Kata Mereka tentang KUMCER Pasir "Membaca buku ini seperti berkaca terhadap hal-hal sederhana dalam hidup yang perlu kita kenang dan hargai. Buku kumpulan cerita pendek karya Hasdevi bisa membangkitkan haru dan senyum saat membacanya. Cerita ini dibuka dengan kisah hubungan seorang anak perempuan dengan ayahnya yang menyentuh hati, kemudian kisah anak laki-laki yang beranjak dewasa, cinta masa remaja, hingga tema pluralitas dan filosofi 'pasir' yang tersampaikan tanpa ada kesan menggurui. Kami pun tersanjung karena Endah N Rhesa menjadi bagian dari beberapa kisah dalam buku ini. Kisah sederhana, penuturan yang mudah diterima, sangat membantu siapa pun untuk bisa terhubung dengan emosi dan karakter yang ada dalam ceritanya. Bravo, Hasdevi. Semoga tulisan-tulisanmu bisa terus memberikan inspirasi dan membuat bahagia pembaca." [Endah n Rhesa – Musisi dengan album Nowhere to Go, Look What We’ve Found, Escape dan Seluas Harapan] “Munculnya penulis-penulis muda tentu harus kita sambut karena akan terus menghidupkan dunia perbukuan negara ini. Kumpulan cerpen Hasdevi ini memiliki warna yang khas yang layak dibaca, dan mungkin menjadi awal karirnya sebagai penulis berbakat di Indonesia.” [Ika Natassa — Penulis AVYW, Divortiare, Underground, Antologi Rasa, Twivortiare 1 & 2 dan Critical Eleven]
“Setelah aku baca kumpulan cerpen "Pasir" ini, ternyata isinya keren banget. Alur ceritanya bisa dimaknai banyak orang yang bacanya. Dan ceritanya menyentuh banget apalagi yg judulnya "Waktu", pokoknya kumpulan cerpen ini recommended banget deh!” [Lici Meiranti – Finalis Miss Indonesia 2014] “Setiap cerita membawa pesan tersendiri bagiku dan sangat mengena di hati.” [Yoni Elviandri – Travel Writer] “Banyak cerita yang mengharukan dan pesan-pesan moralnya mempersuasikan pembaca untuk mampu bersyukur dan selalu membuat refleksi terhadap diri sendiri.” [Sarastika Tiastiningsih – Founder @mix.all] “Cerita-cerita yang dekat dengan keseharian hidup manusia. Melalui tata kalimat yang rapi, kisahnya mengalir sederhana namun sarat makna.” [Atana Sarah Dinda Nadhirah – Founder @goodnoteid]
2
Sepotong Cerita dalam Segenggam Pasir Setiap orang pasti membutuhkan sebuah penyegaran dari rutinitasnya sehari-hari. Bagi saya, tidak ada metode penyegaran diri sebaik menulis. Menulis adalah media terbaik bagi saya berimajinasi dan menciptakan berbagai kata-kata terbaik dan ‘meramunya’ hingga menjadi sebuah tulisan. Kecintaan seorang teman pada pasir, kemudian mampu membuat saya berimajinasi untuk memahami filosofi pasir yang seringkali terdengar. Makin digenggam, ia makin terlepas. Dari situlah kemudian cerita pendek tentang ‘Pasir’ kemudian tercipta dan menjadi salah satu karya cerita pendek terbaik yang pernah saya tulis. Tidak ada hal yang lebih menyenangkan dibanding ketika melihat naskah yang selama ini hanya tersimpan di laptop kini berubah menjadi sebuah buku. Harapan saya, semoga kumpulan cerita pendek ini menjadi dekat di hati siapa pun yang membacanya.
Hasdevi a. dradjat
3
Sinopsis Ivana adalah seorang gadis yang sedang melakukan penelitian di Bali. Sebenarnya, ia juga sedang menghindar sejenak dari masalahnya di rumah. Ketika melihat pantai, ia pun terkenang pada sahabatnya yang sangat mencintai pasir dan bercita-cita untuk mengelilingi seluruh pantai di Indonesia dengan mobil. Perjalanannya ke Bali pun membuatnya mengalami sebuah pertemuan yang tidak terduga. Akankah pertemuan itu mampu membuat masalahnya terselesaikan? Mampukah Ivana membuat keputusan terbaik untuk masalahnya tersebut? Cerita pendek berjudul Pasir tersebut adalah salah satu dari dua belas cerita pendek yang terdapat di buku ini. Pasir, Sebuah Kumpulan Cerita Pendek, berisi kumpulan cerita pendek yang ditulis selama tahun 20092015. Persahabatan, keluarga, dan cinta menjadi tema utama dari kumpulan cerita pendek ini. Dua belas cerita pendek ditulis dengan gaya bahasa yang ringan dengan harapan mampu menginspirasi siapapun yang membaca buku kumpulan cerita ini. 4
“WAKTU” Ditulis untuk Mengikuti Sayembara Lomba Cerpen yang diselenggarakan oleh Taman Fiksi NOVEMBER 2015
5
Orang bijak pernah berkata bahwa waktu bagai dua sisi mata uang: jika kamu pandai mengaturnya, waktu akan menjadi sahabat bagimu. Namun, bila kamu tidak pandai mengatur waktu, jangan heran bila suatu saat kamu hanya akan menangisinya yang pergi begitu cepat, tanpa pernah bisa kamu atur kembali. Adalah Ayah, orang yang selalu mengajariku akan pentingnya mengatur waktu. Seperti sore hari ini. Sore hari di Semarang yang seharusnya dipakai Ayah untuk sekedar tidur atau beristirahat setelah menempuh perjalanan panjang sejauh 493 kilometer dari Bogor. Tapi, alih-alih istirahat dan tidur, Ayah justru mengajakku untuk berkeliling jalan sore. Beliau sama sekali tidak mengindahkan lelahnya. Dengan sigap, Ayah langsung memasang sepatu larinya dan langsung melakukan pemanasan ringan sebelum berolahraga. “Riany, ayo, Nak.” Ayah tersenyum sambil menarik lenganku dan mengajakku berdiri. Biasanya, aku agak malas tapi hari ini sepertinya senyum Ayah mampu membuatku berubah pikiran dan langsung memasang sepatu lariku. Sore ini, matahari terlihat lebih hangat daripada biasanya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore sehingga matahari terlihat sedang bersiap
6
untuk kembali ke peraduannya. Beruntung sekali karena hari ini aku menikmatinya bersama Ayah. “Ayah capek nggak, Yah?” tanyaku pelan pada Ayah. Pertanyaan yang sebenarnya cukup retoris karena sebenarnya rasa lelah tergambar dengan sangat jelas di wajah Ayah. Keringat tidak henti-hentinya mengucur dari pelipis wajah Ayah. “Nggak, Sayang. Ayah nggak capek.” Ayah membelai rambutku dengan lembut, “Ayah justru sudah sangat rindu sama kamu, Nak. Rasa lelah Ayah di jalan semuanya terbayar karena berhasil bertemu denganmu. Segera selesaikan penelitian skripsimu di sini, ya, Nak, agar kita bisa cepat pulang ke rumah.” Aku terharu. Bagiku, memiliki waktu berkualitas bersama Ayah memang terasa agak mahal terutama setelah Ayah seringkali ditugaskan ke luar kota. Pekerjaan Ayah sebagai peneliti di bidang perkebunan memang seringkali memaksa beliau untuk keluar-masuk daerah demi melakukan sosialisasi program perkebunan yang baik bagi para penduduk desa. “….” Aku hanya tersenyum. Ingin rasanya memeluk Ayah demi merasakan lebih dekat kasih sayang Ayah untukku.
7
“Nak, kamu mau tahu sesuatu? Dari dulu, Ayah selalu bangga sama kamu, Nak.” Ayah tersenyum hangat. Kemudian, dengan kata-kata yang sederhana beliau coba menggambarkan perasaan yang dirasakannya padaku. Aku yang tumbuh besar menjadi anak yang penurut. Sedari dulu, aku selalu bangga dengan nama belakangku yang diambil dari nama belakang Ayah. Selalu bangga menjadi putri Ayah. Namun, sebuah memori sempat mendistraksi pikiranku. Memori ini mampu membuatku kembali lagi ke masa lalu—masa dimana aku sempat memiliki pertengkaran hebat dengan Ayah.
Bersambung..
8