PENGANTAR PERJANJIAN BARU (Catatan Kuliah)
Martin Suhartono, S.J.
1998
--------------------------------------------------------------------Fakultas Teologi - Universitas Sanata Dharma - Yogyakarta
Martin/PengPB/hal 2 DAFTAR ISI
PENGANTAR
h. 3
BAB 1: PEMBENTUKAN KITAB SUCI
h. 4
A. Proses penulisan dalam terbentuknya KS B. Proses seleksi dalam terbentuknya KS C. Problematika terbentuknya KS BAB 2: PROSES KANONISASI KS PB A. Arti "kanonisasi" B. Kanon Kitab Suci Kristen C. Urutan dalam Kanon PB D. Proses menjadi kanon 27 tulisan PB BAB 3: FAHAM TENTANG INSPIRASI A. Teks yang diilhamkan oleh Allah B. Perkembangan refleksi iman dalam penulisan KS C. Kerangka teologis dalam susunan Injil D. Peranan ingatan dalam menuliskan pengalaman E. Yang illahi dan yang manusiawi dalam teks KS BAB 4: LATAR BELAKANG SOSIO-HISTORIS KITAB PB A. Antara Yahudi Palestina dan Yahudi Hellenis? B. Perbudakan dalam dunia Romawi-Yunani abad pertama BAB 5: PAULUS A. Pertobatan Paulus? B. Peristiwa Damsyik sebagai kunci tafsir Paulus C. Paulus dan Hukum Taurat BAB 6: INJIL A. Masalah Sinoptik B. Usaha-usaha pemecahan masalah Sinoptik C. Pendekatan naratif terhadap Injil PENUTUP
h. 4 h. 5 h. 7 h. 13 h. 13 h. 14 h. 16 h. 17 h. 23 h. 23 h. 27 h. 28 h. 29 h. 30 h. 31 h. 31 h. 32 h. 35 h. 35 h. 37 h. 40 h. 42 h. 42 h. 43 h. 46 h. 50
Martin/PengPB/hal 3 PENGANTAR
Yang ditulis di sini dimaksudkan sekedar sebagai kenangan akan uraian yang telah didapat di ruang kuliah. Selama kuliah, waktu banyak diberikan kepada diskusi kelompok dan pendalaman bersama. Pokok-pokok gagasan yang diuraikan di sini tergantung penuh pada dinamika proses belajar-mengajar yang berjalan. Dalam arti itu, pengetahuan yang diberikan sedikit banyak tergantung pada problem-problem konkret yang dihadapi oleh para mahasiswa/i. Dengan demikian kumpulan catatan kuliah ini tak dimaksudkan sebagai pengantar lengkap menyeluruh terhadap Kitab Suci Perjanjian Baru. Untuk melengkapi kuliah ini, para mahasiswa/i diwajibkan membaca buku-buku Rm. I. Suharyo, Pr., Mengenal Tulisan Perjanjian Baru. Sebagai buku pegangan mengenai latar belakang Teks PB dipakai buku karangan John Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula. Terima kasih saya ucapkan kepada para mahasiswa/i yang turut aktif dalam proses belajar-mengajar ini maupun kepada mereka yang dengan penuh kesabaran telah mendengarkan uraian saya.
Yogyakarta, Desember 1998 Martin Suhartono, S.J.
Martin/PengPB/hal 4 BAB SATU PEMBENTUKAN KITAB SUCI
Bagaimanakah prosesnya sampai sebuah KS itu terbentuk, dibukukan dan diterima suatu umat beragama? Berapa lamakah proses itu berjalan? Apa sajakah yang mempengaruhi sampai proses itu mengkristal dalam bentuk "teks konkret" yang kita miliki sekarang ini? Inilah pertanyaan-pertanyaan dasariah yang ingin diulas dalam bab ini.
A. Proses penulisan dalam terbentuknya KS
Bila ditanya, "Bagaimanakah terbentuknya KS Kristen?", orang umumnya spontan menjawab, "Wah, lama sekali prosesnya!" Orang segera terpikir akan tiga periode sehubungan dengan terbentuknya KS Perjanjian Baru, yaitu: 1) Masa hidup Yesus: Yesus berkarya dan bersabda (th. 0 - 30an M). 2) Masa hidup awal jemaat Kristen: setelah Yesus wafat dan bangkit (30an-70an): umat Kristen hidup bersama (koinonia) dan berkumpul, merayakan (leiturgia), mewartakan (kerygma), mengajar (katekhein) misteri iman yang mereka terima dari Yesus. Pada umumnya segala bentuk pengajaran itu disampaikan secara lisan. Tapi sudah beredar pula surat-surat Paulus dan kemungkinan besar juga kumpulan sabda Yesus (Q: Quelle, bhs. Jerman, artinya “sumber”, disebut juga “logia”, kata-kata) yang dianggap merupakan sumber bagi Mt dan Lk. 3) Masa penulisan/redaksi Injil-injil (70an-100an): Yaitu berturut-turut Injil Mk (asal: Roma? waktu: thn. 70?), Mt (Syria-Palestina? 80-90?), Lk (Antiokhia? 80-90?), Yoh (Asia Kecil? 95-100?). Jadi orang spontan terpikir akan kurun waktu sekitar tujuhpuluh tahun sejak Yesus wafat sampai akhir periode penulisan Injil terakhir (Yoh, thn. 100an). Orang teringat pula akan proses ratusan tahun yang membentuk KS Perjanjian Lama. Berhadapan dengan ini, orang spontan pula membedakan proses pembentukan KS Kristen yang berangsur-angsur dan lama itu dengan faham tentang turunnya KS Al-Quran yang seketika. Apakah ini tepat? Memang kita terbiasa dengan perayaan peringatan Malam Nuzulul Quran (malam turunnya Al-Quran) sehingga timbul bayangan bahwa keseluruhan Al-Quran itu diturunkan dari sorga dalam waktu satu malam itu. Padahal, cobalah baca sembarang pengantar terhadap Al-Quran yang paling sederhana pun! Di sana biasa dijelaskan adanya tradisi yang umum
Martin/PengPB/hal 5 diterima umat Islam bahwa KS mereka itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad dalam kurun waktu 22 tahun, 2 bulan, dan 22 hari. Pada salah satu malam bulan Ramadan itu dirayakan turunnya ayat-ayat Quran untuk pertama kalinya. Di malam itu hanya diturunkan lima ayat pertama, yang diawali dengan ajakan "Bacalah ...", dan bukan keseluruhan ayatayat Al-Quran. Apa yang diterima oleh Nabi Muhammad itu tidak langsung ditulis dan dibukukan, melainkan disampaikan untuk dihapalkan secara lisan. Kadang ada pula yang kemudian dituliskan, namun secara tersebar-sebar. Baru kemudian setelah Nabi Muhammad wafat ada usaha untuk mengumpulkan ayat-ayat yang disampaikan oleh beliau menjadi satu buku. Ayat-ayat itu ada yang sudah dalam bentuk tertulis, meski masih tersebar-sebar, ada pula yang masih tersimpan dalam ingatan orang. Jadi proses terbentuknya suatu KS, baik dalam agama Yahudi, Kristen, maupun Islam, memakan waktu cukup lama, yaitu sampai segala macam bentuk tradisi lisan dibakukan dalam tulisan dan dikumpulkan dalam suatu kitab.
B. Proses seleksi dalam terbentuknya KS
Bila orang secara sepintas lalu mendengarkan penjelasan tentang perbedaan antara terjadinya Al-Quran dan KS Yahudi/Kristen, orang spontan punya anggapan, “Lho, yang Islam kok lebih otentik?” Apakah yang dimaksudkan dengan "otentik" di sini? Masalah otentisitas itu muncul bila orang, di satu pihak, menghadapi adanya macammacam manuskrip dan kumpulan kitab (Kodeks) yang memuat tulisan-tulisan KS Yahudi/Kristen, dan di lain pihak mendengar bahwa hanya ada satu teks Al-Quran saja. Jadi “otentik” kerap diartikan sebagai hanya ada satu teks tunggal Al-Quran, seakan kitab tekstual yang dimiliki orang sekarang inilah yang diturunkan dari langit. Orang yang tak mengerti kerap membayangkan bahwa Al-Quran itu diturunkan sekaligus sudah urut secara kronologis dari Surah 1 sampai Surah 114. Ternyata tidak demikianlah halnya. Proses pewahyuan Al-Quran dimulai dengan 5 ayat, yang kemudian ketika percikan-percikan wahyu itu disusun menjadi satu kitab- dimuat sebagai 5 ayat pertama Surah 96 (ada 19 ayat) dan 22 tahun kemudian diakhiri dengan ayat-ayat yang disebut Surah 5. Apakah betul tadinya hanya ada satu versi Al-Quran saja? Tidak. Pada zaman Nabi Muhammad dan kemudian di zaman Kalifah pertama (Abubakar) dan Kalifah kedua (Umar) beredar banyak ayat yang masih berupa hapalan atau pun dituliskan di atas daun palem
Martin/PengPB/hal 6 (belum berupa buku), yang menurut tradisi didiktekan langsung oleh Nabi setiap kali sehabis Nabi menerima wahyu. Pada zaman Kalifah ketiga (Usman), dihimpunlah ayat-ayat yang tak terbilang banyaknya itu dari siapa saja, yang menyimpan secara tertulis maupun dalam hapalan, dan kemudian berdasarkan kriteria tertentu diseleksilah mana yang dianggap sah dari Nabi dan lalu disusun menjadi satu kitab. Surat yang dijadikan Surat 1 adalah AlFatihah (artinya: “Pembuka”) dan setelah itu urutan surat bukanlah secara tematis maupun kronologis, melainkan berdasar panjang surat: dari yang paling panjang ke yang paling pendek. Bagaimanakah dengan teks lain atau versi lain (bila tentang satu hal yang sama ada macam-macam versi ayat) yang tak diterima oleh Usman? Itu semua dimusnahkan, sehingga sejak saat itu hanya ada satu teks tunggal Al-Quran. Itulah yang umumnya diketahui. Tapi sebenarnya, ada versi lain yang berlaku di Mesir, ada juga versi lain yang beredar di Afrika. Kisah mengenai “kanonisasi” dalam zaman Usman ini adalah tradisi yang umum diterima, namun ada juga tradisi lain yang mengatakan bahwa ayat-ayat itu sudah terkumpul pada zaman Kalifah pertama (Abubakar), ada juga yang bilang pada zaman Kalifah keempat (Ali). Pendek kata, proses “turun”nya Al-Quran sampai menjadi satu kitab tidaklah sesederhana seperti diduga orang, mengenai hal ini silahkan baca dalam Encyclopaedia of Islam, pokok bahasan “Al-Kur’an”. Hal yang sama terjadi juga dalam pengumpulan hadits Nabi Muhammad, yaitu kisah peristiwa-peristiwa dari hidup Nabi. Beredar 600.000an kisah, dan dari itu semua hanya sekitar 4000an yang dianggap sahih (jadi 1 di antara 150) (pendapat lain adalah 2000 dari 200.000an kisah). Sahih artinya dianggap sah, otentik, asli, sebagai "terjadi sungguhsungguh" dan bukan laporan palsu si pencerita belaka. Jadi di sini pun tetap terlibat suatu proses seleksi yang ditentukan oleh orang-orang tertentu dengan kriteria tertentu juga. Apakah dalam agama Kristen ada yang dapat diperbandingkan dengan hadits ini? Kerap dilihat orang bahwa kedudukan Yesus Kristus dalam Kristen itu sama seperti kedudukan Al-Quran dalam Islam. Dalam Kristen, Yesus Kristus adalah Sabda Allah yang menjadi daging. Dalam Islam, Al-Quran adalah Sabda Allah yang menjadi kitab. Dalam Kristen, Yesus adalah yang utama, dan Injil-injil adalah "saksi material sekunder" tentang Yesus. Dalam Islam, Al-Quran adalah yang utama, Muhammad adalah "saksi material sekunder" tentang Al-Quran.
Karena itu dalam perbandingan ini Injil-injil disetarakan
dengan hadits. Injil berisi tindakan-tindakan dan ujaran-ujaran Yesus dan hadits berisi tindakan dan kata-kata Nabi Muhammad. Namun harus dilihat juga, bahwa Injil-injil,
Martin/PengPB/hal 7 berbeda dengan hadits, tidak dimaksudkan sebagai "laporan faktual", melainkan suatu kesaksian iman dalam konteks pewartaan Kabar Gembira (evangelisasi). Meski orang harus berhati-hati dalam setiap perbandingan antara sistem-sistem kepercayaan yang berbeda, namun gambaran sederhana di atas bisa menepis banyak kesalahpahaman. Karena itulah bisa dipahami bila orang Muslim bicara tentang "keilahian AlQuran" dan orang Kristen
tentang "keilahian Yesus Kristus" (lihat W. E. Phipps,
Muhammad & Isa, asli Muhammad and Jesus, Bandung: Mizan, 1998).
C. Problematika terbentuknya KS
Bisa diduga, muncullah banyak masalah yang berkaitan dengan terbentuknya suatu teks KS. Misalnya, macam-macam "variant" untuk ayat yang sama, atau macam-macam "versi" untuk kisah/peristiwa yang sama dalam KS.
1. Berbagai variant untuk ayat-ayat yang sama dalam KS Sehubungan dengan adanya macam-macam manuskrip (naskah tulisan tangan) dan kodeks KS Kristen, maka ada ayat-ayat yang di satu manuskrip dirumuskan berbeda dari ayat-ayat yang sama di manuskrip lain. Rumusan-rumusan yang berbeda itu disebut variant. Dalam teks KS edisi ilmiah (PL dalam bhs. Ibrani dan PB dalam bhs. Yunani) disertakan macam-macam variant itu; kadang adanya macam-macam variant disebutkan juga dalam catatan kaki terjemahan KS. Perlu diketahui bahwa tak ditemukan lagi "teks asli" yang ditulis langsung oleh pengarang-pengarang KS. Manuskrip-manuskrip dan kodeks yang ditemukan adalah salinan dari salinan. Di zaman itu belum ada percetakan (baru mulai abad ke-15 M), sehingga kalau suatu tulisan mau disebarkan di banyak tempat tentu saja perlu disalin berulangkali. Yang asli sudah hilang entah kemana. Tentu saja hal ini bisa dipahami, karena bahan dasar teks KS itu pun (daun papirus) pun cepat rusak, tak tahan iklim panas. Jadi pada mulanya, teks-teks itu belum terkumpul menjadi satu kumpulan kitab. Ditemukan banyak sekali manuskrip, mis. Papirus Bodmer II (tahun 200 M) yang berisi 14 bab Yoh. Ada juga yang ditulis pada kulit binatang. Ada yang berupa gulungan, ada yang berupa kodeks (lembaran-lembaran dijahit bersama, mirip buku pada zaman modern). Manuskrip lengkap PB paling tua yang kita miliki berasal dari abad ke-4. Ditemukan beberapa kodeks lengkap PB. Ada kodeks yang ditemukan di Sinai (disebut Codex
Martin/PengPB/hal 8 Sinaiticus), ada Codex Vaticanus (disimpan di Museum Vatican), Codex Alexandrinus (diduga berasal dari Aleksandria, Mesir). Tapi jangan dikira ada banyak perbedaan fundamental antar kodeks-kodeks itu, secara umum sama saja. Hanya kadang ada ayat-ayat tertentu yang punya rumusan berbeda (variant), entah disebabkan karena si penyalin melamun, atau matanya lamur, tangannya pegal, atau karena salah dengar (saat didiktekan oleh rekan kerjanya), salah baca, atau bisa juga karena alasan teologis tertentu. Berhadapan dengan macam-macam variant, ilmu kritik teks mencoba memperkirakan manakah variant yang paling mungkin diduga mendekati rumusan asli. Jangan dikira keadaan semacam itu hanya berlaku untuk KS saja. Untuk sebagian besar karangan kuno sudah tak ditemukan aslinya lagi. Salinan manuskrip Plato, misalnya, paling tua berasal dari 13 abad setelah Plato. Keadaan PB jauh lebih menguntungkan karena ditemukan ribuan manuskrip, dan beberapa teks di antaranya amat kuno. Contoh variant terkenal adalah Yoh 1:13. Terjemahan bhs. Indonesia mengambil variant jamak (“orang-orang yang diperanakkan”), padahal sebenarnya ada variant tunggal (“orang yang diperanakkan”). Dalam bhs. Yunani perbedaan itu hanya terletak dalam beberapa huruf, yaitu versi tunggal egennêthê (diperanakkan) dan yang jamak egennêthêsan. Dari kedua variant ini, manakah yang lebih "asli", dalam arti terdapat dalam teks asli Yoh? Berhadapan dengan dua variant Yoh 1:13 itu, ada pakar kritik tekstual KS yang bilang bahwa yang jamak lebih asli, alasannya: seandainya yang tunggallah yang asli (artinya: mengacu pada keputraan illahi Yesus), penyalin mana yang berani mengubah rumusan itu? Jadi diduga demikian: ada rumusan tentang keputraan ilahi semua orang yang percaya dalam nama Yesus. Kemudian keputraan ilahi itu dipersempit hanya untuk Yesus saja, jadi diartikan: 'orang-orang yang percaya dalam nama dia, yaitu nama orang yang bukan dilahirkan dari ...., melainkan dari Allah" Tapi ada juga pakar lain yang berpendapat bahwa rumusan yang tunggallah yang lebih asli, alasannya: seandainya yang jamaklah yang asli (bahwa semua orang itu putra-putri Allah), mengapa penyalin teks Yoh perlu menegaskan keunikan keputraan ilahi Yesus? Bukankah lebih masuk akal menjabarkan keputraan/keputrian illahi orang banyak dari keputraan illahi Yesus daripada sebaliknya? Manakah dari kedua pendapat itu yang benar? Sulit ditentukan! Maklumlah, "pakar" itu kan artinya "apa-apa dibuat sukar"! Namun dapat diduga bahwa adanya dua variant tentang keputraan ilahi itu merupakan sisa-sisa adanya perdebatan tentang keilahian Yesus. Tapi bukan hanya itu. Adanya kedua variant itu bisa diterima sebagai kesaksian akan iman
Martin/PengPB/hal 9 mengenai dua aspek dari misteri yang satu: Yesus sebagai putra sulung Bapa, dan orangorang yang percaya kepada-Nya menjadi adik-adiknya (cf. rumusan Paulus dalam Rom 8:29), dan sekaligus juga keputraan ilahi Yesus itu tetap diyakini oleh Yoh sebagai unik, satu-satunya, berbeda dengan keputraan ilahi orang-orang yang percaya kepada-Nya (bdk. Yoh 1:14: "kemuliaan putra tunggal Bapa", 1:18 "yang unik, satu-satunya"). Nah, fakta bahwa meski dalam komunitas purba yang saling berkomunikasi (bdk. surat-surat Paulus) beredar manuskrip-manuskrip dengan variant berbeda,
dan macam-
macam variant itu diterima begitu saja, mungkin merupakan tanda bahwa semua memiliki fungsinya masing-masing. Dalam Yoh 1:13 kata kerja “diperanakkan” dalam bentuk tunggal tetap dipertahankan karena dianggap mengacu pada kekhasan keputraan Illahi Yesus, yang bentuk jamak pun tak dihapuskan karena orang juga tetap ingin menekankan bahwa orang yang percaya kepada Yesus adalah juga putra-putri Allah. Kalau hanya satu variant yang berlaku, dan yang lain dimusnahkan, maka misteri iman kristiani menjadi tak utuh lagi. Sehubungan dengan masalah variant ini, orang-orang Muslim kerap bertanya pada Pater Tom Michel, S.J, ahli Islamologi, "Mengapa dalam KS Kristen kadang ada beberapa variant untuk ayat yang sama, padahal Islam hanya mengenal satu teks sehingga tak ada variant-variant?" Beliau biasa menjawab demikian: “Kami tak berani meniadakan begitu saja variant apa pun yang terdapat dalam berbagai teks. Itu kami serahkan kepada para ahli kritik tekstual yang menelaah berdasarkan kriteria ilmiah dan menentukan apa yang dianggap paling mendekati aslinya; pilihan itu selalu dapat dikontrol oleh orang lain. Sedangkan umat Islam secara bona fide percaya pada maksud baik Kalifah Usman dan menerima teks tunggal yang ditentukan oleh Kalifah Usman, tapi dengan demikian tak mungkin ada lagi kontrol atau checking ulang oleh pihak-pihak lain karena teks-teks lain/variant lain sudah dimusnahkan Kalifah Usman”. Tentu saja dalam kotbah di Gereja, tak perlulah pengkotbah mengupas masalah ada berapa variant dll., cukuplah bila dia menerima rumusan yang umum dipakai dalam terjemahan KS. Pada umumnya, terjemahan-terjemahan itu mengambil alih variant yang dianggap oleh mayoritas ahli kritik tekstual sebagai paling asli. Hirarkhi Gereja sendiri (kendati kerap campur tangan dalam banyak hal!) tak pernah campur tangan memutuskan manakah variant yang harus dianggap asli.
Martin/PengPB/hal 10 2. Berbagai versi tentang satu kisah/peristiwa yang sama dalam KS: Selain ditemukan adanya macam-macam variant untuk satu ayat yang sama dalam berbagai manuskrip, ditemukan pula adanya beberapa versi tentang kisah peristiwa yang sama. Contohnya, "pertobatan Paulus" diceritakan dalam tiga versi (Kis 9, 22, 26) yang kadang bahkan punya detail yang saling berbeda. Dalam Kis 9:7 dikatakan bahwa temanteman seperjalanan Paulus mendengar suara tapi tak melihat siapa pun, sedang dalam Kis 22:9 dikatakan mereka melihat cahaya tapi tak mendengar suara. Manakah versi yang benar? Harus dijawab, kedua-duanya benar. Jangan orang mengira sang pengarang Kis linglung atau salah tulis, atau malahan lupa dan tiga kali mengutip cerita dari tempat lain. Tentu ada maksud tertentu mengapa dia berkisah dengan detail yang berbeda. Intinya, pewahyuan Allah itu tak bisa diungkapkan dengan kata-kata maupun gambaran apa pun. Hanya Pauluslah yang sekaligus melihat dan mendengar (bdk. Kis 22:15). Penglihatan akan cahaya menekankan pengalaman terang (pertobatan), sedangkan pendengaran akan sabda menekankan panggilan dan perutusan. Jadi masing-masing detail kisah itu punya pesan yang saling melengkapi. Jangan pula dianggap bahwa tadinya ada tiga versi kisah Pertobatan Paulus yang dimuat begitu saja dalam Kis atau ketiganya dikarang oleh orang yang berbeda, atau malahan Paulus berbohong dalam Kis 22 dan 26. Fakta bahwa ketiganya dimuat dalam Kis menunjukkan bahwa entah pengarang Kis entah editor terakhir Kis (kalau diandaikan ada proses editing/peredaksian) menerima ketiga-tiganya. Dari sudut kritik narasi, bisa diperhatikan bahwa narator Kis 9 adalah narator Kis, sedangkan narator Kis 22 dan 26 adalah tokoh cerita, yaitu Paulus. Audience ketiganya pun berbeda. Kis 9 ditujukan kepada pembaca Kis; Kis 22 ditujukan oleh tokoh cerita Paulus (tak identik dengan Paulus Historis) kepada orang-orang Yahudi (diandaikan juga untuk pembaca Kis); Kis 26 ditujukan oleh tokoh cerita Paulus kepada Agrippa (juga untuk pembaca Kis). Nah, jelaslah bahwa pada level pengisahan (tak identik dengan level historis lho ya!) tokoh kisah itu, Paulus, bisa menceritakan pengalamannya secara berbeda tergantung pada maksud penceritaan, yang disesuaikan dengan tokoh-tokoh pendengarnya. Contoh lain, misalnya kisah tentang penciptaan manusia menurut versi Kej 1 dan Kej 2. Masalahnya, apakah pria dan wanita itu diciptakan bersama-sama (versi Kej 1:27) ataukah berurutan pria dulu dan kemudian baru wanita (Kej 2:22)? Paulus dalam I Kor 11:7 menganut versi penciptaan dalam Kej 2, yaitu "wanita diciptakan dari laki-laki dan bukan sebaliknya". Kaum Feminis modern, sebaliknya, berpegang pada Kej 1:27 dan menolak Kej
Martin/PengPB/hal 11 2 dan menganggap itu sebagai tambahan di kemudian hari. Padahal menurut para ahli KS, kisah Kej 2 itu justru berasal dari tradisi yang lebih kuno (Yahwist) daripada kisah Kej 1 (Elohist atau/dan malahan Priest). Bila diamati lebih mendalam secara naratif, Kej 2 justru mau menekankan ajaran bahwa pria dan wanita adalah “partner yang sejajar” (istilah kisah itu: penolong yang sepadan). Karena itulah diambil tulang rusuk, bukan dari tulang jari kaki atau tulang tengkorak kepala. Mungkin karena itulah Paulus pun tidak meninggikan laki-laki di atas wanita. Dalam Gal 3:28 ia mengatakan bahwa tak ada perbedaan antara laki-laki atau perempuan, karena semua satu di dalam Yesus. Kej 2 menguraikan rumusan abstrak Kej 1:27 dalam suatu kisah konkret Kej 2. Dan Kej 2 berfungsi sebagai kerangka untuk Kej 3, yaitu kisah tentang awal mula penderitaan di dunia yang diakibatkan oleh dosa manusia sendiri. Contoh lain lagi misalnya dua versi perbanyakan roti dalam Mk 6:30-44 (lima ribu orang) dan Mk 8:1-10 (empat ribu orang). Jangan menganggap editor Mk lupa dan dua kali mengutip kisah yang sama. Bila audience dan tempat mukjizat itu diamati maka akan jelas bahwa memang ada dua golongan orang yang berbeda. Dalam versi pertama, mukjizat ditujukan bagi orang-orang Yahudi. Sedangkan versi kedua, ditujukan bagi orang-orang non Yahudi ("di tengah-tengah Dekapolis", Mk 7:31). Maksud kedua kisah itu jelas: karya penyelamatan Allah dalam Yesus ditujukan baik bagi orang Yahudi maupun orang nonYahudi. Jadi perbedaan-perbedaan yang ada dalam detail KS, entah dalam rumusan variant atau pun versi kisah-kisah, tak perlu membuat orang bingung dalam menentukan mana yang asli. Bahwa macam-macam variant/versi itu ternyata dibiarkan saja oleh komunitas Kristen purba tentunya menunjukkan adanya keterbukaan dalam menerima macam-macam aspek suatu misteri iman. Perlu diingat bahwa KS Yahudi & Kristen tidak dituliskan oleh tangan satu orang saja; masing-masing Kitab ditulis oleh orang-orang/komunitas yang berbeda dan dalam kurun waktu yang berbeda-beda pula. Dan pada mulanya Kitab-kitab itu belum dikumpulkan menjadi satu Kitab seperti yang kita miliki sekarang ini. Mengenai terbentuknya menjadi satu kitab ini akan dibahas dalam bab berikut.
Martin/PengPB/hal 12 Buku-buku untuk pendalaman studi: Raymond E. Brown, 101 Tanya-Jawab Tentang Kitab Suci (Yogya: Kanisius, 1994). Tom Jacobs, Permasalahan Sekitar Kitab Suci. Umat bertanya Tom Jacobs Menjawab (Yogya: Kanisius, 1993; dua jilid). Stefan Leks dan C. Groenen, Percakapan tentang Alkitab. Sesudah Konsili Vatikan II (wawancara) (Yogya: Kanisius, 1986).
Martin/PengPB/hal 13 BAB DUA PROSES KANONISASI KS PERJANJIAN BARU
Telah dibahas bagaimana proses terbentuknya KS itu memerlukan waktu yang relatif cukup lama dan melibatkan pula suatu proses seleksi sampai suatu teks diterima sebagai KS. Proses terbentuknya KS ini dalam agama Yahudi dan Kristen melibatkan pula perubahan-perubahan yang terjadi dalam penyalinan teks-teks itu sehingga dikenal adanya variant dan versi berbeda untuk suatu ayat atau peristiwa yang sama. KS Yahudi dan Kristen merupakan suatu kumpulan Kitab-kitab yang berasal dari pengarang, komunitas, tempat, dan kurun waktu yang berbeda-beda. Uraian berikut ini berbicara mengenai proses terbentuknya kumpulan Kitab-kitab itu menjadi satu Kitab, khususnya yang berhubungan dengan KS Perjanjian Baru.
A. Arti "kanonisasi"
Istilah "kanonisasi" berasal dari kata Latin canon. Kata ini merupakan tranlisterasi istilah Yunani, kanôn, yang diambil dari kata bhs. Semit yang berarti "buluh" (Assyria, qanû; Ibrani, qaneh; Ugarit, qn). Kata ini aslinya menunjuk pada tongkat/alat pengukur yang dipakai oleh tukang batu atau tukang kayu. Secara kiasan "kanon" berarti "aturan", "norma", "standar", "patokan". Tapi kadang "kanon" juga berarti "daftar". Paulus memakainya dalam arti “batas” wilayah kerja bagi penginjil (2 Kor 10:13, 15, 16), dan juga “patokan” (Gal 6:16) hidup kristiani. Jadi kanon KS berarti suatu “daftar” kitab-kitab yang dianggap suci dan dijadikan “patokan”, dalam arti patokan bagi tulisan-tulisan lain (yang tak termasuk daftar ini tidak dianggap sebagai Kitab Suci) dan juga bagi iman dan tindakan. Selain "kanonisasi KS", umum dikenal juga istilah "kanonisasi orang kudus". Secara proses memang keduanya berbeda, tapi dalam kanonisasi orang kudus juga diartikan bahwa orang ybs. telah dimasukkan dalam suatu "daftar" dan menjadi “patokan”, atau "ukuran" atau "model" perilaku bagi orang kristen lain.
Martin/PengPB/hal 14 B. Kanon Kitab Suci Kristen
Kanon KS adalah daftar resmi kitab-kitab yang diakui sebagai hasil inspirasi ilahi dan bersama-sama disebut sebagai Kitab Suci. Daftar resmi dalam arti ini baru ditetapkan pada Konsili Trente (abad ke-16). Sebelum itu pun sudah beredar kitab-kitab yang diyakini oleh umat sebagai diilhamkan oleh Allah, namun ada juga yang kurang diyakini. Kitab-kitab yang selalu diterima oleh semua pihak dalam Gereja sebagai diilhamkan oleh Allah disebut "protokanonika" (termasuk kanon "pertama" atau tak pernah diperdebatkan). Kitab-kitab yang tadinya diragukan atau diperdebatkan kanonisitasnya tapi kemudian diterima adalah kitab-kitab yang disebut "deuterokanonika" (bukan dalam arti kanon "yang kedua", tapi "yang kemudian" diterima). Yang "proto" dianggap lebih berbobot ilahi daripada yang "deutero". Bagi umat Katolik, kedua golongan kitab itu diterima sebagai memiliki nilai yang sejajar. Kanon KS PB adalah sama bagi semua orang Kristen, baik Protestan maupun Katolik. Dalam hal KS PL, umat Protestan mengikuti daftar KS pada kanon Yahudi, yaitu kitab-kitab PL yang hanya terdapat dalam Kitab Suci Ibrani. Sedangkan umat Katolik, sebagai tambahan terhadap Kitab Ibrani itu, menerima juga tujuh kitab "deuterokanonika" PL, yang terdapat juga dalam Kitab Suci Yunani (Septuaginta/LXX): Tobit, Yudit, Kebijaksanaan, Sirach, Baruch, dan 1 & 2 Makkabe. Umat Protestan memasukkan kitabkitab Deuterokanonika ini dalam Apokrifa. Maka dalam edisi bahasa Inggris, KS yang dipakai umat Katolik biasa ditandai judul The Holy Bible. With the Apocrypha. Kitab Suci Ibrani adalah KS yang dipakai oleh orang-orang Yahudi di Palestina, sedangkan Kitab Suci Yunani (Septuaginta) adalah KS yang dipakai oleh orang-orang Yahudi di luar Palestina (diaspora). Kitab Suci Yunani ini merupakan terjemahan Kitab Suci Ibrani pada abad ketiga Seb.M. Disebut "septuaginta" (artinya: tujuh puluh) berdasarkan legenda bahwa ada tujuh puluh orang yang menerjemahkan sendiri-sendiri tetapi menghasilkan satu terjemahan yang persis sama. Kitab-kitab yang disebut Deuterokanonika itu sudah tak ditemukan lagi dalam bentuk asli bhs. Ibrani, beberapa malah mungkin bukan merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani melainkan asli ditulis dalam bahasa Yunani. Apakah alasan umat Katolik tetap memakai daftar KS PL seperti dalam Septuaginta? Karena dari penyelidikan mengenai kutipan PL yang dipakai oleh para Penginjil dan para rasul dalam surat-suratnya dapat diduga bahwa mereka memakai KS terjemahan Yunani itu.
Martin/PengPB/hal 15 Jadi pemakaian KS PL Yunani oleh para rasul itu dianggap sebagai diinspirasikan oleh Allah. Lalu mengapa umat Protestan memakai kanon KS Ibrani? Mereka kembali ke daftar KS Ibrani karena menganggap itulah yang paling asli, dan karenanya paling diilhamkan Allah; selain mungkin saja ada alasan politis, yaitu supaya berbeda dari yang dipakai oleh umat Katolik. Sama seperti pada akhir abad pertama dulu ketika terjadi persimpangan jalan antara Yudaisme dan Kristianisme. Saat itu para rabbi Yahudi berkumpul di Yamnia untuk menentukan semacam daftar kitab-kitab yang punya dampak liturgis (dianggap kudus). Tindakan ini mungkin diambil karena, berhadapan dengan orang-orang Kristen yang juga menggunakan KS Yahudi versi terjemahan Yunani, mereka "dipaksa" menentukan sikap. Mereka memutuskan bahwa yang sah dipakai oleh komunitas Yahudi adalah teks KS bahasa Ibrani. Perbedaan KS PL Protestan dan Katolik itu hanyalah dari segi daftar kitab. Tapi dari segi isi dan rumusan teks ayat-ayat KS PL itu tak ada perbedaan, karena teks KS yang saat ini dipakai, baik oleh umat Katolik maupun Protestan sama-sama diterjemahkan dari teks asli KS PL bahasa Ibrani, kecuali untuk bagian Deuterokanonika / Apokrifa yang diterjemahkan dari Septuaginta. Jangan terkecoh oleh gagasan tentang jumlah KS PL yang berbeda-beda dalam tradisi Yahudi, Katolik dan Protestan. Minus Deuterokanonika, jumlah kitab-kitab PL dalam ketiga tradisi itu sama saja, hanya kadangkala dengan nama dan penggolongan yang berbeda (lihat I. Marsana Windhu, Awal Persahabatan dengan Kitab Suci, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 20-21).
Excursus: Nama Allah:
Orang Yahudi begitu hormat pada teks yang mengandung nama Allah. Nama Allah, yaitu 4 konsonan “YHWH” (Ibrani: hWhy), karena itu disebut Tetragrammaton (empat huruf), adalah nama yang paling suci bagi umat Israel, karena itu tak boleh diucapkan. Dalam membaca KS, orang akan menyebut empat huruf itu “Adonai” (artinya: my Lord, Tuhanku; dengan “I” berarti “-ku”). Penyalin PL abad ke-6 M, para rabbi Masoreth, memberi tanda huruf-huruf hidup “a-o-a” di atas empat huruf itu agar orang ingat untuk membaca “adonai”. Tapi penerjemah KS edisi awal bhs. Inggris abad ke-16 M tak tahu maksud notasi “a-o-a” itu sehingga dikira merupakan tambahan huruf hidup pada konsonan “yhwh”, jadi dibaca Yahowah, dan menjadi “Yehovah” atau “Yehowa”. Mereka mengira itulah cara
Martin/PengPB/hal 16 mengucapkan nama Allah! Kini tersisa ucapan “Yahweh”. Jadi ucapan-ucapan ini muncul dari kesalahpahaman belaka! Buku yang mengandung nama Allah ini tak boleh dibawa ke WC
C. Urutan dalam Kanon PB
Pertama-tama tentulah diletakkan kitab-kitab yang berbicara tentang tokoh utama PB, Yesus Kristus, yaitu keempat Injil. Mengapa urutan Injil dalam kanon PB adalah Mt, Mk, Lk, Yoh? Mt ditaruh di depan karena penyusun saat itu mengira Injil Mt itulah yang pertama ditulis, dan baru berturut-turut Mk (dianggap tak lebih daripada sekedar ringkasan Mt), Lk dan Yoh. Pandangan tradisional itu berbeda dengan pandangan penyelidik modern yang menjagoi Mk sebagai Injil tertua. Kini Mk dianggap sebagai sumber bagi Mt dan Lk. Mt dan Lk dianggap masih memiliki sumber lain, yaitu Q (bhs. Jerman, Quelle, artinya “sumber”, yang diduga berisi kumpulan sabda Yesus). Setelah empat Injil yang bicara tentang Yesus, maka secara logis datang Kisah Para Rasul yang bicara tentang kegiatan pengikut Yesus setelah ditinggal oleh Yesus. Setelah itu datanglah Surat-surat Paulus. Urutan surat Paulus adalah berdasarkan panjang-pendeknya surat, hanya saja didahulukan surat-surat untuk jemaat (Rom, I Kor, II Kor, Gal, Ef, Fil, Kol, I Tes, II Tes) setelah itu baru surat untuk pribadi-pribadi (I Tim, II Tim, Tit, Flm). Ibrani diletakkan di belakang surat-surat Paulus dan bukan di belakang surat-surat Yak dll, karena ada penyusun kanon ragu apakah surat itu dikarang oleh Paulus atau bukan. Kini ada kesepakatan bahwa Ibr tidak berasal dari Paulus. Ef, Fil, Kol (dan Flm) sering disebut sebagai “surat-surat penjara” karena ditulis dari penjara. Dan I/II Tim dan Tit disebut “suratsurat pastoral” karena bicara tentang penggembalaan umat. Tak jelas apakah alasan urutan Yak, I-II-III Pt, I-II-III Yoh, Yud. Mungkin saja itu disebabkan oleh perbedaan pentingnya kedudukan mereka masing-masing dalam Gereja Purba: Yakobus adalah saudara Yesus dan pemimpin jemaat di Yerusalem. Namun bisa juga ada sudut panjangnya teks (banyaknya kata, dan bukan bab), Yakobus lebih panjang dari Petrus. Surat Yak, Pt, Yoh dan Yud ini disebut juga “surat-surat katolik” (“katolik” dalam arti “umum”, seluruh Gereja Universal, sebagaimana istilah itu dipakai pada abad 1-2 M, mis. oleh St. Ignatius dari Antiokhia). Logis kalau Kitab Wahyu ditaruh paling belakang karena kitab itu berbicara tentang akhir zaman.
Martin/PengPB/hal 17 Patut diingat bahwa teks KS pada zaman dahulu ditulis tangan tanpa sela antar kata dan tanpa tanda baca. Pembagian KS dalam bab seperti yang kita kenal kini baru dimulai th. 1200an (Uskup di Inggris, Stephanus Langton). Pembagian dalam ayat-ayat baru dimulai dalam edisi yang dicetak oleh Robert Stephanus di Paris th. 1551. Masalah yang muncul a.l. pertanyaan-pertanyaan: Sejak kapan daftar itu ada? Apakah urutannya sudah sama seperti urutan yang kita miliki sekarang? Dalam abad pertama beredar ratusan teks, mengapa hanya 27 teks itu yang masuk daftar KS?
D. Proses menjadi kanon 27 tulisan PB
Bila orang mengamati tiga masa sejak Yesus, jemaat awal, dan penulisan Injil (lih. hlm. 5) maka ia bisa bertanya-tanya: Mengapa orang tidak menulis kisah Yesus sesegera mungkin? Mengapakah justru surat-suratlah yang lebih dahulu beredar daripada Injil-injil? Kemungkinan besar, hal ini disebabkan karena masalah-masalah konkret jemaat purba itu dapat dengan segera ditanggapi dan diselesaikan oleh para rasul dengan mengirim surat langsung kepada jemaat-jemaat itu. Lagi pula, pada zaman dahulu budaya lisan lebih kuat daripada budaya tulis sehingga kenangan akan Yesus itu lebih mudah diteruskan dari mulut ke mulut secara lisan daripada lewat buku (bdk. Rom 10:14-17). Tidak mustahil bahwa hal ini dipengaruhi pula oleh pandangan bahwa zaman akhir sudah tiba, Kristus akan segera datang dalam kemuliaanNya. Karena itu umat hidup dalam “zaman darurat” (1 Kor 7:26-31; 2 Tes 3). Buat apa menulis buku tentang Yesus bila semua orang toh akan segera berjumpa dengan Dia? Baru setelah "tunggu punya tunggu" namun akhir zaman tak kunjung tiba, Yesus pun tak "nongol-nongol", serta para saksi mulai hilang dari peredaran alias meninggal dunia, jemaat mulai berpikir untuk menuliskan Injil agar kenangan akan Yesus tak ikut hilang. Pada masa itu ada banyak Injil yang beredar. Tapi mengapakah hanya empat Injil yang masuk dalam daftar kanonik? Dan kapankah mulai ada daftar resmi? Sejauh kita ketahui sampai saat ini, daftar KS yang pertama berasal dari Marcion (th. 140an M). Marcion adalah seorang penatua dari Asia Kecil yang berkarya di Roma; ia dianggap bidaah oleh gereja resmi. Marcion dalam daftarnya itu menolak memasukkan kitab suci Yahudi (PL) dan menerima Injil Lk (minus Lk 1-2) dan surat-surat Paulus (minus 1 - 2 Tim dan Tit). Penyusunan daftar oleh seorang bidaah ini rupanya memicu gereja resmi menyusun juga daftar versi resmi. Para bapa-bapa Gereja (Origenes, Tertulianus, Ireneus, dll.)
Martin/PengPB/hal 18 mengumumkan daftar mereka masing-masing. Muratori (jurupustaka di Italia abad 18) menemukan teks abad 8 yang merupakan salinan daftar KS yang diduga berasal dari tahun 200an dan dipakai oleh jemaat di Roma. Daftar ini kemudian disebut “kanon Muratori”. Ini berarti, menjelang tahun 200an itu sudah ada semacam persetujuan umum mengenai mana teks yang bisa dimasukkan daftar KSPB. Bila aneka daftar itu dibandingkan satu sama lain, bisa diamati bahwa pada kurun waktu sekitar th. 200 M ada kesepakatan dalam Gereja Latin maupun Yunani mengenai kumpulan 20 tulisan yang dianggap KS (4 Injil, Kis, 13 surat Paulus, 1 Pt dan 1 Yoh). Tujuh tulisan lain (Ibr, Wahyu, Yak, 2-3 Yoh, Yud, dan 2 Pt) baru dikutip dan diterima sebagai bagian KS pada kurun waktu abad ke-2 sampai ke-4, tapi tidak di seluruh wilayah Gereja. Pada tahun 367 Athanasius (uskup Alexandria, Mesir ) dalam surat edaran Paskanya mengumumkan daftar 27 tulisan. Isi daftar Athanasius ini persis sama dengan kanon PB kita kini, hanya saja berbeda dalam urutan. Dalam daftar Athanasius, surat-surat katolik ditempatkan sebelum surat Paulus, Ibrani ditempatkan setelah II Tes. Daftar Athanasius diterima umum di dunia Kristen Timur dan dipopulerkan di Barat oleh Hironimus yang menerjemahkan KS Ibrani/Yunani ke bahasa Latin (Vulgata) th. 380-390an. Daftar itu disahkan oleh Konsili Hippo (393) dan Konsili Karthago (397), Afrika Utara; kemudian disebarkan resmi oleh Paus Innosensius I (405). Ke-27 tulisan itu diteguhkan lagi oleh Konsili Florence (1442), Trente (1546), dan Vatikan I (1870). Jadi sebenarnya pada akhir abad ke-4 ked-27 tulisan itu sudah ditetapkan dan diterima umum sebagai kanon PB. Tadi disebutkan adanya macam-macam Injil, tapi janganlah ada yang berpendapat bahwa Injil Barnabas termasuk salah satu Injil yang beredar pada abad-abad pertama kekristenan! Dari penyelidikan para ahli dapat disimpulkan bahwa jelaslah tulisan itu merupakan hasil tulisan abad ke 15 M. Penulisnya diduga adalah bekas rahib Kristen yang kemudian menjadi Islam. Jelas isi Injil Barnabas itu merupakan gabungan dari keempat Injil Mt, Mk, Lk, dan Yoh dan versi kisah Yesus menurut Al-Quran. Dari segi isi saja jelas bahwa itu ditulis setelah Quran (kedatangan Nabi Muhammad), ada juga kesalahan geografis dan historis, mis. Barnabas termasuk 12 rasul Yesus, Yesus berlayar dari Kapernaum ke Nazareth (padahal Nazareth tak terletak di tepi danau, Yesus lahir pada zaman Pilatus berkuasa dll. Lihatlah B.F. Drewes & J. Slomp, Seluk Beluk Buku yang Disebut Injil Barnabas, Jakarta: BPK, 1983. Teks kanon PB kini menjadi tolok ukur bagi kehidupan iman kita. Tapi kalau melihat sejarah di atas, apakah sudah selalu demikian? Apa kriteria memilih yang 27?
Martin/PengPB/hal 19 1. Tolok ukur penentuan kanon PB
Sering dikatakan bahwa yang menjadi kriteria suatu tulisan diterima dalam kanon atau tidak adalah apostolisitas tulisan tsb. Artinya, sejauh mana tulisan itu diyakini sebagai berasal dari para rasul Kristus sendiri. Jadi misalnya: Mt menurut tradisi kuno berasal dari rasul Matius (dh. Levi), Mk adalah sekretaris Petrus, Lk adalah teman Paulus, Yohanes adalah rasul terkasih. Namun, apakah selalu ada bukti kuat bahwa suatu tulisan itu sungguh-sungguh ditulis oleh rasul tsb? Tidak. Patut diingat bahwa di zaman dahulu umum terjadi bahwa suatu tulisan diakukan sebagai ditulis oleh orang terkenal tertentu, padahal tidak demikian. Saat itu, hal semacam ini tidak dianggap sebagai pemalsuan. Lain halnya bila itu terjadi di zaman modern ini. Seorang murid atau komunitas, yang yakin bahwa faham iman mereka berasal dari rasul tertentu, tentulah akan mengakukan buku yang mereka tulis sendiri sebagai telah ditulis oleh rasul tsb. karena mereka tak berani menganggap diri mereka sendiri sebagai "author" yang melahirkan tradisi mereka. Jadi asalkan ada hubungan antara tradisi mereka dengan para rasul tertentu maka tradisi itu dianggap “apostolis”. Lebih penting lagi daripada “apostolisitas dokumen” adalah apostolisitas penghayatan hidup dalam iman akan Yesus. Artinya, praktek-praktek iman mereka itu sungguh diyakini sebagai telah diwarisi dari tradisi hidup yang mereka terima dari pendahulu mereka, dari para rasul, dan dari Yesus sendiri (lih. I Kor 15). Jadi praktek hidup itulah yang menjadi tolok ukur suatu tulisan; dan pada akhirnya “Yesus” (sebagai sumber praktek hidup) itulah yang menjadi tolok ukur bagi kita. Misalnya, meski ada Injil yang disebut Injil Petrus, namun tulisan itu ditolak sebagai KS karena mengajarkan paham bahwa Yesus hanyalah ilahi dan bukan manusiawi. Dengan kata lain, kanon KS itu lahir dalam tradisi jemaat dan oleh tradisi jemaat. Jemaat mana yang memakai suatu tulisan juga turut menentukan. Semakin meluas dan penting suatu jemaat maka jemaat itu makin punya otoritas (mis. jemaat di Yerusalem dan Roma). Janganlah kita mengira bahwa karena Uskup Athanasius yang membuat daftar itu, maka berarti kanon PB itu ditentukan oleh pimpinan tertinggi gereja. Apalagi, jangan kita membayangkan bahwa Pauslah yang menentukan kanon itu. Pada awal kekristenan ada paling tidak 5 pusat gerejani. Secara kronologis, urutan munculnya adalah sbb.: Yerusalem, Antiokhia (Siria), Alexandria (Mesir), Roma dan kemudian Konstantinopel (Bisantium). Masing-masing dipimpin oleh Batrik atau Patriakh. Paus hanyalah Patriakh Gereja Latin. Proses kanonisasi bukanlah berjalan “dari atas”, tapi “dari bawah”. Umat, berkat hidup iman
Martin/PengPB/hal 20 mereka yang didasarkan pada pewartaan para rasul dan penerus mereka secara spontan mengetahui manakah tulisan-tulisan yang sesuai dengan iman mereka. Seleksi terjadi secara spontan dalam perayaan liturgi mereka (manakah tulisan yang pantas dan harus dibaca), dalam pewartaan mereka (manakah yang harus diteruskan) dan katekisasi mereka (atas dasar tulisan manakah mereka mengajar). Pada mulanya memang ada banyak keanekaragaman dalam hidup iman umat. Namun lama kelamaan mulai ada keseragaman dalam segi ajaran iman, ajaran perilaku (moral) dan organisasi gereja (episkopos, presbiter, diakonos). Karena itu terjadi juga secara spontan keseragaman dalam tulisan-tulisan yang diterima dan dipakai dari kemungkinan sekian banyak tulisan yang beredar. Jadi kita lihat lagi bahwa tolok ukur diterimanya suatu tulisan adalah praktek hidup dalam iman. Kurang tepatlah bila agama kristen dinamakan sebagai “agama kitab”, seakan ada lebih dulu kitab tertentu lalu umat yang mencoba hidup berdasarkan kitab itu. Dalam agama kristen, yang ada adalah umat lebih dahulu dengan praktek hidup iman mereka yang didasarkan pada Yesus, dan baru dari situlah lahir tulisan-tulisan yang dimaksudkan sebagai kesaksian iman. Dari sekian banyak tulisan itu kemudian ditentukan manakah yang “standar”, yang bisa dijadikan patokan iman mereka. Seleksi ini didasarkan pada praktek iman kristiani mereka.
2. Antara “ratio” dan “ilham” dalam penentuan kanon
Mengamati proses seleksi dan penentuan kanon PB, mungkin saja ada yang berpendapat bahwa dalam proses itu "ratio" manusia lebih berperanan daripada "ilham" Allah. Lalu di manakah nilai kumpulan itu sebagai KS? Patut diingat, bahwa keadaan kita sekarang berbeda dari situasi umat kristen purba. Baru pada abad modern (akhir abad 19) ditemukan banyak kodeks dan gulungan papirus yang berisi salinan-salinan teks KS, baik PL maupun PB. Karena itulah muncul suatu disiplin ilmu yang disebut Kritik Tekstual. Kritik tekstual mencoba mencari dari sekian banyak salinan itu manakah versi yang lebih mendekati aslinya. Sedangkan pada abad-abad pertama, umat hanya mengenal teks yang mereka miliki, tanpa variant lain. Tampaknya masing-masing jemaat memiliki salinan teks mereka masingmasing. Jadi yang menentukan kanon bukannya para ahli kritik teks (belum ada!), melainkan umat berdasarkan praktek hidup mereka. Kanonisasi menyangkut tulisan-tulisan mana
Martin/PengPB/hal 21 (artinya: karya yang berbeda-beda) dan bukan variant-variant mana (artinya: satu karya, satu ayat yang sama, tapi beda dalam detail kata atau rumusan!). Kerapkali pandangan suatu golongan lain tentang KS mereka mempengaruhi pandangan kita tentang KS kita. Maka kita pun berpandangan bahwa Yesus itu menerima KS Injil yang “diturunkan” dari langsung dari "atas", diajarkan kepada rasul-rasulNya. Padahal kita tahu dari penyelidikan para ahli KS bahwa tidak demikian. Injil bukanlah hasil pendiktean langsung Yesus kepada para murid. Seandainya demikian pandangan Gereja, maka hanya akan ada satu versi Injil saja yang diakui sebagai kanonik. Padahal gereja justru jelas-jelas menerima 4 Injil karena beranggapan keempatnya saling melengkapi. Kita tak perlu memisahkan “ratio” dan “ilham”. Hanya saja jangan ilham diartikan sebagai “bisikan” eksternal maupun internal tapi lebih sebagai bimbingan Roh Kudus. Kita yakin bahwa praktek hidup iman kristen itu sendiri dibimbing oleh Roh Kudus; maka kalau praktek itu menentukan teks mana yang cocok, tentu pilihan itu juga merupakan hasil bimbingan Roh. Jangan pula kita beranggapan bahwa ada anggota jemaat yang menerima “ilham”, “bisikan”, “mimpi” tentang berapa teks yang harus masuk kanon, dan mana saja yang harus diterima. Itu semua ditentukan oleh kesepakatan hidup iman kristiani umat. Dan nyatanya, dalam waktu relatif singkat (1-2 abad) sudah kurang lebih jelas diterima umum di Barat maupun di Timur manakah tulisan-tulisan yang sesuai dengan iman mereka dan karenanya dapat dianggap sebagai kanon. Banyak orang percaya ada penyelenggaraan Illahi dalam proses itu.
Excursus: "Kanonisasi dalam Islam"
Ada pula yang melihat adanya semacam proses kanonisasi dalam Islam. Lihat Mohammed Arkoun, Rethinking Islam. Common Questions. Uncommon Answers, terj. bhs. Indonesia, Yogyakarta: LPMI, 1996; “Gagasan tentang Wahyu: Dari Ahl al-Kitab Sampai Masyarakat Kitab”, dalam H. Chambert-Loir dkk (eds), Studi Islam di Perancis, Jakarta: ANIS, 1993. Arkoun melihat bahwa “Pengumpulan Qur’an menjadi satu buku yang nyata dan yang dipakai secara umum (Mushaf), dipengaruhi seluruhnya oleh prosedur manusia yang tidak sempurna (misalnya, penyampaian secara lisan; penggunaan bentuk gambar yang tidak sempurna; konflik antara marga dan golongan; kedudukan Sahabat; dan bacaan yang tidak dilaporkan” (“Gagasan tentang Wahyu” hal. 40).
Martin/PengPB/hal 22 Karena itu Arkoun mempersoalkan fakta bahwa mushaf, kumpulan teks tertulis AlQuran yang dinyatakan sempurna, selesai dan tertutup (cf. konsep “kanonisasi” dalam KS Kristen) oleh Kalifah Usman itu, diidentikkan dengan Umm al-Kitab (Kitab yang paling pertama, yaitu Kitab yang tersimpan di Surga yang memuat seluruh Firman Allah). Padahal meskipun Al Qur’an dianggap “sudah lengkap untuk semua kebutuhan orang-orang yang beriman (secara potensial ini berarti seluruh umat manusia)” tetapi menurut Arkoun teks itu “tidak lengkap mewakili seluruh Firman Allah (“Gagasan tentang Wahyu”, hal. 39).
yang tersimpan dalam Kitab Surga”
Martin/PengPB/hal 23 BAB TIGA FAHAM TENTANG INSPIRASI
Pada bagian akhir bab mengenai kanonisasi muncul masalah mengenai asal usul ilahi Kanon KS PB, yaitu mengenai inspirasi ilahi dalam penentuan isi daftar teks KS PB. Di balik masalah itu sebenarnya tersembunyi masalah serupa mengenai masing-masing teks tsb. Dilihat sepintas lalu orang bisa menyimpulkan bahwa baik Injil maupun surat para rasul itu dihasilkan oleh manusia yang memberikan kesaksian iman mereka akan Kristus pada jemaat yang dituju oleh karangan itu. Orang lalu mempertanyakan, bila demikian manakah asal-usul ilahi suatu teks sehingga teks itu dianggap Kitab Suci? Untuk menjawab pertanyaan ini, penting disadari dahulu bagaimanakah faham kita mengenai "inspirasi" ilahi suatu teks.
A. Teks yang diilhamkan oleh Allah
Tak seorang penulis Injil atau surat dalam PB pernah membayangkan bahwa suatu hari tulisan mereka akan diterima sebagai Kitab Suci di seluruh dunia! Paulus paling-paling membayangkan tulisannya dibaca dan ditaati di jemaat tertentu. Kalau ada penulis yang menyebutkan “Kitab Suci” (I Tim 4:13; II Tim 3:15) atau “tulisan yang diilhamkan Allah” (II Tim 3:16) itu maksudnya bukan tulisan mereka sendiri, melainkan tulisan-tulisan Perjanjian Lama yang diterima oleh umat Yahudi. Saat itu memang belum ada penentuan Kanon KS Yahudi karena semacam kanon KS Yahudi baru ditentukan setelah th. 90/100 M di Jamnia. Yang dikenal oleh umat Kristen purba adalah terj. Yunani KS Yahudi, yaitu Kitab Septuaginta. Penulis-penulis Pt dan Tim itu mewarisi kepercayaan umat Yahudi bahwa KS diilhami oleh Allah. Bagaimana mereka membayangkan hal itu? Proses inspirasi ilahi biasa dibayangkan secara otomatis-mekanis, yaitu Roh Allah menguasi seluruh diri orang itu dan lidah orang digerakkan oleh kuasa Roh, mis. Bileam yang tadinya mau mengutuki bangsa Israel ternyata malah digerakkan Allah untuk memberkati Israel (Bil 22), atau Saul yang "kesurupan" Roh Allah bersama segerombolan nabi-nabi sehingga mulai “ngompyang”, “ndremimil”, “umak-umik” atau juga jingkrak-jingkrak, sehingga mirip cowok cewek modern yang sedang mirip “tripping”, “gedek-gedek” karena Ecstasy (I Sam 10:10). Daud mengungkapkan keadaan itu demikian: “Roh Tuhan berbicara dengan perantaraanku, firman-
Martin/PengPB/hal 24 Nya ada di lidahku” (II Sam 23:2). Maka para nabi dengan tegas berani bilang: “firman Allah yang datang padaku ...” (Yer 2:1), “beginilah firman Tuhan” (Yes 43:14). Jadi faham inspirasi itu didasarkan pada model kenabian yang punya pengalaman ekstatik, "disurupi" Roh, tak sadar diri, digerakkan untuk bicara. Itulah gambaran umum mengenai proses inspirasi, disempitkan menjadi proses ekstatik kenabian saja. Namun selain faham kenabian ini, ada pula faham lagi tentang proses inspirasi. Selama ini pula orang hanya melihat inspirasi bagi nabi untuk bicara, bagaimana dengan teks tertulis? Menurut Origenes, Roh “menerangi” penulis dalam pikiran, kehendak dan ingatannya. Mereka secara sadar bekerja sama dengan Roh. Jadi ada peralihan dari inspirasi model nabi, ke inspirasi model penulis teks suci. Agustinus melihat ada unsur pendiktean dari Roh kepada penulis. Namun si penulis tak selalu mereproduksikan dengan ketepatan harafiah, kata-kata yang di”dengar”nya dari Roh, ia bebas mengungkapkannya lewat bentuk-bentuk ungkapan sastra yang dikuasainya. Jadi peranan si penulis bukan dalam hal isi, atau pokok pembicaraan, melainkan dalam kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan inspirasi itu. Tradisi Reformasi Protestan juga meneruskan faham pendiktean itu. Hanya saja Calvin sudah mengatakan bahwa penulis tak bekerja seperti sekretaris stenografis yang menulis persis seperti didiktekan oleh bossnya. Selain itu ada faham tentang Allah sebagai “auctor”, sebagai pengarang teks suci. Arti “auctor” dalam sastra klasik itu lebih luas daripada diartikan dalam zaman modern. Auctor (Ingg. author) dipahami dalam arti sumber paling asali dan bukan dalam artian modern yaitu pengarang yang atau menulis sendiri atau mendiktekan. Misalnya, sekelompok murid menuliskan dan membukukan ide-ide guru mereka lama setelah guru itu meninggal. Meskipun para murid itu tak menuliskan secara persis harafiah kata-kata guru mereka, namun tanpa ragu mereka akan menyebut guru mereka sebagai pengarang buku itu. Pada abad 18/19 mulai muncul ilmu kritik teks, dan ditemukan banyak teks/kodeks KS. Maka orang mulai bertanya-tanya, teks versi manakah yang diilhamkan? Kini orang tak berpendapat lagi bahwa PL sebagai tertulis dalam Septuaginta itu diilhamkan. Yang diterima sebagai baku adalah teks PL bahasa Ibrani, kanon Ibrani yang ditentukan oleh para rabbi di Jamnia akhir abad pertama M. Karena itu tradisi Protestan menerima kanon PL Ibrani, sedangkan tradisi Katolik -selain kanon PL Ibrani tsb- menerima juga teks-teks yang ada dalam Septuaginta tapi tak ada dalam kanon PL Yahudi. Hanya saja, teks-teks ekstra dari Septuaginta itu dianggap sebagai “kanon kedua”, deuterokanonika. Teks terjemahan Latin (Vulgata) tidak dianggap sebagai diilhamkan; maka untuk PB orang kembali ke teks bahasa
Martin/PengPB/hal 25 Yunani. Selain itu dari kemajuan ilmu tafsir historis kritis orang sadar bahwa penulis-penulis PB tidak menulis berdasarkan “diktean” dari atas, melainkan mendasarkan diri juga pada tradisi lisan yang ada, sumber-sumber lain yang beredar dalam jemaat saat itu. Jadi faham tentang karya Roh mulai dilihat sebagai lebih luas dan menyeluruh, bukan berdasarkan atas model kenabian saja. Bimbingan Roh itu dilihat secara psikologis, yaitu berupa dorongan untuk menulis, tapi tergantung pada si orang sendiri hal-hal apa yang dituliskan, bagaimana dirumuskan dan disusun). Atau bisa juga secara sosiologis, dalam arti, Injil bukanlah hasil tulisan satu orang saja. Maka bimbingan Roh dilihat pula sebagai bekerja dalam jemaat iman yang menjadi asal mula suatu tulisan. Atau secara sastrawi, dalam arti, bukan hanya teks yang diilhami tapi juga pembaca teks. Atau secara ekklesial, artinya, teks itu diterima sebagai suci dalam konteks suatu gereja; jadi inspirasi teks KS itu hanyalah satu bagian dari bimbingan Roh kepada Gereja secara umum. Singkatnya, bila pewahyuan ilahi diartikan sebagai komunikasi diri dan kehendak Allah kepada manusia, maka proses inspirasi model kenabian (ujaran verbal) tidaklah mencakup keseluruhan pewahyuan yang illahi. Mengapa? Karena komunikasi ilahi itu tak selalu lewat cara verbal, melainkan kerap juga dengan isyarat atau tindakan. Terlebih lagi, setelah penciptaan, peristiwa pewahyuan ilahi yang dianggap sebagai paling utama adalah peristiwa penyelamatan dalam sejarah, yaitu Keluaran dari Mesir bagi orang Yahudi dan Peristiwa Yesus bagi orang Kristen. Teks KS sendiri mengandaikan juga proses penulisan, koreksi dll. misalnya Yoh 4:2, komentar narator yang mengoreksi pernyataan sebelumnya mengenai Yesus yang membaptis. Sabda Allah kurang tepat bila disempitkan menjadi teks tertulis KS, seakan teks itulah keseluruhan komunikasi Allah kepada kita. Kardinal Martini membedakan macammacam makna “Sabda Allah”, yaitu: (1) peristiwa sejarah keselamatan (“kata” dalam bhs. Ibrani dabar punya arti juga “kejadian” “realitas;” (2) pesan lisan utusan-utusan Allah, nabinabi dan Yesus; (3) pribadi Yesus yang merupakan Sabda Allah; (4) pewartaan kristen; (5) pesan umum Allah kepada manusia; (6) Kitab Suci. Jadi perlu dibedakan ungkapan tertulis dan komunikasi diri Allah sendiri, bahkan juga dalam model kenabian; lihat pertandingan nubuat antara Nabi Yeremia dan Nabi Hananya (Yer 28). Dalam arti itu lebih tepat bila orang berkata “KS merupakan kesaksian akan Sabda Allah” daripada yang umum kita mengerti “KS adalah Sabda Allah”. Untuk lebih jelasnya mengenai inspirasi, baca R. F. Collins, “Inspirasi” dalam: The New Jerome Biblical Commentary, hal 1023-1033.
Martin/PengPB/hal 26 Kalau demikian mengapa kumpulan teks PB itu kemudian dianggap Kitab Suci, sebagai yang diilhami oleh Allah? Karena mereka yakin bahwa setiap orang kristen itu telah menerima Roh Kudus dan pasti dibimbingNya (lih. Yoh 16:13). Bila itu pendapat mereka mengenai orang Kristen pada umumnya, terlebih lagi mengenai para rasul. Ketika penulis II Pt 3:15 bicara tentang surat-surat Paulus ia tak menyebut surat itu sebagai KS, melainkan bahwa Paulus “menulis menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya”. Kata “hikmat” ini tampaknya merupakan kombinasi antara unsur “ratio” dan unsur “inspirasi”. Dari pihak umat kristen purba sudah ada kecenderungan untuk menerima pewartaan para Rasul sebagai "sabda Allah" sendiri, lihat ucapan Paulus "kalian telah menerima firman Allah yang kami beritakan itu bukan sebagai perkataan manusia, tetapi -dan memang sungguh-sungguh demikianlah- sebagai firman Allah, yang bekerja juga dalam kalian yang percaya" (1 Tes 2:13). Kesimpulannya, “Wahyu Allah” tak bisa disempitkan dalam istilah “Sabda Allah” bila sabda Allah disamakan dengan "kata-kata tertulis". Istilah "wahyu" menunjuk pada “komunikasi diri dan kehendak Allah”, dan kita yakin bahwa Allah berkomunikasi dengan kita lewat karyaNya dalam kehidupan kita. Lihat: Groenen dan Stefan Leks, Percakapan tentang Alkitab (Yogya: Kanisius, 1986) soal “wahyu” dan Alkitab Kristen sebagai kesaksian iman. Dari sejak awal mula, dasar iman umat Allah (yahudi maupun kristen) bukanlah kitab yang diturunkan dari atas, melainkan “pengalaman akan kasih Allah yang menjadi nyata dalam kejadian-kejadian di bumi ini” (Groenen, Percakapan, h. 33). Sangat menarik jawaban Groenen terhadap orang yang merasa kecewa karena KS Kristen bukanlah "hasil diktean huruf per huruf" dari Atas, “Apakah orang harus merasa ‘minder’ bila tidak mendapat surat yang kata demi kata didiktekan oleh Sri Paus kepada juru tulisnya, melainkan langsung dikunjungi oleh Sri Paus sendiri?”. Groenen menunjuk pada peristiwa Sabda Allah yang menjadi manusia dalam diri Yesus dari Nazareth. Mengenai soal "Pendiktean" ilahi itu memang orang harus ekstra waspada. Ada orang yang merasa menerima “bisikan” Bunda Maria dalam hatinya untuk dituliskan berupa surat kepada kalangan tertentu, atau ada juga orang yang merasa tangannya digerakkan secara ajaib untuk menuliskan pesan-pesan Yesus! Lepas dari indah tidaknya, atau benar tidaknya "isi pesan-pesan" itu, janganlah orang buru-buru percaya bahwa pesan-pesan itu pastilah berasal dari Bunda Maria atau Yesus sendiri. Dalam sejarah Yahudi dan kekristenan, fakta bahwa orang ybs. yakin 100% bahwa ia menerima "diktean" atau "inspirasi" dari Allah
Martin/PengPB/hal 27 bukanlah tolok ukur untuk menentukan normativitas tulisannya. Normativitas suatu tulisan akan selalu dikembalikan kepada kesepakatan praktek hidup iman umat ybs.
B. Perkembangan refleksi iman dalam penulisan KS
Menarik sekali mengamati bagaimana masing-masing penginjil mengawali injilnya. Kelihatan bagaimana masing-masing penulis itu merenungkan dan membahasakan misteri Kristus seturut bahasa atau konsep-konsep yang diwarisi dari dunia sekelilingnya (budaya Yahudi, Romawi, Yunani). Kelihatan bagaimana semakin “maju” dalam kronologis waktu tersusunnya suatu tulisan (seandainya konsensus ini diterima: Mk paling awal dituliskan, lalu Mt, Lk, Yoh: dari 70an sampai ke 100an) refleksi mereka tentang siapa Yesus itu semakin “mundur” ke belakang.
Mk mengawali Injilnya dengan kisah Pembaptisan Yesus. Mt dengan Kelahiran Yesus. Luk dengan Kelahiran Yohanes Pembaptis. Yoh dengan Awal Mula. Benarlah yang dijanjikan dalam Yoh bahwa Roh Kudus akan membimbing pengikut Kristus ke segala kebenaran (Yoh 16:12-15).
Martin/PengPB/hal 28 C. Kerangka teologis dalam susunan Injil
Skema terdahulu memang meneguhkan konsepsi tradisional tentang Injil-injil Sinoptik yang dianggap bicara tentang “hal-hal material” Yesus dan Injil Yoh yang dianggap melengkapinya dengan yang “spiritual” (Istilah Clemens Alexandria). Faham itu muncul pula ketika orang mencoba menafsirkan simbol-simbol yang diterapkan pada masing-masing penginjil. Mk dilanmbangkan dengan Singa; Mt dengan Manusia; Lk dengan Sapi; Yoh dengan Rajawali. Lambang itu diterapkan pada masing-masing Penginjil berdasarkan cara Penginjil itu mengawali Injil mereka. Mk diawali oleh Yoh Pemb yang bagaikan "suara mengaum" di padang gurun. Mt diawali oleh silsilah manusia. Lk diawali oleh imam Zakharia yang mempersembahkan kurban. Yoh diawali dengan melayang ke Awal Mula, bagaikana rajawali terbang tinggi ke pangkuan Bapa di sorga. Jadi ada gambaran umum bahwa hanya Yoh yang menyajikan pemikiran rohani, teologis, luhur-luhur, simbolis dll., sedangkan yang lain hanyalah merupakan biografi historis Yesus. Gambaran umum ini patut dipertanyakan! Dengan kemajuan ilmu tafsir, kini orang makin sadar bahwa ternyata setiap Injil juga digerakkan oleh motif-motif teologis tertentu. Yesus yang disajikan oleh masing-masing Injil itu disajikan seturut penghayatan iman komunitas/ pengarang injil tsb. Kini kebanyakan ahli tafsir setuju bahwa Injil bukanlah biografi historis, melainkan suatu jenis sastra yang unik yang dirintis oleh penginjil. Injil adalah kabar gembira, suatu pewartaan, kerygma. Yoh lebih tegas lagi menyebut injilnya sebagai kesaksian. Tegas-tegas dikatakan dalam Yoh 20:30-31 bahwa kisah itu hanya tentang sebagian kecil peristiwa Yesus, dan itu disajikan agar orang sampai pada iman akan Yesus, dan karenanya sampai pada hidup. Dari kritik narasi jelas kelihatan bagaimana masing-masing Injil itu ditulis berdasarkan suatu strategi naratif tertentu: membimbing pembaca sampai pada pengenalan akan Yesus (yang diimani sebagai tetap hidup sekarang ini juga). Injil Yoh yang dulu kerap dianggap sebagai tanpa dasar historis dan hanya merupakan spekulasi teologis, kini terbukti didasarkan pada tradisi-tradisi yang secara historis jauh lebih awal daripada tahun tertulisnya (90/100an). Penemuan arkeologis, mis. kolam dengan tiang-tiang dekat Bait Allah, membuat orang sadar bahwa ada dasar geografis yang akurat bagi Yoh (lih. Yoh 5, "Pintu gerbang Domba" dengan lima pilar dan serambi). Begitu juga fakta bahwa Yesus tiga atau empat kali bepergian ke Yerusalem tampak lebih masuk akal daripada hanya sekali saja seperti digambarkan oleh Sinoptik.
Martin/PengPB/hal 29 Dari sudut tahun penulisan Injil pun ternyata ada perbedaan pendapat. Pada abadabad pertama orang mengira yang pertama ditulis adalah Mt (karena itu ditaruh pertama dalam urutan Kanon PB). Sedangkan sekarang orang lebih cenderung berpendapat Markuslah yang pertama ditulis. Namun kini pun ada yang mati-matian mempertahankan bahwa Mt adalah Injil pertama. Yoh biasa disebut “Injil Keempat”. Tapi ada juga yang mengajukan teori bahwa Yoh ditulis paling awal (J.A.T Robinson, The Priority of John). Paling tidak kini disadari bahwa meski Yoh ditulis paling belakang, tapi berasal dari tradisi historis kuno (C.H. Dodd, Historical Tradition in the Fourth Gospel). Belakangan ada juga yang mengajukan bahwa Lk ditulis setelah Yoh (lih. Robert Morgan, “Which was the Fourth Gospel?”, JSNT 54 -1994, hal. 3-28).
D. Peranan ingatan dalam menuliskan pengalaman
Orang biasa berkata tentang pengalaman masa lalunya (mis. sebagai anak kecil pernah memandang pohon) demikian: “I am a man who was a boy looking at a tree”. Bila diamati, pengalaman itu ternyata tak begitu langsung seperti mau diungkapkan oleh kalimat tsb. Ada suatu proses perantaraan yang dilalaikan tapi sebenarnya berperanan mutlak. Pengalaman tadi lebih tepat kalau diungkapkan demikian: “I am a man who remembers being a boy looking at a tree”. Jadi ada perantaraan “ingatan” atau “kenangan”. Ini merupakan salah satu kata kunci dalam PL maupun PB. Ingat yang kita rayakan tiap hari: “Lakukan ini sebagai kenangan akan daku”. Psikologi modern pun mengakui bahwa sebenarnya ingatan kita itu tidak “reproduktif” melainkan "rekonstruktif". Reproduktif itu contohnya seperti videokamera atau alat potret yang menghasilkan "salinan/copy" kenyataan. Sebenarnya, ini pun tak setepat seperti apa yang orang bayangkan. Hasil foto sehubungan dengan komposisi warna atau gelap/terang tergantung juga pada film apa yang dipakai dan pengaturan lensa kamera. Rekonstruktif artinya yang kita kisahkan tentang kejadian yang telah lewat itu selalu merupakan hasil pembentukan kembali, penyusunan kembali ingatan dan pikiran kita. Proses rekonstruksi ini dipengaruhi oleh banyak hal, mis. minat, pengalaman pribadi, iman dll. Coba saja lihat Yoh 2:22. Dari kutipan itu tampak bagaimana tulisan Yoh dihasilkan dari interaksi antara pengalaman masa lalu (bersama Yesus ketika ia masih hidup) dan ingatan (yang diterangi Roh Kudus dan iman) akan pengalaman itu. Peristiwa Yesus sebelum wafat dan
Martin/PengPB/hal 30 bangkit selalu disusun kembali/dibentuk kembali oleh penginjil dan dikisahkan dalam Injil dari sudut pengalaman mereka bersama Yesus yang Bangkit.
E. Yang illahi dan yang manusiawi dalam teks KS
Selalu ada ketegangan bagaimana memandang teks KS. Di satu pihak dikatakan bahwa teks itu adalah Sabda Allah. Di lain pihak dikatakan pula bahwa teks itu berisi kata-kata manusia. Tampaknya, model inkarnatif Sabda Allah dalam Yesus itu dapat menjadi pola pengertian kita juga tentang teks KS. Jadi KS itu seratus persen Sabda Allah dan seratus persen katakata manusia. Dari segala teori dan uraian tentang inspirasi itu janganlah disimpulkan bahwa Allah tak menghubungi manusia secara langsung. Coba saja lihat Kis 16:7, dikatakan bahwa “Roh Yesus menghalangi mereka untuk pergi ke ...”. Banyak hal semacam itu dilaporkan dalam Kis. Bagaimanakah komunikasi itu dialami? Lewat mimpi? Lewat penglihatan (vision) atau pendengaran khusus (audition)? Pengarang Kis tak menjelaskan hal itu secara mendetail. Tapi tampaknya komunikasi itu tak selalu dimengerti secara “adikodrati”, kadang malah dengan cara sepele, bahkan menggelikan. Lihat Kis 1: 23-26, pemilihan rasul pengganti Yudas. Setelah mereka berdoa minta petunjuk Allah, “Lalu mereka membuang undi”! Orang Israel purba juga memakai sistem undian dengan dua batu, Urim dan Thummim, untuk mencari kehendak Allah (lihat Hak 20:27; Bil 27:21; 1 Sam 14:36-37; 23:912; 28:6; 30:7-8; 1 Raj 2:26). Dalam banyak kasus itu, kata “Urim dan Thummim” umumnya sudah diganti dengan istilah “ephod”, “tabut perjanjian". Biasanya pertanyaan yang diajukan kepada Allah lewat nabi, pelihat, imam dll. itu harus dirumuskan sedemikian rupa hingga jawabannya berupa “ya” atau “tidak”. Jadi kalau dalam PL ditemukan istilah “bertanya pada Allah” (Hak 1:1-2; 20:23; dl;.) maksudnya adalah dengan memakai cara-cara semacam itu. Dapat disimpulkan dari berbagai uraian tentang inspirasi di atas bahwa Sabda Allah itu menjelma dalam kata-kata manusia. Pengertian ini selayaknya mendorong kita semua untuk lebih giat mempelajari KS. Tanpa studi yang mendalam dan teliti, kata-kata manusia itu tak akan bisa dipahami. Dan jikalau kata-kata manusia saja tak kita pahami apalagi Sabda Allah yang mau diungkapkan oleh kata-kata manusia itu.
Martin/PengPB/hal 31 BAB EMPAT LATAR BELAKANG SOSIO-HISTORIS KITAB PB
Uraian sebelum ini bermuara pada faham bahwa KS adalah Sabda Allah dalam kata-kata manusia. Kata-kata manusia itu selalu terkondisikan oleh
latar belakang sosio-historis
terbentuknya KS. Dari situ dapat disimpulkan bahwa untuk memahami KS perlulah dipahami konteks sosio-historis KS, yaitu situasi sosio-historis abad pertama kekristenan di wilayah Laut Tengah.
A. Antara Yahudi Palestina dan Yahudi Hellenis?
Bila kita membaca buku Sean Freyne yang diolah dan disederhanakan oleh I. Suharyo, Dunia Perjanjian Baru, akan kita dapati bab-bab terpisah: “Dunia Yunani”, “Dunia Romawi”, “Dunia Yahudi”. Namun janganlah kita membayangkan bahwa pada abad-abad pertama Masehi itu ada tiga dunia yang terpisah-pisah semacam itu. Setelah studi Martin Hengel, Judaism and Hellenism (Philadelphia: Fortress Press, 1974; dua jilid) kini orang ragu-ragu untuk bicara mengenai Yahudi Palestina dan Yahudi Hellenis (Diaspora) seakan kedua dunia tersebut sama sekali berbeda dan terpisah. Studi Hengel mengetengahkan fakta bahwa keduanya saling bertumpang tindih karena pada masa itu ada proses Hellenisasi yang tersebar luas di wilayah Laut Tengah. Tanah Palestina yang cuma secuil itu punya kedudukan strategis dari sudut politik, ekonomi, budaya. Dan sudah sejak dari zaman baheula selalu menjadi ajang perebutan oleh bangsa Babilon, bangsa Persia, bangsa Siria, dan pada th. 333 BCE (Before the Common Era) oleh Aleksander Agung yang saat itu menguasai seluruh wilayah Yunani, Siria Palestina, Mesir, Italia dll. Dalam zaman pemerintahan Aleksandaer Agung itu proses Hellenisasi itu meluas ke mana-mana. Palestina menghubungkan dunia Timur, Barat, Utara, Selatan. Proses Hellenisasi itu tidak berjalan mulus. Di Palestina terjadi perlawanan hebat. Maklum tradisi Yahudi begitu mendarah-daging dan ketat. Di kota-kota besar, bahkan di Yerusalem, didirikan juga gelanggang-gelanggang olahraga (gymnasium), seperti fitness centre di zaman modern ini (bhs. Inggris, gymn). Para pria Yunani biasa berlaga dan bergulat di gelanggang olahraga itu dengan telanjang bulat. Peristiwa itu sendiri tentu sudah suatu
Martin/PengPB/hal 32 skandal, terlebih lagi bila hal itu dilakukan oleh para pria Yahudi yang keranjingan meniru tingkah laku orang Yunani dengan bertelanjang di muka umum. Tentu saja orang-orang Yahudi yang bersunat menjadi bahan tertawaan orang Yunani yang tidak bersunat! Lebih keterlaluan lagi tingkah Yahudi kaum helenis itu yang karena malu akan sunat mereka kemudian “memulihkan kulup mereka” (1 Makabe 1:14-15), entah bagaimana caranya! Dan dengan demikian menurut pengarang faham Yahudi, “murtadlah mereka dari perjanjian kudus” (1 Mak 1:15). Perlawanan demi perlawanan terjadi (lihat 1 & 2 Mak). Lebih-lebih setelah bangsa Romawi menguasai Palestina sejak 63 B.C.E (ketika jendral Pompei menduduki Siria dan Palestina), memuncak dengan dihancurkannya Bait Allah oleh Titus tahun 70 CE, dan dihancurkannya Yerusalem dan diusirnya orang Yahudi dari sana pada tahun 135 CE. Yesus hidup dalam situasi kekerasan seperti itu. Maka pesan perdamaian Yesus tentunya terdengar aneh di telinga orang sebangsanya. Bahkan pada zaman ini pun banyak orang tak rela kalau Yesus itu dianggap tak termasuk golongan pejuang kemerdekaan. Berbagai hipotesa muncul tentang Yesus yang revolusioner model Che Guevara, termasuk golongan Zelot (golongan penentang penjajah). Dalam konteks ini juga dapat dimengerti perlawanan yang dihadapi Paulus dan jemaat kristen awal dari kalangan Yahudi sehubungan dengan sunat dan pewartaan kepada bangsa-bangsa lain.
B. Perbudakan dalam dunia Romawi-Yunani abad pertama:
Orang zaman ini pada umumnya menerapkan kategori pemikiran mereka terhadap masalahmasalah zaman dulu. Begitu juga dalam hal perbudakan. Kita sudah terbiasa berpikir bahwa perbudakan itu bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Lebih-lebih karena kita punya gambaran tentang situasi perbudakan di Amerika Serikat. Di sana memang situasi itu amat gawat, sampai-sampai terjadi perang saudara antara pihak Selatan dan Utara. Apakah seperti itu pulakah situasi budak-budak zaman dulu di Dunia Romawi? Para ahli tafsir KS sudah sejak lama kebingungan, mengapa Paulus justru memakai metafor “perbudakan” itu untuk menggambarkan “penyelamatan”. Ia berkata bahwa orang kristen dibebaskan dari dosa dan menjadi budak kebenaran (Rom 6:18). Bahkan dalam 1 Kor 9:19 ia menulis bahwa ia menjadikan diri “budak dari semua orang”. Ia kerap menyebut diri “budak Kristus”. Ada yang mengira bahwa istilah itu khas Paulus dan merupakan skandal besar bagi orang-orang Romawi. Ada juga yang berpendapat bahwa faham itu tak berasal
Martin/PengPB/hal 33 dari dunia Romawi Yunani melainkan dari dunia Yahudi (PL). Ada yang mengira tradisi itu berasal dari kuil suci Delphi. Pada saat budak mau dibebaskan ia dijual kepada dewa. Jadi sebenarnya ia menjadi bebas total, hanya saja dikatakan menjadi milik dewa tertentu. Tapi mengapa peristilahan seperti itu begitu biasa pada Paulus? Dan tampaknya tak ada bantahan apa pun dari pihak lain terhadap Paulus? Seakan sudah memang seharusnya demikian? Kalau hanya berpedoman pada tulisan para filsuf atau pun para pujangga, yang berasal dari kelas atas, memang dunia perbudakan tampak serba negatif dan dikecam karena memang budak-budak dibenci dan diremehkan oleh klas atas. Tapi kalau orang menyelidiki peninggalan-peninggalan tulisan dari kalangan bawah (batu nisan makam, kumpulan makna mimpi, novel-novel, dll.) maka muncul gambaran yang lain. Ternyata dunia para budak tak seburuk yang kita duga. Ada beberapa faham umum tentang budak yang ternyata tak tepat. Sering dikira, para budak tak punya tempat tinggal sendiri, mereka tinggal di rumah tuan mereka. Tapi dari beberapa naskah kontrak kerja atau dagang; jelas dikatakan di situ bahwa kontrak ditandatangani di rumah para budak itu sendiri. Ternyata para budak punya uang dan harta kekayaan. Bahkan mereka kerap membebaskan diri sendiri dengan membayar harga tinggi yang dituntut tuan mereka; atau bahkan mempersembahkan batu nisan mewah bagi mendiang majikan. Budak dapat ditemukan bekerja dalam pekerjaan apa pun yang dapat dilakukan oleh orang merdeka: dokter, pengacara, tentara, penanggung jawab perusahaan, pembersih rumah dll. Selain budak kelas bawah, ada juga budak kelas menengah yang menjadi manager. Ini diketahui a.l. dari buku petunjuk mimpi karangan Artemidorus. Ada mimpi yang baik bagi budak kelas rendah, tapi mimpi yang sama punya makna buruk bagi budak kelas atas dan sebaliknya. Mimpi disalib baik bagi budak rendahan (artinya: bakal dibebaskan) tapi buruk bagi budak manager (artinya: akan dilucuti dari kekuasaannya). Ternyata posisi budak memberi kemungkinan untuk naik pangkat dalam skala sosial. Budak orang terkenal atau kaya akan mencicipi juga kekayaan dan kedudukan itu. Budak orang kaya bisa dengan mudah mencari pekerjaan. Sebaliknya orang merdeka yang tanpa jaminan, akan menganggur dan sengsara. Dalam dunia itu hidup subur pola patron-client (pelindung dan klien). Menjadi budak juga dianggap sebagai sarana untuk merambat ke atas (mobilitas ke atas), apalagi setelah nanti dibebaskan. Tapi banyak budah lebih memilih jadi budak tapi kaya dan berpengaruh daripada merdeka tapi kere! Karena itulah, tindakan Paulus yang menyuruh Onesimus kembali ke Filemon dapat dipahami dalam konteks abad pertama tersebut. Terlebih lagi, Paulus berusaha agar Filemon
Martin/PengPB/hal 34 memperlakukan Onesimus bukan lagi sebagai budak melainkan saudara dalam iman. Dengan tindakan itu, Paulus mengerjakan tindakan pendamaian antara tuan dan budaknya, seperti Kristus sendiri yang mendamaikan Allah dan manusia (2 Kor 5:18). Nah, dalam konteks dunia seperti itulah Paulus hidup. Maka bahasa positif tentang perbudakan memang bisa ditangkap dan diterima. Lihat Dale B. MARTIN, Slavery as Salvation. The Metaphor of Slavery in Pauline Christianity (New Haven - London: Yale University Press, 1990).
Martin/PengPB/hal 35 BAB LIMA PAULUS
Setelah berbicara mengenai pembentukan teks KS, proses kanonisasi dan latar belakang sosio-historis KS PB, maka kini akan dibahas salah satu penulis sebagian besar teks KS PB yaitu Paulus. Tentu tidak semua karyanya dapat dibahas dalam pengantar ini. Maka hanya sedikit mengenai latar belakang Paulus dan titik tolak karya Paulus yang akan disampaikan di sini.
A. Pertobatan Paulus?
Paulus sendiri dalam surat-suratnya selalu menyebut dirinya sebagai “Paulus”. Sedangkan dalam Kis kita dapati ada tiga versi nama Paulus. Pertama, versi Ibrani, yaitu Saul, artinya “yang dimohonkan”, sama seperti nama raja pertama Israel, sama-sama dari suku Benyamin. Versi Ibrani ini dipakai terutama dalam kisah "pertobatan" Paulus. Kedua, versi Yunani, yaitu Saulos/Saulus. Ketiga, versi Latin, yaitu Paulus, artinya “kecil”, kerap dihubungkan dengan postur tubuhnya yang diduga kecil. Tiga versi nama itu menunjukkan siapa Paulus, yaitu Ibrani asli (Fil 3:5), dari daerah Yunani (Tarsus, Kilikia: Kis 22:3), dan warga negara Roma sejak lahir (Kis 22:28). Kemungkinan besar, ketiga versi nama Paulus dalam Kis ini memiliki makna simbolis-teologis. Mirip seperti seperti tulisan “INRI” di salib Yesus, ketiga bahasa itu bisa saja menunjuk pada universalitas Paulus sebagai rasul bangsa-bangsa. Pandangan umum bahwa Paulus tadinya bernama Saulus dan kemudian berganti nama menjadi Paulus setelah pertobatan tampaknya kurang tepat. Lihat saja, bahwa setelah Kis 9 ternyata nama "Saulus" masih dipakai (Kis 11:25; Kis 12:25; Kis 13:1). Ia pertama kali disebut "Paulus" pada Kis 13:9. Di situ hanya ditulis, "... Saulus, juga disebut Paulus". Kesan yang timbul adalah bahwa kedua nama itu adalah nama Paulus. Jadi kemungkinan memang dari bayi ia sudah punya dua nama Ibrani/Yunani dan Latin, lihat misalnya "Yusuf Yustus" dalam Kis 1:23. Orang Romawi biasa pula bernama ganda, "Sergius Paulus" (Kis 13:7). Begitu pula pandangan umum mengenai kejadian di jalan ke Damsyik sebagai kisah Pertobatan Paulus tampaknya perlu dijernihkan. Bila bicara soal "pertobatan", orang spontan terpikir pada perubahan moral, yaitu perubahan dari jahat ke baik, atau perubahan religius, yaitu dari tak bertuhan menjadi bertuhan. Apakah hal seperti itu terjadi pada diri Paulus?
Martin/PengPB/hal 36 Kiranya tidak. Ia mengatakan dalam hal ketaatan pada Taurat ia tak bercela (Fil 3:6), dalam hal keagamaan Yahudi ia jauh lebih maju dari sebayanya (Gal 1:14), bahkan pernah ia berkata bahwa tak ada sesuatu pun dalam dirinya yang bisa dihakimi (I Kor 4:4). Lalu apakah yang sebenarnya terjadi di jalan ke Damsyik? Ada yang bilang bahwa yang terjadi pada Paulus hanyalah perubahan dari orang yang tadinya gagal dalam menaati Taurat (bdk. Rom 7: konflik daging dan roh; 2 Kor 12 soal duri dalam daging) kemudian berbalik menyepelekan Taurat. Seperti pemuda yang gagal menarik hati pemudi, kemudian mengatakan bahwa pemudi itu jelek. Namun ayat-ayat di atas yang bicara mengenai moralitas Paulus tentu membantah anggapan ini. Kalau hanya dari Kis 9 saja orang akan punya kesan bahwa yang terjadi hanyalah pertobatan belaka. Pola Kis 9 mengikuti pola umum kisah sejenis: Musuh hamba Allah menyerang, Allah menegur dia dengan kebutaan. Akhirnya ia disembuhkan. Penyembuhan dikisahkan secara mendetail. Tak ada pesan khusus bagi Paulus; rahasia tentang missi Paulus hanya dikatakan kepada Ananias agar ia tadi tak ragu-ragu lagi menemui Paulus. Tapi kalau Kis 22 dan Kis 26 juga diperhatikan, maka akan ada pendalaman visi terhadap apa yang dialami Paulus. Kis 22 bicara juga tentang misi Paulus: Ananias mengatakan pada Paulus apa yang harus dilakukan. Di situ ada pula unsur pewahyuan (22:17 di Bait Allah). Dalam Kis 26 seakan Paulus menerima pesan itu langsung dari Allah. Jadi paling tidak ada tiga unsur penting yang terjadi di jalan ke Damsyik sebagaimana digambarkan dalam Kis, yaitu pertobatan, pernyataan diri Allah, dan panggilan perutusan Paulus (conversio, revelatio, vocatio/missio). Bila orang memperhatikan bagaimana Paulus bicara mengenai peristiwa itu, akan tampak bagaimana Paulus menekankan unsur revelatio dan missio itu. Dalam Gal 1:15-16 dikatakan bahwa Allah memilih, dan memanggil Paulus, menyatakan AnakNya kepada dia, dan mengutus dia untuk memberitakan. Dalam Fil 3:12: dikatakan bahwa Paulus ditangkap oleh Kristus. Dalam 1 Kor 9:1 disebutkan bahwa Paulus melihat Tuhan. Dan dalam 1 Kor 15:8 ditegaskan bagaimana Yesus yang bangkit menampakkan diri kepada Paulus. Jadi Paulus sendiri tak begitu menekankan unsur pertobatan. Karena itulah kini para ahli KS tak begitu suka menggunakan istilah "pertobatan Paulus", melainkan "Peristiwa Damsyik". Bila demikian, apakah sebenarnya inti peristiwa Damsyik itu dan apakah artinya bagi pemahaman kita tentang Paulus?
Martin/PengPB/hal 37 B. Peristiwa Damsyik sebagai kunci tafsir Paulus
Bila dibandingkan antara hidup Paulus sebelum dan sesudah peristiwa Damsyik akan kelihatan bagaimana sesudah Damsyik pengenalan akan Yesus merupakan segala-galanya bagi Paulus. Segala sesuatu sebelum itu dianggap sampah bila dibandingkan dengan pengenalan itu (Fil 3:8). Jadi bisa dikatakan bahwa di jalan ke Damsyik itu terjadi perubahan drastis akibat perjumpaan pribadi antara Paulus dengan Yesus yang bangkit. Orang cenderung menerima ujaran-ujaran Paulus seperti uraian ilmiah traktat teologis atau dogmatis. Padahal, kata-kata Paulus itu dituliskan dalam rangka surat kepada jemaat tertentu, dalam rangka hubungan pribadi Paulus dengan jemaat tsb. Dari surat-suratnya bisa dilihat bagaimana pengalaman Damsyik itu mewarnai cara pandang Paulus. Dari ketiga unsur conversio, missio, revelatio, unsur yang dominan adalah unsur revelatio, konkretnya berupa pengenalan akan Kristus yang bangkit. Bila diamati dalam Kis, akan tampak bagaimana segala macam perselisihan yang dialami Paulus tampaknya berkisar seputar kebangkitan. Misalnya, dalam Kis 25:19 dikisahkan mengenai laporan Festus pada Agrippa, pertentangan Paulus dan orang sebangsanya, disebabkan karena Paulus mengatakan dengan pasti bahwa Yesus, yang sudah mati itu, hidup. Justru Yesus yang hidup itu menjungkirbalikkan pengertian Paulus sebagai orang Yahudi. Menurut hukum Taurat, Yesus terkutuk karena mati disalib di atas kayu (Ul 21:23). Ternyata di jalan ke Damsyik Paulus mengalami bahwa orang yang dikutuk menurut Taurat itu ternyata dibenarkan oleh Allah, sebagaimana nyata dari kebangkitan-Nya dan bahwa ia bukan lagi kutuk melainkan menjadi berkat bagi kita (Gal 3:13). Hubungan Paulus dengan Yesus yang bangkit itu dan pengenalannya akan Dia diwarnai atau didasari bukan sekedar oleh pengenalan intelektual, melainkan oleh kasih. Dalam Rom 8:39 ia meyakini bahwa tak ada yang bisa melepaskan dia dari kasih Allah dalam Yesus. Dalam Ef 3:18dst ia bicara dari pengalaman betapa dalam dan luasnya kasih Yesus itu. Jelas bahwa bagi Paulus pengenalan akan Kristus adalah segala-galanya. Dan pengalaman ini juga bermakna sekali bagi pengalaman pastoralnya. Ketika Paulus menguraikan pandangannya tentang Kristus dalam surat-suratnya, yang dikira merupakan kristologi, sebenarnya konteks uraian Paulus itu bukanlah mengajar siapa Yesus itu, melainkan apa konsekuensinya bagi penghayatan iman kita. Lihat David Sanders, “A Lived Christology in Paul”, dalam The Month 27(1994), hal. 475-479.
Martin/PengPB/hal 38 Misalnya, 1 Kor 1-4. Konteks uraian Paulus itu adalah problem perpecahan dalam jemaat. Ada segolongan orang yang menganggap diri milik Apolos, ada yang merasa milik Petrus, ada yang merasa milik Paulus. Tampaknya Paulus dituduh terlalu duniawi, kurang karismatis (II Kor 10:2). Paulus memberikan solusi atas problem konkret jemaat itu dengan mengingatkan jemaat akan siapakah Yesus yang mereka ikuti itu, yaitu Yesus yang tersalib! Jadi bila "isi" Injil
itu sendiri adalah Yesus yang tersalib, maka selayaknyalah "cara"
pewartaan Injil itu tak tergantung pada hikmat manusia, pada yang "wah" menurut kriteria manusiawi, melainkan pada kuasa Allah. Contoh lain adalah I Kor 15. Problem di Korintus saat itu bukanlah bahwa umat tak percaya akan kebangkitan Kristus. Umat percaya saja bahwa Yesus sudah bangkit, tapi yang tak mereka percayai adalah bahwa mereka sendiri kelak juga akan bangkit. Atau ada kemungkinan lain, mereka mengira bahwa mereka sudah termasuk orang-orang rohani berkat ikut Yesus. Paulus mengingatkan mereka bahwa kalau tak ada kebangkitan orang mati, maka Yesus juga tak bangkit. Dan kalau Ia tak bangkit maka sia-sialah iman mereka. Sedangkan kalau Ia bangkit, Ia bangkit sebagai anak sulung. Jadi yang lain akan mengalami nasib seperti Dia juga. Umat diingatkan juga bahwa tubuh jasmani yang mereka miliki sekarang bukanlah tubuh yang abadi, melainkan tubuh kebinasaan. Ada tubuh rohani, tubuh kebangkitan yang tak sama dengan yang jasmani itu. Dalam 1 Kor 11:17-33 yang terjadi adalah keserakahan umat dalam perjamuan. Yang kaya lupa akan yang miskin dan makan hidangannya sendiri. Paulus mengingatkan mereka bahwa Yesus adalah Yesus yang telah memberikan diriNya bagi semua dalam Ekaristi. Maka hendaknya umat juga berbuat seperti Yesus: rela berbagi dengan yang lain. Maka dapat dikatakan bahwa baik teologi, kristologi, maupun penyelesaian pastoral bagi Paulus itu didasarkan pada hubungan pribadi Yesus dengan Paulus, dan juga hubungan pribadi Paulus dengan jemaat. Karena itu berulang kali ia menyuruh jemaat menjadikan dia sebagai teladan yang harus ditiru: I Kor 4:15-16; 11:1 (istilah “pengikut” lebih harus diartikan sebagai “peniru”, “peneladan”, “imitator”); 1 Tes 1:6-7; 2 Tes 3:7-9; Fil 3:17; 4:9. Nyatanya, Paulus memang hanya berkata demikian pada umat di Tessalonika, Korintus dan Filipi, yaitu komunitas kristiani yang didirikan oleh Paulus sendiri. Ketiga komunitas itu adalah komunitas yang memang punya hubungan pribadi dengan Paulus. Bahkan umat di Filipi diperlakukan secara khusus, dari mereka Paulus mau menerima sumbangan (Fil 4:1516), padahal dari jemaat lain ia tidak sudi karena mau mandiri.
Martin/PengPB/hal 39 Hubungan dengan Yesus dalam kasih itulah yang membuat Paulus menilai segala sesuatu sebagai tak berarti; itu semua menjadi sampah dibandingkan dengan pengenalan akan Dia (Fil 3:8). Apakah observasi itu meneguhkan pandangan umum mengenai faham iustificatio (pembenaran) Paulus dalam konteks diskusi Katolisisme versus Protestantisme? Ketaatan pada hukum versus iman akan kasih Allah? Pertentangan itu biasa dianggap sebagai kelanjutan pertentangan antara Yudaisme, yang dengan legalisme mau berpegang pada keselamatan atas usaha sendiri (taat pada hukum), dan Paulus, yang berpegang pada kasih Allah. Sampai th. 1977, memang banyak yang berpikir dalam dikotomi seperti itu. Tapi dengan hasil studi E.P. Sanders, Paul and Palestinian Judaism, orang mulai berpikir ulang. Menurut Sanders, Yudaisme juga mendasarkan diri pada inisiatif kasih Allah (lih. Ul 7:7). Jadi ketaatan pada hukum bukanlah sekedar demi hukum itu sendiri, melainkan dalam rangka perjanjian, sebagai ungkapan tanggapan manusia atas kasih Allah. Sanders menyebut penghayatan Yudaisme seperti itu sebagai “nomisme perjanjian”. Menurut Sanders, teologi Paulus adalah “teologi partisipasi”, keselamatan diperoleh karena partisipasi pada kematian Yesus (dengan baptis). Jadi Sanders masih melihat perbedaan pokok antara Paulus dan Yudaisme. Namun, berdasarkan studi Sanders itu, Morna Hooker (ekseget wanita Inggris) menganalisa Paulus dan Yudaisme. Ia berpendapat bahwa dari sudut pola keagamaan tak ada perbedaan antara keduanya. Pada Yudaisme, ada pola keagamaan seperti ini: Panggilan Allah dan penyelamatan Israel Tanggapan Israel thd. perjanjian di Sinai Hidup dalam perjanjian, dalam ketaatan kepada Hukum
Morna melihat bahwa dalam Paulus juga ada skema seperti itu, hanya saja unsur-unsur pembentuk skema itu diganti dalam terang Kristus: Tindakan penyelamatan Allah dalam Yesus Tanggapan terhadap tindakan ini lewat baptis Hidup dalam Kristus, dalam kesesuaian dengan Roh
Martin/PengPB/hal 40
Pola tetap sama, yang berbeda adalah unsur-unsur dalam pola itu, yaitu hukum diganti dengan Roh dan perjanjian dalam Yesus. Lihat M.D. Hooker, “Paul and Covenantal Nomism”, dalam Paul and Paulinism, eds. M.D. Hooker dan S.G. Wilson, hal. 47-56.
C. Paulus dan Hukum Taurat
Pandangan umum mengenai sikap Paulus yang dianggap anti Hukum perlu diperjenih. Kalau kita selidiki ucapan-ucapan Paulus tentang “hukum Taurat” dalam surat-suratnya pastilah kita akan menjadi bingung. Bagi Paulus, ada banyak arti “hukum Taurat”: mulai dari (1) sekedar aturan/peraturan yang harus ditaati, lalu (2) kisah sejarah Israel, kesusastraan nabinabi dan kebijaksanaan (seluruh PL), dan (3) fungsi kosmis Taurat (berhub. dengan Kebijaksanaa) dalam penciptaan dan penebusan, akhirnya (4) keseluruhan kehendak Allah sebagaimana dinyatakan dalam alam semesta dan masyarakat. Paulus dalam Rom 3:31 meneguhkan hukum; dalam Rom 13:8 ia mengatakan bahwa dengan mencintai itu orang melaksanakan hukum (cf. Im 19:18), bahkan menyebut Taurat itu kudus (Rom 7:12). Tapi di samping itu kita juga sering mendapati ucapan-ucapan anti Hukum. Itu semua tergantung pada konteks masing-masing surat. Kepada umat di Galatia, Paulus sungguh keras menentang hukum Taurat, ia bahkan bilang bahwa yang hidup di bawah hukum Taurat itu terkutuk (Gal 3:10). Kepada umat di Korintus, ia setengah-setengah, ia berkata bahwa yang penting ialah menaati hukum (1 Kor 7:19). Kepada umat di Roma, ia berkata bahwa hukum Taurat adalah kudus (Roma 7:12), mengasihi berarti memenuhi Taurat (Rom 13:8). Tampaknya, Taurat menjadi tak berarti bagi Paulus, bukan karena Taurat itu sendiri jelek, tapi karena Kristus itu bagi Paulus menjadi segala-galanya (Fil 3:8). Lihat G. M. Smiga, “Preaching at Risk: Interpreting Paul’s Statements on the Law”, dalam New Theology Review, Vol. 9, Number 3, 1996, hal. 74-95 mengenai berbagai pandangan mengenai hukum. Kita akan bisa lebih memahami ide-ide Paulus kalau berangkat dari sudut pandang bahwa Taurat menjadi tak berarti karena bagi Paulus Kristus adalah segala-galanya. Paulus sendiri selalu menganjurkan agar orang menjadi peneladan dia seperti dia meneladan Yesus; jadi semua didasarkan pada hubungan pribadi ini (1 Tes 1:6-7; Fil 4:9; 1 Kor 11:1). Kalimat Paulus yang bisa dijadikan kunci adalah ketika ia mengutus Timotius kepada umat Korintus: “Ia [Timoteus] akan memperingatkan kamu akan HIDUP yang KUturuti dalam KRISTUS
Martin/PengPB/hal 41 YESUS, seperti yang kuAJARkan di mana-mana dalam setiap jemaat” (1 Kor 4:17). Yang diteruskan Paulus kepada jemaat bukanlah sekedar doktrin/ajaran tetapi Hidup, ia menambahkan “Kerajaan Allah bukan terdiri dari perkataan, tetapi dari kuasa” (1 Kor 4:20). Hanya tujuh dari surat-surat Paulus yang dianggap otentik ditulis oleh Paulus yaitu Rom, 1 Kor, 2 Kor, Gal, 1 Tes, Fil, dan Flm; ketujuh surat itu kerap disebut pula "ProtoPauline". Ada surat-surat yang diduga tidak ditulis oleh Paulus tapi oleh para muridnya selagi ia masih hidup, kerap disebut "DeuteroPauline", yaitu Kol, Ef. Sedangkan 1 Tim, 2 Tim, dan Tit dianggap sebagai "PseudoPauline", ditulis oleh orang lain setelah Paulus meninggal dunia. Tentang 2 Tes masih ada perdebatan apakah otentik Paulus atau tidak.
Martin/PengPB/hal 42 BAB ENAM INJIL
Setelah dibahas serba sedikit mengenai Paulus, maka selayaknyalah kini dibahas pula mengenai Injil. Baik surat-surat Paulus maupun Injil-injil merupakan pewartaan Injil, dalam arti Kabar Gembira. Namun baru dengan bentuk sastra seperti dalam Injil itulah "Injil" menunjuk bukan hanya "kabar gembira" tetapi juga suatu genre, jenis sastra tersendiri yang dipelopori oleh para Penginjil. Pertama-tama akan dibahas mengenai Injil-Injil Sinoptik dengan permasalahan yang ada dan kemudian serba sedikit mengenai pendekatan kritik naratif.
A. Masalah Sinoptik
Istilah “sinoptik" berasal dari bhs. Yunani “synopsis” yang dapat berarti “ikhtisar”, atau dapat pula diartikan “pemandangan secara bersama". Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada Injil Mateus, Markus dan Lukas karena ada banyak kesamaan di antara mereka bertiga bila dijajarkan bersama-sama, sedangkan Injil Yohanes jelas sekali berbeda dari ketiga Injil Sinoptik ini. Problem Sinoptik dapat dirumuskan sbb: “Bagaimanakah menerangkan kesamaan dan perbedaan antara Mt, Mk, dan Lk?”
Kesamaan: Dapat kita lihat ada kesamaan dalam hal isi, struktur dan bahasa: (1) Kesamaan dalam isi: Ketiga Injil menyampaikan perbuatan dan kata-kata Yesus dari Nazareth; bahan-bahan yang ada memuat mukjizat, perumpamaan, sabda-sabda, kejadian penting dalam hidup Yesus. Mk memuat sekitar 677 ayat, Mt 1070, Lk 1150 (Yoh 846). Ada bahan yang khas Mk (10% Injil Mk), khas Mt (30% Mt), khas Lk (50% Lk). Tradisi triplex (dimuat dalam tiga Injil Mt, Mk, Lk) sekitar 350-370 ayat; tradisi duplex: Mk=Lk (50 ayat), Mk=Mt (170-180 ayat), Mt=Lk (230 ayat).
Martin/PengPB/hal 43 (2) Kesamaan dalam struktur dasar: (cf. Kis 10:37): -Pendahuluan: Yoh. Pembaptis, baptis Yesus, pencobaan -Karya di Galilea -Perjalanan ke Yerusalem -Yerusalem -Paska Yesus (3) Kesamaan dalam bahasa: Ada kesamaan dalam hal-hal sbb.: kata dan istilah Yunani yang jarang digunakan, kutipan PL, konstruksi bahasa Yunani yang tak umum, banyak kalimat dan kelompok kalimat yang sama kata per kata.
Perbedaan: Ada juga perbedaan dalam hal isi, struktur dan bahasa (1) Perbedaaan dalam isi: Ada bahan-bahan yang khas masing-masing penginjil; meskipun ceritera sama tetapi detail berbeda, mis. doa Bapa Kami dalam Mt 6:9-13 dan Lk 11:2-4, Sabda Bahagia Mt 5:1-12 (di Bukit) dan Lk 6:20-23 (di Tempat Datar); tema sama tetapi panjang kisahnya berbeda, mis. perjalanan ke Yerusalem (Mk 1 bab: Mk 10; Mt 2 bab: Mt 19-20; Lk 11 bab: Lk 9-19). (2) Perbedaan dalam struktur: Mt dan Lk mulai dengan kisah kanak-kanak Yesus; kisah-kisah atau sabda-sabda yang sama disusun dan dikelompokkan secara berbeda-beda; urutan berbeda dalam kisah yang sama (mis. percobaan di padang gurun, kisah penampakan). (3) Perbedaan dalam bahasa: Bahasa Yunani Mk lebih kasar dan sederhana; Mt dan Lk lebih halus dan kerap memperbaiki tata bahasa Mk.
B. Usaha-usaha pemecahan masalah Sinoptik
Secara ringkas dapat dilihat adanya dua kecenderungan dasar dalam memecahkan permasalahan sinoptik, yaitu mereka yang berpendapat:
1. Tak ada ketergantungan literer antar penginjil: Masing-masing penginjil dianggap bekerja sendiri-sendiri, tak kenal satu sama lain. Ada berbagai pendapat lagi: (1) Bersumber pada satu Injil Asali (Urevangelium): Hipotesa ini diajukan oleh G.E. Lessing (1729-1781) dan dikukuhkan oleh JG. Eichhorn (1752-1827). Mereka bilang ada satu Injil asali, dalam bahasa Aram, lalu diterjemahkan ke dalam bhs. Yunani oleh masingmasing penginjil secara independen setelah lewat proses revisi berulang-ulang. Jadi pendapat
Martin/PengPB/hal 44 ini dengan tepat mengakui adanya proses panjang dan kompleks sebelum sampai pada Injil yang kita kenal sekarang, namun sayang tak bisa menerangkan adanya kesamaan kata per kata dalam bhs. Yunani antar Penginjil. (2) Bersumber pada narrasi segmentaris:
Pendapat ini dicetuskan oleh F
Schleiermacher (1768-1834). Ia bilang, dalam zaman para rasul beredar banyak kisah individual (narratif, segmentaris). Masing-masing penginjil bekerja secara independen memilih, mengumpulkan dan menyusun bahan-bahan tersebut seturut ide masing-masing. Jadi diakui adanya proses penyusunan dan peranan pokok masing-masing penginjil, namun sayang tak bisa menjelaskan adanya kesamaan struktur yang mencolok antara Injil-injil Sinoptik. (3) Bersumber pada satu tradisi lisan: Ini dikemukakan oleh J.G. von Herder (17441803) dan J.K.L Gieseler (1792-1854). Mereka bilang, ada satu tradisi lisan dengan bagan tetap: karya, ajaran, penderitaan-wafat-kebangkitan Yesus. Kemudian dari bahasa Aram diterjemahkan ke bhs. Yunani dan disesuaikan dengan kebutuhan setepat: masing-masing penginjil memilih dan menyusun secara independen. Gieseler berpendapat ada tiga sumber lisan di balik Sinoptik. Jadi hipotesa ini mengenali peranan penting tradisi lisan dalam penyusunan Injil, namun sayang tak bisa memecahkan problem Sinoptik tanpa mengakui bahwa ada ketergantungan literer antar penginjil.
2. Ada ketergantungan literer antar penginjil: Bukan hanya dalam tradisi lisan, melainkan juga tertulis. Pendapat yang ada dapat dibagi seturut Injil mana yang diprioritaskan. (1) Prioritas Mateus: Prioritas Mt sudah dianut sejak awal gereja, karena itu Mt diletakkan sebelum Mk dan Lk dalam kanon PB. St. Agustinus mengajukan hipotesa: Mk merupakan ringkasan Mt, Lk bergantung pada Mt dan Mk (Mt--->Mk--->Lk). Ini merupakan pandangan tradisional yang didasarkan pada kesaksian Papias (Uskup Hierapolis, Asia kecil, abad ke-2) bahwa Mt menyusun sabda-sabda Yesus dalam bhs. Aram, dan tiap-tiap orang telah menerjemahkannya seturut kemampuannya. Di kalangan Protestan modern pun muncul pandangan ini, lih. W.R. Farmer ttg. problem Sinoptik (1964).
Ada
berbagai
versi
pendapat ini:(a) Hipotesa Griesbach (Mt--->Mk<---Lk): Mk mengambil bahan-bahan baik dari Mt dan dari Lk. Hipotesa ini dihidupkan kembali dalam komentar modern thd. Mk (C.S. Mann, dalam seri The Anchor Bible, 1986). (b) Hipotesa Vaganay (1954): dianut oleh Kitab Suci PB dengan Pengantar dan Catatan (hal. 9-15) yang merupakan terjemahan pengantar
Martin/PengPB/hal 45 dan catatan pada Jerusalem Bible. Injil Mt Aram diterjemahkan ke dalam bhs. Yunani (MtGreek); lalu ada sumber lain berisi ajaran dan Sabda Yesus (S) dalam bhs. Aram yang kemudian diterjemahkan kedalam bhs. Yunani (Sgreek) (Tapi: berbeda dari Quelle). Mk pakai MtGreek dan tradisi dari Petrus; Mt kanonik (dalam kanon PB) pakai MtGreek, Mk dan Sgreek dan sumber Petrus; Lk pakai Mgreek, Mk, Sgreek dan beberapa elemen dari sumber lisan. (2) Prioritas Markus (Hipotesa dua sumber): Pendapat ini pertama kali dicetuskan oleh G.C. Storr (1746-1805) lalu pada tahun 1835 dikokohkan oleh pengamatan K. Lachmann (1793-1851). ada kesamaan bahan narratif antara Mt dan Lk sejauh mereka tak menyimpang dari Mk (Lk//Mt = Mk, letak bahan sama); namun bila Mt dan Lk menyimpang dari Mk, maka ada perbedaan antara Mt dan Lk dalam pengaturan bahan dan ungkapan (Lk#Mt # Mk letak bahan tersebar). Pada tahun 1832 untuk pertama kalinya Schleiermacher mencetuskan ide tentang Q (Quelle=sumber) yang berisi ajaran-ajaran Yesus (dianggap sama dengan yang disebut oleh Papias sebagai kumpulan Mt Aram). Lachmann mengusulkan: Mt menambahkan bahan-bahan dari sumber tentang ajaran Yeus (logia) ke dalam kerangka Mk. J. Holtzmann (1832-1910) mengembangkan pendapat-pendapat ini menjadi Hipotesa Dua Sumber (1863). Yang dimaksudkan dengan dua sumber adalah Mk dan Quelle: Mt dan Lk secara independen memakai Mk dan Q ditambah dengan bahan-bahan khas Mt dan Lk sendiri. (3) Prioritas Lukas: Lukas pun tak kurang pendukung, mis. R.L. Lindsay (The Synoptic Problem. A Critical Analysis, 1965); namun posisi ini tak banyak dianut orang. Orang tak perlu bingung menghadapi macam-macam pendapat ini. Keberanekaan pendapat di atas disajikan agar jelas bahwa masalahnya tak sesederhana seperti kerap kita duga. Pada umumnya prioritas Mk diakui oleh para ahli tafsir, bukan karena ada kepastian teguh akan hal itu, melainkan karena dianggap lebih dapat menerangkan problem-problem yang muncul sehubungan dengan Injil-injil Sinoptik. Namun hal ini tak dapat dibuktikan secara definitif. Tak jelas apakah ada saling ketergantungan literer antara Mt dan Lk; ketergantungan Lk pada Mk pada umumnya dapat diterima, ketergantungan Mt pada Mk dapat dipertahankan asal saja diingat bahwa ini bukanlah pendapat yang mutlak benar. Lihat W. Marxsen, Pengantar PB, bag. 10 “Masalah Sinoptis”, hal. 132 dst.; F. Gast, “Synoptic Problem” dalam The Jerome Biblical Commentary; B.F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar (1982).
Martin/PengPB/hal 46
C. Pendekatan naratif terhadap Injil
Sejak tahun 1970an berkembang pesat salah satu metode tafsir KS, yaitu kritik naratif. Kritik naratif ini melengkapi metode historis-kritis yang selama ini diterapkan pada studi KS. Di bawah ini diuraikan beberapa ciri dasar kritik naratif KS.
(a) Memahami teks sebagai “jendela” dan “cermin”: Selama ini kita mencoba memakai teks sebagai jendela ke masa lalu. Lewat teks KS kita mau melihat dunia sosial-historis di balik jendela itu. Misalnya lewat surat ke Filemon kita mengenal dunia sosial abad pertama di Asia Kecil: ada tuan dan ada budak. Usaha lain yang tak boleh dilupakan adalah memakai teks sebagai cermin untuk memahami masa kini kita sendiri. Lewat teks kita menjadi lebih kenal dunia kita sendiri. Kedua pendekatan ini tentu saling melengkapi. Kuliah pengantar PB bergerak pada umumnya dengan memakai pendekatan pertama; tapi kalau hanya ini, maka tentulah tak cukup karena kita ingin tahu juga makna suatu teks KS bagi masa kini. Kita ingin lebih mengenal masa kini kita dengan segala permasalahannya berdasarkan terang KS.
b) Perhatian pada keseluruhan unsur kisah: Dalam pendekatan ini perhatian diberikan kepada segala unsur cerita: tempat, waktu, tokoh-tokoh, interaksi antar tokoh, tindakan tokoh-tokoh dll. Misalnya dalam perumpamaan tentang talenta. Pendekatan moralistis umum selalu terpusat pada hamba yang jahat. Dan talenta diartikan sebagai bakat-bakat manusiawi kita. Atau kadang pesan bahwa yang penting bukan banyak sedikitnya talenta yang diterima, tetapi bagaimana itu diperkembangkan. Perhatian pada teks secara lebih teliti akan membuka aspek-aspek lain. Sang majikan ternyata bukanlah tuan yang kejam dan serakah seperti kesan yang muncul, melainkan orang yang murah hati luar biasa (satu talenta = 1000 US$) dan amat percaya kepada hambahambanya. Hamba yang jahat mengalami nasib yang buruk karena pikiran atau prasangka buruknya. Jawaban tuan atas perkiraan hambanya bahwa ia kejam dan serakah bukanlah suatu pengakuan atau pembenaran melainkan pertanyaan sinis: “Oh jadi kamu sudah kenal siapa aku, menurut kamu aku ini kejam dan serakah, baiklah aku akan bertindak seturut dugaanmu itu” (Lk melaporkan jawaban tuan itu sbb.: “Aku akan menghakimi kamu menurut perkataanmu sendiri”).
Martin/PengPB/hal 47 Dengan demikian, talenta lebih dapat dipahami sebagai tawaran KerajaanNya atau tawaran cintanya. Talenta diberikan sesuai kesanggupan masing-masing hamba. Ini berarti masing-masing hamba menerima tawaran itu seturut kemampuannya untuk menerima, menghargai dan membalas tawaran cinta itu. Kalau kemampuan menerima dan membalas cinta sedikit, maka ya hanya menerima sedikit saja; dan lama-lama akan hilang sama sekali. Sebaliknya, seperti hamba kesatu dan kedua yang tak punya prasangka apa-apa, dalam arti kemampuan menerima dan membalas cintanya itu besar, maka memang akan diberikan lagi secara berlimpah-limpah.
c) Penting membaca suatu kisah berulang-ulang: Membaca suatu kisah satu kali saja tak cukup. Kalau begitu kita hanya akan jatuh dalam tafsiran umum tentang teks itu yang pada umumnya sudah kita kenal. Perlulah kisah itu dibaca berulang-ulang sehingga nuansa-nuansa yang ada, makna-makna tersembunyi, yang tadinya dalam pembacaan biasa tak kelihatan, akan segera muncul dan memperkaya pemahaman kita atas kisah itu.
d) Plot (alur) kisah sebagai suatu konfigurasi: Menarik sekali mengamati bagaimana penghayatan pembaca terhadap kisah, penonton terhadap drama/tragedi Yunani atau wayang. Orang mengalami proses katharsis (pemurnian, pembersihan) dalam hal emosi-emosi yang negatif selama membaca atau menonton. Orang tak bertanya apa kisah itu sungguh terjadi (minat historis) tapi bertanya apa makna kisah itu (minat eksistensial), atau malahan tak bertanya sama sekali dan hanya ikut, larut, hanyut dalam kisah, dan justru dengan demikian setelah kisah itu selesai dibaca atau ditonton, si pembaca atau penonton tanpa sadar telah berubah sikap, kepribadian, tingkah laku dan wawasan hidupnya. Lewat identifikasi dengan tokoh cerita, si pembaca/penonton akan mengalami betapa diri dan hidupnya diubah juga. Paul Ricoeur (Time and Narrative) bicara tentang “Prefigured Time” (waktu atau hidup sebelum/ di luar teks), “Configured Time” (waktu atau hidup di dalam teks), “Refigured Time” (waktu atau hidup yang diambil alih oleh pembaca). Misal dalam kehidupan nyata, kejadian berlangsung berurutan A--->B--->C---->D. Namun dalam kisah, urutan waktu itu dikonfigurasikan lewat plot (alur) kisah menjadi: D--->C--->B---->A, atau bisa juga D--->A--->C--->B. Masing-masing konfigurasi ini punya dampak tertentu pada diri pembaca. Ini baru dari segi urutan waktu. Dari segi lain pun terjadilah proses konfigurasi.
Martin/PengPB/hal 48 Dalam arti itu Waktu sebelum/di luar teks diendapkan dalam teks lewat alur cerita dan diambil alih oleh pembaca dan diterapkan dalam kehidupannya. Boleh dibilang Waktu sebelum teks, dikandung dalam teks, dan ditransfigurasikan oleh pembaca dalam diri dan kehidupannya. Dalam konteks ini maka Yoh 20:30-31 dapat dipahami. Dari sekian banyak tanda yang dikerjakan Yesus (prefigured time) dipilih dan disusun dan dikisahkan dalam Injil Yoh beberapa tanda saja (configured time), namun lewat itu pembaca diharapkan sampai pada iman akan Yesus dan dengan demikian sampai pada hidup (refigured / transfigured time). Inilah sebetulnya tujuan tiap Injil, bukan sekedar bercerita tentang Yesus dari segi historis, melainkan juga membawa kepada pengalaman dan pengenalan akan Yesus yang bangkit dari mati dan terus hidup bersama para pembaca, dan lewat pengalaman ini "hidup lama" pembaca diubah ke "hidup baru". Hasil kritik naratif yang berguna dalam tafsir KS adalah kesadaran bahwa ada Tiga Dunia, yaitu Dunia Pengarang, Dunia Tekstual, dan Dunia Pembaca. Dalam pendekatan historis kritis diandaikan begitu saja bahwa Dunia Tekstual itu identik dengan Dunia Pengarang, sehingga dari hal-hal yang ditemukan dalam Dunia Tekstual disimpulkan begitu saja bahwa memang demikianlah halnya dalam Dunia Pengarang. Padahal dengan kritik naratif makin jelas bahwa Dunia Tekstual itu benar-benar merupakan hasil rekonstruksi pengarang yang bukan merupakan "jiplakan persis" Dunia Pengarang. Dengan kritik naratif makin disadari pula bahwa makna Dunia Tekstual itu tergantung pula pada Dunia Pembaca. Karena itu kini orang berhati-hati dalam menyimpulkan mis., karena dalam Injil disebutkan demikian (mis. "orang Farisi itu munafik, legalistis dll"), maka pastilah demikian pula kenyataannya dalam zaman Yesus dahulu itu. Maka penting mendalami juga teori-teori yang ada sehubungan dengan pendekatan narasi. Bisa dibaca misalnya artikel-artikel menarik dalam majalah terbitan Universitas Kristen Dutawacana, GEMA No. 41 (1991) dan No. 46 (1993) yang menyoroti metode eksegese narasi dan teologi narasi. Lihat juga M. Suhartono, Kasih dalam Kisah dan Kisah dalam Kasih: Dialog antara teori naratif dan narasi Alkitab, Seri Puskat 363, Yogyakarta: LPKP, 1999; Idem, "Mengadili Ekseget", dalam Orientasi Baru 10 (1997), hlm. 11-23. Buku yang dianggap pionir dalam penerapan kritik naratif terhadap Injil adalah buku dari David Rhoads and Donald Michie, Mark as Story: An Introduction to the Narrative of a Gospel (Minneapolis: Fortress Press, 1982); terj. Indonesia: Injil Markus sebagai Cerita. Berkenalan dengan Narasi Salah Satu Injil (Jakarta: BPK, 1995). Di situ dijelaskan
Martin/PengPB/hal 49 bagaimana elemen-elemen naratif seperti "plot", "tokoh", "latar", "retorika" diolah oleh penulis Injil Markus. Pendekatan historis kritis kerapkali memecah-mecah teks KS menjadi mana yang dianggap teks "asli", mana yang berasal dari hasil pengolahan seorang redaktur, mana yang tambahan belaka. Karena itu makna keseluruhan kisah KS itu kerap malah menjadi kabur. Pendekatan kritik naratif bermaksud mengembalikan keutuhan makna suatu teks dengan memperhatikan teks akhir yang de facto kita miliki sekarang ini dalam KS, tanpa mempersoalkan manakah yang asli, mana yang kurang asli, mana yang "keturunan" dll.
Martin/PengPB/hal 50 PENUTUP
Demikianlah telah diuraikan serba sedikit mengenai teks Kitab Suci Perjanjian Baru. Uraian di atas hanyalah bersifat sebagai pengantar. Karena dimaksudkan untuk mengantar, maka tentu saja pengantar ini baru berguna jikalau diikuti dengan kontak langsung terhadap teks KS PB itu sendiri. Tanpa kontak langsung ini, pengantar ini tak ada artinya apa-apa. Tak semua yang disampaikan di atas dibahas di dalam ruang kuliah karena kesempatan kuliah selama ini banyak digunakan untuk diskusi kelompok dalam rangka mendalami teks-teks PB tertentu. Lewat diskusi terhadap teks-teks itulah mahasiswa/i dibawa kepada permasalahan yang dibahas dalam pengantar ini. Untuk pengantar masing-masing tulisan KS PB lihat Raymond E. Brown, An Introduction to the New Testament (New York et al: Doubleday, 1997).