Model Pemberdayaan Masyarakat Desa Pesisir melalui Optimalisasi Program POSDAYA2 Tri Suminar1 Universitas Negeri Semarang-Indonesia
[email protected]
Abstrak Tantangan pembangunan desa dengan paradigma memadukan pemerataan dan keadilan adalah berkembang pendekatan kebutuhan dasar manusia (basic human needs) melalui pemberdayaan. Dalam rangka menghadapi tantangan tersebut diperlukan pembaruan strategi percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa melalui kaji tindak model pemberdayaan berbasis keluarga. Ruang lingkup kajian pada makalah ini dibatasi pada pembangunan desa pesisir yang identik dengan karakteristik masyarakat miskin yang disebabkan oleh faktor sosiobudaya dan rendahnya pengetahuan dasar yang dimiliki, sehingga berimplikasi pada keterbatasan masyarakat pesisir dalam akses pemenuhan kebutuhan dasar. Hal ini berdampak panjang terhadap rendahnya kemampuan masyarakat pesisir dalam pemecahan masalah kehidupan mereka. Salah satu alternatif model pemberdayaan masyarakat pesisir adalah optimalisasi lembaga keluarga dalam bidang pendidikan nonformal aspek kesehatan, ekonomi, sosiobudaya dan pendidikan kewirausahaan masyarakat yang dikemas dalam program posdaya. Kajian ini memberikan penguatan keefektivan pendekatan bottom-up dalam pembangunan desa dengan strategi model pemberdayaan berbasis keluarga. Pendekatan pemberdayaan menempatkan masyarakat desa bukan sebagai obyeknya namun memberikan posisi sebagai subyek pembangunan. Kata Kunci Model pemberdayaan, masyarakat desa pesisir, optimalisasi posdaya
Pendahuluan Peningkatan kualitas manusia sebagai sumber daya pembangunan merupakan prasyarat utama untuk memperbaiki derajat kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, tujuan utama pembangunan millenium atau millenium development goals (MDGs) di Indonesia adalah memprioritaskan upaya pengentasan kemiskinan dengan menetapkan proporsi penduduk miskin pada tahun 2015 diturunkan menjadi setengahnya atau 8,2% dari jumlah penduduk. Sehubungan masalah tersebut, pemerintah berupaya mempercepat penanggulangan kemiskinan melalui berbagai program (Peraturan Presiden RI Nomor 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan). Belajar dari pengalaman kegagalan program-program Pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan melalui jaringan ekonomi yang diukur secara fisik, paradigma baru model pengentasan kemiskinan menerapkan konsep pemberdayaan. Aset-aset ekonomi yang diukur dari pemilikan barang fisik tidak dapat menjangkau masalah struktural dari permasalahan kemiskinan ini. Kemiskinan selalu dinilai dari kekurangan aset, fasilitas, uang 1) 2)
Penulis adalah dosen jurusan PLS FIP UNNES mata kuliah Perubahan Sosial Makalah dipresentasikan pada seminar nasional dan temu akademisi PLS di UPI tanggal 26-27 November 2014 dengan tema “Penguatan Peran PLS dalam Percepatan Pembangunan Desa” Page 1
Please purchase 'PDFcamp Printer' on http://www.verypdf.com/ to remove this message.
dan berbagai kapital ekonomi Seperti program IDT (Inpres Desa Tertinggal), Takesra, Kukesra, JPS (Jaringan Pengaman Sosial), BLT (Bantuan Langsung tunai), P2KP belum dapat memberikan hasil yang memuaskan (Sulistiani, 2004: 19). Menciptakan keberdayaan dan kemandirian masyarakat tidak cukup dengan stimulant dana saja. Selain itu, kegagalan penanganan kemiskinan disebabkan pandangan para pembuat kebijakan yang selalu memaksakan visinya kepada kaum miskin (Salim, 2004: 327). Model pemberdayaan inipun harus diorganisir dengan tepat agar dapat menjangkau sasaran, bukan hanya sebagai sarana politis semata. Ketepatan model pemberdayaan masyarakat miskin mensyaratkan adanya analisis secara mendalam terhadap karakteristik khusus sasarannya dari berbagai bidang seperti latar sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, pendidikan, agama dan politik. Sehubungan hal tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji strategi pengentasan kemiskinan masyarakat dengan sasaran khusus masyarakat pesisir pantai Utara Provinsi Jawa Tengah. Sebagaimana disampaikan Gubernur Jawa Tengah pada media Republika online tanggal 9 April 2012 bahwa “kondisi nelayan sangat sulit untuk diupayakan berinovasi. Mereka hanya mampu melaut dan melaut. Kemiskinan masyarakat pesisir belum bisa diatasi. Mereka orang pesisir memiliki sifat malas, susah diajak bekerja keras”. Pemberdayaan masyarakat pesisir haruslah bersifat bottom up dan open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu sendiri yang harus langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran (Syarief, 2001: 2). Persoalan yang mungkin harus dijawab adalah bagaimana memberdayakannya? Sebagaimana dijelaskan Armen (2012) masyarakat pesisir identik dengan masyarakat perikanan sebagai tempat orang miskin, mereka terperangkap ketidakberdayaan karena keterbatasan akses informasi, teknologi dan relasi. Beberapa program pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir di bidang teknologi dan relasi telah banyak dilakukan walaupun hasilnya belum memuaskan. Dibuktikan data jumlah desa pesisir semakin hari semakin luas areanya dan jumlahnya semakin banyak (Nikijuluw, 2012: 16). Program-program tersebut sebenarnya merupakan realisasi dari 5 pendekatan pemberdayaan masyarakat pesisir yang diarahkan oleh pihak Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan RI, yakni: (a) pengembangan mata pencaharian alternatif, (b) pengembangan akses modal melalui self financing mechanism, (c) pengembangan akses teknologi dengan biaya murah dan pelayanan cepat, (d) pengembangan akses pasar untuk meningkatkan nilai tambah produk, dan (e) pengembangan solidaritas dan aksi kolektif (Nikijuluw, 2012: 14). Demikian halnya dijelaskan Kusnadi (2002 dalam Anas Tain, 2011: 2), setelah seperempat abad kebijakan modernisasi perikanan dilaksanakan tingkat kesejahteraan hidup nelayan tidak banyak berubah secara substantif. Kondisi yang terjadi justru sebaliknya, yakni melebarnya kesenjangan sosial ekonomi antar kelompok sosial dalam masyarakat nelayan dan meluasnya kemiskinan. 1) 2)
Penulis adalah dosen jurusan PLS FIP UNNES mata kuliah Perubahan Sosial Makalah dipresentasikan pada seminar nasional dan temu akademisi PLS di UPI tanggal 26-27 November 2014 dengan tema “Penguatan Peran PLS dalam Percepatan Pembangunan Desa” Page 2
Please purchase 'PDFcamp Printer' on http://www.verypdf.com/ to remove this message.
Sementara itu, pakar sosial ekonomi sumber daya menganalisis penyebab kemiskinan masyarakat pesisir lebih banyak disebabkan oleh variabel budaya, yakni variabel yang melekat inheren dan menjadi gaya hidup tertentu. Tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu serta ketaatan pada panutan (patron) baik yang bersifat formal, informal maupun asli sangat menentukan keberhasilan pengentasan kemiskinan. Berdasarkan analisis kondisi tersebut memberikan peluang yang strategis keberhasilan pengentasan kemiskinan bagi masyarakat pesisir melalui model pemberdayaan dalam bidang pendidikan yang dilakukan dengan pendekatan partisipatif dari setiap keluarga yang berbasis pendidikan nonformal.
Kajian Pemberdayaan Sebagai Model Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Secara umum kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi masyarakat yang serba terbatas, baik dalam aksesibilitas pada faktor produksi, peluang atau kesempatan berusaha, pendidikan, fasilitas hidup lainnya, sehingga dalam setiap aktivitas maupun usaha menjadi sangat terbatas (Sulistiani, 2004: 17). Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai “Poverty is concern with absolute standart of living of part of society the poor in equality refers to relative living standart across the whole society”. Dengan demikian kemiskinan diartikan secara luas yang menyangkut standar hidup relatif dari masyarakat. Pemecahan masalah kemiskinan menjadi agenda pemerintah yang sangat penting dan pelik karena berhubungan dengan banyak faktor. Kemiskinan merupakan hasil dan proses pemiskinan yang secara substansial terjadi secara beruntun, saling terkait satu sama lain. Sulistiani (2004: 23) menjelaskan substansi kemiskinan adalah adanya kesenjangan atau ketidak merataan akses yang dapat diperoleh semua segmentasi sosial masyarakat dengan porsi yang relatif sama. Akses hanya dapat dijangkau oleh lapisan tertentu saja, sedangkan yang lain sangat sulit memperolehnya. Kondisi kemiskinan yang disebabkan keterbatasan akses, tidak memiliki kukuatan tawar menawar dan suara ini seringkali disebut kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural ini nampak jelas antara desa dan kota, apalagi di wilayah yang secara geografis terpencil, pinggiran seperti pada masyarakat pesisir. Pada konteks lain, kemiskinan terjadi karena kondisi masyarakat yang tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan dasar), yang sering disebut kemiskinan absolut. Kesenjangan terjadi karena tidak adanya etos kerja masyarakat, sistem budaya malas, lemah, tidak tertantang, cepat puas diri dengan hasil yang dicapai. Deskripsi kemiskinan yang terakhir ini sebagai kemiskinan kultur yakni budaya yang tumbuh dan diyakini oleh masyarakat menghambat kemajuan dan kualitas hidup mereka. Contohnya, budaya masyarakat Jawa 1) 2)
Penulis adalah dosen jurusan PLS FIP UNNES mata kuliah Perubahan Sosial Makalah dipresentasikan pada seminar nasional dan temu akademisi PLS di UPI tanggal 26-27 November 2014 dengan tema “Penguatan Peran PLS dalam Percepatan Pembangunan Desa” Page 3
Please purchase 'PDFcamp Printer' on http://www.verypdf.com/ to remove this message.
pada tahun 70an yang meyakini “mangan ra mangan waton kumpul, wong wadon konco wingking”. Kultur Jawa pada masa tersebut membatasi ruang dan waktu bagi warga masyarakat yang mau berusaha untuk maju dan berkembang terutama bagi kaum perempuan. Pemahaman kemiskinan dari dimensi akar penyebab kemiskinan dapat mengantarkan pada analisis kritis strategi penanggulangan kemiskinan yang efektif. Belajar dari pengalaman gagalnya program pengentasan kemiskinan dalam pendekatan ekonomi, maka mulai abad XXI disusun paradigma pemberdayaan yang lebih mengutamakan peningkatan kualitas sumber daya manusia (humanisme). Kualitas manusia sebagai faktor kunci yang memainkan peran penting dalam segala bidang kehidupan. Paradigma ini menempatkan pemecahan masalah kemiskinan dengan memberikan prioritas pada upaya pemberdayaan masyarakat miskin. Secara etimologis pemberdayaan dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Pemberdayaan dimaknai sebagai proses menuju berdaya atau proses memperoleh daya atau kekuatan atau kemampuan, atau proses pemberian daya atau kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang belum berdaya. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang/ kelompok/masyarakat yang rentan dan lemah, sehingga mereka memiliki kekuatan (Sulistiani, 2004: 77; Suharto, 2005). Dengan demikian pemberdayaan (empowerment) merupakan upaya menumbuhkan keinginan pada seseorang untuk mengaktualisasikan diri, melakukan mobilitas ke atas, dan memberikan pengalaman psikologis yang membuat seseorang berdaya. Keinginan untuk mengubah keadaan yang datang dari dalam diri seseorang itu dapat muncul jika dia merasa berada di dalam situasi tertekan dan kemudian menyadari atau mengetahui sumber tekanan tersebut. Makna pemberdayaan berkaitan dengan upaya pengembangan diri, yakni pengendalian internal dan praktik pemecahan masalah secara bebas. Pemberdayaan juga berarti proses mendukung masyarakat untuk membangun makna baru dan melatih kebebasan untuk memilih. Masyarakat miskin merupakan kelompok masyarakat yang rentan dan lemah serta tidak memiliki kekuatan dan -kemampuan untuk berdaya. Melalui--upaya---pemberdayaan masyarakat diharapkan mereka dapat memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memenutu kebutuhan pokok bagi mereka dan keluarganya sehingga terbebas dari kemiskinan (kondisi kebodohan, kelaparan dan kesakitan). Melalui upaya pemberdayaan diharapkan mereka juga dapat menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan bagi mereka untuk meningkatkan pendapatan, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, serta ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan. Demikian pula pemberdayaan merupakan proses inovatif dan menunjukkan hubungan yang sangat subjektif antara individu dengan lingkungannya. Oleh karena itu pemberdayaan merupakan proses sosial dan personal untuk mendorong kekuatan, kompetensi, kreativitas dan kebebasan individu untuk bertindak (Prijono dan Pranarka, 1996: 27). Makna proses 1) 2)
Penulis adalah dosen jurusan PLS FIP UNNES mata kuliah Perubahan Sosial Makalah dipresentasikan pada seminar nasional dan temu akademisi PLS di UPI tanggal 26-27 November 2014 dengan tema “Penguatan Peran PLS dalam Percepatan Pembangunan Desa” Page 4
Please purchase 'PDFcamp Printer' on http://www.verypdf.com/ to remove this message.
pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu menekankan pada proses: (a) memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan agar individu menjadi lebih berdaya, dan (b) stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar memiliki kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya melalui proses dialogis. Kharakteristik pemberdayaan sebagai berikut: (a). berorientasi proses yang menekankan tahap peranan dan metode, (b). berpusat pada partisipan, (c). meningkatkan kekuatan, (d). keterbukaan, sukarelawan dan partisipasi aktif, (e). prakarsa proses pembangunan jangka panjang (melalui lokakarya dan interaksi pelatih dengan partisipan), (f). pemenuhan diri dan berkesinambungan. Sedangkan ciri-ciri masyarakat yang telah berdaya menurut Sumarjo dan Saharuddin (2004) adalah sebagai berikut: a) mampu memahami diri dan potensinya; b) mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan kedepan) dan mengarahkan dirinya sendiri; c) memiliki kekuatan untuk berunding dan bekerja sama secara saling menguntungkan dengan "bargaining power" yang memadai; d) bertanggung jawab atas tindakan sendiri. Model Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Pendidikan NonFormal Melalui Optimalisasi Posdaya Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.506 buah pulau dengan panjang pantai lebih 81.000 km, luas laut sekitar 3,1 juta km2. Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah pesisir, yang identik dengan masyarakat miskin dan kumuh. Pada pihak lain wilayah pesisir memiliki arti strategis dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan yang terkandung di dalamnya. Menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan atau DKP (DKP, 2010) potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 6,4 juta ton per tahun, meskipun demikian potensi ini belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir. Sampai dengan saat ini sebagian besar masyarakat pesisir masih merupakan masyarakat yang tertinggal dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Secara normatif, masyarakat pesisir seharusnya merupakan masyarakat yang sejahtera karena potensi sumber daya alam yang besar tersebut. Populasi masyarakat pesisir saat sekarang ini diperkirakan mencapai 16,42 juta jiwa dan mendiami 8.090 desa. Kebijakan pembangunan di bidang kelautan, selama ini cendrung lebih mengarah kepada kebijakan “produktivitas” dengan memaksimalkan hasil eksploitasi sumber daya laut tanpa ada kebijakan memadai yang mengendalikannya. Syarief (2001: 1) menjelaskan akibat dari kebijakan tersebut telah mengakibatkan beberapa kecendrungan yang tidak menguntungkan dalam aspek kehidupan, seperti: (a). Aspek ekologi, overfishing penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan telah cendrung merusak ekologi laut dan pantai (trawl, bom, potas, pukat harimau, dll) akibatnya menyempitnya wilayah dan sumber daya tangkapan, sehingga sering menimbulkan konflik secara terbuka baik bersifat vertikal dan horisontal (antara sesama nelayan, 1) 2)
Penulis adalah dosen jurusan PLS FIP UNNES mata kuliah Perubahan Sosial Makalah dipresentasikan pada seminar nasional dan temu akademisi PLS di UPI tanggal 26-27 November 2014 dengan tema “Penguatan Peran PLS dalam Percepatan Pembangunan Desa” Page 5
Please purchase 'PDFcamp Printer' on http://www.verypdf.com/ to remove this message.
nelayan dengan masyarakat sekitar dan antara nelayan dengan pemerintah). (b). Aspek sosial ekonomi, akibat kesenjangan penggunaan teknologi antara pengusaha besar dan nelayan tradisional telah menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan bagi nelayan tradisional. Akibat dari kesenjangan tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tradisional mengubah profesinya menjadi buruh nelayan pada pengusaha perikanan besar. (c). Aspek sosio kultural, dengan adanya kesenjangan dan kemiskinan tersebut menyebabkan ketergantungan antara masyarakat nelayan kecil/ tradisional terhadap pemodal besar/modern, antara nelayan dan pedagang, antara pherphery terdapat center, antara masyarakat dengan pemerintah. Hal ini menimbulkan penguatan terhadap adanya komunitas juragan dan buruh nelayan Arah modernisasi di sektor perikanan yang dilakukan selama ini, hanya memberi keuntungan kepada sekelompok kecil yang punya kemampuan ekonomi dan politis, sehingga diperlukan alternatif paradigma dan strategis pembangunan yang holistik dan terintegrasi serta dapat menjaga keseimbangan antara kegiatan produksi, pengelolahan dan distribusi. Strategi penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan pemberdayaan memiliki 2 arti, sebagaimana dijelaskan Prijono dan Pranaka (1996: 3), pertama, sebagai upaya memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain, dan kedua, sebagai upaya memberi kemampuan atau keberdayaan. Pemberdayaan bagi masyarakat pesisir pada kajian ini difokuskan upaya menciptakan peluang bagi masyarakat pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan dapat dilakukan melalui proses difusi inovasi teknologi yang mampu memperkuat potensi sosial budaya setempat, sebagaimana dijelaskan Anwar (2007: 72). Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena didalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masyarakat diantaranya masyarakat nelayan tangkap, masyarakat nelayan pengumpul/bakul, masyarakat nelayan buruh, masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan buruh. Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir haruslah dirancang dengan sedemikian rupa dengan tidak menyamaratakan antara satu kelompk dengan kelompok lainnya apalagi antara satu daerah dengan daerah pesisir lainnya. Pemberdayaan masyarakat pesisir bersifat bottom up dan open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu sendiri yang harus langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran. Pemberdayaan pada masyarakat pesisir dapat dirancang dengan mengintegrasikan unsur teknologi dengan nilai-nilai budaya lokal melalui pendidikan luar sekolah, sebagaimana dilaksanakan Kindervatter (1979), yang dilakukan dalam 8 langkah, yakni: (a) menyusun kelompok kecil sebagai penerima awal atas rencana program pemberdayaan, (b) 1) 2)
Penulis adalah dosen jurusan PLS FIP UNNES mata kuliah Perubahan Sosial Makalah dipresentasikan pada seminar nasional dan temu akademisi PLS di UPI tanggal 26-27 November 2014 dengan tema “Penguatan Peran PLS dalam Percepatan Pembangunan Desa” Page 6
Please purchase 'PDFcamp Printer' on http://www.verypdf.com/ to remove this message.
mengidentifikasi atau membangun kelompok warga belajar tingkat wilayah, (c) memilih dan melatih fasilitator kelompok, (d) mengaktifkan kelompok belajar, (e) menyelenggarakan pertemuan fasilitator, (f) mendukung aktivitas yang sedang berjalan, (g) mengembangkan hubungan diantara kelompok, (h) menyelenggarakan lokakarya untuk evaluasi. Pendidikan nonformal dipandang sebagai upaya pemberdayaan masyarakat, yang dalam kegiatannya berkaitan dengan pendidikan orang dewasa dalam bentuk kursus dan pelatihan, pendidikan kecakapan hidup dan pemberdayaan perempuan dan pemuda. Implikasi hal ini, pendekatan yang digunakan adalah pembelajaran orang dewasa (adult learning approach) dalam penyiapan dan penyelenggaraan perlu dipusatkan dalam kebutuhan nyata peserta proses belajar (Harry, 2007) atau lebih dikenal dengan learner-centred approaches. Orang dewasa merupakan orang yang sudah kaya pengalaman sebagaimana dikemukakan oleh (Knowles, 2005) sehingga perlu memperhatikan hal-hal berikut: (a). Pembelajaran orang dewasa didasarkan pada pengalaman masa lalu dan patut dihargai; (b). Pengalaman masa lampau tersebut harus dihargai oleh peserta lainnya dan harus diupayakan diterapkan dalam proses belajar. Pembelajaran yang melibatkan transformasi pengalaman masa lalu membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih besar dibandingkan model belajar lainnya; (c). Lingkungan mempengaruhi kemampuan orang dewasa dalam belajar. Orang dewasa tidak akan efektif jika belajar di bawah tekanan atau waktu yang dibatasi. Mereka tidak suka membuang waktu, dan orang dewasa lebih tertarik pada proses belajar yang memberikan hasil nyata dan cepat; (d). Orang dewasa akan belajar bahan atau materi yang dia perlukan (selektif); (e). Orang dewasa dapat didorong untuk belajar pada materi yang relevan pada peran dan kehidupannya saat ini; (f) Orang dewasa belajar untuk kehidupannya dan untuk mereka yang terlibat dalam kelompoknya. Menurut Satria (2002 dalam Aminah 2012: 251) pemberdayaan masyarakat pesisir mencakup dua dimensi yaitu budaya dan struktur sosial. Selain itu, pemberdayaan dalam komunitas nelayan akan lebih berhasil jika menerapkan prinsip kejelasan tujuan, prinsip dihargainya pengetahuan dan penguatan nilai lokal, prinsip keberlanjutan, prinsip ketepatan kelompok sasaran atau tidak bias pada nelayan pada strata maupun golongan tertentu, dan prinsip kesetaraan gender, artinya baik pria maupun wanita memiliki secara aktif diakui hak–haknya dalam masyarakat, memiliki status dan peran sesuai budaya setempat dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan dalam keluarga dan masyarakat. Sementara itu Muljono (2010: 11) menegaskan pula pendekatan yang dapat digunakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir untuk pengentasan kemiskinan adalah melalui pendekatan dualistik, yakni dengan mengubah klien dan mengubah lingkungan dalam pemecahan masalah masyarakat. Pendekatan dualistik ini efektif diterapkan dalam upaya pemberdayaan masyarakat petani di Bogor. Kegiatan pengelolalaan pemberdayaan memberikan penguatan fungsi-fungsi utama setiap keluarga, sehingga mampu membangun dirinya menjadi keluarga sejahtera, keluarga 1) 2)
Penulis adalah dosen jurusan PLS FIP UNNES mata kuliah Perubahan Sosial Makalah dipresentasikan pada seminar nasional dan temu akademisi PLS di UPI tanggal 26-27 November 2014 dengan tema “Penguatan Peran PLS dalam Percepatan Pembangunan Desa” Page 7
Please purchase 'PDFcamp Printer' on http://www.verypdf.com/ to remove this message.
yang mandiri dan keluarga yang sanggup menghadapi tantangan masa depan dengan lebih baik. Lebih lanjut Muljono (2010) menjelaskan pendekatan pemberdayaan tersebut disebut Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga) merupakan gagasan baru guna menyambut anjuran pemerintah untuk membangun sumber daya manusia melalui partisipasi keluarga secara aktif. Proses pemberdayaan itu diprioritaskan pada peningkatan kemampuan keluarga untuk bekerja keras mengentaskan kebodohan, kemalasan dan kemiskinan dalam arti yang luas. Sasaran kegiatan yang dituju adalah terselenggarakannya upaya bersama agar setiap keluarga mempunyai kemampuan melaksanakan delapan fungsi keluarga. Model pemberdayaan masyarakat berbasis pendidikan nonformal melalui pemberdayaan keluarga yang disebut Posdaya ini diprakarsai Suyono (2008:16). Posdaya merupakan program pemberdayaan yang berbasis keluarga, bertujuan terpeliharanya infrastruktur sosial kemasyarakatan yang terkecil dan solid, yaitu keluarga menjadi perekat sosial, sehingga tercipta suatu kehidupan yang rukun, damai dan memiliki dinamika yang tinggi. Keluarga-keluarga diharapkan mampu turut berpartisipasi mengentaskan kemiskinan keluarga-keluarga yang tidak mampu yang ada dilingkungannya secara “bottom up program”. Spirit posdaya adalah azas gotong royong sebagai milik bangsa yang sekarang dirasakan mulai memudar. Seiring dengan upaya pelaksanaan MDGs, sasaran Posdaya diprioritaskan pada komitmen pimpinan pada tingkat desa, kecamatan dan kebupaten dalam bidang KB, kesehatan (HIV, penyakit menular, menurunkan kematian anak), pendidikan, kesetaraan gender, lingkungan hidup dan bidang wirausaha dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan. Model pemberdayaan melalui posdaya pada kajian ini difokuskan kepada masyarakat pesisir dalam bidang pendidikan nonformal. Sasarannya lebih dikhususkan bagi kaum perempuan melalui kegiatan pos pemberdayaan keluarga, mulai saat dini, masa kanak-kanak, dan remaja agar dapat berpikir rasional dan mampu menghasilkan ide-ide cemerlang yang dapat diterapkan sebagai kegiatan nyata di lapangan. Kegiatan nyata itu harus memberikan kekuatan bagi anggota keluarga masyarakat nelayan, sehingga dapat meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih sejahtera bagi keluarga. Pemberdayaan itu menyangkut masalah pendidikan dan ketrampilan, baik pada waktu mereka masih sekolah, maupun setelah mereka menyelesaikan sekolahnya, lebih-lebih bagi anak perempuan putus sekolah. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian Nendissa (1994 dalam Anwar, 2007: 89) menunjukkan peran serta perempuan pedesaan di wilayah pertanian sangat besar dalam usaha tani lahan kering. Perempuan menentukan jalannya keberhasilan usaha tani. Alokasi waktu curahan tenaga kerja sebesar 51,34% dan pria 48,66%, sumbangan perempuan terhadap sektor ekonomi keluarga sebesar 40,87%. Pada pihak lain hasil penelitian Jufri (1997) menunjukkan kegiatan 1) 2)
Penulis adalah dosen jurusan PLS FIP UNNES mata kuliah Perubahan Sosial Makalah dipresentasikan pada seminar nasional dan temu akademisi PLS di UPI tanggal 26-27 November 2014 dengan tema “Penguatan Peran PLS dalam Percepatan Pembangunan Desa” Page 8
Please purchase 'PDFcamp Printer' on http://www.verypdf.com/ to remove this message.
perempuan di desa tertinggal adalah ibu rumah tangga yang berpendidikan rendah, berperan ganda dengan rata-rata kegiatan produktif per hari 6-7 jam. Perempuan sebagai aktor transformasi dalam mencapai kesejahteraan keluarga yang ditopang dalam 3 wujud eksistensinya, yakni sebagai dirinya sendiri yang mandiri, ibu rumah tangga dan sebagai kader PKK. Hasil penelitian Mubyarto dan Dove (1984 dalam Aminah, 2012: 252) menyimpulkan bahwa modernisasi perikanan melalui introduksi kapal-kapal motor telah menimbulkan jurang yang bertambah lebar antara mereka yang mampu dan yang tidak mampu memanfaatkan teknologi tersebut, bahkan introduksi budidaya tambak udang yang padat modal hanya berpihak pada kelompok kaya atau dengan perkataan lain pembangunan berakibat pada menguatnya marjinalisasi kelompok miskin. Penelitian ini merekomendasikan paradigma percepatan penanggulangan kemiskinan bagi masyarakat pesisir dari dimensi non-ekonomi, yakni penerapan paradigma yang lebih menekankan pada aspek manusianya. Upaya pemberdayaan masyarakat pesisir perlu memahami struktur sosial masyarakat nelayan, tidak hanya melihat aspek ekonomi atau teknologi saja, melainkan juga aspek sosial-budaya perlu diperhatikan, sehingga program tidak lagi hanya bersifat “ingin cepat selesai.” Hasil penelitian Muljono (2010: 16) tentang model pemberdayaan masyarakat melalui posdaya bagi petani di Bogor menyimpulkan program posdaya memiliki kinerja yang baik karena mampu menghasilkan perubahan positif di masyarakat petani, baik fisik maupun non fisik. Namun dalam pengelolaannya menghadapi berbagai kendala terutama terkait dengan kualitas sumber daya manusianya yakni, pemahaman yang kurang tepat tentang posdaya, kemampuan manajemen pengurus yang masih lemah, kejenuhan pengurus posdaya, rendahnya kemampuan menjalin kemitraan dengan pihak luar. Hasil penelitian Hafsaridewi (2012: 42) tentang dampak perubahan lingkungan terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat pesisir di Kawasan Sagara Anakan Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat memiliki implikasi logis pada ketergantungan masyarakat pada sumberdaya alam. Bagi masyarakat yang telah bertahun-tahun menjadi nelayan akan sulit mencari pekerjaan pengganti karena dalam pemikirannya hanya itulah satu-satunya keahlian yang dimiliki. Meskipun sumberdaya ikan terus mengalami penurunan, mereka tetap melakukan penangkapan ikan. Oleh karena tergantung pada alam, seringkali pula mereka mengalami kegagalan atau tidak mendapatkan hasil yang optimal. Hasil penelitian Aminah (2010) di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali. Hasil penelitiannya merekomendasikan bahwa untuk memberdayakan masyarakat pesisir menjadi masyarakat yang modern harus diselenggarakan pembelajaran secara partisipatif melalui komunikasi pembangunan, sebab pendekatan ini memudahkan agent of change membantu masyarakat menyelesaikan persoalannya. Komunikasi pembangunan dapat dipandang sebagai upaya pemberdayaan masyarakat, yang dalam kegiatannya berkaitan dengan pendidikan nonformal, yakni program pembelajaran orang 1) 2)
Penulis adalah dosen jurusan PLS FIP UNNES mata kuliah Perubahan Sosial Makalah dipresentasikan pada seminar nasional dan temu akademisi PLS di UPI tanggal 26-27 November 2014 dengan tema “Penguatan Peran PLS dalam Percepatan Pembangunan Desa” Page 9
Please purchase 'PDFcamp Printer' on http://www.verypdf.com/ to remove this message.
dewasa. Implikasi hal ini, pendekatan pembelajaran orang dewasa (adult learning approach) dalam penyiapan dan penyelenggaraannya dipusatkan dalam kebutuhan nyata masyarakat dalam proses belajar atau lebih dikenal dengan learner-centred approaches.
Daftar Pustaka Amanah, Siti. 2012. Peran Komunikasi Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia– Institut Pertanian Bogor. Amanah, Siti. 2007. Kearifan Lokal dalam Pengembangan Komunitas Pesisir. Bandung: CV. Citra Praya. Anas Tain, 2011. Penyebab Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan Di Wilayah Tangkap Lebih Jawa Timur, Humanity, Volume 7, Nomor 1, September 201: 01 - 10 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/humanity/article/view/1401. Anwar. 2007. Manajemen Pemberdayaan Perempuan (Perubahan Sosial Melalui Pembelajaran Vocational Skill pada Keluarga Nelayan). Bandung: Alfabeta. Crawford, B.R.I Dutton, C. Rotinsulu. Hale. 1998. Community-Based Coastal Resources Management In Indonesia: Examples and Initial Lessons from North Sulawesi. Paper Presented at International Tropical Marine Ecosystem Management Symposium. Townsville Australia, November 23-26. Departemen Kelautan dan Perikanan, Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. 2001. Harris EM. 1996. The Role of Participatory Development Communication as a Tool of Grassroots Nonformal Education: Workshop Report. Dalam Guy Bessette and C.V. Rajasunderam (Editor). Participatory Development Communication: A West African Agenda. The International Development Research Centre: Science for Humanity. Knowles, Malcolm S. 2005. The Adult Learner: The Definitive Classic in Adult Education and Human Resources Development. Sixth Edition. USA: Elsevier Butterworth Heinemann, British Library Cataloguing in Publication Data. Mardikanto, Totok. Poerwoko Soebiato. 2012. Pemberdayaan Masyarakat dalam Perpesktif Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. 1) 2)
Penulis adalah dosen jurusan PLS FIP UNNES mata kuliah Perubahan Sosial Makalah dipresentasikan pada seminar nasional dan temu akademisi PLS di UPI tanggal 26-27 November 2014 dengan tema “Penguatan Peran PLS dalam Percepatan Pembangunan Desa” Page 10
Please purchase 'PDFcamp Printer' on http://www.verypdf.com/ to remove this message.
Mubyarto SL, Dove M. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Jakarta: Rajawali. Muji, Mubon. 2010. Model Pemberdayaan Masyarakat Melalui Posdaya. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. Th. 23 No. 1 Januari-Maret 2010. Mulyono. 2010. Model Pemberdayaan Masyarakat Melalui Posdaya. Bogor. IPB Nikijuluw, Victor. 2001. Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor. 29 Oktober – 3 november 2001. Academia.edu _______________. 2002. Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan. Jakarta: Kerjasama Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT Pustaka Cidesindo. Prijono, Onny S. Pranarka, A.M.W. 1996. Pemberdayaan, Konsep. Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Salim, Agus. 2004. Indonesia Belajarlah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Syarief, Efrizal. 2001. Pembangunan Kelautan Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Majalah PP/Tahun 2001/Edisi 25/Efrizal Syarief.doc Satria A. 2000. Dinamika Modernisasi Perikanan, Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Humaniora Utama Press, Bandung. Setyowanto, Hari. 2012. Posdaya Pesisir Angkat Potensi Perikanan. Gemari. Edisi 136/Tahun XIII/Mei 2012. Sudjana, D. 2000. Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Luar Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manausia. Bandung: Falah Production. Suharto, E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Refika Aditama. Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media. Suyono, Haryono. 2008. Merangsang Pengentasan Kemiskinan Model MDGs. Gemari. Edisi 93/Tahun IX/Oktober 2008. 1) 2)
Penulis adalah dosen jurusan PLS FIP UNNES mata kuliah Perubahan Sosial Makalah dipresentasikan pada seminar nasional dan temu akademisi PLS di UPI tanggal 26-27 November 2014 dengan tema “Penguatan Peran PLS dalam Percepatan Pembangunan Desa” Page 11
Please purchase 'PDFcamp Printer' on http://www.verypdf.com/ to remove this message.
Suyono, Haryono dan Haryanto, R. 2008. Buku Pedoman Pembentukan dan Pengembangan Posdaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Tulungen, Johnnes. J. 2001. Program Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu dan Berbasis masyarakat: Telaah kasus di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor. 29 Oktober – 3 november 2001. Usman, S. 1998. Pembangunan Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
dan
Pemberdayaan
Masyarakat.
Widiastuti, Wiwin. 2009. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Di Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah – Vol.7 No.2, Desember 2009. Wiryawan, Budy. 2001. Lesson-Learned Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Lampung Indonesia: Keberhasilan dan Hambatannya. Proyek Pesisir PKSPL IPB. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor. 29 Oktober – 3 november 2001. Academia.edu
1) 2)
Penulis adalah dosen jurusan PLS FIP UNNES mata kuliah Perubahan Sosial Makalah dipresentasikan pada seminar nasional dan temu akademisi PLS di UPI tanggal 26-27 November 2014 dengan tema “Penguatan Peran PLS dalam Percepatan Pembangunan Desa” Page 12
Please purchase 'PDFcamp Printer' on http://www.verypdf.com/ to remove this message.