Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
KARUNIA BERBAHASA LIDAH DALAM TERANG PENGAJARAN PERJANJIAN BARU Dr. Wayne House berkata: "Dari semua subyek pembahasan yang dibicarakan dalam lingkup kekristenan, mungkin hanya sedikit yang mendapat lebih banyak perhatian daripada subyek berbahasa lidah". Meskipun tulisan-tulisan tentang subyek ini sudah begitu banyak, diskusi tentang isu ini terus berlangsung sampai saat ini. Patutlah kita catat bahwa "berbahasa lidah" telah menjadi salah satu penyebab utama perpecahan dalam gereja. Ratusan, bahkan ribuan gereja telah terpecahbelah. Pendeta-pendeta dilarang berkhotbah di mimbar, anggota-anggota gereja dikucilkan, dan teman menjadi lawan. Harus kita akui, konflik ini lebih banyak disebabkan oleh sikap-sikap yang dogmatik dan kaku dari pemimpin-pemimpin gereja yang antikharismatik. Tapi dipihak lain, mereka yang berbahasa lidah, acapkali membangkitkan reaksi-reaksi perlawanan yang semakin keras karena adanya usaha-usaha yang agresif dari mereka untuk meyakinkan setiap orang Kristen bahwa untuk memperoleh kehidupan kekristenan yang lebih penuh, maka ia harus menerima karunia berbahasa lidah. Desakan yang demikian tentunya akan menimbulkan perdebatan dan unsur bahaya yang lain. Ketika seseorang ngotot bahwa semua orang percaya harus mencari karunia berbahasa lidah agar dapat memperoleh kehidupan kekristenan yang lebih lengkap, maka ia telah salah menafsirkan Injil. Posisi yang demikian adalah "asing" dalam pengajaran Alkitab, dan orang Kristen yang sejati harus mengoreksi doktrin yang tidak alkitabiah ini yang mengharuskan orang Kristen berbahasa lidah. Tony Campolo menulis: "Adalah kewajiban setiap orang Kristen untuk meneliti dengan seksama apa yang sedang terjadi dengan semua fakta yang berhubungan dengan fenomena agama yang sedang berkembang ini. Hal ini amat penting mengingat begitu banyak Page 1
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
ketidakaslian dan penipuan dalam Pentakostalisme" (Tony Compolo, "How To Be Pentecostal Without Speaking in Tongues," hal. 22). Dengan dasar pertimbangan ini, konflik itu perlu untuk memelihara kemurnian ajaran gereja, dan setiap orang Kristen yang setia pada Firman Allah tidak boleh melarikan diri dari tanggung jawab ini.
A. BAHASA LIDAH SEBAGAI SUATU PENGESAHAN PENCURAHAN ROH KUDUS Dalam sejarah gereja mula-mula yang tercatat dalam Kisah Para Rasul, Lukas (penulis kitab Kisah Para Rasul) tidak saja menelusuri pelayanan Rasul Petrus dan Rasul Paulus dari kota Yerusalem ke Roma, tapi secara khusus juga mengungkapkan kedatangan dan pekerjaan Roh Kudus, yang sebelumnya telah dijanjikan oleh Tuhan Yesus (Luk. 24:49).
A.1. Bahasa Lidah Pada Hari Pentakosta (Kis. 2:1-13) Pentakosta adalah suatu peristiwa penting karena ada dua alasan: Pertama, Pentakosta terjadi 50 hari setelah penyaliban dan kebangkitan Kristus dan 10 hari setelah kenaikan Kristus ke surga (Kis. 1:2-3). Kedua, Pentakosta menunjuk kepada suatu peristiwa bersejarah yang akan segera terjadi, yaitu: pencurahan Roh Kudus. Dalam mengantisipasi peristiwa yang besar ini, maka murid-murid-Nya diperintahkan oleh Kristus untuk tetap tinggal di Yerusalem sampai mereka dipenuhi oleh kuasa dari surga (Luk. 24:49). Pada pagi hari di hari Pentakosta ketika murid-murid-Nya berkumpul di satu tempat, tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras memenuhi seluruh rumah, dimana mereka berkumpul. Page 2
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
Murid-murid melihat apa yang tampak seperti lidah api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasabahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya (Kis. 2:1-4). John Stott berkata: "Jika kita mengizinkan bagian Alkitab lain untuk menuntun penafsiran kita, kelihatannya bahwa ketiga tanda itu setidaknya menunjuk pada dimulainya suatu Era Roh Kudus Yang Baru dan akan karya-karya baru yang segera akan dikerjakan-Nya. Lebih lanjut Stott berpendapat: "Jika demikian, suara seperti angin boleh melambangkan kuasa (seperti Yesus telah janjikan kepada murid-muridNya untuk bersaksi – Luk. 24:49, Kis. 1:8), penglihatan seperti api melambangkan kesucian (seperti bara yang menyucikan – Yes. 6:6-7), dan perkataan dalam bahasa-bahasa lain melambangkan sifat menyeluruh / universal dari gereja Kristen" (John Stott, "The Spirit, The Church, and The World", hal. 63). Ketika murid-murid dipenuhi dengan Roh Kudus dan mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, maka terkejut dan heranlah semua orang yang mendengarnya. Semua orang yang hadir pada waktu itu menyaksikan bahwa mereka mendengar murid-murid berkata-kata dalam berbagai bahasa dari 15 negeri yang berbeda, terbentang dari Persia disebelah timur sampai ke Roma di sebelah barat (Kis. 2:6-11). Mereka yang hadir mengerti bahasa-bahasa itu, mengenal pokok pembicaraan, dan menanggapinya. Richard Longenecker mencatat bahwa para murid yang berkata-kata itu orang Galilea, tentunya tidak berbicara dalam bahasa mereka, dimana umumnya dianggap tidak berpendidikan dan tidak berbudaya. Ucapan orang Galilea segera menunjukkan asalnya, karena mereka tidak dapat mengucapkan suara guteral (suara yang dikeluarkan dari tenggorokan) dan cenderung menelan suku kata tertentu. Karena itu, orang Galilea dicemooh oleh orang dari kota besar seperti dari Yerusalem. Maka, bagaimana mungkin para murid yang tidak berpendidikan dapat mengucapkan bahasa-bahasa dari bangsa lain dengan lancar dan baik? Tidak heran bahwa orang-orang yang Page 3
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
mendengar para murid waktu itu menjadi tercengang (Richard Longenecker, "The Acts of The Apostles", hal. 272).
Banyak sarjana-sarjana Alkitab memandang berkat-berkat pada hari Pentakosta sebagai lawan atau kebalikan dari kutuk Menara Babel. Di Menara Babel, orang-orang sombong yang berkumpul waktu itu mencoba untuk menjangkau langit. Di Yerusalem orang-orang diingatkan bahwa Tuhan dalam kerendahan hati turun ke bumi. Di Menara Babel, yang semula bahasa manusia di seluruh bumi adalah satu bahasa dan satu logat (Kej. 11:1) lalu TUHAN mengacaukan bahasa manusia sehingga tidak lagi mengerti bahasa masing-masing (Kej. 11:7). Namun, apa yang terjadi di Yerusalem dalam sekejap rintanganrintangan bahasa bukan lagi menjadi penghalang lagi oleh karena pekerjaan dari Allah Roh Kudus. Dan ini merupakan suatu pertunjukan pendahuluan tentang apa yang akan terjadi kelak karena Kristus, yaitu semua orang yang telah ditebus dari setiap bangsa, suku, bahasa (Kej. 11:1-9; Why. 7:9) akan bersatu dalam Kristus. Dimana ada pekerjaan Roh Kudus dan dimana ada gerakan Roh Kudus yang sejati, disitulah dapat dilihat ada persatuan umat (gereja) Tuhan. Hal ini tentu sangat jauh sekali berbeda di zaman kita hidup saat ini, yaitu pemberitaan tentang Roh Kudus menyebabkan perpecahan gereja.
Sebagai kesimpulan, berbahasa lidah adalah bukti bahwa Tuhan telah mencurahkan Roh-Nya. Lukas ingin menyatakan bahwa fenomena ini adalah suatu pengesahan atau konfirmasi kehadiran Roh Kudus. Fenomena itu adalah suatu konsekuensi dipenuhinya mereka oleh Roh Kudus (Kis. 2:4). Pemenuhan ini dalam pengertian menetap, yaitu Roh Kudus akan tinggal selama-selamanya dalam diri orang percaya dan bukan hanya untuk sementara. Dengan demikian, kedatangan Roh Kudus memperkenalkan suatu era yang baru.
Page 4
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
A.2. Pengalaman Orang-orang Samaria (Kis. 8:14-17) Orang-orang Samaria telah menyambut berita Injil dan telah dibaptis, namun dengan jelas dinyatakan bahwa Roh Kudus belum turun di atas seorang pun di antara mereka (ay. 16). Jika satu kelompok orang dapat menjadi orang Kristen tanpa memiliki Roh Kudus, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa orang-orang lain pun dapat berada dalam keadaan yang sama. Dalam mempertimbangkan pasal yang memang sangat sulit ini, pertamatama kita hendaknya mengerti bahwa panggilan Filipus ke Samaria yang menghasilkan petobat-petobat yang besar jumlahnya penting sekali artinya dalam sejarah jemaat yang mula-mula. Dengan latar belakang kebencian rasial dan agama yang telah berlangsung selama berabadabad, yang telah memisahkan orang Yahudi dari orang Samaria, maka sungguh mengherankan bahwa orang-orang Kristen yang mula-mula, yang semuanya adalah orang Yahudi, mau memberitakan kabar baik itu kepada orang Samaria. Ketika banyak orang Samaria menyambut pemberitaan Filipus, maka ada bahaya terbentuknya suatu jemaat Samaria sendiri, terpisah dari jemaat Yahudi di Yerusalem dan Yudea akibat permusuhan rasial yang sudah turun-temurun. Rupanya untuk menghindarkan kemungkinan inilah maka Allah, di dalam kemahakuasaan-Nya, mengatur kejadian-kejadian dengan cara yang luar biasa sebagaimana dicatat oleh Lukas. Bahwasanya tidak lazim bagi petobat-petobat untuk dibaptiskan tanpa menerima Roh Kudus nampak jelas dari cara Lukas menarik perhatian kita kepada keadaan itu (ay. 15-16). Bahwasanya Roh Kudus tidak diberikan kepada petobat-petobat di Samaria sebelum Petrus dan Yohanes datang dan menumpangkan tangan ke atas mereka rupanya adalah cara Allah untuk menunjukkan kepada orang-orang Kristen Yahudi maupun Samaria bahwa sekarang mereka adalah anggotaanggota satu tubuh, yaitu tubuh Kristus, walaupun sampai saat itu mereka bermusuhan karena kebencian rasial dan agama yang sudah berurat berakar. Petobat-petobat baru di Samaria disadarkan bahwa Page 5
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
mereka memerlukan jemaat induk di Yerusalem. Sebaliknya para pemimpin di Yerusalem yang merasa ragu-ragu terpaksa mengakui kenyataan daripada pertobatan orang Samaria. Sekali lagi, perlu ditekankan bahwa seluruh keadaan ini benar-benar luar biasa, dan doktrin PB tidak dapat didasarkan atas kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi secara terpisah. Lagipula, perlu dikemukakan bahwa berkata-kata dalam bahasa lidah tidak disebut secara khusus dalam kasus Samaria, sebaiknya kita tidak bersikap dogmatis dalam hal ini.
A.3. Pengalaman Paulus (Kis. 9) Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, beberapa orang Kristen menyatakan bahwa Paulus bertobat di jalan menuju ke Damsyik dan ia menerima baptisan Roh Kudus ketika Ananias menumpangkan tangan ke atasnya 3 hari kemudian. Pada saat yang sama ia pun berkata-kata dalam bahasa lidah. Tetapi ingatan Paulus sendiri tentang seluruh kejadian itu, sebagaimana tercatat dalam Kis. 22, tidak mendukung tafsiran yang demikian atas kejadian-kejadian itu. Bahwa Paulus melihat dan mendengar Tuhan di jalan menuju Damsyik sudahlah jelas. Bahwa pengalaman yang mengejutkan ini menghancurkan keyakinannya yang terdahulu juga jelas. Ananias datang dengan nasihat, "Bangunlah, berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu disucikan sambil berseru kepada nama Tuhan!" (Kis. 22:16). Nasihat ini jelas diberikan kepada seorang yang perlu bertobat. Kenyataan bahwa Paulus mengikuti nasihat Ananias, kemudian ia "makan, pulihlah kekuatannya" (ay. 19), membawa kita kepada kesimpulan bahwa dengan berbuat demikian ia bertobat dan pada saat yang sama dipenuhi Roh Kudus. Pengalaman Paulus mengikuti pola pengajaran PB. Pertobatan dan kepenuhan Roh bukanlah dua pengalaman yang terpisah melainkan satu, yang kedua unsurnya saling memberi arti. Lagipula, tidak wajar dan benar-benar tidak beralasan kalau kita menghubungkan Kis. 9 dengan 1Kor.14, dimana Paulus berkata "Aku mengucap syukur kepada Allah, bahwa aku berkata-kata dengan bahasa Page 6
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
roh lebih daripada kamu semua", dan menarik kesimpulan dari ayat ini bahwa Paulus berkata-kata dengan bahasa lidah ketika Ananias menumpangkan tangan ke atasnya.
A.4. Bahasa Lidah di Rumah Kornelius (Kis. 10:44-46) Beberapa tahun setelah peristiwa Pentakosta, Petrus dipanggil untuk mengunjungi rumah seorang perwira Romawi, bernama Kornelius. Lukas mencatat bahwa perwira ini adalah seorang yang saleh, yang bukan saja suka sembahyang di sinagoge tapi juga membantu masyarakat Yahudi. Singkatnya, ibadahnya kepada Allah menaruh ia di dalam jalan keselamatan dan mempersiapkan ia untuk menerima Injil. Sebelum datang kesana, Petrus menerima visi dari Tuhan yang mengingatkan ia agar tidak memperlakukan orang-orang di luar bangsa Yahudi (kafir) lebih rendah. Petrus mentaati perintah Tuhan, lalu berangkat bersama dengan 6 rekan Yahudi (Kis. 11:12). Alasan keikutsertaan ke-6 rekan ini mungkin menjadi saksi mata, sehingga gereja dapat mengecek secara terperinci kunjungan yang luar biasa itu (Kis. 11:1-8). Petrus tiba di rumah Kornelius dan memberitakan Injil kepada Kornelius dan seisi rumahnya. Ayat 44-46 mencatat bahwa ketika Petrus sedang berkhotbah: "Turunlah Roh Kudus ke atas semua orang yang mendengarkan pemberitaan itu. Dan semua orang percaya dari golongan bersunat yang menyertai Petrus tercengang-cengang, karena melihat, bahwa karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga, sebab mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa roh dan memuliakan Allah." Meskipun ayat 46 tidak secara eksplisit berkata bahwa bahasa roh ini adalah bahasa asing, tapi implikasinya adalah jelas: Lukas menggunakan kata-kata yang sama untuk menguraikan fenomena ini sebagaimana ia lakukan di peristiwa terdahulu (Kis. 2:4,11). Perkataan glossa menunjuk kepada bahasa manusia yang dapat dimengerti seperti pada Kis. 2. Maka akan janggal bahwa Lukas yang adalah sejarahwan yang teliti, akan menggunakan Page 7
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
istilah yang sama dalam satu kitab dengan dua arti yang berbeda. Dan kesan kita yang wajar adalah suatu fenomena yang sama telah terjadi. Dengan memberikan Roh Kudus kepada Kornelius (bukan orang Yahudi) persis seperti kepada murid-murid-Nya (orang Yahudi) pada hari Pentakosta, ini membuktikan "orang-orang bukan Yahudi (kafir) telah diperlakukan sama dengan orang-orang Yahudi. Roh Allah tidak saja menerobos sejarah tapi menerobos hambatan-hambatan yang telah memisahkan manusia satu dengan yang lain. Peristiwa ini juga menyatakan dengan gemilang bahwa Yesus membaptis semua orang percaya dengan Roh Kudus.
A.5. Bahasa Lidah Pada 12 Murid Yohanes Pembaptis (Kis. 19:1-7) Dalam perjalanan pekabaran Injil yang dilakukan Paulus yang ketiga, ia bertemu dengan 12 murid Yohanes Pembaptis di Efesus, yang hanya mengetahui baptisan Yohanes. Paulus kemudian menjelaskan Injil lebih mendalam kepada mereka, yaitu menunjuk kepada Yesus sebagai penggenap dari pelayanan Yohanes. Mendengar itu, Lukas mencatat: "Mereka dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Ketika Paulus meletakkan tangannya di atas mereka, Roh Kudus datang atas mereka, dan mereka berbahasa lidah dan bernubuat" (Kis. 19:5-7). Mengapa ke-12 murid Yohanes ini menerima karunia berbahasa lidah dan bernubuat? Kedua karunia ini diberikan untuk meyakinkan mereka bahwa suatu fakta penyelamatan yang teramat dasar telah terjadi, persis seperti yang terjadi di hari Pentakosta. Walaupun Paulus mungkin telah memberitahukan mereka tentang Pentakosta dan telah mengaruniakan tanda-tanda khusus yang menyertai murid-murid pada hari itu, tetapi cara yang paling baik untuk meyakinkan ke-12 murid itu adalah dengan memberikan ke-12 murid itu, yaitu berbahasa lidah dan bernubuat. Dengan demikian kedua karunia ini merupakan bukti yang tidak dapat dibantah. Tanda-tanda yang terjadi pada peristiwa Pentakosta juga amat dibutuhkan di Efesus. Apakah bahasa lidah di Efesus adalah juga bahasa Page 8
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
yang dimengerti? Karena Lukas menggunakan kata yang sama "glossa" seperti pada dua peristiwa awal, maka asumsi yang logis adalah bahasa yang diucapkan oleh kedua belas murid Yohanes ini sifatnya adalah sama. Peristiwa di Efesus dianggap sebagai situasi historis yang unik. Orangorang ini hidup dalam suatu masa transisi, yang sedang mengantisipasi Mesias tapi tidak mengetahui bahwa janji itu telah dipenuhi. Sebagai konsekuensi, mereka membutuhkan suatu bukti yang mantap bahwa nubuat dari Yohanes Pembaptis telah digenapi dan bahwa Roh Kudus telah sungguh-sungguh dicurahkan pada hari Pentakosta. Untuk mengatasi keragu-raguan mereka tentang Roh Kudus, pengesahan dengan tanda-tanda diatas adalah penting bagi ke-12 murid seperti yang dibutuhkan oleh murid-murid di saat Pentakosta. Pemberian Roh Kudus adalah penting untuk mengungkapkan kepada mereka bahwa Roh Kudus telah datang ke dalam dunia ini. Sebagai kesimpulan, karunia bahasa lidah dalam Kis. 2:4, 10:46, dan 19:6 adalah peristiwa-peristiwa yang membuktikan kehadiran Roh Kudus, dengan tujuan yang sama yaitu sebagai pengesahan dan konfirmasi. Peristiwa-peristiwa di Pentakosta adalah unik dan mereka tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi bentuk pengalaman atau bentuk baku dimana harus dicari oleh semua orang Kristen jikalau ia dipenuhi Roh Kudus.
B. BAHASA LIDAH SENDIRI (1Kor. 12-14)
UNTUK
MEMBANGUN
DIRI
Dalam 1Kor. 12:8-10, karunia bahasa lidah dan penafsiran bahasa lidah didaftarkan sebagai dua dari sembilan "charismatic gifts". Perlu Page 9
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
diperhatikan bahwa kedua karunia tersebut ditempatkan pada bagian terakhir dari daftar karunia-karunia. "Posisi ini memang disengaja oleh penulis", demikian diungkapkan oleh Anthony Hoekema. "Alasannya adalah banyak orang Kristen di Korintus menempatkan karunia bahasa lidah di puncak dari daftar karunia, menyombongkan diri karena merasa memiliki karunia ini, dan memberikan tekanan yang berlebihan tentang pemakaian karunia ini" (Hoekema, "What About Tongue-Speaking", hal. 86). Karena adanya peninggian yang berlebihan dari karunia yang satu ini, maka dalam penggunaannya di Jemaat telah menyebabkan kekacauan dalam kebaktian umum di gereja dan perpecahan dalam tubuh Kristus (1Kor. 12:25). Konsekuensinya, ada orang-orang percaya di Korintus yang melarang orang berbahasa lidah di Jemaat. Jemaat Korintus yang mengalami perpecahaan Jemaat karena fenomena bahasa lidah ini bukanlah suatu yang mengejutkan. Karena salah satu aspek yang paling menarik dari gereja ini adalah munculnya berbagai masalah dalam tubuh Jemaat, yaitu: konflik antar Jemaat (1Kor. 1:104:21), kasus percabulan (1Kor. 5:1-13), konflik hukum antar orang percaya (1Kor. 6:1-11), hubungan yang tidak lazim dengan pelacuran (1Kor. 6:12-20), pertanyaan tentang pernikahan (1Kor. 7:1-40), penyembahan berhala (1Kor. 8:1-13), pembelaan Paulus tentang kerasulannya (1Kor. 9:1-27), penyalahgunaan perjamuan kasih (1Kor. 11:17-34), nubuatan yang dipraktekkan dengan tidak tertib oleh para wanita (1Kor. 11:1-16), dan perbantahan tentang kebangkitan tubuh (1Kor. 15:1-58).
Van Elderen memberikan komentar yang tepat ketika ia berkata: "Gereja Korintus mempunyai kesulitan-kesulitan moral, rohani dan teologis. Gereja ini telah membuat Paulus lebih pusing daripada gereja-gereja lain" (Van Elderen, "Glossolalia In The New Testament", hal. 56). Jimmy Millikin juga berpendapat bahwa: "Gereja Korintus menjadi suatu contoh klasik tentang ketidak-dewasaan rohani Jemaat. Paulus secara tegas menegur mereka dengan menyebut mereka sebagai bayi Page 10
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
rohani, yang belum memiliki kerohanian yang sejati" (Jimmy Millikin, "Testing Tongues By The Word", hal. 23). Walaupun Paulus tidak melarang praktek karunia ini (1Kor. 14:39), Paulus ingin menaruh karunia ini pada tempat yang tepat agar orang-orang Kristen di Korintus memiliki pengertian yang tepat tentang karunia bahasa lidah. Paulus menghargai karunia ini karena bahasa lidah adalah sebuah karunia, karunia yang murni dari Roh Kudus.
Penggunaan bahasa lidah harus tunduk pada prinsip yang ada tertulis dalam Alkitab: "Jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi seorang, dan harus ada seorang lain untuk menafsirkannya. Jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah." (1Kor. 14:27-28, TB-LAI)
Dari firman Tuhan dalam 1Kor. 14:27-28 diatas sangat jelas sekali terdapat aturan penggunaan bahasa lidah, yaitu: 1. Jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, 2. penggunaan bahasa lidah oleh dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang diatas itu pun tidak boleh dilakukan secara serentak, tetapi seorang demi seorang, Page 11
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
3. harus ada seorang lain untuk menafsirkannya, jika tidak ada orang yang dapat menafsirkan maka hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah.
Ketiga syarat diatas semuanya harus dipenuhi jika menggunakan bahasa lidah dalam pertemuan Jemaat. Ketiga syarat diatas sangat kontradiksi dengan kenyataan sekarang, yaitu ada beberapa orang pendeta Kharismatik yang dalam setiap kebaktian secara terang-terangan berteriak menyuruh jemaat untuk berbahasa lidah secara bersama-sama (serentak) dan tanpa penafsiran, "Ayo...semua jemaat sembah Dia dengan bahasa roh!". Jelas sekali hal ini sangat kontradiksi dengan ajaran Perjanjian Baru dalam Alkitab, bahwa Alkitab menyuruh kita untuk tidak boleh berbahasa lidah secara serentak, yaitu harus dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang dan itupun tidak boleh serentak tetapi seorang demi seorang (bergiliran) dan harus ada yang dapat menafsirkan. Jadi, ayat diatas mengajarkan bahwa Paulus bukan menyuruh semua Jemaat berbahasa lidah, tetapi malah membatasi. Memang ada argumentasi bahwa gereja yang mengharuskan berbahasa lidah dalam pertemuan Jemaat mendasarkan kepada Kis. 2:1-13, dimana di Kis. 2:1-13 tidak perlu ada penafsir dan murid-murid pada waktu itu berbahasa lidah (atau lebih tepatnya bukan berbahasa lidah tetapi berbahasa lain, lihat Kis 2:4). Tetapi pertanyaan yang muncul adalah, dalam Kis. 2:1-13 jenis bahasa lidah yang diucapkan para murid adalah bahasa yang dapat dimengerti sehingga tidak perlu menafsir (lihat pembahasan pada point A.1 diatas), sedangkan fenomena bahasa lidah masa kini tidak dapat dimengerti, karena kata-kata yang diucapkan tidak jelas. Dengan demikian, disini terdapat chaos antara ajaran PB dalam Alkitab dengan penafsiran masa kini. Yaitu, penafsiran masa kini tentang bahasa lidah adalah tidak perlu ditafsirkan dan boleh dikatakan serentak dengan argumentasi berdasarkan Kis. 2:1-13. Tetapi masalahnya adalah bahasa lidah di Kis. 2:1-13 adalah bahasa yang dapat Page 12
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
dimengerti, sedangkan bahasa lidah masa kini tidak dapat dimengerti. Jadi seharusnya penafsiran masa kini bukan berdasarkan Kis. 2:1-13 dan juga bukan Kis. 10:44-46, 19:1-7; tetapi berdasarkan 1Kor. 14 yaitu bahasa lidah yang tidak dapat dimengerti karena mengucapkan kata-kata yang tidak jelas, maka penggunaan bahasa lidah masa kini seharusnya tunduk pada aturan 1Kor. 14:27-28. Dengan demikian, jika ada gereja yang dalam pertemuan Jemaat menerapkan bahasa lidah dengan mengabaikan aturan diatas, maka sesungguhnya telah melanggar perintah Tuhan sebagaimana ada tertulis dalam Alkitab: "Jika seorang menganggap dirinya nabi atau orang yang mendapat karunia rohani, ia harus sadar bahwa apa yang kutuliskan kepadamu adalah PERINTAH TUHAN. Tetapi jika ia tidak mengindahkan dia."
mengindahkannya,
janganlah
kamu
(1Kor. 14:37-38, TB-LAI)
Ayat diatas masih dalam konteks "Peraturan dalam pertemuan Jemaat" dari keseluruhan 1Kor. 14, sehingga pada ayat diatas terdapat kata orang yang mendapat karunia rohani, maka orang yang mendapat karunia bahasa lidah juga termasuk dalam konteks ayat ini, bahwa ia harus sadar bahwa apa yang kutuliskan kepadamu, yaitu peraturan dalam pertemuan Jemaat di 1Kor. 14:27-28 adalah Perintah Tuhan (bukan perintah dari manusia). Konsekuensi terhadap pelanggaran peraturan ini dapat kita jumpai pada ayat 38: Tetapi jika ia tidak mengindahkannya, janganlah kamu mengindahkan dia. Paulus atas nama Tuhan dalam hal ini bersikap sangat tegas dan keras terhadap jemaat yang begitu menjadikan bahasa lidah sebagai obyek kerinduan dengan melanggar peraturannya. Peraturan tentang penggunaan bahasa lidah yang ditulis Paulus atas nama Tuhan, tentu bukan hanya untuk jemaat Korintus waktu itu saja, tetapi juga ditujukan juga kepada gereja pada masa kini dan sepanjang abad! Yesus berkata: Page 13
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
"...'Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu'" (Yoh. 8:32, TB-LAI)
Banyak pemimpin gereja Injili yang berkeberatan mempersamakan karunia berbahasa lidah masa kini dengan bahasa lidah PB, karena pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: Pertama, adalah suatu fakta yang tidak dapat disangkal bahwa di luar dari tiga contoh bahasa lidah di Kisah Para Rasul, satu-satunya keterangan yang menyinggung fenomena ini adalah 1Kor. 12-14. Dalam Ef. 4:11-12 dan Rm. 12:6-8 disinggung pula tentang daftar karunia rohani dan jabatan gerejawi. Bahasa lidah sama sekali tidak dicantumkan disana. Kurangnya keterangan tentang fenomena ini di bagian Alkitab yang lain membuktikan peranan bahasa lidah dalam kehidupan gereja semakin surut. Ini kemungkinan berhubungan dengan peranan bahasa lidah sebagai tanda yang mengkonfirmasi gereja yang masih muda pada waktu itu. Kedua, berhentinya bahasa lidah juga didukung oleh sejarah gereja Kristen. Pada tahun 96, "Clement of Rome" menulis surat (1Clement) kepada gereja di Korintus, disana ia sama sekali tidak menyinggung bahasa lidah. Origen, pada abad ke-3, dan Chrysostom, pada abad ke-4, dalam tulisan mereka juga samasekali tidak menyinggung fenomena ini. Augustinus, pada permulaan abad ke-5, juga menegaskan fenomena ini hanya dibutuhkan pada permulaan gereja saja. Bahasa lidah juga tidak mempunyai fungsi yang berarti pada era Reformasi, padahal pada masa ini kebangunan doktrinal terjadi secara besar-besaran. Bahkan tokohtokoh besar seperti Luther, Calvin, Zwingli dan John Knox pada umumnya menyangkal tentang kelangsungan fenomena ini di gereja.
Page 14
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
C. Bahasa Lidah Sebagai Suatu Obyek Kerinduan Orang Kristen Sekarang ini, praktek-praktek bahasa lidah secara umum membawa kebingungan, ketegangan, perpecahan dalam tubuh gereja Protestan. Dari sudut pandang dari orang-orang yang tidak berbahasa lidah, bahasa lidah adalah gejala yang aneh dan hanya dapat dipahami orang-orang tertentu saja. Sebagai tambahan, karena Alkitab tidak mendukung akan kelangsungan karunia ini dalam tubuh gereja, maka bahasa lidah yang terjadi pada saat ini acapkali dicap berasal dari setan atau hanya gejala psikologis. Karena itu, dapat dimengerti mengapa kebanyakan orang Kristen ketakutan dan menjauhkan diri dari praktek ini. Tapi, dipihak lain bagi sementara orang Kristen, bahasa lidah telah menjadi obyek kerinduan. Kadangkala keinginan mereka begitu menggebu-gebu untuk mendapatkan karunia ini sehingga mereka rela mengorbankan apa saja. Akan tetapi, pada umumnya beberapa ahli Alkitab setuju dengan beberapa penjelasan dibawah ini: Pertama, bahasa lidah adalah suatu alternatif terhadap kekristenan yang dingin dan kaku. Banyak orang Kristen bergumul dengan kekeringan dan kedangkalan kerohanian mereka. Mereka merindukan akan keyakinan kehadiran Allah dan kerohanian yang lebih dalam. Sementara di dalam gereja ada orang Kristen mengalami keraguan akan kemutlakan firman Tuhan. Yang lain secara kerohanian mengalami kelaparan di dalam gereja dimana kurangnya rumput rohani yang segar. Beberapa merasa lelah karena perkelahian dalam tubuh Kristus. Dan yang lain lagi memiliki rasa ingin tahu untuk mencicipi hal-hal yang baru. Orangorang Kristen yang demikian ini mempunyai kecenderungan terbuka kepada praktek-praktek bahasa lidah. Mereka tergoda untuk merasakan ibadah pribadi yang lebih mendalam, kehidupan doa yang efektif, komunikasi yang intim dengan Tuhan, pengurangan ketegangan dan stress, dan kelimpahan sukacita dan damai. Karena alasan-alasan tersebut diatas, orang-orang yang bergabung dengan gerakan kharismatik seringkali mencari dinamika, bukan doktrin yang mati; Page 15
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
kegairahan dan kehangatan, bukan kebekuan; dan kasih, bukan tembok pemisah. Mereka mau percaya bahwa Allah adalah sungguh-sungguh mengasihi mereka dan sedang bekerja dalam hidup mereka. James Cord, bekas rektor dari Princenton Theological Seminary, setuju bahwa gerakan kharismatik kontemporer kemungkinan adalah peringatan Allah terhadap kedinginan dan kekakuan dalam gereja-gereja. Seorang aktifis dari Universitas Yale berpendapat bahwa gerakan kharismatik adalah reaksi terhadap kekristenan yang terlalu intelek dan rapi. Kedua, bahasa lidah sebagai suatu sarana untuk pengungkapan diri. Manusia haus untuk mengungkapkan diri mereka secara rohani. Seturut dengan keinginan ini, Jimmy Jividen mengamati adanya tiga unsur yang tampak sebagai latar belakang bagi individu-individu yang berbahasa lidah: 1. Seorang percaya mungkin dengan sengaja atau tidak mengubur kerinduan-kerinduan agamawinya supaya sejalan dengan kondisi sosial dari gerejanya. Ia berpendapat untuk menghindari bentrok, jalan terbaik adalah memendam atau menghindari semua yang berhubungan dengan rohani. Ia tidak mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan kelaparan rohaninya, mengakui dosadosanya, menanyakan masalah-masalah agama, atau mendiskusikan akan relevansi Injil. Pada tahun 1960-an ketika di dalam gereja-gereja mengalami kebuntuan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan diatas, bahasa lidah menawarkan jalan keluarnya. 2. Seorang percaya, mungkin memiliki ketegangan rohani yang dalam dan tak teratasi, yang mengambil bentuk dalam masalahmasalah keluarga dan keuangan, atau masalah-masalah iman yang lain. Ketika seseorang hidup dalam realita yang berlawanan dengan idealismenya, maka suatu ketegangan pribadi mungkin muncul. Kadangkala ketegangan-ketegangan disalurkan melalui obat-obatan, sex, atau kekerasan. Pengalaman katarsis melalui praktek agamawi yang begitu emosional seperti bahasa lidah menjadi suatu alternatif. Page 16
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
3. Seorang percaya mungkin mempunyai suatu kehidupan rohani yang lapar. Ia bisa saja terus mengikuti kebaktian-kebaktian gereja, tapi ia tidak beribadah. Ia mungkin saja terus membaca Alkitab secara teratur, tapi ia tidak mampu menerapkan kebenaran firman Tuhan itu dalam kehidupan sehari-hari. Ia mungkin saja terus berdoa, tapi doanya tidak memuaskan karena ia tidak mengenal Tuhan secara pribadi. Pengalaman berbahasa lidah acapkali ditemukan di dalam diri orang Kristen yang mempunyai kehidupan rohani yang lemah. Ketiga, bahasa lidah adalah suatu tanda penerimaan dan perasaan aman. Gerakan kharismatik telah menyediakan suatu tempat berlindung untuk banyak orang, suatu tempat yang menjadikan mereka bagian dari suatu kelompok. Dalam kelompok ini seringkali didengungkan baik secara sengaja atau tidak, bahwa "kami memiliki sesuatu yang orang lain tidak memiliki". Banyak orang suka menjadi bagian dari suatu kelompok yang "memiliki sesuatu". Gerakan bahasa lidah menawarkan perasaan memiliki itu. Keempat, bahasa lidah sebagai suatu sarana untuk memperoleh rasa superioritas. Dalam penelitian Ira Jay Martin, ia menunjukkan bahwa glosolalia tumbuh dari kebutuhan di kalangan petobat dan penyembah untuk memiliki suatu bukti atau manifestasi pemilikan oleh Roh atau Tuhan. Ketika seseorang berbahasa lidah, timbul suatu perasaan bahwa mereka telah dimiliki oleh Tuhan, maka para pengikutnya memperoleh posisi, kehormatan, kuasa dan merasa diri penting. Kelima, bahasa lidah sebagai suatu sarana pertumbuhan dalam kehidupan Kristen. Banyak orang secara diam-diam mengembangkan suatu perasaan "benci diri" karena proses pertumbuhan kedewasaan rohani mereka dirasakan amat lambat. Berkenaan dengan kondisi ini, banyak orang Kristen melihat bahasa lidah dapat sebagai jalan pintas menuju kedewasaan dan kuasa rohani. Dengan alasan-alasan diatas yang melatar-belakangi seorang percaya berbahasa lidah, maka secara tidak langsung, orang yang berbahasa lidah Page 17
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
sebenarnya ingin memberitahukan dunia tentang sesuatu. Bagi orang Kristen yang memiliki kepekaan dan pengetahuan yang dalam, orangorang yang berbahasa lidah memberitahukan akan kebutuhan mereka yang belum terpenuhi. Orang-orang ini menunjukkan bahwa kebutuhan mereka yang belum terpenuhi. Orang-orang ini menunjukkan bahwa kebutuhan mereka akan keamanan pribadi dan ekspresi emosional belum dipenuhi oleh gereja protestan pada umumnya. Apakah ibadah dalam gereja telah menjadi begitu kering dan rutin? Apakah para hamba Tuhan sudah tidak mampu menerapkan kebenaran-kebenaran firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari Jemaatnya? John Newport mengatakan bahwa: "Tertariknya orang kepada bahasa lidah dapat menyatakan telah hilangnya khotbah-khotbah yang simpatik dan dinamis, dan pendidikan agama yang berarti dalam Jemaat." Apabila kita mau jujur, semua tudingan dari gereja-gereja Kharismatik akan kekurangan-kekurangan gereja Protestan yang mengakibatkan orang-orang berpaling kepada bahasa lidah, juga ada benarnya. Itulah sebabnya, kami percaya sekali bahwa salah satu cara yang terbaik untuk mengatasi praktek bahasa lidah dalam gereja adalah mengembangkan suatu kerohanian yang hidup dalam ibadah, persekutuan dan pelayanan. Di samping itu, pengajaran tentang Roh Kudus yang sebelumnya mendapat porsi yang kecil, seharusnya ditambah. Ketika seorang Kristen mengerti dan menghargai kehadiran Roh Kudus dalam dirinya (1Kor. 6:19), bantuan-Nya dalam doa (Rm. 8:26), dan pekerjaan-Nya dalam menghasilkan buah Roh (Gal. 5:22), ia tidak akan berpaling kepada ajaran-ajaran lain. Akan tetapi, pimpinan gereja juga harus mampu memberikan koreksi yang alkitabiah tentang pengajaran dan praktek bahasa lidah masa kini.
Menjadikan bahasa lidah sebagai obyek kerinduan Kristen adalah bertentangan dengan pengajaran Alkitab: Pertama, bahasa lidah meniadakan spontanitas dan kedaulatan pelayanan Roh Kudus. Di Yerusalem, Kaisarea, dan Efesus, karunia Page 18
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
bahasa lidah tidak secara khusus dicari, melainkan akibat dari kedaulatan Allah (kemauan Allah sendiri mau atau tidak memberikan karunia kepada orang Kristen).
Kedua, bahasa lidah bukan suatu karunia yang Allah inginkan agar semua orang percaya mendapatkannya. Dalam 1Kor. 12:29-30, Paulus secara eksplisit bertanya dengan suatu rentetan pertanyaan: "Apakah semua rasul? Apakah semua nabi?" Jawaban yang jelas adalah TIDAK. Orang-orang percaya terdiri dari bagian-bagian tubuh Kristus, dimana setiap bagian mempunyai fungsi khusus yang bekerja mendatangkan kebaikan untuk seluruh tubuh. Sama seperti tidak semua anggota adalah kaki atau tangan, demikian pula tidak semua orang Kristen berbahasa lidah atau menafsirkan bahasa lidah.
Ketiga, adalah suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa di tengah-tengah pembahasan Paulus tentang karunia-karunia rohani, ia menulis pasal kasih. Menurut Paulus seorang yang berbahasa lidah yang terbesar di dunia ini sekalipun, jika tidak memiliki kasih, ia hanya gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing (1Kor. 13:1). Kasih, yang merupakan buah Roh Kudus, adalah suatu tolok ukur yang benar tentang penggunaan semua karunia rohani yang ada. Karuniakarunia rohani yang tidak menghasilkan buah adalah sia-sia. Inilah permasalahan utama yang dihadapi oleh Jemaat Korintus. Mereka begitu terperangkap dalam berbagai karunia dan mulai membandingkan karunia-karunia mereka dan lupa dengan tujuan karunia-karunia itu.
Keempat, "Dari semua karunia rohani, bahasa lidah adalah karunia yang paling rapuh terhadap bahaya dan penyalah-gunaan", demikian kata Matthew Meyer. Frank Stagg berkata penekanan Jemaat Korintus yang berlebihan terhadap bahasa lidah mengancam tiga hal: Page 19
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
1. Persekutuan di dalam gereja dan kesatuan tubuh (1Kor. 12) mengalami perpecahan karena kesombongan rohani, iri hati dan persaingan. 2. Orang percaya yang berbahasa lidah membahayakan diri karena kesombongan rohani, pembenaran diri dan keegoisan. 3. Pengaruh gereja terhadap dunia (orang luar) dibahayakan karena orang sedang berbahasa lidah dianggap gila oleh orang-orang yang belum percaya (1Kor. 14:23) dan tidak berguna bahkan untuk orang yang baru percaya sekalipun (1Kor. 14:16). Karena kerawanan karunia ini, maka seharusnya mengingatkan semua orang Kristen agar jangan begitu bergairah dengan karunia yang satu ini.
Praktek bahasa lidah mempunyai kelemahan karena tidak langsung menjamah kepada akar persoalan kepribadian, sehingga tidak membawa perubahan yang menetap. Melalui bahasa lidah, seseorang dapat merangsang dirinya ke dalam suatu ecstacy dan sampai pada tahap tertentu ia mencurahkan arus bunyi tak dapat dimengerti. Sebagai akibatnya, ia mungkin dapat mengurangi konflik dan ketegangan di dalam dirinya, tapi solusi atas persoalan itu biasanya hanya bersifat sementara. Dengan demikian, banyak orang yang berbahasa lidah sering membuat kesalahan yang fatal, yaitu ketika ia mulai mempersamakan "pelepasan emosi" dengan "damai dari Allah". Pelepasan emosi adalah produk dari suatu proses alamiah dan umumnya disebut katarsis, tapi "damai dari Allah" adalah buah dari Roh Kudus (Gal. 5:22). Dengan demikian apa yang acapkali dianggap berasal dari Allah kemudian diketahui berasal dari daging (bukan dari Allah). Anthony Hoekema, mengutip kesaksian mantan pendeta Pentakosta yang setelah berbahasa lidah selama 9 tahun, akhirnya menyadari praktek ini tidak mempunyai landasan Alkitab. Ia meninggalkan gereja Pentakosta dan menulis sebagai berikut: Page 20
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
"Saya tidak percaya bahasa lidah mempunyai makna sebagai latihan ibadah pribadi, karena saya telah membuktikan hal ini dalam hidup saya, karena ibadah pribadi saya lebih rohani sejak saya tidak berbahasa lidah lagi. Pelayanan saya lebih berbuah juga sejak saya meninggalkan gereja Neo-Pentakosta, dan saya tidak mempunyai keinginan kembali kesana lagi. Dalam evaluasi saya tentang bahasa lidah di dalam kehidupan saya, pada akhirnya saya ingin mengatakan semuanya adalah masalah daging. Waktu berjam-jam yang saya pakai secara tulus untuk mencari kebenaran firman Tuhan lebih membawa berkat daripada berbahasa lidah".
Pada akhirnya, selalu ada bahaya bahwa bahasa lidah dapat menjadi suatu jalan pintas untuk pertumbuhan agama dan psikologis. Janji tentang cara yang gampang untuk kedewasaan rohani menjadi suatu promosi yang paling laris. Siapa yang tidak tertarik kepada tawaran kuasa, pengertian dan kerohanian tanpa waktu, jerih payah, dan pergumulan sebagai bagian dari proses pertumbuhan. Sesungguhnya tidak ada jalan pintas untuk pertumbuhan kerohanian. Seorang anak tidak dapat mencapai kedewasaan dalam waktu sekejap. Pengudusan, yaitu proses menjadi serupa dengan Yesus, terjadi perlahan-lahan melalui pendiaman Roh Kudus dalam diri orang percaya. Kedewasaan rohani tidak datang melalui pergantian psikologis.
Bibliography 1. Pdt. William Liem, M.Th. Bahan Katekisasi Lanjutan: Karunia Bahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru. GKA Gloria, Surabaya. 2. John F. MacArthur, Jr. Charismatic Chaos. Zondervan Publishing House, USA. Page 21
Karunia Berbahasa Lidah Dalam Terang Pengajaran Perjanjian Baru
3. Pdt. Dr. Stephen Tong. Baptisan dan Karunia Roh Kudus. Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta. 4. Pdt. Dr. Stephen Tong. Roh Kudus, Doa, dan Kebangunan. Lembaga Reformed Injili Indonesia,Jakarta. 5. Billy Graham. Roh Kudus: Kuasa Allah Dalam Hidup Anda. Lembaga Literatur Baptis, Bandung. 6. Pdt. Budi Asali, M.Div. Pembahasan Mengenai Aliran Kharismatik. GKRI Exodus, Surabaya. 7. John Stott. Baptisan dan Kepenuhan. Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta. 8. Pdt. Yunus Datu, M.Div. Kontroversi Baptisan Roh Kudus: Antara Penafsiran Masa Kini dan Ajaran Perjanjian Baru. Lembaga Literatur Baptis, Bandung. 9. Martin R. De Haan II. Seri Mutiara Iman: Bagaimana Mengalami Kepenuhan Roh Kudus? Yayasan Gloria, Yogyakarta. 10. William Caldwell. Baptisan Pentakosta. Gandum Mas, Malang. 11. Kebenaran Pentakosta. Gandum Mas, Malang. 12. Jusuf B.S. Baptisan Roh Kudus. Bukit Zaitun, Surabaya.
Pengutipan dari artikel ini harus mencantumkan: Dikutip dari http://www.geocities.com/thisisreformed/artikel/glossolalia.html
Page 22