Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa
RECONCEIVE BRAGA Nama Mahasiswa: Eldwin Pradipta
Nama Pembimbing: Deden Hendan Durahman, M.Sch
Program Studi Sarjana Bidang Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB Email:
[email protected]
Kata Kunci : Seni Intermedia, lukisan Jalan Braga, mooi indie, Hindia beku, simulasi, pemetaan proyeksi video
Abstrak Jalan Braga di Kota Bandung adalah salah satu objek wisata yang hampir setiap harinya ramai dilewati pengunjung. Salah satu hal yang menarik dari jalan ini adalah para pedagang lukisan yang setiap hari menjajakan dagangannya kepada para pengunjung di sepanjang Jalan Braga. Kegiatan jual beli ini telah berlangsung selama puluhan tahun, membentuk sebuah pasar seni sederhana yang permanen. Semasa kecil, sebelum menjalani pendidikan Seni Rupa di ITB, penulis cukup mendapat pengalaman estetis dari lukisan-lukisan Jalan Braga, penulis mengagumi keindahan dan kemampuan para pelukisnya dalam meniru alam ke media lukisan. Semakin lama menjalani pendidikan seni rupa, penulis semakin menyadari bahwa cara pandang penulis terhadap lukisan-lukisan tersebut semakin berubah. Selain faktor personal tersebut, penulis juga merasa tertarik dengan posisi lukisan jalanan ini di masyarakat dan di sejarah seni rupa Indonesia, juga mengenai asal mula visual yang digunakan di dalam lukisan-lukisan ini, dan relevansi asal muasal visual tersebut dengan keadaan sekarang saat penulis berkarya. Hal-hal tersebut mendorong penulis untuk membuat karya dengan mengangkat tema lukisan jalanan, khususnya lukisan-lukisan Jalan Braga. Karya yang dibuat adalah sebuah simulasi keadaan toko ataupun kios penjual lukisan di Jalan Braga yang dibuat menggunakan teknik pemetaan proyeksi video yang ditembakkan ke bingkai-bingkai berwarna putih. Setiap bingkai memuat visual lukisan Jalan Braga yang perlahan bergerak.
Abstract Braga Street is one of the most popular recreation spots in Bandung City, almost every day this street crowded by visitors. One interesting part of this street is the painting traders who trying to sell the painting to the visitors along Braga Street. This trading activity has been going on for decades, established a modest but permanent art market. As a child, before undergoing arts education at ITB, the author quite gets aesthetic experience from the paintings at Braga Street, the author admire the beauty and the artist's ability to mimic nature in the paintings. After being a fine arts student, the author realizes that author's perspective about the paintings are getting changed. In addition to these personal factor, author also felt attracted to positions of Braga Street painting in society and in art history of Indonesia also the origin of the visuals used in these paintings, and relevance beetwen visual origin of the paintings with present time. These things encourage authors to create works about street painting. The work created is a simulation of Braga art market condition created using video mapping techniques that are projected into white frames. Each frame contains a visual of Braga Street Painting that slowly moving.
1. Pendahuluan Sejarah seni rupa modern Indonesia dimulai dari Masa Romantisisme Raden Saleh, ditandai dengan karya-karya dari Raden Saleh Syarif Bustaman (1807-1880), seorang seniman Indonesia yang belajar seni rupa di Eropa pada tahun 1939. Lukisan-lukisannya yang mengadopsi aliran Naturalisme dan Romantisisme, seringkali memperlihatkan studi hewan dan pemandangan namun dengan dibalut emosi rasa takut dan takjub menghadapi kebesaran alam. Karya-karya yang memperlihatkan kelincahan seekor kijang, kegagahan kawanan kuda, harimau yang haus darah, ataupun banteng yang marah merupakan ciri dari era romantisisme ini.
Masa Romantisisme kemudian berlanjut pada era Mooi Indie, masa penjajahan Belanda di Indonesia saat itu menyebabkan banyak pelukis Belanda yang datang untuk menetap dan berkarya di Indonesia. Para pelukis Belanda ini memiliki gaya yang berbeda dari Raden Saleh, mereka mengagumi keindahan Alam Indonesia dan mengabadikannya dalam lukisan-lukisan. Aliran Mooi Indie ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh pelukis pribumi, diantaranya Abdullah Suryosubroto, Wakidi, dan M. Pirngadie. Gaya para pelukis, yang saat itu berdomisili di Bandung ini, menarik minat para pemuda setempat untuk belajar melukis. Selain karena keindahannya, juga karena lukisan jenis ini laku di pasaran. Mulailah bermunculan para pelukis-pelukis rakyat, generasi awal pelukis-pelukis rakyat ini mendapatkan pengaruh langsung dari lukisan-lukisan Abdullah Suryosubroto, yang kemudian mempengaruhi pemuda-pemuda lain untuk belajar dan memproduksi lukisan serupa bergaya Mooi Indie. Beberapa pelukis rakyat juga mulai meniru gaya romantisisme Raden Saleh, dengan objek hewan seperti kuda, dan harimau. Motivasi utama dalam memproduksi lukisan-lukisan ini adalah untuk mendapatkan penghasilan lebih dibanding bertani ataupun menjadi buruh pabrik. Kelompok-kelompok pelukis rakyat ini tumbuh tidak hanya di Kota Bandung, tetapi juga di daerah-daerah lain di sekitarnya, seperti daerah Cipacing dan kemudian Desa Jelekong. Perkembangan kelompok pelukis di Bandung dapat dikatakan cukup pesat. Jalan Braga, yang hampir selalu ramai sebagai salah satu objek wisata Kota Bandung, hingga kini terkenal juga sebagai pusat penjualan lukisan-lukisan rakyat ini. Para pelukis yang umumnya tidak memiliki modal besar, menjajakan lukisan-lukisan hasil karyanya di sepanjang Jalan Braga. Karena itulah genre lukisan rakyat ini dikenal juga dengan istilah lukisan jalanan. Sementara sejarah seni rupa modern Indonesia terus berlanjut dengan munculnya PERSAGI yang menyatakan perlawanan terhadap aliran Mooi Indie karena dianggap hanya mengeksploitasi keindahan tanpa pesan kemanusiaan, para pelukis jalanan tetap bertahan dengan objek-objek pemandangan indah dan hewan-hewan hingga sekarang. Genre lukisan ini terpisah dari alur sejarah seni rupa modern Indonesia, yang terus berkembang dengan munculnya gaya-gaya baru menentang gaya-gaya sebelumnya. Penulis melihat bahwa terbentuk sebuah pola di masyarakat, di mana kelanjutan dari seni yang modern ini hanya digeluti oleh sekelompok masyarakat tertentu saja, masyarakat medan sosial seni rupa. Sementara masyarakat umum lainnya tidak mampu, baik secara finansial maupun pemahaman, untuk mengakses seni ini. Masyarakat umum tersebut pada akhirnya lebih akrab dengan bentuk-bentuk seni lainnya yang berada di luar seni rupa modern Indonesia, semisal lukisan jalanan. Sanento Yuliman, salah seorang penulis dan kritikus seni rupa Indonesa, dalam karangan ringkasnya yang berjudul "Dua Seni Rupa" menggunakan istilah 'seni rupa atas' dan 'seni rupa bawah' untuk menyebut dua jenis seni rupa ini. Secara singkat seni rupa atas dapat diartikan sebagai seni rupa yang pelakunya berasal dari lapisan sosial menengah ke atas, seniman-senimannya tersaring dari pendidikan tinggi seni rupa, contoh seni rupa ini antara lain seni lukis modern, seni patung modern, dan cabang-cabang desain industri. Sementara seni rupa bawah adalah seni rupa yang kegiatannya berada di lapisan sosial menengah ke bawah, di praktekkan oleh golongan kurang mampu dan kurang terpelajar. Misalnya lukisan kaca, lukisan jalanan, lukisan becak, lukisan dan patung Bali, dan berbagai barang lainnya bikinan rakyat jelata. Secara pribadi, penulis merupakan seorang yang berasal dari keluarga dan lingkungan tanpa latar belakang seni rupa. Sebelum menjalani pendidikan Seni Rupa di ITB, penulis merasa lebih akrab dengan karya-karya seni rupa bawah, yang memang pada dasarnya lebih mudah ditemukan di lingkungan sekitar penulis. Semasa kecil, penulis sangat jarang mengalami pengalaman estetik dengan melihat karya seni. Salah satu dari sedikit pengalaman tersebut penulis dapat saat melihat lukisan-lukisan jalanan yang dijual di toko-toko sepanjang Jalan Braga kota Bandung. Pada saat itu, sosok seniman yang dapat penulis temukan hanyalah para pembuat lukisan jalanan tersebut. Penulis juga beranggapan bahwa seperti itulah kehidupan para seniman Indonesia, dan seperti itulah karya-karya seni rupa Indonesia. Sedikit banyak, penulis mengagumi keindahan lukisan-lukisan tersebut, bagaimana para pembuatnya mampu meniru pemandangan alam maupun hewan-hewan dan melukiskannya di atas bidang datar kanvas. Selama menjalani pendidikan Seni Rupa, penulis semakin menyadari bahwa seni rupa yang dipelajari di institusi ini merupakan jenis seni rupa atas, seni rupa yang berbeda dengan seni rupa dalam bentuk lukisan jalanan yang pernah Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 2
Eldwin Pradipta
penulis temui sebelumnya. Lebih lanjut penulis menyadari bahwa lukisan-lukisan jalan Braga ini tidak dibuat dengan meniru objek-objek dari alam, melainkan dengan meniru lukisan-lukisan pada fase Romantisisme Raden Saleh dan Mooi Indie. Begitu juga dengan pelukis jalanan generasi setelahnya, hasil lukisannya dibuat dengan meniru lukisanlukisan jalanan generasi sebelumnya. Proses saling tiru ini sudah menjadi sesuatu yang biasa di antara para pelukis jalanan. Hal ini misalnya dapat terlihat dari beberapa lukisan-lukisan di sepanjang Jalan Braga yang secara sepintas terlihat sangat serupa satu sama lain. Seringkali perbedaan hanya terdapat pada komposisi objek-objeknya yang sedikit diubah atau dalam pemilihan skema warna. Perubahan cara pandang penulis terhadap lukisan jalanan, khususnya lukisan Jalan Braga, sebelum dan sesudah menjalani pendidikan seni rupa, mendorong penulis untuk membuat sebuah karya instalasi yang merekonstruksi kembali etalase toko dan kios lukisan Jalan Braga, sekaligus merespon visual-visual yang ada pada lukisan tersebut. Selain itu penulis juga tertarik pada sebuah kritik dari sejarawan Onghokham yang mengatakan bahwa visual lukisan Mooi Indie, yang merupakan asal muasal visual lukisan Braga, adalah kenyataan yang dibekukan dan digunakan untuk menutupi kenyataan lainnya yang sebetulnya tidak indah dan penuh pergolakan pada masa kolonial. Keadaan ini berkorelasi dengan siatuasi sekarang di mana alam seringkali tidak diasosiasikan dengan keindahan saja, tetapi lebih berkesan pada bencana, kengerian, dan kekhawatiran. Sementara lukisan-lukisan Jalan Braga tetap memperlihatkan keadaan alam yang dibekukan saat masih molek dan menentramkan. Pemilihan media baru untuk mewujudkan karya ini didasari sebagai penanda zaman dimana penulis hidup dan berkarya saat ini, selain itu media baru, seperti juga lukisan-lukisan jalanan, memiliki posisi yang menarik menyangkut batasan high art dan low art, di mana secara medium, seni media baru ini pada awal kemunculannya lebih condong dikategorikan pada kelompok yang 'low'. Penggunaan elemen-elemen yang lekat dengan media baru, seperti dimensi waktu, proyeksi, dan ke-digital-an, diharapkan mampu berbicara banyak mengenai klasifikasi seni rupa atas dan seni rupa bawah yang juga menarik bagi penulis.
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 3
2. Proses Studi Kreatif Reconceive Braga Landasan Teori
Rumusan Masalah -
Bagaimana menghadirkan kembali memori penulis akan lukisan jalanan melalui sebuah karya seni?
-
Bagaimana mengejawantahkan persepsi penulis mengenai lukisan jalanan sebelum dan sesudah menjalani pendidikan seni rupa?
-
Literatur Sejarah Seni Rupa Moden Indonesia Literatur Dua Seni Rupa Literatur High Art & Low Art Literatur Mooi Indie sebagai Hindia yang Dibekukan Literatur video art, projection, dan pemetaan proyeksi video
Bagaimana menghasilkan sebuah karya instalasi media baru dengan menggunakan unsur-unsur visual yang diambil dari karya seni golongan seni rupa bawah? Batasan Masalah -
Lukisan-lukisan Jalan Braga, dengan visual yang paling sering direproduksi dan membawa gaya mooi indie.
-
Teknik-teknik media baru, seperti motion graphic, 3D modeling, 3D animation, particle simulation, dan video mapping.
Tujuan Berkarya -
Pelengkap syarat mata kuliah Tugas Akhir Seni Grafis SR4099. Mewujudkan visi penulis mengenai seni golongan seni rupa bawah. Membuka kemungkinan teknik-teknik baru dalam seni media baru.
Proses Berkarya -
Foto digital lukisan Braga dijadikan acuan untuk membuat karya Lukisan-lukisan tersebut digerakkan menggunakan berbagai teknik CGI, 3D modeling, 3D animation, dan motion graphic. Lukisan yang telah bergerak diproyeksikan menggunakan teknik pemetaan proyeksi video ke tujuh buah bingkai yang disusun sedemikian rupa di dinding ruang pamer.
Karya akhir
Kesimpulan Bagan II.1 Proses studi kreatif
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 4
Eldwin Pradipta
3. Hasil Studi dan Pembahasan
Gambar III.1 Screenshoot footage Reconceive Braga (sumber: penulis)
Reconceive Braga jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia secara harafiah berarti "Memikirkan kembali Braga", dimana pada karya ini penulis berusaha menghadirkan kembali suasana etalase pertokoan yang menjual lukisan di Jalan Braga. Selain itu, melalui karya ini juga penulis merenungkan lagi pengaruh-pengaruh dari lukisan Jalan Braga terhadap diri penulis secara personal. Bagaimana cara pandang penulis telah berubah pada lukisan-lukisan ini, karena adanya klasifikasi seni rupa atas dan seni rupa bawah. Dan bagaimana akhirnya penulis menanggapi keberadaan seni rupa atas dan seni rupa bawah ini. Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 5
Gambar III.2 Screenshoot dokumentasi Reconceive Braga (sumber: penulis)
Tata cara display yang penulis gunakan dalam karya ini merupakan peniruan dari siasat para penjual lukisan Jalan Braga untuk memanfaatkan sebaik-baiknya lokasi berjualan yang pada dasarnya sangat terbatas. Para penjual lukisan Braga pada umumnya berasal dari kalangan ekonomi lemah yang tidak memiliki banyak modal untuk menyewa tempat perjualan yang memadai, oleh karena itu para penjual memajang barang dagangannya di setiap permukaan dinding yang ada di lokasi ia berjualan. Penggunaan sudut ruangan juga berdasar pertimbangan untuk memberi kesan ruang sempit kepada audiens, sebagaimana keadaan di toko-toko para penjual lukisan Braga. Sudut ruangan pada dasarnya terbentuk dari petemuan dua buah dinding ruangan. Penulis menilai bahwa keadaan ini lebih mampu merepresentasikan ruangan yang sempit dan serba terbatas, dibanding hanya menggunakan satu sisi dinding saja. Bingkai berulir dengan berbagai motif dipilih karena pada umumnya lukisan-lukisan Braga dijual dan nantinya dipajang menggunakan bingkai jenis ini. Kebiasaan ini dapat dihubungkan dengan para penjual bingkai di sepanjang jalan Braga yang menjual bingkai berulir dengan berbagai motif.
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 6
Eldwin Pradipta
Tujuh buah lukisan yang ditampilkan melalui proyeksi digital merupakan lukisan-lukisan yang paling sering direproduksi dengan cara ditiru. Setiap penjual lukisan di Jalan Braga memiliki beberapa versi dari lukisan-lukisan ini, beberapa diantaranya malah memiliki tingkat kemiripan yang tinggi dan hanya dibedakan dari skema warna yang digunakan. Lukisan-lukisan ini diakui sering di buat ulang karena paling banyak peminatnya. Pergerakan-pergerakan pada visual lukisan merupakan respon penulis pada objek-objek yang ada pada lukisan. Penulis mencontek lukisan-lukisan tersebut dan menciptakan sebuah karya yang baru, sebagaimana para pembuatnya juga menghasilkan lukisan-lukisan tersebut dengan cara mencontek lukisan sebelumnya. Perilaku contek-mencontek untuk menghasilkan lukisan baru ini dapat ditelusuri terus hingga era Mooi Indie dan Romantisisme Raden Saleh. Pergerakan tersebut secara umum menimbulkan rasa kengerian dan ketakutan akan alam, mengingatkan audiens dan penulis sendiri bahwa alam tidak selalu indah sebagaimana lukisan Mooi Indie yang visualnya tidak mengalami banyak perubahan semenjak era Abdullah Suryosubroto. Pada era Mooi Indie salah satu kritik yang ditujukan pada lukisan Mooi Indie adalah mengenai kebekuannya yang hanya menunjukkan keindahan di pedesaan Hindia. Padahal pada masa kolonialisme desa-desa merupakan pusat pergolakan dan keresahan rakyat terjajah. Visual lukisan Jalan Braga yang beku tersebut penulis gerakkan dan cairkan untuk menunjukkan realita-realita di luar keindahan alam yang ditawarkan oleh lukisan-lukisan Jalan Braga. Di mana pada era penulis sekarang alam seringkali membawa malapetaka dan kengerian. Penulis menggunakan medium new media art untuk menghasilkan karya ini karena media baru sendiri memiliki posisi yang menarik di batasan high art dan low art. Sebagaimana dikemukakan oleh John A. Fisher dalam tulisannya "High art versus Low art", bahwa pada saat kemunculannya semenjak abad ke 18, media baru telah dikembangkan untuk kebudayaan massal, dimana kemudian bentuk-bentuk baru yang muncul dari media ini dikelompokkan ke dalam yang 'low'. Misalnya saja bioskop yang pada awal kemunculannya dianggap bentuk seni yang lebih rendah dibandingkan dengan teater. Bagi penulis, lukisan Jalan Braga sendiri juga memiliki posisi yang menarik di seni rupa Indonesia secara luas, dimana ia digolongkan pada seni rupa bawah, tetapi ia juga merupakan sebuah bentuk seni yang dekat dengan masyarakat luas, lebih dekat dari karya-karya seni rupa atas yang aksesnya terbatas. Penulis berpendapat bahwa klasifikasi seni rupa atas dan seni rupa bawah, sebagaimana juga klasifikasi high art maupun low art, tidak berhubungan dengan pembagian seni yang baik dan seni yang buruk. Keduanya tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari seni rupa Indonesia, namun keduanya berdiri sejajar tanpa ada yang lebih unggul dibanding yang lainnya.
4. Penutup / Kesimpulan Karya tugas akhir ini dibuat untuk merekonstruksi pengalaman masa kecil penulis saat melihat lukisan-lukisan di Jalan Braga. Lebih jauh lagi karya ini dibuat untuk merenungkan kembali bagaimana sikap dan cara pandang penulis terhadap lukisan-lukisan Jalan Braga secara khusus, dan karya-karya golongan seni rupa bawah secara umum. Dalam pembuatan karya ini penulis menyadari bahwa cara pandang penulis terhadap lukisan Jalan Braga telah berubah sebagai dampak dari pendidikan Seni Rupa yang penulis terima di Institut Teknologi Bandung. Penulis juga menyadari bahwa institusi pendidikan seni merupakan salah satu faktor yang menyebabkan klasifikasi seni rupa atas dan seni rupa bawah semakin jelas terpetakan. Visual-visual Mooi Indie yang terbawa hingga era penulis melalui lukisan Jalan Braga menimbulkan perenungan bahwa visual alam indah yang dibekukan tersebut semakin tidak relevan dengan keadaan alam saat penulis hidup sekarang, di mana bencana alam hampir terjadi setiap hari dan menimbulkan kesan yang mengerikan dan ketakutan akan alam itu sendiri. Selama proses berkarya penulis semakin menerima bahwa kedua seni rupa tersebut memang ada dan tidak dapat dihilangkan. Tetapi yang lebih penting adalah kesadaran penulis bahwa seni rupa atas dan seni rupa bawah, seperti juga high art dan low art, tidak bisa diidentikkan dengan klasifikasi seni rupa yang baik dan seni rupa yang buruk. Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 7
John A. Fisher menyebut cara pandang ini sebagai 'pluralistic hierarcicalism'. Sebagaimana Ted Cohen yang menyatakan bahwa seni rupa atas dan bawah ini dipisahkan lebih karena perbedaan kepentingan dari para audiensnya. Namun keduanya tetap memenuhi kebutuhan estetik yang sama-sama penting meskipun berbeda satu sama lain.
Ucapan Terima Kasih Artikel ini didasarkan kepada catatan proses berkarya/perancangan dalam Tugas Akhir Program Studi Sarjana bidang Seni Rupa FSRD ITB. Proses pelaksanaan Tugas Akhir ini disupervisi oleh pembimbing Bapak Deden Hendan Durahman, M.Sch. .
Daftar Pustaka -
Angkasa, Bintang (2012): "Kajian Pola Produksi, Distribusi, Konsumsi Lukisan Jalan Braga, Bandung", Skripsi Program Sarjana: Institut Teknologi Bandung
-
Cohen, Ted (1993): "High and Low Thinking about High and Low Art" dalam Journal of Aesthetics and Art Critisism Vol. 51, 151-156.
-
Cohen, Ted (1997): "High and Low Art, and High and Low Audience" dalam Journal of Aesthetics and Art Critisism Vol. 57, 137-143.
-
Fisher, John A (2005): "High Art Versus Low Art" dalam B. Gaut dan D. Lopes (Ed.), Routledge Companion to Aesthetics, London: Routledge Press, 527-540.
-
Gunning, Tom (2009): "The Long and the Short of it: Centuries of Projecting Shadows, from Natural Magic to AvantGarde" dalam Douglas, S. dan Eamon, C. (Ed.), The Art of Projection, Ostfildern: Hatje Cantz Verlag.
-
Nur S., R. (1986): "Lukisan Desa Jelekong Kabupaten Bandung", Skripsi Program Sarjana: Institut Teknologi Bandung
-
Onghokham (1994): "Hindia yang Dibekukan: Mooi Indie dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial" dalam Kalam Edisi 3.
-
Ran, Faye (2009): "A History of Installation Art and the Development of New Art Forms", New York: Peter Lang.
-
Suryatna, Ayat (1996): "Menjadi Tukang Gambar: Studi Tentang Proses Transmisi Kemampuan Menggambar Pada Masyarakat Jelekong - Bandung", Tesis Program Pascasarjana: Universitas Indonesia
-
Veth, P. Johannes (1878): "Java: Geographisch, Ethnologisch, Historisch", Amsterdam: De Erven F. Bohn
-
Yuliman, Sanento (1984): "Dua Seni Rupa" dalam Hasan A. (Ed.), Dua Seni Rupa: Serpihan Tulisan Sanento Yuliman, Jakarta: Yayasan Kalam.
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 8