Emotional Intelligence dan Prestasi Akademik pada Siswa SMA Kelas XI Jurusan IPA dan Jurusan IPS Dewi Nur Oktafia dan Julia Suleeman Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Penelitian mengenai emotional intelligence telah banyak dilakukan khususnya pada remaja (misalnya Bracket & Katulak, 2006). Sayangnya, hingga saat ini belum ada penelitian mengenai hubungan emotional intelligence dan prestasi akademik pada siswa SMA yang dikhususkan berdasarkan jurusan mereka di sekolah. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa tingkat emotional intelligence remaja, menentukan hasil prestasi akademik mereka (Nasir & Masru, 2010; Nasir & Munaf, 2011). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran, perbedaan serta hubungan antara emotional intelligence dan prestasi akademik pada siswa SMA kelas XI jurusan IPA dan jurusan IPS, serta untuk melihat perbedaan gender dalam emotional intelligence dan prestasi akademik. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif, pada 236 orang siswa SMAN 71. Untuk alat ukur emotional intelligence, digunakan Self-Report Emotional Intelligence Scale (SREIS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara emotional intelligence dengan prestasi akademik pada siswa SMA pada jurusan IPA maupun IPS. Pada emotional intelligence tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan baik pada jurusan IPA maupun IPS. Sedangkan pada prestasi akademik, secara signifikan siswa perempuan memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa laki-laki.baik pada jurusan IPA maupun IPS, dimana siswa perempuan memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa laki-laki. Kata kunci : emotional intelligence, prestasi akademik, siswa SMA kelas XI, Jurusan IPA, Jurusan IPS Research about emotional intelligence has been done especially among adolescents (look for example Bracket & Katulak, 2006). Unfortunately, until now there has been no research about the relationship between emotional intelligence and academic achievement among high school students. Several studies have described that the level of emotional intelligence in adolescents determines their achievement performance (Nasir & Masru, 2010; Nasir & Munaf, 2011). This research aims to find the relationship between emotional intelligence and academic achievement among the high school students, and to determine whether or not there is gender difference in emotional intelligence and in academic achievement. Using quantitative approach, 236 high school student from SMA 71 participated in this study. For emotional intelligence measurement, the Self-Report Emotional Intelligence Scale (SREIS) was used. The result shows that there is no significant correlation between emotional intelligence and academic achievement. For the gender difference, there is no significant difference between male and female students on emotional intelligence, both among science major students and social major students. But significant differences on academic achievement were found between male students and female students academic
1
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
score, both among science major students and social major students with females having higher scores. Key words: emotional intelligence, academic achievement, year XI students, science major, social major Kemampuan individu di dalam memproses, menggunakan, dan meregulasi informasi afektif dapat dirangkum di dalam konsep emotional intelligence. Konsep yang pertama kali diajukan oleh Salovey dan Mayer (1990) ini memberikan kontribusi di dalam ilmu psikologi sebagai sebuah kerangka untuk membahas perbedaan individual di dalam mengintegrasikan fungsi kognitif dan afektifnya (Mayer, Salovey & Caruso, 2004). Secara singkat, emotional intelligence
merujuk pada kapasitas seseorang di dalam menggunakan emosi untuk
meningkatkan fungsi kognitif, dan menggunakan fungsi kognitif untuk mengendalikan emosi (Brackett, Mayer, & Warner, 2004). Tahapan yang paling menarik dalam perkembangan emotional intelligence adalah pada masa remaja. Goleman dalam (Field, Olds & Papalia. 2004) menyatakan bahwa kecerdasan emosional sebagian besar terbentuk pada masa remaja. Masa remaja dianggap sebagai periode “storm and stress” dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Goldberg (dalam Santrock, 2003) menyatakan bahwa perempuan dibandingkan dengan laki-laki, lebih memiliki kecerdasan emosional yang baik karena dapat merasakan, mengutarakan perasaan dan permasalahannya dan lebih dapat mengenali emosi orang lain. Salah satu teori mengatakan bahwa laki-laki lebih cenderung untuk menyembunyikan emosi dari luar, menutup-nutupi dan meremehkan perasaan mereka karena mereka dibiasakan untuk menjadi pribadi yang tegar (Gottman & DeClaire, 1997). Ketika remaja laki-laki tidak mampu mengekspresikan emosi terhadap suatu masalah dan sudah tidak dapat lagi menahan emosi khususnya emosi negatif tersebut, maka laki-laki lebih cenderung menghadapi masalah dengan melakukan perilaku agresi dan cenderung merespon masalah dengan menggunakan kemarahan (Broidy dalam Sigfusdottir, 2008). Oleh sebab itu diharapkan remaja laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki emotional intelligence yang baik. Remaja yang cerdas secara emosi akan mampu menerima perasaan-perasaan mereka sendiri, mampu memecahkan masalah yang dialami, lebih banyak mengalami kesuksesan di sekolah maupun menjalani hubungan dengan rekan sebaya, serta terlindung dari resiko penggunaan obat-obatan terlarang serta tindakan kriminalitas (Mayer & Salovey, 1997). Kesuksesan remaja di sekolah karena memiliki emotional intelligence yang tinggi dapat 2
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
dilihat dari hasil prestasi akademiknya, karena pada dasarnya, kemampuan seseorang dalam prestasi atau mengenai pemahaman koginitif dapat ditelusuri ke dalam kompetensi emosionalnya atau dengan kata lain emotional intelligencenya. Prestasi akademik merupakan hasil proses suatu sistem pendidikan yang kompleks dan masih sangat dihargai oleh budaya masyarakat di negara kita. Masa remaja merupakan suatu titik kritis dalam hal prestasi (Eccles & Wigfield, 2000; Henderson & Dweck, 1990; Wigfield, Byrnes & Eccles, 2006 dalam Santrock 2007). Remaja memandang bahwa keberhasilan dan kegagalan dalam prestasi akademik sebagai prediktor bagi keberhasilan dan kegagalan di masa depan nanti (Santrock, 2007). Pada pencapaian prestasi akademik, perbedaan gender atau jenis kelamin ternyata berkaitan dengan respon berbeda yang mereka dapatkan dari masyarakat sebagai hasil dari perubahan penampilan remaja ketika pubertas (Steinberg, 2002). Menurut Steinberg (2002) pada sekitar awal tahun 2000, perbedaan respon yang didapatkan dari masyarakat terkait dengan persepsi masyarakat mengenai bidang-bidang yang seharusnya lebih dikuasai oleh jenis kelamin tertentu, misalnya remaja laki-laki seharusnya memiliki kemampuan lebih di bidang matematika dan IPA sementara remaja perempuan seharusnya memiliki kemampuan lebih dibidang seni dan ilmu sosial. Karena persepsi dari masyarakat tersebut, remaja lakilaki cenderung lebih berprestasi di bidang matematika dan IPA, sementara anak perempuan lebih berprestasi di bidang seni dan ilmu sosial. Hal itu terjadi karena secara tidak langsung, remaja berusaha untuk memenuhi tuntutan dari masyarakat mengenai prestasi dan kemampuan yang diharapkan pada jenis kelamin tertentu (Steinberg, 2002). Penelitian Nasir dan Munaf (2011) serta Parker, et al (2001) mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki emotional intelligence yang tinggi memiliki prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan dengan yang emotional intelligencenya lebih rendah. Nasir dan Masrur (2010) serta Nasir dan Munaf (2011) mengatakan bahwa terdapat korelasi positiif yang signifikan antara emotional intelligence dan prestasi akademik yang menunjukan bahwa keberhasilan akademik tidak hanya bergantung pada aspek inteligensi kognitif
melainkan juga dipengaruhi oleh
kemampuan emosional. Oleh karena penjelasan di atas tersebut, penulis tertarik untuk meneliti mengenai emotional intelligence dan prestasi akademik pada siswa sekolah menengah atas (SMA). Menurut Steinberg (2002) prestasi adalah salah satu isu perkembangan yang terpenting pada masa remaja, khususnya remaja yang berada di tahap SMA, karena prestasi menentukan masa depan pendidikan mereka di jenjang berikutnya, oleh karena itu diharapkan emotional intelligence dapat mendukung prestasi akademik khususnya pada tahap remaja. Pada tingkat 3
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
SMA, terdapat penjurusan yaitu kelas IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), kelas IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dan untuk beberapa sekolah terdapat kelas Bahasa. Oleh sebab itu pada penelitian ini, peneliti memisahkan antara siswa SMA dari kelas IPA dengan kelas IPS karena mata pelajaran mereka berbeda sehingga untuk prestasi akademik tidak dapat digabungkan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori acuan yang dikemukakan oleh Mayer & Salovey, karena konsep emotional intelligence yang mereka gunakan lebih bersifat teoritis dibandingkan dengan teori Goleman yang lebih bersifat aplikatif. Pada penelitian ini peneliti juga ingin melihat apakah terdapat perbedaan serta hubungan antara emotional intelligence dan prestasi akademik pada siswa laki-laki dan siswa perempuan. Alat ukur yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur yang didasarkan pada model Mayer, Salovey, dan Caruso (2004), yakni Self-Report Emotional Intelligence Scale (SREIS). Pengukuran emotional intelligence dapat dilakukan dengan dua cara yaitu performace test dan self report test (Engelberg & Sjoberg, 2006, Ciarrochi, et al, 2001 dalam Sulaiman, 2009). Peneliti menggunakan SREIS sebagai alat ukur dalam penelitian ini karena menggunakan self-report dengan asumsi bahwa responden lah yang lebih mengenal emosinya sendiri dibandingkan orang lain. Pada penelitian ini, masalah yang diteliti adalah: 1. Bagaimanakah gambaran emotional intelligence pada siswa SMA kelas XI jurusan IPA dan jurusan IPS ? 2. Bagaimanakah gambaran prestasi akademik pada siswa SMA kelas XI jurusan IPA dan jurusan IPS ? 3. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara emotional intelligence dan prestasi akademik pada siswa SMA kelas XI jurusan IPA dan jurusan IPS ? Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui gambaran emotional intelligence dan prestasi akademik pada remaja khususnya pada siswa SMA baik yang berada di jurusan IPA maupun di jurusan IPS serta untuk melihat perbedaan emotional intelligence dan perbedaan prestasi akademik pada siswa kelas XI jurusan IPA dan jurusan IPS, dan untuk mengetahui hubungan antara emotional intelligence dan prestasi akademik pada siswa SMA baik di jurusan IPA maupun di jurusan IPS.
4
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
Tinjauan Teoritis Emotional Intelligence Mayer dan Salovey (1997) mendefinisikan emotional intelligence sebagai kapasitas untuk bernalar mengenai dan tentang emosi untuk meningkatkan kemampuan berpikir, termasuk kemampuan untuk secara akurat mempersepsikan emosi, untuk mengakses dan menggunakan emosi untuk memfasilitasi kegiatan berpikir, untuk memahami emosi dan pengetahuan tentang emosi, serta secara reflektif meregulasi emosi untuk meningkatkan kesehatan emosional dan perkembangan intelektual (Mayer & Salovey, 1997). Menurut Mayer, Salovey dan Caruso (2004), profil emotional intelligence dibagi menjadi empat area, dimana setiap area mempresentasikan kemampuan yang berbeda. Dari area tersebut seseorang dapat memperoleh profil emotional intelligence yang kemudian dapat digunakan untuk mengidentifikasikan dimensi-dimensi atau area kemampuan mana yang perlu ditingkatkan. Keempat area tersebut antara lain : Persepsi Emosi (Perception of Emotions) dimana area kemampuan ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi emosi yang dialami oleh orang
lain,
ditunjukkan melalui karya seni, bahasa dan sebagainya. Kemampuan mempersepsi pesan non verbal yang dikemukakan oleh orang lain dari wajah, suara, bentuk komunikasi lainnya termasuk ke dalam area ini (Mayer, Salovey & Caruso,2004). Penggunaan Emosi (Use of Emotions) dimana pada area ini, kemampuan berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk memunculkan keadaan-keadaan emosi pada diri sendiri dengan tujuan untuk menciptakan kondisi emosi yang sesuai untuk memfasilitasi proses kognitif (Bracket & Katulak, 2006). Kemampuan ini berkaitan dengan bagaimana 1) emosi dimanfaatkan untuk mengarahkan kegiatan berpikir dalam cara yang produktif dan, 2) emosi dimunculkan untuk membantu penilaian (judgment) dan meningkatkan memori. Pemahaman Emosi (Understanding Emotions) dimana area ini dimaksudkan sebagai suatu kemampuan untuk menganalisa emosi-emosi yang kompleks dan serangkaian emosi, bagaimana emosi-emosi beralih dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Kemampuan ini meliputi penalaran dan pemahaman mengenai masalah-masalah emosional, seperti emosiemosi apa yang terjadi dan hubungan yang satu dengan yang lainnya (Mayer & Salovey, 1997; Mayer, Salovey & Caruso 2004). Manajemen Emosi (Management of Emotions) merupakan kemampuan untuk mengelola emosi-emosi yang dirasakan untuk mencapai hasil yang diinginkan, dengan memahami implikasi dari tingkah laku sosial terhadap emosi dan pengelolaan emosi pada diri sendiri dan orang lain. Kemampuan ini meliputi tentang pengetahuan bagaimana merasa 5
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
tenang setelah stress, serta kemampuan untuk mengurangi stress pada diri sendiri dan orang lain (Mayer & Salovey, 1997). Khusus pada area ini, Mayer, Salovey dan Caruso (2004) membedakan apakah regulasi akan diterapkan pada diri sendiri atau orang lain. Gross (1998, dalam Kanter, 2013) menekankan pembedaan tersebut, sebab keduanya didasari oleh motif, tujuan, dan proses yang berbeda. Bracket, Rivers dan Shiffman (2006, dalam Kanter 2013) memecah area ini menjadi dua kemampuan: Managing Emotions- Self (dimana regulasi emosi diterapkan pada diri sendiri) dan Social Management (dimana regulasi emosi diterapkan kepada orang lain). Terdapat beberapa faktor yang terkait dengan emotional intelligence antara lain jenis kelamin. Goldberg (dalam Santock, 2003) menyatakan bahwa perempuan lebih memiliki kecerdasan emosional yang baik karena dapat merasakan, mengutarakan perasaan dan permasalahannya dan lebih dapat mengenali emosi orang lain daripada laki-laki. Salah satu teori mengatakan bahwa laki-laki lebih cenderung untuk menyembunyikan emosi dari luar, menutup-nutupi dan meremehkan perasaan mereka karena mereka dibiasakan untuk menjadi pribadi yang tegar (Gottman & DeClaire, 1997). Faktor lain yang terkait yaitu usia dimana di dalamnya dijelaskan mengenai perkembangan kognitif serta perkembangan emosi. Berdasarkan tahap perkembangan Piaget, remaja mampu berada pada tahapan tertinggi pada perkembangan kognitifnya, yakni berada pada tahapan formal operations, dimana remaja mengembangkan kapasitas untuk berpikir abstrak (Papalia, Olds & Fieldman, 2009). Perkembangan kognitif ini dimulai pada umumnya di usia 11 tahun dan memberikan mereka kemampuan untuk memanipulasi informasi secara lebih fleksibel, tidak hanya terbatas pada memikirkan hal-hal yang terjadi pada saat sekarang, menggunakan simbol, dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan sehingga mereka dapat membuat hipotesis (Papalia, Olds & Fieldman, 2009). Menurut Steiberg (2005), pada periode remaja awal dan menengah, area otak yang mengatur regulasi emosi (frontal lobe) belum berkembang secara maksimal, dan perkembangan yang belum maksimal tersebut tidak dapat menyeimbangkan peningkatan responsivitas emosional sebagai dampak dari pubertas sehingga membuat remaja sulit untuk meregulasi emosinya dengan baik. Prestasi Akademik Jika dijelaskan secara luas, prestasi atau achievement terkait dengan perkembangan motif, kemampuan, ketertarikan, dan perilaku yang berhubungan dengan performa dalam situasi yang memerlukan penilaian (Steinberg, 2002). Sedangkan prestasi akademik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai hasil pelajaran yang diperoleh dari 6
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
kegiatan belajar di sekolah atau perguruan tingggi yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian (Nisa, 2009 dalam Prameswara, 2011). Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi akademik adalah merupakan hasil usaha belajar yang dicapai seorang siswa berupa suatu kecakapan dari kegiatan belajar bidang akademik di sekolah pada jangka waktu tertentu yang dicatat pada setiap akhir semester di dalam bukti laporan yang disebut rapor. Terdapat berbagai faktor yang menentukan keberhasilan seorang siswa dalam pencapaian prestasi akademiknya. Kim, Newton, Downey dan Benton (2010) menjelaskan bahwa prestasi akademik dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu prestasi dan hasil tes bakat sebelumya, keadaan lingkungan, dan faktor personal.
Prestasi akademik yang didapat
individu di masa SMA serta hasil pengukuran dari tes bakat (aptitude) merupakan prediktor yang kuat untuk menentukan prestasi akademik individu di masa perkuliahan (Kim, et al 2010). Keadaan lingkungan juga merupakan faktor lain yang menentukan keberhasilan atas prestasi seseorang. Hal tersebut mencakup status sosial ekonomi, etnis, lokasi geografis (Kim, et al, 2010).
Faktor yang terakhir merupakan faktor personal, yang mencakup sejumlah
faktor yang secara langsung dapat dikaitkan dengan perbedaan individu, terutama dengan kekuatan individu untuk mempengaruhi, mengarahkan, atau meningkatkan suatu hal (Kim, et al, 2010). Siswa SMA Siswa sekolah menengah atas (SMA) berada pada kategori remaja, dimana masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa. Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja akhir dimana terjadi pada awal usia dua puluhan, dan masa tersebut membawa perubahan besar saling bertautan dalam semua ranah perkembangan (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Menurut Steinberg (2002), usia 11 sampai 14 tahun termasuk pada masa remaja awal, kemudian usia 15 sampai 18 tahun termasuk dalam masa remaja madya, dan terakhir usia 18 sampai 21 termasuk dalam masa remaja akhir. Pada siswa SMA yang rentang usianya berkisar antara 15-18 tahun digolongkan kedalam remaja madya (middle adolescence). Pada siswa SMA yang berada pada tahap remaja madya (middle adolescence) terjadi transisi biologis, psikologis, sosial dan ekonomi (Steinberg, 2002). Selain itu, remaja juga mengalami perubahan dan perkembangan psikososial.Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi 7
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya.
Perubahan biologis pubertas, yang merupakan tanda akhir masa kanak-kanak, berakibat pada peningkatan pertumbuhan berat dan tinggi, perubahan dalam proposi dan bentuk tubuh, dan pencapaian kematangan seksual (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Saat individu berada pada tahap perkembangan remaja, tepatnya pada masa SMA, kematangan kognitifnya akan semakin meningkat (Keating & Helpern-Felsher, 2008). Pemikirannya menjadi lebih abstrak, sehingga memungkinkan remaja untuk mempertimbangkan banyak aspek dari tingkah laku dan keputusannya dalam satu waktu, dapat menilai konsekuensi dari keputusan yang dibuat, dapat mempertimbangkan dampak sehubungan dengan tingkah lakunya, serta dapat membuat rencana masa depan (Keating& Helpern-Felsher, 2008). Siswa SMA memiliki karakteristik antara lain, mereka mulai berinteraksi secara sosial dengan bermacam-macam guru dan teman sebaya yang berasal dari beragam etnis dan sosial budaya (Santrock, 2003); hubungan sosial lebih terlihat antar teman sebaya, aktivitas ekstrakurikuler, kegiatan organisasi, kegiatan berkelompok, dan dalam lingkungan masyarakat. Selain itu ada perubahan yang mencakup masalah pubertas dan perhatian terhadap gambaran tubuh, meningkatnya tanggung jawab, kemandirian, perhatian terhadap prestasi dan tugas tertentu serta meningkatnya minat pada pendidikan dan dapat bersikap kritis terhadap guru serta metode pengajaran (Hurlock, 1993, Santrock, 2003). Metode Penelitian Responden Responden pada penelitian ini berjumlah 236 siswa kelas XI jurusan IPA dan jurusan IPS dari sekolah SMA 71 Jakarta Timur dengan siswa laki-laki jurusan IPA berjumlah 58 sedangkan untuk perempuan dari jurusan IPA sebanyak 81 siswa. Untuk kelas IPS didapatkan responden laki-laki sebanyak 46 siswa dan siswa perempuan sebanyak 51 siswa. Alat Ukur Emotional Intelligence Alat ukur yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur yang didasarkan pada model Mayer, Salovey, dan Caruso (2004), yakni Self-Report Emotional Intelligence Scale (SREIS) yang berbentuk self-report. Bracket, et al (2006) menyusun kuesioner self-report
yang mengukur domain
kemampuan emosional sesuai dengan ability model Mayer dan Salovey (1997), yaitu 1) Perceiving Emotion, 2) Use of Emotion, 3) Understanding Emotion, 4) Managing Emotion – 8
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
Self, dan 5) Social Management. Kuesioner ini terdiri atas 19 item dan menggunakan skala Likert sebagai metode respon. Responden diminta untuk memberikan respon terhadap setiap pernyataan berdasarkan seberapa akurat pernyataan tersebut menggambarkan dirinya. Respon yang tersedia adalah ”very inaccurate”, “moderately inaccurate”, “neither nor”, “moderately accurate”, dan “very accurate”. Uji reliabilitas pada saat alat ukur pertama kali disusun menunjukkan bahwa SREIS merupakan alat ukur yang reliable dengan indeks reliabilitas sebesar 0.84. Alat ukur SREIS ini sudah pernah digunakan di Indonesia oleh Kanter (2013) untuk mengukur emotional intelligence pada mahasiswa tingkat awal dan tingkat akhir, sehingga peneliti tidak perlu untuk menerjemahkannya kembali karena sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Pada penelitian sebalumnya, Kanter (2013) memperoleh hasil koefisien reliabilitas sebesar 0,8. Karena subjek penelitian pada penelitian tersebut adalah mahasiswa, maka dari itu peneliti melakukan pengujian kembali untuk uji reliabilitas dan validitas item dengan menggunakan subjek penelitian yaitu siswa SMA yang berada pada kategori remaja madya (middle adolescence). Skoring yang digunakan dalam alat ukur emotional intelligence adalah skala Likert. Skala Likert yang digunakan antara 1 sampai 5 untuk mengukur kapasitas emotional intelligence seseorang. Alat ukur ini memetakan emotional intelligence menjadi dimensidimensi yang secara bersamaan membentuk emotional intelligence, sehingga skor dihitung untuk setiap dimensi, kemudian dijumlahkan. Pada penelitian ini digunakan norma kelompok dimana seluruh skor total dibagi menjadi 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan menggunakan mean dan standar deviasi total seluruh sampel. Alat Ukur Prestasi Akademik Untuk mengetahui prestasi akademik dari remaja SMA digunakan rata-rata nilai rapor terakhir, yakni rata-rata nilai rapor semester 1 di kelas XI. Tahap Persiapan Pada tahap persiapan pengambilan data, peneliti menghubungi pihak sekolah SMA 71 untuk meminta izin pengambilan data, setelah diizinkan, jadwal pengambilan data ditentukan oleh pihak sekolah karena sekolah tersebut secara kebetulan sedang mengadakan ujian akhir semester, sehingga proses pengambilan data dilakukan satu minggu setelah peizinan dari pihak Kepala Sekolah SMA 71. Setelah dipastikan jumlah siswa kelas dua di SMA tersebut, kemudian peneliti melakukan persiapan yaitu menyiapkan kuesioner dan reward untuk proses 9
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
pengambilan data yang telah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2013. Karena jumlah kelas di SMA tersebut cukup banyak yaitu 10 kelas diantaranya 5 kelas IPA dan 5 kelas IPS, maka proses pengambilan data akan dibantu oleh beberapa guru di SMA tersebut. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS 19.00, dan analisis yang digunakan antara lain statistik deskriptif (untuk melihat gambaran penelitian), independent sample t-test (untuk melihat signifikansi perbedaan mean) serta pearson correlation (untuk melihat signifikansi hubungan antara variabel). Hasil Penelitian Data yang diperoleh untuk pengujian reliabilitas serta validitas item digunakan juga untuk pengolahan data penelitian atau yang biasa disebut sebagi try out terpakai. Pada penelitian ini peneliti melakukan uji reliabilitas dan uji validitas item terhadap alat ukur yang melibatkan 236 remaja SMA 71. Hasil uji reliabilitas alat ukur yang dilakukan memperoleh koefisien sebesar 0.75. Besar koefisien yang diperoleh memenuhi kriteria koefisien yang memadai, yaitu antara 0.7 sampai 0.8 (Kaplan & Sacuzzo, 2004), sehingga dapat dikatakan bahwa item-item pada alat ukur SREIS memiliki konsistensi item yang baik. Sementara itu, analisis item secara kuantitatif dengan melihat konsistensi internal item (nilai corrected item total correlation), menunjukan bahwa beberapa item pada alat ukur SREIS tidak valid, karena memiliki indeks korelasi kurang dari 0.2 (Kline, 1993). Berikut ini merupakan tabel yang menunjukkan item yang tidak valid. Tabel 1. Item yang tidak valid Dimensi
No. Item
Perceiving Emotions
16 2
Use of Emotions
7 12
Managing Emotions-self
Item Kesan pertama saya mengenai apa yang orang lain rasakan biasanya salah. Saya adalah orang yang rasional dan jarang, kalaupun pernah, mengkonsultasikan perasaan saya untuk membuat keputusan. Ketika saya membuat keputusan, saya mempertimbangkan perasaan saya untuk melihat apakah keputusan saya benar. Saya orang yang rasional dan saya tidak suka bergantung pada perasaan saya untuk membuat keputusan.
4
Saya punya masalah dalam menghadapi amarah saya.
Gambaran Umum Partisipan Dari data yang telah didapatkan, responden sebanyak 236 orang dengan rentang usia antara 15-18 tahun. Mayoritas siswa kelas XI SMA 71 berusia 16 tahun dengan jumlah siswa sebanyak 178 orang dengan persentase sebanyak 75,4%, dimana jumlah siswa terbanyak pada 10
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
usia 16 tahun adalah siswa laki-laki di kelas IPA dan siswa perempuan di kelas IPS yaitu berjumlah masing-masing kelas 39 orang. Emotional Intelligence Siswa SMA Berikut ini akan dipaparkan gambaran umum skor emotional intelligence dari remaja SMA. Tabel yang akan dipaparkan berupa skor per dimensi emotional intelligence beserta skor total emotional intelligence. Tabel 2. Gambaran Umum skor Emotional Intelligence Siswa SMA Dimensi EI
Perceiving Emotions Use of Emotions Understanding Emotions Managing Emotions (Self) Social Management Total EI
Mean SD Range Mean SD Range Mean SD Range Mean SD Range Mean SD Range Mean SD Range
Laki-laki IPA (n= 58)
Perempuan IPA (n=81)
Laki-laki IPS (n=46)
Perempuan IPS (n=51)
13,72 2,231 8-19 9,86 1,369 7-13 12,26 2,679 5-20 12,48 2,451 7-17 13,48 2,501 9-20 61,81 6,9901 47-80
14,52 1,783 11-19 10,09 1,325 7-13 12,48 2,693 5-20 11,70 2,741 4-18 13,89 2,408 8-19 62,68 7,200 48-86
14,24 1,968 11-18 9,89 1,841 5-14 12,22 2,280 7-19 13,00 2,658 5-20 13,11 2,734 8-18 62,46 6,578 47-80
14,41 2,128 10-20 9,76 1,544 6-13 12,63 2,506 5-19 11,88 2,572 5-18 13,73 2,593 4-19 62,41 7,286 50-84
Total mean SD Range (n=236) 14,25 2,023 8-20 9,92 1,491 5-14 12,41 2,562 5-20 12,19 2,642 4-20 13,60 2,537 4-20 62,36 7,014 47-86
Pada tabel di atas mean total skor emotional intelligence pada setiap kelompok siswa cenderung merata antara 61,81 - 62,86. Pada setiap dimensi, nilai mean terlihat perbedaan pada masing-masing kelompok dimana persebaran mean tertinggi dan terendah berbeda-beda pada masing-masing dimensinya. Tabel 3. Kategorisasi Skor Self- Report Emotional Intelligence Scale Dimensi
Kategori (Rendah Sedang Tinggi) <12,23
Perceiving Emotions
12,23-16,27 >16,27
Laki-laki IPA
Perempuan IPA
Laki-laki IPS
Perempuan IPS
Total (n=236)
18 (7,63%) 36 (15,25%) 4 (1,69%)
13 (5,51%) 56 (23,73%) 12 (5,09%)
11 (4,66%) 28 (11,86%) 7 (2,97%)
8 (3,39%) 37 (15,68%) 6 (2,54%)
50 (21,19%) 157 (66,53%) 29 (12,29%)
11
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
< 8,43 Use of Emotions
8,43-11,41 >11,41 < 9,85
Understanding Emotions
9,85-14,97 >14,97 < 9,55
Managing Emotions (Self)
9,55-14,83 > 14,83 < 11.06
Social Management
11,06-16,14 > 16,14 < 55,35
Total EI
55,35-69,38 69,38
9 (3,81%) 42 (17,80%) 7 (2,97%) 7 (2,97%) 38 (16,10%) 13 (5,51%) 7 (2,97%) 39 (16,53%) 12 (5,08%)
11 (4,66%) 61 (25,85%) 9 (3,81%) 11 (4,66%) 54 (22,88%) 16 (6,78%) 16 (6,78%) 56 (23,73%) 9 (3,81%)
13 (5,51%) 38 (16,10%) 7 (2,97%)
9 (3,81%) 61 (25,85%) 11 (4,66%)
9 (3,81%) 43 (18,22%) 6 (2,54%)
14 (5,93%) 59 (25%) 8 (3,39%)
9 (3,81%) 28 (11,86%) 9 (3,81%) 7 (2,97%) 35 (14,83%) 4 (1,69%) 3 (1,27%) 28 (11,86%) 15 (6,36%) 10 (4,23%) 30 (12,71%) 6 (2,54%)
10 (4,24%) 34 (14,40%) 7 (2,97%) 4 (1,69%) 33 (13,98%) 14 (5,93%) 8 (3,39%) 38 (16,10%) 5 (2,12%)
39 (16,52%) 165 (69,91%) 32 (13,56% 29 (12,29%) 160 (67,80%) 47 (19,91%) 34 (14,41%) 161 (68,22%) 41 (17,37%)
8 (3,39%) 37 (15,68%) 6 (2,54%)
40 (16,95%) 166 (70,34%) 30 (12,71%)
5 (2,12%) 35 (14,83%) 6 (2,54%)
9 93,81%) 34 (14,41%) 8 (3,39%)
37 (15,68%) 171 (72,03%) 28 (11,86%)
Pada tabel di atas, nilai kategorisasi diambil dari mean dan standar deviasi total seluruh sampel untuk per dimensi dan total dimensi emotional intelligence, sehingga persentase jumlah sampel juga ditotal dari seluruh sampel yang berjumlah 236 siswa. Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa persebaran skor antara skor yang tinggi dengan skor yang rendah cukup merata. Jumlah siswa yang memiliki skor di bawah rata-rata (rendah) cenderung lebih banyak dari yang memiliki skor tinggi, hal tersebut dapat dilihat pada siswa laki-laki di jurusan IPA, siswa perempuan di jurusan IPA, dan siswa perempuan di jurusan IPS, sedangkan pada siswa laki-laki di jurusan IPS, Skor EI lebih banyak berada di kategori tinggi daripada rendah. Persebaran pada setiap dimensinya pun cenderung merata, akan tetapi pada dimensi Understanding Emotions terlihat bahwa persebaran jumlah siswa yang memiliki skor tinggi lebih banyak dibandingkan yang memiliki skor rendah, hanya siswa laki-laki di jurusan IPS yang memiliki skor rendah lebih banyak dari skor yang tinggi.
12
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
Perbedaan Emotional Intelligence antara Dua Kelompok Jenis Kelamin Tabel 4. Perbedaan Emotional Intelligence antara Dua Kelompok Jenis Kelamin Jenis Kelamin
N
Mean
SD
t
p
Laki-laki
104
62,10
6,786
-0,524
0,6
Perempuan
132
62,58
7,207
Pada tabel di atas dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor emotional intelligence pada siswa laki-laki dengan siswa perempuan. Tabel 5. Perbedaan Emotional Intelligence antara Siswa SMA Laki-laki dan Siswa SMA Perempuan Jurusan IPA dan Jurusan IPS Jenis Kelamin
N
Mean
SD
t
p
Laki-laki IPA
58
61,81
6,990
-0,713
0,477
Perempuan IPA
81
62,68
7,2
Laki-laki IPS
46
62,46
6,578
0,032
0,975
Perempuan IPS
51
62,41
7,286
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor emotional intelligence pada siswa laki-laki dengan siswa perempuan di jurusan IPA, hal tersebut juga terlihat pada jurusan IPS dimana tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor emotional intelligence pada siswa laki-laki dan siswa perempuan. Nilai Prestasi Akademik Siswa SMA Tabel 6. Gambaran Umum Nilai Akademik Siswa SMA Subjek Siswa IPA Laki-laki (n=58) Siswa IPA Perempuan (n=81) Siswa IPS Laki-laki (n=46) Siswa IPS perempuan (n=51)
Mean
Standar Deviasi
Nilai Minimum
Nilai Maksimum
82,7614
1,48
78,99
85,85
84,1535
1,479
80,07
90,28
81,2612
1,925
74,81
87,05
83,2128
1,684
79,07
86,52
Total Mean SD Range 83,573 1,726 78,99- 90,28 82,29 2,043 74,81- 87,05
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata tertinggi diperoleh siswa perempuan di jurusan IPA dengan nilai rata-rata adalah 84,1535 dan nilai rata-rata terendah diperoleh oleh siswa laki-laki jurusan IPS dengan nilai rata-rata 81,2612.
13
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
Tabel 7. Kategorisasi Skor Prestasi Akademik Pada Siswa SMA Subjek
Siswa IPA Laki-laki (n=58)
Mean SD Jumlah sampel 83,573
Rendah <81,85
1,726
Sedang 81,85 – 85,30
139
Tinggi >85,30
82,29
Rendah <80,25
2,043
Sedang 80,25 - 84,33
97
Tinggi >84,33
Siswa IPA Perempuan (n=81) Siswa IPS Laki-laki (n=46) Siswa IPS perempuan (n=51)
Kategori (Range)
Jumlah 15 (10,79%) 40 (28,78%) 3 (2,16%) 6 (4,32%) 57 (41,01%) 18 (12,95%) 8 (8,25%) 37 (38,14%) 1 (1,03%) 3 (3,09%) 34 (35,05%) 14 (14,43%)
Dari tabel di atas dapat di jelaskan bahwa pada laki-laki di jurusan IPA nilai akademik rendah ternyata lebih banyak dibandingkan nilai akademik yang tinggi sedangkan untuk siswa perempuan di jurusan IPA, nilai akademik siswa yang tinggi berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan siswa perempuan yang memiliki nilai yang rendah, hal tersebut juga terlihat pada tabel di jurusan IPS. Perbedaan Nilai Prestasi Akademik antara Dua Kelompok Jenis Kelamin Tabel 8. Perbedaan Nilai Prestasi Akademik antara Siswa SMA Lakilaki dengan Siswa SMA Perempuan Jurusan IPA dan Jurusan IPS Jenis Kelamin Laki-laki IPA Perempuan IPA Laki-laki IPS Perempuan IPS
N 58 81 46 51
Mean 82,76 84,15 81,26 83,21
SD 1,479 1,661 1,925 1,684
t -5,195
p <0,001
-5,288
<0,001
Dari tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor prestasi akademik siswa laki-laki dengan siswa perempuan baik di jurusan IPA maupun di jurusan IPS. Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa skor rata-rata prestasi akademik pada siswa perempuan di jurusan IPA lebih tinggi secara signifikan dibandingkan siswa laki-laki di jurusan IPA, hal tersebut juga terlihat pada jurusan IPS, dimana skor rata-rata siswa perempuan lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan skor rata-rata siswa laki-laki di kelas tersebut.
14
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
Korelasi antara Emotional Intelligence dengan Prestasi Akademik Tabel 9. Korelasi Skor Emotional Intelligence dan Nilai Prestasi Akademik jurusan IPA dan jurusan IPS Dimensi Emotional Intelligence
Nilai Akademik Siswa IPA
Perceiving Emotions
Use of Emotions
Understanding Emotions
Managing Emotions –Self Social Management
Total Skor Emotional Intelligence
Nilai Akademik Siswa IPS
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
0,029 0,732 139
0,045 0,659 97
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
-0,008 0,924 139 -0,019 0,820 139 0,117 0,171 139 -0,050 0.556 139
0,076 0,459 97 0,056 0,588 97 0,023 0,826 97 -0,012 0,904 97
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
-0,061 0,473 139
0,055 0,592 97
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor emotional intelligence dan nilai prestasi akademik remaja SMA di jurusan IPA, r (139), p > 0.05. Tabel di atas juga menunjukan bahwa tidak ada satupun dimensi yang berkorelasi secara signifikan dengan nilai akademik pada jurusan IPA. Sedangkan untuk jurusan IPS dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tidak terdapat pula hubungan yang signifikan antara emotional intelligence dan prestasi akademik siswa SMA di jurusan IPS, r (97), p > 0.05. Dilihat dari tabel di atas, dapat dijelaskan pula bahwa tidak terdapat satupun dimensi yang berkorelasi secara signifikan dengan nilai akademik siswa pada jurusan IPS. Kesimpulan Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan oleh peneliti untuk menjawab rumusan permasalahan, dapat disimpulkan antara lain: a. Gambaran persebaran skor emotional intelligence pada siswa SMA kelas XI laki-laki dan perempuan di jurusan IPA dan juga siswa laki-laki dan siswa lakilaki dan perempuan di jurusan IPS cenderung merata.
15
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
b. Gambaran persebaran nilai akademik pada siswa SMA di jurusan IPA dan jurusan IPS untuk siswa perempuan cenderung memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa laki-laki. c. Dari perhitungan, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara emotional intelligence dengan prestasi akademik pada siswa SMA kelas XI baik pada jurusan IPA maupun yang berada di jurusan IPS. Hasil penelitian menunjukan gambaran skor emotional intelligence pada siswa SMA 71 cenderung merata. Akan tetapi jumlah siswa yang memiliki skor rendah cenderung lebih banyak dari yang memiliki skor tinggi, hal tersebut dapat di lihat pada siswa laki-laki di jurusan IPA, siswa perempuan di jurusan IPA, dan siswa perempuan di jurusan IPS. Menurut Steinberg (2005), perkembangan otak pada periode remaja akhir, yakni maturasi frontal lobe, memampukan remaja untuk melakukan manajemen atau regulasi terhadap emosi, sedangkan pada siswa SMA dimana siswa tersebut berada pada tahap remaja menengah (middle adolescence) area otak yang mengatur regulasi emosi belum berkembang secara maksimal, dan perkembangan yang belum maksimal tersebut tidak dapat menyeimbangi peningkatan responsivitas emosional sebagai dampak dari pubertas sehingga membuat remaja sulit untuk meregulasi emosinya dengan baik, oleh karena itu gambaran emotional intelligence pada remaja awal dan akhir bisa berubah-ubah. Tidak adanya perbedaan emotional intelligence antara remaja laki-laki dengan remaja perempuan menunjukan bahwa temuan peneliti konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Nasir dan Munaf (2011) bahwa tidak terdapat perbedaan jender dalam emotional intelligence. Saphiro (1997) mengemukakan bahwa seringkali lingkungan mendorong individu untuk menekan emosi yang dirasakan, dan hal ini dapat menghambat individu untuk mengenali secara tepat emosi yang dirasakan. Hingga saat ini peneliti belum menemukan apakah emosi pada jenis kelamin dimanifestasikan sama atau berbeda pada budaya di Indonesia. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa skor akademik pada siswa perempuan lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan siswa laki-laki baik di jurusan IPA maupun di jurusan IPS, sedangkan Steinberg (2002) mengatakan bahwa pada sekitar awal tahun 2000, masyarakat berespon secara berbeda terhadap remaja laki-laki dan remaja perempuan. Perbedaan respon yang didapatkan dari masyarakat
terkait dengan persepsi masyarakat
mengenai bidang-bidang yang seharusnya lebih dikuasai oleh jenis kelamin tertentu, misalnya remaja laki-laki seharusnya memiliki kemampuan lebih di bidang matematika dan IPA 16
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
sementara remaja perempuan seharusnya memiliki kemampuan lebih dibidang seni dan ilmu sosial. Hal itu terjadi karena secara tidak langsung, remaja berusaha untuk memenuhi tuntutan dari masyarakat mengenai prestasi dan kemampuan yang diharapkan pada jenis kelamin tertentu (Steinberg, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Clark (2006, dalam Nasir & Munaf, 2011) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan anak laki-laki memiliki prestasi yang lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan, bahwa pada anak perempuan, mereka memiliki gaya belajar yang berbeda, yang lebih baik dan tekun dan mereka lebih awal matang secara kognitif dan fisik dibandingkan dengan anak laki-laki. Hasil penelitian mengenai hubungan antara emotional intelligence dengan prestasi akademik pada siswa SMA kelas XI jurusan IPA dan jurusan IPS menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara emotional intelligence dengan prestasi akademik pada siswa SMA di kedua jurusan tersebut, sehingga hal tersebut bertentangan dengan penelitian Nasir dan Munaf (2011) dan
Parker, et al (2001) yang mengatakan bahwa
emotional intelligence berkorelasi signifikan dengan prestasi akademik. Tidak berkorelasinya emotional intelligence dengan prestasi akademik selain diasumsikan karena perubahan emosi yang belum stabil pada tahap middle adolescencedan juga terdapat berbagai faktor yang menentukan keberhasilan seorang siswa dalam pencapaian prestasi akademiknya selain emotional intelligence. Menurut Kim et al (2010) secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dan prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor sosial ekonomi orang tua juga berperan dalam mempengaruhi prestasi akademik seorang anak. Dalam penelitian ini dapat terlihat dari jenis pekerjaan orang tua siswa, sekolah yang dipilih juga termasuk sekolah yang siswa dan siswinya berasal dari keluarga yang termasuk kedalam golongan menengah-ke atas.Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Featherman, serta Sewell dan Hauser dalam Steinberg (2002), remaja yang berasal dari keluarga dengan status sosial-ekonomi menengah mendapatkan nilai-nilai yang lebih baik disekolah dan dapat menyelesaikan sekolah, karena semua fasilitas yang diberikan orangtua dapat membantu anak dalam memfasilitasi pendidikannya. Hal itu sesuai dengan Armor (dalam Steinberg, 2002) yang menyatakan bahwa lingkungan fisik rumah – termasuk di dalamnya televisi, ensiklopedi, koran, komputer – lebih memiliki hubungan dengan prestasi akademik remaja dibandingkan dengan fasilitas sekolah. Selain hal-hal tersebut, terdapat beberapa kemungkinan yang mengakibatkan hasil dari penelitian ini tidak berkorelasi secara signifikan antara emotional intelligence dengan prestasi akademik. Pertama, penggunaan nilai rata-rata rapor untuk mengetahui prestasi akademik 17
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
kemungkinan besar tidak tepat. Hal tersebut dikarenakan adanya program remedial yang seringkali digunakan sekolah agar siswa-siswinya dapat memenuhi standar kompetensi sekolah, sehingga nilai akhir yang didapatkan siswa dalam rapor bukanlah hasil pencapaian siswa yang sebenarnya. Dalam hal ini, siswa yang benar-benar memiliki prestasi yang baik disamaratakan dengan siswa yang sebenarnya belum memenuhi standar kompetensi lewat adanya program remedial. Oleh karena itu, hal tersebut bisa dikatakan sebagai keterbatasan dalam penelitian ini. Saran a. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan untuk menambah jumlah sampel penelitian agar hasil penelitian bisa lebih menggambarkan apa yang hendak di teliti. Jumlah sampel bisa didapatkan dari beberapa sekolah, untuk meratakan standar nilai dari setiap sekolah, maka peneliti dapat menentukan norma kelompok. b. Pada saat pemilihan sampel penelitian, sebaiknya dipilih sekolah yang siswanya cenderung beragam, baik secara akademis dan juga tingkat sosial-ekonomi dari siswa,sehingga tidak terjadi keseragaman data dari partisipan. Misalnya pada sekolah negeri yang tidak berstandar internasional ataupun nasional plus (dengan pertimbangan tingkat sosial ekonomi). c. Penggunaan nilai rata-rata rapor untuk mengetahui prestasi akademik dapat diganti dengan nilai asli anak pada pelajaran-pelajaran tertentu sebelum diadakannya remedial, karena pada penelitian ini nilai yang didapatkan merupakan nilai akahir dari setiap mata pelajaran yang sudah lulus nilai standar mata pelajaran tersebut (hasil remedial). d. Karena pada tahap remaja, emosi cenderung masih belum stabil, sehingga dapat dilakukan penelitian longitudinal untuk melihat kestabilan emosi dari tahap remaja hingga tahap seterusnya dimana dilihat pula nilai-nilai prestasi akademiknya pada kurun waktu tertentu, sehingga dapat terlihat bagaimana pengaruh emotional intelligence terhadap prestasi akademik. e. Peneliti menyarankan untuk diadakan penelitian selanjutnya mengenai faktor lain yang berhubungan dengan emotional intelligence dengan prestasi akademik pada remaja, antara lain faktor sosial misalnya orang tua dan teman sebaya.
18
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA Baron, R. A., & Byrne, D. (1997). Social psychology. Boston : Allyn & Bacon. Bracket, M. A., & Katulak, N. A. (2006). Emotional intelligence in the classroom : Skillbased training for teachers and students. Dalam J. Ciarrochi & J. D. Mayer (Eds), Improving emotional intelligence : A practitioner’s guide (pp. 1-27). NY: Psychology Press. Bracket, M. A., Rivers, S. E., & Shiffman, S. (2006). Relating emotional abilities to social functioning: A comparison of self-report and performance measures of emotional intelligence, Journal of Personality and Social Psychology. 91(4), 780-795. Doi: 10.1037/0022-3514.91.4.780. Diunduh pada 15 Januari 2013. Ciccareli, S. K., & Meyer, G.E. (2008). Psychological (3rded). Upper Saddle River, NJ: Pearson. Charmania, D. P. (2011). Hubungan antara perspektif waktu dan prestasi akademik pada mahasiswa tingkat pertama. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Cohen, R. J., & Swerslik, M. E. (2010). Testing and assessment: An introduction to tests & measurement (7th ed). Boston, MA: McGraw-Hill. Diandra, E. K. (2013). Perbedaan emotional intelligence antara mahasiswa tingkat akhir dan mahasiswa baru program sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Garner, H. (2004). Multiple Intelligences : The theory in practice : A reader. New York: Basic Book. Golleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books. Gottman, J. & DeClaire, J. (1997). The heart of parenting. Great Britain: Clays Ltd, St Ives. Hunt, R. R., & Ellis, H. C. (2004). Fundamentals of cognitive psychology (7thed). Boston, MA: McGraw-Hill. Hurlock, E. B. (1991). Adolescent development. Tokyo : McGraw-Hill Kogusha. Kim, E., Newton, F. B., Downey, R. G., & Benton, S. L. (2010). Personal factors impacting college student success: Constructing college learning effectiveness inventory (CLEI), College Student Journal, 44(1), 112- 122. Kirsch, D. L. (1999). The call for the formalization of emotional education in school, http://vismod.media.mit.edu/tech-reports/TR 496/node4. html.http ://www.mpronline. de/. Diunduh 20 Januari 2013. Kumar, R. (1999). Research methodology. London: SAGE Markam, S. S. (1992). Dimensi pengalaman emosi. Disertasi, Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Mayer, J., & Salovey, P. (1995). Emotional intelligence and the construction and regulation of feelings, Applied and Preventive Psychology. 4, 197-208. Diunduh dari http://www.unh.edu/personalitylab /Reprints/RP1995-Mayer Salovey.pdf. 20 Januari 2013. Mayer, J. D., & Salovey, P. (1997). What is emotional Intelligence ? Dalam P. Salovey, D. Sluyter (Eds). Emotional development and emotional intelligence : Implications for educators (hal. 3-31). New York, NY: Basic Books. Mayer, J. D., Salovey, P., & Caruso, D. (2000). Models of emotional intelligence. Dalam R. Stenberg (Ed), Handbook of Intelligence. Cambridge: Cambridge University Press. Mayer, J. D., Salovey, P., & Caruso, D. R. (2004). Emotional intelligence: Theory, findings, and implications, Psychologycal Inquiry. 15(30), 197-215.
19
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013
Nasir, M ., Masrur, R. (2010). An exploration of emotional intelligence of students of iiui in relation to gender, age and academic achievement, Bulletin of Education and Research. 32(1), 37-51. Nasir, F., & Munaf, S. (2011). Emotional intelligence and academic of adolescents: a correlational and gender comparative study, Journal of Behavioral Sciences. 21(2), 95-101. Newsome, S., Day, A. L., Catano, V. M. (2000). Assessing the predictive validity of emotional intelligence, Personality and Individual Differences. 29(6), 1005-1016. Papalia, D., & Olds, S. W., & Feldman, R.D. (2008). Human development. New York: McGraw-Hill. Plutchik, R . (1994). The Psychology and biology of emotion. New York: Harper Collins College. Reyna, V. F., & Farley, F. (2006). Risk and rationality in adolescent decision making; Implications for theory practice, and public policy, Psychological Science in the Public Interest, 7(4), 1-144. Salovey, P., & Mayer, J. D. (1990). Emotional intelligence, Imagination, Cognition, and Personality, 9(3), 185-211. Santrock, J. W (2007). Adolescence. (11thed). New York: McGraw-Hill. Saphiro, L. E. (1997). How to raise a child with a high EQ: A parent’s guide to emotional intelligence. New York : Harper Collins. Sattler, J. M. (2001). Assessment of children: Cognitive applications (4thed). La mesa, CA: Jerome M. Sattler Steinberg, L. (1999). Adolescence (5th ed.) New York: McGraw-Hill. Steinberg, L. (2002). Adolescence (6th ed.) New York: McGraw-Hill. Steinberg, L. (2005). Adolescence (9th ed.) NewYork: McGraw-Hill. Winkel, W. S. (1997). Psikologi pengajaran. Jakarta: Grasindo. Yazici,H., Seyis, S., Altun, F., (2011). Emotional intelligence and self-efficacy beliefs as predictors of academic achievement among high scholl students, Procedia Social and Behavioral Sciences. 15(2), 2319-2323. Young, K. (1996). Social psychology. New York: McGraw-Hill. Zee, K.V. D, Thijs, M., & Schakel, L (2002). The relationship of emotional intelligence with academic intelligence and the big five, European Journal of Personality. 16(2), 103125. Zeidner, M., Matthews.G., & Roberts, R. D. (2009). Emotional intelligence: mapping out the terrain. Dalam M. Zeidner, G. Matthews, & R. D. Roberts (Eds.), What we know about emotional intelligence: How it affects learning, work, relationships, and our mental health (pp. 3-34). Cambridge, MA: MIT Press.
20
Emotional Intelligence ..., Dewi Nur Oktafia, FPsi UI, 2013