Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
ANALISIS EKONOMI TERHADAP HUKUM DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Yati Nurhayati Abstrak Masalah korupsi mempunyai banyak segi. Korupsi bisa dipandang dari segi Kriminologi, kebudayaan, politik, ekonomi, filasafat, dalam penulisan ini korupsi akan ditinjau dari segi ekonomi dan keadilan oleh karena itu tinjaunnya akan berkisar terutama pada peraturan-peraturan yang menyangkut tindak pidana korupsi. Pembuatan peraturan-peraturan itu merupakan sebagian dari usaha dalam politik kriminal. Pemberian sanksi pidana terhadap perbuatan yang tidak dikehendaki oleh pembentuk undang-undang dimaksud untuk mencegah dilakukannya perbuatan atau apabila perbuatan yang dimaksud itu toh tetap dilakukan, maka pidana yang dikenakan kepada si pembuatan berdasarkan peraturan itu merupakan imbalannya. Kata Kunci : Korupsi, Ekonomi. Nepotisme, pada tanggal 16 Agustus
PENDAHULUAN Dalam upaya penyelenggaraan
1999 telah mengundangkan Undang-
Pemerintahan yang bersih dan bebas
undang No.31 Tahun 1999 Tentang
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sesuai dengan tuntutan hati nurani
(TPK)
rakyat
pelaksanaannya.
yang
mengendaki
adanya
dan
berbagai
peraturan
Undang-undang
Penyelenggara Negara yang mampu
No.31 Tahun 1999 dimaksudkan untuk
menjalankan
tugasnya
menggantikan Undang-undang No.3
secara sungguh-sungguh dan penuh
Tahun 1971 Tentang Pemberantasan
tanggung jawab sehingga praktek-
Tindak
praktek
diharapkan mampu memenuhi dan
fungsi
usaha
dan
yang
lebih
Pidana
Korupsi
yang
menguntungkan oleh seseorang atau
mengantisiasi
sekelompok
yang
kebutuhan hukum masyarakat dalam
menyuburkan KKN dapat dihindarkan.
rangka mencegah dan memberantas
Pemerintah sesuai dengan amanat
secara efektif setiap bentuk TPK yang
TAP
sangat merugikan Keuangan Negara.
MPR
tertentu
RI
No.XI/MPR/1998
perkembangan
Tentang Penyelenggara Negara yang
Namun dalam pelaksanaannya,
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 69
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
banyak
menimbulkan
kontroversi.
Oleh karena itu, dalam upaya untuk
ISSN 1979-4940
perlakuan adil dalam memberantas TPK.
mewujudkan penegakkan supremasi
Korupsi
menurut
Undang-
hukum dan mengakhiri kontroversi
undang No. 31 Tahun 1999 disebutkan
serta memenuhi tuntutan masyarakat
sebagai jenis tindak pidana yang
untuk segera menuntaskan kasus-kasus
sangat merugikan keuangan negara
korupsi di Indonesia. Disamping itu
atau
dalam menghadapi canggihnya modus
menghambat pembangunan nasional
operandi
perbuatan
pidana
juga menghambat pertumbuhan serta
korupsi,
karena
orang-orang
kelangsungan pembangunan nasional
mempunyai
yang menuntut efisiensi tinggi ;
berpendidikan
tindak
dan
perekonomian
negara
dan
kekuasaan (power), maka Pemerintah
Dalam rangka mencapai tujuan
pada tanggal 21 Mei 2001 telah
yang lebih efektif untuk mencegah dan
mengajukan
Rancangan
memberantas tindak pidana korupsi.
tentang
Undang-undang No.31 Tahun 1999
suatu
Undang-undang
(RUU)
perubahan atas Undang-undang No. 31
memuat
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
berbeda dengan Undang-undang yang
TPK. Setelah melalui suatu proses
mengatur masalah korupsi sebelumnya
pembahasan di DPR, maka pada
( Undang-undang No.3 Tahun 1971 ),
tanggal
2001
yaitu menentukan ancaman pidana
Pemerintah dengan persetujuan DPR-
minimum khusus, pidana denda yang
RI telah mengesahkan RUU tersebut
lebih tinggi dan ancaman pidana mati
menjadi
20
yang merupakan pemberatan pidana
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas
(Vide penjelasan umum UU No. 31
Undang-undang No.31 Tahun 1999
Tahun 1999) ;
21
November
Undang-undang
No.
Tentang
Pemberantasan
TPK,
membawa
suatu
yang
diharapkan
perubahan
Dalam pidana
dalam
pidana
yang
perumusan
ancaman
ketentuan
Undang-
memberikan
undang No. 31 Tahun 1999 dianut
menghilangkan
sistem pidana minimal khusus dalam
keragaman penafsiran/interpretasi dan
bentuk pidana penjara/denda minimal
kepastian
dapat
ketentuan
hukum,
khusus yakni dianut dalam Pasal 2 dan
70
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
Pasal 3, sedangkan dalam Undang-
bentuknya adalah pembayaran uang
undang No. 20 Tahun 2001 sistim
pengganti. Pidana pembayaran uang
pidana penjara/denda minimal khusus
pengganti merupakan konsekuensi dari
ini dianut dalam Pasal 5 s/d Pasal 12,
akibat tindak pidana korupsi yang
Pasal 12 B angka 2, dan Pasal 21 s/d
“dapat merugikan keuangan negara
Pasal 24 ;
atau perekonomian negara”, sehingga
Selain sistem pidana minimal
untuk
mengembalikan
kerugian
khusus, dalam Undang-undang No.31
tersebut diperlukan sarana yuridis
Tahun 1999 jo. Undang-undang No.20
yakni dalam bentuk pembayaran uang
Tahun
pengganti ;
2001,
pemberian
juga
diatur
pidana
sistem
penjara/denda
Didalam Penjelasan Pasal 2
maksimal yakni dalam ketentuan Pasal
ayat (1) menerangkan sebagai berikut :
13 Undang-undang No.31 Tahun 1999
“Dalam ketentuan ini kata
dan Pasal 12 A angka (2) Undang-
“dapat” sebelum frasa “merugikan
undang
2001.
keuangan negara atau perekonmian
Dengan demikian sistim ancaman
negara” menunjukkan bahwa tindak
pidana
kedua
pidana korupsi merupakan delik formil
Undang-undang tersebut adalah sistim
yaitu adanya tindak pidana korupsi,
maksimal dan minimal khusus (sistem
cukup dengan dipenuhinya unsur-
campuran) ;
unsur perbuatan yang dirumuskan,
Nomor
yang
20
Tahun
dianut
oleh
Selain dibekali ancaman pidana
bukan dengan timbulnya akibat”. 1
pokok penjara dan denda dengan minimal
khusus
dan
maksimal,
Dengan dirumuskannya tindak pidana
korupsi
seperti
tercantum
Undang-undang No.31 Tahun 1999
dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.31
juga dibekali dengan pidana tambahan,
Tahun 1999 sebagai delik formil,
hal ini seperti yang diatur dalam Pasal
maka
17 Jo. Pasal 18 Undang-undang No.31
negara atau perekonomian negara
Tahun 1999 yang menyatakan bahwa
tidak harus sudah terjadi, karena yang
adanya
kerugian
keuangan
selain dapat dijatuhi pidana pokok terdakwa dalam perkara korupsi dapat dijatuhi pidana tambahan, salah satu
1
Dikutip dari UU No.31 Tahun 1999 dalam Buku Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Mahkamah Agung RI, 2007, Jakarta, hal 181.
71
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
dimaksud dengan delik formil adalah
Berkaitan dalam asas hukum
delik yang dianggap telah selesai
pidana yaitu 'Geen straf zonder schuld,
dengan dilakukannya tindakan yang
actus non facit reum nisi mens sir rea',
dilarang
dengan
bahwa 'tidak dipidana jika tidak ada
2
kesalahan', maka pengertian 'tindak
adalah
pidana' itu terpisah dengan yang
ekonomi
dimaksud 'pertanggungjawaban tindak
dan
diancam
hukuman oleh Undang-undang ; menjadi
pertanyaan
bagaimanakah terhadap
besar
analisis
hukum
penanggulangan
pidana tindak
dalam
pidana'.
pidana
menunjuk
korupsi ?
Tindak
pidana
kepada
hanyalah
dilarang
dan
diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang
PEMBAHASAN
yang melakukan perbuatan itu juga
Tindak pidana atau strafbaar
dijatuhi pidana sebagaimana telah
feit merupakan suatu perbuatan yang
diancamkan akan sangat tergantung
mengandung unsur 'perbuatan atau
pada soal apakah dalam melakukan
tindakan yang dapat dipidanakan' dan
perbuatannya
unsur
mempunyai kesalahan.4
'pertanggungjawaban
pidana
kepada pelakunya'. Sehingga dalam syarat
hukuman
seseorang
secara
pidana ringkas
itu
Sedangkan
si
pelaku
sebagai
juga
dasar
terhadap
pertanggungjawaban adalah kesalahan
dapat
yang terdapat pada jiwa pelaku dalam
dikatakan bahwa tidak akan ada
hubungannya
hukuman pidana terhadap seseorang
yang dapat dipidana serta berdasarkan
tanpa adanya hal-hal yang secara jelas
kejiwaannya itu pelaku dapat dicela
dapat dianggap memenuhi syarat atas
karena kelakuanya itu. Dengan kata
kedua unsur itu.
3
dengan
kelakuannya
lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang
2
. P.A.F. Lamintang, Dasardasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984 hal. 202. 3
Indrianto Seno Aji, Antar Penegak Hukum dan Korupsi Sistematik Sebagai Kendala Penegak Hukum Di Indonesia, UI, FEMM, Jakarta. 2007, hal 1
itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku. Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau 4
Ibid
72
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
yang disebut dengan opzet merupakan
Jika unsur 'kehendak' atau
salah satu unsur yang terpenting.
'menghendaki dan mengetahui' dalam
Dalam
unsur
kaitannya dengan unsur 'kesengajaan'
kesengajaan ini, maka apabila didalam
tidak dapat dibuktikan dengan jelas
suatu rumusan tindak pidana terdapat
secara
perbuatan dengan sengaja atau biasa
maksud dan kehendak seseorang itu
disebut dengan opzettelijk, maka unsur
sulit untuk dibuktikan secara materiil-
dengan sengaja ini menguasai atau
maka
meliputi
yang
kesengajaan dalam pelaku melakukan
ditempatkan dibelakangnya dan harus
tindakan melanggar hukum sehingga
dibuktikan.
perbuatannya
kaitannya
semua
dengan
unsur
lain
Sengaja berarti juga adanya 'kehendak
pembuktian
memang
'adanya
itu
dipertanggungjawabkan
unsur
dapat kepada
si
pelaku' seringkali hanya dikaitkan
ditujukan untuk melakukan kejahatan
dengan 'keadaan serta tindakan si
tertentu'.
dengan
pelaku pada waktu ia melakukan
pembuktian bahwa perbuatan yang
perbuatan melanggar hukum' yang
dilakukannya itu dilakukan dengan
dituduhkan kepadanya tersebut.
Maka
disadari
-karena
yang
sengaja,
yang
materiil
berkaitan
terkandung
pengertian
Disamping unsur kesengajaan
'menghendaki dan mengetahui' atau
diatas ada pula yang disebut sebagai
biasa disebut dengan 'willens en
unsure 'kelalaian' atau 'kelapaan' atau
wetens'. Yang dimaksudkan disini
'culpa' yang dalam doktrin hukum
adalah seseorang yang melakukan
pidana disebut sebagai 'kealpaan yang
suatu perbuatan dengan sengaja itu
tidak disadari' atau 'onbewuste schuld'
haruslah memenuhi rumusan willens
dan 'kealpaan disadari' atau 'bewuste
atau haruslah 'menghendaki apa yang
schuld'. Dimana dalam unsur ini faktor
ia perbuat' dan memenuhi unsur
terpentingnya adalah pelaku dapat
wettens atau haruslah 'mengetahui
'menduga
terjadinya'
akibat
dari
akibat dari apa yang ia perbuat.5 Extra Ordinary Economi Jakarta , 2003, hal 12
Crime,
5
Indrianto Seno Aji Perkembangan Kejahatan Kearah
73
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
perbuatannya itu atau pelaku 'kurang berhati-hati'.
6
subyektif dimana seseorang itu harus dengan itikad baik yang memandang
Hal lain yang berkait dengan peniadaan
ISSN 1979-4940
pidana
dalam
berwenang. Kedua, syarat obyektif
pelaksanakan suatu ketentuan atau
dimana seseorang yang melaksanakan
peraturan
perintah itu harus terletak dalam ruang
ini
didalamnya 'perintah
karena
bahwa perintah itu datang dari yang
juga
termasuk
karena jabatan'.
menjalankan Dalam
lingkup pelaku sebagai bawahan.
hal
Jika kedua syarat itu terpenuhi
menjalankan perintah jabatan ini yang
maka hal yang demikian itu tidak
dimaksudkan ada dua jenis. Pertama,
menghapuskan unsur tindak pidananya
sebagai dasar alasan pembenar yaitu
tetapi dapat dijadikan sebagai dasar
karena seseorang yang menjalankan
alasan pembenar dan alasan pemaaf
perintah jabatan yang diberikan oleh
untuk tidak menerima dan memikul
penguasa yang berwenang. Kedua,
pertanggungjawaban
sebagai dasar alas an pemaaf yaitu
perbuatannya itu.
pidana
atas
seseorang yang menjalankan perintah
Dalam UU No 31 Tahun 1999
jabatan tanpa wewenang akan tetapi
jo. UU No 20 Tahun 2001, bentuk
pelakunya itu dengan itikad baik
perbuatan
mengira bahwa perintah itu diberikan
dikelompokkan menjadi 7 bagian,
dengan
wewenang
pelaksanaannya
pidana
yaitu:
termasuk
dalam
1. Kerugian Keuangan Negara 2. Suap-menyuap
peniadaan
'melaksanakan
3. Penggelapan dalam jabatan 4. Pemerasan
ketentuan atau peraturan' dan karena
5. Perbuatan curang
'perintah jabatan' itu, secara ringkas
6.
Benturan
dapat dikatakan bahwa harus terdapat
pengadaan
dua unsur yang harus terpenuhi untuk
7. Gratifikasi.
tidak dipidana, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif. Pertama, syarat 6
Ibid
korupsi
dalam
dengan
karena
atau
dan
lingkungan pekerjaannya. Berkait
'Korup'
Peranan
kepentingan
Badan
dalam
Pemeriksa
Keuangan (BPK) dalam kasus tersebut sangat besar. Kasus ini sangat sulit
74
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
terungkap ke permukaan jika BPK
ikut
tidak menemukan kerugian negara
menerima dan menggunakan uang
dalam realisasi bantuan dana parpol.
hasil kejahatan bisa memenuhi unsur
Anehnya, BPK tidak menemukan
“…memperkaya
unsur pidana dalam pemeriksaannya.
orang lain”, sebagaimana yang ada
Justru, Kejari Surabaya yang begitu
dalam rumusan delik korupsi pasal 2
cepat menemukan unsur pidana dalam
ayat (1) UU No 31/1999 jo UU No
kasus tersebut. Padahal ruang lingkup
20/2001
pemeriksaan BPK sangat luas, bebas,
Tindak
dan mandiri dibandingkan dengan
Sebagai perbandingan adalah kasus
ruang lingkup pemeriksaan penyidik
Bulog.
kejaksaan.
menjadi
tersangka
diri
tentang Pidana
karena
sendiri
atau
Pemberantasan
Korupsi
(PTPK).
Menurut Bambang Purnomo
Selain
itu,
undang-undang
adanya
pembuktian
khusus
yang
pemeriksaan pengelolaan keuangan
berlainan dengan perkara pidana biasa
negara/daerah telah memerintahkan
berhubung sangat sulitnya pembuktian
kepada
BPK,
jika
dalam
perkara korupsi, dimana pembuat delik
ditemukan
unsur
korupsi mempunyai kecakapan atau
pidana maka kewajiban BPK untuk
pengalaman dalam suatu pekerjaan
melaporkan unsur pidana dan kerugian
tertentu yang memberikan kesempatan
negara tersebut kepada instansi yang
korupsi 7
pemeriksaannya
berwenang
untuk
dilakukan
Menurut
ketentuan-ketentuan
penyidikan. Dan laporan ini, menurut
tersebut di atas dapat disimpulkan
pasal 8 ayat (4) UU No 15/2006
bahwa
tentang Badan Pemeriksa Keuangan,
berdasarkan azas praduga tak bersalah
merupakan dasar penyidikan bagi
terasa agak dikurangi. Alasan yang
pejabat
dipergunakan
penyidik
sesuai
dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (KUHAP). Jika uang banpol merupakan uang hasil kejahatan dan menjadi
hak-hak
seorang
oleh
terdakwa
pembentuk
7
Bambang Purnomo, SH. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Amarta Buku. Yogyakarta. 1984, hal 67
barang bukti maka seharusnya parpol
75
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
Undang-Undang
karena
hukum di Indonesia juga menjadi
sulitnya pembuktian perkara korupsi
hambatan dalam mengikis habis tindak
dan bahaya yang diakibatkan oleh
pidana korupsi. Maraknya praktek
perbuatan korupsi tersebut.
mafia peradilan makin mempersulit
Salah
adalah
ISSN 1979-4940
satu
yang
pemberatasan praktek korupsi, kolusi
sangat menyimpang dari azas praduga
dan nepotisme. Selain itu, tindak
tak
pidana korupsi sulit diungkap karena
bersalah
mengenai
ketentuan
adalah
ketentuan
pembagian
beban
para
pelakunya
menggunakan
pembuktian. Terdakwa diperkenankan
peralatan yang canggih serta biasanya
oleh hakim untuk membuktikan bahwa
dilakukan oleh lebih dari satu orang
ia tidak bersalah melakukan tindak
dalam keadaan yang terselubung dan
pidana korupsi, tanpa mengurangi
terorganisir. Oleh karena itu kejahatan
kewajiban Penuntut Umum untuk
ini sering disebut white collar crime
tetap
atau
membuktikan
kesalahan
terdakwa.
kejahatan
Lambannya
Menurut Bambang Purnomo ketentuan
seperti
tesebut
diatas
korupsi
dan
kejahatan
kerah
putih.
penyelesaian
kasus
maraknya
peradilan
atau
praktek popular
memberikan gambaran watak hukum
dengan sebutan mafia peradilan dalam
yang mengandung isi kontradiktif
mengungkap perkara korupsi menjadi
sekaligus
macam
penghambat bagi tegaknya supremasi
kepentingan yang saling berhadapan,
hukum dan pemerintahan yang bersih
yaitu disatu pihak terdakwa telah dapat
dan berwibawa.
menjamin
membuktikan
dua
menurut
Undang-
Salah satu faktor penyebab
Undang bahwa ia tidak bersalah
banyaknya
melakukan tindak pidana korupsi di
terselesaikan dan minimnya keuangan
lain pihak Penuntut Umum tetap
negara
mempunyai
sebagai akibat dari perbuatan korupsi
kewajiban
untuk
membuktikan kesalahan terdakwa 8 Lemahnya profesionalisme 8
Ibid, hal 73
integritas aparat
juga
yang
kasus
yang
dapat
disebabkan
belum
dikembalikan
oleh
hilangnya
dan
sejumlah barang bukti oleh tersangka
penegak
pelaku tindak pidana korupsi. Pola perilaku korupsi selalu mengalami
76
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
perkembangan
dan
ISSN 1979-4940
peningkatan,
dapat ditawar jika ingin memberantas
sementara tingkat kemampuan dan
korupsi secara efektif dan bebas dari
keahlian aparat hukum cenderung
praktek-praktek
mafia
bersifat
Kesatuan
dan
tetap
minimnya
dan
statis
penyegaran
karena
kemampuan
peran
peradilan. misi
dalam
menegakkan supremasi hukum dari
dan keahlian pihak yang berwenang
aparatur
penegak
melalui pendidikan formal ke jenjang
hakim,
kepolisian,
yang lebih tinggi dan pelatihan-
rumah tahanan (Integrated Criminal
pelatihan yang memiliki relevansi
Justice
dengan penegakan hukum khususnya
menjunjung nilai-nilai kebenaran dan
pelatihan tentang penanganan masalah
keadilan dalam menjalankan peran
korupsi.
masing-masing. Seringkali
dianggap pidana
telah
melakukan
korupsi
penegakan
seseorang
dapat
hukum.
tindak
lolos
Pola
yang
dari
perilaku
hukum
seperti
kejaksaan
System)
dituntut
dan
selalu
Penegakan
hukum
secara obyektif dan memperlakukan setiap
orang
kedudukannya
di
secara
sama
mata
hukum
(Equality Before The Law) merupakan
kejahatan korupsi termasuk golongan
sikap
kejahatan
pengembangannya
dijunjung tinggi oleh aparat penegak
mempunyai potensi tinggi untuk sulit
hukum. Melihat negara kita yang
dijangkau rumusan hukum kejahatan
mengalami kerugian yang sangat besar
dan pertumbuhannya meningkatkan
akibat tindak pidana korupsi, dan
kemungkinan
meskipun
yang
pola
kejahatan
dan
professional
yang
harus
pelaku-pelakunya
telah
pertumbuhannya meningkatkan pola
diperkarakan dipersidangan tetap saja
kejahatan semakin nisbi, sehingga
kerugian
hukum pidana harus dikembangkan
tertutupi. Sedangkan dampak negatif
dan dibentuk secara khusus untuk
dari korupsi itu sendiri sangat besar
menghadapi
kejahatan
korupsi.
dimana
Pentingnya
membangun
kembali
korbannya
negara
disini
jauh
negara
sehingga
dari
kata
menjadi
pembangunan
integritas dan profesionalitas aparat
bangsa pun menjadi terhambat, dan
penegak hukum merupakan pekerjaan
hal itu pun akan dirasakan oleh rakyat
rumah bagi pemerintah yang tidak
77
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
baik secara langsung maupun tidak
pembalikan beban pembuktian yang
langsung.
menurut
Dalam UU PTPK, siapa pun yang
melakukan
perbuatan
menghalang-halangi pemeriksaan
kasus
proses tindak
terminologi
masyarakat
dikenal sebagai pembuktian terbalik di mana sebenarnya terminologi tersebut kurang tepat.
pidana
Pada Undang-Undang No. 20
korupsi akan dapat dikenai ancaman
Tahun
pidana. Salah satu bentuk perbuatan
pembalikan beban pembuktian yang
yang dapat diancam pidana adalah
bersifat
tidak
gratification
menyerahkan
uang
hasil
2001
dikenal
absolut
adanya
untuk
yang
delik
berhubungan
kejahatan yang merupakan barang
dengan suap di atas nominal sepuluh
bukti dalam tindak pidana korupsi.
juta rupiah dan merupakan adopsi
Jadi, mau tidak mau, uang hasil
certain cases dari rumpun Anglo-
kejahatan harus dikembalikan sebagai
Saxon, dan perampasan harta benda
barang bukti. Persoalannya, uang yang
hasil korupsi yang belum didakwakan.
dikembalikan
Dari dimensi ini, maka undang-undang
dalam
kasus
tindak
pidana korupsi tidak menghapuskan
memberikan
pidananya atau diancam pidana suatu
pembuktian secara absolut kepada
perbuatan.
terdakwa membuktikan dirinya tidak
Hal
ini
secara
tegas
disebutkan dalam pasal 4 UU PTPK. Dari
perspektif
pembalikan
beban
bersalah melakukan tindak pidana
kebijakan
korupsi walaupun aspek ini bukan
formulatif maka hukum positif telah
membebaskan penuntut umum untuk
memberikan jalan bagaimana para
harus
terdakwa tindak pidana korupsi dapat
Sedangkan di sisi lainnya, apabila
melakukan
terdakwa
pembelaan
dirinya
di
membuktikan
''merasa''
dakwaannya.
dirinya
tidak
depan persidangan. Ketentuan UU
bersalah melakukan tindak pidana
20/2001 tentang Perubahan atas UU
korupsi, maka dimungkinkan pula
31/1999
melakukan
tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi memberikan
pembuktian
kemungkinan, baik penuntut umum
berimbang,
maupun terdakwa, saling melakukan
Pasal
37
pembalikan secara
terbatas
sebagaimana UU
beban dan
ketentuan
20/2001
yang
78
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
menyatakan, ''terdakwa mempunyai
tahun terakhir, isu korupsi ternyata
hak untuk membuktikan bahwa ia
masih menyisakan sejumlah persoalan
tidak
yang perlu segera dicari jawabannya.
melakukan
korupsi'',
tindak
kemudian
pidana
''dalam
hal
Salah satunya adalah terkait pidana
terdakwa dapat membuktikan bahwa
uang pengganti sebagai salah satu
ia tidak melakukan tindak pidana
bentuk penghukuman terhadap para
korupsi, maka pembuktian tersebut
koruptor.
dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar
untuk
menyatakan
bahwa
Konsep
pidana
uang
pengganti menurut ahli hukum pidana
dakwaan tidak terbukti''. Akan tetapi,
Prof.
ternyata para pelaku tindak pidana
dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa
korupsi di Indonesia tidak pernah
koruptor harus diancam dengan sanksi
mempergunakan hak yang diberikan
pidana seberat mungkin agar mereka
undang-undang
melakukan
jera. Menilik sistem pemidanaan yang
pembuktian dengan beban pembuktian
dianut UU korupsi, baik yang lama
tentang
maupun yang baru, setiap orang
untuk
ketidakbersalahannya
melakukan tindak pidana korupsi.
Romli
Atmasasmita
memang sudah sepatutnya takut untuk
Tahun 2005 yang baru saja
melakukan korupsi.
kita lalui sepertinya pantas dinobatkan
Bagaimana seseorang
bermaksud mengecilkan arti capaian
korupsi maka mau tidak mau ia harus
yang telah diraih oleh para aparat
berhadapan dengan sanksi pidana yang
penegak hukum selama setahun ini-
berlapis-lapis. Undang-Undang No. 20
dalam hal ini bukan prestasi yang
Tahun 2001 tentang Pemberantasan
menjadi ukuran karena kalau kita
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),
bicara soal prestasi maka otomatis kita
misalnya, selain pidana pokok berupa
harus juga bicara soal parameter-
pidana
parameter yang mungkin akan sangat
mengancam terdakwa korupsi dengan
subjektif.
pidana tambahan. Pasal 34 huruf c
‟kepopulerannya‟
dalam
penjara
dalam
begitu
sebagai tahun korupsi. Namun -tanpa
Terlepas
masuk
tidak,
dan
dakwaan
denda,
juga
dari
menyebutkan salah satu bentuk pidana
beberapa
tambahan tersebut adalah berupa uang
79
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
pengganti. Konsep yang kurang lebih
kemudian
sama dengan sedikit modifikasi dianut
kebijakan -dalam hal ini tertuang
oleh UU penggantinya yakni UU No.
dalam produk perundang-undangan-
31
dalam
Tahun
1999
yang
kemudian
direvisi lagi menjadi UU No. 20
uang
Tahun 2001.
tipikor.
Pertimbangan
lain
menerapkan
mengupayakan negara
yang
sebuah
kembalinya
hilang
akibat
yang
Kalau dilihat dari jumlahnya,
melatarbelakangi munculnya konsep
jumlah dana yang diharapkan dapat
pidana uang pengganti adalah dalam
diperoleh dari penerapan pidana uang
rangka mengembalikan uang negara
pengganti
yang melayang akibat suatu tipikor.
Sebagai
Pemikiran ini sejalan dengan definisi
Kejaksaan RI saja, ada sekitar Rp
tipikor. Menurut UU, salah satu unsur
5,317 triliun tersebar di 18 kejaksaan
tipikor adalah adanya tindakan yang
tinggi di Indonesia meliputi 227
„merugikan keuangan negara‟. Dengan
putusan
adanya unsur ini, maka setiap terjadi
dieksekusi
suatu tipikor pasti akan menimbulkan
September 2005).
memang
tidak
gambaran,
sedikit.
menurut
perkara,
yang
oleh
Kejaksaan
data
belum (per
kerugian pada keuangan negara. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang wajar apabila pemerintah
Uang Pengganti Sisa Belum tertagih tahun 2004
Rp. 2. 889.892.947.825
Masuk hingga April 2005
Rp.
Jumlah
Rp. 2. 894.213.331.588
Dieksekusi
Rp.
Sisa
Rp. 2. 893.713.331.588
4.320.383.763
500.000.000
A. Tambahan Akurasi data s/d tahun 2005 (untuk uang pengganti) sebesar Rp. 5, 317 Triliun Sumber: Laporan Rapat Kerja DPR RI dengan Jaksa Agung RI , 1 September 2005
80
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
Masalah Besaran uang pengganti Kontras
dengan
beban
ISSN 1979-4940
terdakwa yang diperoleh dari tipikor yang didakwakan.
„mulia‟ yang diembannya, pengaturan mengenai
pidana
uang
Artinya untuk menentukan
pengganti
besarnya uang pengganti, pertama-
ternyata justru tidak jelas. UU No. 3
tama hakim harus secara cermat
Tahun 1971, praktis hanya mengatur
memilah-milah
mengenai uang pengganti dalam satu
keseluruhan
pasal yakni Pasal 34 huruf c. Kondisi
berasal dari tipikor yang dilakukannya
yang sama juga tergambar pada UU
dan
penggantinya, UU No. 31 Tahun 1999
dilakukan pemilahan, hakim kemudian
serta perubahannya UU No. 20 Tahun
baru dapat melakukan perhitungan
2001.
berapa besaran uang pengganti yang Minimnya
pengaturan
mengenai
uang
pengganti
akhirnya
memunculkan
mana
bagian
harta
mana
terdakwa
yang
bukan.
dari yang
Setelah
akan dibebankan.
pada
Pada
prakteknya,
dengan
sejumlah
konsep ini hakim pasti akan menemui
persoalan dalam penerapannya. Salah
kesulitan dalam menentukan besaran
satunya adalah dalam hal menentukan
uang pengganti. Pertama, hakim akan
berapa jumlah pidana uang pengganti
sulit memilah-milah mana aset yang
yang
berasal tipikor dan mana yang bukan
dapat
dikenakan
kepada
terdakwa.
karena
Pasal 34 huruf c UU No.
pada
perkembangannya
kompleksitas suatu tipikor semakin
3/1971 hanya menetapkan besarnya
meningkat.
uang
sebanyak-
melakukan hal ini jelas butuh keahlian
banyaknya sama dengan harta benda
khusus serta data dan informasi yang
yang diperoleh dari korupsi. Rumusan
lengkap. Belum lagi kalau kita bicara
yang sama persis juga terdapat dalam
soal
Pasal 18 UU No. 31/1999. Dari
sebentar, apalagi jika harta yang akan
rumusan
yang
„sangat‟
sederhana
dihitung berada di luar negeri sehingga
tersebut,
maka
dapat
ditafsirkan
membutuhkan
besarnya
uang
pengganti
pengganti
adalah
dapat
dihitung berdasarkan nilai harta si
waktu
Selain
yang
itu,
tentunya
birokrasi
untuk
tidak
diplomatik
yang pasti sangat rumit dan memakan waktu.
81
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
Kedua, perhitungan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan
ISSN 1979-4940
dengan harta yang diperoleh dari tipikor.
apabila aset terdakwa yang akan
Ide
yang
digagas
oleh
dinilai ternyata telah dikonversi dalam
Yoseph memang terdengar sangat
bentuk aset yang berdasarkan sifatnya
logis
mempunyai
fluktuatif,
penerapannya. Dengan menetapkan
seperti aset properti. Sebagai contoh,
besaran uang pengganti sama dengan
misalnya si X memperoleh Rp 1 miliar
jumlah kerugian negara maka sisi
dari hasil tipikor yang dilakukannya
positif yang dapat diambil adalah
dan kemudian dengan keseluruhan
metode ini tidak hanya mengurangi
uang tersebut ia membeli sebidang
kerepotan hakim untuk memilah dan
tanah.
menghitung aset si terpidana karena
nilai
yang
dan
sederhana
dalam
Mengingat sifat harga tanah
besarannya sudah jelas, tetapi juga
yang fluktuatif maka akan sulit untuk
memudahkan pengembalian keuangan
menentukan besaran uang pengganti
negara yang disebabkan oleh tipikor.
berdasarkan aset si X apabila tanah tersebut
setelah
begitu,
efektivitas
tertentu
penerapan metode ini tentunya akan
harganya berubah. Apabila harganya
sangat bergantung pada perhitungan
menjadi turun, negara tentunya akan
kerugian
dirugikan karena target pengembalian
disertakan dalam surat dakwaan Jaksa
keuangan
Penuntut
negara
periode
Namun
tidak
terpenuhi.
negara
yang
Umum
nantinya
(JPU).
Sebaliknya, apabila harganya naik
Ketidakcermatan dalam perhitungan
maka si X dirugikan karena dia harus
kerugian
membayar lebih dari yang nilai yang
menyebabkan
ia korup.
uang negara yang telah dikorup sulit Pengaturan mengenai besaran
uang pengganti dalam UU korupsi yang
berlaku
saat
ini
negara target
justru
dapat
pengembalian
tercapai. Tidak ada aturan yang secara
sangat
spesifik mengatur mengenai siapa
membingungkan. Pasalnya, UU hanya
yang berwenang atau ditugasi untuk
menetapkan besaran uang pengganti
menghitung kerugian negara. Namun,
adalah
menurut penjelasan salah seorang JPU
sebanyak-banyaknya
sama
82
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
Baringin
Sianturi
-yang
ISSN 1979-4940
tengah
BPK adalah sebesar Rp 87,2 miliar,
menangani kasus dugaan korupsi Bank
sementara temuan Kejaksaan Tinggi
Mandiri- pada prakteknya keputusan
(Kejati) Riau hanya sebesar Rp 4,3
mengenai besaran kerugian negara
miliar. Tanpa ada alasan yang jelas
ditentukan oleh JPU.
tentang mengapa perbedaan tersebut
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
atau
Badan
terjadi, akhirnya, perhitungan Kejati
Pengawas
Riau lah yang dipakai.
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang
secara
keahlian
memiliki
Pada prakteknya, penentuan
sebenarnya
besaran uang pengganti diserahkan
–diluar
sepenuhnya pada penafsiran hakim.
kompetensi
pemeriksaan yang mereka lakukan
Dalam
sendiri-
melakukan
besaran uang pengganti disamakan
perhitungan kerugian negara apabila
dengan kerugian negara yang timbul.
bantuannya memang dibutuhkan oleh
Sementara, dalam beberapa kasus
pihak kejaksaan. Kalaupun BPK atau
lainnya,
BPKP melakukan perhitungan, pada
sangat
akhirnya keputusan akhir tetap berada
melebihi
di tangan JPU.
didakwakan. Besaran uang pengganti
hanya
Salah
akan
satu
contoh
kasus
yang
beberapa
kasus
besaran
uang
bervariasi kerugian
bervariasi
korupsi,
pengganti
walaupun
tidak
negara
yang
dapat
disebabkan
korupsi yang dapat menggambarkan
beberapa
faktor
perbedaan
kerugian
memiliki
perhitungan
negara antara BPK dengan Kejaksaan
sebagian
hasil
adalah
Bupati
dikembalikan atau tipikor dilakukan
Kepulauan Riau (Kepri) Huzrin Hood.
oleh lebih dari satu orang sehingga
Dimana dalam kasus tersebut, jumlah
pidana uang pengganti dibebankan
kerugian negara yang ditemukan oleh
bersama-sama.
perhitungan
kasus
mantan
seperti
hakim
tersendiri,
korupsi
sudah
Tabel Pidana Uang Pengganti dalam Beberapa Kasus Korupsi (berdasarkan putusan inkracht dan in absentia)
83
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
No
Terpidana
Kerugian Negara
Uang Pengganti
1.
Hendra Raharja
Rp305.345.074.000
Rp1,9 triliun
Korupsi BLBI Bank BHS
dan AS$2.304.809,36
2.
Bob Hasan Korupsi
Pemotretan
AS$243 juta
Rp1,9 triliun
Rp80.742.270.581
Rp169 miliar
AS$ 126 juta
Rp369 miliar
dan
Pemetaan Hutan lindung 3.
Samadikun Hartono Korupsi BLBI Bank Modern
4.
Sudjiono Timan Korupsi BPUI
5.
David Nusa Widjaja Korupsi Rp1,29 trilun
Rp1,29 triliun
BLBI Bank Servitia 6.
Huzrin Hood Korupsi
APBD
Rp3,4 miliar
Rp3,4 miliar
Kepulauan
Riau (Kepri) Tahun 2001 dan 2002 7.
Bambang Sutrisno dan Adrian Rp1, 5 triliun
Rp1,5 triliun
Kiki Aryawan Korupsi BLBI Bank Surya. 8.
Eddy Tansil
Rp1,3 triliun
korupsi BAPINDO
uang pengganti Rp500 miliar dan
membayar
kerugian negara Rp1,3 triliun 9.
Asriadi,
Rp40 miliar
Rp13 miliar
Rp40 miliar
Rp27 miliar
Korupsi di bidang pajak 10.
Iwan Zulkarnaen
84
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
Korupsi di bidang pajak Sumber: Data ICW Penyimpangan
keuangan
negara atau perekonomian negara
perbuatan tersebut dapat dipidana (sesuai dengan Pasal 2 ayat 1).
yang semakin canggih dan rumit,
Tindak
pidana
korupsi
maka tindak pidana korupsi yang
dalam undang-undang ini dirumuskan
diatur
ini
secara tegas sebagai tindak pidana
dirumuskan sedemikian rupa sehingga
formil, hal ini sangat penting untuk
meliputi
perbuatan-perbuatan
pembuktian. Dengan rumusan secara
memperkaya diri sendiri atau orang
formil yang dianut dalam undang-
lain
undang
dalam
atau
Undang-undang
suatu
korporasi
secara
melawan hukum. Dengan
ini meskipun hasil korupsi
telah dikembalikan kepada negara, tersebut,
pelaku tindak pidana korupsi tetap
pengertian melawan hukum dalam
diajukan ke Pengadilan dan tetap
tindak pidana korupsi dapat juga
dipidana. (sesuai dengan Pasal 4)
mencakup perbuatan-perbuatan tercela
Yang berbunyi sebagai berikut :
yang
rumusan
menurut
masyarakat
perasaan
harus
keadilan
dituntut
Pengembalian
dan
negara
dipidana.
perekonomian
negara tidak menghapuskan Adapun
dengan
atau
kerugian
yang
melawan
dimaksud
hukum
dipidananya
adalah
pelaku
pidana
tindak
sebagaimana
mencakup perbuatan melawan hukum
dimaksud dalam Pasal 2 dan
dalam arti formil maupun materiil
Pasal 3.
yakni meskipun perbuatan tersebut
Maksudnya dalam hal pelaku
tidak
diatur
dalam
peraturan
tindak
pidana
korupsi,
memenuhi
perundang-undangan, namun apabila
unsur-unsur pasal dimaksud, maka
perbuatan tersebut dianggap tercela
pengembalian kerugian negara atau
karena
perekonomian
tidak
sesuai
dengan
rasa
negara,
tidak
keadilan atau norma-norma kehidupan
menghapuskan pidana terhadap pelaku
sosial
tindak pidana tersebut. Pengembalian
dalam
masyarakat,
maka
kerugian negara atau perekonomian
85
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
negara hanya merupakan salah satu
contoh
faktor yang meringankan pidananya.
pidana yang dilakukan oleh Kejaksaan
Dalam Undang-undang ini juga diatur
Negeri dihampir setiap daerah telah
perihal
diberikan
korporasi
sebagai
subyek
dalam
penyidikan
anggaran
tindak
dalam
DIPA
tindak pidana korupsi yang dapat
masing masing Kejaksaan Negeri
dikenakan pidana, hal ini tidak diatur
mulai
dalam undang-undang tindak pidana
pemberkasan
korupsi sebelumnya yaitu UU No. 3
tipikor
Tahun
seharusnya
dapat
dalam memberantas tindak pidana
dilimpahkan
perkara
korupsi memuat ketentuan pidana
kerugian negaranya senilai lebih dari
yang berbeda dengan undang-undang
Rp.
sebelumnya,
menentukan
pengembalian aset negara melalui
ancaman pidana minimum khusus,
penjatuhan pidana denda dan uang
pidana denda yang lebih tinggi, dan
pengganti
ancaman pidana mati yang merupakan
biaya yang telah dikeluarkan oleh
pemberatan pidana. Selain itu undang-
Kejaksaan Negeri melalui anggaran
undang
DIPA
1971.
ini
Undang-undang
yaitu
memuat
juga
ini
pidana
dari
penyelidikan penyidikan
sebesar
tersebut.
perkasus
Rp.10.000.000,-
10.000.000,-
dapat
sampai
diajukan
dan
tipikor
yang
agar
memadai
Namun
hasil
dengan
demikian
penjara bagi pelaku tindak pidana
dalam penerapan Pasal 2 ayat (1) UU
korupsi yang tidak membayar pidana
No.31 Th 1999 berupa penjatuhan
tambahan
pengganti
pidana penjara dan pidana denda dan
kerugian negara (sesuai dengan Pasal
pidana uang pengganti (Komulatif)
18).
dalam perkara tipikor yang nilai
berupa
Sedangkan
uang
biaya
kerugiannya negaranya kecil (misal
terhadap hasil-hasil yang diperoleh
dibawah Rp.5.000.000,-) dan hasil dari
dalam hubungannya dengan tujuan-
tipikor yang dinikmati terdakwa juga
tujuan
harus
kecil (Misalnya hanya Rp.2.000.000,-
diperhatikan dalam penanggulangan
), maka dipandang kurang memenuhi
tindak pidana korupsi artinya apakah
rasa keadilan meskipun hasil yang
hasil yang ingin dicapai memadai
ingin dicapai memadai dengan biaya
dengan biaya yang dikeluarkan, seperti
yang dikeluarkan oleh Negara, karena
yang
ingin
analisis
dicapai
86
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
apabila terbukti melakukan perbuatan
UU No. 31 Tahun 1999 menggantikan
melanggar Pasal 2 ayat (1) UU No.31
UU No. 3 Prp Tahun 1971. Pembuat
Th
Undang-undang mencantumkan Pasal
1999
terpidana
pada
saat
akan
esekusinya
menjalani
pidana
36 (UU 31 Tahun 1999) sebagai
penjara minimal 4 (empat) tahun dan
Aturan
membayar
sebagai berikut :
pidana
denda
minimal
Peralihan
yang
berbunyi
sebesar Rp. 200.000.000,- subsidair
“Terhadap segala tindak pidana
maksimal 6 (enam) bulan dan pidana
korupsi yang telah dilakukan saat UU
uang
Ini berlaku, tetapi diperiksa dan diadili
pengganti
yang
sebanyak-banyaknya
jumlahnya
sama
dengan
setelah
UU ini berlaku, maka
harta benda yang diperoleh dari tindak
diberlakukan UU yang berlaku pada
pidana
saat tindak pidana dilakukan.”
korupsi
(misalnya
sebesar
Rp.2.000.000,-). Sehingga seolah-olah
Dalam hal terjadi perubahan
dalam perkara dimaksud Negara telah
perundang-undangan
diuntungkan dalam penjatuhan pidana
Pasal 1 ayat (1 dan 2) KUH Pidana
komulatif tersebut ;
berfungsi sebagai Aturan Peralihan.
Undang-undang
maka
20
Bila terjadi perubahan perundang-
Tahun 2001 lebih lengkap dan lebih
undangan pidana setelah perbuatan
berat ancaman pidananya dari pada
pidana
undang-undang No.31 Tahun 1999,
terdakwa
baik dari segi normatif maupun dari
yang paling meringankan terdakwa.
segi
Dengan
sanksinya.
mengandung
Di
samping
dilakukan,
maka
diterapkannya
merujuk
terhadap ketentuan
pada
rumusan
kelebihan,
tersebut di atas yang tercantum dalam
ternyata dalam undang-undang No. 20
Pasal 1 ayat 1 dan 2 KUH Pidana,
Tahun 2001 terdapat pula kekurangan-
maka berkaitan dengan dasar hukum
kekurangan yang sebagai undang-
yang
undang
landasan
yang
banyak
No.
pidana,
baru
menggantikan
dapat
digunakan
menangani korupsi
sebagai
kasus
yang
tindak
undang-undang No. 31 Tahun 1999, di
pidana
mana pembuat undang-undang yang
sebelum berlakunya
baru tidak melengkapi dengan aturan
Tahun 2001 diperoleh jalan keluar
peralihan. Hal ini berbeda pada waktu
penyelesaiannya yang secara hukum
UU
dilakukan No. 20
87
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
dan
dapat
dipertanggungjawabkan
ISSN 1979-4940
1971,
praktis
hanya
mengatur
yaitu :
mengenai uang pengganti dalam
1.
Berdasarkan rumusan tersebut di
satu pasal yakni Pasal 34 huruf c.
atas yaitu Pasal 1 ayat (1) KUH
Kondisi yang sama juga tergambar
Pidana, maka aturan pidana yang
pada UU penggantinya yaitu dalam
dipergunakan
Pasal 18 ayat 3 UU No. 31 Tahun
sebagai
dasar
hukum untuk menyidik, menuntut,
1999
dan mengadili Tindak Pidana
perubahannya dalam UU No. 20
korupsi sebelum berlakunya UU
Tahun 2001.
No. 20 Tahun 2001 adalah aturan
yang
tidak
Minimnya
dilakukan
pengaturan
pidana korupsi yang sudah ada
mengenai uang pengganti pada
saat kasus itu terjadi yaitu UU No.
akhirnya memunculkan sejumlah
31
Tahun
pemberantasan
1999
tentang
persoalan
Tindak
Pidana
Salah satunya adalah tidak adanya
Korupsi.
dalam
penerapannya.
aturan dalam UU No.31 Tahun
2. Undang-undang yang baru yaitu
1999 jo. UU No.20 Tahun 2001
UU No. 20 Tahun 2001 ternyata
yang mengatur tentang sarana yang
lebih berat baik dari segi normatif
dapat digunakan apabila ternyata
maupun sanksinya dari UU No.
Terpidana tidak dapat membayar
31 Tahun 1999.
uang pengganti karena sudah tidak
3. Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat
memiliki
harta
benda
lagi.
(2) KUH Pidana di atas, Aturan
Walaupun secara
Pidana
lebih
UU No.31 Tahun 1999 jo. UU
menguntungkan bagi tersangka
No.20 Tahun 2001 terlihat adanya
adalah UU No. 31 Tahun 1999
penunjukkan jalur perdata dalam
daripada UU No. 20 Tahun 2001
perkara
Korupsi
yang
tindak
selintas dalam
pidana
korupsi
seperti tersebut dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 UU No.31 Tahun
KESIMPULAN Pengaturan
mengenai
1999 dan Pasal 38 C UU No.20
pidana uang pengganti ternyata
Tahun 2001, akan tetapi dari aturan
justru tidak jelas. UU No. 3 Tahun
tersebut tidak ada yang mengatur
88
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
tentang bentuk gugatan perdata
pidana uang pengganti serta barang
terhadap
tidak
bukti dirampas oleh Negara dalam
membayar uang pngganti dan sudah
kasus tindak pidana korupsi yang
tidak memiliki harta benda lagi
nilai
yang dapat dilakukan oleh Jaksa
dipandang kurang memenuhi rasa
Pengacara Negara.
keadilan,
terpidana
Analisis
yang
biaya
terhadap
kerugian
negaranya
karena
dengan
hasil
kecil
tidak
yang
sesuai
diperoleh
hasil-hasil yang diperoleh dalam
terpidana dari tindak pidana korupsi
hubungannya dengan tujuan-tujuan
dan besarnya kerugian negara yang
yang
kecil tersebut. Sehingga seolah-olah
ingin
dicapai
harus
diperhatikan dalam menggunakan
Negara
diutungkan
dalam
hukum pidana artinya apakah hasil
penjatuhan pidana tersebut.
yang ingin dicapai memadai dengan
Disamping
itu
untuk
biaya yang dikeluarkan, seperti
pertanggungjawaban tindak pidana
contoh dalam kasus penganiayaan
korupsi,
dengan dakwaan Pasal 351 ayat (1)
pelaku
KUHP,
dimana
penganiayaan menyebabkan tetapi
tidak
maksudnya tindak
telah
terjadi
memenuhi
ringan
yang
dimaksud,
orang
dalam hal
pidana
korupsi
unsur-unsur maka
pasal
pengembalian
menderita
kerugian negara atau perekonomian
menimbulkan
negara, tidak menghapuskan pidana
kecacatan, biaya yang dikeluarkan
terhadap
dalam kasus ini tidak sesuai dengan
tersebut. Pengembalian kerugian
biaya yang dikeluarkan oleh negara
negara atau perekonomian negara
dalam
hanya merupakan salah satu faktor
pemeliharaan
tahanan
pelaku
tindak
pidana
dimana negara memberi makan
yang meringankan pidananya.
kepada tahanan dengan anggaran
Untuk
Rp. 3500,- x 6 bulan. Sedangkan
hukum ini harus ditempuh langkah-
dalam penerapan Pasal 2 ayat (1)
langkah berikut ini:
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.
menciptakan
1. Penegakan
kultur
hukum
taat
tanpa
20 Tahun 2001 berupa penjatuhan
kompromi, tanpa diskriminasi
pidana pokok dan pidana denda dan
serta memenuhi rasa keadilan ;
89
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
2. Memprioritaskan pembersihan atau penindakan hukum kepada pejabat
ISSN 1979-4940
Evi Hartanti, 2007, Tindak pidana korupsi, Sinar Grafika, Jakarta,
yang melanggar hukum terutama dalam
penanggulangan
tindak
pidana korupsi. 3. Para penguasa dalam segala level, eksekutif,
legislatif,
yudikatif,
badan eksaminasi negara, harus memberi
suri
tauladan
kepada
masyarakat dalam ketaatan pada hukum. 4. Mem-blow up secara besar-besaran kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pejabat negara. 5. Menggalang
kampanye
nasional
penegakan hukum dalam segala sektor, mulai dari hal-hal kecil seprti
taat-hukum
di
sekolah,
H.M.A. Kuffal. 2002. Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum. Universitas Muhammadiyah Malang. Press Indrianto Seno Aji, 2007, Antar Penegak Hukum dan Korupsi Sistematik Sebagai Kendala Penegak Hukum Di Indonesia, UI, FEMM, Jakarta -------------------, 2007, Korupsi, Kebijakan aparatur dan hukum Pidana, CV Media, Jakarta --------------------, 2003, Perkembangan Kejahatan Kearah Extra Ordinary Economi Crime, Jakarta Mahkamah Agung RI, 2007, Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Subekti,1999, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada
sampai yang besar seperti KKN, baik
melalui
elektronik,
media
maupun
cetak, instrumen
lainnya secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Bambang Purnomo, SH. 1984. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Amarta Buku. Yogyakarta. Darwan Prinst. 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Jakarta : Djambatan Yayasan Bantuan Hukum Indonesia.
Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum, Yogyakarta, Liberty Sudarsono, 1991, Pengantar Hukum, Jakarta, Rineka Cipta Soerjono Soekanto, 1979, Penegakan Hukum, Suatu Alternatif Pemikiran, Bandung, Amresco Undang-undang No.24 Prp Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi ;
90
Al’ Adl, Volume VI Nomor 12, Juli-Desember 2014
ISSN 1979-4940
Undang-undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. www.korupsi.com.
91