PERBEDAAN PENGARUH TERAPI OXIGEN ALIRAN RENDAH MENGGUNAKAN HUMIDIFIER DENGAN AIR DAN TANPA AIR TERHADAP TERJADINYAPNEUMONIA ACQUIRED NOSOKOMIAL (HAP) Romadhani Tri Purnomo* INTI SARI Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Terjadinya infeksi nosokomial akan menimbulkan banyak kerugian. Penggunaan humidifier penting pada terapi oksigen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air dan tanpa air terhadap terjadinya HAP. Metode penelitian: penelitian ini menggunakan desain kuantitatif dengan metode quasi eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang mendapatkan terapi oksigen aliran rendah dengan menggunakan nasal canule yang dirawat di diruang ICU Rumah Sakit
Dr. Soeradji Tirtonegoro
Klaten.Jumlah sampel penelitian sebanyak 30 responden yang diambil dengan tehnik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang diberi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air sebanyak
terapi 14
responden (46,7%) dan yang menggunakan humidifier tanpa air sebanyak 16 responden (53,3%). Terapi oksigen aliran rendah yang menggunakan humidifier tanpa air 100% responden tidak mengalami HAP. Terapi oksigen aliran rendah yang menggunakan humidifier dengan air sebanyak 12,5% mengalami HAP. Kesimpulan penelitian ini adalah tidak ada pengaruh terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air dan tanpa air terhadap terjadinya HAP pada pasien yang dirawat di ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
Kata kunci: kejadian HAP, terapi oksigen. *
Dosen Keperawatan STIKES Muhammadiyah Klaten
PENDAHULUAN Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh. Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam tubuh dan berpindah ke tempat baru yang disebut dengan self infection atau auto infection, sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya (Suwarni, 2006). Terjadinya infeksi nosokomial akan menimbulkan banyak kerugian, antara lain: lama hari perawatan makin panjang, penderitaan bertambah, biaya meningkat. Permenkes No. 986/Menkes/per/XI/1992 dan SK Dirjen PPM & PLP rumah sakit tidak menjadi sumber bagi berbagai macam kuman penyakit.Kenyataan infeksi nosokomial masih menjadi masalah pokok di rumah sakit (Suwarni, 2002). Infeksi nosokomial merupakan masalah klinis yang sangat penting pada saat sekarang ini, terbukti dari banyaknya laporan tentang kejadian infeksi nosokomial dirumah sakit, baik diluar maupun di dalam negeri, dengan konsekuensinya meningkatnya angka kesakitan dan kematian.Dinegara maju seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa, infeksi nosokomial ini telah lama dikenal, tetapi baru mendapat perhatian serius pada 20 tahun terakhir ini. Dirumah sakit dengan fasilitas adanya suatu tim yang secara aktif mengontrol
penyakit infeksi, kejadian infeksi nosokomial masih akan dijumpai 5-10% (Lubis, 2003). Angka kejadian infeksi nosokomial paling tinggi terjadi di ruang Intensif Care Unit (ICU) yaitu sekitar 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ruang lain, hal ini disebabkan karena paling banyak bakteri penyebabnya mungkin masuk melalui pembuluh darah (Weinstein,1998) . Di Amerika Serikat kejadian infeksi nososkomial pada saluran pernafasan menempati urutan yang ketiga yaitu sekitar 20%, setelah infeksi nosokomial pada saluran kemih yaitu 40% dan infeksi nosokomial pada luka operasi yaitu 25% (Syndman, 2004). Infeksi nosokomial pada saluran nafas diantaranya adalah Hospital Acquired Pneumonia (HAP) dan Ventilator Associated Pneumonia (VAP). Pneumonia nosokomial atau HAP adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit menduduki peringkat ke-2 sebagai infeksi nosokomial di Amerika Serikat, hal ini berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi 5-10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 6-20x pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada pneumonia nosokomial 20-50%.Angka kematian ini meningkat pada pneumonia yang disebabkan P.aeruginosa atau yang mengalami bakteremia sekunder.Angka kematian pasien pada pneumonia yang dirawat di ICU meningkat 3-10x dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2-3x dibandingkan pasien tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa lama perawatan bertambah rata-rata 7-9 hari (PDPI, 2008). Beberapa penyebab pneumonia nosokomial antara lain aspirasi asam lambung, penggunaan penghambat histamine tipe II, penggunaan alat-alat nebulizer, alat pelembab (humidifier), pipa nasogastrik, pipa endotrakeal termasuk penghisapan lendir, dan pemberian makanan melalui enteral yang
semuanya merupakan factor resiko terjadinya infeksi nosokomial pada paruparu (Tabrani, 1996). Penggunaan humidifier penting pada terapi oksigen, tetapi beberapa buku menyebutkan bahwa terapi oksigen yang menggunakan nasal kanul dengan kecepatan aliran oksigen kurang dari 4 liter per menit tidak perlu memakai humidifier (Perry & Potter, 2006). Hilton (2004) menyebutkan bahwa pemberian non humidifier tidak boleh labih dari 4 jam. Kenji (2004) melakukan demonstrasi matematika, menyimpulkan bahwa pemakaian oksigen 4-5 liter per menir tidak membutuhkan humidifier karena aliran oksigen 4-5 liter per menit dengan menggunakan alat nasal kanul atau simple masker, masih
dipengaruhi
udara
ruangan.Kelembaban
udara
ruangan
masih
mencukupi untuk membantu kelembaban terapi oksigen yang diberikan. Campbell, et al (1988) melakukan penelitian bahwa pemakaian humidifier dengan diisi air atau tidak diisi air dengan aliran oksigen kurang dari 5 liter per menit selama perawatan, setiap harinya masih ditemukan keluhan kekeringan pada mukosa hidung.Non humidifier masih dapat menjadi pilihan terapi karena dapat mengurangi biaya dan mempermudah perawat pada waktu perawatan tabung. Pencegahan pertumbuhan bakteri pada tabung humidifier sangat penting dilakukan.Scaffer, et al (1996) menyebutkan bahwa terdapatnya bakteri pada humidifier akibat masuknya bakteri yang ada diudara atau diri pasien.Aerosol bakteri yang terdapat dalam air humidifier atau bakteri yang ada di selang oksigen dapat menjadikan infeksi nosokomial, aliran oksigen yang rendah dapat menjadi penyebab pertumbuhan bakteri. Berdasarkan pengalaman peneliti pada saat pelatihan pencegahan dan penanggulangan penyakit infeksi , masih ada perbedaan pendapat para peneliti yang terdahulu yang menyatakan bahwa humidifier dengan air sebagai kolonisasi pertumbuhan bacteri ,peneliti yang lain menyatakan humidifier dengan air tidak menemukan adanya kolonisasi bacteri. Sedangkan pemberian terapi oksigen di ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten menggunakan humidifier pakai air steril sebagai pelembeb.
Berdasarkan data rekam medis diruang ICU RSUP. Dr.Suradji Tirtonegoro Klaten tercatat bahwa infeksi nosokomial paru berada pada peringkat ketiga penyebab infeksi nosokomial setelah infeksi luka operasi dan infeksi saluran kencing. Penulis juga melakukan pencatatan infeksi nosokomial di ICU RSUP Dr. Suradji Tirtonegoro Klaten, diperoleh angka kejadian HAP sebanyak 17 kasus, jumlah ini merupakan angka yang tercatat pada rekam medis namun diperkirakan masih banyak kejadian infeksi nosokomial paru yang terjadi namun tidak terdeteksi.
METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang mendapatkan terapi oksigen aliran rendah dengan menggunakan nasal canule yang dirawat di diruang ICU Rumah Sakit Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling non probability sampling dengan metode purposive sampling. Sampel yang diambil adalah yang memenuhi kriteria inklusi yaitu : (a) Pasien dengan kesadaran compos mentis dan tidak dalam keadaan gawat darurat; (b) Oksigen yang diberikan 1-6 liter per menit dengan menggunakan nasal kanul; (c) Tidak menderita penyakit pneumonia, dengan diidentifikasi dari diagnosa medis
pasien. Sampel penelitian yang termasuk
dalam kriteria ekslusi yaitu : (a) Pasien terpasang alat invasif pada saluran atas seperti: Naso Gastik Tube (NGT), Endo Trachea (ET), Tracheostomi Tube (TT), Mayo; (b) Pasien mendapat terapi inhalasi. Penelitian ini dilakukuan di Ruang ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari –Maret 2011. Instrumen yang digunakan berupa lembar data.Lembar pertama merupakan lembar data awal pasien berisi data demografi pasien, status hemodinamik pasien yang diisi saat pertama kali masuk ICU, hal tersebut diketahui dengan cara melihat rekam medis pasien. Lembar kedua merupakan lembar skrining yang berisi data tentang riwayat penyakit pasien sebagai data pendukung untuk menentukan kriteria inklusi dan eksklusi. Lembar ketiga
merupakan lembar untuk tindakan terapi oksigen dengan air dan tanpa air yang akan diisi oleh perawat. Lembar keempat berisi hasil laborat, hasil foto thorak setelah diberikan perlakuan. Analisis data untuk menilai perbedaan pengaruh terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air dan tanpa air terhadap terjadinya HAP menggunakan chi square.Untuk membandingkan rasio dari kelompok dimana sampel saling berhubungan
digunakan paired sampel t test, Hipotesis
diterima bila nilai p< 0,050 (Sugiono,2006)
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Karakteristik Subjek Penelitian a. Usia Responden Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kelompok Usia Usia responden
Frekuensi
Prosentase (%)
<40 tahun
3
10
40-50 tahun
4
13,3
51-60 tahun
9
30
61-70 tahun
11
36,7
>71 tahun
3
10
Total
30
100
Frekuensi umur responden terbanyak pada usia 61-70 tahun yaitu sebanyak 11 responden (36,7%) dan paling sedikit pada usia <40 tahun dan >71 tahun yaitu masing-masing sebanyak 3 responden (10%). b. Tanda-tanda vital 1) Tekanan darah Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Tekanan Darah Tekanan darah responden <120-130/80 mmHg
Frekuensi
Prosentase (%)
20
66,7
131-150/80-90 mmHg
1
3,3
151-160/90-100 mmHg
1
3,3
>170/100 mmHg
8
26,7
Total
30
100
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa tekanan darah responden terbanyak adalah <120-130/80 mmHg yaitu sebanyak 20 responden (66,7%) dan terkecil adalah 131-150/80-90 mmHg dan 151-160/90-100 mmHg yaitu masing-masing sebanyak 1 responden (3,3%). 2) Frekuensi denyut nadi Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Denyut Nadi Denyut Nadi
Frekuensi
Prosentase (%)
<80x/menit
2
6,7
80-100x/menit
14
46,7
100-120x/menit
14
46,7
Total
30
100
Dari tabel di atas diketahui bahwa denyut nadi responden <80 x/menit sebanyak 2 responden (6,7%), 80-100x/menit sebanyak 14 responden (46,7%), dan 100-120x/menit sebanyak 14 responden (46,7%). 3) Frekuensi respirasi Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Respirasi Rate Respirasi
Frekuensi
Prosentase (%)
<18x/menit
1
3,3
18-24x/menit
16
53,3
24-35x/menit
13
43,3
Total
30
100
Dari tabel di atas diketahui bahwa frekuensi respirasi responden terbanyak adalah 18-24 x/menit yaitu sebanyak 16
responden (53,3%) dan terkecil adalah <18x/menit yaitu sebanyak 1 responden (3,3%). 4) Diagnosa Medis Tabel 5.Distribusi Frekuensi Responden Menurut Diagnosa Medis Diagnosa Medis
Frekuensi
Prosentase (%)
Tetanus
1
2,8
Post laminektomi
1
2,8
Decompensatio cordis
5
14,3
CHF dan Atrial Fibrilasi
7
20
Ventrikel ekstra sistole
4
11,4
Ca mammae
1
2,8
Supra ventrikel takikardi
2
5,6
7
20
2
5,6
30
100
STEMI(ST Elevasi Myocard infark ) Post Sectio Cesarea dan Atonia Uteri Total
Frekuensi diagnosa medis responden terbanyak adalah CHF dan Atrial fibrilasi, dan STEMI yaitu masing-masing sebanyak 7 responden (20%). Sedangkan frekuensi terkecil adalah tetanus, post laminektomi, dan Ca mammae yaitu masing-masing sebanyak 1 responden (2,8%).
2. Hasil Pengujian Berdasarkan penelitian yang dilakukan di ruang ICU RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten didapatkan sebanyak 30 responden yang terbagi menjadi 2 kelompok perlakuan.Kemudian diperoleh data HAP dan tidak HAP pada kelompok yang dilakukan terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air dan tanpa air sebagai berikut.
a. Kejadian HAP pada responden yang diberikan terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air dan tanpa air. Tabel 6 Kejadian HAP Terapi Oksigen Aliran Rendah Menggunakan humidifier dengan air dan tanpa air Kejadian HAP Jenis perlakuan
Total HAP
%
Tidak HAP
%
Dengan air
2
6,67
12
40
14
Tanpa air
0
0
16
53,33
16
Total
2
28
30
Frekuensi responden yang diberi terapi oksigen aliran rendah yang menggunakan humidifier dengana air mengalami HAP sebanyak 2 responden
(6,67%).
Sedangkan
responden
yang
menggunakan
humidifier tanpa air tidak mengalami HAP sebanyak 16 responden (53,33%).
3. Uji perbedaan a. Terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air Hasil uji statistik suhu tubuh dan angka leukosit terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air
dengan Paired T-Test
dapat dilihat pada tabel berikut dibawah ini. Tabel 7. Crosstabulation antara suhu tubuh sebelum dan sesudah perlakuan Suhu tubuh Sebelum
Setelah
36,5
38,6
37
36,7
37
38
37
37,2
36,6
36,8
X1
X2
Std. deviasi
36,47
36,75
0,35176
t
P
2,887
0,013
36,4
36,8
37
37
36
36,2
36,6
36,5
35,6
36,3
36
36,2
36,8
37
36,2
37
Dari hasil uji statistik paired samples test antara suhu tubuh sebelum dan sesudah perlakuan yang menggunakan humidifier dengan air diketahui bahwa nilai sig .psebesar 0,013 atau kurang dari 0,05 (p < 0,05), maka Ha diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara suhu tubuh
sebelum dan sesudah mendapat terapi
oksigen menggunakan humidifier dengan air. Tabel 8.Crosstabulation antara angka leukosit sebelum dan sesudah perlakuan Angka Leukosit Sebelum
Setelah
6,5
11,1
3,32
3,75
17,7
23,48
7,3
5,88
8,7
10,5
22,6
20,1
16,8
7,03
14,75
10,6
18,64
10,8
10,84
9,5
95
12,5
12,7
13,98
7,1
7,3
X1
X2
Std. deviasi
17,97
11,14
22,18
t
P
1,152
0,270
Dari hasil uji statistik angka leukosit yang menggunakan humidifier dengan air diketahui bahwa nilai sig. sebesar 0,270 atau lebih dari 0,05 (p > 0,05), maka Ho diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara angka leukosit sebelum dan sesudah mendapat terapi oksigen menggunakan humidifier dengan air. b. Terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier tanpa air Hasil uji statistik suhu tubuh dan angka leukosit terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier tanpa air dengan Paired T-Test dapat dilihat pada tabel berikut dibawah ini: Tabel 9. Crosstabulation antara suhu tubuh sebelum dan sesudah perlakuan Suhu tubuh Sebelum
Setelah
36,6
36,5
37
37,2
36,5
36,6
36,6
37,2
37,7
36,5
36
36,2
36
36,2
37,2
37
36
36,2
36,6
36,5
36
36,5
36
36,6
36
36,5
X1
X2
Std. deviasi
36,48
36,58
0,43
t
P
0,929
0,368
Dari hasil uji statistik suhu tubuh yang menggunakan humidifier tanpa air diketahui bahwa nilai sig. sebesar 0,368 atau lebih dari 0,05 (p > 0,05), maka Ho diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara suhu tubuh sebelum dan sesudah mendapat terapi oksigen menggunakan humidifier tanpa air.
Tabel 10.Crosstabulation antara angka leukosit sebelum dan sesudah perlakuan Angka Leukosit Sebelum
Setelah
7,3
7,1
6,8
7
12
11,9
21,7
39
12
12,2
6,2
7
5
5,2
11
11,2
12,8
12,2
15,2
16
9,8
9,4
8,52
9,4
11,1
11,4
X1
X2
Std. deviasi
11,79
12,03
5,355
t
P
0,181
0,859
Dari hasil uji statistik angka leukosit yang menggunakan humidifier tanpa air diketahui bahwa nilai sig. psebesar 0,859 atau lebih dari 0,05 (p > 0,05), maka Ho diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara angka leukosit sebelum dan sesudah mendapat terapi oksigen menggunakan humidifier tanpa air. 4. Crosstabulation antara jenis perlakuan dengan kejadian HAP Tabel 11. Crosstabulation antara Terapi Oksigen Aliran Rendah Menggunakan Humidifier Dengan Air dan Tanpa Air Terhadap Terjadinya HAP Jenis perlakuan
Kejadian HAP HAP
Tidak HAP
Dengan air
2
12
Tanpa air
0
16
Total
2
28
Total
p 0,525
30
χ2 0,404
Setelah diketahui hasil dari tabel cross tabulation terapi oksigen dengan HAP, kemudian data dianalisis dengan uji Chi Square. Berdasarkan hasil perhitungan Chi square diperoleh nilai χ2 hitung=0,404 sedangkan harga χ2 tabel= 3,841 pada derajat kebebasan (df) 1, pada taraf signifikansi 0,05 dengan nilai Asymp. Sig. yaitu p = 0,525 (p>0,05) . Hal ini berarti bahwa χ2 hitung< χ2 tabel maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air dan tanpa air terhadap terjadinya HAP pada pasien yang dirawat di ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, jadi hipotesis alternatif ditolak dan hipotesis nol diterima. B. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang telah disajikan pada bagian sebelumnya, selanjutnya peneliti membahas mengenai variabel-variabel yang diteliti. Dari 30 responden telah dikelompokkan menjadi 2 kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dalam hal ini kelompok perlakuan adalah yang diberi terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier tanpa air sebanyak 16responden dan dengan air sebanyak 14 responden. Berdasarkan hasil penelitian mengenai usia responden didapatkan bahwa usia terbanyak berada pada usia 61-70 tahun sebanyak 11 responden (36,7%) dan terkecil pada usia pada usia <40 tahun dan >71 tahun yaitu masing-masing sebanyak 3 responden (10%). Dalam hal ini usia dapat mempengaruhi terjadinya HAP khususnya usia lanjut yaitu usia >61 tahun. Usia lanjut dapat terjadi HAP dikarenakan daya tahan tubuhnya menurun, sedangkan daya tahan tubuh merupakan faktor risiko terjadinya penumonia (PDPI, 2003). Faktor risiko terjadinya pneumonia adalah berhubungan dengan daya tahan tubuh seperti pada penyakit kronik misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes dan perawatan di rumah sakit yang lama. Sedangkan faktor eksogen adalah pembedahan, besar risiko kejadian HAP tergantung pada jenis pembedahan (PDPI, 2003). Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa penyakit jantung berada pada tingkat terbanyak yaitu CHF, Atrial fibrilasi,
dan
STEMI
masing-masing
sebanyak
7
responden
(20%).penyakit
selanjutnya adalah tetanus, post laminektomi dan Ca mamae masing-masing 1 responden (2,8%). Hasil penelitian mengenai perbedaan pengaruh terapi oksigen aliran rendah
menggunakan humidifiertanpa air responden tidak ada yang
mengalami HAP. Sedangkan yang menggunakan humidifierdengan air responden mengalami HAP sebanyak 2 responden (14,3%) dan yang tidak mengalami HAP sebanyak 12 responden (85.7%). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan antara terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air dan tanpa air terhadap kejadian HAP.Berdasarkan dari hasil uji statistik didapatkan nilai p> 0,05sedangkan nilai χ2 tabel= 3,841 pada derajat kebebasan (df) 1. Hal ini berarti bahwa tidak ada pengaruh terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air dan tanpa air terhadap terjadinya HAP pada pasien yang dirawat di ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Hasil penelitian menggunakan humidifier tanpa air tidak ditemukan adanya HAP.Hasil ini sesuai dari penelitian yang dilakukan oleh Abu bakar (2009) untuk melihat perbedaan pertumbuhan bakteri pada humidifier dengan air dan tanpa air didapatkan hasil bahwa pada humidifier tanpa air lebih terjaga kesterilannya sehingga tidak ditemukan HAP.Sedangkan humidifier dengan air ditemukan 25% ditumbuhi bakteri.Gould and Brooker (2000) menyebutkan bahwa bakteri gram positif tahan terhadap kondisi kering, sehingga responden yang menggunakan humidifier tanpa air tidak mengalami HAP. Responden yang mengalami HAP adalah yang diberikan terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air yaitu sebanyak 2 responden.Dari hasil penelitian didapatkan bahwa responden tersebut berusia lanjut dan menderita penyakit jantung. Kedua hal tersebut dapat mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga mudah terjadi HAP. Selain itu juga dipengaruhi oleh tabung dan air yang digunakan sebagai humidifier.Keadaan ini dimungkinkan karena tabung humidifier sering
dipergunakan pasien dan selalu menggunakan air tanpa diganti terlebih dahulu, sehingga diperkirakan masih terdapat spora. Selain usia lanjut dan penyakit jantung, dari hasil foto radiologi didapatkan cardiomegali dan edema pulmo. Edema pulmo akan menyebabkan cidera alveoli, sehingga terjadi kolonisasi bakteri pada bagian yang cidera dan terjadi infeksi HAP. Sedangkan 12 responden yang diberikan terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air tidak mengalami HAP.Dalam air yang digunakan adalah aquabidest yang steril dan tehnik penggantian air menggunakan tehnik aseptiks sehingga dapat memutus rantai infeksi sehingga tidak terjadi infeksi nosokomial. Sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Nafisah (2007) bahwa pencegahan infeksi nosokomial dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal antara lain tabung yang digunakan dalam keadaan bersih,air dalam humidifier harus steril dan diganti setiap 24 jam, dan bila cairan hendak ditambahkan sisa cairan harus dibuang terlebih dahulu. Jrank (2009) menyebutkan bahwa bakteri 80-90% terdiri dari air dan membutuhkan air untuk tumbuh dan mendapatkan nutrisi. Pernyataan ini didukung oleh Gibson (1990) yang menyatakan bahwa bakteri membutuhkan air untuk pertumbuhan dan bila kondisi tidak baik akan menjadi spora. Scaffer, et al (1996) menyebutkan bahwa terdapatnya bakteri pada humidifier akibat masuknya bakteri yang ada diudara atau diri pasien.Aerosol bakteri yang terdapat dalam air humidifier atau bakteri yang ada diselang oksigen dapat menjadikan infeksi nosokomial. Pertumbuhan bakteri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah : air dimana bakteri akan mati atau mati suri jika terlalu kering, zat-zat organik yang dibutuhkan bakteri sebagai sumber energi untuk aktivitas metaboliknya, garam-garam anorganik (fosfat, sulfat, magnesium, kalsium, besi, seng, tembaga, kobal, molybdenum) penting untuk sistem enzim didalam bakteri dan mengontrol osmosis (Gibson, 2004). Pencegahan pertumbuhan bakteri pada tabung humidifier sangat penting dilakukan meski penelitian sebelumnya tidak menyebutkan kejadian infeksi nosokomial dengan adanya bakteri pada humidifier.
Bukti klinis HAP adalah bila ditemukan minimal satu dari tanda dan gejala berikut : demam (>38 derajat celcius ), leucopenia (< 4.000 WBC/mm3) atau leukositosis ( >12.000 SDP/mm3), hasil foto thorak didapatkan gambaran pneumonia ( Wahab 1994). Dari hasil penelitian pada penggunaan humidifier dengan air didapatkan adanya perbedaan suhu tubuh sebelum dan sesudah perlakuan dengan nilai t = 2,887 dan nilai p = 0,013. Sedangkan hasil uji beda terhadap angka leukosit didapatkan nilai t 1,152 dan nilai p 0,270 jadi dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara angka leukosit sebelum dan sesudah perlakuan. Penelitian pada terapi oksigen menggunakan humidifier tanpa air didapatkan adanya perbedaan suhu tubuh dan angka leukosit sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil uji beda pada suhu tubuh didapatkan nilai t = 0,929 dan nilai p = 0,368, sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara suhu tubuh sebelum dan sesudah perlakuan. Sedangkan uji beda pada angka leukosit didapatkan nilai t 0,581 dan nilai p 0,859, sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan antara angka leukosit sebelum dan sesudah perlakuan. Pada pengukuran suhu tubuh responden didapatkan ada yang mengalami penurunan dan peningkatan, dan ada yang menetap. Demam terjadi oleh karena perubahan pengaturan homeostatik suhu normal pada hipotalamus yang dapat disebabkan antara lain oleh infeksi, vaksin, agen biologis (faktor perangsang koloni granulosit-makrofag, interferon dan interleukin), jejas jaringan (infark, emboli pulmonal, trauma, suntikan intramuskular, luka bakar). Jalur akhir penyebab demam yang paling sering adalah adanya pirogen, yang kemudian secara langsung mengubah “set-point” di hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan konversi panas. Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu pirogen eksogen dan pirogen endogen.Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh yaitu pirogen mikrobial dan pirogen non-mikrobial. Pirogen mikrobial diantaranya seperti bakteri gram positif, bakteri gram negatif, virus maupun jamur; sedangkan pirogen non-mikrobial antara lain proses fagositosis,
kompleks antigen-antibodi, steroid dan sistem monosit-makrofag; yang keseluruhannya
tersebut
mempunyai
kemampuan
untuk
merangsang
pelepasan pirogen endogen yang disebut dengan sitokin yang diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), limfosit yang teraktivasi,
interferon
(INF),
interleukin-2
(IL-2)
dan
Granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Sebagian besar sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi prostaglandin, yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh (Walter R.W., 2005). Selain adanya peningkatan suhu tubuh infeksi juga ditandai adanya leukositosis.Peningkatan
neutrofil
merupakan
penyebab
awal
leukositosisyang menyertai suatu infeksi atau peradangan. Pada infeksi, jumlah sel imatur (sel meiloid) dalam darah meningkat karena neutrofil yang matang dan granulosit yang lain habis terpakai. Apabila infeksi mereda sel-sel matang dibebaskan dari sumsum tulang dan kembali mendominasi dalam sirkulasi(Ganong F.W., 2003). Selain dari hasil pengukuran tanda vital khususnya suhu tubuh dan angka leukosit, HAP didukung dengan hasil foto thorax.Hasil foto thorax menunjukkan adanya infiltrat baru atau progresif yang menetap, konsolidasi, kapitasi.Dan dari hasil penelitian didapatkan 2 reponden yang mempunyai hasil foto thorax yang menunjukkan adanya HAP pada responden yang menggunakan humidifier dengan air.Pneuomonia merupakan peradangan paru, distal dari brokiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru, gangguan pertukaran gas`setempat sehingga pada pemeriksaan radiologi didapatkan hasil tersebut. (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit.Pneumoni nosokomial dapat muncul terutama pada pasien yang menggunakan ventilator, tindakan trakeostomy, intubasi, pemasangan NGT dan terapi inhalasi. Beberapa penyebab pneumonia nosokomial antara lain
aspirasi lambung, penggunaan penghambat histamine tipe II, penggunaan alat-alat nebulizer, alat pelembab (humidifier), pipa nasogastrik, pipa endotrakeal termasuk penghisapan lendir, dan pemberian makanan melalui enteral yang semuanya merupakan faktor resiko terjadinya infeksi nosokomial pada paru-paru (Tabrani, 1996). Humidifier adalah salah satu penyebab dari HAP.Pada pernafasan normal pelembaban udara dilakukan oleh mukosa dan pembuluh darah di mulut dan hidung. Gas yang diberikan dalam terapi tidaklah mengandung uap air, oleh karena itu harus diberikan pelembab. Rongga hidung berperan sebagai pemanas dan pelembab udara, dan sekaligus juga sebagai filter (saringan). Apabila pelembaban udara disaluran pernafasan bagian atas tidak sempurna, maka dapat mengakibatkan terjadinya iritasi pada saluran pernafasan bagian bawah (Tabrani, 1996). SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Terapi oksigen aliran rendah yang menggunakan humidifier tanpa air 100% responden tidak mengalami HAP. 2. Terapi oksigen aliran rendah yang menggunakan humidifier dengan air sebanyak 12,5% mengalami HAP. 3. Tidak ada pengaruh terapi oksigen aliran rendah menggunakan humidifier dengan air dan tanpa air terhadap terjadinya HAP pada pasien yang dirawat di ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. B. Saran 1.
Bagi perawat Perlu memperhatikan dalam pelaksanaan memberikan terapi oksigen menggunakan humidifier tanpa air dan dengan air agar dapat mengetahui kejadian HAP.
2.
Bagi Institusi Rumah Sakit Perlu ditetapkan pembuatan standar operasional terapi oksigen aliran rendah disarankan untuk menggunakan humidifierdengan air .
3.
Bagi peneliti lebih lanjut
Dalam penelitian ini hanya mengetahui pengaruh terapi oksigen menggunakan humidifier dengan air dan tanpa air terhadap terjadinya HAP, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang hal tersebut dengan memperhatikan karakteristik responden diantaranya: usia, pasien terpasang alat invasife, dibedakan pasien infeksi non infeksi,lama perawatan antara 48-72 jam.
DAFTAR REFERENSI Suddart .2002. KeperawatanMedikal Bedah. Jakarta EGC
Brunner
and
Budiarto,
E .2003. Metodologi PenelitihanKedokteran.
Chastre
and
Jakarta,
Fagon. 2002. Ventilator Associated Pneomonia.
EGC Amerikan
Journal Respiratory and Critical Care Medicine 165.867-903 Corona and Raimondi. 2004 Prevention of Nosocomial Infection in ICU Setting Minerva Anastesiol volume:70 (2007) Fardo
and nightingale.
2004. Guidelines Preventing VAP. Availabe
on;
http://www.cdc.gov. Lubis. 2003. Infeksi Nosokomial pada Neonatus. Universitas Sumatera Utara Digital Librari . Avaliable on http:// search.ebcohost.om. Moch.Imron. 2010. Metodologi Penelitihan Bidang Kesehatan. CV Sagung Seto Mustofa. 2003. Pedoman pencegahan dan penanggulangan infeksi di ICU. Jakarta, Depkes RI Notoatmodjo .2005.
Metode penelitian kesehatan. PT Rineka Cipta , Jakarta
Wahab, 2001. Dasar Biologi dan klinis Penyakit Infeksi. Yogyakarta; Gajah Mada University Press Weinstein.2007.Nosocomial Infction Update. Cook Ountry Medical Collegge,Chicago
Hospital & Rush