah Rhee
Sampe
Tinggi
Seketeng Seketeng
Enam sampai delapan wawancara mendalam dilaksanakan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan.Selain itu, kurang lebihempat wawancara mendalam dan empat diskusi kelompok diselenggarakan di tingkat desa.Lebih lanjut, kerangka sampel dapat dilihat di Gambar 2.2.
B.
Populasi penelitian
Gambar 2.2 Kerangka sampel studi kualitatif
Untuk mengetahui tingkat pengetahan, sikap, dan perilaku terkait penggunaan MKJP, populasi penelitian yang diambil adalah sebagai berikut: Wanita menikah (15-49 tahun) bertempat tinggal di lokasi penelitian, memiliki setidaknya satu orang anak, dan yang memenuhi kriteria berikut: a. Menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) b. Menggunakan metode kontrasepsi lain c. Tidak menggunakan metode kontrasepsi jenis apapun (tidak ber-KB) Pihak lain yang berperan: a. Suami dari wanita yang menggunakan MKJP
4
C.
b. Suami dari wanita yang menggunakan metode lain c. Suami dari wanita yang tidak ber-KB d. Pria yang menggunakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi (15-49 tahun) e. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang menggunakan MKJP f. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang menggunakan metode lain g. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang tidak ber-KB Pembuat kebijakan atau tokoh masyarakat terkait program keluarga berencana, termasuk: a. Tingkat provinsi: pegawai pemerintah daerah, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), BKKBN provinsi, PKK, Ikatan Bidan Nasional (IBI) b. Tingkat kabupaten: wakil bupati, pegawai pemerintah daerah, Bappeda, Badan Keluarga Berencana (BKB), PKK c. Tingkat kecamatan: kepala kecamatan, BKB, PKK, KUPT-KB d. Tingkat desa: kepala desa dan tokoh masyarakat/agama Pemberi layanan kesehatan a. Tingkat provinsi: pegawai dinas kesehatan, pegawai RSUD, pegawai rumah sakit swasta b. Tingkat kabupaten: pegawai dinas kesehatan, pegawai RSUD, RS swasta c. Tingkat kecamatan: pegawai dinas kesehatan dan bidan koordinator, Bidan Praktek Swasta (BPS) d. Tingkat desa: petugas lapangan keluarga berencana (PLKB), sub-PPKBD, kader, bidan desa, BPS.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dari populasi penelitian menggunakan metode non-probabilitas. Pengambilan sampel di tingkat desa dilakukan dengan meminta bantuan dari kader atau bidan desa. Detail informasi terkait informan disajikan di Tabel 2.2 dan 2.3. D.
Metode pengumpulan data
Penelitian kualitatif ini menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion/FGD) untuk mengumpulkan informasi dari masyarakat. Setiap diskusi kelompok melibatkan enam hingga delapan peserta. FGD dilaksanakan secara terpisah untuk pria dan wanita di tingkat desa.
Di setiap desa, dilakukan dua FGD untuk kelompok wanita yang terdiri dari satu FGD ibu yang ber-KB dan satu FGD ibu yang tidak ber-KB. Pada FGD ibu ber-KB, baik ibu yang menggunakan MKJP ataupun metode lain dilibatkan sebagai peserta FGD. Hal serupa juga berlaku untuk FGD pria, satu FGD bapak untuk bapak atau pasangannya yang ber-KB dan satu FGD bapak untuk bapak dan pasangannya yang tidak ber-KB. Lebih lanjut, kategori responden dan metode pengumpulan data dapat dilihat di Tabel 2.2 dan Tabel 2.3. Data dikumpulkan dari total 453 informan yang terdiri atas 237 informan di provinsi Jawa Timur dan 216 informan di provinsi Nusa Tenggara Barat. Lebih lanjut, detail jumlah informan untuk masing-masing kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat disajikan di Tabel 2.2 dan Tabel 2.3.
5
Tabel 2.2 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif
Provinsi Jawa Timur Kegiatan
Jumlah Informan
Provinsi
Jawa Timur
WM: Wakil bupati
1
WM: BKKBN
1
WM: Pemda
1
WM: Dinkes
1
WM: RS swasta WM: IBI
Kabupaten
Kediri
WM: Pemda
1
WM: Institusi KB
1
WM: Bappeda
WM: RSUD
WM: RS swasta Lainnya
Kecamatan
1
Lumajang
1
1
Digabung dengan inst KB
1
WM: Dinkes WM:PKK
1
1
Pagu
1 1
1
1
1
1 1
Tuban
1
1
1
1
1
1
1
1
Semanding
Tarokan
FGD: Ibu KB
6
FGD: Bapak non-KB
6
WM: PKK
1
WM: KUPT-KB WM: BPS Desa
FGD: Ibu non-KB FGD: Bapak KB WM: Kades WM: kader
WM: Toga/toma WM: Bidan desa
WM: PLKB WM: ibu/mertua dari PUS KB WM: ibu/mertua dari PUS non KB Lainnya
1
1
1 Parengan
1
Candipuro
1
1
Tekung
WM: Bidan koordinator
Tarokan
1
1
1
8
Sama dengan bidan
Sidangrejo
Maibit
8
6
8
8
6
6
6
6
6
6
6
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
6
1
Sama dengan KUPT KB
1
6
6
1
1
1
1
Wonogriyo
1
1
1
Jarit
1
1
1
Sama dengan PLKB
1
8
1
Rengel
1
6
6
1
1
Total 82 WM = Wawancara Mendalam FGD = Focus Group Discussion
1
1
1
1
1
1
1
1
1 76
1
7
6
7
5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 79
6
Tabel 2.3 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif
Provinsi Nusa Tenggara Barat Kegiatan
Jumlah Informan
Provinsi
Nusa Tenggara Barat
WM: Pemda
1
WM: BKKBN
1
WM: Bappeda
1
WM: Dinkes
1
WM: PKK
1
WM: RSUD
1
WM: RS swasta WM: IBI District
1 1
Sumbawa
Lombok Timur
Lombok Barat
WM: Pemda
1
1
1
WM: Institusi KB
1
1
1
WM: Bappeda
1
WM: Dinkes WM:PKK Lainnya
Sub-district:
1 Jerowaru
1
1
Sampe
1
FGD: Ibu KB
FGD: Bapak non-KB
WM: PKK WM: BPS Village:
FGD: Ibu non-KB FGD: Bapak KB WM: Kades WM: kader
WM: Toga/toma WM: Bidan desa
1
1 Seketeng
WM: KUPT-KB
1
1
Rhee
WM: Bidan koordinator
1
1
1
WM: RSUD
WM: RS swasta
1
1
1 1
1
Tidak ada RS swasta 1
Selong
Kediri
1
1
1
1
Seketeng
1
Paro Mas
Kelayu Utara
1
Banyumulek, Lalede
1
1
Dasan Tereng
6
6
6
6
7
6
3
4
6
6
7
7
1 1
6 5 1 1 1 1
1 1
3 5 1 1 1 1
WM: PLKB 1 1 WM: ibu/mertua dari 1 1 PUS KB WM: ibu/mertua dari 1 PUS non KB Total 64 WM = Wawancara Mendalam FGD = Focus Group Discussion
1
1
1
1
6
5
6
5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 1
1 76
1
1
1
1
1
6
6
7
6
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 1
Narmada
1 81
1
7
E.
Kerangka Konsep
Kerangka konsep yang digunakan pada penelitian ini disesuaikan dari Theory of Diffusion of Innovations (Rogers, 1962) dan Health Belief Model (Rosenstock, 1966) yang telah banyak digunakan untuk memprediksi perilaku kesehatan. Kerangka konsep penelitian ini terlihat di Gambar 2.3. Antecedents
Proses
Dampak
Gambar 2.3 Kerangka konsep
F.
Pedoman diskusi kelompok dan wawancara
Variabel, indikator, dan metode penilaianpada penelitian ini disajikan di Tabel 2.4. Tabel 2.4 Topik utama pertanyaan dalam studi kualitatif No
Topik
1
Kondisi SES (kuesioner pendek)
2
Pengetahuan, pengalaman masyarakat mengenai penggunaan alat kontrasepsi
3
Faktor pendorong maupun penghambat penggunaan metode kontrasepsi
Informan
Perempuan usia subur Suami Ibu atau mertua dari PUS Perempuan usia subur Suami Ibu atau mertua dari PUS Tenaga kesehatan Tokoh masyarakat/agama Perempuan usia subur Suami Tenaga kesehatan Tokoh masyarakat/agama
8
No 4 5
6
G.
Topik Pandangan masyarakat mengenai Keluarga Berencana dan alat/cara kontrasepsi
Ketersediaan, keterjangkauan, dan akses untuk mendapatkan alat kontrasepsi Kebijakan KB di daerah tersebut, kerja sama lintas institusi dan sektor terkait program KB, ketersediaan dan keterjangkauan metode kontrasepsi, promosi program KB dan MKJP, sumber pendanaan program KB, SDM yang ada, pelatihan bagi SDM yang ada, pemantauan dan evaluasi.
Informan Perempuan usia subur Suami Tenaga kesehatan Tokoh masyarakat/agama Perempuan usia subur Suami Tenaga kesehatan Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan Tokoh masyarakat/agama Tenaga kesehatan Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan Tokoh masyarakat/agama
Data analisis
Semua hasil diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam direkam audio dan kemudian ditranskrip oleh petugas lapangan. Analisis isi dan tematik dilakukan untuk mengidentifikasi tema yang muncul dari transkrip tersebut. Analisis dilakukan secara terpisah untuk setiap provinsi dan kabupaten. Identifikasi tema mengacu kepada tujuan penelitian yang telah ditetapkan.
Secara umum analisis data yang terkumpul dilakukan dalam beberapa tahapan. Pertama, konseptualisasi informasi yang terkumpul dan identifikasi hasilke dalam beberapa area utama seperti cakupan program KB dan permasalahannya, manajemen program KB, pendapat masyarakat terhadap KB, serta pembelajaran yang diperoleh dari desa MKJP tinggi dan rendah. Proses ini berguna untuk mempermudah analisis selanjutnya ke dalam tema yang teridentifikasi. Kemudian dilakukan penilaian kritis terhadap kondisi program termasuk kekuatan, kelemahan, hambatan, area yang perlu ditingkatkan, dan faktor-faktor yang berhubungan sertaberguna agar dapat diajukan sebagai saran nyata. Selanjutnya, kutipan teks dari transkrip yang relevan diletakkan dibawah tema yang diidentifikasi. Selain itu, untuk meningkatkan kevalidan data, hasil wawancara mendalam dan FGD dianalisis dengan menggunakan: 1. Triangulasi sumber, yakni membandingkan konsistensi hasil yang diperoleh dari berbagai sumber penelitian. 2. Triangulasi metode, yakni membandingkan konsistensi hasil yang diperoleh dari berbagai metode pengumpulan data. 3. Triangulasi teori, yakni membandingkan hasil yang diperoleh dengan teori yang ada. H.
Etik
Perizinan etik untuk penilitian ini diperoleh dari Komite Etik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Izin penelitian juga diperoleh dari Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri, Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten. Perizinan pelaksanaan studi juga diperoleh dari tingkat desa dan kecamatan.
Dalam pengambilan data, fasilitator FGD dan pewawancara lebih dahulu menjelaskan protokol penelitian kepada informan/peserta FGD. Selain itu, informan dan peserta FGD yang terlibat juga telah mengerti bahwa informasi yang diberikan dalam penelitian ini bersifat rahasia. Untuk
9
itu, informan dan peserta FGD yang terlibat diminta menandatangi informed consent sebelum wawancara mendalam atau FGD dilaksanakan. Informed consent ini berfungsi sebagai bukti kebersediaan informan dan peserta FGD untuk terlibat dalam peneitian serta kebersediaan informan dan peserta FGD bahwa proses wawancara mendalam atau FGD direkam secara audio.
10
3. KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI DAERAH STUDI 3.1 Provinsi Jawa Timur A.
Provinsi
Provinsi Jawa Timur terletak di bagian timur Pulau Jawa dan berbatasan dengan Pulau Kalimantan, Pulau Bali, perairan terbuka Samudera Indonesia dan Provinsi Jawa Tengah. Provinsi Jawa Timur dari permukaan laut terbagi menjadi 3 bagian dimana sebagian besar (20 kabupaten/kota) terletak di daratan rendah (< 45 meter) dan sisanya tersebar di dataran tinggi dan sedang. Dari sudut kepulauannya, Provinsi Jawa Timur terbagi atas 2 bagian besar yaitu Jawa Timur daratan dan Pulau Madura dengan luas wilayah 47.281 km2. Provinsi ini terbagi atas 29 kabupaten dan 9 kota, dengan 658 kecamatan dan 8.497 desa/kelurahan.
Gambar 3.1 Wilayah administratif Provinsi Jawa Timur
Jumlah penduduk di Jawa Timur sebanyak 37.476.757 jiwa(BPS, 2010) dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,76. Perbandingan urban dan rural adalah 47,6% tinggal di perkotaan dan sisanya di perdesaan. Di bawah ini (Gambar 3.2) adalah gambaran dari piramida penduduk di Jawa Timur, yang menggambarkan jumlah penduduk usia anak-anak masih cukup tinggi. Seks rasio di Jawa Timur adalah 98 yang berarti terdapat 98 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Median umur penduduk Provinsi Jawa Timur tahun 2010 adalah 31,03 tahun atau tergolong dalam kategori tua dengan rasio ketergantungan penduduk: 46,33. Dengan kata lain, setiap 100 orang usia produktif terdapat sekitar 46 orang usia tidak produkif, yang menunjukkan banyaknya beban tanggungan penduduk suatu wilayah.
11
Gambar 3.2 Piramida penduduk Provinsi Jawa Timur
Rata-rata umur kawin pertama penduduk laki-laki di Jawa Timur adalah 26,6 tahun dan perempuan lebih muda empat tahun yakni 22,0 tahun. Di atas kertas, angka ini sudah menunjukkan tercapainya anjuran Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menunda perkawinan hingga usia 25 tahun bagi laki-laki dan 20 tahun bagi perempuan. B.
Kabupaten Tuban
Pada bulan Agustus 2005, Kabupaten Tuban mengalami pemekaran kecamatan dari 19 menjadi 20 .Jumlah penduduk Kabupaten Tuban pada tahun 2011 adalah 1.258.816, dengan komposisi laki-laki 630.576 jiwa dan perempuan berjumlah 628.240 jiwa. Kepadatan penduduk Kabupaten Tuban meningkat dibandingkan tahun lalu. Kepadatan penduduk tahun 2011 adalah 684 jiwa/km2. Kecamatan yang paling padat adalah Kecamatan Tuban dengan kepadatan 4.297 jiwa/km2 (Kabupaten Tuban Dalam Angka Tahun 2011, BPS Kabupaten Tuban). C.
Kabupaten Lumajang
Kabupaten Lumajang memiliki 21 kecamatan yang meliputi 197 desa dan tujuh kelurahan.Jumlah total penduduk di Kabupaten Lumajang adalah 1.006.563 jiwa dengan kepadatan penduduk 567 jiwa/km². Jumlah penduduk pria adalah 490.490 jiwadan penduduk wanita berjumlah 516.073 jiwa. D.
Kabupaten Kediri
Pada tahun 2011, Kabupaten Kediri memiliki 26 kecamatan, 343 desa, dan satu kelurahan (Sumber: Kabupaten Kediri dalam Angka, 2012). Berdasarkan hasil sensus penduduktahun 2000, Proyeksi Penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur menyatakan jumlah penduduk Kabupaten Kediri sebesar 1.546.782 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 771.675 jiwa dan perempuan sebanyak 775.107 jiwa.
12
3.2 Provinsi Nusa Tenggara Barat A.
Provinsi
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki perbatasan di sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Samudera Hindia, sebelah timur dengan Selat Sepadan dan sebelah barat dengan Selat Lombok.NTB terdiri dari dua pulau besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Secara total NTB memiliki luas wilayah 20.153,15 km 2 dengan delapan kabupaten, dua kota, dan 116 kecamatan serta 1.110 desa.
Gambar 3.3 Provinsi Nusa Tenggara Barat
NTB memiliki jumlah penduduk sebesar 4,5 juta jiwa (Profil NTB 2010) dengan tingkat kepadatan penduduk 225 kilometer persegi. Jumlah penduduk usia produktif sebanyak 2,99 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, jumlah angkatan kerja berjumlah 2,03 juta jiwa dan yang bukan angkatan kerja sebanyak 968,64 ribu jiwa.
Gambar 3.4 Piramida penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat
Jumlah penduduk miskin NTB pada tahun 2007 sebanyak 25% yang tersebar merata baik diperkotaan maupun pedesaan. Pada tahun 2010 NTB tercatat sebagai provinsi dengan IPM kedua terendah setelah Papua dengan laju pertumbuhan penduduk (2000-2010) sebesar 1,17. Gambaran piramida penduduk di provinsi NTB yang menggambarkan rata-rata usia penduduk berusia 25,4 tahun dapat dilihat di Gambar 3.4 (Sensus, 2010). Angka ini menunjukkan bahwa
13
penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat termasuk kategori menengah (median antara 20-30 tahun).
Rasio ketergantungan penduduk NTB adalah 55,5 atau untuk setiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) terdapat sekitar 56 orang usia tidak produkif (dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun). Hal ini menunjukkan beban tanggungan penduduk suatu wilayah. Sementara rasio ketergantungan di daerah perkotaan adalah 51,5 dibandingkan dengan daerah perdesaan 58,5.
Perkiraan rata-rata umur kawin pertama penduduk laki-laki sebesar 24,8 tahun dan perempuan 22,1 tahun. Di atas kertas tampak bahwa anjuran dari BKKBN untuk usia menikah laki-laki 25 tahun dan perempuan 20 tahun tampaknya telah tercapai.Seks rasio di NTB adalah 94, berarti terdapat 94 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Seks rasio menurut kabupaten/kota yang terendah adalah Kabupaten Lombok Timur sebesar 87 dan tertinggi adalah Kabupaten Sumbawa sebesar 104. B.
Kabupaten Lombok Barat
Presentase wanita berstatus kawin usia 15-49 tahun yang menggunakan alat kontrasepsi KB di Indonesia (KB aktif) adalah sebesar 64.2%. Angka ini diatas angka nasional 61.9% (SDKI 2007 dan 2012 dalam Ringkasan Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2012). Kabupaten Lombok Barat saat ini memiliki 10 kecamatan, 88 desa, dan 657 dusun. C.
Kabupaten Lombok Timur
Kabupaten Lombok Timur terdiri dari 20 kecamatan. Pada tahun 2010, jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Lombok Timur tercatat sebanyak 215 desa/kelurahan, sedangkan pada bulan Desember 2011 jumlah desa/kelurahan dimekarkan menjadi 252. Satuan pemerintahan di bawah desa yakni dusun/lingkungan tercatat berjumlah sekitar 1.271 pada akhir tahun. Berdasarkan buku Penduduk Lombok Timur Dalam Angka 2011, jumlah penduduk Kabupaten Lombok Timur tahun 2011 sekitar 1.116.745 jiwa. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sekitar 1,01% jika dibandingkan jumlah penduduk tahun 2010. Apabila dirinci menurut jenis kelamin, penduduk Lombok Timur tahun 2011 terdiri dari 519.898 laki-laki dan 596.847 perempuan.Dengan demikian, rasio jenis kelamin penduduk Lombok Timur sebesar 87,11 artinya terdapat 87 laki-laki setiap 100 penduduk perempuan.
Sementara itu perkembangan tingkat kepadatan penduduk juga mengalami perubahan dimana pada tahun 2005 Kabupaten Lombok Timur tercatat memiliki 644 jiwa/km 2 dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 689 jiwa/km2. Jumlah ini terus meningkat dimana pada tahun 2011 tingkat kepadatan penduduk tercatat menjadi 696 jiwa/km2. Hal ini menunjukkan ketersediaan ruang bagi penduduk di Kabupaten Lombok Timur semakin terbatas. D.
Kabupaten Sumbawa
Penduduk Kabupaten Sumbawa pada tahun 2011 berjumlah sekitar 419.989 jiwa, terdiri dari 214.387 laki-laki dan 205.602 perempuan dengan sex rasio 104. Bila jumlah penduduk dibandingkan dengan luas wilayah Kabupaten Sumbawa yakni 6.643,98 km2, maka setiap km2 dihuni oleh 63 jiwa. Ini memperlihatkan penduduk Kabupaten Sumbawa masih jarang. Jika dilihat keadaan masing-masing kecamatan, maka kecamatan Sumbawa merupakan yang terpadat yaitu sebesar 1.269 jiwa/km2, diikuti Kecamatan Alas dan Unter Iwes dengan masingmasing sebesar 231 dan 223 jiwa/km2. Sumbawa mempunyai beberapa wilayah remote dan pulau-pulau kecil yang didiami oleh beberapa etnis yang berbeda, etnis terbesar adalah suku Sumbawa, dan pendatang dari Lombok, Bali serta Jawa.
14
Kabupaten Sumbawa cukup berhasil melakukan pengendalian laju pertumbuhan penduduk, hal ini terbukti dengan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 (SP-2010) yang menunjukkan jumlah penduduk Kabupaten Sumbawa sebanyak 415,789 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 0,94 % (LLP 2000-2010).
15
4. HASIL TEMUAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 4.1 PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT A.
Pendahuluan
A.1
Cakupan program Keluarga Berencana (KB) dan permasalahannya di Nusa Tenggara Barat
Secara nasional Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu dari tujuh provinsi dimana alat kontrasepsinya 100% ditanggung oleh pemerintah pusat. Namun demikian NTB berhasil menurunkan Laju Pertumbuhan Penduduknya dari 1,82 menjadi 1,17.
Dari data kohort ibu Dinas Kesehatan, CPR adalah 64% dari seluruh PUS, sementara hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menujukkan angka 56,0%. Jenis kontrasepsi tidak dirangkum dan dilaporkan walaupun pada data kohort ibu di tingkat Puskesmas, data tentang jenis kontrasepsi tersedia. Angka unmet need juga tidak tercatat di Dinas Kesehatan sehingga angka yang digunakan adalah angka SDKI, namun BPPKB mengikuti tentang angka unmet need ini.Dinas Kesehatan lebih menekankan pada data tentang komplikasi dan efek samping. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa CPR 56,0 % tidak mampu menekan TFR 2,8? Apakah karena pemakaian alat kontrasepsi masih yang tergolong non-MKJP? Atau karena distribusi alat kontrasepsi yang kurang merata? Atau karena usia kawin pertama yang masih rendah? Tabel di bawah ini memberikan gambaran mengenai pencapaian NTB terkait dengan indikator KB. Tabel 4.1 Indikator pencapaian dan target Provinsi Nusa Tenggara Barat Indikator
Capaian NTB
Tingkat Pertumbuhan Penduduk Total Fertility Rate (FTR)
1,17
(Sensus Penduduk 2012)
Contraception Prevalence Rate (CPR)
56%
(SDKI, 2012)
MKJP Age Specific Fertility Rate (ASFR) untuk 15-19 tahun Unmet Need Rata-rata umur pertama menikah
2,8
(SDKI, 2012)
13,9%
(SDKI, 2012)
16,1% (metode baru) 14,0% (metode lama) Laki-laki: 24,8
(SDKI, 2012) Perempuan 22,1
Capaian Nasional
Target MDGs
1.49 (SP, 2010) 2,6 (SDKI, 2012) 57,9 (SDKI, 2012, hasil sementara)
1,1
48/1000 (SDKI, 2012, hasil sementara) 11,4%
2,1
65% 30/1000 perempuan 5%
21 tahun
Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa pencapaian Provinsi NTB cenderung di bawah rata-rata nasional, seperti misalnya TFR dan CPR (Tabel 4.1). Angka unmet need juga masih masih sekitar 14%, lebih tinggi dari rata-rata nasional (11,4%). Pada umumnya pasangan ini sudah mencoba menggunakan alat kontrasepsi namun karena ada efek sampingnya sehingga mereka takut untuk mencoba yang lain.
Terlepas dari ketertinggalan NTB dalam indikator terkait KB, saat ini tampaknya NTB berusaha mengejar ketinggalannya dengan tingginya komitmen dari pemerintah untuk program KB. Pertanyaan penting yang perlu diajukan untuk mendapat gambaran masyarakat terpencil NTB adalah:
16
• • •
Ibu hamil keberapa? Karena masih banyak ibu di daerah terpencil yang memiliki banyak anak Suami keberapa? Karena kawin cerai adalah hal yang umum dilakukan oleh masyarakat di NTB terutama di pulau Lombok. Berapa anak yang hidup? Di daerah terpencil, masih sering terjadi kematian bayi karena fasilitas yang kurang memadai.
Usia perkawinan menurut nara sumber rata-rata masih rendah 15-17 tahun, terutama didaerah pantai, namun di perkotaan rata-rata perempuan menikah sudah di atas 20 tahun.Hal ini bertolak belakang dengan data Sensus Penduduk (2010) yang menunjukan usia rata-rata perkawinan pertama adalah 22 untuk perempuan dan 25 untuk laki-laki. Terlepas dari hal ini, diakui bahwa kesadaran ber-KB untuk pasangan-pasangan muda sudah jauh lebih baik.Pada umumnya pasangan muda baru menggunakan KB jika mereka telah memiliki anak pertama, hal ini disebabkan karena desakan orang tua mereka yang mengharapkan cucu. A.2
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) versus Jangka Pendek (non-MKJP)
Data SDKI menunjukkan bahwa suntik merupakan alat kontrasepsi yang paling banyak diminati (36,8%) di NTB, terutama untuk daerah yang aksesnya mudah. Kemudian disusul oleh pil (7,1%), yang rawan gagal, walaupun secara teknis lebih mudah. Non-MKJP masih banyak diminati karena saran suami yang masih ingin punya anak lagi. Jadi jika ingin punya anak lagi lebih mudah untuk dihentikan. Selain ini non-MKJP dianggap masyarakat lebih murah dan praktis. Alat kontrasepsi yang tergolong MKJP seperti IUD dan implan masih kurang diminati. Pengguna IUD hanya 3,8% sementara implan lebih banyak diminati di NTB (5,4%). IUD lebih banyak diminati di perkotaan dan sulit untuk diterima untuk masyarakat pedesaan karena takut atau malu pemasangannya. Rumor bahwa suami mengeluh jika berhubungan seksual juga sering terdengar demikian juga alatnya yang lepas ketika bekerja berat. Implan lebih diminati oleh masyarakat daerah terpencil/pegunungan karena akses tenaga kesehatan sulit. Dengan menggunakan implan maka mereka tidak harus bolak balik ke bidan.
B.
MANAJEMEN PROGRAM KELUARGA BERENCANA
B.1
Kebijakan dan alokasi anggaran
NTB adalah provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ketiga, terendah setelah Papua, menurut Bapeda, sehingga komitmen pemerintah daearah untuk meningkatkan IPM di NTB sangat kuat. Kesehatan dan pendidikan dianggap sebagai modal utama untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk di NTB. Oleh karena itu pemerintah daerah mencanang kan program pelayanan KB gratis di Puskesmas.
Program Keluarga Berencana mendapat perhatian khusus dimana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2014-2018 program KB dibahas secara khusus dengan programnya Generasi Emas NTB. Selain itu Pemerintah daerah juga membentuk Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Kelurga Berencana (BP3AKB) sebagai satuan kegiatan perangkat daerah yang juga turut aktif menggiatkan program KB selain BKKBN yang merupakan perpanjangan tangan pusat. Komitmen pemerintah terlihat dengan meningkatnya anggaran unit ini dari 2M pada tahun 2012 menjadi 3,5M pada tahun 2014 nanti. Kebijakan provinsiuntuk mendukung tercapainya MDGs juga cukup kuat. NTB membuat jargon seperti: AKINO atau Angka Kematian Ibu NOL dan Generasi Emas 2025 mengarahkan NTB untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Gubernur NTB, meminta pada bupati untuk
17
ikut serta komit melaksanakan program yang telah dicanangkan provinsi dalam upaya meningkatkan IPM NTB. Misalnya, pada tahun 2009, Gubernur minta komitmen kabupaten untuk sharing dana revitalisasi Posyandu, kebutuhan dana keseluruhan dihitung, lalu dibagi dua, setengah ditanggung provinsi dan setengah lagi ditanggung kabupaten. Pengusulan Anggaran
Pengusulan anggaran mengikuti proses yagn berlaku umum. Setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menghitung kebutuhan anggarannya dan kemudian diajukan ke Bappeda. Pada umumnya SKPD mengajukan 2-3 kali lebih besar dari pagu yang telah ditetapkan. Kemudian dibahas dengan Bappeda untuk disesuaikan pagu anggaran yang telah ditetapkan untuk masing-masing SKPD. Jamkesmas/Jamkesda dan KB
Pelayanan KB telah diikut sertakan dalam Jamkesmas/Jamkesda. Pihak RS Pemerintah juga mengakui bahwa pasien rujukan semua gratis jika dengan menggunakan skema jampersal.Dari salah seorang narasumber, disebutkan bahwa Bidan Praktek Swasta (BPS) boleh ikut skema Jampersal namun tidak boleh mengambil pasien swasta lagi. Hal ini diakui memberatkan bidan praktek swasta. B.2
Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi
Mekanisme pengadaan dan peruntukan NTB merupakan salah satu provinsi dengan pengadaan alat kontrasepsi 100% ditanggung oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu baik di tingkat provinsi maupun kabupaten tidak melakukan pengadaan alat kontrasepsi. Perhitungan jumlah alat kontrasepsi yang dibutuhkan dilakukan melalui perhitungan jumlah peserta KB baru, Perkiraan Permintaan Masyarakat. Data-data ini diperoleh dari Puskesmas dengan mengumpulkan data dari klinik (F/II/KB) dan pustupustunya, kemudian koordinator tingkat kecamatan UPT-KB mengumpulkan data ini dan menyerahkan ke SKPD KB tingkat kabupaten dan kemudian mengkompilasi semua data yang ada.
Dengan mempertimbangkan angka unmet need dan ketersediaan anggaran operasional, maka angka ini diolah menjadi Kontrak Kinerja Provinsi (KKP) yang harus di capai untuk masingmasing kabupaten. Kebutuhan stok alat kontrasepsi tidak boleh kurang dari 2-3 bulan ke depan. Hingga saat ini belum terjadi kekurangan stok alat kontrasepsi. Sebenarnya seluruh alat kontrasepsi disediakan secara gratis dari pemerintah pusat, namun pada pelaksanannya pelayanan KB tidak seluruhnya diberikan secara gratis di seluruh kabupaten. Misalnya di Kabupaten Lombok Timur, masyarakat yang mau ber-KB diberikan gratis asalkan dilakukan di pelayanan pemerintah seperti Puskesmas dan RS atau Poskesdes. Sedangkan di Lombok Barat, pelayanan KB gratis bagi masyarakat yang memegang kartu jaminan pelayanan (jamkesmas atau askeskin). Sedangkan masyarakat non-Gakin yang datang ke Puskesmas/RS dikenakan biaya pelayanan sesuai ketentuan Perda No.4/2011. Distribusi alat kontrasepsi
Pendistribusian alat kontrasepsi dari Pusat didistribusikan ke BKKBN provinsi dan dari provinsi didistribusikan ke unit KB tingkat kabupaten. Dari unit KB tingkat kabupaten kemudian didistribusikan ke KUPT KB tingkat kecamatan. Dari tingkat ini ada dua variasi pendistribusian, yang pertama adalah alat kontrasepsi didistribusikan ke Puskesmas lalu Puskesmas akan mendistribusikan pada bidan di desa dan bidan praktek swasta yang berada di wilayahnya. Variasi ke dua adalah alat kontrasepsi didistribusikan ke Puskesmas, bidan di desa dan Klinik Swasta oleh KUPT KB melalui PLKB. Persoalannya adalah pendistribusian alat kontrasepsi ke
18
daerah terpencil. Walaupun ada dana untuk mendistribusikan alat kontrasepsi, namun untuk daerah yang terpencil kurang mencukupi. Memahami hal ini, bidan di desa terpencil sering kali secara suka rela memberikan transportasi tambahan ala kadarnya kepada PLKB yang diperoleh dari akseptor. Misalnya di Kabupaten Lombok Timur bidan mengumpulkan Rp.2000,- dari setiap akseptor suntik untuk diberikan kepada PLKB. Dinas Kesehatan sering mengeluh bahwa BKKBN kurang memperhatikan hal teknis dalam pendistribusian alat kontrasepsi ke klinik/Puskesmas. Alat kontrasepsi juga termasuk obat sehingga pendistribusian harus ada pengawasan dari apoteker.Pernah di coba alat kontrasepsi yang didistribusikan di titipkan ke gudang obat Dinas Kesehatan, tapi hanya bertahan satu tahun saja, karena dianggap menjadi lambat. Kecukupan alat kontrasepsi
Secara umum stok alat kontrasepsi selalu tercukupi karena telah disediakan untuk jangka waktu ketersediaan tiga bulan ke depan. Pelaporan stok alat kontrasepsi
Setiap bulan Unit KB tingkat kabupaten mendapatkan informasi dari Puskesmas kecamatan dan koordinator PLKB tentang stok KB yang ada dan kemudian unit KB tingkat kabupaten mengisi form Evaluasi dan melaporkannya ke tingkat provinsi. B.3
Pelayanan KB dan pembiayaannya
Unit Pelayan KB Secara umum ada tiga tingkat pelayanan KB. Tingkat yang paling dasar adalah Polindes, dimana poli ini hanya dapat melayani KB sederhana seperti KB suntik. Tingkat yang lebih tinggi adalah Puskesmas, dimana klinik ini dapat melayani pemasangan IUD dan implan. Tingkat yang lebih tinggi lagi adalah Rumas Sakit, dimana pelayanan KB yang kompleks seperti Metode Operasi Pria (MOP) dan Metode Operasi Wanita (MOW) hanya dapat dilaksanakan di Rumah Sakit.
Dalam studi ini peneliti mengunjungi salah satu RSB Swasta dimana jumlah pasien perbulan: 26 orang dengan rincian: IUD 22 pasien, MOW tiga pasien dan suntik satu pasien. Di klinik ini ibuibu lebih banyak memilih metode MKJP. RS Pemerintah yang merupakan RS rujukan juga memiliki pola yang sama, dimana pasien yang datang ke RS lebih memilih MKJP. Contoh dari catatan bulan yang lalu adalah IUD postpartum 60 pasien perbulan. Tubektomi kurang lebih 13 pasien perbulan dan vasektomi berkisar antara 7-10 perbulannya. Biaya Pelayanan KB
Untuk biaya pelayanan KB di RS Pemerintah, jika pasien ingin menggunakan kondom, suntik dan pil maka pasien hanya membeli karcis saja, karena alat kontrasepsi tersebut gratis. Namun untuk suntik ada biaya pelayanan medisnya yang dikenakan sebesar Rp.25.000,-. Di bawah ini adalah biaya pelayanan medis untuk MKJP: • • •
Biaya pelayanan medis IUD Rp.75.000,Biaya pelayanan medis MOW Rp.2.500.000,Biaya pelayanan medis MOP Rp.1.250.000,-
Gambaran biaya pelayanan di RSB Swasta diambil dari salah satu Rumas Sakit Bersalin (RSB) untuk golongan menengah. Pada umumnya pasien yang ingin mendapatkan pelayanan KB adalah pasien yang baru melahirkan. Umumnya mereka diarahkan untuk menggunakan MKJP
19
terutama IUD. Biaya yang dikenakan di RSB untuk IUD hanyalah untuk pelayanan medis saja dan berkisar antara Rp.300.000,- hinggaRp.400.000,-. RSB ini menghindari penggunaan Norplant atau implan karena mahal. Untuk Lingkaran Biru saja harganya sudah Rp.55.000,-. Untuk biaya tubektomi biayanya antara 1,5 juta-2 juta karena harus ada tindakan operasi.
Pelayanan KB pada bidan praktek swasta, untuk metode suntik gratis karena obatnya diperoleh dari pemerintah, namun pasien dibebani bahan habis pakai karena semua peralatan habis pakai ini harus dibeli. Demikian maka pasien tetap akan ditarik biaya hanya untuk konseling dan barang habis pakai yang dibebankan antaraRp.10.000,- hingga Rp.15.000,-. Namun demikian pasien yang kurang mampu akan diberi biaya khusus sebagai amal atau disarankan untuk menggunakan Jamkesmas/Jamkesda/ Jampersal. RSB atau Klinik swasta lebih mendorong pasiennya untuk memilih MKJP, hal ini dikarenakan efek samping yang hampir tidak ada, berbeda dengan yang hormonal. Pada umumnya semua pasien dikenakan biaya. Sebaliknya di RS umum pemerintah, selama minggu hanya satu orang yang dikenakan biaya, karena RS ini adalah RS rujukan sehingga banyak yang menggunakan jaminan kesehatannya. Konseling KB
Sesuai dengan standarnya, konseling harus dilakukan pada pasangan atau ibu sebelum memutuskan untuk ber-KB, namun pada umumnya pasien yang datang ke RS sudah tau apa yang diinginkan sebab sudah dijelaskan saat Anthenatal Care oleh bidan atau mendapat penjelasan dari PLKB.
Pada RSB Swasta, konseling KB dilakukan terutama setelah persalinan dan umumnya ibu dimotivasi untuk menggunakan IUD. Dokter tidak menyarankan alat kontrasepsi yang hormonal karena banyak efek sampingnya. Untuk RSB swasta hal ini diupayakan untuk dihindari karena pasien akan bolak balik mengeluhkan efek sampingnya. Pada dasarnya prinsip cafetaria harus dilaksanakan, dimana pasien dijelaskan pada semua metode kontrasepsi dan kemudian diminta untuk memutuskan sendiri sesuai dengan pertimbangannya. Namun pada prakteknya hal ini sulit dilaksanakan karena keterbatasan jenis alat kontrasepsi tertentu. Jika alat kontrasepsi yang dipilih sedang tidak ada maka pasien terpaksa membeli sendiri atau diminta menunggu sampai alat kontrasepsinya ada. Namun hal ini memberikan risiko bahwa pasien keberatan untuk membeli atau tidak kembali lagi. Walaupun alat kontrasepsi gratis, namun jika ada keluhan tentang efek samping dan pasien membutuhkan obat, pasien harus memayar sendiri obatnya kecuali jika pasien Jamkesmas/Jamkesda, maka obat digratiskan. B.4
Sumber daya manusia
Jumlah tenaga kerja terkait Dinas Kesehatan di NTB memiliki 27 obgyn yang tersebar hampir di semua kabupaten dengan rasio bidan 45,6/100.000, sementara Indonesia 52,2/100.000 penduduk (sumber: Badan PPSDMK 2012 dalam Data/ Informasi Kesehatan Provinsi NTB, 2012), namun demikian bidan cukup tersebar merata. Sementara jumlah PLKB berkurang dan distribusinya juga tidak merata. Tenaga PLKB pada jaman sentralisasi BKKBN sudah banyak yang menjelang pensiun, namun tidak ada pengganti yang cukup berpengalaman. Setelah PLKB dipegang oleh masing-masing kabupaten maka perekrutan sudah jarang terjadi. Oleh karena itu PLKB dibantu oleh kader Bina Keluarga Remaja (BKR), Bina Keluarga Balita (BKB) atau PPKBD ditingkat desa dan PPKBD tingkat dusun. 20
Kewenangan untuk memberikan pelayanan KB Isu tentang adanya tentang kewenangan bidan untuk memasang IUD dan implan karena adanya UU kedokteran, juga muncul di NTB. Namun untuk daerah terpencil, bidan masih boleh memasang implan atau IUD. Bidan yang memasang IUD atau implan harus berada di bawah pengawasan dokter. Padahal dalam kenyataannya tidak banyak dokter yang tertarik untuk memberikan pelayanan kontrasepsi. Di NTB bahkan ada perawat yang memberikan pelayanan suntik KB. Pelatihan
Dana pelatihan untuk meningkatkan kualitas pelayanan KB bagi petugas kesehatan ada di BKKBN, namun BKKBN berkoordinasinya dengan dinas kesehatan karena tenagaan bidan berada di bawah pengawasan dinas kesehatan.
Sejak tahun 2006 RSUmum di NTB telah melakukan pelatihan Contraceptive Training Update (CTU). Untuk tahun 2012 telah dilaksanakan 8 kali pelatihan dengan peserta kurang lebih orang untuk setiap angkatan. Setelah pelatihan dilakukan juga supervisi ketika bidan melakukannya di lapangan.
Materi yang diberikan adalah: konseling, pencegahan infeksi, pengetahuan umum tentang kontrasepsi, tindakan pemasangan difokuskan pada IUD dan implan untuk para bidan dan dokter. Dalam pelatihan ini tidak termasuk MOP dan vasektomi. Pelatihan MOP hanya dilakukan untuk dokter spesialis dan MOP untuk dokter umum. Pelatihan ini hanya dilakukan 2 kali setahun. Ikatan Bidan Indonesia
Ikatan Bidan Indonesia (IBI) memperkirakan 30% pelayanan kontrasepsi dilakukan oleh Bidan Praktek Swasta (BPS), karena BPS hampir dapat dikatakan buka 24 jam sehari. IBI mendukung tenaga jika ada momentum KB dengan cara mengkoordinir anggotanya untuk melakukan pelayanan KB, karena dalam kegiatan itu dibutuhkan banyak petugas kesehatan. B.5
Kerjasama antar instansi
Ada empat institusi yang terkait dengan program KB ditingkat provinsi, yaitu BKKBN yang bekerja di sisi demand/permintaan dan berperan sebagai koordinator, Dinas Kesehatan yang bekerja di sisi supply/pelayanan.BKKBN provinsi adalah merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, namun untuk tingkat kabupaten berada di bawah perintah daerah masingmasing.
Selain kedua instansi tersebut, di NTB terdapat pula BP3KB (Badan Pemberdayaan Perempuan Perlinndungan Anak dan KB) yang didirikan didirikan tahun 2008. Namun instansi ini bukan hanya bekerja untuk program KB saja, tapi juga untuk pemberdayaanperempuan dan perlindungan anak. Institusi ini memiliki kepanjangan tangan di tingkat kabupaten. Institusi keempat adalah PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). PKK memberikan dukungan pada pelayanan rutin dan momentum KB seperti yang diselenggarakan dari TNI, Bhayangkari, IBI, dan para kader. Peran Swasta
Beberapa klinik swasta telah ikut serta membantu pelayanan KB dengan memperolah alat kontrasepsi dari BKKBN, namun demikian pasien membayar untuk tenaga pelayannya dan bahan habis pakai. Tampaknya keterlibatan klinik swasta dapat lebih ditingkatkan lagi. klinik swasta yang terlibat dapat lebih banyak lagi dilibatkan. IBI memperkirakan 60% kepesertaan
21
KB dari bidan yang bekerja pada pemerintah, sumbangan dari sektor swasta 30% dan 10% dokter atau RS/RSB.
Hingga saat ini pelatihan-pelatihan banyak dilakukan untuk bidan di desa atau bidan yang praktik di puskemas, Dinas Kesehatan mengusulkan agar bidan praktek swasta dapat ikut di latih konseling. B.6
Menciptakan kebutuhan
Untuk meningkatkan MKJP, BKKBN Provinsi dengan menggunakan testimoni pasangan yang menggunakan KB jenis MKJP misalnya MOP atau MOW. Sebab masyarakat lebih percaya jika yang berbicara adalah orang yang telah menggunakan metode kontrasepsi tersebut. BKKBN juga memiliki satu buah Klinik P2KS (Pos Pelayanan Keluarga Sejahtera) disetiap provinsi sebagai klinik percontohan. Tujuan dari klinik ini adalah untuk meningkatkan pertahanan keluarga. Jadi penekanannya bukan pada pelayanan medis, namun pada pelayanan non medis. Karena isu ketahanan keluarga bukan hanya KB jadi klinik ini tidak hanya memberikan konseling KB saja namun juga konseling bagi remaja dan lansia.
BKKBN juga memiliki anggaran untuk promosi khusus, walaupun tidak besar, yang berada pada Bidang Advokasi Penggerakan dan Informasi. Umumnya promosi KB berbentuk Baliho, penyuluhan lewat tokoh masyarakat dan tokoh agama, pemutaran film. BKKBN juga memiliki mobil unit penerangan untuk penyuluhan keliling. Pesan yang dipromosikan oleh BKKBN kembali lagi menjadi dua anak cukup, setelah pesan dua anak lebih baik dianggap tidak tepat. Pesan KB lainnya disampaikan pula pada kelompok Genre (Generasi Berencana), Bina Keluarga Remaja dan Bina Keluarga Lansia. Untuk menciptakan kebutuhan, BKKBN sering menggunakan momentum KB dengan mengadakan pelayanan KB massal. BKKBN menghubungi IBI untuk menjadi petugasnya. Masalahnya adalah anggota IBI banyak juga yang pegawai negeri, sehingga ketika mereka melayani kegiatan tersebut, maka tidak ada di yang melayani di Puskesmas. Pernah terjadi BKKBN minta 500-700 bidan serentak dan hal ini mengganggu pelayanan di Puskesmas. Disarankan agar BKKBN hanya menggunakan bidan swasta saja. B.7
Pencatatan dan pelaporan
Seperti juga di provinsi Jawa Timur, di NTB juga ada dua sistim pencatataan terkait KB, satu adalah dari BKKBN dan satu dari Dinas Kesehatan. Namun di NTB Dinas Kesehatan dalam soal data KB, bersikap lebih bersikap pasif dan menunggu angka dari BKKBN atau jika memerlukan maka Dinas minta data ke BKKBN. Karena itu di NTB masalah perbedaan angka akseptor baru atau indikator lainnya tidak terlalu menonjol. Namun, karena ada rumor bahwa BKKBN akan berada di bawah Kementrian Kesehatan (dimana kepala BKKBN saat ini dilantik oleh menteri Kesehatan), maka Dinas Kesehatan mencoba lebih aktif dalam merekap data.
Dalam sistim pencatatan ini, ada perbedaan data karena perbedaan formulasi yang ditetapkan. BKKBN menghitung angka akseptor baru bersarkan berdasarkan PPM (Perkiraan Permintaan Masyarakat) dan dinas menggunakan data kohort berdasarkan PUS. Dalam hal perhitungan, terdapat perbedaan rumus perhitungan untuk akseptor baru. Dinas Kesehatan dalam data kohort ibu menghitung jumlah peserta KB baru dengan denominator jumlah PUS kemudian dikalikan dengan 100%. Sementara BKKBN menghitung jumlah peserta KB baru dibagi dengan Perkiraan Permintaan Masyarakat (PPM) baru dikalikan 100%.
22
Untuk memantau program KB, mekanisme pemantauan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dilakukan setiap tiga bulan sekali. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut, dilakukan validasi data serta pemberian umpan balik bagi Puskesmas. Untuk mekanisme pemantauan dilakukan umpan balik bulanan dari BPPKB di tingkat kecamatan. Hal ini perlu dilakukan karena kualitas pelaporan dari PLKB masih harus di tingkatkan. Sektor Swasta
Laporan sektor swasta diambil oleh BPPKB setiap bulannya dengan format Laporan bulanan KB F/II/KB/08. Sektor swasta jika tidak diambil tidak melaporkan, kecuali jika mengambil alat kontrasepsi dari BKKBN.Tenaga kesehatan yang juga PNS dan melakukan praktek swasta pada sore harinya, umumnya membawa laporannya ke dinas kesehatan. PKK
PKK juga memiliki pendataan tersendiri. Dinas Kesehatan dan Mendagri membuat sistim informasi terpadu (SIP). Dimana PKK memiliki tiga buku wajib pendataan yaitu untuk ibu hamil, ibu nifas dan pencatatan untuk bayi dan ibu yang meninggal dunia.
4.2 KABUPATEN LOMBOK TIMUR A.
PENDAHULUAN
A.1. Cakupan program Keluarga Berencana (KB) dan permasalahannya Cakupan KB, angka penggunaan kontrasepsi dan unmet need di tingkat kabupaten Berdasarkan data dalam Lombok Timur Dalam Angka 2011, jumlah penduduk Kabupaten Lombok Timur sekitar 1.116.745 jiwa. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sekitar 1,01% jika dibandingkan jumlah penduduk tahun 2010. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Lombok Timur sebesar 1,01. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan LPP Provinsi NTB sebesar 2,8 dan secara nasional sebesar 2,6. Angka Kelahiran Total atau Total Fertility Rate (TFR) sebesar 2,14 juga jauh lebih rendah dibandingan angka TFR provinsi dan nasional (LPPD, 2011), lebih lanjut disajikan di Tabel 4.2. Tabel 4-2 Laju pertambahan penduduk, TFR, CPR dan unmet need Kab. Lombok Timur
Total Fertility Rate (TFR)
Laju pertumbuhan penduduk Pasangan Uisa Subur (PUS) Prevalensi PUS Aktif
Contraceptive Prevalence Rate (CPR)
Unmet need
Lombok Timur
NTB
Nasional
2,143)
2,83)
2,64)
1,011)
1,172)
72,83)
71,685)
14,7%1)
144)
273.9623) 54,94)
Sumber: 1lombok Timur Dalam Angka – BPS 2011, , 2BPS (Sensus Penduduk 2010); 2012, 4)Survei Demografi Kesehatan Indonesia, 5) BKKBN Prov NTB 2009
55,14) 3)
1,492) 57,94)
11,4%4)
BP2KB Kab. Lombok Timur
Data Kepala Bidang KB Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kabupaten Lombok Timur menunjukkan bahwa dari 273.962 Pasangan Usia Subur (PUS) aktif, sebanyak 72,8% merupakan peserta KB. Angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan angka penggunaan kontrasepsi di Provinsi NTB (71,68%). Angka prevalensi ini mengalami
23
peningkatan dalam 4 tahun terakhir karena tidak lepas dari dukungan penuh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Timur. Angka penggunaan kontrasepsi di kabupaten dan provinsi terlihat tidak terlalu berbeda dan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tingkat nasional.
Angka unmet need sebesar 14,7%, terlihat masih sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan angka provinsi dan nasional. Tingginya angka unmet need ini karena cukup besarnya suami dari PUS yang bekerja sebagai tenaga kerja indonesia (TKI) ke luar negeri; selain karena PUS perempuan yang ingin beristirahat menggunakan KB, merasa sudah tidak subur lagi (di atas 35 tahun) dan sudah bertahun-tahun tidak hamil lagi. Penerimaan program KB di masyarakat Kabupaten Bagi masyarakat di Kabupaten Lombok Timur, penerimaan KB sudah baik sekali meskipun sebagian besar masih menggunakan alat KB jenis suntik dan pil atau KB non-MKJP. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bidang KB (Kabid KB) BPPKB Kabupaten Lombok Timur, saat ini sangat jarang sekali ditemukan ibu-ibu yang tidak menggunakan KB. Keinginan ber-KB juga sudah atas kemauan sendiri, bukan paksaan seperti pada masa lalu. Cara ber-KB metode operasi pria (MOP) dan metode operasi wanita (MOW) juga sudah mulai diminati meskipun jumlahnya masih sedikit. Diundangkannya UU RI Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, tampaknya memberikan nuansa dan semangat baru di dalam pengelolaan program kependudukan dan keluarga berencana pada masing-masing wilayah. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, program KB di Kabupaten Lombok Timur cukup menggembirakan dalam artian terjadi perbaikan sarana dan prasarana pelayanan KB, peningkatan pelayanan KB, pemberian KB gratis bagi seluruh masyarakat dan masih banyak program-program lain yang sudah dijalankan. Hasil yang dapat dilihat adalah terjadi penambahan PUS yang ber-KB, LPP yang menurun, layanan KB berkesinambungan di tempat pelayanan kesehatan dan lainnya. Menurut informasi dari pemangku kepentingan di tingkat kabupaten, peningkatan ini tidak lepas dari dukungan penuh mulai dari pemerintah tingkat provinsi, kabupaten, sampai tingkat kecamatan dan desa.
Dukungan dari pemerintah kabupaten terhadap progam KB cukup besar karena pemerintah mempunyai tujuan untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurut Ketua Penggerak PKK Kabupaten Lombok Timur, program keluarga berencana (KB) mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Dimana KB juga berperan dalam pembangunan indikator pendukung IPM, yakni pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Untuk itu, perlu sekali dilakukan akselarasi program KB yang dituangkan dalam petunjuk dan teknis operasional di tingkat kabupaten, alat kontrasepsi 100% gratis, pemanfaatan momentum strategis (Hari Kesatuan Gerak PKK, Muslimat Nahdatul Wathan, KB Bhayangkari, TNI Manunggal Masuk Desa), penguatan KIE melalui tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta unsur pendidikan. Kecamatan
Program KB di Kecamatan Selong (cakupan MKJP tinggi) dan Kecamatan Jerowaru (cakupan MKJP rendah) saat ini sudah berjalan dengan baik. Hasil wawancara dengan pemangku kepentingan di kedua kecamatan mengatakan bahwa KB sudah menjadi kebutuhan masyarakat dalam artian masysrakat sudah menyadari pentingnya ikut program KB. Kepala PKK Kecamatan Selong mengatakan bahwa PUS rajin mendatangi Posyandu setiap ada pelayanan KB. Menurut ketua PKK Kecamatan Jerowaru, setiap ada pelayanan masal KB seperti pada saat Hari Kesatuan Gerak PKK atau Hari Ulang Tahun Nahdatul Wathan, cukup banyak PUS yang hadir. 24
Ditambahkan oleh bidan koordinator Kecamatan Selong bahwa, KB pasca salin sudah banyak diikuti oleh PUS. Masyarakat juga dimotivasi untuk ber-KB dan memeriksa kehamilan.
Kesadaran untuk mau datang sendiri ke tempat pelayanan KB seperti ini dalam masa pemerintahan Orde Baru sangat jarang kecuali dengan mobilisasi dari pemerintah setempat. Di masa sekarang, masyarakat yang mendatangi tempat pelayanan di Puskesmas atau Posyandu, bahkan masyarakat yang mampu datang sendiri ke Bidan Praktek Swasta (BPS).
Dilihat dari cakupan kontrasepsi MKJP, Kecamatan Jerowaru lebih rendah dibandingkan dengan Kecamatan Selong. Menurut informasi dari Kabid Kesga Dinkes Lombok Timur, hal ini terjadi karenaKecamatan Jerowaru jauh dari kota kabupaten, sebagian besar penduduk bermata pencaharian nelayan, pendidikan masyarakat lebih rendah, dan fasilitas layanan kesehatan juga tidak sebanyak di Kecamatan Selong yang merupakan ibu kota kabupaten. Masyarakat dapat mendatangi RS, dokter praktek, BPS, Puskesmas, apotik dan perawat. Luas wilayah dan jumlah tenaga PLKB juga berpengaruh terhadap rendahnya cakupan MKJP. Di Kecamatan Jerowaru, seorang PLKB bisa mempunyai wilayah kerja tiga sampai lima desa dengan jarak desa yang cukup jauh dan bahkan di beberapa desa harus menggunakan perahu. Sementara di Kecamatan Selong dengan luas wilayah dikota dan lebih kecil, satu orang PLKB maksimal memegang dua desa. Jika dilihat dari pilihan kontrasepsi di kedua kecamatan, memang kontrasepsi non-MKJP lebih banyak dipilih dibandingkan dengan kontrasepsi MKJP. Di Kecamatan Jerowaru, sebagian besar PUS menggunakan kontrasepsi non-MKJP jenis suntik (77,14%) dan di Kecamatan Selong 46,55%. PUS yang menggunakan kontrasepsi MKJP secara umum memang belum terlalu besar tetapi terlihat bahwa PUS di Kecamatan Selong lebih banyak yang menggunakan IUD (12,4%) dan implan (17%) dibandingkan dengan PUS di Kecamatan Jerowaru dimana PUS yang menggunakan IUD sangat rendah, hanya 3,6% (Tabel 4.3). Tabel 4-3 Cakupan dan jenis kontrasepsi yang digunakan di Kecamatan Jerowaru dan Selong Kecamatan Jerowaru Selong
Pil 3,5 21,7
Non-MKJP (%) Suntik Kondom 77,14 7,5 46,55 8,2
IUD 3,6 12,4
Implan 14 17
MKJP MOW 0,2 7,3
MOP 0,3 0
Menurut informasi yang diperoleh dari pemangku kepentingan di tingkat kecamatan, alasan yang paling banyak disebutkan mengapa cakupan kontrasepsi MKJP masih kurang diminati dibandingkan dengan non-MKJP karena terhambat oleh masalah budaya dan agama serta sejumlah rumor tentang MKJP. Masalah budaya yang sering disebutkan adalah calon akseptor merasa malu harus membuka aurat dalam pemasangan IUD dan menggunakan IUD dapat menyebabkan seorang ibu tidak dapat membantu suami mengolah kebun atau sawah.
Hambatan agama yang sering dikatakan adalah masih kuatnya larangan dari tokoh-tokoh agama terutama MOW/MOP dan juga IUD. Cerita-cerita yang tidak benar atau rumor tentang MKJP antara lain takut karena harus melalui operasi, implan yang ditanam di tangan yang mana letak implan bisa berpindah-pndah, suami tidak nyaman saat berhubungan dengan istri yang menggunakan IUD. Menurut Kepala UPTB Kecamatan Jerowaru dan Selong, hambatan utama yang menyebabkan kontrasepsi MKJP kurang diminati karena adanya larangan dari suami. Kaum ibu yang ingin ber-KB masih banyak yang harus mendapatkan persetujuan dari suami. Keengganan suami mengijinkan istri menggunakan KB tidak lepas dari pengaruh budaya dan agama yang disebutkan di atas.
25
Desa Penerimaan KB di tingkat desa tidak berbeda jauh dengan penerimaan di tingkat kecamatan, dimana sebagian besar masyarakat sudah menggunakan kontrasepsi atau pernah menggunakan bagi ibu yang sedang hamil atau tidak ikut KB lagi karena faktor usia. PUS yang berusia muda pada umumnya sudah ikut program KB terus meningkat karena merasakan pentingnya untuk mengatur jarak kelahiran dan mengurangi jumlah anak. Dari hasil wawancara mendalam dengan kepala desa, kader dan tokoh masyarakat, sebagian besar peserta memberikan pendapat yang positif untuk program KB. “KB prioritas bu, kalau tidak ber-KB kita suruh KB. Banyak yang sudah sadar untuk KB. Kalau tidak mau KB kita kunjungi dari rumah ke rumah.” (Kader, Ds. Kelayu Utara , Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
“Kalau menjadi prioritas saya tidak tau persis Bu, tapi yang saya liat sendiri suatu kenyataan di tengah masyarakat kita antusiasme masyarakat kita untuk mengikuti program KB alhamdulillah cukup bagus.” (Tokoh Agama, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Situasi dan Kondisi KB disini alhamdulillah lancar. Masyarakat rata-rata memakai pil dan suntikan.” (Kader, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
Berdasarkan hasil FGD dan wawancara dari semua kelompok, PUS dan orang tua/mertua mendukung program KB. KB dinilai baik untuk menjarangkan anak dan mengatur jarak kelahiran anak. Dengan mengatur kelahiran dan membatasi anak, hal ini dapat mengurangi beban ekonomi dan dapat memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anak. “Alhamdulillah ada KB bu. Karena kalau tidak ada KB, kan isteri kita itu setahun dia melahirkan.. gitu kan. Kalau ada KB kan dia punya jarak untuk mengatur anak keluaritu kan. Alhamdulillah.” (Bapak KB, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur).
A.2. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) versus Jangka Pendek (Non-MKJP) Kabupaten dan Kecamatan Berdasarkan data yang diperoleh dari BPPKB Kabupaten Lombok Timur tahun 2012, dapat dilihat bahwa bahwa cakupan alat kontrasepsi non-MKJP mencapai 71,9%, sedangkan MKJP sebesar 28,1%. Alat kontrasepsi non-MKJP yang paling banyak digunakan oleh PUS adalah suntik kemudian diikuti oleh pil. Untuk MKJP, jenis implan sedkit lebih banyak digunakan dibandingkan dengan IUD, sedangkan untuk jenis kontap (MOP dan MOW) peminatnya masih kecil sekali (Tabel 4-4).
Jika dilihat dari tabel di bawah, cakupan KB kabupaten lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat nasional dan provinsi. Namun demikian, menurut kepala BPPKB Kabupaten Lombok Timur, cakupan MKJP cenderung terus meningkat dalam empat tahun terakhir, terutama untuk jenis implan. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh perawat yang bertugas dibagian poli kebidanan anak RSUD Kabupaten Lombok Timur, bahwa PUS pasca salin yang menggunakan MKJP terjadi peningkatan. Peningkatan ini tidak lepas dari program Jampersal yang mewajibkan PUS pasca salin menggunakan alat kontrasepsi.
26
Tabel 4-4 Cakupan KB berdasarkan jenis alat kontrasepsi di Kabupaten Lombok Timur Jenis Alat Kontrasepsi
Lombok Timur
NTB
Nasional
46,2 23,2 2,5 14,0 11,2 2,4 0,57
36,8 7,1 0,5 5,4 3,8 1,4 0,0
31,9 13,6 1,8 3,3 3,9 3,2 0,2
Suntikan Pil Kondom Implan IUD MOW MOP
Sumber: *BKBPP Kab. TLombok Timur 2012. Angka yang lain bersumber SDKI 2012
Dari tabel di atas juga dapat dilihat bahwa PUS yang menggunakan non-MKJP masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak RSUD, Dinkes dan PKK kabupaten, ditemukan bahwa tingginya cakupan non-MKJP disebabkan PUS yang baru menikah umumnya lebih memilih non-MKJP. Alat kontrasepsi non-MKJP dipilih karena mereka keluarga muda yang masih ingin mempunyai anak dulu baru kemudian ikut KB. Sedangkan PUS yang menggunakan MKJP umumnya adalah PUS yang sudah memiliki 2 orang anak. Tingginya alat kontrasepsi non-MKJP menurut pemangku kepentingan di tingkat kabupaen dan kecamatan disebabkan karena faktor cara pemasangan, efek samping dan kenyamanan, akses dan keterjangakauan, dan kepercayaan seperti yang tabel di bawah. Tabel 4-5 Anggapan masyarakat Kabupaten Lombok Timur tentang MKJP dan non-MKJP Faktor Cara pemasangan
Efek samping dan kenyamanan Akses dan keterjangkauan
Kepercayaan
Non-MKJP
MKJP
Praktis (tidak perlu bukabukaan) Tidak sakit ketika pasang
Malu karena harus membuka aurat Takut pada saat pemasangan karena harus melalui operasi
Harganya murah Mudah diperoleh (bisa di pos yandu atau melalui kader (cth. Pil) atau perawat (cth. Suntik)
Repot (karena pemasangan di Puskesmas dan RS) Harganya lebih mahal
Mudah untuk ganti cara Tidak mengganggu aktivitas sehari-hari
Tidak bertentangan dengan agama
Khawatir mengganggu pekerjaan sehari-hari Suami tidak nyaman pada saat berhubungan
Dilarang oleh agama karena membuka aurat (IUD) dan permanen (MOP/MOW) Alat kontrasepsi bisa berpindahpindah (implan) atau jatuh (IUD)
27
Desa Meskipun jumlah PUS yang ikut program KB menunjukkan peningkatan, alat kontrasepsi yang banyak digunakan adalah alat kontrasepsi non-MKJP jenis pil dan suntik. Berdasarkan hasil wawancara dengan kader di Kecamatan Jerowaru, MKJP kurang diminati karena alat kontrasepsi yang banyak disediakan di Posyandu adalah jenis pil dan suntik. Bahkan pada saat dilaksanakan pemasangan KB masal di sebuah desa di Kecamatan Jerowaru, hampir seluruh PUS meminta pil. “Pendapat mereka lebih gampang pakai pil sama suntikan, soalnya itu aja yang lebih gampang dicari disini. Misalnya di Posyandu kebanyakan yang dikasi pil saja.” (Kader, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
“Kalo di Gili Belek pernah sekali pas KB Massal. Tapi ndak ada yang mau cuma pake pil sama suntikan saja. Malahan kebanyakan pake pil.” (Kader, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
Rendahnya minat masyarakat menggunakan MKJP menurut kepala desa disebabkan karena beberapa desa di Kecamatan Jerowaru letaknya terpencil, jauh dari akses pelayanan kesehatan, pendidikan, dan mata pencaharian sebagian besar nelayan. Menurut kader, selain karena faktor tersebut di atas, terdapat faktor informasi yang kurang dari tenaga kesehatan. Masyarakat hanya mendapatkan informasi yang kurang benar (rumor) tentang MKJP yang menyebabkan masyarakat menjadi takut menggunakan MKJP. Agar masyarakat mau menggunakan MKJP, cerita rumor harus diganti dengan memberikan informasi yang benar tengan MKJP dan lebih banyak menjelaskan tentang kelebihan MKJP dibanding non-MKJP. “Belum, masih sekitar 50%., rupanya belum bisa dijangkau 100%, karena pertama faktor infrastruktur, jalan, itu yang pertama, kedua berdasarkan e... SDMnya... pendidikannya, sekitar 20-30% yang sudah berpendidikan [SD, SMP].” (Kades, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
“Salah informasi atau ndak ada informasi mungkin dari petugas kesehatan makanya dia takut, ndak tau manfaat atau efek samping dan keuntungannya makanya dia takut. Katanya ada, kalau implan pendarahan katanya, kalau IUD juga ada yang pendarahan, kalau pakai IUD ngangkat berat nggak bisa dia bilang. Dilarang mengangkat berat-berat katanya.” (Kader, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Kalau menurut kita kalau mau dipakai jangka panjang harus dikenalkan dulu alatnya terus apa keuntungannya, apa efek sampingnya. Kalau disuruh langsung kemugkinan ndak mau.” (Kader, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
B.
MANAJEMEN PROGRAM KELUARGA BERENCANA
B.1. Kebijakan dan alokasi anggaran Kebijakan Program KB menjadi salah satu prioritas Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, selain program di bidang kesehatan. Pemerintah Lombok Timur berkeinginan untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui program KB. IPM Kabupaten Lombok Timur pada tahun 2007 berada di peringkat ke-7 dari 10 kabupaten/kota. Lalu meningkat menjadi urutan ke-5 pada tahun 2009 dan ke-3 tahun 2012. Peningkatan IPM ini tidak terlepas dari program kesehatan dan KB yang berjalan dengan baik. Salah satu program kesehatan yang dicanangkan adalah mewujudkan Angka Kematian Ibu Melahirkan Menuju Nol (AKINO) yang memberikan kepastian terpenuhi hak masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan. Dalam program KB, pemerintah secara gencar memberikan pelayanan KB gratis kepada masyarakat. 28
Pemerintah Kabupaten Lombok Timur memberikan dukungan penuh untuk semua program KB sejak tahun 2009 hingga saat ini. Dukungan pemerintah ini terlihat jelas dalam penyediaan pelayanan KB dan alat kontrasepsi berikut pemasangannya secara gratis bagi seluruh lapisan masyarakat. Selain itu juga Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Fisik Pelayanan KB dalam pembangunan Unit Pelayanan Terpadu KB (UPTKB), menyediakan sepeda motor dan komputer laptop kepada seluruh UPTB di dua puluh kecamatan. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi yang memberikan alat kontrasepsi secara gratis kepada seluruh PUS sejak tahun 2011. NTB merupakan salah satu daerah di Indonesia yang rata-rata angka kelahiran total atau Total Fertility Rate (TFR) mencapai 2,8 % atau masih di atas angka rata-rata nasional yakni sebesar 2,3 %. Tujuan dari pemberian alat kontrasepsi gratis tersebut adalah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk dan meningkatkan jumlah akseptor. Pelaksanaan program alat kontrasepsi gratis ini secara umum berjalan cukup baik di seluruh kabupaten tidak terkecuali di Kabupaten Lombok Timur. Masyarakat bisa mendapatkan alat kontrasepsi dan pelayanan gratis jika datang ke RSUD, Puskesmas dan Polindes. Alokasi anggaran
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) BPPKB terdiri dari bidang Pemberdayaan Perempuan dan bidang Keluarga Berencana. Masing-masing bidang membuat alokasi anggaran setiap tahun yang diajukan ke DPRD. Yang bertugas untuk membuat anggaran setiap tahun untuk program KB berada pada BPPKB, berada di tangan Bidang Keluarga Berencana.
Proses pengganggaran berawal dari musyawarah perencanaan pembangungan (musrenbang) di tingkat desa, kecamatan, sampai musrenbang di tingkat kabupaten. Di setiap level pemerintahan ini, dibuat rencana berkaitan dengan KB yang akan dilakukan dalam satu tahun ke depan. Sesampainya di tingkat kabupaten (BP2KB), rencana tersebut digodok lagi oleh Bagian Perencanaan dan Program bersama dengan kepala badan/ketua SKPD. Setelah seluruh rencana selesai dibahas di tingkat kabupaten, seluruh SKPD dipanggil untuk membentuk panita pembentuk APBD yang diketuai oleh Sekertaris Daerah (Setda) beserta dengan Bappeda. Panitia ini selanjutnya membuat Rencana Kerja Anggaran (RKA) untuk seluruh SKPD yang dikirim ke Badan Anggaran Legislatif untuk dibahas di DPRD. Seluruh SKPD diundang untuk membahas RKA. Hasil pembahasan nantinya bisa berubah (bertambah, tetap atau berkurang). Jika sudah disetujui DPRD barulah RKA tersebut masuk kedalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Menurut Kepala Bidan KB, Kemampuan Fiskal Kab. Lombok Timur termasuk kecil. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp. 1,4 Trilyun dan Pendapatan Asili Daerah (PAD) Rp. 42,01 Milyar (Data dari RPJMD Kab. Lombok Timur 2008-2013). Rata-rata SKPD anggarannya di bawah Rp. 1 Milyar.
Berikut adalah sumber anggaran untuk BPPKB berdasarkan informasi dari Kabid KB dan Bidang Kesejahteraan Keluarga Dinkes Kabupaten Lombok Timur: 1. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk BP2KB sebesar Rp. 438-an Milyar. Dari jumlah tersebut untuk Bidang KB anggarannya sebesar Rp. 82 juta, untuk bidang Pemberdayaan Perempuan (PP) sebesar Rp. 120 juta-an, sisanya untuk bidang lain di BP2KB seperti bidang data, penerangan, sekertariat dan lain sebagainya. 2. Dana Dekon sebesar Rp. 1,2 Milyar yang diperoleh dari dari BKKBN Pusat dan diberikan melalui ke BKKBN Provinsi. Dana Dekon ini sebenarnya Rp. 2,5 Milyar, sebesar Rp. 1,3 Milyar masih diberi tanda bintang (*) oleh DPRD. Dana Dekon ini diantaranya dipergunakan untuk Jamkesmas, pembelian kit dan Kegiatan GalCilTas (Tertinggal, Terpencil dan Perbatasan) 29
3. 4.
Dana Alokasi Khusus sebesar Rp. 1,2 Milyar Dana Pendamping sebesar Rp. 120 juta
Tabel 4-6 Alokasi anggaran terkait KB di Kabupaten Lombok Timur Sumber Anggaran APBD PAD APBD II DAU (APBD)
Pemkab Lombok Timur Rp. 1,4 T Rp. 86,79 M
Dekon*
---
Rp. 82 juta Rp. 1,2 M*
DAK
---
Rp. 1,2 M
BPPKB
Bagian Kesga Dinkes Lombok Timur Rp. 130 jt Rp. 300 jt** RP. 490 jt
Peruntukkan (BP2KB)
Peruntukan Dekon dapat digunakan untuk program GalCilTas sebesar Rp. 29 juta, program unggulan di NTB Bina Keluarga Balita yang terintegrasi sebesar Rp. 325 juta dan juga biaya petugas yang memberikan pelayanan Dipergunakan untuk membangun kantor, beli sepeda motor, beli laptop, beli KB kit dll. DAK tidak boleh digunakan untuk kegiatan operasional
Dana --Rp. 120 Pendamping juta Dari berbagai + Rp. 500-an jt sumber *Dana Dekon seluruhnya Rp. 2,5 M, sebesar Rp. 1,3 M masih ada tanda bintang. Dana Dekom digunakan untuk Jamkesmas, pembelian Kit, Kegiatan GalCilTas (Tertinggal, Terpencil dan Perbatasan) ** Dana untuk 3 seksi: KIA, Gizi dan Remaja. Tidak ada alokasi dana khusus untuk KB karena sudah gabung dengan KIA. Biaya untuk honor tenaga kesehatan yang melayani akseptor KB ditanggung oleh BP2KB/BKKBN Provinsi
Jaminan kesehatan Dari hampir 1,2 juta jiwa penduduk di Kabupaten Lombok Timur, lebih dari 600.000 jiwa sudah mendapatkan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Berkat program bantuan sosial bidang kesehatan ini, penduduk miskin di Lombok Timur dapat mengakses pelayanan kesehatan secara menyeluruh (komprehensif) tampa dipungut biaya di fasilitas kesehatan pemerintah secara berjenjang. Pelayanan kesehatan yang dicakup adalah pelayanan promotif, prefentif, kuratif dan rehabilitatif yang diberikan secara berjenjang bagi masyarakat miskin atau peserta yang iurannya dibayar oleh pemerintah. Dari hasil wawancara dengan Kepala Bidang KB BPPKB, biaya pelayanan KB bagi masyarakat ditanggung melalui program Jaminan Persalinan (Jampersal) dan dana Dekonsentrasi (Dekon). Dana ini diberikan kepada seluruh masyarakat baik yang miskin maupun yang mampu asalkan pelayanan dilakukan di fasilitas kesehatan milik pemerintah atau swasta yang bekerja sama. Dana pelayanan KB yang ditanggung melalui Jampersal harus KB pasca salin dan tidak lebih dari 42 hari. Jika lebih dari 42 hari, maka dana pelayanan ditanggung oleh dana dari Dekon.
30
Dana pelayanan pemasangan alat kontrasepsi yang didanai oleh Dana Dekonsentrasi, diberikan kepada petugas yang memberikan pelayanan (dokter atau bidan), kader dan bagian Unit Pelaksana Teknis Badan (UPTB) di tingkat kecamatan. Biaya pelayanan kontrasepsi mantap (MOW/MOP) sebesar Rp. 500.000,- yang terdiri dari Rp. 300.000,- untuk jasa dokter dan Rp. 200.000,- untuk kader atau orang yang mengantar (untuk pengganti transport, makan/minum). Biaya persalinan yang dibiayai dari Dana Dekon ini dibayar oleh BKKBN Provinsi. Khusus untuk pelayanan kontap yang ditanggung dari dana dekon, biayanya dibayar langsung kepada dokter atau kader. Oleh karena itu, rumah sakit baru melaksanakan operasi jika sudah ada pemberitahuan dari BKKBN Provinsi bahwa dana pelayanan sudah tersedia. Untuk pelayanan IUD dan implan, pembayaran dilakukan dengan sistem klaim. Jadi petugas kesehatan (dokter atau bidan) dibayar dalam waktu dua sampai tiga bulan kemudian. Biaya yang ditetapkan pada pemasangan IUD sebesar Rp. 85.000,- setelah dikenakan Pajak Penghasilan (PPH) menjadi Rp. 66.000,-. Dari Rp. 66.000,- ini, sebesar Rp. 25.000,- diberikan kepada bidan, Rp. 10.000,- untuk kader dan Rp. 31.000,- untuk UPTB kecamatan. Biaya untuk UPTB ini nantinya dibagi secara rata untuk seluruh staff yang ada seperti kepala UPTB, PLKB dan staf administrasi. Besarnya biaya pelayanan implan juga diberlakukan sama seperti pelayanan IUD (Tabel 4-7). Tabel 4-7 Klaim Dana Dekon dan Jampersal untuk pelayanan KB Pasca Salin Biaya (Rp.) Dana Dekon MOW IUD Pemasangan implan Pembukaan implan Dana Jampersal IUD & implan Suntik Persalinan
500.000 85.000 45.000 80.000 60.000 10.000
Biaya setelah dikenakan PPH (Rp.)
Jasa petugas kesehatan (Rp.)
66.000 35.000
300.000 25.000 20.000
60.000
25.000 ---
---
Kader
UPTB
200.000* 10.000 5.000
31.000** 10.000**
-----
Menggunak an tarif Indonesia Case Base Group (INACBGs). *Diberikan untuk biaya transportasi, pengantar/kader, konsumsi. ** Digunakan untuk biaya foto copy, surat-surat, sisanya untuk seluruh staf UPTB dll Sumber: wawancara dengan Kabid KB, Ka UPTB
B.2.
35.000** ---
Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi
Mekanisme pengadaan Pengadaan alat kontrasepsi, alat pendukung untuk kontap (seperti ring) dan obat-obatan langsung untuk kabupaten seluruhnya bersumber dari BKKBN Pusat yang dikirim ke BKKBN Provinsi selanjutnya dikirim ke BPPKB Kabupaten. Permintaan alat kontrasepsi dan alat-alat lainnya dilakukan setahun sekali berdasarkan perkiraan kebutuhan BPPKB.
Besarnya permintaan dihitung berdasarkan data dari pendataan keluarga dan PUS yang dilakukan pada bulan Juli-September dan data jumlah PUS aktif yang diperoleh dari setiap klinik KB (Polindes/Poskedes) dan Puskesmas yang dikumpulkan oleh PLKB. Dari pendataan tersebut
31
dibuat perkiraan kebutuhan alat kontrasepsi dalam setahun dengan formula = Jumlah PUS aktif + Perkiraan jumlah PUS baru sebesar 10%. Pada bulan November, data tersebut dikirim ke BKKBN Provinsi dan selanjutnya dikirim ke BKKBN Pusat. Pada sekitar bulan Januari tahun berikutnya, BP2KB mendapat dropping dari BKKBN Pusat. Selanjutnya alat kontrasepsi didistribusikan ke klinik UPTB kecamatan dan RS. Pendistribusian alat kontrasepsi dari BPPKB kabupaten ke UPTB kecamatan menggunakan kendaraan. Dari UPTB alat kontrasepsi didistribusikan oleh Petugas Lapangan KB (PLKB) ke KKB KB/KKB (Puskesmas, Poskesdes). Khusus untuk RS, sejak tahun 2012 pihak RS yang mengambil langsung ke BPPKB. Sebelumnya RS mendapatkan alat kontrasepsi dari UPTB kecamatan. BKKBN Pusat BKKBN Provinsi BPPKB Kabupaten Rumah Sakit
Klinik KB: Puskesmas
UPTB Kecamatan PLKB Klinik KB: Polindes/Poskesdes Posyandu
Gambar 4-1 Alur distribusi alat kontrasepsi di Kabupaten Lombok Timur Mekanisme laporan permintaan alat kontrasepsi dimulai dari KKB berdasarkan laporan F2KB. Dalam formulir F2KB tersebut tercatat jumlah akseptor rutin dan perkiraan akseptor baru. Dari tingkat KKB, F2KB dibawa ke UPTB kecamatan dan selanjutnya diserahkan ke BPPKB. Setalah dari BPPKB, permintaan dihitung lagi lalu dikirim ke BKKBN Provinsi untuk selanjutnya diserahkan ke BKKBN Pusat (Gambar 5.4).
32
BKBPP Kabupaten Ka Unit Pelaksana Teknis KB Kecamatan PLKB Rumah Sakit
Polindes
Puskesmas
Gambar 4-2 Mekanisme permintaan alat kontrasepsi di Kabupaten Lombok Timur Pelayanan KB dan pembiayaannya Kabupaten/kecamatan Tempat pelayanan KB di Lombok Timur dilakukan di rumah sakit, Puskesmas, Polindes dan Posyandu. Pelayanan MOP/MOP hanya dapat dilakukan di RS oleh dokter yang sudah mendapat pelatihan khusus. Pelayanan alat kontrasepsi IUD, implan, suntik, pil dan kondom dapat diberikan di Puskesmas, sedangkan di Posyandu biasanya hanya untuk alat kontrasepsi pil dan suntik. Dari hasil wawancara dengan bidan koordinator, kepala UPTB dan bidan desa di Kabupaten Lombok Timur, bidan desa memiliki wewenang memberikan pelayanan IUD dan implan di Polindes jika memiliki ruang bersalin peralatan yang memadai. Sayangnya meskipun memiliki wewenang, jumlah PUS yang memilih alat kontrasepsi ini sangat kurang, terlebih di desa yang berada jauh dari kota.
Sebenarnya ada peraturan dari pemerintah bahwa bidan yang boleh memberikan pelayanan IUD dan implan adalah bidan yang sudah mendapatkan pelatihan. Ilmu yang diperoleh pada saat kuliah tidak cukup untuk memberikan pelayanan tetap harus melalui pelatihan khusus. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut biasanya bidan koordinator mau mengajari bidan desa jika ada pelayanan IUD di Puskesmas atau pada saat ada pelayanan KB masal. Dengan bekal tersebut, bidan desa berani memberikan pelayanan di Polindes asalkan memiliki ruangan khusus, obgyn bed dan peralatan khusus.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan pemangku kepentingan di tingkat kabupaten dan kecamatan, pelayanan KB masal cukup sering dilakukan yaitu pada saat hari ulang tahun sebuah institusi tertentu. Hari ulang tahun yang biasa ada pelayanan KB masal seperti pada saat Hari Kesatuan Gerak PKK KB dan Kesehatan, HUT Nahdatul Wathan, HUT ABRI/Bhayangkara dan Hari Kartini. Seluruh alat kontrasepsi yang diberikan pada saat HUT tersebut disediakan oleh BPPKB dan diberikan secara gratis. Sayangnya pada saat pelayanan KB masal tersebut, alat kontrasepsi yang paling banyak diminati adalah non-MKJP terutama suntik. Provinsi NTB merupakan salah satu provinsi yang memberikan alat kontrasepsi gratis bagi seluruh masyarakat asalkan pelayananan diberikan di pelayanan kesehatan pemerintah. Dalam kenyataannya, dari hasil penelitian di Kecamatan Jerowaru, masyarakat tetap dipungut biaya oleh bidan desa pada saat pelayanan di Polindes atau Posyandu. Hasil wawancara dengan bidan desa mengatakan bahwa memang terdapat pungutan biaya sebesar Rp. 10.000,- hingga Rp. 12.000,- untuk alat kontrasepsi suntik. Bidan tersebut menjelaskan alasan dia memungut biaya
33
karena untuk jasa, mengganti jarum suntik dan untuk “uang rokok” PLKB yang sudah jauh-jauh datang membawa alat kontrasepsi ke Polindes. Bidan tersubut juga menuturkan bahwa praktek memungut biaya dari PUS banyak dilakukan oleh bidan desa lainnya. Bidan tersebut paham betul bahwa alat kontrasepsi suntik yang dia peroleh seharusnya diberikan gratis kepada masyarakat. Ditambahkan oleh bidan tersebut bahwa masyarakat biasa dan tidak keberatan meskipun harus membayar.
Selain di tempat pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah, masyarakat yang mampu (KB mandiri) juga bisa mendapatkan pelayanan di Bidan Praktek Swasta (BPS) atau perawat. Ada fenomena yang menarik di dua kecamatan penelitian dilakukan, bahwa perawat (perawat keliling) dapat dipanggil untuk memberikan alat kontrasepsi suntik. Bidan praktek swasta dan perawat memperoleh alat kontrasepsi dari apotek atau toko obat yang ada di kota. Seorang bidan praktek swasta di Kecamatan Selong yang kliniknya sudah cukup besar bahkan membeli alat kontrasepsi dari pedagang besar farmasi di Denpasar, Bali. Berikut ini biaya pelayanan KB di bidan praktek swasta dan perawat (Tabel 5.23). Tabel 4-8 Harga alat kontrasepsi dan pelayanan beragam jenis KB di Kabupaten Lombok Timur Jenis Alat kontrasepsi Suntik 3 bulan Suntik 1 bulan IUD (Nova T) Suntik Semua jenis alat kontrasepsi
Desa
Tempat Pelayanan BPS BPS BPS Perawat Puskeasmas/ RS
Biaya (Rp.) 30.000 35.000 400.000 15.000 Gratis di fasilitas kesehatan milik pemerintah
Pelayanan KB di desa dilakukan di Polindes, Posyandu, perawat dan BPS. Di semua tempat pelayanan yang ada, alat kontrasepsi yang paling banyak dipilih adalah pil dan suntik. Untuk pelayanan KB di BPS, terdapat perbedaan antara di Kecamatan Selong dan Jerowaru. Di Kecamatan Selong yang berada di ibu kota kabupaten, PUS mandiri yang memilih MKJP jauh lebih banyak dibandingkan di Kecamatan Jerowaru.
Untuk menjaring akseptor baru, PLKB cukup aktif mencari PUS yang baru menikah dan yang sedang hamil. PLKB datang ke rumah menjelaskan program KB, tempat pelayanan dan jenisjenis alat kontrasepsi. Keaktifan PLKB ini membuat cakupan KB terus meningkat. PLKB bersama kader juga aktif mendata calon akseptor baru yang akan dilayani pada saat ada pelayanan KB masal di Puskesmas. Dari hasil wawancara dengan kader di desa, bahwa masyarakat menyambut baik aktifnya kembali program KB. Saat ini masyarakat menyadari bahwa program KB sangat membantu PUS dalam mengatur jarak kelahiran dan ekonomi rumah tangga juga tidak berat karena jumlah anak sedikit. B.3.
Sumber daya manusia
Jumlah tenaga Jumlah tenaga PLKB untuk kabupaten Lombok Timur masih kurang. Idealnya dalam satu desa ada satu orang PLKB. Saat ini jumlah PLKB yang ada sebanyak 127 orang untuk 250 desa. Jumlah desa dalam satu kecamatan bervariasi, ada kecamatan yang jumlah desanya banyak ada
34
yang sedikit. Untuk kecamatan yang desanya banyak, seorang PLKB bisa melayani tiga sampai empat desa. Untuk tenaga bidan desa, saat ini jumlah bidan tercukupi karena sudah hampir di setiap desa ada seorang orang bidan desa.
Peran PLKB masih dibutuhkan untuk mendistribusikan alat kontrasepsi dan menyampaikan informasi tentang KB ke masyarakat di desa. Setelah otonomi daerah, sebagian besar tenaga PLKB dan bidan BKKBN banyak dimutasi ke berbagai SKPD. Setelah tahun 2009, setelah progam KB kembali diaktifkan BPPKB terjadi, tenaga PLKB sangat berkurang. Oleh karena itu, BPPKB harus merekrut tenaga PLKB baru baik dari SKPD lain maupun dengan proses rekrutmen baru. Sayangnya setelah PLKB diberi pelatihan dasar umum menyuluh, sering terjadi PLKB tersebut ditarik ke SKPD lain sehingga terpaksa PLKB harus direkrut kembali. Pelatihan
Sebagian besar bidan desa belum mendapatkan pelatihan CTU, KB pasca salin dan Alat Bantu Pengambil Keputusan (ABPK). Bidan yang memiliki sertifikat pemasangan/membuka IUD dan implan masih terbatas kepada bidan koordinator dan bidan PNS. Meskipun demikian, bidan yang sudah mendapatkan pelatihan mau mengajari bidan desa memasang IUD dan implan saat ada pelayanan di Puskesmas atau pada saat ada pelayanan KB massal. Setelah melihat beberapa kali cara pemasangan, bidan desa diminta untuk memasang sendiri di bawah pengawasan bidan yang sudah terlatih. Jika sudah merasa mampu, bidan dapat memberikan pelayanan MKJP IUD dan implan di Polindes asalkan tempatnya memenuhi syarat seperti yang disebutkan sebelumnya.
Diakui oleh BPPKB bahwa memang penting melatih bidan desa sebanyak mungkin namun BP2KB hanya mampu melatih bidan satu kali dalam satu tahun. Jumlah bidan yang dilatih berjumlah 20 orang atau dengan kata lain 1 orang bidan di tiap kecamatan. Bidan yang mendapat pelatihan juga adalah bidan yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Harapannya BPPKB dapat memberikan 2 kali pelatihan setiap tahun sehingga bidan yang telatih juga semakin banyak dan tidak terbatas hanya kepada bidan yang berstatus PNS namun juga kepada bidan desa. B.4.
Kerjasama antar instansi
Instansi pemerintah Instansi pemerintah yang terlibat dalam program KB dimana BPPKB yang menjadi leading sektor adalah 1. Dinkes : melakukan pelayanan KB 2. Tim Penggerak PKK: membina keluarga sejahtera 3. Dispora : Bina keluarga balita integrasi dengan PAUD, pendidikan 4. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) : Posyandu 5. Sosial Tenaga Kerja (STK) dibawah Pemda : Bina Keluarga Lansia 6. Kementrian Agama 7. Kesra di kantor Bupati 8. ABRI/Kepolisian
Peran BPPKB dan Dinkes dalam program KB sangat besar. Oleh karena itu, masing-masing unit harus bersinergi agar pelayanan dapat diberikan dengan baik. BPPKB sangat berperan dalam menciptakan promosi dan penyediaan alat kontrasepsi melalui PLKB, PPKBD dan sub-PPKBD. Dinkes dengan fasilitas dan tenaga kesehatan yang ada memberikan pelayanan mulai dari 35
tingkat kabupaten sampai tingkat desa. Koordinasi antara BPPKB dan Dinkes saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan masa lalu. Peran PKK sangat strategis dalam program KB karena PKK mempunyai kemampuan yang dapat diandalkan untuk membina keluarga dan memberdayakan keluarga, unit terkecil di masyarakat. Dengan kader-kader yang ada di setiap desa, PKK mampu menghimpun PUS yang ingin ber-KB. Hal ini terlihat nyata pada saat ada pelayanan masal. Tanpa ada campur tangan kader PKK, PLKB tidak dapat menggerakkan PUS datang ke tempat pelayanan. Sektor swasta
Jumlah RS swasta yang memberikan pelayanan KB (klinik KB) belum ada. Kerjasama yang sudah adalah dengan klinik yang berada di bawah naungan Nahdatul Wathan. Pelayanan yang diberikan adalah pelayanan KB masal yang dilakukan pada setiap HUT Nahdatul Wathan. BPPKB dan Nahdatul Wathan sudah melakukan MoU sejak tahun 2009 untuk memberikan pelayanan KB masal. BPPKB bertindak sebagai penyedia alat kontrasepsi dan Nahdatul Wathan bersama dengan kader-kadernya (yang mana sebagian besar kader PKK juga) bertindak sebagai pemberi dana untuk petugas kesehatan dan yang mencari akseptor. Tempat pelaksanaannya biasanya di Puskesmas dan tenaganya dari Dinkes.
B.5.
Menciptakan kebutuhan
Promosi program BPPKB gencar melakukan promosi program KB dalam rangka terus meningkatkan cakupan KB. Seluruh perangkat yang ada bersama-sama membuat berbagai kegiatan yang dapat menjaring akseptor baru. Penyuluhan, sosialiasi dilakukan melalui media mobil unit penerangan, melalui media cetak/elektronik, melalui Posyandu. BPPKB juga bekerja sama dengan Televisi Selaparang dalam acara talk show terkait promosi KB.
Untuk mendapatkan akseptor baru, PLKB secara aktif turun langsung ke rumah warga mendata PUS yang baru menikah dan sedang hamil dibantu oleh kader PKK. PLKB dan kader PKK mempromosikan berbagai alat kontrasepsi terutama MKJP.
Agar tujuan program KB mencapai keluarga yang sejahtera, salah satu kebijakan yang dilakukan BKKBN provinsi dan BP2KB bekerjasama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yaitu dengan memberikan pinjaman untuk kelompok warga binaan, sebagai penjaminnya adalah BP2KB, diharapkan dengan pinjaman ini dapat meningkatkan perekonomian keluarga. Diharapkan dari program ini PUS merasakan manfaat langsung dari program KB yang mana dapat meningkatkan ekonomi keluarga. Konseling KB
Berdasarkan hasil wawancara dengan bidan desa dan bidan praktek swasta (BPS) di Kecamatan Selong bahwa mereka memberikan konseling kepada PUS yang baru maupun PUS lama jika ingin berganti cara. Prinsip yang dipergunakan adalah cafetaria yang mana bidan memberikan penjelasan tentang berbagai alat kontrasepsi. PUS diberi keleluasaan untuk memilih alat kontrasepsi yang tersedia. Bidan desa dan BPS tetap masih mendorong agar PUS memilih MKJP meskipun sebagian besar PUS lebih suka alat kontrasepsi non-MKJP. Menurut BPS yang merupakan bidan senior mengatakan bahwa konseling yang terbaik adalah harus bersama suami dan istri. Waktu yang paling tepat agar suami juga hadir adalah pada saat kunjungan nifas. Pada saat itu BPS menjelaskan tentang berbagai macam alat kontrasepsi, kelebihan dan kekurangannya. Setelah diberi penjelasan pasangan diminta untuk merenungkan terlebih dahulu selama 1-2 minggu jika saat itu belum dapat memberikan keputusan. Selama ini PUS yang datang ke klinik bidan tersebut sebagian besar memilih MKJP, terutama IUD. Menurut
36
bidan, yang terpenting untuk memotivasi agar PUS mau menggunakan MKJP adalah pemberian informasi yang lengkap tentang alat kontrasepsi sambil memberikan beberapa cerita sukses orang yang sudah menggunakannya. Memang perlu waktu untuk merubah pilihan dari nonMKJP ke MKJP, tetapi dengan pemberian informasi yang terus menerus dapat memberikan hasil baik. C.
PENDAPAT MASYARAKAT
C.1. Sikap Masyarakat Sikap pasangan usia subur Akseptor KB FGD dengan kelompok pasangan usia subur (PUS) yang ber-KB menyatakan bahwa semuanya mendukung sekali program keluarga berencana. Pasangan usia subur yang berusia muda yang baru menikah atau memiliki satu orang anak hampir seluruhnya menjadi akseptor KB. Seakan tidak mau ketinggalan, PUS yang sudah terlanjut memiliki lebih dari 2 orang anak juga ikut menjadi akseptor karena tidak ingin menambah anak lagi. Secara umum seluruh peserta FGD mengatakan bahwa keluarga yang ikut progam KB adalah keluarga yang ingin mengatur kelahiran, membatasi jumlah anak tidak lebih dari dua orang anak, dapat membuat keluarga menjadi sejahtera dan masa depan anak lebih baik. “Alhamdulillah ada KB bu. Karena kalau tidak ada KB , kan isteri kita itu setiap tahun dia melahirkan.. gitu kan. Kalau ada KB kan dia punya jarak untuk mengatur anak keluar itu kan? Alhamdulillah.” (Bapak KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
“Untung ada pemerintah yang punya cara KB, saya suka sekali, saya seneng ada KB itu.” (Bapak KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “KB ndek beduwe luek anak [tidak banyak punya anak].” (Ibu KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Saya rasa ... mengapa di rumahtangga... yang pertama dia tidak terpenuhi sandang pangan papan. Tidak sesuai dengan pendapatan. Salah satu caranya kita menekan kita harus mengikuti program-program aturan dari dinas pemerintah, lebih-lebih program dari dinas kesehatan dua anak baik. Cukuplah dua anak saja.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
Seluruh peserta FGD menyatakan bahwa keluarga yang mengikuti program KB dapat membuat keluarga menjadi sejahtera. Keluarga sejahtera umumnya diartikan sebagai keluarga yang dapat merencanakan dan mengatur jumlah anak. Orang tua yang ber-KB dapat secara ekonomi tidak terlalu berat dalam memenuhi kebutuhan anak terhadap pangan dan pendidikan. “Keluarga sejahtera itu adalah keluarga yang kebutuhan ekonominya terpenuhi, anaknya terpenuhi. Semua lingkungan keluarganya terpenuhi.” (Bapak KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
“Kalau saya... keluarga sejahtera itu ... kan kalau anak kita sudah 2 misalnya, anak yang sudah 2 itu bisa kita sekolahkan... kita lanjutkan sekolahnya... kita carikan dana sekolahnya... banyak kita carikan... karena kalau 2 itu bisa kita lanjutkan sampai mana sekolah ... itu yang kita inginkan.” (Bapak KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “KB bisa membuat keluarga jadi sejahtera. Biar masa depan anak juga lebih bagus.” (Ibu KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
Jenis kelamin anak untuk masyarakat di Lombok Timur masih dinilai penting. Hampir seluruh peserta diskusi mengatakan bahwa akan senang sekali jika memiliki anak laki-laki dan perempuan. Terdapat perbedaan pendapat tentang jenis kelamin anak antara kelompok bapak
37
dan ibu yang ber-KB. Pada kelompok bapak, sebagian besar mengharapkan agar anak yang pertama berjenis kelamin laki-laki. Menurut kelompok bapak, anak laki-laki diharapkan dapat membantu orang tua jika sudah dewasa. Berbeda jika anak pertama berjenis kelamin perempuan karena di Kabupaten Lombok Timur, anak perempuan biasanya lebih cepat menikah dibandingkan anak laki-laki. Pada FGD kelompok ibu ber-KB, dikemukakan bahwa mereka tidak mempersoalkan anak pertama laki-laki atau perempuan asalkan anak tersebut dilahirkan dalam kondisi sehat. Melihat kenyataan bahwa nilai anak laki-laki sangat penting bagi masyarakat, maka bila PUS belum mendapatkan anak laki-laki, maka kemungkinan besar mereka memiliki jumlah anak yang banyak.
“Alasannya kan...kalau kami lihat di daerah NTB ini... biasanya kalau perempuan itu dia belum sampai SMA dia sudah kawin. Kalau anak laki itu kadang-kadang sudah selesai kuliah belum dia kawin. Besar pengaruhnya kalau anak perempuan itu kadang-kadang menikah di bawah umur. Yang 15 tahun ada juga . Yang 20 tahun juga ada yang menikah. Menurut saya di situ peran orang tua yang kurang memberikan sosialisasi kepadaanaknya bagaimana menikah yang benar di umur sekian.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru Kab. Lombok Timur) “Kalau saya ingin anak pertama itu laki-laki. Laki-laki itu ndak rewel gitu.. Maksudnya tidak sulit diuruslah gitu. Kalau perempuan duluan ya... terlalu sulitlah buat saya memikirkannya. Karena terlalu banyak keperluan dan kebutuhannya. Nah... kalau yang laki-laki duluan mudah. Karena kebutuhan si anak itu sedikit. Dari segi pakaian saja udah banyak sekali macam-macamnya.” (Bapak KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Menurut saya jenis kelamin itu penting. Biar lengkap kalau ada anak laki-laki dan perempuannya." (Ibu KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Anak pertama laki-laki atau perempuan tidak apa. Sama-sama... yang penting sehat...” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Mele malik [mau lagi]. Mau nambah lagi, tambah lagi yang 4, tambah lagi yang 5 biar sampai banyak....” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Ya... inginnya sih awal-awal kita mau yang laki-laki kan? Tapi.. itu yang diberi oleh Allah swt. Anak perempuan. Diterima aja. Apa adanya. Nah .. sekarang kan alhamdulillah dapet anak laki-laki yang ketiga itu." (Bapak KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
Non-akseptor KB Peserta FGD yang dari kelompok PUS yang tidak ber-KB terdiri dari PUS yang masih menginginkan anak, PUS yang sedang berhenti ber-KB karena sudah lebih dari 20 tahun ber-KB yang merasa sudah tidak produktif lagi dan PUS yang merasa tidak cocok dengan salah satu alat KB. “Dulu pake implan, tapi sudah dilepas sekarang karena ingin punya anak lagi. Anak pertama usianya 10 tahun.” (Bapak non-KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
“Kalau pribadi saya sendiri yang saya alami... ya karena merasa sudah sekian tahun.. Saya merasa bukan mesti ingin punya anak lagi, tapi.. Kurang produktiflah gitu. Jadi buka aja dulu. Rasanya sudah tidak produktif lagi.” (Bapak non-KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Ya… setuju. Ada 1 atau 2 yang tidak setuju. Karena kebanyakan anak… karena ndak nyocok KB, katanya.” (Bapak non-KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Tidak cocok, suntikan… pernah, pil... pernah, steril… IUD… tidak berani, kondom.” (Ibu non-KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
38
Sama halnya dengan PUS yang ber-KB, kelompok PUS yang tidak ber-KB juga menilai bahwa anak laki-laki itu sangat diharapkan. Anak laki-laki dianggap dapat membantu orng tua dan menjadi penerus keluarga. Keinginan mendapatkan sepasang anak juga menjadi penyebab PUS mengurungkan menggunakan alat kontrasepsi. Oleh karena itu jika PUS hanya memiliki satu anak, umumnya pasti ingin menambah anak lagi agar mendapatkan jenis kelamin yang lain. Jika sudah terpenuhi barulah ikut KB (lagi, bagi yang pernah ber-KB). "Karena ingin punya anak yang ke–2. Anak yang pertama usianya 6 tahun. Sejak anak yang pertama lahir pake pil." (Bapak non-KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
"Ya, kita kan utamanya mau masuk KB, supaya sejahtera. Dalam rencana demikian ini kita harus punya anak pertama laki. Ini perlu untuk melanjutkan keturunan. Kalau dia perempuan, terus perempuan-perempuan , wah... susah nanti, itu alasannya kita perlu punya laki-laki. Tapi alhamdulillah, saya diberikan laki-perempuan, laki perempuan, sama saja." (Bapak non-KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) "Suami saya belum punya anak perempuan, ingin nambah anak perempuan." (Ibu non-KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) "Jenis kelamin anak penting. Harus laki dan perempuan. Supaya rukunnya lengkap." (Bapak nonKB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
Sikap orang tua Dari hasil wawancara mendalam dengan orang tua atau mertua dari PUS yang ber-KB dan yang tidak ber-KB, ditemukan perbedaan program KB yang sangat besar, pada saat era orang tua/mertua masih muda dengan era saat ini. Pada era orang tua/mertua, program KB masih belum ada atau belum menjangkau seluruh desa. Kalaupun orang tua/mertua PUS pernah menjadi akseptor, itu terjadi pada saat jumlah anak sudah lebih dari 4 orang, sehingga dapat dikatakan sudah terlambat. Jumlah penduduk seusia orang tua/mertua PUS sampai saat ini masih cukup banyak terlihat. Menurut para orang tua/mertua yang diwawancarai, saat ini bisa dikatakan bahwa PUS usia muda rata-rata sudah ber-KB. Mereka senang melihat program KB berkembang lebih baik.
"Karena kita dulu seperti ini, belum ada keluarga berencana. Sekarang tidak ada keluarga seperti ini disini. Kalau sekarang pasangan yang muda-muda sudah malas banyak anak." (Ibu/mertua PUS non-KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) "Karena kita dulu seperti ini, belum ada keluarga berencana." (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) "Keluarga yang anaknya banyak masih banyak di sini. Mungkin ada sekitar 20 orangan. Umumnya orangnya sudah tua-tua seperti saya." (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
Sebagai orang tua yang sudah mengalami betapa sulitnya membesarkan anak dalam jumlah yang banyak, mereka ingin agar anak-anak mereka yang sudah menikah dianjurkan untuk berKB. Dengan ber-KB berarti anaknya dapat mengatur jarak kelahiran anak dan dapat merawat anak yang dilahirkan sampai cukup besar baru merencanakan untuk mempunyai anak lagi. Karena anak yang dimiliki hanya satu orang, mereka bisa bekerja dan pengeluaran untuk rumah tangga juga tidak besar. "Senang melihat anak ikut KB. Supaya anaknya lebih besar dulu baru punya anak lagi." (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
"Supaya jarang punya anak, supaya anak bahagia dulu baru punya anak lagi." (Ibu/mertua PUS non-KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
39
"Untuk menjarangkan anak, kesehatan kandungan." (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) "Untuk menjarangkan kehamilan, kalau kita KB… kita bisa kemana-mana, bebas… tidak kepikiran, bisa cari kerja, soalnya… kalau kita hubungan suami-istri jadi baik, jarak anak … tidak terlalu dekat, anak sudah bisa mandiri.” (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
Orang tua yang diwawancarai dalam studi ini mengatakan bahwa dengan ber-KB diharapkan anak-anak mereka dapat mewujudkan keluarga yang sejahtera dimana hanya memiliki dua orang anak, mempunya penghasilan yang cukup untuk memunuhi kebutuhan keluarga. Keluarga juga dapat merencanakan dan menyekolahkan anak dengan baik. “Membuat anak-anaknya bahagia, sehingga bisa menjamin kesejahteraan dan biaya sekolah anak. Itu saja yang saya tahu.” (Ibu/mertua PUS non-KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Yang saya tahu itu, kesejahteraan dari …mandiri secara ekonomi. Contohnya itu… Bisa sekolahkan anak, bisa bantu anaknya ngaji. Punya anak 2, biar bisa menyekolahkan anak." (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)” “Keluarga yang bisa mencukupi seluruh kebutuhan keluarga. Seperti pendidikannya, terus makanannya. Dia kuliah anaknya, misalnya dia mau mengeluarkan uang… bisa dikasih, kalau mau minta kebutuhan sehari-hari… sudah tersedia, sudah ada tabungannya. Anaknya bisa dua, bisa tiga.” (Ibu/mertua PUS non-KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
Saat ini, keluarga muda yang tidak ber-KB dan memiliki banyak anak malah menjadi pergunjingan. Keluarga tersebut sudah ekonomi kurang mampu, masih tetap mempunyai banyak anak sehingga tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan baik.
“Diomongkan … kalau tidak ber-KB… tidak bagus… karena banyak anak… tidak bisa sekolahkan anak.” (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
“Ya… diomongkan… kenapa dia tidak pakai KB, padahal… kalau ber-KB kita enak…, leluasa untuk… tidak terlalu capai ngurus anak... gitu kan.” (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
C.2.
Pengetahuan alat kontrasepsi
Pengetahuan informan tentang alat kontrasepsi seperti pil, suntik, kondom, implan dan IUD sudah bagus terutama pada masyarakat yang pernah atau masih menjadi akseptor. Selain mengetahui jenis-jenis alat kontrasepsi, nereka jauh tahu bagaimana kontrasepsi tersebut dipasang/digunakan. Cara KB Metode Operasi Pria/Wanita (MOP/MOW) bagi sebagian orang tua, terutama dari orang tua PUS yang sudah berusia lanjut usia belum dipahami.
"Yang ini saja pil sama suntik, yang lain belum pernah ada yang memakai disini. Tidak berani dipasang yang lain. kalau pil diminum sekali semalam, kalau suntik sekali 3 bulan..." (Ibu/mertua PUS non-KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) "Suntik di pantat, bisa 3 bulan sekali, pil diminum 1 kali semalam." (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
40
Pengetahuan non- MKJP pada PUS dan orang tua/mertua Pada umumnya peserta FGD mumnya dapat menyebutkan alat kontrasepsi non-MKJP dengan baik sepeti pil, suntik dan kondom. Mereka juga tahu cara menggunakan, jangka waktu kontrasepsi tersebut, dan kapan harus memeriksakan kembali. Khusus kontrasepsi kondom, sebagian besar peserta hanya pernah mendengar tetapi tidak pernah menggunakan.
"Kalau suntik itu disuntiknya di pinggang... pantat. Pil diminum, minum tiap malam sebelum tidur." (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) "Kalau kondom itu katanya dipakenya waktu kita berhubungan sama istri." (Bapak KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
Dari hasil FGD pada kelompok PUS ber-KB, pengetahuan mengenai dampak samping MKJP, jenis suntik lebih banyak dikeluhkan dibandingkan dengan jenis pil. Efek samping yang sering dirasakan atau diketahui adalah haid yang tidak teratur atau tidak dapat haid dalam waktu lama. Bahkan ada informan yang mengatakan setelah menggunakan alat kontrasepsi suntik sudah bertahun-tahun tidak dapat hamil lagi, padahal PUS masih mendambakan anak lagi. "Ada, cuman satu anaknya ga bisa lagi..." (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) "Kan kalau nganak kita bisa setop kalau pil tapi kalau suntikan kering di dalam." (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
Pengetahuan jenis alat kontrasepsi non-MKJP dan penggunaannya secara umum pada kelompok orang tua/mertua tidak terlalu berbeda jauh, meskipun ada juga dari mereka yang belum pernah menggunakannya. Beberapa informan ibu mertua mengatakan pernah menggunakan alat kontrasepsi pil sehelum berhenti ber-KB karena sudah tidak produktif lagi atau suami sudah meninggal. "Yang ini saja pil sama suntik, yang lain belum pernah ada yang memakai disini. Tidak berani dipasang yang lain. kalau pil diminum sekali semalam, kalau suntik sekali 3 bulan." (Ibu/mertua PUS non-KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Pernah dulu pake pil saja, tapi sekarang sudah berhenti karena sudah tidak haid lagi.” (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
Pengetahuan MKJP pada PUS dan orang tua/mertua Secara umum pengetahuan informan PUS (yang ber-KB maupun yang tidak ber-KB) dengan orang tua/mertua tentang MKJP tidak terlalu berbeda jauh. Beberapa informan PUS yang berKB menyatakan sudah menggunakan MOW karena ingin berhenti memiliki anak karena jumlah anak yang dimiliki sudah cukup banyak. Seluruh informan dapat menyebutkan bagaimana penggunaan MKJP dan jangka waktu penggunaannya. “IUD dipakai di bawah, implan di lengan, pil ditelan, suntik di pantat.” (Ibu KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
”Kalau implan itu bisa tahunan itu bu... Ada yang sampai lima tahun.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Kalau implan pakenya dilengannya. Kalau IUD di bawah..., kalau ini kan didalam rahim ya kalau sepiral.” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
41
“Ya bu saya pake steril. Sudah cukup dua laki dua perempuan.” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
C.3.
Penerimaan jenis alat kontrasepsi
Berdasarkan teori diffusion of innovation, beberapa karakteristik yang berhubungan dengan alat kontrasepsi dikelompokkan ke dalam: (1) keuntungan relatif; (2) kompatibilitas; (3) kepraktisan dan kemudahan penggunaan; (4) kemungkinan bisa mencoba; dan (5) hasil yang nyata, seperti yang diuraikan berikut ini: Non-Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
Non-MKJP merupakan alat kontrasepsi yang paling banyak digunakan masyarakat di Lombok Timur, tidak terkecuali pada seluruh informan, baik yang PUS maupun yang orang tua yang saat ini sudah tidak menggunakan lagi. MKJP lebih mudah diterima masyarakat tanpa ada hambatan sosial, budaya dan agama. Metoda ini juga sudah sangat mudah mendapatkannya, seperti di bidan praktek, klinik, RS dan bahkan dapat diperoleh dari perawat. Non-MKJP yang paling banyak digunakan adalah suntik dan pil. Sangat jarang sekali PUS yang menggunakan kondom. Berbagai alasan diungkapkan oleh informan peserta FGD mengapa mereka menggunakan nonMKJP yang meliputi keuntungan relatif, kompatibilitas, kepraktisan, kemungkinan mencoba dan hasil yang nyata. Keuntungan Relatif
Kontrasepsi jenis pil dan suntik adalah kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh Ibu karena kemudahan untuk mendapatkan, menggunakan dan harga yang relatif murah, meskipun ada juga yang merasakan efek samping yang tidak menyenangkan. Keuntungan yang dirasakan oleh masing-masing akseptor dapat berbeda. Sesuatu yang dirasakan menguntungkan bagi seseorang belum tentu dirasakan oleh orang yang lain. Berikut beberapa alasan yang disampaikan keuntungan yang dirasakan setelah menggunakan alat kontrasepsi jenis pil. “Pakai pil… gratis. Kalaupun bayar tidak mahal paling Rp. 5000, dan supaya tidak terlalu gemuk.” (Ibu KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Keuntungannya mudah dipakai tinggal diminum saja. Kelemahannya kalau lupa minum bisa hamil.” (Bapak non-KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Keuntungan pil tiap bulan bisa mens, kerugiannya… Cuma pusing.” (Ibu non-KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur) “Keuntungannya, pil agar jarang anak, sehat... Kerugian pil… ndak ada, suntik…ndak tidak cocok.” (Ibu non-KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
Alasan yang tidak jauh berbeda juga terlihat pada PUS yang menggunakan alat kontrasepsi jenis suntik. Terkadang pengalaman yang tidak menyenangkan bagi PUS yang beralih menggunakan pil, ternyata menyenangkan bagi pengguna alat kontrasepsi suntik seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini.
“Saya kan 3 bulan sekali, bayarnya taruhlah kita cicil 15.000.... yang 3 bulan itu kan.. Kita tabung 500... 1000... Itulah lebih untungnya kalau suntikan.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Suntikan... keuntungannya sehat, kelemahanya tidak ada, sehat-sehat saja.” (Ibu non-KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Biar agak besar, biar anaknya punya jarak.” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
42
“Saya tidak takut pakai suntik, sudah tiga anak saya... sudah banyak anaknya.” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Karena kita sudah terlanjur memakai suntik, maka karena sudah rasanya enak gitu... maka kita lanjutkan ke suntik gitu. Sudah cocok.” (Bapak KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong,, Kab. Lombok Timur)
Kompatibilitas Sampai saat ini, bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia secara umum dan di Kabupaten Lombok Timur secara khusus, MKJP tidak terlalu banyak mendapat hambatan di masyarakat. Penggunaanya yang tidak membuka aurat dan melalui operasi dirasakan cocok bagi PUS. Sebagian besar PUS juga mengatakan mereka cocok menggunakan pil atau suntik dan sejauh ini tidak merasakan efek samping. Beberapa alasan dikemukan di bawah ini bagi PUS yang menggunakan pil dan suntik. “Kalau isteri saya, pakai suntiklan dia gemuk. Pakai pil... Bisalah, sekarang sudah turun lagi berat badannya.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
“Kalau isteri saya kemarin dia pakai pil... Tapi setelah beberapa bulan... Gemuk dia pakai pil. Orang bilang, coba dia pakai suntikan.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur). “Saya pake suntikan karena saya rasa cocok.” (Ibu KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
Kepraktisan PUS yang biasa menggunakan non-MKJP merasakan bahwa non-MKJP lebih praktis penggunaanya dibandingkan dengan MKJP karena dapat langsung diminum setiap hari atau disuntik dalam waktu tertentu tanpa perlu harus membuka aurat atau merasakan sakit pada pemasangan alat kontrasepsi implan. Bagi PUS yang biasa menggunakan MKJP melihat bahwa MKJP-lah yang praktis karena meskipun agak rumit dalam pemasangannya tetapi setelah pemasangan PUS tidak perlu pusing untuk mengingat setiap hari minum pil atau setiap bulan atau tiga bulan sekali pergi ke pelayanan kesehatan untuk disuntik ulang. Bahkan PUS yang biasa menggunakan non-MKJP melihat bahwa alat kontrasepsi suntik dan pil mempunyai perbedaan tersendiri mengenai kepraktisan. Dari hasil FGD, ditemukan bahwa alat kontrasepsi suntik dinilai lebih praktis dibandingkan pil. Ada beberapa hal yang menyebabkan mereka mengatakan bahwa non-MKJP dirasakan lebih praktis dibanding MKJP seperti di bawah ini. “Suntikan biar praktis, kalau pil. Aku lupa minum.“(Ibu KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
“Suntikan menurut saya. Kalau suntikan itu kan tinggal tunggu waktunya saja. Satu kali 3 bulan itu tanggalnya. Kalau suntikan itu satu kali 2, 3 bulan itu kan tenang. Kita tinggal tunggu tanggalnya. Ndak ada masalah.” (Bapak KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
Kemungkinan Untuk Mencoba Dari hasil FGD dengan kelompok PUS, non-MKJP banyak dipilih karena sangat mudah untuk berhenti tanpa harus pergi ke Puskesmas atau rumah sakit. Alat kontrasepsi pil lebih dipilih oleh ibu yang ingin punya anak lagi karena bisa lebih mudah untuk hamil dibandingkan dengan alat kontrasepsi suntikan. “Kan kalau kita mau punya anak lagi bisa setop kalau pil, tapi kalau suntikan kering di dalam lama lagi punya anaknya.” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
43
“Pil... pernah nyoba... tapi saya ndak cocok... pusing tiap hari, bagi orang yang cocok… ya tidak mengalami pusing seperti saya. Nanti kalau mau pake saya mungkin coba suntik.” (Ibu KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
Hasil yang Nyata Menurut peserta FGD, dalam memilih alat kontrasepsi mereka sering memperhatikan efek samping dari alat kontrasepsi tersebut. Informasi tentang efek samping diperoleh dari pengalaman sendiri atau dengan melihat sendiri orang lain yang sudah menggunakan alat kontrasepsi yang ingin dipilihnya.
“...terlalu lama pakai suntikan badannya kurus , terus pendarahan. Ndak cocok, terus pindah ke pil baru dirasa cocok.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Kalau pakai suntikan... sakit lutut... sakit pinggang.” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Kelemahannya seperti tadi kadang-kadang lupa jarak suntiknya itu. Yang seharusnya tanggal berapa, tau-taunya lewat satu bulan. Atau lewat 1 minggu... bisa jebol jadinya.” (Bapak non-KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong Kab. Lombok Timur)
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) Tidak berbeda jauh dengan non-MKJP, masyarakat dalam memilih MKJP juga melalui pertimbangan tertentu yang didasarkan pada aspek keuntungan relatif, kompabilitas/kecocokan, kepraktisan, kemungkinan mencoba dan hasil nyata/efek samping. Berikut di bawah ini alasan yang diberikan oleh seluruh informan kenapa memilih alat kontrasepsi jenis MKJP. Keuntungan relatif
Bagi PUS yang ingin menunda anak dalam jangka waktu lama tanpa khawatir lupa meminum atau menyuntik, MKJP menjadi pilihan utama. MKJP juga dipilih bagi PUS yang sudah tidak ingin anak lagi. “Pake implan karena jangka waktunya lama jadi tidak takut kalau kebobolan.” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
“Keuntungannya bisa digunakan dalam waktu yang lama Keuntungan IUD jangka waktunya lama. Kelemahannya ya... harus sering kontrol.” (Bapak non-KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Kelemahannya disana kalau pake IUD. Karena kalau tidak sering kontrol bisa-bisanya akan terjadi efek sampingnya bisa infeksi katanya...” (Bapak non-KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Sekarang saya sudah disteril, karena sudah tidak ingin punya anak lagi.” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
Kompatibilitas Informan PUS ibu yang ber-KB di Kecamatan Selong mengatakan bahwa suami tidak mengizinkannya menggunakan IUD karena menurut suaminya membuat hubungan suami istri menjadi tidak enak dan menimbulkan rasa sakit. “Ga’ dikasih suami pake IUD. Katanya pedes... kebanyakan laki bilang pedes. Ga’ pernah sih saya coba tapi kata orang sih anuknya luka,merah.” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
44
“Mau…steril, ndak dikasih sama ibu, untuk sementara bisa kita pakai suntikan dulu...“ (Ibu KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru,, Kab. Lombok Timur)
Kepraktisan MKJP dinilai praktis dalam penggunaannya karena dapat dipergunakan dalam waktu lama tanpa khawatir lupa.
“Pilih implanan, kalau harus suntik... repot kalau tidak punya uang.“ (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Implan…lebih praktis…. Implan pake sekali untuk 3 tahun sekaligus.” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “IUD juga praktis. Lama-lama baru kita penggantiannya.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Kalau jenis IUD itu apa... IUD itu kadang2 pemasangannya, dia kan harus ke rumah sakit.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Enak sudah disteril. Biar tidak punya anak lagi.” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
Kemungkinan untuk mencoba Dari hasil FGD diketahui bahwa ada mereka awalnya memilih non-MKJP karena pertimbangan agar tidak mengalami efek samping yang dialami pada saat menggunakan MKJP. Informan bapak yang menggunakan non-MKJP berencana untuk beralih ke steril karena merasa jumlah anaknya sudah lebih dari cukup.
“Itu lebih cocok. Saya mungkin pilih steril karena sudah cukup anak saya empat.“ (Bapak KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Kalau implan itu... keuntungannya itu lama jangka waktunya. Pas kemudian... nyabut lagi... gampang, ndak terlalu sulit. Cuman kadang-kadang kelemahannya mungkin sama ibu yang kurang darahnya.” (Bapak non-KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
Hasil yang nyata Dari studi ini ditemukan bahwa cerita-cerita rumor lebih dominan dibandingkan dengan keuntungan yang didapat jika menggunakan MKJP. Berikut adalah beberapa rumor yang didapat terkait dengan MKJP.
“Ndak bisa bawa barang berat.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Implan itu, temen saya pernah pasang. Dia bisa jalan katanya. Ada cerita-cerita. Dipasang di atas, dia bisa ke bawah.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Ya.. ke rumah skit. Dan juga IUD itu kadang-kadang saya pernah dengar kalau ndak cocok, bisa kurus. “ (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
C.4. Proses pengambilan keputusan Pengambil keputusan dalam ber-KB Dari hasil penelitian ini diperoleh informasi bahwa proses pengambilan keputusan untuk ikut dalam progam KB bervariasi. Keputusan untuk ber-KB ada yang berdasarkan izin suami, keputusan bersama dan keputusan istri. Tetapi dari hasil FGD ditemukan bahwa sebagian besar
45
suami masih mempunyai peran yang besar dalam penentuan jenis alat kontrasepsi yang akan dipilih. Suami sebagai pengambil keputusan
Suami berperan besar dalam menentukan dalam hal memutuskan untuk memilih jenis alat kontrasepsi yang akan digunakan istrinya. Dilihat dari seluruh informan yang terlibat dalam FGD bahwa sebagian besar istri masih tergantung kepada suami dalam memilih alat kontrasepsi.
“Kalau di sini bu... tanpa persetujuan suami ndak berani... isteri.” (Bapak KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Contohnya saya ndak mau punya anak lagi dalam jangka waktu lima – enam tahun lagi. Saya ambil keputusan itu dan dia ikut.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Saya yang mengambil keputusan mau pake KB apa, karena saya kepala keluarga.” (Bapak nonKB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Kalau saya sebenarnya maunya implan supaya dalam waktu lama, tapi suami ingin suntik.” (Ibu non-KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
Istri sebagai pengambil keputusan Meskipun sebagian besar pengambil keputusan ada di tangan suami, ternyata ada juga suami yang menyerahkan kepada istri dalam memilih alat kontrasepsi. Menurut penuturan para suami bahwa yang menjalankan dan merasakan adalah istri jadi seluruhnya diserahkan kepada istri. “Saya sendiri yang mengambil keputusan, suami setuju-setuju saja.” (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Biasanya dia kalau menurut saya bu karena dia yang menjalankannya. Nah.. kadang-kadang dia kasih tahu kita.. terserah andalah mana yang kira-kira cocok. “(Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
Suami dan istri sebagai pengambil keputusan Dari hasil FGD pada seluruh PUS di kedua kecamatan, ternyata sudah cukup banyak juga pengambilan keputusan ber-KB dan memilih jenis alat kontrasepsi bedasarkan hasil diskusi suami dan istri.
“Iya. Tapi kadang-kadang dia kasih tahu kita. Kita ikuti.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
“Waktu itu atas keinginan bersama suami.” (Ibu KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
Peran orang tua dalam pengambilan keputusan Menurut penuturan orang tua atau mertua yang diwawancarai secara mendalam, keputusan untuk memilih sudah diserahkan kepada anak. Orang tua hanya diminta pendapat dalam memutuskan pilihan jenis alat kontrasepsi. “Saya pernah menyarankan anak saya agar ber-KB.” (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
46
“Pake pil atau suntik sama saja, mana-mana maunya, pil mungkin atau suntik juga mungkin. Kalau IUD tidak berani, takut.” (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Mereka izin dan saya suruh pakai KB, supaya anaknya lebih besar dulu baru punya anak lagi. Pertama saya sarankan pake suntik ternyata tidak cocok karena pernah pendarahan. Habis itu berhenti pake suntik tetapi menjadi tidak haid. Akhirnya ganti pake pil.“ (Ibu/mertua PUS KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
Berdasarkan hasil FGD pada kelompok PUS, mereka juga menyatakan bahwa orang tua atau mertua hanya memberikan saran untuk mengikuti KB. Mereka tidak menyuruh untuk menggunakan salah satu alat kontrasepsi tertentu. Beberapa informan mengatakan saran orang tua terkadang tidak sesuai dengan keinginan anak seperti dalam hal apakah memiliki anak dulu atau ber-KB dulu setelah menikah. “Malahan saya dulu, sama mertua saya, gini katanya... kalau besok sudah kawin, pakai KB dulu, bikin anak 1 lalu ber-KB. Biar besar-besar dulu. Cari uang. Biar tenang. Saya dianjurkan gitu.” (Bapak KB, Kecamatan Selong, Kab. Lombok Timur)
“Saya dilarang punya anak dulu.Tapi saya bilang, saya mau punya anak dulu baru ber-KB, karena anak itu yang bisa membut saya mau bekerja. Anak ndak ada, saya ndak mau kerja. Gitu aja saya. Saya kalau kawin itu punya anak dulu.“ (Bapak KB, Kecamatan Selong, Kab. Lombok Timur) “Orang tua suruh saya ber-KB dulu. Dikira saya ndak bisa cari uang. Insyaallah bisa saya. Karena anak sudah ada, insyaallah giat kita kerja. Biar ada semangat. Gitu aja. Kita bikin lagi, nanti dulu. Nanti 7 tahun sudah SD baru kita bikin.“ (Bapak KB, Kecamatan Selong, Kab. Lombok Timur)
Keyakinan terhadap berkurangnya risiko jika ber-KB Seluruh peserta FGD menyadari bahwa jika mereka tidak ber-KB, maka kemungkinan terjadinya kehamilan sangat besar. Menurut sebagian besar peserta FGD, PUS yang menggunakan alat kontrasepsi pil akan lebih mudah hamil dibandingkan PUS yang menggunakan alat kontrasepsi suntik. Dijelaskan bahwa jika seorang ibu menggunakan alat kontrasepsi suntik, jika ingin merencanakan hamil lagi maka akan memakan waktu lama dan harus ikut terapi kesuburan. “Nah segera kalau kita pakai pil, ya lamaan kita pakai suntikan.“ (Ibu KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Karena peluangnya lebih besar, kalau telat suntik.” (Ibu non-KB, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
Hambatan dalam pengambilan keputusan Dalam proses pengambilan keputusan untuk memilih jenis alat kontrasepsi sangat tergantung dari berbagai macam kondisi yang ada. Beberapa hambatan yang dihadapi PUS untuk memutuskan beberapa diantaranya adalah norma dan kenyamanan. Hambatan norma
Program KB saat ini sudah diterima oleh sebagian besar masyarakat di Lombok Timur, hanya sedikit sekali keluarga yang belum atau menolak KB. Hambatan yang masih kerap muncul adalah pemilihan jenis alat kontrasepsi. MKJP oleh sebagian besar masyarakat masih dianggap bertentangan dengan norma agama. Alat kontrasepsi IUD dinilai bertentangan dengan agama karena pemasangannya harus membuka aurat kaum wanita. MOW dan MOP diperdebatkan oleh para ulama Islam karena sifatnya yang permanen dan menganggap cara ini sama dengan pengebirian yang dilarang dalam hukum Islam.
47
Dari hasil FGD pada kelompok PUS, keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki dan perempuan cukup tinggi. Hal ini menyebabkan PUS yang ber-KB memutuskan untuk berhenti dahulu ber-KB untuk mendapatkan jenis kelamin anak yang diinginkan. Kuatnya peran suami dalam keluarga menyebabkan istri tidak dapat menolak jika suami berkeinginan menambah anak, terlebih lagi bila belum mendapatkan anak laki-laki.
“Saya ingin anak laki-laki, kalau sudah tua ada yang ganti kita.” (Bapak non-KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Sekarang ingin perempuan satu lagi. Kalau ndak bisa dapat, baru ber-KB.” (Bapak non-KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur) “Kalau menurut saya laki-laki yang duluan bisa bantu saya. Kalau yang perempuan... ibunya yang untung.” (Bapak KB, Ds. Paro Mas, Kec. Jerowaru, Kab. Lombok Timur)
Hambatan kenyamanan dan rumor Pengalaman selama menggunakan alat KB dapat mempengaruhi sesorang untuk tetap atau berganti cara/alat kontrasepsi. Jika seseorang sudah merasa cocok dalam satu jenis alat kontrasepsi, maka dia cenderung tidak mau berubah. Perasaan cocok yang dirasakan akibat tidak adanya efek samping atau tidak adanya gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pengalaman yang kurang menyenangkan dan rumor tentang alat kontrasepsi juga menyebabkan keengganan memilih alat kontrasepsi tersebut. Pengalaman buruk atau rumor terkait alat kontrasepsi sangat cepat menyebar dan diterima oleh masyarakat, dibandingkan cerita positif dari alat kontrasepsi tersebut. Berdasarkan hasil FGD pada kelompok ibu serta wawancara mendalam dengan orang tua dan kepala desa/kader, sebagian masyarakat masih enggan menggunakan MKJP karena berbagai alasan, seperti takut harus dioperasi, alat kontrasepsinya keluar dari rahim ibu, atau tetap hamil (kebobolan). “Mungkin ada pertimbangan dari pengalaman-pengalaman orang mungkin yang sering ada katanya takut nanti bisa jebol apa istilahnya bisa lepas.” (Kepala desa, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
“Kalau disini belum pernah bu, tapi memang pernah saya dengar ada saudara misan kebetulan, dia pakai IUD, … anaknya masih kecil itu tidak tahu dirinya hamil, anaknya baru umur 1 tahun.” (Kepala desa, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur) “Terus kalau... IUD.... itu takut. Soalnya takut lepas. Juga kata suami-suaminya, ada yang terasa [saat berhubungan]..., mungkin tidak bagus pemasangannya, mungkin gitu bu.” (Kader, Ds. Kelayu Utara, Kec. Selong, Kab. Lombok Timur)
D.
PEMBELAJARAN DARI DESA MKJP TINGGI DAN RENDAH
Cakupan dan luas wilayah Kecamatan Jerowaru memiliki luas wilayah yang lebih besar (142, 78 km2) dibandingkan dengan Kecamatan Selong (31, 68). Kecamatan Jerowaru memiliki 15 desa dengan jumlah penduduk 54.125 dan Kecamatan Selong 2 desa dengan jumlah penduduk 83.892 (Lombok Timur Dalam Angka, 2011). Wilayah Kecamatan Jerowaru memiliki keadaan geografis tepi pantai dan beberapa desa berada di pulau dengan akses jalan yang kurang baik. Sementara Kecamatan Selong berada di ibu kota dengan fasilitas kesehatan yang lebih banyak dan akses jalan yang bagus dimana seluruh desa dapat dijangkau melalui jalan darat. Dengan jumlah 4 orang PLKB, seorang PLKB bekerja di 3-5 desa yang jaraknya jauh dari kota kecamatan. 48
Sosial ekonomi Dilihat dari status sosial ekonomi (SSE), SSE masyarakat di Kecamatan Selong jauh lebih tinggi dalam hal pendidikan dan penghasilan dibandingkan dengan masyarakat di Kecamatan Jerowaru. Masyarakat di Kecamatan Selong relatif lebih terbuka dalam hal penerimaan program KB termasuk dalam hal penggunaan MKJP. Kinerja BPPKB, Dinkes dan PKK
Tiga piliar BPPKB, Dinkes dan PKK dalam program KB dalam empat tahun terakhir sangat berperan. Dalam semua kegiatan KB masal, ketiga insitusi inilah yang menjadi ujung tombak dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. BPPKB menjamin ketersediaan alat kontrasepsi, Dinkes memberikan pelayanan dan tenaga kesehatan dan PKK menggerakan kader-kadernya dalam memberikan sosialisasi dan KIE. Peran aktif pembinaan Keluarga Sejahtera (PKK)
Program PKK sangat mendukung dalam mensukseskan Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB). PKK yang menjadi garda terdepan. Tim Penggerak PKK Kabupaten dan Kecamatan rutin ke masyarakat di pelosok desa memberikan advokasi dan KIE kepada PUS untuk mengikuti program KB. Peranan Nahdatul Wathan
Peranan organisasi keagamaan Nahdatul Wathan tidak bisa dipungkiri telah banyak membuka kesadaran masyarakat untuk program KB. Salah satu misi dari Nahdatul Wathan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui gerakan Keluarga Berencana. Mobilisasi masyarakat dilakukan dengan pendekatan keagamaan yang melibatkan tuan guru dan tokoh agama mulai dari tingkat provinsi sampai desa.
4.3 KESIMPULAN DAN SARANPROVINSI NUSA TENGGARA BARAT A.
Ringkasan hasil penelitian di tingkat provinsi dan kabupaten
Selain melakukan wawancara pada pemangku kepentingan ditingkat provinsi, dilakukan pula penelitian kualitatif di tingkat kabupaten. Tiga kabupaten terpilih adalah Kabupaten Tuban, Lumajang dan Kediri. Di bawah ini di tampilkan matriks ringkasan dari hasil penelitian kualitatif, dimana laporan lebih rinci untuk masing-masing kabupaten akan diuraikan pada bagian selanjutnya. Tabel 4-9 Ringkasan hasil penelitian kualitatif di Provinsi Nusa Tenggara Barat Topik Propinsi bahasan A. Gambaran Umum Cakupan KB 1. Cakupan KB Alat kontrasepsi dan untuk semua permasalah masyarakat NTB annya ditanggung dari Pusat Prioritas meningkatkan IPM Komitment tinggi No.
2.
Persepsi tentang MKJP versus non-MKJP
Masyarakat masih lebih menyukai non-MKJP
Lombok Barat
Alat kontrasepsi untuk semua masyarakat NTB ditanggung dari Pusat Prioritas meningkatkan IPM Komitmen tinggi Kawin usia muda, cerai adalah biasa Trend LAPM naik sedikit Pola preferensi jenis KB: Perkotaan preferensi desa terpencil (akses susah) lebih didorong MKJP
Kabupaten Lombok Timur Alat kontrasepsi untuk semua masyarakat NTB ditanggung dari Pusat Prioritas meningkatkan IPM Komitment tinggi Tingkat kawin cerai tinggi, sehingga jumlah anak menjadi banyak juga Trend MKJP naik banyak terutama implan Daerah terpencil untuk masyarakat nelayan lebih sulit diubah ke MKJP
Sumbawa Alat kontrasepsi untuk semua masyarakat NTB ditanggung dari Pusat Prioritas meningkatkan IPM Komitment tinggi Budaya kawin cerai jarang
Trend LAPM naik Pola preferensi jenis KB: Perkotaan preferensi desa terpencil (akses susah) lebih didorong MKJP
49
Topik Propinsi bahasan B. Manajemen Program KB 1. Kebijakan Gubernur bisa dan alokasi memegang anggaran komitment kabupaten dan mengikat-nya dengan kesepakatan No.
2.
Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi
3.
Pelayanan KB
4.
Sumber Daya Manusia
5.
Kerjasama Antar Institusi
6.
Menciptakan kebutuhan
Lombok Barat Bupati komit, setiap bulan akan memantau semua program termasuk KB Alokasi dana BKBPP: Penekanan pada program masyarakat
Pengadaan dari pusat Dinkes menyarankan agar distribusi lewat dinkes, namun hanya bertahan setahun.
Pengadaan dari pusat Dua cara dikecamatan: Lewat Puskesmas di apotiknya atau gudang atau melalui KUPTKB tingkat kecamatan
Sektor swasta mendukung MKJP
Swasta mendukung MKJP walau belum didukung BPPKB untuk alat KIEnya 1 bidan satu desa 1 PLKB untuk 1-2 desa; tidak ada regenerasi Kewenangan bidan tidak ada masalah, kecuali KB pasca plasenta harus yang dilatih Pelatihan CTU baru 30%
Dinkes, BP3KB, BKKBN BKKBN dianggap kurang koordinasi terutama untuk pelatihan BKKBN merasa lebih inferior secara struktural Anggaran promosi KB ada di BKKBN walau tidak besar Penggunaan momentum KB oleh BKKBN untuk promosi mengganggu dinkes karena tenaga yang digunakan bidan Puskesmas juga
Koordinasi baik, tidak ada masalah di lapangan. BKBPP tidak ada masalah juga.
Pemutaran film sebelum pelayanan dinamis (bidan serempak datang ke Poskesdes untuk MKJP) Dinkes unggulannya kelas bumil dan KB pasca persalinan dipromosikan Kotbah Jumat menyinggung KB Grebeg pasar: Model ini tidak disukai dinkes; banyak keluhan karena kualitas pelayanan kurang.
Kabupaten Lombok Timur
Bupati komit dengan program KB anggaran BPPKB selalu dipenuhi misalnya: Kantor UPTKB kecamatan untuk koord PLKB di bangun kantor asal ada lahannya, petugas diberi sepeda motor dan laptop Pengadaan dari pusat Distribusi alat kontrasepsi lewat PLKB ke desa sehingga ada kebiasaan bidan memberikan transport untuk daerah-daerah yang jauh Dana distribusi PLKB 1 juta. Klinik swasta bersifat CBO BPS mendukung MKJP
Jumlah bidan cukup PLKB kurang karena pemekaran wilayah, 125 PLKB untuk 254 desa Kewenangan bidan tidak ada masalah. Pelatihan CTU baru 30% Bidan yang belum dilatih berlatih pada bidan terlatih untuk KB pasca plasenta Perawat banyak yang memberikan pelayanan suntik KB Koordinasi baik. Pilar utama KB: PKK, Dinkes dan BP2KB
Sumbawa
Bupati komit dengan program KB BKBPP Dana cukup
Pengadaan dari pusat Dikahawatir-kan masih terjadi transaksi dalam pendistribusian alat kontrasepsi lewat PLKB ke desa, walau sudah ada dana transportasinya. Persediaan pil dan suntik kurang karena masih banyak diminati Di tingkat RS MKJP sangat terungkit mengungkit dengan adanya Jampersal dan IUD pasca persalinan 165 desa 68% tercover bidan. Ada rencana untuk mengaktifkan bidan KB PLKB sangat kurang 1:4 Pelatihan CTU baru 30%
Koordinasi baik, Pilar utama KB: PKK, Dinkes dan BKBPP terutama dalam mendukung momentum KB Potensi CSR Newmount untuk membiayai posBKB Hari kesatuan gerak PKK, Pospa BKB: Integrasi dinkes dan KB setahun Posyandu, Paud dan sekali pelayanan masal KB Ulang tahun CBO Momentum KB pelayanan masal Penyuluhan oleh bidan PLKB dan kader mulai digencarkan bersama-sama kembali memantau bumil dan Belum ada promosi menyarankan KB khusus baik dari dinas Selaparang TV untuk tiap maupun unit KB dinas terutama untuk MKJP Putar film Blusukan ibu bupati/PKK Kabupaten dijadikan sarana untuk promosi MKJP dengan membawa pasangan KB Lestari
50
No. 7.
B.
Topik bahasan Pencatatan dan Pelaporan
Propinsi
Lombok Barat Puskesmas punya data peralat kontrasepsi (F2KB) namun untuk dilaporkan ke BKKBN
Yang dicatat BKBBN lengkap, tapi dinas hanya KB aktif dan KB baru tidak dibagi perkatagori alat. Unmett need tidak ada, fokus pada kegagalan.
Kabupaten Lombok Timur Puskesmas punya data peralat kontrasepsi (F2KB) namun untuk dilaporkan ke BKKBN
Sumbawa Puskesmas punya data peralat kontrasepsi (F2KB) namun untuk dilaporkan ke BKKBN
Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi)
Tabel di bawah ini merupakan rangkuman perspektif masyarakat terhadap alat kontrasepsi. Berikut uraian perspektif masyarakat dari sisi keuntungan relatif, kenyamanan, kepraktisan, kemungkinan dicoba dan hasil yang nyata. Semakin banyak perspektif positif yang muncul di masyarakat menunjukkan umumnya alat kontrasepsi tersebut semakin digemari dan digunakan. Tabel 4.10 Penerimaan masyarkat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi) Penilaian masyarakat
Alat kontrasepsi
Pil
Suntik
Kondom
IUD
Implan
MOW
MOP
Keuntungan relatif Murah dalam jangka pendek Mudah diperoleh
+++
+
++
+/-
+/--
+/---
+/---
+
-
+
+
++
++
+++
++
Tidak perlu buka aurat
+++
+
Tidak dilarang suami/istri
++
Kenyamanan dalam penggunaan Kompatibilitas
Banyak digunakan di masyarakat/keluarga
+
++
+++
+
Kepraktisan dan kemudahan penggunaaan
+
Tidak perlunya kepatuhan
---
--
Mudah digunakan (tdk perlu operasi) Kemungkinan bisa mencoba
+++
++
+++
Gampang berganti/berhenti
+++
++
+++
---
--
Tidak dilarang agama
Tidak perlu digunakan tiap hari
Hasil yang nyata Keberhasilan
Tanpa efek samping
---
--
+
+
--
--
+
+
+/--
+/--
---
++
---
---
+/-+/--
+/-
+/--
+/---
+/---
+
+
++
++
-
--
---
---
-
--
---
---
+
+
++
++
++
+
+/-
+
+
+/--
-
+/--
++
+/--
-
+/--
++
+/--
Berdasarkan perspektif klien, pil dan suntik dinilai mudah diperoleh, murah, tidak perlu buka aurat, banyak digunakan masyarakat, mudah digunakan (tidak perlu operasi atau tindakan invasif) dan mudah berganti ke alat kontrasepsi lain bila menginginkannya atau bila ingin hamil lagi. Bila untuk alat kontrasepsi seperti IUD, implan dan MOW ditemukan adanya larangan dari suami, maka secara umum untuk pil dan suntik tidak ditemukan adanya larangan tersebut. Berdasarkan kepraktisannya, pil dinilai masih membutuhkan kepatuhan untuk minum setiap hari dan tingkat keberhasilan pil dinilai rendah.
51
Sebagian informan menilai bahwa IUD dan implan cukup murah (bagi akseptor KB pemerintah), namun sebagian lain menyatakan cukup mahal (untuk akseptor KB mandiri). IUD dan implan mudah diperoleh, namun dalam pemasangan membutuhkan tindakan yang invasif oleh karena itu masyarakat cenderung takut untuk menggunakannya. Kedua alat kontrasepsi ini juga diasosiasikandengan berbagai efek samping. Dibandingkan non-MKJP, akseptor IUD dan implan disebutkan akan lebih sulit berganti alat atau bila suatu saat ingin memiliki anak. Tingkat keberhasilan IUD dan implan dinilai lebih baik dibandingkan non-MKJP. Diantara MKJP, informan yang menggunakan MOW/MOP berpendapat bahwa alat kontrasepsi yang digunakan cukup nyaman, hanya diperlukan sekali tindakan. MOW/MOP tidak memerlukan kepatuhan dan ketelatenan seperti non-MKJP yang harus diminum setiap hari atau disuntik secara rutin. Bagi akseptor KB Mandiri, tarif MOW dan MOP tergolong mahal. Kedua metode kontrasepsi ini disebutkan memiliki tingkat keberhasilan yang paling tinggi, namun hampir tidak dapat berganti atau bila suatu saat akseptor ingin memiliki anak. Ditemukan adanya penilaian sebagian kecil masyarakat bahwa memasang MKJP (IUD, implan dan MOW/MOP) bertentangan dengan norma dan agama. Pendapat seperti dikaitkan dengan upaya menghalangi kehamilan, kehamilan merupakan ibadah, dan memasang IUD memperlihatkan aurat kepada orang lain. Umumnya informan menyadari bahwa dari aspek kepraktisan, MKJP dinilai lebih praktis karena tidak perlu mengingat harus waktu pemakaian namun dari aspek cara penggunaannya, pil dan suntik dinilai lebih praktis karena kapan saja bisa menghentikan penggunaannya.
Bila pil dan suntik dinilai gampang mencoba dan mudah diperoleh, dan murah, tetapi sebaliknya IUD, implan dan MOW/MOP dinilai cukup repot memasangnya, alat ini tidak untuk dicoba karena akan repot melepasnya kembali bila ada masalah. Namun demikian mereka umumnya mengetahui bahwa MKJP lebih berhasil mencegah kehamilan dibanding non-MKJP. C.
Kesimpulan dan saran tingkat provinsi
Kesimpulan
Komitmen provinsi NTB untuk meningkatkan IPM sangat kuat. Karena itu program kesehatan dan pendidikan menjadi sektor pembangunan yang diutamakan. Koordinasi antara BKKBN, Dinas kesehatan dan BPPKB di tingkat provinsi harus diperkuat sehingga tidak ada tumpang tindih kegiatan. Gubernur saat ini cukup memiliki kewibawaan untuk mengatur seluruh kabupaten terkait program-program guna untuk meningkatkan IPM dengan membuat Nota Kesepakatan dan moto yang dibuat oleh provinsi. Dengan perkataan lain desentralisasi sedikit berdampak terhadap variasi program di tingkat kabupaten. Sektor swasta belum banyak dilibatkan dalam program KB.
Saran
District Working Group (DWG) dapat digunakan untuk menjadi pemicu kerjasama antar instansi, namun kendalanya adalah tidak tersedianya dana operasional. Mengembangkan mekanisme kerjasama dengan pihak swasta untuk menerima peserta Jamkesda atau Jamkesmas. Mengkaji dan memutuskan kewenangan bidan sehingga tidak merugikan pelayanan KB serta membuat aturan untuk perawat dalam kaitannya dengan pelayanan KB.
52
D.
Kesimpulan dan saran tingkat kabupaten
Kesimpulan
Program Keluarga Berencana sudah menjadi prioritas pemerintah daerah dengan tujuan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan meningkatnya IPM maka tingkat kesejahteraan masyarakat NTB juga akan semakin lebih baik. Oleh karena itu dalam program KB pemerintah banyak memberikan bantuan baik sarana dan prasarana demi berjalannya program dan pelayanan KB. Hasil sementara yang dapat dilihat adalah Laju Petambahan Penduduk (LPP) yang lebih rendah dari LPP nasional dan provinsi. Cakupan KB juga meningkat, dan terjadi kecenderungan penggunaan MKJP juga meningkat terutama untuk alat kontrasepsi implan. Tiga piliar BPPKB, Dinas Kesehatan dan PKK dalam program KB dalam 4 tahun terakhir sangat berperan. Dalam semua kegiatan KB massal, ketiga insitusi inilah yang menjadi jung tombak dengan tugas plok dan fungsi masing-masing. BPPKB menjamin ketersediaa alat kontrasepsi. Dinkes memberikan pelayanan dan tenaga kesehatan dan PKK menggerakan kader-kadernya dalam memberikan sosialisasi dan KIE. Program PKK sangat mendukung dalam mensukseskan Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB). PKK yang menjadi garda terdepan. Tim Penggerak PKK Kabupaten dan Kecamatan rutin ke masyarakat di pelosok desa memberikan advokasi dan KIE kepada pasangan usia subur (PUS) untuk mengikuti Program Keluarga Berencana (KB). Peranan organisasi keagamaan Nahdatul Wathan tidak bisa dinafikan telah banyak membuka kesadaran masyarakat untuk program KB. Salah satu misi dari Nahdatul Wathan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui gerakan Keluarga Berencana. Dengan pendekatan keagamaan yang melibatkan Tuan Guru dan tokoh agama mulai dari tingkat provinsi sampai desa dapat memobilisai masyarakat. Adanya program jampersal memang membawa dampak semakin banyaknya PUS yang baru melahirkan menjadi akseptor KB meskipun sebagian besar masih didominasi oleh akseptor jenis suntik. Tenaga PLKB masih kurang sehingga seorang PLKB yang idealnya bekerja untuk satu desa dituntut bekerja di 2-3 desa. Ketrampilan PLKB juga masih belum merata karena sebagian adalah PLKB yang masih baru, sementara PLKB yang berkualitas dimutasi ke SKPD lain. Pelatihan ketrampilan terkait KB masih diprioritaskan kepada bidan yang sudah PNS belum kepada bidan desa. Untuk dapat memiliki ketrampilan terkait KB, bida desa Bindan PNS yang sudah dilatih mengajak bidan pada saat ada pelayanan di puskesmas. Secara umum program KB sudah diterima masyarakat baik yang berusia muda maupun yang usia tua. Meskipun demikian, adanya faktor budaya dapat mempengaruhi turun naiknya anga akseptor aktif dan pertumbuhan penduduk dimana masyarakat menilai bahwa peran anak laki-laki sangat penting dalam keluarga. Hal ini menyebabkan banyak keluarga yang berhenti ber-KB untuk mendapatkan anak laki-laki yang didambakan. Masih kuatnya pengaruh agama dan efek samping alat kontrasepsi menghambat keputusan untuk menggunakan alat kontrasepsi, terutama alat kontrasepsi jenis MKJP.
Saran
Mendorong pemerintah daerah dan SKPD yang terkait untuk lebih melibatkan Tuan Guru atau tokoh agama untuk memberikan informasi tentang keuntungan ber-KB dari sisi agama. Mengintensifkan kegiatan KB masal dengan lebih mendorong masyarakat agar memilih alat kontrasepsi MKJP dan membatasi alat kontrasepsi Non-MKJP. Untuk itu perlu sekali memberikan promosi dan edukasi yang komprehensif dari tokoh-tokoh yang berpengaruh di dalam masyarakat. BKKBN dan BPPKB perlu memberikan pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan PLKB dan bidan, termasuk juga bidan desa. 53
Memantau keberadaan perawat yang memberikan layanan KB suntik kepada masyarakat agar agar berada dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten baik untuk cakupan dan juga pelaporannya. Mendorong semua pihak untuk mendukung program KB berdasar kebijakan yang ada dan pemerintah daerah menjamin kelangsungan/ kesinambungan ketersdiaan alat kontrasepsi agar tidak tergantung kepada pemerintah pusat.
54
REFERENSI Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (Mei 17 2013). Aktifkan kembali kampanye "Dua Anak Cukup". http://www.bkkbn.go.id/View Berita.aspx? BeritaID=813.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2012). Petunjuk teknis tata cara pelaksanaan pelayanan kontrasepsi program kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Jakarta: BKKBN. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2011). Analisis lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP di enam wilayah Indonesia.Jakarta: BKKBN
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2012). Laporan pendahuluan Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2012. Jakarta: BKKBN BKKBN NTB. (2009). Selayang pandang program KB nasional, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Lombok Barat. (2013). Laporan bulanan pengendalian lapangan tingkat kabupaten/kota, Sistem Informasi Kependudukan dan Keluarga (Siduga) Bulan Februari 2013. Lombok Barat: BKBPP Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Kediri. (2013). Rapat kerja daerah (Rakerda) tahun 2013. Kediri: BPPKB Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Kemenkes RI Badan Pusat Statistik. (2010). Survei Sosial Ekonomi Nasional 2010. http://sirusa.bps.go.id/index.php?r=sd/view&kd=1558&th=2010 Badan Pusat Statistik. (2010). Laporan eksekutif hasil Sensus Penduduk 2010.
Badan Pusat Statistik et.al. (Desember 2012). Laporan pendahuluan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang. (2012). Kabupaten Lumajang dalam angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat. (2011). Lombok Barat dalam angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur. (2011). Lombok Timur dalam angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. (2012). Sumbawa dalam angka
Badan Pusat Statistik KabupatenTuban. (2011). Kabupaten Tuban dalam angka.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri. (2011). Profil kesehatan Kabupaten Kediri Tahun 2010.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Data informasi kesehatan Provinsi JawaTimur
Okech, Timothy C., et.al. (2011). Empirical analysis of determinants of demand for family palnning services in Kenya's city slums. Global Journal of Health Science Vol.3, No.2, October 2011 Pemerintah Dearah Lombok Timur.(2011). Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2013). Ringkasan eksekutif data dan informasi kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. (Juni 13, 2013). Program KB Nasional perlu dukungan semua pihak. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/2321-program-kbnasional-perlu-dukungan-semua-pihak.html
55
Rogers, M. Everett.(1962). Diffusion of innovations. Illinois: Free Press of Glencoe
Rosenstock, IM. (1966). Why people use health services, Milbank Memorial Fund Quarterly 44, 94-124, 1966. Rosenstock IM. (1974). Historical origins of the health belief model, Health Education Monographs 2:328-335, 1974.
Satriani.(2012). Septi Satriana dalam pergeseranmaknaperkawinanadatdalammasyarakatSasak.http://www.politik.lipi.go.i d/in/kolom/politik-lokal/629-amak-bangkol-inak-bangkol-dan-merariq-pergeseranmakna-perkawinan-adat-dalam-masyarakat-sasak.html United Nations Development Program.(2008). Millennium Development Goals. Jakarta: UNDPhttp://www.undp.or.id/pubs/docs/Let%20Speak%20Out%20for%20MDGs% 20-%20ID.pdf
56