Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
PEMBERDAYAAN PETANI GARAM DALAM MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL (POTRET PETANI GARAM DI DESA PANDAI KECAMATAN WOHA KABUPATEN BIMA) Iskandar Dinata Abstrak: Pemberdayaan masyarakat tidak hanya menyangkut persoalan ketidakmampuan secara ekonomi saja, melainkan sebuah konsep yang menyangkut seluruh aspek kehidupan. Pemberdayaan (empowerment) telah menjadi usaha yang selalu diterapkan dalam upaya pembangunan masyarakat, baik yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, maupun oleh masyarakat itu sendiri. Hanya saja pemberdayaan tersebut masih belum mampu (gagal) menyejahterahkan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana yang menjadi cita-cita UUD 1945, karena pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari pembangunan terkesan jalan di tempat. Hal tersebut terlihat dari minimnya masyarakat mandiri sebagai output dari pemberdayaan itu sendiri karena masyarakat selalu diposisikan semata-mata sebagai objek bukan sebagai aktor sentral (pelaku) dalam pembangunan. Sehingga masyarakat lemah akan tetap lemah, bahkan menjadi semakin lemah dan tak berdaya. Pemberdayaan masyarakat dalam kerangka terwujudnya pembangunan seharusnya mengacu pada meningkatnya potensi-potensi dalam diri masyarakat sebagai modal terlahirnya kekuatan masyarakat (kemandirian masyarakat) sehingga ada pendewasaan masyarakat agar tidak terus menerus bergantung pada pemerintah. Demikian juga yang terjadi pada petani garam di Desa Pandai Kabupaten Bima, mereka belum tersentuh oleh pemberdayaan itu sendiri. Sementara itu mereka belum mampu memberdayakan diri mereka sendiri sehingga jalan menuju kesejahteraan sosial masih sangat terjal. Kata Kunci: Pemberdayaan, Pembangunan, Kesejahteraan Sosial, Petani Garam, Desa Pandai, Kabupaten Bima.
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
1
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
PENDAHULUAN Berbicara tentang kemiskinan sepertinya tidak pernah berakhir. Kemiskinan menjadi momok bagi seluruh negara terutama negara-negara dunia ke-tiga (negara berkembang). Kemiskinan yang melanda suatu negara menjadi salah satu tolak ukur kemakmuran negara tersebut, sehingga kemiskinan menjadi suatu keniscayaan yang harus ditanggulangi melalui berbagai metode di mana salah satu metode tersebut adalah pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat sebagai strategi dalam pembangunan nasional berorientasi pada pemberian kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk dapat ikut serta dalam proses pembangunan dengan mendapatkan kesempatan yang sama dan dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara proporsional. Isu pemberdayaan tidak hanya milik wilayah pusat atau provinsi, melainkan menyentuh seluruh elemen masyarakat Indonesia hingga wilayah lokal. Pemberdayaan di tingkat lokal atau komunitas tertentu harus mendapat perhatian khusus secara komprehensif dan berkelanjutan karena tersentuhnya wilayah lokal dalam bingkai pemberdayaan menunjukkan suatu pemerataan dalam pembangunan. Tidak tersentuhnya wilayah lokal dalam pemberdayaan masyarakat menjadi rentetan panjang ketidakmerataannya pembagunan. Nasib petani garam di Desa Pandai Kecamatan Woha Kabupaten Bima jauh dari yang namanya kemakmuran. Rata-rata mereka hidup dalam golongan menengah ke bawah, karena mereka belum mampu mengembangkan diri dan meningkatkan taraf hidup pada tingkat yang lebih tinggi sebab belum terperdayakan dan belum mampu memperdayakan diri. Tidak berbanding lurus dengan luasnya wilayah perairan/laut kabupaten Bima yang potensial untuk pengembangan pertanian garam.
2
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
POTRET KEHIDUPAN PETANI GARAM DESA PANDAI KABUPATEN BIMA Dilihat dari topografinya, daerah Kabupaten Bima berada pada ketinggian +10-500 m di atas permukaan air laut dan memiliki jenis tanah kering. Pada umumnya penduduk Kabupaten Bima berprofesi sebagai petani, hal ini didukung oleh keadaan daerah yang merupakan daerah agraris. Sementara di sektor perikanan dan kelautan Kabupaten Bima yang memiliki luas perairan yang cukup strategis, menjadikan masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan walaupun masih menjadi nelayan tradisional. Para petani di Bima khususnya di Desa Pandai Kecamatan Woha tidak hanya petani ladang atau sawah, tetapi juga petani tambak. Bagi penduduk yang bertempat tinggal di sekitar pantai, garam dan ikan bandeng merupakan dua komoditi andalan produk dari tambak. Sehingga bukan suatu hal yang mengherankan bila masyarakat bisa sedikit keluar dari himpitan ekonomi dan menyambung hidupnya dari hasil tambak. Dikatakan sumber penghasilan pokok karena pada musim kemarau mereka mendapatkan nafkah dari penjualan garam dan pada musim hujan pembudidayaan ikan bandeng. Ketika musim kemarau tiba, hampir semua tambak di wilayah Desa Pandai digunakan untuk mengolah dan memproduksi garam. Hanya saja proses produksinya masih menggunakan cara-cara tradisional, sehingga berpengaruh terhadap kualitas garam yang dihasilkan, baik kualitasnya maupun kuantitasnya. Garam tersebut masih dalam butiranbutiran yang besar dan kadar yodium-nya sedikit. Masih memerlukan proses pengolahan untuk terbentuknya garam beryodium. Di daerah Kabupaten Bima, daerah yang terkenal menghasilkan garam adalah meliputi 3 (tiga) Kecamatan. Kecamatan-kecamatan tersebut meliputi Kecamatan Woha yang meliputi desa Pandai, desa Donggobolo, dan Desa Talabiu; Kecamatan Bolo yang meliputi Muku, Sonco, Sanolo, Sondosia dan Daru); dan Kecamatan Palibelo yang meliputi Desa Palibelo. Secara umum, luas lahan garam di Kabupaten Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
3
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
Bima adalah 1.155 Hektar (Ha). Sementara luas lahan garam untuk Desa Pandai sekitar 250 Ha dengan produksi garam 15.000 ton/tahun. Namun untuk tahun ini, terjadi peningkatan produksi, di mana petani garam mampu menghasilkan 100 ton/hektar. Kehidupan para petani garam di daerah tersebut tergolong menengah ke bawah. Di mana hasil dari penggarapan garam belum mampu memenuhi kehidupan para petani, atau dengan kata lain belum mampu meningkatkan taraf hidup para petani ke tingkat yang lebih tinggi. Pada umumnya para petani garam mengolah tambaknya hanya sekedar untuk mengisi waktu luang saja. Karena demikian, tidaklah dapat disangsikan kalau para petani garam ini rata-rata berada dalam garis kemiskinan. Petani garam di Desa Pandai dapat diidentifikasi ke dalam 3 jenis petani, yakni petani pemilik dan penggarap, petani pemilik bukan penggarap, dan petani penyewa penggarap. Petani tipe pertama ini adalah petani yang memiliki tambak dan menggarap sendiri tambaknya untuk menghasilkan garam, tipe kedua adalah petani garam yang memiliki tambak tetapi digarap oleh orang lain, dan tipe ketiga adalah petani yang menyewa tambak orang untuk dikerjakan. Dari segi harga, garam tidak memberikan jaminan untuk kesejahteraan hidup petani garam di Desa Pandai. Pada kurun waktu tahun 2000-2007 rata-rata harga garam Rp. 10.000 s/d Rp. 25.000,-. Per karung/zak. Dan biasanya harga ini didapatkan ketika dijual pada musim hujan, sementara pada musim kemarau harganya lebih murah karena produksi garam lebih banyak. Misalnya saja dalam satu masa penen biasanya seorang petani dengan sepetak hingga tiga petak tambak, mampu menghasilkan 1000-3000 karung garam, sementara jumlah petani dapat mencapai 50 orang. Akibat meningkatnya produksi garam tersebut, berakibat pada menurunnya harga garam di bawah harga standar yang sangat tidak sebanding dengan biaya produksi dan tenaga yang mereka keluarkan. Harga ideal untuk sekarung garam sehingga mampu 4
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
memberikan kesejahteraan pada para petani garam minimal dihargai Rp. 65.000,- Tetapi harapan ini pelum pernah terwujud dan naik-turunnya harga garam benar-benar tidak memihak pada kaum petani garam. Harga garam selalu berubah-rubah (fluktuatif) dari tahun ke tahun, misalnya saja pada kurun waktu tahun 2008-2010, harga garam bervariasi, yakni antara Rp. 15.000 s/d Rp. 25.000,- per zak dengan berat rata-rata 65 kg. Sementara pada kurun waktu 2010-2012 harga garam per zaknya antara Rp. 25.000 s/d Rp. 50.000,-. Selama ini, harga garam per kg dinilai Rp. 250 s/d Rp 325. Seandainya saja 1 kg garam dihargai Rp. 1000., maka dalam 1 zak bisa mencapai harga Rp. 65.000., dengan harga ini, minimal mengimbangi jumlah produksi yang dikeluarkan oleh petani garam. Sepanjang sejarah, kepuasaan petani garam di Desa Pandai dan petani garam Bima pada umumnya hanya dirasakan pada masa pemerintahan BJ. Habibie sekitar tahun 1997-1998. Pada waktu itu harga garam meningkat drastis yaitu berkisar antara Rp. 45.000,hingga Rp 75.000 untuk setip karungnya. Sehingga ikut mempengaruhi suhu politik pada masa itu, di mana Habibie menjadi tokoh yang dibanggakan. Hanya saja peningkatan ini sirna seiring berakhirnya masa pemerintahan BJ. Habibie. Mencermati kehidupan para petani garam di Desa Pandai, terdapat beberapa kendala yang dihadapi sehingga mereka sulit berkembang. Adapun kendala-kendala yang dimaksud, meliputi: 1. Tidak adanya jaminan pasar untuk menyalurkan hasil garam; 2. Rendahnya harga jual dan tingginya biaya produksi; 3. Kualitas garam yang dihasilkan non yodium (iodine rendah); 4. Penggunaan sistem tradisional dalam pengolahan dan produksi; 5. Keterbatasan modal; 6. Belum adanya industri pengolahan garam beryodium di daerah; dan 7. Pengaruh tengkulak yang berspekulasi terhadap harga.
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
5
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
Beberapa kendala ini menjadi indikator yang menghambat perkembangan para petani garam sehingga sulitnya mencapai kesejahteraan. Sebenarnya, daerah sebagai representasi dari otonomi daerah, seharusnya lebih sensitif dalam menangani permasalahan masyarakat. Sebab, tujuan kebijakan otonomi daerah1 diidentifikasikan antara lain sebagai berikut: 1. Demokrasi penyelenggaraan pemerintahan daerah; 2. Pemberdayaan masyarakat dan daerah; 3. Peningkatan kualitas layanan masyarakat; 4. Peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan; 5. Terselenggaranya tata kelola kepemerintahan yang baik; dan 6. Terbebasnya praktik penyelenggaraan pemerintahan dari praktik, baik berupa korupsi, kolusi, maupun nepotisme. Dari beberapa tujuan kebijakan otonomi daerah di atas, masalah pemberdayaan masyarakat, peningkatan kualitas layanan masyarakat, dan peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan merupakan isu penting yang harus diwujudkan. Kesejateraan adalah suatu harapan capaian yang memerlukan partisipatif seluruh stakeholders secara proporsional dalam kerangka pencapaian kesejahteraan masyarakat. Dengan melihat realita terhadap petani garam di Desa Pandai, maka dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah belum mampu secara keseluruhan mengarahkan masyarakat menuju tangga kesejahteraan, padahal bagi daerah yang memiliki petensi mengembangkan garam dapat menjadikan garam sebagai nilai lebih bagi investasi daerah yang tentunya akan berpengaruh langsung terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
1
Joko Widodo, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja (Malang: Bayu Media Publishing), 126.
6
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
KEBUTUHAN GARAM NASIONAL Garam merupakan salah satu komoditi yang termasuk dalam kebutuhan hidup manusia. Garam sebagai komoditi strategis merupakan bahan baku industri dan bahan pangan bagi masyarakat Indonesia. Di samping itu, garam juga merupakan pelengkap dari kebutuhan pangan dan merupakan sumber elektrolit bagi tubuh manusia. Kebutuhan terhadap garam tidak dapat digantikan, setiap orang mengkonsumsi lebih kurang 3 (tiga) kg garam per tahun dalam bentuk aneka pangan. Kebutuhan garam yang dibuat dari air laut ini setiap tahun meningkat rata-rata 2 – 4 persen. Kebutuhan garam nasional sekitar 3 juta ton per tahun terdiri dari atas garam konsumsi 1,5 juta ton dan garam industri 1,5 juta ton sedangkan total produksi garam nasional hanya 1,3 juta ton pertahun, sehingga untuk memenuhi pasar garam konsumsi saja garam rakyat masih belum mencukupi.2 Madura merupakan pemasok garam terbesar di Indonesia bagi penyediaan garam konsumsi nasional dibanding daerah lain seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Selatan. Walaupun produksi garam di NTB tidak setenar Madura, namun tidak dapat dipandang sebelah mata karena NTB dapat dijadikan sebagai sentral produksi garam bagi pemenuhan kebutuhan garam nasional. Dari tahun ke tahun, kebutuhan garam nasional semakin meningkat. Misalnya saja total kebutuhan garam nasional selama 2011 sebanyak 2,9 juta ton yang terdiri atas 1,1 juta ton garam konsumsi dan 1,8 juta ton garam industri. Sementara menurut data Kementerian Perindustrian, total kebutuhan garam nasional untuk tahun 2012
2 Pusat Pelatihan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Safari Pelatihan Teknis Pembuatan Garam Bagi Masyarakat Kupang NTT”, http://www.garam ntt.htm, Diakses Selasa, 26 Juni 2012.
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
7
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
sebanyak 3,15 juta ton yang terdiri atas 1,38 juta ton garam konsumsi dan 1,77 juta ton garam industri.3 Selama ini, kekurangan kebutuhan garam konsumsi nasional dipenuhi dari hasil produksi garam dari Jawa Tengah, Jawa Barat, NTB, NTT dan Sumatra Selatan sebanyak 350.000 ton. Sedang untuk pemenuhan kebutuhan garam industri pemerintah mengimpor dari Australia dan India.4 Pemerintah mengizinkan impor garam untuk mendukung pemenuhan sebagian kebutuhan garam konsumsi dan hampir seluruh kebutuhan garam industri yang belum bisa dipenuhi oleh produsen garam dalam negeri. Pada tahun 2012 ini, Indonesia masih kekurangan stok garam sebanyak 2 juta ton. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, kemungkinan besar pemerintah akan menerapkan kebijakan impor garam. Dengan melihat kebutuhan tersebut dan produksi garam nasional hanya mampu menghasilkan sekitar 1,15 juta ton garam, maka untuk tahun 2012 pemerintah harus mengimpor 2 juta ton garam untuk memenuhi kebutuhan garam nasional. Selama ini, untuk memenuhi kebutuhan garam nasional pemerintah melakukannya dengan kebijakan impor garam. Misalnya saja, berdasrkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk Oktober 2010 pemerintah mengimpor sebanyak 154.782,6 ton (7,9 juta dolar AS) naik menjadi 275.027,2 ton (15,2 juta dolar AS) pada November 2010. BPS juga mencatat selama Januari-November 2010 impor garam sebanyak 1,8 juta ton dengan nilai 96,4 juta dolar AS. Sementara untuk beberapa tahun terakhir pemerintah beberapa kali melakukan impor garam, seperti barubaru ini tahun 2011 mengimpor sebanyak 1,7 juta ton dengan surplus 3
tvOneNews. “Kemdag: Stok Garam Diprediksi Hanya Cukup Sampai Februari”, http://www.kemdag_stok_garam_diprediksi_hanya_cukup_sampai_februari.tvOne.htm. Diakses Selasa, 26 Juni 2012. 4 SIGAP Riau, “Produksi Garam Nasional Diperkirakan Turun 30%”, http://2775produksi-garam-nasional-diprediksi-turun-30-persen-.html. Edisi Kamis, 29 Juli 2010, Diakses 27 Desember 2011.
8
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
impor sebesar 200.000 ton. Adapun jumlah impor garam konsumsi pada tahun 2011 mencapai 932.756 ton atau meningkat dibandingkan impor tahun 2010 sebesar 597.583 ton. Garam tersebut utamanya diimpor dari Australia, India, Singapura, Jerman, China, dan Selandia Baru.5 Pada tahun 2012 ini, tarik ulur kebijakan impor garam terus bergulir. Seandainya pemerintah melalui PT. Garam tetap mengambil kebijakan mengimpor garam, ruang keadilan bagi petani garam harus tetap diperhatikan, sebab kualitas garam lokal (nasional) lebih bagus dibandingkan dengan kualitas garam impor, hanya saja garam impor lebih murah dari segi harga. Karena demikian, kebijakan impor harus terkendali dan sesuai dengan kebutuhan sesungguhnya sehingga harga garam rakyat tetap maksimal. Dalam rangka memenuhi kebutuhan garam nasional dan mewujudkan swasembada garam, pada tahun 2011 Kementerian Kelautan dan Perikanan mencetus program Pemberdayaan Usaha Garam Nasional (PUGAR) yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja penambak garam serta tercapainya swasembada garam nasional hingga tahun 2015. Komponen kegiatan yang diberikan kepada masyarakat melalui Program PUGAR yakni penyusunan rencana rinci pemberdayaan tingkat desa, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM petambak garam, fasilitasi kemitraan, dan penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Walaupun belum maksimal, program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) telah menghasilkan 1,5 juta ton untuk 2012 dengan rata-rata menhasilkan 103,5 Ton/Ha dan melebihi target produksi nasional tahun 2011 yang hanya 60-70 Ton/Ha. Dalam mewujudkan swasembada garam tahun 2015, setidaknya terdapat 5 (lima) isu strategis6 yang akan dihadapi yaitu: 5
http://www.kkp.go.id. Diakses 26 Juni 2012. http://www.Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Barat, “Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat”, 28 April 2011). Diakses 26 Juni 2012. 6
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
9
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
1. Isu kelembagaan akibat lemahnya posisi tawar petambak garam; 2. Isu infrastruktur dan fasilitas produksi, karena lahan potensial baru setengahnya yang dimanfaatkan untuk memproduksi garam dan dikelola dengan fasilitas masih tradisional; 3. Isu permodalan dan manajemen usaha. Pengusaha garam nasional mengalami kesulitan dalam mengakses lembaga keuangan pembiayaan untuk memperoleh modal usaha; 4. Isu regulasi, yang menyangkut pengaturan pengadaan garam beryodium, penetapan harga awal, dan pengaturan garam impor; dan 5. Isu tata niaga, terkait dengan impor garam sering dilakukan pada saat panen raya, dan masih tingginya deviasi harga di tingkat produsen dan konsumen, serta terjadinya penguasaan kartel perdagangan garam di tingkat lokal dan regional. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka peran pemerintah daerah menjadi sangat penting. Penanganan pergaraman nasional dalam rangka swasembada garam tidak bisa lagi dijalankan dengan bergantung pada pemerintah pusat. Secara umum kebutuhan garam di Indonesia begitu tinggi, sampai-sampai harus mengimpor dari negara lain. Suatu ironi melihat kenyataan seperti itu sementara produk daerah begitu melimpah dan tanpa penanganan. Pengabaian terhadap produk lokal dan pengagungan pada produk luar secara kasar dapat dinilai sebagai kejahatan ekonomi. Kebijakan mengimpor garam sebenarnya harus dikaji secara matang, karena kebijakan mengimpor sama halnya membuat makmur pengekspor dan mematikan para petani lokal (petani garam nasional). Jika kebutuhan itu masih bisa dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri, kenapa harus mengimpor dari luar yang notabene membutuhkan biaya sangat tinggi yang sebenarnya dari biaya itu dapat digunakan dalam rangka peningkatan kapasitas petani garam dalam negeri.
10
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
KONSEP PEMBERDAYAAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL Pemberdayaan atau empowerment pada awalnya adalah istilah yang digunakan oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menunjuk pada suatu upaya untuk memperkuat (empowering) masyarakat baik secara sosial, ekonomi, dan politik agar dapat memperbaiki posisinya dalam berhadapan dengan kelompok-kelompok yang kuat secara sosial, ekonomi, dan politik. Intisari pemberdayaan masyarakat bagi kalangan LSM adalah membuat masyarakat mempunyai posisi tawar sehingga dapat menjadi pelaku proses pembangunan yang aktif dan tidak hanya menjadi obyek pembangunan semata.7 Pemberdayaan adalah suatu upaya meningkatkan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh suatu masyarakat sehingga mereka dapat mengaktualisasikan jati diri, hasrat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan dan mengembangkan diri secara mandiri. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat terlepas dari perangkap kemiskinan maupun keterbelakangan. Dengan demikian pemberdayaan dapat dikatakan sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat, baik di bidang ekonomi, sosial budaya dan politik. Pemberdayaan masyarakat (Community Empowerment) adalah perwujudan capacity building masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumber daya manusia melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat pedesaan seiring dengan pembangunan sistem sosial ekonomi rakyat, prasarana dan sarana, serta pengemnbangan Tiga-P; pendampingan yang dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat, penyuluhan dapat merespon dan memantau ubahan-ubahan yang terjadi di masyarakat dan
7 Adiprayoga, Gatot, “Penaggulangan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Masyarakat,” dalam Jurnal ASPIRASI, Vol. XVIII No. 1, Jember: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, Juli 2008, 195.
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
11
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
pelayanan yang berfungsi sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset sumber daya fisik dan non fisik yang diperlukan masyarakat. Kesejahteraan sosial adalah bagian dari kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat meliputi kesejahteraan di bidang ekonomi dan nonekonomi. Kesejahteraan non ekonomi itulah yang bermakna sebagai kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial merupakan modal paling diperlukan untuk melakukan social engineering, khususnya dalam bentuk “pembangunan“, karena ia mengikat suatu komunitas untuk bersatu padu secara otonom, dan bergerak menuju tujuan bersama.8 Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemberdayaan merupakan usaha sadar untuk menumbuhkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat melalui pengelolaan potensi-potensi yang dimilikinya untuk meningkatkan nilai dan posisi tawar (bargaining power) sehingga memiliki kemampuan secara sosial dan ekonomi. Elisabeth Wickenden mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial termasuk di dalamnya adalah peraturan perundangan, program, tunjangan dan pelayanan yang menjamin atau memperkuat pelayanan untuk memenuhi kebutuhan sosial yang mendasar dari masyarakat serta menjaga ketentraman dalam masyarakat. Sedangkan definisi kesejahteraan sosial hasil pertemuan Pre-Conference Working Committee for the 15th International Conference of Social Walfare, memandang bahwa kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisasi dan mempunyai tujuan untama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula kebijakan pelayanan yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi, tradisi budaya, dan sebagainya.9
8
Nani Sudarsono, Pembangunan Berbasis Rakyat (Community Based Development) (Jakarta: Melati Bhakti Pertiwi, 2000), 34. 9 Chairun Nasirin, Peran Strategis Pemerintah dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial (Malang: Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, 2009), 51.
12
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan sosial adalah berbagai usaha yang dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, baik itu di bidang fisik, mental, emosional, sosial, ekonomi ataupun kehidupan spiritual. Sedangkan jika dilihat dari jenis maslah yang ditangani, kesejahteraan sosial dapat diklasifikasikan pada kesejahteraan keluarga, kesejahteraan anak, kesehatan, cacat fisik, kesehatan jiwa, tindak pidana dewasa, rekreasi dan pendidikan formal, perencanaan, kordinasi, dan pengembangan program.10 Berdasrkan literatur, konsep kesejahteraan sosial merujuk pada tiga konsepsi, yaitu: Pertama, suatu kondisi statis atau keadaan sejahtera, yaitu terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial. Kedua, kondisi dinamis, yaitu kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk mencapai kondisi statis di atas. Ketiga, intuisi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan, yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan atau pelayanan sosial.11 UPAYA PEMBERDAYAAN PETANI GARAM Midgley (1995) mendeskripsikan ada tiga strategi penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yaitu melalui pendekatan individu (individualist atau enterprise approach), pendekatan melalui masyarakat (communitarian approach), atau berdasarkan peran negara (statist approach). Dan apabila dipandang dari sisi pendekatan individu bahwa kesejahteraan seluruh masyarakat akan tercapai apabila masingmasing individu dapat meningkatkan kesejahteraannya masing-masing. Karena upaya-upaya yang dilakukan menurut pendekatan ini adalah dengan mendorong budaya kewirausahaan, dan mendorong munculnya usaha-usaha kecil, serta mendorong peran serta individu agar secara optimal dapat mendayagunakan budaya wirausaha dan iklim usaha yang 10
Ibid, 51-52. Ibid, 52.
11
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
13
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
tercipta. Sementara itu dalam pendekatan masyarakat, masyarakat diharapkan dapat secara harmonis bekerjasama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Sedangkan mereka yang mendukung pendeketan negara berpendapat bahwa pembangunan sosial yang baik adalah pembangunan yang melalui peran negara. Hal ini penting karena pembangunan yang diharapkan tentunya dapat dianggap mewakili kepentingan seluruh masyarakat. Di samping itu, negara diharapkan dapat melaksanakan berbagai upaya melalui satu rencana yang utuh dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan, serta pemerataan dengan mendayagunakan berbagai lembaga dan personel yang dimilikinya.12 Sebagaimana digambarkan sebelumnya, bahwa kondisi petani garam di Desa Pandai sangat memprihatinkan, karenanya peningkatan kapasitas mereka (pemberdayaan) merupakan suatu keniscayaan memandang sumbangsih mereka bagi pemenuhan kebutuhan garam nasional. Mencermati segi-segi penghasilan yang bersumber dari perjuangan para petani garam selama ini, maka tidak memberikan sumbangsih yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pertumbuhan ekonomi cenderung lambat, tak menentu, dan sulit dibaca. Keterlambatan pertumbuhan ekonomi ini secara otomatis saling mempengaruhi dengan proses pemerataan ekonomi (economic distribution). Secara umum para petani berada dalam garis kemiskinan, di mana penyebarannya sebagian besar berada di pedesaan. Untuk itu pengentasan kemiskinan melalui memperdayakan para petani ini sangat membantu dalam proses kemandirian dan membentuk jati diri mereka. Adanya jati diri ini membentuk kemandirian dan eksistensi menjadi segi pendorong
12 Chairun Nasirin, “Alternatif Model Kebijakan dalam Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia”, dalam ASPIRASI Vol. XVIII, No. 1 Juli 2008, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, 101-102.
14
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
yang melatar belakangi para petani ini bertahan. Pola bertahan hidup ini secara umum dipengaruhi oleh: 1. Garam merupakan salah satu hasil pertanian yang dapat dikembangkan, di mana merupakan sumber penghasilan pokok dan sampingan; 2. Dorongan dan stimulus untuk bertahan hidup; 3. Semangat untuk maju dan berkembang; 4. Unsur culture (budaya) yang terus hidup di masyarakat, salah satu unsur budaya yang dimaksud adalah ketabahan dan keuletan dalam suasana atau situasi apapun; 5. Rasa malu yang tinggi untuk hanya berpangku tangan. Ini dipengaruhi oleh nuansa religius para petani yang mengimani bahwa nasib mereka hanya dapat dirubah oleh mereka sendiri, bukan oleh orang lain; 6. Tingkat kemandirian masyarakat petani yang cukup tinggi; 7. Curah hujan yang kecil sehingga rentang waktu produksi garam lebih panjang; dan 8. Pengaruh budaya lokal dan religiusitas yang sangat kental. Pola bertahan hidup inilah yang membuat para petani garam di Desa Pandai Kecamatan Woha Kabupaten Bima tetap eksis. Semangat ini sebenarnya telah menjadi modal utama bagi kemajuan dan keberlangsungan hidup para petani garam ini, hanya yang perlu dipoles adalah inovasi dan keterampilan yang mendukung, ketersediaan modal, harga yang memihak, dan tentunya kepastian pasar dengan meningkatkan peran aktif elemen-elemen negara, masyarakat, dan swasta sangat diperlukan. Salah satu pola peningkatan kehidupan petani garam Bima adalah melalui pembangunan links atau jaringan dengan daerah lain yang kebutuhan garamnya tinggi, misalnya Denpasar (bali), Makassar (Sulsel), Banjarmasin (Kalsel), Surabaya (Jatim), dan Nusa Tenggara Timur. Pembangunan jaringan ini membutuhkan peran besar dari Pemerintah Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
15
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
Daerah ataupun LSM. Adapun maksud dari pembangunan jaringan ini adalah untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang membutuhkan pasokan garam. Berapa kapasitas atau volume yang dibutuhkan oleh daerah tersebut. Setelah itu dapatlah dilakukan kerjasama yang berkelanjutan dan bersikenambungan. Menurut Elliot (1987) ada 3 (tiga) pendekatan pemberdayaan masyarakat yang bisa dilakukan, ketiga pendekatan yang dimaksud adalah: 1. The Welfare Approach Yaitu pendekatan yang mengarah pada pendekatan manusia, dan bukanlah untuk memberdayakan masyarakat dalam menghadapi proses politik dan pemiskinan rakyat. 2. The Development Approach Yaitu pendekatan yang bertujuan mengembangkan proyek pembangunan untuk meningkatkan kemampuan, kemandirian dan keswadayaan masyarakat 3. The Empowerment Approach Yaitu pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan sebagai akibat dari proses politis dan berusaha untuk memberdayakan atau melatih rakyat untuk mengatasi ketidak berdayaan masyarakat. Untuk mendukung pendekatan pemberdayaan kepada masyarakat, Cook dan Macaulay (1997) mengajukan suatu kerangka dasar teori pemberdayaan yang lebih dikenal dengan akronim ACTORS. Pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan metode ini mengacu pada suatu kerangka dasar yang dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Authority, dimana masyarakat diberikan kewenangan untuk menciptakan semangat (etos kerja) menjadi sesuatu yang dimilikinya sendiri; mereka merasakan bahwa perubahan yang dilakukan adalah hasil produk dari keinginan mereka untuk menuju perubahan yang lebih baik.
16
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
2. Confidence and Competence, yaitu masyarakat perlu melahirkan rasa percaya diri dan melihat kemampuan mereka untuk dapat merubah suatu keadaan menjadi lebih baik. 3. Trust, yaitu masyarakat perlu melahirkan keyakinan bahwa mereka mempunyai potensi untuk merubah dirinya menjadi lebih baik lagi dari keadaan yang ada saat ini. 4. Opportunity, yaitu masyarakat perlu meraih kesempatan untuk memilih apa yang menjadi keinginannya, sehingga mereka dapat mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang ada dalam diri masyarakat itu sendiri. 5. Responsibilities, masyarakat perlu meletakkan tanggung jawab dalam diri mereka sendiri untuk merubah menjadi lebih baik. 6. Support, yaitu masyarakat mendapat dukungan dari berbagai pelaku untuk menjadikan lebih baik. Pembangunan yang berhasil dan berkelanjutan tidak terlepas dari bagaimana pilar-pilar pembangunan memainkan perannya secara elegan. Pilar pembangunan yang dimaksud adalah negara (Pemerintah), swasta, dan society (Masyarakat). Pemerintah sebagai elemen penting pembangunan dan kesejahteraan, seharusnya sudah memulai membuka diri untuk tidak menunjukkan sifat dan pola top down dalam mengambil kebijakan karena tidak sejalan dengan semangat demokrasi. Masyarakat sebagai bagian dari pembangunan harus dimainkan perannya. Karena pembangunan tidak terlepas dari partisipasi masyarakat. Pola Pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah) yang selama ini bersifat top down menyebabkan stagnansi dalam pembangunan. Mencermati tingginya sumbangsih dan peran petani garam di Desa Pandai bagi pemenuhan kebutuhan garam nasional, maka upaya yang dapat dilakukan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan mereka sehingga berbanding lurus (aquevalen) dengan meningkatnya produksi garam, maka alternatif yang dapat diterapkan adalah:
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
17
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
1. Peningkatan kapasitas keterampilan memproduksi garam melalui pembinaan, pelatihan, sekolah lapang, dan penyuluhan; 2. Penguatan modal usaha melalui pembentukan Koperasi Unit Desa atau Koperasi Unit Tani; 3. Peningkatan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam stabilitas pasar, jaminan distribusi dan harga. Pemerintah juga dapat membentuk BUMD iodionisasi garam rakyat; 4. Revitalisasi pelabuhan laut Bima untuk memperluas pangsa pendistribusian, sebab sejak 50 tahun silam Bima dikenal sebagai pemasok hasil bumi bagi sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini didukung oleh adanya pelabuhan laut yang strategis dan menjadi singgahan kapal-kapal dari Malaya (saat itu), Jawa ke Maluku dan Pulau Flores. Pelabuhan Bima merupakan pelabuhan yang berpotensial dan memiliki fungsi sentral dalam menghubungkan kawasan Indonesia Barat dan Timur. Karena Kab. Bima memiliki pelabuhan laut yang cukup bagus sebagai tempat bongkar muat dan yang selalu disinggahi oleh kapal-kapal yang mengangkut barang dan jasa baik ke pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan kawasan Nusa Tenggara. 5. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Peran serta dalam hal ini diterjemahkan dan asal kata participation, yang diantaranya mempertimbangkan pendapat, mengartikan secara singkat bahwa partisipasi itu adalah take a part atau ikut serta. Peran serta masyarakat dengan keterlibatan komunitas setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan (dalam perencanaan) atau pelaksanaannya terhadap proyek-proyek pembangunan untuk masyarakat. Oleh karena itu, suatu peran serta memerlukan kesediaan kedua belah pihak dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Adapun tujuan peran serta masyarakat yang ingin dicapai, pada prinsipnya harus pula dikondisikan suatu situasi dimana timbul keinginan masyarakat untuk berperan serta. Hal ini akan 18
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Anggitan Anggitan
6.
7. 8. 9.
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan peran serta masyarakat itu sediri. Pengkondisian tersebut harus mengarah kepada timbulnya peran serta bebas dan mengeliminir sebanyak mungkin termasuk peran serta terpaksa. Peningkatan pembelian terhadap garam lokal. Selama ini belum terserapnya produksi garam di masyarakat secara maksimal menjadi salah satu indikator kurangnya produksi garam nasional. Dengan cara itu, maka produksi garam lokal yang beredar dapat maksimal terserap di masyarakat. Memaksimalkan program Pemberdayaan Usaha Garam Nasional (PUGAR). Menaikkan harga beli garam petani lokal dengan menetapkan standar nasional Rp. 1000/kg. Secara nasional PT. Garam membeli garam petani sebagai stok garam nasional. Dengan sistem buffer stock tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani dan juga ada jaminan stok garam di dalam negeri.
PENUTUP Sangatlah ironis bila dari tahun ke tahun pemerintah menerapkan kebijakan impor garam, sementara produksi garam dalam negeri sangat tinggi dan jika dikelola dengan baik dapat memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. Di samping itu juga, disaat produksi garam dalam negeri masih kurang, namun harga beli garam pada petani masih sangat rendah, seharusnya dalam kondisi dan situasi seperti itu harga beli garam sangat tinggi. Petani Garam Desa Pandai Kecamatan Woha Kabupaten Bima tidak dapat dipandang sebelah mata, mereka adalah komunitas yang perlu dikembangkan dan dibina sebagai entitas yang memiliki peran besar dalam membantu menyediakan produksi garam nasional, hanya saja mereka masih perlu ditingkatkan kapasitasnya sehingga mampu memacu Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
19
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
tingginya produktivitas garam lokal dalam memenuhi kebutuhan garam nasional. Revitalisasi peran pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi modal dalam terwujudnya pembangunan masyarakat yang sejahtera. Terwujudnya kesejahteraan sosial adalah sebuah cita-cita dinamika pembangunan masyarakat. Harapan yang ingin dicapai tentunya adalah perubahan kondisi masyarakat dari kurang berdaya (powerless) menjadi berdaya bahkan sangat berdaya (powerfull).
DAFTAR PUSTAKA Adiprayoga, Gatot. “Penaggulangan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Masyarakat,” dalam Jurnal ASPIRASI, Vol. XVIII No. 1, Jember: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, Juli 2008. Nasirin, Chairun. 2008. “Alternatif Model Kebijakan dalam Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia”, dalam ASPIRASI Vol. XVIII, No. 1 Juli 2008, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember. Nasirin, Chairun. 2009. Peran Strategis Pemerintah dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial. Malang: Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Dillon, HS. 1993. “Kemiskinan di Negara Berkembang: Masalah Konseptual dalam Global”, dalam Jurnal Prisma No. 3/XIII/1993. Jakarta: LP3ES. Elliot, T. Charles. 1987. Perfect Empowerment, New York: Unesco. http://www.Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Barat, “Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat”, 28 April 2011). Diakses 26 Juni 2012. http://www.kkp.go.id. Diakses 26 Juni 2012. 20
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
Anggitan Anggitan
Volume 9, Nomor 2, Juli-Desember 2013
Sudarsono, Nani. 2000. Pembangunan Berbasis Rakyat (Community Based Development). Jakarta: Melati Bhakti Pertiwi. Nasirin, Chairun dan Hermawanm Dedy. 2010. Governance & Civil Society: Interaksi Negara dan Peran NGO dalam Proses Pembangunan. Yogyakarta: Indo Press. Pusat Pelatihan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Safari Pelatihan Teknis Pembuatan Garam Bagi Masyarakat Kupang NTT”, http://www.garam ntt.htm, Diakses Selasa, 26 Juni 2012. SIGAP Riau, “Produksi Garam Nasional Diperkirakan Turun 30%”, http://2775-produksi-garam-nasional-diprediksi-turun-30-persen.html. Edisi Kamis, 29 Juli 2010. Diakses 27 Desember 2011. tvOneNews. “Kemdag: Stok Garam Diprediksi Hanya Cukup Sampai Februari”, http://www.kemdag_stok_garam_diprediksi_hanya_cukup_sampai _februari.tvOne.htm. Diakses Selasa, 26 Juni 2012. Widodo, Joko. 2006. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Malang: Bayu Media Publishing.
Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram
21