STUDI TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PETANI MISKIN DI DESA GERDUREN KECAMATAN PURWOJATI KABUPATEN BANYUMAS STUDY OF EMPOWERMENT ON POOR FARMERS COMMUNITY IN THE VILLAGE OF GERDUREN, PURWOJATI SUBDISTRICT, BANYUMAS DISTRICT Oleh: Abdul Rohman, Alizar Isna, P. Israwan Setyoko, dan Pawrtha Dharma Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsoed Purwokerto (Diterima: 5 Oktober 2004, disetujui: 12 Oktober 2004) ABSTRAK Pemberdayaan masyarakat tani miskin adalah suatu aktifitas yang ditujukan untuk meningkatkan kehidupan mereka. Dalam kegiatan pemberdayaan ini dilakukan oleh aparat desa, Perhutani maupun Lembaga Sawadaya Masyarakat (LSM). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pemberdayaan para petani miskin di desa Gerduren. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang didukung dengan pendekatan metode interaksi. Berdasarkan hasil analisis, maka ditemukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, bahwa persepsi masyarakat terhadap pemberdayaan petani miskin tidak mempunyai keseragaman. Sebab, salah satu pihak menyatakan bahwa suatu kegiatan disebut sebagai suatu pemberdayaan, sedangkan di pihak yang lain menyatakan bahwa kegiatan tersebut bukan sebagai pemberdayaan. Kedua, pemberdayaan masyarakat tani miskin dilaksanakan dengan metode yang tidak terprogram sebelumnya, sehingga pelaksanaan bantuan kurang menyentuh esensi pemberdayaan yang sebenarnya, yaitu melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan. Ketiga, Pemberdayaan pada umumnya tidak dilakukan secara sistemik, sehingga dalam pemberian bantuan stimulan, seperti pemberian benih maupun penjualan beras murah, tidak memberikan motivasi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki para petani. Hal ini karena tidak ada kegiatan pemberdayaan yang dijalankan secara kontinyu, baik oleh aparatur desa, Perhutani maupun LSM. Kata kunci: Pemberdayaan, Masyarakat, Petani, LSM ABSTRACT The empowerment of poor farmers community is activity for developing their life. The activity of this empowerment is done by apparatus of village, Department of Forestry or Non-Government Organization (NGO). Aim of this research was to know the implementation of the empowerment to poor farmers in Gerduren village. The methodology of this research was qualitative methods combined by interactive method. Based on the analysis result, it was found the important things: First, the community perception to empowerment the poor of farmers not same. Because one of them said, the activity was called “empowerment”, but in the other hand was said not empowerment. Second, the empowerment for poor of farmers was applied by methods not programme yet, so the applied for aid not to fact empowerment essential, that is poor and underdevelopment free. Third, the general application of empowerment was not systemic, so the stimulant giving, for example: the giving seedbed or the selling of inexpensive rice, not Studi tentang Pemberdayaan Masyarakat ... (Abdul Rohman dkk.)
145 as its done by apparatus of village, Department of Forestry or NonGovernment Organization (NGO). Key words: Empowerment, Community, Farmer, NGO
PENDAHULUAN Pengembangan kelompok tani produktif pada saat ini dipandang sebagai langkah strategis dalam menumbuhkan jiwa kewirausahaan di kalangan masya-rakat, terutama masyarakat pedesaan. Pemberdayaan para petani pada dasarnya sebagai langkah untuk membangun ekonomi mereka. Keberadaan lingkungan potensial seperti tanah terlantar, sungai maupun hutan yang ada di daerah pedesaan belum didayagunakan secara maksimal oleh masyarakat yang berada di lingkungannya. Padahal jika lahan tersebut dapat diberdayakan, maka dapat dijadikan upaya penanggulangan proses kemiskinan yang terjadi secara terus menerus, sebagai akibat dari tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakata tani (desa) yang sangat rendah serta keterbatasan kemampuan dalam menyerap dana/kredit permodalan dan jenis usaha yang dipilih belum berorientasi pada pasar. Sebagaimana dinyatakan Sumodiningrat (1998), bahwa masalah pokok yang dihadapi oleh setiap negara yang sedang membangun adalah pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan. Ketiga masalah ini
saling terkait dan tidak dapat dipecahkan secara terpisah. Ketiga masalah ini muncul karena ada perbedaan di antara setiap anggota masyarakat dalam kegiatan ekonomi. Keadaan masyarakat petani desa sebagai tersebut di atas adalah merupakan gambaran umum yang terjadi di seantero bumi pertiwi, tidak terkecuali di desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Ditilik dari sisi ekonomi, mayoritas penduduk desa Gerduren adalah petani miskin. Sawah maupun ladang mereka semuanya berkategori tanah tadah hujan, sehingga pada musim-musim kering, tanah-tanah tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Bahkan sebagian tanah mereka ada yang tidak ditanami apa-apa alias nganggur. Kecuali tanah milik masyarakat, desa Gerduren juga mempunyai lahan hutan yang dikuasai oleh negara dan dikelola Perum Perhutani. Pada saat ini hutan negara yang berada di daerah ini banyak orang yang melakukan penggundulan atau penjarahan, sehingga berakibat kerusakan lahan. Berbarengan dengan munculnya idea hutan sosial melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. IV No. 2 Agustus 2004:ISSN. 144-155 1411-9250
146 tahunan, yakni tanaman musiman, dan atau tanaman yang dapat mencukupi kebutuhan ekonomi mereka. Sebagaimana menurut Ajun Administratur Perum Perhutani KPH Banyumas Timur, bahwa fungsi hutan sosial adalah untuk membantu masyarakat lingkungan hutan agar mereka dapat memanfaatkan lahan hutan, terutama yang sedang diadakan reboisasi dengan jalan menanam tanaman musiman, atau tanaman dengan sistem tumpang sari jika lahan tersebut pihak Perhutani sudah mulai menanam. Perhutani pada umumnya memohon kepada para petani untuk memelihara tanaman Perhutani sebagai balas budi dari pihak Perhutani yang telah memperbolehkan lahannya dimanfaatkan para petani (Hasil wawancara dengan Ajun Adiministratur, Drs. Hasan Pamudji, 2001). Pada saat sekarang pemanfaatan lahan hutan sosial tersebut belum maksimal. Bahkan persepsi masyarakat petani yang ada di lingkungan hutan tidak berbanding lurus dengan pendapat Ajun Administratur tersebut mengenai fungsi hutan sosial. Sebab para petani banyak yang tidak mau memanfaatkannya, namun pada sisi yang lain ketika mereka sudah memanfaatkan lahan tersebut, ternyata justru sering merusak tanaman pokok atau tanaman reboisasi. Persepsi mereka menyatakan bahwa jika nanti
tanaman reboisasi sudah besar, maka mereka sendiri menjadi kehilangan mata pencahariannya (Hasil Survey Pendahuluan, 2001). Dengan demikian perlu ada pemberdayaan yang tepat terhadap masyarakat petani miskin agar mereka mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Masyarakat petani desa mendapatkan manfaatnya, yakni dapat bekerja (bertani) sehingga mengurangi pengangguran dan mampu mendapatkan hasilnya. Demikian pula pihak Perhutani juga dapat manfaatnya, yakni tanaman reboisasi tidak diganggu dan bahkan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Untuk mengetahui ketepatan dalam memberdayakan petani miskin ini, khususnya dalam rangka penanggulangan kemiskinan masyarakat petani desa, kiranya perlu suatu kajian yang sungguhsungguh, sehingga dapat membantu dalam mengoperasionalkan program-program pemberlakuan fungsi hutan sosial. Sebab menurut data SUSENAS tahun 1999 bahwa penduduk berkategori miskin mencapai 35,80%. Jumlah ini melebihi sepertiga dari seluruh jumlah penduduk Kabupaten Banyumas. Apabila tidak ada kebijakan-kebijakan yang mampu mengentaskan mereka dari kemiskinan, niscaya lambat laun akan membebani kehidupan masyarakat, seperti munculnya berbagai tindak kejahatan. Berdasarkan uraian di atas,
Studi tentang Pemberdayaan Masyarakat ... (Abdul Rohman dkk.)
147 2. Bagaimana persepsi masyarakat tani terhadap pelaksanaan bantuan pemberdayaan ? 3. Bagaimana model pendekatan pember-dayaan yang berlangsung pada masya-rakat tani miskin di desa Gerduren ?” Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui persepsi masyarakat tani tentang kegiatan pemberdayaan yang berlangsung di desa Gerduren. 2. Mengetahui persepsi masyarakat tani terhadap pelaksanaan bantuan pembedayaan yang pernah diterima oleh masyarakat tani. 3. M e n g e t a h u i t e n t a n g m o d e l pendekatan pemberdayaan yang berlangsung di desa Gerduren.
METODE PENELITIAN Penelitian ini memfokuskan pada kegiatan pemberdayaan yang berlangsung pada masyarakat tani yang berada di lingkungan hutan. Pada tahap awal dilakukan obeservasi terhadap fenomena kehidupan masyarakat, terutama tata sosialnya, ekonominya dan etos kerja mereka. Kemudian observasi juga dilakukan terhadap kebijakan dalam memberlakukan hutan sosial yang ada dalam wilayah RPH Purwojati. Metode penelitian yang digunakan adalah action research. Oleh karena itu pendekatannya dilakukan melalui observasi berpartisipasi (Singarimbun, 1989).
Hal ini untuk mengetahui dan menyelami secara menyeluruh kegiatan dan mekanisme pemberdayaan, baik yang dilakukan aparat desa, LSM maupun pihak Perhutani. Sasaran (responden) utama dalam penelitian ini adalah masyarakat petani yang ada di desa Gerduren, yang kemudian dilengkapi dengan pendapat dari pihak aparat desa, tokoh LSM setempat dan pihak Perhutani yang ada di lingkungan KPH Perhutani wilayah Banyumas Timur. Adapun sasaran lain yang menjadi kajian penelitian ini adalah dokumen-dokumen, peraturan, kebijakan dan program yang diterapkan Perhutani. Dalam pengumpulan data ada beberapa cara yang digunakan, yaitu: Pertama, Observasi Berpartisipasi. Metode ini dilakukan sebagai pengamatan dan pencatatan langsung secara sistematis terhadap fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat petani desa lingkungan hutan. Kedua, menggunakan Kuesioner yaitu untuk menjaring data yang bersifat tertulis. Hal ini untuk menghindari kesulitankesulitan yang ditemui bila diadakan wawancara. Kuesioner sifatnya sangat sederhana, karena maksud dari kuesioner ini hanyalah untuk memper-dalam observasi berpartisipasi. Ketiga, menggunakan teknik Interview, baik melalui focused
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. IV No. 2 Agustus 2004:ISSN. 144-155 1411-9250
148 secara mendalam. Sehingga data yang diperoleh memiliki validitas yang akurat. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara Purpossive Random Sampling. Hal ini sesuai dengan obyek penelitian, yaitu mengidentifikasi persepsi, aspirasi dan tanggapan dari suatu komunitas yang sifatnya homogen, yakni masyarakat petani desa yang berada di lingkungan hutan. Data yang telah dijaring di lapangan, kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis interaktif dan statistik sederhana. HASIL DAN PEMBAHASAN Diskripsi Wilayah Penelitian Secara Umum Penelitian ini dilaksanakan pada suatu desa yang bernama Gerduren, sebuah desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas. Gerduren terletak di bagian paling selatan dari pusat kota kecamatan, sehingga berhimpitan dengan wilayah kecamatan Jatilawang. Desa ini mempunyai luas 507,520 ha, dengan keadaan sebagai berikut (Tabel 1):
Keadaan tanah sebagaimana tertera dalam tabel di atas berada di tepian hutan negara dan bukit-bukit terjal. Bahkan bukit-bukit tersebut mengelilingi desa Gerduren. Oleh karena itu keberadaan desa Gerduren merupakan desa yang sulit dari tembusan aliran air sungai. Sebenarnya ada bangunan irigasi, namun hanya melingkar berada di pinggiran sebelah timur desa Gerduren. Irigasi tidak mampu menembus jantung desa. Hal ini disebabkan bahwa letak desa sebelah timur, meskipun telah menjadi hunian masyarakat setempat, tetapi lokasi tersebut adalah bekas bukit, sehingga keberadaannya lebih tinggi dari lokasi desa yang berada di sebelah utara, barat maupun selatan, sehingga keadaan geografis tanah kurang menguntungkan bagi penduduk setempat. K e a d a a n Pe n d u d u k d a r i S e g i Pendidikan Apabila penduduk dilihat dari sisi pendidikan, maka jumlah tamatan yang yang paling banyak adalah tamatan Sekolah Dasar (SD) yaitu sejumlah 2.497 orang. Adapun
Tabel 1. Keadaan Tanah secara Global Desa Gerduren
Sumber: Data monografi desa Gerduren 2001.
Studi tentang Pemberdayaan Masyarakat ... (Abdul Rohman dkk.)
Pendidikan
lamban. Dengan demikian pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat tani memerlukan keterampilan tersendiri agar mendapatkan hasil yang optimal, sehingga memenuhi berbagai macam kebutuhan yang terlepas dari belenggu kesengsaraan. Kemudian dari sisi mata pencahari-an, masyarakat petani desa Gerduren juga banyak didominasi oleh kaum buruh, sebagaimana terlihat dalam Tabel 3. Sumber: Data monografi Desa Gerduren Melihat Dari data tersebut, 2001. data di atas, maka kelompok terbesar adalah sebenarnya petani yang masyarakat berpendidikan rendah. mengerjakan tanahnya sendiri Bahkan masyarakat yang tidak (bukan buruh) adalah cukup banyak, sekolah dan tidak tamat sekolah yakni sejumlah 1.246 orang. Petani dasar mencapai 25,9%. Sedangkan ini mempunyai sawah sendiri atau mereka yang tamat sekolah dasar menyewa tanah baik kepada desa sekitar 54,9%. Kondisi seperti ini maupun kepada orang lain. Hanya menurut Usman (1998:30) persoalan yang muncul adalah berakibat rentan pada penyakit, bahwa kepemilikan tanah tersebut penghasilan hanya cukup untuk relatif sangat sedikit. Rata-rata makan, sehingga perkembangan tanah yang digarap sendiri itu
Tabel 3. Keadaan Mata Pencaharian Penduduk
Sumber: Data monografi desa Gerduren 2001. Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. IV No. 2 Agustus 2004:ISSN. 144-155 1411-9250
150 demikian hasilnya tidak akan mencukupi kebutuhan hidupnya, apalagi jika yang bersangkutan harus menanggung istri maupun anak-anaknya. Keadaan ini lebih diperparah oleh ketergantungannya terhadap alam. Sebab lahan yang mereka miliki adalah semuanya berstatus tadah hujan, sehingga jika tidak turun hujan lahan-lahan tersebut dianggurkan. Pembahasan Keadaan masyarakat desa Gerduren sebagian besar adalah terbelakang, terutama sisi ekonominya. Dalam kondisi seperti ini diperlukan suatu pemberdayaan, yaitu upaya penguatan individu anggota masyarakat dan pranatapranatanya seperti kerja keras, hemat, keterbukaan dan kebertanggungjawaban. Sehingga harkat dan martabatnya terlepas dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan (Kartasasmita, 1996). Sebab tanpa ada upaya pemberdayaan dari pihak-pihak lain, kemungkinan besar perkembangan dan kemajuan mereka sulit terwujud. Ada beberapa indikator yang dikaji dalam penelitian ini yaitu: 1. Persepsi tentang Pemberdayaan Pemberdayaan dalam meningkatkan masyarakat desa dapat berupa penyuluhan, pembinaan, pemberian pendidikan maupun pemberian stimulan. Aktifitas-aktifitas ini dapat dilakukan oleh organisasi, lembaga, kelompok masyarakat atau perorangan yaitu seperti LSM, kepala desa atau aparatnya maupun
dari dinas. Pendapat responden tentang upaya pemberdayaan dalam meningkatkan masyarakat desa Gerduren dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Pernah ada pemberdayaan yang berupa penyuluhan pertanian dari pihak desa (aparat desa) sejumlah 60%. b. T i d a k p e r n a h a d a pemberdayaan, baik penyuluhan atau jenis pemberdayaan lainnya, sebanyak 40%. Ketika ditelususri lebih dalam mengenai pemberdayaan ini (yang berjumlah 60%) dapat dijelaskan bahwa pemberdayaan yang pernah diberikan oleh pihak desa itu berupa penyuluhan pertanian yang sifatnya hanya berupa saran untuk menanam suatu jenis padi tertentu, sehingga antara petani yang satu dengan petani yang lainnya memiliki varietas yang sama. Saran inipun dilakukan secara personal, tidak dilakukan secara komunal. Adapun yang menyatakan (40%) bahwa penyuluhan dalam bentuk apapun belum pernah dilakasanakan adalah karena penyuluhan yang pernah dilaksanakan tidak dilakukan secara terprogram. Karena menurut Kartasasmita (1996), bahwa pemberdayaan hendaklah ada tahapan-tahapan yang jelas, seperti p e n y u s u n a n r e n c a n a , pelaksanaannya maupun evaluasi kegiatan. Kemudian menurut pendapat para tokoh LSM, terutama Ketua LSM Serikat Tani Banyumas Pekalongan, bahwa
Studi tentang Pemberdayaan Masyarakat ... (Abdul Rohman dkk.)
151 kegiatan kemah para petani yang dilakukan dan disponsori LSM. Sebab dalam kegiatan tersebut para petani dilatih berorganisasi dan diajak mempunyai wadah, agar aspirasinya dapat tersalurkan. Dengan demikian pada dasarnya semua responden mengakui bahwa mereka telah pernah diberdayakan, tetapi mereka tidak menyadari sepenuhnya. Kemudian mereka juga tidak mengetahui secara pasti siapa sebenarnya yang memberdayakan agar kehidupan mereka, terutama dalam sisi ekonomi lebih meningkat. Karena dalam pemberdayaan ada unsur-unsur yang terlibat, baik itu anggota masyarakat, lembagalembaga, aparatur desa dan atau dinas-dinas terkait. Pemberdayaan diupayakan mampu mengembangkan potensi yang ada di dalam masyarakat (Kartasasmita, 1996). 2. Bantuan Pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat tani dapat berupa penyuluhan, pembimbingan, pelatihan, pemberian saran, pemberian materi (dapat berupa benih, pupuk, beras murah, uang, hewan, pinjaman lunak), baik secara individual maupun secara kelompok. Dalam bantuan pemberdayaan ini peneliti tidak memilah antara bantuan yang bersifat materiil maupun nonmateriil, tetapi kedua-duanya dapat dikate-gorikan sebagai bantuan pemberdayaan. Karena dalam kenyataannya bahwa suatu bantuan pemberdayaan itu dapat berwujud materi maupun immateri. Jika melihat aktifitas
pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak aparat desa, LSM ataupun dinas (Perhutani) terhadap para petani miskin, sebenarnya mereka telah berupaya memberi bantuan dalam rangka meningkatkan kehidupan para petani miskin. Namun pemberdayaan ini sifatnya masih sangat sederhana dan sangat lemah, baik ditinjau dari segi sistemnya, orientasinya, tujuannya, metodenya, cara pendekatannya maupun aplikasinya. Pemberdayaan kurang menyentuh dari upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kartasasmita (1996) menekankan bahwa dalam pemberdayaan hendaklah ada upaya mendorong, memotivasi, dan membangkit-kan kesadaran potensi yang dimiliki masyarakat agar mampu mengembangkan-nya. Beberapa kasus berikut adalah sebuah pemberdayaan yang telah berlangsung di desa Gerduren, yaitu: Pertama; para petani miskin mendapat bantuan pemberdayaan berupa pembelian beras murah dari desa. Penjualan beras murah ini tidak dilakukan secara rutin. Umpama setiap bulan sekali, tetapi lebih bersifat temporer atau sewaktu-waktu. Bahkan pada saat penelitian dilakukan (akhir 2001) sudah sekitar setengah tahun lebih tidak ada lagi beras murah. Pemberdayaan model ini ditilik dari segi pendidikan adalah tidak bermanfaat. Hanya mungkin dalam jangka sesaat, bantuan tersebut bermanfaat. Tetapi dalam jangka panjang bantuan model itu justru
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. IV No. 2 Agustus 2004:ISSN. 144-155 1411-9250
152 padahal mereka pada umumnya mempunyai lahan sawah di desanya (rata-rata setiap keluarga mempunyai lahan antara 5 - 20 sangga). Bantuan tidak ditujukan untuk mencari sebab musabab dari proses kemiskinan. Dengan demikian bantuan model pembelian beras murah yang adanya hanya sewaktu-waktu merupakan model pemberdayaan yang tidak efektif. Kedua; pemberian benih dan atau pupuk. Sebagian petani, terutama dari kelompok tani hutan atau masyarakat tani yang berada di lingkungan hutan, pernah mendapat bantuan benih atau pupuk dari Perhutani. Model bantuan ini juga persis seperti pada kejadian model bantuan yang pertama. Artinya tidak memberikan dampak positif yang efektif bagi masyarakat tani miskin pada masa-masa yang akan datang. Apalagi dalam pemberian bantuan tersebut tidak disertai saran maupun motivasi untuk proses kelanjutan setelah benih itu dipanen. Dengan demikian setelah para petani melakukan pemanenan, mereka menjadi tidak terarah dalam memperlakukan hasil tanamannya, sehingga bantuan tersebut tidak membekas dan tidak memotivasi diri mereka sendiri agar lebih giat dalam menjalankan aktifitas pertanian. Ketiga; diajak berorganisasi. Kegiatan ini diharapkan memberikan kontribusi kepada masyarakat petani miskin agar mereka bisa berorganisasi yaitu suatu kegiatan yang dapat menyusun atau mengatur dari berbagai bagian,
sehingga merupakan kesatuan yang teratur (Poerwadarminta, 1990). Untuk merealisasi pemberdayaan ini pernah masyarakat tani diajak berkemah di lahan Perhutani dengan mengambil lokasi di desa Sokawera, Cilongok, Banyumas. Kegiatan pemberdayaan model ini, bila dilihat dari sisi need yang mendasar bagi masyarakat petani kiranya tidak relevan. Sebab yang dibutuhkan masyarakat tani bukan cara-cara mengatur, menyusun, menata suatu kelompok masyarakat, tetapi mereka lebih membutuhkan langkah-langkah praktis bagaimana cara mempertahankan kontinuitas hasil pertanian yang maksimal dan bagaimana cara meningkatkannya itu. Jika ditinjau dari sisi Sumber daya Manusianya (SDM-nya), maka kegiatan tersebut juga kurang tepat. Sebab pendidikan formal mereka sangat rendah, sehingga mempengaruhi pola berfikir mereka. Sebagaimana dinyatakan Jusuf Amir Feisal (1995), bahwa pendidikan itu mampu mempengaruhi cara dan metode berfikir seseorang. Mengikuti kegiatan suatu organisasi, bahkan aktif di dalamnya memerlukan skill atau keterampilan yang cukup. Oleh karena itu, pemberdayaan model ini juga tidak efektif dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat tani. Kemudian ditinjau dari segi penyadaran kemerdekaan mendapatkan hak, maka pemberdayaan yang mengarah pada latihan hidup berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat,
Studi tentang Pemberdayaan Masyarakat ... (Abdul Rohman dkk.)
153 kiranya pemberdayaan sisi nonmateriil ini sangat berguna. Namun karena pada umumnya kondisi para petani miskin adalah termasuk sebagai kaum marginal atau yang dimarginalkan, lemah, terpinggir, pasif, menerima ing pandum (hidup apa adanya atau kurang dinamis), maka model pemberdayaan “latihan organisasi” ini tetap menjadi kurang efektif. Sebagaimana dinyatakan oleh J.S. Scoot (1981), bahwa petani tradisional (peasant) secara kultural memiliki perilaku yang tidak rasional dan memiliki moral ekonomi subsisten. Padahal latihan organisasi membutuhkan kerja intelektual dan didukung skill yang memadai. 3. Macam dan Bentuk Pemberdayaan Dalam menanggulangi kemiskinan tersebut, maka diadakan kegiatan pemberdayaan masyarakat tani miskin, sebagaimana yang telah dilakukan aparat desa maupun LSM dalam rangka peningkatan potensi petani baik dalam bidang kemampuan bertani, berorganisasi maupun pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih ditekankan pada sisi materi. Agar pemberdayaan petani miskin berhasil guna, maka kegiatan-kegiatannya disesuaikan dengan kebutuhan dasar (basic needs) mereka, yaitu kemampuan memanfaatkan lahan (skill dan pendidikan), ketepatan memilih benih (varietas unggul) dan kemampuan membaca pasar. Menurut Baswir (1998), ada tiga jenis kemiskinan, yaitu kemiskinan natural, kemiskinan
kultural dan kemiskinan struktural. Adapun kemiskinan yang dihadapi petani desa Gerduren adalah lebih disebabkan oleh kemiskinan natural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah, seperti kesulitan air, tanah yang berstatus tadah hujan, dan atau perbedaan geografis tempat tinggal. Kemudian kemiskinan kultural yang lebih disebabkan oleh adat istiadat, budaya, tidak disiplin, atau perbedaan etika kerja (etos kerja) juga ikut mempengaruhi munculnya proses kemiskinan petani desa. Jika melihat kegiatan pemberdayaan yang telah diterapkan, maka ada dua model yang dapat diamati, yaitu : a. M o d e l p e n y u l u h a n a t a u bimbingan yang dilakukan dengan pemberian saran secara informal, sehingga dapat berlangsung di sawah atau kebun, di rumah para petani sambil minum kopi, dan atau di musholla/masjid. Pemberdayaan model ini tidak direncanakan terlebih dahulu, sehingga tidak mempunyai arah yang sistematis. b. Model bimbingan partisipatoris, terutama dalam rangka memunculkan kesadaran berorganisasi. Tetapi karena dilihat dari sisi SDM para petani miskin yang lemah, maka pemberdayaan model inipun juga belum berhasil dengan baik. Sebab sampai saat ini kiprah mereka di dalam mengembangkan hasil pertanian, atau melakukan
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. IV No. 2 Agustus 2004:ISSN. 144-155 1411-9250
154 Kedua model pemberdayaan tersebut sebenarnya jika dilakukan secara sistematis, maka akan berjalan efektif. Namun karena pelaksanaannya tidak didukung oleh SDM yang mumpuni dan tidak terprogram, kedua model pemberdayaan tersebut menjadi kehilangan arah dan tujuan yang jelas. Apalagi jika dilihat dari basic needs petani maka juga akan lebih tidak menyentuh lagi. Kemudian dilihat dari sisi bentuk materi pemberdayaan masyarakat tani miskin, maka juga ada dua bentuk yang dapat dikemukakan yaitu: 1. Pemberian bahan atau materi yang berkaitan dengan masalah pertanian yaitu seperti benih atau pupuk. 2. Pemberian jasa yakni kegiatan temporer yang diarahkan pada penanggulangan kemiskinan. Hal ini seperti penjualan beras dengan harga murah. Pemberian jasa ini dilakukan oleh aparat desa yang sebenarnya sebagai pengembangan dari program Jaringan Pengaman Sosial. Dengan demikian model pendekatan pemberdayaan yang telah dilakukan, belum sepenuhnya memberikan uapaya maksimal dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Karena aktifitasaktifitas pemberdayaan tidak dilakukan secara kontinyu, bahkan materi yang disampaikan belum menyentuh basic needs secara signifikan, sebagaimana yang dibutuhkan petani miskin, yaitu kemampuan mengembangkan
potensi yang dimiliki mereka, mandiri, dan mampu melepaskan dari belenggu keterbelakangan sehingga kebutuhan pangan, sandang, papan maupun kesehatan dapat terpenuhi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Persepsi masyarakat, LSM, aparatur desa dan atau Perhutani terhadap pemberdayaan petani miskin tidak mempunyai keseragaman. Artinya bisa jadi salah satu pihak menyatakan bahwa suatu kegiatan disebut sebagai suatu pemberdayaan, sedangkan di pihak yang lain menyatakan bahwa kegiatan terse-but bukan sebagai upaya pemberdayaan. 2. Pemberdayaan masyarakat tani miskin dilaksanakan dengan metode yang tidak terprogram sebelumnya, sehingga pelaksanaan bantuan kurang menyentuh esensi pemberdayaan yang sebenarnya, yaitu melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan. 3. Pelaksanaan pemberdayaan pada umumnya tidak dilakukan secara sistemik, sehingga dalam pemberian bantuan stimulan, seperti pemberian benih maupun penjualan beras murah, tidak memberikan motivasi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anggota masyarakat. Hal ini karena tidak ada kegiatan pemberdayaan yang dijalankan secara kontinyu, baik oleh aparatur desa, Perhutan maupun LSM.
Studi tentang Pemberdayaan Masyarakat ... (Abdul Rohman dkk.)
155 2. Pelaksanaan penelitian ini masih banyak kekurangan. Karena dalam penelitian ini belum diungkap mengenai faktor-faktor lain, seperti pemberdayaan tanah, keberadaan masyarakat dari sisi agama, sosial, maupun politik yang menjadi kendala dalam melakukan pemberdaya-an masyarakat tani miskin di lingkungan pedesaan. Oleh karena itu perlu dilaku-kan penelitian mengenai pemberdayaan yang sifatnya lebih komprehensif. DAFTAR PUSTAKA Baswir, R. ----. Kata Pengantar d a l a m M e m b a n g u n Perekonomian Rakyat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. BKKBN, GKBN dan Pembangunan Keluarga Sejahtera Kabupaten Banyumas, 1999. Feisal, J.A. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Gema Insani Press, Jakarta.
Wahana Strategi Menuju Kehidupan yang Berkelanjutan. Gramedia, Jakarta. Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides, Jakarta. PEMDA Banyumas. 1997. Banyumas Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kab. Banyumas. Sumodiningkrat, G. 1998. Membangun Perekonomian Rakyat. Pustaka Pelajar, Yogyakayta. Sayogya. 1994. Industrialisasi di Pedesaan. Jakarta. Slamet, Y. ----. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi. Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Scoot, J.C. 1981. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES, Jakarta. Usman, S. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Kancono, A.T. pent., 1991. Bumi
Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. IV No. 2 Agustus 2004:ISSN. 144-155 1411-9250