KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga terselesaikannya Laporan Akhir “Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung” dengan baik. Laporan ini merupakan lanjutan dan perbaikan dari Laporan Draf Laporan Akhir yang sudah dibuat sebelumnya. Laporan Akhir (Final Repport) pelaksanaan pekerjaan “ Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung ” ini secara sistematis tersusun menjadi : Bab I Pendahuluan, Bab II Gambaran Umum Wilayah,
Bab III Pendekatan dan Metodologi, Bab IV Pemetaan
Terumbu Karang dan permasalahannya, Bab V Arahan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang
Teluk Lampung.
Kami berharap bahwa laporan akhir ini dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang kondisi ekosistem terumbu karang di Teluk Lampung, sehingga hasil kajian ini dapat dijadikan referensi dan bahan untuk pengambilan keputusan serta kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi fenomena Global Warming yang sudah terjadi. Untuk kemudian dapat diimplementasikan dalam bentuk kegiatan aksi untuk melakukan pelestarian, rehabilitasi, dan pengawasan terumbu karang di Teluk Lampung. Demikian maksud dari laporan ini dibuat, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih.
Bandar Lampung, Desember 2007
PT. TARAM
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR GRAFIK
i ii iv vi vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan 1.3 Sasaran 1.4 Keluaran Kegiatan 1.5 Lingkup dan Lokasi Kegiatan
I-1 I-1 I-4 I-4 I-5 I-5
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH 2.1 Provinsi Lampung 2.2 Profil Wilayah Pesisir Lampung 2.3 Teluk Lampung 2.3.1 Iklim 2.3.2 Sungai dan DAS 2.3.3 Geologi 2.3.4 Hidro Oseanografi Teluk Lampung 2.3.4.1 Batimetri Perairan Teluk Lampung 2.3.4.2 Pasang Surut 2.3.4.3 Arus Laut 2.3.4.4 Gelombang 2.3.4.5 Suhu dan Salinitas 2.3.4.6 Pencemaran Laut 2.3.5 Tsunami 2.3.6 Kondisi Biologi Teluk Lampung 2.3.6.1 Mangrove 2.3.6.2 Terumbu Karang 2.3.6.3 Padang Lamun 2.3.6.4 Algae 2.3.6.5 Echinodermata 2.3.6.6 Crustacea 2.3.6.7 Mollusca 2.3.6.8 Ikan 2.3.7 Sosial Kependudukan 2.3.7.1 Kota Bandar Lampung 2.3.7.1 Kabupaten Lampung Selatan
II-1 II-1 II-3 II-5 II-8 II-8 II-9 II-11 II-11 II-12 II-14 II-18 II-20 II-20 II-22 II-23 II-23 II-24 II-24 II-25 II-25 II-25 II-25 II-25 II-27 II-28 II-28
BAB III PENDEKATAN DAN METODELOGI
III-1
3.1 3.2
3.3
Metode Pendekatan Studi Metode Pengumpulan Data 3.2.1 Metode Manta Tow 3.2.2 Metode Line Intercept Transect (LIT) 3.2.3 Citra satelit Landsat 3.2.4 Faktor-faktor Oseanografi 3.2.5 Sosial Ekonomi dan Budaya Analisis Data 3.3.1 Analisis Data Terumbu Karang 3.3.2 Analisis Citra satelit 3.3.3 Analisis Sosial, Ekonomi dan Budaya 3.3.4 Analisis Arahan Pengelolaan dan Pemanfaatan Terumbu Karang
BAB IV PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN PERMASALAHANNYA 4.1 Pemetaan Terumbu Karang Teluk Lampung 4.1.1 Pulau Tangkil 4.1.2 Pulau Tegal 4.1.3 Pulau Maitem 4.1.4 Pulau Kelagian 4.1.5 Pulau Puhawang 4.1.6 Pulau Siuncal 4.1.7 Pulau Legundi 4.1.8 Pulau Tiga 4.1.9 Pulau Condong 4.1.10 Pulau Pedada 4.1.11 Pulau Lelangga 4.1.12 Ketapang 4.1.13 Pesisir Pantai Kalianda 4.1.14 Pantai Tanjung Selaki-Pasir Putih 4.1.15 Lokasi Batu Bara 4.1.16 Kepulauan Sebuku 4.1.17 Kepulauan Sebesi 4.1.18 Pesisir Pantai Bandar Lampung 4.2 Perubahan Ekosistem Terumbu Karang di Teluk Lampung 4.3 Persepsi Masyarakat Terhadap Lingkungan Pesisir Teluk Lampung 4.4 Permasalahan Terumbu Karang Teluk Lampung BAB V ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG TELUK LAMPUNG
III-1 III-4 III-5 III-8 III-12 III-14 III-15 III-15 III-15 III-15 III-16 III-21
IV-1 IV-1 IV-8 IV-10 IV-13 IV-15 IV-17 IV-20 IV-22 IV-27 IV-29 IV-31 IV-37 IV-41 IV-43 IV-46 IV-49 IV-50 IV-53 IV-46 IV-58 IV-60 IV-64 V-1
BAB I BAB II Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel BAB III Tabel Tabel Tabel Tabel BAB IV
PENDAHULUAN GAMBARAN UMUM WILAYAH 2.1 Amplitudo Komponen Pasut Utama di Perairan Teluk Lampung 2.2 Kisaran Tinggi Muka Laut di Panjang, Teluk Lampung 2.3 Kecepatan dan Arah Arus Musim di Selat Sunda 2.4 Kecepatan dan Arah Angin di Panjang dan Perkiraan Kuat Arus yang ditimbulkan 2.5 Kecepatan Arus pasang Surut Maksimal di Selat Sunda 2.6 Tinggi Gelombang di Sekitar Perairan Panjang 2.7 Kondisi Gelombang di Sekitar perairan antara Pulau Maitem dan Pulau Kelagian 2.8 Nilai Parameter Kualitas Air di Teluk Lampung 2.9 Kondisi Kependudukan Kecamatan Pesisir di Kota Bandar Lampung 2.10 Kondisi Kependudukan di Kecamatan Pesisir Kabupaten Lampung Selatan 2.11 Jumlah Sekolah di Kecamtan Pesisir Kabupaten Lampung Selatan 2.12 Jumlah Murid per Tingkat Sekolah di Kecamatan pesisir, Kab Lam-Sel 2.13 Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Pesisir Kab. Lampung Selatan
1-1 2-1 2-13 2-14 2-15
PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3.1 Kategori Bentuk Substrat Dasar 3.2 Data Hasil Transek 3.3 Kategori Sensor MSS (Multi Spectrum Scanner) 3.4 Karakteristik Sensor TM (Thematic Mapper)
3-1 3-11 3-12 3-13 3-14
PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN PERMASALAHANNYA Tabel 4.1 Persentase Tutupan dan Kondisi Karang dan Beberapa Lokasi Penyelaman di Teluk Lampung Tabel 4.2 Persentase Masyarakat terhadap Lingkungan Pesisir Teluk Lampung Tabel 4.3 Penyebab Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Teluk Lampung
2-16 2-18 2-19 2-19 2-21 2-28 2-29 2-30 2-30 2-30
4-1 4-2 4-16 4-65
BAB I
PENDAHULUAN
1-1
Gambar Gambar Gambar
1.1 1.2 1.3
1-2 1-3 1-5
BAB II Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
GAMBARAN UMUM WILAYAH 2.1 Peta Wilayah Propinsi Lampung 2.2 Peta Potensi Abrasi dan Sedimentasi di Perairan Teluk Lampung 2.3 Budidaya Laut dengan Bagan Apung 2.4 Peta Sebaran Habitat dan Daerah Rawan Pengeboman 2.4 Gempa dan Tsunami Teluk lampung dan Pantai Selatan Jawa
BAB III Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3.1 Gambar Diagram Alir Tahapan Kegiatan Pemetaan 3.2 Tekanan yang diberikan Terhadap Ekosistim Terumbu Karang 3.3 Teknik Survey Terumbu Krang dengan Metode Manta Tow 3.4 Terumbu Karang yang Rusak dari Kegiatan Pengeboman 3.5 Estimasi dari Persentase Tutupan Karang 3.6 Manta Board, Papan Pengamatan yang digunakan sebagai Pencatat Data 3.7 Cara Pencatatan data koloni Karang pada Metode Transek garis 3.8 Teknik Line Interception Transect (LIT)
Gambar Gambar BAB IV Gambar Gambar Gambar
Foto Ilustrasi Pengeboman Ikan yang dilakukan oleh Nelayan Bintang Laut Berduri (Acanthaster planci) Komoditi Perikanan Tangkap dan Budidaya yang sangat tergantung dengan Kelestarian Ekosistem Terumbu Karang di Teluk Lampung
Gambar
PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN PERMASALAHANNYA 4.1 Penambangan Terumbu Karang untuk Bahan Bangunan 4.2 Pulau Tangkil 4.3 Teluk Tegal sering digunakan oleh Kapal-kapal Ikan untuk Beristirahat 4.4 Kondisi Terumbu Karang yang masih baik di Teluk Tegal 4.5 Bintang Laut Berduri (Acanthaster plancii)yang ada di Perairan Pulau Tegal 4.6 Pulau Maitem dengan Perairan yang Dangkal Kerap didatangi Nelayan untuk menangkap ikan 4.7 Beberapa Variant Biota Bintang Laut Berduri (Acanthaster plancii)
Gambar Gambar
4.8 4.9
Gambar
4.10
Gambar
4.11
Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
4.12 4.13 4.14 4.15 4.16
Gambar Gambar Gambar
Pulau Kelagian yang Berbukit Dilihat dari Arah Laut Karang Lunak Jenis Sinularia flexibilitas Banyak ditemukan di Kedalaman 7 Meter Bangunan Jaring Apung yang Banyak terdapat di Perairan Pulau Puhawang Lokasai Peristirahatan dan Beberapa Kondisi Karang di Pulau Puhawang Lunik Jangkar Perahu Berpotensi Merusak Keutuhan Karang Pulau Siuncal di Lihat dari Arah Selat Siuncal Pelabuhan Kapal di Pulau Legundi Tumpukan Karang untuk Bahan bangunan di Pulau Legundi Beberapa Bentuk Tumbuh Karang, Lobster dan Bintang Laut
2-1 2-2 2-4 2-5 2-6 2- 23 3-1 3-3 3-4 3-5 3-6 3-7 3-8 3-10 3-12 4-1 4-4 4-9 4-10 4-11 4-12 4-13 4-14 4-15 4-16 4-18 4-18 4-19 4-20 4-23 4-23
Gambar Gambar Gambar
4.17 4.18 4.19
Gambar
4.20
Berduri Pecahan Karang Mati (rubble) akibat Pengeboman Kondisi Terumbu Karang di Pulau Seserot Beberapa Spesies Karang yang dibudidayakan untuk Ekspor di Pulau Unang-unang Pulau Tiga dilihat dari Arah Canti Kabupaten Lampung Selatan
Gambar
4.21
Pembangunan Tanggul Penahan Pantai yang Menggunakan Karang
Gambar
4.22
Gambar
4.23
Pembangunan Fasilitas Peristirahatan dan Budidaya Laut dengan Jaring Tancap di Pulau Condong Kondisi Perairan Teluk Kucangreang yang terdiri Batuan Cadas, Karang Mati, Lunak serta Makro Algae
Gambar Gambar
4.24 4.25
Pos Penjagaan Kompleks Budidaya di Pulau Balak Sponge Jenis Callyspongia aerizusa di Perairan Pulau Lok
Gambar Gambar Gambar
4.26 4.27 4.28
Gambar
4.29
Pulau Lunik Pualu Tanjung Putus dilihat dari Arah Laut Acropora cytherea, dan beberapa Spesies Karang Lunak di Perairan Pulau Lelangga Balak Pulau Lelangga Lunik di Lihat dari Laut dan Kondisi Terumbu Karang yang rusak di Perairan Pulau Lelangga Lunik
Gambar
4.30
Gambar
4.31
Gambar
4.32
Gambar
4.33
Gambar
4.34
Gambar
4.35
BAB V
ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG TELUK LAMPUNG
Pintu Gerbang Kawasan Militer TNI AL Lili, Laut dan Hamparan Karang Jari Acropora irregularis Makro Algae Halymenia durvillae, Caulerpa racemosa dan Turbinaria decurrens di Canti Aktifitas Wisata di Pantai Pasir Putih, Sampah dan Kondisi Karang di Dasar Perairan Kondisi Terumbu Karang di Pulau Sebuku dan di Pulau Elang Kondisi Terumbu Karang di Pulau Sebesi pada Kedalaman 10 Meter Pulau Kubur dilihat dari PPI Lempasing, dan Sea Grass Jenis Enhallus di Dasar Perairan Bandar Lampung
4-24 4-25 4-25 4-26 4-27 4-29 4-30 4-32 4-33 4-34 4-35 4-36 4-38 4-39 4-42 4-45 4-47 4-51 4-54 4-57 V-1
BAB I BAB II BAB III BAB IV
PENDAHULUAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENDEKATAN DAN METODOLOGI PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN PERMASALAHANNYA
Grafik Grafik Grafik Grafik Grafik Grafik Grafik
4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7
Grafik Grafik Grafik Grafik Grafik
4.8 4.9 4.10 4.11 4.12
BAB V
Persentase Tutupan Karang di Teluk Lampung Persentase Tutupan Karang di Pulau Tangkil Persentase Tutupan Karang di Teluk Pedada Persentase Tutupan Karang di Teluk Lelangga Persentase Tutupan Karang di Perairan Ketapang Persentase Tutupan Karang di Pantai Kalianda Persentase Tutupan Karang di Perairan Tanjung SelakiPasir Putih Rata-rata Persentase Tutupan Karang di Kepulauan Sebuku Rata-rata Penutupan Karang di Pulau Sebesi Tutupan Karang di Pesisir Pantai Bandar Lampung Tutupan Karang di Teluk Lampung tahun 1998 Tutupan Karang Hidup di Teluk Lampung Tahun 1998 dan Tahun 2007
ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG
1-1 2-1 3-1 4-1 4-2 4-8 4-37 4-37 4-41 4-43 4-48 4-52 4-55 4-57 4-58 4-59 V-1
Bab I
1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan wilayah yang kaya akan keragaman hayati dan mempunyai potensi sebagai pendukung pengembangan pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan. Secara ekologis habitat alami pesisir menjadi pusat kehidupan dan tempat asuhan berbagai jenis biota laut lainnya, seperti ikan, udang, moluska, echinodermata dan berbagai jenis rumput laut. Banyak diantara biota tersebut memiliki nilai ekonomi penting dan dapat menjadi tulang punggung pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat di wilayah pesisir. Hal ini dapat tercapai dengan cara pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan diversitas pemanfaatan yang didasarkan pada ketersediaan data ilmiah dan kemampuan daya dukung lingkungan serta kepedulian dari para pihak (stakeholders). Untuk mendukung revitalisasi di bidang kelautan dan perikanan dan pengembangan jenis komoditi sumberdaya kelautan maka salah satu kegiatan yang dilakukan adalah dengan pemetaan terumbu karang.
Sumber daya kelautan dan perikanan perlu
diseimbangkan agar kelestariannya dapat terpelihara dengan baik sehingga dapat menopang sumber-sumber ekonomi secara lestari, dengan memperbaiki lingkungan terumbu karang melalui teknologi transpalansi karang, dan upaya pengawasan ekosistem terumbu berbasis masyarakat. Wilayah perairan Teluk Lampung meliputi luas wilayah 3.865 km 2 dengan panjang garis pantai 140 km, dan jumlah pulau-pulau kecil mencapai 51 buah. Kondisi terumbu karang di wilayah Teluk Lampung kini secara kasat mata sebagian besar sudah rusak.
Oleh karena itu perlu dilakukan studi dan pemetaan kondisi terumbu Bab I - 1
karang di Teluk Lampung untuk mengetahui kondisi aktual. Dewasa ini sebagian besar vegetasi mangrove di Teluk Lampung telah dikonversi menjadi lahan tambak. Kondisi pesisir sepanjang Teluk Lampung sebagian besar bergelombang dengan bentangan yang sempit sampai pinggiran pantai yang terjal dan berbatasan langsung dengan perbukitan. Teluk Lampung selain memiliki potensi perikanan
juga
mempunyai
potensi
kelautan
dan
jasa-jasa
kelautan
seperti
perhubungan, wisata, ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun, budidaya mutiara dan sebagainya. Kondisi terumbu karang telah mengalami gangguan akibat dari penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak dan bahan kimia. Hal ini terlihat dari proporsi karang mati sekitar Rangai telah mencapai 30,4 % di kedalaman 10 meter. Namun demikian proporsi karang hidup masih di atas 50 % dan kondisi ini hampir sama untuk wilayah Ketapang-Padang Cermin, Kalianda-Way Muli dan Bakauheni (Bapeda Propinsi Lampung, 2003).
Terumbu karang di Pesisir Teluk Lampung umumnya dari jenis karang tepi dengan bentangan berkisar 20 meter sampai 120 meter dari bibir pantai sampai kedalaman 17 sampai 20 meter. Ancaman terhadap terumbu karang tidak hanya dari aktivitas penangkapan oleh nelayan tetapi juga berupa pengambilan batu karang untuk bahan bangunan dan jalan seperti yang umum dijumpai disetiap pemukiman sepanjang pantai berkarang.
Bab I - 2
Perubahan kondisi pesisir telah menimbulkan berbagai dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat, seperti menurunnya hasil tangkapan nelayan, terjadinya abrasi dan banjir.
Berdasarkan kajian proyek pesisir (2004) diketahui
beberapa isu penting dalam pengelolaan wilayah pesisir di Lampung Selatan yaitu : Belum adanya tata ruang wilayah pesisir secara rinci Banyaknya kawasan sempadan pantai yang dikonversi menjadi peruntukan lain dengan perencanaan yang kurang tepat Belum jelas batas-batas peruntukan ruang laut untuk kegiatan penangkapan, budidaya, alur perhubungan dan penempatan bagan. Kondisi terumbu karang umumnya rusak akibat penggunaan bahan peledak, pengambilan karang untuk bahan bangunan, dan penggunaan potassium sianida. Berkembangnya usaha penangkapan yang bersifat merusak sumberdaya akibat dari lemahnya pengawasan. Menurunnya kualitas ekosistem alami wilayah pesisir. Belum berkembangnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, baik keterpaduan
perencanaan
antar
sektor,
keterpaduan
wilayah,
keterpaduan
lingkungan dan sumberdaya.
Bab I - 3
Terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota laut yang membantu keseimbangan ekosistem antar jenis melalui rantai pangan. Pengambilan secara berlebihan terhadap salah
satu
jenis
tertentu
akan
melumpuhkan
penurunan
terhadap
potensi
sumberdayanya. Khususnya terumbu karang tepi dan penghalang, berperan penting sebagai pelindung pantai dari arus dan ombak sementara itu berbagai jenis ikan menggunakan terumbu karang sebagai tempat memijah, pembesaran/asuhan dan tempat menemukan atau mencari makanan. 1.2 Maksud dan Tujuan a
Menyediakan data dan informasi mengenai kondisi terumbu karang di Teluk Lampung.
b
Memberikan arahan upaya pengelolaan dan pemanfaatan habitat terumbu karang.
1.3 Sasaran a. Tersedianya data dan informasi sumberdaya terumbu karang di Teluk Lampung. b. Mendukung kegiatan pengelolaan ekosistem terumbu karang sehingga terciptanya kawasan konservasi terumbu karang.
1.4 Keluaran Kegiatan Keluaran/Output yang diharapkan dari kegiatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung ini meliputi : 1.
Teridentifikasinya kondisi terumbu karang di Teluk Lampung.
2.
Teridentifikasinya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi terumbu karang di Teluk Lampung.
3.
Tersedianya peta kondisi terumbu karang di Teluk Lampung.
4.
Tersusunnya strategi pelestarian dan rehabilitasi terumbu karang di Teluk Lampung.
Bab I - 4
1.5 Lingkup dan Lokasi Kegiatan a) Ruang Lingkup Penyusunan rencana kegiatan. Identifikasi lokasi dan inventarisasi potensi terumbu karang. Pemetaan ekosistem terumbu karang yang rusak akibat kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Analisis data dan informasi sekunder seperti terjadinya pencemaran laut, tsunami, hidrooceanografi, kedalaman, pola arus, pasang surut dan sebagainya. Pelaksanaan kegiatan pemetaan sumberdaya terumbu karang. Mensosialisasikan kepada masyarakat. Monitoring dan evaluasi. Pelaporan dan diskusi. b) Lokasi Kegiatan Wilayah kegiatan Pemetaan Terumbu Karang adalah di wilayah Teluk Lampung. Pemilihan lokasi studi tersebut dimaksudkan bahwa wilayah tersebut merupakan daerah dengan aktifitas ilegal fishing yang cukup tinggi diduga kerusakan terumbu karang mencapai lebih dari 70 % sehingga perlu dilestarikan agar sumberdaya terumbu karang dapat berkelanjutan pemanfaatannya.
Bab I - 5
Bab II. GAMBARAN UMUM WILAYAH
2.1 Provinsi Lampung Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Karesidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan. Kendatipun Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 Maret 1964 tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukan potensi yang sangat besar. Provinsi Lampung terletak di ujung Pulau Sumatera, yang menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa melalui Selat Sunda. Provinsi Lampung mempunyai luas daerah berkisar 35.377 km2 termasuk pulau-pulau yang terletak di bagian ujung Tenggara Pulau Sumatera. Secara geografis Provinsi Lampung terletak pada : Utara - Selatan
: 3045' LS - 6045' LU
Timur - Barat
: 105050' BT - 103040' BT
Dengan luas perairan laut Provinsi Lampung diperkirakan lebih kurang 24.820 km2 (Sumber: Atlas Sumberdaya Pesisir Lampung, 1999).
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 1
Gambar 2.1 Peta Wilayah Propinsi Lampung, (besar) Peta Teluk Lampung (kecil).
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 2
Secara administratif, batas wilayah Provinsi Lampung adalah sebagai berikut : Sebelah Utara dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, Sebelah Selatan dengan Selat Sunda, Sebelah Timur dengan Laut Jawa, dan Sebelah Barat dengan Samudera Hindia. Jumlah penduduk Provinsi Lampung Pada tahun 2002 mencapai 6.787.654 jiwa. Dengan luas wilayah 3.528.835 Ha berarti kepadatan penduduknya mencapai 192.35 jiwa per km2 . Jumlah wilayah administrasi di Provinsi Lampung pada tahun 2002 tercatat jumlah kabupaten/kota sebanyak 10, terdiri dari 2 kota dan 8 kabupaten, yaitu : Kota Bandar Lampung, Kota Metro, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung Tengah, dan Kabupaten Lampung Barat. Namun pada tahun 2007 telah ditetapkan Kabupaten Pesawaran sebagai kabupaten baru hasil dari pemekaran Kabupaten Lampung Selatan. Perekonomian Lampung didominasi oleh 3 (tiga) sektor kegitan ekonomi, yakni sektor pertanian, sektor perdagangan/hotel/restoran dan sektor industri pengolahan mata pencaharian utama penduduk adalah sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, serta industri kecil. Pemanfaatan lahan di Provinsi Lampung saat ini didominasi oleh penggunaan hutan sebesar 985.085 Ha, untuk perkebunan tercatat seluas 681.901 Ha, untuk tegalan dan ladang seluas 631.687 Ha.
2.2 Profil Wilayah Pesisir Lampung Wilayah pesisir Lampung merupakan pertemuan antara dua fenomena, yaitu laut (Laut Jawa dan Samudra Hindia) dan darat (pegunungan Bukit Barisan Selatan dan dataran rendah alluvial di bagian timur propinsi ini). Wilayah pesisir ini bermula dari daratan pasang air tinggi sampai ke pinggiran paparan benua (continental shelf). Semua itu menunjukkan perbedaan dua habitat dengan perbedaan flora dan fauna. Fenomena alam tersebut memberikan pengembangan proses di wilayah pesisir yang sangat unik dan spesifik. Dengan demikian, secara ekologis wilayah pesisir ini tidak berdiri sendiri, melainkan terpengaruh oleh faktor eksternal.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 3
Wilayah pesisir Propinsi Lampung dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) bagian yaitu Pantai Barat (227 km), Pantai Timur (270 km), Teluk Semangka (200 km), dan Teluk Lampung (160 km). Keempat wilayah tersebut mempunyai karakteristik biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda. Keadaan alam daerah Lampung dapat dijelaskan sebagai berikut ; sebelah Barat dan Selatan, di sepanjang pantai, merupakan daerah yang berbukit-bukit sebagai lanjutan dari jalur pegunungan Bukit Barisan. Ditengah-tengah merupakan dataran rendah, sedangkan ke dekat pantai sebelah Timur, di sepanjang tepi Laut Jawa terus ke Utara, merupakan daerah rawa-rawa perairan yang luas.
Gambar 2.2 Peta potansi abrasi dan sedimentasi di perairan Teluk Lampung. Panah merah yang mengarah ke garis pantai menunjukkan adanya potensi Abrasi di pantai tersebut. Sebaliknya panah merah yang menjauhi garis pantai mengindikasikan adanya potensi sedimentasi di pantai tersebut (Atlas Lampung, 1999).
Terdapat perbedaan yang jelas antara wilayah pesisir Barat dengan wilayah pesisir Timur. Pantai Barat merupakan jalur wilayah pesisir yang sempit, berlereng hingga terjal (cliffs; rocky shores), sedangkan Pantai Timur merupakan hamparan peneplein atau dataran pantai yang landai dan luas, jauh ke pedalaman. Iklim di perairan pesisir, terutama Pantai Barat Lampung dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang dicirikan oleh adanya angin munson dan curah hujan yang tinggi, sekitar 2.500 - 3.000 mm/tahun. (Stasiun Kalianda, 1991). Angin berhembus dari arah Selatan selama bulan Mei sampai September, dan dari arah yang berlawanan selama bulan November sampai Maret. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 4
Gelombang besar di Pantai Timur dan Teluk Lampung terjadi pada bulan JuniNovember.
Tinggi gelombang berkisar antara 0,50 - 1,00 meter.
Pertumbuhan
penduduk mempunyai efek balik yang serius terhadap lingkungan pesisir karena migrasi dari daerah lain terutama di tempat-tempat yang padat populasinya seperti Bandar Lampung (4.500 jiwa/km2). Propinsi Lampung merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera, yang sarat dengan aliran penumpang dari Jawa ke Sumatera dengan menggunakan unit kapal Ferry MerakBakauheni, serta aliran barang sekitar 75.000 peti kemas/tahun melalui kapal laut yang bongkar-muat di Pelabuhan Panjang. Kondisi tersebut menjadikan Lampung sebagai daerah ‘spill over’ pembangunan di Pulau Jawa. Pada sisi lain, posisi strategis ini memberi peluang pada perkembangan Lampung sebagai propinsi yang sedang giat melaksanakan pembangunan. Wilayah pesisir Lampung dicirikan dengan produktifitas ekosistem yang tinggi, sehingga dapat mendukung kegiatan perekonomian Propinsi Lampung selama ini. Ditinjau dari segi ekonomi, sumberdaya alam dan jasa lingkungan pesisir Lampung cukup tahan terhadap pengaruh krisis total yang melanda negara ini.
Gambar 2.3
Budidaya Laut dengan Bagan Apung merupakan salah satu cara budidaya yang populer di Teluk Lampung.
2.3 Teluk Lampung Perikanan serta jasa lingkungan, baik keindahannya maupun fungsi perlindungan Terumbu karang, di Teluk Lampung, merupakan aset sumberdaya alam pesisir yang mampu menopang kelestarian pantainya, merupakan kekuatan yang spesifik untuk menunjang perekonomian di propinsi ini. Hasil survei (CRMP, 1998) menunjukkan bahwa potensi terumbu karang sebagai obyek wisata dan habitat ikan masih cukup besar, dengan penutupan lebih dari 50% di kawasan Teluk Lampung. Walaupun demikian, di beberapa lokasi menunjukkan penutupan karang yang sangat rendah, Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 5
seperti di luar kawasan Teluk/gugus Krakatau yang kurang dari 10%. Potensi terumbu karang di Lampung terdiri dari jenis karang tepi (fringing reef) dengan luasan relatif 2060 m2 sampai kedalaman maksimum 17 m. Sejumlah terumbu karang menyebar (patch reef) tumbuh dengan baik di sisi Barat Teluk Lampung. Terumbu karang di kawasan Selat Sunda (termasuk Teluk Lampung) memiliki sekitar 113 jenis, dengan rata-rata keanekaragaman per lokasi agak rendah (49 jenis). Sementara itu terdapat sekitar 1.600 unit perikanan bagan yang menggantungkan penghasilan tangkapannya di sekitar terumbu karang (Renstra PWP Lampung, 2000).
Gambar 2.4 Peta Sebaran Habitat dan Daerah Rawan Pengeboman (Atlas Lampung, 1999).
Penangkapan ikan di laut merupakan kegiatan ekonomi yang penting untuk propinsi ini, karena kontribusinya dalam penyediaan protein hewani. Produksi perikanan laut yang didaratkan di Teluk Lampung sekitar 51.000 ton/tahun, di Pantai Timur sekitar 43.000 ton/tahun, dan di Pantai Barat sekitar 10.000 ton/tahun (data 1997).
Walaupun
demikian, pengelolaan terhadap sumberdaya ikan di perairan Teluk Lampung sudah waktunya diupayakan, hal ini karena telah ada indikasi terjadinya “over fishing” (tangkap lebih). Indikasi ini terlihat di Pusat Pendaratan Ikan, yaitu dengan semakin kecilnya ukuran dan volume hasil tangkapan ikan nelayan di sekitar Teluk Lampung.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 6
Mangrove yang berkembang dengan baik akan memberikan fungsi dan keuntungan yang besar, baik untuk mendukung sumberdaya perikanan laut dan budidaya, maupun untuk melindungi pantai dari ancaman erosi.
Tutupan mangrove di Lampung
mengalami penurunan sangat drastis dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sebagai akibat konversi dan pembabatan hutan mangrove yang tidak terkendali. Saat ini, hanya sekitar 2.000 ha mangrove yang tersisa dari 20.000 ha mangrove yang pernah ada (tahun 1990-an). Habitat padang lamun dan rumput laut yang tersebar dibeberapa pantai dan pulau di kawasan Teluk Lampung menyediakan fungsi ekologis sebagai pelindung pantai dari gelombang dan berfungsi sebagai filter alami yang menjaga kualitas perairan supaya tetap jernih, dengan mengendapkan material tersuspensi dari pelumpuran (siltasi) di daratan. Selain itu, padang lamun merupakan daerah asuhan bagi ikan-ikan kecil dan anak-anak penyu (tukik) yang baru menetas. Ekploitasi rumput laut alami dan perusakan yang dilakukan terhadap ekosisten ini akan berpengaruh terhadap populasi larva ikan yang ada dan mengakibatkan menurunnya kecerahan air laut di pantai yang menghalangi filtrasi cahaya matahari bagi terumbu karang. Rumput laut jenis Euchema cottonii dibudidayakan di kawasan Teluk Lampung, yaitu di pantai Padang Cermin, sedang yang alami dipanen nelayan di pantai Kalianda, Teluk Lampung dan daerah Bengkunat, Pantai Barat. Potensi perairan khususnya Teluk Lampung yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut (mutiara dan ikan) seluas 56.000 ha (Winanto, 1994). Dari potensi tersebut, seluas 5.000 ha telah diberikan sebagai wilayah konsesi kepada tiga PMA yaitu PT. Hikari, PT. Kyokko Shinju, dan PT. Lampung Indah Mutiara. Produksi mutiara setiap tahunnya dari ketiga PMA tersebut diperkirakan 500.000 butir mutiara. Budidaya ikan kerapu dan ikan karang lainnya belum diusahakan secara optimal, sehingga peluang pengembangannya masih terbuka. Pilot proyek budidaya Kerapu Bebek dan Kerapu Macan sedang dilakukan antara Dinas Perikanan, Bappeda, Balai Budidaya Laut dan swasta di Tanjung Putus. Namun dalam pengembangannya masih terdapat kendala teknologi yang cukup besar, sehingga perlu adanya survei potensipotensi lokasi budidaya dan juga teknologi budidaya yang tepat untuk pengembangan pilot proyek ini. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 7
Kecuali tipe vegetasi alami, maka pesisir Lampung memiliki berbagai ragam komoditas tumbuhan dari jenis tanaman budidaya, antara lain : (1) Perkebunan kelapa (Cocos nucifera), terutama di wilayah Padang Cermin, (2) Komunitas tanaman dalam areal kebun talun, dengan jenis utama Lada (Piper nigrum) dan Pisang (Musa sp.), dan (3) persawahan padi (Oryza sp.).
2.3.1 Iklim Teluk Lampung, secara umum karena letaknya di bawah 5º Lintang Selatan masih beriklim tropis dengan tiupan angin yang berasal dari Samudera Indonesia. Tiupan angin dengan kecepatan rata-rata 5.83 km/jam dapat menjadi dua arah setiap tahunnya yaitu ; pada bulan Nopember s/d Maret angin bertiup dari arah Barat dan Barat Laut. Pada bulan April sampai dengan Oktober angin bertiup dari arah Timur hingga Tenggara. Temperatur udara di wilayah Teluk Lampung berkisar antara 26º-30º C pada daerah dengan ketinggian 20-60 m dpl, sedangkan temperatur maksimal dapat mencapai 33º C. kelembaban udara pada wilayah Teluk Lampung Berkisar antara 80%-88% sedangkan curah hujan antara 1750-2250 mm/tahun. Wilayah Teluk lampung juga dipengaruhi oleh pergantian pusat tekanan tinggi dan tekanan rendah di Asia dan Australia yang berlangsung pada bulan Januari dan Juli. Akibat pengaruh angin muson wilayah Lampung Selatan tidak mengalami musim peralihan (pancaroba) diantara musim kemarau dan musim penghujan. Musim hujan terjadi antara bulan Desember-Maret akan tetapi cenderung berfluktuasi. Puncak curah hujan tertinggi pada bulan Maret yaitu sebanyak 2559 mm. musim kemarau terjadi pada bulan April-Nopember dengan puncak hujan terendah terjadi pada bulan Nopember yang tidak turun hujan sama sekali. Rata-rata curah hujan berkisar antara 1500-3000 (RTRW Kab. Lampung Selatan).
2.3.2 Sungai dan DAS Wilayah teluk dibatasi oleh morfologi perbukitan, sehingga sungai-sungai yang bermuara di Teluk Lampung relatif adalah sungai yang pendek dengan daerah aliran sungai yang sempit.
Beberapa sungai yang cukup besar yang bermuara di Teluk
Lampung, diantaranya adalah Way Sulan, Way Galih, Way Belau, Way Ratai, Way Sabu, Way Pedada, dan Way Punduh. Pada umumnya sungai-sungai tersebut memiliki lembah yang sempit dan terjal, dengan aliran sungai bersifat musiman, fluktuasi debit Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 8
aliran tergantung musim, pada usim hujan aliran besar dan keruh sedangkan dimusim kemarau kecil dan jernih.
2.3.3 Geologi Mengacu pada Peta Geologi Wilayah Pesisir Teluk Lampung dan Teluk Semangka dalam Rencana Tata Ruang Pesisir Teluk Lampung dan Teluk Semangka tahun 2003, maka jenis litologi/batuan secara berurutan dari tua ke muda beserta kandungannya yang bernilai ekonomis, adalah sebagai berikut : 1. Batuan Intrusi (Tm) Tersusun oleh batuan beku intrusi dari granit dan dasit. Singkapan batuan intrusi ini dijumpai disekitar bukit Batu Suluh, Pulau Kelagian dan Pulau Puhawang. 2. Komplek Gunung Kasih (Pzg) Terdiri dari Sekis, Geneis, Kuarsit, dan lensa-lensa marmer.
Di wilayah studi
batuan-batuan penyusun Komplek Gunung Kasih ini dijumpai disekitar Panjang dan Gebang membentuk morfologi perbukitan/bergelombang. Formasi ini mengandung mineral logam yang bernilai ekonomis yaitu adanya Sulfida Cu-Pb-Zn dan endapan besi masif (hematit dan magnetit). Adanya lensa-lensa batu pualam/marmer juga sudah ditambang secara luas oleh masyarakat. 3. Formasi Menanga (Km) Terdiri dari perselingan antara serpih gampingan, batu lempung dan batu pasir dengan sisipan rijang dan batugamping.
Batuan-batuan ini dijumpai disekitar
Menanga (Padang Cermin). 4. Formasi Hulusimpang (Tmoh) Terdiri dari breksi gunung api, lava, tuf bersusunan andesitik-basal, terubah, berurat kuarsa dan bermineral sulfida. Formasi ini dijumpai pada morfologi perbukitan sekitar Kecamatan Punduh Pidada. 5. Formasi Tarahan (Tpot) Pelamparan Formasi ini di daerah studi cukup luas, disebelah timur terdapat di daerah sekitar Way Lunik, Bukit Kunyit, sedang dibagian barat, dijumpai di sekitar Sukamaju, Keteguhan terus ke Lempasing dan P.Pasaran. jenis batuannya terdiri dari Tufa padu, Breksi dengan sisipan tufit. Di tempat lain oleh proses hidrothermal dan breksiasi, formasi batuan ini memungkinkan untuk dijumpainya urat-urat yang Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 9
mengandung emas. Diwilayah studi kelompok batuan ini di tambang untuk material bahan bangunan, seperti jalan, material urugan, split dan lain-lain. 6. Endapan Gunung Api Muda (Qhv) Endapan gunung api muda ini tersusun oleh lava (andesit-basalt), breksi dan tufa, dijumpai di sekitar Kupang, Pahoman, Sumur Batu terus ke arah barat utara. Hasil lapukan batuan ini biasanya sebagai bahan untuk membuat bata dan genting. 7. Endapan Alluvial (Qa) Endapan alluvial ini menempati daerah datar sepanjang pantai, terdiri dari kerakal, kerikil, pasir, lempung dan gambut. Geologi wilayah Teluk Lampung didominasi oleh struktur sesar /patahan, baik sesar besar maupun sesar kecil dan secara umum berarah barat daya-tenggara. Sesar-sesar tersebut merupakan suatu sistem sesar yang hampir sejajar, mempunyai umur yang berbeda-beda dan kejadiannya berhubungan dengan penunjaman Lempeng India– Australia, yang kebetulan berada di bawah Pulau Sumatera (Katili & Hehuward, 1976). Kenampakan sistem lembah yang lurus dan depresi-depresi memanjang yang sangat jelas pada citra SAR, menunjukkan adanya peremajaan yang terjadi selama kuarter terhadap struktur-struktur yang lebih tua.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa
secara geologis daerah studi, berpotensi untuk terusakan melalui jalur-jalur struktur yang ada oleh adanya gaya-gaya dari dalam bumi, seperti gempa, dan kegiatan gunung berapi. Dipermukaan bumi kerusakan-kerusakan yang terjadi bisa menjadi bencana bila berkaitan
dengan
kehidupan
manusia,
terlihat
seperti
tanah
longsor,
subsidence/amblesan, kerusakan bangunan, jalan yang terpotong dan lain-lain. Mengenai intensitas kegempaan, menurut hasil penelitian Harjono (1988), daerah sekitar Teluk Semangka termasuk Teluk tetangganya yaitu Teluk Lampung selain Samudera Hindia, termasuk dalam wilayah dengan tingkat seismositas tinggi. Untuk pengaruh kegmpaan terhadap konstruksi bangunan, wilayah studi termasuk dalam kategori beresiko sedang dengan nilai 0.1-0.2 g. Disamping itu, kenyataan pada tahun 1883, Kota Teluk Betung terendam gelombang tsunami setinggi ± 30 m akibat letusan Gunung Krakatau, meningkatnya kegiatan gunung api Anak Krakatau belakangan ini menunjukkan daerah Teluk Lampung perlu waspada terhadap bahaya gunung berapi dan tsunami. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 10
2.3.4 Hidro Oseanografi Teluk Lampung 2.3.4.1 Batimetri Perairan Teluk Lampung Pengetahuan mengenai batimetri perairan sangat penting untuk kajian wilayah pesisir dan pengembangan wilayah. Kedalaman perairan akan sangat berpengaruh terhadap karakteristik gelombang. Energi gelombang yang terbangkitkan dengan fetch yang panjangnya dapat mencapai ribuan kilometer akan habis teredam pada daerah dekat pantai. Perubahan energi ini sangat dipengaruhi oleh gesekan dari dasar laut (bottom friction). Dasar perairan, terutama pada perairan dangkal, juga dapat memperlambat perambatan gerakan pasang, sehingga suatu tempat dapat memiliki lunitidal interval yang besar. Teluk Lampung merupakan perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata 25 m. di mulut teluk kedalaman rata-rata berkisar pada 35 m dengan kedalaman maksimum 75 m di sekitar Selat Legundi yang terletak di sebelah barat laut mulut teluk. Menuju arah utara (Teluk Betung) kedalaman perairan semakin dangkal hingga isobath 5 m pada jarak yang relatif dekat dengan garis pantai. Secara umum, terdapat perbedaan kenampakan fisik yang sangat menonjol antara pantai barat dan pantai timur Teluk Lampung. Pada pantai barat, garis pantai relatif lebih berkelok-kelok dengan beberapa teluk kecil diantaranya adalah Teluk Ratai, Teluk Punduh, dan Teluk Pedada.
Sepanjang pantai bagian barat lebih banyak dijumpai
gugusan pulau-pulau kecil.
Disamping itu pantai bagian barat relatif lebih landai
dibandingkan dengan pantai timur Teluk Lampung. Di bagian barat dan kepala teluk garis isobath 10 m berada kurang dari 1 km dari garis pantai, sedangkan dibagian selatan pantai timur Teluk Lampung garis isobath tersebut berjarak 1 km dari garis pantai. Garis isobath 20 m berada pada jarak sekitar 500 m dari garis pantai Panjang dan menjauh hingga kira-kira 4 km di pantai Kalianda. Di Teluk Ratai garis isobath ini berada sekitar 3 km jauhnya dari kepala teluk sedangkan di Teluk Pedada pada jarak kira-kira 7 km. Di kawasan pantai Panjang kedalaman perairan antara garis pantai hingga 1-2 km ke arah laut hanya berkisar 1-2 m dan menurun dengan cepat hingga kedalaman 10 m pada jarak 2 km tersebut.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 11
2.3.4.2 Pasang Surut Pasang surut didefinisikan sebagai proses naik turunnya muka laut yang hampir teratur, dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari. Karena posisi bulan dan matahari terhadap bumi selalu berubah secara hampir teratur, maka besarnya kisaran pasut juga berubah mengikuti perubahan posisi-posisi tersebut. Pengelompokan pasut berdasarkan komponennya dapat dibedakan atas: komponen pasut harian (diurnal), pasut tengah-harian (semi diurnal), dan perempat harian (quarternal). Komponen-komponen tersebut (terutama diurnal dan semi diurnal) menentukan tipe pasut disuatu perairan. Jika perairan mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, maka tipe pasut dikawasan tersebut adalah pasut tunggal (diurnal); sedangkan jika dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, maka tipe pasutnya adalah pasut ganda (semi diurnal). Diantara dua tipe tersebut terdapat tipe pasut peralihan antara tipe tunggal dan ganda yang dikenal dengan tipe pasut campuran. Secara kuantitatif tipe pasut suatu perairan dapat ditentukan oleh nisbah (perbandingan) antara amplitudo (tinggi gelombang) komponen diurnal (K1 dan O1) dengan amplitudo komponen semi diurnal (M2 dan S2), yang dinyatakan dalam bilangan Formzahl /F.
F = K1 + O1 M2 + S2 Dimana: F = Bilangan Formzahl K1 = Amplitudo komponen diurnal yang disebabkan gaya tarik bulan O1 = Amplitudo komponen diurnal yang disebabkan gaya tarik bulan dan matahari M2 = Amplitudo komponen semi diurnal yang disebabkan gaya tarik bulan S2 = Amplitudo komponen semi diurnal yang disebabkan gaya tarik matahari Tipe pasut dapat ditentukan sebagai berikut :
Tipe pasut ganda (semi diurnal), jika nilai F< 0.25 Tipe pasut campuran dengan tipe ganda yang dominan, F= 0.25- 1.50 Tipe pasut campuran dengan tipe tunggal yang dominan, F= 1.51- 3.00 Tipe pasut tunggal (diurnal) 3.00
Untuk mengetahui tipe pasut yang terjadi di perairan teluk lampung dapat digunakan data pasang surut dari dinas Hidro-Oseanografi TNI AL (2003). Pada Tabel 2.1 berikut Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 12
ini disajikan data unsur pasut utama di perairan teluk lampung, sehinga dapat diketahui tipe pasutnya berdasarkan nilai F. Tabel 2.1 Amplitudo komponen pasut utama di perairan Teluk Lampung (cm) No
Stasiun pengukuran
O1
K1
M2
S2
Nilai F
1
Panjang
9
17
32
14
0.57
2
Bakauheni
7
8
20
11
0.48
3
Tarahan
8
16
36
14
0.48
4
Teluk ratai
9
16
35
14
0.51
5
Pulau meitem
9
15
35
15
0.48
6
Pulau kelagian
11
13
34
13
0.51
Sumber: Dishidros TNI AL (2003)
Dari nilai F antara 0.48-0.57 diketahui bahwa tipe pasut di perairan Teluk Lampung adalah pasut campuran dengan tipe ganda yang dominan (mixed tide predominantly semi diurnal), Artinya terjadi dua kali pasang surut dalam sehari, namun kisaran pasang surut yang satu jauh lebih kecil dari pada pasang surut yang lain. Tipe pasut di Teluk Lampung ini tidak berbeda dengan tipe pasut di Selat Sunda, yang keduanya sangat dipengaruhi oleh kondisi pasut di Samudra Hindia. Dibawah ini grafik pola pasang surut di Selat Sunda berdasarkan data Dishidros TNI AL dalam Pariwono (1999).
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 13
Data unsur-unsur pasut di Panjang berdasarkan Dishidros TNI AL (2003) diketahui bahwa kisaran perubahan tinggi muka laut diperkirakan seperti yang tertera pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Kisaran tinggi muka laut di panjang, Teluk Lampung (cm). No 1
Kisaran muka laut Tinggi muka laut pada air pasang rata‐rata
Spring tide 141.25
Neap tide 110.83
Rata‐ rata 126.04
(MHWL) 2
Tinggi muka laut pada air surut rata‐ rata (MLWL)
25.00
50.83
37.92
3
Kisaran pasang surut rata‐ rata
116.25
60.00
88.02
4
Tinggi muka laut rata‐ rata (MSL)
80
Sumber: Dishidros TNI AL (2003). Keterangan: Data diolah kembali berdasarkan pembagian pasang purnama/ mati (spring tide) dan pasang perbani (neap tide) selama 12 bulan
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kisaran muka laut rata-rata di Teluk Lampung mencapai sekitar 88.02 cm. Kisaran pasut yang besar terjadi pada waktu pasut purnama (116.25 cm). Pasut purnama adalah pasang yang tertinggi dan surut terendah yang dialami oleh suatu perairan yang terjadi pada waktu bulan purnama ataupun bulan mati. Pada saat pasang purnama tinggi muka laut di Teluk Lampung dapat mencapai 150 cm dengan rata- rata 141.25 cm. Pasut perbani terjadi pada saat bulan separuh (bulan tegak lurus terhadap posisi matahari dan bumi), dimana kisaran pasutnya paling rendah (ratarata 60 cm). 2.3.4.3 Arus Laut Arus merupakan perpindahan massa air dari suatu tempat ketempat lain yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: gradien tekanan, hembusan angin, perbedaan densitas, atau pasang surut. Arus laut juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya, seperti sifat air laut, gravitasi bumi, keadaan dasar perairan, distribusi pantai dan gerakan rotasi bumi. Arus yang disebabkan oleh angin pada umumnya bersifat musiman, dimana pada suatu musim arus mengalir kesuatu arah dengan tetap, dan pada musim berukutnya akan berubah sesuai dengan perubahan arah angin yang terjadi. Pasang surut dapat menimbulkan arus yang bersifat harian sesuai dengan kondisi pasang surut di perairan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 14
tersebut. Pada saat pasang arus-arus pasang surut pada umumnya akan mengalir dari lautan lepas ke arah pantai , sedangkan saat surut akan kembali mengalir kearah semula. Dengan mengetahui pola sirkulasi arus di suatu perairan maka dengan mudah dapat ditentukan arah dan sebaran materi yang dibawa oleh badan air yang mengalir bersama arus tersebut. Informasi ini sangat diperlukan dalam kegiatan pengelolaan wilayah pesisir. A. Arus Musim Arus musim yang terjadi di sekitar mulut Teluk Lampung, sangat dipengaruhi oleh arus yang terjadi di Selat Sunda. Tabel 2.3 Kecepatan dan arah arus musim di Selat Sunda Bulan
Kecepatan (cm/s)
Arah (º)
Januari
31
34
Februari
31
34
Maret
31
34
April
36
214
Mei
36
214
Juni
36
214
Juli
36
214
Agustus
36
214
September
36
214
Oktober
31
34
November
31
34
Desember
31
34
Sumber : Dishidros TNI AL (2003) Keterangan : Data diolah kembali
Menurut Wyrtki (1961) arus yang disebabkan oleh musim di Selat Sunda mengalir dengan tetap kearah baratdaya (225º) sepanjang tahun dengan kecepatan antara 0-75 cm/s.
Kecepatan arus yang kuat (75 cm/s) terjadi pada bulan Juni dan Agustus,
sedangkan yang paling lemah terjadi pada bulan Desember. Hal ini berbeda dengan Dishidros TNI AL (2003) yang menyatakan bahwa arus yang disebabkan oleh musim di Selat Sunda mengalir ke arah yang berlawanan tergantung musimnya. Pada musim Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 15
timur (April hingga September) arus musim mengalir menuju Lautan Hindia (arah 214º) dengan kecepatan 36 cm/s, sedangkan pada musim barat (Oktober hingga Maret) arus musim mengalir ke arah Laut Jawa (arah 34°) dengan kecepatan 31 cm/s. Kecepatan dan arah arus musim setiap bulan disajikan pada Tabel 2.3. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa kecepatan maksimun arus musim Selat Sunda terjadi pada musim timur, dan arus tersebut mengalir dari Laut Jawa menuju Samudera Hindia. Di sekitar perairan Lampung data arus musin diperoleh dari PT. Pelindo II (2002) berdasarkan pendugaan terhadap kecepatan dan arah angin yang terukur (lihat tabel 2.4). Tabel 2.4 Kecepatan dan arah angin di Panjang dan perkiraan kuat arus yang ditimbulkannya Angin Arus Bulan
Kec. (cm/s)
Arah dari
Kec. (cm/s)
Arah ke
Desember‐Februari
25.7 ‐ 41.2
B – BL – U
3.0 ‐ 4.8
T – TG – S
Maret‐Mei
25.7 ‐ 30.9
BL
3.0 ‐ 3.6
TG
Juni‐Agustus
257 ‐ 309
TG
30.0 – 36.0
BL
September‐
25.7 – 41.2
TG – T
3.0 – 4.8
BL ‐ B
November Sumber : PT. Pelindo II Keterangan : B=barat, BL=barat laut, U=utara, TG=Tenggara, T‐timur, S=selatan
Berdasarkan tabel tersebut, diketahui pada bulan Juni–Agustus terjadi arus permukaan yang paling kuat, yaitu 30–36 cm/s dengan arah barat laut. Pada bulan-bulan lainnya arus permukaan yang ditimbulkan oleh angin hanya mencapai sekira 5 cm/s (maksimum). Pada tahun 1999 telah dilakukan survei arus di perairan Teluk Lampung oleh Puslitbang Oseanologi LIPI. Pengukuran arus dilakukan pada bulan Juli, September, November. Berdasarkan hasil survei tersebut diketahui bahwa kecepatan dan arah arus di perairan Teluk Lampung cukup bervariasi. Pada bulan Juli kecepatan arus antara 0.5 – 21.7 cm/s dengan arah dominan ke tenggara. Bulan November kecepatan arus antara 4.1 – 43.8 cm/s dengan arah dominan menuju barat daya. Arus pada bulan September tidak Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 16
diketahui kecepatannya namun arahnya menunjukkan perbedaan antara permukaan dan lapisan di bawahnya. Arus permukaannya menuju ke barat laut dan arus bagian tengah dan dasar menuju ke barat daya. Secara keseluruhan, kesepatan arus di Teluk Lampung bervariasi antara 0.5– 43.8 cm/s. Dalam arah vertikal, makin ke dalam, kecepatan arus makin berkurang atau makin lambat.
Hal ini membuktikan bahwa faktor gesekan dasar (bottom friction) ikut
berperan meredam pergerakan arus di perairan Teluk Lampung yang memang relatif dangkal. Dibandingkan arus di perairan terbuka, yang seringkali mempunyai kecepatan lebih besar dari 50 cm/c, maka arus perairan Teluk Lampung ini tergolong lemah. Namun demikian, nilai kecepatan arus demikian masih dalam kondisi normal untuk kecepatan arus di perairan teluk. B. Arus Pasang Surut Arus yang disebabkan oleh pasang surut terjadi setiap saat, karena kejadian pasang surut berlangsung terus menerus. Data arus pasang surut yang terjadi di Teluk Lampung tidak banyak diketahui, namun demikian dapat dilakukan pendugaan dari data arus pasang surut yang terjadi di sekitar Selat Sunda. Data arus pasang surut yang terjadi di Selat Sunda diperoleh dari Dishidros TNI AL (2003). Pada waktu air pasang arus mengalir ke arah Timur Laut (arah 34º) menuju Laut Jawa dengan kecepatan rata-rata 117.9 cm/s; sedangkan pada waktu air surut arus mengakir kembali ke arah baratdaya (arah 214º) menuju Samudera Hindia dengan kecepatan rat-rata 101.6 cm/s. Data arus pasang surut yang terjadi di Selat Sunda dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Kecepatan arus pasang surut maksimum di Selat Sunda (cm/s).
Bulan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Pasang (arah 34°)
Surut (arah 214°) Bab II ‐ 17
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Ratarata
128.6 113.2 97.7 108.0 123.5 133.8 133.8 108.0 92.6 113.2 128.6 133.8 117.9
118.3 108.0 87.5 82.3 9737 113.2 118.3 102.9 87.5 87.5 102.9 113.2 101.6
Sumber : Dishidros TNI AL (2003) Keterangan : Data diolah kembali
Kecepatan arah arus pasang surut di perairan semi tertutup seperti di Teluk Lampung pada umumnya lebih lemah dibandingkan dengan arus pasut yang terjadi di Selat Sunda.
Sebagai perbandingan, hasil survei Hidro Oseanografi yang dilakukan
Dishidros TNI AL tahun 1987 di perairan Teluk Ratai dan sekitarnya diperoleh bahwa kekuatan arus pasut pada umumnya lemah, yaitu kurang dari 25 cm/s. kecepatan arus lebih dari 25 cm/s dapat tejadi disekitar selat antara Pulau Kelagian dan Pulau Maitem. 2.3.4.4 Gelombang Pada umumnya gelombang di suatu perairan diperoleh secara tidak langsung dari data angin yang terdapat dikawasan tersebut. Hal ini berdasarkan teori bahwa sebagian besar gelombang yang terjadi di laut dibentuk oleh energi yang ditimbulkan hembusan angin. Gelombang ini disebut sebagai gelombang angin yang merupakan fungsi dari tiga faktor, yaitu kecepatan angin, lamanya angin berhembus (duration), dan jarak dari tiupan angin pada perairan terbuka (fetch). Kondisi gelombang di perairan Panjang dan sekitarnya yang mencerminkan keadaan gelombang di daerah kepala Teluk Lampung diperoleh dari PT.Pelindo II.
Dari
informasi tersebut diketahui bahwa gelombang besar di sekitar perairan Panjang terjadi pada bulan Juni – November. Tinggi gelombang tersebut berkisar antara 50 – 100 cm dengan kisaran seperti yang tertera pada tabel 2.6. Tabel 2.6 Tinggi gelombang di sekitar Perairan Panjang No
Bulan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Tinggi Gelombang (cm)
Arah rambatan/menuju ke )٭
Bab II ‐ 18
1
Desember ‐ Februari
50 ‐ 75
T – TG – S
2
Maret ‐ Mei
50 – 70
TG
3
Juni ‐ Agustus
50 – 100
BL
4
September‐November
50 ‐ 100
BL ‐ B
Sumber : PT. Pelindo II (2002) Keterangan: )٭ Diasumsikan gelombang yang terjadi adalah gelombang angin, maka arah rambatannya dapat diperkirakan dari arah angin
Tinggi gelombang di pantai bagian barat Teluk Lampung tidak menunjukkan hal yang berbeda dengan data gelombang di perairan Panjang (pantai bagian timur Teluk Lampung). Berdasarkan pengamatan Dishidros TNI AL pada Juni 1987 – 1988 di sekitar perairan antara Pulau Maitem dan Pulau Kelagian diperoleh kisaran tinggi gelombang maksimum 40 -90 cm (tabel 2.7). Tabel 2.7 Kondisi gelombang di sekitar perairan antara Pulau Maitem dan Pualu Kelagian Bulan
Arah Gelombang Dominan
Kisaran
Tinggi maks
Tinggi rat‐rata
Periode
(cm)
(cm)
(detik)
Januari
T
BD – LT –T
50
15‐25
8‐9
Februari
TG
T ‐ TG – S
40
20‐30
6‐7
Maret
TG
TG – S – BD
52
15‐35
8‐9
April
BD
BD – U – TL
60
25‐40
8‐9
Mei
BD
BD – B – BL
56
25‐35
10‐11
Juni
STG
T – TG – S
90
40‐65
4‐7
Juli
TG
T – TG – S
70
20‐60
6‐7
Agustus
TG
T – TG – S
70
20‐50
6‐7
September
STG
T – TG – S
90
30‐50
5‐7
Oktober
STG
TG – S – BD
80
40‐60
10‐11
November
SBD
S ‐ BD –B
80
40‐65
10‐11
Desember
BL
B – BL ‐ U
50
15‐25
6‐7
Sumber : Dishidros TNI AL (1989) Keterangan : B=barat, BL=barat laut, U=utara, TG=Tenggara, T=timur, S=selatan, STG=selatan tenggara, SBD=selatan baratdaya
Menurut Dishidros TNI AL (1988) gelombang di Teluk Ratai merupakan gelombang campuran antara gelombang yang disebabkan oleh angin dan alun yang datang dari Selat Sunda. Gelombang yang merambat masuk Teluk Ratai datang terutama dari arah
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 19
tenggara. Tinggi gelombang rata-rata berkisar antara 15-40 cm dengan periode antara 4-11 detik. 2.3.4.5 Suhu dan Salinitas Berdasarkan penelitian Puslitbang Oseano;ogi LIPI pada bulan Juli-November 1999. diketahui bahwa variasi suhu di perairan Teluk Lampung berkisar antara 29.07529.43ºC dan tercatat rata-rata terendah terjadi pada bulan Agustus.
Pola suhu
menggambarkan adanya pengaruh malam menurun sebesar 0.333ºC serta pengaruh siang dan daratan dengan peningkatan suhu sebesar 0.487°C. Distribusi horizontal suhu di bagian permukaan perairan, baik pada musim timur (JuliAgustus) maupun musim peralihan II (September-November), menunjukkan bahwa suhu pantai utara dan timur relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan sebelah selatan teluk.
Hal ini disebabkan oleh dominannya kegiatan penduduk (pemukiman) dan
aktivitas pelabuhan. Variasi salinitas berkisar antara 32.105-32.373 psu dan tercatat rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Agustus. Pola salinitas menunjukkan adanya pengaruh daratan berupa nilai salinitas yang acak dan pengaruh masuknya massa air laut bersalinitas lebih tinggi dari lepas pantai Teluk Lampung. Distribusi horizontal salinitas di bagian permukaan, baik pada musim timur maupun musim peralihan, menunjukkan bahwa salinitas perairan pantai utara dan timur laut relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelah selatan dan barat teluk. Penurunan salinitas tersebut disebabkan oleh adanya beberapa sungai di sebelah utara dan timur yang bermuara ke laut.
2.3.4.6 Pencemaran Laut Kualitas perairan di Teluk Lampung relatif masih dalam keadaan belum tercemar, namun daerah disekirar kepala teluk (Teluk Betung dan Panjang) menunjukkan kondisi perairan yang tercemar ringan. Di daerah sekitar mulut teluk (perairan Pulau Sebuku dan Selat Legundi) kualitas perairan masih dalam kondisi yang baik. Beberapa industri yang terdapat disepanjang pantai Teluk Betung hingga Tarahan
berpotensi
menimbulkan pencemaran. Industri yang dimaksud antara lain: semen, batubara, kayu, minyak, molase, kegiatan reklamasi patai serta kegiatan bongkar muat kapal di Pelabuhan Panjang. Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 20
Berdasarkan hasil penelitian CRMP (1999) diketahui bahwa parameter suhu, salinitas, pH, kecerahan, kekeruhan, kandungan minyak, Cu dan coliform di Teluk Lampung masih tergolong memenuhi syarat standar baku mutu untuk pariwisata dan rekreasi ataupun budidaya perikanan dan biota laut. Sebaliknya COD dan kandungan Cd sudah berada di luar batas yang diperbolehkan untuk kegiatan yang sama; sedangkan BOD, DO, Cr, Pb dan padatan tersuspensi masih memenuhi syarat untuk tujuan rekreasi maupun budidaya di beberapa tempat, tetapi sudah berada di luar batas yang diperbolehkan (lihat Tabel 2.8). Oleh karena itu dibuat suatu formula yang dapat mencerminkan kualitas perairan berdasarkan kandungan beberapa parameter kunci. Parameter kunci tersebut adalah pestisida, logam berat, minyak, coliform, TSS, dan bahan organik (BOD dan COD). Dengan melakukan pembobotan dan skoring serta pejumlahan nilai, akan didapatkan nilai akhir yang mengklasifikasi kualitas perairan. Berdasarkan formula tersebut, dapat disimpulkan bahwa peraran Teluk Lampung bagian dalam diklasifikasi memiliki kualitas perairan yang cukup baik, dengan taraf tercemar ringan. Di beberapa lokasi, seperti beberapa industri, TPI, dan pemukiman telah terjadi pencemaran. Tabel 2.8 Nilai parameter kualitas air di Teluk Lampung No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Parameter kualitas air Suhu Salinitas pH Pembacaan Seichi disk Kekeruhan Oksigen terlarut BOD5 COD Minyak Coliform TSS Logam berat: Hg Cr Pb Cu Cd
Satuan °C psu m NTU mg/l mg/l mg/l mg/l sel/100ml mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Kisaran 28.031.5 22.833.5 7.968.22 1.137.55 1.613.37 3.26.2 1040 398123 0700 1034 <0.0010.104 0.0090.054 0.0190.069 0.0130.031 0.0210.044
Baku mutu Alami Alami (10%) 6.58.5 >3 <3 >4 <40 <40 <1000 <23 0.003 <0.01 <0.01 <0.06 <0.01
Sumber: Atlas Lampung (1999).
2.3.5
Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu tsu= pelabuhan dan nami = gelombang. Jadi tsunami berarti pasang laut terbesar di pelabuhan. Secara singkat tsunami dapat Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 21
dideskripsikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh suatu gangguan implusif yang terjadi pada medium laut, seperti gempa bumi, erupsi vulkanik atau longsoran (land-slide). Gangguan impulsive pembangkit tsunami biasanya berasal dari tiga sumber: 1. Gempa dasar laut 2. Letusan gunung api didasat laut 3. Longsoran yang terjadi di dasar laut Di Indonesia terdapat beberapa kelompok pantai yang rawan tsunami yaitu, kelompok Pantai Barat Sumatera, Pantai Selatan Pulau Jawa, Pantai Utara dan Selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai Utara Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Teluk dan bagian yang melekuk dari pantai sangat rawan akan bencana ini. Propinsi Lampung mempunyai potensi tsunami berasal dari gempa dasar laut dan Letusan Gunung Krakatau. Pesisir Barat Lampung mempunyai resiko tinggi gempa bumi karena dipengaruhi oleh patahan semangka yang memanjang dari Teluk Semangka sampai utara Pulau Sumatera. Sumber gempa di laut selama ini sering berasal dari patahan semangka. Sumber ancaman tsunami lainnya adalah berasal dari kemungkinan letusan Krakatau. Kawasan Kepulauan Gunung Krakatau merupakan kepulauan yang terdiri dari Pulau Sertung, Pulau Anak Krakatau, Pulau Krakatau Kecil dan Pulau Krakatau, terletak di Selat Sunda.
Secara administrasi kawasan ini dari wilayah Kecamatan Kalianda,
Kabupaten Lampung Selatan. Menurut Nontji (1993) bahwa korban jiwa tsunami yang ditimbulkan oleh letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda, 27 Agustus 1883, yang merenggut lebih 36.000 jiwa. Letusan ini merupakan letusan gunung api yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah, bunyinya terdengar sampai ke Pulau Rodriguez 1.600 km sebelah timur Madagaskar, atau 4.563 km dari Krakatau. Dua pertiga bagian pulau seluas 5 x 8 km2 yang diterbangkan pada puncak letusan.
Tsunami yang ditimbulkan luar biasanya
besarnya dan malapetaka yang diakibatkan tak terkira hebatnya terutama di pantai Sumatra dan Jawa yang berbatasan dengan Selat Sunda. Di Kota Teluk Betung tsunami menerjang dengan gelombang setinggi 20 m dan di Merak sampai setinggi hampir 40 meter. Sebuah bongkahan karang batu seberat 600 ton tercabut dari dalam laut untuk Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 22
kemudian dihempaskan ke darat. Peristiwa yang sangat dramatis menimpa sebuah kapal uap”Berouw”. Kapal yang sedang berlabuh di depan Teluk Betung itu dilempar 3,3 km dari tempat semula dan tersungkur di lembah Sungai Kuripan pada ketinggian 9 m di atas permukaan laut. Boi (pelampung) tempat Berouw tetambat, terdampar di darat pada ketinggian 20 m dan kini dijadikan monumen Krakatau. Gelombang tsunami Krakatau merambat ke seluruh dunia. Di Samudera Hindia gelombangnya merambat dengan kecepatan sekitar 600 km/jam. Gelombang dapat terekam sampai ke English Channel dan Panama yang masing-masing berjarak 19.872 km dan 20.646 km dari Krakatau.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 23
Gambar 2.5: Gempa dan Tsunami di Teluk Lampung dan Pantai Selatan Jawa 2.3.6 Kondisi Biologi Teluk Lampung Teluk Lampung memiliki luas wilayah pesisir dengan luas 48.631 ha atau sebesar 11.7% dari luas wilayah pesisir yang dimiliki Propinsi Lampung.
Letak teluk ini
menghadap Selat Sunda dan sebagian Samudera Hindia. Bagian teluk sebelah timur relatif lurus sedangkan pantai barat berlekuk-lekuk membentuk teluk yang cukup dalam dengan pulau-pulau kecil berada di mulut teluk. Adanya teluk dengan pulau yang berada di Teluk Lampung juga letaknya antara Selat Sunda serta merupakan perbatasan antara Laut Hindi dan Laut Pasifik Barat memberikan komposisi flora dan fauna dan keanekaragaman yang tinggi. 2.3.6.1 Mangrove Penyebaran hutan mangrove di wilayah pesisir Teluk Lampung terdapat pada kawasan pulau-pulau kecil dan disepanjang pantai yang umumnya digunakan untuk pemukiman dan pertambakan. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) dan CRMP (1989) menunjukkan bahwa mangrove yang terdapat di pesisir Teluk
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 24
Lampung tersebar mulai dari wilayah pantai sampai pulau kecil dengan jumlah dan keragaman yang tinggi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) menyebutkan bahwa terdapat 27 jenis mangrove dan termasuk dalam 17 marga yang terdapat di pulau kecil dan sepanjang pantainya. Secara umum mangrove yang dijumpai pada pulau-pulau kecil adalah jenis Rhizopora spp. dengan ketebalan 100 m.
Pada kawasan pantai yang merupakan daerah
pemukiman, tempat wisata dan pertambakan, hutan mangrove yang dijumpai tinggal memiliki ketebalan <50 m, karena sudah dikonversikan sehingga diperlukan penanaman kembali. Hasil penelitian CRMP (1998) juga mengungkapkan bahwa pada kawasan mangrove yang terdapat di Teluk Lampung khususnya sepanjang pantai memiliki luas sekitar 700 ha. Hasil ini berbeda dengan penelitian Zieren (1998) pada tahun 1970-an potensi mangrove kawasan ini sangat besar sekitar 1000 ha. Penurunan kawasan magrove dapat diindikasikan turunnya luas kawasan mangrove disebabkan konversi kawasan mangrove menjadi pemukiman, tempat wisata dan pertambakan. Pemanfaatan mangrove pada tahun 1970-an hanya digunakan untuk penyangga dan pagar rumah serta kayu bakar secukupnya, pada tahun 1990-an berubah menjadi eksploitasi besar-besaran menjadi lahan tambak dan tempat wisata sedangkan mangrove yang ditebang digunakan sebagai kayu bakar, dibiarkan membusuk dan sebagai pagar pembatas tanah pertambakan.
2.3.6.2 Terumbu Karang Kerusakan terumbu karang pada wilayah Teluk Lampung saat ini belum banyak dikaji secara mendalam, tetapi akibat pengambilan terumbu karang unutk bangunan, perusakan karang akibat jangkar kapal, pengeboman ikan karang, akibat budidaya kerapu pada daerah pantai dan pencarian cacing laut (Nereis sp) pada daerah pasang surut disinyalir menambah kerusakan terumbu karang.
2.3.6.3 Padang Lamun Padang lamun yang terdapat di kawasan Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) pada Pulau tangkil, Pulau Puhawang, Pulau Tegal
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 25
dan Pulau Legundi menunjukkan spesies yang beragam dan persentase penutupan lamun yang bervariasi karena letak, tipe dan substrat perairannya. 2.3.6.4 Algae Algae yang terdapat di Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau Legundi menunjukkan jumlah dan jenis spesies yang bervariasi karena letak, tipe, dan substrat perairannya.
Secara umum algae yang terdapat di Teluk Lampung mengalami
penurunan jenin karena perusakan karang oleh manusia sehingga substrat untuk hidup algae juga rusak, bertambahnya aktifitas penduduk dan pencemaran perairan yang mengotori paparan terumbu. 2.3.6.5 Echinodermata Echinodermata yang terdapat di kawasan Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau Legundi menunjukkan jumlah dan spesien yang sangat jarang dan hanya dari beberapa jenis.
Secara umum echinodermata yang terdapat di Teluk Lampung mengalami
penurunan jenis karena perusakan karang oleh manusia sehingga substrat untuk hidup echidodermata juga rusak, bertambahnya aktifitas penduduk seperti pencarian tripang (suala) dengan cara menyelam tanpa memilih ukuran serta karena pencemaran perairan yang mengotori paparan terumbu. 2.3.6.6 Crustacea Jenis crustacea (udang-udangan) yang terdapat di Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau Legundi menunjukkan jumlah dan jenis yang jarang dan hanya beberapa jenis. Jenis yang paling banyak ditemui pada keempat pulau tersebut adalah Pilodius areolatus dan Actaeodes consobrinus yang merupakan jenis crustacea kecil yang hidup di bawah batu karang hidup atau karang mati.
Pilodius areolatus dan Actaeodes
consobrinus termasuk dalam famili Xanthidae yang banyak ditemukan di daerah koral atau pecahan batu karang yang dangkal, daerah pasang surut baik daerah tropis dan sub tropis. Kedua jenis ini merupakan makanan bagi larva ikan. 2.3.6.7 Molusca
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 26
Jenis mollusca yang terdapat di Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau Legundi bejumlah 66 jenis yang mewakili 30 famili. Mollusca yang terkumpul terdiri dari 2 klas yaitu Gastropoda dari 18 famili dan Bivalva dari 12 famili yang menunjukkan keragaman jenis spesies yang cukup banyak dan menandakan tidak adanya kompetisi pada habitat tertentu. Jenis mollusca klas Gastropoda yaitu Morula margaliticola, Collumbela scripta, Cerithium zonatum dan Engina zonalis sedangkan klas Bivalva adalah Atactodea striata dan Modiolus micropetrus. 2.3.6.8 Ikan Jenis ikan yang terdapat di Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan oseanografi (2000) dibagi menjadi ikan karang dan ikan dasar yang ditangkap menggunakan trawl. Hasil penelitian pada ikan karang tersebut menunjukkan bahwa dari hasil penelitian di lima lokasi pengamatan didapatkan 7072 individu dari 31 suku dan 162 jenis ikan, 40 jenis diantaranya merupakan ikan target (pangan). Kategori “major fish” yang terdiri dari 22 suku dengan 160 jenis. Untuk ikan target terdiri dari 9 suku dan 10 jenis, sedangkan ikan indikator terdiri dari 1 suku dengan 16 jenis kelimpahan ikan tertinggi terdapat di Pulau Puhawang sisi barat dengan nilai 1556 individu. Berdasarkan kategori ikan, kelimpahan ikan “major” tertinggi didapatkan di Pulau Puhawang sisi barat, sedangkan kelimpahan ikan target tertinggi dijumpai di Pulau Tegal sisi barat, dan kelimpahan ikan indikator tertinggi sebanyak 31 individu ditemukan pada Pulau Puhawang sisi timur dan jumlah jenis ikan “major” tertinggi dijumpai di Pulau Legundi sisi timur sedangkan untuk ikan target dan indikator jumlah jenis tertinggi dijumpai di Pulau Sebuku pada sisi barat. Kelimpahan relatif untuk setiap jenis ikan selama pengamatan di Teluk Lampung dapat dilihat dari keanekaragaman jenis berkisar antara 0.7711-1.77700.
Keanekaragaman terendah
didapatkan di Pulau Puhawang sebelah barat dan tertinggi di Pulau Legundi sebelah timur. Ikan dasar yang ditangkap dengan jaring trawl menurut hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) tidak semuanya tergolong ikan demersal (ikan dasar).
Beberapa suku seperti Dlupeidae, Engraulidae, Scrombidae, Sphyraenidae
tertangkap juga dengan alat ini dan keempat suku ini digolongkan pada ikan pelagis.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 27
Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan oseanografi (2000) menunjukkan bahwa ikan karang dan ikan dasar yang terdapat pada lima pulau di Teluk Lampung menunjukkan pada kondisi yang secara kurang baik.
Kondisi ini disebabkan
banyaknya penangkapan ikan menggunakan cara-cara yang merusak karang sebagai habitat ikan tersebut. Jenis ikan karang dan ikan dasar ekonomis penting masih dapat ditemukan, tetapi pada keragaman yang mendekati jarang. Kerusakan karang juga akan mengakibatkan rendahnya ruang hidup bagi ikan karang
2.3.7 Sosial Kependudukan Propinsi Lampung merupakan suatu daerah yang sangat strategis baik secara geografis maupun dari segi pengembangan wilayahnya.
Prasarana perhubungan yang cepat,
murah dan aman serta lahan pertanian yang luas dan subur, merupakan daya tarik utama mengalirnya arus migrasi dan transmigrasi ke wilayah ini. Penduduk asli Lampung diperkirakan hanya sekitar 16 % atau sekitar 1.250.000 jiwa, sedangkan sisanya merupakan suku-suku pendatang yang terdiri dari suku Jawa (30%), Banten/Sunda (20%), Semendo (12%), Minang (10%) dan etnis lainnya. Ragam dan heterogenitas penduduk yang tinggi tersebut, dimana semua suku bangsa/etnis yang ada di Lampung hampir berimbang jumlahnya, menjadi salah satu faktor penyebab tidak adanya bahasa daerah yang dominan di Propinsi Lampung dan sebagian besar berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Penduduk asli Lampung mempunyai kehidupan seni budaya dan adat istiadat tersendiri yang diturunkan dari nenek moyang mereka dan masih dijalankan sampai sekarang, sejauh tidak bertentangan dengan syariah agama yang dianutnya.
Penduduk asli
Lampung dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu Peminggir dan Pepadun (Sebatin). Lampung Peminggir adalah suku Lampung Asli yang berdiam di sepanjang wilayah pesisir (Kalianda, Krui, Maringgai dan lain-lain), sedangkan Lampung Pepadun adalah suku-suku yang tinggal di pedalaman (Abung Siwo Mego, Pubian Telu Suku, Menggala, Mego Pak Tulang Bawang dan lain-lain) Adat budaya Lampung yang cenderung lebih dekat ke daratan menyebabkan pemanfaataan wilayah pesisir oleh masyarakat Lampung Asli pesisir kurang mendapat perhatian. Masyarakat asli cenderung lebih memilih untuk mengolah lahan pertanian dan perladangan daripada menangkap ikan di laut. Karakteristik masyarakat seperti Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 28
inilah yang membuat wilayah pesisir lebih didominasi oleh masyarakat pendatang yang tinggal dan menetap untuk berbagai alasan. Penduduk Pendatang, masuk ke Propinsi Lampung ini umumnya dengan berbagai alasan antara lain karena kebijakan pemerintah dalam upaya pemerataan pembangunan dengan transmigrasi (Jawa, Bali), atau didorong oleh jiwa merantau mereka yang kuat sehingga datang ke Lampung (asal Sulawesi), dan yang pindah karena dipaksa oleh situasi politik di tempat asal. Sedangkan untuk pendatang-pendatang baru datang ke Lampung banyak yang disebabkan oleh proyek-proyek swasta di bidang pengolahan lahan produksi. Kedatangan penduduk pendatang ini mengubah keseimbangan sukusuku yang tinggal di Lampung.
2.3.7.1 Kota Bandar Lampung A. Kependudukan Jumlah penduduk Kota Bandar Lampung pada tahun 2000 adalah 742.749 jiwa, terdiri dari 374.184 jiwa penduduk laki-laki dan 368.565 jiwa penduduk perempuan, (Kota bandar Lampung dalam Angka, 2001), dengan kepadatan 3.868,48 jiwa/km2. Kondisi kependudukan di kelurahan-kelurahan pesisir Kota Bandar Lampung, menunjukkan kelurahan dengan jumlah penduduk paling padat adalah Kelurahan Kangkung (35.513 jiwa/km2), Kecamatan Teluk Betung Selatan diikuti oleh Kelurahan Kota Karang (30.923 jiwa/km2), Kecamatan Teluk Betung Barat, sedang kelurahan yang paling rendah kepadatannya adalah Kelurahan Sukamaju (634 jiwa/km2), Kecamatan Teluk Betung Barat. Tabel 2.9 Kondisi Kependudukan Kecamatan Pesisir di Kota Bandar Lampung No
Kecamatan di Pesisir
Luas (km2)
Penduduk
Kepadatan (jiwa/km2)
1
Teluk Betung Barat
20,99
62.643
2.984,42
2
Teluk Betung Selatan
10,07
92.506
9.186,30
3
Panjang
21,16
61.943
2.927,36
Sumber : Kota Bandar Lampung dalam Angka, 2006 dan BPS
2.3.7.2 Kabupaten Lampung Selatan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 29
A. Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2001 adalah 1.142.435 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 558.012 jiwa dan perempuan 557.423 jiwa (Lampung Selatan dalam Angka, tahun 2001) pertumbuhan penduduk sejak tahun 1997 sampai tahun 2001 menunjukkan peningkatan sebesar 43.641 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan per tahun 0.99%.
Proyeksi penduduk Kabupaten Lampung Selatan
berdasarkan angka pertumbuhan rata-rata tersebut, pada tahun 2005 diperkirakan sebanyak 1.188.352 jiwa atau 373,6 jiwa/km2. Kecamatan Natar adalah kecamatan dengan penduduk yang paling padat dengan kepadatan 750,54 jiwa/km2.
Sedangkan Kecamatan Punduh Pidada
merupakan
kecamatan dengan kepadatan penduduk yang paling rendah yaitu 107,70 jiwa/km2.
Tabel 2.10 Kondisi Kependudukan di Kecamatan Pesisir Kabupaten Lampung Selatan. No
Kecamatan di Pesisir
Luas (km2)
Penduduk
Kepadatan (jiwa/km2)
1
Penengahan
190,11
54.293
285,59
2
Kalianda
161,40
74.737
463,05
3
Sidomulyo
160,98
71.911
446,71
4
Ketibung
222,31
78.378
352,56
5
Padang Cermin
317,63
78.463
247.03
6
Rajabasa
100.39
22.420
223.33
7
Punduh Pidada
224,19
24.404
108,85
Sumber : Kab. Lampung Selatan dalam Angka, 2006
Kondisi kependudukan di desa-desa pesisir Kabupaten Lampung Selatan menunjukkan desa dengan jumlah penduduk paling padat adalah Desa Way Urang di Kecamatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 30
Kalianda (919 jiwa/km2) diikuti oleh Desa Bumi Agung di Kecamatan Kalianda (719 jiwa/km2) dan Desa Kunyayan di Kecamatan Punduh Pidada (23.32 jiwa/km2)adalah desa dengan kepadatan penduduk paling rendah. Rata-rata kepadatan penduduk desadesa pesisir adalah 208 jiwa/km2. B. Pendidikan Ketersediaan sarana pendidikan akan menjadi gambaran dari kecukupan masyarakat pada usia sekolah untuk mendapatkan kemudahan dalam mengenyam bangku sekolah di tempat yang terdekat.
Ketersediaan
sekolah di kecamatan-kecamatan pesisir
Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2000 terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.11 Jumlah Sekolah di Kecamatan Pesisir Kabupaten Lampung Selatan No 1 2 3 4 5
Kecamatan Pesisir Penengahan Rajabasa Kalianda Padang Cermin Punduh Pidada
Sekolah Negeri SD SLTP SMU 40 2 1 17 1 40 3 4 19 2 1
TK 1 -
19
2
TK 4 1 9 1
1
Sekolah Swasta SD SLTP SMU 1 3 1 1 5 5 1 3 -
1
1
3
-
2 -
Sumber : Lampung Selatan dalam Angka, 2006
Tabel 2.12 Jumlah Murid per Tingkat Sekolah di Kecamatan Pesisir, Kab. Lamsel No.
Kecamatan
Jumlah Siswa
Tingkat Sekolah
Pesisir
SD
SLTP
SMU
1.
Penengahan
8.097
1.934
384
10.415
2.
Rajabasa
2.989
467
-
3.456
3.
Kalianda
9.150
2.485
2.311
13.946
4.
Padang Cermin
11.474
2.229
816
14.519
5.
Punduh Pidada
3.840
835
393
5.068
Sumber : Lampung Selatan dalam Angka tahun 2006.
C. Kesehatan Untuk menggambarkan tingkat penanganan kesehatan masyarakat, dapat dilihat pada banyaknya fasilitas yang terdapat di masing-masing kecamatan pesisir.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 31
Tabel 2.13 Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Pesisir Kab. Lampung Selatan No. 1 2 3 4 5
Kecamatan Pesisir Penengahan Rajabasa Kalianda Padang Cermin Punduh Pidada
Rumah Sakit 1 -
Rumah Bersalin 1 1 -
-
-
Puskesmas Puskesmas Induk Pembantu 1 3 1 4 2 8 3 5 1
Apotik 3 -
3
-
Sumber : Lampung Selatan dalam Angka tahun 2006.
D. Rumah Tangga Perikanan Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) yang berdomisili di Kabupaten Lampung Selatan tahun 1999 mencapai 14.557 RTP. Jumlah ini terdiri dari RTP perikanan tangkap (3.642 RTP), RTP budidaya laut (442 RTP), RTP budidaya air payau/tambak (3.427 RTP), RTP pembenuran (162 RTP), RTP budidaya di perairan umum (74 RTP), RTP penangkapan di perairan umum (2.034 RTP), RTP budidaya air tawar/kolam (2.002 RTP), RTP Mina Padi (108 RTP), RTP pembenihan di air tawar (121 RTP), RTP pengolahan (527 RTP), dan RTP pemanenan (2.018 RTP). Dibandingkan dengan tahun 1998, jumlah RTP perikanan di Kabupaten Lampung Selatan mengalami peningkatan pada tiap usaha perikanan yang dilakukan. Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam kegiatan perikanan tangkap tahun 1999 sebanyak 6.605 tenaga kerja yang merupakan jumlah tenaga kerja yang terbesar dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja pada kegiatan perikanan lainnya.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab II ‐ 32
Bab 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI
3.1 Metode Pendekatan Studi Langkah awal yang dilakukan dalam Kegiatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung adalah penyediaan data, baik data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan survei langsung ke lapangan yang meliputi data oseanografi, data titik koordinat, data persentase terumbu karang, dan data sosial budaya. Pengambilan data sosial, ekonomi dan budaya (sosekbud) menggunakan metode Rapid Rural Appraisal (RRA). Selain itu juga akan dilakukan kegiatan sosialisasi. Sedangkan data sekunder didapatkan dengan wawancara dengan stakeholder yang terkait serta mengkaji dokumendokumen pendukung atau laporan dari dinas / instansi terkait. Seperti dikemukakan sebelumnya, studi ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan sumberdaya terumbu karang di Teluk Lampung terutama berkenaan dengan bentuk tumbuh (life form), persentase hidup dan luasan penyebarannya serta untuk mengkaji sumberdaya terumbu karang karang sebagai arahan dalam penetapan kawasan konservasi dan daerah perlindungan laut (DPL). Untuk mewujudkan hal tersebut diatas perlu pengkajian dengan melihat bebarapa aspek teknis pendukung. Adapun aspek-aspek teknis dalam pemetaan terumbu karang yang diperlukan antara lain : 1. Identifikasi potensi terumbu karang yang terdapat dilokasi 2. Faktor-faktor oseanografis meliputi pasang surut air laut, suhu, dan salinitas 3. Analisa kondisi terumbu karang:
Manta tow
Line Intersept Transect
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 1
4. Identifikasi penyebaran terumbu karang 5. Penghitungan luas area terumbu karang 6. Identifikasi sosial ekonomi dan budaya Pengamatan terumbu karang dalam kegitan ini digunakan metode Manta Tow dan Line Intercept Transect (LIT), yang dianggap cukup dapat mengakomodir kebutuhan data primer pada pekerjaan ini. Meskipun banyak metode survei yang ada saat ini, namun masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa alasan yang menyebabkan sulitnya menggambarkan suatu kondisi terumbu karang dengan metode-metode survei yang ada saat ini (Suharsono, 1994), antara lain : 1. Terumbu karang yang tumbuh di tempat geografis yang berbeda mempunyai tipe yang berbeda. 2. Ukuran individu atau koloni sangat bervariasi dari beberapa centimeter hingga beberapa meter. 3. Satu koloni karang dapat terdiri beberapa individu sampai jutaan individu. 4. Bentuk pertumbuhan sangat bervariasi seperti bercabang, masif, merayap, seperti daun, dan sebagainya. 5. Tata nama jenis karang masih relatif belum stabil dan adanya perbedaan jenis yang hidup pada lokasi geografis yang berbeda, serta adanya variasi morfologi dari jenis yang sama yang hidup pada kedalaman yang berbeda maupun tempat yang berbeda.
Persiapan penyelaman di Kepulauan Tiga, Lampung Selatan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 2
Diagram alir tahapan kegiatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung dapat dilihat pada Gambar 3.1. sebagai berikut: Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Observasi
Studi Literatur
Identifikasi Awal Perancangan Mekanisme Kajian Identifikasi Variabel-variabel Kajian
Pengambilan Data Primer
Sosialisasi
Pengambilan Data Sekunder 1. Hasil Penelitian/Dokumen/Laporan Terumbu Karang 2. Ganbaran Umum wilayah : Kondisi Topografi, Kondisi tanah, Geologi, Hidrologi, Lereng, Vegetasi alam, Oseonografi dan biofisik, sosial dan budaya, Kependudukan, Etnis, Sarana Pendidikan, Sarana Kesehatan, Mata Pencaharian, Tingkat keejahteraan masyarakat, Kondisi Perekonomian, Kegiatan Ekonomi. 3. Citra Satelit. 4. Peta-peta Termatik (tutupan terumbu karang, Peta administrasi, Peta satuan lahan, Peta geologi, Peta arus di perairan lampung, Peta kepadatan penduduk)
1. Jenis Terumbu Karang 2. Jenis Biota Laut 3. Persentase Hidup 4. Kondisi Terumbu Karang 5. Kualitas Perairan 6. Kondisi Oseanografi 7. Titik Koordinat Pengamatan 8. Luas Area Terumbu Karang 9. Indepth Interview 10. LIT dan PRA 11. Arahan Strategi Pengelolaan
Pengolahan dan Analisa Hasi
Dokumentasi
Dokumentasi
Pengumpulan data
Asistensi
1. Buku Laporan akhir (Final Repport) 2. Draf laporan Akhir 3. Data Laporan Akhir (dalam bentuk
Presentasi
CD)
Disetujui/Revisi
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Tidak
Bab III ‐ 3
3.2 Metode Pengumpulan Data Pengambilan data sekunder berasal dari berbagai hasil penelitian, laporan-laporan dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan ekosistem terumbu karang. Data ini merupakan informasi awal yang akan digunakan untuk melihat kondisi wilayah pesisir Teluk Lampung seperti : kondisi topografi, kondisi tanah, iklim, geologi, hidrologi, vegetasi alam, sarana dan prasarana penunjang, kependudukan, sosial ekonomi budaya, oseanografi, perikanan tangkap dan kebijakan secara umum daerah. Selain itu, data sekunder akan digunakan sebagai bahan verifikasi pada saat survei untuk mengumpulkan data primer serta bahan analisa pemetaan terumbu karang.
Gambar 3.2 Ilustrasi di samping menunjukkan tekanan yang diberikan terhadap ekosistem terumbu karang. Dalam kegiatan ini juga akan di gali data sehubungan dengan aktifitas manusia yang berdampak terhadap terumbu karang.
Data sekunder yang diperlukan dalam kegiatan ini antara lain : data citra satelit, data peta tutupan terumbu karang, peta administrasi Propinsi Lampung, peta satuan lahan, peta geologi, peta arus di perairan lampung, peta kepadatan penduduk, peta sebaran suku, data sosial ekonomi dan budaya, data sarana dan prasarana penunjang. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada di berbagai instansi
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 4
pemerintah dan swasta, seperti Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan, BPS, Bappeda Lampung, Bakosurtanal, Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) dan lain-lain. Selain tersebut diatas metode interview/wawancara juga dilakukan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terhadap beberapa responden yang langsung terlibat dalam usaha perikanan karang dan pengelolaan terumbu karang serta wawancara dengan stakeholder wilayah setempat. Untuk mencapai sasaran dari kajian yang dilakukan, data yang diperlukan baik primer maupun sekunder adalah seperti yang akan diuraikan dalam sub bab selanjutnya.
3.2.1 Metode Manta Tow Secara umum, metoda Manta Tow ini digunakan oleh para ahli sekitar tahun 1976 sampai 1990 untuk menghitung jumlah bintang laut berduri (Acanthaster planci) yang berada di atas terumbu karang.
Gambar 3.3
Teknik survey terumbu karang dengan metode Manta Tow, dilakukan dengan menarik seorang pengamat yang di lengkapi dengan papan pencatat data dan alat snorkling lengkap.
Metoda Manta Tow ini digunakan juga di berbagai tempat di dunia seperti di Micronesia, Laut Merah dan di Australia (Great Barrier Reef).
Penelitian dengan menggunakan
metoda Manta Tow sangat mudah pada daerah terumbu karang yang luas dan membutuhkan waktu yang sangat cepat dengan hasil pengamatan yang cukup akurat.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 5
Pada kegiatan ini, Metode Manta Tow akan digunakan untuk mengetahui secara tepat di mana daerah terumbu karang yang masih baik dan daerah terumbu karang yang telah rusak. Kerusakan karang tersebut lebih lanjut dipilah berdasarkan penyebab kerusakannya, seperti kerusakan karang yang disebabkan oleh pemanasan global (bleaching), daerah bekas pengeboman, kerusakan karang akibat badai topan dan juga kematian karang akibat pemangsaan bintang laut berduri dalam skala yang luas. Metoda ini juga bermanfaat untuk memilih lokasi terumbu karang yang baik dan yang terwakili dari luas terumbu karang yang ada untuk dilakukan pengamatan yang lebih teliti yaitu dengan menggunakan metoda Transek Garis (Line Intercept Transect).
Gambar 3.4
Terumbu karang yang rusak akibat dari kegiatan pengeboman, (gambar kiri). Terumbu karang yang mengalami pemutihan akibat kenaikan suhu air laut. Kenaikan suhu air laut ini dipicu oleh gejala iklim El Nino, (gambar kanan).
Adapun langkah-langkah manta tow adalah sebagai berikut : Metode Manta Tow adalah suatu teknik pengamatan terumbu karang dengan cara menarik pengamat dibelakang perahu kecil bermesin dengan menggunakan tali sebagai penghubung antara perahu dengan pengamat. Dengan kecepatan perahu yang tetap dan melintas di atas terumbu karang dengan lama tarikan 2 menit, pengamat akan melihat beberapa obyek yang terlintas serta nilai persentase penutupan karang hidup dan karang mati.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 6
Gambar 3.5
Gambar di atas adalah estimasi dari persentase tutupan karang. Dalam membuat estimasi tersebut sangat di tentukan oleh pengalaman yang dimiliki oleh pengamat.
Perahu dengan berkekuatan kurang lebih 5 PK digunakan untuk menarik pengamat dan dapat memberikan kecepatan yang cukup bagi pengamat untuk melakukan pengamatan dengan baik. Pengamatan ditarik diantara rataan terumbu karang dan tubir (reef edge), dengan kecepatan yang tetap yaitu antara 3 – 5 km/jam atau seperti orang yang berjalan lambat. Bila ada faktor lain yang menghambat seperti arus perairan yang kencang maka kecepatan perahu dapat ditambah sesuai dengan tanda dari pengamat yang berada dibelakang perahu. Pengamatan terumbu karang dilakukan selama 2 menit, kemudian berhenti beberapa saat untuk memberikan waktu bagi pengamat mencatat data-data yang terlihat selama 2 menit pengamatan tersebut ke dalam tabel data yang tersedia di papan manta. Setelah mendapat tanda dari pengamat maka pengamatan dilanjutkan lagi selama 2 menit, begitu seterusnya sampai selesai pada batas lokasi terumbu karang yang diamati.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 7
Dalam pengamatan penutupan karang, pengisian data untuk penutupan karang sebaiknya menggunakan persentase. Hal ini untuk memudahkan pengamat dalam menentukan masing-masing tutupan karang. Pengamat harus memperhatikan total persen dari penjumlahan tutupan karang ditambah dengan pasir dan tutupan lainnya jangan sampai melebihi 100%. Selanjutnya dilakukan pengukuran lebih detail akan dilakukan dengan menggunakan metode Line Intercept Transect.
Gambar 3.6 Manta Board, adalah papan pengamatan yang digunakan sebagai pencatat data, sekaligus sebagai alat pengontrol gerakan pengamat yang ditarik oleh perahu. Dengan menggunakan papan manta ini seorang pengamat dimungkinkan untuk bergerak menyelam atau mempertahankan posisi dipermukaan air.
3.2.2 Metode Line Intercept Transect (LIT) Transek garis (Line Intercept Transect) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menilai kondisi terumbu karang di suatu lokasi. Biota-biota dalam terumbu karang tersebut dimasukkan dalam kategori berdasarkan bentuk pertumbuhannya (bentic lifeform) sehingga metode ini juga disebut dengan metode bentic lifeform atau disebut dengan metode lifeform saja. Asean Australia Marine Project telah mengembangkan metode ini untuk penelitian terumbu karang.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 8
Beberapa keuntungan dari menggunakan metode ini antara lain: 1.
Pengelompokkan biota ke dalam beberapa kategori mempermudah bagi peneliti atau orang yang memiliki kemampuan terbatas dalam identifikasi karang.
2.
Metode ini merupakan metode sampling untuk menghitung persentase tutupan biota yang sangat efisien dan dapat dipercaya.
3.
Hanya memerlukan sedikit peralatan dan relatif sederhana dalam penerapannya.
Dalam melakukan transek garis dengan metode bentic lifeform ini, tidak hanya ditekankan pada karangnya saja akan tetapi meliputi seluruh biota yang berasosiasi dengan karang (alga, spong dan biota lainnya) dan juga abiotiknya. Untuk lebih jelasnya pengelompokan kategori dapat dilihat pada Tabel 3.1. Pengamatan dilakukan pada dua kedalaman yaitu 3 m mewakili perairan dangkal dan 10 m untuk mewakili perairan dalam. Pada dua kedalaman ini yaitu 3 m dan 10 m metode pengamatan bisa dilakukan dengan menggunakan Metode LIT (Line Intercept Transect) dengan cara membuat garis membujur sepanjang 50 m sejajar dengan garis pantai pada daerah tubir yang kemudian dicatat bentuk pertumbuhan (lifeform) dan persen penutupannya. Alat yang digunakan adalah peralatan snorkeling dan SCUBA. Kode HC, SC, SP, , RB, OT, DC ,DCA, MA dan ABT adalah istilah dalam penelitian karang yang merupakan beberapa kategori karang dan biota lain yang ada dimasukkan dalam bentuk pertumbuhannya (benthic lifeform). HC
= Hard Corals (karang batu)
SC
= Soft Corals (karang lunak)
SP
= Sponges (spong)
RB
= (Rubble) pecahan karang mati
OT
= Others (lain-lain) sperti anemone, teripang, gorgonian, kima dan lain-lain.
DC
= Dead Coral (karang mati)
DCA = Dead Coral Alga (karang mati yang ditumbuhi alga) MA
= Macro Alga: alga yang berukuran besar
ABT
= Abiotik = benda benda mati lainya seperti batu dan lain-lain
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 9
Gambar 3.7 Cara pencatatan data koloni karang pada metode transek garis, (gambar atas). Koloni karang masif berukuran besar dianggap dua data, CM, apabila garis meteran melewati algae persis diatas koloni tersebut (English et al, 1994), (Gambar bawah).
Penyelaman di perairan Canti,
Lampung Selatan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 10
Tabel 3.1 Kategori Bentuk Substrat Dasar Bentuk Substrat Dasar Karang Batu (hard corals) Acropora
Kategori
Acropora bercabang (Acropora branching) Acropora meja (Acropora tabulate)
ACB ACT
Acropora merayap (Acropora encrusting)
ACE
Acropora submasif (Acropora submassive) Acropora berjari (Acropora digitate)
ACS ACD
Non‐ Acropora
Karang bercabang (coral branching) Karang masif (coral massive) Karang merayap (coral encrusting)
CB CM CE
Karang Submasif (coral submassive)
CS
Karang lembaran (coral foliose) Karang jamur (coral mushroom) Karang api (Millepora)
CF CMR CME
Karang biru (Heliopora)
CHL
Karang Mati (Dead Scleractina) Karang mati Karang mati yang ditutupi alga
Alga
DC DCA
Alga makro (macro algae) Alga rumput (turf algae)
MA TA
Alga koralin (Coralline algae) Halimeda Kumpulan alga (algae assemblage)
CA HA AA
Fauna Lain Karang lunak (soft corals) Sepon (seponges) Zoanthids Lain‐lain
Abiotik Pasir (sand) Pecahan karang mati (rubble) Lumpur (silt) Celah Batuan vulkanis
SC SP ZO OT
S R SI WA RCK
Keterangan Bentuk bercabang seperti ranking pohon Bentuk bercabang dengan arah mendatar, rata seperti meja Bentuk merayap, biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna Percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh Bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari‐jari tangan
Bentuk bercabang, seperti ranting pohon Bentuknya seperti batu besar yang padat Bentuk merayap hampir seluruh bagian menempel pada substrat Bentuk kokoh dengan tonjolan‐tonjolan atau kolom‐ kolom kecil Bentuk menyerupai lembaran daun Soliter, bentuk seperti jamur Semua jenis karang api, dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh Karang biru, dapat dikenali dengan adanya warna biru pada skeletonnya.
Karang yang baru mati, berwarna putih Karang mati yang masih tampak bentuknya, tapi sudah mulai ditumbuhi alga halus
Alga berukuran besar Alga berukuran halus, menyerupai rumput‐ rumput halus Alga yang mempunyai struktur kapur Alga dari marga Halimeda Terdiri lebih dari satu jenis alga
Karang dengan tubuh lunak Contohnya: Platythoa, Protopalythoa Anemon, teripang, gorgonia, kima dan lain‐lain
Celah dengan kedalaman lebih dari 50 cm Batu vulkanik
Sumber :(P3O-LIPI, 1998)
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 11
Untuk memudahkan dalam pemasukan data, hendaknya data transek garis ditulis mengikuti format transition- categori- taxon, misalnya sebagai berikut:
Tabel 3.2 Data hasil transek Transition
Categori
Taxon
32
CF
58
TA
99
CM
132
S
157
MA
.
.
.
.
.
.
.
.
.
5000
RCK
Montifora foliosa
Porites lutea
Caulerpa rasemosa
Sumber :(P3O-LIPI, 1998)
Gambar 3.8
Ilustrasi di atas menggambarkan teknik Line Interception Transect (LIT) yang dilakukan oleh pengamat. Teknik ini dilakukan dengan menarik seutas meteran di atas tutupan terumbu karang sepanjang 100 m.
3.2.3 Citra Satelit Landsat Selain melalui pengumpulan data primer dan sekunder, pengumpulan data juga dilakukan melalui interpretasi citra satelit. Dalam kegiatan Pemetaan Terumbu Karang di Teluk
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 12
Lampung ini, citra satelit yang digunakan adalah citra Landsat 7 TM, adapun karakteristik produk citra landsat adalah sebagai berikut: A. Karakteristik Landsat Landsat pertama kali dikenal dengan nama Earth Resources Technology Satellite (ERTS) untuk membedakan dengan program satelit oseanografi SEASAT (Sea Satellite). Selanjutnya ERTS-1 ini diubah namanya menjadi Landsat-1 dan seterusnya. Landsat generasi ke dua adalah landsat 4 dan 5 yang masing-masing diluncurkan pada tahun 1982 dan 1984. Satelit ini memiliki orbit polar sunsyncronous. Oleh karena itu satelit ini melewati tempat-tempat pada lintang yang sama dalam waktu lokal yang tetap, dengan periode 98.5 menit dan sudut inklinasi 98.5o. sensor yang dibawa oleh satelit ini adalah MSS (Multi Spectral Scanner) dan TM (Thematic Mapper). B. Sensor MSS (Multi Spectral Scanner) Karakteristik dari sensor MSS ini dapat dilihat pada tabel berikut. Sensor MSS mampu meliput permukaan bumi dengan empat saluran spektral secara simultan melalui sistem optik tunggal. Pada setiap kanalnya ada 6 detektor, sehingga seluruhnya ada 24 detektor. Tabel 3.3 Karakteristik Sensor MSS (Butler et al. 1998) Panjang Gelombang
IFOV Lebar Sapuan Ukuran resolusi Pixel
Kanal 4: 0.5 – 0.6 μm (hijau) Kanal 5: 0.6 – 0.7 μm (merah) Kanal 6: 0.7 – 0.8 μm (IR dekat) Kanal 7: 0.8 – 1.1 μm (IR dekat) 0.086 mrad 185 km 80 x80
C. Sensor TM (Thematic Mapper) Sensor TM digunakan pada Landsat 4 guna memperbaiki resolusi spasial, memisahkan spektral, menambah ketelitian data radiometrik dan gemetrik. Thematic Mapper merupakan suatu sensor optik yang beroperasi pada saluran tampak dan infraerah bahkan saluran spektral. Karakteristik yang dimiliki oleh sensor TM ini dijelaskan pada Tabel 3.4 sebagai berikut :
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 13
Tabel 3.4 Karakteristik Sensor TM (Butler et al. 1998) Panjang Gelombang
Kanal 1: 0.45 – 0.52 μm(violet –biru) Kanal 2: 0.52 – 0.60 μm(hijau) Kanal 3: 0.63 – 0.69 μm(merah) Kanal 4: 0.76 – 0.90 μm(IR dekat) Kanal 5: 1.55 – 1.75 μm(IR menengah) Kanal 6: 10.40 – 12.50 μm(IR thermal jauh) Kanal 7: 2.08 – 2.35 μm(IR menengah)
IFOV
0.043 mrad (kecuali kanal 6: 0/170 mrad)
Lebar Sapuan
185 km
Ukuran Pixel
Resolusi 30 x 30 meter (kecuali kanal 6: 120 x 120 m)
3.2.4 Faktor-Faktor Oseanografi Data Oseanografi diperoleh berdasarkan data sekunder dari instansi terkait di Pemerintah Provinsi Lampung dan Kabupaten/Kota di sekitar Teluk Lampung. Pasang surut air laut Pasang surut (pasut) merupakan proses naik turunnya muka laut yang hampir teratur, yang dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari secara harian. Jika suatu perairan mengalami satu kali pasang dan surut per hari, maka kawasan tersebut dikatakan bertipe pasang surut tunggal. Jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari, maka dikatakan bertipe pasang surut ganda. Tipe pasang surut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda, yang dikenal sebagai pasang surut campuran. Arus dan gelombang Umumnya kondisi gelombang disuatu perairan diperoleh secara tidak langsung dari data angin yang terdapat di kawasan perairan tersebut. Hal ini didasarkan atas kondisi umum yang berlaku di laut, yaitu sebagian besar gelombang yang ditemui di laut dibentuk oleh energi yang ditimbulkan oleh tiupan angin. Pengukuran gelombang diamati berdasarkan type, dan interval waktu serta tingkat pemecahan gelombang dan amplitudonya.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 14
3.2.5 Sosial Ekonomi dan Budaya Komponen yang ditelaah meliputi: data sosial budaya (penduduk, tingkat pendidikan, perumahan,kesehatan dan etnis/adat), data sosial ekonomi (mata pencaharian penduduk, tingkat pendapatan, pola pemanfaatan sumberdaya alam dan pertumbuhan ekonomi lokal), data sarana dan prasarana penunjang (pendidikan, kesehatan, transportasi, telekomunikasi, perdagangan, jasa, dan lain-lain). Data sosial ekonomi dan budaya yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dan informasi tentang sosial ekonomi dan budaya di lokasi studi menggunakan metode pengamatan langsung di lapangan dan kajian cepat (Rapid Rural Appraisal-RRA). Data primer akan diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap penduduk yang dipilih secara purposive dan secara acidental dan disamping itu dilakukan juga observasi atau pengamatan langsung di lapangan. Wawancara dilakukan secara perorangan maupun kelompok dalam bentuk diskusi kelompok terarah (focussed discussion group). Khusus untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungan, selain wawancara juga dilakukan public hearing. Kebudayaan dilokasi studi diamati dengan mencatat data dan informasi tentang adat istiadat, kesenian, budaya dan kelembagaan masyarakat. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai dokumen dan atau informasi dari beberapa sumber instansi yang relevan seperti pemerintahan baik tingkat kecamatan maupun tingkat desa, Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung, Dinas Kehutanan Lampung Barat, BPS, Bappeda, BPLH Lampung dan sebagainya.
3.3 ANALISIS DATA Data yang diperoleh dari hasil survei kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data. Analisis data yang dilakukan antara lain : 3.3.1 Analisis Data Terumbu Karang Dilakukan dengan menganalisa data penyelaman dan melakukan verifikasi dengan menggunakan citra satelit. Analisis kuantitatif yang dilakukan adalah penutupan terumbu karang.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 15
Penutupan terumbu karang adalah persentase penutupan suatu jenis karang hidup pada suatu areal tertentu yang dihitung dengan persamaan Yap dan Gomes (1988) dan English et al. (1994) dan Kepmen LH no: 4 tahun 2001 tentang kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang:
dimana : li
= panjang transek yang melalui life form ke-i
l
= panjang garis transek
C = persen tutupan karang
Kategori kondisi penutupan karang: 75 - 100%
: Sangat Baik;
50 – 74,9%
: Baik;
25 – 49,9%
: Sedang;
0 - 24,9%
: Rusak/Buruk.
3.3.2 Analisis Citra Satelit Analisis citra satelit menggunakan software ER Mapper 6.4. Hasil analisis citra berupa data luasan terumbu karang. Sedangkan tahapan analisis citra adalah sebagai berikut: a. Koreksi terhadap citra b. Interpretasi terhadap terumbu karang c. Melakukan pengukuran luas terhadap hasil interpretasi. d. Melakukan survei lapangan untuk verifikasi hasil analisis citra. Penggabungan klas dan perapian hasil klasifikasi dengan digitizion on screen. Adapun kombinasi band yang yang umum digunakan pada saat penafsiran citra satelit secara manual/visual yaitu 4-5-3 dan 5-4-2 dimana berbagai kenampakkan vegetasi baik alami maupun yang ditanam dapat terlihat dengan jelas. Untuk mempermudah pengenalan tipe-tipe penutup lahan pada suatu citra, dapat digunakan kunci penafsiran yang dikembangkan untuk penafsiran citra Landsat-TM warna tidak standar (band 2-3-4). Namun hal ini bisa pula diterapkan pada citra dengan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 16
kombinasi band lainnya dengan menerapkan elemen-elemen penafsiran lainnya selain warna.
Kunci eliminasi teresebut pada prinsipnya disusun agar interpretasi berlanjut
langkah demi langkah dari yang umum ke yang khusus, dan kemudian menyisihkan semua kenampakan atau kondisi kecuali satu yang diidentifikasi. Kunci eliminasi sering tampil dalam bentuk kunci dua pilihan (dichotomous key) dimana penafsir dapat melakukan serangkaian pilihan antara dua alternatif dan menghilangkan secara langsung semuanya, kecuali satu jawaban yang mungkin (Lillesand & Kiefer, 1990). Untuk penafsiran manual/visual (on screen digitation), perlu memperhatikan pola jaringan sungai, danau atau garis pantai didelineasi yang diikuti dengan pola jaringan jalan, hal ini akan membantu dalam penafsiran obyek-obyek atau vegetasi yang terliput pada citra yang ada. Selanjutnya dilakukan deteksi pada obyek-obyek dengan melakukan delineasi batas luar pada kelompok yang yang mempunyai warna yang sama dan memisahkannya dari yang lain. Langkah terakhir adalah mengidentifikasi dan analisis obyek atau tipe vegetasi dengan menggunakan informasi spasial seperti ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan asosiasi dan situs (Lillesand dan Kiefer, 1990; Sutanto, 1985). Integrasi data hasil klasifikasi penginderaan jauh dan GIS dilakukan dengan cara menggabungkan citra hasil klasifikasi awal dengan peta referensi. Langkah yang dilakukan adalah melakukan overlay data digital citra asli dan hasil klasifikasi teracu dengan petapeta penunjang.
A. Pemotongan Citra Suatu wahana satelit akan merekam data pada suatu daerah yang sangat luas degan skala yang sangat kecil. Oleh karena itu perlu dilakukan pemotongan citra (cropping) sesuai dengan daerah penelitian untuk memperjelas dan mempermudah pengenalan serta interpretasi suatu kenampakan (feature).
B. Koreksi Radiometrik Secara umum kesalahan radiometrik disebabkan oleh 2 faktor yaitu: 1. Kesalahan Respon Detektor Untuk mengkonversi energi cahaya yang direkam menjadi voltage atau digital number
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 17
(DN) sistem sensor penginderaan jauh menggunakan detektor. Sensor Thematic Mapper (TM) menggunakan 16 detektor yang berfungsi pada waktu menscan permukaan bumi untuk mengatur energi visible, near dan middle infrared. Detektor mempunyai beberapa keterbatasan/kelemahan yang dapat menyebabkan kesalahan seperti line dropout, stripping dan line strart. 2. Pengaruh Atmosfir Atmosfir bumi mempunyai efek menghalangi karena terjadinya proses pemencaran (atmospheric scattaering) dan penyerapan (atmospheric absorbtion) oleh uap air atau gasgas lainnya.
Interaksi ini menyebabkan distorsi radiometrik eksternal yang tidak
sistematik. Pada citra, pengaruh scattering akan menyebabkan meningkatnya kecerahan (brightness), sementara penyerapan oleh atmosfir akan menyebabkan menurunnya brightness. Masalah pengaruh atmosfir ini akan tampak apabila kita ingin membandingkan spektral pada suatu lokasi yang direkam pada waktu yang berbeda. Koreksi radiometrik akibat atmosfir ini bisa dilakukan dengan dua teknik pendekatan yaitu atas dasar suatu bahwa data yang direkam menggunakan band visible ( ג0.4 – 0.7 µm) sebagian besar bebas dari pengaruhnya. Ada 2 teknik koreksi radiometrik yaitu dengan cara pengaturan histogram (histogram adjustment) dan pengaturan regresi (regression adjustment). Dalam penelitian ini, koreksi yang digunakan adalah histogram adjusment. Operasinya didasarkan pada pengurangan sebesar bias dari masig-masing band. Cara menentukan bias masing-masing band adalah dengan cara mencari nilai minimum DN pada setiap band. Secara matematik, koeksi pengaruh atmosfir dengan pengaturan histogram adalah: DN i,j,k (output: terkoreksi) = DN i,j,k (input: asli) – Bias C. Koreksi Geometrik Data penginderaan jauh biasanya mengandung distorsi geometris sistematis dan yang tidak sistematis. Distorsi/kesalahan tersebut dapat dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Yang dapat dikoreksi menggunakan sejumlah titik-titik kontrol lapangan (ground Control Point) yang cukup. GCP adalah suatu titik pada permukaan bumi yang diketahui koordinatnya baik pada citra (kolom/pixel dan baris) maupun pada peta (yang diukur dalam derajat lintang, bujur, feet atau meter). Penyebab terjadinya distorsi geometrik ini antara lain adalah: terjadinya rotasi bumi pada
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 18
saat perekaman, pengaruh kelengkungan bumi, efek panoramik (sudut pandang), pengaruh topografi serta pengaruh gravitasi bumi yang menyebabkan terjadinya perubahanan ketinggian satelit dan ketidakstabilan ketinggian platform. Rektifikasi adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan peta. Atas dasar data acuan yang digunakan, rektifikasi dapat dibedakan atas : 1. Registrasi citra ke citra (image to image rectification) 2. Rektifikasi citra ke peta (image to map rectification) Dalam melakukan koreksi geometric, GCP yang dipilih harus tersebar merata pada seluruh citra, relative permanent, tidak berubah dalam kurun waktu yang pendek (seperti jalan, jembatan, sudut bangunan dan sebagainya). Setelah GCP terpilih, didapatkan nilai akar kesalahan rata-rata kuadrat (Root Mean Square Error) untuk masing-masing GCP. Dianjurkan agar RMSE lebih kecil dari 0.5 pixel. Jika RMSE masih lebih besar dari ketelitian yang diinginkan (>0.5 pixel) maka perlu dilakukan penghapusan pada GCP yang memberikan RMSE terbesar. Proses ini dilanjutkan sampai dengan RMSE lebih kecil dari yang diinginkan. D. Penajaman Citra Penajaman citra dilakukan guna memperjelas kenampakan suatu obyek agar didapatkan citra yang lebih informasi. Teknik penajaman citra untuk pemetaan sebaran terumbu karang antara lain dengan FCC (False Color Composite), algoritme SWIM (Shallow Water Image Mapping) dan algoritme Lyzenga. False Color Composite dilakukan dengan cara meletakkan tiga buah filter warna yaitu merah, hijau dan biru secara tumpang tindih (overlay). Kanal yang digunakan adalah kanal 4,2, dan 1. Kombinasi kanal ini dipilih karena kanal 1 dan 2 merupakan kanal sinar tampak yang mempunyai daya penetrasi dalam kolom air yang cukup baik. Sedangkan kanal 4 dipilih karena dapat membedakan batas antara darat dan laut dengan jelas. Metode yang kedua adalah menggunakan algoritme SWIM yang dikembangkan oleh Bierwirth. Metode ini dilakukan dengan cara membuat komposit untuk filter warna merah, hijau dan biru dengan input kanal 1,2,3 serta algoritme sebagai berikut: Filter warna merah : TM3/(TM1 + TM2+ TM3)
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 19
Filter warna hijau
: TM2/(TM1 + TM2+ TM3)
Filter warna biru
: TM1/(TM1 + TM2+ TM3)
Metode yang ketiga adalah dengan menggunakan algoritme Lyzenga yang dikembangkan oleh (Siregar et al. 1995) menjadi: Y = ln(TM1) + ki/kj* ln(TM2) Y merupakan citra baru yang merupakan kombinasi dari kanal 1 dan 2. Untuk mendapatkan nilai koefisien ki/kj dilakukan training area pada citra asli sebanyak ± 30 titik. Selanjutnya melalui perhitungan statistik diperoleh nilai rata-rata untuk setiap kanal. Namur dalam proses ini hanya nilai rata-rata kanal 1 dan 2 yang digunakan karena kanal tersebut diasumsikan memiliki daya penetrasi yang baik dalam kolom air. Kemudian dicari nilai varian dan kovarian untuk kedua kanal guna mendapatkan nilai a dan ki/kj. Persamaan yang digunakan untuk mencari nilai tersebut adalah : Ki/kj = a + √(a2 + 1) a = (var TM1 – var TM2)/(2*cover TM1 TM2) dimana: TM1 : Kanal 1 landsat TM TM2 : Kanal 2 landsat TM Ki
: Koefisien atenuasi air pada גi
Kj
: Koefisien atenuasi air pada גj
Dalam penelitian ini digunakan metode dengan mengunakan algoritme Lyzenga, karena tampilan dari hasil algoritme ini memberikan hasil yang lebih baik informatif bila dibandingkan dengan cara lainnya.
Sehingga untuk langkah selanjutnya citra hasil
algoritme Lyzenga inilah yang digunakan.
E. Klasifikasi Citra Klasifikasi merupakan proses mengelompokkan pixel-pixel ke dalam kelas- kelas atau kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value/BV atau digital numbering/DN) pixel yang bersangkutan. Pada penelitian ini dilakukan klasifikasi kuantitatif dimana pengelompokkan dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 20
nilai kecerahan (BV atau DN) contoh yang diambil sebagai area contoh (training area). Klasifikasi kuantitatif apat dilakukan dengan 2 metode yaitu: klasifikasi terbimbing dan klasifikasi tidak terbimbing. Klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi tidak terbimbing dimana memerlukan sedikit campur tangan analis, karena operasi numerik dilakukan secara otomatis dengan mencari group secara alamiah berdasarkan sifat-sifat spektral pixel bersangkutan. Disini analisis memerintahkan komputer untuk mencari nilai rata-rata kelas dan matrik ragam-ragamnya yang akan digunakan adalam klasifikasi. Dalam penelitian ini, citra hasil algoritme Lyzenga inilah yang dikelaskan menjadi 30 kelas. F. Editing Proses ini dilakukan pada citra klasifikasi dengan mengacu pada citra hasil transformasi Lyzenga.
Proses editing dilakukan agar citra tampak lebih baik, terutama untuk
mengeleminir awan, stripping pada kelas laut dan kesalahan klasifikasi. G. Reclass Citra klasifikasi yang telah diedit, dikelaskan kembali (reclass) menjadi 7 kelas untuk memperoleh hasil yang lebih informatif. Kelas-kelas tersebut adalah: kelas karang hidup, karang mati, pasir 1, lamun, pasir 2, darat dan laut. 3.3.3. Analisis Sosial, Ekonomi dan Budaya Analisis sosial ekonomi dan budaya dianalisis menggunakan metode statistik non parametrik (SPSS), berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan stakeholder terkait. 3.3.4. Analisis Arahan Pengelolaan dan Pemanfaatan Terumbu Karang Data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif, tabulasi dan kuantitatif. Setelah diperoleh masukan informasi yang lengkap dari semua masyarakat, yang telibat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang, selanjutnya akan dilakukan analisis data dan informasi dengan memperhatikan kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangannya atau dikenal dengan metode SWOT.
Analisis
dilakukan dengan menerapkan kriteria kesesuaian, dengan menggunakan data kuantitatif,
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 21
maupun dengan deskripsi keadaan, sehingga dapat dilakukan yang dinamakan “Weakness and Threat Management”, dan “Conflict Management”. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT ini adalah : 1. Identifikasi Kekuatan/Kelemahan dan Peluang/Ancaman Mengidentifikasi potensi wilayah baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam dengan
melihat
kekuatan/strengths
(S),
kelemahan/weaknesses
(W),
peluang/opportunities (O) dan ancaman/threats (T) terhadap ekosistem terumbu karang. 2. Analisis SWOT Dalam menentukan strategi yang terbaik, dilakukan pemberian bobot nilai terhadap tiap unsur SWOT. Setelah masing-masing unsur SWOT diberi nilai/bobot, unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif strategi (SO, ST, WO, WT). 3. Alternatif Strategi Hasil Analisis SWOT Alternatif strategi yang dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST), pengurangan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT). Dengan alat (tools) analisis ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan untuk menyusun suatu kerangka kerja dalam melaksanakan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem terumbu karang.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab III ‐ 22
Bab 4. PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN PERMASALAHANNYA
4.1 Pemetaan Terumbu Karang Teluk Lampung Umumnya terumbu karang di Teluk Lampung adalah jenis “fringing reefs” (karang tepi). Berdasarkan hasil analisis citra Landsat ETM 7 luas total terumbu karang di Teluk Lampung ± 4823,493 Ha. Hasil pemetaan terumbu karang di Teluk Lampung dengan skala peta 1 : 50.000, tertuang dalam Lampiran Peta (bagian belakang) berisi luasan karang per lokasi, sebaran karang dan kondisi terumbu karang berdasarkan penyelaman. Sebaran vertikal terumbu karang pada lokasi penelitian umumnya tidak terlalu dalam. Pada kedalaman lebih dari 15 meter keberadaan terumbu karang sudah sangat berkurang dibandingkan dengan kedalaman diatasnya.
Substrat yang ada di
kedalaman dibawah 15 meter hanya merupakan hamparan pasir dengan sedimen lumpur diatas permukaaanya. Terbatasnya sebaran karang secara vertikal sangat dipengaruhi oleh tipe substrat dasar, dimana pada kedalaman lebih 15 meter pada hampir semua lokasi penyelaman tidak ditemukan dasar yang keras bagi pertumbuhan karang dan berkurangnya sinar matahari. Umumnya terumbu karang yang dekat pantai sangat dipengaruhi sedimentasi yang tinggi dari daratan dan aktivitas pemboman di perairan Teluk Lampung yang hingga kini masih kerap terjadi. Tingginya sedimentasi akibat pembukaan lahan atas untuk pemukiman dan pertanian, penebangan mangrove dan pembukaan tambak. Pertumbuhan karang secara umum didominasi oleh karang yang bentuk hidupnya merayap (encrusting), bercabang (branching) dan lembaran (foliose) terutama dari famili Acroporidae, Pocilloporidae, Poritidae dan Faviidae, karena secara
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 1
ekologi ke empat famili ini merupakan famili penyusun utama terumbu karang.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 2
Tabel 4.1 Persentase Tutupan dan Kondisi Karang dari Beberapa Lokasi Penyelaman di Teluk Lampung. Kode Lokasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Lokasi Penyelaman
Site Description
Pulau Tangkil Teluk Pulau Tegal Pulau Maitem Pulau Kelagian Pulau Puhawang Pulau Siuncal Pulau Legundi Teluk Selesung (Legundi) Pulau Unang‐unang Pulau Seserot Teluk Kucangreang Pulau Balak Pulau Lok Gosong Pulau Lok Pulau Lunik Gosong Lunikan Tajung Putus (1) Tanjung Putus (2) Pulau Lelangga Balak Pulau Lelangga Lunik Pulau Puhawang Lunik Pantai Ketapang Pantai Canti Pulau Tiga Lana Pulau Tiga Lok Pulau Tiga Damar Pulau Sebuku Pulau Elang (Sebuku Kecil) Pulau Sebesi Pulau Umang‐umang Pelabuhan Kaliandak Pantai Pasir Putih Lokasi Batu Bara Pulau Sulah (1) Pulau Sulah (2) Pulau Condong Laut Pulau Condong Darat Tanjung Selaki Merak Belantung (1) Merak Belantung (2) Pantai Puri Gading Gudang Lelang Pulau Kubur Pulau Tegal
Upper Fore Reef Upper Fore Reef Upper Fore Reef Lower Fore Reef Lower Fore Reef Upper Fore Reef Lower Fore Reef Upper Fore Reef Upper Fore Reef Upper Fore Reef Reef Flat Reef Flat Fore Reef Reef Flat Reef Flat Reef Flat Reef Flat Reef Flat Reef Flat Upper Fore Reef Reef Flat Reef Flat Reef Flat Fore Reef Fore Reef Fore Reef Upper Fore Reef Reef Flat Lower Fore Reef Reef Flat Reef Flat Reef Flat Reef Flat Upper Fore Reef Lower Fore Reef Lower Fore Reef Reef Flat Reef Flat Reef Flat Reef Flat Back Reef Back Reef Back Reef Lower Fore Reef RATA‐RATA
Lintang Selatan 05 30 35 05 33 53.40 05 35 33.50 05 37 08.97 05 39 44.10 05 48 06 05 47 69.84 05 47 23.74 05 47 25.95 05 47 35.77 05 46 24.06 05 45 10.10 05 44 42.90 05 44 31.96 05 44 22.25 05 44 26.70 05 43 46.94 05 43 46.65 05 43 45.75 05 43 10.40 05 40 35.30 05 35 33.50 05 48 01.30 05 48 52.38 05 48 59.65 05 49 9.05 05 50 48.40 05 52 40.11 05 55 11.26 05 55 33.99 05 44 39.61 05 33 32.24 05 31 48.90 05 32 45.22 05 32 48.36 05 33 25.65 05 33 25 05 37 23.44 05 40 29.86 05 41 31.45 05 28 9.21 05 27 18.45 05 29 14.30 05 34 5.53
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bujur Timur 105 16 10.7 105 16 43.60 105 16 44.60 105 13 08.28 105 12 27.8 105 18 50.90 105 17 56 105 17 36.4 105 16 44.03 105 14 52.12 105 13 2.65 105 10 39.70 105 10 35.20 105 10 46.32 105 10 26.57 105 10 16.30 105 12 40.23 105 12 32.83 105 13 46.31 105 14 32.10 105 14 24.60 105 13 59.40 105 34 58.2 105 32 37.15 105 32 46.30 105 33 0.96 105 31 45 105 32 29.67 105 30 3.18 105 31 57.11 105 35 10.60 105 22 0.94 105 21 14.37 105 20 44.12 105 20 35.98 105 20 28.87 105 20 54.63 105 24 18.21 105 32 32.95 105 31 59.03 105 15 27.69 105 16 14.20 105 15 29.80 105 16 7.98
Hard Coral (Acropora)
Hard Coral (Non Acropora)
Dead Scleractinia
Algae
Other Fauna
30 8 20 16.28 9.18 5.74 0 1.89 10.53 8.89 0.52 35 11 6.82 0 9.95 7.14 12 24.6 10 2 9 0 0 0 0 13.8 0 5.6 21.6 2 23 20 13.5 29.63 28.8 27.27 36.14 0 0 0 0 0 8 11
3 38 22.5 45.63 29.18 42.01 10.97 27.82 25.47 26.67 2.06 16 30 12.16 0 39.3 32.14 50 10 14 22 50 15.8 16 26 19 10.13 12 15.4 25.4 10 2 8 10.5 14.81 12 17.27 0 11 8 0 0 0 39 19
30 24 12 14.97 11.12 5.36 10 13 10.53 4.44 44.33 9 5.5 10 0 10.95 35.71 8 27 20 30 13 16 4 2 0 16.46 72 4 12 0 0 20 7 38.89 15.8 12.73 0 0 15 0 0 0 26 14
0 6 8 0 10 1.44 3.42 5.25 7.37 0 2.37 0 4.5 3.41 0 1.11 3.57 0 0 0 5 18 11 12 4 12 1.27 0 7 10 42 17 2 0 0 12 4.55 49.57 55 51 0 0 0 0 8
2 8 22.5 5.03 5.1 31.87 28.77 11.13 4.2 3.33 25.46 7 14.8 3.41 0 11.46 0 8 14.4 16 0 5 19 15 16 12 2.66 0 19 15 0 0 1 0 7.41 0 0 0 0 0 0 24 33.33 2 9
Bab IV - 3
Sand 24 3 5 17.09 19.39 3.82 0 0 1.58 7.78 25.26 23 14 45.45 100 17.69 7.14 12 14 24 18 0 22 18 21 29 54.43 16 23 8 46 27 8 39 9.26 18 18.18 0 26 25 87 68 66.67 9 23
ABIOTIK Rubble 11 13 10 1.01 16.02 9.76 46.84 40.91 40.32 48.89 0 10 20.2 18.75 0 9.55 14.29 10 10 16 23 5 16.2 35 31 28 1.27 0 26 8 0 31 0 30 0 13.4 20 14.29 8 1 0 0 0 16 15
Silt 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 41 0 0 0 0 0 0 0 13 8 0 0 1
% Karang Hidup
% Karang Mati
Kategori
33 46 42.5 61.91 38.36 47.75 10.97 29.71 36 35.56 2.58 51 41 18.98 0 49.25 39.28 62 34.6 24 24 59 15.8 16 26 19 23.93 12 21 47 12 25 28 24 44.44 40.8 44.54 36.14 11 8 0 0 0 47 29
30 24 12 14.97 11.12 5.36 10 13 10.53 4.44 44.33 9 5.5 10 0 10.95 35.71 8 27 20 30 13 16 4 2 0 16.46 72 4 12 0 0 20 7 38.89 15.8 12.73 0 0 15 0 0 0 26 14
Sedang Sedang Sedang Baik Sedang Sedang Buruk Sedang Sedang Sedang Buruk Baik Sedang Buruk Buruk Sedang Sedang Baik Sedang Buruk Buruk Baik Buruk Buruk Sedang Buruk Buruk Buruk Buruk Sedang Buruk Buruk Sedang Buruk Sedang Sedang Sedang Sedang Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Sedang
Tabel 4.1 adalah persentase penutupan karang dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung. Kriteria persentase karang hidup menurut Yap dan Gomes (1988) dan Keputusan Menteri Negera Lingkungan Hidup No. 4 tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang bahwa kategori kondisi penutupan karang hidup : 75 – 100 % : Sangat Baik; 50 – 74.9 % : Baik; 25 – 49.9 % : Sedang; 0 - 24.9 % : rusak/buruk. Berdasarkan kriteria di atas, persentasi tutupan karang hidup sebagai indikator kerusakan terumbu karang di Teluk Lampung termasuk dalam kriteria buruk (rusak) sampai baik. Dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung, kondisi terumbu karang dalam kondisi baik 4 lokasi, kondisi buruk (rusak) ditemukan sebanyak 20 lokasi dan kondisi sedang sebanyak 20 lokasi. Terumbu karang dalam kondisi baik terdapat di perairan Pulau Kelagian, Pulau Balak, Tanjung Putus, dan Pantai Ketapang. Persentase tutupan karang dan kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Teluk Lampung secara umum digambarkan dalam grafik penutupan karang sebagai berikut :
Grafik Grafik persentase tutupan karang di Teluk Lampung 4.1 Dari grafik di atas diperoleh gambaran bahwa kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Teluk Lampung dalam kondisi sedang. Namun perlu diperhatikan bahwa persentase pecahan karang yang diduga kuat akibat kegiatan pengeboman ikan di seluruh Teluk Lampung ada dalam angka 15 %. Angka ini termasuk tinggi mengingat bila tidak ada upaya serius dari pemerintah dan masyarakat, maka masyarakat di sekitar
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 4
Teluk Lampung akan mengalami kerugian ekonomi dan lingkungan pada setiap meter persegi terumbu karang yang rusak karena kegiatan pengeboman.
Gambar 4.1 Penambangan terumbu karang untuk bahan bangunan di Lempasing turut memperparah kondisi terumbu karang di Teluk Lampung selain aktifitas pengeboman
Persentase rata-rata tutupan fauna lain (other fauna) di Teluk Lampung adalah 9 % yang sebagian besar terdiri dari karang lunak (soft coral), spons (sponge) dan lain lain. Tutupan rata-rata karang lunak di perairan Teluk Lampung adalah 4%. Karang lunak ini sebagian besar hidup di perairan yang berpasir atau di atas hamparan pecahan karang mati (rubble).
Kehadiran karang lunak tersebut mengindikasikan
bahwa di areal tersebut ada gejala karang akan pulih. Namun untuk kondisi perairan Teluk Lampung yang padat dengan aktifitas manusia, areal karang yang menuju pulih harus mendapat campur tangan manusia untuk melindungi area pemulihan tersebut, sehingga sampai batas waktu tertentu area tersebut benar-benar terbebas dari gangguan yang destruktif. Sebagian besar karang lunak yang menyusun ekosistem terumbu karang di perairan Teluk Lampung adalah dari marga Sinularia, seperti Sinularia polydactyla, Sinularia flexibilis, Sinularia brassica, Sinularia querciformis, dan Sinularia variabilis. Selain itu karang lunak dari marga Sarcophyton, Lobophytum, Nepthea, Litophyton, Xenia, dan Dendronephtya juga banyak ditemui selama penyelaman dilakukan.
Marga
Dendronephtya dikenal sebagai marga karang lunak yang memiliki warna-warni yang cerah dan indah.
Keberadaan karang lunak ini di suatu perairan adalah sensasi
tersendiri bagi penyelam pada umumnya. Berikut dibawah ini disajikan beberapa spesies karang lunak di Teluk Lampung.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 5
Halymenia durvillaei
Sinularia sp.
Sinularia flexibilis
Dendronephthya kukenthal
Sponge adalah biota dengan bentuk unik yang tersebar di seluruh ekosistem karang di Teluk Lampung. Pada saat penyelaman dilakukan biota ini dapat ditemukan disetiap kedalaman, mulai dari kedalaman 0.5 meter hingga kedalaman 10 meter. Berdasarkan hasil suvey diperoleh persentase rata-rata tutupan sponge di Teluk Lampung adalah sebesar 0.06%. Beberapa jenis sponge yang teridentifikasi selama penelitian atara lain adalah Clatria reinwardti., Stylissa carteri, Theonella swinhoei, Xestospongia sp., Callyspongia aerizusa, Acervochalina sp., Cinachyra sp., dan Petrosia nigricans. Di bawah ini beberapa contoh spesies spons yang ada di perairan Teluk Lampung.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 6
Stylissa carteri
Xestospongia sp.
Callyspongia aerizusa
Ircinia sp.
Lamun atau Seagrass adalah tumbuhan tingkat tinggi yang terdapat dan tumbuh baik di zona reef flat (dangkal). Padang Lamun yang cukup luas dan mencolok dapat ditemukan di perairan Teluk Pulau Tegal.
Sebagian besar spesies pembentuk
hamparan lamun di Teluk Lampung adalah Enhalus acoroides. Selain itu ditemukan pula hamparan lamun yang terbentuk dari marga Halophila, Cymodocea, dan Thalassia.
Enhalus acoroides (Seagrass)
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 7
Algae adalah tumbuhan dengan tingkatan yang lebih rendah dibandingkan dengan biota lamun. Persentase rata-rata tutupan algae di Teluk Lampung adalah sebesar 8%. Sebagian besar tutupan karang yang ditemui selama pengamatan didominasi oleh makro alga dari marga Sargassum dan Padina. Beberapa spesies alga yang biasa ditemukan di perairan Teluk Lampung antara lain adalah Sargassum duplicatum, Padina commersoni, Turbinaria decurrens, dan Ulva fasciata.
Halimeda micronesica
Caulerpa racemosa
Sargassum echinocarpum
Actinotrichia fragilis.
Dalam beberapa kasus, keberadaan lamun dan makro alga yang dapat hidup subur di suatu perairan menandakan bahwa secara alami di perairan tersebut berpotensi untuk usaha budidaya rumput laut. Budidaya rumput laut dimungkinkan di suatu lokasi dengan karakter perairan yang dangkal dan berarus lemah hingga sedang.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 8
4.1.1 Pulau Tangkil Pengamatan di pulau ini dilakukan di sebelah utara pulau pada titik koordinat 05°30’35” LS - 105°16’10.7” BT. Penyelaman dilakukan di perairan yang relatif tenang dengan angin ke arah timur (3 knot), dan dalam kondisi air surut sehingga arus laut bergerak lemah ke arah tenggara. Kondisi terumbu karang pada kedalaman 5 meter di pulau ini dapat dilihat pada Grafik 4.2 dibawah ini.
Grafik Grafik persentase tutupan karang di Pulau Tangkil 4.2
Tutupan karang keras (HC) di perairan Pulau Tangkil pada kedalaman 5 meter adalah 33 %, yang tersusun dari genus Acropora (30 %) dan genus Non Acropora (3 %). Fauna lain (OT) yang didominasi oleh Karang Lunak (Sinularia polydactyla) memiliki tutupan sebesar 2 %. Tutupan karang mati (DS) di perairan ini cukup besar (30 %), yang diduga disebabkan karena sering tertutup endapan dan tersebarnya sampah di dasar perairan akibat kegiatan wisata yang cukup tinggi di Pulau ini.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 9
Gambar Pulau Tangkil (atas), ikan Amphiprion sp. (kiri bawah), dan 4.2 terumbu karang yang hancur akibat aktifitas pengeboman (kanan bawah)
Pulau Tangkil selain menjadi tujuan wisata yang paling diminati oleh masyarakat di Bandar Lampung dan sekitarnya selain karena aksesnya yang mudah di jangkau dari Pantai Mutun, pulau ini juga menjadi sasaran ilegal fishing yaitu kegiatan pengeboman ikan yang dilakukan oleh oknum nelayan yang beroperasi di Teluk Lampung. Ini terlihat dari besarnya persentase tutupan pecahan karang (rubble) sebesar 35 %. Secara umum persentase tutupan terumbu karang dari hasil pengamatan di pulau ini termasuk dalam kategori SEDANG berdasarkan Keputusan Menteri Negera Lingkungan Hidup No. 4 tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang.
4.1.2 Pulau Tegal Pulau Tegal, kini secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Pesawaran, dan merupakan pulau yang paling dekat dengan sentra kegiatan budidaya laut (marine
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 10
culture) yang ada di Teluk Lampung. Pulau ini juga merupakan pulau wisata dengan akses masuk dari Pantai Ringgung. Kegiatan budidaya laut yang ada di sekitar perairan pulau antara lain adalah budidaya kerang mutiara, budidaya ikan kerapu dengan menggunakan bagan apung dan lain-lain. Pengamatan kondisi terumbu karang di pulau ini dilakukan di Teluk Tegal (0533’53,40” LS - 10516’43,60” BT), sebuah teluk di sebelah timur pulau dan pantai bagian barat pulau (5°34'5.53" LS - 105°16'7.98" BT) yang berhadapan langsung dengan daratan Sumatera. Kondisi perairan di teluk ini tenang pada saat pengamatan dilakukan. Teluk Tegal memiliki hamparan padang lamun (Enhallus acoroides) hingga sejauh 50 meter dari garis pantai. Menurut penuturan penduduk setempat di hamparan lamun ini sering ditemukan penyu yang sedang mencari makan. Pantai di bagian barat pulau memiliki hamparan karang hingga 50 meter dari garis pantai. Tutupan karang di pantai ini mulai jarang (poor) ditemukan pada kedalaman 10 meter.
Gambar Sebagian dari Teluk Tegal yang sering digunakan oleh kapal‐kapal ikan untuk beristirahat 4.3 (atas), karang mati yang sudah ditumbuhi alga (kiri bawah), dan bongkahan karang besar yang pecah akibat aktifitas pengeboman ikan (kanan bawah).
Persentasi tutupan karang mati di Teluk Tegal cukup besar (24 %), dan pecahan karang (rubble) ditemukan tersebar diseluruh teluk terutama di area tubir karang (fore reef).
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 11
Tutupan pecahan karang ini sebesar 13 % yang diduga kuat akibat dari aktifitas pengeboman ikan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan yang beroperasi di Teluk Lampung. Secara lengkap komposisi tutupan terumbu karang di Teluk Tegal dapat dilihat pada grafik sebagai berikut :
Tutupan karang hidup di perairan ini di dominasi oleh karang dengan bentuk tumbuh karang daun sebesar 19 % (Montipora florida, Turbinaria reniformis), karang masif (Favia lacuna, Favites abdita, dan Porites mayeri) sebesar 16 %, dan karang bercabang (Pocillopora damicornis, Acropora nobilis) sebesar 3 %. Berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang maka kondisi terumbu karang di perairan Teluk Tegal termasuk dalam kategori SEDANG.
Gambar 4.4 Kondisi terumbu karang yang masih baik di Teluk Tegal menjadi tempat berlindung dan pengasuhan (nursery ground) bagi anak‐ anak ikan di perairan ini.
Tutupan karang di pantai barat Pulau Tegal termasuk dalam kategori sedang dengan persentase karang hidup 47 % yang didominasi oleh karang daun 33 %, Acropora bercabang 8 %, karang masif 6 %, dan karang jari 5 %.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 12
Sementara itu karang mati 26 % dan pecahan karang mati sebesar 16 % banyak terlihat di sepanjang dasar perairan akibat dari penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan akibat jangkar perahu, yang hilir-mudik dari daratan Sumatera ke Pulau Tegal sebagai sarana transportasi rutin penduduk pulau maupun wisatawan yang akan berekreasi di pulau ini. Secara detail koposisi tutupan karang di pantai barat Pulau Tegal dapat dilihat pada diagram di bawah ini.
Secara umum kondisi terumbu karang di Pulau Tegal berdasarkan hasil penelitian di dua lokasi tersebut di atas menurut kriteria baku kerusakan terumbu karang termasuk dalam kondisi sedang.
Gambar 4.5 Bintang Laut Berduri (Acanthaster plancii) yang ada di perairan Pulau Tegal, merupakan salah satu hama terumbu karang yang paling merusak. Terlihat dalam gambar karang memutih (bagian kanan) di makan oleh hama ini
4.1.3 Pulau Maitem Pulau Maitem adalah sebuah pulau kecil yang terletak di barat daya Pulau Tegal. Pulau yang berpenduduk beberapa kepala keluarga ini memiliki garis pantai sepanjang 3 km
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 13
dan luas pulau ± 17 ha. Jarak pulau ini dengan dengan daratan Sumatera hanya 500 meter saja. Sehingga membuat pulau ini memiliki interaksi yang cukup sering dengan aktifitas masyarakat di pulau induk.
Gambar Pulau Maitem dengan perairan yang dangkal kerap didatangi nelayan 4.6 untuk menangkap ikan dengan menggunakan jala dan handline (atas). Koloni Karang lunak (Soft Coral) yang sebagian besar terdiri dari keluarga Sinularia (kiri bawah). Koloni karang bercabang (Seriatopora hystrix) seringkali bersimbiosis dengan ikan karang (kanan bawah).
Presentase tutupan karang di zona Reef Flat pulau adalah 42.5 % karang hidup yang tesusun dari karang Acropora (Acropora teres, Acropora palifera, dan Acropora cerealis) sebesar 20 % dan karang non acropora (Porites attenuata, Porites lobata, Mussismilia hispida, dan Montipora florida) sebesar 22.5 %. Karang lunak juga banyak ditemukan tersebar di perairan pulau ini dengan tutupan 22.5 %, yang terdiri dari spesies Sinularia brassica, Sinularia polydactyla, dan Lobophytum crassum. Sebaran karang mati yang di dominasi oleh Dead Coral Algae memiliki prosentase tutupan 12 %, dan pecahan karang mati sebesar 10 %. Menurut informasi masyarakat setempat, banyaknya pecahan karang mati yang ada diduga kuat disebabkan oleh aktifitas pengeboman ikan dan jangkar bagan apung yang sering ditambatkan di perairan pulau ini.
Presentase tutupan karang di perairan Pulau Maitem dapat
diilustrasikan dalam diagram di bawah ini :
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 14
Berdasarkan kriteria baku mutu kerusakan karang yang ditetapkan oleh Kementrian Negara Lingkungan Hidup, kondisi terumbu karang di Pulau Maitem ada dalam kategori sedang. Di perairan ini pula ditemukan banyak bintang laut berduri (Acanthaster plancii) yang menjadi hama bagi terumbu karang. Untuk mengendalikan populasi biota ini tidak ada cara lain dengan melakukan penyelaman dan membunuh biota ini satu persatu. Sebenarnya predator alami dari biota ini adalah penyu. Karena populasi penyu di Teluk Lampung sudah dapat dikatakan punah maka populasi bintang laut berduri ini berkembang tanpa ada pengendali alaminya.
Gambar 4.7 Beberapa variant biota Bintang Laut Berduri (Acanthaster plancii) yang di temukan di perairan Pulau Maitem.
4.1.4 Pulau Kelagian Pulau Kelagian adalah salah satu pulau besar yang ada di perairan Teluk Ratai, sebuah teluk kecil di wilayah perairan Teluk Lampung. Pulau ini memiliki panjang garis pantai ± 10 km. Topografi Pulau Kelagian berbukit-bukit dengan hutan alam yang cukup
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 15
lebat. Pulau yang bependuduk ini kini sebagian besar lahannya dijadikan tempat TNI Angkatan Laut (Batalyon Marinir) berlatih perang-perangan.
Gambar 4.8
Pulau Kelagian yang berbukit dilihat dari arah laut.
Persentase tutupan karang hidup di perairan pulau ini cukup tinggi (61.91 %) di bandingkan dengan pulau-pulau lain di Teluk Lampung. Hal ini terjadi karena kegiatan ilegal fishing seperti pengeboman dan pemotasan relatif sedikit, karena aktifnya kegiatan TNI AL di pulau tersebut. Berikut diagram presentase tutupan karang di Pulau Kelagian.
Tutupan karang mati di lokasi pengamatan (05°37’08.97” LS - 105°13’08.28” BT) sebagian besar berupa karang mati berwarna putih (death coral) sebesar 14.97 % dan pecahan karang mati (rubble) sebesar 1.01 %. Tutupan karang lunak (soft coral) di lokasi pengamatan juga ditemukan sebesar 5.03 %, yang didominasi spesies Sinularia flexibillis. Pada kedalaman 7 meter, presentase tutupan pasir (sand) sebesar 17.09 %. Di lokasi pengamatan, pada kedalaman lebih dari 7 meter kecerahan air jauh berkurang
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 16
(3 m) karena air yang cenderung keruh. Pada kedalaman ini tutupan karang menjadi lebih jarang selaras dengan bertambahnya kedalaman. Secara umum kondisi tutupan karang di perairan Pulau Kelagian berdasarkan ukuran baku mutu kerusakan karang termasuk dalam kategori baik.
Gambar Karang lunak jenis Sinularia flexibillis banyak ditemukan 4.9 di kedalaman 7 meter (kiri atas). Terumbu karang yang sehat menjadi tempat berkembangbiaknya ikan‐ikan (kanan atas). Lili laut diantara tutupan karang Acropora (kiri bawah). Penyelam sedang mengamati tutupan karang daun di kedalaman 7 meter (kanan bawah).
4.1.5 Puhawang Pengamatan tutupan terumbu karang di Puhawang di lakukan di dua lokasi yaitu di Pulau Puhawang (05°39’44,10” LS - 105°12’27,8” BT) dan di Pulau Puhawang Lunik (05°40’35.30” LS - 105°14’24,60” BT). Pulau Puhawang merupakan pulau besar yang berpenduduk. panjang garis pantai ± 11 km.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Pulau ini memiliki
Di pulau ini pula kegiatan budidaya laut dengan Bab IV - 17
menggunakan bagan jaring apung dilakukan di perairan sekitar pulau.
Di lokasi
pengamatan ini persentase karang hidup sebesar 38.36 % dan karang mati sebesar 11,12 % yang sebagian besar di dominasi oleh karang yang baru mati (death coral). Hal ini terjadi diduga karena cahaya matahari yang tidak dapat diterima karang karena tertutup oleh banyaknya bangunan bagan jaring apung yang berada di atas ekosistem karang. Selain itu, persentase pecahan karang mati (16.02 %) di lokasi pegamatan ini terjadi karena gesekan jangkar bangunan bagan jaring apung dan jangkar kapal yang sering merapat di bangunan bagan apung. Pulau Puhawang Lunik adalah pulau kecil yang terletak di sebelah timur pulau induknya (P. Puhawang). Pulau kecil ini memiliki panjang garis pantai ± 1.2 km dan kini menjadi pulau peristirahatan dengan dibangunnya fasilitas rekreasi oleh seorang pengusaha. Terumbu karang di perairan pulau ini rusak, dengan persentase penutupan karang hidup hanya 24 %. Sedangkan tutupan karang mati sebesar 30 % dan pecahan karang mati (rubble) sebesar 23 %. Komposisi penutupan karang di wilayah Puhawang dapat dilihat pada diagram di bawah ini.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 18
Gambar Salah satu bangunan bagan jaring apung yang banyak terdapat di perairan Pulau 4.10 Puhawang (atas). Kondisi tutupan karang (kiri bawah) dan pecahan karang mati di tengah kondisi perairan yang keruh sehingga menghambat pertumbuhan dan recovery karang (kanan bawah).
Penutupan karang lunak di lokasi pengamatan Pulau Puhawang adalah sebesar 5.1 % dengan dominasi jenis Nepthea audouin. Sedangkan makro alga di temukan juga di lokasi pengamatan P. Puhawang (10 %) dan di P. Puhawang lunik sebesar 5 %.
Gambar Lokasi Peristirahatan dan beberapa kondisi 4.11 karang di P. Puhawang Lunik.
Secara umum kondisi terumbu karang di wilayah Puhawang dapat di ilustrasikan dalam grafik di bawah ini.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 19
Dari grafik di atas dapat disimpulkan bahwa tutupan karang hidup di wilayah Puhawang sebesar 31.2 % dan tutupan karang mati 20.6 % dan pecahan karang mati sebesar 19.5 %. Sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kriteria baku mutu kerusakan karang adalah bahwa ekosistem terumbu karang di wilayah Puhawang ini berada dalam kategori sedang.
Gambar 4.12 Jangkar perahu yang digunakan untuk menambat perahu juga sangat berpotensi merusak keutuhan karang (kiri atas). Karang masif, Favia fragum dan Erythrastrea flabellata (kanan atas). Karang lunak Nepthea audouin di dasar perairan (kiri bawah).
4.1.6 Pulau Siuncal Pulau Siuncal adalah salah satu pulau di Teluk Lampung yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Karena letak geografis pulau ini yang terletak tepat di mulut teluk maka pengaruh perairan Samudera Hindia sangat besar terhadap pulau ini antara lain adalah arus dan gelombang yang besar terutama di sebelah barat daya dan selatan pulau.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 20
Lokasi penyelaman di Pulau Siuncal adalah di sebelah barat daya pulau (05°48’06” LS105°18’50,90” BT), di Selat Siuncal, sebuah perairan yang dikenal sebagai rumah dari segala jenis ikan hiu.
Gambar 4.13 Pulau Siuncal di lihat dari arah Selat Siuncal (atas). Kondisi tutupan karang di Selat Siuncal yang istimewa dengan kelimpahan ikan karang dan kima raksasa (bawah).
Penyelaman di lakukan di kedalaman 5 meter dan pada saat laut pasang, sehingga arus bergerak menyeret pengamat ke arah utara. Kecerahan air cukup baik (6 meter) dan di setiap kolom air dapat ditemui ubur-ubur (jelly fish). Lokasi pengamatan ini sangat berpotensi sebagai tempat olahraga selam, karena keanekaragaman jenis karang keras dan karang lunak serta ikan karang berwarna-warni yang melimpah. Kesan pertama pengamat pada saat melakukan penyelaman di lokasi sangat baik dan kesan ini penting bagi setiap penyelam yang beraktifitas di lokasi ini untuk suatu saat kembali lagi. Walaupun di lokasi ini menurut masyarakat pulau, frekuensi pengeboman ikan tidak sering, namun di beberapa tempat masih tertinggal lobang-lobang bekas pengeboman yang terasa sangat mengganggu pemandangan pada saat menyelam.
Menurut
masyarakat di Pulau Siuncal, pengeboman jarang dilakukan di perairan ini dikarenakan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 21
banyaknya ikan hiu, hal ini yang mencegah penyelam kapal bom untuk masuk ke dalam air untuk memungut ikan hasil pengeboman. Persentase tutupan karang di lokasi pengamatan sebesar 47.75 %, dengan komposisi tutupan karang keras Acropora 5.74 % (Acropora foliosa, Acropora aspera, dan Acropora valida), dan karang keras non Acropora sebesar 42.01 % dengan jenis karang pembentuknya antara lain Montipora florida, Seriatopora hystrix, Pavona calavus, Pocillopora eydouxi, Porites lobata dan Porites cylindrica. Berikut di bawah ini di sajikan grafik tutupan karang di lokasi pengamatan secara lengkap.
Tutupan karang mati di perairan ini di dominasi oleh karang mati (DC) sebesar 5.36 %. Persentase kerusakan karang tersebut bertambah pula dengan tutupan pecahan karang mati (rubble) sebesar 9.76 %. Persentase biota lain (other fauna) di perairan ini di dominasi oleh karang lunak (soft coral) dengan persentase tutupan sebesar (31.87 %). Jenis-jenis karang lunak yang ditemukan di lokasi pengamatan ini antara lain adalah, Sinularia polydactyla, Sinularia flexibillis, dan Sarcopyton sp.Secara umum ekosistem terumbu karang di Pulau Siuncal berdasarkan baku mutu kerusakan karang ada dalam kategori sedang. 4.1.7 Legundi Pengamatan terumbu karang di wilayah Pulau Legundi di lakukan di 4 (empat) lokasi yaitu di Pulau Legundi (05°47’69,84” LS - 105°17’56” BT), Teluk Selesung (05°47 23,74 LS - 105°17 36,4 BT), Pulau Unang-Unang (05°47’25,95” LS - 105°16’44,03” BT), dan di Pulau Seserot (05°47’35,77” LS - 105°14’52,12” BT).
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 22
Pengamatan tutupan karang dilakukan dengan penyelaman di kedalaman 5 meter, dan kecerahan hingga 4-6 meter. Penyelaman dilakukan pada saat air pasang sehingga arus bergerak ke arah utara. Dari pengamatan tersebut, diperoleh persentase tutupan karang di wilayah Legundi yang diilustrasikan pada grafik dibawah ini.
Pulau Legundi adalah sebuah pulau besar di Teluk Lampung yang berpenduduk cukup banyak, dengan topografi yang berbukit dan memiliki vegetasi tropis yang cukup luas. Karena tingginya aktifitas penduduk dan kegiatan penangkapan ikan maupun budidaya laut dengan menggunakan bagan jaring apung, jaring tancap dan lain sebagainya, secara langsung dan tidak langsung berdampak terhadap kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Legundi. Tutupan karang hidup di lokasi pengamatan ini adalah 10.97 % dengan komposisi karang bercabang (CB) 9.96 %, dan karang kerak (CE) 1.01 %. Di lokasi pengamatan ini dasar perairan didominasi oleh karang lunak dengan tutupan sebesar 28.77 %. Spesies karang lunak yang dominan adalah Sinularia flexibillis. Bukti bahwa di Pulau ini telah berlangsung tekanan yang hebat terhadap ekosistem terumbu karang adalah dengan tingginya tutupan pecahan karang mati (rubble) yaitu sebesar 46.84 %.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 23
Gambar 4.14 Pelabuhan kapal di Pulau Legundi selain berfungsi sebagai tempat ditambatkannya kapal juga sebagai tempat bersandarnya bagan apung yang beroperasi di Teluk Lampung (atas). Salah satu spesies Karang masif (kiri bawah). Karang lunak keluarga Sinularia dengan tutupan 28.77 % di lokasi pengamatan P. Legundi (kanan bawah).
Teluk Selesung merupakan teluk kecil di pantai Pulau Legundi. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di kedalaman 7 meter, persentase penutupan karang hidup sebesar 39.71 % yang terdiri dari tutupan karang Acropora 1.89 % dan karang non Acropora 37.82 %. Tutupan karang mati di lokasi ini sebesar 13 % dan dipertegas dengan tutupan pecahan karang mati sebesar 40.91 %. Hal ini menunjukkan tingginya tekanan alam dan akibat dari aktifitas manusia di perairan ini. Pengambilan karang oleh masyarakat untuk bahan bangunan dan jalan di Pulau Legundi menjadi salah satu penyebab terbesar rusaknya ekosistem karang di perairan Legundi.
Gambar 4.15 Tumpukan karang untuk bahan bangunan di Pulau Legundi.
Tutupan karang lunak di Teluk Selesung sebesar 11.13 % dengan spesies dominan Xenia sp. Selain itu makro alga (MA) memiliki persentase tutupan 1.05 % dan alga halus (turf algae) sebesar 4.20 %.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 24
Gambar 4.15 Beberapa bentuk tumbuh karang, lobster (kiri atas) dan bintang laut biru (kanan bawah).
Pulau Unang-Unang adalah pulau kecil yang sekarang berfungsi sebagai tempat budidaya karang hias. Keberadaan usaha budidaya karang hias untuk ekspor ini sangat berpengaruh dalam mengurangi frekuensi tindak pengeboman ikan dan pemotasan lobster di perairan sekitar pulau. Hingga kini menurut penuturan penduduk pulau, kegiatan pengeboman ikan masih berlangsung di perairan sekitar Pulau Legundi. Persentase penutupan karang hidup dipulau ini 36 % dengan komposisi karang acropora jenis Acropora aspera dan Acropora cylindrica sebesar 10.53 %, karang non acropora yang di dominasi bentuk tumbuh masif (Goniopora minor dan Porites murrayensis) sebesar 17.05 %.Tutupan karang mati di perairan pulau ini 10.53 %, dan pecahan karang mati sebesar 40.32 %. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan pengeboman yang dilakukan oleh oknum nelayan sering dilakukan di pulau ini di waktu yang lalu.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 25
Gambar 4.16 Pecahan karang mati (rubble) akibat pengeboman (kiri atas). Beberapa bentuk tumbuh karang (kanan atas). Ikan karang diantara karang lunak (kiri bawah). Budidaya karang hias untuk ekspor (kanan bawah).
Pulau Seserot adalah salah satu pulau yang menjadi sasaran para pengebom ikan di wilayah perairan Legundi dengan persentase karang hidup 35.56 % dan karang mati 4.44 %. Yang menonjol di perairan pulau ini adalah persentase pecahan karang mati sebesar 48.89 %.
Karang lunak di perairan ini didominasi oleh spesies Sinularia
ehrenberg, dan karang masif terdiri dari Enchinopora forskaliana dan Porites murrayensis.
Gambar 4.17 Kondisi terumbu karang di Pulau Seserot.
Secara umum persentase penutupan karang di wilayah perairan Legundi terdiri dari karang hidup 30.6 %, karang mati 9.5 % dan pecahan karang mati (rubble) 47.5 %. Secara detail komposisi penutupan karang di perairan legundi ditunjukkan oleh grafik dibawah ini.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 26
Dengan demikian, berdasarkan kriteria baku mutu kerusakan karang yang telah ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup (2001), penutupan karang di wilayah ini termasuk dalam kategori sedang.
Gambar 4.18 Beberapa spesies karang yang dibudidayakan untuk ekspor di Pulau Unang-Unang. Berurutan ; Acropora globiceps, Acropora nobilis, Galaxea fascicularis, Anemon, dan Acropora robusta.
4.1.8 Pulau Tiga Pulau tiga adalah nama umum yang diberikan masyarakat Lampung Selatan untuk tiga pulau yang berdampingan membentuk satu garis lurus. Pulau ini terletak tepat di tengah-tengah antara Canti dan Pulau Sebuku Kabupaten Lampung Selatan. Ketiga pulau itu adalah Pulau Tiga Lana (05°48’52,38” LS - 105°32’37,15” BT), Pulau Tiga
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 27
Lok (05°48’59,65” LS - 105°32’46.30” BT), dan Pulau Tiga Damar (05°49’9.05” LS 105°33’0.96” BT). Ketiga pulau kecil dan tidak berpenghuni tersebut dikelilingi tutupan terumbu karang yang sempit dan curam (crack). Kedalaman laut disekeliling pulau dapat mencapai hingga 47 meter dari permukaan laut. Posisi ketiga pulau yang saling berdekatan, berlorong dan bergua di bawah laut menjadi rumah yang tepat bagi populasi ikan hiu. Secara khusus kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas penyelam yang menyukai daerah hiu (shark point).
Gambar 4.19 Pulau Tiga dilihat dari arah Canti Kabupaten Lampung Selatan, pulau besar di belakang ketiga pulau tersebut adalah Pulau Sebuku dan Pulau Sebesi (atas). Kontur Pulau Tiga yang berlorong dan bergua menjadi atraksi wisata khusus penyelaman Shark Point (kiri bawah). Karang daun dan karang lunak di Pulau Tiga (kanan bawah).
Kondisi ekosistem terumbu karang di ketiga pulau tersebut relatif sama, hal ini dapat dimengerti karena pulau-pulau tersebut masih terletak di satu hamparan terumbu. Secara detail persentase tutupan karang di tiap-tiap pulau dapat di tunjukkan dalam grafik dibawah ini :
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 28
Secara umum rata-rata persentase karang hidup di wilayah perairan Pulau Tiga adalah 20.3 %, karang mati 2 %, dan pecahan karang mati terpantau sebesar 31.3 %. Sementara itu fauna lain di dominasi oleh karang lunak yang terdiri dari jenis Sinularia polydactyla dan Sarcophyton sp. Berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang, maka tutupan karang di perairan Pulau Tiga termasuk dalam kategori rusak. Secara komposisi rata-rata tutupan karang di perairan Pulau Tiga ditunjukkan dalam grafik dibawah ini.
4.1.9 Kepulauan Condong Pengamatan tutupan karang di Kepulauan Condong dilakukan di tiga pulau pembentuknya yaitu Pulau Sulah (Stasiun I : 05°32’45.22” LS - 105°20’44.12” BT, Stasiun II : 05°32’48.36” LS - 105°20’35.98” BT), Pulau Condong Laut (05°33’25.65”
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 29
LS - 105°20’28.87” BT), dan Pulau Condong Darat (05°33’25” LS - 105°20’54.63” BT). Persentase penutupan karang secara detail dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Kondisi tutupan karang di tiga pulau ini mengalami kerusakan, dan kualitas terumbu karang di perairan ini jauh menurun dibandingkan dengan 5 hingga 6 tahun yang lalu. Ini terjadi karena laju pembangunan fasilitas wisata dan peristirahatan milik perseorangan di ketiga pulau tersebut.
Gambar 4.20 Pembangunan tanggul penahan pantai (kiri) yang menggunakan karang dari perairan di Pulau Sulah merusak ekosistem terumbu karang di pulau ini (kanan).
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 30
Gambar 4.21 Pembangunan fasilitas peristirahatan dan budidaya laut dengan jaring tancap di Pulau Condong Laut dan kondisi terumbu karang di Pulau Condong Laut (atas). Pulau Condong Darat yang dikelola oleh Grup Artha Graha dan kondisi terumbu karang di perairan Pulau Condong Darat (bawah).
Persentase tutupan terumbu karang di Kepulauan Condong rata-rata untuk karang hidup 38.4 %, karang mati 18.6 % dan pecahan karang mati (rubble) sebesar 18.6 % (lihat grafik rata-rata penutupan karang di Kepulauan Condong di bawah). Dari grafik di bawah ini dapat diketahui berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang, terumbu karang di perairan Kepulauan Condong ada dalam kategori sedang.
4.1.10 Teluk Pedada Teluk Pedada adalah perairan semi tertutup di dalam kawasan perairan Teluk Lampung. Teluk Pedada termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Pesawaran, dan perairan ini terletak di ujung barat Teluk Lampung yang berbatasan dengan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 31
Samudera Hindia.
Garis pantai di teluk ini penuh dengan lika-liku dan terdapat
beberapa pulau kecil serta gosong karang di dalamnya. Batimetri Teluk Pedada tergolong miring dimulai dari pantai kearah mulut Teluk Pedada kedalaman dasar perairan ini bisa mencapai 50 m. Secara umum perairan ini memiliki kedalaman rata-rata yang tertinggi dibandingkan dengan perairan teluk kecil lainnya yang ada di wilayah Teluk Lampung.
Grafik 4.22 Grafik persentase tutupan karang di Teluk Pedada
Pengamatan karang di Teluk Pedada dilakukan pada saat laut surut, dengan arus lemah yang bergerak ke arah tenggara.
Pengamatan dilakukan di 8 (delapan) titik
penyelaman yaitu Teluk Kucangreang (05°46’24,06”LS - 105°13’2,65”BT), Pulau Balak
(05°45’10,10”LS
-
105°10’39,70”BT),
Pulau
Lok
(05°44’42,90”LS-
105°10’35,20”BT), Gosong Pulau Lok (05°44’31,96”LS-105°10’ 46,32” BT), Pulau Lunik (05°44’22,25”LS-105°10’26,57”BT), Gosong Lunikan (05°44’26,70”LS105°10’16,30”BT), Tanjung Putus 1 (05°43’46,94”LS-105°12’40,23”BT) dan di Tanjung Putus 2 (05°43’46,65”LS-105°12’32,83”BT).
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 32
Suhu rata-rata di perairan pada saat pengamatan 29°C dan salinitas air permukaan rata-rata 32 permil.
Kecerahan air laut pada kedalaman 5 meter disetiap titik
pengamatan rata-rata adalah 5 meter.
Secara detail hasil pengamatan persentase
terumbu karang di Teluk Pedada dapat dilihat pada Grafik 4.11 di atas.
Gambar 4.23 Kondisi perairan Teluk Kucangreang yang terdiri dari batuan cadas, karang mati dan dominasi karang lunak serta makro alga.
Perairan Teluk Kucangreang miskin karang hidup. Dari hasil pengamatan di peroleh perairan tersebut didominasi oleh karang lunak dari genus Sinularia (24.74%) dan makro alga dari genus Turbinaria (2.06%) seperti Turbinaria decurrens yang tersebar di tempat-tempat dimana bisa terkena gelombang secara langsung. Pulau Balak merupakan daerah survey yang menarik karena di pulau ini terdapat kegiatan budidaya ikan kerapu dan penangkaran ikan hiu. Selain itu karena aktifitas
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 33
di pulau dan dengan adanya pos penjagaan yang dijaga aparat, secara tidak langsung melindungi ekosistem terumbu karang disekitar pulau dari kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Persentase tutupan karang hidup di Perairan Pulau Balak termasuk dalam kategori BAIK (51 %) berdasarkan standar baku mutu kerusakan karang. Namun demikian masih terdapat pecahan karang mati (rubble) sebesar 10% di sekitar perairan Pulau Balak.
Gambar 4.24 Pos Penjagaan kompleks budidaya di Pulau Balak dan keramba jaring tancap berisi ikan hiu yang di tangkarkan.
Pulau Lok adalah pulau kedua terbesar di Teluk Pedada setelah Pulau Balak. Pulau ini merupakan pulau datar dengan luas ± 7 ha dan memiliki garis pantai sepanjang ± 1.3 km. Pulau ini menurut keterangan masyarakat sering menjadi sasaran kegiatan ilegal fishing terutama pengeboman ikan. Hal ini terlihat dari persentase pecahan karang mati (rubble) yang sebesar 20.2 %. Namun demikian tutupan karang hidup di pulau ini masih tergolong sedang (40 %) dengan komposisi karang acropora yang didominasi oleh spesies Acropora aspera (11%), dan karang keras non acropora dengan bentuk tumbuh karang daun (17.5%)
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 34
adalah dari genus Montipora, Pavona cactus dan spesies Agaricia agaricites. Karang dengan bentuk tumbuh masif sebesar 12.5% yang antara lain terdiri dari Porites mayeri,Siderastrea siderea, dan Lobophyllia hemprichii. Karang lunak juga cukup banyak ditemukan di perairan ini (13.8%) yang tersusun dari genus Sinularia, disamping makro alga (4.5%) dan sponge 1%. Untuk makro alga spesies yang dominan adalah Padina commersoni.
Gambar 4.25 Sponge jenis Callyspongia aerizusa di perairan Pulau Lok.
Pulau Lunik adalah sebuah pulau kecil di sebelah utara Pulau Lok dengan diameter ± 50 meter. Komposisi dasar perairan pulau ini sebagian besar terdiri dari pasir. Tetapi tidak demikian dengan Gosong Lunikan yang memiliki tutupan karang hidup sebesar 49.2 %. Kondisi Pulau Lunik yang miskin dengan terumbu karang berdampak pada tingkat abrasi pantai yang terjadi di pulau tersebut, sehingga membuat pengelola pulau tersebut perlu membuat struktur penahan pantai yang hingga kini tampaknya juga tidak terlalu efektif manfaatnya.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 35
Gambar 4.26 Pulau Lunik (atas), Porites cylindrica dan karang masif Favia lacuna di Gosong Lunikan.
Tanjung Putus terletak di sebelah ujung Timur Laut Teluk Pedada. yang dikatakan perairan Tanjung Putus sebenarnya adalah sebuah selat sempit diantara daratan Sumatera dengan Pulau Tanjung Putus. Dinamakan Tanjung Putus karena konon dahulu kala daerah itu adalah sebuah tanjung yang karena suatu hal terpisahkan dari daratan utamanya. Perairan Tanjung Putus ini merupakan salah satu sentra kegiatan budidaya laut dengan menggunakan jaring apung dan juga sebagai basis wisata penyelaman di Teluk Lampung. Karena pengawasan dan aktifitas budidaya dan wisata yang hampir tdak pernah berhenti di wilayah perairan tersebut, tutupan terumbu karang di perairan tersebut relatif terhindar dari kegiatan pengeboman yang ditandai dengan banyaknya hamparan peracahan karang mati (rubble).
Persentase tutupan karang hidup di
perairan ini termasuk dalam kategori baik (50.64 %) walaupun di beberapa tempat tetap ditemukan pecahan karang mati (rubble) sebesar 12.15 %, yang diduga kerusakan karang tersebut disebabkan akibat jangkar bangunan jaring apung dan jangkar perahu yang beroperasi diperairan tersebut.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 36
Gambar 4.27 Pulau Tanjung Putus dilihat dari arah laut (atas), juvenil ikan hidup diantara terumbu karang, dan karang masif Montipora turgescens (bawah).
Bentuk tumbuh karang penyusun karang hidup di perairan Tanjung Putus yang dominan adalah karang daun (foliose) dan karang masif.
Karang daun yang
ditemukan di perairan ini antara lain adalah Leptoseris yabei, dan karang masif yang ditemukan antara lain adalah Montipora turgescens, dan Porites lobata.
Karang
jamur (mushroom) juga banyak tersebar di perairan ini yaitu sebesar 3 %. Dari hasil pengamatan, di peroleh gambaran bahwa Teluk Pedada merupakan salah satu sentra budidaya laut dan entry point dari kegiatan wisata selam di Teluk Lampung. Secara umum persentase penutupan karang di perairan ini adalah 33 % karang hidup, karang mati 15.4% dan pecahan karang mati (rubble) 10.3%. Perlu mendapat perhatian terhadap tingginya penutupan karang yang rusak (karang mati dan karang pecah) sebesar 25.7 %, dengan kata lain seperempat dari seluruh luasan terumbu karang di Teluk Pedada dalam keadaan rusak.
Tentunya hal ini
mengisyaratkan bahwa perlu diambil kebijakan pengawasan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi aktifitas dibidang perikanan secara teknis yang berpotensi merusak kelestarian ekosistem terumbu karang di teluk ini.
Berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang (Kepmen LH No.4 tahun 2001), tutupan terumbu karang di wilayah perairan Teluk Pedada termasuk dalam kategori sedang dengan penutupan karang hidup rata-rata adalah 33 %.
Secara detail
persentase tutupan karang di Teluk Pedada dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 37
Grafik 4.4 Tutupan Karang di Teluk Pedada
4.1.11 Kepulauan Lelangga Kepulauan
Lelangga
terdiri
dari
Pulau
Lelangga
Balak
(05°43’45,75”LS-
105°13’46,31”BT) dan Pulau Lelangga Lunik (05°43’10,40”LS-105°14’32,10”BT). Hasil pengamatan dan detail tutupan terumbu karang di kepulauan tersebut dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik 4.5 Persentase tutupan karang di Kepulauan Lelangga
Secara umum kondisi karang di Kepulauan Lelangga berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang, termasuk dalam kategori sedang (karang hidup (29.3%). Karang hidup di perairan ini sebagian besar tersusun dari karang dengan bentuk tumbuh meja (9.5%), karang jari (6.8%), karang daun (4.5%) dan karang bercabang
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 38
(8%). Spesies karang dengan bentuk tumbuh meja (tabulate) yang ada di perairan ini antara lain Acropora cytherea. Bentuk tumbuh jari spesies pembentuknya antara lain adalah Acropora palifera, dan pembentuk populasi karang bercabang di perairan Lelangga antara lain adalah Acropora parilis, karang masif adalah Montastrea curta, serta karang daun Agaricia agaricites.
Gambar 4.28 Acropora cytherea (atas), dan beberapa spesies karang lunak di perairan Pulau Lelangga Balak.
Yang menarik dari pengamatan di perairan Lelangga adalah kondisi dan status Pulau Lelangga Lunik. Pulau Lelangga Lunik kini pengelolaannya sudah dikuasai oleh seorang pengusaha. peristirahatan.
Di atas pulau itu dibangun beberapa fasilitas rumah
Namun sayangnya kondisi terumbu karang di perairan ini rusak
terutama di arah pintu masuk ke pulau. Karang hidup di pulau ini praktis hanya di
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 39
temukan di sebelah selatan pulau (24%) dan sisanya adalah karang rusak yang terdiri dari karang mati (20%), dan pecahan karang mati atau rubble sebesar 16%. Beberapa karang lunak juga ditemukan di perairan ini sebagai bentuk upaya karang untuk kembali pulih.
Karang lunak (36%) yang ada di perairan ini antara lain adalah
Nepthea audouin, dan beberapa jenis karang lunak dari genus Sinularia.
Gambar Pulau Lelangga Lunik di lihat dari laut dan 4.29 kondisi terumbu karang yang rusak di perairan Pulau Lelangga Lunik.
Secara umum tutupan karang yang rusak di perairan lelangga lebih besar dibandingkan dengan karang hidup (36.5%), yang terdiri dari karang mati 23.5% dan rubble 13%. Rata-rata persentase tutupan karang di Kepuluan Lelangga disajikan dalam grafik dibawah ini.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 40
Kerusakan karang yang parah di Pulau Lelangga Lunik, Kabupaten Pesawaran.
4.1.12 Ketapang Ketapang adalah pantai di wilayah perairan Teluk Ratai Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran. Teluk Ratai merupakan teluk di kawasan Teluk Lampung yang menjadi pusat pertahan dan keamanan nasional. Di teluk ini dibangun dan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 41
dikembangkan Pangkalan Utama Armada Laut/Maritim TNI Angkatan Laut Bagian Barat Teluk Ratai. Selain terdapat Dermaga Armada Barat, Pangkalan Maritim dan Brigade Infanteri Marinir juga di pusatkan di kawasan ini. Dijadikannya Teluk Ratai sebagai basis militer berdampak pada kelestarian ekosistem terumbu karang di perairan ini.
Hal ini tercermin dari kondisi tutupan terumbu karang di perairan
Ketapang. Tutupan karang hidup di perairan ini adalah 59%.
Karang rusak 18%
yang terdiri dari karang mati 13% dan rubble 5%. Pecahan karang mati (rubble) yang sedikit mengindikasikan bahwa di wilayah ini kegiatan pengeboman ikan dan kegiatan ilegal fishing lainnya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kondisi perairan lainnya di Teluk Lampung.
Grafik 4.6 Grafik Persentase tutupan karang di perairan Ketapang.
Pengamatan terumbu karang di perairan ini dilakukan pada saat laut surut, arus sedang ke arah selatan. Suhu permukaan pada saat pengamatan 30°C dan salinitas air laut 31 pemil. Kecerahan air laut pada kedalaman 5 meter adalah 6 meter, kondisi ini cukup memudahkan proses pengambilan data primer dengan menggunakan metode Line Intercept Transect yang menarik garis lurus di daerah Reef Flat sepanjang 50 meter. Kondisi kecerahan tersebut juga sangat memudahkan pengambilan dokumentasi bawah laut di perairan ini.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 42
Gambar Pintu gerbang kawasan militer TNI AL 4.29 (atas), lili laut dan hamparan karang jari Acropora irregularis (bawah).
Karang hidup di perairan Ketapang di dominasi oleh karang non acropora dengan bentuk tumbuh karang daun (foliose) sebanyak 40% seperti spesies Leptoseris amitoriensis. Karang bercabang sebanyak 29% seperti Montipora gaimardi, Acropora brueggemanni, Anacropora pillai dan lain-lain. Beberapa spesies karang jari (coral digitate) penyusun ekosistem terumbu di perairan ini antara lain adalah Acropora irregularis, Montipora angulata. Dan karang lunak (5%) di perairan ini sebagian besar terdiri dari genus Sinularia.
4.1.13 Pesisir Pantai Kalianda Pengamatan ekosistem terumbu karang di pesisir pantai Kabupaten Lampung Selatan sangat penting untuk mengetahui perbandingan kondisi tutupan karang diantara pantai
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 43
Kabupaten Pesawaran, Kota Bandar Lampung dan dengan Kabupaten Lampung Selatan itu sendiri. Pengamatan karang di pantai Kalianda Kabupaten Lampung Selatan di lakukan di 4 (empat) stasiun yaitu; Pantai Canti (05°48’01,30”LS-105°34’58,2”BT), Pantai Kaliandak
(05°44’39.61”LS-105°35’10.60”BT),
(05°40’29.86”LS-105°32’32.95”BT),
Merak
Merak
Belantung
2
Belantung
1
(05°41’31.45”LS-
105°31’59.03”BT). Persentase tutupan karang di lokasi pengamatan tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 4.7 Persentase tutupan karang di Pantai Kalianda.
Kondisi ekosistem terumbu karang di Pantai Kalianda berdasarkan kriteria baku kerusakan karang termasuk dalam kategori rusak. Hal ini terlihat dilapangan bahwa kelompok terumbu karang yang masih hidup didasar perairan cukup sulit ditemukan. Sebagai contoh di Canti tutupan karang hidup 15.8%, Pantai Kalianda 12%, dan ratarata tutupan karang hidup di Merak Belantung 9.5%. Secara umum kondisi penutupan terumbu karang di wilayah pesisir pantai Kalianda
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 44
dapat di ilustrasikan dengan grafik kue dibawah ini.
Pada grafik kue di atas dapat dilihat penutupan karang hidup hanya 11.7% (kategori rusak), dan karang rusak 16.15% yang terdiri dari karang mati 7.75% dan rubble 8.4%. Yang unik dari pengamatan di pesisir Kalianda adalah tingginya persentase penutupan alga di perairan ini yaitu sebesar 39.75%. Kondisi ini hampir merata di setiap lokasi pengamatan, seperti di Canti tutupan alga sebesar 11%, pantai Kalianda 42%, dan rata-rata tutupan alga di Merak Belantung sebesar 53%. Persentase tutupan alga yang cukup tinggi ini disebabkan karena kondisi habitat yang tepat cocok untuk pertumbuhan alga yaitu kondisi perairan pantai yang relatif tenang hingga berarus sedang, serta substrat perairan yang berpasir (29.75%). Kondisi perairan yang di tumbuhi alga biasanya menjadi indikator bahwa di perairan tersebut representatif untuk pengembangan budidaya rumput laut, yang dapat menjadi alternatif usaha bagi masyarakat pesisir Kabupaten Lampung Selatan. Beberapa jenis makro alga yang teridentifikasi di sepanjang lokasi pengamatan antara lain adalah ; Caulerpa racemosa, Turbinaria decurrens, Padina commersoni, Actinotrichia fragilis, Sargassum duplicatum, dan Halymenia durvillaei. Makro alga yang ditemukan dominan di pantai Canti adalah dari jenis Caulerpa racemosa yaitu 11% dari area pengamatan di Canti, makro alga di Pantai Kalianda didominasi oleh spesies Actinotichia fragilis (34%) dan Sargassum sp (8%), serta makro alga di Merak Belantung didominasi oleh genus Sargassum (50%).
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 45
Gambar 4.30 Makro algae Halymenia durvillaei di Canti (kiri atas), Caulerpa racemosa dan Turbinaria decurrens di Canti (kanan atas), Actinotichia fragilis (merah) dan Titanophora pulchra (orange) di Kalianda (kanan bawah), dan Sargassum sp. Di Merak Belantung (kiri bawah).
Makro alga dari jenis Titanophora pulchra yang berwarna orange adalah makro alga yang jarang ditemui. Menurut Puslitbang Oseanologi LIPI (1996), makro alga jenis Titanophora sp baru terlihat di perairan Sulawesi dan itupun hanya satu sampel saja yang ditemukan.
4.1.14 Pantai Tanjung Selaki-Pasir Putih Pantai Tanjung Selaki dan Pasir Putih adalah dua pantai di pesisir Kabupaten Lampung Selatan yang menjadi sentra kegiatan wisata. Kegiatan-kegiatan wisata
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 46
bahari yang dilakukan di kedua pantai tersebut sebagian besar adalah wisata keluarga dan berperahu. Pantai Pasir Putih berhadapan langsung dengan Pulau Condong Darat, salah satu dari tiga pulau di Kepulauan Condong. Seperti diketahui Pulau Condong adalah Pulau wisata dan Pasir Putih menjadi salah satu pintu masuk ke Pulau Condong tersebut. Bersebelahan dengan Pantai Pasir Putih, terdapat tempat pendaratan ikan di Rangai, sehingga semua aktifitas perikanan dan wisata di sekitar Pantai Pasir Putih tersebut cukup memberikan tekanan yang berat terhadap kelestarian terumbu karang di perairan tersebut. Hal ini terlihat dari persentase tutupan karang hidup di Pasir Putih yang sebesar 25% dan pecahan karang sebesar 31%. Persentase tutupan karang di Pantai Pasir Putih dan Tanjung Selaki dapat di lihat pada grafik dibawah ini.
Tekanan yang diterima oleh ekosistem terumbu karang di Tanjung Selaki relatif sama dengan apa yang terjadi di Pantai Pasir Putih. Kegiatan wisata cukup padat di akhir minggu dan kegiatan penangkapan ikan dengan bagan apung di perairan sekitar Tanjung Selaki sedikit banyak memberikan dampak pada karang yang tercermin pada keberadaan karang hidup di perairan ini. Persentase tutupan karang hidup diperairan ini sebesar 36.14% dan menurut kriteria baku kerusakan karang kondisi ini tegolong sedang.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 47
Gambar 4.31 Aktifitas wisata di pantai Pasir Putih, sampah, dan kondisi karang di dasar perairan.
Karang hidup di perairan Pasir Putih sebagian besar terbentuk dari karang masif dengan spesies penyusunnya antara lain Diploria labyrinthiformis.
Selain itu di
perairan tersebut juga terekam tutupan alga sebesar 17% yang tersusun oleh alga dari spesies Caulerpa racemosa, Sargassum sp., dan Actinotichia fragilis. Di perairan Tanjung Selaki diketahui spesies karang dominan yang membentuk tutupan karang hidup di perairan tersebut adalah karang dengan bentuk tumbuh bercabang (36.14%) dengan spesies antara lain Acropora prolifera dan Acropora palifera. Makro alga juga banyak ditemukan diperairan ini dengan tutupan sebesar 49.57%. Kondisi tutupan karang di perairan Tanjung Selaki secara umum dapat dilihat pada grafik persentase tutupan karang di bawah ini.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 48
Grafik 4.8 Persentase tutupan karang di perairan Tanjung Selaki-Pasir Putih.
Dari grafik diatas diperoleh gambaran bahwa tutupan karang di perairan Pantai Tanjung Selaki dan Pasir Putih termasuk dalam kategori sedang (30.6%).
Dan
pecahan karang mati (rubble) sebesar 22.6%. Hamparan pecahan karang ini diduga kuat diakibatkan oleh kegiatan penangkapan ikan dengan bahan peledak yang hingga kini masih sering terjadi, dan karena kegiatan wisata yang tidak mengindahkan lingkungan serta jangkar kapal /perahu/bagan apung yang sering beroperasi di lokasi pengamatan.
Bagan apung yang beroperasi di Perairan Tanjung Selaki.
4.1.15 Lokasi Batu Bara Penamaan Lokasi Batu Bara pada laporan ini sebenarnya hanya untuk memberi inisial titik koordinat (05°31’48.90”LS-105°21’14.37”BT) tempat dimana pengamatan dan penyelaman dilakukan. Lokasi pengamatan tersebut adalah di pantai dimana terminal
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 49
bongkar muat batubara tarahan berada. Pengamatan dilakukan ditempat ini bertujuan untuk melihat dampak kegiatan bongkar muat batubara terhadap kondisi terumbu karang yang ada di perairan tersebut. Persentase tutupan karang hidup di perairan tersebut yaitu sebesar 28%, dalam artian kondisi karang diperairan masih dalam kategori sedang walaupun mendekati rusak. Namun yang menarik di lokasi ini adalah tutupan silt atau lumpur maupun substrat halus yang menutupi dasar perairan. Tutupan substrat halus tersebut berwarna coklat hingga hitam terhampar seluas 41%. Di lokasi ini juga ditemukan hamparan karang mati yang meliputi 20% dari luas garis pengamatan. Karang mati ini diduga terjadi karena resapan cahaya matahari yang kurang karena keruhnya air laut di sekitar perairan. Pada saat penyelaman dilakukan kecerahan air laut kurang dari 4 meter, walaupun pada saat itu air sedang dalam keadaan surut.
Grafik 4.9 Persentase tutupan karang di lokasi Batubara.
4.1.16 Pulauan Sebuku Pengamatan terumbu karang di Pulau Sebuku dilakukan di dua lokasi penyelaman yaitu Pulau Sebuku (05°50’48.40”LS-105°31’45”BT) dan Pulau Sebuku Kecil yang biasa di sebut Pulau Elang (05°52’40.11”LS-105°32’29.67”BT).
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Pulau Sebuku Bab IV - 50
merupakan salah satu pulau besar selain Pulau Sebesi di kawasan perairan Teluk Lampung.
Pulau Sebuku adalah pulau yang berpenghuni dan aktifitas kegiatan
penangkapan ikan cukup tinggi.
Persentase tutupan karang di setiap lokasi
pengamatan dapat dilihat dalam grafik dibawah ini.
Kondisi karang di Pulau Sebuku termasuk dalam kategori rusak. Hal ini tercermin dari persentase karang hidup di Pulau Sebuku yang hanya 23.93%. Demikian pula dengan Pulau Elang yang tutupan karang hidupnya 12%. Menurut penuturan nelayan dari Pulau Sebuku, di perairan sekitar pulau sering terjadi pengeboman ikan terutama di Pulau Elang. Dampak dari kegiatan ilegal fishing ini tampak pada persentase karang mati di Pulau Elang yang hingga mencapai 72%.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 51
Gambar 4.32 Kondisi terumbu karang di Pulau Sebuku (atas), dan di Pulau Elang (bawah).
Beberapa spesies karang yang ditemukan di Pulau Sebuku antara lain adalah karang dengan bentuk bercabang seperti Acropora cylindrica, karang dengan bentuk tumbuh meja yaitu Acropora japonica dan Montipora efflorescens, serta karang dengan bentuk tumbuh masif seperti Astreopora myriophthalma. Di perairan Pulau Sebuku juga terdapat hamparan karang lunak yang hidup diatas karang mati sebagai bentuk awal dari akan pulihnya ekosistem karang. Persentase karang lunak (soft coral) di perairan ini adalah 2.66%. Selain karang lunak, tutupan makro alga juga menghiasi hamparan karang mati dengan besaran tutupan 1.27%. Spesies karang lunak yang ada di perairan Pulau Sebuku antara lain adalah Xenia sp dan genus Sinularia.
Sementara spesies makro alga yang dominan ada di dasar
perairan ini adalah alga Halimeda sp. Tutupan karang di Pulau Elang sungguh memprihatinkan. Karang hidup yang terukur di perairan ini hanya 12% yang meliputi karang masif 7% dan karang kerak 5%. Sementara hamparan karang mati mencapai 72% yang meliputi karang yang baru mati (dead coral) 29%, dan karang mati yang tertutup alga (Dead Coral Algae) mencapai tingkat tutupan sebesar 43%. Secara umum, tutupan karang di perairan kepulauan Sebuku dapat di gambarkan dalam grafik kue dibawah ini.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 52
Grafik 4.10 Grafik Rata-rata persentase tutupan karang di Pulau Sebuku
Karang hidup diperairan kepulauan ini rata-rata hanya 18% sehingga kondisi ekosistem terumbu karang ada dalam kategori rusak berdasarkan kriteria baku kerusakan karang dari Kepmen Lingkungan Hidup No.4 tahun 2001.
Perahu penumpang, sebagai satu‐satunya alat transportasi dari Canti ke Kepulauan Sebesi dan Sebuku.
4.1.17 Kepulauan Sebesi Pengamatan terumbu karang di Kepulauan Sebesi dilakukan di 2 (dua) lokasi penyelaman yaitu di sebelah utara Pulau Sebesi pada koordinat 05°55’11.26”LS105°30’3.18”BT, dan di Pulau Umang-umang pada koordinat 05°55’33.99”LS-
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 53
105°31’57.11”BT. Pulau sebesi merupakan pulau besar yang berpenduduk cukup banyak dalam sebuah desa.
Dahulu penduduk pulau ini hidup makmur dengan mangandalkan hasil
perkebunan kelapa, namun sejak krisis ekonomi komoditi kelapa tidak lagi dominan dan kini banyak kebun kelapa di pulau ini dikonversi menjadi kebun coklat. Garis pantai Pulau Sebesi mencapai ±21 km dengan topografi pulau hingga ± 800 meter. Kondisi perairan pada saat pengamatan dilakukan adalah pada saat surut dan arus bergerak keras ke arah utara. Selain itu penyelaman dilakukan pada saat gunung anak Krakatau dalam keadaan siaga II. Persentase tutupan karang di setiap lokasi pengamatan di tampilkan dalam grafik dibawah ini.
Persentase tutupan karang hidup di Pulau Sebesi adalah 21%, dan karang mati sebesar 4%, serta tutupan pecahan karan mati mencapai 26%. Dengan demikian kondisi terumbu karang di Pulau Sebesi dalam ada dalam kategori rusak. Pulau Umang-Umang merupakan pulau kecil di sebelah timur Pulau Sebesi dan pulau
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 54
ini kini dijadikan daerah perlindungan laut (DPL) yang dikelola oleh masyarakat pulau. Kondisi tutupan terumbu karang di pulau ini jauh lebih baik daripada kondisi karang di pulau induknya. Tutupan karang hidup di pulau ini mencapai 47%, dengan komposisi karang keras dari keluarga Acropora sebesar 21.60%, dan kelompok non acropora sebesar 37.40%.
Selain itu tutupan alga mencapai 10%, dan hamparan
karang lunak yang menghiasi dasar perairan mencapai 15%.
Gambar Kondisi terumbu karang di Pulau 4.33 Sebesi pada kedalaman 10 meter (atas), Pulau Umang-umang dan Kima Raksasa (Tridacna gigas) yang banyak terdapat di perairan DPL pulau ini (bawah).
Dari pengamatan terumbu karang di kedua lokasi penyelaman tersebut diperoleh gambaran persentase tutupan karang di Pulau Sebesi adalah seperti yang diilustrasikan pada grafik dibawah ini.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 55
Grafik 4.11 Grafik rata-rata Penutupan karang di Pulau Sebesi.
Persentase tutupan karang hidup di Pulau Sebesi adalah 34% sehingga berdasarkan kriteria baku kerusakan karang ekosistem terumbu karang di kepulauan ini termasuk dalam kategori sedang. Pada grafik di atas tergambar pula persentase kerusakan karang yang mencapai 25% yang terdiri dari karang mati 8% dan pecahan karang mati sebesar 17%. Bila di Pulau Sebesi tersebut tidak ada upaya untuk mengamankan sebagian dari wilayah perairannya untuk menjadi daerah perlindungan laut (DPL), maka dapat diestimasi bahwa persentase karang hidup di perairan sebesi akan jauh lebih rendah dari yang terhitung sekarang.
4.1.18 Pesisir Pantai Bandar Lampung Pesisir pantai Kota Bandar Lampung merupakan daerah yang terpada dengan penduduk dan aktifitas perekonomiannya. Sebagai ibukota Propinsi Lampung seluruh aktifitas kegiatan manusia mulai dari pusat pemerintahan, pelabuhan perikanan dan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 56
pelabuhan peti kemas, pusat wisata hingga ke industri seluruhnya ikut memberikan tekanan yang tinggi terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir kotamadya ini. Tekanan aktifitas kegiatan manusia tersebut tercermin dari hilangnya kelestarian ekosistem terumbu karang diperairan. Pada saat pengamatan karang yang dilakukan di tiga lokasi penyelaman yang meliputi Pantai Puri Gading (05°28’9.21”LS105°15’27.69”BT), Gudang Lelang (05°27’18.45”LS-105°16’14.20”BT), dan Pulau Kubur (05°29’14.30”LS-105°15’29.80”BT), tidak ditemukan tutupan karang hidup, bahkan tutupan karang mati sangat jarang (poor) dan sudah tertutup endapan (silt) sehingga dapat diabaikan keberadaannya. Dibawah ini disajikan grafik penutupan karang per lokasi pengamatan di pesisir pantai Bandar Lampung.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 57
Gambar 4.34 Pulau Kubur dilihat dari PPI Lempasing, dan sea grass jenis Enhallus acoroides di dasar perairan Bandar Lampung.
Secara umum kondisi ekosistem terumbu karang di pesisir pantai Bandar Lampung di lokasi pengamatan adalah rusak dengan tutupan karang hidup 0%. Dasar laut di kawasan perairan tersebut didominasi oleh hamparan pasir (73.9%) dan lumpur (7%). Selain itu hanya ditemukan fauna lain yang masih hidup dari kelopok sea grass seperti Enhallus acoroides.
Dengan demikian kondisi karang di perairan tersebut dapat
digambarkan dalam grafik dibawah ini.
Grafik 4.12 Grafik tutupan karang di pesisir pantai Bandar Lampung.
4.2 Perubahan Ekosistem Terumbu Karang di Teluk Lampung tahun 1998 dan tahun 2007 Pada tahun 1998, kondisi ekosistem terumbu karang di Teluk Lampung pernah dilakukan penelitian karang di beberapa pulau melalui kegiatan Coastal Resources
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 58
Management Project Lampung. Pengukuran tutupan terumbu karang di lakukan di 6 (enam lokasi) yaitu ; Pulau Tangkil, Pulau Tegal, Pulau Condong Darat, Pulau Kelagian, Pulau Puhawang dan Pulau Dua. Rata-rata tutupan karang hidup di lokasi pengamatan tersebut pada tahun 1998 adalah 65.5%, dan tutupan rata-rata karang mati adalah 14.73%.
Sehingga berdasarkan
kriteria baku kerusakan karang, kondisi terumbu karang di beberapa lokasi di Teluk Lampung pada tahun 1998 termasuk dalam kategori BAIK. Berikut disajikan dalam bentuk grafik persentase tutupan karang di Teluk Lampung pada tahun 1998.
Grafik 4.13 Grafik tutupan karang di Teluk Lampung tahun 1998.
Dibandingkan dengan kondisi tutupan karang di Teluk Lampung tahun 1998 tersebut, kondisi ekosistem karang Teluk Lampung pada beberapa lokasi yang sama saat ini (tahun 2007) sangat menurun selama kurun waktu 8 tahun ini dengan laju penurunan tutupan karang hidup sebesar 3% pertahun.
Perubahan dan perbandingan persentase tutupan karang hidup di beberapa lokasi di Teluk Lampung antara tahun 1998 dengan tahun 2007, disajikan dalam grafik dibawah ini.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 59
Grafik 4.14 Grafik tutupan karang hidup di Teluk Lampung pada beberapa lokasi tahun 1998 dan tahun 2007. Dari grafik yang menunjukkan perbandingan kondisi tutupan karang di atas, diperoleh gambaran bahwa hampir seluruh lokasi pengamatan karang mengalami penurunan tutupan karang, kecuali di Pulau Kelagian. Hal ini terjadi karena dipilihnya Pulau Kelagian sebagai daerah latihan perang yang dikelola oleh TNI AL, sehingga aktifitas TNI AL sekitar perairan ini mengurangi aksi pengeboman ikan yang dilakukan oleh oknum nelayan.
Jangkar kapal/perahu turut andil dala kerusakan karang di Teluk Lampung
4.3 Persepsi Masyarakat terhadap Lingkungan Pesisir Teluk Lampung Wilayah pesisir merupakan salah satu sistem ekologi yang paling produktif, beragam dan kompleks. Wilayah ini berperan sebagai penyangga, pelindung dan penyaring
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 60
diantara daratan dan lautan, serta merupakan pemusatan terbesar penduduk sehingga memberikan tekanan yang semakin berat terhadap ekosistem di wilayah ini. Secara spasial dan ekologis, wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan laut.
Hal ini karena wilayah pesisir merupakan merupakan daerah
pertemuan antara daratan dan laut.
Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka
pengelolaan kawasan pesisir tidak lepas dari pengelolaan yang dilakukan di kawasan darat dan laut.
Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada kawasan pesisir
merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dan sebagainya. Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga, serta sedimentasi tidak dapat dilakukan hanya di kawasan pesisir saja, tetapi harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan wilayah pesisir harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan. Keterkaitan antar ekosistem pesisir dan laut harus selalu diperhatikan, misalnya ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Salah satu sumberdaya alam di perairan Teluk Lampung yang rentan terhadap kerusakan adalah terumbu karang. Terumbu karang dengan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah satu kekayaan yang dapat menunjang produksi perikanan, bahan baku farmasi, obyek wisata bahari, bahan hiasan dan aquarium ikan laut, bahan bangunan, tempat pemijahan ikan, tempat mencari ikan, tempat asuhan dan pembesaran dan pelindung pantai dari hempasan ombak. Kerusakan ekosistem terumbu karang umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia. Kerusakan ini akan menyebabkan berkurangnya atau menghilangkan fungsi dan manfaat terumbu karang bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Untuk mengembalikan terumbu karang yang rusak
maka diperlukan upaya pengelolaan
terumbu karang yang diantaranya rehabilitasi terumbu karang. Keberhasilan pengelolaan terumbu karang ditentukan oleh banyak faktor.
Salah
satunya adalah partisipasi masyarakat setempat. Tanpa adanya upaya pemeliharaan dan perlidungan terumbu karang secara terus menerus, maka upaya rehabilitasi terumbu karang kecil kemungkinannya akan berhasil. Untuk itu hal yang perlu
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 61
diperhatikan adalah bagaimana mengembangkan partisipasinya masyarakat agar telibat aktif serta persepsi masyarakat terhadap pengelolaan wilayah pesisir. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden sebanyak 110 orang di Teluk Lampung, persepsi masyarakat terhadap lingkungan pesisirnya adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2 Persepsi Masyarakat terhadap Lingkungan Pesisir Teluk Lampung No 1
2
3
4
Pertanyaan Kuisioner
Persentase Responden (%)
Kegiatan manusia di laut akan Sangat tidak setuju mempengaruhi jumlah ikan di laut Tidak setuju
25.5
Agak tidak setuju
6.4
Tidak tahu
2.7
Agak setuju
5.5
Setuju
57.3
Setuju sekali
2.7
Hutan mangrove tidak dilindungi, Sangat tidak setuju maka kita tidak dapat menangkap Tidak setuju ikan kecil-kecil Agak tidak setuju
0 26.4 1.8
Tidak tahu
4.5
Agak setuju
2.7
Setuju
56.4
Setuju sekali
8.2
Kita harus peduli dan menjaga tanah Sangat tidak setuju dan laut, bila tidak tanah dan laut Tidak setuju tidak akan menyediakan makanan Agak tidak setuju bagi kita Tidak tahu
1.8 6.4 0.9 0.9
Agak setuju
0.9
Setuju
70.9
Setuju sekali
18.2
Membuang sampah ke pantai, akan Sangat tidak setuju dibawa arus ke laut dan tidak akan Tidak setuju menimbulkan kerusakan di laut
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
0
4.5 48.2 Bab IV - 62
5
6
7
8
Agak tidak setuju
0.9
Tidak tahu
0.9
Agak setuju
0.9
Setuju
36.4
Setuju sekali
8.2
Kita tidak perlu kuatir mengenai Sangat tidak setuju lingkungan udara dan laut, karena Tidak setuju Tuhan akan merawat dan Agak tidak setuju menjaganya Tidak tahu
41.8 2.7 1.8
Agak setuju
0
Setuju
40.9
Setuju sekali
7.3
Apabila ada kerjasama dari Sangat tidak setuju masyarakat maka sumberdaya alam Tidak setuju di sekitar desa kita dapat dijaga dan Agak tidak setuju dilindungi Tidak tahu
0.9 0 0.9 0.9
Agak setuju
2.7
Setuju
82.7
Setuju sekali
11.8
Menangkap ikan akan lebih mudah Sangat tidak setuju bila karang tempat hidup ikan di Tidak setuju angkat dan diambil habis Agak tidak setuju
1.8 74.5 4.5
Tidak tahu
0.9
Agak setuju
0
Setuju
13.6
Setuju sekali
4.5
Perkebunan di perbukitan di Sangat tidak setuju belakang desa dapat mempengaruhi Tidak setuju kehidupan ikan Agak tidak setuju Tidak tahu
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
5.5
0 46.4 0.9 5.5 Bab IV - 63
9
10
Agak setuju
2.7
Setuju
42.7
Setuju sekali
1.8
Karena begitu banyak ikan di laut, Sangat tidak setuju maka berapapun yag ditangkap, ikan Tidak setuju akan tetap tersedia cukup bagi Agak tidak setuju kebutuhan kita Tidak tahu
0 13.6 8.2 0
Agak setuju
0.9
Setuju
69.1
Setuju sekali
8.2
Kawasan laut yang dimanfaatkan Sangat tidak setuju oleh desa ini terbatas Tidak setuju
2.7 31.8
Agak tidak setuju
0
Tidak tahu
4.5
Agak setuju
0
Setuju
56.4
Setuju sekali
4.5
Masyarakat yang menyatakan setuju (57,3%/63 orang) bahwa kegiatan manusia dilaut mempengaruhi jumlah ikan di laut. Sedangkan persepsi terhadap hutan bakau bahwa masyarakat yang setuju (56,4%/62 orang) dan tidak setuju (26,4 %/29 orang) jika hutan bakau tidak dilindungi maka tidak dapat menangkap ikan-ikan kecil lagi. Masyarakat setuju membuang sampah ke sungai sebanyak (36,4%/40 orang) dan tidak (48,2%/53 orang), ini berarti bahwa banyak masyarakat mempunyai kebiasaan suka membuang sampah ke sungai. Kerjasama dalam menjaga sumberdaya alam sangat penting, masyarakat yang setuju (82,7%/91 orang), ini berarti tanggung jawab menjaga lingkungan laut adalah tanggung jawab bersama.
Persepsi masyarakat
terhadap kemudahan menangkap ikan pada karang yang diangkat dan diambil habis sebayak (74,5 %/82 orang) tidak setuju, ini berarti masyarakat secara pengalaman sehari-hari mengetahui bahwa karang merupakan habitat ikan karang. Pandangan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 64
bahwa sumberdaya ikan sangat terbatas sebanyak (69,1%/76 orang) setuju dan hanya (13,6%/ 15 orang) tidak setuju. Tentang kawasan laut yang dimanfaatkan mempunyai keterbatasan, sebanyak (56,4%/62 orang) setuju dan (31,8%/35 orang) tidak setuju.
4.4 Permasalahan Terumbu Karang Teluk Lampung Ekosistem terumbu karang dapat mengalami degradasi/kerusakan oleh aktifitas manusia. Aktifitas tersebut seperti yang diungkapkan oleh Berwick (1983) dalam Dahuri et al (1996) adalah: penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak, penangkapan ikan dengan alat yang merusak dan eksploitasi yang berlebihan, pembuangan limbah panas, pengundulan hutan di lahan atas, pengerukan di sekitar terumbu karang, kepariwisataan, pencemaran oleh limbah manusia dari hotel tanpa hotel tanpa pengolahan, kerusakan fisik terumbu karang oleh jangkar kapal, kegiatan penyelaman yang tidak peduli terhadap nilai kelestarian terumbu karang, serta penangkapan ikan hias dengan menggunakan kalsium sianida (KCN). Sedangkan pengaruh faktor alam misalnya akibat badai dan pemangsaan predator (Acanthaster plancii) juga akibat perubahan suhu air laut yang menyebabkan karang mati dan menjadi putih (bleaching). Berdasarkan wawancara dengan masyarakat dan hasil survey lapangan bahwa kerusakan terumbu karang Teluk Lampung di sebabkan oleh: 1.
Kegiatan Pemboman dan pemutasan karang untuk mencari ikan karang Pemboman karang terjadi diantara Pulau Legundi, Pulau Siuncal, dan pulau kecil lainya. Bekas-bekas bom dapat dilihat dari banyaknya patahan karang dan lubang bekas bom serta setelah terjadi pemboman terjadi perubahan ekosistem mikro terumbu karang dengan danya rubbles dan sea anemone (karang lunak) yang melimpah. Ini menandakan terjadinya recovery karang tetapi eksositem baru ini tidak akan mendukung keberadaan ikan-ikan karang untuk kembali. Dampak racun (potas) menghilangkan semua jenis karang dan ikan karang dalam bentuk dewasa dan juvenil maupun telurnya.
2.
Penambangan karang untuk bahan bangunan, jalan dan perhiasan Dampak penambangan karang adalah kestabilan pantai berkurang dan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 65
bertambahnya erosi/abrasi pantai sehingga menimbulkan masalah sosial seperti kerusakan bangunan pantai, pantai, rumah, dan infrastruktur penting lainya. Penambangan karang di untuk pondasi bangunan terjadi disepanjang pantai Teluk
Lampung
dan
pulau-pulau
kecil.
Kerajinan
karang
banyak
diperdagangkan di Kalianda. 3.
Sedimentasi akibat penebangan hutan dan pembukaan pertambakan. Sedimentasi terjadi pada wilayah dekat pantai dan diwilayah muara sungai. Dampak yang ditimbulkan matinya karang karena endapan lumpur, susah melakukan repirasi, perairan keruh dan zooxantelae pada karang tidak bisa bisa melakukan fotosintesa. Sepanjang pesisir Teluk Lampung terjadi alih konversi lahan menjadi tambak udang dan penebangan mangrove.
4.
Perusakan karang akibat pembuangan jangkar kapal di pulau- pulau kecil karena kurangnya pelampung tambat (mooring buoy) dan dermaga. Kerusakan karang akibat jangkar seperti patahnya karang bercabang, tercabutnya karang meja dan hancur karang lunak.
Tabel 4.3 Penyebab Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Teluk Lampung No
Penyebab Utama Kerusakan
Akibat yang ditimbulkan
1
Kegiatan Pemboman dan pemutasan Kerusakan habitat, karang patah, membuang karang untuk mencari ikan karang lubang, karang kena potas memutih, dan berkurangnya keanekaragaman hayati
2
Penambangan karang untuk bahan Kestabilan pantai berkurang bangunan, jalan dan perhiasan bertambahnya erosi/abrasi pantai
3
Sedimentasi akibat penebangan Matinya karang karena endapan lumpur, hutan dan pembukaan pertambakan susah melakukan repirasi, perairan keruh dan zooxantelae pada karang tidak bisa bisa melakukan fotosintesa
4
Perusakan karang akibat Rusaknya karang dan berkurangnya ikan pembuangan jangkar kapal di pulau‐ karang, karang patah terutama karang pulau kecil karena kurangnya bercabang, dan karang terbongkar. pelampung tambat (mooring buoy) dan dermaga
dan
4.5 Parameter Oseanografi 4.5.1 Angin dan Suhu Udara Angin yang bertiup di atas Teluk Lampung pada saat pengamatan berlangsung adalah
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 66
angin musim barat yang bertiup dari arah barat laut. Suhu udara yang diperoleh pada saat pengamatan di seluruh lokasi memiliki kisaran antara 28ºC-32ºC. Sehingga dari hasil pengukuran tersebut suhu udara rata-rata di perairan Teluk Lampung adalah 30ºC. 4.5.2 Arus Kecepatan arus permukaan pada saat pengamatan memiliki kisaran antara 0.061 m/det-0.472 m/det. Kecepatan maksimum arus permukaan yang diperoleh adalah 0.472 m/det di perairan Pulau Sebesi.
Sedangkan kecepatan minimum arus
permukaan yang diperoleh adalah 0.061 m/det di Teluk Tegal. Arah dan kecepatan arus permukaan Teluk Lampung yang diperoleh saat pengamatan lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perairan Teluk Lampung yang sedang pasang, pengaruh arus yang masuk dari Selat Sunda, kondisi geografis dan batimetri perairan Teluk Lampung.
Sedangkan pengaruh angin (Nontji, 1987) dan gaya Coriolis
(Sidjabat, 1973) tidak terlalu mempengaruhi arah dan keceepatan arus di dalam Teluk Lampung. Secara keseluruhan rata-rata kecepatan arus permukaan di perairan Teluk Lampung di lokasi pengamatan adalah 0.337 m/det dengan arah arus rata-rata menuju utara. 4.5.3 Suhu Rata-rata suhu permukaan perairan Teluk Lampung adalah 28ºC.
Secara umum
kisaran suhu permukaan di perairan teluk adalah 28ºC-30ºC. Variasi suhu permukaan yang terdapat di Teluk Lampung ini secara umum disebabkan karena pengaruh masukan massa air dari Selat Sunda dan sungai-sungai yang bermuara di Teluk Ratai dan Teluk Punduh-Pidada. Secara umum sebaran mendatar suhu permukaan tersebut menunjukkan bahwa pada saat pengamatan, suhu permukaan di tengah-tengah teluk dan di mulut teluk relatif lebih rendah dibandingkan dengan suhu permukaan yang terukur di pantai barat teluk. Hal ini disebabkan karena perairan dibagian tengah teluk lebih banyak mendapat pengaruh massa air dari Selat Sunda yang relatif bersuhu lebih dingin. Sedangkan di perairan barat teluk seperti di Teluk Kucangreang dan Teluk Punduh-Pidada suhu permukaan perairan lebih tinggi karena adanya pengaruh masukan massa air (run off) dari Sungai Punduh dan Sungai Ratai yang bersuhu relatif lebih hangat.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 67
4.5.4 Salinitas Nilai salinitas permukaan perairan yang diperoleh memiliki kisaran antara 31.91‰32.84‰. Rata-rata nilai salinitas permukaan perairan yang diperoleh adalah 32.39‰, dengan maksimum salinitas kedalaman permukaan tersebut adalah 32.84‰ di perairan Pulau Siuncal.
Dengan demikian nilai rata-rata salinitas permukaan (32.39‰) di
Teluk Lampung tersebut masih dalam kisaran nilai salinitas yang layak untuk kehidupan biota laut. Kisaran nilai salinitas yang diusulkan untuk kehidupan biota laut dan budidaya menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup adalah18‰-32‰ (KLH, 1987). Dari hasil pengamatan terlihat bahwa sebaran mendatar salinitas disetiap lokasi pengamatan terumbu karang sangat bervariasi, hal ini secara umum disebabkan oleh besarnya sirkulasi massa air yang terjadi di Teluk Lampung, seperti pengadukan, pengangkatan massa air laut dan pertemuan antara massa air yang berasal dari darat dengan massa air yang berasal dari Teluk Lampung sendiri atau dari Selat Sunda. 4.5.5 Oksigen Terlarut Kandungan oksigen terlarut permukaan di perairan Teluk Lampung yang diperoleh berkisar antara 4.13-5.80 ppm. Nilai terendah yang didapat adalah 4.13 ppm di sekitar Pulau Puhawang. Nilai maksimum yang diperoleh adalah 5.80 ppm di sekitar pulau Siuncal. Nilai rata-rata oksigen terlarut di permukaan perairan Teluk Lampung adalah 5.22 ppm.
Variasi kandungan oksigen terlarut dipermukaan perairan disebabkan
adanya potensi turbulensi dan pengangkatan massa air laut, serta tingkat kepadatan usaha budidaya laut di perairan tersebut. 4.5.6 Phosphat, Nitrat dan Silikat Kisaran kandungan phosphat yang terdapat pada kedalaman permukaan adalah 0.12 µgr-at P/l-0.61 µgr-at P/l. Nilai minimum yang diperoleh adalah 0.12 µgr-at P/l yang terukur di sekitar perairan Pulau Legundi dan Pulau Siuncal sedangkan nilai maksimum yang diperoleh (0.61 µgr-at P/l ) terukur di sekitar perairan Pulau Kelagian. Dari hasil pengukuran di lokasi pengamatan diperoleh gambaran bahwa semakin mengarah ke pantai barat Teluk Lampung (Teluk Punduh dan Teluk Ratai), kandungan phosphat semakin besar. Hal ini disebabkan karena banyak sungai yang
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 68
membawa sedimen dan membawa substrat yang bermuara di Teluk Punduh dan Teluk Ratai. Pertemuan massa air dari Teluk Punduh dan Teluk Ratai dengan massa air laut Teluk Lampung ini menyebabkan terjadinya variasi nilai phosphat karena proses fenomena pengangkatan massa air akibat pertemuan dua massa air tersebut. Secara umum rata-rata nilai kandungan phosphat di permukaan perairan Teluk Lampung adalah 0.29 µgr-at P/l. Berdasarkan klasifikasi Joshimura, secara khusus lapisan permukaan perairan Teluk Lampung diklasifikasikan sebagai perairan yang subur. Menurut Joshimura dalam Wardoyo (1973), perairan yang memiliki kisaran kandungan phosphat antara 0.101 µgr-at P/l dan 0.2 µgr-at P/l dikategorikan sebagai perairan yang sangat subur. Nilai kandungan nitrat di permukaan perairan Teluk Lampung memiliki kisaran 0.018 µgr-at N/l-0.173 µgr-at N/l dengan rata-rata kandunga nitrat yang diperoleh adalah 0.13 µgr-at N/l.Nilai nitrat maksimum yang diperoleh terukur di perairan Pulau Puhawang yang dekat dengan Teluk Ratai dan Teluk Punduh.
Perairan tersebut
dipengaruhi oleh masukan massa air dari sungai-sungai yang bermuara di kedua teluk kecil tersebut yang banyak membawa suspensi dari daratan sehingga sedikit banyak turut mensuplai kandunga nitrat ke perairan tersebut. Menurut Prowse (1962) dan Mackentum (1969) dalam Nazdan (1996), bahwa di suatu perairan N akan menjadi faktor pembatas bagi kelimpahan fitoplankton bila kandungan nitrat diperairan tersebut lebih kecil dari 0.14 µgr-at N/l. Bila kandungan nitrat diperairan tersebut semakin tinggi, maka biasanya kelimpahan plankton akan semakin besar.
Dengan demikian perairan Teluk Lampung secara keseluruhan
memiliki kandunga nitrat yang cukup layak untuk kehidupan plankton terutama fitoplankton. Secara umum kandungan silikat yang terdapat pada permukaan perairan Teluk Lampung memiliki kisaran antara 20 µgr-at Si/l-375 µgr-at Si/l. Dengan nilai terbesar di peroleh di perairan sekitar Teluk Ratai. Hal ini dipengaruhi oleh substrat yang dibawa masuk oleh sungai-sungai yang bermuara di teluk tersebut.
Secara
keseluruhan nilai silikat di perairan Teluk Lampung adalah 71.39 µgr-at Si/l. 4.6 Sosialisasi Masyarakat Sosialisasi tentang ekosistem terumbu karang di Teluk Lampung dilakukan guna memberikan pengetahuan dan gambaran tentang kondisi ekosistem terumbu karang
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 69
terkini kepada masyarakat di pesisir Teluk Lampung. Sosialisasi tersebut dilaksanakan 2 (dua) kali yaitu di pelabuhan pendaratan ikan Lemasing, Bandar Lampung dan di Dermaga Ketapang Kabupaten Pesawaran. Sosialisasi dilakukan dengan mengundang tokoh masyarakat dan nelayan. Secara umum pada saat kegiatan sosialisasi dan diskusi berlangsung diperoleh gambaran bahwa rata-rata masyarakat di pesisir Teluk Lampung tidak mengetahui status kerusakan karang di daerahnya sendiri.
Disamping itu pula masyarakat tidak
mengetahui manfaat dan fungsi terumbu karang yang berguna untuk penahan gelombang, sebagai tempat makan ikan dan sebagai lumbung ikan karang yang menjadi daya tarik bagi ikan-ikan ekonomis penting yang lebih besar yang datang dari arah laut lepas untuk mencari makan di sekitar terumbu karang. Namun peserta sosialisasi di dua lokasi kegiatan tersebut sepakat bahwa hingga kini kegiatan ilegal fishing seperti pengeboman ikan, pemotasan ikan dan udang serta penyetruman ikan yang dilakukan di muara sungai masih sering terjadi. Berdasarkan dari hasil diskusi diketahui pula bahwa rata-rata hasil tangkapan nelayan di dua lokasi kegiatan tersebut yang beroperasi di sekitar Teluk Lampung menurun. Selain itu pula kini sulit bisa memprediksi suasa yang tepat untuk melaut dan sulit untuk menduga musim ikan yang di tahun-tahun sebelumnya hal tersebut berjalan dengan rutin dan mudah diprediksi.
Pelabuhan pendaratan ikan di Rangai, Lampung Selatan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab IV - 70
Bab 5. ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG TELUK LAMPUNG
5.1 Landasan Hukum Pengelolaan Terumbu Karang Untuk mencegah semakin rusaknya ekosistem terumbu karang, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian peraturan perundangan dan peraturan lainnya untuk mengatur aktifitas manusia di perairan terumbu karang. Tabel 5.1 Perundangan dan Peraturan Pengelolaan Lingkungan Perairan Terumbu Karang di Indonesia
No
Jenis Perundangan dan Peraturan
1
Undang-Undang No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
2
Undang-Undang No. 9 tahun 1990 tentang Pariwisata
3
Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
4
Undang-Undang No.5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati
5
Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
6 7
Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
8
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 1
9
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
10
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut.
11
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
12
Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1990, tentang Usaha Perikanan
13
Keputusan Presiden RI No. 43 tahun 1978 tentang Ratifikasi CITES (Convention on Internasional Trade of Endangered Species of Wild Flora and fauna).
14
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung.
15
Keputusan Presiden No. 32 tahun 1992, tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Bagi Penanaman Modal (Lampiran 1 No. 56, Bidang Usaha Pemanfaatan dan Pengusaha Sponges (bunga karang) yang tertutup dalam rangka Undang-Undang PMA, PMDN dan Non PMA/PMDN)
16
Keputusan Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1989 tanggal 15 Nopember 1989 tentang Pengusahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Laut
17
Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi No.KM.13/PW.102/MPPT/93 tentang Ketentuan Usaha Sarana Wisata Tirta.
18
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.04/2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang
19
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 tahun Baku Mutu Air Laut.
20
Surat Edaran Menteri PPLH No. 408/MNPPLH/4/1979 tanggal 30 April 1979 (Dtujukan kepada Gubernur Kepala daerah Tingkat I di seluruh Indonesia) tentang larangan Pengambilan Batu Karang yang dapat merusak lingkungan laut.
21
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 38 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penggelolaan Terumbu Karang.
22
Surat Edaran Direktur Jenderal Perikanan No. IK 220/D4.T44/91 (ditujukan kepada Kepala Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia) tentang Penangkapan Ikan dengan bahan/alat terlarang.
23
Surat Dirjen PHKA, Departemen Kehutanan, tanggal 28 Februari 2003, tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang termasuk Appendix CITES dan tidak dilindungi Undang-Undang untu periode tahun 2003.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 2
5.2 Arahan Sistem Pengelolaan Terumbu Karang 5.2.1 Batas Kawasan Teluk Lampung Penentuan tata batas kawasan pengelolaan terumbu karang Teluk Lampung didasarkan atas berbagai pertimbangan baik dari aspek ekologi, administrasi, ekonomi, sosial budaya, maupun regional kawasan. Batas administrasi dipertimbangkan sebagai batas yuridis yang bertujuan agar tidak terjadi kerancuan wewenang dalam pengelolaan terumbu karang. Batas ekologis dipertimbangkan dengan tujuan agar pengelolaan tersebut mencakup suatu ekosistem yang utuh. Batas Administrasi Secara administrasi kawasan Teluk Lampung terletak pada Kabupaten Lampung Selatan dan Kota Bandar Lampung. Sebelah barat Teluk Lampung berbatasan dengan Kabupaten Lampung Selatan, Sebelah utara berbatasan dengan Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan, sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Lampung Selatan, serta sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Wilayah perairan Teluk Lampung mempunyai luas wilayah 3.865 km2 dengan panjang garis pantai 140 km, dengan jumlah pulau kecil sebanyak 51 buah. Teluk Lampung merupakan Teluk terbesar di Pulau Sumatera, membentang dari Tanjung Tua (sebelah timur) sampai dengan Tanjung Tikus, dan Pidada sebelah barat. Batas Ekologi Batas ekologis didasarkan pada integrasi dari berbagai proses interaksi secara fisikkimiawi dan biologis yang terjadi di wilayah perairan laut dan pesisir Kabupaten Lampung Selatan dan Kota Bandar Lampung yang saling mempengaruhi kondisi terumbu karang, lamun, mangrove ekosistem pulau kecil, estuaria dan flora-fauna yang hidup didalamnya. Peruntukan Teluk Lampung adalah sebagai kawasan pariwisata, kawasan budidaya (pembenihan udang, tambak udang, dan bududaya mutiara), daerah penangkapan ikan (jalur penangkapan 1 dan II), kawasan pelayaran, cagar alam dan latihan TNI Angkatan Laut. 5.2.2 Kelembagaan Penataan Kelembagaan pengelolaan terumbu karang dilakukan di berbagai jenjang, baik di Pusat, Propinsi Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kota Bandar Lampung yang bersifat lintas sektoral. Kelembagaan yang dibangun memiliki strusktur organisasi, tugas
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 3
dan fungsi, tujuan, sasaran. Program/rencana kerja, administrasi, serta pendanaan dalam rangka pengelolaan terumbu karang. Kelembagaan pengelolaan terumbu karang dibentuk melalui proses yang merupakan kombinasi dari pendekatan bottom up dan top down, dimana Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Lampung, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, dan Kota Bandar Lampung dan masyarakat mempunyai tanggung jawab dan kewajiban dalam perlindungan dan pengelolaan terumbu karang. Kelembagaan pengelolaan terumbu karang mengakomodasi semangat otonomi daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gubernur Propinsi Lampung dapat membentuk kelembagaan pengelolaan terumbu karang lingkup Propinsi. Kelembagaan ini dapat berfungsi untuk melaksanakan pengelolaan terumbu karang lintas Kabupaten/Kota, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan, pengendalian dan evaluasi. Lembaga Pengelola Terumbu Karang di Propinsi Lampung nantinya dibentuk dengan anggota yang berasal dari instansi pemerintah terkait (DKP, Bapeda, Dinas Pariwisata, Dinas Kehutanan, dan lain-lain) dan stakeholders (Perguruan Tinggi, LSM,dan masyarakat). Sedangkan perumusan dan kewajiban serta mekanisme kerja harus diatur dalam peraturan yang berkekuatan hukum yaitu Peraturan Daerah. 5.2.3 Pemantauan dan Evaluasi Pengelolaan Agar program pengelolaan dan kinerja lembaga pengelola Terumbu Karang di Lampung dapat berjalan baik dan sesuai dengan tujuannya, maka diperlukan pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dan evaluasi merupakan perangkat yang menelaah kegiatan yang telah dilaksanakan dengan tujuan untuk meninjau dan menganalisis efisiensinya dan efektifitas kegiatan yang selaras dengan tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan dan sebagai umpan balik terhadap program pengelolaan terumbu karang. Pemantauan dilaksanakan untuk melihat perubahan yang diperkirakan telah terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan program-program konservasi dan kegiatan pengelolaan isu di lapangan. Dalam kegiatan pemantauan diperlukan adanya indikator program sosial – ekonomi dan lingkungan sebagai dasar penilaian. Pemantauan dilakukan berdasarkan data dan informasi dari kondisi awal sebelum pelaksanaan suatu program kegiatan dimulai. Evaluasi dilakukan untuk untuk mengkaji efektifitas dari strategi program-proram baru, memeriksa permasalahan-permasalahan dalam implementasinya, membuat penyesuaian dalam strategi-strategi, membuat keputusan tentang program penegelolaan konservasi dan penelitian.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 4
Langkah-langkah yang perlu dirancang dalam menyusun strategi Pemantauan Pengelolaan Terumbu Karang di Propinsi Lampung: 1. Membuat daftar isu lingkungan perairan terumbu karang dan tindakan konservasi yang telah mendapat rekomendasi pengelolaannya. 2. Menjabarkan sasaran ke dalam tujuan pemantauan yang lebih spesifik 3. Memilih indikator spesifik sesuai dengan masing-masing tujuan pemantauan pengelolaan 4. Menelaah program pemantauan yang ada dan mengidentifikasi program yang mengukur indikator yang sama 5. Menentukan rancangan pengambilan sample dan stasiun 6. Menguji kemampuan program yang diusulkan untuk memenuhi kriteria indikator kerja. 5.2.4
Penegakan Hukum dan Sanksi
Aparat Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Lampung, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, Kota Bandar Lampung, dan masyarakat dapat melakukan pengawasan, pemantauan, dan pengendalian terhadap pengelolaan terumbu karang Teluk Lampung. Masyarakat dapat melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi mengenai terumbu karang dan berhak mengajukan tuntutan hukum terhadap pihak- pihak yang melakukan perusakan terumbu karang yang menimbulkan kerugian. Kegiatan penegakan hukum pengelolaan terumbu karang dilakukan oleh unsur-unsur terkait seperti TNI AL, Polisi Perairan, DKP, Pemerintah Propinsi Lampung, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, Pemerintah Kota Bandar Lampung dan masyarakat. Penegakan hukum dan sanksi merupakan proses untuk mematuhi suatu aturan yang telah ditetapkan dalam program pengelolaan terumbu karang oleh semua pihak yang akan atau melaksanakan kegiatan konservasi tersebut. Penegakan hukum didalam pengelolaan kawasan terumbu karang bertujuan: 1. Memberikan hukuman/ganjaran yang sesuai dengan pelanggaran hukum yang terjadi di dalam perairan terumbu karang. 2. Menciptakan keenggganan/keseganan untuk melanggar hukum di dalam kawasan konservasi karena adanya hukuman/sanksi 3. Menginformasikan kepada masyarakat tentang peraturan/undang-undang atau tata cara yang berlaku unuk melaksanakan kegiatan didalam kawasan perairan terumbu karang.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 5
Beberapa mekanisme penegakakan hukum yang dapat digunakan dalam pemantauan program pengelolaan terumbu karang yaitu: 1. Sanksi, dimana melibatkan serangkaian peringatan hukuman untuk pelanggaran undang-undang. Hukuman dapat berupa pengurangan, penundaan ijin, dan pelanggaran yang dilakukan tergolong berat dapat mengakibatkan pencabutan ijin. 2. Denda, dimana melibatkan serangkaian pembayaran yang harus dilunasi oleh pelanggar hukum. Hal ini diberlakukan untuk persyaratan hukum yang bersifat mengikat. 3. Sanksi Kriminal, dimana hukuman untuk pelanggar yang bersifat lebih berat dan bentuknya dapat berupa hukuman penjara. 4. Sanksi adat,dimana melibatkan hukum adat atau kebisaan masyarakat lokal, dibeberapa daerah pesisir sangat efektif untuk melestarikan laut. 5.2.5 Pendanaan Dana pengelolaan terumbu karang dapat bersumber dari APBN, APBD, Pinjaman/ Hibah Luar Negeri dan dana masyarakat. Mekanisme pendanaan dilakasanakan berdasarkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) yaitu terbuka, jujur, adil dan bertanggung jawab dengan berpihak kepada masyarakat. 5.3 Analisa SWOT Untuk memperoleh arahan pengelolaan terumbu karang dilakukan analisa SWOT dengan melihat faktor internal dan eksternal. Kedua faktor ini merupakan faktor penentu dalam analisa SWOT, karena didalamnya meliputi unsur kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang apabila disinergikan akan memberikan kualitas arahan, strategi dan program yang baik. Dengan pendekatan matrik antara faktor eksternal dan internal dilakukan pembobotan dengan kisaran nilai 0 – 1. Untuk peluang dan ancaman, serta unsur kekuatan dan kelemahan dengan nilai ranking 1 - 4.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 6
Tabel 5.2: Matrik Faktor Internal Pengelolaan Terumbu Karang Teluk Lampung Kode K1
K2
K3
L1
L2
L3
Faktor Internal
Bobot
Ranking
Skor
Komentar
0,30
4
1,20
0,20
3
0,60
Adanya daerah perlindungan laut (sekitar perairan Pulau Sebesi dan Dan Pulau Legundi) sebagi contoh perlindungan ekosistem karang Kelemahan Rendahnya pengetahuan masyarakat lokal mengenai manfaat ekosistem terumbu karang
0,10
2
0,20
Terumbu karang di pantai dan pulaupulau kecil Banyak pulau kecil potensi diving dan snorkling Pulau Sebesi dan Pulau Legundi
0,30
4
1,20
Sulitnya pengawasan dan lemahnya penegakkan hukum bila terjadi eksploitasi terumbu karang Belum adanya Perda untuk melarang penambangan karang dan perusakan karang
0,30
4
1,20
0,10
2
0,20
Kekuatan Memiliki hamparan terumbu karang yang luas sebagai habitat sumberdaya perikanan Beberapa lokasi mempunyai nilai estetika yang tinggi sebagai pengembangan wisata bahari
Kesadaran menyelamatan terumbu karang masih kurang Kurang sarana kapal pengawas dan personil Perlu dibuat Perda pelestarian terumbu karang
Tabel 5.3 : Matrik Faktor Eksternal Pengelolaan Terumbu Karang Teluk Lampung Kode P1
P2 P3
A1
A2
A3
Faktor Eksternal
Bobot
Ranking
Skor
Komentar
Peluang Peluang Investasi Budidaya ikan karang
0,30
3
0,90
Peluang Investasi wisata bahari Rehabilitasi karang dengan kegiatan transplantasi Ancaman Kegiatan pemboman dan penggunaan racun (potas) untuk menangkap ikan Penambangan karang untuk bahan bangunan
0,30 0,10
3 2
0,90 0,20
Potensi pada perairan karang di teluk dan pulau kecil Pulau-pulau kecil
0,30
4
1,20
Pemboman terjadi
0,30
3
0,90
Kerusakan ekosistem karang akibat kegiatan pembangunan (sedimentasi dan pencemaran laut)
0,20
2
0,40
Untuk bangunan penahan gelombang dan pondasi rumah Terjadi di dekat pantai dan pencemaran laut pada daerah padat industri
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
masih
Bab V - 7
Tabel 5.4. : Matrik Analisis SWOT
Faktor Internal
Faktor Eksternal PELUANG (P) P1.Peluang Investasi ikan karang
Budidaya
P2.Peluang Investasi wisata bahari P3.Rehabilitasi karang dengan kegiatan transplantasi
ANCAMAN (A) A1.Kegiatan pemboman dan penggunaan racun (potas) untuk menangkap ikan A2.Penambangan karang untuk bahan bangunan A3.Kerusakan ekosistem karang akibat kegiatan pembangunan (sedimentasi dan pencemaran laut)
KEKUATAN (K)
KELEMAHAN (L)
K1.Memiliki hamparan terumbu
L1.Rendahnya pengetahuan
karang yang luas sebagai habitat sumberdaya perikanan K2.Beberapa lokasi mempunyai nilai estetika yang tinggi sebagai pengembangan wisata bahari K3. Adanya daerah perlindungan laut (sekitar perairan Pulau Sebesi dan Dan Pulau Legundi) sebagi contoh perlindungan ekosistem karang
masyarakat lokal mengenai manfaat ekosistem terumbu karang L2.Sulitnya pengawasan dan lemahnya penegakkan hukum bila terjadi eksploitasi terumbu karang L3.Belum adanya Perda untuk melarang penambangan karang dan perusakan karang masyarakat
STRATEGI KP KP1.Pengembangan mata pencaharian alternatif budidaya ikan karang KP2.Pengembangan mata pencaharian alternatif wisata bahari berbasis masyarakat KP3.Pengembangan program rehabilitasi karang dengan transplantasi
STRATEGI LP LP1.Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat ekosistem karang LP2.Memperkuat sistem keamanan laut untuk menjaga ekosistem terumbu karang LP3.Koordinasi terpadu antar lintas sektoral dalam pelestarian terumbu karang
STRATEGI LA STRATEGI KA kesadaran KA1.Pengembangan teknologi LA1.Peningkatan masyarakat untuk melestarikan penangkap ikan yang ramah terumbu karang lingkungan LA2.Pelibatan masyarakat secara aktif untuk menjaga dan KA2.Pelarangan penambangan melestarikan ekosistem karang untuk bahan terumbu karang bangunan LA3.Pembuatan Perda/Peraturan lainnya untuk melindungi KA3.Pengembangan dan ekosistem terumbu karang pengawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL)
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 8
Tabel 5.5 : Alternatif Pemilihan Strategi untuk Pengelolaan Terumbu Karang Teluk Lampung
Unsur-Unsur Strategi
Keterkaitan Unsur SWOT
Total Skor
Ranking
a. Strategi KP KP1.Pengembangan mata pencaharian alternatif budidaya ikan karang KP2.Pengembangan mata pencaharian alternatif wisata bahari berbasis masyarakat KP3.Pengembangan program rehabilitasi karang dengan transplantasi b. Strategi KA KA1.Pengembangan teknologi penangkap ikan yang ramah lingkungan KA2.Pelarangan penambangan karang untuk bahan bangunan KA3. Pengembangan dan pengawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL) c. Strategi LP LP1.Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat ekosistem karang LP2.Memperkuat sistem keamanan laut untuk menjaga ekosistem terumbu karang LP3.Koordinasi terpadu antar lintas sektoral dalam pelestarian terumbu karang Strategi LA LA1.Peningkatan kesadaran masyarakat untuk melestarikan terumbu karang LA2.Pelibatan masyarakat secara aktif untuk menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang LA3.Pembuatan Perda/Peraturan lainnya untuk melindungi ekosistem terumbu karang
K1P1
2,10
6
K2P2
1,50
10
K1P3
1,40
11
K1A1
2,40
5
K1A2
2,00
7
K3A3
0,60
12
L1P1P2P3
3,20
3
L1L2L3P3
2,80
4
L2L3P3
1,60
9
L1L2L3A1A2A3
5,10
1
L2A1A2A3
3,70
2
L3A1A2A3
1,80
8
5.4 Strategi Pengelolaan Terumbu Karang Teluk Lampung Sumberdaya terumbu karang perlu dikelola secara berkelanjutan (sustainable) artinya keberadaan dan manfaat terumbu karang harus lestari untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan kualitas generasi ini masa kini dan masa depan. Pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan terwujud apabila laju regenerasi terumbu karang lebih besar atau sama dengan laju kematian dalam suatu periode waktu yang lama. Konsep pengelolaan ekosistem terumbu karang dapat diterapkan dengan menekankan pada kegiatan rehabilitasi dan konservasi untuk memelihara laju pertumbuhan karang, sebagai penyeimbang terhadap laju pemanfaatan yang mengakibatkan kematian terumbu karang. Mengingat pertumbuhan karang sangat lambat maka rehabilitasi dilakukan dengan cara alami yaitu konservasi, misalnya dalam bentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL), dengan maksud menghilangkan pengaruh manusia terhadap ekosistem terumbu karang pada waktu tertentu sehingga dapat dimanfaatkan kembali.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 9
Pengelolaan terumbu karang yang lestari adalah menggabungkan antara kepentingan ekologis dan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar ekosistem terumbu karang. Untuk itu strategi yang diterapkan harus mampu mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat selain tujuan konservasi terumbu karang tercapai. Dengan demikian, strategi dan kegiatan-kegiatan pengelolaan terumbu karang tidak semata-mata meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya terumbu karang serta kemampuan dalam mengelolanya, namun juga memberdayakan kehidupan sosial ekonomi masyarakat melalui mata pencaharian alternatif. Bertolak dari matriks keterkaitan faktor internal, eksternal dan hasil analisis SWOT, maka dapat ditentukan arahan strategi dan kebijakan pegelolaan terumbu karang Teluk Lampung sebagaimana pada Tabel 5.5. Berikut adalah strategi pengelolaan pengelolaan terumbu karang di Teluk Lampung: Strategi 1: Peningkatan kesadaran masyarakat untuk melestarikan terumbu karang Penyadaran masyarakat diarahkan pada pemahaman masyarakat terhadap manfaat kelestarian ekosistem terumbu karang dan pemanfaatan yang berkelanjutan untuk perubahan perilaku sosial. Peningkatkan kesadaran berbagai lapisan masyarakat tentang manfaat perlindungan dan pelestarian ekosistem terumbu karang, yang diharapkan akan merubah perilaku masyarakat dari perilaku yang dapat merusak menjadi perilaku yang mengelola dan melindungi kelestarian ekosistem terumbu karang. Penyadaran masyarakat dilakukan dimulai dari usia dini seperti anak SD untuk memahami manfaat ekologi terumbu karang. Kampanye penyadaran lewat brosur, media cetak, TV, internet dan lewat penyuluhan langsung. Langkah-Langkah yang diperlukan: 1. Program penyuluhan pengelolaan terumbu karang yang berbasis masyarakat di daerah pesisir. 2. Pelatihan pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat bagi penyuluh lapangan 3. Penyadaran pelestarian terumbu karang lewat muatan lokal kurikulum SD, SMP dan SMA di daerah pesisir 4. Penyadaran pelestarian terumbu karang lewat brosur, buku bacaan anak-anak, media cetak dan media elektonik.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 10
Strategi 2: Pelibatan masyarakat secara aktif untuk menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang Perencanaan pengelolaan terumbu karang terkait dengan penyelenggaraan pembangunan masyarakat disekitarnya. Untuk itu perlu adanya peningkatan peran serta masyarakat yang proaktif dan mampu menumbuhkan adanya peningkatan kesadaran untuk melestarikan sumberdaya alam laut. Guna menjamin
berlanjutnya proses peran masyarakat, perlu
dibangun mekanisme pengelolaan terumbu karang yang memberi ruang bagi aspek pengembangan masyarakat lokal serta mampu menjadi fasilitator bagi kegiatan pemanfaatan yang dilakukan masyarakat lokal. Pengembangan masyarakat lokal merupakan upaya mengakui hak dan kewajiban masyarakat yang bermukim di dalam kawasan perairan karang melalui keterlibatannya dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengelolaan dengan tetap memperhatikan tingkat kesejahteraannya. Aspirasi masyarakat sangat penting diperhatikan mengingat bahwa masyarakat terlebih dahulu mengelola kawasan laut perairan terumbu karang. Langkah-Langkah yang diperlukan: 1. Melibatkan masyarakat, instansi pemerintah, LSM, perguruan tinggi, dan pengusaha dalam berbagai usaha untuk melestarikan terumbu karang. 2. Menciptakan kader-kader motivator untuk mendukung kegiatan pelestarian terumbu karang. 3. Membentuk dan memberdayakan kelompok-kelompok/ organisasi masyarakat di kawasan perairan karang. 4. Mengembangkan prinsip-prinsip keterlibatan masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang. 5. Memberikan pelatihan bagi tenaga –tenaga lapangan untuk memberikan pendidikan lingkungan laut serta keterlibatan publik dalam pengelolaan terumbu karang. 6. Mengembangkan koordinasi pendanaan program, antara pemerintah pusat, pemerintah Propinsi/Kabupaten, organisasi non pemerintah, BUMN/BUMD, swasta dan masyarakat untuk perberdayaan masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 11
Strategi 3: Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat ekosistem karang Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat terumbu karang seperti pelindung pantai dari hempasan gelombang, sebagai habitat ikan, tempat mencai makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota laut. Terumbu karang yang bagus bisa untuk penyelaman (diving) dan snokling serta tempat penangkapan ikan komsumsi dan ikan hias. Karang juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan farmasi dan kerajinan tangan. Langkah-Langkah yang diperlukan: 1. Penyuluhan eksosistem terumbu karang dan manfaatnya 2. Melakukan program pemetaan partisipasif bersama masyarakat di wilayah pengelolaan tradisionilnya untuk melihat kondisi kondisi terumbu karang dan langkah-langkah pencegahan kerusakannya 3. Melakukan studi banding pada daerah yang maju dalam pengelolaan terumbu karangnya seperti Bali 4. Membuat pusat informasi terumbu karang di Teluk Lampung 5. Melakukan monitoring secara rutin dan seminar hasil- hasil penelitian karang di Teluk Lampung kerjasama Pemerintah Daerah, DKP Pusat, LIPI, Unila, masyarakat pesisir dan LSM. Strategi 4: Memperkuat sistem keamanan laut untuk menjaga ekosistem terumbu karang Penegakan hukum merupakan pelengkap dan pendukung komponen lain serta memiliki arti strategis dalam rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang. Penegakan hukum merupakan suatu proses pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari penegakan hukum preventif bersifat pencegahan dan penegakan hukum represif bersifat penindakan.
Penegakan hukum preventif adalah semua kegiatan hukum seperti
pencemaran dan terjadinya perusakan lingkungan terumbu karang. Keberhasilan pencegahan akan menjamin terjadinya pemulihan terumbu karang secara alami. Penegakan hukum represif adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk menindak setiap pelanggaran. Aparat penegak hukum yang berperan di laut adalah TNI AL dan Polisi Air. Pengawasan bersama masyarakat sangat penting untuk mengimbangi kekurangan personil
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 12
keamanan laut. Kegiatan penegakan hukum represif terdiri dari kegiatan identifikasi pelanggaran, penyidikan, penuntutan dan pemutusan perkara. Pemutusan perkara merupakan wenang penuh hakim yang memimpin sidang, atas dasar tuntutan yang telah telah dilakukan oleh jaksa dan kesaksian yang telah diberikan oleh anggota masyarakat atau unit pengawasan dan penegakan hukum yang bertindak sebagai saksi dalam sidang penuntutan perkara. Langkah-Langkah yang diperlukan: 1. Penambahan jumlah personil, sarana dan prasarana penegakan hukum dilaut. 2. Mengadakan pelatihan-pelatihan hukum laut, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem serta undang-undang perikanan bagi aparat penegak hukum. 3. Melakukan pengawasan secara intensif terhadap berbagai motif pelanggaran yang ada di wilayah laut. 4. Mengembangkan operasi pengamanan pesisir dan laut terpadu 5. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan operasi pengawasan di laut 6. Mengintensifkan sosialisasi terhadap produk hukum pelestarian terumbu karang yang dihasilkan. Strategi 5: Pengembangan teknologi penangkap ikan yang ramah lingkungan. Pembangunan perikanan tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya ikan dan cenderung berorientasi pada tujuan ekonomi semata kini telah menimbulkan kerusakan lingkungan. Adanya overfishing, kerusakan ekosistem mangrove, terumbu karang, dan ekosistem laut lainnya merupakan akibat pembangunan yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan.
Meningkatnya degradasi lingkungan laut tidak terlepas dari pesatnya
penggunaan alat dan praktek penangkapan yang bersifat destructive dalam penangkapan ikan. Overfishing pada beberapa area penangkapan menunjukkan keberadaan sumberdaya ikan berada dalam keadaan kritis. Semua itu dipicu beberapa hal, seperti banyaknya kegiatan penangkapan ikan yang berukuran belum layak tangkap (juvenile) serta laju penangkapan ikan yang melebihi nilai maximum sustainable yield. Penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing practice) seperti pengunaan bom dan potassium, terutama disekitar terumbu karang, mengakibatkan kerusakan ekosistem terumbu karang untuk jangka panjang, tanpa kecuali ikan-ikan yang bukan tujuan penangkapan.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 13
Langkah-Langkah yang diperlukan: 1. Melakukan pelarangan dan sanksi yang tegas penggunaan bom dan racun (potas) dalam menangkap ikan di terumbu karang. 2. Pengembangan alat tangkap ikan karang yang ramah lingkungan seperti bubu 3. Pengaturan jumlah tangkapan ikan karang sesuai daya dukung perairan 4. Pengaturan jenis dan ukuran ikan karang yang boleh ditangkap 5. Bantuan modal dari pemerintah/swasta untuk pengadaan alat tangkap yang ramah lingkungan 6. Memperluas pemasaran hasil perikanan ikan karang Strategi 6: Pengembangan mata pencaharian alternatif budidaya ikan karang Mata pencaharian alternatif merupakan mata pencaharian atau suatu uaha baru yang dikembangkan dalam rangka mengurangi atau menghilangkan tekananan terhadap terumbu karang sekaligus untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Tujuan pengembangan
mata
pencaharian
alternatif
adalah
untuk
mengurangi
atau
menghilangkan cara-cara penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya laut lainnya yang berakibat kerusakan terumbu karang. Sasaran, terbentuknya jenis-jenis usaha baru yang diterima masyarakat sebagai mata pencaharian alternatif untuk merubah kegiatan masyarakat dari bersifat merusak terumbu karang menjadi ramah lingkungan serta mampu meningkatkan penghasilan keluarga. Langkah-Langkah yang diperlukan: 1. Identifikasi jenis-jenis usaha budidaya ikan karang yang potensial 2. Penyusunan studi kelayakan budidaya ikan karang 3. Pelatihan teknik budidaya ikan karang 4. Menyusun usulan kegiatan untuk memperoleh bantuan modal usaha 5. Penerapan budidaya ikan karang yang ramah lingkungan dan berbasis masyarakat 6. Evaluasi dan monitoring bersama masyarakat tentang budidaya ikan karang
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 14
Strategi 7: Pelarangan penambangan karang untuk bahan bangunan Penambangan karang untuk bahan bangunan banyak dilakukan di sepanjang pantai Teluk Lampung dan pulau-pulau kecil. Walaupun sudah banyak aturan dari pemerintah tentang larangan pengambilan karang untuk bangunan seperti Keputusan Presiden, Surat Edaran Menteri KLH, Surat Edaran Dirjen Perikanan dan peraturan lainnya. Dalam pelaksanaan di lapangan belum ada sanksi yang tegas. Alasan masyarakat mengambil batu karang untuk pondasi rumah adalah batu karang lebih kuat dan mahalnya batu bata di pasaran, disamping itu menambang karang sangat mudah. Penambangan karang akan menurunkan persen penutupan karang dan menghilangkan substrat tempat menempelnya larva karang sebagai awal daur regenerasi karang. Langkah-Langkah yang diperlukan: 1. Melakukan pelarangan dan sanksi yang tegas penambangan karang untuk pondasi bangunan 2. Sosialisasi ke masyarakat dan dinas-dinas terkait tentang peraturan- peraturan yang berhubungan pelarangan penambangan karang untuk bangunan 3. Sosialisasi dampak penambangan terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang 4. Menerapkan sanksi yang tegas terhadap kontraktor yang menggunakan karang sebagai pondasi bangunan Strategi 8: Pembuatan Perda/Peraturan lainnya untuk melindungi ekosistem terumbu karang Peraturan daerah merupakan peraturan perundang-udangan tingkat daerah untuk mengatur daerahnya dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan daerah untuk pelestarian terumbu karang di Propinsi Lampung sangat penting sebagai payung hukum pengelolaan terumbu karang. Langkah-Langkah yang diperlukan: 1. Melibatkan peran serta masyarakat secara partisipatif dalam menyusun perda pelestarian terumbu karang 2. Membahas permasalahan kerusakan terumbu karang secara bersama, untuk ditanggulangi bersama antara stakeholders. 3. Proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah dilaksanakan secara bersama dengan stakeholders terkait
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 15
4. Melibatkan pihak LSM dan swasta dalam membahas substansi rancangan peraturan daerah pelestarian terumbu karang 5. Memberdayakan masyarakat pesisir dan institusi legistatif untuk membuat kebijakan yang berbasis masyarakat pada pengelolaan terumbu karang Strategi 9: Koordinasi terpadu antar lintas sektoral dalam pelestarian terumbu karang Koordinasi yang terpadu dalam pengelolaan terumbu karang sangat penting dalam dinasdinas terkait. Egosektoral sering terjadi dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan dan sering menghambat pembangunan. Untuk itu peranan Gubernur/Bupati/Walikota, Setda dan DPRD untuk menciptakan iklim kerja yang efektif dan profesional sangat penting dalam memperlancar birokrasi pelayanan umum dan pemerintahan. Langkah-Langkah yang diperlukan: 1. Mengembangkan misi dan visi yang sama dalam pengelolaan terumbu karang dinas terkait di Propinsi Lampung. 2. Menghilangkan egosektoral dalam pengelolaan terumbu karang 3. Melibatkan peran serta masyarakat, pemuda, LSM, Perguruan Tinggi, tokoh adat secara partisipatif dalam menyusun kebijakan pengelolaan terumbu karang. 4. Memberdayakan masyarakat pesisir dan institusi legistatif untuk membuat kebijakan yang mengakar pada masyarakat bawah 5. Menumbuhkan lagi adat istiadat pesisir yang berwawasan lingkungan di Propinsi Lampung untuk pelestarian terumbu karang. Strategi 10: Pengembangan mata pencaharian alternatif wisata bahari berbasis masyarakat. Selama dua dekade perkembangan pariwisata di Asia Pasifik, khususnya perkembangan wisata pantai dan wisata bahari menunjukkan pertumbuhan yang cukup pesat. Hal ini mengakibatkan pula semakin banyaknya masyarakat yang terlibat dalam pengembangan pariwisata. Teluk Lampung mempunyai potensi besar dalam pengembangan wisata pantai dan wisata bahari karena banyak mempunyai pantai pasir putih dan keindahan karang di pulau-pulau kecilnya. Perkembangan wisata bahari berpengaruh positif terhadap perluasan peluang usaha dan kerja. Peluang tersebut lahir karena adanya permintaan wisatawan. Dengan demikian kedatangan wisatawan ke suatu daerah akan membuka peluang bagi masyarakat untuk menjadi pengusaha penginapan, wisma, hotel, homestay, restoran,
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 16
warung, angkutan, pedagang asongan, sarana olah raga dan jasa lainya. Peluang usaha tersebut akan memberikan kesempatan masyarakat pesisir untuk bekerja dan sekaligus dapat menambah pendapatan untuk menunjang kehidupan rumah tangganya. Langkah-Langkah yang diperlukan: 1. Peningkatan promosi wisata bahari ke Teluk Lampung melalui pameran, brosur, TV, internet dan kerja sama biro perjalanan dan hotel 2. Mengundang investor wisata bahari ke Teluk Lampung 3. Mempermudah perijinan usaha wisata bahari 4. Penyediaan akses modal berusaha melalui kredit pada bank. 5. Peningkatan jasa angkutan laut sebagai sarana penghubung antar pulau kecil di Teluk Lampung 6. Pelatihan pengelolaan wisata bahari bagi aparat dinas pariwisata dan pelaku wisata bahari 7. Studi banding ke daerah lain yang sudah maju dalam wisata bahari seperti Bali dan Bunaken Strategi 11: Pengembangan program rehabilitasi karang dengan transplantasi. Transplantasi merupakan suatu teknik penanaman dan pertumbuhan koloni karang baru dengan metode fragmentasi, dimana benih karang diambil dari suatu induk koloni tertentu. Transplantasi karang bertujuan untuk mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah mengalami kerusakan atau untuk memperbaiki daerah terumbu karang yang rusak, terutama untuk meningkatkan keragaman dan persen penutupan. Berbagai fungsi/manfaat transplantasi karang antara lain: 1. Mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak. Hal ini berarti upaya untuk menghidupkan atau menanam kembali karang dengan benih-benih baru baik yang berasal dari tempat sekitarnya atau juga dapat berasal dari tempat lain. 2. Rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak. Aplikasi dari kegiatan ini adalah bagian-bagian yang nantinya dapat dilaksanakan untuk kegiatan konservasi. 3. Menciptakan komunitas baru dengan memasukkan spesies baru ke dalam ekosistem terumbu karang di daerah tertentu. 4. Konservasi plasma nutfah, disebut juga konservasi dari sumber keaneakaragaman hayati. 5. Keperluan perdagangan.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 17
Langkah-Langkah yang diperlukan: 1. Menentukan lokasi-lokasi yang cocok untuk daerah transplantasi karang 2. Mencari jenis-jenis karang yang cocok untuk bibit transplantasi 3. Bimbingan teknis penyelaman (diving) terhadap masyarakat yang terlibat dalam transplantasi karang 4. Penyusunan Buku Petunjuk Teknis Transplantasi Karang 5. Pilot proyek transplantasi karang hias untuk tujuan komersial yang berbasis masyarakat 6. Pilot proyek transplantasi karang untuk tujuan ekowisata Strategi 12: Pengembangan dan pengawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Daerah Perlindungan Laut merupakan salah satu model dalam upaya onservasi terumbu karang. Daerah ini adalah suatu wilayah pesisisr yang dipilih dan ditentukan sendiri oleh masyarakat lokal untuk dilindungi dan ditutup secara permanen dari semua kegiatan pengambilan oleh manusia. Tujuan DPL antara lain adalah: 1. Melindungi berbagai jenis ikan, karang serta tumbuhan dan hewan lainnya yang hidup di wilayah tersebut. DPL juga bertujuan melindungi pantai dan mangrove. 2. Menyediakan tempat yang aman untuk bertelur, tempat asuhan (pembesaran), dan tempat hidup biota (hewan dan tumbuhan) lainnya 3. Mewujudkan hak dan wewenang masyarakat lokal untuk mengelola sumberdaya pesisir dan laut mereka sendiri demi masa depan. DPL menjadi alat pembelajaran dalam memperkuat kapasitas dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya perlindungan sumberdaya pesisir dan laut. Dalam penetapan DPL dibutuhkan bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak yang terkait didalamnya. Pihak-pihak tersebut adalah Pemerintah, LSM, dan Perguruan Tinggi setempat yang diharapkan dapat membantu masyarakat dalam semua tahapan proses penetapan DPL, termasuk memberikan pendidikan lingkungan hidup, pelatihan serta bantuan teknis kepada masyarakat. Daerah perlindungan laut di Teluk lampung yang sudah ditetapkan antara lain DPL Pulau Sebesi dan Pulau Legundi. Lokasi-lokasi perairan lainnya perlu dibentuk dan dilakukan pengawasan terhadap DPL yang sudah ditetapkan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 18
supaya terjaga kelestariannya. Manfaat dari pembentukan Daerah Perlindungan Laut adalah: 1. DPL dapat meningkatkan hasil tangkapan perikanan lokal
2. Pembagian
keuntungan ekonomis dari pengelolaan DPL dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, masyarakat setempat, misalnya keuntungan dari dana kegiatan pemanfaatan pariwisata dan sebagainya 3. Pelibatan masyarakat setempat dapat membantu penegakkan peraturan karena mereka lebih cepat memahami dan menerima tujuan pembentukan DPL 4. Lestarinya sumberdaya ikan dan keanekaragaman hayati dalam sebuah DPL yang dikelola dengan baik, yang bisa menjamin kelangsungan hidup dan masa depan generasi mendatang. Langkah-Langkah yang diperlukan: 1. Penambahan daerah DPL baru di Teluk Lampung dengan persetujuan masyarakat dan Pemerintah Daerah 2. Pengenalan kepada masyarakat dan sosialisasi program- progran DPL 3. Pelatihan, pendidikan, dan pengembangan kapasitas masyarakat dalam mengelola DPL 4. Sosialisasi peraturan-peraturan DPL yang telah ada dan pembuatan peraturan baru sesuai dengan dinamika masyarakat 5. Penataan ruang laut untuk berbagai keperluan 6. Meningkatkan pengawasan dan Penegakan hukum terhadap kegiatan yang merusak karang 7. Pembukaan jalur transportasi langsung yang dapat menunjang pengembangan wisata bahari dan perikanan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab V - 19
Bab 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil Pemetaan Terumbu Karang Teluk Lampung, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perairan Teluk Lampung mempunyai ekosistem terumbu karang yang luas, umumnya tipe terumbu karang di Teluk Lampung adalah jenis “fringing reefs” (karang tepi). Berdasarkan hasil analisis citra Landsat ETM 7 luas total terumbu karang di Teluk Lampung ± 4823,493 Ha. Pertumbuhan karang secara umum didominasi oleh karang yang bentuk hidupnya merayap (encrusting), bercabang (branching) dan lembaran (foliose) terutama dari famili Acroporidae, Pocilloporidae, Poritidae dan Faviidae. 2. Kondisi penutupan karang hidup dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung termasuk dalam kriteria buruk (rusak) sampai baik. Dari 44 lokasi penyelaman di Teluk Lampung, status kondisi terumbu karang dalam kondisi baik 4 lokasi, kondisi buruk (rusak) ditemukan sebanyak 20 lokasi dan kondisi sedang sebanyak 20 lokasi. Terumbu karang dalam status kondisi baik terdapat di perairan Pulau Kelagian, Pulau Balak, Tanjung Putus, dan Pantai Ketapang. 3. Laju penurunan tutupan terumbu karang di perairan Teluk Lampung pada beberapa lokasi tertentu yang sama (yaitu di Pulau Tangkil, Pulau Tegal, Pulau Condong Darat, Pulau Kelagian, dan Pulau Puhawang) selama kurun waktu 8 (delapan) tahun, mulai dari tahun 1998 hingga tahun 2007 adalah 3% pertahun. Pada tahun 1998, kondisi tutupan terumbu karang di Teluk Lampung ada dalam kategori BAIK (65.5%), dan
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab VI- 1
pada tahun 2007 tutupan karang di beberapa lokasi ini menurun menjadi kategori SEDANG (29%). 4. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat dan hasil survey lapangan bahwa kerusakan terumbu karang Teluk Lampung di sebabkan oleh: Kegiatan Pemboman dan pemutasan karang untuk mencari ikan karang, Penambangan karang untuk bahan bangunan, jalan dan perhiasan, Sedimentasi akibat penebangan hutan dan pembukaan pertambakan dan Kerusakan karang akibat pembuangan jangkar kapal di pulau-pulau kecil karena kurangnya pelampung tambat (mooring buoy) dan dermaga. 5. Arahan rencana pengelolaan
terumbu karang Teluk Lampung ditekankan pada:
Peningkatan kesadaran masyarakat untuk melestarikan terumbu karang, Pelibatan masyarakat secara aktif untuk menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang, Meningkatkan
pengetahuan
masyarakat
tentang
manfaat
ekosistem
karang,
Memperkuat sistem keamanan laut untuk menjaga ekosistem terumbu karang, Pengembangan teknologi penangkap ikan yang ramah lingkungan, Pengembangan mata pencaharian alternatif budidaya ikan karang, Pelarangan penambangan karang untuk bahan bangunan, Pembuatan Perda/Peraturan lainnya untuk melindungi ekosistem terumbu karang, Koordinasi terpadu antar lintas sektoral dalam pelestarian terumbu karang, Pengembangan mata pencaharian alternatif wisata bahari berbasis masyarakat, Pengembangan program rehabilitasi karang dengan transplantasi, dan Pengembangan dan pengawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL).
6.2 Rekomendasi 1. Usulan penambahan Daerah Perlindungan Laut baru di Teluk Lampung dalam rangka pelestarian terumbu karang. 2. Perlu aturan dan sanksi yang tegas dalam pemanfaatan terumbu karang di Teluk Lampung sehingga kerusakannya dari tahun ke tahun tidak semakin bertambah parah. 3. Perlu dilakukan pembentukan Lembaga Pengelola Pengelola Terumbu Karang di Tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota yang bersifat terpadu dan partisipatif. 4. Mengembangkan program mata pencaharian alternatif bagi masyarakat disekitar kawasan konservasi laut dengan wisata bahari berbasis masyarakat dan budidaya laut.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab VI- 2
5. Perlu dilakukan tindakan rehabilitasi terhadap ekosistem terumbu karang yang telah mengalami kerusakan dengan program transplantasi karang. 6. Perlunya pedampingan dana dari APBN/APBD Propinsi Lampung setiap tahun untuk program pelestarian terumbu karang Teluk Lampung karena terumbu karang Teluk Lampung mempunyai nilai strategis dalam pengembangan wisata bahari, lingkungan hidup, penahan abrasi pantai, dan perikanan laut.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab VI- 3
DAFTAR REFERENSI Agus, S.B. dan Siregar, V.P. 2004. Penginderaan Jarak Jauh Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Anonimous. 2007. Landsat 7 Handbook. www.brsi.msu.edu Butler, M.J.A, M.c. Mouchot, V. Barale dan C. LeBlance. 1988. The Application of Remote Sensing Technology to Marine Fisheries: an Introductory Manual. FAO Fisheries Technical Paper: 295. Rome. 165 hal. CRMP. 1998. Propil Perairan Pantai Propinsi Lampung. Technical Report CRMP Lampung, Bandar Lampung. CRMP. 1998. Sumber-Sumber Pencemaran Wilayah Pesisir Lampung. Technical Report CRMP Lampung, Bandar Lampung. CRMP. 1998. Kondisi Oseanografi Perairan Pesisir Lampung. Technical Report CRMP Lampung, Bandar Lampung. Dishidros. 2003. Daftar Pasang Surut Kepulauan Indonesia. Dinas Hidro Oseanografi TNI AL. Jakarta, 524 hal. Danoedoro dan Projo. 1996. Pengolahan Citra Digital. Yogyakarta: Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. English, S., C. Wilkinson, and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Asean-Australia Marine Science Project. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Gomez, E. D. Dan H.T Yap. 1988. Monitoring Reef Conditions in: Kenchington R.A dan B.E.T Hudson (Eds). Coral Reef Management Handbook. Unesco Regional Office for Science and Technolohy for South-East Asia, Jakarta. Hal 171- 178. KLH. 2005. Kumpulan Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut. Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan. Kemeterian Lingkungan Hidup, Jakarta. Lillesand, T.M dan Kiefer, R.W. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (terjemahan), Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Mulyana, Y. 2006. Pedoman Standar Pelatihan Pengelolaan Berbasis Masyarakat. Proyek Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang. COREMAP II, DKP, Jakarta. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta, 368 hal. Prahasta, E. 2004. Sistem Informasi Geografis: Tutorial Arc View. Informatika, Bandung. Setiabudi dan Upik Rosalina W. 1996. Petunjuk Praktis Identifikasi dan Pemetaan Vegetasi dengan menggunakan Penafsiran Citra Landsat TM; Studi Kasus Sumatera, Bogor: makalah dalam seminar Tropical Forest Dynamic, SEAMEO-BIOTROP. Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh, Jilid 1 dan 2, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Trisakti, B. Hasyim, B. Dewanti, R. Hartuti, M. dan Winarso, G. 2003. Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh. LAPAN, Jakarta.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab VI- 1
Wyrtki, K. 1961. physical Oseanography of Southeast Asian Waters. Naga Report, Vol 2. Univ. California, LA Jolla, 195 p.
Pemetaan Terumbu Karang di Teluk Lampung
Bab VI- 2
Lampiran 2 : Arahan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang di Teluk Lampung (Mas parjito, Nama Dinas mohon direvisi sesuai dinas2 di Lampung) No
Strategi Pengelolaan
Program-Program
Institusi
Jangka Waktu (tahun) 1- 5 th
1
2
3
1. Program penyuluhan pengelolaan terumbu karang yang Dinas Pendidikan, Dinas Kelautan dan Strategi 1:Peningkatan kesadaran masyarakat Perikanan, LSM, UNILA, TVRI, TV Swata berbasis masyarakat di daerah pesisir. untuk melestarikan terumbu karang 2. Pelatihan pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat bagi penyuluh lapangan 3. Penyadaran pelestarian terumbu karang lewat muatan lokal kurikulum SD, SMP dan SMA di daerah pesisir 4. Penyadaran pelestarian terumbu karang lewat brosur, buku bacaan anak-anak, media cetak dan media elektonik. Strategi 2: Pelibatan masyarakat secara aktif untuk menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang
1. Melibatkan masyarakat, instansi pemerintah, LSM, Dinas Kelautan dan Perikanan, LSM, perguruan tinggi, dan pengusaha dalam berbagai usaha UNILA, Bapeda, Polisi Perairan, TNI AL untuk melestarikan terumbu karang. 2. Menciptakan kader-kader motivator untuk mendukung kegiatan pelestarian terumbu karang. 3. Membentuk dan memberdayakan kelompok-kelompok/ organisasi masyarakat di kawasan perairan karang. 4. Mengembangkan prinsip-prinsip keterlibatan masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang. 5. Memberikan pelatihan bagi tenaga –tenaga lapangan untuk memberikan pendidikan lingkungan laut serta keterlibatan publik dalam pengelolaan terumbu karang. 6. Mengembangkan koordinasi pendanaan program, antara pemerintah pusat, pemerintah Propinsi/Kabupaten, organisasi non pemerintah, BUMN/BUMD, swasta dan masyarakat untuk perberdayaan masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang.
Dinas Kelautan dan Perikanan, UNILA, LSM, Strategi3: Meningkatkan pengetahuan 1. Penyuluhan eksosistem terumbu karang dan manfaatnya Balibangda, Bapedalda masyarakat tentang manfaat ekosistem 2. Melakukan program pemetaan partisipasif bersama karang masyarakat di wilayah pengelolaan tradisionilnya untuk melihat kondisi kondisi terumbu karang dan langkahlangkah pencegahan kerusakannya 3. Melakukan studi banding pada daerah yang maju dalam pengelolaan terumbu karangnya seperti Bali 4. Membuat pusat informasi terumbu karang di Teluk Lampung 5. Melakukan monitoring secara rutin dan seminar hasilhasil penelitian karang di Teluk Lampung kerjasama Pemerintah Daerah, DKP Pusat, LIPI, Unila, masyarakat pesisir dan LSM.
5- 10 th
10 - 15
Lanjutan Lampiran 2 : Arahan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang di Teluk Lampung No
Strategi Pengelolaan
Program-Program
Institusi
Jangka Waktu (tahun) 1- 5 th
4
1. Penambahan jumlah personil, sarana dan prasarana Polisi Perairan, TNI AL, Dinas Kelautan dan Strategi 4: Memperkuat sistem keamanan Perikanan, Kejaksaan, Kejati, Biro Hukum penegakan hukum dilaut. laut untuk menjaga ekosistem terumbu 2. Mengadakan pelatihan-pelatihan hukum laut, konservasi karang sumberdaya alam hayati dan ekosistem serta undangundang perikanan bagi aparat penegak hukum. 3. Melakukan pengawasan secara intensif terhadap berbagai motif pelanggaran yang ada di wilayah laut. 4. Mengembangkan operasi pengamanan pesisir dan laut terpadu 5. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan operasi pengawasan di laut 6. Mengintensifkan sosialisasi terhadap produk hukum pelestarian terumbu karang yang dihasilkan.
5
Dinas Perikanan dan Strategi 5: Pengembangan teknologi 1. Melakukan pelarangan dan sanksi yang tegas Deperindag, Balibangda, penangkap ikan yang ramah lingkungan penggunaan bom dan racun (potas) dalam menangkap UNILA, Dinas Perdagangan ikan di terumbu karang.
Kelautan, Bapedalda,
2. Pengembangan alat tangkap ikan karang yang ramah lingkungan seperti bubu 3. Pengaturan jumlah tangkapan ikan karang sesuai daya dukung perairan 4. Pengaturan jenis dan ukuran ikan karang yang boleh ditangkap 5. Bantuan modal dari pemerintah/swasta untuk pengadaan alat tangkap yang ramah lingkungan 6. Memperluas pemasaran hasil perikanan ikan karang 6
Dinas Perikanan dan Kelautan, Bapeda, Strategi 6: Pengembangan mata pencaharian 1. Identifikasi jenis-jenis usaha budidaya ikan karang yang LSM, Unila alternatif budidaya ikan karang potensial 2. Penyusunan studi kelayakan budidaya ikan karang 3. Pelatihan teknik budidaya ikan karang 4. Menyusun usulan kegiatan untuk memperoleh bantuan modal usaha 5. Penerapan budidaya ikan karang yang ramah lingkungan dan berbasis masyarakat 6. Evaluasi dan monitoring bersama masyarakat tentang budidaya ikan karang
5- 10 th
10 - 15
Lanjutan Lampiran 2 : Arahan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang di Teluk Lampung No
Strategi Pengelolaan
Program-Program
Institusi
Jangka Waktu (tahun) 1- 5 th
7
Strategi 7: Pelarangan penambangan karang 1. Melakukan pelarangan dan sanksi yang penambangan karang untuk pondasi bangunan untuk bahan bangunan
tegas
Dinas Kimpraswil, Polisi Perairan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Kejati, Bapedalda, BKSDA Lampung
2. Sosialisasi ke masyarakat dan dinas-dinas terkait tentang peraturan- peraturan yang berhubungan pelarangan penambangan karang untuk bangunan 3. Sosialisasi dampak penambangan terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang 4.
8
9
Menerapkan sanksi yang tegas terhadap kontraktor yang menggunakan karang sebagai pondasi bangunan
Dinas Kelautan dan Perikanan, DPRD, Strategi 8: Pembuatan Perda/Peraturan 1. Melibatkan peran serta masyarakat secara partisipatif LSM, UNILA, Bapedalda, Balibangda, Biro lainnya untuk melindungi ekosistem terumbu dalam menyusun perda pelestarian terumbu karang Hukum, BKSDA Lampung karang 2. Membahas permasalahan kerusakan terumbu karang secara bersama, untuk ditanggulangi bersama antara stakeholders. 3. Proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah dilaksanakan secara bersama dengan stakeholders terkait 4. Melibatkan pihak LSM dan swasta dalam membahas substansi rancangan peraturan daerah pelestarian terumbu karang 5. Memberdayakan masyarakat pesisir dan institusi legistatif untuk membuat kebijakan yang berbasis masyarakat pada pengelolaan terumbu karang Strategi 9: Koordinasi terpadu antar lintas sektoral dalam pelestarian terumbu karang
1. Mengembangkan misi dan visi yang sama dalam Bapeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, pengelolaan terumbu karang dinas terkait di Propinsi LSM, Balitbangda, UNILA, TNI AL, Polisi Perairan, BKSDA Lampung Lampung. 2. Menghilangkan egosektoral dalam pengelolaan terumbu karang 3. Melibatkan peran serta masyarakat, pemuda, LSM, Perguruan Tinggi, tokoh adat secara partisipatif dalam menyusun kebijakan pengelolaan terumbu karang. 4. Memberdayakan masyarakat pesisir dan institusi legistatif untuk membuat kebijakan yang mengakar pada masyarakat bawah 5. Menumbuhkan lagi adat istiadat pesisir yang berwawasan lingkungan di Propinsi Lampung untuk pelestarian terumbu karang.
5- 10 th
10 - 15
Lanjutan Lampiran 2 : Arahan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang di Teluk Lampung No
Strategi Pengelolaan
Program-Program
Institusi
Jangka Waktu (tahun) 1- 5 th
10
11
Strategi 10: Pengembangan mata pencaharian alternatif wisata bahari berbasis masyarakat.
1. Peningkatan promosi wisata bahari ke Teluk Lampung melalui pameran, brosur, TV, internet dan kerja sama biro perjalanan dan hotel 2. Mengundang investor wisata bahari ke Teluk Lampung 3. Mempermudah perijinan usaha wisata bahari 4. Penyediaan akses modal berusaha melalui kredit pada bank. 5. Peningkatan jasa angkutan laut sebagai sarana penghubung antar pulau kecil di Teluk Lampung 6. Pelatihan pengelolaan wisata bahari bagi aparat dinas pariwisata dan pelaku wisata bahari 7. Studi banding ke daerah lain yang sudah maju dalam wisata bahari seperti Bali dan Bunaken
Strategi 11: Pengembangan program 1. Menentukan lokasi-lokasi yang cocok untuk daerah transplantasi karang rehabilitasi karang dengan transplantasi.
Dinas Pariwisata, Dinas Tenaga Kerja, Dinas kelautan dan Perikanan, Bank BUMN dan Swasta, Dinas Perhubungan,
Dinas Kelautan dan Perikanan, BKSDA Lampung, Bapedalda, Balitbangda, P3OLIPI, UNILA, LSM
2. Mencari jenis-jenis karang yang cocok untuk bibit transplantasi 3. Bimbingan teknis penyelaman (diving) terhadap masyarakat yang terlibat dalam transplantasi karang 4. Penyusunan Buku Petunjuk Teknis Transplantasi Karang 5. Pilot proyek transplantasi karang hias untuk tujuan komersial yang berbasis masyarakat 6. Pilot proyek transplantasi karang untuk tujuan ekowisata 12
Strategi 12: Pengembangan pengawasan Daerah Perlindungan (DPL)
dan 1. Penambahan daerah DPL baru di Teluk Lampung dengan persetujuan masyarakat dan Pemerintah Daerah Laut
2. Pengenalan kepada masyarakat dan sosialisasi programprogran DPL 3. Pelatihan, pendidikan, dan pengembangan kapasitas masyarakat dalam mengelola DPL 4. Sosialisasi peraturan-peraturan DPL yang telah ada dan pembuatan peraturan baru sesuai dengan dinamika masyarakat 5. Penataan ruang laut untuk berbagai keperluan 6. Meningkatkan pengawasan dan Penegakan hukum terhadap kegiatan yang merusak karang 7. Pembukaan jalur transportasi langsung yang dapat menunjang pengembangan wisata bahari dan perikanan
Dinas Kelautan dan Perikanan, BKSDA Lampung, Polisi Perairan, TNI AL, Bapeda, Bapedalda, balitbangda, UNILA, LSM, Dinas Kehutanan
5- 10 th
10 – 15