ABSTRAK
Secara geografis, sebagian besar sarana akomodasi pariwisata di Provinsi Bali beserta fasilitas penunjangnya terkonsentrasi pada kawasan sempadan pantai. Mengingat kawasan sempadan pantai tergolong kawasan ruang terbuka hijau dan ruang publik, maka diperlukan suatu pengaturan terhadap penetapan batas sempadan pantai beserta pemanfaatannya. Terkait hal tersebut, Pemerintah Provinsi Bali telah mengundangkan dan mengatur lebih lanjut mengenai kawasan sempadan pantai melalui Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi. Lebih lanjut, Pemerintah Kabupaten/Kota kemudian diberikan pelimpahan kewenangan untuk menetapkan batas sempadan pantai. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai?; dan (2) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai?. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Jenis pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical Conceptual Approach). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: deskripsi, kontruksi, interprestasi, evaluasi, argumentasi dan sistematisasi. Pasal 48 huruf d Perda Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi disebutkan bahwa dalam menetapkan batas sempadan pantai ada beberapa tolak ukur atau parameter-parameter yang dapat dijadikan pertimbangan hukum oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam mengeluarkan kebijakan daerah terkait penetapan batas sempadan pantai berdasarkan kondisi eksisting pemanfaatan ruang. Pendelegasian kewenangan penetapan batas sempadan pantai diperoleh berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Secara umum disarankan agar pelimpahan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menetapkan batas sempadan pantai agar dituangkan secara jelas dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 dan pada Pasal 48 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 sehingga tidak bertentangan dengan Perda RTRW Provinsi Bali maupun Perda RTRW Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Bali.
Kata kunci : Kewenangan, Penetapan Batas Sempadan Pantai.
ABSTRACT
Geographically, most Bali’s tourism accommodations with their supporting facilities are concentrated along the coastline within the coastal border area. Such area is classified as green open space area and public space, so that an arrangement of coastal border delineation including how the area should be managed is needed. Regarding this matter, Bali Provincial Government had legislated Bali Provincial Regulation Number 8 Year 2015 of Provincial Zoning Regulation. Furthermore, the authority to set coastal border line are delegated from provincial government to regency/City government. Based upon the points stated before, the present research would like to study on: (1) City/Regional Government’s authorities in setting out coastal area boundary; and (2) Legal considerations of setting out coastline area boundary. This study is a normative legal research which examines the basic law principles and synchronization level amongst laws by using two approaches, namely The Statue Approach and Analytical Conceptual Approach. The analysis techniques used are description, construction, interpretation, evaluation, argumentation and systematization. Article 48 Letter d of Bali Provincial Regulation Number 8 Year 2015 of Provincial Zoning Regulation mentioned some parameters to be used as legal considerations by the local governments in issuing a public policy in relevant to coastal area boundary determination which should be based on the existing condition of the space utilization. Furthermore, the delegation of authority to set coastal border line is based on Act Number 26 Year 2007 of Spatial Planning, Act Number 27 Year 2007 of Coastal Area and Small Islands Management and Act Number 23 Year 2014 of Local Government. In conclusion, it is recommended that authority delegation to the regional/city government should be clearly stated in Article 31 of Act 27 Year 2007 and Article 48 of Provincial Regency Regulation Number 8 Year 2015 so that it is not contradicted with the Provincial and Regional/City Spatial Plan.
Keywords: authority, determination of coastal area boundary
RINGKASAN
Tesis ini merupakan hasil penelitian penulis mengenai “Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Dalam Menetapkan Batas Kawasan Sempadan Pantai Berdasarkan Kondisi Eksisting Pemanfaatan Ruang”. Terkait hal tersebut, penulis tuangkan ke dalam 5 (lima) Bab yang terdiri dari Bab Pendahuluan, Bab Tinjauan Umum, Bab Pembahasan Inti Permasalahan yang dituangkan dalam Bab ketiga dan keempat, serta Bab Penutup sebagai Bab terakhir yang berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian ini. Pada BAB I merupakan bagian pendahuluan dari tesis yang memuat permasalahan yang akan dikaji dalam tesis ini, dengan terlebih dahulu akan diuraikan mengenai latar belakang penulis dalam meneliti permasalahan tersebut yaitu : Perkembangan pembangunan di Daerah Provinsi Bali yang sedemikian cepat khusunya pembangunan sarana akomodasi dan fasilitas penunjang lainnya telah banyak merambah kawasan sempadan pantai. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Bali telah mengundangkan Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali. Khusus mengenai kawasan sempadan pantai pada Pasal 50 ayat (4) Perda Tata Ruang Provinsi Bali disebutkan bahwa sempadan pantai ditetapkan dengan kriteria : daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat, Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah Provinsi disamping menyusun perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang wilayah Provinsi, Pemerintah Daerah Provinsi juga wajib untuk menyusun Arahan Peraturan Zonasi yang merupakan turunan dari Perda RTRW Provinsi Bali, dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi. Terkait hal tersebut, Pemerintah Provinsi Bali telah mengundangkan dan mengatur lebih lanjut mengenai kawasan sempadan pantai melalui Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi. Pada Pasal 48 huruf c disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan batas sempadan pantai melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang penetapan batas sempadan pantai setelah dilakukan kajian teknis. Ketentuan tersebut memiliki norma kabur (vague van normen), sehingga akan menimbulkan penafsiran-penafsiran hukum terkait penetapan batas kawasan sempadan pantai. Berdasarkan hal tersebut, adapun permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Menetapkan Batas Sempadan Pantai ?, 2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Menetapkan Batas Sempadan Pantai ? BAB II merupakan Bab yang berisi tinjauan umum secara garis besar mengenai inti permasalahan yang akan membantu dalam membangun analisis untuk memperoleh jawaban dari permasalahan yang dikemukakan. Dalam subbab pertama akan terlebih dahulu diuraikan mengenai Pengertian, Fungsi dan Manfaat
Kawasan Sempadan Pantai serta Pengaturan Batas Sempadan Pantai, kemudian pada subbab kedua diuraikan mengenai Kondisi Eksisting Pemanfaatan Ruang pada Kawasan Sempadan Pantai BAB III merupakan Bab yang berisi pembahasan terhadap permasalahan pertama dalam penelitian ini yaitu mengenai Sumber Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota dalam Menetapkan Batas Sempadan Pantai, dalam subbab pertama diuraikan terlebih dahulu secara umum mengenai Sumber-sumber wewenang dalam Hukum Administrasi Negara. Selanjutnya pada subbab kedua akan dideskripsikan mengenai Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Penataan Ruang. Pada Subbab terakhir dipaparkan mengenai Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Menetapkan Batas Sempadan Pantai. BAB IV merupakan bagian pembahasan terhadap permasalahan mengenai Dasar Pertimbangan Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Dalam Menetapkan Batas Sempadan Pantai, dalam subbab pertama akan diuraikan Penetapan Batas Sempadan Pantai, pada Pasal 31 Undang-Undang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa Pemerintah Daerah menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidrooseonografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain. Sedangkan pada Pasal 48 Perda Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan batas sempadan pantai melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang penetapan batas sempadan pantai setelah dilakukan kajian teknis. Kemudian dalam subbab kedua akan diuraikan mengenai Tolak ukur atau parameter-parameter yang dijadikan pertimbangan hukum dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai yaitu : topografi, biofisik, hidro-oceanografi pesisir, kebutuhan ekonomi, budaya setempat, potensi bencana alam, kedudukan pantai, keberadaan bangunan pengaman pantai dan kondisi eksisting pemanfaatan ruang. Pada Subbab terakhir dipaparkan mengenai Kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai berdasarkan Kondisi Eksisiting Pemanfaatan Ruang yang menjadi dasar pertimbangan hukum dalam menetapkan batas sempadan pantai kurang dari 100 m (seratus meter). BAB V merupakan bab terakhir dan bab penutup yang berisi kesimpulan dari permasalahan yang dibahas dalam tesis, yang diperoleh dari uraian pada BabBab terdahulu. Simpulan pertama yaitu Sumber kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penetapan batas sempadan pantai adalah melalui adanya pendelegasian kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan meliputi : Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Rencana Wilayah Peisisir dan Pulau – pulau Kecil, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali dan Perda Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Arahan Peraturan Zonasi Provinsi Bali. Simpulan kedua yaitu adanya beberapa tolak ukur atau parameter-parameter yang dijadikan pertimbangan hukum oleh Pemerintah Kabupaten/Kota untuk
mengeluarkan kebijakan daerah dalam menetapkan batas sempadan pantai berdasarkan kondisi eksisting pemanfaatan ruang. Disamping itu, selain mempertimbangkan beberapa parameter-parameter tersebut diharapkan juga memperhatikan berubahnya luasan garis sempadan pantai serta kondisi eksisting pemanfaatan ruang terhadap bangunan lain yang telah ada dan/atau bangunan yang telah memiliki izin yang diterbitkan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
DAFTAR ISI Halaman Sampul Dalam .......................................................................................... i Halaman Persyaratan Gelar Magister...................................................................... ii Halaman Lembar Pengesahan ................................................................................ iii Halaman Penetapan Panitia Penguji Tesis ............................................................. iv Halaman Surat Pernyataan Bebas Plagiat ............................................................... v Halaman Ucapan Terima Kasih ............................................................................. vi Halaman Abstrak ..................................................................................................... x Halaman Abstract ................................................................................................... xi Ringkasan .............................................................................................................. xii Daftar Isi................................................................................................................ xv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1.
Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2.
Rumusan Masalah ................................................................................ 115
1.3.
Ruang Lingkup Masalah ...................................................................... 115
1.4.1.
Tujuan Umum .................................................................................. 16
1.4.2.
Tujuan Khusus ................................................................................. 17
1.5.
Manfaat Penelitian .................................................................................. 17
1.5.1.
Manfaat Teoritis ............................................................................... 17
1.5.2.
Manfaat Praktis ................................................................................ 17
1.6.
Orisinalitas Penelitian............................................................................. 18
1.7.
Landasan Teoritis ................................................................................... 19
1.7.1
Teori Negara Hukum........................................................................ 20
1.7.2
Teori Penjenjangan Norma .............................................................. 21
1.7.3
Teori Kewenangan ........................................................................... 24
1.7.4
Konsep Pembangunan Berkelanjutan .............................................. 27
1.8
Metode Penelitian. .................................................................................. 32
1.8.1
Jenis Penelitian ................................................................................. 33
1.8.2
Jenis Pendekatan .............................................................................. 35
1.8.3
Sumber Bahan Hukum ..................................................................... 35
1.8.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................... 37
1.8.5
Teknik Analisis Bahan Hukum ........................................................ 38
BAB II TINJAUAN UMUM KAWASAN SEMPADAN PANTAI ................ 42 2.1.
Kawasan Sempadan Pantai ..................................................................... 42
2.1.1.
Pengertian Sempadan Pantai ............................................................ 42
2.1.2
Fungsi dan Manfaat Kawasan Sempadan Pantai ............................. 47
2.1.3
Pengaturan Batas Kawasan Sempadan Pantai.................................. 52
2.2.
Kondisi Eksisting Pemanfaatan Ruang pada Kawasan Sempadan Pantai ...................................................................................................... 60
BAB III SUMBER KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/ KOTA DALAM MENETAPKAN BATAS SEMPADAN PANTAI ............................................................................................................... 64 3.1.
Sumber-sumber wewenang dalam Hukum Administrasi Negara .......... 64
3.2.
Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Penataan Ruang. .................................................................................................... 86
3.3.
Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Menetapkan Batas Sempadan Pantai. ....................................................................... 117
BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HUKUM PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA DALAM MENETAPKAN BATAS SEMPADAN PANTAI ............................................................................................................. 126 4.1.
Penetapan Batas Sempadan Pantai. ...................................................... 126
4.2.
Tolak ukur yang dijadikan pertimbangan dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai.................................................................................. 138 Kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Menetapan Batas Sempadan Pantai berdasarkan Kondisi Eksisiting Pemanfaatan Ruang ................................................................................................... 164
4.3.
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 192 5.1.
Kesimpulan. .......................................................................................... 192
5.2. Saran ..................................................................................................... 193 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Istilah ekologi saat ini semakin popular, karena bila terjadi kerusakan
atau pencemaran lingkungan, maka pikiran seketika tertuju kepada persoalan ekologi. Kerumitan persoalan ekologi saat ini, karena ada kecendrungan manusia memisahkan masalah lingkungan hidup dengan manusia, masalah manusia bukan merupakan bagian yang terintegrasi dengan lingkungan.1 Sedangkan ekologi dan ilmu lingkungan merupakan satu kesatuan yang mempunyai hubungan erat antara keduanya. Ilmu lingkungan mempelajari tempat dan peranannya itu, sedangkan ekologi mempelajari susunan serta fungsi seluruh mahluk hidup dan komponen kehidupannya. Jadi, ilmu lingkungan dapat dikatakan sebagai ekologi terapan (applied ecology) yakni bagaimana menerapkan berbagai prinsip dan ketentuan ekologi itu dalam kehidupan manusia, atau ilmu yang mempelajari bagaimana manusia harus menempatkan dirinya dalam ekosistem atau dalam lingkungan hidupnya2. Sehubungan dengan hal tersebut, maka salah satu komponen lingkungan yang mempunyai hubungan erat dengan ekologi adalah ekosistem. Menurut Otto Soemarwoto, suatu konsep sentral dalam ekologi adalah ekosistem, yaitu : Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem terbentuk oleh 1
Supriadi, 2008, Hukum Lingkungan di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika Offset,
Jakarta, h.1. 2
Soerjani, 1987, Lingkungan : Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan, Universitas Indonesia Press, Jakarta, h.2.
1
komponen hidup dan tidak hidup disuatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan itu terjadi oleh adanya arus antara komponen dalam ekosistem itu. Masing-masing komponen itu mempunyai fungsi atau relung. Selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik, maka keteraturan ekosistem itupun terjaga.3 Dari uraian tersebut diatas, salah satu komponen lingkungan hidup yang memegang kunci dalam ekosistem adalah manusia. Kesadaran manusia atas lingkungan hidup diharapkan semakin lama semakin meningkat sehingga kelestarian fungsi ekosistem tersebut dapat terjaga. Mengingat lingkungan hidup mempunyai keterbatasan dalam melakukan proses kehidupannya atau daya dukung dari lingkungan itu sendiri. Mencermati secara seksama mengenai unsur yang termasuk dalam lingkungan yang mencakup semua mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, maka dapat dikatakan bahwa lingkungan merupakan sumber daya, hal ini dapat dilihat dari karakter dan sifatnya yang sangat kompleks dan memenuhi semua unsur yang terdapat dalam isi alam ini. Lingkungan sebagai sumber daya merupakan asset yang dapat diperlukan untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini sesuai dengan amanat dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lingkungan sebagai sumber daya mengandung arti bahwa dalam realitasnya lingkungan merupakan sumber daya yang memiliki kemampuan dalam melakukan regenerasi pada dirinya, apabila
3
Otto Soemarwoto, 1994, Ekologi Lingkungan dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta, (Edisi Revisi), h. 24.
terhadap sumber daya lingkungan yang tidak dapat diperbaharui. Dalam menata lingkungan sebagai sumber daya, maka yang perlu dilakukan adalah agar melakukan pengelolaan dengan bijaksana.4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut Undang-Undang Lingkungan Hidup), filosofinya bertumpu pada pengelolaan. Inti dari Undang-Undang Lingkungan Hidup ini adalah bagaimana melakukan manajemen terhadap lingkungan tersebut dengan kata lain bahwa lingkungan tersebut dapat dikelola dengan
melakukan
manajemen.
Pendekatan
manajemen
lingkungan
mengutamakan kemampuan manusia dalam mengelola lingkungannya, sehingga pandangan tersebut harus dirubah dengan melakukan sebuah pendekatan dengan ramah lingkungan.5 Menurut Otto Soemarwoto, ramah lingkungan haruslah juga bersifat mendukung pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, sikap dan kelakuan prolingkungan hidup tidak boleh bersifat anti pembangunan ekonomi.6 Pada dasarnya usaha itu dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu sebagai berikut : 1. Melalui Instrumen Pengaturan dan Pengawasan, tujuannya untuk mengurangi pilihan pelaku dalam usaha pemanfaatan lingkungan hidup misalnya : zonasi, preskripsi teknologi tertentu dan pelarangan kegiatan yang merusak lingkungan hidup; 2. Melalui Instrumen Ekonomi, tujuannya untuk mengubah nilai untung relative terhadap rugi bagi pelaku dengan memberikan insentif dan disinsentif ekonomi; dan
4
Supriadi, op. cit., h.4. Ibid, h. 32 6 Otto Soemarwoto, 2001, Atur Diri Sendiri, Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 92. 5
3. Melalui Instrumen Persuasif, tujuannya untuk mengubah persepsi hubungan manusia dengan lingkungan hidup kearah memperbesar untung relative terhadap rugi.7 Instrumen pengaturan dan pengawasan terhadap lingkungan hidup sangatlah penting dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dengan membuat peraturan dan mengawasi kepatuhan pelaksanaannya serta adanya sanksi tindakan hukum bagi kegiatan yang dapat merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, bila disimak dengan seksama ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup, kekuasaan pemerintah terhadap pengelolaan perencanaan dan pemanfaatan sumber daya alam semakin kuat. Keterlibatan Pemerintah dalam mengatur dan mengelola lingkungan hidup berkonsekuensi memunculkan suatu kebijakan di bidang lingkungan yang bersifat regulatif. Salah satu perencanan Pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup adalah melalui perencanaan zonasi. Perencanaan zonasi (perencanaan tata ruang) baik dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi maupun Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota sangatlah penting untuk perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang serta guna menghindari adanya konflik-konflik pemanfaatan ruang dalam pembangunan khususnya terhadap pemanfatan kawasan sempadan pantai. Konflik tersebut dapat dihindari melalui perencanaan yang matang, dimana masing-masing zona diberikan peruntukan tertentu dan diletakkan sedemikian rupa, agar fungsi utama kawasan tidak rusak serta kepentingan umum atau ruang publiknya tidak tergangu. Dengan
7
Ibid., h. 92-94.
perencanaan tata ruang yang matang diharapkan keberlangsungan fungsi lingkungan hidup serta pemanfaatan ruang yang ada dapat berjalan beriringan, sehingga estetika lingkungan dapat dijaga serta pencemaran terhadap lingkungan dapat dicegah. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disebut Undang-Undang Penataan Ruang) pada Pasal 3 disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang Wilayah Nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Dalam menciptakan ruang Wilayah Nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, diharapkan mampu mengoptimalkan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang serta mampu memadukan secara parsial fungsi-fungsi kegiatan baik antar sektor maupun antar wilayah. Undang-Undang Penataan Ruang, pada hakekatnya merupakan pedoman pengaturan bagi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Unsur perencanaan ruang merupakan hal terpenting karena dari ketentuan tersebut dapat melakukan seleksi pada semua kegiatan yang berhubungan dengan ruang. Makna ruang merupakan wadah atau tempat atau lingkungan jika dikaitkan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang, dengan semua benda, daya keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 Undang-Undang Penataan Ruang meliputi: perencanaan tata ruang wilayah Provinsi, pemanfaatan ruang wilayah Provinsi dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi. Dalam pelaksanaan wewenangnya Pemerintah Daerah Provinsi wajib untuk menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan: rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah Provinsi, arahan peraturan zonasi sistem Provinsi yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang serta melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, salah satu urusan wajib yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah penataan
ruang,
sehingga masing-masing
Kabupaten/Kota dan
Provinsi
berwenang untuk membentuk pengaturan tata ruang di wilayahnya dengan mempertimbangkan
bahwa
urusan
tata
ruang
adalah
termasuk
urusan
pemerintahan yang dibagi bersama antara tingkatan dan/susunan pemerintahan.8 Kewenangan Kabupaten/Kota terkait
8
Pemerintah
Provinsi
dan
Pemerintah
Daerah
penataan ruang juga diatur dalam Undang-Undang
Arya Sumerthayasa, 2013, Perencanaan Wilayah Kota Yang Berwawasan Lingkungan Dan Berbasis Kearifan Lokal, Makalah Seminar Regional diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Warmadewa, di Program Pascasarjana Universitas Warmadewa, Denpasar 10 Juli 2013, Bali, h.4.
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (yang selanjutnya disebut Undang-Undang
Pemerintahan
Daerah).
Pada
Pasal
9
Undang-Undang
Pemerintahan Daerah menyebutkan urusan Pemerintahan terdiri atas urusan Pemerintahan Absolut yaitu urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, urusan Pemerintahan Konkuren yaitu urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota serta menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah, dan urusan Pemerintahan Umum yaitu urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala Pemerintahan. Terkait kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang merupakan urusan Pemerintahan Konkuren yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, pada Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: a. b. c. d. e. f.
pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman, ketertiban umum dan pelindungan masyarakat; dan sosial. Penyusunan penataan ruang yang merupakan urusan Pemerintahan
Konkuren antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi serta Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis Nasional. Mengingat Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan Pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945. Provinsi Bali yang sebagian besar dikelilingi oleh pantai mempunyai luasan wilayah mencapai 5.634,40 Ha dengan panjang pantai seluas 529 Km dari panjang pantai tersebut yang menjadi kawasan sempadan pantai seluas 6,289 Ha, dengan prosentase terhadap luas wilayah Provinsi Bali sekitar 1,12%. 9 Wilayah pantai di Bali sebagian besar merupakan daerah tujuan pariwisata dan hampir semua sarana akomodasi pariwisata berada di wilayah pantai. Kawasan sempadan pantai merupakan kawasan perlindungan setempat sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian dan kesucian pantai, keselamatan bangunan dan ketersediaan ruang untuk lalu lintas umum.10 Dalam pemanfaatan kawasan sempadan pantai diharapkan tetap memperhatikan asas keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem kawasan pantai. Kawasan Pantai di Bali mempunyai karakter pantai yang berbeda-beda, baik yang sebagian besar dimanfaatkan untuk kegiatan yang berfungsi ekonomi maupun yang berfungsi utama sebagai kawasan perlindungan setempat. Pada penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Penataan Ruang sempadan pantai termasuk dalam kawasan perlindungan setempat dikarenakan kawasan sempadan 9
Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16). 10 Ibid.
pantai merupakan kawasan dengan ekosistem yang khas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi serta menyangga kehidupan masyarakat pantai, disamping merupakan ruang terbuka hijau (RTH) yang difungsikan sebagai ruang publik, kegiatan sosial budaya maupun rekreasi wisata. Wilayah yang disebut sebagai sempadan pantai tersebut harus dijadikan kawasan konservasi. Dalam Ketentuan Kepres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, diatur perlindungan sempadan pantai sejauh 100 meter. Ketentuan tersebut hendaknya ditindaklanjuti dengan aturan-aturan pelaksana dibawahnya
baik di tingkat Pusat maupun
tingkat Daerah. Hal ini juga
merupakan salah satu tujuan dari Undang-Undang Lingkungan Hidup yaitu mencapai keserasian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup serta menjamin pemenuhan dan
perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai
bagian dari hak asasi manusia khususnya di kawasan sempadan pantai. Pesisir atau wilayah pantai merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan, baik
perubahan alam maupun perubahan akibat ulah
manusia. Perubahan ulah manusia dalam menciptakan ruang terbangun atau sumber daya buatan yang terdiri dari unit ruang privat yaitu bangunan dengan kaplingnya (cell) dan ruang publik berupa jaringan jalan dan ruang terbuka (network)11. Selain itu, kelestarian lingkungan dan ekosistem wilayah pantai yang kaya tidak menjadi prioritas utama lagi. Salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan di wilayah pantai adalah adanya berbagai aktifitas kegiatan ekonomi, hal ini dapat dilihat dengan tingginya laju pertumbuhan sarana akomodasi 11
Soetomo, Sugiono, 2005, Sistem Pembangunan Hunian Masyarakat di Wilayah Pesisir, Workshop dan Pelatihan pembangunan Wilayah Pesisir berkelanjutan di Kabupaten Aceh Besar, h.3.
pariwisata yang pesat disertai dengan meningkatnya intensitas pembangunan disegala bidang, menyebabkan permasalahan dan konflik di bidang penggunaan lahan juga semakin meningkat. Permasalahan yang paling utama adalah terbatasnya ketersediaan lahan serta banyaknya alih fungsi lahan seiring semakin pesatnya pembangunan sarana akomodasi pariwisata, mengingat Bali adalah merupakan daerah tujuan wisata. Kondisi yang demikian memberikan alasan bagi para investor untuk merambah kawasan sempadan pantai dan menjadikannya sebagai tempat kegiatan-kegiatan berbasis ekonomi, yang sebagaian besar merupakan kegiatan pariwisata seperti : rekreasi/wisata, bangunan hotel dan resort, villa, restoran, pemukiman, dermaga ikan, pelabuhan dan fasilitas penunjang pariwisata lainnya. Fenomena ini terjadi, mengingat di dalam kawasan sempadan pantai banyak terdapat Hak Milik maupun Hak Guna Bangunan (HGB) serta tingginya nilai jual tanah yang berada di kawasan sempadan pantai, sehingga mengakibatkan banyak terdapat bangunan-bangunan ilegal yang berdiri pada kawasan sempadan pantai yang ada di wilayah Provinsi Bali. Pesatnya pembangunan di kawasan sempadan pantai yang merupakan bagian dari fungsi ekonomi dalam pemanfatan ruang, diharapkan perencanaan penataan ruang tidak menimbulkan kerugian ekonomi bagi masyarakat baik sektor publik maupun swasta. Disamping itu, penetapan kawasan sempadan pantai juga harus tetap memperhatikan fungsi sosial yang erat kaitannya dengan aspek budaya, yang bertujuan untuk menjaga keberlangsungan budaya dari sebuah masyarakat sehingga masyarakat tetap bisa eksis untuk menjalankan kegiatan sosial keagamaan, sehingga kawasan sempadan pantai sebagai ruang terbuka bagi
publik atau sebagai fasilitas umum dapat difungsikan secara bersama-sama. Wilayah pantai dapat dipahami sebagai wilayah tempat bertemunya berbagai kepentingan, baik pemerintah, pengusaha
maupun masyarakat dalam rangka
memanfaatakan wilayah pantai dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Dalam kaitan ini, pemanfaatan sumber daya pantai dan ekosistemnya melalui peraturan perundang-undangan memiliki kedudukan penting dalam upaya memperkecil, mencegah atau bahkan menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan. Untuk itu, diperlukan adanya regulasi atau peraturan yang mengatur pemanfaatan ruang pada kawasan sempadan pantai. Perkembangan pembangunan di Daerah Provinsi Bali yang sedemikian cepat khusunya pembangunan sarana akomodasi dan fasilitas penunjang lainnya telah banyak merambah kawasan sempadan pantai. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Bali telah mengundangkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali. (selanjutnya disebut Perda Tata Ruang Provinsi Bali), pada Pasal 3 Perda Tata Ruang Provinsi Bali disebutkan bahwa tujuan Penataan ruang wilayah Provinsi adalah untuk : a. mewujudkan ruang wilayah Provinsi yang berkualitas, aman, nyaman, produktif, berjatidiri, berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan berlandaskan Tri Hita Karana, b. keterpaduan perencanaan Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, c. keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, d. keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang, e. pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, f. keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah Kabupaten/Kota, g. keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor, dan h. pemanfaatan ruang yang tanggap terhadap mitigasi dan adaptasi bencana. Khusus mengenai kawasan sempadan pantai pada Pasal 50 ayat (4) Perda Tata Ruang Provinsi Bali disebutkan Sempadan pantai ditetapkan dengan kriteria: a.
daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai; dan c. Gubernur menetapkan pedoman penyelenggaraan penanggulangan abrasi, sedimentasi, produktivitas lahan pada daerah pesisir pantai lintas kabupaten/kota. Kesesuaian terkait pengaturan sempadan pantai seperti tersebut diatas, telah mengacu pada aturan yang lebih tinggi diatasnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (selanjutnya disebut RTRW Nasional), sehingga hirarki pengaturan garis sempadan pantai sudah mengacu pada Pasal 56 ayat (1) RTRW Nasional yang menetapkan garis sempadan pantai dengan kreteria : a.
daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai. Kawasan
sepanjang
mempertahankan
pantai
kelestarian
ketersediaan ruang untuk
ini fungsi
mempunyai pantai,
manfaat
keselamatan
penting bangunan,
untuk dan
publik. Pengecualian lebar sempadan pantai untuk
pantai-pantai yang ada di Daerah Provinsi Bali setelah mendapat kajian teknis dari instansi dan atau pakar terkait.
Kajian
teknis dimaksud meliputi daya
dukung fisik alam lingkungan pantai yang sekurang-kurangnya meliputi tinjauan geologi, geologi tata lingkungan, kemungkinan erosi dan abrasi, pengaruh hidrologi lokal dan regional, dan rencana pemanfaatan kawasan pantai. Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah Provinsi disamping menyusun perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi, Pemerintah Daerah Provinsi juga wajib untuk menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan arahan peraturan zonasi yang merupakan turunan dari Perda Tata Ruang Provinsi Bali. Pada Pasal 10 ayat (6) Undang-Undang Penataan Ruang disebutkan Pemerintah Provinsi wajib menyusun Arahan Peraturan Zonasi (APZ) yang disusun dalam rangka pengendalian tata ruang wilayah Provinsi. Terkait hal tersebut, Pemerintah Provinsi Bali telah mengundangkan dan mengatur lebih lanjut mengenai kawasan sempadan pantai melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi (selanjutnya disebut Perda Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi) yang disusun dalam rangka pengendalian
pemanfaatan
ruang wilayah Provinsi. Dalam Pasal 48 Perda
Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi terkait Arahan Peraturan Zonasi Sempadan Pantai, disebutkan : a.
batas sempadan pantai ditetapkan dengan tujuan untuk melindungi dan menjaga: 1. kelestarian fungsi ekosistem dan segenap sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 2. kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dari ancaman bencana alam;
b.
c.
d.
3. keberlangsungan pemanfaatan pantai untuk menampung kegiatan sosial eknomi masyarakat; dan 4. keberadaan ruang publik dan akses publik menuju pantai. batas sempadan pantai ditetapkan dengan mengikuti ketentuan: 1. perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami; 2. perlindungan pantai dari erosi atau abrasi; 3. perlindungan sumberdaya buatan di pesisir dari badai, banjir rob, dan bencana alam lainnya; 5. perlindungan terhadap ekosistem pesisir 6. pengaturan akses publik; 7. pengaturan untuk infrastruktur; dan 8. perlindungan kesucian pantai dan laut. pemerintah kabupaten/kota dapat menetapkan batas sempadan pantai melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang penetapan batas sempadan pantai setelah dilakukan kajian teknis, yang hasil kajiannya dibahas dalam forum konsultasi publik dan berkoordinasi dengan Kabupaten/Kota bersebelahan, disampaikan kepada Gubernur untuk dibahas oleh Tim Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi dan Menteri. kajian teknis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, harus mempertimbangkan parameter-parameter, meliputi: 1. topografi; 2. biofisik; 3. hidro-oceanografi pesisir; 4. kebutuhan ekonomi; 5. budaya setempat; 6. potensi bencana alam; 7. kedudukan pantai; 8. keberadaan bangunan pengaman pantai; dan 9. kondisi eksisting pemanfaatan ruang. Berdasarkan Arahan Peraturan Zonasi Sempadan Pantai tersebut diatas,
Pemerintah Daerah Provinsi Bali mendelegasikan kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menetapkan batas sempadan pantai melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang Penetapan Batas Sempadan Pantai setelah dilakukan kajian teknis, yang hasil kajiannya dibahas dalam forum konsultasi publik dan berkoordinasi dengan Kabupaten/Kota bersebelahan, disampaikan kepada Gubernur untuk dibahas oleh Tim Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi dan Menteri. Terkait ketentuan “dapat menetapkan batas sempadan
pantai melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang penetapan batas sempadan pantai setelah dilakukan kajian teknis” memiliki norma kabur (vague van normen), sehingga akan menimbulkan penafsiran-penafsiran hukum terkait penetapan batas kawasan sempadan pantai khususnya yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Bali. 1.2.
Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas maka dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai ? 2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai ? 1.3.
Ruang Lingkup Masalah Untuk mempermudah penelitian tesis ini dan agar lebih terarah dan
sistematis, maka perlu kiranya dibuat suatu batasan masalah. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian tesis ini, yaitu : 1. Penelitian ini dilaksanakan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ada di Pemerintah Provinsi Bali. 2. Penelitian ini berkaitan dengan telah diundangkannya Perda Provinsi Bali Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi khusunya terkait penetapan batas sempadan pantai oleh Pemerintah Darah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.
3. Terkait dengan penetapan batas sempadan pantai tersebut, bagaimana kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. 4. Pengatuaran dan penetapan batas sempadan pantai sesuai ketentuan dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 5. Parameter-parameter
yang
dijadikan
pertimbangan
hukum
oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai. 6. Penelitian ini juga memperhatikan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai berdasarkan kondisi eksisting pemanfaatan ruang yang ada. 1.4.
Tujuan Penelitian Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa tujuan dari penelitian ini
antara lain : 1.4.1. Tujuan Umum Adapun yang menjadi tujuan umum dari penelitian kali ini adalah untuk mengetahui
dan
menganalisa
tentang
kewenangan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai berdasarkan Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi, sehingga dapat diimplementasikan di wilayah pantai-pantai yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Bali.
1.4.2. Tujuan Khusus Penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai tujuan yang lebih khusus, sebagai berikut : 1.
Untuk
mengetahui
sumber
kewenangan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai. 2.
Untuk mengetahui tolak ukur yang dijadikan pertimbangan hukum oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai.
1.5.
Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis Secara keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya kajian hukum dan pemerintahan, maupun kajian ilmu lain terutama yang berkaitan tentang pemanfaatan ruang dan penetapan batas kawasan sempadan pantai. 1.5.2. Manfaat Praktis Disamping untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penelitian juga diharapkan memberikan manfaat praktis yaitu : 1. Memberikan gambaran yang jelas terkait sumber kewenangan dan dasar pertimbangan hukum dalam penetapan batas sempadan pantai, oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Bali. 2. Memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak, baik kepada Masyarakat, Swasta dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk mencari solusi dalam mewujudkan tujuan pemanfaatan ruang serta
dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai sehingga bermanfaat dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. 1.6. Orisinalitas Penelitian Dalam melakukan suatu penelitian, mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukkkan
orisinalitas
dari
penelitian
yang
tengah
dibuat
dengan
menampilkan tiga judul penelitian tesis atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan tiga buah tesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan pemanfatan ruang dan penetapan garis batas kawasan sempadan pantai, antara lain sebagai berikut : a)
Tahun 2009, tesis karya Edi Sahputra (Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Sumatra Utara) yang berjudul TINJAUAN HUKUM TERHADAP
PENGATURAN
PENGUASAAN
DAN
PENGGUNAAN TANAH DI KAWASAN PANTAI (STUDI DI KECAMATAN MEDAN BELAWAN). Dalam Tesis ini dikemukakan dua rumusan masalah, yaitu : 1. Bagaimanakah pelaksanaan penguasaan tanah pada kawasan sempadan pantai di Kecamatan Medan Belawan ? 2. Apakah kendala yang ditemui dalam penetapan hak atas tanah pada kawasan sempadan pantai dan bagaimana upaya mengatasinya ? b)
Tahun 2010, tesis karya I Gusti Ngurah Wiryawan (Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana) yang berjudul PENEGAKAN PERDA PROVINSI BALI NO. 4 TAHUN 1996 JO NO. 4 TAHUN 1999
TENTANG
RENCANA
TATA
RUANG
WILAYAH
PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI DALAM KAITAN DENGAN
PENATAAN
SEMPADAN
BANGUNAN
AKIBAT
ABRASI. Dalam Tesis ini dikemukakan dua rumusan masalah, yaitu : 1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam penegakan ketentuan sempadan pantai terhadap bangunan yang terdapat di kawasan pesisir ? 2. Bagaimanakah penegakan hukum ketentuan sempadan pantai terhadap bangunan yang kedudukannya tidak memenuhi garis sempadan pantai akibat terjadi abrasi ? c)
Tahun 2010, tesis karya I Ketut Windra (Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana) yang berjudul KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN JEMBRANA DALAM MENETAPKAN
SEMPADAN
PANTAI
PADA
KAWASAN
PARIWISATA. Dalam Tesis ini dikemukakan dua rumusan masalah, yaitu : 1. Apakah yang menjadi sumber kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana dalam penetapan sempadan pantai di kawasan Pariwisata ? 2. Bagaimanakah wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana dalam menetapkan sempadan di Kawasan Pariwisata ? 1.7.
Landasan Teoritis Pada bagian ini dikemukakan pemikiran-pemikiran teoritis untuk
menjelaskan hubungan antara konsep-konsep atau variable yang akan diteliti.
Adapun teori hukum, konsep hukum, asas hukum dan norma lainnya yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian, dapat dikemukakan sebagai berikut : 1.7.1
Teori Negara Hukum Gagasan, cita atau ide Negara Hukum,
selalu terkait dengan konsep
rechtsstaat dan the rule of law. Menurut Julius Stahl, konsep Negara hukum yang disebutnya dengan istilah “rechtsstaat” itu mencakup empat elemen penting yaitu :12 1. Perlindungan hak asasi manusia; 2. Pembagian kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; 4. Peradilan tata usaha Negara. Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga cirri penting dalam setiap Negara hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule Of Law” yaitu :13 1. Supremasi hukum; 2. Persamaan dalam hukum; 3. Asas legalitas/konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan atau the constitution based on individual rights. Menurut Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas utama hukum Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas Negara Hukum dan asas demokrasi serta dasar Negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang 12
Jimly Ashiddiqie, 2010, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 132 13 H. Muhamad Tahir Azhary, 2010, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsipprinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana Prendana Media Group, Jakarta, h. 90
yuridisme Pancasila maka secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah “Negara Hukum Pancasila”14 Unsur-unsur Negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila menurut Sri Soemantri Martosoewignjo adalah sebagai berikut : 1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga Negara. 2. Adanya pembagian kekuasaan Negara. 3. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. 4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka.15 Berdasarkan ciri-ciri atau unsur-unsur Negara hukum yang diuraikan diatas, maka dalam hubungan dengan penelitian ini adalah untuk mengetahui dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku (asas legalitas) baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis khususnya kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai. 1.7.2
Teori Penjenjangan Norma Mengenai norma hukum menurut Hans Kelsen merupakan suatu perintah
yang sudah semestinya akan dipatuhi dan diinginkan oleh setiap orang untuk
14
I Dewa Gede Atmaja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h.157. 15 Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, alumni, Bandung, h.29.
berbuat sesuai dengan aturan hukum tersebut. Sistem hukum dalam pengertian Hans Kelsen, adalah suatu sistem hukum yang berbentuk struktur piramidis (hierarkis). Hal ini lebih dikenal dengan sebutan Stufenbau Theorie atau tata urutan (hierarki) norma-norma.16 Ajaran Stufenbau Theorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki norma-norma. Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar) bergantung pada norma yang lebih tinggi.17 Hans Kelsen mengungkapkan hukum mengatur pembentukannya sendiri karena satu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain. Norma hukum yang satu valid karena dibuat dengan cara ditentukan dengan norma hukum yang lain dan norma hukum yang lain ini menjadi validitas dari norma hukum yang dibuat pertama. Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain lagi adalah “superordinasi dan subordinasi”. Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi sedangkan norma yang dibuat adalah norma yang lebih rendah.18 Jenjang Perundang-undangan adalah urutan-urutan mengenai tingkat dan derajat daripada Undang-Undang yang bersangkutan, dengan mengingat badan yang berwenang yang membuatnya dan masalah-masalah yang diaturnya. Undang-undang juga dibedakan dalam Undang-Undang tingkat atasan dan tingkat
16
Muhamad Erwin, 2012, Filsafat Hukum : Refleksi Kritis terhadap Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 169. 17 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Maullang, 2007, Pengantar Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 83. 18 Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, h. 179.
bawahan yang dikenal dengan hierarki. Undang-Undang yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi.19 Dalam penyelenggaraan pemerintah banyak ditemukan norma konflik, antara satu peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi, maupun konflik norma secara horizontal antara pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam Undang-Undang atau antara satu Undang-Undang dengan UndangUndang yang lain maupun adanya norma kabur pada suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam menghadapi masalah hukum seperti ini maka diperlukan penyelesaian dengan menggunakan asas-asas preferensi yang meliputi: a) Lex superior derogat legi inferiori artinya, peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya. b) Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundangundangan yang bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general). c) Lex posterior derogat legi priori artinya, peraturan perundang-undangan yang baru mengenyampingkan berlakunya peraturan perundangundangan yang lama.20 Dalam penelitian ini asas preferensi dapat digunakan dalam membahas norma kabur yang terdapat dalam
Perda Arahan Peraturan Zonasi Sistem
Provinsi, sehingga pada teori penjenjangan norma ini yang dipergunakan adalah Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-undangan yang 19
Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 131. Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 6-7. 20
bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundangundangan yang bersifat umum (general). Dengan kata lain, Perda Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi ini merupakan acuan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota didalam menyusun Perda RDTR yang merupakan turunan dari Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota serta yang menjadi acuan dalam proses perizinan. 1.7.3
Teori Kewenangan Teori ini peneliti kemukakan dengan maksud untuk membahas dan
menganalisis tentang kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai, serta teori ini juga digunakan untuk menganalisis “bagaimana kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai”. Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan
(Hukum
Administrasi),
karena
pemerintahan
baru
dapat
menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam Peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang
diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.21. Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.22 Lebih lanjut Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation of authority)”. Delegation of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggung jawab untuk melakukan tugas tertentu.23 Proses delegation of authority dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Menentukan tugas bawahan tersebut;
2.
Penyerahan wewenang itu sendiri; dan
3.
Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan.
F.P.C.L. Tonner dalam Ridwan HR berpendapat “Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen”
21
SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 154. 22 Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 170. 23 Ibid, h. 172.
(kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan waga negara).24 Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan. Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat. Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut : Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik. Stroink
dan
Steenbeek
sebagaimana
dikutip
oleh
Ridwan,
mengemukakan pandangan yang berbeda, sebagai berikut : Bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Mengenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimbahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal.25 Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa: Setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, 24 25
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 100. Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Pres, h. 74-75
yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari “pelimpahan”. Wewenang terdiri atas sekurangkurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Dalam kaitannya dengan wewenang sesuai dengan konteks penelitian ini, standard wewenang yang dimaksud adalah Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai yang bervariasi sesuai karakteristik pantai dan kondisi eksisting pemanfaatan ruang, sehingga pengaturan terhadap pemanfaatan ruang pada kawasan sempadan pantai dapat dilaksanakan. 1.7.4
Konsep Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan merupakan hal yang sangat didengung-dengungkan saat
ini
seiring
dengan
perkembangan
teknologi
dan
tuntutan
globalisasi.
Pembangunan baik langsung maupun tidak langsung akan membawa pengaruh bagi
berbagai
aspek
kehidupan
manusia
dan
lingkungannya.
Karena
pembangunan selain dapat memenuhi kehidupan manusia akan tetapi juga bisa berdampak buruk bagi kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri karena kelalaian dalam pembangunan yang tidak mengindahkan prinsip sustainable development atau pembangunan yang berkelanjutan. Konsep dan arah pembangunan dapat ditentukan oleh penggunaan peraturan dan kebijakan yang berwawasan ke masa depan. Seperti ungkapan, peranan hukum adalah sebagai alat pembaharuan masyarakat oleh Mochtar
Kusumaatmadja, Hukum haruslah menjadi panglima dalam pembangunan.26 Sedangkan wawasan yang harus diusung sebagai tujuan pembangunan nasional masa depan adalah wawasan pembangunan yang berbasis lingkungan dengan peraturan hukum yang memihak pada keberlangsungan lingkungan hidup. Wawasan pembangunan berbasis lingkungan sangat relevan bila dihubungkan dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, karena lingkungan yang baik dan terjaga kelestariannyalah pembangunan tersebut bisa berjalan dengan baik dan akan terus bisa memberikan manfaat yang baik bagi kehidupan umat manusia sekarang dan masa yang akan datang. Wawasan lingkungan harus melekat pada kaidah sosial masyarakat sebagai hukum yang akan membangun kepribadian masyarakat sebagai hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat dan disesuaikan dengan pendekatan sosial budaya.27 Kemajuan teknologi dan industri yang menjadi aspek pembangunan akan berpengaruh langsung terhadap keberadaan dan keberlangsungan sumber daya alam yang menjadi momok bagi perusakan lingkungan. Jika peraturan pengelolaan lingkungan tidak berwawasan sustainable development akan membebani pembangunan di masa mendatang. Apalagi model pembangunan nasional kita sekarang ini berbasis pada model pertumbuhan ekonomi seperti pada konsep pembangunan bangsa Eropa pasca Perang Dunia II. 28
26
Mochtar Kusumaatmadja, tanpa tahun, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Penerbit Bina Cipta, Bandung, h. 2-3. 27 Ibid, h.13. 28 M.Daud Silalahi, 2003, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Berbasis Pembangunan Sosial Dan Ekonomi, Makalah Seminar Hukum pembangunan Nasional VIII, BPHN.
Oleh karena itu implementasi konsep pembangunan berkelanjutan tersebut memerlukan perubahan paradigma dan cara membangun sehingga pola pembangunan tidak lagi bersifat konfensional, tidak semata menekankan aspek ekonomi saja. Namun demikian perlu dan juga mempertimbangkan aspek ekologi dan sosial.29 Peran Pemerintah sangat diperlukan dalam penegakan hukum dan sanksi yang benar-benar bisa melindungi dari perusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan tidak hanya akan berdampak bencana saja, tapi juga akan bisa berdampak pada kemiskinan dimasa mendatang jika tidak ditangani serius mulai dari sekarang. Melalui konsep pembangunan berkelanjutan dan hukum lingkungan kita akan dapat mencari solusi pembangunan yang berwawasan lingkungan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan untuk kehidupan yang bisa dinikmati masa sekarang dan yang akan datang. Hakekat
pembangunan
berkelanjutan
yaitu
pembangunan
yang
didasarkan pada tiga pertimbangan secara proporsional yaitu pertimbangan ekonomi, pertimbangan sosial dan pertimbagan ekologi.30 Betapa pun pembangunan dilakukan dengan ekploitasi sumber daya alam, namun fungsi lingkungan harus tetap dilestarikan. Hal ini menjadi prinsip dasar yang harus senantiasa diimplementasikan. Pembangunan yang berkelanjutan merupakan suatu cita-cita semua bangsa didunia ini yang menginginkan kemajuan teknologi dan ekonomi tidak hanya dinikmati pada masa sekarang ini saja, tapi juga di masa yang akan datang. 29
H. Samsul Wahidin,2014, Dimensi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Cetakan Pertama, Pusataka Pelajar, Yogyakarta, h.21. 30 Ibid, h.23
Pembangunan memiliki arti yang sangat luas bukan hanya aspek fisik tetapi juga pembangunan sosial masyarakat. Kemudian berkembang pendapat bahwa antara pembangunan dan lingkungan adalah sesuatu yang sangat bertentangan. Pembangunan senantiasa dipandang sebagai tindakan yang mendegradasi kualitas lingkungan hidup. Sementara kepentingan ekonomi mengharuskan dilaksanakannya pembangunan, terutama pembangunan infra dan supra struktur fisik. Ekonomi sebagai subsistem dari lingkungan tidak berarti pertumbuhan ekonomi tetap perlu diperhatikan karena menghentikan pertumbuhan ekonomi dapat pula menyebabkan proses degradasi lingkungan, terutama berkaitan dengan masalah kemiskinan, kurang tersedianya kebutuhan manusia dan penggangguran.31 Seperti pendapat Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan bahwa pembangunan ekonomi tersebut kurang tepat
karena kita tidak dapat
membangun ekonomi suatu masyarakat tanpa menyangkutkan pembangunan segisegi kehidupan masyarakat lainnya32. Pembangunan sosial masyarakat tidak akan terlepas dari konsep perubahan sosial. Karena suatu pembangunan masyarakat harus dimulai dari merubah pemikiran dan perilaku yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman saat ini. Mengenai keteraturan, akan sangat bergantung pada proses dalam pembangunan tersebut yang juga tak terlepas dari peranan lembaga yang mengontrol supaya proses tersebut dapat mencapai apa yang disebut ketertiban masyarakat. Hal ini sangat berhubungan dengan definisi 31
Ibid, h.24 Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung, h.11. 32
hukum oleh Mochtar Kusumaatmadja yaitu “Hukum adalah keseluruhan azas-azas dan kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu kedalam kenyataan”. Atas definisi inilah maka lebih tepat jika merujuk pada pendapat Roscoe Pound yang dikutip Mochtar Kusumaatmadja yaitu “Law is a tool of a social engineering”, yang diterjemahkan Hukum adalah sarana atau alat pembaharuan masyarakat33. Maka hukum harus menjadi garis depan dalam rangka pembangunan sosial masyarakat yang artinya manusialah yang mengikuti perkembangan hukum bukan hukum yang mengikuti perkembangan masyarakat. Selain itu juga norma hukum harus tercermin dalam nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, seperti ungkapan,”Ubi societas ubi ius”, dimana ada masyarakat disitu terdapat hukum. Langkah selanjutnya untuk menuju kearah pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan berbasis lingkungan (ecodevelopment). Perkembangan teknologi dan pertumbuhan industry akan membawa dampak langsung pada lingkungan, terlebih lagi pada Negara-negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai kekayaan alam yang sangat melimpah. Karena selama ini pembangunan ditujukan agar pertumbuhan ekonomi mencapai taraf tertinggi hingga tidak memperdulikan kondisi lingkungan. Permasalahan tersebut telah menjadi perhatian masyarakat dunia dengan ditandatanganinya Deklarasi Stockholm tahun 1972. Adapun keterkaitan Konsep tersebut diatas, dengan penilitian kali ini, yaitu bahwa konsep pembangunan berkelanjutan mempunyai peranan
yang
penting didalam menjabarkan arah pembangunan sehingga perlu dikembangkan
33
Ibid, h. 12
dan
diimplementasikan
development).
pola
pembangunan
berkelanjutan
Pengaturan dan pemanfaatan ruang pada
(sustainable
kawasan sempadan
pantai nantinya tetap memperhatikan kondisi lingkungan yang ada disekitar wilayah pantai, baik yang dapat dimanfaatkan dalam hal kegiatan ekonomi maupun kegiatan sosial keagamaan. Disamping tetap menjaga lingkungan agar tetap lestari dan nyaman ditinggali, lingkungan juga harus nantinya bisa dimanfaatakan tidak saja untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi mendatang. 1.8 Metode Penelitian. Dalam rangka membuktikan kebenaran ilmiah dari penelitian ini, maka dipandang perlu untuk mengumpulkan data dan fakta yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian. Menurut Soerjono Soekanto, “Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hatihati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia” 34. Dengan demikian, penelitian akan berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan, karena suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Inti metodologi dalam penelitian hukum adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu hukum harus dilakukan, sehingga penelitian yang dilakukan adalah untuk memperoleh bahan hukum secara benar. 34
Soerjono Soekanto, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, h.13.
1.8.1
Jenis Penelitian Suatu penelitian dilakukan sebagai suatu usaha untuk menemukan,
mengembangkan, menguji kebenaran dan mencari kembali suatu pengetahuan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.35 Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan (terutama) terhadap bahan hukum primer dan sekunder, sepanjang bahan-bahan tersebut mengandung kaidah hukum36. Dalam penelitian hukum normatif menurut Jhony Ibrahim yakni mencoba untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.37 Penelitian Hukum Normatif tersebut mencakup beberapa hal di dalamnya, yaitu : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum, dimana dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis. Penelitian ini dapat digunakan untuk
menarik
asas-asas
hukum
dalam
menafsirkan
peraturan
perundang-undangan. Selain itu, penelitian ini juga dapat digunakan untuk mencari asas hukum yang dirumuskan baik secara tersirat maupun tersurat. b. Penelitian terhadap sistematika hukum, dimana dilakukan terhadap pengertian dasar sistematik hukum yang meliputi subyek hukum, hak dan
35
Djam Satori, Aan Komariah, 2010, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, h.18. 36 Soerjono Soekanto, 2008, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pens Jakarta, h. 70 37 Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, h.57
kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, maupun obyek hukum. c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum atau peraturan perundangundangan yang dilakukan dengan dua cara, yaitu : 1) Secara
vertikal
disini
yang
dianalisa
adalah
peraturan
perundang-undangan yang derajatnya berbeda yang mengatur bidang yang sama; 2) Secara
horizontal, dimana
yang dianalisa
adalah
peraturan
perundang-undangan yang sama derajat dan mengatur bidang yang sama. d. Penelitian perbandingan hukum, dimana dilakukan terhadap berbagai sistem hukum yang berlaku di masyarakat. e. Penelitian sejarah hukum, dimana dilakukan dengan menganalisa peristiwa hukum secara kronologis dan melihat hubungannya dengan gejala sosial yang ada. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka aspek normatif yang dimaksud adalah melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum dan taraf sinkronisasi antara peraturan hukum yang satu dengan peraturan hukum yang lainnya dalam kaitannya dengan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai. Apakah Perda Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi terkait penetapan batas sempadan pantai harus mengacu pada apa yang ditetapkan dalam RTRW Nasional maupun pada Perda RTRW Provinsi Bali, atau dapat ditetapkan berdasarkan kajian teknis dari
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui Peraturan Bupati/Walikota Tentang Batas Sempadan Pantai, sehingga dari jawaban atas pertanyaan inilah nantinya tersirat
hal-hal
yang
harus
dipertimbangkan
oleh
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai di wilayah Kabupaten/Kota di Bali. 1.8.2
Jenis Pendekatan Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
peraturan perundang-undangan (statue approach), yakni mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai. Dengan menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan semua regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.38 Disamping itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan analisis konsep hukum (analytical conceptual approach), yakni menganalisis
bahan
hukum
terkait
kewenangan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai berdasarkan kondisi eksisting pemanfatan ruang. 1.8.3
Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yang
berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yang berupa buku, majalah, artikel dan lain sebagainya. Adapun teknik pengolahan bahan
38
Peter Mahmud marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h.35
hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian di analisis menggunakan teknik deskriptif yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder apa adanya.39 Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan deskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian.40. Bahan hukum yang dikaji dan yang dianalisis dalam penelitian hukum normatif terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.41 Adapun bahan hukum primer yang dipergunakan antara lain : 1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
3)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;
4)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
5)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
6)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
7)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;
39
Amirruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, h.68. 40 Peter Mhmud Marzuki, op cit, h.141. 41 Djam’an Satori, Aan Komariah, Loc.it
8)
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor
45 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, Dan Tabanan; 9)
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai;
10) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali; dan 11) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain, bukubuku ataupun literatur-literatur, jurnal-jurnal hukum, pendapat para ahli, kasuskasus hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini juga mempergunakan bahan hukun tersier berupa kamus hukum, internet dan lain-lain. 1.8.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,
dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka teknik pengumpulan data dimulai dengan menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang pada kawasan sempadan pantai. Setelah itu dibuat intisarinya, lalu peraturan perundangan tersebut dicocokkan dengan pelaksanaan dan kenyataannya dilapangan dengan mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, selanjutnya sebagai data penunjang peneliti
mencoba menggali data di lapangan dengan melakukan wawancara dengan ahli di bidang hukum serta para pihak yang terlibat dalam seputar permasalahan penetapan batas sempadan pantai. 1.8.5
Teknik Analisis Bahan Hukum Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat dekriptif, maka setelah
bahan hukum terkumpul, langkah-langkah yang diambil lebih lanjut adalah deskripsi, kontruksi, interprestasi, evaluasi, argumentasi dan sistematisasi.42 Penelusuran data dalam penelitian ini mulai dari aspek pemanfaatan ruang, dan aturan mengenai kawasan sempadan pantai serta penetapan batasnya termasuk mengenai data lapangan yang merupakan kenyataan dan pelaksanaannya yang ditemui di lapangan, kemudian diuji dan dianalisis dengan teori hukum yang ada serta peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Terdapat beberapa teknik analisis, antara lain : 1. Deskripsi : penggambaran apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum; 2. Kontruksi ; pembentukan kontruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi; 3. Interpretasi : berupa penggunaan beberapa jenis penafsiran yang terdapat dalam ilmu hukum; 4. Evaluasi : penilaian oleh peneliti terhadap sesuatu yang tertera dalam bahan hukum yang ada;
42
Sunaryati Hartono, 2006, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, PT. Alumni, Bandung, h.53
5. Argumentasi : terkait dengan evaluasi dikarenakan penilaian harus berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum; 6. Sistematisasi : upaya mencari keterkaitan rumusan konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan hukum yang sederajat maupun tidak sederajat. Dari beberapa teknis analisis tersebut diatas, dalam penelitian ini diperlukan teknik analisis untuk memecahkan permasalah isu hukum yang diangkat yaitu dengan menggunakan teknik analisis interpretasi. Interpretasi (penafsiran) ini dilakukan untuk memahami makna dari suatu norma, terutama dalam hal ditemukan norma yang kabur. Penafsiran hukum terikat pada asas-asas umum, antara lain asas proporsionalitas, asas subsider, dan asas patut. Disamping itu, telah berkembang pula berbagai jenis ajaran penafsiran yang dikembangkan oleh para hukum.43 Menurut asas proporsionalitas, hakim dalam menafsirkan suatu ketentuan hukum harus berpegang pada keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif, antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara materialisme dan spiritualisme. Asas subsider mengandung prinsip bahwa penafsiran syaratnya hanya apabila peraturan itu tidak jelas. Peraturan yang sudah jelas tidak perlu ditafsiran lagi. Selanjutnya, asas patut dilakukan dengan berpegang pada prinsip moralitas artinya bahwa suatu penafsiran tidak boleh bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma-norma sosial lainnya.
43
I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekuen, Pidato Pengenalan jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Univ. Udayana 10 April 1996, h.5
Dalam melakukan interpretasi hukum disebutkan ada 5 (lima) metode penafsiran yang paling sering dipergunakan oleh hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan yaitu : 44 1.
Penafsiran Gramatikal yakni penafsiran dengan mencari arti kata-kata yang memang sudah tertuang dalam Undang-Undang.
2.
Penafsiran Sistematikal yakni menafsirkan pasal Undang-Undang dengan menghubungkan pasal-pasal lain dalam satu Undang-Undang atau pasalpasal dalam Undang-Undang lainnya.
3.
Penafsiran Historikal yakni mencakup penafsiran dengan melihat sejarah terjadinya suatu peraturan perundang-undangan dan penafsiran dengan melihat perkembangan suatu lembaga hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
4.
Penafsiran Teleologikal, penafsiran dengan mencari maksud dan tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan.
5.
Penafsiran Ekstensif dan Restriktif, Penafsiran Ekstensif adalah penafsiran yang memperluas arti kata. Sedangkan Penafsiran Restriktif adalah mempersempit atau membatasi arti kata yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Soeroso dalam Pengantar Ilmu Hukum, dirumuskan pula bahwa selain 5 (lima) penafsiran diatas, ada 2 (dua) penafsiran lagi yaitu ; 45 1.
Penafsiran
Otentik
atau
Penafsiran
Secara
Resmi
(authentieke
interpretative atau officieele interpretative) ialah penafsiran secara resmi, 44
Purnadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto, 1989, Perundang-undangan dan Jurisprudensi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.13, 15, 52. 45 R. Soeroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 107-108
dimana penafsiran ini dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri atau oleh instansi yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan tidak boleh dari siapapun dan pihak manapun. 2.
Penafsiran Perbandingan yakni suatu penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, antara hukum nasional dengan hukum asing dan hukum kolonial. Ilmu hukum dan praktek hukum telah memperkenalkan metode
penafsiran atau interpretasi yang relatif baru, yakni interpretasi antisipatif (anticeperende interpretative), dikalangan ilmuan dalam rangka mengantisipasi kemajuan iptek, globalisasi atau era “kesejagatan” penafsiran ini lebih dikenal dengan istilah interpretasi futuristik.
46
Mengenai penafsiran antisipasi, menurut
Bambang Sutiyoso bahwa :47 Penafsiran antisipasif / Futuristik / dimasa mendatang / metode penemuan hukum yang berupa antisipasi adalah penjelasan dan ketentuan Undangundang dengan berpedoman pada Undang-Undang yang belum mempunyai ketentuan hukum seperti suatu Rancangan Undang-Undang yang masih dalam proses pembahasan di DPR, tetapi hakim yakin bahwa Rancangan Undang-Undang itu akan diundangkan (dugaan politis). Jadi, interpretasi antisipatif adalah penafsiran dengan menggunakan sumber hukum (Peraturan Perundang-undangan) yang belum resmi berlaku, misalnya dalam Rancangan Undang-Undang yang nantinya akan diberlakukan sebagai Undang-Undang. Bertitik tolak dari pandangan para sarjana diatas, maka dalam membahas isu hukum yang diteliti terkait penetapan batas sempadan pantai akan menggunakan penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran historikal, penafsiran teleologikal dan penafsiran konseptual.
46
I Dewa Gede Atmadja, Op. Cit, h.10-11 Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, h.87. 47
1
1