PEMANFAATAN BIOMASSA DAUN BELIMBING WULUH (AVERRHOA BILIMBI) SEBAGAI SORBEN UNTUK APLIKASI PENGOLAHAN LIMBAH UTILIZATION OF BILIMBI LEAVES (AVERRHOA BILIMBI) BIOMASS AS A SORBENT FOR WASTE PROCESSING APPLICATION Tyagita Saraswati1 dan Sukandar2 Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Jl Ganesha 10 Bandung 40132 1
[email protected] dan
[email protected]
Abstrak: Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) yang memiliki kandungan kimia berupa tannin, saponin, dan flavonoid digunakan sebagai biosorben dalam menghilangkan ion Pb2+ pada larutan limbah artifisial. Biosorben yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari tiga jenis proses pembuatan: proses tanpa pelakuan (BWT), proses polimerisasi kondensasi (BTCP), dan proses imobilisasi dengan silika gel (BTSG). Uji kadar air, kadar abu, kadar volatil, dan kadar karbon terikat dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik dan kimia dari biosorben kemudian dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 dan Standar Industri Indonesia (SII) 0258-79. Ukuran biosorben, jumlah biosorben, waktu kontak, serta konsentrasi awal diketahui memiliki pengaruh terhadap efisiensi penyerapan logam berat Pb2+. Kapasitas adsorpsi daun Belimbing Wuluh paling optimum terjadi pada kondisi ukuran partikel 100 mesh, jumlah biosorben 25 g/L, waktu kontak 45 menit, dengan konsentrasi awal 5 ppm. Jenis perlakuan biosorben dengan performa yang paling baik secara berurutan adalah BTSG, BWT, dan BTCP. Studi isotermal adsorpsi didapatkan mekanisme penyerapan biosorben adalah secara fisik/monolayer pada BTSG serta kimia/multilayer pada BWT dan BTCP. Penyerapan maksimum yang dapat dicapai daun Belimbing Wuluh mencapai 98,08%. Kata Kunci: Biosorpsi, Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi), Isoterm Adsorpsi, Optimasi, Pb2+.
Abstract: Averrhoa bilimbi leaves which contain tannins, saponins, and flavonoids were used as biosorbent in removing Pb2+ ions in the artificial waste solution. Biosorbent used in this study consists of three types of process: biosorbent without treatment (BWT), biosorbent treatment condensation polymerization (BTCP), and biosorbent treatment immobilization with silica gel (BTSG). Moisture content, ash content, volatile content, and fixed carbon content was conducted to determine the physical and chemical characteristics of biosorben compared to Standar Nasional Indonesia 06-3730 and Standar Industri Indonesia 0258-79. Size of the biosorbent, biosorbent dosage, contact time, and initial concentration are known to have effect on heavy metals Pb 2+ absorption efficiency. The most optimum biosorption capacity condition of Averrhoa bilimbi leaves was occurred in 100 mesh particle size, 25 g/L of biosorbent, 45 minutes contact time, and 5 ppm of initial concentration. Type of biosorbent with the best performance in sequence is BTSG, BWT, amd BTCP. Isothermal adsorption studies were obtained the mechanism of biosorption is monolayer for BTSG and multilayer for BWT and BTCP. The maximum Averrhoa bilimbi leaves biosorption capacity were reached 98,08%. Keyword: Averrhoa bilimbi Leaves, Biosorption, Isotherm Adsorption, Optimation, Pb2+.
PENDAHULUAN Dewasa ini, kehadiran logam berat dalam air limbah terutama di bidang industri merupakan masalah lingkungan yang penting mengingat penggunaan logam yang meningkat, tingginya tingkat toksisitas kumulatif yang merugikan, serta peraturan-peraturan yang dibuat semakin ketat. Berbagai kasus pencemaran lingkungan dan memburuknya kesehatan 1
masyarakat yang terjadi saat ini disebabkan karena pengolahan limbah yang belum ditangani dengan hati-hati. Selain itu, biaya pengolahan yang cukup besar serta proses yang rumit membuat para pelaku industri sering mengabaikan baku mutu limbah cair yang ditetapkan. Metode konvensional untuk menghilangkan ion logam dari larutan diantaranya adalah presipitasi kimia, ion exchange, oksidasi/reduksi kimia, reverse osmosis, elektro dialysis, ultra filtrasi, dan lain-lain (Gardea-Torresdey et al., 1998; Patterson, 1985). Namun, metode tersebut memiliki beberapa keterbatasan seperti efisiensi rendah, kondisi operasional yang sensitif, menghasilkan limbah sekunder, dan pembuangan tahap lanjut yang lebih mahal (Ahluwalia and Goyal, 2005). Teknologi dengan penggunaan biomassa tumbuhan sebagai sorben merupakan salah satu alternatif yang dapat dikembangkan. Metode ini cukup menjanjikan mengingat harga yang murah, kemampuan adsorpsi yang baik, mudah diregenerasi, serta aman bagi lingkungan. Namun demikian, penggunaan biomassa tumbuhan memiliki beberapa kelemahan diantaranya ukuran yang kecil, kesulitan teknis dalam penggunaan, serta mudah rusak karena dekomposisi oleh mikroorganisme lain. Kelemahan tersebut telah coba diatasi melalui teknik preparasi biosorben menggunakan metode imobilisasi serta polimerisasi kondensasi biomassa. Metode ini sangat efektif karena sel biomassa yang terimobilkan akan memiliki kekuatan partikel yang besar, serta memiliki porositas dan ketahanan kimia yang tinggi (Tsezas, 1994). Salah satu bahan alam yang mudah ditemui dan tumbuh subur di seluruh daerah di Indonesia adalah Pohon Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi). Tanaman ini termasuk salah satu jenis tanaman tropis yang mempunyai kelebihan dapat berbuah sepanjang tahun. Belimbing Wuluh banyak dipelihara di pekarangan ataupun tumbuh liar di ladang atau tepi hutan. Belimbing Wuluh menghasilkan buah yang sudah banyak dimanfaatkan baik sebagai obat, bumbu dapur, ataupun pemberi aroma. Namun, untuk daun Belimbing Wuluh sendiri belum banyak dimanfaatkan dan dibiarkan menjadi limbah tidak terurus. Padahal daun Belimbing Wuluh menyimpan potensi untuk dikembangkan dalam pengolahan limbah karena memiliki kandungan kimia berupa Tanin, Flavonoid, dan Saponin (Rahim, 1997). Pada penelitian Carter dkk (1978) dan Kalsom (2001), Tannin dan Flavonoid dilaporkan memiliki gugus –OH yang dapat mengikat logam berat melalui pertukaran ion. Sedangkan Saponin dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroba dan jamur (Forester, 2006). Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap potensi daun Belimbing Wuluh sebagai sorben logam berat yang dimodifikasi melalui teknik imobilisasi dengan silika gel sebagai matriks pendukung serta teknik polimerisasi kondensasi menggunakan formaldehid sebagai pembentuk ikatan silang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengatasi beberapa kekurangan pada penggunaan biomassa terdahulu dalam menyisihkan polutan di lingkungan serta penggunaan biomassa sebagai sorben yang murah dan mudah ditemukan dapat terus dikembangkan pada masa yang akan datang.
METODOLOGI Persiapan Biomassa Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) dikumpulkan dari pohon Belimbing Wuluh sekitar Dago, Kota Bandung, Jawa Barat. Daun Belimbing Wuluh dicuci bersih dengan akuades untuk menghilangkan debu yang menempel. Daun dikeringkan dalam oven pada temperatur 100˚C selama 16 jam, kemudian didinginkan pada temperatur ruang di desikator. Daun yang sudah kering ditumbuk dengan mortar hingga menjadi serbuk halus tanpa perlakuan. Serbuk daun dipisahkan menjadi 30 mesh (0,595 mm), 50 mesh (0,30 mm), 2
dan 100 mesh (0,149 mm) menggunakan mechanical sieve analysis untuk digunakan dalam optimasi variasi ukuran. Pembuatan Biosorben Biosorben yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari tiga jenis proses pembuatan: proses tanpa pelakuan (BWT), proses polimerisasi kondensasi (BTCP), dan proses imobilisasi dengan silika gel (BTSG). Proses polimerisasi kondensasi dilakukan dengan mencampurkan serbuk daun Belimbing Wuluh dengan formaldehid 1% dan asam sulfat 0,5 N (rasio daun:formaldehid = 1:4 m/v) kemudian dikondensasi dengan alat refluks selama 3 jam. Campuran didinginkan, dibilas dengan akuades, kemudian dikeringkan pada oven temperatur 100˚C selama 3 jam untuk menghilangkan efek racun dari formaldehid. Proses imobilisasi dengan silika gel dilakukan dengan mencampurkan 9 gram serbuk daun Belimbing Wuluh dengan gel yang terbentuk dari campuran 25 ml natrium silika, 25 ml akuades, dan 50 ml asam sulfat 3 N hingga menjadi pasta. Pasta daun didiamkan selama satu malam, dikeringkan dengan oven temperatur 100˚C selama 3 jam, kemudian ditumbuk kembali menjadi ukuran serbuk halus 100 mesh. Uji Karakterisasi Biosorben Analisa karakteristik fisik dan kimia biosorben meliputi: uji kadar air, uji kadar abu, uji kadar volatil, dan uji kadar karbon terikat. Metode yang digunakan berdasarkan ASTM Standar D 3172 yang diajukan oleh Brunner (1994). Uji Kinerja Biosorben Proses pengujian adsorbsi logam berat menggunakan biomassa daun Belimbing Wuluh dilakukan dengan berbagai variasi ukuran biosorben, dosis biosorben, waktu kontak, serta konsentrasi awal limbah artifisial Pb2+ agar didapat nilai optimum dari masing-masing faktor. Limbah artifisial dibuat dengan mengencerkan larutan induk standar Pb2+ konsentrasi 1000 ppm hingga didapat variasi konsentrasi yang dibutuhkan. Percobaan uji kinerja dilakukan dengan mengagitasi biosorben daun Belimbing Wuluh dalam 50 mL larutan Pb 2+ konsentrasi tertentu dalam 125 mL gelas Erlenmeyer pada temperatur ruang. Sampel disaring dengan kertas filter kemudian pada filtrat ditambahkan 1 tetes HNO3 untuk mempertahankan kekuatan ion larutan. Konsentrasi logam yang masih terkandung dalam filtrat diketahui dengan alat Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS). Efisiensi penghilangan logam berat (R) dapat dihitung dengan Persamaan (1): (1) dimana Ci dan Ce (mg/L) adalah konsentrasi logam awal dan konsentrasi logam setelah uji kinerja. Sedangkan kapasitas penyerapan logam (q) dapat dihitung dengan Persamaan (2): (2) dimana q (mg/g) adalah kapasitas adsorpsi dari biosorben, M (g) adalah dosis biosorben, dan V (L) adalah volume larutan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik dan Kimia Biosorben Uji karakteristik fisik dan kimia dilakukan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia biosorben. Hasil karakteristik dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 063730-1995 dan Standar Industri Indonesia (SII) 0258-79 seperti ditampilkan pada Tabel 1. 3
Tabel 1 Karakteristik Fisik dan Kimia Biosorben Kadar Air Kadar Volatil Kadar Abu Kadar Karbon
BWT 9,8555 % 71,5202 % 9,0509 % 9,5734%
BTCP 8,3258% 73,9289 % 7,8272 % 9,9181%
BTSG 6,8966 % 24,7524 % 66,3588 % 1,9923%
SNI Maks 15% Maks 25 % Maks 10% Min 65%
SII Maks 10% Maks 15 % Maks 2,5% -
Kadar Air Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui sifat higroskopis biosorben yaitu kemampuan menyerap air dan udara sekeliling pada pori-pori di permukaan adsorben. Pada umumnya semakin besar luas permukaan akan meningkatkan daya serap biosorben terhadap suatu zat, sehingga molekul uap air dari udara akan semakin banyak yang teradsorpsi dan mengakibatkan kadar air meningkat (Hasfita, 2011). Berdasarkan Tabel 1, kadar air tertinggi dimiliki oleh BWT (9,855%) dan kadar air terendah dihasilkan oleh BTSG (6,8966%). Kodisi ini mengindikasikan perolehan kadar air dipengaruhi oleh struktur biomassa dan perlakuan terhadap biomassa. Kadar air dari ketiga jenis biosorben telah memenuhi standar baik SNI dan SII. Kadar air yang tergolong rendah dapat disebabkan oleh proses awal persiapan biosorben yang terdiri atas pengeringan daun Belimbing Wuluh pada temperatur 100˚C sehingga kadar air yang terkandung pada ketiga jenis biosorben lebih sedikit. Selain itu, proses modifikasi lanjutan pada BTSG dan BTCP yang melibatkan pengeringan lebih lanjut menyebabkan nilai kadar air kedua biosorben lebih kecil dibandingkan dengan kadar air BWT. Kadar Volatil Kadar zat menguap atau kadar volatil merupakan hasil dekomposisi zat-zat penyusun arang akibat proses pemanasan selama pembakaran dan bukan komponen penyusun arang (Pari, 2004). Kadar volatil menunjukkan kandungan zat-zat mudah menguap yang hilang pada pemanasan 950˚C. Zat menguap tersebut berupa senyawa karbon, sulfur, dan nitrogen yang dapat menutupi pori-pori adsorben. Biosorben dengan kadar volatil yang tinggi akan menghasilkan asap pembakaran yang besar pada saat digunakan. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa kadar volatil ketiga jenis biosorben berkisar antara 24,75%-73,92%. BWT dan BWCP memiliki nilai kadar volatil jauh melampaui syarat kadar volatil maksimum pada SNI sebesar 25% dan SII sebesar 15%. Kadar volatil BTSG sebesar 24,75% masih memenuhi SNI walaupun tidak memenuhi SII. Tingginya kadar volatil ini menunjukkan masih terdapat senyawa non karbon yang menempel pada permukaan biosorben terutama atom H yang terikat kuat dengan atom C pada permukaan biosorben (Rumidatul, 2006). Menurut Hendra dan Darmawan (2000), besarnya kadar zat menguap ditentukan oleh waktu dan temperatur pengarangan. Semakin tinggi temperatur pengarangan semakin kecil kadar volatil yang didapat. Kadar Abu Kadar abu menunjukkan jumlah oksida-oksida logam yang tersisa pada pemanasan tinggi. Abu yang terbentuk berasal dari mineral-mineral yang terikat kuat pada arang, seperti kalsium, kalium, dan magnesium. Keberadaan abu yang berlebih dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pori-pori karbon aktif sehingga luas permukaan karbon aktif menjadi berkurang (Scroder, 2006). Hasil analisis kadar abu ketiga jenis biosorben dapat dilihat pada Tabel 1 dengan nilai berkisar 7,8272%-66,3588%. Biosorben jenis BWT dan BTCP masih memenuhi persyaratan SNI dimana kadar abu maksimal bernilai 10%, walaupun bila dibandingkan dengan SII tidak 4
memenuhi persyaratan karena kadar abu melebihi 2,5%. Pada biosorben jenis BTSG didapat kadar abu cukup besar yaitu 66,35%. Menurut Sudrajat (1985) peningkatan kadar abu terjadi akibat terbentuknya garamgaram mineral pada saat proses pengarangan yang bila proses tersebut berlanjut akan terbentuk partikel halus dari garam mineral. Kadar abu dipengaruhi oleh besarnya kadar silikat, semakin besar kadar silikat maka kadar abu yang dihasilkan akan semakin besar. Hal ini sesuai dengan tingginya kadar abu pada BTSG karena biosorben tersebut dilakukan imobilisasi dengan silika gel. Kadar Karbon Terikat Kadar karbon terikat adalah fraksi karbon (C) yang terikat di dalam sorben selain fraksi air, zat menguap dan abu. Tinggi rendahnya kadar karbon terikat di dalam sorben dipengaruhi oleh nilai kadar abu, kadar zat menguap, dan senyawa hidrokarbon yang masih menempel pada permukaan arang. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa kadar karbon terikat berkisar antara 1,99%-9,91%. Ketiga jenis biosorben tidak memenuhi persyaratan SNI dimana ditetapkan kadar karbon minimal 65%. BTSG memiliki nilai kadar karbon jauh lebih kecil dibandingkan BWT (9,57%) dan BTCP (9,91%) yaitu sebesar 1,99%. Hal ini disebabkan oleh proses pembuatan BTSG dimana bahan baku daun Belimbing Wuluh yang digunakan hanya sebanyak 9 gram dari 33 gram hasil BTSG siap pakai. Kandungan selulosa dalam adsorben akan mempengaruhi besarnya kadar karbon terikat dikarenakan unsur penyusun selulosa sebagian besar adalah karbon; semakin banyak selulosa, kadar karbon terikat akan semakin besar. Selain itu kadar karbon dapat dipengaruhi oleh berat jenis, dimana berat jenis dan kerapatan yang besar akan meningkatkan kadar abu sehingga menghasilkan kadar karbon terikat yang rendah (Pari, 1996). Kadar karbon yang diinginkan dalam pembuatan biosorben adalah setinggi mungkin. Rendahnya kadar karbon terikat menunjukkan banyak atom karbon yang bereaksi dengan uap air menghasilkan gas CO dan CO2 sehingga sedikit atom karbon yang tertata kembali dan membentuk struktur heksagonal (Rumidatul, 2006). Sedangkan kadar karbon yang tinggi menandakan fraksi karbon yang terekat di dalam arang semakin besar sehingga mengakibatkan luas permukaan arang semakin besar dan menambah kemampuan penyerapan (Fauziah, 2009). Pengaruh Ukuran Partikel Biosorben Ukuran partikel biosorben akan mempengaruhi kapasitas adsorpsi yang terjadi. Tingkat adsorpsi akan meningkat dengan adanya penurunan ukuran partikel. Proses adsorpsi penggunaan biosorben dalam bentuk bubuk lebih cepat dibandingkan dengan penggunaan biosorben dalam bentuk granular. Efisiensi Penyerapan (%)
100 80 60 30 mesh 50 mesh 100 mesh
40 20 0 0
5
10 Biosorben 15 Dosis (g/L)
Gambar 1 Pengaruh Ukuran Biosorben 5
20
25
Percobaan pengaruh ukuran biosorben terjadi dengan variasi ukuran 30 mesh, 50 mesh, dan 100 mesh pada dosis biosorben sebesar 1 g/L, 10 g/L, dan 20 g/L. Percobaan dilakukan pada 50 mL larutan Pb 50 ppm, kondisi suhu ruang ± 25˚C, dengan agitasi menggunakan shaker 200 rpm selama 60 menit. Pengaruh dari berbagai ukuran partikel biosorben dapat terlihat pada Gambar 1 dan penyerapan Pb2+ paling efektif terjadi pada ukuran 100 mesh. Biosorben ukuran 100 mesh digunakan untuk mendapat kondisi optimum pada variasi selanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan kemungkinan adanya keterkaitan antara total luas permukaan dan ukuran molekul ion logam terhidrolisis. Jari-jari Pb adalah sebesar 175 pikometer, sehingga di dalam larutan ion Pb akan banyak dikelilingi oleh molekul air yang menyebabkan besarnya ukuran ion dalam fasa cair. Oleh karena itu, dibutuhkan luas permukaan yang lebih besar dengan cara mengurangi ukuran partikel dari biosorben. Meskipun memberikan tingkat penyerapan yang besar, penggunaan biosorben berukuran lebih kecil dari 140 µm dapat menimbulkan beberapa kendala pada skala industri seperti mudah terjadinya penyumbatan (Tassist, 2010).
Efisiensi Penyerapan (%)
Pengaruh Jumlah Biosorben Percobaan pengaruh jumlah biosorben (dosis) diperlukan untuk menentukan dosis optimum. Berat adsorben yang memiliki ukuran partikel seragam akan memiliki luas permukaan per berat yang sama, sehingga banyaknya adsorbat yang diadsorpsi sebanding dengan berat biosorben. Semakin besar jumlah biosorben yang digunakan, memberikan luas permukaan bidang kontak yang semakin besar sehingga molekul adsorbat yang teradsorpsi juga semakin banyak. Di samping itu molekul-molekul yang memiliki tingkat polaritas dan kelarutan rendah cenderung lebih mudah teradsorpsi. Percobaan pengaruh jumlah biosorben terjadi dengan variasi 5 g/L sampai 30 g/L. Percobaan dilakukan menggunakan biosorben dengan ukuran 100 mesh, pada 50 mL larutan Pb 50 ppm, kondisi suhu ruang ± 25˚C, dengan agitasi menggunakan shaker 200 rpm selama 60 menit. Pada Gambar 2 dapat diketahui jumlah biosorben optimum terjadi pada titik 25 g/L pada BWT dan BTSG serta 30 g/L pada BTCP, dosis biosorben tersebut digunakan untuk mendapatkan kondisi optimum pada variasi selanjutnya. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
BWT BTCP BTSG
0
10
20 30 40 Dosis Biosorben (g/L)
50
60
Gambar 2 Pengaruh Jumlah Biosorben Peningkatan konsentrasi biomassa umumnya meningkatkan jumlah zat terlarut biosorben dimana luas permukaan meningkat sehingga jumlah logam yang terikat akan lebih banyak. Sebaliknya, jumlah zat terlarut biosorben per satuan berat pada satu titik tertentu akan menurun seiring bertambahnya dosis biosorben. Fenomena ini diduga akibat kejenuhan pori-pori permukaan biosorben yang telah dipenuhi oleh logam berat sehingga biosorben 6
tidak mampu menyerap kembali. Data ini sejalan dengan teori adsorpsi Langmuir yang menyatakan bahwa permukaan adsorben memiliki sejumlah tertentu situs aktif (active site) adsorpsi. Oscik dan Cooper (1992) menjelaskan bahwa banyaknya situs aktif sebanding dengan luas permukaan biosorben dan masing-masing situs aktif hanya dapat mengadsorpsi satu molekul adsorbat. Pada keadaan dimana tempat adsorpsi jenuh dengan adsorbat maka kenaikan jumlah biosorben cenderung tidak menaikkan jumlah zat yang teradsorbsi. Menurut Wijayanti (2009) apabila permukaan sudah jenuh atau mendekati jenuh dengan adsorbat, terdapat dua fenomena yang mungkin terjadi. Pertama, akan terbentuk lapisan adsorbsi kedua dan seterusnya di atas adsorbat yang telah terikat di permukaan, gejala ini disebut adsorpsi multilayer. Kedua, tidak terbentuk lapisan kedua dan seterusnya sehingga adsorbat yang belum teradsorpsi akan berdifusi keluar pori dan kembali ke arus fluida. Alasan lain yang mungkin dapat menurunkan kapasitas adsorpsi adalah terjadinya agregasi/penggumpalan antar adsorben yang digunakan sehingga akan menyebabkan penurunan dalam total luas permukaan adsorben.
Efisiensi Penyerapan (%)
Pengaruh Waktu Kontak Penelitian penentuan optimasi waktu kontak adsorpsi bertujuan untuk mengetahui berapa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan yang optimum. Penentuan waktu kontak optimum dilakukan pada ketiga jenis biosorben yaitu BWT, BTPC, dan BTSG ukuran optimum 100 mesh dengan variasi dosis berturut-turut 25 g/L, 30 g/L, dan 25 g/L, serta variasi waktu kontak masing-masing biosorben terdiri dari 10 menit hingga 90 menit. Grafik hasil percobaan terdapat pada Gambar 3 dan didapat waktu kontak optimum untuk BWT dan BTSG adalah 45 menit sedangkan untuk BTCP adalah 60 menit. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
BWT BTCP BTSG
0
15
30
45 60 Waktu Kontak (menit)
75
90
105
Gambar 3 Pengaruh Waktu Kontak Pada umumnya, keseluruhan plot pada Gambar 3 menunjukkan bahwa tingkat adsorpsi Pb2+ terdiri dari dua tahap: fase cepat di awal kontak dimana proses adsorpsi berlangsung pesat dan dilanjutkan dengan fase lambat dimana titik ekuilibrium tercapai. Fase pertama berkaitan dengan penyerapan oleh permukaan luar adsorben yang terjadi seketika, dan fase kedua adalah fase kenaikan bertahap sebelum akhirnya mencapai titik penyerapan setimbang. Tingginya laju penyerapan yang diperlihatkan oleh kurva dengan lereng curam pada periode 10 menit pertama dipengaruhi oleh tersedianya situs adsorpsi yang belum terisi logam. Ketika situs adsorbsi tersebut sudah terisi oleh ion logam secara cepat, laju penyerapan semakin berkurang. Hal ini dapat terjadi akibat adanya gaya tolak dari ion logam yang terserap di permukaan adsorben dan situs eksternal yang aktif menjadi jenuh. Ion logam harus melintasi lebih jauh dan lebih dalam situs internal yang aktif untuk mendapatkan resistansi yang jauh lebih besar. 7
Waktu kontak optimum berhubungan erat dengan karakteristik dari biosorben yang digunakan. Biosorben yang diberi perlakuan cenderung memerlukan waktu yang lama untuk mencapai kondisi optimum karena dibatasi oleh faktor difusi. Proses imobilisasi dan polimerisasi diduga menyebabkan permukaan biosorben dilingkupi oleh polimer yang menutupi dinding sel, sehingga untuk dapat berinteraksi dengan adsorbat diperlukan waktu yang lama. Sedangkan interaksi biosorben tanpa perlakuan tidak dibatasi oleh difusi sehingga pada awal proses kondisi optimum lebih cepat tercapai. Adapun penurunan daya adsorpsi yang terjadi pada ketiga jenis biosorben BWT, BTCP, dan BPSG dapat disebabkan oleh dua hal yaitu terjadinya kejenuhan dari lapisan luar biosorben yang diikuti oleh terlepasnya adsorbat dari rongga-rongga biosorben sehingga daya serap terhadap logam menurun (Wijayanti, 2009).
Efisiensi Penyerapan (%)
Pengaruh Konsentrasi Awal Limbah Artifisial Variasi konsentrasi dilakukan untuk melihat pada konsentrasi berapa biosorben dapat bekerja lebih baik mengingat larutan yang digunakan adalah limbah artifisial. Pengaruh konsentrasi pada proses adsorpsi dapat dijelaskan dengan teori tumbukan. Semakin tinggi konsentrasi menandakan semakin banyak molekul dalam setiap satuan luas ruangan dengan demikian tumbukan antar molekul akan semakin sering terjadi. Semakin banyak tumbukan yang terjadi berarti kemungkinan untuk menghasilkan tumbukan yang efektif akan semakin besar sehingga reaksi berlangsung lebih cepat (Whidianti, 2010). Penentuan konsentrasi awal optimum dilakukan pada ketiga jenis biosorben yaitu BWT, BTPC, dan BTSG ukuran optimum 100 mesh dengan variasi dosis berturut-turut 25 g/L, 30 g/L, dan 25 g/L, variasi waktu kontak masing-masing biosorben 45 menit, 60 menit, 45 menit. Variasi konsentrasi awal yang digunakan adalah 5 ppm sampai 100 ppm. Grafik hasil percobaan dapat dilihat pada Gambar 4. 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
BWT BTCP BTSG 0
25
50 Konsentrasi Awal (ppm)
75
100
Gambar 4 Pengaruh Konsentrasi Awal Pada Gambar 4 dapat dilihat ketiga jenis biosorben mengalami penurunan efisiensi seiring dengan bertambahnya konsentrasi awal yang diberikan. Pada konsentrasi awal 5 ppm BTSG memiliki efisiensi penyerapan paling baik yaitu mencapai 98,08%, sedangkan pada BWT efisiensi tertinggi bernilai 97,11% dan pada BTCP efisiensi tertinggi bernilai 96,82%. Efisiensi terus menurun hingga konsentrasi awal 100 ppm dengan efisiensi 58,07% untuk BTSG, 61,6% untuk BWT, dan 46,46% untuk BTCP. BTSG memiliki efisiensi paling tinggi dibandingkan dengan BWT dan BTCP sejak konsentrasi 5 ppm hingga 75 ppm. Mekanisme penyerapan logam berat bergantung pada konsentrasi awal logam berat itu sendiri. Pada konsentrasi rendah logam berat teradsorbsi oleh situs spesifik, sementara peningkatan konsentrasi logam akan mengakibatkan situs spesifik menjadi jenuh dan situs 8
pertukaran (exchange sites) akan penuh terisi (Saeed dkk, 2005). Kapasitas adsorpsi pada ketiga jenis biosorben meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi awal logam pada larutan. Isotermal Adsorpsi Penentuan isotermal adsorpsi bertujuan untuk melihat mekanisme penyerapan dari biosorben pada proses adsorpsi. Dari persamaan isoterm adsorpsi dapat dilihat karakteristik isoterm berupa kapasitas dan mekanisme proses biosorpsi. Persamaan isoterm yang digunakan dalam penelitian ini adalah persamaan Freundlich dan persamaan Langmuir. Dari hasil perhitungan, dibentuk kurva linear antara 1/Ce dan 1/qe untuk persamaan Langmuir dan kurva linear antara Log Ce dan Log qe untuk persamaan Freundlich. Untuk melihat persamaan isoterm yang sesuai dengan percobaan ini, maka dapat dibuktikan melalui koefisien determinasi (R2) yang ditunjukkan pada grafik linearisasi masing-masing persamaan. Penentuan isoterm Langmuir digunakan Persamaan 3 (Munagapati dkk, 2010): (3) Nilai qe adalah konsentrasi ion logam per gram biosorben pada kondisi setimbang (mg/g sorbent) sementara Ce adalah konsentrasi adsorbat pada larutan pada kondisi setimbang (mg/L). Nilai qm adalah jumlah maksimum adsorbat per gram biosorben untuk membentuk lapisan monolayer (mg/g sorben) dan KL adalah konstanta penyerapan Langmuir yang berkaitan dengan penyerapan energi bebas (L/mg). Sementara model Freundlich ditunjukan pada Persamaan 4 (Munagapati dkk, 2010): (4) Nilai Kf adalah konstanta yang berhubungan dengan kapasitas biosorpsi sedangkan n merupakan parameter empiris berhubungan dengan intensitas biosorpsi yang bergantung pada heterogenitas dari material. Berdasarkan Persamaan 3 dan Persamaan 4 maka didapat nilai qm dan KL untuk Isoterm Langmuir dan nilai n dan Kf untuk Isoterm Freundlich dari Gambar 5 dan hasil perhitungan dirangkum pada Tabel 2. 8
0.5
4
-2
BWT BTCP BTSG
2 0
0
5
1/Ce
10
0
Log qe
1/qe
6 -1
0
1
-0.5 -1 Log Ce
15
2
BWT BTCP BTSG
(a) (b) Gambar 5 Kurva Isoterm Adsorbsi. (a) Langmuir (b) Freundlich. Tabel 2 Parameter Isoterm Langmuir dan Isoterm Freundlich Langmuir
Freundlich
qm 1,1227
1/(qmax*KL) 0,6401
KL 1,3915
R2 0,872
1/n
n
log Kf
Kf
R2
BWT
1/qm 0,8907
0,4680
2,1368
-0,3540
0,4426
0,9805
BTCP
1,1104
0,9006
0,8412
1,3200
0,8758
0,4220
2,3697
-0,4479
0,3565
0,9452
BTSG
0,6871
1,4554
0,5287
1,2996
0,9929
0,3977
2,5145
-0,2788
0,5263
0,9585
9
Analisa isoterm Langmuir digunakan dengan asumsi adsorben memiliki permukaan yang homogen dan hanya dapat mengadsorpsi satu molekul adsorbat untuk setiap molekul biosorbennya serta tidak terjadi interaksi antara molekul-molekul yang terserap. Semua proses adsorpsi dilakukan dengan mekanisme yang sama hanya terbentuk satu lapisan tunggal saat adsorpsi maksimum. Namun, asumsi-asumsi tersebut sulit diterapkan karena selalu ada ketidaksempurnaan pada permukaan adsorben, molekul teradsorpsi yang tidak inert, dan mekanisme adsorpsi pada molekul pertama sangat berbeda dengan mekanisme pada molekul terakhir yang teradsorpsi (Afrianita, 2010). Konstanta isoterm Langmuir menunjukkan pola ikatan yang terbentuk antara biosorben dan adsorbat. Nilai q m dari Langmuir menggambarkan ikatan antara biosorben dan logam Pb2+ mampu membentuk lapisan monolayer dalam jumlah besar. Apabila biosorben mencapai nilai qm, maka kapasitas adsorpsi mencapai angka maksimum atau mengalami titik jenuh dimana seluruh situs penyerapan telah penuh dan kemudian terbentuk lapisan pada permukaan adsorben. Nilai KL mengindikasikan tingkat afinitas antara Pb 2+ dengan permukaan biosorben. Nilai KL > 1 menunjukkan tingkat afinitas yang kuat (Hasfita, 2011). Pada Tabel 2 dapat dilihat nilai q m dan KL tertinggi diperoleh BTSG, dilanjutkan dengan BWT dan BTCP. Faktor korelasi pada BTSG bernilai 0,9929 menunjukkan hasil yang baik, namun berbeda dengan BWT dan BTCP yang memiliki nilai korelasi hanya sebesar 0,87. Oleh karena itu BWT dan BTCP dapat menggunakan persamaan Freundlich untuk mendapatkan angka korelasi yang lebih besar. Isoterm Freudlich adalah bentuk terbatas dari isoterm Langmuir dan hanya dapat digunakan pada tekanan uap sedang dan berlaku untuk adsorpsi cairan pada permukaan padatan. Isoterm Freundlich mengasumsikan bahwa pada sisi permukaan adsorben terjadi proses adsorpsi di bawah kondisi yang diberikan, tanpa memperkirakan keberadaan sisi-sisi permukaan yang dapat mengganggu terjadinya adsorbsi saat kesetimbangan tercapai. Di sisi lain hanya terdapat beberapa sisi aktif yang mampu mengadsorpsi molekul terlarut (Pope, 1996). Hasil percobaan pada uji isoterm Freundlich memberikan nilai koefisien korelasi yang berbeda pada masing-masing biosorben seperti ditampilkan pada Tabel 2. BWT memperoleh nilai korelasi Freundlich terbesar yaitu 0,9805, dilanjutkan dengan BTSG sebesar 0,9585 dan BTCP sebesar 0,9452. Nilai korelasi pada Freundlich untuk BWT dan BTCP lebih besar dibandingkan dengan nilai korelasi yang didapat pada persamaan Langmuir. Nilai konstanta Kf dan n pada setiap jenis biosorben bernilai positif mengindikasikan adanya keseimbangan antara konsentrasi larutan, jumlah biosorben, serta waktu kontak yang digunakan pada proses penyerapan. Nilai Kf pada model Freundlich menggambarkan kapasitas adsorpsi dari permukaan biosorben. Pada Tabel 2, nilai Kf paling besar dimiliki oleh BTSG yaitu sebesar 0,5263. Semakin besar nilai Kf menunjukkan laju penyisihan adsorbat yang tinggi (Babu, 2002). Sementara, semakin kecil nilai (1/n) menunjukkan kekuatan yang besar antara biosorben dan adsorbat. Kesesuaian ikatan Pb 2+ dengan biosorben mengikuti model Freundlich mengindikasikan proses sorpsi berlangsung secara multilayer.
KESIMPULAN Dalam penelitian ini, penggunan daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) sebagai biosorben diujikan dalam menghilangkan ion Pb 2+ pada larutan limbah artifisial. Biosorben yang digunakan terdiri dari tiga jenis proses pembuatan: proses tanpa pelakuan (BWT), proses polimerisasi kondensasi (BTCP), dan proses imobilisasi dengan silika gel (BTSG). Kapasitas adsorpsi daun Belimbing Wuluh paling optimum terjadi pada kondisi ukuran partikel 100 mesh, jumlah biosorben 25 g/L, waktu kontak 45 menit, dengan konsentrasi awal 10
5 ppm. Jenis perlakuan biosorben dengan performa yang paling baik secara berurutan adalah BTSG, BWT, dan BTCP. Studi isotermal adsorpsi didapatkan mekanisme penyerapan biosorben adalah berupa monolayer pada BTSG serta multilayer pada BWT dan BTCP. Penyerapan maksimum yang dapat dicapai daun Belimbing Wuluh adalah mencapai 98,08%. Selanjutnya, diperlukan analisa struktur kristal biosorben menggunakan X-ray Diffractometer (XRD), analisa gugus fungsional menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR), serta analisa bentuk permukaan dan pori biosorben menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk mengetahui struktur morfologis biosorben dalam proses biosorpsi. DAFTAR PUSTAKA Afrianita, R., Fitria, D., & Sari, P.R. (2010). Pemanfaatan Fly Ash Batubara Sebagai Adsorben dalam Penyisihan Chemical Oxygen Demand (COD) dari Limbah Domestik (Studi Kasus: Limbah Cair Hotel Inna Muara, Padang). JournalTeknika Unand, 1: 33. Ahalya, N., Ramachandra, T.V., & Kanamadi, R. D. (2004). Biosorption of Heavy Metals Bangalore, India. Centre for Ecological Science. Indian Institute of Science. Ahluwalia, S.S., & Goyal, D. (2005). Removal of heavy metals from waste tea leaves from aqueous solution. Eng. Life Sci. 5: 158–162. Babu, B. V. & Ramakrshna, V. (2002). Modeling of Adsorption Isotherm Constants Using Ragression Analysis and Neural Networks. Proceedings of International Symposium and 55th Annual Session of IIChE. OU Hyderabad. Brunner, C. R. (1994). Hazardous Waste Incineration. Mc. Graw-Hill International Edition, pp 460. Charter, F. L., Carlo, A.M. & Stanley, J. B. (1978). Termicidal Components of Sorption onto Physically Pretreated Rosa centifolia Distillation Waste Biomass, African Journal of Biotecnology, 9 (53), 90-51-9062. Fauziah, N. (2009). Pembuatan Arang Aktif secara langsung dari kulit Acacia mangium Wild dengan aktivasi fisika dan aplikasinya sebagai adsorben. Skripsi Departemen Hasil Hutan. Institut Pertanian Bogor. Forester, H. (2006). American Hournal Clinial Nutrition, 103 (15)66-71. Gardea-Torresdey, J.L., Gonzalez, J.H., Tiemann, K.J., Rodriguez, O., & Gamez, G. (1998). Phytofilteration of hazardous cadmium, chromium, lead, and zinc ions by biomass of Medicago sativa (alfalfa). Journal of Hazardous Material, 57: 29–39. Hasfita, Fikri. (2011). Pengembangan Limbah Daun Akasia (Acacia mangium Wild) Sebagai Sorben Untuk Aplikasi Pengolahan Limbah. Tesis Program Studi Teknik Lingkungan. Institut Teknologi Bandung. Hayati, E. K. (2011). Dibalik Mukzizat Tanaman Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) Sebagai Pengawet Alami. Diakses tanggal 1 April 2013 dari : http://elokkamilah.wordpress.com/. Hendra & Darmawan. (2000). Pengaruh Bahan Baku, Jenis Perekat dan Tekanan Kempa Terhadap Kualitas Briket Arang. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Kalsom, Y.U., Khairuddin, H. I., & Zakri, M. M. (2001). Flavonol Glycosides From the Leaves of Acacia Mangium and Related Species. Malaysian Journal of Analytical Sciences, 7 (1): 109-112. Munagapati, V.S., Yarramuthi, V., & Nadavala, S. K. (2010). Biosorption of Cu(II) and Pb(II) by Acacia leucocephala Bark Powder: Kinetics, Equilibrium and Thermodynamics. Chemical Engineering Journal, 147: 357-365. Oscik, J., & Cooper, I. L. (1992). Adsoption. Ellis Horwood Publisher Limited, Chichester.
11
Pari, G. (2004). Kajian Struktur Arang Aktif dari Serbuk Gergaji Kayu sebagai adsorben emisi formaldehida kayu lapis. Disertasi Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Patterson, J.W. (1985). Industrial Wastewater Treatment Technology. Second ed. Butterorth Publisher, Stoneham, MA. Pope, J. P. (1996). Activated Carbon and some application for the remediation of soil and Groundwater Pollution, Groundwater Pollution Primer, Groundwater Pollution, Civil Engineering Departement, Virginia Technology. Rahim, A. (1997). Profil Kromatografi Lapis Tipis Kandungan Kimia Daun Cereme (Phyllanthus acidus S.), Belimbing Manis (Averrhoa bilimbi L.), dan Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.). Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Gajah Mada. Rumidatul, A. (2006). Efektivitas Arang Aktif sebagai Adsorben pada Pengolahan Air Limbah. Tesis Departemen Teknologi Hasil Hutan. Institut Pertanian Bogor. Saeed, A., Waheed-Akhter, M., & Iqbal, M. (2005). Removal and recovery of heavy metals from aqueous solution using papaya wood as a new biosorbent. Sep. Purif. Technol. 45: 25–31. Sudrajat, R. (1985). Pengaruh Beberapa Faktor Terhadap Sifat Arang Aktif. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, Vol. 2, No. 2. Standar Industri Indonesia. (1979). SII 0258-79: Mutu dan Cara Uji Arang Aktif. Departemen Perindustrian RI: 1-2. Jakarta. Standar Nasional Indonesia. (1995). SNI 06-3730-1995: Arang Aktif Teknis. Dewan Standarisasi Nasional Jakarta. Tassist, A., Lounici, H., Abdi, N., & Mameri, N. (2010). Equilibrium, Kinetic and Thermodynamic studies on Aluminum biosorption by a Mycelial biomass (Streptomyces rimosus). Journal of Hazardous Materials, 183: 35-43. Tsezaz, M. (1994). The Mechanism of Thorium Biosorption by Rizhopus Arrhizus. Journal Biotechnology Bioengineering, 24: 955-969. Widhianti, W. D. (2010). Pembuatan Arang Aktif dari Biji Kapuk (Cieba pentandra L.). Skripsi Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Airlangga Surabaya. Wijayanti, R. (2009). Arang Aktif dari Ampas Tebu sebagai Adsorben pada Pemurnian Minyak Goreng Bekas. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
12