PERBEDAAN PERATURAN PBB DI PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERITAH DAERAH SERTA EFEKTIVITAS PENGELOLAAN BPHTB SETELAH DIKELOLA OLEH PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA Nama Mahasiswa
: Elisa Setiyowati
Fakultas
: Ekonomi
Progran Studi
: Akuntansi
Nama Pembimbing
: Christine Tjen
Abstrak Daerah Serta Efektivitras Pengelolaan BPHTB Setelah Dikelola Oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Penelitian ini menganalisis perbedaan peraturan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan yang diggunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang akan mulai dikelola pada Tahun 2013 oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta menganalisa efektivitas penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan setelah dikelola oleh Pemerintah Povinsi DKI Jakarta. Metode penelitian ini menggunakan studi kasus terhadap peraturan Undang-Undang serta Peraturan Daerah serta melakukan wawancara tentang kesiapan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di dalam pengelolaan PBB dan telah Efektinya penerimaan BPHTB yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Kata Kunci : Peraturan; PBB; BPHTB; Efektivitas Penerimaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya sebagai bentuk pembangunan ekonomi yang berbasis kemandirian. Dengan pembangunan perekonomian daerah secara mandiri tersebut, diharapkan dapat meningkatkan perekonomian Indonesia secara menyeluruh. Penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan otonomi daerah, pembangunan secara berkesinambungan (Sustainability) dan pelayanan pada masyarakat.
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
Di Indonesia, perwujudan pembangunan daerah adalah dengan adanya otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggung jawab seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pembangunan ekonomi daerah diharapkan dapat terwujud melalui pengelolaan sumber-sumber daerah. Dalam Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan sumber pendapatan daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, Dana Perimbangan dan Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dari berbagai jenis sumber penerimaan tersebut, Pendapatan Asli Daerah khususnya hasil pemungutan pajak daerah merupakan salah satu bentuk implementasi atas makna yang terkandung dalam UU nomor 32 Tahun 2004 yaitu tuntutan daerah untuk mengelola potensi yang dimilikinya dalam rangka pencapaian perekonomian yang berbasis kemandirian. Pajak dan Retribusi daerah diatur di dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang PDRD kemudian diubah kembali menjadi UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009, Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam penjelasan UU Nomor 28 Tahun 2009, disebutkan pula bahwa perluasan basis pajak dilakukan sesuai kriteria yang baik, yaitu tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat mobilitas penduduk, arus lalulintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis pajak baru. Perluasan basis pajak dilakukan pada Pajak Kendaraan Bermotor
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran. Sementara itu ada empat jenis pajak baru bagi daerah yaitu Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) telah dilimpahkan pada tahun 2011, Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) akan dilimpahkan tahun 2013 dan Pajak Rokok yang akan dilimpahkan pada tahun 2014 sebagai pajak baru bagi provinsi. Pemungutan Pajak Daerah dipayungi oleh UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD, yang merupakan penyempurnaan UU Nomor 34 Tahun 2000. Adapun peraturan perundangan lain yang juga menaugi pajak daerah antara lain : 1. UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang PDRD 2. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 3. UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 4. UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD 5. PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah 6. PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah Penyempurnaan UU PDRD yang diterapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut mempunyai beberpa tujuan antara lain : 1. Memperbaiki sistem pemungutan pajak daerah dan retiribusi daerah dengan mengubah sistem pemungutan, dimana dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 Provinsi boleh menambah jenis retribusi daerah dan kabupaten/ kota boleh menambah jenis PDRD sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU, sedangkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 daerah tidak boleh memungut PDRD selain yang ditetapkan UU dan PP 2. Pemungutan perpajakan daerah (local taxing empowerment) dengan memperluas objek PDRD, menambah jenis PDRD, menaikan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, member diskresi penetapan tarif pajak pada daerah.
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
3. Meningkatkan efektifitas pengawasan pungutan pajak daerah dengan mengubah sistem pengawasan yang semula bersifat represif menjadi bersifat preventif dan korektif, serta pembatalan Peraturan Daerah bermasalah yang semula hanya Mendagri dengan pertimbangan Menkeu sekarang harus lewat Presiden usulan Mendagri berdasarkan rekomendasi Menkeu. Pelanggaran ketentuan PDRD juga dikenakan sanksi berupa penundaan dan pemotongan Dana Perimbangan (DAU dan DBH Pajaknya) 4. Menyempurnakan pengelolaan PDRD dengan bagi hasil pajak provinsi, earmarking dan insentif pemungutan. Dimana yang dimaksud dengan earmarking adalah pemanfaatan yang sesuai untuk pemungutan suatu jenis pajak. Pada penjelasan UU Nomor 28 Tahun 2009 dijelaskan pula bahwa pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi daerah yang saat ini kurang mendukung pelaksanaan otonomi daerah, pemberian kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi daerah. Untuk mendukung terselenggaranya otonomi daerah, Pemerintah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, telah memberikan perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi yang dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif, dimana hal ini diatur di dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Di DKI Jakarta Pajak Daerah diatur oleh Pemerintah Daerah Ketentuan Formal diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah. Untuk Ketentuan Materialnya untuk Pajak PBB diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 16 Tahun 2011 dan untuk Ketentuan Marterial
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
BPHTB diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 18 Tahun 2010. Pada Bulan Januari 2011 telah dilimpahkannya pengelolaan atas Pajak BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yang dikelola oleh pemerintah pusat dilimpahkan ke Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dan untuk PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) rencananya akan dilimpahkan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Pada Tanggal 18 Januari 2013, untuk pelimpahan PBB ini sendiri penerapannya akan dimulai pada tahun 2013. Atas dasar pelimpahan kewenangan pengurusan Pajak Pusat yang dilimpahkan ke Pemerintah Daerah penulis ingin meneliti apakah ada perbedaan penerapan sistem pemungutan BPHTB yang dilakukan Pemerintah Pusat dengan Pemungutan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Dan sampai sejauh mana persiapan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah dalam rangka pelimpahan kewenangan PBB yang akan dilakukan di tahun 2013.
1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang ada maka penulis ingin merumuskan penelitian ini ke dalam beberapa hal : (1)
Bagaimanakah perbedaan peraturan yang digunakan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah untuk pelimpahan PBB di tahun 2013?
(2)
Bagaimanakah
efektivitas
pelaksanaan
di
lapangan
setelah
dilimpahkan ke Pemerintah Prov. DKI Jakarta menjadi Pajak Daerah? Tinjauan Teoris 2.1 Pengertian Pajak
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
BPHTB
Pajak menurut Undang-Undang KUP Pasal 1 Ayat (1) Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terdapat beberapa pengertian menurut ahli mengenai pajak yaitu : •
Prof. Dr. P. J. A. Adriani Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
•
Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro S.H. Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
•
Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R. Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan. Berdasarkan pendapat para ahli di atas tersebut disimpulkan bahwa pajak adalah
iuran atau pungutan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kotrasepsi langsung yang diatur dalam ketentuan norma dan bersifat memaksa dalam rangka pelaksanaan roda pemerintahan terutama dalam hal pembiayaan atas pengeluaran yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
2.1.1 Fungsi Pajak Peraturan pajak dibuat dengan didasarkan pada tujuan meningkatkan kesejahteraan umum. Untuk meningkatkan kesejahteraan umum aturan pajak tidak semata-mata dibuat untuk pemasukan ke kas Negara, akan tetapi harus memiliki sifat yang mengatur guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penerimaan atas uang untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat harus ditingkatkan lagi serta pemungutnya harus berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. Fungsi pajak menurut Mardiasmo (2003) dalam bukunya yang berjudul “Perpajakan” adalah fungsi budgetair dan fungsi Regulator. Fungsi budgetair merupakan pemungutan pajak yang bertujuan untuk memaksimalkan pemasukan uang ke dalam kas Negara yang akan digunakan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran Negara baik pengeluaran rutin dalam melaksanakan mekanisme pemerintahan maupun pengeluaran untuk membiayai pembangunan sementara itu sebagai fungsi Regulator pada lapangan perekonomian, pengaturan pajak memberikan memberikan dorongan kepada pengusaha untuk memperbesar produksinya, dapat juga memberikan keringanan atau pembesaran pajak pada para panbung dengan maksud menarik uang dari masyarakat dan menyalurkannya antara lain ke sektor produktif. Dengan adanya industri baru maka dapat menampung tenaga kerja yang lebih banyak, sehingga pengangguran berkurang dan pemerataan pendapatan akan dapat terlaksana untuk mencapai keadilan social ekonomi dalam masyarakat. 2.1.1.3 Asas-asas Pemungutan Pajak Pemungutan pajak baik yang dikelola pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selalu berpedoman pada asas-asas pemungutan pajak (Mardarismo 2003) yaitu: a. Asas Kebangsaan Bahwa pajak pendapatan dipungut terhadap orang-orang yang bertempat tinggal di Indonesia. b. Asas Tempat Tinggal
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
Pajak pendapatan dipungut bagi orang-orang yang bertempat tinggal di Indonesia ditentukan menurut keadaan c. Asas Sumber Penghasilan Jika sumber penghasilan berada di Indonesia dengan tidak memperhatikan subjek tempat tinggal. Selain asas-asas berpedoman kepada hal tersebut diatas, ada asasasas pemungutan pajak yang dilandasi falsafah hukum. Selain itu ada teori pajak, yaitu : 1. Teori Perlindungan Negara mempunyai fungsi melindungi rakyat dengan segala kepentingannya seperti keselamatan jiwa dan harta. Untuk kepetingan-kepentingan tugas-tugas negara itu masyarakat harus membayar pajak. 2. Teori Kepentingan Teori ini memperhatikan memungut pembagian beban penduduk seluruhnya supaya adil. Akan tetapi Karena teori ini dapat membenarkan adanya hak pemerintah untuk memungut pajak dari rakyat dapat pula digolongkan dalam teori yang memperkuat beban pajak didasarkan atas kepentingan masing-masing orang dalam tugas pemerintahan termasuk dalam perlindungan jiwa orang-orang berserta harta bendanya 3. Teori bukti Menurut teori ini seseorang tidak dapat berdiri artinya tanpa adanya persekutuan dimana persekutuan ini menjelma sebagai negara. Bahkan tiap-tiap individu menyadari tugas social sebagai tanda bukti kebaktian kepada negara dalam bentu iuran atau pajak. Teori gaya piku pemungutan pajak didasrkan pada gaya pikul individu dalam masyarakat yaitu dalam tekanan pajak tidak harus sama besarnya untuk tiap orang. Jadi beban pajak harus sesuai pemikul beban. Ukuran kemampuan pikul antara lain penghasilan, kekayaan, dan pengeluaran belanja seseorang. Ada pula asas pemungutan pajak yang dikeumukakan oleh Adam Smith (Waluyo, 2005) didasarkan pada asas berikut : a. Equality
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merta, yaitu pajak dikenakan kepada orang atau pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. b. Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran c. Convinience Kapan wajib pajak itu harus membayar sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak d. Economy Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib pajak Metode Penelitian Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Menurut Sekaran (2009), studi kasus meliputi analisis mendalam dan konstektual terhadap situasi yang mirip dalam organisasi lain, di mana sifat dan definisi masalah yang terjadi adalah serupa dengan yang dialami dalam situasi saat ini. Studi kasus yang bersifat kualitatif adalah berguna dalam menerapkan solusi pada masalah terkini berdasarkan pengalaman pemecahan masalah di masa lalu. Metode Pengumpulan data Untuk keperluan analisis data, penelitian ini memerlukan sejumlah data pendukung yang berasal dari survey literatur, wawancara dan observasi. Menurut Sekaran (2009), ada beberapa metode pengumpulan data dalam suatu penelitian. Metode pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut : a. Studi Literatur
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
Studi literatur merupakan dokumentasi dari tinjauan menyeluruh terhadap karya publikasi dan nonpublikasi dari sumber sekunder dalam bidang khusus bagi peneliti. Perpustakaan merupakan pusat penyimpanan yang kaya bagi data sekunder dan peneliti biasanya menghabiskan beberapa minggu dan terkadang bulan untuk menelusuri buku, jurnal, surat kabar, majalah, laporan konferensi, disertasi doktoral, tesis master, publikasi pemerintah, laporan keuangan, pemasaran dan lainnya, untuk menemukan informasi yang terkait dengan topik penelitian mereka. b. Wawancara Wawancara digunakan untuk memperoleh informasi mengenai isu yang diteliti. Wawancara bisa terstruktur atau tidak terstruktur, dan dilakukan melalui tatap muka, telepon, bantuan komputer, dan media elektronik. Wawancara terstruktur ditandai dengan pewawancara sudah memiliki daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada responden sedangkan wawancara tidak terstruktur daftar pertanyaan yang terencana sebagai acuan untuk mengajukan pertanyaan kepada responden tidak ada. Sumber data bisa diperoleh dari sumber data primer dan data sekunder (Sekaran, 2009). a) Data Primer. Data primer mengacu pada informasi yang diperoleh dari tangan pertama oleh peneliti yang berkaitan dengan variabel minat untuk tujuan spesifik studi. b) Data Sekunder. Datasekunder mengacu pada informasi yang dikumpulkan yang dikumpulkan oleh seseorang dan bukan peneliti yang melakukan studi mutakhir. Dalam penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut : a.
Studi Literatur Studi literatur pada penelitian ini dilakukan dengan medokumentasikan data yang diperoleh dari buku, jurnal, tesis master, publikasi pemerintah, laporan keuangan dan lainnya.
b.
Wawancara
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
Wawancara dilakukan dengan tatap muka dan termasuk ke dalam jenis wawancara terstuktur. Wawancara dengan tatap muka mempunyai kelebihan yaitu peneliti dapat menyesuaikan pertanyaan sesuai dengan kebutuhan, mengklarifikasi keraguan, dan memastikan bahwa respons dipahami dengan tepat, dengan mengulangi atau mengatakan kembali pertanyaan. c.
Observasi Metode observasi adalah peroses pencatatan pola perilaku subyek (orang), objek (benda) atau kejadian yang sistematik tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu yang diteliti. Observasi berarti mengumpulkan data langsung di lapangan. Maksud utama dilakukan observasi adalah menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Kelebihan metode ini dibandingkan adalah data yang dikumpulkan umumnya tidak terdistorsi, lebih akurat dan bebas dari respons bias. Metode ini menghasilkan data yang lebih rinci mengenai perilaku (subjek), benda atau kejadian (objek). Metode pengumpulan data dengan cara observasi ini dapat dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama adalah menjadi pengamat partisipan, yaitu pengamat menjadi bagian atau masuk ke dalam suatu organisasi tempat dilakukan penelitian dan mempelajari situasi di organisasi tersebut. Yang kedua adalah menjadi pengamat nonpartisipan, dimana pengamat hanya mengamati situasi tempat dilakukan penelitian tanpa harus menjadi bagian di dalam organisasi tersebut.
Sedangkan untuk sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Data Primer Pada penelitian ini data primer diperoleh dari wawancara. Jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstuktur oleh instansi terkait yang langsung menangani pajak daerah khususnya PBB dan BPHTB. b. Data Sekunder Data sekunder pada penelitian ini didapat dengan melakukan studi literatur dan melakukan pencarian data-data pendukung dari berbagai sumber. Sumber-
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
sumber tersebut berupa buku, jurnal, tesis master, publikasi pemerintah, laporan perpajakan dan target dan realisasi penerimaan pajak daerah dan lainnya. Teknik Analisis Data Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Di dalam metode kualitatif, tidak ada formula yang absolut untuk mengetahui variabilitas dan reliabilitas. Analisa data di dalam penelitian. Kualitatif maksudnya adalah mengatur secara sistematis bahan hasil wawancara dan observasi, menafsirkannya dan menghasilkan suatu pemikiran, pendapat, teori atau gagasan yang baru. Di dalam penelitian ini, data-data yang telah dikumpulkan yang berupa data primer dan data sekunder yang di dapat dengan metode survey literatur dan wawancara menjadi bahan pertimbangan untuk mencapai tujuan penelitian. Menganalisa perbedaan Peraturan yang digunakan Pemerintah Pusat Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1994 tentang PBB dan Peraturan Gubernur No. 16 Tahun 2011 tentang PBB P2 (Perdesaan dan Perkotaan), dan membandingkan BPHTB yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah meningkat dibandingkan dengan Pemerintah Pusat, dengan meningkatnya penerimaan BHTB sebagai Pajak Daerah apakah terdapat perbedaan pelayanan yang dilakukan oleh Pemeritah Pusat dengan Pemerintah Daerah sistem yang digunakan apakah terdapat perbedaan antara Pusat dan Daerah.
Hasil Penelitian PBB berdasarkan UU No. 12 Tahun 1994 dan PBB berdasarkan Perda No. 16 Tahun 2011 Dalam bab ini akan dijabarkan perbedaan peraturan antara Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang pengelolaan PBB yang digunakan sewaktu menjadi pajak pusat dengan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2011 yang akan digunakan
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
mulai tanggal 1 Januari 2013 saat PBB P2 telah dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta UU Nomor 12 Tahun 1994
Perda Nomor 16 Tahun 2011
TARIF PAJAK
Tarif Pajak yang dikenakan atas Tarif
pajak
Objek Pajak adalah sebesar Bangunan
Bumi
dan
Perdesaan
dan
0.5% (Lima per sepuluh persen) perkotaan ditetapkan sebagai berikut : a. Tarif 0,01% (nol koma nol satu persen) untuk Nilai Jual Objek Pajak Tanah dan/ atau Bangunan kurang dari Rp.
200.000.000,-
(dua
ratus juta rupiah) b.
Tarif 0,1% (Nol koma satu persen) untuk Nilai Jual Objek
Pajak
dan/
Bangunan
atau Rp.
200.000.000,-
(dua
ratus
juta rupiah) s/d kurang dari Rp. 2.000.000.000,- (Dua Milyar rupiah); c. Tarif 0,2% (nol koma dua persen) untuk Nilai Jual Objek
Pajak
dan/ataun
bangunan
Tanah Rp.
2.000.000.000 d.
Tarif 0,3% (nol koma tiga persen) untuk Nilai Jual
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
Objak Pajak Tanah dan/ atau
Bangunan
10.000.000.000,-
Rp. (sepuluh
miliar rupiah) atau lebih DASAR
1. Dasar
PENGENAAN
adalah
PAJAK (DPP)
Pajak.
Pengenaan
Pajak 1. Dasar
pengenaan
Nilai
Objek
dan
Jual
bumi
Pajak
Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
2. Besarnya Nilai Jual Objek 2. Besarnya NJOP ditetapkan Pajak ditetapkan setiap tiga
1 (satu) tahun
tahun oleh Mentri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan
perkembangan
daerahnya. 3. Dasar
penghitungan
pajak 3. Penetapan besarnya NJOP
adalah Nilai Jual Kena Pajak
ditetapkan dengan Peraturan
yang
Gubernur
ditetapkan
serendah-
rendahnya 20% (dua puluh persen)
dan
tingginya
200%
setinggi(seratus
persen) dari Nilai Jual Objek Pajak. 4. Besarnya
presentase
Nilai
Jual Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan
memperhatikan
kondisi ekonomi nasional.
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
CARA
1. Besarnya
pajak
yang 1. Besarnya
pokok
Pajak
PENGHITUNGAN
terhutang dihitung dengan
Bumi dan Bangunan yang
PAJAK
cara mengalikan tarif pajak
terhutang dihitung dengan
dengan Nilai Jual Kena Pajak
cara
mengkalikan
tarif
dengan dasar pengenaan pajak
setelah
dikurangi
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak. 2. Ketentuan
lebih
mengenai
tat
perhitungan
PBB
Rumah
diatur
cara
Susun
Apartemen
Strata
dengan
lanjut
ata dan Title
Peraturan
Gubernur.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Penerapan tarif Pajak Bumi dan Bangunan di perkotaan khususnya di Provinsi DKI Jakarta akan memacu pembangunan ekonomi kearah daerah pinggiran atau wilayah pengembangan, terutama jika dana hasil Pajak Bumi dan Bangunan tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi di wilayah pengembangan, sehingga akan terjadi peningkata NJOP karena peningkatan harga pasar nilai jual tanah dan bangunan akibat pengembangan yang akan dilakukan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mampu melaksanakan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Tahun 2013 dikarenakan dilihat dari segi peraturan yang telah dibuat serta SDM yang telah dimiliki Pemda DKI Jakarta telah siap untuk pengalihan PBB di tahun 2013. Dari segi peraturan
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
yang akan disahkan di Tahun 2013 oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta telah mempertimbangkan
segala
permasalahan
yang
akan
dihadapi
dalam
pengelolaan PBB ke depannya sehingga seluruh aspek yang akan menjadi persoalan ke depan telah di tuangkan ke dalam Perdaturan Daerah. 2. Proporsi penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan bangunan (BPHTB) terhadap APBD dapat digunakan sebagai salah satu indikator stabilitas penerimaan
dan
kemandirian
daerah
dalam
membiayai
pengeluaran-
pengeluarannya. Semakin besar proporsi penerimaan BPHTB semakin besar stabilitas pemerintah daerah dan semakin meningkat pula kemandirian daerah dalam membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta ditinjau dari aspek yuridis pendirian organisasi, teori organisasi serta penunjang kegiatan di dalam pelaksanaan organisasi berupa sumber daya manusia, sumber dana, peralatan mesin, prosedur kerja, bahan berupa data-data yang akurat dan penggunaa dari output jasa yang dihasilkan serta analisis kinerja melalui perhitungan serta perbandingan angka rasio pajak yang dikelola Pemerintah Pusat dan pajak yang dikelola Pemerintah Propinsi DKI Jakarta sehingga Pemerintah Propinsi DKI Jakarta telah efektif dalam melaksanakan pengelolaan BPHTB sejak pendaerahan di Tahun 2011. Saran 1. Peningkatan kualitas kemampuan petugas pemungut/pengukur/penilai obyek pajak PBB berupa pelatihan atau diklat yang menyangkut tata cara pendataan obyek pajak PBB, pengisian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, pembuatan peta blok PBB, pembuatan zona nilai tanah, peta wilayah PBB, penilaian obyek pajak PBB maupun aplikasi computer obyek pajak. 2. Optimalisasi dalam penerimaan BPHTB dilakukan dengan cara peningkatan kualitas pelayanan BPHTB kepada masyarakat dengan cara memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam melakukan validasi BPHTB di kantor-kantor Unit Pelayanan Pajak Daerah di masing-masing wilayah, tersedianya bank-bank
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013
persepsi yang ditunjuk di setiap Unit Pelayanan Pajak Daerah sehingga dapat memudahkan pembayaran BPHTB. Tinjauan Pustaka Darwin, (2010). Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta : Mitra Wacana Media Devas, Nick. (1989). Financial Local Government In Indonesia. Ohio: Ohio University, Monographs In International Studies. Kuncara, Agus. (2003), Persiapan Pengelolaan PBB di Provinsi DKI Jakarta. Tesis S2-MPKP Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mardiasmo. (2003). Perpajakan. Yogyakarta : Andi Yogyakarta Marihot, Siahaan P. (2005). Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta : Grafindo Mudrajad, Kuncoro. (2004). Otonomi dan Pengembangan Daerah : Reformasi Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta : Erlangga Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Ketentuan Pajak Daerah. Biro Hukum Sekertaris Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan (BPHTB). Biro Hukum Sekertaris Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Biro Hukum Sekertaris Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Perbedaan Peraturan ..., Elisa Setiyowati, FE UI, 2013