IDENTIFIKASI POTENSI SUMBERDAYA MANGROVE SEBAGAI PENCADANGAN KAWASAN KONSERVASI DI KAMPUNG GISI DESA TEMBELING Julianto1, Dr. Febrianti Lestari, S.Si2, M.Si, Susiana, S.Pi, M.Si3 Mahasiswa1, Dosen Pembimbing2 Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan email :
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi biofisik ekosistem mangrove dan mengetahui potensi sosial masyarakat di Kampung Gisi Desa Tembeling dalam pencadangan kawasan konservasi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai dengan bulan Juli 2016. Metode yang digunakan ialah metode survei dan obervasi langsung. Berdasarkan hasil analisis potensi ekosistem mangrove sebagai pencadangan kawasan konservasi di Kampung Gisi Desa Tembeling dapat disimpulkan bahwa potensi biofisik ekosistem mangrove di kawasan kampong gisi desa tembeling masih sesuai untuk dijadikan pencadangan kawasan konservasi. Sebagian besar masyarakat Kampung Gisi sudah mengetahui tentang ekosistem mangrove dan sudah mulai sadar akan pentingnya ekosistem mangrove. Selain itu, tingkat partisipasi masyarakat Kampung Gisi Desa Tembeling dalam pencadangan kawasan konservasi tergolong cukup tinggi Kata Kunci : Ekositem Mangrove, Konservasi, Potensi Biofisik, Potensi Sosial Masyarakat, Kampong Gisi
Abstract This study aims to determine the potential biophysical mangrove ecosystem and determine the potential of social community in Gisi village Tembeling in a conservation area reserve. This study was conducted in December 2015 to July 2016. The method used was a survey and direct observation. Based on the analysis of potential backups mangrove ecosystem as a conservation area in the village of Gisi village Tembeling can be concluded that the biophysical potential of mangrove ecosystems in the village area of the Gisi village Tembeling still suitable to be used as a backup conservation area. Most of the people in Kampung Gisi already know about the mangrove ecosystem and has already started to realize the importance of mangrove ecosystems. In addition, the level of community participation Gisi Desa Kampung Tembeling in a conservation area reserve is quite high. Keywords : Mangrove ecosystems, Conservation, Biophysical Potential, Potential Community Social, Village.
PENDAHULUAN Latar Belakang Provinsi Kepulauan Riau merupakan provinsi yang sangat berpotensi karena wilayahnya yang berbatasan langsung dengan negara tetangga diantaranya Vietnam dan Kamboja di sebelah utara; Malaysia dan provinsi Kalimantan Barat di Timur; provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Jambi di selatan; Negara Singapura, Malaysia dan provinsi Riau di sebelah barat. Provinsi ini termasuk provinsi kepulauan di Indonesia (profil provinsi kepulauan riau). Secara geografis, Provinsi Kepulauan Riau terletak diantara kordinat 1° 10' Lintang Selatan - 5° 10' Lintang Utara dan 102°50' - 109° 20' Bujur Timur. Provinsi Kepulauan Riau memiliki batas wilayah di sebelah Utara dengan Laut Cina Selatan, di sebelah Timur dengan Malaysia dan Provinsi Kalimantan Barat, di sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi, dan di Sebelah Barat dengan negara Singapura, Malaysia, dan Provinsi Riau (profil provinsi kepulauan riau). Salah satu Kabupaten yang terdapat di Kepulauan Riau yaitu Kabupaten Bintan. Kabupaten Bintan mempunyai potensi yang cukup besar dibidang perikanan salah satu potensi yang terdapat di bintan yaitu potensi sumberdaya mangrove. Moore (1997) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan hutan holofil yang menempati bagian zona intertidal tropika dan subtropika, berupa rawa atau
hamparan lumpur yang dibatasi oleh pasang surut. Holofi merupakan sebutan bagi makhluk yang tidak dapat hidup dalam lingkungan yang bebas garam, khususnya yang berupa tumbuh-tumbuhan disebut halofita. Salah satu ekosistem mangrove yang banyak terdapat di kabupaten Bintan adalah di Kampung Gisi. Wilayah pesisir Kampung Gisi merupakan wilayah yang terletak di Desa Tembeling Kabupaten Bintan yang memiliki kawasan hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Hutan mangrove memiliki fungsi bagi daerah pesisir seperti penahan gelombang, daerah asuhan larva-larva hewan laut dan perangkap sedimen dan juga menjadi daerah penyambung antara darat dan laut. Selain memiliki berbagai fungsi, mangrove juga membentuk susunan atau distribusi vegetasi mangrove yang dimulai dari arah laut hingga kearah daratan yang disebut dengan zonasi mangrove yang berfungsi sebagai habitat biota perairan maupun hewan darat (Suparianto, 2007). Dengan potensi demikian, maka perlu dilakukan perlindungan terhadap ekosistem mangrove agar ekosistem mangrove tersebut tidak punah dan biota yang berasosiasi disekitar mangrove pun tidak punah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang identifikasi potensi sumberdaya mangrove sebagai pencadangan kawasan konservasi Di Kampung Gisi, Desa Tembeling, Kabupaten Bintan.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 – Juli 2016. Lokasi penelitian ditetapkan dikawasan mangrove di Kampung Gisi, Desa Tembeling, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera, tali rapia, alat tulis, GPS, meteran dan peta. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokan menjadi dua kelompok jenis data yaitu data data primer dan data sekunder. Data primer merupakan pengumpulan data secara langsung atau pengamatan secara langsung sedangkan data sekunder merupakan ialah data yang duperoleh dari studi literatur. Stasiun penelitian ditentukan dengan metode purposive sampling. Terdapat 3 stasiun pengamatan. Stasiun pertama berada dekat dengan dermaga. Stasiun kedua berada dekat dengan aktivitas masyarakat. Stasiun ketiga ditentukan di daerah yang jauh dari aktivitas manusia.Penentuan stasiun ditentukan berdasarkan observasi awal yang telah dilakukan. Setiap stasiun terdiri atas 10x10 meter dan terdapat 3 transek pada setiap stasiun. Pengukuran ketebalan / lebar mangrove dilakukan secara manual dengan cara diukur dengan menggunakan roll meter. Roll meter ditarik tegak lurus dengan garis pantai mulai dari hutan mangrove di bagian darat sampai dengan ujung mangrove di batas laut. Prosedur pengamatan dan pengambilan data mangrove yaitu:
a. Membuat petak contoh (plot) transek quadran dengan bentuk bujur sangkar ukuran luas 10 x 10 m, dengan jumlah plot sebanyak 3 unit. b. Mengidentifikasi nama jenisjenis tumbuhan mangrove yang belum diketahui dengan cara mengambil sebagian/potongan dari ranting, lengkap dengan bunga dan daunnya. c. Menghitung jumlah jenis dan tegakan mangrove, jumlah anakan, mengukur diameter batang pohon mengrove, yang ditempatkan pada setiap stasiun. d. Kerapatan jenis Kerapatan jenis dilakukan dengan cara mengukur diameter batang dan mencatat jumlah individu serta tegakan yang ditemukan pada setiap plot disetiap perairan untuk rumus mengukur kerapatan mangrove menggunakan rumus sebagai berikut: Kerapatan Spesies = ni / A e. Kerapatan Total Kerapatan Total adalah jumlah semua individu mangrove dalam suatu unit area yang dinyatakan sebagai berikut: Kerapatan Total = Σn / A Keterangan: ni : Jumlah total individu dari spesies i Σn : Jumlah total individu seluruh spesies A : Luas area pengambilan contoh Biota perairan dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara kepada masyarakat yang berhubungan langsung dengan
ekosistem mangrove. Lokasi pengamatan biota ditetapkan pada tiap stasiun. Data tentang biota di perairan yang berada di ekosistem mangrove dilakukan dengan cara menanyakan langsung kepada beberapa warga tentang biota apa saja yang sering dijumpai di ekosistem mangrove tersebut. Pengamatan kepiting dan reptil juga sama yaitu menggunakan metode wawancara langsung kepada warga. Setelah didapatkan data tersebut lalu dilakukan identifikasi biota. Jenis kepiting atau reptil yang belum diketahui dilakukan pengambilan gambar/foto sampel biota tersebut. Untuk sampling biota gastropoda menggunakan transek 1x1 dengan mengunakan jaring atau gillnet diletakan pada saat pasang dan di ambil sampling pada saat air surut. Pada setiap lokasi pengamatan, letakan petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 m untuk tingkat pohon (diameter batang > 4 cm), 5 x 5 m untuk tingkat pancang (diameter batang < 4 cm dan tinggi > 1 m), 1 x 1 m untuk semai dan tumbuhan bawah (tinggi < 1 m). Data yang diambil pada pengamatan ekosistem mangrove adalah jenis mangrove yang berada di dalam stasiun pengamatan serta jenis perakarannya, kemudian dilakukan pengukuran diameter setiap pohon setinggi dada (1,3 meter) yang berada di dalam stasiun serta pengamatan visual biota-biota yang berada di stasiun tersebut (Bengen, 2001). Pengamatan burung, monyet, biawak, dan juga ular dilakukan dengan cara melihat langsung dan juga melakukan
wawancara kepada masyarakat yang berada di Kampong Gisi Desa Tembeling. Murni dalam Bahar (2004) menyatakan bahwa penilaian aksesibilitasi di kelompokan menjadi 4 ketentuan, yaitu: Jalan yang bagus untuk mencapai lokasi, minimal apspal, Banyak jalan alternatif untuk mencapai lokasi, Banyak alat angkut kelokasi, Terdapat sarana pendukung (dermaga dan terminal) Analisis Data 1. Analisis Potensi Biota Yulianda (2007) menyatakan bahwa objek biota merupakan keragaman biota yang ada di lingkungan vegetasi mangrove seperti ikan, kepiting, moluska, monyet, dan burung. Data dikumpulkan melalui pengamatan langsung dan juga melakukan wawancara kepada masyarakat sekitar guna mendapat informasi biota yang mungkin tidak ditemukan atau dilihat pada saat pengamatan secara langsung. Pengamatan objek biota untuk melihat ada atau tidaknya biota yang telah ditetapkan pada kreteria penilaian objek biota berdasarkan kreteria penilaian pada table table analisis kesesuaian konservasi mangrove. Murni (2000) dalam Bahar (2004) untuk penilaian objek biota dengan menggunakan 4 ketentuan yaitu: Terdapat lebih dari 4 jenis biota, Terdapat 4 jenis biota, Terdapat 2 jenis biota, Terdapat salah 1 jenis biota. 2. Analisis Potensi Ekosistem Mangrove Data yang dikumpulkan meliputi: data mengenai jenis spesies mangrove, kerapatan, dan ketebelan
mangrove. Data-data tersebut kemudian diolah untuk mengetahui Tabel.2 Analisis kesesuaian kesesuaian eksosistem mangrove untuk kawasan konservasi untuk dijadikan sebagai pencadangan mangrove kawasan konservasi, untuk lebih jelasnya diperlihatkan pada Tabel 2. No Kreteria Bobot S4 S3 S2 S1 Kerapatan 4 ≥15 10-15 5-10 <5 1 Mangrove (100m2) Jumlah kelompok 5 >7 5-6 3-4 <2 2 jenis tumbuhan Jumlah spesies 4 >10 6-9 3-4 <2 3 vegetasi mangrove Ketebalan 5 >500 200-500 50-200 <50 4 Mangrove (m) Obyek Biota 3 ≥4 3 2 1 5 (Jumlah jenis 4 ketentuan 3 ketentuan 2 ketentuan 1 Ketentuan biota) Aksesibilitasi 3 4 ketentuan 3 ketentuan 2 ketentuan 1 ketentuan 6 Sumber: Yulianda (2007) dalam modifikasi Rozalina (2014) Rumus yang digunakan untuk kesesuaian konservasi ialah IKW Keterangan IKW = indeks kesesuaian ekosistem untuk konservasi mangrove Ni = nilai parameter ke-i ( bobot x skor ) Nmaks = nilai maksimum dari kategori konservasi mangrove adapun klasifikasi penilaian yaitu : SS = sangat sesuai ( total bobot x skor = 96 ) S = sesuai ( total bobot x skor = 72 ) SB = sesuai bersyarat ( total bobot x skor = 48 ) TS = tidak sesuai ( total bobot x skor = 24 ) Rumus penentuan interval batas kesesuaian konservasi mangrove menurut bahar (2004), yaitu: Nilai tengah kelas = nilai batas atas + nilai batas kelas bawah. 2 interval kelas = nilai tengah kelas sampai nilai tertinggi kelas a. b.
SB (Sangat Sesuai) lebar kelas = 96+72 = 84-96 2 S (Sesuai) lebar kelas = 72+48 = 60-83 2
c.
SB (Sesuai Bersyarat) lebar kelas = 48+24 = 46-59 2 d. TS (Tidak Sesuai) lebar kelas = 24-35 pendataan kuisioner maka diambil sampel sebanyak 31 KK dengan 3. Analisis Sosial Masyaraat menggunakan titik eror 10% maka Wawancara dilakukan didapatkan hasil jumlah sampel yang terhadap warga yang berhubungan harus diambil 31 KK dari 45 KK. langsung dengan ekosistem mangrove dengan cara wawancara langsung dengan informan kunci yang di susun berdasarkan kepentingan penelitian Perhitungan HASIL DAN untuk mengetahui jumlah responden PEMBAHASAN dilakukan dengan menggunakan jumlah populasi yang diketahui, A. Potensi Biofisik Ekosistem rumus yang dapat digunakan adalah Mangrove Yamane (1967). (
1.
)
ketebalan mangrove (m)
Keterangan N = jumlah populasi n = jumlah responden d = error ( maksimal 10% atau 20 % ) Jumlah penduduk masyarakat di Kampung Gisi Desa Tembeling sebanyak 45 KK untuk melakukan
Ketebalan Hutan Mangrove Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di kawasan ekosistem mangrove di Kampung Gisi Desa Tembeling didapatkan hasil pengukuran lebar atau ketebalanekosistem mangrove pada setiap stasiun. lebih jelasnya diperlihatkan pada Gambar 5.
116 114 112 110 108 106 stasiun1
stasiun 2
stasiun 3
Stasiun Pengamatan Gambar 5 .Ketebalan Hutan Mangrove di Kampung Gisi
Gambar 5 memperlihatkan berkurang Sedangkan pada stasiun 3 bahwa ketebalan ekosistem tampak jelas bahwa ketebalan mangrove di Kampung gisi mangrove pada stasiun ini tergolong ditemukan ketebalan tertinggi tebal hal ini jelas karena pada terletak pada stasiun 3 yaitu sebesar stsasiun 3 jauh dari aktivitas 115 m, dan ketebalan terendah manusia, dengan jauhnya aktifitas terlihat pada stasiun I sebesar 110 m. masyarakat setempat dengan Tingkat ketebalan mangrove pada keberadaan ekosistem mangrove, stasiun 1 tergolong rendah hal ini masyarakat tidak memanfaatkan dipengaruhi karena adanya ekosistem mangrove tersebut. penebangan mangrove sehingga Sehingga keberadaan ekosistem mempengaruhi tingkat ketebalan mangrove yang berada pada stasiun 3 mangrove. Pada stasiun 2 juga masih terjaga dan tergolong tebal. terlihat ketebalan masih tergolong 2. Komposisi Jenis Mangrove rendah. Hal ini jelas dipengaruhi Komposisi Jenis Mangrove oleh aktivitas manusia yang di kampung gisi memanfaatkan mangrove sehingga ketebalan mangrove pada stasiun 2 Stasiun Spesies Nama %Komposisi Jenis Lokal Pohon Anakan Semai
1
2
3
Rhizophora apiculata Rhizopora mucronata Sonneratia alba Xylocarpus granatum TOTAL Rhizophora apiculata Rhizopora mucronata Sonneratia alba Xylocarpus granatum TOTAL Rhizophora apiculata Rhizopora mucronata Sonneratia alba TOTAL
Bakau
69%
53%
43%
Bakau
25%
39%
57%
Pedada Nyirih
5% 1%
0 8%
0 0
Bakau
100% 77%
100% 67%
100% 5%
Bakau
17%
11%
10%
Pedada Nyirih
1% 5%
22% 0
10% 21%
Bakau
100% 60%
100% 60%
100% 53%
Bakau
30%
40
47%
Pedada
10% 0 0 100% 100% 100% Dari ketiga stasiun dapat tampak bahwa tegakan yang paling banyak ditemukan untuk kategori
pohon yaitu pada stasiun III dengan nilai sebesar 115 tegakan, Hal ini jelas karena pada stasiun ini diletakan jauh dari aktivitas masyarakat sehingga komposisi jenis mangrove masih banyak dijumpai. sedangkan untuk kategori anakan yang paling banyak ditemukan berada pada stasiun I yang berjumlah 16 (dekat dermaga) dan untuk kategori semai yang paling banyak dijumpai yaitu pada stasiun I berjumlah 15 (dekat dermaga).
Pada stasiun 2 tingkat kerapatan mangrove tergolong rendah hanya terdapat 798 ind/ha dari keseluruh total kerapatan. Dengan begitu maka kerapatan mangrove pada stasiun 2 tergolong rusak. Kerusakan ekosistem mangrove pada stasiun 2 terjadi karena pada stasiun 2 terletak dekat dengan aktivitas masyarakat, sehingga mengganggu pertumbuhan ekosistem mangrove dan menyebabkan rendahnya kerapatan mangrove pada stasiun 2. Sedangkan 3. Kerapatan Jenis Mangrove pada stasiun 3 terlihat 3 jenis a. Kerapatan Mangrove mangrove yang ditemukan yaitu Kategori Pohon Pada jenis jenis Rhizhopora apiculata, Setiap Stasiun. Rhizhopora mucronata, dan jenis sonneratia alba. dari ketiga jenis Tabel Kerapatan Mangrove mangrove tersebut didapat jumlah Kategori Pohon Pada Setiap total 1322 ind/ha. Dengan jumlah Stasiun total kerapatan sebesar 1322 ind/ha Kerapatan Mangrove Kategori Pohon Stasiun I Stasiun II Stasiun III No Jenis Ind Kerapatan Ind Kerapatan Ind Kerapatan 646 75 576 95 731 1 Rhizophora Apiculata 84 2
Rhizophora mucronata
30
230
3 4
Sonnratia alba Xylocarpus granatum Total
6 3 123
46 5 38 15 115 23 8 61 945 104 798 116 1322 maka eksoistem mangrove pada stasiun 3 tergolong sedang kepmen LH No. 201 tahun 2004 menyatakan bahwa kategori baik ≥1500 tegakan/ha, sedang ≥1000 - ≤ 1500 tegakan/ha, dan rusak ≤ 1000 tegakan/ha. Tingginya kerapatan mangrove pada stasiun 3, karena pada stasiun ini terletak jauh dari aktivitas manusia sehingga pertumbuhan ekosistem pada stasiun 3 tergolong sedang dibanding pada stasiun 1 dan stasiun 2.
Berdasarkan kepmen LH NO 201 tahun 2004 kerapatan mangrove pada stasiun I tergolong rusak karena jumlah kerapatan kategori pohon pada stsiun ini hanya berjumlah sebesar 945 ind/ha. Kerusakan mangrove pada stsiun I disebabkan karena adanya penebangan ekosistem mangrove oleh masyarakat setempat.
16
123
47
361
a.
No 1
Kerapatan Mangrove Kategori Anakan Pada Setiap Stasiun
Tabel . Kerapatan Mangrove Kategori Anakan pada Setiap Stasiun
Kerapatan Mangrove Kategori Anakan Stasiun I Stasiun II Jenis Ind Kerapatan Ind Kerapatan Rhizopora Apiculata 8 246 12 369
2
Rhizopora mucronata
6
148
3
Sonetaria alba Total
14
4 123 430 18 553 16 jenis Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata lebih mendominasi disbanding jenis mangrove yang lainnya
Kurangnya jumlah spsies yang yang berada di Kampung Gisi Desa Tembeling dipengaruhi oleh faktor lingkungan sperti tidak adanya genangan air payau yang masuk keperairan Kampung Gisi. Sehingga mempengaruhi ekosistem mangrove jenis nipah atau yang disebut nypa fruiticans wurmb untuk tumbuh di Wilayah Kampung Gisi. Sehingga
No 1
b.
2
61
Stasiun III Ind Kerapatan 9 69 6
46
115
Kerapatan Mangrove Kategori Semai Pada Setiap Stasiun
Tabel Kategori Stasiun
Kerapatan Mangrove Semai pada Setiap
Kerapatan Mangrove Kategori Semai Stasiun I Stasiun II Jenis Ind Kerapatan Ind Kerapatan Rhizophora Apiculata 6 4615 17 9230
2
Rhizophora mucronata
8
6153
3 4
Sonnratia alba Xylocarpus granatum Total
14
3 2307 3 2307 10768 26 16151 15 11537 selain jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata tahan terhadap salinitas yang tinggi dan mudah beradaptasi juga adanya reboisasi ekosistem mangrove jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata di Kampung Gisi Desa Tembeling sehingga jenis mangrove Rhizophora apiculata dan
Dari tabel diatas menunjukan bahwa tingkat kerapatan mangrove untuk kategori semai dari 3 stasiun juga didominasi oleh jenis mangrove Rhizophora apiculata dan di ikuti jenis mangrove Rhizophora mucronata. Hal ini terjadi karena
3
2307
Stasiun III Ind Kerapatan 8 6153 7
5384
Rhizophora mucronata mendominasi dibanding mangrove yang lainnya. No
Objek Biota Ikan
lebih jenis
4. Jenis Biota Tabel Jenis Biota Yang Ditemukan Di Kampung Gisi
Nama Lokal
Stasiun I II III Belanak (Mugil dosumieri) + + + 1 Ikan sembilang (Polonotus canius) + + + Krustasea Kepiting bakau (Scylla serrata) + + 2 Gastropoda Siput isap (Potamididae) + + + 3 Reptil Ular bakau (Chrysopelea sp.) + + 4 Biawak (Varanus salvator) + + + Burung Bangau putih ( Bubulcus ibis kuntul) + 5 Elang laut (Haliaeetus leuogaster) + coelenterata Ubur-ubur (Aurelia sp.) + 6 Mamalia Monyet ekor panjang (macaca fascicularis) + + + 7 sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena Tabel diatas menujukan mereka melewatkan sebagian bahwa jumlah objek biota yang di besar hidupnya diluar jangkauan temukan tergolong rendah hanya air laut pada bagian pohon yang terdapat beberpa jenis objek biota tinggi, meskipun mereka dapat seperti Belanak (Mugil dosumieri), mengumpulkan makanannya Ikan sembilang (Polonotus canius), berupa hewan laut pada saat air Kepiting bakau (Scylla serrata), surut. Siput isap (Potamididae), Ular bakau 2. Kelompok fauna perairan / (Chrysopelea sp.), Biawak (Varanus akuatik, terdiri atas dua tipe yaitu salvator), Bangau putih ( Bubulcus : ibis kuntul), Elang laut (Haliaeetus a. Hidup di kolom air, terutama leuogaster), Ubur-ubur (Aurelia sp.), berbagai jenis ikan dan Monyet ekor panjang (macaca udang. fascicularis). Kurangnyan objek b. Menempati substrat baik biota yang ditemukan dipengaruhi keras (akar dan batang oleh faktor lingkungan dan juga di mangrove) maupun lunak pengaruh oleh aktivitas manusia. (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis Menurut Bengen (2001), invertebrata lainnya. komunitas fauna ekosistem mangrove membentuk percampuran Burung-burung dari daerah antara 2 (dua) kelompok yaitu: daratan menemukan sumber makanan dan habitat yang baik untuk 1. Kelompok fauna daratan / bertengger dan bersarang. Mereka terestrial yang umumnya makan kepiting, ikan dan mollusca menempati bagian atas pohon atau hewan lain yang hidup di habitat mangrove, terdiri atas: insekta, mangrove. Setiap spesies biasanya ular, primata dan burung. mempunyai gaya yang khas dan Kelompok ini tidak mempunyai
memilih makanannya sesuai dengan kebiasaan dan kesukaanya masingmasing dari keanekaragaman sumber yang tersedia di lingkungan tersebut. Sebagai timbal baliknya, burung– burung meninggalkan guano sebagai pupuk bagi pertumbuhan pohon mangrove Irwanto, (2006). 5.
Aksesibilitasi Aksesibilitasi dinilai dengan mengadopsi matriks kesesuaian ekowisata digunakan Murni (2000) dalam Bahar (2004). Penilaian dikelompokan menjadi 4 ketentuan dan dilakukan dengan pengamatan No Kreteria Bobot Kerapatan mangrove 4 1 (100m2) Jenis manrove 5 2 Jumlah vegetasi mangrove 4 3 Ketebalan mangrove 5 4 Objek biota 3 5
6
Aksesbilitas
secara keseluruhan tidak hanya dilihat dari perstasiun. Hasil penilaian aksesibilitasi di Kampong Gisi Desa Tembeling sudah memenuhi semua ketentuan, seperti akses jalan menuju lokasi kampong gisi sudah memadai dan mudah untuk menuju lokasi kampung Gisi. Dan juga tersedianya dermaga sebagai sarana pendukung untuk menuju lokasi di Kampung Gisi desa Tembeling. 6. Potensi Ekositem Mangrove 7. Table 9 Indeks Kesesuaian Konservasi Hasil 8 ind/m2
3 kelompok 4 spesies 113 7 kelompok jenis biota* 4 ketentuan 3 4 ketentuan Indek kesesuaian konservasi
Skor 2
Jumlah 8
2 2 2 4
10 8 10 16
4
12 64
Suber : data primer Jenis biota* Ikan, crustasea, gastropoda, reptile, burung, coulenterata, mamalia. memberi sosialisasi kepada Indeks kesesuaian konservasi masyarakat agar masyarakat bisa diperoleh melalui penjumlahan nilai mengetahui akan pentingnya bobot dikali skor di setiap kreteria. ekosistem mangrove dan bisa berdasarkan perhitungan diperoleh menjaga bersama kelestarian indeks kesesuaian konservasi ekosistem mangrove yang ada di mangrove di Kampung Gisi Desa Kampung Gisi, Desa Tembeling. Tembeling diperoleh hasil indeks 8. Potensi Sosial Masyarakat sebesar 64. Dengan begitu maka Terhadap Kegiatan Kampung Gisi Desa Tembeling Pencadangan Kawasan sesuai untuk dijadikan pencadangan Konservasi kawasan konservasi. Untuk tetap Untuk mengetahui potensi sosial menjaga kelestarian ekosistem masyarakat Kampung Gisi dilakukan mangrove di Kampung Gisi Desa wawancara langsung kepada Tembeling diperlukan penanaman masyarakat setempat dan didapat ulang mangrove atau rehabilitasi dan hasil sebagian besar masyarakat juga pemerintah setempat perlu Kampung Gisi Desa Tembeling
bermata pencarian sebagai nelayan. Adapun penduduk masyarakat Kampung Gisi, Desa Tembeling, berjumlah sebanyak 45 KK. Dari 45 KK diambil 31 KK sebagai sempel penelitian didalam ruang lingkungan hidup masyarakat dan didapat data pekerjaan 20 orang sebagai nelayan dan 11 orang sebagai buruh. 1.
Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap ekosistem mangrove
Sebagian besar masyarakat kampung gisi sudah mengetahui akan pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan, seperti fungsi mangrove sebagai penahan ombak dan juga tempat bermain ikan. 2.
Tingkat kesadaran masyarakat terhadap ekosistem mangrove Tingkat kesadaran masyarakat kampong Gisi terhadap ekosistem mangrove juga sudah mulai menyadari akan pentingnya ekosistem mangrove meski ada juga beberapa masyarakat yang belum menyadari seperti adanya penebangan pohon atau ekosistem mangrove di kawasan kampong Gisi. 3. Tingkat parisipasi masyarakat terhadap ekosistem mangrove Tingkat partisipasi masyarakat kampung Gisi begitu tinggi sebagian besar masyarakat selalu mendukung kegiatan pemerintah dalam melakukan upaya pelestarian ekosistem mangrove dan mereka mau ikut serta dalam kegiatan tersebut seperti melakukan penanaman ekosistem mangrove kembali atau reboisasi.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di wilayah kampung Gisi desa tembeling dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Potensi biofisik ekosistem mangrove di Kampung Gisi Desa Tembeling masih sesuai untuk dijadikan pencadangan kawasan konservasi. 2. Potensi sosial masyarakat di kampung gisi desa tembeling untuk tingkat pengetahuan ekosistem mangrove masyarakat sudah mengetahui tentang ekosistem mangrove, untuk tingkat kesadran juga sudah mulai menyadari akan pentingnya manrove meski ada beberapa masyarakat yang belum menyadari, dan untuk tingkat partisipasi sepenuhnya masyarakat mendukung kegiatan pemerintah dalam upaya pelestarian mangrove. B. Saran 1. Perlu adanya pengawan dan pelestarian ekosistem mangrove serta perlu dilakukan penegakan sangsi kepada masyarakat yang menebang pohon agar mangrove tetap terjaga. 2. Perlu dilakukan sosialiasi untuk meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat, tentang pentingnya suatu kawasan ekosistem mangrove untuk dijadikannya A.
3.
pencadangan kawasan konservasi di kampung.
DAFTAR PUSTAKA Arief, A.2003. Hutan Mangrove (Fungsi dan Peranannya). Kanisius, Yogyakarta. Bedgen, D. G 2001 sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut. Pusat kajian Bengkulu utara, Bengkulu, Jakarta.Bedgen, D. G 1999. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. PKSPL-IPB BOGOR. Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Bengen, G.D. 2001. Ekosistem Dan Sumberdaya Pesisir Dan Laut Serta Pengelolaan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan. Prosiding pelatihan pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Bogor. Badan pusat statistic kabupaten bintan. 2014. Teluk Bintan dalam angka 2014. http://www.bintan.kab.bps.go.id FAO, 1982. Management and Utilization of Mangrove in Asia and the Pasific. FAO Enviromental paper III. Rome. http://www.dephut.go.id/uploads/files/81a 92f83bb9e6e50361e4efdca2dbfc8.pdf (irwanto. 2006.”Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Manrove”, Yogyakarta)
. http://irwanto.info/files/fauna_man grove.pdf Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai Pasca Tsunami di NAD dan Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutan mangrove Pasca sunami, Medan, April 2005 Kepulauan Riau http://btklbatam.or.id/kepulauan-riau/ LKBN Antara. 2006. Manusia Penyebab Utama Degradasi Mangrove (Online), (http://www.antara.co.id, diakses 10 Januari 2011). MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H. 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo. Jakarta. Romimohtarto, K dan Juwana, S. 2001. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta. Santoso, N., H.W. Arifin. 1998. Rehabilitas Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove). Jakarta, Indonesia. Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia. Sassa S, Watabe Y, Yang S, Kuwae T. 2011. Burrowing Criteria and Burrowing Mode Adjustment in Bivalves to Varying Geoenvironmental Conditions in
Intertidal Flats and Beaches. PLoS ONE, 6(9): e25041
Dapertemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP IPB.
Siregar, Parpen. 2009. Konservasi sebagai Upaya Mencegah Konflik Manusia-Satwa. Jurnal U r i p S a n t o s o . h t t p : / / uripsantoso.wordpress.com.
Yulianda, Fredinan,, Hutabara, Armin Ambrosius,, Faharudin, Ahmad,, Hareti, Sri,,Kusharjani, 2010, Pengelolaan Pesisir Dan Laut Secara Terpadu, PUSDIKLAT Kehutanan-Departemen Kehutanan RI SEEM – Korea International ooperation Agency, Bogor.
Supriharyono. Ms. konservasi ekosistem hayati diwilayah pesisir dan laut tropis, 2009. Pustaka pelajar.jogjakarta. Suparianto, C. 2007. Pendayagunaan ekosistem mangrove.PT Dahara prize. Semarang. Yulianda, F . 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konsevasi. Disampaikan pada seminar 21 februari 2007.
Yamane, Taro (1967), Sampling Theory, Cliffs, Prentice Hall
Elementary Englewood
Wardhani M K. 2011. Analisis Keberlanjutan Kawasan Potensi Wisata Pantai di Pesisir Selatan Kabupaten Bangkalan. [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.