30
Huklllll dan Pelllbang/l/lall
"KASUS SIPADAN-LIGITAN: MASALAH PENGISIAN KONSEP NEGARA" PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PULAU SIPADAN DAN PULAU LIGITAN Dr. N. Hasan Wirajuda, SH, LL.M., MALD'
Penama-tama. saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan ya ng tulus at as kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berpartisipasi dalam diskusi dengan agenda "Kasus Sipadall-Ligilal1 : Masa/ali Pellgisiall KOllsep Negara" pagi hari ini . Saya pribadi menilai pilihan wpik diskusi ini mencermi nkan sikap asenif Fakultas Hukum Univers itas Indonesia dalam menangkap beragam as pirasi yang berkembang di masyarakat dalam memaknai putusan Mahkamah Internasional dalam sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Karena itu. kajian akademis terhadap putusan Mahkamah Internasional dalam sengketa tersebut memang sangat diperlukan. baik dalam rangka memperkaya wawasan maupun dalam memberikan pemahaman yang memadai atas kasus ini. Hal ini pada gilirannya diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya meluruskan beberapa salah persepsl ya ng terlanjur memasyarakat. Momentum penyelenggaraan diskusi yang dikaitkan dengan Peringatan Ke-53 Dies Natalis Universitas Indonesia ini menurut hemal say a juga mencehllinkan kesadaran segenap kalangan civitas akademika Universitas Indonesia untuk menyumbang pandangan akademis yang konkrit terhadap masalah yang sedang menjadi so rotan masyarakat, sehingga diharapkan mampu menempatkan suatu masalah pada proporsinya yang tepa!. Saya sepenuhnya memahami bahwa bagi kalangan civitas akademika peringaran Dies Natalis mempunyai ani penting utamanya dalam upaya mengkaji-ulang posisi instilusi pendidikan tertingg i di dalam inleraksinya dengan warga masyarakat. dan sekaJigus menjadi momen retrospeksi untuk melihat sampai sejauh mana kontribusi ya ng telah diberikan kepada bangsa dan negara. Da lam kairan ini. secara khusus saya ingi n menggaris-bawahi bahwa Fakultas Hukum Universitas
* Dis
Janllar; - Marel 2003
Proses Pellyeiesaiall Sengketa Puiau Sipadan-Ligitan
31
Indonesia selayaknya menempati POSlSl strategis dan berada pada baris terdepan dalam membumikan budaya hukum di tengah perubahan sosial yang berlangsung sangat cepa!. Dengan demikian. maka kita dapat mengharapkan hukum akan mampu mengawal proses transisi menuju kehidupan bennasyarakat dan bernegara yang lebih baik . yang mengedepankan penghormatan terhadap supremasi hukum. baik dalam hubungan sesama warganegara maupun dalam kerangka interaksi antarnegara. Sebagai salah satu anggota Keluarga Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia tentunya tidak berlebihan jika say a pun menaruh harapan yang besar bagi sukses Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk mencapai tujuan ini.
** Sesuai dengan (opik diskusi , saya ingin mengawali ceramah ini dengan gambaran sing kat perihal kontras posisi hukum Indonesia dan sena pokok-pokok pertimbangan hukum Mahkamah Malaysia Internasional. ' Dengan pengamatan yang seksama dapal diketahui bahwa argumentasi hukum yang diajukan para pihak untuk mendukung klaimnya sesungguhnya mengacu pada prinsip hukum yang sama, yakni suksesi kepemilikan yang diwarisi dari penguasa kolonial masing-masing. Melalui alur argumentasi dan pembuktian yang berbeda, baik Indonesia dan Malaysia mengklaim kepemilikannya atas kedua pulau berdasarkan dalil 1IIi possidetis. Indonesia mendasarkan klaimnya pada treaty-based title atau cOll velllionai title, utamanya penafsiran atas Pasal IV Konvensi 1891, yakni bahwa garis 4 0 10' LU yang memberikan petunjuk tentang batas kepemilikan Belanda dan lnggeris di sebelah selatan dan ulara garis 4° 10' LU terse but adalah garis yang memotong P. Sebatik dan terus menjulur ke laut di arah sebelah timur pulau tersebut atau a//acarioll lille' (ilustrasi peta I). Ind ones ia mengklaim bahwa kedua pulau merupakan miliknya karena terlelak di sebelah selatan garis batas ini. Indonesia juga mengajukan dalil alternatif bahwa kedua pulau sengkela merupakan wilayah Kesu1tanan Bulungan yang kemudian diserahkan kepada Belanda . :!
PutUS;JJl dan pertimhangan hukum Mahkamah Jruernasiol1<1l (Iel) alas argumemasi Imkum
Illasin,g.-m:tsing pihak lIalam SCllgkcla kepemilikan P. Sipadan-Ligilall ini dapat di akses di hup: llwww. icj-cij .org / il.:jwwwll iuockel/iinmajudgmcnt/ iinm"_ijudgmenl_2002 1217 .PDF
) P.m, 39, ihid.
Nomor I Taill'" XXX/II
32
Hukulll dal1 PelllballgwlGll
Sementara itu, Malaysia menggunakan chain of title theolY di mana kedua pulau diperoleh berdasarkan transfer kepemilikan melalui dua alur, yakni: (i) penyerahan wilayah dengan jalur Sultan Sulu/SpanyoIlAS/illggris/Malaysia; (ii) dan tindakan privat akibat leasing dengan alur British North Borneo Company rBNBC) Sultall Sulu/SpanyoIlASlDent-Overbeck (BNBC)/ inggris/Malaysia." Secara terpisah, Malaysia Juga menggunakan argumentasi alternatif dengan merujuk pada sejumlah fakta ya ng menunjukkan adanya pengelolaan yang damai dan berkesinambungan yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris dan juga Malaysia terhadap kedua pulau sengketa (ejfeClivifl!S)-' Sebagaimana diketahui, pad a tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah akhirnya memutuskan bahwa Malaysia adalah pihak ya ng memiliki kedaulatan penuh atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dalam putusannya. Mahkamah menjadikan doktrin "ejfectivites" sebagai pertimbangan utama untuk menyatakan kepemilikan Malaysia atas kedua pulau tersebul. Menurut Mahkamah, klaim conventional title Indones ia maupun klai m chain of title theOlY Malaysia sama lemahnya karena tidak dapat memberikan bukti-bukti hukum yang dapat mendukung klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pulau sengketa. Mahkamah juga berpendapat tidak ada bukti dokumen otentik ya ng dapat meyak inkan bahwa kedua pulau sengketa termasuk ke dalam bag ian dari w ilayah kekuasaan Belanda atau Inggeris. Karena itu" Mahkamah tidak melihat alrernatif lain kecuali menguji doktrin effeClivites sebagai suatu fak ta hukum yang berdiri sendiri -" Pertimbangan Mahkamah dalam konteks ini o risinal. Haller-Trost, misa lnya mengkaitkan pengelolaan efekt if ya ng dilakukan terhadap kedua pulau sejak 1907 diperoleh Malaysia berdasarkan rangkaian kontrak yang diperolehnya secara estafet dari pemerintah kolonial terdahu lu, Berbeda dengan Haller-Trost, Mahkamah menegaskan bahwa tidak terdapal bukli yang dapal mendukung kla im kepemilikan masing-masing berdasarkan cOllventional title maupun chain of title tileolY karena kedua pulau sengkela tidak pernah dirujuk secara spes ifik dalam kesepakalan yang dibual antara pemerintall kolonial. baik antara Belanda-lnggris, Spanyol-AS maupun Inggris-AS, untuk penentuan batas kepemilikan masing-masing di kawasan, Dengan demikian ,
' Para 97-98, t02~t03. 105. ill id 5 Para 132. ihid /, Para 127 ibu.l.
Jall//{/ri - Marel 2003
Proses Pellyelesaian. Sel1gkela Pulau Sipadal1-Ligilal1
33
Mahkalllah Illengisyaratkan bahwa kedua pulau terse but sesungguhnya
terra lI/llillS 7 Dapa t disarikan bahwa Mahkamah menyimpulkan Malaysia memiliki sejumlah dokumen yang menunjukkan adanya administrasi berkesinambungan yang dilakllkan pemerintah kalollial Illggris terhadap kedua pulau sengketa. Tindakan pengelolaan Inggris ini dibuktikan dengan beragam manifestasi, baik bersifat adminsitratif. legislatif dan quasi-yudisal sebagaimana terlihat dari: (i) pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917: (ii) penyelesaian kasus-kasus sengkera pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pad a tahun 1930-3n; (iii) penetapan P. Sipadan sebagai eagar burung (bird saIlCluaries); dan (iv) pembangunan dan pemeliharaan mereu suar sejak tahun 1962 di Sipadan dan rahun 1963 di Ligitan. ' Mahkamah menegaskan bahwa fakra-fakta yang diajukan Malaysia ini· - meskipun jum lahnya sedikit nalllun bervariasi dalal1l karakternya tersebut - membuktikan adanya pengelolaa n seeara damai dan berlanjut Inggris aras kedua pulau sengketa. Kesel1luanya itu l1lelingkupi suatu periode waktu yang l1lel1ladai dan dinilai l1lel1lperiiharkan suatu keinginan untuk l1lelaksanakan fung si-fungsi negara berkaitan dengan kedua pulau dalal1l rangka pengelolaan yang lebih luas · Dengan kara lain. hal tersebul mencenninkan pengejawantahan yang nyata dari itikad dan kemauan ullIuk menegakkan sifat perbuatan yang didalamnya l1lelekat esensi kedaulatan negara. Sebaliknya. tindakan yang dijadikan sandaran Indonesia untuk Illelllbuktikan effectivites-nya - antara lain kegiatan survei Kapal Macasser ( 1903). parroli Kapal Lynx ( 1921), parroli TNI-AL sena kegiaran penangkapan ikan tradisional oleh nelayan RI di kawasan pada tahun 1960-3n - dinilai tidak menunjukkan itikad dan kelllauan untuk benindak seslIai dengan kapasitas negara, lIl Lebih lanjur Mahkamah menggaris-bawahi. baik laporan komandan Kapal Lynx Illaupun dokumendokumen lain ya ng diajukan Indonesia yang berhubungan dengan kegiatan survei dan patroli laut tidak memperliharkan adanya bukri bahwa baik 7
H.lIk r-T rosL
n,e Terriloriaf Di.VJwt! he/weell Inc/oJlf!sia alit! Malaysia ol'er Plllal{
Sipadall and ?U/(III LiXiwlI ;'1 Iile Celebes Sea: A 5mdy ill imemariol/a/ Law, Vol. 2 No. 2. Imern,ltional Botlll(Jaries Resea rch Unit. University of Durham . Uniwd Kingdom. 1995.
BanJjngkan Jen:;an Putlls:tn Mahbmah. Para 127 jo P,mt lOS. or.cit.
x Para 142-147. op.cit 2 II
to
Para 148. itmi. Para 137-141. ihid.
NOli/or / Tallllll XXXIII
34
Hukum dan Pembanglinan
Belanda maupun Indonesia menganggap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan serra laut di sekitarnya berada dalam wilayah kedaulatan Belanda atau Indonesia." Dalam kaitan pembuktian "effectivites" ini, Mahkamah sama sekali tidak Illemperrimbangkan tindakan-tindakan yang dilakukan para pihak setelah critical date (1969), kecuali apabila tindakan dimaksud merupakan kelanjutan normal dari tindakan-tindakan sebelumnya dan tidak dimaksudkan untuk memperkuat posisi hukum para pihak.
*** Unruk kepemingan penajaman diskusi dan sesuai dengan tema diskusi yang dipercayakan kepada saya , secara khusus saya akan menjelaskan proses penyelesaian sengketa kedua pulau ini dalalll kerangka Illencari solusi dalllai dalalll hubungan antarnegara. Dengan penjabaran ini sekaligus akan diperlihatkan adanya beberapa kesalah-pahaman yang terlanjur Illemasyarakat dalalll memaknai putusan Mahkamah. Persoalan utama yang terkait di sini adalah kecenderungan Illcnyama-ratakan makna proses penyelesaian secara hukum dengan diplolllatis. Kesan ini mengemuka dengan Illencerlllati tanggapan yang berkembang luas. yang Illenafsirkan bahwa putusan Mahkalllah dalalll kasus sengkera Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai kekalallan dan kegagalan diplomasi. " Kesa lah-pahalllan tersebut berkelllbang. bahwa Indonesia berkurang wilayahnya akibat putusan Mahkalllah yang ll1emberikan kedua pulau sengketa kepada Malays ia . Pada bagian ini. tcrcermin pencalllpur-adukan status pemilikan atas suatu daratanipulau yang menjadi sengketa (sOl'ereigmy) de ngan masalah residual yang berkaitan dengan delimitasi batas maritim yang sesunggulmya berkaitan II P,lnl
139 . ihid .
12 Sehagian hcsar reaksi pertama puhlik - sebaga imana terckam di Iiputan media massa na sionai setdah dikeluarkantlya putusan Mahkamah - mCI1(;cnninkiln kesalah-pahaman dcmikian. Lihat misalnya. edisi tanggal 18 Desemher 2003 heherapa sura! kahar: Kompas. Disesalkall , Sipadal/ & Ligifal! Lepa.'i; The Jakana Post, Sipadall , Ligital1 Losl: rillle to bck tile lI'OIllU/S; Koran Tempo , I ndol1esia Kehilallf.:al/ Siplu/al/ & Lif.:irall ; Media Indonesia, Ne.\·rapa Kedauiatall Sipadall & Ligifflll ; Republika. FokllS: Sipat/all & Ligilall Lepas dari P01lgkualI dan Mahalnya Harga Sehuah Kesepakarall: Rakyal Merdeka.
Sipadan Ligitall Lepas, Deplu Ma/u Dong.
la/wa r; - Maret 2003
Proses Penyelesaian Sengkera Pulau Sipadan-Ligitan
. 35
dengan kepentingan negara pantai guna perlindungan dan pemanfaatan sumber daya hayati dan non-hayati di dalam batas-batas wilayah maritimnya (sovereign rights). Analogi yang kurang tepat ini akhirnya memicu kekhawatiran yang berlebihan tentang kemungkinan lepasnya beberapa pulau terlu ar Indonesia yang dinilai memiliki potensi sengketa seperti Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan." Kiranya menjadi kewajiban hukum internasional bahwa setiap perselisihan yang ada dalam hubungan antarnegara harus diselesaikan secara damai.14 Pasal 33 (1) Piagam PBB memberikan modalitas yang dapat digunakan dalam rangka penyelesaian sengketa antarnegara secara damai ini. Berbagai opsi tersebut mencakup penyelesaian politis dan penyelesaian yuridis . Penyelesaian politis dapat dilakukan langsung seca ra bilateral melalui negosiasi, maupun dengan melibatkan pihak ketiga yang netral (enqu;,y, mediasi , konsi liasi). Sementara itu, penyelesaian yuridis dapat dilakukan lembaga yudis ial yang bersifat ad-hoc (arbitrasi) Para pihak yang atau yang permanen (Mahkamah Internasiona l). be rsengketa juga diberikan kebebasan yang penuh ulltuk memilih bentuk penyelesaian damai lainnya , sepe rti penggunaan good offices yang mensyaratkan peran minimal pihak ketiga di dalam penyelesaian sengketa . Modalitas yang disediakan PBB ini rerlu ditafsirkan dalam kerangka pencapaian tujuan utama pend irian PBB dalam rangka Illelllajukan dan Illemelihara perdamaian serta keamanan imernasionaJ.
1,\ EIIY Agoes mcmhu
PERI KANAN INTERNASIONAL MASA DEPAN PERB ATASAN INDONESIASINGAPURA. jakarta 30 Desemher ZOO2. 14 Pasa l 2(3) Piagam PB B. Kewaj iban pcnye1esaian sengkela anrarnegara secara damai dapar dilacak dari Pasa! 1 Tile 1899 ond 1907 Hague Com·emiOILf for IJr~ PMijiC Sell/ell/ell! (4 I"tefl/ario/lo! Disputes. Kewajiban terse but dilegask.an cblam ~ PBB. A/RES12625/XXV ta hun 1970 lenlang Dekiarasi Prill5ip-Prinsip H. /Jr:~~ lIIel/gel/o; HulJl(lIgWI Ber.WI/Ja/wt (hili Kerjasama AnJ~_ LiIIaI ju-,g:;z re.c;ofusi A/RES/37110 lent:lI1g Dek/af(lsi Manita mellgenOl Pn!TdniJiDII ~1BI1SiOItDI secara Damai. Karena ilU. kewajihan It!rsebul me:rap:Ilan ~ ...... internasiona l ya ng herlaku universal.
Nomor I Tat1lm XXXlll
36
Hukuln dan PembanguflQIl
Namun jika upaya penyelesaian politis tidak juga l11el11buahkan hasil, maka terbuka peluang kemungkinan bagi penyelesaian seeara hukum melalui Mahkamah Internasional sebagai rhe principaL judiciaL organ of the United Nations. 15 Mekanisme beraeara di Mahkamah lebih lanjut dijabarkan dalam Statuta Mahkamah yang menjadi bag ian integral dari Piagam PBB itu sendi ri. Berbeda dengan penyelesaian seeara politis. karakteristik utal11a dari penyelesaian hukum adalah kekuatan hukum (sifat memaksa) dari putusan Mahkamah. Pasal 94 Piagal11 PBB bahkan l11engindikasikan keterlibatan Dewan Keal11anan PBB untuk l11el11aksakan implementasi putusan sekiranya salah satu pihak bermaksud menghindari kewajiban yang diputuskan Mahkamah. Kiranya tidak ada keraguan bahwa seeara teoritis kedua ops i penyelesaian sengketa seea ra politis dan hukum dengan melibatkan pihak ketiga mempunyai esensi berbeda, meski keduanya sama menekankan keterlibatan pihak ketiga yang netral untuk menengahi persengketaan yang muneul. Karakteristik yang membedakan kedua opsi ini terletak pad a sitat mengikat dari putusan atau yang dihasilkannya dimana solusi politis lebih bersifat rekomendasi, sememara putusan hukum memiliki kekuatan hukum bagi implememasinya.](' Menarik dieatat bahwa efektifitas penyelesaian politis melalui PBB dalam kerangka Bab .VI Piagam PBB dalam beberapa hal ternyata tidak dapat terlepas dari kondisi politik internasional. utamanya yang berkaitan dengan we we nang penggunaan kekerasan atas pelanggaran terhadap perdamaian dan agresi (berdasarkan Bab Vll). Menurut Steven R. Ratner ada kesenjangan antara realitas dengan bentuk ideal yang dieita-eitakan masyarakat internasional dengan melibatkan orgamsasi dunia 1111 bagi penyelesaian konflik-kontlik internasional. Penyebab-utamanya, karena justifikasi penggunaan kekerasan secara kolektif oleh PBB ternyata tidak bebas dari pengaruh politik imernasional. " Terlepas dari hal tersebut, pemahaman tentang pembedaan diantara kedua proses penyelesaian sengketa ini seeara
(5 Pasal I Statuta Mahkam.th Imernasion;.lI .
'" Liha, J.G . MERILLS. Puhlication. Camhridge.
INTERNATIONAL DISPUTE SETTLEMENT. Groti",
1991.
Versi ringkas m
HUKUM INTERN ASIONA L : PENGERTIAN. PERANAN & FUNGSI DALAM ERA DINAMIKA GLOOAL. Alumni 2000, Cel. I. Oah. IV. 17 Steven R. Ratner. Image & Reality in rllf! UN' Peaceful Sel1{emelll of DiJpUfe. Imp:/lwww.cjil.org/journaI / VoI6fNo3 /art7.html .
lalll/ari - Maret 2003
Proses Pellyelesaian Sellgketa Plliau Sipaddn-Ligiran
37
sederhana dapat mengambil analogi pada proses litigasi di tingkat nasional dalam hubungan perdata. Sebagaimana terjadi dalam kerangka hukum nasional . penyelesaian sengketa melalui proses ajudikasi umumnya diajukan sebagai upaya terakhir (last resort) bagi para pihak yang bersengketa untuk memperoleh penyelesaian damai. Namun berbeda dengan situasi domestik. hukum internasional mewajibkan adanya kesepakatan negara yang bersengketa untuk membawa penyelesaian masalah yang ada melalui proses ajudikasi. baik melalui mekanisme judisial a-la-carte dengan arbitrasi maupun oleh Mahkamah Internasional. 18 Prinsip egalitarian yang menjadi ciri Westphalian System ini dapat dipahami dari fakta bahwa yurisdiksi Mahkamah Inteniasional tidak berlaku secara olOmatis bagi negara anggota PBB.'" Negara dapat memilih pendekatan a priori melalui deklarasi yang dapat d iajukan se!iap saat berisi pernya!aan menerima yurisdiksi memaksa dari Mahkamah (optional clause). Alternatifnya. negara dapa! menyelUjui un!uk menerima yurisdiksi Mahkamah secara a posreriori dengan cara menetapkannya setelah sengketa muncul melalui perjanjian yang disepakati bersama. 21' Dalam kasus P. Sipadan-Ligitan. Indonesia dan Malaysia memilih pendekatan terakhir melalui pengajuan Special Agreelllem 1997 yang dilaksanakan sesuai dengan Pasal 36(2) StalUta Mahkamah.
1/1 P.lsill 93 Piagam PBD mem:tapk.m bahwa scmu.1 ;,mg!!,;,a PBB ip.w foan I11cnjadi piha\.; Statuta Mahbnmh Jmernasional. Namun PasOlI 36 (I) StatUI.! Mahkamah Tllcllsyaralk,l1l mllnya persclUjU<1Il p,ml pihak untuk lunduk pad;'1 YUJ'isliiksi Mahkamah. rad~t
It) Analisis men
hukulll illlcrnasionaJ . '(I CESARE P.R . ROMANO . THE PEACEFUL SETILEMENT OF INTERNATIONAL
ENV IRONMENTAL DISPUTES : A PRAGMATIC APPROA CH. Kluwer La w 11lI. Pub . lOOO. ha l. 93 .
Nomor 1 Tahllil XXXlIl
Hukum dan Pembangunall
38
Saya ingin menggaris-bawahi satu fakta dasar bahwa sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan kasus yang bersifat khusus dan unik. Kedua pulau menjadi objek sengketa kepemilikan antara Indonesia dan Malaysia pada waktu kedua negara merundingkan perbatasan landas kontinen kedua negara pad a tahun 1969 . Berbeda dengan di wilayah Selat Malaka dan Laut Cina Selatan di mana kedua negara berhasil menyepakati garis batas landas kontinen, perundingan untuk kawasan Laut Sulawesi menemui jalan bumu, karena baik Indones ia maupun Malaysia sama-sama mengklaim kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan." Guna menghindari tindakan yang dapat mengubah posisi hukul1l para pihak, kedua negara pada 1969 sepakat menetapkan sTatus qllo atas kedua pulau sengketa. Pokok masalah inilah yang oleh kedua negara kemudian dicoba diselesaikan seca ra diplomatis (1988-1997) dan akhirnya diselesaikan Mahkamah Internasional (1997-2002). Dapat d icatat bahwa joillt cOlllllllllliqlle yang dipenukarkan pad a akhir perundingan 1969 secant khusus tidak l1lemuat klausula yang mewajiban para pihak untuk menahan diri dari tindakan-tindakan yang dapat merubah posisi masing-Illasing pihak dan Illempenahankan status qua terhadap kedua pulau. Putusan Mahkamah yang menetapkan 1969 sebaga i critical date setidaknya telah membenarkan penafsiran Indonesia perihal statllS qllo Perjanjian 1969. Penetapan critical dale tersebut mel1lbawa konsekuensi bahwa Mahkamah l1lengabaikan tindakan-tindakan yang dilakukan para pihak terhadap kedua pulau sengketa yang dilakukan setelah tahun 1969. Nalllun sebagaimana terlihat dari putusan, Mahkamah ternyata Illendasarkan effectivites pad a kegiatan yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1907 dan bukan kegiatan pariwisata baha ri yang gencar dilakukan Malaysia pada periode pasca 1969 ."
:.!I Proses pcrulluingilll 1969 mi dapal dilihal pada HASJIM DJALAL
INDO NESIA 01 IJIDANG HUKUM LAUT.
P
PERJUANGAN 1979.
~PHN-BINACIPTA
Perhatikan. misalnya ca ra pcnarikan gad s batas landas kOlHinclI <..Ii ha.!~pan yang tc;:rsehut
terakh ir tidak IIlcnggunakan prinsip medioll line. Pada hagian ini. Indonesia hcrscdia mcmrerlilllhallgbn pClllberian kOllsl!si lllill)'
Historic lItle. Critical Dare, Self-Dete/'lIIilJllIiolJ pad" OPPENHEIM'S INTERNATIONAL LAW. VOL. I. PEACE. NINTH EDITION .. Sir Rol1ert Jennings. QC dan Sir Arthur
iaf{uari - Marel 2003
Proses Pellyelesaian Sengketa PlIlall Sipadan-Ligilall
39
Perlu disampaikan. bahwa keputusan membawa masalah ke Mahkamah Internasional justru disepakati Indonesia dan Malaysia dengan mencermati bahwa seluruh proses penyelesaian politis yang dijajagi kedua negara ternyata menemui jalan buntu. Sebagai kilas-balik. upaya diplomatik mulai dijajagi kedua negara pad a 1988 atau hampir sepuluh tahun setelah pihak Malaysia diketahui menerbitkan peta yang memasukkan kedua pulau sebagai bagian dari wilayahnya (1979) . Isu status kepemilikan kedua pulau tersebut mulai dibicarakan dalam pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Suharto dan Perdana Menteri Mahathir Mohammad di Yogyakarta, Juni 1988. Upaya mencari penyelesaian politis dilakukan melalui serangkaian perundingan yang dilakukan secara bertahap . Perundingan dilakukan . baik pad a tingkat pejabat teknis (loilll Working Group all Sipadan and LigitanIJWG). pejabat senior (Senior Official Meeling). hingga fo rum pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri (l oilll Commission Meelillg ). Pada September 1994. kedua Kepala Pemerintah bahkan berupaya mel ak ukan terobosan dengan cara menunjuk \Vakil pribadi masing-masing umuk mencari penyelesaian masalah ini. Untuk keperluan tersebul. Wakil Khusus (Special Represelllative ) yang ditunjuk, masing-masing Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim. mengadakan 4 pertemuan , yakni di Jakarta tanggal 17 Juli 1995 dan 26 September 1995 serta di Kuala Lumpur tanggal 22 September 1995 dan 21 Juni 1996. Dalam serangkaian negosiasi tersebut di atas. kedua negara tidak menyentuh opsi penyelesaian politis , misalnya dengan cara membagi-dua pulau-pulau sengketa atau pengelolaan kedua pulau seeara bersama-sama. Apa yang c1ilakukan pad a kedua negara adalah bertukar argumemasi hukum di mana baik Indonesia maupun Malaysia berupaya mematahkan argumemasi hukum yang diajukan masing-masing. UntuK memperkuat dalil hukum yang diajukannya , kedua negara kemudian menyampaikan dokumen-dokumen dan bukti-bukti yang diasumsikan dapat mendukung klaimnya masing-masing. Upaya ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa masing-masing negara beranggapan memil iki dasar hukum yang lebih kuat untuk mendukung klaimnya. Opsi penyeJesaian dengan cara mengelola bersama tampaknya j uga sulit dilakukan mengingat kedua negara lebih menekankan pada keinginan untuk memperoleh kejelasan mengenai status ke pemilikan atas Pulau Watts . KCM G. QC (Editors) . Sebagai catalan tambahan. Si r Arthur Walts. KMCG. QC . merupakan sal. 1l1 saW dari legal cnumeis Indonesia dala m kasus P. Sipadall & Li ~ ital1 ini.
Nomor J Tahlill XXXffl
40
Hllkllm dan Pembangllllall
Sipadan dan Pulau Ligitan. Kajian seksama atas berbagai kasus klail11 kepel11ilikan suatu wilayah yang tumpang-tindih l11enunjukkan bahwa isu ini sulit untuk dicarikan penyelesaian politis yang mengumungkan para pihak (lViII -will solution). Hal ini berbeda dengan masalah klaim wilayah landas kontinen danialau ZEE yang lebih merujuk kepada implementasi hak berdaulal yang berkaitan dengan pemanfalaan sumber daya alam hayati dan non-hayati. Pengaturan sememara dalam bentuk Joilll Developmelll seperti di Celah Timor merupakan salah satu bemuk penyelesaian klaim tumpang-lindih bagi pemanfaatan ekonomis alas landas konlinen dengan mengesampingkan umuk sememara waktu penyelesaian tinal alas klail11 lumpang-lindih, Solusi ini direkomendasikan UNC LOS 1982 pada Pasal 83(3) dan berlaku pula untuk ZEE sesuai Pasal 74(3), Namun esensi perl11asalahan yang dikerjasamakan ini berbeda dengan kepel11ilikan atas suatu daratan tertentu. Konsep kedaulalan negara at as suatu wilayah bersifat mutlak dan tidak terbagi. Kendala dalam proyek keljasama Laut Cina Selatan untuk kegiaran eksplorasi ekonol11is kawasan di maksud dengan l11engesampingkan klaim kedaulatan clailllalII slates l11enjadi salah satu ilustrasi untuk l11emudahkan pemahaman perihal adanya pembedaan antara kedaulatan dan hak berdaulatan atas suatu wilayah laut yang tumpang-tindih. Sementara itu, mengenai upaya penyelesaian melalui mekanisme ASEAN, Malaysia memperlihatkan keengganannya clengan alasan forum dikhawatirkan tidak dapat bersikap netral karena Malaysia memiliki sengketa kewilayahan yang serupa dengan Singapura (Pulau Batu Puteh) dan Philip ina (Sabah). Dalam pada itu, aturan pelaksanaan High COllllcil ASEAN yang merupakan bagian dari Treaty Alllit)' & Cooperatioll (TAC) 1976 baru berlaku pada bulan Juli 2001. Upaya penyelesaian hukum akhirnya direkomendasikan Wakil Khusus pada lahun 1996 setelah mencermati kesulitan mendapatkan solusi politis yang dapat disepakali kedua negara , Pertimbangannya antara lain bahwa mengingat klaim kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan masalah hukul11 dan bahwa isu lersebut sangat sensitif dalam hubungan kedua negara. Untuk itu, disarankan perlunya penyelesaian melalui jalur hukum (adjudication) oleh pihak yang dapat dipandang berwibawa dan netral, yakni Mahkamah !nternasional. Keputusan kedua negara umuk membawa sengketa ini ke Mahkamah !nternasional jelas mencerminkan lompatan yang jauh ke depan. utamanya jika dibandingkan dengan posisi konvensional negara-negara ASEAN yang umumnya cenderung memilih penyelesaian l11asalah secara politis. Tidak berlebihan jika disebutkan
lallilari - Marel 2003
Proses Pellyelesaian Sellgkew Pulau Sipadall-Ligiwll
41
bahwa putusan ini pada gilirannya telah memberikan kontribusi penting bagi upaya pembentukan tatanan regional dengan ajudikasi internasional sebagai salah satu opsi mekanisme penyelesaian sengketa secara damai. Sebagai tindak-Ianjut, kedua negara pada tahun 1997 menyepakati Special Agreement for the Submission to the IC] the dispute between Indonesia and Malaysia concerning the sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan . Rumusan Special Agreement 1997 ini tampaknya Illenghindari isyarat tertulis perihal kegagalan kedua negara untuk Illencapai penyelesaian sengketa secara politis Illelalui jalur perundingan. Sekiranya fakta 1111 terca111um didalamnya . kemungkinan dapat Illemudahkan pemahaman masyarakat awam perihal adanya perbedaan yang signifikan anlara proses dan mekanisme penyelesaian politis dengan yuridis. Bandingkan misalnya dengan Special Agreel1lelll between Hungary and the Czech and Slovak Federal Republic for the Submission to the IC] of the Differences between them Concerning the GabcikoJlo-NagYll1aros Project, April 7, 1993 di mana pada salah sam pertimbangannya menyebutkan "Recognizing that the Parties concerned have been unable 10 sellie these differences by lIegolialioll: ... ".13 Dengan pengam3tan seksama. sesungguhnya opsi penyelesaian sengketa P. Sipadan-Ligitan melalui Mahkamah Illlernasional dapat dikatakan masih berjalan di dalam koridor penyelesaian secara damai yang direkomendas ikan TAC. Dalam kaitan ini, TAC tidak mengecualikan pilihan para pihak kepada mekanisme penyelesaian sengketa sebagaimana lerdapal dalam Piagam PBB di mana salah samnya adalah proses ajudikasi melalui Mahkamah Internasional. Disebutkan bahwa "Nothing ill this Treal1' shall preclude recourse to the lIIodes of peacefuL settlell/elll cOlllllined ill Article 33(1) of the Charter of the United Nations." Penggelaran perkara di bawah yurisdiksi Mahkamah yang dilakukan melalui Special Agreement 1997 ini mengandung ani bahwa upaya penyelesaian alas kedua pulau sengketa tidak lagi berada di dalam domain polilik alau diplomatis melainkan sepenuhnya berada bahwa proses hukU1l1 yang berjalan mengikUli proses beracara sebagaimana disepakati bersama. Dengan kata lain. upaya penyelesaian secara politis telah berakhir dengan
23 Tt:ks Special Al-:reeJllellf Hungaria vs . Czed-Slovack dikutip dari CESARE P.R. ROMANO. Op.cil 19. hal. 113.
!~ Pas;1I 17 Trf!of)' of Amit)' & Cooperation ill Southeast Asia diranda-tangani di Den Pasu. Pil~il
24 Fohmilri 1976.
Nomor J Tall/Ill XXXlll
HukU11l dan Pelllbwzgullan
42
digulirkannya penyelesaian sengketa kepemil ikan atas kedua pulau ini di Mahkamah Internasional. Oi rengah proses persidangan sengkera ini , Pemerintah Filipina pada 13 Maret 200 I mengajukan permohonan intervensi kepada Mahkamah karena kekhawatiran bahwa putusan Mahkamah dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan akan mempengaruhi kl aimnya aras Sabah. " Indonesia dan Malaysia menolak pennohonan tersebur. Mahkamah Internasional dalam putusannya menyatakan bahwa pennohonan intervensi lersebut tidak dapar dikabulkan. Menurut Mahkamah, Filipina tidak dapar membukrikan adanya kepentingan hukum (illfereSI of legal lIafllre) yang Illungkin dapar Illelllpengaruhi putusan Mahkamah dal alll pokok perkara. '" Putu san Mahkalllah di aras se layaknya tidak dapar dilafsirkan sebagai suatu kegagalan diplomasi mengingar penye lesaian damai melalui Mahkamah sepenuhnya merupakan suaru proses hukulll , yang Flir, rransparan dan berwibawa. Putusan Mahkamah lelah didasarkan alas " Ierm of r eferell ce" yang disepakati dan diminta oleh Indonesia dan Malaysia, yakni berdasarkan pertimbangan perjanjian rertulis (treacy, agreemellt) atau praktek kenegaraan. Sebaliknya, kesepakatan kedua negara unluk membawa penyelesaian klaim kepemilikan atas wilayah (kedau latan) secara damai melalui proses ajudikasi jusrru selayaknya ditafsirkan sebagai suaru preseden baik bagi kedua negara dan bahkan bagi kawasan karena keputusan politik lersebut setidaknya telah berhasil mengisolir isu kedaulatan yang sensitif, yang apabila tidak dirangani seca ra bijaksana , sangat potensial menimbulkan ko ntlik be rse njara dan Illengganggu kesrabilan kawasan. Terlalu banyak bukti historis yang menunjukkan bahwa se ngketa kewilayahan seringkali bermuara pada kontlik bersenjata rerbuka jika para pihak gagal menahan diri dalam melakukan rindakan-rindakan sepihak yang berlebihan . Perang Inggris-Argentina atas Mail'illaslFalklalld Islalld pad a April 1982 memberikan iluSlrasi rentang keperl uan pengelolaan kontlik kewilayahan secara bijak unruk mencapai suatu penyelesaian ya ng 25
Perlllohollilll
illle rnvcnsi Filipina
dapat
diakses
oi arsip Mahkctmah llldalui
hUn :fIwww.iei.eii .or!! /icjwwwlidocket /iinmaorder/ii nma !application 200 103 13 InterventioJl .PDF. Lih"t juga . Bernabe Afrika. rhe Legal S({/f/f.\ q/" file Brili.rh OCCllpariol1 (~r Norrll Romeo. Journal, 1969. Vo1.2. No: 3.
Uni ve rsity of Mich igan, Philippine
[lIternatiol1 ai
Law
2n Penimbangan hukulll Mahkamah ferhadap pennohonan imervensi Filirillt.1 selengkapnya dapat dilihat pada http ://www. iei.eii .orglicjwww/idocket /iinmaonJeri iinm':l iimplication 20010313 Jnlervellli"n. PDF
iaill/ari - Marel 2003
Proses Pel1yelesaian Sengketa Plllau Sipadall-Ligital1
43
dapat diterima para pihak yang bersengketa. sekaligus guna menghindari kontlik bersenjata terbuka. Tercatat, perang tersebut mengambil korban 236 orang Inggris dan 655 warga Argentina. Sementara itu, sekitar to ribu warga Argentina Iainnya menjadi tawanan perang . Kekalahan Argentina dalam perang tersebut bahkan telah menjadi salah sam faktor yang mendorong perubahan sosial dan pemerintahan setempat pad a tahun 1983. Argentina mengklaim kepemilikan sejak 1920 berdasarkan papal bulls 1493 yang dimodifikasi oleh Traktat Tordesillas (1494) serta kedekatan geografis. Sementara itu , Inggris mendasarkan klaimnya pada
'·opell. cOlllillues, eifeClive possessioll. occupation and admillislratioll " sejak 1833 . Status kepemilikan atas pulau sengketa diperdebatkan di Komile Dekolonisasi PBB tahun 1964 dan selahun berikutnya, MU-PBB menyetujui resolusi yang mendorong perundingan kedua negara dalam rangka mencapai solusi damai alas sengketa dimaksud. Proses . perundingan lerputus dengan melemsnya perang Malvinas . " Proses penyelesaian sengkela alas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan juga perlu dihargai dalam konteks waktu itu yang dilatarbelakangi upaya kedua negara untuk mengakhiri konfrontasi ( 1966). pembentukan ASEAN (1967) , dan upaya membangun kawasan Asia Tenggara sebagai zona damai. bebas dan netral (ZOPFAN) sejak 1971. Karena ilU. upaya penyelesaian sengketa secara damai melalui Mahkamah - yang merupakan pertama kali dilakukan oleh negara anggota ASEAN - kiranya dapat menjadi preseden yang baik bagi interaksi antarnegara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Malaysia dan Singapura ll1isalnya lelah sepakal untuk ll1ell1bawa penyelesaian sengketa kepell1ilikan/ kedaulalan at as P. Batu PUleh (Karang Habsbourgh) ke Mahkamah Internasional. Proses pennllusan Special Agreelllenl dimaksud saat ini dalam lahap finalisasi dan diharapkan dapat ditanda-tangani kedua negara pad a bulan Februari 2003. Menarik dicennali bahwa keanggOlaan pada sualu organisas i regional tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bahwa negaranegara terkait akan dapat menahan diri dari tindakan yang dapal memperburuk hubungan bilateral sekiranya kontlik tetap tidak berhasil diselesaikan. Hal ini lercermin dari pemulUsan hubungan diplomatik Islandia- Inggris pad a Februari 1976 sebagai akibal beriarulllya sengketa hak penangkapan ikan nelayan Inggeris di perairan Islandia. Kasus ini Cilronicfe {~f fil e FalklandJIMa{rill(fs His{()ry & War of 1982. ya ng ll;l pa t diakses di int ernet mela lui hllp: /IwWw. yc lldor .com/va nishcd/falklamls-
!.7 Kronologi s masalah inj lilla! W;'l l" . html.
Nomor I Tallllll XXXlll
44
Hukllll'l dan Pemballgllllall
ll1enarik karena mencakup rentang periode yang panjang (1952-1976) dan ll1eliputi 4 fase. Awalnya, kasus ini dipicu oleh kebijakan Islandia yang memperluas wilayah perikanannya hingga 4 mil (1952-1956), selanjutnya 12 mil (1958-1961), 50 mil (1971-1975) dan kemudian diperluas kembali menjadi 200 mil (1975-1976) Kebijakan Islandia yang tampaknya didasarkan pada pertimbangan menipisnya stock ikan nasionalnya serta mengambil manfaat dari perkembangan llukull1 internasional (konsep ZEE) tersebut memancing prates keras negara anggota NATO lainnya, Spanyol. Swedia, Jerman. dan Belanda . Namun hanya Inggris yang mengirill1kan armadanya untuk mengawal nelayannya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan yang "Illenjadi sengketa" dill1aksud. " Mempertilllbangkan fakta tersebut di atas. dari segi diplomasi penyelesaian kasus P. Sipadan dan Ligitan hendaknya dilihat sebagai kemampuan para pihak yang bersengketa dalam Illeredalll dan mengalihkan porensi kontlik menjadi suatu kerjasama yang saling menguntungkan. Mengingat opsi tersebut sulit dicapai. maka kesepakatan membawa penyelesaian sengkela kewilayahan secara damai Illelalui jalur hukulll sepatutnya dipertill1bangkan sebagai kelllenangan akal sehat dari para pihak yang bersengketa. Putusan Mahkalllah dimaksud juga diharapkan dapat melllbuka babak baru hubungan bilateral yang lebill bersahabat. dewasa. dan produktif antara pelllerintah dan rakyat kedua negara.
Pasea pUlusan tersebut. saya j uga mencatat kesalah-pahaman lain yang intinya menyatakan bahwa wilayah Indonesia berkurang atau bahwa kedua pulau tersebut lepas dari kepemilikan RI. Menurut hemat saya. pemahaman utuh terhadap putusan Mahkamah perlu dilihat dari kerangka waktu kerika sengketa ini muncul kc permukaan, yakni pada tahun 1969. Pad a saal perundingan terse but. fakta menunjukan bahwa UU No : 4/Prpi 1960 tidak memasukkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (ilustras i peta 2). Sementara itu. peta nasional yang digunakan Malays ia sebaliknya juga
'" CESARE ROMANO. Op.cit 19. Il
j(llll/(lri - Marel 2003
Proses Pellyelesaiall Sellgkera Pulau Sipadall-Ligitan
45
tidak l11el11asukkan kedua pulau sengketa sebagai bagian dari wilayahnya .'· Oengan del11ikian , ketika sengketa atas kedua pulau ini l11uncul pada tal1Un 1969 terdapat ketidak-pastian perihal status kepel11ilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Oi tengah ketidak-pastian tersebut , Indonesia berupaya untuk l11engklaim kedua pulau sengketa. Pemerintah RI l11emperhatikan suarasuara masyarakat yang beranggapan bahwa kedua pulau sengketa l11erupakan bag ian dari kesatuan wilayah Indonesia. Oengan menggunakan pa rameter produk perundang-undangan nasional ketika kasus ini l11uncul, maka anggapan wilayah Indonesia berkurang sebagai akibat putusan Mahkamah adalah tidak tepat sama sekali. Oalam hal ini , mungkin lebih tepat jika disebutkan bahwa perjuangan hukum Indonesia untuk menambah wilayahnya ternyata tidak mel11peroleh sandaran hukul11 yang kuat. Sebagaimana diketahui, dalam penanganan masalah ini Pemerintah telah membentuk Tim SA TGASSUS yang anggotanya melibatkan berbagai instansi terkait. baik pad a tingkat pusat maupun daerah. Untuk proses beracara, Pel11erintah juga dibantu tim penasehat hukum mancanegara yang berpengalaman dalal11 persidangan di Mahkamah. Tim ini beserta legal collllseis juga melakukan riset dan penelitian kepustakaan intensif di beberapa lokasi di luar negeri. Guna memperoleh data-data tambahan yang dapat memperkuat klaim Indonesia , Tim juga nwwancarai sejumlah pejabat dan penduduk Kalimantan TimUf yang tinggalnya berdekatan dengan kedua pu lau untuk diajukan sebagai affidavit. Oalam proses penanganan m3salah ini. terutama sejak tahun 1991 . Pemerintah j uga senantiasa melakukan konsultasi c1engan OPR melalui berbagai rapat kerja dengan Komisi I. Pada tanggal 31 Oesember 1997. Pemerintah juga telah memberitahukan kepada OPR tentang kesepakatan
Special Agreement for Submission to the International COlirt of Justice of the Dispute be/weell Indonesia alld Malaysia cOl/cernillg Sovereigl/ty over Pulau Ligitan dan Sipadan , sebagai modalitas pengajuan sengketa
8
:!9
kedua pulau ini. St;mentara perunuing ImJonesia mengg unakan acuan pad a UU No: 4/ PerpulI 960 yan g mengecualikan kedua pulau sehagai ha gian da ri wil ayah nasionaL pihak Malaysia menggunakan pela yang juslfU memasuk ka n P. Sipadan- Ligilan ke ~ wilaya h Indones ia . Pe mbahasa n renlang masalah ini terhenti karena di nila i berada eli kewenangan Tim Tekn is La ndas KUnl inen. Hasji m Djalal. Pel1Jele.wioll Sengk~ca ~ LiRitafl, llllerpe/asi ?, Kompas, 13 l anuari 2003.
Not/lOr 1 Tall/Ill XXX111
46
Hukum dan Pemballgunall
dimaksud di Mahkamah Inrernas ional. '" Memperhatikan hal 1111 , sepatutnya pUlusan Mahkamah diterima sebagai suatu putusan yang bersibt final dan mengikar. " Hal ini kiranya sesuai dengan kesepakalan kedua negara di dalam Special Agreelllelll 1997 serta mel11pertil11bangkan bahwa putusan tersebut juga diambil melalui proses ajudikasi yang berlangsung secarafair. transparan dan berwibawa.
:~ ;jc
*
:i'
*
Sebagai agem ya ng mewakili Pemerintah RI dalal11 proses berperkara di Mahkamah. tentu saja proses penyelesaian sengketa ini mel11berikan pengalal1lan tersendiri bagi saya pribadi. TerJepas dari hasil ak hirnya yang telah sal11a-sama telah diketa hui. proses ajudi kasi t1alal11 masalah ini setidaknya juga mel1lberikan beber.a pa pelajaran menarik untuk dikaji Icbih lanjur. Penal1la. saya pribadi l1lenilai kasus ini l1lemberikan kesan pengalal1lan ya ng berulang (de jal'll) mengingat setidaknya kita scndiri " mcngalami nya" kelika pada tahun I92S, arbitrator tungga!. Prof. Max Huber (Swiss) memutuskan kepemilikan Belanda atas P. Miangas (Las Pallllas ). Dalam kasus Las Pallllas ini. pcnguasaan ekktif Belanda atas pulau sengketa - diwujudkan a.1. dengan pemeliharaan mercu suar dan kUl~ungall secara berkala dalam rallgka pellcatata ll penduduk - t1illyatakan sebagai pembuklian yang sah bagi kepemi likan atasnya. Dalam putusan tersebut. Hakim Huber mellegaskan bahwa kealpaall untuk Illewujudkan tilldakan kedau latan yang nyata dapat dij ad ikan dalil hukulll untuk Illellggugurkan status kepem ilikan nega ra atas suatu wilayah tenentu (prescriptiall ). Penemuan alaS suatu wilayah tak-bertuan (terra lillI/illS) ,ebagaimana didalilkan AS - tidak olOmalis menciptakan hak kepemilikan. melainkan sekedar berfungsi sebagai hak pendahuluan (mcllUlIte til/e) yang dapat digugurkan berdasarkan doktrin prescription."
30 Specht! AJ.:rt'elll('IIf 1997 diratili kasi dCllgan
Kcrrres n(l: 49/ 199 7 (
1997 . 'I
Lih~ll juga pa<;:d 60 Statuta Mahbmah .
J ~ Pelikan kasus illi sl;!rta pencgasitn hehcrapa prinsip hukum internasional yang rent ing yang dUt.::gaskan dalam pcnimhangan Prof. Huher darat dijUlllp.li dalam DJ. HARRIS .
JWIllari - Marel 2003
Proses Penyelesaian SellgkeIQ Pulau Sipadall-LigilQII
47
Kedua , doktrin efektifitas dalam kasus Pulau Sipadan-Ligitan yang ditafsirkan secara terbatas sebagai upaya memelihara kehadiran fisik seca ra sporadis. Kesan ini mengemuka dengan memperhatikan silangpendapat yang berkembang Iuas di media massa kalangan berkaitan dengan pengamanan terhadap pulau-pulau terluar nusantara. Pengelolaan secara administratif terkesan diredusir menjadi sebatas melakukan kunjungan insidental atau dengan "menduduki" pulau-pulau terluar. .D Penguasaan efektif ditafsirkan sekedar memberikan tanda-tanda yang dapat memperlihatkan simbol-simbol lisik kedaulatan negara ]4 Pemahaman demikian kiranya menyimpang dari penafsiran umum yang dibuat Mahkamah dalam beberapa sengketa kepemilikan atas suatu wilayah. Menarik pula umuk dirujuk di sini. putusan Mahkamah dalam kasus Nigeria vs. Kamerrm (Oktober 2002) yang a.l menetapkan bahwa perubahan struklUr penduduk di wilayah semenanjung Bakassi - dihuni oleh mayoritas warganegara Nigeria - tidak merubah status kepemilikan kawasan tersebUl sebagai miJik Kamerun berdasarkan Traktat 1913 (Inggeris-Jerman) ..15 Ketiga , deklarasi tambahan Hakim Shiegeru Oda (Jepang) yang intinya menilai bahwa kondisi kedua pulau yang sangat kecil dan secara sosial-ekonomis tidak srgnitikan ini merupakan suatu keadaan khusus (special cirmms(Qllce) yang dapat diabaikan dalam penentuan hatas ll1aritim kedua neg,lra di kawasan:" Pandangan ini kiranya Il1cnjadi CASES & MATERIALS ON tNTER NA TIONAL LA W. Finh Ed. London SW«IMaxwell. 1998. Bah V. h,d . 190·200 . .':; Li h;u . Illls;!lnya tanggapan para p,tkar dan p!:l1lcrh;lti di media massa yang intillya
1lH:lIguJas d;unpak pUlllS;1I1 Icrhadap ··puhlu·pulau Indonesia bin yang hcrst;uus sengkct
J4 KSAL Perimahkan SI/{JH' (he Flag di Pulau-Pulau Perbatasan. KOlTlpas. 24 Descmber 2002 . Lihat juga. Lima PI/fall Lal-?i 11/(/sih SellJ.:keta dellgall Negaf(/ Tef(1l1~g((. Kompas 03-01-03.
J~ Cust! COllcemillX TIre LlInd & Maritime Boundary between Cameroon and Nigeria dapat (liakses di Imp:!/www. icj-c ij.org/icjwww/iJocket/icn/icl1judgJnent/icn_ij uugmellt_2002 10 IO. PDF. In MCllul'ut Hakim Oda, terdapat (/ J1liscOIlceptior; Oil
'"l' pan of" Ihe Parries, wilo lailed /0
;/1 accordance! wilh the ",\pec:iaj cirCfllllstallces" mle, (I delimiTation line could II'l'Il full't! beell drml 'lI disref.!,lIrd/uJ.: ~r.~() (11 '0 errrelllely _HlltllI, socially cmtI fI/u/erJfalld 111m,
enmomieafly il/siKnifica'" i.\"{UI/d.'i. Lih.lt hag ian kc-5 Ddlarasi Tam oah'lIl pada IJp.c11 I
Nml/or I Tallllll XXXJlJ
48
Hukl1l11 dall Pembanglllwll
tantangan tersendiri bagi Fakultas Hukull1 Universitas Indonesia umuk ll1elakukan kajian kOlllprehensif perillal konsep special circul/lslances dimaksud dalall1 rangka delill1itasi batas ll1aritill1 antarnegara di kawasan sekitarnya. Sebagailllana diketahui. lllasalah residual yang muncul dari putusan Mahkamall adalall penetapan batas maritilll di kawasan dilllaksud. Tantangan yang ada dengan demikian mengacu pada dua fakta yang saling bertolak-belakang. yakni: putusan Mahkamall (yurisprudensi) yang memberikan bobot pertimbangan bagi keadaan-keadaan kllusus dalam rangka delilllitasi batas maritilll vis a vis penerapan prinsip jarak (disrance crireria) . sebag,ti konsekuensi pelllberiakuan Konvensi Hukum Lam Internasional (UNCLOS) 1982 pada tahun 1994." Perlu dicatat. bahwa menu rut UNCLOS 1982 penentuan batas landas kontinen direlapkan berdasarkan kesepakatan kedua negara sesuat Ilukum inrernasional. Pengaluran ini berlaku I/Iutatis IIl1lfandis unluk delimilasi batas Zona Ekonoll1i Eksklusif (Pasal 84 jUlICIo Pasal 74). Namun rU111usan yang terkesan sederllana ini berbeda dengan Konvensi Hukull1 Laut 1958 yang secara legas ll1enambahkan adanya special CirClllI/stallces yang dapal mempengaruhi penerapan prinsip sama-jarak (equisdistall ce prillciple) dalam penentuan balas maritim. " Kajian yang dibual kelak lemunya dihara pkan dapal memberikan kOl1lribusi bagi penyelesaian ·menyelurull perbarasan manum Indonesia. Seperti diketahui. dalam rangka IIlcmber ikan kejelasan perihal baws wilayah nasiunal guna mewujudkan konsepsi Wawasan Nusanta ra Pemerimah Indonesia sepanjang periode 1969- 1995 Lelah membu31 13 perj anj ian baras dan 4 perjanjian perilla I pemanfaaran wilayah laul. Da ri jumlah lersebul. 3 di3maranya menetapkan balas laut te rilorial dan 10 lem3ng balas Iandas kominen eli mana I d iamaranya sekaligus juga menclapkan balas ZEE (dengan n Sekali la~i . Hakim Oda member1J::an torn:ribusi penting yang 111cngarah kari.lda "cvolusi" pcnaapan prinsip j arak
dilal:ak oari dis.\{~lIIill~ opinioll Y'Ulg t.li sampaibnnya dalam llius Tunisia rs Libya casc ! 982. MCllurutnya, dis/mll:e criteria will (J\'erride the tradiriollal concepts of collli~l(ilY lIIU/ cOll/illuity (II/(/ thaI there i... a treud toward Ihe absorption of (h~ cominl'lIlat shelf' reJ,:illle illln !hat (!I rhe ££l. Pada perkt:mhangannya. Mahk..amah d3Jam Lihyan \'S. Ma/w ("((SI! (1985) men!.!gi.lskan rrillsip ~prillsip hukum ZE E yang dilecpbn UNCLOS 1981 tidak hokh lupUi uari pcrlimhangan d"I
S,lIah ~atu huku Y'lllg Illcngupa:-; konsep ini adalah Mt\LCO L~t D. EVANS. RELEVANT CIRCUMSTANCES AND MARITIME DELIMITATION . CI1Irelldoll Pres>. O.rord 1989 .
.1)(
Jalll/ar; - Marel 2003
49
Proses Pelly etesaiall Sellgketa Putau Sipadall-Ligilllll Q
PNG) 3 Pencapaian tersebut kiranya Illencerlllinkan keseriusan Pemerintah untuk Illelllagari wilayah maritim nasional guna memberikan kejelasan wil aya h maritim nasio nal. Namun pencapaian tersebut masih menyisakan beberapa "pekerjaan rumah " ya ng perlu dirampungkan, lItamanya dalam rangka penetapan batas ZEE mengingat rejim hukum pengaturannya yang relatif baru. Keempat, pandangan minoritas yang disuarakan Hakim Ad-hoc. Thomas J. Franck (AS) dalam bentuk disselllil1g opil1ion kiranya menarik untuk ditelaah lebih dalam. Hakim Franck menyesalkan sikap Mahkamah yang tidak be rani untuk meninggalkan pendekatan ko nvens ionalnya dalam upaya menafsirkan Pasa l IV Konvensi 1891 yang menjadi sumber persengketaan . Menurutnya, mengingat ani penting perjanjian perbatasan untuk menghindari kontlik maka ia harus ditafsirkan secara luas, yakni dengan menggunakan sejenis pembuktian terbalik (presumpTion). Konsekllensin y", Malaysia seharusnya membuktikan ketidak-absahan penafs iran Indo nesia tentang garis batas 4" 10' LU sebagai allocarioll Penilaian pribadi ini selayaknya tidak ditafsirkan sebagai kiasan lille . J" apologetik mengingat tidak ada jaminan bahwa jika Mahkamah pun menyetujui pandangan Hakim Franck terse but akan membuahkan hasil yang be rheda . Namun , keberaniannya mengambil s ikap be rbeda menllnjukkan integritas keilmuwannya ya1lg tinggi dan tidak terpengaruh oleh pandangan mayoritas" Akhirnya, saya menilai bahwa kasus P. Sipadan-Litigan membawa hikmah positif dikailkan dengan munculnya kepedulian nasional perihal urgensi pengelolaan dan pengawasan terhadap plilau-pulau terluar nusantara. lItamanya ya ng berbatasan dengan negara tetangga. Terkait dengan tema disk usi pagi ini , maka pengisian konsep negara ke depall perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan kemakmuran has il-hasil pembangunan ya ng merata di seluruh Negara Kesatuan Republik Indo nesia berdasarkan konsepsi negara kepulauan . Pendekatan ya ng bersifat sosial-ekono mi terasa mendesak dikaitkan de ngan fakta bahwa
Ga mh,uan perilla I seluruh pcrh;Has
~o
Dissl'lIf;lIg Opillio/l
Hakim Thomas Franck. Bag ian 8. padil Joc.cil 2.
u.sm. _
KOlllcIHar IIH:II;trik pe rihal posisi llI illorilas Ilak im Thomas Franck tlalam NOIHl Anwar Makarim tlalam anikclnya S{atistif.: Vil(/! Kll.HI.\" SjjJad(llf-L.r ~ Kompa s. 14 Jalluari 2003.
-II
datang dari
NOlIJor / Ta/1I111 XXXIII
50
HllkulII dall PelllbllJlgllllGl1
kawasan perbalasan langsung bersinggungan dengan wilayah inrernasional. Oalam kairan ini. diperlukan langkah konkrit unluk mempersempit dan mendekalkan jurang yang ada dalam kondisi sosial-ekonomi di kawasan perbatasan dengan kondisi sosial-ekonomi di seberang batas. Terpenuhinya upaya ini sekaligus akan memberikan sellluhan kehadiran yang nyala dari Pemerilllah sehingga pada gilirannya c1apal menumbuhkembangkan ikatan emosional kebangsaan (nasionalisme) yang saLU. Oengan kala lain. upaya pengisian konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dilakukan umuk mencegah kemungkinan berkembangnya kondisi psikologis masyarakal perbatasan yang merasa kehilangan seeara sosial-ekonomis. Kepelllingan ini terasa lebih mendesak mengingat seeara yuridis liclak perlu ada lagi kekhawatiran berlebihan perihal kemungkinan adanya lagi pulau-pulau lain di nusantara yang menjadi sengketa antarnegara. Karena iLU. kiranya tidak perlu ada keraguan perihal status hukum pulau-pulau terluar nusantara mengingat 11al ini telah diletapkan dalam Peraluran Pemerimah No: 38 Tahun 2002 yang diundangkan pada 28 Juni 2002. [END]
jallllari - Morel 2003