1
PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI SAWAH PADA BERBAGAI JENIS BIBIT ANTARA TEKNIK IRIGASI INTERMITTENT, SRI DAN KONVENSIONAL GROWTH AND YIELD OF RICE ON VARIOUS TYPES OF SEEDLINGS BETWEEN INTERMITTENT, “SRI” AND KONVENSIONAL IRRIGATION TECHNIQUES Nihla Farida, Astam Wiresyamsi dan Wayan Wangiyana Fakultas Pertanian, Universitas Mataram ABSTRAK Penelitian ini ditujukan untuk menentukan apakah jenis bibit berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi antara teknik irigasi intermittent, SRI dan konvensional. Dalam penelitian ini digunakan metode eksperimental dengan melakukan percobaan lapangan, dari bulan Juni sampai Nopember 2008, di kebun percobaan Narmada (Lombok Barat), yang ditata menurut Rancangan Petak Terbagi, dengan tiga blok dan dua faktor perlakuan, yaitu teknik irigasi padi (Intermittent, SRI dan konvensional) sebagai petak utama dan jenis bibit yang ditanam (tanam benih, kecambah, bibit 8 hari dan bibit 21 hari) sebagai anak petak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara kedua faktor perlakuan, faktor teknik irigasi memberikan lebih banyak pengaruh nyata daripada perbedaan jenis bibit yang ditanam terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah, dan ada interaksi antara kedua faktor perlakuan terhadap jumlah malai per rumpun dan persentase gabah hampa. Di antara ketiga teknik irigasi yang diuji, teknik SRI memberikan hasil tertinggi, diikuti teknik konvensional dan intermittent. Karena jenis bibit tidak berpengaruh nyata terhadap hasil padi sawah, maka tanam kecambah atau benih langsung dapat dianjurkan kepada petani dalam usaha menghindari kesulitan menanam tunggal bibit muda (7-15 hss) pada teknik SRI, asalkan benih telah diseleksi kebernasannya. ABSTRACT This research aimed to determine whether different types of seedlings planted affects growth and yield of rice between intermittent, SRI and conventional irrigation techniques. In this research an experimental method was used by conducting field experiment, from June to November 2008, at the experiment station of the Faculty of Agriculture, Mataram University, located in Narmada (West Lombok). The experiment was arranged according to Split Plot Design, with three blocks and two factors, i.e. irrigation techniques (Intermittent, SRI and conventional) as the main plot, and types of rice seedlings (direct seed planting, sprout planting, or transplanting 8-day-seedling or 21-day-seedling) as sub-plot. Results indicated that between the two factors tested, irrigation techniques showed more significant effects than different types of seedlings planted, and there was a significant interaction between the two factors on panicle number per clump and percentage of unfilled grains. Among the three irrigation techniques tested, “SRI” technique resulted in the highest grain yield per clump, followed by conventional, and intermittent, which yielded the lowest. Since types of seedlings planted did not have significant effects on yield of rice, direct seeding or sprout planting can be recommended in order to overcome the difficulties in transplanting the young seedlings in the normal procedure of “SRI” technique of growing paddy rice, as long as seeds were properly selected for their viability and endosperm fullness. _____________________________ Kata kunci: padi, SRI, konvensional, intermittent, jenis bibit Keywords : rice, SRI, conventional, intermittent, types of seedlings PENDAHULUAN Seperti kita telah ketahui bersama bahwa sebagian besar penduduk Indonesia menggunakan beras, yang dihasilkan oleh tanaman padi (Oryza sativa L.), sebagai bahan makanan pokok. Bahkan banyak orang, bila belum makan nasi, merasa belum makan padahal sudah makan roti yang banyak. Jadi demikian pentingnya
persediaan beras sehingga harus ada organisasi pemerintah, yaitu BULOG, yang tugas utamanya mengurus stok beras nasional. Seperti juga halnya dengan bahan bakar minyak (BBM), kenaikan harga beras di Indonesia biasanya berpengaruh langsung terhadap harga-harga bahan lainnya. Selain itu, penduduk masih terus bertambah, sementara lahan sawah, terutama di sekitar perkotaan terus berkurang karena alih Agroteksos Vol. 20 No.1, April 2010
2 fungsi ke non-pertanian. Dengan demikian, produksi padi harus terus ditingkatkan, sehingga sangat perlu ditemukan inovasi baru yang dapat meningkatkan produksi padi. Tanaman padi, pada umumnya ditanam dengan sistem tergenang. Petani malah umumnya membiarkan air terus-menerus mengalir masuk ke petak sawah, dan terus mengalir dari petak satu ke petak lainnya, sampai ke tempat pembuangan, seperti kali atau parit. Dengan munculnya teknik-teknik budidaya baru, maka teknik budidaya padi sawah dengan penggenangan tersebut disebut sebagai teknik budidaya padi sawah “konvensional” (Uphoff et al., 2002). Kalau dibandingkan dengan penanaman padi secara kering, yang disebut sebagai padi gogo, padi sawah memberikan hasil yang jauh lebih tinggi (Partohardjono et al., 1983). Dengan dikembangkannya teknik budidaya padi yang lebih baru, yang mula-mula dikembangkan di Madagaskar, yang akhirnya dikenal dengan teknik SRI (System of Rice Intensification), maka ada harapan baru untuk meningkatkan produksi padi. Dalam skala percobaan lapangan, teknik SRI ini merupakan teknik budidaya yang hemat air tetapi memberikan hasil gabah yang jauh lebih tinggi daripada sistem sawah konvensional, bahkan sampai berlipat ganda. Hal ini karena di Madagaskar, pada lahan yang relatif kurang subur tetapi telah dipraktekkan teknik SRI murni selama 8 tahun, seorang petani mencapai hasil hasil 2,74 ton pada sawah 13 are, yang berarti 21 t/ha; sementara budidaya padi secara konvensional pada lokasi yang sama, yaitu pada petakpetak lahan yang berdekatan, diperoleh hasil rata-rata hanya 2,6 t/ha (Uphoff, 2002a). Namun demikian, Gypmantasiri (2002) melaporkan dari Thailand bahwa ada lokasi di mana hasil padi dengan teknik SRI lebih rendah daripada dengan teknik konvensional, tetapi padi yang ditanam dari bibit muda (17 hari) menghasilkan lebih tinggi daripada menggunakan bibit tua (34 hari), yang biasa dipakai pada teknik konvensional. Di Indonesia, dari hasil percobaan di berbagai lokasi, termasuk di wilayah NTB, Gani et al. (2002) melaporkan hanya sedikit peningkatan hasil dengan teknik SRI dibandingkan teknik penanaman padi yang biasa dilakukan oleh petani. Akan tetapi belakangan ini, dari percobaan-percobaan yang dilakukan oleh staff DISIMP (Decentralized Irrigation System Improvement Project) di NTB, terutama dari percobaan-percobaan yang berlokasi di wilayah pulau Sumbawa, dilaporkan adanya perolehan hasil padi yang rata-rata lebih tinggi dengan teknik SRI dibanding teknik konvensional, seperti di Tiu Kulit (Sumbawa) N. Farida dkk.: Pertumbuhan dan Hasil Padi …
diperoleh hasil 9 t/ha dengan teknik SRI padahal dengan teknik padi sawah konvensional di tempat yang sama, hanya diperoleh hasil 4,49 t/ha (Sato, 2006). Perbedaan yang jelas antara teknik SRI dan konvensional terutama dalam hal umur bibit, pengaturan air, pemupukan, jarak tanam dan cara tanam bibit (Uphoff et al., 2002). Menurut panduan mereka, bibit harus dipindahtanam pada umur muda (8-12 hari atau tidak lebih dari 15 hari setelah semai) dengan cepat dan hati-hati, dengan menanam bibit tunggal pada jarak tanam lebar (25-30 cm) terutama untuk memudahkan penyiangan. Yang lebih penting lagi adalah pengairan secara “intermittent” selama fase vegetatif, sehingga tanah lebih bersifat aerobik. Pemupukan lebih dianjurkan dengan pupuk organik (terutama kompos), tetapi menurut Uphoff (2002b), penggunaan pupuk organik bukan keharusan, yang paling penting adalah teknik pemberian airannya. Uphoff et al. (2002) menyarankan pemberian sedikit air setiap hari atau melakukan penggenangan tipis dan pengeringan secara bergantian (intermittent) dengan periode 3-6 hari per siklus, diulangi terus menerus sepanjang fase vegetatif. Walaupun teknik SRI dapat memberikan hasil yang jauh lebih tinggi daripada teknik budidaya padi sawah konvensional, dalam prakteknya adopsi inovasi ini oleh petani sangat lambat. Dari beberapa kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh Staf Program Studi Agronomi, Universitas Mataram, terungkap bahwa banyak hal yang dikeluhkan oleh petani berkaitan dengan praktek teknik SRI, antara lain tingginya intensitas gulma dibanding sistem tergenang, sehingga biaya penyiangan tinggi; petani juga kesulitan dalam penanaman 1 bibit per lubang dan bibit masih sangat kecil, yaitu hanya berdaun dua. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan apakah teknik SRI dapat diterapkan dengan cara penanaman yang lebih mudah, yaitu dengan menanam benih langsung atau kecambah dibanding bibit. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan metode eksperimental dengan melaksanakan percobaan lapangan, di kebun percobaan milik Fakultas Pertanian Unram, yang berlokasi di desa Narmada (Lombok Barat), sejak bulan Juni sampai Nopember 2008. Rancangan percobaan Percobaan ditata menurut Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design), yang terdiri atas dua faktor perlakuan, yaitu teknik irigasi (I) sebagai
3 petak utama (main plot), dan jenis bibit yang ditanam (B) sebagai anak petak (sub-plot), dan tiap kombinasi dibuat dalam tiga blok. Teknik irigasi (I) terdiri atas 3 taraf, yaitu Full intermittent (i1), teknik SRI (System of Rice Intensification) (i2), dan padi sawah konvensional, di mana tanaman padi hampir selalu dalam keadaan tergenang, kecuali saatsaat pemupukan dan menjelang panen gabah (i3), sedangkan jenis bibit (B) terdiri atas 4 taraf: tanam benih langsung (tabela) (b1), tanam kecambah langsung (b2), pindah tanam bibit umur 8 hari setelah semai (hss), yang disiapkan dengan pesemaian kering (tidak tergenang) (b3), dan pindah tanam bibit umur 21 hss, yang disiapkan dengan pesemaian basah/tergenang (b4). Pelaksanaan percobaan Persiapan lahan.-- Sebelum penanaman, tanah dibajak dan digaru masing-masing dua kali, kemudian dibuat petak-petak perlakuan, dengan ukuran 1,75 x 3 m2. Di antara petak perlakuan dibuat parit dengan lebar 30 cm dan dalam 10 cm. Agar tidak terjadi penyebaran air antar petak utama, maka dibuat pematang pemisah selebar 30 cm. Pengolahan tanah dilakukan dengan sistem basah tetapi saat tanam permukaan petak dalam keadaan macak-macak. Persiapan benih/bibit.-- Benih padi yang digunakan adalah varietas Ciherang, dengan menggunakan benih-benih yang bernas saja; pemisahannya dilakukan dengan memasukkan benih dalam larutan garam (200 g/L), kemudian benih yang mengambang dibuang sedang yang tenggelam segera dibilas beberapa kali dengan air bersih, kemudian langsung ditanam untuk perlakuan tanam benih (b1) dan sisanya direndam selama 24 jam untuk membuat bibit. Setelah direndam dan diperam dalam karung basah selama 24 jam, maka benih berkecambah, yang kemudian langsung ditanam untuk perlakuan tanam kecambah (b2), dan sisanya disemai untuk membuat bibit 8 hss (pesemaian di atas nampan dengan tanah tanpa penggenangan) dan bibit 21 hss (dengan pesemaian tergenang/konvensional). Tanah pesemaian tidak dipupuk, tetapi bibit disemprot dengan larutan Urea 5 g/L pada umur 4 hss, 8 hss, 14 hss dan 21 hss. Penanaman dan pemupukan.-- Penanaman dilakukan setelah bibit mencapai umur sesuai dengan perlakuan jenis bibit, sehingga antar jenis bibit, saat tanamnya berbeda-beda. Jarak tanam yang digunakan 25 x 25 cm2, dengan dua tanaman muda per lubang tanam. Pemupukan sesuai dengan anjuran, yaitu sebagai pupuk
dasar, susulan I dan susulan II, dengan pupuk Urea, SP-36 dan KC1 (300, 150 dan 100 kg/ha berturut-turut). Pupuk SP-36 dan KC1 diberikan sebagai pupuk dasar pada saat tanam, sedangkan pupuk Urea diberikan 25% sebagai pupuk dasar, 45% susulan I (umur 35 hari) dan 30% susulan II (umur 56 hari) setelah semai. Pengairan.-- Untuk sistem konvensional (sawah tergenang), air diberikan setiap hari dengan mempertahankan tinggi genangan sekitar 5-7 cm di atas permukaan petakan. Pada teknik intermittent, dan SRI sebelum fase bunting, pemberian air dilakukan bila tanah petakan telah mengering sampai pecah-pecah, dengan cara mengalirkan air ke petakan sampai tercapai penggenangan tipis (±2 cm), kemudian pemberian air dihentikan sampai tercapai kondisi tanah kering pecah-pecah; demikian seterusnya. Setelah fase bunting sampai berakhimya fase pengisian gabah, petakan teknik SRI digenangi setebal 5-7 cm sedangkan perlakuan intermittent, pemberian air tetap dilakukan secara intermittent tetapi tanah tidak sampai mencapai kering melainkan masih lembab tetapi tidak jenuh. Pemeliharaan tanaman.-- Kegiatan meliputi penyiangan (yang dilakukan dengan mencabut gulma yang tumbuh) dan pengendalian hama/penyakit. Untuk pencegahan, pada saat pemberian pupuk dasar, juga dilakukan pemberian Furadan 5 G. Karena banyak sekali semut merah, maka benih dan kecambah juga dicelupkan ke dalam larutan Matador sebelum ditugalkan atau disemaikan. Untuk pengendalian hama, karena ada serangan walang sangit, digunakan Decis 2,5 EC. Panen dan penanganan hasil.-- Malai dipotong pada ruas di pangkal malai, kemudian dikeringkan dengan penjemuran sampai mencapai kadar air kering giling (sekitar 14%); jerami rumpun sampel, yang dipotong di pangkal batang, juga dikeringkan dengan penjemuran. Variabel pengamatan dan analisis data Variabel yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan pada fase bunting; jumlah anakan produktif (yaitu jumlah malai per rumpun) dan rata-rata panjang malai; berat kering jerami, persentase gabah hampa (dihitung dengan mempersentasekan jumlah gabah hampa terhadap jumlah gabah per rumpun), berat gabah berisi kering giling, berat 100 gabah berisi kering dan indeks panen. Pengamatan dilakukan terhadap empat (4) rumpun sampel per plot, yang ditentukan dengan systematic random sampling.
Agroteksos Vol. 20 No.1, April 2010
4 Data (rata-rata per rumpun) dianalisis dengan analisis keragaman (Analysis of Variance =ANOVA) menggunakan program Statistica for Windows, yang dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (Honestly Significant Difference) pada taraf nyata 5%. Selain ANOVA, juga dilakukan analisis regresi dan korelasi menggunakan Microsoft Excel for Windows. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis keragaman (Tabel 1), menunjukkan bahwa pengaruh interaksi antara kedua faktor perlakuan hanya terjadi pada jumlah malai per rumpun dan persentase gabah hampa. Namun, di antara kedua faktor perlakuan tersebut, teknik irigasi memberikan lebih banyak pengaruh nyata dibandingkan dengan cara tanam bibit. Teknik irigasi berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, berat kering jerami, jumlah malai per rumpun, rata-rata panjang malai, berat 100 gabah berisi, hasil gabah kering per rumpun, sedangkan faktor cara tanam bibit (yaitu apakah langsung tanam benih atau kecambah atau pindah tanam bibit umur 8 hss atau bibit umur 21 hss), hanya perpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan rata-rata panjang malai. Dari segi pertumbuhan tanaman, berdasarkan hasil pengukuran tinggi tanaman, jumlah daun per rumpun, jumlah anakan per rumpun, panjang malai dan berat jerami kering, yang nilai rata-ratanya disajikan pada Tabel 2, tampak bahwa teknik pengairan secara konvensional (sistem tergenang) menghasilkan tinggi tanaman dan panjang malai tertinggi dan berbeda nyata
dengan teknik SRI dan irigasi intermittent, tetapi berat kering jerami tertinggi pada teknik SRI dan terendah pada irigasi intermittent. Bila ditinjau dari pengaruh jenis bibit (atau bahan tanam), bibit umur 21 hss menghasilkan tinggi tanaman dan panjang malai tertinggi. Dari rata-rata tinggi tanaman, tampak bahwa tanaman tertinggi bersesuaian dengan perlakuan irigasi konvensional dan penanaman bibit umur 21 hss. Oleh karenanya, adanya pengaruh teknik irigasi terhadap tinggi tanaman diduga lebih disebabkan oleh perbedaan laju pertumbuhan awal, yaitu pada masa pesemaian. Seperti kita ketahui, umur bibit untuk penanaman pada teknik budidaya konvensional biasanya minimal 21 hari, dan pada pesemaian, pertumbuhan bibit agak berdesak-desakan, sehingga ini diduga memacu pertumbuhan tinggi tanaman, terutama selama di pembibitan. Namun, biasanya tanaman padi yang tinggi kurang baik karena akan menjadi lebih rentan terhadap kerebahan (Deptan, 1977). Seperti halnya terhadap tinggi tanaman, pengaruh yang sama juga terjadi terhadap panjang malai, di mana rata-rata malai terpanjang adalah pada penanaman bibit umur 21 hss, dan teknik irigasi konvensional (Tabel 2). Kondisi ini diduga merupakan kompensasi dari jumlah malai, karena jumlah malai per rumpun tidak terbanyak pada teknik irigasi konvensional, melainkan pada teknik SRI (Tabel 3). Dengan kata lain, jumlah anakan produktif tertinggi pada teknik SRI. Data ini juga bersesuaian dengan data berat kering jerami, yang tertinggi pada teknik SRI (Tabel 2).
Tabel 1. Rangkuman hasil analisis keragaman teknik budidaya, cara tanam dan interaksinya terhadap semua variabel pengamatan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Variabel pengamatan Tinggi tanaman Jumlah daun per rumpun Jumlah anakan per rumpun Berat kering jerami (g/rumpun) Rata-rata panjang malai (cm) Jumlah malai (anakan produktif) per rumpun Rata-rata berat 100 biji berisi (g) Persentase gabah hampa Hasil gabah kering (g/rumpun) Indeks panen (%)
Irigasi (I) s ns ns ss s ss s ns ss ns
Jenis bibit (B) s ns ns ns ss ns ns ns ns ns
Interaksi (I*B) ns ns ns ns ns s ns ss ns ns
Keterangan: ns = non-signifikan (p≥0,05); s = signifikan (p<0,05); ss = sangat signifikan (p<0,01)
N. Farida dkk.: Pertumbuhan dan Hasil Padi …
5
Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan per rumpun pada fase bunting, serta rata-rata panjang malai dan berat kering jerami per rumpun untuk setiap taraf perlakuan teknik irigasi dan cara tanam bibit No Perlakuan I. Teknik irigasi: 1. Intermittent 2. SRI 3. Konvensional BNJ 0,05 II. Jenis bibit: 1. Benih 2. Kecambah 3. Bibit 8 hss 4. Bibit 21 hss BNJ 5%
Tinggi Jumlah daun Jumlah anakan Panjang malai tanaman (cm) per rumpun per rumpun (cm)
Jerami kering (g/rumpun)
49,8 b*) 47,5 b 56,0 a 5,7
79,2 a 66,7 a 90,4 a ns
27,7 a 22,8 a 28,8 a ns
18,5 b 18,3 b 20,0 a 1,1
16,80 c 38,66 a 34,08 b 2,44
51,0 50,4 48,7 54,3 5,5
73,8 86,0 83,1 72,0 ns
25,8 29,5 26,3 24,1 ns
18,4 18,8 18,8 19,8 0,9
29,70 29,70 29,16 30,82 ns
ab ab b a
a a a a
a a a a
b b b a
a a a a
*) Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata antar perlakuan pada setiap faktor, menurut uji BNJ atau hasil ANOVA masing-masing ns = tidak berbeda nyata menurut hasil ANOVA pada Tabel 1 Tabel 3. Rata-rata jumlah malai per rumpun, persentase gabah hampa, berat 100 gabah berisi, hasil gabah kering per rumpun dan indeks panen untuk setiap taraf perlakuan teknik irigasi dan cara tanam bibit No Perlakuan I. Teknik irigasi: 1. Intermittent 2. SRI 3. Konvensional BNJ 0,05 II. Jenis bibit: 1. Benih 2. Kecambah 3. Bibit 8 hss 4. Bibit 21 hss BNJ 5%
Jumlah malai Gabah hampa Berat 100 gaper rumpun (%) bah berisi (g)
Gabah kering (g/rumpun
Indeks panen (%)
9,5 c 16,9 a 12,0 b 2,0
28,3 a 20,9 a 18,4 a ns
3,00 ab 3,18 a 2,97 b 0,18
14,10 b 27,75 a 22,93 a 7,59
45,8 a 41,7 a 39,9 a ns
13,2 12,7 13,0 12,3 ns
22,3 22,2 24,2 21,3 ns
3,01 3,07 3,00 3,12 ns
20,66 23,72 21,38 20,60 ns
41,3 44,9 42,8 40,7 ns
a a a a
a a a a
a a a a
a a a a
a a a a
*) Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata antar perlakuan pada setiap faktor, menurut uji BNJ atau hasil ANOVA masing-masing ns = tidak berbeda nyata menurut hasil ANOVA pada Tabel 1
Gambaran hasil tersebut menunjukkan bahwa kemampuan merumpun untuk membentuk rumpun yang besar, terutama dengan penambahan jumlah anakan, merupakan salah satu kelebihan teknik SRI dibandingkan dengan teknik konvensional. Kondisi ini biasanya
dibarengi dengan pertumbuhan sistem perakaran yang lebih ekstensif dan lebih dalam pada teknik SRI dibandingkan dengan teknik konvensional (Uphoff, 2002, 2003; Uphoff et al., 2002). Kedua kemampuan ini ditambah dengan jumlah malai yang lebih banyak dapat merupakan Agroteksos Vol. 20 No.1, April 2010
6 jenis bibit padi yang ditanam dalam kaitan dengan teknik irigasi yang diterapkan, tampak dari Gambar 2, bahwa dengan bibit muda (8 hss), persentase gabah hampa tertinggi pada teknik konvensional, tetapi hasil gabah masih relatif lebih tinggi daripada teknik intermittent (Gambar 3), karena jumlah malai yang lebih tinggi pada teknik konvensional dibandingkan dengan irigasi secara intermittent (Tabel 3). Dari segi hasil gabah, seperti tampak pada Gambar 3, bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar teknik pemberian air, dan secara rata-rata hasil tertinggi diperoleh pada teknik SRI hampir pada semua perlakuan jenis bibit yang ditanam. Sebaliknya, hasil terendah diperoleh pada perlakuan teknik irigasi intermittent. Ada kecenderungan hasil gabah kering tertinggi pada perlakuan penanaman kecambah langsung, baik dengan teknik irigasi konvensional maupun SRI. Ini berkaitan dengan berat kering jerami dan jumlah malai yang tinggi pada teknik SRI dibandingkan dengan yang lainnya, di mana terdapat hubungan positif yang signifikan antara berat kering jerami (X) dan hasil biji kering per rumpun (Y), dengan persamaan regresi Y = 3,96 + 0,591 X (R2 = 0,898; p<0,001).
Jumlah malai per rumpun
penyebab relatif lebih tingginya hasil gabah pada teknik SRI dibandingkan dengan teknik konvensional, seperti juga tampak dalam Tabel 3. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Wangiyana et al. (2006). Sebaliknya, jumlah malai pada teknik intermittent paling sedikit, ditambah lagi dengan persentase gabah hampa tertinggi, akibatnya hasil jadi terendah pada teknik irigasi intermittent (Tabel 3). Pengaruh interaksi antara kedua faktor perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1 untuk jumlah malai per rumpun, dan Gambar 2 untuk persentase gabah hampa. Ini berarti bahwa jumlah malai atau persentase gabah hampa pada tiap jenis bibit yang ditanam sangat tergantung pada teknik irigasi yang diterapkan. Namun demikian, tampak dari Gambar 1 bahwa teknik SRI secara konsisten memberikan jumlah malai per rumpun yang tinggi, dan lebih tinggi daripada kedua teknik irigasi lainnya, terutama yang intermittent. Terhadap persentase gabah hampa, tampak dari Gambar 2, bahwa teknik irigasi intermittent secara konsisten memberikan persentase gabah hampa tertinggi. Ini membuktikan betapa pentingnya air bagi tanaman padi terutama pada fase pengisian biji. Namun, antara 20
Intermittent
SRI
Konvensional
15 10 5 0 Benih
Kecambah Bibit 8 hss Jenis bibit yang ditanam
Bibit 21 hss
Gambar 1. Rata-rata jumlah malai per rumpun untuk setiap kombinasi perlakuan teknik irigasi dan jenis bibit padi yang ditanam Intermittent
Gabah hampa (%)
40
SRI
Konvensional
30 20 10 0 Benih
Kecambah Bibit 8 hss Jenis bibit yang ditanam
Bibit 21 hss
Gambar 2. Rata-rata persentase gabah hampa per rumpun untuk setiap kombinasi perlakuan teknik irigasi dan jenis bibit padi yang ditanam N. Farida dkk.: Pertumbuhan dan Hasil Padi …
Gabah kering (g/rumpun)
7
40
Intermittent
SRI
Konvensional
30 20 10 0 Benih
Kecambah
Bibit 8 hss
Bibit 21 hss
Jenis bibit yang ditanam
Gambar 3. Rata-rata hasil gabah kering giling per rumpun untuk setiap kombinasi perlakuan teknik irigasi dan jenis bibit padi yang ditanam
Hasil gabah kering yang lebih tinggi pada teknik SRI dapat terjadi karena kemampuan tanaman meremobilisasi senyawa karbon dan nitrogen jaringannya, terutama dari daun, dan juga batang, ke biji pada fase pengisian biji (Yang et al., 2003). Namun demikian, laju remobilisasi tampaknya lebih tinggi pada teknik intermittent akibat kurang terpenuhinya kebutuhan air pada fase pengisian biji, seperti diungkapkan oleh Yang et al. (2003), yang dapat dilihat dari adanya kecenderungan lebih tingginya indeks panen pada teknik intermittent dibanding teknik irigasi lainnya. Hanya sayangnya, pertumbuhan tanaman menjelang pengisian biji paling rendah pada teknik intermittent, termasuk juga berat kering jerami (Tabel 2), sehingga proses pengisian biji kemungkinan menjadi tidak sempurna, yang berakibat pada tingginya persentase gabah hampa pada teknik intermittent (Tabel 3). Dari hasil analisis regresi antara berat kering jerami (X) dan persentase gabah hampa (Y), tampak adanya hubungan negatif yang signifikan, dengan persamaan regresi Y (persentase gabah hampa) = 34,3 – 0,396 X (R2 = 0,456; p= 0,01). Bila dilihat dari Gambar 3 tampak bahwa pada teknik SRI, ternyata hasil gabah hampir sama antara tanam benih (tabela) dan pindah tanam bibit muda yang merupakan prosedur standar teknik SRI. Bahkan ada kecenderungan bahwa hasil tertinggi pada teknik SRI dengan tanam kecambah langsung. Oleh karena itu, mungkin dapat disarankan bahwa tanam benih atau tanam kecambah langsung dapat diterapkan sebagai pengganti tanam bibit muda, yang selama ini merupakan salah satu kesulitan yang dihadapi petani dalam mengadopsi teknik SRI dalam budidaya padi sawah, apalagi ajuran SRI adalah tanam bibit tunggal, dan ini sangat sulit
dikerjakan karena harus dilakukan dengan sangat hati-hati. KESIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan atas hasil yang diperoleh, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Di antara kedua faktor perlakuan, faktor teknik irigasi memberikan lebih banyak pengaruh nyata daripada perbedaan jenis bibit yang ditanam terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah, dan ada interaksi antara kedua faktor perlakuan terhadap jumlah malai per rumpun dan persentase gabah hampa.
2.
Di antara ketiga teknik irigasi yang diuji, teknik SRI memberikan hasil tertinggi, diikuti teknik konvensional dan intermittent.
3.
Perbedaan jenis bibit padi yang ditanam tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil, kecuali terhadap tinggi tanaman dan rata-rata panjang malai. Karena tidak terdapat perbedaan hasil, maka cara tanam bibit yang paling mudah akan lebih baik.
Saran Karena tidak ada perbedaan hasil gabah antar jenis bibit yang ditanam, maka tanam benih langsung (tabela) atau tanam kecambah dapat dianjurkan untuk diterapkan oleh petani untuk menanggulangi kesulitan petani dalam menanam tunggal bibit muda pada teknik SRI. Disarankan pula untuk melakukan penelitian lebih lanjut di berbagai tempat (multilokasi),
Agroteksos Vol. 20 No.1, April 2010
8 untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih mantap dan lebih meluas. UCAPAN TERIMA KASIH Melalui tulisan ini, penulis (NF & AW) menyampaikan terima kasih kepada Lembaga Penelitian Universitas Mataram dan Direktur DP2M-Dikti atas dana yang diberikan untuk penelitian ini (Dosen Muda tahun 2008), dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian No. 028/SP2H/PP/DP2M/III/2008, tanggal 6 Maret 2008. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada dua orang mahasiswa P.S. Agronomi (Adi Erman dan Nicodemus Bonat) dan pembimbingnya (Dr. Wayan Wangiyana) atas bantuannya dalam pelaksanaan percobaan di lapangan (di kebun percobaan Fakultas Pertanian Unram di Narmada, Lombok Barat). DAFTAR PUSTAKA Deptan, 1977. Pedoman bercocok Tanam Padi Palawija Sayur-sayuran. Badan Pengendali Bimas, Departemen Pertanian, Jakarta. Gani, A., T.S. Kadir, A. Jatiharti, I.P- Wardhana, I. Las, 2002. The system of rice intensification in Indonesia. In: The Assessment of the System of Rice Intensification (SRI), Proceedings of an International Conference, Sanya, China, April 1-4,2002. Gypmantasiri, P., 2002. Experience with the system of rice intensification in Northern Thailand. In: The Assessment of the System of Rice Intensification (SRI), Proceedings of an International Conference, Sanya, China, April 1-4. 2002. Partohardjono, S., H. Taslim, R. Damanhuri dan B.S. Soepardi, 1983. Budidaya peningkatan produksi padi sawah, gogorancah dan gogo. p.383-405. Dalam: M. Ismunadji dkk(Eds), Peranan Hasil Penelitian Padi dan Palawija dalam Pembangunan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
N. Farida dkk.: Pertumbuhan dan Hasil Padi …
Sato, S., 2006. An evaluation of the System of Rice Intensification (SRI) in Eastern Indonesia for its potential to save water while increasing productivity and provitability. Paper for International Dialogue on Rice and Water: Exploring Options for Food Security and Sustainable Environments, held at IRRI, Los Banos, Philippines, March 7-8, 2006. Uphoff, N., 2002a. Question and answer about the System of Rice Intensification (SRI) for raising the productivity of land, labor and water. CIIFAD (Comell International Institute for Food, Agriculture and Development). Paper, available at (http://ciifad.comell.edu/sri/sripapers.html). Uphoff, N., 2002b. Changes and evolution in SRI methods. In: The Assessment of the System of Rice Intensification (SRI), Proceedings of an InternationalConference, Sanya, China, April 1-4, 2002. Uphoff, N., 2003. Higher yields with fewer external inputs? The system of rice intensification and potential contributions to agricultural sustainability. International J. of Agricultural Sustainability, 1: 38-50. Uphoff, N., S. Rafaralaby, and J. Rabenandrasana, 2002. What is the system of rice intensification. In: The Assessment of the System of Rice Intensification (SRI), Proceedings of an International Conference, Sanya, China, April 1-4, 2002. Wangiyana, W., I. Hidayat, Z. Aripin, I. Basa, H.T. Barus dan S. Sato, 2006. Efisiensi Penggunaan Air dan Hasil Tanaman Padi (Oryza sativa L.) antara Teknik Irigasi Konvensional dan Berbagai Modifikasi Teknik SRI (System of Rice Intensification). p. 275-284. Dalam: Prosiding Seminar Nasionl Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi), Yogyakarta 5 Agustus 2006. Yang, J., J. Zhang, Z. Wang, L. Liu, and Q. Zhu, 2003. Postanthesis water deficits enhance grain filling in two-line hybrid rice. Crop Sci., 43: 2099 - 2108.