REFERAT HALAMAN SAMPUL
KARSINOMA HEPATOSELULAR Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh Nurul Attikah Zain 20100310120 Diajukan Kepada : dr. Hj. Arlyn Yuanita, M.Kes, Sp.PD
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD SETJONEGORO WONOSOBO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014 HALAMAN PENGESAHAN REFERAT
KARSINOMA HEPATOSELULAR
Disusun Oleh: Nurul Attikah Zain 20100310120
Disetujui oleh: Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
dr. Hj. Arlyn Yuanita, M.Kes., Sp.PD
2
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang berkat rahmat dan hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan mini referat yang berjudul “Karsinoma Hepatoselular” sebagai syarat mengikuti ujian akhir program pendidikan profesi kedokteran di bagian Ilmu Penyakit Dalam. Dalam penyusunan mini referat ini telah melibatkan banyak pihak, sehingga penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. dr. Hj. Arlyn Yuanita, M.Kes., Sp.PD selaku dokter pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing dalam menjalani stase Ilmu Penyakit Dalam serta dalam penyusunan mini referat ini. 2. dr. H. Suprapto, Sp.PD atas bimbingan dan bantuanya selama menjalani kepanitraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Setjonegoro Wonosobo. 3. dr. Widhi Prassidhasunu, Sp.PD atas bimbingan dan bantuanya selama menjalani kepanitraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Setjonegoro Wonosobo. 4. Rekan-rekan Co-Assistensi dan Perawat Bangsal Cempaka atas bantuan dan kerjasamanya. Penulis berharap bahwa mini referat ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Wonosobo, 22 September 2014 Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
i
HALAMAN PENGESAHAN
ii
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
1
PENDAHULUAN
1
A.
LATAR BELAKANG
1
B.
TUJUAN PENULISAN
1
C.
MANFAAT PENULISAN
2
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
3
D.
Definisi
3
B.
Faktor Resiko KHS
3
C.
Patofisiologi KHS
7
D.
Penegakan diagnosis KHS
8
E.
Terapi KHS
F. Prognosis KHS
13 16
BAB IV
17
KESIMPULAN
17
BAB V
18
DAFTAR PUSTAKA
18
4
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salah satu masalah utama kesehatan di dunia adalah kanker. Diagnosis kanker yang paling sering ditemukan di masyarakat antara lain ialah kanker paru, payudara dan kolorektal, sedangkan kanker yang paling sering menimbulkan kematian ialah kanker paru, gaster, dan hati.1 Karsinoma hepatoselular (KHS) merupakan tumor ganas primer hati terbanyak (80%) dan menduduki urutan kelima kanker di dunia (tumor ganas hati primer lainnya ialah kolangiokarsinoma, sarkoma, mesenkimoma, sarkoma mesenkimoma, dan hemangioendotelioma infantil. KHS diperkirakan mencapai 5% dari seluruh keganasan dengan 500.000 kasus per tahun. Angka kejadian KHS ini bergantung pada faktor sosioekonomi dan lebih banyak pada laki daripada perempuan dengan perbandingan 4:1. Insidennya bervariasi menurut area geografis karena adanya perbedaan faktor penyebab utama dan diperkirakan akan terus bertambah dalam tahun-tahun mendatang baik di Asia dan Amerika. KHS terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di Indonesia, khususnya Jakarta, KHS paling banyak ditemukan pada pasien berusia 50 hingga 60 tahun.2 Majunya perkembangan teknologi serta riset mengenai kanker dalam beberapa waktu terakhir telah meningkatkan modalitas terapi yang memberikan harapan untuk sekurang-kurangnya perbaikan pada kualitas hidup pasien.3
B. TUJUAN PENULISAN 1. Tujuan Umum Referat ini diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat dalam mengikuti pendidikan profesi dokter dibagian Ilmu Penyakit Dalam. 2. Tujuan Khusus Untuk mengetahui lebih lanjut tentang karsinoma hepatoselular secara komprehensif sehingga tepat dalam pemberian terapi, menyelamatkan jiwa pasien, dan meningkatkan derajat kesehatan.
1
C. MANFAAT PENULISAN Referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca dalam memahami karsinoma hepatoselular, mulai dari diagnosis, terapi, dan prognosis karsinoma hepatoselular.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Definisi Kanker didefinisikan sebagai suatu pertumbuhan sel yang yang tidak teratur serta merupakan suatu invasi atau metastasis jaringan. Nama lain kanker adalah neoplasma. Fenotip ganas pada kanker sering membutuhkan mutasi pada gen berbeda yang dapat mengatur proliferasi sel. Mutasi yang menyebabkan kanker akan mengaktifkan jaringan transduksi sinyal sehingga menimbulkan penyimpangan proliferasi sel dan gangguan diferensiasi sel.3 Sel normal mempunyai suatu mekanisme perlindungan, dimana ketika sel normal rusak, maka sel akan mengaktifkan suicide pathway untuk mencegah kerusakan pada organ. Pada sel kanker, mekanisme ini tidak terjadi, sehingga sel rusak tidak mengalami apoptosis dalam jangka waktu yang lama.3 Tumor hati dapat bersifat jinak atau ganas. Tumor ganas hati, yang lebih banyak didapati daripada tumor jinak, sendiri dibagi menjadi tumor primer dan sekunder, yang primer yakni karsinoma hepatoselular (KHS) berasal dari sel hepatosit dan yang berasal dari sel epitel bilier disebut kolangiokarsinoma (KK), sedangkan yang sekunder disebabkan oleh metastase tumor ganas organ lain. Tumor ganas hati primer berasal dari sel embrional disebut hepatoblastoma dan sering ditemukan pada anak-anak. Sebanyak 85% keganasan pada hati ialah KHS, sedangkan
sisanya
merupakan
Cholangiocarcinoma
(CC)
dan
sistoadenokarsinoma, dan yang lain.3,4
A Faktor Resiko KHS Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya KHS, antara lain infeksi virus hepatitis, sirosis hati, paparan karsinogen kimia, obesitas, diabetes mellitus (DM), pecandu alkohol.3, 5, 6
Tabel 1. Faktor Resiko Karsinoma Hepatoseluler.3 3
1. 2. 3. 4. 5.
Tersering Sirosis hati dari penyebab apapun Infeksi kronis hepatitis B atau C Konsumsi etanol kronis Non-Alkohol steatohepatitis (NASH) Aflatoksin B1 atau mikotoksin lain
1. 2. 3. 4.
Jarang Sirosis bilier primer Hemochromatosis Defisiensi antitrypsin α-1 Non-Alkohol steatohepatitis (NASH)
5. 6. 7. 8.
penyakit penyimpanan glikogen Citrullinemia Porfiria cutanea tarda Keturunan tyrosinemia Wilson's Disease
1. Infeksi Virus Hepatitis Penelitian cose control dan cohort menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tingkat carrier hepatitis B kronis dengan peningkatan kejadian KHS. Pada orang Taiwan, carier laki-laki yang mempunyai antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) positif memiliki resiko 98 kali lipat lebih besar untuk menjadi KHS dibandingkan individu dengan HbsAg-negatif. Kejadian KHS pada orang pribumi di Alaska meningkat secara nyata berhubungan dengan prevalensi infeksi virus hepatitis B (HBV) yang tinggi.6 KHS yang disebabkan oleh HBV tidak selalu bermula dari sirosis hati. Karsinogenitas HBV terhadap hati disebabkan proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi sel HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu dan aktivitas protein spesifik HBV yang berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh kompensasi proliferatif sebagai respon nekroinflamasi sel hati. Proliferasi sel juga dapat dipicu oleh ekspresi berlebihan dari suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV. 6 KHS pada orang kulit hitam di Afrika tidak berhubungan dengan sirosis hati, namun KHS pada ras Afrika memiliki diferensiasi buruk dan bersifat sangat agresif. Peningkatan angka insidensi KHS di Jepang dalam tiga dekade terakhir diperkirakan disebabkan oleh hepatitis C. Antibodi terhadap HCV telah ditemukan sebanyak 76% dari pasien dengan KHS di Jepang, Italia, dan Spanyol dan 36% di Amerika Serikat. Berbeda dengan KHS disebakan oleh HCV, KHS jarang terjadi
4
pada carier HBV sebelum terjadi sirosis hati. KHS yang disebabkan oleh HCV cenderung lebih cepat berkembang menjadi sirosis dibandingkan dengan HBV.2, 7 2. Sirosis Hati Sirosis hati merupakan faktor resiko utama KHS di dunia dan melatarbelakangi lebih dari 80% kasus KHS. Setiap tahun tiga sampai lima persen dari pasien sirosis hati akan menderita KHS, dan KHS merupakan penyebab kematian pada sirosis hati. Prediktor utama KHS pada SH adalah jenis kelamin laki-laki, peningkatan alfa feto protein (AFP) serum, beratnya penyakit dan tingginya aktivitas proliferasi sel hati.3 3. Karsinogen Kimia Karsinogen kimia alami yang paling kuat berasal dari tumbuhan, jamur, dan bakteri, seperti pohon-pohon semak yang mengandung alkaloid pyrrollizidine serta asam tannic dan safrol. Polutan seperti pestisida dan insektisida dikenal karsinogen binatang pengerat.3 Kasinogen yang berasal dari jamur Aspergillus, disebut aflatoksin B1. Produk aflatoksin dapat ditemukan dalam biji-bijian yang disimpan di tempat yang panas, tempat-tempat lembab, kacang dan nasi disimpan tidak dalam lemari es. Kontaminasi aflatoksin bahan pangan berkorelasi baik dengan tingkat insidensi di Afrika dan China. Pada daerah endemik di Cina, bahkan hewan ternak seperti bebek telah mengidap KHS. Berdasarkan percobaan pada binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Metabolit AFB1 1-2-3- epoksid merupakan karsinogen utama dari kelompok utama aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu mekanisme karsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1 menginduksi mutasi pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53.3, 8 4. Obesitas Suatu penelitian kohort prospektif pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat dengan masa pengamatan selama 16 tahun menunjukkan adanya peningkatan angka mortalitas sebesar lima kali akibat kanker hati pada kelompok
5
individu dengan berat badan tertinggi (Indeks Massa Tubuh (IMT) : 35-40 Kg/m 2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Obesitas merupakan faktor resiko utama untuk non-alchoholic fatty liver disease (NAFLD), khususnya non alchoholic steatohepatis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian dapat berlanjut menjadi KHS.3 5. Diabetes Mellitus (DM) DM merupakan faktor resiko penyakit hati kronik maupun untuk KHS melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatis non alkoholik (NASH). DM juga dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker.5 6. Alkohol Pada dasarnya alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenic, namun peminum berat alkohol (>50-70 g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita KHS melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan KHS pada pengidap infeksi HBV atau HCV. Pada sirosis alkoholik terjadinya KHS juga meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg-positif atau anti HCV-positif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV maupun infeksi HCV. Efek hepatotoksik alkohol bersifat dose-dependent, sehingga asupan sedikit alkohol tidak meningkatkan resiko terjadinya KHS.3
D. Patofisiologi KHS Mekanisme
karsinogenesis
KHS
belum
sepenuhnya
diketahui.
Transformasi maligna hepatosit dapat terjadi melalui peningkatan turnover sel hati yang diinduksi oleh cedera (injury) dan regenerasi kronik dalam bentuk inflamasi dan kerusakan oksidatif DNA. Hal ini dapat menimbulkan perubahan genetik seperti perubahan kromosom, aktivasi onkogen selular, inaktivasi gen supresor tumor, aktivasi telomerase, serta induksi faktor-faktor pertumbuhan maupun angiogenik. Hepatitis virus kronis, alkohol dan penyakit metabolik seperti hemokromatosis dan defisiensi antitrypsin-alfa 1 berpotensi menginflamasi sel 6
hati
kemudian
berkembang
menjadi
sirosis
hati
yang
pada
akhirnya
bertransformasi menjadi KHS.3, 4, 8 Selama masa hidupnya, sel normal sering terpapar dengan berbagai tekanan (stress) endogen maupun eksogen yang dapat menyebabkan mutasi dan mengarah ke pembentukan neoplasma. Gen p53 merupakan suatu gen supresor tumor yang berfungsi menghentikan siklus G1 checkpoint dan G2 checkpoint dengan menghambat CDK (Cyclin D Kinase) serta menginduksi proses apoptosis yang diatur secara negatif oleh mekanisme umpan balik.4 Mekanisme umpan balik yang ada pada sel normal tidak terjadi pada KHS dikarenakan inaktivasi p53 yang disebabkan oleh kelainan kromosom, mutasi genetik dan kerusakan DNA.4 Infeksi HBV dihubungkan dengan kelainan di kromosom 17 maupun di lokasi yang berdekatan dengan gen p53. Pada kasus KHS, lokasi integrasi HBV DNA di dalam kromosom sangat bervariasi, oleh karena itu, HBV mungkin berperan sebagai agen mutagenik insersional non selektif. Integrasi dapat menyebabkan terjadinya beberapa perubahan dan selanjutnya mengakibatkan proses translokasi, duplikasi terbalik, delesi dan rekombinan. Semua perubahan ini dapat berakibat hilangnya gen-gen supresi tumor maupun gen-gen seluler penting lain. Dengan analisis Southern Blot, sekuen HBV yang telah terintegrasi ditemukan di dalam jaringan tumor, namun tidak ditemukan di luar jaringan tumor. Produk gen X, lazim disebut HBx, dapat berfungsi sebagai transaktivator transkripsional dari berbagai gen seluler yang berhubungan dengan kontrol pertumbuhan. Sehingga dapat memunculkan hipotesis bahwa HBx mungkin terlibat pada hepatokarsinogenesis oleh HBV.6 Di wilayah endemik HBV ditemukan hubungan yang bersifat dosedependent antara pajanan AFB1 dalam diet dengan mutasi pada kodon 249 dari p53. Mutasi ini spesifik untuk KHS dan tidak memerlukan integrasi HBV ke dalam DNA tumor. Mutasi gen p53 terjadi pada sekitar 30% kasus KHS di dunia, dengan frekuensi dan tipe mutasi yang berbeda menurut wilayah geografik dan etiologi tumornya.6 Infeksi kronik HCV dapat berujung pada KHS setelah berlangsung puluhan tahun dan umumnya didahului oleh terjadinya sirosis. Hal ini
7
menunjukkan bahwa KHS dapat terjadi melalui proses inflamasi hati kronik yang diikuti oleh regenerasi dan sirosis akibat infeksi HCV.6 Metastasis intrahepatik KHS dapat melalui pembuluh darah, saluran limfe atau infiltrasi langsung. Metastasis ekstrahepatik dapat melibatkan vena hepatika, vena porta atau vena kava. Pada beberapa kasus dapat terjadi metastasis pada varises oesophagus dan paru. Metastasis sistemik tersering ialah ke kelenjar limfoid hingga mediastinum. Bila metastasis sampai di peritoneum, dapat menimbulkan asites hemoragik, yang berarti sudah memasuki stadium terminal.8
E. Penegakan diagnosis KHS Gambaran umum karsinoma hepatoselular beragam, dapat tidak bergejala hingga adanya gejala berat berupa nyeri hebat dengan atau tanpa hepatomegali, gejala gagal faal hati, perdarahan varises, asites hemoragik, perdarahan intraperitoneal mendadak tanpa trauma, akut abdomen mendadak, syok hipovolemik, dan metastasis jauh di tempat lain dengan atau tanpa gejala klinis.3, 9 Timbulnya KHS sering tidak terduga sampai terjadi penurunan kondisi pada pasien sirosis yang sebelumnya stabil. 3,9 Gejala klinis KHS antara lain cachexia, nyeri perut, penurunan berat badan, kelemahan, abdominal fullness, asites, penyakit kuning, dan mual seringkali menyebabkan kesalahan diagnosis.3 Perut bengkak dan perdarahan intra abdomen menunjukkan adanya trombosis vena porta akibat tumor atau pendarahan dari tumor nekrotik. Asites disebabkan oleh penyakit hati kronis yang mendasarinya atau dikarenakan tumor berkembang dengan pesat. Nekrosis atau perdarahan akut ke dalam rongga peritoneum dapat menyebabkan kematian. Pada negara yang memiliki program surveilans aktif, KHS cenderung diidentifikasi sedini mungkin. Ikterus dapat terjadi karena gangguan pada saluran intrahepatik oleh penyakit hati yang mendasarinya,
sedangkan
hematemesis
disebabkan
oleh
adanya
varises
oesophagus akibat hipertensi portal. Nyeri tulang terlihat pada 3-12% pasien, namun pada beberapa pasien mungkin dapat tidak menunjukkan gejala yang berarti.3, 8, 9
8
Tabel 2. Gejala dan tanda klinis karsinoma hepatoselular menurut Flickinger.3 Gejala Nyeri abdomen Masa abdomen Penurunan berat badan Lemah Penurunan nafsu makan dan rasa penuh Muntah Ikterus Tanda Klinis Hepatomegali Splenomegali Asites Ikterus Febris Bising hati (hepatic bruit)
Insiden% 91 43 35 31 27 8 7 89 65 52 41 38 28
Penegakkan diagnosis KHS memerlukan pemeriksaan klinis, laboratorium, pencitraan, seperti ultrasonografi dan angiografi, dan petanda tumor, seperti alfafetoprotein (AFP). Mengingat hubungan yang erat antara karsinoma hepatoselular, hepatitis B dan C, dan sirosis, diperlukan pemeriksaan rutin untuk mencari karsinoma hepatoselular pada fase dini. Akan tetapi karsinoma hepatoselular jarang ditemukan pada tahap dini.6, 9 Gambar 1. Diagnosis KHS6 Karsinoma hepatoselular jarang ditemukan pada tahap dini karena : 1. Pertumbuhan cepat dengan waktu ganda sel 10 hari 2. Gejala dan tanda tidak nyata karena tumor tersembunyi di 3. 4. 5. 6. 7. 8.
dalam hati Tidak menyebabkan gangguan faal hati Penyebaran intrahepatik Perkembangan intrahepatik Perkembangan multifokal Penyebaran ekstrahepatik agak lambat Tanda biokimia sama-samar dan tidak khas
9
1. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya pembesaran hati (hepatomegali) dengan massa yang dapat di palpasi. Studi epidemiologi di Afrika menunjukkan presentasi khas pada pasien muda berupa massa yang berkembang pesat intra abdomen. Hepatomegali adalah tanda dari pemeriksaan fisik yang paling umum, terjadi pada 50-90% pasien. Bruit ditemukan pada 6-25% pasien sedangkan asites terjadi pada 30-60% pasien. Bruit pada tumor atau friction rub dapat terdengar melalui auskultasi ketika prosesnya telah meluas ke permukaan hati. Splenomegali disebabkan karena hipertensi portal. Weight loss dan penurunan massa otot disebabkan oleh tumor yang tumbuh dengan cepat. Demam ditemukan pada 10-50% pasien, dari penyebab yang tidak jelas. Tanda-tanda penyakit hati kronis dapat ditemukan, seperti ikterus, dilatasi vena abdomen, eritema palmar, ginekomastia, atrofi testis, dan edema perifer.3 KHS yang kecil dapat dideteksi lebih awal dengan pendekatan radiologi yang akurasinya 70 – 95% dan melalui tumor marker alphafetoprotein yang akurasinya 60 – 70%.9 Kriteria diagnosa KHS menurut PPHI Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia), yaitu : 1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri. 2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 500 mg per ml. 3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya KHS. 4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya KHS. 5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan KHS. Diagnosa KHS didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.9 2. Pemeriksaan Penunjang a. Penanda Tumor Alfa-fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal, sel yolk sac dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal.
10
Rentang normal AFP serum adalah 0-20 ng/ml. Kadar AFP meningkat pada 60% -70% dari pasien KHS, dan kadar lebih dari 400 ng/ml adalah diagnostik atau sangat sugestif untuk KHS. Nilai normal juga dapat ditemukan juga pada kehamilan. Penanda tumor lain untuk KHS adalah des-gamma carboxy prothrombin (DCP) atau PIVKA-2, yang kadarnya meningkat pada hingga 91% dari pasien KHS, namun juga dapat meningkat pada defisiensi vitamin K, hepatitis kronis aktif atau metastasis karsinoma. Ada beberapa lagi penanda KHS, seperti AFP-L3 (suatu subfraksi AFP), alfa-L-fucosidase serum, dll, tetapi tidak ada yang memiliki agregat sensitivitas dan spesifitas melebihi AFP, AFP-L3 dan PIVKA-2.3 Penderita sirosis atau penderita dengan antigen HBs positif serta SGOT dan SGPT yang meningkat dianjurkan melakukan pemeriksaan rutin AFP dan ultrasonografi untuk mencari tumor hati yang masih kecil. Selain itu, dilakukan pula pemeriksaan laboratorium dasar, seperti darah lengkap, transaminase, albumin dan waktu protrombin. 3 Pada tingkat dini, dapat ditemukan peningkatan kadar AFP, dimana nilai AFP di atas 500 μg/L merupakan tanda positif untuk KHS, walaupun sensitifitasnya hanya 60%. Oleh karena itu, diperlukan petanda yang lebih sensitif, seperti pemeriksaan soluble interleukin-2 reseptor levels, yang sangat menjanjikan. Selain faktor independen, seperti status serum HbeAg, serum alanin aminotransferase dan sirosis hati, kenaikan HBV DNA sebanyak
≥10.000
kopi/mL merupakan prediktor kuat untuk resiko karsinoma hepatoselular. 3 b. Gambaran Ultrasonografi (USG) USG memberikan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. CT-scan merupakan pemeriksaan pilihan di beberapa pusat kesehatan, dan sensitivitasnya mencapai 88%. MRI kurang sensitif dibandingkan CT helical. 3, 9 USG tumor massif unifokal menunjukkan densitas meninggi yang heterogen, sedangkan pada jenis nodular dan jenis difus, terlihat gambaran densitas rendah yang heterogen. USG dapat pula menentukan trombus di dalam cabang vena porta. Keadaan ini memperlihatkan karsinoma hepatoselular lanjut
11
sehingga pengobatan embolisasi tidak boleh dilakukan. Hasil pemeriksaan ultrasonografi dapat menemukan karsinoma hepatoseluler dalam stadium dini dengan diameter kurang dari 5 cm sebanyak 60%.3, 9 Dua karakteristik kelainan vaskular berupa hipervaskularisasi massa tumor (neovaskularisasi) dan trombosis oleh invasi tumor.3, 8 Perkembangan yang cepat dari gray-scale ultrasonografi menjadikan gambaran parenkim hati lebih jelas. Keuntungan hal ini menyebabkan kualitas struktur echo jaringan hati lebih mudah dipelajari sehingga identifikasi lesi-lesi lebih jelas, baik merupakan lesi lokal maupun kelainan parenkim difus. Pada hepatoma/karsinoma hepatoselular sering diketemukan adanya hepar yang membesar, permukaan yang bergelombang dan lesi-lesi fokal intrahepatik dengan struktur eko yang berbeda dengan parenkim hati normal. 3
Gambar 2.. USG KHS (Dokumentasi Penulis) c. Biopsi
12
Biopsi jarum dilakukan bila diagnosis masih diragukan. Dengan tuntunan ultrasonografi, jarum khusus ditusukkan melalui kulit mencapai tumor kemudian dilakukan aspirasi. Selain itu, dapat juga dilakukan penyuntikan alkohol untuk skleroterapi. 3, 9
F. Terapi KHS Terapi dan prognosis bergantung pada klasifikasi Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC). Pada stadium dini, bergantung pada faal hati, dapat dilakukan terapi kuratif dengan reseksi, transplantasi hati atau ablasi perkutaneus. Ketahanan hidup 5 tahun mencapai 50– 70%. Pada stadium intermediate, dapat dilakukan kemo-embolisasi. Ketahanan hidup 3 tahun mencapai 50%. Pada stadium lanjut, tidak ada terapi yang efektif. Median ketahanan hidup kurang dari 1 tahun. Pada stadium akhir, terapi bersifat paliatif. 3, 10
Gambar 3. Algoritme Terapi KHS a.
Reseksi Hati Reseksi hati dikerjakan pada tumor tunggal, tanpa sirosis atau dengan
sirosis yang terkompensasi dengan kadar bilirubin normal dan tanpa hipertensi 13
portal. Ketahanan hidup 5 tahun dapat mencapai 70 %. Anjuran kemoembolisasi atau kemoterapi tidak banyak memberi faedah. 3 Reseksi lobus atau segmen dilakukan berdasarkan percabangan vena porta menurut Couinaud. Menurut sistem ini, ada 8 segmen yang dapat direseksi. Hati mempunyai daya regenerasi besar sehingga walaupun separuh hati direseksi, regenerasi terjadi tanpa mengurangi faal. Kriteria reseksi ialah tidak ada metastase jauh, tumor terbatas di satu lobus atau satu segmen, dan pascalobektomi sisa jaringan hati masih dapat memenuhi kebutuhan tubuh. 3,10 Perlu dilakukan pemantauan bersinambungan untuk mengantisipasi timbulnya kekambuhan. Menurut analisis multivariat terhadap tingkat serum aspartat transaminase, jumlah nodul yang lebih dari satu dan adanya trombus tumor merupakan faktor resiko kekambuhan yang nyata. 3, 10
Gambar 5. Klasifikasi Couinaud b.
Tranplantasi hati Transplantasi ditujukan pada penderita yang tidak memenuhi kriteria
reseksi, pada tumor tunggal yang berukuran kurang dari 5 cm atau tumor multipel (2 sampai 3 tumor) dengan ukuran masing-masing tidak lebih dari 3 cm, tanpa
14
invasi vaskular dan penyebaran ekstrahepatik, serta tanpa kontraindikasi untuk transplantasi. Sementara menunggu donor, dapat dilakukan terapi perkutaneus. 3 c.
Ablasi Perkutan Ablasi radio frekuensi perkutan merupakan pilihan bila penderita bukan
kandidat pembedahan.
Injeksi etanol
perkutan dilakukan
bila
terdapat
kontraindikasi tindakan ini, injeksi dilakukan subkapsuler dekat kantung empedu atau jantung. Injeksi alkohol perkutan dilakukan bila tumor berukuran kurang dari 3 cm. Hasilnya kurang baik jika dibandingkan dengan ablasi radio frekuensi. Ablasi perkutan memberikan hasil baik bila tumor berukuran kurang dari 2 cm dengan nekrosis mencapai 100% pada 90% kasus. Pada penyakit lanjut (besar atau multifokal) tanpa invasi vena porta, dengan fungsi hati baik, dapat dilakukan kemoembolisasi transarterial. 3
d.
Tatalaksana non bedah Tata laksana karsinoma hepatoseluler non bedah dapat berupa pemberian
kemoterapi intraarteri, embolisasi melalui arteri, radiasi, penyuntikan alkohol 97% alkohol intratumor, hipertermia dengan kombinasi kemoterapi. Embolisasi dilakukan melalui arteri hepatika atau cabang arteri hepatika yang menuju tumor dengan kombinasi pemberian sitostatik sisplatin, mitomisin, dan adriamisin. Dengan cara paliatif
ini, tumor dapat mengalami nekrosis dan mengecil.
Penyuntikan intratumor dengan bahan nekrotan dilakukan dengan tuntunan ultrasonografi. Radiasi dan maupun kemoterapi merupakan terapi nonkuratif yang hanya memberi hasil baik untuk waktu terbatas. 3
G. Prognosis KHS Prognosis KHS ialah dubia ad malam. Kemoterapi regional maupun sistemik baik sebagai adjuvan ataupun neo-adjuvan dapat meningkatkan kesembuhan. Faktor yang menurunkan angka harapan hidup adalah jarak antara kolektomi dan reseksi hepar yang kurang dari 1 tahun, terdapat lebih dari 3 15
metastasis, metastasis kalenjar limfe yang positif pada saat kolektomi, dan tidak adanya reseksi hepatektomi berulang. 3
16
BAB IV KESIMPULAN 1. Ada hubungan kausal yang erat antara sirosis hati dan infeksi virus hepatitis B dan C dengan terjadinya karsinoma hepatoselular 2. Tumor hati primer meluas melalui 4 cara yaitu : perluasan sentrifugal, melalui parasinusoid, sistem portal dan kalenjar getah bening. 3. Pada tumor hati stadium dini, dapat dilakukan terapi secara operatif dengan tingkat ketahanan hidup sampai 5 tahun. Apabila sudah stadium lanjut, tidak ada terapi yang efektif.
17
BAB V DAFTAR PUSTAKA 1. Jemal, Ahmedin., Freddie Bray., Melissa M. Center., Jacques Ferlay., Elizabeth Ward., David Forman. 2011. Global Cancer Statistic. CA Cancer J Clin.61:69-90 2. D. Poon, B. O. Anderson, L. T. Chen et al. 2009. Management of hepatocellular carcinoma in Asia: consensus statement from the Asian Oncology Summit. The Lancet Oncology. 10; 11: 1111–1118. 3. Jones, P.A., Baylin, S.B. 2008 . Harrison’s Principlesof Internal Medicine. (17th ed). United States of America: The McGraw-Hill Companies 4. Kumar V, Fausto N, Abbas A (editors) 20010. Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease (7th ed.). Saunders 5. El-Serag., Hashem B., Howard Hampel., Fariba Javadi. 2006. The association between diabetes and hepatocelullar carcinoma: a systemic review of epidemiological evidence. Clinical Gastroenterology and Hepatology 4 (3): 369–380. 6. Tanaka, M.; Katayama, F.; Kato, H.; Tanaka, H.; Wang, J.; Qiao, Y. L.; Inoue, M. 2011. Hepatitis B and C virus infection and hepatocellular carcinoma in China: A review of epidemiology and control measures. Journal of epidemiology / Japan Epidemiological Association 21 (6): 401– 416. 7. T. Umemura, T. Ichijo, K. Yoshizawa, E. Tanaka, and K. Kiyosawa. 2009. Epidemiology of hepatocellular carcinoma in Japan. Journal of Gastroenterology. 44; 19: 102–107. 8. Twite, Kerry. (2009). Porth Pathophysiology: Concepts of Altered Health States. New York: Lippincott Williams&Wilkins. 9. El-Serag HB, Marrero JA, Rudolph L, Reddy KR. 2008. Diagnosis and treatment of hepatocelullar carcinoma. Gastroenterology 134 (6): 1752– 63. 10. M. F.Yuen, J. L. Hou, A.Chutaputti. 2009. Hepatocellular carcinoma in the Asia pacific region. Journal of Gastroenterology and Hepatology. 24; 3: 346–353. Wonosobo, 29 September 2014 Praktikan Nurul Attikah Zain
Dokter Pembimbing dr. H. Arlyn Yuanita., Sp. Pd
18