Islam dan Kesetaraan Gender
ISLAM DAN KESETARAAN GENDER Jamaluddin Arsyad Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi
Abstrak Gender adalah suatu konsep sosiologis yang mulai ramai diperbincangkan di awal tahun 1977, ketika sekolompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti Patriarchal atau Sexist, tetapi menggantinya dengan wacana Gender (gender discourse). Sebelumnya istilah seks dan gender digunakan secara rancu. Karena persepsi yang berkembang di dalam masyarakat menganggap perbedaan gender (gender differences) sebagai akibat perbedaan seks (sex differences). Pembagian perean dan kerja secara seksual dipandang sesuatu hal yang wajar. Akan tetapi belakangan ini disadari bahwa tidak mesti perbedaan seks menyebabkan ketidak adilan gender (gender inequality). Artikel ini hendak mengungkap visi Islam tentang kesetaraan gender, yang dalam kenyataan masyarakat sering terjadi penyimpangan akibat bias gender. Kata Kunci:
Feminim, Maskulin, Emansipasi
Patriarki,
Ekspektasi,
A. Pendahuluan Secara umum gender bisa dimaknai sebagai pembedaan yang bersifat sosial-budaya yang dialamatkan akibat perbedaan jenis kelamin.1Secara biologis, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang esensial (takdir) sejak azali yang tak terbantahkan. Tetapi bahwa kemudian laki-laki digambarkan sebagai manusia perkasa, kuat, berani, rasional, dan tegar. Sementara perempuan digambarkan sebagai figur yang lemah, pemalu, penakut, emosional, rapuh, dan lembut gemulai. Artinya perbedaan sifat, sikap dan prilakuyang dianggap khas 1
Melani Budianta,’ Pendekatan Femenis terhadap wacana ‘ Dalam analisis wacana. Dari Linguistik Samapai Demokrasi (Yogyakarta: Kanal, 2002), 203. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 327
Jamaluddin Arsyad
perempuan (feminitas) atau khas laki-laki (maskulinitas), terutama merupakan hasil belajar seseorang melalui suatu proses sosialisasi yang panjang di lingkungan masyarakat, tempat ia tumbuh dan dibesarkan. Feminitas dan maskulinitas seseorang bukanlah perbedaan yang esensial (takdir). Gaya hidup, olah tubuh, dan petran keseharian laki-laki dan perempuan lebih disebabkan oleh interaksi mereka dengan lingkungan sosial dan apresiasi mereka terhadap nilai-nilai budaya yang disepakati bersama.2 Konstruksi sosial budaya inilah yang sangat menentukan perjalanan hidup laki-laki dan perempuan. Di dalam komunitas muslim yang sangat terpaku pada peradaban teks (krangka berpikir bayani) misalnya, maka resepsi terhadap perbedaan jenis kelamin tidak jarang turut memunculkan streotip dan stigma. Istilah perempuan salehah –dengan berbagai standar dan kategorinya—muncul kepermukaan dan wacana umat Islam tentulah bukan asal jadi. Ia tidak hanya bersandar pada kebiasaan msyarakat Arab pada waktu itu, tetapi juga interpretasi teks sangat mendukung terminologi tersebut. Negosiasi konseptual berupa penfsiran ulang terhadap berbagai teks normatif dalam Islam inilah yang akhirnya menimbulkan suara-suara baru dan penerapan penfsiran baru pula.3 Perbedaan gender sesungguhnya merupakan hal yang biasa atau suatu kewajaran sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Akan tetapi, realitas 2
Konsep Analitis ini mengingatkan kembali perdebatan mengenai perbedaan antara teori nature dan nurture. Penganut teori nature menganggap bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan disebabkan oleh perbedaan biologis keduanya. Sementara penganut nurture beranggapan bahwa perbedaan dan praktik pembedaan antara laki-laki dan perempuan sangat tergantung pada konstruksi sosial budaya yang terbentuk melalui sosialisasi. Tentu kedua perbedaan teoritis ini cukup penting di dalam mempengaruhi pergulatan wacana tentang seks dan gender, khususnya yang berhubungan dengan bentuk-bentuk ketidak adilan yang disebabkan oeh berbagai faktor yang mengikutinya (agama, bahasa, tradisi, sistem sosial-politik, dan sebagainya). Selanjutnya baca A Nunuk P. Murniati. Getar Gender : Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM (Magelang: Indonesiatra, 2004), xviii. 3 Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Khadijah: Sosok Perempuan Karier Sukses, Bedah Wacana Gerakan Feminisme Dalam Islam (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), 67. 328 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Islam dan Kesetaraan Gender
di masyarakat menunjukkan bahwa perbedaan jender melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan, baik bagi kaum lakilaki terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender, antara lain terwujud dalam bentuk pemberian beban kerja yang lebih panjang dam lebih berat kepada perempuan, dan ini terutama dialami kaum perempuan yang bekerja di luar rumah.4 Ketidakadilan gender dapat juga mengambil bentuk subordinasi, yakni anggapan bahwa perempuan itu tidak penting, melainkan sebagai pelengkap dari kepentingan laki-laki. Subordinasi perempuan terjadi baika dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Dimasyarakat masih kuat anggapan bahwa perempuan itu tidak rasional dan lebih bsnyak menggunakan emosinya sehingga perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin. Perempuan itu tidak perlu sekolah tinggitinggi, karena pada akhirnya kembali kedapur juga. Disamping itu, berbagai stereotipe (pelabelan negatif) diletakkan pada diri perempuan. Misalnya “ perempauan itu mahluk penggoda lakilaki” atau “ hati-hati terhadap perempuan, karena godaan nya jauh leboih dajsyat dari godaan setan”. Akibatnya, jika terjadi kasus pelecehan seksual atau perkosaan yang dialami perempuan, masyarakat berkecendrungan menyalahkan kaum perempuan, padahal mereka adalah korbannya. 5 Berbagai manifestasi ketidakadilan gender tersebut salaing berkait satu sama lain. Wujud ketidakadilan itu “ tersosialisasi ” dalam masyarakat, dalam diri laki-laki dan perempuan secara wajar dan berkelanjutan sehingga lama kelamaan dianggap sebagai sesuatu yang memang demikian adanya. Pada akhirnya, sulit dibedakan mana yang bersifat kodrat dan mana yang merupakan hasil pembelajaran. Kondisi ini pada gilirannya menciptakan struktur dan sistem ketidakadilan gender “diterima” dan tidak lagi dirasakan sebagai suesuatu yang salah. Karena gender adalah kontruksi sosial, maka seharusnya bisa diubah. Perubahan tersebut tentu tidak mudah, tetapi bukan hal yang mustahil. Untuk mengubahperilaku gender diperlukan
4
Departement Agama RI, Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam (Jakarta, Depag RI: 2001), xiii. 5 Departement Agama RI, Keadilan dan Kesetaraan Gender, xvi. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 329
Jamaluddin Arsyad
upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis, serta didukung oleh berbagai pranata sosial yang ada.6 B. Gender dan Kesetaraan Gender Kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggeris, gender, berarti jenis kelamin.7 Meskipun Istilah gender seringkali dimaknai sebagai seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuanyang bersifat biologis.8Namun gender berbeda dengan jenis kelamin. Dalam Webster’s New World Dictionary,gender diartikan sebagai “The apparent disparity between man and women in values and behavior” (perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku).9 Pengertian ini sama apa yang dikemukakan oleh Mansour Fakih, bahwa gender adalah perbedaan prilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.10 Jadi gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai, karena gender dibangun berdasarkan konstruksi sosial, bukan karena perbedaan biologis (seks). Kesalahpahaman tentang gender bukan hanya terjadi dikalangan orang awam, tetapi juga menimpa kalangan terpelajar. Istilah gender sering dirancukan dengan istilah jenis kelamin, dan lebih rancu lagi karena gender diartikan dengan ‘jenis kelamin perempuan’. Padahal istilah gender bukan hanya menyangkut jenis kelamin perempuan, melainkan juga jenis kelamin laki-laki. Studi gender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (feminity) seseorang. Berbeda dengan studi seks yang lebih 6
Departement Agama RI, Keadilan dan Kesetaraan Gender, xvi. John M. Echos dan Hassan Shadily, Kamus inggeris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1983), 265. 8 Perbedaan biologis yang dimaksud adalah perbedaan hormonal dan patalogis antra perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrati dengan fungsi dan peran masing-masing. Misalnya laki-laki memiliki penis, testis, dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan mempunyai vgina, payudara, ovum, dan rahim serta dapat mengandung dan melahirkan hingga menyusui. 9 Victoria Neufeldt (ed), Webster’s New World Dictionery (New York: Webster’s New World Clevenland, 1984), 561. 10 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi sosial, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 71. 330 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 7
Islam dan Kesetaraan Gender
menkankan perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness). Untuk proses pertumbuhan anak menjadi seorang laki-laki atau menjadi seorang perempuan lebih banyak digunakan istilah gender daripada istilah seks. Istilah seks umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual, selebihnya digunakan istilah gender.11 Karena itu penting sekali memahami terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin (seks) dan gender. Yang dimaksud dengan jenis kelamin seks), adalah perbedaan biologis hormonal dan patalogis antara perempuan dan laki-laki, misalnya laki-laki memiliki penis, testis, dan sperma. Sedangkan perempuan mempunyai vagina , payudara, ovum, dan rahim. Laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda, masingmasing mempunyai keterbatasan dan kelebihan biologis tertentu. Misalnya, perempuan bisa mengandung, melahirkan, dan menyusui. Sementara laki-laki bisa memproduksi sperma. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati, sudah merupakan pemberian Tuhan, dan tak seorangpun dapat mengubahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggungjawab, fungsi, hak, dan prilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat konstruksi budaya atau lingkungan masyarakat. Gender sebagai perbedaan perempuan dengan laki-laki berdasarkan social construction tercermin dalam kehidupan sosial yang berawal dari keluarga. Perempuan disosialisasi dan diasuh secara berbeda dengan laki-laki. Ini juga menunjukkan adanya ekspektasi sosial (social expectation) yang berbeda terhadap anak perempuan dengan anak laki-laki.12sejak dini anak perempuan disosialisasi bertindak lembut, lembut tidak agresif, halus, tergantung, pasif, dan bukan pengambil keputusan. Sebaliknya laki-laki disosialisasikan agresif, aktif, mandiri, mengambil keputusan, dan dominan. Kontrol sosial terhadap perempuan jauh lebih ketat dibanding dengan laki-laki. 11
Suzanne J. Kessler dan Wendy McKenna, Gender: An Ethnomethodological Approach (New York: John Weley & Sons, 1977), 7. 12 Allison Morris, Women Crime and Criminal justice, (New York:Basic Black Well Ltd, 1987). TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
331
Jamaluddin Arsyad
Karakteristik tersebut terinternalisasi begitu kuat sehingga dianggap sebagai sesuatu yang bersifat taken for granted dan membawa implikasi luas yang mencerminkan posisi perempuan yang lebih subordinat, sedangkan laki-laki lebih superior. Karakteristik yang mengarah pada tindakan berkonotasi keras dan agresif itu diletakkan pada laki-laki, mereka juga diberi peluang menjadi kelompok penguasa publik sedangkan perempuan disektor domestik. Ini membuktikan adanya peran gender (gender role ) yang berbeda diantara mereka.13 Perspektif feminis secara sosial terjadi ketidak adilan terhadap perempuan, ini telah melekat dan terpatri sejak lama. Ideologi patriarki yang menyebut bahwa laki-laki mendominasi struktur keluarga yang mana perempuan secara historis dilihat sebagai seorang yang tidak mampu menangani urusannya sendiri tanpa kepemimpinan dan otoritas patriarki. Ideologi patriarki melestarikan wujud kekuasaan dan dominasi laki-laki yang terealisasi dalam berbagai tatanan sosial termasuk dalam keluarga. Ideologi patriarki mencirikan bahwa laki-laki merupakan kepala rumah tangga pencari nafkah (bread winner) yang terlihat dalam pekerjaan produktif di luar rumah maupun sebagai penerus keturunan. C. Konsep Islam tentang Gender Islam sebagai agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta (rahmatan li al-‘alamin). Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan Islam terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan dengan laki-laki. Islam mengakui adanya perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, tapi Islam secara tegas melarang menjadikan perbedaan itu sebagai alasan untuk mengutamakan salah satu pihak(perempuan atau laki-laki) dan merendahkan pihak lainnya. Islam mengakui adanya perbedaan, tetapi mengutuk prilaku yang membedakan atau diskriminatif, karena bertentangan prinsip tauhid, inti ajaran Islam. Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Allah Q.S. az-Zariyat; 51:56. Dalam kapasitas manusia sebagai hamba Allah tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kemuliaan seorang hamba 13
Romany Sihite,Perempuan, kesetaraan, dan Keadilan :Suatu Tinjauan berwawasan gender (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 231. 332 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Islam dan Kesetaraan Gender
dihadapan Tuhan dalam Islam, adalah prestasi dan kualitas taqwanya, tanpa membedakan jenis kelaminnya Q.S. al-Hujarat: 49:13. Perempuan atau laki-laki sama-sama punya potensi untuk menjadi manusia yang paling taqwa. Al-qur’an tidak menganut paham the second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau the first ethnic, yang mengistimewakan suku tertentu. Selain menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah, manusia juga diciptakan dengan tujuan menjadi khalifah di bumi (khalifa fi al-ardl), tanpa dibedakan jenis kelaminnya dan suku bangsanya mempunyai potensi yang sama untuk menjadi khalifah Q.S. al-An’am; 6:165. Demikian juga dalam meraih prestasi, dalam Islam tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan Q.S. Ali ‘Imran; 3:195, Q.S. alNisa; 4:124, Q.S. al-Nahl; 16:97, ini semua mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individu, baik dalam bidang spritual maupun dalam bidang karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi yang optimal. Namun, dalam kenyataan masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.14 Salah satu obsesi dalam Islam adalah terwujudnya keadilan dalam masyarakat yang mencakup segala kehidupan masyarakat, baik sebagi individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu Islam tidak mentolerir segala bentuk penindasan, apalagi dalam bentuk ketidak adialan terhadap kesetaraan gender. Islam hadir di dunia tidak lain kecuali untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan. Jika ada norma yang dijadikan pegangan oleh masyarakat, tetapi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka jelas norma itu harus ditolak. Demikian pula bila terjadi berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Praktek ketidakadilan 14
Nazaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), 265. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 333
Jamaluddin Arsyad
dengan menggunakan dalil agama adalah alasan yang dicaricari, sebab bila ditelaah lebih mendalam, sebenarnya tidak ada satu teks (al-Qur’an dan al-Hadits) pun yang memberi peluang untuk memperlakukan perempuan secara diskriminatif. Hubungan antar manusia dalam Islam didasarkan pada prinsipprinsip kesetaraan, persaudaraan, dan kemaslahatan.15 Islam mengakui adanya perbedaan (distinction) antara lakilaki dan perempuan tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan(discrimination) yang menguntungkan satu pihak dengan merugikan pihak lainnya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung misi pokok Islam, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga. Implikasi terciptanya hubungan yang harmonis dalam keluarga yaitu akan terwujudnya komunikasi ideal dalam suatu masyarakat yang damai dan penuh ampunan Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Ini semua bisa terwujud manakala ada pola keseimbangan dan keserasian antara laki-laki dan perempuan. D. Gerakan Emansipasi Wanita. Menguatnya gugatan tentang ketidak adilan terhadap perempuan dalam berbagai lapangan kehidupan, merupakan hasil dari gerakan emansipasi wanita disertai dengan kebangkitan perempuan (tahrir al-mar’ah) si seluruh dunia. Dengan berbagai argumennya, gerakan ini menyatakan bahwa perempuan telah ditindas oleh sebuah tradisi yang mengutamakan laki-laki, dan menganggap perempuan hanya sekedar mahluk kelas dua yang ditakdirkan untuk mengukuhkan tradisi tersebut. Salah satu pangkal ketidakadilan terhadap perempuan bermuara dari stereotip yang cenderung merendahkan, yang ditujukan pada perempuan. Pandangan ini sering berpangkal dan mendapat pembenaran dari tradisi budaya dan pemahaman keagamaan yang hidup dalam mayarakat. Tantangan terbesar dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender adalah bagaimana membangun kesadaran tentang pentingnya menghormati hak-hak perempuan. Konsep emansipasi wanita memang memberikan sumbangsih yang luar 15
334
Departement Agama RI, Keadilan dan Kesetaraan Gender, 73. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Islam dan Kesetaraan Gender
biasa bagi kebangkitan perempuan untuk berpartisipasi di dalam berbagai sendi kehidupan. Gerakan emansipasi wanita menjadi cukup penting karena di dalamnya mempertanyakan suatu konsep yang telah mapan khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Munculnya gerakan emanipasi wanita memang tidak dipisahkan Dari konsep gender dimana ia berusaha mengungkap dimensi ketidak adilan, kekerasan, diskriminasi, dan sebagainya yang ada dalam realitas kehidupan masyarakat. Perempuan, sebagai subjek merupakan entitas yang paling menentukan adanya perkembangan sekaligus penerapan konsep gender dalam kehidupan mereka sendiri. Alasannya adalah karena perempuanlah yang diyakini sangat representatif untuk mengerti dan membicarakan keadaan dan kebutuhan kehidupan mereka sendiri dibanding laki-laki. Persoaalan-persoalan seperti kesehatan reproduksi, kesejahteraan keluarga, masalah kesehatan dan pendidikananak, isu kepedulian terhadap anak, kelompok usia lanjut,dan tuna daksa, serta isu-isu kekerasan seksual merupakan problem mendasar yang lebih masuk ke dalam wilayah perempuan dan relatif lebih dimengerti oleh perempuan.16 Gerakan emansipasi wanita, bukan hanya berhenti pada persoalan konseptual dengan mengandalkan pisau analisis untuk mengurai bentuk-bentuk diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan tetapi juga berbentuk perjuangan yang bisa dilakukan di dalam wilayah material dan aplikasi mpraksis, seperti wilayah politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Di samping itu, terdapat hal lain yang tidak kalah penting adalah menjadikan gender sebagai kritik terhadap konstruksi pemikiran yang mendiskriminasikan perempuan sehingga mempersubur adanya stigma atau stereotip terhadap perempuan. Perjuangan perempuan yang paling mendasar adalah bagaimana melakukan kritik dan melakukan perubahan pada struktur, sistem, dan sudut pandang (konstruksi) yang menyuburkan ketidak adilan gender di masyarakat, sementara laki-laki hanyalah salah satu dari beberapa persoalan mendasar 16
Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Khadijah: Sosok Perempuan Karier Sukses, 69. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 335
Jamaluddin Arsyad
tersebut. Untuk itu, arah gerakan emansipasi wanita lebih tepat dilakukan dalam kerangka gerakan transformatif, yaitu suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan antara sesama manusia yang lebih humanis, adil, setara, dan bukan berdasarkan dendam semata-mata kepada laki-laki. Kalau hal ini yang terjadi, maka gerakan yang dilakukan akan kontraproduktif pada dirinya sendiri karena gerakan yang dilakukan bukan menciptakan tatanan kehidupan yang lebih baik, justru akan menciptakan musuh baru yang tidak pernah mengenal kata damai. Mansour Fakih, memberikan solusi bagaimana gerakan emansipasi wanita itu diarahkan agar tercipta kehidupan yang lebih baik, yaitu; pertama, melakukan perlawanan terhadap hegemoni dengan cara melakukan dekonstruksi ideologi. Melakukan dekonstruksi berarti mempertanyakan secara terus menerus semua hal yang menyangkut eksistensi perempuan dimanapun dan dalam bentuk apapun. Kedua, melawan paradigma developmentalism, suatu paradigma yang menempatkan perempuan hanya sebagai objek pembangunan yang diukur, diidentifikasi, dan diprogram menurut selera kaum elit yang menggunakan kuasa pengetahuan, kapitalisme, dan imajinasi modernitas.17 Salah satu kritik yang dilontarkan dan sekaligus masuk dalam agenda gerakan perempuan adalah mencairkan dikotomi yang kaku antara ruang publik dan domestik. Terdapat pandangan bahwa ruang domestik, seperti rumah tangga merupakan wilayah perempuan dalam arti bahwa peran perempuan lebih patut hanya berkiprah di dalam keluarga sebagai pembntu suami dan pengurus anak-anak. Sementara wilayah publik yang identik dengan ruang sosial, ekonomi, politik, merupakan domain laki-laki. Dan kalaupun perempuan ikut berkiprah di dalamnya, maka harus mengalami kualifikasi tertentu dengan dampak yang tidak ringan pula. 18 Pembatasan peran perempuan untuk berkutat di wilayah domestik lebih disebabkan oleh keyakinan adanya hak kepemiklikan isteri oleh suami pasca menikah, sehingga 17
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi sosial, 152-153. Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Khadijah: Sosok Perempuan Karier Sukses, 97. 336 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 18
Islam dan Kesetaraan Gender
perempuan tidak lebih sama dengan benda milik suami dan harus taat serta patuh pada suami. Sementara bagi perempuan penguasaan laki-laki itu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar. Demikian halnya bagi seorang perempuan yang belum menikah, segala urusan dan perannya merupakan tanggung jawab keluarga yang berada di bawah kekuasaan lakilaki (ayah). Dalam konteks ini, menjadi semakain relevan jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga akan sulit mendapat bantuan dan perlindungan secara hukum, apalagi campur tangan wilayah luar. Klaim bahwa setiap interaksi yang terjadi di dalam keluarga merupakan tanggungjawab keluarga yang bersangkutan masih kuat menggelayut di benak-benak individu.19 Lain halnya wilayah publik. Hampirt tidak pernah ditemukan adanya legitimasi kultural, agama, dan nilai-nilai sosial yang mengekang peran laki-laki di wilayah ini. Apa pun yang dilakukan oleh laki-laki di wilayah publik telah mendapat persetujuan secara sosial dan kultural dengan sendirinya. Untuk itulah, pembedaan yang tidak seimbang ini perlu dikritik dalam rangka memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk memajukan dirinya dan kejidupan masyarakat menuju tatanan yang lebih baik. Kertancuan lain mengenai dikotomi domestik-publik juga sering kali keduanya berkolaborasi untuk mendiskriditkan perempuan. Penggunaan terminologi ‘isteri’ dan ‘ibu’ misalnya, sebagai justifikasi pemberian upah rendah bagi perempuan karena publik menilai bahwa tugas utama perempuan adalah sebagai ibu atau isteri yang berada di wilayah domestik (rumah).20 Menurut Suzanne April Brenner, bahwa dikotomi kaku antara domestik-publik merupakan dikotomi mengada-ada. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan yang ada di rumah juga memiliki p-eran yang signifikan, bukan hanya mengontrol keinginan keluarga yang tidak penting, tetapi juga mberperan dalam hal ‘memajukan’ dimensi spritual dan nilai-nilai kultural. 19
Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Khadijah: Sosok Perempuan Karier Sukses, 98. 20 Sita Aripurnami, Hak Reproduktif antara Kontrol dan Perlawanan: Wacana tentang Kebijakan Kependudukn di Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra, 1999), 16. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 337
Jamaluddin Arsyad
Selain itu tidak jarang pula perempuan, ibu, atau isteri yang memegang kendali pengelolaan ekonomi keluarga meskipun ia tidak menjadi pelaku dari pencarian ekonomi rumah tangga.21 Agar arah gerakan emansipasi wanita tidak dilakukan secara gebyah uyah dan mengenyampingkan problem spesifik perempuan itu sendiri, perlu dikemukakan agar persoalan sosial yang melibatkan kehidupan domestik-publik tidak semata-mata dianggap hanya sebagai persoalan gender karena tidak jarang ia akan turut melibatkan interaksi kreatif dengan ruang sosial dimana perempuan itu hidup. Karena itu bisa jadi, suatu tatanan sosial yang damai bisa hancur jika diadvokasi tanpa kehatihatian. Di dalam kehidupan sosial, perempuan tidak hanya berhadapan dengan laki-laki. Mereka juga akan berhadapan dengan kultur setempat yang tidak mudah dikategori sebagai perempuan yang tertindas oleh kultur. Dalam beberapa hal, para perempuan yang hidup dalam kultur tertentu justru menjadikan kultur sebagai media strategi bertahan mereka dari gempuran kekuatan hegemonik yang datangnya dari luar. Perempuan seni tradisi, perempuan di wilayah komunitas lokal, dan masih banyak lagi yang lain merupakan perempuan yang mengalami kenikmatan tersendiri di dalam mengarungi kehidupan mereka di lingkungan sosial-kulturalnya. Dengan demikian, pertemanan kepada para perempuan berbasis komunitas lokal ini perlu melihat subjektifitas mereka sehingga gerakan untuk “pemberdayaan” perempuan bisa efektif dan relevan.22 Ke depan, selain tetap mengkritisi berbagai bentuk diskriminasi yang diakibatkan oleh kebijakan dan sistem yang ada, arah gerakan perempuan juga perlu melihat bentuk-bentuk resistensi perempuan sebagai modal untuk melakukan gerakan perlawanan perempuan secara lebih efektif. Resistensi merupakan siasat perlawanan perempuan yang sifatnya lokal tetapi turut menentukan penyiasatan terhadap kekuatan-kekuatan hergemonik dan dominan. Seperti kreatifitas seorang istri yang mampu mengendalikan suami dalam pembuatan kebijakan 21
Suzanne April Brenner,The Domestication of Desire. Women, Wealth, and Modernity in Java (New Jersey: Princeton University Press, 1998), 16. 22 Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Khadijah: Sosok Perempuan Karier Sukses, 105. 338 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Islam dan Kesetaraan Gender
rumah tangga, juga seorang istri yang mengatur lalu lintas perekonomian keluarga yang diperoleh oleh suami, merupakan contoh kreatifitas perempuan untuk berorganisasi dengan kekuatan patriarki.23 E. Kedudukan Pria dan Wanita dalam Hubungan dengan Hak dan Kewajiban dalam Islam. Islam bersal dari kata salam yang berarti damai, selamat, sejahtera, tunduk dan berserah diri.24Makna yang terkandung di dalam nama Islam adalah kedamaian yang sempurna (as-Silm al-Kaffah) yang terwujud apabila manusia tunduk kepada Allah swt. Q.S.al-Baqarah/2:208. Setiap manusia laki-laki dan perempuan dapat sampai pada kedamaian jika tunduk dan patuh kepada Allah swt. Karena itu Islam menegaskan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia Q.S. al-Isra’/17:70. Kemuliaan manusia ditunjukkan Allah melalui kemampuan akalnya, sehingga manusia memiliki kesanggupan menguasai segala kekayaan di alam raya ini. Kesempurnaan ciptaan Tuhan membuat manusia menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk lain, yakni menjadi khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Islam telah berhasil melakukan perubahan besar bagi peradaban umat manusia, dan telah berhasil mengangkat martabat dan derajat perempuan dari cengkraman teologi, mitos, dan budaya jahiliyah. Intinya Islam mengutuk keras setiap pelanggaran atas hak hidup setiap manusia, khususnya perempuan Q.S. an-Nahl/16:58-59. Mengacu pada pengertian dan ayat diatas, bangunan relasi antar manusia semestinya mengedepankan atas persamaan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan. Artinya, relasi laki-laki dan perempuan tidak mengenal adanya perbedaan kedudukan, karena baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh merendahkan satu sama lain. Bangunan relasi antarmanusia memberikan toleransi nol atas berbagai bentuk penindasan manusia yang satu dengan yang lainnya, baik atas
23
Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Khadijah: Sosok Perempuan Karier Sukses, 106. 24 Ahmad Warson, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresef, 1984), 655. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 339
Jamaluddin Arsyad
nama kekuatan (fisik, intelektual, jenis kelamin) maupun keunggulan (kultural, ras, agama).25 Paling tidak ada empat prinsip yang menjadi perhatian dalam mengurai kedudukan laki-laki dan perempuan dalam tatanan relasi antarmanusia yaitu; Pertama, Prinsip persamaan, mengandung arti bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban yang sama dalam melaksanakan perintah agama. Termasuk persamaan hak politik, pendidikan, waris, persaksian, dan lain sebagainya. Kedua, Prinsip kemerdekaan atau kebebasan. Semangat kemerdekaan atau kebebasan disini bukan berarti bebas bertindak, sewenang-wenang terhadap orang lain hingga melampauibatas. Kebebasan dala Islam berarti menjaga kepentingan orang lain dan menghormati kedudukan orang lain. Artinya, kebebasan tersebut tetap dalam koridor menjunjung tinggi kesetaraan antarumat manusia. Oleh karena itu, Islam mengecam keras segala bentuk dan praktek penindasan satu sama lain, baik karena perbedaan warna kulit, jenis kelamin, kelas masyarakat, ras atau asal kedaerahan. Segala bentuk dan praktek penindasan berlawanan dengan semangat kebebasan yang ditawarkan oleh Islam. Termasuk di dalamnya diskriminasi terhadap kaum perempuan.26 Prinsip kebebasan berarti juga memberi otonomi penuh kepada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Pemberian otonomi ini sekaligus berarti memberikan peluang yang luas kepada laki-laki maupun perempuan untuk memainkan peran-peran sentralnya sesuai dengan kemampuan yang dimilki. Berdasarkan prinsip kebebasan, tidak ada lagi pembatasan bagi perempuan untuk hanya memainkan peranperan subordinat yakni lingkup rumah tangga. Bila saat ini dalam kenyataannya otonomi masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan. Konsep otonomi yang ideal memerlukan tahapan dan sosialisasi.27 Prinsip ketiga adalah persaudaraan. Semangat ini muncul dari realitas sosial bahwa setiap manusia adalah bersaudara, 25
Departement Agama RI, Keadilan dan Kesetaraan Gender, 46. Departement Agama RI, Keadilan dan Kesetaraan Gender, 47. 27 Departement Agama RI, Keadilan dan Kesetaraan Gender, 48. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 26
340
Islam dan Kesetaraan Gender
karena ia diturunkan dari dua manusia yang sama yakni Adam dan Hawa. Semangat persaudaraan akan mengekalkan persatuan (ukhuwah islamiyah), karena hanya dengan moral inilah akan tercipta kedamaian abadi. Antara laki-laki dan perempuan merupakan keastuan penting dalam hubungan kemanusiaan.28 Prinsip keempat adalah keadilan. Islam dan kitab sucinya alQur’an sangat menentang struktur sosial yang tidal adil dan menindas sebuah kaum yang melingkup kota Mekkah waktu itu sebagai asal mula umat Islam. Mereka yang tertindas adalah golongan masyarakat lemah, seperti yatim piatu, janda, fakir miskin, budak, kaum perempuan dan sebagainya. Kehadiran Islam saat itu tiada lain adalah untuk mengangkat harkat dan martabat mereka yang terlanjur rendah akibat tindakan tidak adil segolongan orang.29 Prinsip keadilan ditegakkan sebagai moral Islam dalam semua sektor kehidupan. Begitu pentingnya konsep ini sehingga keadilan diletakkan sejajar di bawah takwa. Dengan demikian, al-Qur’an menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari takwa. Dalam tatanan sosial, keadilan mau tidak mau harus menjadi landasan relasi antar manusia. Berpijak pada semangat ini, berarti hubungan antar laki-laki dan perempuan harus memberikan ruang yang adil bagi keduanya. Perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai akibat dari perbedaan biologis tidak harus membawa konsekuensi pada pembedaan yang tidak adil, sehingga menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya.30 Ada beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Islam antara lain; 1. Sebagai Hamba Allah. Salah satu tujuan penciptaan manusia dalam Islam adalah untuk menyembah kepada Allah Q.S. al-Zariyat, 51:56. Dalam kapasitas manusia selaku hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal (muttaqun) 28
Departement Agama RI, Keadilan dan Kesetaraan Gender, 48. Departement Agama RI, Keadilan dan Kesetaraan Gender, 48. 30 Departement Agama RI, Keadilan dan Kesetaraan Gender, 48. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014 29
341
Jamaluddin Arsyad
Q.S. al-Hujurat, 49:13. Serta masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya Q.S. al-Nahl, 16:97. 2. Sebagai Khalifah. Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah, di samping untuk menjadi hamba (abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah swt. Juga untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fi al-ardl). Kapasitas manusia sebagai di bumi ditegaskan di dalam Q.S. al-An’am, 6:165, dalam ayat lain disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah, 2:30. Kata Khalifah dalam kedua ayat diatas tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan memepertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.31 3. Punya Hak dan Kewajiban yang sama Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, ditegaskan secara khusus di dalam al-Qur’an , yaitu: Q.S. Al-Imran, 3:195, Q.S. al-Nisa, 4:124, Q.S. al-Nahl, 16;97, Q.S. Gafir, 40:40 Ayat-ayat tersebut di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan bawa prestasi individual, baik dalam bidang spritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatam yang sama meraih prestasi optimal. Namun, dalam kenyataan masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.32 Salah satu tujuan Islam, ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam Islam mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu Islam tidak mentolelir segala bentuk penindasan, baika berdasarkan kelompok etnis, warna 31
Nazaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an,
32
Nazaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an,
253. 265.
342 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
Islam dan Kesetaraan Gender
kulit, suku bangsa, dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hsil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan. F. Penutup Menguatnya gugatan tentang ketidak adilan terhadap perempuan dari berbagai lapangan kehidupan, merupakan hasil dari gerakan emansipasi wanita atau gerakan kebangkitan perempuan (tahrir al-mar’ah) di selurauh dunia. Tantangan terbesar dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender adalah bagaimana membangun kesadaran tentang pentingnya menghormati hak-hak perempuan. Kesadaran akan hak-hak tersebut telah lama disadari oleh para aktivis perempuan, namun tentu dirasakan tidak cukup dan kurang memuaskan karena diharapakan kesadaran untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender menyebar dan merata sehingga merupakan kesadaran kolektif di dalam masyarakat. Untuk itu perlu melakukan sosialisasi dalam bentuk komunikasi, informasi dan edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat, berdasarkan sosiokultural maupun agama, tentang kesetraan dan keadilan gender. Daftar Pustaka Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Khadijah: Sosok Perempuan Karier Sukses, Bedah Wacana Gerakan Feminisme Dalam Islam, Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006. Allison Morris, Women Crime and Criminal justice, New York:Basic Black Well Ltd, 1987 A Nunuk P. Murniati. Getar Gender : Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM, Magelang: Indonesiatra, 2004. Departement Agama RI, Keadilan dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam), Jakarta, 2001. John M. Echos dan Hassan Shadily, Kamus inggeris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1983. Melani Budianta,’ Pendekatan Femenis terhadap wacana ‘ Dalam analisis wacana. Dari Linguistik Samapai Demokrasi. Yogyakarta: Kanal, 2002. TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014
343
Jamaluddin Arsyad
Mansour Fakih,Analisis Gender dan Transformasi sosial, Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 1997 Nazaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif alQur’an, Jakarta: Paramadina, 2001, Romany Sihite,Perempuan, kesetaraan, dan Keadilan :Suatu Tinjauan berwawasan gender,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 Suzanne J. Kessler dan1 Sita Aripurnami, Hak Reproduktif antara Kontrol dan Perlawanan: Wacana tentang Kebijakan Kependudukn di Indonesia, Jakarta: Kalyanamitra, 1999, hal. 16. Suzanne April Brenner,The Domestication of Desire. Women, Wealth, and Modernity in Java, New Jersey: Princeton University Press, 1998, Wendy McKenna, Gender: An Ethnomethodological Approach, New York: John Weley & Sons, 1977, Victoria Neufeldt (ed), Webster’s New World D1 Ahmad Warson, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresef, 1984ictionery, New York : Webster’s New World Clevenland, 1984.
344 TAJDID Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014