8
ed i s i
Monthly Report on
Religious Issues Sinopsis
Maret 2
008
M
uncul lagi provokasi yang bisa memicu ketegangan hubungan Islam dan Barat. Film pendek berjudul Fitna yang dibuat seorang anggota parlemen Belanda ultra kanan bernama Geert Wilders, menyodorkan tontonan ”jorok” seolah Al-Qur’an adalah pemicu kekerasan dan teror dunia. Segala bentuk kebencian terhadap Islam ditumpahkan di dalam film ini. Meski film ini tidak merepresentasi cara pandang Barat terhadap Islam, namun kita tidak bisa menafikan adanya arus kebencian Barat terhadap Islam. Hal yang sama terjadi sebaliknya, meski apresiasi masyarakat Islam terhadap Barat kian bagus, namun arus kebencian orang Islam terhadap Barat masih tetap ada. Kelompok-kelompok ekstrim yang saling membenci ini bisa memicu ”perang peradaban.” Kasus ini menjadi sorotan utama Monthly Report edisi ini. Sejumlah kasus keagamaan di berbagai belahan Indonesia juga diangkat di sini. Teror terhadap warga Ahmadiyah masih terus terjadi di berbagai tempat. Kami melihat Islamisasi melalui birokrasi di Gresik Jatim. Tahap persidangan kelompok-kelompok yang difatwa sesat MUI juga kami laporkan. Kali ini persidangan terhadap kelompok Islam Model Baru (IMB) di Jambi dan Ahmad Mushaddeq, pemimpin al-Qiyadah al-Islamiyah di Jakarta. Juga ketegangan klasik karena perbedaan tatacara beribadah (khilafiyah) yang berujung pada kekerasan fisik di Lombok Timur. Di samping itu, gerilya kelompok tertentu terhadap kelompok yang dianggap sesat masih juga terjadi. Kali ini yang menjadi korban adalah komunitas Kandang Rosul di Lebak, Banten. Juga, ketegangan antar umat beragama karena masalah tempat ibadah di Bogor. Laporan edisi VIII ini menunjukkan potensi ketegangan antar umat bergama masih terjadi di berbagai penjuru. ■ Susunan Redaksi
Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Nurul H Ma’arif, Abd Moqsith Ghazali. Staf Redaksi: M. Subhi Azhari Lay out: Widhi Cahya Alamat Redaksi: The Wahid Institute Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 Website: www.wahidinstitute.org Email:
[email protected] Kontributor: Akhdiansyah (NTB), Suhendy (Jawa Barat), Nur Kholik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Alamsyah M. Dja’far (DKI Jakarta), Zainul Hamdi (Jawa Timur), Syamsul Rijal (Sulawesi Selatan) Kerjasama dengan TIFA Foundation
Agar Fitna Tak Jadi Fitnah 1. Film Fitna Picu Ketegangan antar Umat Beragama
S
etelah kasus film Submission karya Theo van Gogh dan Hirsi Ali di Belanda (2004), karikatur Nabi Muhammad di media Denmark Jyllands-Posten awal 2006, kini emosi kemarahan umat Islam dipancing kembali melalui film berjudul Fitna. Film yang dibuat Geert Wilders, seorang anggota palemen Belanda sayap kanan, itu dianggap menyebarkan kebencian terhadap Islam. Film berdurasi 17 menit itu disisipi ayat-ayat al-Quran dan rekaman tindakan pimpinan Islam yang melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang tidak percaya agama Islam. Dalam lima menit terakhir film ini, Wilders menitikberatkan sepak terjang para muslim yang ada di negeri kincir angin tersebut. Ada juga ucapan Wilders yang sedang menelpon seorang Muslim untuk merobek lembaran-lembaran al-Quran. Setelah itu gambar menghilang dengan diiringi suara sobekan kertas yang seakan-akan keluar dari telpon. Pada bagian akhir film ini dimunculkan gambar kartun Nabi Muhammad SAW yang bersumber dari Jyllands-Posten. Setelah beberapa detik, bom pun meledak. Film itu disebarkan melalui internet sebagaimana diumumkan dalam situs resmi partai pimpinan Wilders, Partij voor de Vrijheid/PVV (Partai untuk Kebebasan), dan ditautkan ke liveleak.com, pada Jumat (28/3/08) pagi waktu Indonesia. Keputusan Wilders untuk memublikasikan karyanya ini, mendahului sidang gugatan sela di Pengadilan Rotterdam yang diajukan oleh organisasi muslim di Belanda, yang digelar Jumat (28/3/08). Menjelang pemublikasian film ini, pemerintah Belanda
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VIII, Maret 2008 ■
dibuat nervous karena khawatir akan timbul dampak politik dan ekonomi berupa boikot produk seperti menimpa Denmark. Pemerintah Belanda secara resmi mengambil jarak terhadap isi film ini dan menegaskan bahwa visi Wilders tidak mewakili negeri dan rakyat Belanda. Perdana Menteri (PM) Belanda Jan Pieter Balkenende menyatakan, film besutan Wilders itu menyakiti perasaan. Dia menyatakan kabinetnya menyesalkan penyiaran film tersebut. Balkenende menyampaikan pernyataannya itu beberapa saat setelah film yang memvonis al-Quran sebagai kitab fasis dan sumber kekerasan dipublikasikan (28/3/08). Ia menekankan bahwa ekstrimisme harus di berantas, sekaligus mengajak rakyat Belanda agar menghindari prasangka buruk. Balkenende juga menampik, langkah-langkah preventif yang diambil pemerintahannya -menjelang penyiaran film itu- terlalu berlebihan. Ia mengatakan, langkah mengantisipasi segala sesuatunya secara serius sudah tepat. Sebelumnya sejak awal Maret lalu pemerintah Belanda gencar melakukan ofensif diplomatik ke negara-negara Islam dan berpenduduk mayoritas Islam untuk meminimalisir risiko akibat film karangan Wilders tersebut. Jan Pieter Balkenende juga menyatakan, Kejaksaaan Agung Belanda akan meneliti apakah ada pasal-pasal hukum pidana yang dilanggar. “Dalam situasi semacam ini akan selalu dilihat ke batas-batas yuridis,” kata Balkenende (detik.com, 28/3/08). Advokat senior Belanda, Gerard Spong dalam acara talkshow Pauw & Witteman, Kamis (27/3/08) malam waktu Belanda, menggarisbawahi bahwa film Wilders tersebut jelasjelas haatzaaien (menyebarkan kebencian), jadi strafbaar (bisa dijatuhi hukuman). Menurut Spong, Fitna menyugesti masyarakat umum bahwa Islam mengancam mereka dan bisa menggerakkan masyarakat umum Belanda untuk membenci dan memusuhi penganut agama Islam. Lebih lanjut Spong merujuk pada deretan pernyataan Wilders yang menyebut bahwa al-Quran adalah kitab fasis. Penye butan kitab suci sebuah agama sebagai fasis ini menurut Spong jelas-jelas melawan hukum (detik.com, 28/3/08). Tak ayal film tersebut menimbulkan ba nyak reaksi. Sebelumnya, pemerintah Indone-
sia telah mengecam keras. Indonesia menilai film Fitna sangat berbau rasis serta merupakan tindakan yang sangat tidak bertanggung jawab yang bersembunyi di balik kebebasan pers. “Pemerintah RI mengecam keras tindakan provokasi yang menghina agama dan umat Islam,” kata Juru bicara Departemen Luar Negeri Kristiarto Soeryo Legowo, di Jakarta, Sabtu (29/3/08). Menurut Pemerintah RI, tindakan itu jelas bertentangan dengan berbagai upaya Indonesia baik pada tingkat nasional maupun internasional untuk memajukan dialog antaragama berdasarkan harmoni dan toleransi. Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengecam keras film itu, dan menga takan bahwa pemutaran film itu tidak bisa dibenarkan karena akan mengundang aksi kekerasan. Uni Eropa juga mengutuk film itu. Presiden UE, yang kini dipegang oleh Slovenia, menyatakan film tersebut tidak membawa manfaat apa pun selain hanya mengobarkan kebencian (antara.co.id, 31/3/08) Berbagai aksi demonstrasi mengecam film Fitna terdengar di mana-mana. Bahkan, sebelum film itu dipublikasikan, komunitas Umat Beragama Indonesia di Jakarta, Kamis (13/3/08), menolak rencana pemutaran film Fitna. Penolakan tersebut dituangkan dalam pernyataan bersama yang ditandatangani Ke tua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Konferensi Wali-gereja Indonesia (KWI) Mgr. M.D. Situmorang, dan Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Pdt. A.A. Yewangoe. Pernyataan tersebut ditujukan kepada Perdana Menteri Kerajaan Belanda, Jan Peter Balkenende, dengan tembusan pada Presiden RI, Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, serta Duta Besar Kerajaan Belanda di Jakarta. Komunitas Umat Beragama Indonesia menya takan, pemutaran film itu pastinya akan sangat menyakitkan perasaan umat Islam dan dapat menciptakan ketegangan baru bagi pera daban dunia, termasuk di antara para pemeluk agama. “Dengan pertimbangan ini kami berharap Pemerintah Kerajaan Belanda dapat berusaha secara maksimal untuk mencegah pemutaran film dan penyebarannya,” kata Situmorang, membacakan pernyataan bersama tersebut. Komunitas Umat Beragama IndoneThe Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi VIII, Maret 2008 ■
sia juga meminta Pemerintah Indonesia meng ambil sikap tegas dalam mencegah penyebaran film tersebut di Tanah Air. Menurut Hasyim Muzadi, jika film karya anggota Partai Kebebasan Belanda yang seorang atheis itu jadi disebarkan, maka pasti akan menimbulkan kehebohan di antara umat beragama, bukan hanya Islam. “Khusus untuk Indonesia yang kita khawatirkan apabila itu terjadi adalah kalangan Muslim salah paham, dikira itu serangan lain pada Islam,” katanya. Sebagai antisipasi, para tokoh agama membuat pernyataan bersama yang bertujuan menyelamatkan harmoni kehidupan beragama di Tanah Air dan menunjukkan bahwa agama di luar Islam juga turut keberatan dengan film tersebut. (antara.co.id, 13/3/08) Karena pernyataan bersama tersebut, Perdana Menteri Belanda Jan Peter Balkenende menyurati Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Surat tersebut diantar langsung Sekre
taris Pertama Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia Alexander Kofmanke ke Kantor PBNU, Jakarta (antara.co.id, 26/3/08). Kepada wartawan Hasyim Muzadi menjelaskan, dalam surat itu Balkenende menyatakan, Wilders tidak mewakili Belanda. Konsepsinya tentang Islam sama sekali tidak mewakili pandangan dan kebijakan pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda memahami kekecewaan PBNU bersama sejumlah organisasi kea gamaan lain yang tergabung dalam Komunitas Umat Beragama Indonesia. Namun, dalam konstitusi Belanda tidak mungkin untuk melarang pemutaran film. Namun, kejaksaan Belanda dapat menginvestigasi apakah ada aspek kriminal dalam film tersebut atau tidak. “PM Belanda dalam suratnya juga sepakat untuk menghindari adanya kekerasan jika film tersebut benar-benar dirilis di internet, baik di Belanda maupun secara internasional,” kata Hasyim. ■
2. Pewajiban Busana Muslim/Muslimah di Gresik
S
eperti biasanya, setiap hari Senin para pegawai negeri sipil dan honorer Pemkab Gresik mengadakan apel bendera. Tapi, pagi itu ada sesuatu yang berbeda. Semua pegawai perempuan memakai jilbab, sedang yang laki-laki memakai baju koko. Hari itu adalah hari pertama dari tiga hari pewajiban pemakaian busana muslim/muslimah di lingkungan Pemkab Gresik. Dengan nada penuh bangga, sang inspektur upacara, Sekda Drs. Husnul Khuluq, MM., menyatakan, “Pagi ini, saya melihat warna-warni. Indah bak pelangi. Semoga kebhinekaan ini justru dapat mempererat persatuan kita, untuk maju bersama sesuai bimbingan Bapak Bupati.” (Surya, 11/3/08). Seluruh pegawai negeri sipil dan honorer di lingkungan Pemkab Gresik diharuskan mengenakan seragam kerja berupa busana Muslim. Perempuan diharuskan memakai busana Muslimah khas Gresik dengan kerudung sarung atau biasa disebut Kurosi. Laki-lakinya menggunakan baju koko putih dengan celana panjang warna putih atau hitam. Pewajiban ini terkait dengan peringatan Hari Jadi Kota The Wahid Institute
Gresik ke-521 pada 9 Maret 2008 serta HUT Pemkab Gresik ke-34 pada 27 Februari 2008. Statemen Sekda di atas terdengar ironi. Pewajiban memakai busana muslim bagi seluruh pegawai di lingkungan Pemkab Gresik tentulah bukan sebuah pengakuan akan ke bhinekaan. Sebaliknya, kebijakan itu adalah bentuk dari pengingkaran atas kebhinekaan itu. Apapun alasannya, pemakaian jilbab tentulah terkait dengan identitas dan keyakinan keagamaan tertentu (baca: Islam). Pemakaian jilbab memang bisa dimaknai sebagai aksesoris, namun konteks pewajibannya di sini terkait dengan keinginan untuk memberi identitas Kota Gresik sebagai kota santri. Sebagaimana dinyatakan Kepala Bagian Humas Pemkab Gresik, Drs. H. Mighfar Syukur, pemerintah dan masyarakat Gresik ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Gresik adalah kota santri yang betul-betul santri. Seo lah belum cukup untuk menunjukkan kesan trian Gresik kepada dunia di momen hari jadi kabupaten itu, sampai jalan pagi pun dilakukan dengan memakai sarung dan berbaju koko. (Surya, 11/3/08).
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VIII, Maret 2008 ■
Julukan kota santri menjadi impian Kabupaten Gresik. Dengan tebaran masjid di sanasini serta keberadaan dua makam Walisongo, tokoh penyiaran Islam di Jawa yaitu Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri, Pemkab Gresik ingin menunjukkan kesantriannya. Jelas terlihat di sini ada sebuah penegasian atas keyakinan agama selain Islam yang pasti dipeluk sebagian warga Gresik dan pegawai di lingkungan Pemkab Gresik. Jika kebijakan ini tampak tidak menimbulkan ketegangan, siapakah yang bisa menjamin bahwa tidak ada pemberontakan diam-diam di dalam hati para warga dan pegawai non-Muslim?
Respon non-Muslim Seorang Pendeta GKI (Gereja Kristen Indonesia) Gresik, Gidyon mengakui, cukup banyak umatnya yang menjadi pegawai di lingkungan Pemkab Gresik. Gidyon menyatakan, negara seharusnya bersikap netral. Sekalipun di dalam sebuah pemerintahan ada kelompok tertentu yang mayoritas, namun seluruh kebijakan yang diambil tidak boleh menunjukkan keberpihakan terhadap kelompok tertentu yang berakibat perasaan tidak nyaman pada kelompok lain. Ketidaknyamanan inilah yang dirasakan oleh umat Kristen, terutama yang perempuan, yang menjadi pegawai di lingkungan Pemkab Gresik terkait kebijakan pewajiban berbusana muslim/muslimah. Sekalipun tidak ada pengaduan resmi, namun ketidaknyamanan
ini jelas terlihat dalam pertemuan-pertemuan di lingkungan umat Kristen, di mana salah satu tema perbincangannya adalah soal pewajiban berbusana muslim. Ketidaknyamanan ini terpaksa dipendam dalam-dalam. Ketika ada yang mengekspresikan ketidaknyamanan ini, tekanan lingkungan kerja segera didapatkannya. Inilah yang juga dinyatakan Pendeta Gidyon bahwa pada dasarnya konsep pakaian adalah netral. Akan tetapi, ada pakaian-pakaian tertentu yang menunjukkan identitas agama tertentu. Tidak mengherankan jika kebijakan ini tidak semata-mata dirasakan sebagai sebuah aksesoris dalam sebuah repertoar Hari Jadi Kota Gresik, tapi telah menyeret kepada sebuah kecurigaan tentang adanya agenda tertentu di balik semua ini. “Apakah ini sekedar aksesoris dalam rangka Hari Jadi ataukah ada agenda tertentu yang hendak dicapai?” tanya Pendeta Gidyon. Kecurigaan ini tentu saja beralasan. Adanya pemberlakuan busana Muslim massal oleh pihak kantor, secara mudah bisa dibaca sebagai tindakan penegasian dan penyingkiran. Apapun dalih di balik kebijakan tersebut, pewajiban pemakaian busana muslim/muslimah bagi seluruh pegawai di lingkungan Pemkab Gresik adalah sebuah penegasian atas kera gaman agama dan keyakinan yang dipeluk oleh pegawai di lingkungan Pemkab Gresik. Tampaknya, Bhinneka Tunggal Ika semakin jauh dari genggaman. ■
3. Teror Ahmadiyah Terus Berlanjut
S
ekitar pukul 10.40 sekelompok orang berpakaian muslim dengan peci putih yang diangkut oleh 3 mobil bak terbuka (mobil carry, colt bak dan truk) diiringi beberapa motor mendatangi gedung Balai Pertemuan milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kota Tasikmalaya di Jalan Nagarawangi No. 71, Kota Tasikmalaya. Turun dari mobil sekelompok orang ini langsung melemparkan batu-batu ke gedung itu sehingga 12 kaca jendela dan 1 set pintu kaca pecah. Menurut pengurus JAI kerugian material diperkirakan Rp 3,3 juta. Tidak ada korban
jiwa maupun luka-luka dalam peristiwa itu, namun gedung seluas 10x5m itu porak-poranda. Seluruh genting gedung pecah. Massa juga merusak seluruh isi gedung. Saat kejadian, tidak banyak saksi mata yang melihat karena warga setempat tengah berada di dalam rumah. “Saya sangat terkejut dan kaget ketika massa menyerbu ke sini. Mereka melempari dan merusak seluruh isi gedung,” ujar Agus, warga setempat. Penyerangan gedung JAI itu dilakukan massa yang usai mengikuti persidangan pemilik showroom mobil PT. Dahana Berlian Motor The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi VIII, Maret 2008 ■
(PT. DBM) dengan tuduhan pelecehan agama di Pengadilan Negeri Tasikmalaya. Kasus ini berawal dari laporan seorang karyawati showroom PT. DBM yang melaporkan tindakan pemilik showroom itu karena melarangnya melakukan ibadah shalat. Oleh pihak Kejaksaan Tasikmalaya pemilik showroom tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri Tasikmalaya. Tapi aparat kepolisian dari Polsekta Cihideung yang datang ke lokasi kejadian tidak menemukan seorang pun pelaku perusakan. “Kejadiannya begitu cepat. Mereka beraksi dan merusak gedung ini kurang dari 5 menit,” ujar salah seorang petugas Polsek Cihideung. Sejumlah saksi masih dimintai keterangan di Polsek Cihideung. “Kami pasti akan mengusut setiap kejadian perusakan rumah ibadah. Aksi perusakan merupakan tindak pidana yang harus ditindaklanjuti Polisi,” tutur Kepala Bidang Humas Polda Jabar Kombes Dade Ahmad. Setelah melakukan pengrusakan Balai Pertemuan JAI Kota Tasikmalaya, sekelompok orang tersebut pergi menuju ke Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya. Di Singaparna, massa menyerang Masjid Baiturahim yang biasa dipakai ibadah oleh JAI Singaparna di Kampung Babakansindang Desa Cipakat Kecamatan Singaparna Kab. Tasikmalaya. Dua
bulan lalu, masjid ini juga sempat menjadi sasaran pengrusakan. Setelah aksi, Ketua JAI Kota Tasikmalaya H. Encang Jarkasih melaporkan pengrusakan Balai Pertemuan JAI Kota Tasikmalaya kepada Kapolresta Kota Tasikmalaya U.p. Kapolsekta Cihideung, Rabu (5/3/08). Tak lama kemudian, petugas kepolisian datang ke lokasi kejadian. Polisi memasang police line di TKP untuk kepentingan pemeriksaan kasus pengrusakan gedung tersebut. Menurut H. Encang Jarkasih, peristiwa perusakan Gedung Pertemuan Jemaat Ahmadiyah diserahkan penanganannya kepada pihak yang berwajib. Kasus pengrusakan masjid dan gedung Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat sudah beberapa kali terjadi. Selain di Tasikmalaya, kejadian serupa pernah terjadi di Majalengka, Ku ningan, dan Garut, namun tak ada satu pun dari para pelaku pengrusakan yang diseret ke meja hijau. Tidak adanya tindakan hukum kepada para pelaku pengrusakan menjadikan tidak adanya efek jera pada para pelakunya. Ketidakseriusan penegak hukum melindungi seluruh warganya menimbulkan kecurigaan bahwa negara membiarkan aksi teror terhadap minoritas. ■
4. Sidang Aliran IMB yang difatwa Sesat
K
omunitas Islam Model Baru (IMB) Jambi difatwa sesat oleh Majlis Ula ma Indonesia (MUI) Jambi pada Desember 2007 (MRoRI V, Desember 2007). Berdasar fatwa MUI ini, tokoh-tokoh komunitas IMB diadili di Pengadilan Negeri (PN) Jambi dengan tuduhan melakukan penodaan agama. Saat laporan ini dibuat, persidanganpersidangan sudah mulai digelar. Sebagai terdakwa adalah Edi Ridwan (53), pendiri aliran bersama pengikutnya Amir (34), Sudibyo (32) dan Warsito (32). Ketua MUI Jambi, Sulaiman Abdullah yang hadir sebagai saksi dalam persidangan, Kamis (27/3/09), menyatakan, selebaran yang disampaikan para terdakwa sebagai bentuk ajaran mereka menyimpang dari ajaran Islam. Pada ajaran itu, mereka tidak mencantumkan al-Quran dan Hadis sebagai sumber hukum IsThe Wahid Institute
lam. Aliran yang dibawa para terdakwa berciriciri tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul dan Nabi terakhir melainkan meyakini adanya nabi baru yang akan datang. Selain Ketua MUI Jambi, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ansori SH juga menghadirkan Kepala Dinas Kesbanglinmas Provinsi Jambi Suhaimi, sebagai saksi ahli. Menurut Suhaimi, ajaran yang dibawa terdakwa sudah menyimpang dan dianggap sesat dari ajaran Islam. Dalam persidangan terungkap, tuduhan sesat terhadap kelompok IMB diajukan MUI dan diperkuat dengan “temuan” Kesbanglinmas Jambi yang diteruskan ke Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem). Setelah dipelajari, ajaran IMB dianggap memenuhi unsur pelanggaran sehingga dilaporkan ke polisi dan keempat pelaku ditangkap karena telah melanggar hukum (antara.co.id, 13/3/2008).
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VIII, Maret 2008 ■
Besar kemungkinan, keempat tokoh IMB akan divonis PN Jambi telah melakukan penodaan agama (pasal 156 a KUHP) dengan hukuman maksimal lima tahun penjara. Bila
hal ini terjadi, akan semakin banyak kelompok yang dijebloskan ke penjara karena praktek keberagamaannya berbeda dengan MUI. ■
4. Bentrok MMI vs Warga di Lombok Timur
A
nggota Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jum’at (14/3/2008) bentrok dengan warga dusun Tirpas dan dusun Tereng, Desa Korleko Kecamatan Labuan Haji Kabupaten Lombok Timur (Lotim). Bentrok dipicu oleh perbedaan teknis penyelenggaraan shalat Jum’at. Anggota MMI melaksanakan shalat Jum’at dengan satu kali azan, sementara tradisi warga setempat azan dikumandangkan sebanyak dua kali sebelum khatib naik mimbar. Perbedaan paham ke-Islaman warga setempat dengan MMI, yang bernaung di bawah Yayasan Daarus Syifaa, sudah lama terjadi. MMI atau Daarus Syifaa menanamkan doktrin keagamaan yang keras, sedangkan warga setempat penganut Islam batiniah (hakikat) yang cenderung moderat. Untuk menengahi tajamnya perbedaan paham keagamaan mere ka, tokoh masyarakat setempat sepakat menjadi petugas shalat Jum’at secara bergiliran. Beberapa minggu sebelum kejadian, potensi konflik mulai muncul. Melihat fenomena itu, Departemen Agama (Depag) Lombok Timur dibantu aparat keamanan mengambil alih sebagai petugas shalat Jum’at. Tapi pada hari kejadian, petugas dari Depag dan aparat keamanan rupanya tidak datang. Melihat ke sempatan itu, salah seorang jamaah Daarus Syifaa pun bertindak sebagai muazin yang langsung dilanjutkan dengan khutbah. Tidak terima azan dilakukan satu kali, seorang warga bangkit merebut pengeras suara
dari khatib. Secara bersamaan salah seorang anggota MMI bangkit memukul warga tersebut. Ketika khutbah akan dimulai lagi, marbot (penjaga masjid) mematikan listrik. Marbot tersebut dikejar dan dipukul juga. Akibat kejadian itu, saling pukul dan lempar pun tak dapat dihindarkan. Karena jumlah anggota MMI sedikit, mere ka terkepung di dalam masjid. Tak berapa lama aparat dari Polres Lotim datang meng amankan bentrokan. Meski begitu, suasana mencekam mulai menyelimuti dusun Tirpas dan dusun Tereng. Malamnya, sekitar pukul 21.00 WITA bentrokan kembali pecah. Saling lempar terjadi antara warga dengan anggota MMI yang bertahan di komplek Daarus Syifaa. Bentrokan baru mereda sekitar jam 05.00 pagi. Akibat peristiwa itu, salah seorang warga mengalami luka parah di bagian kepala. Pagi itu juga korban yang bernama Arif dibawa ke Puskesmas Korleko. Selain korban luka-luka, beberapa rumah rusak kena lemparan batu. Setelah kejadian, polisi menahan 3 orang anggota MMI. Guna mencegah bentrok lebih luas, semua jalan menuju kampung tersebut ditutup aparat keamanan. Walau dusun Tirpas dan dusun Tereng letaknya terpencil dan agak mi ring tapi menyimpan potensi konflik yang besar. Di kampung inilah sosok Fikiruddin alias Abu Jibril, seorang tokoh MMI nasional, dilahirkan. ■
5. Sidang Rasul Gunung Bunder Tegang
T
okoh puncak al-Qiyadah al-Islamiyah, Ahmad Mushaddeq, yang difatwa sesat MUI kini telah memasuki persidangan. Sidang lanjutan kasus mantan pimpinan alQiyadah al-Islamiyah itu kembali digelar di
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (26/3/08). Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Zahrul Rabain dimulai pukul 10.30 WIB. Sidang kali ini untuk mendengarkan ketThe Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi VIII, Maret 2008 ■
erangan Ketua Umum Front Persatuan Nasional (FPN) Agus Miftah dan Ketua PBNU Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj. Keterangan keduanya untuk meringankan, karena ke duanya turut menyaksikan pertaubatan Mus haddeq di Polda Metro Jaya. Seperti sidang-sidang sebelumnya, sidang kali ini juga dihadiri ratusan massa FPN yang mendukung Mushaddeq dan massa Front Pembela Islam (FPI) yang menentangnya. Massa FPN berpakaian serba hitam, sedang FPI serba putih. Untuk mengantisipasi kemungkinan bentrokan dua massa itu, sekitar 300 personel polisi dari Polres Jakarta Selatan dan Polda Metro Jaya disiagakan. Empat truk polisi tampak terparkir di halaman PN. (detik.com, 26/3/08) Pada sidang lanjutan ini, saksi ahli Dr. KH. Said Agil Siradj memberatkan terdakwa atas pengakuannya sebagai rasul dan menerima wahyu. Namun, kata Said Agil, tobat yang dilakukannya perlu mendapatkan pertimbangan khusus bagi pengadilan (okezone.com, 26/3/08). “Orang yang sudah menyatakan pertobatan itu sebesar apapun dosanya, Allah membuka pintu tobat,” kata Said Agil. Menurut Said Agil, seseorang tidak dibenarkan mengaku mendapat wahyu dan mengklaim diri sebagai rasul. “Itu tidak bisa. Karena wahyu dan nabi itu tidak bisa semata-mata dinyatakan seseorang dengan kata-kata ‘saya mendapat’ wahyu,” kata Said. “Kalau Pak Mushaddeq mengaku dapat wahyu, saya tidak setuju. Tapi kalau dapat suara ghaib, saya setuju,” imbuhnya. Tatkala Said Agil memberikan keterangan, beberapa anggota FPI yang ada di ruang sidang terus berteriak: “Allah Akbar-Allah Akbar. Tidak ada nabi setelah Muhammad”. Bahkan Said diteriaki sebagai saksi palsu. “Saksi palsu! Saksi palsu!” teriak mereka. (detik.com, 26/3/08). Sedang Agus Miftach menyatakan, dirinya berpikir untuk menyelesaikan kasus Ahmad Mushaddeq dengan cara dialog, tidak semata melalui jalur hukum. “Terdakwa menyampaikan pertobatan baik lisan maupun tulisan termasuk dalam acara jumpa pers dengan membaca syahadat,” katanya. Dengan demikian, pertobatan Mushaddeq secara syariat dan tasawuf sudah terpenuhi. “Terdakwa sudah The Wahid Institute
menyatakan kekhilafannya,” imbuh Agus. (Republika online, 26/3/08). Namun dalam sidang lanjutan yang digelar Rabu (2/4/2008) di PN Jakarta Selatan, Mus haddeq dituntut hukuman empat tahun penjara. “Terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran pasal 156 A huruf a KUHP,” kata tim JPU yang dikoordinasikan M. Muhajir dalam sidang di PN Jakarta Selatan. (Jawa Pos, 3/4/2008). “Terdakwa terbukti menodai dan menista agama Islam,” imbuh Muhajir (Surya, 3/4/2008)..
Nyaris Ricuh Pada persidangan Rabu (26/3/2008) tampak hadir sekitar 20 massa FPI, sementara massa FPN berjumlah sekitar duaratusan orang. Ketua Majelis Hakim Zahrul Rabain pun membuka persidangan dengan ruangan yang penuh sesak. Sesaat setelah sidang dibuka, seorang massa FPI berteriak. “Allah Akbar! Kita dikasih tempat dong! Ini persidangan umum nih”. Teriakan itu jelas dimaksudkan pada massa FPN yang sudah memenuhi ruang sidang terlebih dahulu. Massa FPN tidak membalas teriakan itu. Mereka hanya tersenyum. Mendengar teriakan yang mengganggu itu, Ketua Majelis Hakim meminta pimpinan kedua massa untuk menenangkan para anggotanya. “Rekan-rekan FPI, kami harapkan mengikuti sidang dengan tenang. Tidak mungkin kami melaksanakan sidang jika Anda tidak tenang,” tegur Hakim Ketua (detik.com, 26/3/08). Keadaan pun agak terkendali. Sementara itu, Ketua Ketahanan FPI Hadi TBM Sidik mengatakan, kedatangan massanya hanya untuk memantau supaya pengadilan tidak diteror oleh kelompok tertentu. “Jangan sampai membeda-bedakan orang yang sudah menistakan agama Allah SWT. Kita tidak takut meskipun jumlah mereka (pendukung Mushaddeq) lebih banyak, karena kita membela Allah SWT,” ujar Sidik (okezone.com, 26/3/08). Ketika sidang diskors oleh Hakim Ketua, Koordinator Aksi FPI Eka Jaya memaki seraya menudingkan telunjuknya kepada massa FPN yang sedang duduk-duduk. “Mereka ini berani karena dibayar Rp 50 ribu satu orang. Dengan uang Rp 50 ribu, mereka mengor-
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VIII, Maret 2008 ■
bankan aqidah dan kehormatan. Ente bawa massa seribu, duaribu kita nggak takut. Kita ini mau membela Islam. Kita tidak rela Islam kalian sempalkan, nodai, dan hina. Ini tidak bisa kita tolerir. Jangan Islam kalian kacaukan,” sergah Eka. Tapi pendukung Mushaddeq tidak terpan cing. Mereka hanya cengar-cengir. Eka Jaya pun semakin kesal dengan ulah pendukung FPN. Dengan suara semakin ditinggikan Eka kembali berteriak. ”Kami menghormati orang Kristen, Hindu, Buddha, bahkan Konghuchu. Tapi kalau Islam kalian injak-injak, kalian kacaukan, kami tidak akan tinggal diam. Jadi jangan coba-coba. Yang belum terlambat,
ayo coba jihad sama aqidah Islam. Kalau saya periksa KTP ente-ente, insya Allah KTP kalian Islam. Tapi kenapa kalian hina agama kalian sendiri?” tukas Eka. Namun, meski diprovokasi, massa FPN tidak terpancing, sehingga kericuhan bisa dihindarkan. Pendukung Mushaddeq dan kubu Front Pembela Islam (FPI) juga kembali menyesaki persidangan, Rabu (2/4/2008). Seratusan polisi menjaga sidang ini. Selama sidang, Mushaddeq tampak tenang duduk di kursi terdakwa. Setelah pembacaan tuntutan oleh tim JPU, majelis hakim yang diketuai Zahrul Rabain lantas menutup sidang untuk dilanjutkan pada 9 April 2008. ■
6. Paskah Kelabu di Parung Bogor
K
edamaian Paskah terusik. Jemaat Gereja Katolik Santo Joannes Baptista, Kampung Tulang Kuning, Desa Waru Induk, Kecamatan Parung, Bogor, Jawa Barat memperingati kebangkitan Yesus Kristus dari alam maut dengan suasana diliputi ketegang an. Pasalnya, ratusan massa yang menamakan diri Forum Komunikasi Remaja Muslim “Jamiul Fataa” (FKRM JF), Desa Waru Induk, Kec. Parung menggrudug tempat ibadah umat Katolik tersebut pada Sabtu (22/3/2008). Akibatnya, hari suci yang semestinya diisi ibadah pada Sabtu dan Minggu (22 & 23/03/08) itu tidak bisa dilaksanakan sesuai rencana. Massa FKRM JF, walau dengan embel-embel ‘aksi damai’ tapi tujuannya jelas menghalangi kegiatan ibadah agama. Bahkan, tempat ibadah berupa tenda juga ikut menjadi korban. Tak ayal, duka menyelimuti para jemaat. Selain “kocar-kacir” mencari tempat ibadah Katolik terdekat, Jemaat Gereja Katolik Santo Joannes Baptista dipaksa menandatangani surat pernyataan yang berisi persetujuan meniadakan berbagai bentuk ibadah dan menutup seluruh kegiatan gereja yang dipimpin Pastor Alfonsus Sutarno, PR., ini. Keberadaan Gereja Santo Joannes Baptista tidak bisa dilepaskan dari Gereja Santo Paulus Depok. Sekitar 1977, banyak guru Sekolah Dasar (SD) Inpres beragama Katolik berdatangan untuk mengisi formasi guru di beberapa daerah seperti Parung, Gunung Sindur, Sawa-
ngan, Kemang, Ciseeng, Bojong Gede, dan Tajur Halang. Para guru Katolik ini kemudian membentuk komunitas Katolik. Komunitas ini terus berkembang hingga pada tahun 1978 terdapat lima kelompok komunitas Katolik. Komunitas itu berada di Parung, Gunung Sindur, Bojong Sari, Lebak Wangi, dan Duren Seribu. Mulai 1989 pelayanan misa mingguan dipusatkan di rumah Wempie Sukendar (Bojong Sari). Pada tahun itu pula (tepatnya 19 Nopember 1989) kelima daerah itu menjadi sebuah Stasi dari Paroki Santo Paulus, Depok. Nama pelindung untuk stasi ini adalah: “Santo Joannes Baptista”. Sebagai ketua Stasi pertama adalah Bonaventura Huwa. Pemakaian rumah Wempie Sukendar (alm.) sebagai tempat ibadat berlangsung hingga tahun 1992. Tempat berikutnya yang dipakai sebagai pusat pelayanan rohani adalah lapangan terbuka “Gardent Restaurant” milik keluarga Felix Juhari, di Lebak Wangi, Parung. Menging at banyaknya umat, adanya berbagai kegiatan rohani, dan munculnya kesanggupan Stasi Joannes Baptista untuk mandiri, maka status Stasi Joannes Baptista ditingkatkan menjadi Paroki Santo Joannes Baptista, berdasarkan Surat Keputusan Uskup Bogor (Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM), no. 47/D/SKB/ IX/00, tanggal 24 September 2000. Adapun sebagai Pastor pertama Paroki Santo Joannes Baptista adalah Pastor Polycarpus Suyut, PR. The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi VIII, Maret 2008 ■
Aksi penolakan masyarakat terhadap gereja mulai muncul ketika estafet kepemimpinan Paroki Santo Joannes Baptista dipegang Pastor Alfonsus Sutarno, PR (SK No. 11/SK-KB/ III/2005), karena dipundaknya diletakkan kebutuhan umat yang paling mendesak yakni terwujudnya gedung gereja dan sarana penunjangnya. Untuk pendirian gedung gereja, pihak gereja telah memiliki tanah seluas 7.500 m2 di Tulang Kuning. Dari sinilah terjadi ketegangan-ketegangan, karena umat Islam setempat tidak menginginkan ada gereja di sekitarnya. Sebelum aksi yang terakhir ini, setidak nya telah terjadi dua aksi penolakan: Pertama, terjadi tahun 2001 oleh Ikatan Remaja Masjid (Irmas) Parung, dan kedua, pada Februari 2005 oleh massa yang tidak jelas identitasnya. Dalam catatan kronologis yang ditulis Pastor Alfonsus, sejak tahun 1992 misa dan aktifitas rohani dilakukan dengan menggunakan tenda di lapangan terbuka milik salah satu jemaat. Karena telah memiliki tanah sendiri, gereja yang memiliki jemaat sekitar 2.500 jiwa ini kemudian memindahkan berbagai aktifitas rohani ke lokasi tersebut. Sambil mengusahakan perizinan pembangunan dan sosialisasi ke masyarakat setempat, kegiatan ibadah dilaksanakan di bawah tenda. Namun berbagai gangguan dari masyarakat yang tidak senang dengan keberadaan gereja
kerap dialami, meskipun pihak gereja berusaha bersosialisasi dengan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan seperti bakti sosial, posyandu, olah raga dan lain-lain. Sedang pihak pemerintah, baik Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor maupun Muspika di Kecamatan Parung tidak punya ketegasan sikap dalam menjamin hak warganya untuk beribadah. Surat permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diajukan gereja ke Bupati Bogor hingga kini belum dijawab. Sementara Muspika Kecamatan Parung juga tidak berani memberi jaminan keamanan kepada gereja karena akan berhadapan dengan kelompok penentang. Tidak ada upaya yang bisa dilakukan gereja selain menunggu perijinan, meskipun hal itu tidak pasti kapan akan turun. Berbagai kondisi ini menambah beban para jemaat karena mereka berada dalam situasi yang tidak menentu. Gereja yang dirintis sejak tahun 1977 ini adalah korban dari minimnya rasa toleransi sebagian masyarakat. Pemaksaan kehendak, ancaman, intimidasi dan perlakuan anarkis adalah tekanan yang terus dialami. Korban perlakuan ini sering tidak bisa berbuat apaapa, mereka harus mengikuti kemauan pelaku. Inilah yang dialami Paroki yang hingga hari ini (selama 31 tahun) belum memiliki gedung gereja. ■
7. Kelompok Kandang Rosul Lebak Banten Terancam Fatwa Sesat
S
etelah kasus Nursyahidin menggegerkan pada akhir tahun lalu, isu aliran yang dianggap sesat kembali mencuat di Ta nah Debus. Kali ini menimpa kelompok yang menamakan diri Aliran Kandang Rosul Lembaga Mahkamah Potensi Rakyat Suku Bahasa, Bangsa, Negara, Potensi Alam dan Segala Isinya. Kelompok ini berkembang di Kampung Jangan, Desa Asem, Kecamatan Cibadak, dan Kampung Legok, Desa Pasir Kupa, Kecamatan Kalanganyar, Kabupaten Lebak. Tapi sebagian warga di dua kampung ini resah dengan kehadiran mereka (Radar Banten, 26/03/2008). Di Kampung Jangan, Cibadak, warga mela porkan Kandang Rosul ke MUI setempat. Setelah itu, pihak MUI menggelar serangThe Wahid Institute
kaian musyawarah bersama beberapa tokoh agama setempat mengenai keberadaan Kandang Rosul. “Namun rapat tersebut belum memutuskan hasil apa-apa, karena kami harus meminta klarifikasi kepada orang yang menyebarkannya di Kampung Jangan,” ujar Ketua MUI Kecamatan Cibadak Kyai Busro, Selasa (25/3/2008). Di kampung yang sama, baru-baru ini pihak MUI Cibadak juga tengah menyelediki ajaran yang dibawa Safei, salah satu penduduk kampung. Tak jelas apakah Safei ini termasuk kelompok Kandang Rosul atau bukan. Kelompok Safei sudah berkembang sejak dua tahun silam dan kebanyakan jamaahnya berasal dari luar kampung Jangan, yakni dari Kabupaten
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VIII, Maret 2008 ■
Serang dan Pandeglang. Menurut kabar yang berkembang, Safei tidak mewajibkan jamaahnya shalat Jumat, Isya, dan Subuh, ketika mereka tengah menggelar pengajian yang rutin digelar setiap malam Senin hingga menjelang pagi. Kelompok Safei juga melafalkan dua kalimat syahadat dengan cara yang tak umum. Pada syahadatnya mereka menyebut 25 Nabi, dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Padahal syahadat yang bia sa dilafalkan kebanyakan kaum muslim hanya menyebut Nabi Muhammad. “Karenanya, kami menghimbau kepada warga lain untuk tak terpengaruh ajaran Safei, karena bisa menyesatkan,” kata Kyai Busro akhir Maret lalu (24/03/2008) seperti dikutip Antara. Menurut Kyai Busro, apabila ajaran itu benar-benar dianggap sesat, pihaknya akan menyerahkan kasus ini kepada Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Keagamaan (Pakem) Kabupaten Lebak untuk ditindaklanjuti. Namun, untuk sementara kasus tersebut masih ditangani Polsek Cibadak. Hingga berita ini diturunkan pihak MUI Cibadak sendiri belum pernah bertemu dengan Safei. Menurut penuturan Kyai Busro, Safei sendiri belum memenuhi undangan yang dikirimkan Polsek Cibadak untuk meminta penjelasan.
Sementara itu di Kampung Legok, M. Husen, Ketua Cabang Kandang Rosul kampung itu, dikabarkan sudah dipanggil aparat desa untuk dimintai keterangan. Husen menolak jika kelompoknya dianggap sesat. Menurutnya, ajaran yang dikembangkan semata-mata demi membantu masyarakat yang kesusahan. “Tidak mengajarkan kesesatan atau menjerumuskan,” tegasnya. Penolakan juga dilontarkan Didi Ruhendi (50 tahun), salah seorang anggota Kandang Rosul, ketika memberi klarifikasi di Polres Lebak, Rabu (26/3). Kandang Rosul, kata Didi, hanya sebuah organisasi atau sejenis lembaga swadaya masyarakat yang dibentuk untuk kepentingan sosial. Bahkan Didi mengaku, organisasinya kini tengah mengajukan permohonan dana untuk pembangunan atau renovasi masjid termasuk madrasah-madrasah. Dari segi ajaran, kata M. Husen, kelompok Kandang Rosul mengembangkan ajaran yang diterima dari seseorang bernama Sunan Jatine gara Diningrat yang beralamat di Cisoka, Tangerang. Ada kemungkinan nama tersebut adalah julukan lain dari Benhard, pimpinan tertinggi Kandang Rosul. Nama ini disebut Didi ketika dimintai klarifikasi oleh Polres Lebak. ■
Analisis dan Komentar Dari kasus-kasus yang dilaporkan MRoRI edisi VIII ini ada beberapa hal yang penting dianalisis: 1. Adanya kelompok-kelompok yang mengobarkan kebencian terhadap pengikut agama yang lain bukanlah isapan jempol. Film berjudul Fitna adalah salah satu bentuk ekspresi ekstrim atas kebencian itu. Kebencian itu mempunyai sejarah yang panjang, bahkan proses pewarisan kebencian itu terus terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam konteks film Fitna, hal yang harus segera disadari adalah bahwa, film itu tidak menggambarkan sikap
10
masyarakat Barat secara keseluruhan. Dalam setiap komunitas agama senantiasa muncul orang-orang ekstrim seperti Geert Wilders, namun hal itu tidak seharusnya menutup mata kita bahwa masih ada kelompok yang semakin memberi apresiasi kepada pemeluk agama lain. Meskipun kelompok terakhir ini semakin kuat, namun keberadaan kelompok ekstrim semakin perlu diwaspadai. Sikap pemerintah Belanda terhadap film ini patut diapresiasi. Begitu juga respon sementara kalangan Muslim di seluruh dunia yang tidak seperti kasus-kasus provokasi sebelumnya, kritis dan protes, tetapi
The Wahid Institute