ABSTRAK PENGATURAN KEWAJIBAN NOTARIS DALAM MEMBERIKAN SALINAN AKTA ATAS AKTA YANG BATAL Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatnnya, wajib memberikan salinan akta kepada para pihak, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 ayat (1) UU Perubahan yang berbunyi :(1) Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi Akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan . Akta Notaris, dilihat dari salah satu karakter yuridisnya bahwa pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 72 K/Sip/1973, tertanggal 5 September 1973 yaitu “…Notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut.Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materiil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan Notaris tersebut”, sehingga bertentangan dengan inti dari akta Notaris, jika akta Notaris yang dibuat atas kehendak para pihak dibatalkan oleh putusan pengadilan, tanpa ada gugatan dari para pihak yang tersebut dalam akta untuk membatalkan akta Notaris tersebut. Pembatalan akta Notaris hanya dapat dilakukan oleh para pihak sendiri. Para pihak yang datang untuk menuangkan kesepakatan mereka dengan akta notariil, dalam prakteknya tidak jarang para pihak setelah menandatangani akta yang dikehendaki, baik atas kesepakatan para pihak sendiri maupun karena merasa dirugikan oleh pihak lainnya, menghadap kembali ke Notaris dengan maksud hendak membatalkan akta yang bersangkutan. Kondisi ini memerlukan pemahaman yang pasti apakah terhadap akta yang sudah batal Notaris masih tetap wajib menerbitkan salinan aktanya, mengingat isi dari akta Notaris yang bersangkutan telah batal.
Kata Kunci : Kewajiban Notaris,Salinan Akta, Akta yang Batal.
viii
ABSTRACT ARRANGEMENT OBLIGATION NOTARY TO PUBLISH THE COPY OF DEED OVER DEED VOID. Notary their duty and jabatnnya , are required to provide the copy of deed to the parties , as stipulated in article 54 paragraph ( 1 of law change which says: ( 1 ) notary can only give, show, or apprise the contents of certificate, grosse certificate, the copy of deed or quotations certificate, to the concerned directly to certificate, the heirs, or one who seek to obtain the right, unless determined another by legislation A notarial deed , seen from one of the characters yuridisnya that the cancellation of power connective a notarial deed can only be achieved upon an agreement the parties is included in the deed .If there are do not agree , then the do not agree to submit a request for to the general court that deed they had not tie again certain the reasons that can be proved .This as mentioned in jurisprudence the supreme court of the republic of indonesia in decisions of the supreme court number 72 k / sip / 1973 , dated 5 september 1973 namely notary its function only register / wrote what he will and presented by the parties facing notary tersebut.tidak there is a duty to for notary to investigate in material anything ( things ) put forward by penghadap up before the notary the , so that contrary to the core of a notarial deed , if the notarial deed made by the leave the parties cancelled by judicial decisions , without any a lawsuit of the parties which is in the deed to void a notarial deed. The parties come to pour agreement them with notariil certificate , in practice not uncommon the parties after signed certificate is intended , either the upper agreement of the parties own or because feel aggrieved with other parties , facing back to notary with a view to cancel deed concerned Either the agreement of the parties or because of its own feel aggrieved with other parties, facing back to a notary with a view about to annul the relevant certificates. This condition require an understanding that certain whether against a deed which already void a notary still obliged to issue a copy aktanya , considering the contents of a notarial deed concerned was null and void
Keywords: obligation notary , the copy of the deed , a void deed
ix
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis mengenai PENGATURAN KEWAJIBAN NOTARIS DALAM MEMBERIKAN SALINAN AKTA ATAS AKTA YANG BATAL dan terdiri dari 5 Bab yang secara substansi memuat : Bab I menguraikan latar belakang masalah yang beranjak dari
adanya
ketidakpastian pengaturan serta ketentuan yang tidak tegas mengenai kewajiban Notaris untuk memberikan atau tidak salinan akta yang telah dibuatnya untuk kepentingan para pihak yang berkepentingan atas akta yang telah batal, sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda mengenai kewajiban Notaris dalam prakteknya, dalam hal ini dikaitkan dengan Pasal 54 ayat (1) UUJN Tahun 2014. Bab II menguraikan mengenai tinjaun umum tentang Notaris, Kewenangan Notaris dalam menjalankan tugasnya, tanggung jawab Notaris berdasarkan ketentuan UUJN dan uraian tentang Akta Notaris sebagai akta otentik. Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan masalah yang pertama, terdiri dari dua sub bahasan. Sub bab yang pertama akan membahas pengaturan pemberian salinan akta atas akta yang batal, kontruksi normatif pemberian salinan akta notaris yang batal dan mengenai tanggungjawab Notaris dalam pembuatan akta otentik. Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan masalah yang kedua mengenai formulasi pemberian salinan akta dan batalnya akta notaris yang terdiri dari tiga sub bab yaitu norma hukum pemberian salinan akta, alasan-alasan pembatalan akta, akibat hukum pembatalan akta. Bab V sebagai bab penutup menguraikan mengenai simpulan dan saran yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian terhadap rumusan masalah yaitu bahwa Notaris tetap wajib memenuhi ketentuan Pasal 54 ayat (1) UUJN Tahun 2014 untuk memberikan salinan akta kepada yang berkepentingan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, karena yang dibatalkan adalah isi dari aktanya, sedangkan fisik aktanya tetap tersimpan sebagai protokol Notaris serta formulasi norma pengaturan penerbitan salinan akta yang batal agar menjamin kepastian
x
hukum dilakukan dengan tidak menyimpang dari aturan mengenai penerbitan salinan akta yang diatur dalam Undang Undang jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 Juncto Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014, sampai ada aturan perundang-undangan yang mengatur hal ini secara khusus. Bagian akhir dari tesis ini diberikan masukan dalam bentuk saran-saran yaitu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 UUJN Tahun 2014 bahwa kewajiban salinan akta (termasuk penafsiran selama ini untuk akta yang batal) tetap wajib dilakukan oleh Notaris, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, untuk itu untuk memberikan jaminan kepastian hkum bagi Notaris maupun masyarakat, pemerintah hendaknya mengatur secara tegas bahwa terhadap suatu akta yang batal tidak perlu lagi diberikan salinan akta, karena isi aktanya sudah tidak mengikat para pihak lagi, walaupun fisik aktanya masih ada dan kepada pemerintah hendaknya membuat aturan yang tidak menimbulkan penafsiran yang kabur, sehingga dapat diperoleh kepastian hukum, khususnya mengenai kewajiban Notaris untuk memberikan salinan akta atas akta yang sudah batal.
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN SAMPUL DALAM ...................................................................................
i
PRASYARAT GELAR.............................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .......................................................
iv
UCAPAN TERIMAKASIH......................................................................
v
ABSTRAK ................................................................................................ viii ABSTRACT ............................................................................................... ix RINGKASAN ...........................................................................................
x
DAFTAR ISI .............................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................. 24 1.3. Orisinalitas Penelitian ............................................................ 24 1.4. Tujuan Penelitian ................................................................... 26 1.4.1. Tujuan Umum ........................................................... 26 1.4.2. Tujuan khusus ............................................................ 26 1.5. Manfaat Penelitian ................................................................ 26 1.5.1. Manfaat Teoritis ........................................................ 26 1.5.2. Manfaat Praktis ......................................................... 27 1.6. Landasan Teoritik …………….............................................. 27 1.6.1. Asas Pacta Sunt Servanda...........................................
27
1.6.2. Teori Keseimbangan ………………………………… 30
xii
1.6.3. Teori Kepastian Hukum …………………………….. 32 1.6.4. Teori Legitimasi danValidasi ………………………. 35 1.6.5. Konsep Kenotariatan ……………………………….. 39 1.6.6. Konsep Kewenangan ……………………………….. 44 1.7. Metode Penelitian .................................................................. 46 1.7.1. Jenis Penelitian............................................................... 46 1.7.2. Jenis Pendekatan .......................................................... 46 1.7.3. Sumber Bahan Hukum.................................................. 47 1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.............................. 48 1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ..................................... 49 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS DAN …………….. AKTA NOTARIS ………………………………………………. 50 2.1. Tinjauan Umum Tentang Notaris............................................. 50 2.2. Kewenangan Notaris Dalam Menjalankan Tugasnya.............. 61 2.3. Tanggung Jawab Notaris Berdasarkan Ketentuan ………….. Undang-Undang Jabatan Notaris ............................................ 71 2.4. Akta Notaris Sebagai Akta Otentik ......................................... 78 BAB III. PENGATURAN PEMBERIAN SALINAN AKTA ………….. ATAS AKTA YANG BATAL…………………………………. 93 3.1. Pengaturan Pemberian Salinan Akta atas Akta yang Batal … 93 3.2. Konstruksi Normatif Pemberian Salinan Akta Notaris ……. yang Batal ………………………………………………..…. 97
xiii
3.3. Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik … 102 BAB IV. FORMULASI PEMBERIAN SALINAN AKTA DAN ……… BATALNYA AKTA NOTARIS ................................................. 120 4.1. Norma Hukum Pemberian Salinan Akta ............................... 120 4.2. Alasan-Alasan Pembatalan Akta ............................................ 127 4.3. Akibat Hukum Pembatalan Akta …………………………… 133 BAB V. PENUTUP .......................................................................... .......... 148 5.1. Simpulan ................................................................................. 148 5.2. Saran-Saran ............................................................................. 149 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 150 LAMPIRAN
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia sebagai Negara Hukum berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia, salah satu bentuk dalam memberikan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum adalah dengan adanya alat bukti tertulis yang bersifat otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainya (Pasal 1 (1) Undang –Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris). Jabatan Notaris tidak ditempatkan di lembaga yudikatif, eksekutif maupun legislatif. Maka dari itu Notaris harus bertindak jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak dalam melakukan perbuatan hukum. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Akta yang dibuat Notaris menguraikan secara otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan saksi-saksi. Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang–Undang (Pasal 1 angka 7 Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris), sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik yaitu :
1
2
1. didalam bentuk yang ditentukan oleh undang –undang; 2. dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum. 1 Akta Notaris dalam Pasal 1866 dan Pasal 1867 Kitab Undang –Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa Akta Notaris merupakan bukti
tertulis.
Dalam menjalankan tugasnya Notaris harus bersikap prefesional hal ini tertera dalam Pasal 16 huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang menyebutkan bahwa Notaris diharapkan untuk dapat bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak lain. Notaris sebagai tangan negara di mana akta yang dibuat oleh atau dihadapannya merupakan akta otentik yang dapat dijadikan bukti tertulis oleh karenanya dalam membuat akta Notaris harus memenuhi syarat–syarat agar tercapai sifat otentik dari akta yang dibuat misalnya adalah pembacaan akta yang bertujuan agar para pihak mengetahui isi akta yang dibuat dan diinginkan oleh para pihak. Akta Otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang–Undang Hukum Perdata adalah “...ialah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang – undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai–pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat” Akta Otentik sendiri memiliki tiga kekuatan pembuktian yaitu kekuatan pembuktian formil yang membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. Kekuatan pembuktian materiil yang membuktikan bahwa antara para pihak benar–benar peristiwa yang tersebut
1
Habib Adjie, 2010, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, PT. Refika Aditama, (selanjutnya ditulis Habib Adjie I), Surabaya, hal. 89.
3
dalam akta itu telah terjadi. Kekuatan pembuktian mengikat yang membuktikan bahwa antara para pihak dan pihak ketiga bahwa pada tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum dan menerangkan apa yang ditulis tersebut. 2 Notaris dalam menjalankan profesinya memberikan pelayanan kepada masyarakat sepatutnya bersikap sesuai aturan yang berlaku. Ini penting karena Notaris melaksanakan tugas jabatannya tidaklah semata-mata untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat, serta mempunyai kewajiban untuk menjamin kebenaran dari akta-akta yang dibuatnya, karena itu seorang Notaris dituntut lebih peka, jujur, adil dan transparan dalam pembuatan suatu akta agar menjamin semua pihak yang terkait langsung dalam pembuatan sebuah akta otentik. Dalam melaksanakan tugas jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh kepada kode etik jabatan Notaris, karena tanpa itu, harkat dan martabat profesionalisme akan hilang dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari masyarakat. Notaris juga dituntut untuk memiliki nilai moral yang tinggi, karena dengan adanya moral yang tinggi maka Notaris tidak akan menyalahgunakan wewenang yang ada padanya, sehingga Notaris akan dapat menjaga martabatnya sebagai seorang pejabat umum yang memberikan pelayanan yang sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak merusak citra Notaris itu sendiri. Sebagaimana harapan Komar Andasasmita, agar setiap Notaris mempunyai pengetahuan yang
2
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oerpkartawinata, 1979, Dalam Teori dan Praktik , CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 189.
Hukum Acara Perdata
4
cukup luas dan mendalam serta keterampilan sehingga merupakan andalan masyarakat dalam merancang, menyusun dan membuat berbagai akta otentik, sehingga susunan Bahasa, teknis yuridisnya rapi, baik dan benar, karena disamping keahlian tersebut diperlukan pula kejujuran atau ketulusan dan sifat atau pandangan yang objektif Perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas dan wewenangnya demi terlaksananya fungsi pelayanan dan tercapainya kepastian hukum dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, telah diatur dan dituangkan dalam Undang-Undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 (untuk selanjutnya disebut UUJN), undang-undang mana telah mengalami perubahan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 (untuk selanjutnya disebut UU Perubahan Atas UUJN). 3 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menentukan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Notaris dikatakan sebagai pejabat umum karena Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Meskipun
3
Komar Andasasmita,1981, Notaris Dengan Sejarah, Peranan, Tugas Kewajiban, Rahasia Jabatannya, Sumur, Bandung, hal. 14.
5
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, namun Notaris tidak dapat disamakan dengan pegawai negeri yang juga diangkat. Akta notaris ditinjau dari pembuatannya, dikenal dua bentuk akta yaitu akta di bawah tangan dan akta otentik Akta di bawah tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1878 KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijke Wetboek, yaitu “sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum”. Sedangkan pengertian akta otentik dalam Pasal 1868 KUH Perdata menegaskan suatu akta otentik, ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Pengertian lain mengenai akta adalah bahwa akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti dengan sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.4 Wawan
Setiawan
sebagaimana
dikutip
oleh
Herlien
Budiono
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pegawai umum atau pejabat umum dalam Pasal 1868 KUH Perdata adalah organ negara, yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum, berwenang menjalankan sebagian dari kekuasaan negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang hukum perdata.5
4
Rocky Marbu, dkk., 2012, Kamus Hukum Lengkap, Visi Media, Bandung, hal. 12. Herlien Budiono, 2015, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata (Di Bidang Kenotariatan), Buku Ketiga, PT. Citra Aditya Bhakti, (selanjutnya disebut Herlien Budiono I), Bandung, hal. 143. 5
6
Akta menurut A. Pitlo merupakan surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.6 Sudikno Metokusumo mengemukakan bahwa akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Dengan demikian akta merupakan surat yang ditandatangani, memuat peristiwa-peristiwa atau perbuatan hukum dan digunakan sebagai pembuktian. 7 Subekti sebagaimana dikutip Sjaifurrachman dan Habib Adjie, akta berbeda dengan surat, selanjutnya dikatakan bahwa, “kata akta bukan berarti surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari kata acte yang dalam bahasa Perancis berarti perbuatan.8 Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan akta, adalah: 1. Perbuatan handeling/ perbuatan hukum rechtshandeling itulah pengertian yang luas, dan 2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada pembuktian sesuatu.9 Akta Notaris merupakan bukti otentik bukti sempurna, dengan segala akibatnya. Melihat unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu akta, Sjaifurrachman mengemukakan mengenai unsur-unsur dan syarat-syarat yang 6
Pitlo,A. 1979, Tafsiran Singkat tentang Beberapa Bab Dalam Hukum Perdata, alih bahasa M.Moeraasad, PT. Internusa, Jakarta, hal. 32. 7 Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Yogyakarta, Liberty, hal 34. 8 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 99. 9 Ibid.
7
harus dipenuhi dalam pembuatan akta otentik dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang dirumuskan sebagai berikut:10 1. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang. Artinya jika bentuknya tidak ditentukan oleh undang-undang maka salah satu unsur akta otentik itu tidak terpenuhi dan jika tidak dipenuhi unsur dari padanya maka tidak akan pernah ada yang disebut dengan akta otentik. 2. Akta itu harus dibuat oleh door atau di hadapan ten overstaan seorang pejabat umum. 3. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk membuatnya di tempat di mana akta itu dibuat. Dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, berkaitan dengan syarat-syarat untuk dapatnya suatu perjanjian dikatagorikan “sah”, ditentukan adanya empat syarat untuk sahnya perjanjian yaitu : 1. ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (consensus) 2. ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity) 3. ada suatu hal tertentu (a certain subject matter) 4. ada suatu sebab yang halal (legal cause) Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Habib Adjie bahwa Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, yang secara garis besar persyaratannya dibagi atas dua yaitu ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu 10
Ibid., hal. 107.
8
perbuatan hukum, dan syarat objektif
yaitu syarat yang berkaitan dengan
perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tak dilarang.11 Sebagai akibat hukum dari suatu perjanjian yang sah adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua mereka yang membuatnya atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Suatu perjanjian mempunyai objek tertentu ditegaskan dalam Pasal 1333 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya yang dikemudian hari jumlah (barang) tersebut dapat ditentukan atau dihitung. Menurut S.J. Fockema Anreae, dalam bukunya Rechts geleerd Handwoordden boek , kata akta itu berasal dari bahasa latin Acta yang berarti geschrift atau surat.12 Menurut pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik, yaitu : 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku), 2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum. 11
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), PT. Refika Aditama, (selanjutnya disebut Habib Adjie II), Bandung, hal. 37. 12 S.J. Fockema Andreae, 1951, Rechtgeleerd Handwoorddenboek, Bij J.B. Wolter Uitgeversmaat, N.V. Gronogen, Jakarta, hal. 9.
9
Sedangkan Irawan Soerodjo yang menyebutkan ada 3 (tiga) unsur esensial agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu : 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, 2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum, 3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.13 Lain halnya dengan Bayu Seto Hardjowahono sebagaimana dikutip oleh Herlien Budiono mengemukakan bahwa dikenal adanya istilah the proper law of contract yaitu pengertian praktis untuk menggambarkan konsep tentang hukum yang mengatur dan mempengaruhi suatu perjanjian atau hukum yang diterapkan forum untuk menetapkan hak dan kewajiban yang timbul dari sebuah perjanjian.14 Umumnya suatu perjanjian berkaitan dengan pemenuhan prestasi sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1234 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Tiaptiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Dari uraian pasal di atas dapat diketahui bahwa prestasi dapat berupa : 1. Memberikan sesuatu, mengenai hal ini, Mariam darus Badrulzaman, dkk mengemuakkan bahwa undang-undang tidak memberikan gambaran yang sempurna.15Pasal 1235 KUH Perdata menyebutkan bahwa dalam tiap-tiap perjanjian untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berhutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk 13
Habib Adjie I, op.cit., hal. 43. Herlien Budiono I, op.cit., hal. 169. 15 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan (Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.11. 14
10
merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa perikatan untuk memberikan sesuatu adalah perikatan untuk menyerahkan (leveren) dan merawat benda (prestasi) sampai pada saat penyerahan dilakukan. 2. Berbuat sesuatu, di mana mengenai hal ini undang-undang tidak memberikan
ketentuan-ketentuan
tentang
boleh
tidaknya
untuk
mengadakan eksekusi karena tidak dilaksanakannya isi dari perjanjian. 3. Tidak berbuat sesuatu, mengandung arti bahwa dalam suatu perjanjian, apabila salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian maka dianggap wanprestasi. Namun ada kemungkinan bahwa ada pihak yang tidak melaksanakan isi perjanjian namun bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, akan tetapi karena keadaan memaksa atau force majeur, dimana
apabila
terjadi
permasalahan
karena
faktor
ini,
maka
penyelesaiannnya akan menggunakan ajaran resiko. Habib Adjie mengemukakan bahwa kedudukan akta Notaris sebagai akta otentik atau otensitas akta Notaris, karena : 1. akta dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Publik; 2. akta dibuat dalam bentuk dan tata cara (prosedur) dan syarat yang ditentukan oleh undang-undang. 3. Pejabat Publik oleh/atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. 16 Seorang Notaris diangkat oleh negara, akan tetapi secara ekonomis dan sosiologis menjalankan suatu pekerjaan bebas, vrije beroep. Menjalankan pekerjaan bebas di dalam masyarakat merupakan tugas Notaris sebagai tumpuan 16
Habib Adjie I, op.cit., hal.17.
11
pusat kepercayaan dari nilai-nilai masyarakat yang awam dalam bidang hukum untuk membela kepentingan masyarakat dari dunia yang penuh ketidakpastian dan birokrasi. Untuk dapat meminta jasa Notaris, ketentuan mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian wajib dipenuhi, sehingga akta tersebut mempunyai kekuatan mengikat di antara para pihak. Mendasarkan pada pengertian akta Notaris sebagaimana disebutkan di atas,
maka
selanjutnya
mengenai
fungsi
akta
bagi
pihak-pihak
yang
berkepentingan dapat dijelaskan sebagai berikut:17 1. Sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum; 2. Sebagai alat pembuktian; Akta Notaris merupakan alat bukti yang sempurna sehingga dapat menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berintikan kebenaran dan keadilan.18 3. Sebagai alat pembuktian satu-satunya. Sebagai alat pembuktian satusatunya. Akta Notaris sebagai alat pembuktian satu-satunya mengenai perbuatan hukum yang telah disepakati oleh para pihak dengan membubuhkan tanda tangannnya di hadapan Notaris. Lain halnya dengan Herlien Budiono yang mengungkapkan bahwa untuk dapat mengetahui apakah kita berhadapan dengan suatu perjanjian atau tidak dapat dilihat dari ada tidak unsur-unsur perjanjian. Unsur-unsur tersebut terdiri dari : a. Kata sepakat dari dua pihak atau lebihartinya bahwa perjanjian hanya timbul dengan kerjasama dari dua orang atau lebih atau perjanjian 17
Habib Adjie, 2015, Kompilasi Persoalan Hukum dalam Praktek Notaris dan PPAT, Hanya Untuk Kalangan Sendiri, Edisi Kabupaten Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie III), Bandung, hal. 99. 18 Ibid., hal. 173.
12
b.
c.
d.
e.
“dibangun”oleh perbuatan dari beberapa orang.Karenanya perjanjian digolongkan sebagai perbuatan hukum berganda. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak. Kata sepakat tercapai jika pihak yang satu menyetujui apa yang ditawarkan oleh pihak yang lainnya.Dengan kata lain para pihak saling menyetujui.Namun hanya kehendak saja tidaklah cukup, tetapi kehendak tersebut harus dinyatakan. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum.Tidak semua janji didalam kehidupan sehari-hari membawa akibat hukum. Ada tidaknya akibat hukum dari suatu perjanjian tergantung pada keadaan dan kehendak dari masyarakat. Akibat hukumuntuk kepentingan para pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik; Unsur lain yang harus dipenuhi adalah bahwa akibat hukum tersebut adalahuntuk kepentingan pihak yang satu atas beban pihak yang lain atau bersifat timbal balik. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan. Bentuk perjanjian pada umumnya bebas ditentukan para pihak.namun undangundang menetapkan bahwa beberapa perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu. Penetapan demikian oleh undang-undang mengenai bentuk yang diwajibkan mengakibatkan bahwa akta menjadi syarat mutlak bagi terjadinya perbuatan hukum tersebut (solemnitas causa, securitas casu). 19 Sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, pengaturan
mengenai jabatan Notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN Tahun 2014 Nomor 30 Tahun 2004), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris atau disebut Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN Tahun 2014) sebagai pengganti dari Reglement op Het Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3) atau Peraturan Jabatan Notaris (PJN).
19
Herlien Budiono I, op.cit., hal. 5.
13
Sejak berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris yang baru ini, melahirkan perkembangan hukum yang berkaitan langsung dengan dunia kenotariatan saat ini, yakni: 1. Adanya “perluasan kewenangan Notaris”, yaitu kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) butir f, yakni: “kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”. 2. Kewenangan untuk membuat akta risalah lelang. Akta risalah lelang ini sebelum lahirnya Undang-undang tentang Jabatan Notaris menjadi kewenangan juru lelang dalam Badan Urusan Utang Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960. 3. Memberikan kewenangan lainnya yang diatur dalam Peraturan Perundangundangan. Kewenangan lainnya yang diatur dalam Peraturan Perundangundangan ini merupakan kewenangan yang perlu dicermati, dicari dan diketemukan oleh Notaris, karena kewenangan ini bisa jadi sudah ada dalam dalam Peraturan Perundang-undangan, dan juga kewenangan yang baru akan lahir setelah lahirnya Peraturan Perundang-undangan yang baru.20 Segera setelah Peraturan mengenai jabatan Notaris ini diberlakukan, maka seluruh kegiatan kenotariatan di Indonesia berpedoman pada peraturan ini dalam Pasal 1 UUJN Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan disebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki 20
Zulham Umar, 2010, Hubungan Peraturan jabatan Notaris dan Kode Etik Dalam Pelaksanaan Tugas Notaris, https://zulpiero.wordpress.com/2010/04/20/, diakses pada tanggal 20 Nopember 2016.
14
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Bertalian dengan kewenangan Notaris dalam membuat akta, Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2014 menyebutkan: Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Sebagai alat pembuktian satu-satunya. Akta Notaris sebagai alat pembuktian satu-satunya mengenai perbuatan hukum yang telah disepakati oleh para pihak dengan membubuhkan tanda tangannnya di hadapan Notaris. Dengan kewenangan yang ada pada Notaris, maka akta Notaris mengikat para pihak atau penghadap yang tersebut di dalamnya atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Seorang Notaris, dalam pembuatan akta Notaris tersebut: 1. Berwenang untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak. 2. Secara lahiriah, formal dan materiil telah sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta Notaris, maka akta Notaris tersebut harus dianggap sah. Habib Adjie menyebutkan bahwa ada 2 (dua) golongan akta Notaris yaitu :
15
1. Akta yang dibuat oleh (door) Notaris biasa disebut dengan istilah Akta Relaas atau Berita Acara atau dikenal juga dengan sebutan akta pejabat. Akta jenis ini di antaranya akta berita acara rapat para pemegang saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan, akta berita acara penarikan undian. 2. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris, biasa disebut dengan istilah akta pihak atau akta partij. Akta ini dinamakan akta pihak-pihak (partij akten). Isi Akta ini adalah catatan Notaris yang bersifat otentik mengenai keterangan-keterangan dari para penghadap yang bertindak sebagai pihak dalam akta yang bersangkutan. Akta jenis ini di antaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan sebagainya.21 Berbeda halnya dengan A.A. Andi Prajito mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) macam akta Notaris yaitu :22 1. Akta pihak (partij acte), mengenai akta ini ada dua bentuk didasarkan pada jumlah pihak yaitu permintaan beberapa pihak dengan kata lain merupakan akta yang dibuat atas permintaan beberapa pihak yang dikenal dengan sebuat perjanjian (overenkomst). Akta ini menimbulkan hak dan kewajiban serta tidak dapat dicabut/ ditarik kembali secara sepihak, tetapi harus dengan kesepakatan semua pihak dan akta atas permintaan sepihak yang merupakan tindakan hukum dari satu subjek hukum (lebih tepat satu pihak,
21
Habib Adjie II, op.cit. hal. 9. A.A. Andi Prajitno, 2014, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan Siapa Notaris di Indonesia (Sesuai UUJN TAHUN 2014 Nomor 2 Tahun 2014), pmm, Surabaya, hal. 83. 22
16
di mana satu pihak ini bisa berdiri lebih dari satu subjek hukum). Akta sepihak merupakan akta yang dikehendki oleh satu subjek hukum berupa Akta Pernyataan dan dapat menimbulkan hak dan kewajiban apabila akta tersebut digunakan. 2. Akta Berita Acara (relaas acte). Akta ini berbeda dengan akta pihak, karena dalam akta ini Notaris tidak merelatir keinginan atau kehendak para pihak, tetapi mencatat segala peristiwa yang dilihat, didengar dan dirasakan dalam pelaksanaan jalannya rapat atau acara yang diliput. 3. Akta Pejabat (ambtilijke acte), di antaranya akta protes, yang dibedakan menjadi akta protes non akseptasi dan non pembayaran baik atas wesel maupun atas cek. Akta ini sebenarnya semacam teguran dari Notaris atas tagihan yang muncul karena akta yang dibuatnya/di hadapannya untuk kepentingan kliennya. Jadi yang ditagih tidak perlu atau tidak harus menandatangani minuta aktanya, dan bila tidak ditandatangani cukup di dalam akta ditulis dengan alasannya. Untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang Advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam di bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang Pegawai Catatan Sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, antara lain untuk membuat akta kelahiran atau akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.
17
Wewenang sangat erat kaitannya den gan kewajiban dan tanggung jawab. Menurut Max Weber dalam Taliziduhu, mengatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan yang sah. Ada tiga macam tipe ideal wewenang, pertama wewenang tradisional, kedua karismtik, dan ketiga legal rasional. Wewenang yang terakhir inilah menjadi basis wewenang pemerintahan.23 Ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUJN Tahun 2014 menyatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib: a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta; d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan Tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; j. Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
23
Taliziduhu Ndraha, 2003, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 1, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 85.
18
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan n. Menerima magang calon Notaris. Selain hal-hal tersebut di atas menurut Liliana Tedjosaputro, Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsurunsur yaitu perilaku Notaris harus memiliki integritas moral yang mantap, harus jujur bersikap terhadap klien maupun diri sendiri, sadar akan batas-batas kewenangannya dan tidak bertindak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.24 Berkaitan dengan apa yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) d yang menjadi pembahasan dalam tesis ini, dapat dikatakan bahwa salinan akta adalah merupakan salinan dari akta yang isinya sama dengan minuta akta yang ditandatangani oleh para penghadap di hadapan Notaris, dan menyebutkan dengan pasti mengenai hari, tanggal dan waktu penandatanganan para pihak yang menghadap dan kapasitasnya saat menghadap, kehendak dari para pihak yang telah dituangkan dalam minuta, serta menyebutkan dengan tegas apabila terjadi perubahan baik itu coretan, gantian maupun tambahan yang terjadi saat penandatanganan di hadapan Notaris.
24
hal. 93.
Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang,
19
Pasal 16 ayat (1) d UUJN Tahun 2014 tidak dapat dipisahkan dari dengan ketentuan Pasal 54 UUJN Tahun 2014 yang menyebutkan : Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini telah mengalami perubahan dengan Pasal 54 ayat (1) dan (2) UU Perubahan yang berbunyi : (1) Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi Akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. (2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberhentian sementara; c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat. Menurut Herlien Budiono, pengecualian yang dimaksud dalam Pasal 54 (1) UUJN Tahun 2014 di atas di antaranya kewajiban Notaris untuk menyampaikan kepada Seksi Daftar Pusat Wasiat pada Kementerian Hukum dan HAM setiap bulan dalam waktu lima hari pada` minggu pertama mengenai surat wasiat yang dibuat atau tidak dibuat di hadapan Notaris Pasal 16 ayat (1) huruf 1 UUJN Tahun 2014. Salinan akta yang batal dikeluarkan oleh Notaris tidak diatur secara tegas, sekalipun dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) terjadi norma kabur, karena tidak dijelaskan secara eksplisit terhadap penerbitan akta yang batal, secara normatif dikaji dalam hukum perjanjian pasal 1320 KUH Perdata sahnya perjanjian, ketika perjanjian dan/atau perikatan jual beli telah terjadi. Apabila akta yang telah dibuat oleh dan di hadapan Notaris, maka akta tidak dapat di batalkan oleh sepihak. Terjadinya pembatalan akta notaris apabila kedua belah pihak sepakat untuk
20
melakukan pembatalan atau melalui putusan Pengadilan, sehingga Notaris sesuai dengan kewenangan dapat membuat salinan akta yang dibatalkan. Pasal lain yang berkaitan untuk dipahami dalam menelaah Pasal di atas adalah Pasal 38 ayat (3) UUJN Tahun 2014 yang menegaskan bahwa isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak penghadap yang datang ke Notaris. Dengan demikian isi akta adalah merupakan kehendak atau keinginan para penghadap sendiri dan bukan merupakan keinginan Notaris.25 Kondisi di atas bila dikaitkan dengan karakter yuridis dari akta Notaris itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Habib Adjie adalah : 1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang undang . 2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan keinginan Notaris. 3. Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta. 4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun terikat dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta itu. 5. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.26 Sehubungan dengan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, Pasal 1869 KUH Perdata menegaskan bahwa akta Notaris akan mempunyai kekuatan pembuktian sebagai tulisan dibawah tangan jika : 1. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan 2. Tidak cakapnya (tidak mempunyai) pejabat umum yang bersangkutan 25
Habib Adjie I, op.cit., hal. 2. Ibid., hal. 17-18.
26
21
3. Cacat dalam bentuknya. Dalam konstruksi Hukum Kenotariatan, bahwa salah satu tugas jabatan Notaris yaitu “menformulasikan keinginan/tindakan penghadap-penghadap/para penghadap ke dalam bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku”. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 72 K/Sip/1973, tertanggal 5 September 1973 yaitu “…Notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materiil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan Notaris tersebut”. Berdasarkan pada Putusan Mahkamah Agung tersebut dapat disimpulkan: 1. Akta Notaris tidak dapat dibatalkan. 2. Fungsi Notaris mencatatkan (menuliskan) apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut. 3. Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materiil apaapa (hal) yang dikemukakan oeh penghadap tersebut.27
Dengan demikian bertentangan dengan inti dari akta Notaris, jika akta Notaris yang dibuat atas kehendak para pihak dibatalkan oleh putusan pengadilan, tanpa ada guatan dari para pihak yang tersebut dalam akta untuk membatakan akta Notaris tersebut. Pembatalan akta Notaris hanya dapat diakukan oleh para pihak sendiri. Para pihak yang datang untuk menuangkan kesepakatan mereka dengan akta notariil, dalam prakteknya tidak jarang para pihak setelah menandatangani akta yang dikehendaki, baik atas kesepakatan para pihak sendiri maupun karena 27
Habib Adjie III, op.cit. hal. 22.
22
merasa dirugikan oleh pihak lainnya, meghadap kembali ke Notaris dengan maksud hendak membatalkan akta yang bersangkutan. Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka : 1. Para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut. 2. Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta Notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan? Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hakim. Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta Notaris.
23
Menurut Habib Adjie, bahwa akta Notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Dapat dikatakan bahwa apabila suatu akta telah dibuat dengan memenuhi syarat formal, materiil dan lahiriah maka tidak ada alasan untuk menyatakan akta yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada hakim.28 Berkenaan dengan batalnya suatu akta Notaris dapat terjadi karena dimintakan oleh para pihak secara langsung dengan menghadap kembali ke Notaris, atau dengan putusan pengadilan atas permohonan salah satu pihak, karena akta Notaris yang bersangkutan dianggap mempunyai kecacatan. Cacatnya suatu aktaNotaris dapat berakibat kebatalan bagi suatu akta Notaris dan ditinjau dari sanksi dan akibat hukum dari kebatalan dapat dibedakan menjadi :29 1. Batal demi hukum (van rechtswege nietig). 2. Dapat dibatalkan (vernitiegbaar). 3. Non existent. Pembatalan akta Notaris sebagaimana dimaksud di atas bila dikaitkan dengan kewajiban Notaris sebagaimana tersebut daam Pasal 54 ayat (1)UUJN
28
Habib Adjie, 2013, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,PT. Refika Aditama, (selanjitnya disebtu Habib Adjie IV), Bandung, hal. 55. 29 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 125.
24
Tahun 2014, tidak ada ketentuan dalam UUJN Tahun 2014 yang mengatur mengenai kewajiban Notaris untuk mengeluarkan atau tidak salinan akta yang telah dibuatnya untuk kepentingan para pihak yang berkepentingan dan adanya ketidakpastian akibat pengaturan serta ketentuan yang tidak tegas, sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda mengenai kewajiban Notaris dalam prakteknya. Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan penelitian dengan
judul
PENGATURAN
KEWAJIBAN
NOTARIS
DALAM
MEMBERIKAN SALINAN AKTA ATAS AKTA YANG BATAL.
1.2. Rumusan Masalah Dari uraian dalam latar belakang masalah, dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan pemberian salinan akta atas akta yang batal? 2. Bagaimanakah formulasi norma pengaturan pemberian salinan akta atas akta yang batal sehingga menjamin kepastian hukum?
1.3. Orisinalitas Untuk menghindari adanya kesamaan ataupun duplikasi penelitian dalam tesis ini, mengingat perkembangan ilmu hukum sangat dibutuhkan sesuai perkembangan kepentingan masyarakat, ada beberapa tulisan yang penulis temukan untuk menunjukkan orisinalitas penelitian yaitu: 1. Tesis dari program Magister Program Studi Kenotariatan Progam Pascasarjana Universitas Udayana Tahun 2013 yang ditulis oleh Tri Hastuti Setyo
25
Hartiningsih,
dengan
judul
Pertanggungjawaban
oleh
Notaris
yang
menyalahgunakan Kewenangan dalam Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Dalam hal apa saja notaris dianggap melaksanakan penyalahgunaan kewenangan berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN dari perspektif pidana ? 2. Bagaimanakah prosedur pertanggungjawaban pidana oleh Notaris yang melakukan penyalahgunaan kewenangan berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN? 2. Tesis dari Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Tahun 2012,yang ditulis oleh Munnie Yasmin dengan judul Syarat Batal Dalam Perjanjian Timbal Balik berdasarkan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Penulis mengemukakan 2 (dua) rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kriteria perjanjian timbal balik yang di dalamnya mengandung syarat batal berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata? 2. Bagaimanakah syarat keadaan yang dapat dijadikan alasan dalam penundaan pemenuhan kewajiban oleh hakim apabila syarat batal tidak disepakati dengan tegas dalam perjanjian berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata?
26
1.4. Tujuan Penelitian Setiap penelitian mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Dalam penelitian ini yang menjadi tujuan penelitian dapat dibedakan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. 1.4.1. Tujuan Umum Tujuan umum
dari
penelitian dalam tesis
ini
adalah
untuk
mengembangkan ilmu hukum terkait, khususnya di bidang Hukum Kenotariatan serta untuk memperluas wawasan pengetahuan sehingga diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah, praktisi hukum maupun masyarakat. 1.4.2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui dan menganalisa mengenaisalinan akta Notarisyang dapat dinyatakan batal. b. Untuk mengetahui dan menganalisa kewajiban Notaris untuk mengeluarkan salinan akta yang dibuat olehnya atas akta yang batal.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum bagi para akademisi bidang hukum pada umumnya, dan diharapkan dapat menjadi bahan
27
dalam menambah wawasan Hukum Perdata pada umumnya dan Hukum Kenotariatan mengenai salinan akta pada khususnya. 1.5.2 Manfaat Praktis 1. Bagi praktisi diharapkan dapat menjadi sumbangan pengetahuan dan pemikiran di bidang hukum, khususnya dalam bidang Hukum Kenotariatan. 2. Bagi masyarakat dapat menjadi informasi mengenai hak-dari para pihak yang telah ataupun akan meminta jasa Notaris dalam mengatur hubungan hukumnya baik untuk diri sendiri maupun terhadap pihak ketiga atas salinan akta atas akta Notaris yang telah batal. 1.6. Landasan Teoritik Dalam menganalisis suatu penelitian hukum diperlukan teori hukum. Menurut Paul Scholten bahwa teori hukum berkenaan dengan sebuah ilmu yang secara apriori menunjuk pada sisi logika dari setiap hukum positif dan mengarah pada analisis mengenai sifat pemikiran tentang hukum.30 Dalam melakukan pembahasan ini akan dipergunakan Asas dan teori-teori yang menunjang di antaranya Asas Pacta Sunt Servanda, Asas Keseimbangan, Teori Kepastian Hukum, Teori Legitimasi dan Validitas, Konsep Kenotariatan serta Konsep Kewenangan. 1.6.1. Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini timbul dari premis bahwa kontrak terjadi secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan yaitu:
30
Paul Scholten , 2003, Struktur Ilmu Hukum, alih Bahasa Arief Sidharta, Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, hal. 38.
28
1. sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus bekerjasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti bahwa orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan. 2. hak milik yang dapat dialihkan dimana apabila seseorang individu memiliki hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegahnya melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak. Pengakuan akan keterikatan pada sebuah kontrak atau apa yang dalam dunia hukum lebih dikenal dengan Pacta Sunt Servanda. Arti harfiah dari Pacta Sunt Servanda adalah “kontrak itu mengikat” secara hukum.Istilah lengkapnya untuk Pacta Sunt Servanda adalah pacta convent quae neque contra leges neque dalo malo inita sunt omnimodo observanda sunt, yang berarti suatu kontrak yang tidak dibuat secara illegal dan tidak berasal dari penipuan harus sepenuhnya diikuti.33 Asas Pacta Sunt Servanda merupakan sakralisasi atas suatu perjanjian. Titik fokus dari hukum perjanjian adalah kebebasan berkontrak atau yang dikenal dengan prinsip otonomi, yang berarti bahwa dengan memperhatikan batas hukum yang tepat orang dapat mengadakan perjanjian apa saja sesuai dengan kehendaknya, dan apabila mereka telah memutuskan untuk membuat perjanjian, mereka terikat dengan perjanjian tersebut. Asas ini mengemukakan bahwa suatu kontrak mengikat para pihak pembuatnya dan mengikatnya itu sama dengan status undang-undang dan asas ini
33
Munir Fuady,2014, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group, Bandung, hal. 210.
29
adalah merupakan teori dasar (grand theory) dalam artian ketika diwujudkan dalam praktek diperlukan berbagai penafsiran, persesuaian dan bersifat variatif.34 Hal ini disebabkan karena dalam teori hukum terdapat dua teori lanjutan yaitu : 1. Teori Linier, yang mengajarkan bahwa tanpa melihat pada jenis-jenis kontrak, semua ikatan hukum yang timbul dari kontrak sama kekuatannya secara hukum, tidak ada yang lebih tinggi kekuatannnya dantidak ada yang lebih rendah. 2. Teori fluktuatif, yang memandang bahwa kekuatan mengikat dari kekuatan hukum dari masing-masing kontrak berbeda-beda, mengikuti berbagai jenis, bentuk formalitas dan maksud dari para pihak yang membuat kontrak tersebut.35 Perbedaan kepada corak dan variasi dari kekuatan berlakunya teori pacta sunt servanda dari masing-masing komunitas masyarakat ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut : 1. Perbedaan sistem hukum yang dianut, apakah sistem eropa Kontinental atau sistem hukum Anglo Saxon. 2. Perbedaan kebiasaan dan kebudayaan dari suatu bangsa. 3. Perbedaan agama yang dibuat oleh masing-masing komunitas masyarakat 4. Perbedaan tingkat kesadaran hukum dan kemajuanhukum dari bangsa yang bersangkutan. Thomas Hobbes sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady mengemukakan bahwa kontrak asli masyarakat melepaskan haknya untuk suatu kehidupan 34
Ibid., hal. 226. Munir Fuady, op.cit., hal. 226-227.
35
30
bersama dan dari sinilah asal mula kekuasaan suatu negara. Dalam tesis ini asas ini akan dipergunakan dalam menganalisa dan mengadakan pembahasan terhadap permasalahan pertama yaitu mengenai pengaturan pemberian salinan akta atas akta yang batal.
1.6.2. Asas Keseimbangan. Dalam pembuatan suatu
perjanjian,
kontrak dan
lainnya
yang
menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang membuatnya, diperlukan adanya keseimbangan dari perjanjian atau kontrak itu sendiri, sehingga apabila salah satu pihak melakukan pelanggaran atau wan prestasi tidak akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang lainnnya. Menurut Herlien Budiono, asas keseimbangan adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranatapranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal KUH Perdata yang mendasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada satu pihak dan cara berfikir bangsa Indonesia pada piha lain. Asas ini perlu ditambahkan mengingat pada kenyataannya KUHPerdata sebagai acuan dalam hukum perjanjian Indonesia, didasarkan pada tata nilai (Waarden en nomen) serta filsafat hukum Barat, padahal Indonesia mempunyai tata nilai yang berbedar dari tata nilai negara-negara lain.43 Dengan kata lain dalam perbuatan perjanjian tetap berpegang adanya keseimbangan dalam pembuatannnya yang tidak lepas dari kesadaran hidup Bangsa Indonesia, aturan-aturan yang berlaku pada hukum adat setempat khususnya mengenai gotong royong, kekeluargaan, kepatutan,
43
Herlien Budiono II, op.cit., hal 33.
31
kepantasan, keselarasan maupun asas-asas hukum moder di antaranya asas konsensus, asas kebebasan berkontrak, dan asas kekuatan mengikat.44 Penerapan Asas Keseimbangan agar sesuai harapan, terlebih dahulu harus diketahui apa fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum dapat dibedakan menjadi tiga fungsi yaitu : 1. Hukum sebagai a tool of social control “Ronny
Hantijo
Soemitro
sebagaimana
dikutip
Achmad
Ali
mengemukakan bahwa hukum sebagai kontrol sosial atau dapat disebut engan pemberi definisi dan tingkah laku yang menyimpang serta akibatakibat seperti larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan pemberian ganti rugi”45 Dari uraian di atas nampak bahwa hukum sebagai alat pengendali sosial untuk menetapkan tingkah laku yang dianggap dari aturan hkum. Selain itu untuk menetapkan sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadinya penyimpangan tersebut. 2. Fungsi hukum sebagai a tool as a social engineering. Fungsi hukum di sini dianggap sebagai konsep yang paling netral, yang dicetuskan oleh Roscoe Pound. Beliau mengemukakan bahwa fungsi ini memberikan dasar bagi kemungkinan digunakannya hukum secara dasar untuk mengadakan perubahan masyarakat. 3. Fungsi hukum sebagai Integrator.
44
Ibid., hal. 34. Achmad Ali, 2015, Menguak Tabir Hukum, Edisi Kesatu, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 102. 45
32
Dalam kehidupan masyarakat senantiasa terdapat berbagai kepentingan dari warganya. Di antara kepentingan itu, ada yang bisa selaras dengan kepentingan lain, tetapi ada juga kepentingan yang menyulut konflik dengan kepentingan lain. Padahal hukum itu telah berfungsi sebelum konflik itu terjadi. Menurut Ali Achmad ada dua jenis penerapan hukum yaitu : a. Penerapan hukum dalam hal tidak ada konflik. Misalnya seorang pembeli barang membayar harga barang dan penjual menerima uangnya b. Penerapan hukum dalam hal terjadi konflik. Misalnya si pembeli sudah membayar lunas harga barang, tetapi penjual tidak menyerahkan barang yang telah dijualnya.46 Hukum di sini befungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan anggota masyarakat, yang berlaku baik jika tidak ada konflik maupun setelah ada konflik. Namun harus diketahui bahwa dalam penyelesaian konflik-konflik kemasyarakatan, bukan hanya hukum satu-satunya sarana pengintegrasi, melainkan masih terdapat sarana lain seperti kaidah agama, kaidah moral dan sebagaimya.
1.6.3. Teori Kepastian Hukum Hukum merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat sudahlah pasti, namun demikian dalam hukum biasanya nilai-nilai demikian dalam hukum biasanya nilai-nilai itu digambarkan sebagai berpasangan akan
46
Achmad Ali, op.cit., hal. 116.
33
tetapi tidak jarang bersitegang, misalnya ketertiban dan ketentraman. Fokus utama pertentangan ini sebenarnya terletak pada persoalan bagaimana hukum positif dengan jaminan kepastiannya dapat mewujudkan nilai-nilai dan keadilan yang diharapkan. Kepastian hukum adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif dan tidak bisa dijawab secara sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan tafsir yang berbeda dan logis dalam artian dapat menjadi sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konstentasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Thomas Hobbes mengatakan bahwa manusia adalah srigala bagimanusia lainnya (Homo Hominilupus). Manusia adalah mahluk yang beringas yang merupakan suatu ancaman.Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekwensi dari pandangan ini dalah bahwa prilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pemikiran pembuat aturan. Kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan suatu kepastian tindakan yang sesuai dengan aturan hukum, karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian prilaku hukum secara benar-benar. Kepastian hukum menjamin keadilan bagi setiap insan dan anggota masyarakat dengan masyarakat lain tanpa membedakan darimana dia berasal. Menurut Soedikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh E. Fernando M. Manullang, bahwa kepastian merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
34
dalam penegakan hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.36 Memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif. Bahkan peran negara itu tidak saja sebatas pada tataran itu saja, negara pun mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan dan menegakkannya. Kepastian hukum bukan lagi semata-mata menjadi tanggung jawab negara semata-mata, tetapi kepastian hukum itu pula harus menjadi nilai bagi setiap pihak dalam setiap sendi kehidupan, di luar peranan negara itu sendiri dalam penerapan hukum legislasi maupun yudikasi. Dengan kata lain setiap orang tidak diperkenankan untuk bertindak semena-mena. Persoalan kepastian hampir selalu dikaitkan dengan hukum, memberikan konsekwensi bahwa kepastian (hukum) selalu mempersoalkan hubungan hukum antara warga negara dan negara. E.Fernando M. Manullang berpendapat bahwa sebagai sebuah nilai, kepastian (hukum) tidak semata-mata selalu berkaitan dengan negara, karena esensi dari kepastian (hukum) adalah masalah perlindungan dari tindakan kesewenang-wenangan.37 Teori
ini
dipergunakan
dalam
melakukan
pembahasan
terhadap
permasalahan kedua yang berkaitan dengan kepastian hukum dari pengaturan
36
E. Fernando M.Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan (Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 92. 37 Ibid., hal. 94.
35
norma yang mengatur tentang salinan akta pengaturan pemberian salinan akta atas akta yang batal. 1.6.4. Teori Legitimasi dan Validitas Sebagai sebuah teori yang penting dalam hukum, Teori Validitas atau Legitimasi dari hukum (legal validity) adalah teori yang mengajarkan bagaimana dan apa syarat-syaratnya agar suatu kaidah hukum menjadi legitimate dan sah (valid) berlakunya, sehingga dapat diberlakukan kepada masyarakat, bila perlu dengan upaya paksa yakni suatu kaidah hukum yang memenuhi persyaratanpersyaratan sebagai berikut 38: 1. Kaidah hukum tersebut haruslah dirumuskan kedalam berbagai bentuk aturan formal, seperti dalam bentuk Pasal-Pasal dari UUD, UU dan berbagai bentuk peraturan lainnya,aturan-aturan internasional seperti dalam bentuk traktat, konvensi, atau setidaknya dalam bentuk adat kebiasaan. 2. Aturan formal tersebut harus dibuat secara sah, misalnya juga dalam bentuk undang-undang harus dibuat oleh parlemen (bersama dengan pemerintah) 3. Secara hukum aturan hokum tersebut tidak mungkin dibatalkan 4. Terhadap aturan formal tersebut tidak ada cacat-cacat yuridis lainnya. 5. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan oleh badan-badan penerap hukum 6. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat 38
H. Salim,H.S., 2016, Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris, Bentuk dan Minuta Akta), PT. Rajagrafindo Persada, Depok, hal. 70.
36
7. Kaidah hukum tersebut haruslah sesuai dengan jiwa bangsa yang bersangkutan. Setiap kaidah hukum haruslah memenuhi unsur legitimasi, karena memang asal usul pengertian legitimasi adalah setiap hal yang bersesuaian dengan hukum yang berlaku. Teori-teori tentang validitas hukum seyogyanya juga harus dapat menjawab berbagai persoalan di sekitar persoalan valid atau tidaknya suatu lembaga hukum. Berkenaan dengan teori ini, Hans Kelsen sebagaimana dikutip Munir Fuady berpendapat : 1. Kelsen membedakan antara konsep validitas (validity) dengan konsep kegunaan (efficiency). 2. Ke dalam konsep validitas tercakup juga pengertian kekuatan memaksa (binding force). 3. Memenuhi suatu kriteria tertentu adalah salah satu karakteristik dari validitas. 39 Suatu hukum dapat menjadi valid, apabila hukum itu diterima oeh masyarakat. Dalam hal ini validitas suatu norma merupkan hal yang tergolong ked lam “yang seharusnya” (das sollen) sedangkan “efektivitas” suatu norma merupakan suatu kenyataan (das sein).Secara garis besar dapat diuraikan bahwa agar suatu kaidah hukum dapat efektif, haruslah memenuhi dua syarat utama yaitu: 1. kaidah hukum itu harus dapat diterapkan dan 2. kaidah hukum itu harus dapat diterima di masyarakat.
39
Munir Fuady, op.cit., hal. 115,.
37
Berbeda halnya dengan pendapat Meuwissen sebagaimana dikutip B. Arief Sidharta, bahwa yang mempersyaratkan validitas suatu norma hukum, dalam arti “keberlakuan’ suatu kaidah hukum, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ; 1. Keberlakuan sosial atau faktual. Dalam hal ini, kaidah hukum tersebut dalam kenyataannya diterima dan diberlakukan oleh masyarakat umumnya, termasuk dengan menerima sanksi jika ada orang yang tidak menjalankannya. 2. Keberlakuan yuridik, di mana aturan hukum tersebut dibuat melalui prosedur yang benar dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. 3. Keberlakuan moral, dimana agar suatu kaidah hukum itu valid, maka kaidah hukum itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai moral misalnya kadah hukum itu tidak boleh melanggar hak asasi manusia.40 Menurut Munir Fuady bahwa kaidah hukum termasuk katagori ini apabila memenuhi persyarat-persyaratan sebagai berikut: 1. Kaidah hukum tersebut haruslah dirumuskan kedalam berbagai bentuk aturan formal, seperti dalam bentuk Pasal-Pasal dari UUD, UU dan berbagai bentuk peraturan lainnya,aturan-aturan internasional seperti dalam bentuk traktat, konvensi, atau setidaknya dalam bentuk adat kebiasaan.
40
Meuwissen, 2007, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta), PT. Refika Aditama, Bandung, hal 46-47.
38
2. Aturan formal tersebut harus dibuat secara sah, misalnya jika dalam bentuk undang-undang harus dibuat oleh parlemen (bersama dengan pemerintah). 3. Secara hukum aturan hukum tersebut tidak mungkin dibatalkan. 4. Terhadap aturan formal tersebut tidak ada cacat-cacat yuridis lainnya. 5. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan oleh badan-badan penerap hukum. 6. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat 7. Kaidah hukum tersebut haruslah sesuai dengan jiwa bangsa yang bersangkutan. Suatu kaidah hukum tidaklah valid jika kaidah hukum tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat atau jika kaidah tersebut ternyata dalam praktek tidak dapat dilaksanakan, meskipun aturan hukum tersebut telah dibuat melalui proses yang benar dan dibuat oleh pihak yang berwenang secara hukum.41 Mengenai kevalidan suatu norma,
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at
mengemukakan bahwa dalam prinsi legitimasi norma tetap valid sepanjang belum dinyatakan invalid dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri.42 Kaidah hukum yang hendak diberlakukan di masyarakat haruslah memenuhi unsur legitimasi, karena memang asal usul legitimasi adalah setiap hal yang bersesuaian dengan hukum yang berlaku. Sebagian dari tata hukum yang lama 41
Munir Fuady, 2013, Teori-Tori Dalam Sosiologi Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 109 42 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cetakan Pertama, Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 100.
39
tetap valid dalam bagian aturan hukum yang baru, sebenarnya yang tetap sama hanyalah isi dari norma-norma tersebut, bukan alasan validitasnya. Norma-norma tersebut tidak lagi valid karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh konstitusi yang lama, tetapi karena validitasnya diberikan baik secara jelas ataupun diamdiam oleh konstitusi baru. Penerapan teori ini akan dipergunakan dalam melakukan pembahasan terhadap permasalahan pertama dan kedua, sehingga diperoleh kepastian kapan suatu akta Notaris itu dinyatakan batal dan bagaimana dengan kewajiban Notaris berkaitan dengan penerapan Pasal 54 ayat (1) UUJN Tahun 2014.
1.6.5. Konsep Kenotariatan Pengertian Notaris adalah Menurut pengertian Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dalam Pasal 1 disebutkan pengertian Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya
sepanjang
pembuatan
akta
itu
oleh
suatu
peraturan
40
umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.43 Menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. M.01HT.03.01 Tahun 2006, tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemindahan, dan Pemberhentian Notaris, dalam Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Notaris adalah pejabat umum maksudnya adalah seseorang yang diangkat, diberi wewenang dan kewajiban oleh Negara untuk melayani publik dalam hal tertentu.
Notaris merupakan pejabat publik yang menjalankan profesi dalam
pelayanan hukum kepada masyarakat, guna memberi perlindungan dan jaminan hukum demi tercapainya kepastian hukum dalam masyarakat. Bahwa untuk membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “pejabat umum”. Jadi dalam pengertian-pengertian Notaris diatas ada hal penting yang tersirat, yaitu ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa Notaris adalah pejabat umum dimana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta-akta otentik, jadi Notaris merupakan pejabat umum sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1868 KUHPerdata. Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah : 43
G.H.S. Lumban Tobing, 2014, Peraturan Jabatan Notaris, Liberty, Jogjakarta, hal. 3.
41
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Warga negara Indonesia; Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Berumur paling sedikit 27 tahun; Sehat jasmani dan rohani; Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan 7. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.
Dalam pengertian Notaris, tersirat bahwa Notaris berwenang untuk membuat akta otentik, hanya apabila hal itu dikehendaki atau diminta oleh yang berkepentingan, hal mana berarti bahwa Notaris tidak berwenang membuat akta otentik
secara
dinyatakan
dengan
jabatan
(ambtshalve).
perkataan-perkataan
“mengenai
Wewenang semua
Notaris perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan”. Wewenang Notaris meliputi 4 hal, yaitu : 1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu; 2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat; 3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta dibuat. 4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
42
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Menurut Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Notaris berwenang pula: 1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; 4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; 5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau 7. Membuat akta risalah lelang. Mengenai kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menyebutkan bahwa Notaris berkewajiban untuk: 1. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; 2. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; 3. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta atau kutipan akta berdasarkan Minuta akta; 4. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; 5. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-Undang menentukan lain; 6. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku,
43
dan mencatat jumlah Minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; 7. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; 8. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; 9. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; 10. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; 11. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; 12. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; 13. Menerima magang calon Notaris. Untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi dalam memahami apa yang tercantum dalam tesis ini, maka akan dikemukakan beberapa konsep yang berkaitan dengan pembahasan, yaitu : 1. Notaris adalah pejabat yang berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2. Minuta Akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris.
44
3. Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh Akta dan pada bagian bawah salinan Akta tercantum frasa "diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya". 4. Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari Akta dan pada bagian bawah kutipan Akta tercantum frasa "diberikan sebagai KUTIPAN". 5. Akta otentik, ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.
1.6.6. Konsep Kewenangan Dalam beberapa sumber menerangkan, bahwa istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan dengan bevoegheid dalam istilah Belanda, menurut Philipus M. Hadjon salah seorang guru besar Fakultas Hukum Unair mengatakan, bahwa “wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya mempunyai 3 komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan komformitas hukum”.44 Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum dimaksudkan, bahwa weenang itu haruslah mempunyai dasar hukum; sedangkan komponen komformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai standar.
44
Emil J. Sady, 1962, Improvement Local Government for Development Purpose, in Journal of Local Administration Overseas, hal.135.
45
Kewenangan secara teoritik dapat diperoleh melalui 3 cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.45 Atributie (atribusi) adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan; Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lain; sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Atmaja menjelaskan, bahwa “wewenang inilah sesungguhnya yang merupakan legal power yang didalamnya melekat 3 (tiga) unsur, yaitu pengaruh yang memiliki kategori yang eksklusif (keluar) wajib dipatuhi oleh orang lain dan atau pejabat serta jabatan atau lembaga lainnya, unsur dasar hukum dan unsur komformitas.46 Sementara itu menurut Hadjon, bahwa “cara memperoleh wewenang, yaitu melalui: atribusi dan delegasi kadang-kadang juga mandat ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang”.47 Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari undangundang yang berlaku. Dengan kata lain, organ pemerintahan tidak dapat menganggap, bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Sebenarnya kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang; pembuat undang-undang dapat memberi wewenang pemerintahan, tetapi dapat juga kepada pegawai tertentu atau
45
Philipus M.Hadjon, 1991, Peradilan Tata Usaha Negara, Tantangan Awal di Awal Penerapan UU No.5 Tahun 1986, Majalah FH Unair, No.2-3 Tahun VI, Surabaya, hal.2. 46 Ridwan, H.R., 2002, Hukum Administrasi Negara, UII-Press, Yogyakarta, hal.74. 47 Atmaja, 2003, Hukum Antar Wewenang (Konsep dan Cara Penyelesaian), Makalah Lepas (bahan Kuliah S2) FH-UNUD, Denpasar, hal.5.
46
kepada badan khusus tertentu. Dalam konstitusi Indonesia UUD 1945 (setelah amandemen yang keempat kalinya), ditemukan beberapa pasal yang melahirkan kewenangan, baik diberikan kepada eksekutif, yudisial maupun legislatif dalam pasal-pasal tersebut.
1.7. Metode Penelitian. Menurut Kartini Kartono, metode penelitian adalah cara–cara berpikir dan berbuat, yang dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan penelitian dan guna mencapai tujuan.48 . Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami, bahwa penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna mendapatkan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala yang ada. 1.7.1. Jenis Penelitian Sebagaimana diketahui, ilmu hukum mengenal dua jenis penelitian yakni Penelitian Hukum Normatif (penelitian doktrinal) Penelitian normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam penelitian ini ditemui adanya kekaburan norma dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris,
1.7.2. Jenis Pendekatan Sesuai dengan tujuan penelitian tentang pengaturan kewajiban notaris untuk menerbitkan salinan akta atas akta yang batal, dengan melakukan pendekatan konseptual 48
(conceptual appproach) dan pendekatan perUndang-
Kartini Kartono, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum. Dalam Hilman Adikusuma, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal. 58.
47
Undangan (statute approach) yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, KUH Perdata dan Undang-undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
1.7.3.
Sumber Bahan Hukum Adapun sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian
kepustakaan (library research) Penelitian ini kepustakaan dilakukan terhadap beberapa macam sumber/bahan yang dapat digolongkan atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. 1. Bahan Hukum Primer Sebagai bahan hukum primer adalah bahan/sumber primer yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan (ide) antara lain undang-undang, peraturan menteri, dan ketentuan-ketentuan lain yang meliputi : 1. Undang-undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata 3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahanatas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
Lembaran
Negara Republik IndonesiaTahun 2016 Nomor 180, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 549.
48
2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi bahan primer di antaranya makalah, buku-buku yang ditulis para ahli, karangan berbagai panitia pembentukan hukum (law reform organization), dan lain-lain.
3. Bahan Hukum Tersier. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya: bibliografi dan indeks kumulatif.49
1.7.4.Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan
bahan
hukum
diatas
dilakukan
dengan
cara
menginventarisir, mempelajari dan mendalami bahan-bahan hukum primer dan sekunder yang terkait dengan penelitian yaitu dengan membuat catatan dalam kartu kecil dan dilakukan klasifikasi terhadap bahan-bahan tersebut. Sistematisasi perlu dilakukan melalui secara horisontal dengan menaliti penomorannya atau perumusan perundang-undangannya dalam ini adalah Undang-undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 ; Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2016 Nomor 180, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 549. Hal ini dilakukan untuk mempermudah melakukan analisis 49
Suratman dan Philips Dillah, H., 2012, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung,
hal. 67.
49
terhadap perumusan yang menjadi obyek penelitian. Sedangkan penggunaan metode bola salju dilakukan dengan menelusuri bahan acuan yang digunakan pada bahan atau sumber sekunder dan dilakukan pengkajian secara mendalam dan laporan penelitian tertulis yang disusunnya.50 1.7.5. Analisis Bahan Hukum. Analisa dapat dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara sistematis dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu. Penguraian secara sistematis terhadap gejala-gejala atau data-data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya dianalisa secara kuantitatif. Kemudian mengidentifikasi dari data yang terkumpul dari bahan primer dan sekunder serta dilakukan dengan teknik argumentasi dan teknik sistemalisasi : Teknik argumentasi yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran pendalaman hukum. Dengan teknik sistematik ini yakni dengan mencari keterkaitan suatu norma hukum diantara peraturan perundang-undangan yang diteliti. Namun dari hasil analisa tersebut diharapkan dapat diperoleh hasil atau kesimpulan atas permasalahan yang diangkat khususnya yang berkaitan kewajiban Notaris untuk memberikan salinan akta atas akta yang batal
50
Soejono Soekanto dan Srimamuji, 1998, Penelitian Hukum Normatif ( Suatu Tinjauan Singkat) PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 30.