i
HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING
TESIS Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk mencapai spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher
Oleh : IBRAHIM IRSAN NASUTION
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK DAN BEDAH KEPALA LEHER MEDAN 2007
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Medan,
Desember 2007
Tesis dengan judul
HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING
Diketahui oleh:
Ketua Departemen
Ketua Program Studi
Prof.dr.Abdul Rachman S, SpTHT-KL(K)
Prof.dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL(K)
Telah disetujui dan diterima baik oleh Pembimbing:
Ketua
Prof.dr.Ramsi Lutan, SpTHT-KL(K)
Anggota
Dr.dr.Delfitri Munir, SpTHT-KL(K)
dr. Hafni, SpTHT-KL(K)
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang atas segala rakhmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari, penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan
penelitian
tentang
Hubungan
Merokok
dengan
Karsinoma
Nasofaring (KNF). Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : Prof. dr. Ramsi Lutan, SpTHT-KL (K) atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, begitu juga kepada dr. Hafni, SpTHT-KL (K), Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL (K) selaku anggota pembimbing dan dr. Arlinda Sari Wahyuni, Mkes sebagai konsultan statistik. Ditengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini. Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang berbahagia ini saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD (KGEH) dan mantan Dekan Fakultas Kedokteran USU
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
iv
Prof. dr. Bahri Djohan SpJP (K) atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di Fakultas Kedokteran USU. Yang terhormat Direktur RSUP H.Adam Malik Medan, drg. Arman Daulay, Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, dr. Syahrial Annas, Direktur RS Tembakau Deli Medan, dr. Tuti R. Ketaren dan Direktur RSUD Lubuk Pakam yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di Rumah Sakit yang beliau pimpin. Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, SpTHT-KL (K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL FK-USU, Prof. dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL (K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti pendidikan spesialisasi sampai selesai. Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU / RSUP H.Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet, SpTHT–KL, dr. Yuritna Haryono, SpTHT–KL (K), dr. T. Sofia Hanum, SpTHT–KL (K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT–KL (K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT–KL, dr. Linda I. Adenin, SpTHT–KL (K), dr. Rizalina A. Asnir, SpTHT–KL, dr. Ainul Mardhiah, SpTHT–KL, dr. Adlin Adnan, SpTHT–KL, dr. Siti Nursiah, SpTHT–KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, SpTHT–KL, dr. Ida Sjailandrawaty, SpTHT–KL, dr. Harry Agustaf Asroel, SpTHT–KL, dr. Farhat, SpTHT–KL, dan dr. T. Siti Hajar H, SpTHT–KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini. Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan. Yang terhormat perawat/paramedis dan seluruh karyawan/karyawati RSUP H.Adam Malik Medan, khususnya Departemen/SMF THT-KL yang selalu membantu dan
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
v
bekerja sama dengan baik dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan selama ini. Yang saya hormati, seluruh pasien-pasien yang telah secara ikhlas telah banyak memberikan banyak hal tentang penyakit yang dideritanya kepada saya. Terima kasih yang tak terhingga atas semua hal tersebut. Tanpa itu semua, mustahil saya mendapatkan ilmu dan keterampilan dalam menyelesaikan pendidikan ini. Yang saya hormati, guru-guru saya, seluruh penulis buku-buku dan jurnal-jurnal yang pernah saya baca selama masa pendidikan, sejak pendidikan dasar hingga pencapaian pendidikan saya sekarang ini. Terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala didikan, ilmu dan informasi yang telah diberikan kepada saya. Yang mulia dan tercinta Ayahanda Sulaiman Nasution SmHk (Alm) dan Ibunda Purnama Rangkuti, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang terbaik serta diberi contoh suri tauladan sampai sekarang ini. Ya Allah ampunilah dosa kami dan dosa kedua orangtua kami, serta kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sejak kecil. Yang tercinta almarhum Bapak mertua Ir. Abdullah dan almarhumah Ibu mertua Ance Sarianah, yang semasa hidupnya selalu memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya. Terima kasih tiada terhingga pada istriku tercinta Dien Mediena Ssos, dan buah hati kami tersayang Fikri Roja Nasution dan Fahri Zuhdi Nasution yang dengan penuh kesabaran dan ketabahan telah memberikan dorongan, semangat dan inspirasi yang tiada henti pada ayahanda dalam menyelesaikan pendidikan ini. Kepada saudara-saudaraku tersayang kakanda Dra. Enny Sulprimawati Nasution, Latifah Khairani Nasution, adinda dr. Akhmad Rusdy Nasution dan Yunita Nasution SH, terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuannya selama ini.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
vi
Akhirnya saya haturkan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan terima kasih saya sampaikan kepada handai taulan, keluarga dan semua pihak yang telah membantu saya dengan ikhlas dalam menyelesaikan pendidikan ini. Semoga Allah SWT membalas budi baik yang diberikan dengan berlimpah. Amin, amin ya Rabbal alamin.
Medan, Desember 2007 Penulis
dr. Ibrahim Irsan Nasution
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
vii
ABSTRAK
Etiologi KNF adalah multifaktor, dan banyak dari faktor-faktor tersebut saling tumpang tindih dimana salah satu faktor mungkin terjadi bersamaan dengan faktor lain sebagai penyebab. Merokok diduga berperan dalam timbulnya karsinoma nasofaring (KNF). Untuk mengetahui hubungan
merokok dengan
KNF, dilakukan penelitian kasus kontrol,
dengan sampel kasus sebanyak 96 orang dan kontrol 96 orang. Sampel kelompok kasus dan kontrol diambil dari RSUP H.Adam Malik Medan dan RSU dr. Pirngadi Medan. Mayoritas penderita KNF adalah; laki-laki (perbandingannya dengan perempuan 2,84:1), 50-59 tahun (29,2%), dan bertani (32,3%). Suku batak merupakan kelompok suku terbanyak yang menderita KNF 54 orang (56,3%) dan diikuti ditempat kedua terbanyak adalah suku Jawa (29,2%). Jenis histopatologi terbanyak adalah WHO tipe 3 (38,6%). Stadium terbanyak adalah III (58,4%), diikuti stadium IV (40,6%), stadium II (1%), dan tidak terdapat penderita dengan stadium I. Hasil analisis regresi logistik univariat, memperlihatkan hubungan yang bermakna antara perokok dengan konsumsi rokok 11-20 batang perhari dengan nilai OR=2,530 (p=0,021) dengan terjadinya KNF. Namun dalam analisis regresi logistik multivariat, jumlah batang rokok perhari tidak memperlihatkan hubungan yang bermakna (p=0,587). Hasil analisis regresi logistik multivariat, karsinoma nasofaring berhubungan secara bermakna dengan orang yang
sudah mulai merokok sebelum usia 20 tahun
(p=0,000; OR 5,35 dan CI 95% 2,290 - 12,499), kebiasaan makan ikan asin sebelum berusia 10 tahun dengan frekuensi konsumsi ikan asin OR 7,766
(CI 95% 2,937 - 20,538), sering p=0,000;
kadang-kadang
OR 16,515 (CI 95%
p=0,000; 5,300 -
51,463), dan kebiasaan memakai kayu bakar p=0,014; OR 3,147 (CI 95% 1,260 - 7,860). Tidak terdapat hubungan bermakna antara lama merokok (p=0,293),
jumlah batang
rokok (p=0,021) dan jenis rokok yang dihisap (p=0,081) dengan kejadian KNF.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
viii
Merokok sebagai faktor risiko terjadinya KNF tidak dapat berperan sebagai faktor risiko yang berdiri sendiri, namun ada peran faktor lain yang juga mempengaruhi sebagai faktor risiko.
Kata kunci : KNF, merokok, konsumsi ikan asin sebelum berusia 10 tahun, kayu bakar.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
ix
DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul ...................................................................................................
i
Halaman Pengesahan .......................................................................................
ii
Kata Pengantar ..................................................................................................
iii
Abstrak ...............................................................................................................
vii
Daftar isi .............................................................................................................
ix
Daftar tabel .........................................................................................................
xii
BAB 1. Pendahuluan
.......................................................................................
1
1.1.
Latar Belakang ............................................................................
1
1.2.
Perumusan Masalah ...................................................................
3
1.3.
Hipotesis ......................................................................................
4
1.4.
Tujuan Penelitian .........................................................................
4
1.5.
Manfaat Penelitan ........................................................................
4
1.6.
Kontribusi Penelitian ....................................................................
4
BAB 2. Tinjauan Pustaka ..................................................................................
5
2.1.
2.2.
Anatomi .......................................................................................
5
2.1.1.
Nasofaring ....................................................................
5
2.1.2.
Batas-batas nasofaring ................................................
5
2.1.3.
Jaringan lunak pembentuk nasofaring .........................
6
2.1.4.
Pendarahan dan persarafan ........................................
7
2.1.5.
Sistem limfatik nasofaring ............................................
7
Karsinoma Nasofaring .................................................................
8
2.2.1.
Karsinoma nasofaring (KNF) ........................................
8
2.2.2.
Patologi karsinoma nasofaring .....................................
8
2.2.3.
Epidemiologi ..................................................................
11
2.2.4.
Etiologi dan faktor predisposisi ....................................
13
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
x
2.2.5.
Karsinogenesis secara umum .......................................
18
2.2.6.
Zat-zat karsinogen berdasarkan struktur dan kerjanya..
20
2.2.7.
Mekanisme karsinogenesis ...........................................
22
2.2.8.
Hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring.......
24
2.2.9.
Gejala Klinis ..................................................................
32
2.2.10.
Diagnosis ......................................................................
34
2.2.11.
Stadium .........................................................................
39
2.2.12.
Diagnosis banding ........................................................
40
2.2.13.
Terapi ............................................................................
41
2.2.14.
Prognosis ......................................................................
44
BAB 3. Metodologi Penelitian ...........................................................................
46
3.1.
Rancangan Penelitian .................................................................
46
3.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................
46
3.3.
Sampel ........................................................................................
46
3.4.
Kriteria Karsinoma Nasofaring ....................................................
46
3.5.
Penentuan Besar Sampel ...........................................................
46
3.6.
Teknik Pengambilan Sampel ......................................................
47
3.7.
Variabel Penelitian ......................................................................
48
3.8.
Kerangka Teori ............................................................................
48
3.9.
Kerangka Konsep Penelitian .......................................................
48
3.10.
Kerangkan Kerja ..........................................................................
49
3.11.
Pengolahan Data .........................................................................
49
3.12.
Analisa Data ................................................................................
50
3.13.
Faktor Perancu (Confounding) ....................................................
51
3.14.
Batasan Operasional ...................................................................
51
3.15.
Etika Penelitian ............................................................................
53
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
xi
BAB 4. Hasil Penelitian ......................................................................................
54
4.1.
Hasil Analisis Regresi Logistik Univariat .....................................
54
4.2.
Hasil Analisis Regresi Logistik Multivariat ...................................
59
BAB 5. Pembahasan ........................................................................................... 61 BAB 6. Kesimpulan dan Saran ............................................................................ 72 6.1.
Kesimpulan ..................................................................................
72
6.2.
Saran ...........................................................................................
72
Daftar Pustaka .................................................................................................... 74 Lampiran 1.
Kuisioner ..................................................................................... 82
Lampiran 2.
Tabulasi Data Kuisioner Kelompok Kasus ..............................
84
Lampiran 3.
Tabulasi Data Kuisioner Kelompok Kontrol ............................
86
Lampiran 4.
Persetujuan Penelitian oleh Komite Etik ................................. 88
Riwayat Hidup ..................................................................................................... 89
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1.1. Distribusi karakteristik subjek penelitian ..........................................
54
Tabel 4.1.2. Distribusi penderita KNF berdasarkan jenis histopatologi dan stadium tumor .................................................................................
55
Tabel 4.1.3. Hubungan merokok dengan KNF berdasarkan status merokok, usia mulai merokok, lama merokok, konsumsi rokok perhari dan jenis rokok .......................................................................................
56
Tabel 4.1.4. Hubungan antara konsumsi ikan asin dengan KNF .......................
58
Tabel 4.1.5. Hubungan antara adanya keluarga yang menderita kanker, pemakaian lampu minyak, kayu bakar dan obat anti nyamuk bakar dengan KNF ..........................................................................
59
Tabel 4.2.1. Hasil analisis logistik multivariat hubungan antara usia mulai merokok, pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin saat berusia sebelum 10 tahun ..............................................................
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
59
1 BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah penyakit yang penyebabnya multifaktor. Insiden dan distribusi geografiknya tergantung pada beberapa faktor, seperti kerentanan genetik, faktor-faktor lingkungan, diet dan kebiasaan personal (Dhingra, 2004). Banyak teori faktorfaktor etiologi telah dikemukakan, tapi penyebab pasti masih belum ditemukan (Holt dan Shockley, 1993). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa etiologi KNF adalah multifaktor, termasuk genetik, lingkungan dan virus (Yang et al, 2005). Faktor-faktor etiologi ini akan sangat bergantung kepada individu. Faktor-faktor tersebut saling tumpang tindih dan salah satu faktor mungkin terjadi bersamaan dengan faktor lain sebagai penyebab terjadinya KNF (McDermott, et al, 2001). Hipotesis tentang etiologi KNF dimulai pada awal abad 20, pertama kali dikemukakan oleh Jackson tahun 1901, yang mengajukan hipotesis bahwa iritasi debu pada pekerja gabus akan merusak epitel saluran nafas. Sejak itu patogenesis KNF secara intensif diteliti, khususnya ditujukan pada gambaran geografi dan variasi rasial. Tahun-tahun belakangan ini banyak faktor lingkungan dan biologi telah menunjukkan hubungan risikio terjadinya KNF dan hasil penelitian termutakhir menunjukkan adanya peran faktor genetik dan virus dalam perkembangan penyakit ini (McDermott et al, 2001). Udara yang kita hirup merupakan campuran dari berbagai komponen, yaitu oksigen, nitrogen dan uap air. Udara juga mengandung bahan lain berupa gas dan partikel yang berbahaya. Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi akibat kontaminasi udara adalah pengaruh asap rokok (Drastyawan et al, 2001). Selama tahun 1950, mulai terbukti dengan cukup jelas bahwa asap rokok tembakau sebagai zat karsinogen. Karsinogen telah teridentifikasi dalam asap rokok tembakau, dan kondensasi asap rokok dapat menyebabkan terjadinya tumor ketika dioleskan pada kulit tikus percobaan. Pada akhir tahun 1950 tersebut, bukti yang meyakinkan tentang hubungan
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
2 merokok dengan kanker paru dan kanker-kanker lainnya telah diperoleh dari penelitianpenelitian kasus kontrol dan kohort (Vinies et al, 2004). Pada dekade sebelumnya, jumlah kematian akibat merokok meningkat tajam, dimana gambaran ini terjadi pada perokok-perokok berat. Pada tahun 1986, International Agency for Research on Cancer (IARC) Working Group menemukan cukup bukti bahwa merokok dapat menyebabkan kanker pada manusia, dan disimpulkan bahwa merokok dapat menyebabkan tidak hanya kanker paru, tapi juga dapat terjadi pada saluran kemih, termasuk ginjal dan kandung kemih, saluran nafas bagian atas termasuk rongga mulut, faring, laring, esofagus, dan pankreas. Vineis et al (2004) menemukan terjadinya peningkatan risiko kanker sinonasal dan kanker nasofaring
diantara para perokok, yang secara konsisten dilaporkan dalam
beberapa penelitian kasus-kontrol, dengan tren positive dose-response berhubungan dengan banyaknya dan lamanya merokok. Asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan campuran dan dalam analisis kimia diketahui telah
teridentifikasi sedikitnya 50 jenis karsinogen. Dari penelitian yang ada,
karsinogen yang telah teridentifikasi diantaranya adalah polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), nitrosamines, aromatic amines, aza-arenes, aldehydes, various organic compounds, inorganic compounds; seperti hydrazine dan beberapa logam, dan beberapa radikal bebas (Armstrong et al, 2000; Drastyawan et al, 2001). Selain komponen gas, pada asap rokok terdapat komponen padat atau partikel yang terdiri dari nikotin dan tar. Tar mengandung bahan karsinogen, sedangkan nikotin merupakan bahan adiktif yang menimbulkan ketergantungan atau kecanduan (Aditama, 2001). Letak nasofaring pada saluran napas bagian atas dimana merupakan tempat aliran polusi udara dan asap rokok, serta merupakan lokasi yang dapat berpengaruh buruk terhadap mukosa dilokasi tersebut. Karsinogen yang dibawa oleh udara dapat menginduksi kanker (Zhuolin et al, 2005). Mukosa nasofaring dapat langsung terpapar oleh asap rokok yang dihisap, dan kanker dapat diinduksi pada daerah kontak dengan karsinogen (Mabuchi et al, 1985). Merokok sebagai faktor risiko, cukup berarti menyebabkan terjadinya kanker pada berbagai organ tubuh. Komponen isi rokok, termasuk nitrosamine dan formaldehyde juga IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
3 mempunyai potensi karsinogenik. Menghisap rokok akan memberi pajanan bahan karsinogenik yang ada di dalam rokok secara langsung terhadap nasofaring, dengan demikian hubungan antara merokok dan KNF secara biologi cukup dapat diterima. Beberapa hasil penelitian yang meneliti hubungan antara merokok dan KNF menunjukkan hasil yang tidak sama. Namun, Lin et al pada tahun 1971, pada penelitian di Taiwan, melaporkan adanya peningkatan risiko yang signifikan terjadinya KNF dengan peningkatan lamanya merokok. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian selanjutnya, akan tetapi beberapa penelitian yang lain menunjukkan hasil yang berlawanan tentang hubungan antara merokok dan KNF (Cheng et al, 1999). Enzyme Cytochrome P450 2EI (CYP2EI) yang diketahui merupakan enzim aktivasi pada nitrosamine dan karsinogen lainnya, mungkin terlibat dalam perkembangan terjadinya KNF. Hildesheim et al (1997) dalam penelitian secara case control mengemukakan bahwa asap rokok adalah sumber paparan nitrosamine, sehingga dapat mengaktivasi CYP2EI, dan dia melihat efeknya sebagai faktor risiko pada KNF, dimana merokok mempunyai hubungan dengan risiko terjadinya KNF. Hubungan antara merokok dan KNF telah banyak diteliti di daerah geografik dengan insiden tinggi dan sedang, seperti di China Selatan dan sebagian daerah di Asia Tenggara. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut bervariasi, ada yang mempunyai hubungan sampai tidak jumpai adanya hubungan (Zhu et al, 1995). Di Indonesia, khususnya di Medan Sumatera Utara dengan insiden KNF relatif sedang, belum ada penelitan tentang hubungan merokok dengan KNF. Atas dasar inilah peneliti tertarik meneliti hubungan antara merokok dengan KNF di Medan Sumatera Utara.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : Apakah merokok merupakan faktor risiko terjadinya karsinoma nasofaring.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
4 1.3. Hipotesis Ada hubungan antara merokok dengan karsinoma nasofaring.
1.4 Tujuan Penelitian 3.4.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui apakah ada hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring.
3.4.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui risiko perokok dapat menderita karsinoma nasofaring. 2. Melihat karakteristik demografi penderita karsinoma nasofaring
berdasarkan
suku bangsa, pekerjaan, umur, dan jenis kelamin. 3. Melihat hubungan usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang dihisap perhari, lama merokok, dan jenis rokok yang dihisap dengan risiko terjadinya karsinoma nasofaring. 4. Melihat hubungan faktor-faktor lain selain rokok dengan terjadinya karsinoma nasofaring.
1.5 Manfaat Penelitian Sebagai bahan pertimbangan dalam usaha pencegahan risiko terjadinya
karsinoma
nasofaring.
1.6 Kontribusi Penelitian Sebagai pengembangan keilmuan dibidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring Nasofaring merupakan suatu ruangan yang terletak di belakang rongga hidung di atas tepi bebas palatum mole yang secara anatomis termasuk bagian faring (Chew, 1997). Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral (Ballenger, 1994). Disamping dilapisi jaringan limfoepitelium, di dinding nasofaring juga terdapat kelenjar dan jaringan ikat yang dibentuk oleh tulang dan kartilago dari dasar tengkorak. Ukuran ratarata dimensi nasofaring pada orang dewasa adalah dengan tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan jarak anteroposteriornya 3 cm (Chew, 1997).
2.1.2 Batas-batas nasofaring •
Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas posterior dari septum nasi.
•
Dinding bawahnya dibentuk oleh permukaan atas dari palatum mole yang membentuk duapertiga depan nasofaring dan oleh itsmus nasofaringeal.
•
Atap dan dinding posterior membentuk permukaan yang miring dibentuk oleh tulang sfenoid, basioksiput dan dua tulang servikal yang paling atas sampai pada level palatum mole. Bagian paling atas dari dinding posterior, tepat di depan dari tulang atlas terdapat jaringan limfoid yang melekat pada mukosa (tonsil faringeal atau adenoid) (Chew, 1997).
•
Tiap dinding lateral nasofaring terdapat muara dari tuba faringotimpanik (tuba eustakhius). Muara tuba ini terletak sekitar 1 cm dibelakang ujung posterior dari konka inferior, sedikit di level bawah dari palatum durum. Ujung medial dari kartilago tuba membuka, terbentuk seperti koma. Di belakang dan atas dari kartilago tuba terdapat faringeal reses atau fossa Rosenmuller (Beasley, 1997).
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
6 2.1.3 Jaringan lunak pembentuk rongga nasofaring a. Selaput lendir (mukosa) nasofaring Mukosa nasofaring permukaannya tidak rata dan mempunyai tonjolan dan lekukan. Pada orang dewasa luasnya lebih kurang 50 cm persegi. Kira-kira 60% dari total permukaan epitel dilapisi oleh epitel skuamosa stratified. Disekitar koana dan atap nasofaring diliputi oleh epitel bersilia. Dinding lateral dan sebagian atap nasofaring terdiri dari kumpulan epitel skuamosa dan epitel bersilia, bercampur dengan kumpulan-kumpulan epitel kecil transisional. Dinding belakang sebagian besar terdiri dari epitel skuamosa (Chew, 1997). Selaput lendir ini terdiri dari lapisan epitel, jaringan limfoid dan kelenjar saliva. Jaringan kelenjar limfoid terletak di dalam dan di bawah mukosa yang merupakan kumpulan sel limfoid tipe B dan sedikit tipe T yang membentuk folikel-folikel dan pusat germinal tanpa kapsul. Aliran limfe dari nasofaring bersifat bilateral dan langsung ke bagian lateral kelenjar limfe retrofaringeal dari Rouviere, kelenjar limfe jugulodigastrik, dan rantai kelenjar limfe spinalis. Jaringan epitel mukosa nasofaring bentuknya sangat bervariasi dan terdiri dari epitel skuamosa bertingkat, pseudoepitel bertingkat bersilia dan epitel tak beraturan. Selama masa kehidupan janin terdapat perubahan secara bertahap dari epitel saluran nafas bersilia sampai epitel skuamosa di bagian bawah dan belakang nasofaring (Chew, 1997; Witte dan Bryan, 1998).
b. Jaringan submukosa nasofaring Dinding posterior dibentuk oleh 4 lapisan yaitu (1) mukosa faring, (2) aponeurosis faring, (3) otot konstriktor faringeus superior, (4) fasia bukofaringeal. Otot dinding nasofaring tidaklah lengkap, pada bagian atas dinding lateral hanya terdiri atas 2 lapisan yaitu, mukosa dan aponeurosis faring. Daerah dengan struktur otot 2 lapis ini disebut sinus morgagni. Fasia faring dinding posterior dan lateral meekest at panda tuberculin faring yang merupakan tonjolan tulang dari basis oksiput dan berada tepat di depan foramen magnum. Ke arah lateral dari masing-masing sisi, fasia ini berada pada permukaan IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
7 bawah pyramid petrosus dan terdapat di depan kanalis karotikus dan anterior terdapat pada apeks dari pars petrosus os temporal dan merupakan batas posterior dari lamina pterigoid interna. Fasia ini melanjutkan diri sebagai jaringan fibrosa dan mengisi foramen laserum yang hanya dipisahkan dari fossa kranii media oleh jaringan fibrokartilago (Ackerman dan Del Regato, 1970; Cottrill dan Nutting, 2003).
2.1.4 Pendarahan dan persarafan Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Pleksus vena terletak di bawah selaput lendir nasofaring dan berhubungan dengan pleksus pterigoid di atas dan vena jugularis interna di bawah. Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal di atas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1) (Ackerman dan Del Regato, 1970; Cottrill dan Nutting, 2003).
2.1.5 Sistem limfatik nasofaring Nasofaring mempunyai anyaman limfatik submukosa yang banyak. Bagian aliran limfe yang pertama adalah pada kelenjar di retrofaringeal yang terdapat diantara dinding posterior nasofaring, fascia faringobasilar dan fascia prevertebra (Chew, 1997). Pada nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral, bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere) (Ballenger, 1994). Kumpulan jaringan limfe, disebut tonsil faringeal, dijumpai pada membran mukosa yang melapisi basis sfenoid (Beasley, 1997). Dibandingkan dengan mukosa saluran napas lainnya, mukosa nasofaring mengandung banyak sekali jaringan limfoid. Struktur limfoid ini banyak terdapat di IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
8 dinding lateral terutama disekitar muara tuba eustakius, dinding posterior dan bagian nasofaring di palatum mole. Struktur limfoid ini merupakan lengkung bagian atas dari cincin Waldeyer (Chew, 1997).
2.2 Karsinoma Nasofaring (KNF) 2.2.1 Karsinoma nasofaring Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma sel skuamosa yang terjadi pada lapisan epitel di nasofaring. Tumor ini menunjukkan derajat diferensiasi yang bervariasi dan sering tampak pada pharyngeal recess (fossa Rosenmuller’s) (Wei dan Sham, 2005). Karsinoma nasofaring termasuk karsinoma sel skuamosa kepala dan leher yang unik. Insiden terjadinya secara geografis menunjukkan gambaran yang bervariasi. Walaupun KNF jarang terjadi di seluruh dunia, tumor ini merupakan salah satu tumor ganas yang sering terjadi di negara-negara Asia Tenggara maupun di China, dimana insidennya dari 20 sampai 50 per 100.000 penduduk (Krishna et al, 2004).
2.2.2 Patologi Karsinoma Nasofaring a. Makroskopis Secara makroskopis pertumbuhan karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu ulseratif, nodular, dan berbentuk eksofitik. Dari 211 kasus KNF, Choa mendapatkan 59% (124) berbentuk ulseratif, 25% (55) nodular, dan 15% (32) eksofitik. 1. Bentuk ulseratif Bentuk ini paling sering dijumpai pada dinding posterior atau di daerah fosa Rosenmuller. Kadang-kadang terdapat di dinding lateral di depan tuba eustakhius dan di atap nasofaring. Lesi ini biasanya kecil disertai jaringan nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Tumor bentuk ini dapat berkembang dari dinding lateral atau atap nasofaring ke daerah petrosfenoid di basis kranii melalui saluran yang dibentuk oleh faring. Penjalaran ke intrakranial sangat mudah terjadi melalui daerah lemah foramen laserum dan ovale. Penjalaran secara petrosfenoid ini akan mengenai ganglion Gaseri dan sinus kavernosus beserta sarafIBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
9 saraf kranial di sekitarnya. Tumor cepat membesar, meluas dan merusak foramenforamen di basis kranii dan masuk kedalam fosa kranii media. 2. Bentuk noduler/lobuler Bentuk ini paling sering timbul di daerah tuba eustakhius, sehingga cepat menyebabkan sumbatan tuba. Tumor ini biasanya berbentuk seperti anggur atau polipoid tanpa ada ulserasi kecil bila dibandingkan dengan besarnya tumor yang terlihat. Tumor ini mula-mula mengadakan infiltrasi di sekitar tuba eustachius dan meluas masuk ke dalam ruang maksilofaring dan mengadakan kompresi cabang mandibular saraf trigeminus (V2), tumor dapat menjalar ke bawah mendesak palatum mole dan mudah menyebar ke daerah petrosfenoid di basis kranii. Walaupun saraf-saraf kranial berada di sekitar tumor dan pertumbuhan tumor sangat cepat, tetapi kompresi saraf-saraf kranial baru timbul setelah terjadi erosi basis kranii dan masuk ke dalam fosa serebri media. Pada stadium lanjut tumor dapat mengadakan invasi ke dalam rongga orbita melalui fisura orbita inferior dan melalui sinus etmoid masuk ke sinus maksila. 3. Bentuk eksofitik Bentuk ini biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak terdapat ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan permukaannya licin. Tumor ini tumbuh dari atap dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh ke arah koana dan masuk ke kavum nasi. Tumor bentuk ini cepat mencapai sinus maksila dan rongga orbita sehingga menyebabkan eksoptalmus unilateral atau menonjol ke luar nares anterior. Pada daerah tuba eustakhius, tumor bentuk ini lebih cenderung tumbuh secara submukosa ke arah basis kranii. Kompresi saraf kranial terjadi bila besarnya tumor cukup besar (Ackerman dan Del Regato, 1970, Armiyanto, 1993).
b. Mikroskopis (histopatologi) Klasifikasi histologi secara garis besar membagi jenis histologi KNF menjadi 2 kelompok yaitu: karsinoma sel skuamosa dengan beberapa tingkat diferensiasi dan IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
10 karsinoma tidak berdiferensiasi dengan beberapa variasi sel limfoepithelioma (Cottrill dan Nutting , 2003) Tumor ganas nasofaring terdiri dari : 1. Karsinoma nasofaring (KNF) a. WHO Tipe 1 : Karsinoma sel skuamosa keratinisasi b. WHO Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi c. WHO Tipe 3 : Karsinoma sel tidak berdiferensiasi 2. Limfoma non-Hodgkin’s (jarang terdapat limfoma Hodgkin’s) 3. Karsinoma adenoid kistik 4. Adenokarsinoma dan tumor-tumor kelenjar saliva minor 5. Placmacytoma 6. Melanoma 7. Sarkoma (terutama rabdomiosarkoma) 8. Chordoma (Cottrill & Nutting, 2003).
Klasifikasi menurut WHO
sejak tahun 1978 ada tiga tipe histologik karsinoma
nasofaring (Chew, 1997; Licitra et al 2003) : 1. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi (keratinizing) a. well differentiated b. moderately differentiated c. poorly differentiated 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (non-keratinizing) 3. Karsinoma sel tidak berdiferensiasi (undifferentiated) WHO tipe I. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi (keratinizing) Tampilannya mirip dengan karsinoma sel skuamosa pada traktus aerodigestif. Ditandai dengan adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau sebagian sel mengalami keratinisasi (diskeratosis), adanya stratifikasi dari sel terutama pada sel yang terletak di permukaan atau suatu rongga kistik, dan adanya jembatan intersel (intercellular bridges). Jembatan intersel ini mungkin disebabkan karena sel IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
11 mengalami pengkerutan akibat dehidrasi pada waktu membuat sediaan. Dua puluh lima persen KNF merupakan karsinoma WHO tipe 1 di Amerika Serikat, namun hanya 1-2% di populasi endemik WHO tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (non-keratinizing) Menunjukkan sekuensi maturasi yang karakteristik untuk epitel skuamosa, namun secara mikroskopis tidak terdapat pembentukan keratin. Ditandai dengan masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun teratur/berjajar, dan sering terlihat bentuk pleksiform yang mungkin terlihat sebagai sel tumor yang jernih/terang yang disebabkan adanya glikogen dalam sitoplasma sel, serta tidak terdapat musin atau diferensiasi dari kelenjar. WHO tipe 3. Karsinoma sel tidak berdiferensiasi (undifferentiated) Sesuai pada reklasifikasi WHO (1991). Ditandai dengan susunan sel tumor yang berbentuk sinsitial, batas sel yang satu dan lainnya sulit dibedakan, sel tumor berbentuk spindel dan beberapa sel mempunyai nukleolus (inti) yang hiperkromatik dan sel ini sering bersifat dominan, sel tumor tidak memproduksi musin. KNF WHO tipe 3 ditemukan sebanyak 95% pada semua kasus di daerah endemik, namun di populasi risiko rendah seperti pada populasi kulit putih Amerika Utara hanya ditemukan sebanyak 60% (Armiyanto, 1993; Witte dan Neel, 1998; Lin et al, 2003; Zimmermann et al, 2006).
2.2.3
Epidemiologi Karsinoma nasofaring mempunyai pola yang berbeda secara epidemiologi (Chew, 1997). Tumor ganas ini termasuk penyakit yang jarang terjadi disebagian besar bagian dunia, dimana insidennya secara umum rata-rata kurang dari 1 per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Namun, penyakit ini merupakan salah satu tumor ganas yang sangat biasa terjadi pada penduduk di China Selatan dan Asia Tenggara, dengan insiden antara 20 sampai 50 per 100.000 penduduk tiap tahunnya (Wei dan Sham, 2005; Yang et al, 2005).
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
12 Insidennya diantara penduduk China dan Asia Tenggara 10 – 50 kali lebih tinggi dibanding dengan negara-negara lainnya. Tumor ini tidak secara kuat berhubungan dengan ras mongoloid secara serta merta, seperti yang ada di China bagian Utara, Korea, dan Jepang yang insidennya adalah rendah. Insiden paling tinggi, 30 – 50 per 100.000 penduduk laki-laki, terjadi di China bagian Selatan, di pusat Propinsi Guangdong dan di daerah otonomi Guangxi. Insiden tinggi, 15 – 30 per 100.000 penduduk laki-laki, terjadi di Hong Kong, ras china di Asia Tenggara dan emigran ras china ditempat lainnya. Insiden sedang, 5 – 15 per 100.000 penduduk laki-laki dijumpai diantara ras Asia Tenggara lainnya (orang Malaysia, Indonesia, Thailand, Vietnam dan Filipina), orang Eskimo (di Kanada, Alaska dan Greenland) dan beberapa orang Afrika Utara. Populasi di Malta, Tunisia, Algeria, Maroko dan Sudan mempunyai insiden paling rendah dibanding negara-negara Asia, tapi tetap lebih tinggi dibanding kejadian di Amerika dan Eropa (Chew, 1997). Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak ditemukan di Indonesia, menduduki urutan pertama dari seluruh keganasan pada pria dan urutan ke-4 dari seluruh keganasan pada wanita setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, dan kulit, dapat terjadi pada semua golongan umur, insiden meningkat pada dekade II akhir dan mencapai puncaknya pada usia 40-50 tahun (Roezin, 1995; Susworo, 2004). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah (Roezin dan Syafril, 2001). Prevalensi KNF di Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk pertahun (Fachiroh et al, 2004). Di RSUP H.Adam Malik Medan selama Januari 1991 sampai April 1996 didapatkan 94 kasus KNF dari 160 kasus tumor ganas (Adnan,1996), sementara pada tahun 1998 – 2002 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher (Lutan, 2003). Dari data rekam medik jumlah pasien KNF yang datang berobat dari tahun 2002 - Agustus 2007 ditemukan 924 orang, laki-laki IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
13 berjumlah 630 orang dan perempuan 294 orang, dengan rentang usia 15-82 tahun (Devira, 2007). Di Indonesia frekuensi penderita ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, di Padang dan Bukit Tinggi 11 kasus. Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan daerah lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia (Roezin dan Syafril, 2001). Dalam banyak studi dilaporkan insiden kejadian KNF menurut jenis kelamin, penderita laki-laki selalu lebih banyak dibanding perempuan. Pada populasi dengan risiko tinggi, perbedaan ini sangat signifikan, seperti di Cina dan Singapura, rasio lakilaki dan perempuan adalah 2,3 : 1; dan di Hongkong rasionya 2,5 :1. Perbandingan di Indonesia adalah 2-3 : 1 (Susworo, 2004). Berdasarkan umur, dilaporkan penderita KNF termuda berumur 2 tahun dan paling tua 91 tahun (McDermott et al, 2001), sedangkan di Indonesia umur termuda 4 tahun dan tertua 84 tahun (Roezin,1995).
2.2.4
Etiologi dan faktor predisposisi Etiologi KNF masih belum pasti (Chew, 1997)
Sekarang ini, sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa etiologi KNF adalah multifaktor, termasuk genetik, lingkungan dan virus (Licitra et al, 2003; Yang et al, 2005). Spekulasi dan hipotesis tentang etiologi dari KNF dimulai pada awal abad 20. Hipotesis tentang etiologi KNF pertama kali dikemukakan oleh Jackson tahun 1901, yang mengajukan hipotesis bahwa iritasi debu pada pekerja gabus, merusak epitel saluran nafas. Dia menyimpulkan iritasi tersebut tidak dapat menyebabkan KNF, seperti kejadian pada kanker laring yang lebih sering. Sejak itu patogenesis KNF secara intensif diteliti, khususnya perhatian ditujukan pada gambaran geografi dan variasi rasial. Tahun-tahun belakangan ini banyak faktor lingkungan dan biologik telah menunjukkan
hubungan
risikio
terjadinya
KNF,
dan
hasil
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
riset
termutakhir
14 menunjukkan adanya peran faktor genetik dan virus dalam perkembangan dari penyakit ini (McDermott et al, 2001).
a. Faktor genetik Pada sel normal pertumbuhan (pembelahan/proliferasi) dan diferensiasi diatur oleh gen yang disebut proto-onkogen. Pembelahan pada sel normal terjadi bila ada rangsang pertumbuhan yang diterima oleh reseptor faktor pertumbuhan (growth factor receptor) yang terletak pada membran sel. Pesan tersebut kemudian diteruskan melalui membran sel ke dalam sitoplasma, yang seterusnya melalui penghantar isyarat di dalam sitoplasma akan disampaikan ke dalam inti. Rangsang pertumbuhan selanjutnya akan mengaktifkan faktor pengatur inti untuk memulai transkripsi DNA (Tjarta, 1998). Onkogen terjadi melalui mutasi somatik proto-onkogen. Dalam keadaan normal ekspresi proto-onkogen diperlukan untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel dan tidak mengakibatkan keganasan, karena aktivitasnya dikontrol secara ketat. Aktivasi protoonkogen menjadi onkogen dapat terjadi melalui perubahan struktural dalam gen, translokasi kromosom, amplifikasi gen atau mutasi dalam berbagai elemen yang dalam keadaan normal berfungsi untuk mengontrol ekspresi gen bersangkutan. Mutasi proto-onkogen relatif sering terjadi dalam sel yang berproliferasi aktif, namun perubahan ke arah ganas dapat dicegah dengan bantuan ekspresi berbagai gen supresor (tumor suppresor genes atau anti-onkogen) yang berperan menginduksi terhentinya siklus sel atau menginduksi proses apoptosis. Apabila fungsi gen-gen yang berperan dalam pengawasan ini terganggu akibat mutasi atau hilang (delesi), maka sel bersangkutan akan menjadi rentan terhadap transformasi ganas (Murphy dan Levine, 2001; Kresno, 2005). Perubahan yang dialami proto-onkogen seluler pada aktivasi menjadi onkogen selalu menstimulasi suatu fungsi sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel. Sejauh aktivasi ini terjadi karena mutasi, hal ini disebut mutasi
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
15 dominan. Mekanisme onkogen merangsang pertumbuhan pada sel neoplastik adalah sebagai berikut: a. Mengkode pembuatan protein yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan (growth factor) yang berlebihan (overekspresi) dan merangsang diri sendiri (autokrin), misalnya c-sis (cellular-sis) b. Memproduksi reseptor faktor pertumbuhan (growth factor receptor) yang tidak sempurna, yang memberi isyarat pertumbuhan terus menerus, meskipun tidak ada rangsang dari luar, misalnya c-erb B c. Pada amplifikasi gen terbentuk reseptor faktor pertumbuhan yang berlebihan, sehingga sel tumor sangat peka terhadap faktor pertumbuhan dengan konsentrasi di bawah ambang rangsang normal, misalnya c-neu. d. Memproduksi protein yang berfungsi sebagai penghantar isyarat di dalam sel yang tidak sempurna, yang terus menerus menghantarkan isyarat, meskipun tidak ada rangsang dari luar sel, misalnya c-K-ras e. Memproduksi protein yang berkaitan langsung dengan inti yang merangsang pembelahan sel, misalnya c-myc Tumor tidak hanya terbentuk karena aktivasi onkogen yang bekerja dominan, tetapi dapat terjadi akibat hilangnya atau tidak aktifnya gen yang bekerja menghambat pertumbuhan sel yang disebut anti-onkogen atau gen supresor tumor. Pada pertumbuhan dan diferensiasi sel normal, anti-onkogen bekerja menghambat pertumbuhan dan merangsang diferensiasi sel. Beberapa anti-onkogen ialah gen p53, Rb, APC, WT, DCC, NFI, NF-2 (Suryanto, 2006).
b. Faktor lingkungan Sangkaan bahwa faktor genetik berperan jelas sebagai penyebab dan juga peran beberapa kofaktor lingkungan adalah sama pentingnya. Berbagai faktor lingkungan dan agent yang termasuk dalam etiologi karsinoma nasofaring adalah; Virus Epstein-Barr (peningkatan antibodi, viral genome di dalam sel tumor), bahan kimia (tembakau, obat-obatan, jamu-jamuan, produk tanaman, makanan atau diet IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
16 seperti ikan asin, nitrosamin, makanan fermentasi), kebiasaan memasak (asap bakaran dan uap), praktek keagamaan (dupa cina dan harum-haruman), terpapar lingkungan kerja (uap dan kimia industri, partikel logam, debu kayu, formaldehid), dan lain-lain (status ekonomi, penyakit-penyakit THT sebelumnya, defisiensi gizi, logam seperti arsenik, kromium, dan nikel) (Chew, 1997). 1. Infeksi Virus Epstein-Barr (VEB) Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1960 dalam biakan sel limfoblas dari pasien limfoma Burkitt. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes (Herpesviridae) yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu, mononukleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan KNF. Genom DNA VEB mengandung 172 kbp dan memiliki kandungan guanin-plus-sitosin sebesar 59%. Melalui tempat replikasinya di orofaring, VEB dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada sel ini, menetap pada pasien yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit yang berarti (McDermott et al, 2001). Ada dua jenis infeksi VEB yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan protein virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis infeksi kedua adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di dalam sel terinfeksi sebagai episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut menjadi keganasan. Berbagai antigen yang disandi oleh virus dapat diidentifikasi dalam nucleus, sitoplasma dan membrane sel terinfeksi. Antigen ini dapat menginduksi respon imun seperti EBNA (Epstein-barr nuclear antigen) yang diekspresikan pada infeksi litik dini tapi juga dapat diekspresikan pada infeksi laten. Protein lain adalah LMP (laten membrane protein) dan VCA (viral capsid antigen). Infeksi VEB mempunyai dampak yang jelas pada sel B. Percobaan invitro membuktikan bahwa virus ini merupakan aktivator proliferasi poliklonal sel B yang tidak tergantung pada sel T, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal dan mengalami transformasi ganas. Walaupun dapat terjadi respon seluler atau respon humoral terhadap antigen yang disandi oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
17 terhadap antigen tersebutlah yang dapat memperantarai penolakan terhadap tumor tersebut secara in vivo. Jadi untuk mengatasi infeksi VEB diperlukan respon imun seluler atau respon sel T. Pada keadaan defisiensi respon imun seluler, dapat mengakibatkan sel yang terinfeksi VEB secara laten mengalami transformasi ganas (McDermot et al, 2001). 2. Faktor makanan Ho (1971) yang pertama kali menghubungkan ikan yang diasinkan yang merupakan makanan kegemaran penduduk Cina Selatan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya KNF. Teori ini didasarkan atas insiden KNF yang tinggi pada masyarakat nelayan tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur dan buah segar. Penelitian di Hongkong tahun 1986 menyebutkan bahwa dari 250 pasien KNF dibawah usia 35 tahun, sebagian besar ternyata mengkonsumsi ikan asin semenjak usia di bawah 10 tahun.Kebiasaan makan ikan yang diasinkan ini juga terdapat pada penduduk keturunan Cina yang beremigrasi ke Negara lain seperti Malaysia Timur (Kadazans) dan negara Asia Tenggara lainnya. Zat nitrosamin juga didapati pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Tunisia, Cina Selatan, dan Greenland dimana angka kejadian KNF cukup tinggi (Ahmad, 2002). Ikan asin ala orang Kanton dimakan dalam bentuk digoreng atau berupa sup kepala ikan asin yang merupakan makanan tradisional penduduk Cina Selatan. Makanan ini dibuat dari ikan laut yang isi perutnya dikeluarkan melalui mulut (tanpa disayat) kemudian direndam dalam air garam dalam tong yang terbuat dari kayu selama 1-5 hari, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 7 hari. Selama pengeringan sering terdapat infestasi lalat yang menyebabkan pembusukan sebelum terjadi proses pengasinan. Konsumsi ikan asin secara banyak dimasa kecil mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya KNF. Yu dkk mendapatkan kira-kira 50 % kasus KNF di kota Tianjin Cina selatan yang mempunyai insidens KNF yang rendah, mengkonsumsi ikan asin sejak usia muda (Yu et al, 1990; McDermott et al, 2001)
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
18 Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa makanan yang mengandung nitrosamin dan nitrit yang dikonsumsi semasa kecil mempunyai resiko untuk terjadinya KNF pada umur dewasa (Roezin, 1996). 3. Radang kronis Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (Ahmad, 2002). 4. Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya KNF adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa (kemenyan), obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF belum dapat dijelaskan. Serbuk kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan pasien KNF. Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko menderita KNF. Sedangkan peminum alkohol tidak dijumpai ada hubungan resiko terjadinya KNF. Yu dkk tahun 1990, melaporkan bahwa pada orang merokok lebih dari 30 batang mempunyai resiko 3 kali lebih besar daripada yang bukan perokok (Yu et al, 1990). KNF juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan karsinogen antara lain bezopyrenen, benzo anthrancene, gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan. Adanya peradangan menahun di nasofaring maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (McDermott et al, 2001; Ahmad, 2002).
2.2.5 Karsinogenesis secara umum Sel tumor ialah sel tubuh kita sendiri yang mengalami perubahan (transformasi) sehingga bentuk, sifat dan kinetikanya berubah, sehingga tumbuhnya menjadi autonom, liar tidak terkendali dan terlepas dari koordinasi pertumbuhan normal. Akibatnya timbul tumor yang terpisah dari jaringan tubuh normal (Sukardja, 2000). Transformasi sel terjadi karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan atau supresor gen (anti onkogen). Spektrum
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
19 kerusakan itu sangat luas, dapat dari ringan dan terbatas sampai berat serta luas (Sukardja, 2000; Irish et al, 2003). Pada manusia selama hidup diperkirakan rata-rata sel tubuh mengalami sebanyak 1016 mitose, dengan masing-masing gen mempunyai kemungkinan 106 mengalami mutasi spontan dan menyalin (translate) 1010 mutasi. Jika tiap mutasi dapat merubah sel normal menjadi kanker, maka kita tidak mungkin dapat berfungsi sebagai makhluk hidup. Penelitian epidemiologi menunjukkan kemungkinan perubahan menjadi kanker tidaklah konstan, tetapi bertambah dengan bertambahnya umur. Penelitian komparatif dari berbagai tumor menunjukkan bahwa aktivasi gen myc dapat merubah sel itu menjadi immortal (tidak dapat mati), dan aktivasi gen ras atau famili ras dapat menjadikan transformed sel. Pada manusia gen yang sering mengalami mutasi ialah gen c-myc, K-ras, hst-1 dan neu (Sukardja, 2000). Penemuan dan uraian tentang onkogen dan tumor suppressor genes meningkatkan pengetahuan kita tentang mekanisme genetik dan molekuler patogenesis kanker. Pemahaman tentang patogenesis kanker tersebut diperoleh dari berbagai percobaan binatang dan percobaan laboratorium yang mengungkapkan bahwa mutasi satu atau lebih gen akan menyebabkan penyimpangan dalam pertumbuhan sel yang berakibat transformasi sel kearah ganas. Sekalipun tampaknya sederhana, pada hakekatnya tumorigenesis pada manusia tetap merupakan satu proses kompleks yang berlangsung melalui berbagi tahapan (multistep/multistage process). Bahwa kanker terjadi melalui proses multistep dibuktikan dengan berbagi penelitian, diantaranya bukti tidak langsung yang diperoleh dari studi epidemiologi. Salah satu bukti epidemiologi adalah bahwa insiden kanker meningkat sesuai peningkatan usia. Bukti lain adalah bahwa diperlukan waktu yang cukup panjang antara paparan pertama terhadap bahan karsinogen (rokok, asbes) dengan timbulnya kanker, demikian pula peningkatan insiden kanker yang baru terjadi berpuluh tahun sesudah dijatuhkannya bom atom di Jepang. Bila ditinjau dari aspek genetik dan molekuler, sudah diterima secara luas bahwa perkembangan kanker disebabkan akumulasi kelainan atau mutasi beberapa gen (multiple genetic alterations) yang berinteraksi satu dengan lain untuk pada akhirnya IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
20 menghasilkan transformasi sel. Mutasi beberapa jenis gen tertentu yang diwariskan menyebabkan kecenderungan seseorang menderita kanker, jadi dalam hal ini faktor keturunan merupakan faktor yang penting, tetapi penyebab kelainan gen yang berakibat kanker sebagian besar berasal dari luar (eksogen). Di antara faktor eksogen adalah berbagai jenis virus khususnya virus onkogenik, misalnya virus hepatitis B, Epstein Barr, HTLV-1, berbagai bahan kimia dan radiasi khususnya radiasi pengion. Tetapi tidak semua mutagen berasal dari luar (eksogen). Akhir-akhir ini diketahui bahwa kerusakan DNA
sebagi
reaksi
metabolik
endogen
yang
menghasilkan
reactive
oxygen
intermediates (ROI) dalam jumlah besar juga berpotensi menimbulkan keganasan (Kresno, 2004). Mekanisme karsinogenesis baik biokimiawi maupun molekuler berbeda antara satu karsinogen dengan yang lain, bergantung pada struktur dan sumber karsinogen masing-masing, tetapi pada dasarnya sasaran karsinogen adalah menimbulkan lesi pada untaian DNA yang mengandung berbagai jenis gen. Dalam beberapa tahun terakhir telah terungkap bagaimana hubungan karsinogen dengan lesi DNA dan jenis mutasi gen yang ditimbulkannya, demikian pula peran gen DNA repair dan respons tubuh lainnya terhadap kerusakan DNA. Berbagai jenis onkogen dan gen supresor (tumor suppressor gene) yang berperan sebagai regulator siklus sel atau pertumbuhan dan diferensiasi sel pada umumnya merupakan sasaran lesi onkogenik (Kresno, 2004).
2.2.6 Zat-zat karsinogen berdasarkan struktur dan kerjanya a. Karbohidrogen polisiklik Dalam golongan ini termasuk bermacam-macam derivate batubara, seperti dimetilbenzantrasen, benzpiren dan metilkolantren. Zat-zat ini dapat menginduksi tumor pada jarak jauh baik atas dasar aplikasi maupun sesudah absorpsi. Tidak mustahil bahwa benzpiren merupakan faktor penting dalam terjadinya karsinoma bronkus pada perokok berat.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
21 b. Amina aromatik Dalam golongan ini termasuk naftilamina, benzidin, asetilaminofluoren dan zatzat warna azo. Naftilamin merupakan salah satu penyebab terpenting kanker kandung kemih. Terutama pekerja yang berhubungan dengan produksi dan pemrosesan zat warna aniline, di antaranya di dalam industri tekstil, mendapat kontak dengan zat-zat ini. c. Nitrosamina dan nitrosamida Meskipun ada dugaan bahwa zat-zat tersebut dapat memicu terjadinya tumor pada manusia belum dapat dibuktikan dengan meyakinkan. Zat-zat tersebut mempunyai arti penting untuk onkologi eksperimental. Zat tersebut merupakan karsinogen distal yang khas, yang seringkali menunjukkan spesifitas yang mencolok mengenai induksi tumor-tumor dalam organ tertentu. Etylnitrosamina yang termasuk dalam golongan ini pada tikus hamil dapat menembus plasenta yang mengakibatkan terjadinya tumor otak pada anak-anaknya. d. Karsinogen pengalkil Dalam golongan ini termasuk beberapa siklofosfamid. Karena bentuk kanker tertentu dapat disembuhkan dengan kemoterapi, harus diperhatikan sifat onkogen golongan obat ini. Kemoterapetika kebanyakan merupakan karsinogen proksimal. Malignitas kedua merupakan komplikasi yang telah dikenal dari kemoterapi (juga dari radioterapi). e. Asbestos dan beberapa logam karsinogen Terutama frekuensi yang meningkat dari mesotelioma dan juga karsinoma bronkus pada pekerja di dalam industri yang menggunakan asbes, juga di negeri kita, telah sangat menarik perhatian. Berilium, kadmiun, kobalt, nikel dan timah sebagai ion bersifat elektrofil, karena itu bahan mungkin dapat mengikatkan diri kepada molekulmolekul yang aktif biologik dan itu menimbulkan tranformasi sel. f. Karsinogen alamiah Berlawanan dengan karsinogen yang disebutkan di atas, karsinogen alamiah ini merupakan produk-produk metabolik sel terutama dari bermacam-macam jamur. Mereka terdapat begitu saja di dalam lingkungan alamiah. Paling dikenal dari mikotoksin IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
22 ini adalah aflatoksin suatu produk dari Aspergillus flavus. Data epidemiologik menunjukan kemungkinan bahwa toksin ini yang antara lain didapat dalam kacangkacangan yang jamuran, mempunyai peran dalam terjadinya kanker hepar pada manusia (Bosman,1999).
2.2.7 Mekanisme karsinogenesis Pada umumnya karsinogen kimia merupakan senyawa elektrofilik atau dapat dimetabolisme menjadi senyawa yang memiliki sifat tersebut. Senyawa elektrofilik ini dapat bereaksi dengan pusat nukleofilik (terutama atom N dan O, kadang-kadang S) pada makromolekul seperti DNA, RNA dan protein. Pengikatan secara kovalen dan perubahan pada molekul-molekul vital ini tidak dapat diperbaiki, menetap, dan mengakibatkan hilangnya sifat serta kontrol pertumbuhan sel yang normal (transformasi ganas). Perubahan pada DNA diyakini berkaitan dengan mutasi, seperti mutasi titik (substitusi pasangan basa) atau mutasi frame-shift, yang berakibat pengaktifan onkogen (misalnya ras proto-onkogen) dan inaktivasi gen supresor tumor. Karsinogen yang menyebabkan perubahan pada metri genetic disebut genotoksik. Asbes merupakan karsinogen non-genotoksik, menyebabkan disjunction melalui pengikatan pada spindle fibers pada saat mitosis dan menyebabkan anueploidi (Bosman, 1999; Asikin, 2001). Eksperimen Berendbulm pada tahun 1941 pada mencit yang dicat berulang kali selama beberapa waktu dengan benzo [a]piren (= B[a]P, suatu hidrokarbon aromatik) pada kulit yang telah dicukur, berakibat pertumbuhan tumor pada bagian kulit tersebut. Pengecatan dengan B[a]P hanya satu kali, dan dilanjutkan dengan pemberian minyak kroton beberapa kali, juga menyebabkan terjadinya tumor kulit. Perlakuan dengan minyak kroton saja ternyata tidak berpengaruh. Berenblum sampai pada kesimpulan yang diterima sampai kini bahwa karsinogenesis merupakan peristiwa yang berlangsung melalui beberapa tahapan (multistep), dari tahap inisiasi yang bersifat ireversibel dan memerlukan karsinogen, promosi yang reversible, dan selanjutnya progresi dan metastasis (Bosman, 1999; Asikin, 2001; Irish, 2003).
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
23 Tahapan proses karsinogenesis dapat dirinci sebagai berikut : 1. Tahap 1 (bila perlu) biotransformasi suatu zat pro-karsinogen menjadi senyawa yang reaktif (elektrofilik) terhadap DNA. 2. Tahap 2 (inisasi) pengikatan kovalen kepada DNA. 3. Tahap 3 (inisiasi) stabilisasi mutasi pada DNA (aktivasi onkogen atau inaktivasi supresor). 4. Tahap 4 (promosi) ekspresi mutasi, perubahan fungsi selular (ekspresi gen, fungsi reseptor). 5. Tahap 5 (promosi) pertumbuhan neoplastik, terdeteksi secara klinik atau patologi. 6. Tahap 6
(progresi) manifestasi pertumbuhan tumor secara kualitatif dan
kuantitatif. 7. Tahap 7 (metastasis) penyebaran sel yang mengalami transformasi ke bagian lain tubuh, berkembang menjadi tumor sekunder.
Proses karsinogenesis pada manusia dapat berlangsung selama 15-30 tahun. Pada tahap inisiasi sel terpapar dengan dosis yang tepat dari suatu bahan karsinogen inkomplit, menyebabkan kerusakan permanen pada DNA, yang bila sel membelah diteruskan ke generasi berikutnya. Inisiasi diikuti dengan masa laten secara klinik. Senyawa kimia yang dapat memulai (inisiasi) proses transformasi sel normal menjadi ganas berbagai hidrokarbon aromatic dan aflatoksin B1 disebut sebagai prokarsinogen. Beberapa
senyawa
dapat
meningkatkan
keampuhan
karsinogen
dan
disebut
kokarsinogen, bekerja dengan mengubah ambilan atau metabolisme karsinogen oleh sel. Contohnya alkohol pada karsinoma sel skuamosa (SCC), pirogalol pada SCC akibat B[a]P, dan senyawa arsenit pada kanker akibat sinar ultraviolet (Asikin, 2001). Faktor-faktor yang mempermudah karsinogenesis mempersingkat masa laten tumor dan disebut promoter. Struktur kimia promoter sangat bervariasi, seperti sakarin, fenobarbital, estrogen, prolaktin, dan ester forbol. Mekanisme promosi belum diketahui dengan jelas, berbagai promoter kelihatannya bekerja dengan merangsang proliferasi IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
24 sel. Ester forbol diketahui mengakibatkan single-strand break pada DNA, disamping berikatan dengan reseptor membran, suatu protein kinase C, yang merupakan perantara dalam kegiatan PDGF (platelet derived growth factor), mitogen yang disandi oleh
proto-onkogen
c-sis.
Pengaktifan
protein
kinse
tersebut
mempengaruhi
metabolosme fosfat, meningkatkan ion Ca++ serta pH intraseluler, dan selanjutnya memicu proliferasi sel (Asikin, 2001).
2.2.8 Hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring a. Bahan karsinogen di dalam rokok Udara yang kita hirup merupakan campuran dari berbagai komponen, yaitu oksigen, nitrogen dan uap air. Udara juga mengandung bahan lain berupa gas dan partikel yang berbahaya. Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi akibat kontaminasi udara adalah pengaruh asap rokok (Drastyawan dkk, 2001). Merokok adalah suatu kebiasaan tanpa tujuan positif bagi kesehatan, pada hakekatnya merupakan suatu proses pembakaran massal tembakau yang menimbulkan polusi udara padat dan terkonsentrasi yang secara sadar langsung dihirup dan diserap oleh tubuh bersama udara pernapasan (Situmeang et al, 2002) Dewasa ini 80% perokok tinggal di negara-negara berkembang, Di tahun 1997 ada 5,7 triliun rokok yang dikonsumsi di dunia. Lima besar konsumen rokok di dunia adalah China dengan 1,679 triliun batang setahunnya, Amerika Serikat 480 milyar batang, Jepang 316 milyar batang, Rusia 230 milyar batang dan Indonesia diurutan kelima yang mengkonsumsi 188 milyar batang rokok setahunnya (Aditama, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) di 14 Propinsi di Indonesia mendapatkan 59,04% laki-laki perokok berumur 10 tahun ke atas, sedangkan pada perempuan hanya 4,83%. Sementara itu data Survei Kesehatan
Rumah
Tangga
(SKRT)
Departemen
Kesehatan
RI
tahun
2001,
menunjukkan secara keseluruhan (laki-laki dan perempuan) 31,5% penduduk Indonesia merokok (Aditama, 2004). Di Indonesia jenis rokok yang terbanyak dikonsumsi adalah
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
25 rokok kretek (81,34%) yaitu rokok yang berisi campuran tembakau dengan cengkeh (Caldwell, 2001). Asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan campuran dan dalam analisis kimia diketahui telah teridentifikasi sedikitnya 50 jenis kasinogen. Dari penelitian yang ada, karsinogen yang telah teridentifikasi diantaranya adalah polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), nitrosamines, aromatic amines, aza-arenes, aldehydes, various organic compounds, inorganic compounds; seperti hydrazine dan beberapa logam, dan beberapa radikal bebas (Haugen, 2000; Drastyawan et al, 2001; Port et al, 2004). Selain komponen gas ada komponen padat atau partikel yang terdiri dari nikotin dan tar. Tar mengandung bahan karsinogen, sedangkan nikotin bukan karsinogen (Pfiefer et al,2002), tapi merupakan bahan adiktif yang menimbulkan ketergantungan atau kecanduan (Aditama, 2001). Hubungan antara merokok dan KNF telah banyak diteliti di daerah geografik dengan insiden tinggi dan sedang, seperti di China Selatan dan sebagian daerah di Asia Tenggara. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut bervariasi, ada yang mempunyai hubungan dan ada yang tidak mempunyai hubungan (Zhu et al, 1995). Selama tahun 1950, mulai terbukti dengan cukup jelas bahwa merokok tembakau sebagai zat karsinogen. Di akhir tahun 1950 tersebut, bukti yang meyakinkan tentang hubungan merokok dengan kanker paru dan kanker-kanker lainnya telah diperoleh dari penelitian-penelitian kasus kontrol dan kohort, dan karsinogen telah teridentifikasi dalam asap rokok tembakau. Asap rokok dapat menyebabkan terjadinya tumor ketika tar asap rokok tersebut dioleskan pada kulit tikus percobaan. Pada dekade sebelumnya, jumlah kematian akibat merokok meningkat tajam, dimana gambaran ini terjadi pada perokok-perokok berat (Sasco et al, 2004; Vinies et al, 2004).
b. Merokok dan kanker. Karsinogenesis adalah suatu studi tentang asal muasal kanker.
Penelitian
pada sistem biologi dapat dilakukan untuk menghasilkan suatu observasi yang dapat mengetahui tentang tahap-tahap yang terjadi pada perubahan dari sel normal menjadi IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
26 sel kanker. Dugaan hubungan antara penggunaan tembakau dan kanker telah dikemukakan oleh Hill (Marshal, 1993). Potensi bahan karsinogen di dalam asap rokok dan hubungannya dengan kanker dapat dievaluasi dengan cara yang bervariasi, akan tetapi sangatlah penting untuk mempertimbangkan komponen-komponen yang ada di dalam asap rokok tersebut dan kemampuannya untuk menginduksi tumor dalam percobaan pada hewan. (Pfiefer et al, 2002). Bukti yang ada sekarang menunjukkan
bahwa asap tembakau adalah
campuran bahan karsinogen yang multipoten. Dengan kemajuan dalam biokimia dan biologi molekuler telah dilakukan riset-riset untuk mengukur bahan-bahan metabolit rokok dalam cairan dan organ tubuh yang berbeda, untuk mengukur karsinogen-protein dan karsinogen-DNA, dan untuk mengidentifikasi kerusakan genetik (mutasi atau penyimpangan kromosom) yang berhubungan dengan merokok (Venies et al, 2004). Pada kanker paru, terdapat bukti yang mengindikasikan bahwa bahan karsinogen polycyclic aromatic amines (PAHs) dan nitrosamines adalah bahan yang sangat penting dalam menginduksi kanker paru. Bahan tersebut merupakan karsinogen yang kuat, dan jumlahnya relatif banyak di dalam tembakau. Selanjutnya, penelitian ini menunjukkan bahwa
jaringan paru manusia dapat memetabolisme PAHs menjadi
metabolit yang reaktif, dimana dapat berinteraksi dengan DNA, membentuk DNA yang mutagen. Terbentuknya DNA mutagen adalah suatu permulaan dalam proses karsinogenesis. Konsentrasi nitrosamines yang ditemukan didalam tembakau relatif tinggi, dan pada perokok berat mempunyai tingkat keterpaparan yang tinggi terhadap nitrosamines. Penamaan tobacco spesific N-nitrosamines (TSNA), secara prinsip 4(methylnitrosamino) -3-(3-Pyridyl)-1-butanone (NNK), adalah bahan karsinogen yang sangat kuat pada saluran napas yang teridentifikasi di dalam produk rokok (Haugen, 2000). Pada asap rokok terdapat logam-logam yang relatif banyak. Sedikitnya 30 logam telah teridentifikasi. Kromium, kadmium dan nikel terdapat di dalam asap rokok. Yang pasti logam-logam tersebut diketahui sebagai bahan karsinogen. Bukti eksperimen mengindikasikan banyak bahan logam adalah efektif sebagai inisiator dalam proses IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
27 karsinogenesis, tapi dapat juga menjadi promotor yang potensial selama proses karsinogenesis (Haugen, 2000). Ivy dari Universitas Illinois Amerika Serikat yang telah bertahun-tahun menyelidiki rokok, menemukan bahwa orang yang merokok sebungkus perhari selama 10 tahun, menghirup sekitar 7 liter tar dalam jangka waktu tersebut (Caldwell, 2001). Selanjutnya pernyataan tersebut dikaji ulang oleh Graham dan Wynder. Mereka mengecat punggung tikus dengan tar tembakau. Eksperimen ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain, tetapi tidak menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Menurut kedua peneliti ini, penyebabnya adalah pada penelitian yang terdahulu tidak dikerjakan dalam waktu yang lama, sehingga sebelum hasilnya terlihat penelitian sudah dihentikan. Kali ini
Graham dan
Wynder akan menyempurnakan
penelitian itu, dengan menggunakan larutan tar yang lebih pekat dan periode percobaan yang lebih panjang. Tar yang mereka gunakan diambil dari asap rokok yang dihasilkan oleh sebuah mesin yang mampu menghisap 60 batang rokok sekaligus. Tar yang sudah dikumpul dilarutkan oleh suatu pelarut, kemudian dioleskan pada punggung tikus yang telah dicukur terlebih dahulu, tiga kali dalam seminggu. Selama dua bulan pertama, secara bertahap mereka menaikkan kadar larutan tar sebesar tiga kali dari kadar sebelumnya. Pada pekan ke-42, seekor tikus memperlihatkan gejala awal penyakit kanker. Memasuki pekan ke-72, rata-rata setiap tikus telah terserang kanker (Caldwell, 2001). Brennan et al (1991) dalam penelitiannya tentang hubungan antara merokok dan mutasi gen p53 pada karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher menyatakan bahwa dari sediaan tumor 129 penderita karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher, didapati mutasi gen p53 yang mempunyai hubungan kuat dengan merokok. Dalam analisis penelitian lainnya mendapatkan bahwa perokok merupakan major risk factor untuk terjadinya kanker di kepala dan leher. Penelitian ini menunjukkan hasil yang signifikan yang membandingkan perokok dengan bukan perokok, dimana kemungkinan perokok menderita kanker kepala dan leher sangat besar (Daly, 1993). Juga didapatkan hubungan antara lama
merokok dan banyaknya rokok yang
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
28 dikonsumsi dengan tren positive dose-respons relationship (Uzcudun et al, 2002; Sasco et al, 2004; Pinar et al, 2007). Pada hasil penelitian lainnya didapatkan bahwa risiko terjadinya kanker pada faring lebih besar jika dihubungkan dengan lama merokok, dibandingkan hubungan risiko dengan banyaknya rokok yang dikonsumsi (Pelucchi et al, 2006). Berikut ini ditampilkan skema tentang hubungan adiksi nikotin dan kanker paru yang berkaitan dengan bahan karsinogen di dalam asap rokok. Dimana skema yang hampir sama dapat dipertimbangkan untuk kanker-kanker lain yang mempunyai hubungan dengan rokok (Hecht, 2003).
Skema ini menggambarkan peran
utama
perubahan DNA
dalam proses
karsinogenesis. Dalam skema ini, nikotin menyebabkan sifat adiksi ingin terus merokok dan menyebabkan pajanan kronis terhadap bahan karsinogen. Karsinogen secara metabolik dapat diaktifkan untuk bereaksi dengan DNA, membentuk produk kovalen gabungan yang disebut DNA yang berubah (DNA adducts). Bersaing dengan proses metabolik ini, proses detoksifikasi produk karsinogen gagal untuk diekskresikan. Jika DNA yang berubah tersebut dapat diperbaiki (repair) oleh enzim perbaikan selular, DNA akan kembali kebentuk normalnya. Akan tetapi jika perubahan terus berlangsung selama replikasi DNA, kegagalan pengkodean DNA dapat terjadi, yang cenderung untuk menjadi mutasi permanen dalam urutan DNA. Sel-sel dengan DNA rusak atau IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
29 bermutasi dapat dilisiskan dengan proses apoptosis. Jika mutasi terjadi pada bagian utama dalam gen-gen yang krusial, seperti pada RAS atau MYC onkogen atau TP53 atau CDKN2A tumor supresor gen, hasilnya dapat terjadi kehilangan kontrol regulasi pertumbuhan sel-sel normal dan terjadi pertumbuhan tumor. Nikotin dan karsinogen dapat juga berikatan secara langsung dengan reseptor beberapa sel, selanjutnya mengaktifasi protein kinase B (AKT), protein kinase A (PKA) dan faktor-faktor lain. Hal ini
dapat
menyebabkan
terjadinya
penurunan
proses
apoptosis,
peningkatan
angiogenesis dan peningkatan tranformasi sel. Bahan isi tembakau juga berisi promotor tumor dan kokarsinogen, yang dapat mengaktifkan protein kinase C (PKC), aktivator protein 1 (AP1) atau faktor lain, yang selanjutnya meningkatkan proses karsinogenesis (Hecht, 2003).
c. Merokok sebagai faktor risiko terjadinya karsinoma nasofaring Pada tahun 1986, International Agency for Research on Cancer (IARC) Working Group menemukan cukup bukti bahwa merokok dapat menyebabkan kanker pada manusia, dan disimpulkan bahwa merokok dapat menyebabkan tidak hanya kanker paru, tapi juga dapat terjadi pada saluran kemih, termasuk ginjal dan kandung kemih, saluran nafas bagian atas termasuk rongga mulut, faring, laring, esofagus, dan pankreas. Pada tahun 2002, Vineis et al (2004) menemukan terjadinya peningkatan risiko kanker sinonasal dan kanker nasofaring
diantara para perokok, yang secara
konsisten dilaporkan dalam beberapa penelitian kasus-kontrol, dengan tren positive dose-response berhubungan dengan banyaknya dan lamanya merokok. Merokok telah memberi gambaran sebagai faktor risiko yang cukup berarti untuk terjadinya kanker pada berbagai organ tubuh. Komponen isi rokok, termasuk nitrosamine
dan
formaldehide,
juga
menunjukkan
rokok
mempunyai
potensi
karsinogenik. Menghisap rokok akan memberi pajanan bahan karsinogenik yang ada di dalam rokok secara langsung terhadap nasofaring. Dengan demikian hubungan antara merokok dan KNF secara biologi cukup dapat diterima. Beberapa hasil penelitian yang meneliti hubungan antara merokok dan KNF menunjukkan hasil yang tidak sama. IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
30 Namun, Lin et al (1971) di Taiwan, melaporkan adanya peningkatan risiko yang signifikan terjadinya KNF dengan peningkatan lamanya merokok. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian selanjutnya, akan tetapi beberapa penelitian yang lain menunjukkan hasil yang berlawanan tentang hubungan antara merokok dan KNF (Cheng et al, 1999). Enzyme Cytochrome P450 2EI (CYP2EI) diketahui merupakan enzim aktivasi pada nitrosamine dan karsinogen lainnya yang mungkin terlibat dalam perkembangan terjadinya KNF. Hildesheim et al (1997) dalam penelitian case control mengemukakan bahwa asap rokok adalah sumber penting paparan nitrosamine sehingga memodulasi aktivitas CYP2EI, dan dia melihat efeknya sebagai faktor risiko pada KNF, dimana merokok mempunyai hubungan dan merupakan risiko terjadinya KNF. Vaughan et al (2000) menemukan bukti tentang hubungan antara risiko KNF dan potensi paparan formaldehyde yang lebih kuat pada para perokok. Diantara orang perokok dan mantan perokok, odds ratio dihubungkan dengan yang pernah bekerja pada pekerjaan yang terpapar formaldehyde (OR 2,3), dibandingkan dengan orangorang yang tidak pernah merokok (OR 0,5).
d. Lama merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok tersebut. Faktor lain yang turut mempengaruhi akibat pajanan asap rokok antara lain usia mulai merokok, lama merokok, dalamnya hisapan dan lain-lain (Drastyawan et al, 2001). Berdasarkan lamanya, merokok dapat dikelompokkan sebagai berikut; merokok selama kurang dari 10 tahun, antara 10 – 20 tahun, dan lebih dari 20 tahun (Kolappan dan Gopi, 2002; Solak et al, 2005). Jumlah rokok yang dihisap dapat dinyatakan dalam pack years, setara dengan berapa bungkus rokok yang dihisap dalam satu hari (1 bungkus = 20 batang) dikalikan lamanya merokok dalam tahun (Drastyawan dkk, 2001). Klasifikasi menurut jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dapat dikelompokkan sebagai berikut; ringan (1-10 IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
31 batang perhari), sedang (11-20 batang perhari) dan berat (lebih dari 20 batang perhari) (Kolappan dan Gopi, 2002; Solak et al, 2005). Mobuchi et al, dalam studi case control, menginvestigasi kemungkinan faktorfaktor etiologi pada KNF. Hasil penelitiannya menunjukkan peningkatan odds ratio dengan jumlah rokok yang dihisap, yang menggambarkan adanya positive doseresponse relationship (Mabuchi et al, 1985; Chen et al, 1990; Amrstrong et al, 2000; Yang et al, 2005). Sementara itu, Nam et al (1992) dan Zhu et al (1995) mendapatkan hasil yang sama mengenai hubungan peningkatan risiko terjadinya KNF dengan status merokok, makin lama merokok dan jumlah rokok yang dihisap.
Laki-laki yang secara
rutin merokok akan mempunyai risiko 2 kali kemungkinan menderita KNF dibanding dengan yang tidak merokok. Chow et al (1993) pada studi cohort meneliti hubungan merokok dengan KNF pada lebih kurang 250.000 veteran Amerika Serikat. Selama 26 tahun penelitian dijumpai 48 penderita KNF. Perokok berisiko 4 kali lebih besar kemungkinan terkena KNF dibandingkan dengan bukan perokok, dan risiko tersebut akan meningkat lagi menjadi 6,4 kali pada orang yang merokok lebih dari 2 bungkus perhari.
e. Faktor anatomi Letak nasofaring pada saluran napas bagian atas dimana merupakan tempat aliran dari polusi udara dan asap rokok adalah berpengaruh buruk terhadap mukosa dilokasi tersebut, dimana karsinogen yang dibawa oleh udara dapat menginduksi kanker (Zhuolin et al,2005). Mukosa nasofaring dapat langsung terpapar dari asap rokok yang dihisap, dan kanker dapat diinduksi pada daerah kontak dengan karsinogen (Mabuchi et al, 1985; Cheng et al, 1999). Adanya variasi bentuk anatomi didalam struktur hidung dan terdapatnya penyakit yang ada sebelumnya diketahui sebagai hal yang penting dalam etiologi tumor ganas
nasofaring. Konfigurasi dari saluran udara di hidung dan paranasal
memungkinkan terperangkap dan terkumpulnya gas karsinogen, dimana hal ini berperan dalam perkembangan dari penyakit ini (McDermott et al, 2001). IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
32
2.2.9
Gejala klinis a. Gejala akibat tumor primer 1. Gejala telinga a. Kataralis / oklusi tuba eustakhius Pada umumnya tumor bermula di fosa Rosenmuller dan pertumbuhannya dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba. Pasien mengeluh rasa penuh ditelinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dari karsinoma nasofaring. Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab yang jelas. b. Otitis media serosa sampai perforasi dengan gangguan
pendengaran
(Sudyartono dan Wiratno, 1996). 2. Gejala hidung a. Epistaksis Dinding tumor biasanya rapuh sehingga apabila terjadi iritasi ringan dapat terjadi perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, biasanya jumlahnya sedikit bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu. b. Sumbatan hidung Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental (Sudyartono dan Wiratno, 1996).
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya rinitis kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak-anak yang sedang menderita radang. Namun jika keluhan ini timbul berulang kali, tanpa IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
33 penyebab yang jelas atau menetap walaupun telah diberikan pengobatan, kita harus waspada dan segera melakukan pemeriksaan yang lebih tinggi terhadap rongga nasofaring, sampai terbukti bahwa bukan karsinoma nasofaring penyebabnya.
b. Gejala akibat tumor yang mengadakan infiltrasi 1. Limfadenopati servikal Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe leher dan tertahan di sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002 ). 2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar dan metastase jauh Tumor meluas ke intra kranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu n.II s/d n.VI. Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di Indonesia, tersering mengenai n.VI dengan keluhan berupa diplopia, kemudian n.V cabang 1 dengan keluhan berupa hipestesia pipi/wajah. Perluasan ke belakang secara ekstra kranial sepanjang fosa posterior, disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior saraf otak yaitu n.VII s/d n.XII beserta nervus simpatikus servikalis. Tumor dapat mengenai otot dan menyebabkan kekakuan otot-otot rahang sehingga terjadi trismus (Ahmad, 2002). IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
34 Sindrom retroparotidian terjadi akibat kelumpuhan n.IX,X,XI, dan XII. Manifestasi kelumpuhan ialah : a. n.IX
:Kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior
serta gangguan pengecap pada sepertiga belakang lidah. b. n.X
:Hiper/hipo/anastesi mukosa palatum mole, faring dan laring
disertai gangguan respirasi. c. n.XI
:Kelumpuhan
atau
atropi
otot-otot
trapezius,
sternokleidomastoideus, serta hemiparesis palatum mole. d. n.XII
:Hemiparalisis dan atropi sebelah lidah.
Biasanya beberapa saraf otak terkena secara unilateral, tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan bilateral. Nervus VII dan VIII, karena letaknya agak tinggi serta terletak dalam kanalis tulang, sangat jarang terkena tumor (Sudyartono dan Wiratno, 1996). 3. Gejala akibat metastase jauh Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang (femur), hati dan paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002).
2.2.10 Diagnosis Bila dicurigai kemungkinan adanya karsinoma nasofaring, maka dilakukan rangkaian pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dan stadium penyakit. a. Anamnesis Keluhan penderita karsinoma nasofaring sangat bervariasi. Pada stadium dini keluhan sering tidak menimbulkan kecurigaan atas adanya tumor ini. Keluhan tersebut biasanya berupa keluhan telinga, hidung atau keduanya. Pada stadium lanjut, kecurigaan pada penyakit ini akan mudah timbul dan sering ditemukan ialah pembesaran kelenjar limfe leher, gejala kelainan saraf kranial atau gejala akibat metastase jauh yang sangat berat dirasakan pasien (Mulyarjo, 2002). IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
35
b. Pemeriksaan nasofaring Nasofaring merupakan daerah yang tersembunyai atau daerah buta. Karsinoma nasofaring biasanya berasal dari lapisan epitel fossa Rosenmuller, biasanya bersembunyi di dekat muara tuba eustakhius (Mulyarjo, 2002). a. Pemeriksaan nasofaring secara konvensional adalah dengan menggunakan kaca
rinoskopi
Pemeriksaan
posterior,
yang
dengan
lebih
atau
sempurna
tanpa adalah
menggunakan dengan
kateter.
menggunakan
nasofaringoskopi baik yang fleksibel maupun yang kaku (Wei dan Sham, 1996). b. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan Kateter Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dewasa yang tidak sensitif. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah (Ahmad, 2002; Mulyarjo, 2002). c. Rinoskopi posterior menggunakan kateter Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter terebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya. Kedua ujung ini ditarik dengan kuat agar palatum mole terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca besar (kaca laring), rongga nasofaring tampak dengan jelas. Adanya kelainan yang minimal akan mudah tampak. Selanjutnya dengan tang biopsi, daerah yang dicurigai diambil (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Mulyarjo, 2002). d. Nasofaringoskopi 1. Nasofaringoskopi kaku Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu sudut 0, 30, dan 70 derajat dan tang biopsi yang membuka ke kanan atau ke kiri (Chew, 1997). IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
36 Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan cara : transnasal (teleskop dimasukkan melalui hidung) dan transoral (teleskop dimasukkan melalui rongga mulut). 2. Nasofaringoskopi lentur Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya dilengkapi alat biopsi. Biopsi massa tumor dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran (Wei dan Sham, 1996). e. Biopsi nasofaring Obat anastesi lokal disemprotkan ke daerah nasofaring dan orofaring. Melalui tuntunan rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter, daerah yang dicurigai diambil dengan tang biopsi. Biopsi dapat juga dilakukan melalui tuntunan nasofaringoskopi kaku dengan cunam yang terdapat dalam perangkat ini. Eksplorasi nasofaring bisa juga dilakukan dengan anastesi umum (Hold et al, 1993; Wei dan Sham, 1996). f.
Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi pada penderita yang dicurigai menderita karsinoma bertujuan untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah : foto polos nasofaring dan dasar tengkorak dan CT scan nasofaring. Pada karsinoma nasofaring yang tumbuh secara endofitik/submukosa dapat dideteksi dengan CT scan. Disamping itu pemeriksaan ini dapat mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas. Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan suatu sarana pemeriksaan diagnostik yang terbaru dan canggih yang tidak menggunakan sinar X tetapi dengan menggunakan medan magnit dan gelombang radio untuk menghasilkan gambar (Wei dan Sham, 1996). Bone Scintigraphy, jika dicurigai adanya metastase tulang, selanjutnya diikuti dengan foto lokal pada tulang yang dicurigai pada bone scantigraph (Brennan, 2006).
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
37 USG hepar, jika dicurigai metastase ke hati (Her, 2001). Positron Emission Tomography (PET), merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk mendeteksi adanya tumor residual atau rekuren pada nasofaring (Wei dan Sham, 2005). c.
Pemeriksaan patologi anatomi Pemeriksaan patologi anatomi yang dilakukan dapat berupa. 1.
Sitologi Sedian sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara seperti : melalui kerokan (scraping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan penghisap. Cara diagnosis ini sangat mudah, murah dan tak menimbulkan rasa sakit, akan tetapi hasilnya sering meragukan walaupun diperiksa oleh seorang ahli sitologi yang berpengalaman, sehingga pemeriksaan sitologi eksfoliatif belum dapat diterima sebagai alat diagnosis untuk karsinoma nasofaring.
2.
Biopsi aspirasi jarum halus Sebagian besar karsinoma nasofaring ditemukan dengan pembesaran kelenjar getah bening di leher. Untuk membuktikan pembesaran kelenjar getah bening merupakan metastase karsinoma nasofaring dilakukan pemeriksaan biopsi aspirasi. Dengan cara ini dapat diketahui massa mengandung sel tumor ganas atau tidak dan jenis sel. Pemeriksaan ini sangat sederhana dikerjakan dan hanya memerlukan sedikit peralatan dan pengalaman (Kurniawan, 1995). Biopsi aspirasi jarum halus juga dapat dilakukan pada massa tumor di nasofaring. Teknik ini telah digunakan oleh Lubis dimana dia melaporkan kegunaan teknik biopsi aspirasi jarum halus pada nasofaring (Lubis, 1993; Mulyarjo, 2002).
d. Histopatologi Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditegakkan dari pemeriksaan histopatologi atas sediaan biopsi nasofaring. Disamping itu pemeriksaan IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
38 histopatologi dapat menentukan subtipe histopatologi (Sudyartono dan Wiratno, 1996).
d. Pemeriksaan imunohistokimia Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuai. Sistem deteksi digunakan untuk identifikasi lokasi antibodi menggunakan penanda molekuler yang dapat dilihat. Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda seperti zat flouresens atau suatu enzim yang mengkatalis reaksi lebih lanjut membentuk produk berwarna yang dapat dilihat (Sudiana, 2005).
e. Pemeriksaan serologi Akhir-akhir ini pemeriksaan serologi banyak digunakan untuk membantu diagnosis karsinoma nasofaring, terutama di negara-negara dimana karsinoma nasofaring merupakan penyakit endemi seperti Cina, Hongkong, Taiwan, dan di negara ASEAN seperti Singapura dan Malaysia. Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan serologis ini. Pemeriksaan antibodi yang banyak dipakai dan diyakini paling menyokong adalah immunoglobulin A (lgA) terhadap virus Epstein Barr (Epstein Barr virus / EBV) spesifik untuk kapsul virus (viral capsid antigen / VCA) dan antigen awal (early antigen / EA). IgA EBV VCA mempunyai sensitifitas / kepekaan yang tinggi tetapi tingkat spesifitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedangkan lgA EBV EA nilai sensifitasnya/kepekaannya kurang tetapi lebih spesifik dan titernya akan menurun mendekati normal pada karsinoma nasofaring stadium lanjut dan titer yang tinggi dapat merupakan indikator karsinoma nasofaring. Antibodi ini hanya meninggi pada penderita karsinoma nasofaring tipe WHO-2 (non IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
39 keratinizing carcinoma) dan tipe WHO-3 (undifferentiated carcinoma), sedangkan pada tipe WHO-1 (Squamous cell carcinoma) tidak ditemukan atau pun kalau ada dalam titer yang rendah (Kurniawan, 1995; Wei dan Sham, 1996; Ahmad, 2002).
f. Polimerase chain reaction (PCR) Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar, sehingga dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen, mendeteksi adanya mutasi, amplifikasi, rekayasa genetika, dan untuk mendeteksi DNA virus atau bakteri (Irish et al, 2003).
2.2.11 Stadium Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium KNF. Di beberapa negara Asia digunakan penentuan stadium yang dikemukakan oleh Ho pada tahun 1978 (Ho’s system), sementara di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint Committee on Cancer / International Union Against Cancer). Stadium karsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi UICC 1992 (TNM) (Wei dan Sham, 2005; Brennan, 2006). T = Tumor pada nasofaring. T1
Tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring.
T2
Tumor meluas lebih dari satu lokasi tapi masih dalam rongga nasofaring
T3
Tumor meluas ke kavum nasi dan/atau ke orofaring.
T4
Tumor meluas ke tengkorak dan/atau saraf-saraf kranial.
N = Kelenjar limfe regional. N0
Tidak ada metastase pada kelenjar regional.
N1
Metastase pada satu kelanjar lemife regional ipsilateral dengan ukuran lebih kecil dari 3 cm
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
40 N2
N2a
Metastase pada satu kelenjar limfe regional ipsilateral dengan ukuran
lebih dari 3 cm, tapi kecil dari 6 cm. N2b
Metastase pada beberapa kelenjar limfe regional ipsilateral dengan ukuran tidak melebihi 6 cm.
N2c
Metastase pada kelenjar limfe bilateral dan kontralateral dengan ukuran tidak melebihi 6 cm.
N3
Metastase pada kelenjar limfe :
N3a. Dengan ukuran lebih dari 6 cm. N3b. Meluas ke fossa supraklavikula.
M=
Metastase jauh.
M0
Tidak ada metastase jauh.
M1
Ada metastase jauh.
Berdasarkan TNM di atas stadium karsinoma nasofaring ditentukan sebagai berikut (Wei dan Sham, 2005; Brennan, 2006) : Stadium I
T1
N0
M0
Stadium II
T2
N0
M0
Stadium III
T3
N0
M0
T1-3
N1
M0
Stadium IVA
T4
N0-1
M0
Stadium IVB
Setiap T
N1-3
M0
Stadium IVC
Setiap T
Setiap N
M1
2.2.12 Diagnosis banding a. Angiofibroma Juvenile, merupakan tumor yang terdiri dari 2 macam jaringan, yaitu jaringan vaskular dan jaringan fibrosa. Pada pemeriksaan radiologis dengan menggunakan foto polos didapatkan gambaran masa jaringan lunak di nasofaring ataupun dapat digunakan pemeriksaan yang lebih sensitif seperti CT Scan, MRI, dan angiografi.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
41 c. Limfoma, terlihat licin, eksofitik, sub mukosal, non ulseratif. Limfoma yang terjadi di nasofaring biasanya dapat terdeteksi jauh lebih cepat daripada di daerah lain, karena akibat dari oklusi tuba eustakhius menyebabkan munculnya penyakit otitis media serosa. d. Kordoma, biasanya memiliki komponen intrakranial terutama mengisi sphenoid, mengandung kalsifikasi ireguler dan dapat melibatkan jaringan retrofaringeal. e. Rhabdomiosarkoma, yang biasanya terjadi pada anak-anak dan invasi dasar tengkorak ditemukan pada 1/3 pasien dan biasanya melibatkan sinus kavernosus. f.
Adenoid kistik karsinoma (Dhingra, 2004).
2.2.13 Terapi Terapi standar KNF adalah radioterapi. Keuntungan dengan memberikan radioterapi sebagai regimen tunggal pada kanker stadium I dan II akan memberikan harapan hidup 5 tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi adalah sebagian besar pasien datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Disamping itu KNF dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk mengadakan metastasis regional maupun jauh. Keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh stadium (Licitra et al, 2003). Keterlambatan untuk mendapatkan penanganan yang adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari menggembirakan (Mulyarjo, 2002). Prognosis KNF stadium lanjut biasanya buruk dengan angka harapan hidup 5 tahun hanya 25-30% pada regimen tunggal radioterapi. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli onkologi sebagai standar terapi KNF stadium lanjut (Lin et al, 2003). A. Radioterapi Radioterapi sebagai terapi standar KNF sudah dimulai sejak lama. Hasil radioterapi untuk KNF stadium dini cukup baik dengan complete response sekitar 80100%. Sedangkan untuk KNF stadium lanjut loko-regional, respon radioterapi menurun tajam dengan angka ketahanan hidup 5 tahun kurang dari 40% (Kentjono, 2003). Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25-65%. IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
42 Kegagalan radioterapi konvensional dalam memberantas sel kanker di nasofaring maupun anak sebarnya di kelenjar getah bening leher mencapai angka 40-80%. Selain itu, paska radioterapi cukup sering dijumpai metastase jauh dan komplikasi akibat lokasi tumor yang sangat dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasi terbatas seperti batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise-hipotalamus, lobus temporalis, mata, telinga tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis (Kentjono, 2003; Wei dan Sham, 2005). Seiring dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhir ini dan didukung oleh hasil penelitian dari para ahli, sekarang telah ditemukan beberapa cara meningkatkan kontrol tumor pada pasien KNF, yaitu
(Cottrill dan
Nutting, 2003; Kentjono, 2003; Wei dan Sham, 2005): 1. Radioterapi konvensional (2 DRT) dengan teknik fraksinasi yang dipercepat (accelerated fractination radiotherapy) 2. Peningkatan dosis, misalnya dengan stereotactic radiotherapy, intracavitary brachytherapy 3. Three - Dimensional Radiation Therapy (3 DRT), IMRT (Intensity Modulated Radiation Therapy) 4. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi (2 DRT / 3 DRT / IMRT) 5. Pembedahan pada tumor yang rekuren 6. Brachytherapy (radiasi interna) Radiasi interna pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Indikasinya adalah sebagai booster bila masih ditemukan residu dan sebagai pengobatan kasus kambuh (Wei dan Sham, 2002). B. Kemoterapi Alternatif lain untuk mengobati pasien karsinoma sel skuamosa kepala dan leher yang secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti dengan kemoradioterapi sebagai terapi radikal, terutama pada pasien dengan respon yang baik terhadap kemoterapi induksi. IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
43 Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli onkologi sebagai standar terapi KNF stadium lanjut (Lin et al, 2003). Beberapa penelitian yang dilakukan dalam dua dekade terakhir ini melaporkan keberhasilan penggunaan kemoterapi dikombinasikan dengan radioterapi dalam penanganan kasus KNF stadium lanjut loko-regional (Wei dan Sham, 2005).
Jenis-jenis obat sitostatika yang digunakan pada tumor kepala leher ialah: a. Anti metabolit Kerjanya dengan menghambat biosintesa purin dan pirimidin. Misalnya: methotrexate, 5-fluorouracil, bleomycin. b. Obat yang mengganggu struktur dan fungsi molekul DNA o Alkilating agent, seperti: cyclophosphamide yang mengubah struktur DNA sehingga dapat menahan replikasi sel. o Golongan antibiotik, seperti: dactinomycin dan doxorubicin yang mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA sehingga dapat menyebabkan kegagalan replikasi DNA dan translasi RNA. c. Inhibitor mitosis Termasuk alkaloid vinka seperti vincristin, vinblastin, vindesine yang kerjanya dengan menahan pembelahan sel dan mengganggu filamen mikro pada kumparan mitosis. d. Lain-lain Misalnya cisplatin yang mempunyai toksisitas hematologi yang rendah serta nilai respon keseluruhan rata-rata 30% (Armiyanto, 1993; Weiss, 1993).
Kontraindikasi kemoterapi: a. Kontraindikasi absolut: mendekati meninggal (stadium terminal), hamil (trimester I), septikemia, koma. b. Kontraindikasi relatif : bayi di bawah 3 bulan, usia lanjut ( terutama bila tumor tumbuh lambat atau kurang sensitif terhadap kemoterapi), keadaan umum IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
44 buruk (karnofsky kurang dari 40, pasien sangat lemah), gangguan organ tertentu seperti ginjal, hati, jantung, sumsum tulang, metastase ke otak, demensia, resisten terhadap obat anti kanker yang diberikan (Armiyanto, 1993).
C. Pembedahan Terapi bedah sedikit sekali mendapat tempat pada penatalaksanaan KNF. Pembedahan yang pernah dilaporkan adalah diseksi paska radioterapi. Ini dikerjakan apabila tumor primer sudah menghilang sedang kelenjar leher masih tersisa. Syarat lainnya adalah tidak ada metastase jauh. Pembedahan pada tumor di nasofaring melalui berbagai pendekatan seperti rinotomi lateral, mid facial degloving, trans-antral dan sebagainya. Tentunya ini dilakukan untuk tumor yang masih terbatas di nasofaring. Mungkin ini lebih cocok pada tumor residif (Mulyarjo, 2002).
2.2.14 Prognosis Dalam dua dekade terakhir ini, walaupun pendidikan tentang kesehatan ataupun kewaspadaan tentang penyakit kanker ataupun kemajuan yang pesat dalam peralatan maupun teknik diagnostik lebih baik dibandingkan dengan dekade sebelumnya, namun stadium I karsinoma nasofaring yang datang berobat ke institusi kesehatan kurang dari 10% dari seluruh kasus nasofaring. Sedangkan pembesaran kelanjar getah bening leher masih tetap merupakan gejala pertama yang paling sering (lebih dari 70%) yang mendorong pasien untuk datang berobat dan berarti sudah merupakan gejala stadium lanjut. Jika sudah terdapat metastase, survival rate kira-kira 25% untuk 5 tahun dan jika terjadi penekanan intrakranial, survival rate kira-kira 10%. Dari banyak hasil penelitian didapatkan angka survival rate 5 tahun secara keseluruhan berkisar antara 30% sampai 48% (Witte dan Bryan, 1998). Selain stadium tumor, faktor lain yang juga mempengaruhi prognosis karsinoma nasofaring adalah jenis histologis, usia, jenis kelamin dan bentuk IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
45 pengobatan yang diberikan. Disamping itu faktor keadaan umum, termasuk keadaan gizi, jumlah hemoglobin dan faktor ras, sosial ekonomi serta lingkungan berpengaruh terhadap prognosis karsinoma nasofaring (Hold et al, 1993).
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
46 BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan penelitian Penelitan ini dilakukan secara kasus kontrol (case control).
3.2 Lokasi dan Waktu penelitian Penelitian dilakukan di Departemen / SMF THT-KL FK-USU / RSUP H.Adam Malik Medan, mulai April 2007. Tempat pengambilan sampel dilakukan di Departemen/SMF THT-KL FK-USU / RSUP H.Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan.
3.3 Sampel Seluruh penderita karsinoma nasofaring dan sebagai kontrol adalah orang yang tidak menderita penyakit keganasan.
3.4 Kriteria Karsinoma Nasofaring •
Penderita KNF diagnosisnya ditegakkan berdasarkan hasil biopsi histopatologi, baik laki-laki maupun perempuan pada semua kelompok umur.
•
Bersedia diikutsertakan dalam penelitian.
Kriteria kontrol •
Orang yang bukan penderita penyakit dengan keganasan dengan padanan (matching) menurut umur dan jenis kelamin.
3.5 Penentuan Besar Sampel Penentuan besar sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus (Budiarto, 2003) :
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
47 n =
2 p q ( Zα + Zβ )2 ----------------------------------------( p1 - po )2
n
=
besarnya sampel tiap kelompok
c
=
banyaknya kontrol per kasus ≈ 1
po = p1
proporsi terpajan pada kelompok kontrol ≈
=
30 % = 0,3
proporsi terpajan yang diharapkan terjadi pada kelompok kasus sesuai dengan peningkatan atau penurunan besarnya odds ratio (R), dimana R = 2,7
=
po R ----------------1 + Po ( R – 1 )
p
=
( p1 + c po ) --------------1+c
q
=
1–p
≈ 0,5364
≈ 0,4182
≈ 0,5818
Zα = nilai simpangan rata-rata pada distribusi normal standard yang dibatasi oleh α ≈ 1,96 Zβ = nilai simpangan rata-rata distribusi alternatif yang dibatasi oleh β ≈ 1,28 Maka besar sampel yang didapat untuk tiap kelompok :
n =
2 . 0,4182 . 0,5818 ( 1,96 + 1,28 )2 ----------------------------------------------------------( 0,5364 - 0,3 )2
n =
2 . 0,2433 . 10,4976 --------------------------0,0558
n =
91,407
≈
=
5,1083 ------------------0,0558
92 kasus
Jadi jumlah minimal sampel kasus adalah 92 orang dan jumlah sampel kontrol 92 orang.
3.6 Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel penelitian adalah secara non probability consecutive sampling.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
48 3.7. Variabel Penelitian a. Variabel tergantung (dependen) adalah : penderita KNF b. Variabel bebas (independen) adalah : Perokok, umur mulai merokok, lama merokok, jumlah rokok yang dikonsumsi,
jenis rokok, mengkonsumsi ikan asin pada usia
kurang 10 tahun, asap kayu bakar, asap obat nyamuk bakar dan asap lampu minyak.
3.8. Kerangka Teori
Asap Rokok (Bahan Karsinogenik) aktifasi
Merusak Metabolisme DNA
detoksifikasi
Ekskresi
Mukosa Nasofaring Terpapar Lama
Normal cells
Initiated cells DNA repair
Preneoplastic cells DNA repair
Progression DNA repair
KNF 3.9. Kerangka Konsep Penelitian
KARSINOMA NASOFARING
KONTROL
MEROKOK Usia mulai merokok Lama Jumlah Jenis
Ikan Asin Asap Kayu Bakar Asap Obat Nyamuk Bakar Asap Lampu Minyak IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
49 3.10. Kerangka Kerja
SAMPEL
KARSINOMA NASOFARING
KONTROL
JENIS HISTOPATOLOGI
TANPA KEGANASAN
WAWANCARA
WAWANCARA
MEROKOK (+)
MEROKOK (-)
Confounding Factors
MEROKOK (+)
MEROKOK (-)
Confounding Factors
3.11. Pengolahan Data Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan tahapan sebagai berikut : a. Editing (pemeriksaan data) Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan jawaban atas pertanyaan. Apabila terdapat jawaban yang belum lengkap atau terdapat kesalahan maka data harus dilengkapi dengan cara wawancara kembali terhadap sampel. b. Coding (pemberian kode) Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer. c. Entry (pemasukan data ke komputer) Data yang telah diklarifikasi kemudian dimasukkan ke program komputer untuk diolah. IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
50 d. Cleaning data entry Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer guna menghindari terjadinya kesalahan pemasukan data.
3.12. Analisa Data Data yang diperoleh diuji dengan chi square (X2). Untuk menentukan bahwa merokok merupakan faktor risiko terjadinya KNF dipakai uji regresi logistik. a. Analisa univariat Analisa univariat untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi atau besarnya proporsi menurut berbagai karakteristik variabel yang diteliti, baik variabel bebas maupun variabel terikat. b. Analisa bivariat Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas dengan variabel terikat, dengan menggunakan uji Chi square dengan derajat kepercayaan 95% dengan rumus :
2
X =
( Fo – Fe )2 ∑ ---------------------Fe
X2 = Harga Chi-kuadrat yang dihitung dan dibandingkan dengan Chi-kuadrat tabel Fo = Frekuensi yang didapat dari wawancara atau frekuensi empiris Fe = Frekuensi yang diharapkan atau frekuensi teoritis. Dari hasil perhitungan statistik akan diketahui ada tidaknya hubungan yang signifikan antara variabel yang diteliti, yakni dengan melihat nilai p. Bila dari hasil perhitungan statistik nilai p < 0,05 berarti terdapat hubungan yang bermakna antara kedua variabel. Selain itu dilakukan juga perhitungan odds ratio (OR) yaitu rasio perbandingan pajanan diantara kelompok kasus dengan pajanan pada kelompok kontrol. Estimasi confidence interval (CI) untuk odds ratio ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95%.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
51 c. Analisa multivariat Analisa multivariat diperlukan untuk melihat hubungan antara satu variabel terikat dengan seluruh variabel bebas, sehingga diketahui variabel bebas yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian KNF, dengan menggunakan regresi logistik dengan rumus :
ln = Bo + B1X1 +…… +BpXp = Bo +∑ B1X1
Tahapan dalam proses analisis multivariat meliputi : 1. Memasukkan variabel kandidat dalam proses analisis multivariat regresi logistik dengan cara memilih variabel bebas yang memiliki p < 0,25. 2. Melakukan analisis semua variabel bebas yang masuk dalam pemodelan, dengan cara mengeluarkan variabel bebas yang memiliki nilai p terbesar, sehingga didapatkan model awal dengan variabel faktor penentu yang memiliki nilai p ≤ 0.05. 3. Hasil uji multivariat yang mempunyai nilai p ≤ 0.05, merupakan model akhir dari penentu faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian karsinoma nasofaring.
3.13. Faktor Perancu (Confounding) Perancu merupakan pengaruh variabel eksterna yang seluruhnya atau sebagian dapat mempengaruhi efek hubungan antara pajanan dan penyakit yang sesungguhnya. Untuk mengendalikan faktor perancu dapat dilakukan dengan cara membuat perhitungan secara terpisah, stratifikasi dan matching (Budiarto, 2003).
3.14. Batasan Operasional a.
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma sel skuamosa yang terjadi pada lapisan epitel di nasofaring.
b.
Diagnosis
KNF
berdasarkan
diagnosis
pasti
dengan
pemeriksaan
histopatologi.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
biopsi
52 c. Stadium tumor Definisi
: Penentuan stadium penyakit
Alat ukur : Klasifikasi berdasarkan AJCC/UICC tahun 1992 Cara ukur : Menilat derajat T, status N dan M o
Derajat tumor: Definisi
: Besar dan perluasan tumor primer sesuai kriteria AJCC/ UICC tahun 1992
Alat ukur
: Pemeriksaan nasoendoskopi dan CT-scan
Cara ukur
: Pemeriksaan nasoendoskopi dan CT-scan untuk menilai perluasan tumor
Hasil ukur o
o
: T1,T2,T3,T4
Status kelenjar getah bening leher Definisi
: Metastasi tumor ke kelenjar leher
Alat ukur
: Pemeriksaan secara palpasi dan CT-scan
Cara ukur
: Penilaian hasil pemeriksaan
Hasil ukur
: N0,N1,N2,N3
Status Metastasis Definisi
: Terdapat metastasis ke organ jauh
Alat ukur
: Dari gejala klinis, pemeriksaan laboratorium (darah lengkap, faal hati, faal ginjal), foto toraks, USG abdomen
Cara ukur
: Penilaian hasil pemeriksaan
Hasil ukur
: M0 dan M1
d. Kontrol adalah orang yang bukan penderita penyakit keganasan. e. Merokok adalah suatu proses pembakaran tembakau yang menimbulkan asap yang secara sadar langsung dihisap atau dihirup oleh tubuh bersama udara pernapasan. f. Rokok putih adalah rokok yang dibuat hanya dari bahan tembakau. g. Rokok kretek adalah rokok yang dibuat dari tembakau dan cengkeh. h. Rokok linting adalah rokok yang dibuat/diracik sendiri oleh perokok dengan bahan daun nipah kering dan tembakau. IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
53 i.
Perokok putih adalah seseorang yang menghisap rokok putih sedikitnya satu batang/hari selama sekurang-kurangnya satu tahun dan atau tanpa menghisap bukan rokok putih < 20% dari lama jumlah rokok putih.
j.
Perokok kretek adalah seseorang yang menghisap rokok kretek sedikitnya satu batang/hari selama sekurang-kurangnya satu tahun dan atau tanpa menghisap bukan rokok kretek < 20% dari lama jumlah rokok kretek.
k. Perokok linting adalah seseorang yang menghisap rokok linting sedikitnya satu batang/hari selama sekurang-kurangnya satu tahun dan atau tanpa menghisap bukan rokok linting < 20% dari lama jumlah rokok putih. l.
Perokok campuran adalah seseorang yang menghisap rokok putih, kretek, dan linting sedikitnya satu batang/hari selama sekurang-kurangnya satu tahun dan menghisap rokok putih, kretek dan atau linting ≥ 20 % dari lama tiap jenis rokok.
m. Bukan perokok adalah seseorang yang tidak pernah merokok sebanyak satu batang/hari selama satu tahun. n. Lamanya merokok dapat dikelompokkan sebagai berikut ; merokok selama < 10 tahun, antara 10 – 20 tahun, dan > 20 tahun. o. Jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dapat dikelompokkan : •
ringan (1-10 batang perhari)
•
sedang (11-20 batang perhari)
•
berat ( > 20 batang perhari)
p. Batasan kriteria frekuensi konsumsi ikan asin : • Jarang adalah frekuensi mengkonsumsi ikan asin tidak lebih dari 1 kali tiap 1 bulan. • Kadang-kadang adalah frekuensi mengkonsumsi ikan asin lebih kurang 2-3 kali tiap 1 bulan. • Sering adalah frekuensi mengkonsumsi ikan asin sedikitnya 1 kali tiap minggu. 3.15. Etika Penelitian Sebelum pelaksanaan penelitian terlebih dahulu akan diminta persetujuan panitia etik penelitian kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
54 BAB 4 HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FKUSU / RSUP H.Adam Malik Medan sejak April 2007 sampai Desember 2007 dengan jumlah sampel 192 orang yang terdiri dari 96 orang penderita karsinoma nasofaring (KNF) dan 96 orang bukan penderita penyakit keganasan yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian. Pengambilan sampel dilakukan di RSUP H.Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan. 4.1 Hasil Analisis Regresi Logistik Univariat (statistik deskriptif-analitik)
Tabel 4.1.1 Distribusi karakteristik subjek penelitian Variabel Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia < 10 tahun 10 - 19 tahun 20 - 29 tahun 30 - 39 tahun 40 - 49 tahun 50 - 59 tahun > 60 tahun Suku Batak Jawa Aceh Melayu Minang Cina Pekerjaan Petani Buruh Rumah Tangga Pedagang Wiraswasta Guru Pegawai Negeri Sipil Pelajar Montir Supir Nelayan Satuan Pengamanan * p value with chi-square
Kasus
Kontrol
P*
Jumlah
%
Jumlah
%
71 25
74,0 26,0
70 26
72,9 27,1
0,870
1 7 5 19 23 28 13
1,0 7,3 5,2 19,8 24,0 29,2 13,5
1 6 5 16 24 29 15
1,0 6,3 5,2 16,7 25,0 30,2 15,6
0,998
54 28 6 4 3 1
56,3 29,2 6,3 4,2 3,1 1,0
49 28 11 4 4 0
51,0 29,2 11,5 4,2 4,2 0,0
0,722
31 4 17 5 19 1 2 8 3 3 3 0
32,3 4,2 17,7 5,2 19,8 1,0 2,1 8,3 3,1 3,1 3,1 0,0
35 5 13 9 17 2 5 7 0 2 0 1
36,5 5,2 13,5 9,0 17,7 2,1 5,2 7,3 0,0 2,1 0,0 1,0
0,441
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
55 Dari tabel 4.1.1 diperoleh data bahwa berdasarkan jenis kelamin, pada kelompok kasus lebih banyak laki-laki (74%) dari pada perempuan (26%) dengan perbandingan 2,84:1, begitu juga pada kelompok kontrol lebih banyak laki-laki (72,9%) dari pada perempuan (27,1%) dengan perbandingan 2,69:1. Secara statistik dapat dinyatakan bahwa tidak ada perbedaan proporsi kejadian KNF menurut jenis kelamin (p=0,87). Golongan usia penderita KNF yang terbanyak adalah antara usia 50 sampai 59 tahun yaitu sebanyak 28 orang. Dari 96 penderita KNF terdapat usia termuda 9 tahun dan paling tua 74 tahun. Secara statistik dapat dinyatakan bahwa tidak ada perbedaan proporsi kejadian KNF menurut golongan usia (p=0,998). Suku Batak merupakan suku terbanyak pada kelompok kasus (56,3%) dan kontrol (51%), dimana dengan uji statistik tidak dijumpai perbedaan proporsi kejadian KNF menurut suku (p=0,722). Berdasarkan jenis pekerjaan didapat pekerjaan terbanyak adalah bertani, baik kelompok kasus (32,3%) maupun kelompok kontrol (36,5%). Dengan uji statistik tidak dijumpai perbedaan proporsi kejadian KNF menurut jenis pekerjaan (p=0,411). Tabel 4.1.2
Distribusi penderita KNF berdasarkan jenis histopatologi dan stadium tumor Variabel
Kasus Jumlah
%
Jenis Histopatologi Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi (WHO Tipe 1) Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (WHO Tipe 2) Karsinoma sel tanpa diferensiasi (WHO Tipe 3)
27 32 37
28,1 33,3 38,6
Stadium KNF Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV
0 1 56 39
0,0 1,0 58,4 40,6
Dari hasil penelitian ini didapatkan penderita KNF dengan jenis sel tumor terbanyak yaitu karsinoma sel tanpa diferensiasi sebanyak 37 orang (38,6%), diikuti karsinoma sel
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
56 skuamosa tanpa keratinisasi sebanyak 32 orang (33,3%), dan karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi 27 orang (28,1%), seperti terlihat pada table 4.1.2. Distribusi penderita KNF berdasarkan stadium tumor, didapatkan bahwa sebagian besar penderita merupakan stadium III yaitu 56 orang (58,4%), dan penderita dengan stadium I tidak dijumpai. Tabel 4.1.3
Hubungan merokok dengan KNF berdasarkan status merokok, usia mulai merokok, lama merokok, konsumsi rokok perhari dan jenis rokok
Variabel
Kasus
Kontrol
P*
OR
CI (95%)
57,3 42,7
0,072
1,722
0,950 - 3,121
16 39 41
16,7 40,6 42,7
0,000
4,330 0,653
2,070 - 9,057 0,313 - 1,35
6,3 13,3 50,0 30,3
7 11 37 41
7,3 11,5 38,5 42,7
0,293
1,212 1,671 1,834
0,369 - 3,982 0,657 - 4,248 0,967 - 3,476
12 34 21 29
12,5 35,4 21,9 30,3
21 19 15 41
21,9 19,8 15,6 42,7
0,021
0,808 2,530 1,979
0,344 - 1,898 1,212 - 5,280 0,876 - 4,474
11 35 1 20 29
16,4 52,2 1,5 29,9 30,3
10 21 5 19 41
18,2 38,2 9,1 34,5 42,7
0,081
1,555 2,356 0,283 1,488
0,584 - 4,142 1,147 - 4,842 0,031 - 2,550 0,677 - 3,271
Jumlah
%
Jumlah
%
Status merokok Perokok Bukan perokok
67 29
69,8 30,2
55 41
Usia mulai merokok 10 - 19 tahun >20 tahun Tidak merokok
49 18 29
51,0 18,8 30,2
Lama merokok 1 - 10 tahun 11 - 20 tahun >20 tahun Bukan perokok
6 13 48 29
1 - 10 batang 11 - 20 batang >20 batang Tidak merokok Jenis rokok Putih Kretek Linting Campuran Tidak merokok
Batang rokok perhari
* p value with chi-square
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
57 Pada tabel 4.1.3 dapat dilihat bahwa pada kelompok kasus, penderita KNF yang merokok sebanyak 67 orang (69,8%) dibandingkan dengan perokok pada kelompok kontrol sebanyak 55 orang (57,3%), dimana secara uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara kedua kelompok tersebut (p=0,072) Berdasarkan usia mulai merokok, sebanyak 49 orang (51%) dari kelompok kasus sudah mulai merokok sejak berusia kurang dari 20 tahun, sedangkan dari kelompok kontrol hanya 16 orang (16,7%). Dari uji statistik terdapat hubungan yang bermakna terhadap usia mulai merokok (p=0,000). Dari tabel di atas dapat ditentukan nilai OR 4,330 (CI 95%, 2,070 9,057) yang berarti risiko terjadinya KNF 4,330 kali pada orang yang mulai merokok sebelum usia 20 tahun dibandingkan dengan yang bukan perokok. Berdasarkan lama merokok, didapatkan kelompok kasus yang merokok selama lebih dari 20 tahun sebanyak 48 orang (50%) dan merokok kurang dari 10 tahun sebanyak 6 orang (6,3%), sedangkan pada kelompok kontrol yang merokok selama lebih dari 20 tahun sebanyak 37 orang (38,5%) dan merokok kurang dari 10 tahun sebanyak 7 orang (7,3%). Secara uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara kedua kelompok tersebut (p=0,293). Jumlah perokok pada kelompok kasus yang menghisap antara 11-20 batang adalah 34 orang (35,4%) dan lebih dari 20 batang rokok perhari pada adalah 21 orang (21,9%), sedangkan pada kelompok kontrol yang menghisap antara 11-20 batang adalah 15 orang (15,6%) dan lebih dari 20 batang rokok perhari pada adalah 21 orang (21,9%). Dari uji statistik terdapat hubungan yang bermakna ( p=0,021) antara kedua kelompok tersebut. Dari tabel di atas dapat ditentukan nilai OR 2,530 (CI 95%, 1,212 - 5,280) pada kelompok orang yang merokok 11-20 batang perhari. Walaupun hubungan pengaruh bertambahnya jumlah batang rokok yang dihisap perhari dengan peningkatan risiko terjadinya KNF kurang konsisten, namun orang yang merokok lebih dari 11 batang rokok perhari, tetap mempunyai risiko yang tinggi untuk menderita KNF. Jenis perokok, dikategorikan sebagai tidak perokok, perokok putih, perokok kretek, perokok linting dan perokok campuran. Ditemukan pada kelompok kasus, jumlah perokok kretek adalah yang terbanyak yaitu 35 orang (52,2%) sedangkan pada kelompok kontrol IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
58 didapatkan bahwa yang paling banyak adalah bukan perokok diikuti perokok kretek 21 orang (38,2%). Pada uji statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna menurut jenis perokok (p=0,081). Tabel 4.1.4 Hubungan antara konsumsi ikan asin dengan KNF Konsumsi ikan asin saat berusia < 10 tahun Tidak pernah Jarang Kadang-kadang Sering
Kasus
Kontrol
Jumlah
%
Jumlah
%
20 16 30 30
20,8 16,7 31,3 31,3
44 28 17 7
45,8 29,2 17,7 7,3
P*
OR
CI (95%)
1,257 3,882 9,429
0,559 - 2,827 1,752 - 8,605 3,546 - 25,068
0,000
* p value with chi-square Pada tabel 4.1.4 menunjukkan hubungan antara riwayat mengkonsumsi ikan asin pada usia penderita KNF kurang dari 10 tahun. Riwayat mengkonsumsi ini dikategorikan sebagai tidak pernah, jarang, kadang-kadang dan sering. Pada kelompok kasus, jumlah penderita yang mengkonsumsi ikan asin dengan kategori kadang-kadang dan sering adalah yang terbanyak, yaitu masing-masing 30 orang (31,3%), sedangkan pada kelompok kontrol yang terbanyak adalah pada kategori tidak pernah, berikutnya diikuti pada kategori jarang sebanyak 20 orang (29,2%). Dengan uji statistik terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi ikan asin dengan KNF (p=0,000). Dari tabel di atas dapat ditentukan masingmasing nilai OR, yaitu 1,257; 3,882; 9,429 pada orang-orang yang jarang, kadang-kadang dan sering mengkonsumsi ikan asin pada usia kurang dari 10 tahun, yang berarti risiko terjadinya KNF akan meningkat jika frekuensi makan ikan asin ini semakin tinggi pada rentang usia tersebut.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
59 Tabel 4.1.5
Hubungan antara adanya keluarga yang menderita kanker, pemakaian lampu minyak, kayu bakar dan obat anti nyamuk bakar dengan KNF
Variabel
Kasus
Kontrol
P*
Jumlah
%
Jumlah
%
Keluarga yang menderita kanker Tidak Ya
93 3
96,9 3,1
94 2
97,9 2,1
0,650
Pemakaian lampu minyak Tidak Ya
21 75
21,9 78,1
16 80
16,7 83,3
0,360
Pemakaian kayu bakar Tidak Ya
25 71
26,0 74,0
16 80
16,7 83,3
0,113
Pemakaian obat anti nyamuk bakar Tidak Ya
25 71
26,0 74,0
31 65
32,3 67,7
0,341
* p value with chi-square Pada tabel 4.1.5 merupakan data tentang hubungan antara adanya keluarga yang menderita kanker, pemakaian lampu minyak, penggunaan kayu bakar dan obat anti nyamuk bakar dengan risiko kemungkinan terjadinya KNF, dengan uji statistik tidak dijumpai hubungan yang bermakna tentang hubungan antara keempat variabel tersebut dengan KNF (p=0,650, p=0,360, p=0,113 dan p=0,341). 4.2 Hasil Analisis Regresi Logistik Multivariat (statistik analitik) Tabel 4.2.1
Hasil analisis logistik multivariat hubungan antara usia mulai merokok, pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin saat berusia sebelum 10 tahun. Variabel
P*
OR
CI (95%)
Usia mulai merokok 10 - 19 tahun >20 tahun
0,000 0,253
5,350 0,609
2,290 - 12,499 0,261 - 1,426
Pemakaian kayu bakar
0,014
3,147
1,260 - 7,860
Konsumsi ikan asin saat berusia < 10 tahun Jarang Kadang-kadang Sering
0,082 0,000 0,000
2,367 7,766 16,515
0,896 - 6,255 2,937 - 20,538 5,300 - 51,463
* p value with chi-square IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
60 Tabel 4.2.1 merupakan hasil analisis regresi logistik multivariat, dimana didapatkan variabel-variabel usia mulai merokok antara 10–19 tahun, pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin pada usia kurang dari 10 tahun dengan frekuensi kadang-kadang dan sering mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian KNF, masing-masing dengan OR=5,350 (p=0,000), OR=3,147 (p=0,014), OR=7,766 (p=0,000) dan OR=16,515 (p=0,000). Selanjutnya, varibel-variabel
yang merupakan confounders (faktor perancu), dengan
uji statistik dicoba dikeluarkan, dan didapatkan bahwa faktor pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin pada usia kurang 10 tahun adalah tetap merupakan faktor
yang
berpengaruh sebagai faktor risiko, sehingga tidak dapat dikeluarkan perannya sebagai faktorfaktor risiko terjadinya KNF.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
61 BAB 5 PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara merokok dengan karsinoma nasofaring (KNF). Berdasarkan dari perhitungan besar sampel minimal, penelitian ini menggunakan sampel 192 orang yang terdiri dari 96 orang penderita karsinoma nasofaring (KNF) sebagai kasus dan 96 orang bukan penderita penyakit keganasan sebagai kontrol yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian dengan studi kasus kontrol dengan membandingkan pajanan merokok dan beberapa confounding factors pada penderita KNF dan bukan penderita penyakit keganasan. Kemaknaan perbedaan antara merokok serta beberapa confounding factors pada kasus dan kontrol ditentukan dengan uji chi-square. Risiko terkena penyakit ditetapkan dengan risiko relatif yaitu Odds ratio. Odds ratio (OR) sama dengan 1 berarti bukan merupakan faktor risiko, bila OR kurang dari 1 berarti merupakan faktor protektif, dan bila OR lebih dari 1 berarti merupakan faktor risiko. Pada penelitian ini subjek kasus dan kontrol dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan, pada subjek kasus perbandingannya 2,84:1, dan pada subjek kontrol 2,69:1. Secara statistik tidak dijumpai perbedaan bermakna menurut jenis kelamin antara subjek kasus dan kontrol (sepadan usia antara kasus dan kontrol). Pada penelitan ini didapatkan hasil lebih kurang sama dengan penelitian Douglas et al (1996) di RSUP Dr.Kariadi Semarang yang mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang menderita KNF 1,87:1. Magdalena et al (1996) di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta melaporkan perbandingan laki-laki dan perempuan 2,47;1. Vaughan et al (1996) di Amerika Serikat melaporkan dengan perbandingan 1,88:1, sedangkan Adnan (1996) di Medan 3,67:1, Armstrong (2000) di Malaysia 2,24:1, Lutan (2003) di Medan 2,3:1, Susworo (2004) di Indonesia 2-3:1, dan Sun (2005) di Amerika 2,25:1. Tingginya persentase laki-laki dibandingkan perempuan kemungkinan disebabkan kebiasaan hidup yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, seperti kebiasaan merokok dimana jumlah laki-laki yang merokok lebih banyak dibanding perempuan. Pada beberapa penelitian didapatkan hubungan yang bermakna antara merokok dengan KNF. Kemungkinan IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
62 lain laki-laki lebih banyak beraktifitas di luar rumah dibanding perempuan. Akibatnya laki-laki lebih sering mengalami stres yang menyebabkan penurunan respon imun. Selain itu laki-laki relatif lebih sering kontak dengan bahan-bahan karsinogen di tempatnya bekerja. Vaughn et al (2000) menemukan bukti tentang hubungan antara risiko KNF dan potensi paparan formaldehyde yang lebih kuat
pada para perokok. Diantara orang perokok dan mantan
perokok, odds ratio dihubungkan dengan yang pernah bekerja pada pekerjaan yang terpapar formaldehyde (OR 2,3), dibandingkan dengan orang-orang yang tidak pernah merokok (OR 0,5). Pada penelitian ini, usia subjek penderita KNF paling muda adalah 9 tahun dan paling tua 74 tahun. Roezin (1995) di Jakarta melaporkan bahwa di Indonesia rentang umur termuda penderita KNF adalah 4 tahun dan tertua 84 tahun, sedangkan McDermott et al (2001) di Inggris mendapatkan yang termuda berusia 2 tahun dan tertua 91 tahun. Dari distribusi data pengelompokan usia penderita KNF dengan uji statistik tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok kasus dan kontrol, dan didapatkan penderita terbanyak pada kelompok usia 40-49 tahun dan 50-59 tahun, masing-masing 23 orang (24%) dan 28 orang (29,2%). Hal ini hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Roezin (1995) yang mendapatkan kelompok usia 40-49 tahun 25,92% dan 50-59 tahun 19,75% dan Douglas dkk (1996) di RSUP Dr.Kariadi Semarang yang mendapatkan usia 40-49 tahun 22,2% dan 50-59 tahun 27,8%. Magdalena et al (1996) di Yogyakarta yang mendapatkan insiden tertinggi KNF pada kelompok usia 4049 tahun sebanyak 42,4%, Lutan (2003) di Medan mendapatkan insiden tertinggi
pada
kelompok usia 41-50 tahun sebanyak 40%, Abdi (2005) di Medan mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok usia 40-49 tahun sebanyak 37 kasus (35,1%). Pada manusia selama hidup diperkirakan rata-rata sel tubuh mengalami sebanyak 1016 mitose, dengan masing-masing gen mempunyai kemungkinan 106 mengalami mutasi spontan dan menyalin (translate) 1010 mutasi. Jika tiap mutasi dapat merubah sel normal menjadi kanker, maka kita tidak mungkin dapat berfungsi sebagai makhluk hidup. Penelitian epidemiologi menunjukkan kemungkinan perubahan menjadi kanker tidaklah konstan, tetapi bertambah dengan bertambahnya umur (Sukardja, 2000; Irish et al, 2003).
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
63 Penemuan dan uraian tentang onkogen dan tumor suppressor genes meningkatkan pengetahuan kita tentang mekanisme genetik dan molekuler patogenesis kanker. Pemahaman tentang patogenesis kanker tersebut diperoleh dari berbagai percobaan binatang dan percobaan laboratorium yang mengungkapkan bahwa mutasi satu atau lebih gen akan menyebabkan penyimpangan dalam pertumbuhan sel yang berakibat transformasi sel ke arah ganas. Sekalipun tampaknya sederhana, pada hakekatnya tumorigenesis pada manusia tetap merupakan satu proses kompleks yang berlangsung melalui berbagai tahapan (multistep/multistage process). Bahwa kanker terjadi melalui proses multistep dibuktikan dengan berbagi penelitian, diantaranya bukti tidak langsung yang diperoleh dari studi epidemiologi. Salah satu bukti epidemiologi adalah bahwa insiden kanker meningkat sesuai peningkatan usia. Bukti lain adalah bahwa diperlukan waktu yang cukup panjang antara paparan pertama terhadap bahan karsinogen (rokok, asbes) dengan timbulnya kanker, demikian pula peningkatan insiden kanker yang baru terjadi berpuluh tahun sesudah dijatuhkannya bom atom di Jepang (Kresno, 2004). Dengan demikian dapat dimengerti bahwa proses keganasan berlangsung melalui berbagai tahapan dan diperlukan
waktu cukup
panjang antara paparan pertama terhadap bahan karsinogen sampai timbulnya kanker, sehingga jumlah penderita akan meningkat setelah usia dewasa. Sedangkan McDermott et al (2001) menulis bahwa penderita KNF di Magreb Arab Afrika Utara dan di Tunisia, didapatkan distribusi usia berbentuk kurva bimodal, dimana peningkatan pertama pada kelompok usia 10-20 tahun dan peningkatan kedua usia 55-65 tahun. Kurva bimodal yang hampir sama juga terjadi di beberapa tempat di India. Namun belum ada observasi secara khusus dan lebih jauh bagaimana terjadinya distribusi bimodal tersebut. Suku batak merupakan kelompok suku terbanyak, baik pada kelompok kasus KNF 54 orang (56,3%) dan kelompok kontrol 49 orang (51%), diikuti ditempat kedua terbanyak adalah suku Jawa. Menurut suku, antara kelompok kasus dan kontrol terdapat kesepadanan (uji statistik tidak ada perbedaan bermakna). Hal ini mungkin berkorelasi dengan proporsi penduduk kota Medan yang memang mayoritas penduduknya adalah suku Batak dan Jawa. Zhu et al (1995) di Amerika Serikat mendapatkan distribusi penderita KNF menurut ras (etnik) IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
64 terbanyak adalah ras Orang Kulit Putih (White-non Hispanic) 56,6%, diikuti selanjutnya secara berurutan ras Kulit Hitam, ras Asia dan ras Hispanic, sedangkan Vaughan et al (2000) di Amerika Serikat juga mendapatkan hasil yang hampir sama yaitu ras terbanyak adalah Orang Kulit Putih (White) 76%, diikuti ras Asia, Kulit Hitam, dan Amerika-Indian/Eskimo. Sementara itu Cheng et al (1999) di Taiwan mendapatkan ras terbanyak adalah Fukienese 308 orang (82,1%), diikuti ras Hakka, Han, dan Guangdong. Sebanyak 31 orang (32,3%) penderita KNF bekerja sebagai petani, diikuti wiraswasta 19 orang (19,8%) dan pekerjaan rumah tangga 17 orang (17,7%). Melihat gambaran distribusi menurut jenis pekerjaannya pada tabel 4.1.1, dapat dikatakan bahwa sebagian besar penderita KNF (kelompok kasus) dan kelompok kontrol yang berobat ke RSUP H.Adam Malik Medan dan RSU dr.Pirngadi Medan mempunyai tingkat sosioekonomi menengah ke bawah. Pada uji statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok tersebut. Douglas et al (1996) di RSUP dr.Kariadi Semarang
mendapatkan gambaran yang lebih
kurang sama mengenai distribusi penderita KNF menurut jenis pekerjaan, yaitu petani 38,54% diikuti secara berurutan wiraswasta 18,57 %, buruh 14,93%, dan PNS 12,85%. Banyaknya penderita pada petani, dimungkinkan akibat lebih sering terpapar bahan karsinogen, seperti insektisida, benzo pyrenen, benzo anthracene, dan beberapa ekstrak tumbuhan sebagai faktor yang memicu terjadinya KNF (Ahmad, 2002; Delfitri, 2007). Pada penelitian ini sebagian besar penderita KNF mempunyai jenis histopatolgi WHO tipe 3 yaitu karsinoma sel tidak berdiferensiasi 37 orang (38,6%), WHO tipe 2 (karsinoma sel tanpa keratinisasi) 32 orang (33,3%) dan WHO tipe 1 (karsinoma sel dengan keratinisasi) 27 orang (28,1%). Beberapa penelitian mendapatkan bahwa WHO tipe 3 merupakan jenis paling banyak dijumpai, seperti Magdalena et al (1996) di Yogyakarta mendapatkan WHO tipe 3 (88,98%), WHO tipe 1 (7,26%), dan WHO tipe 2 (3,74%), Sudyartono dan Wiratno (1996) di Semarang mendapatkan WHO tipe 3 (60,9%), WHO tipe 2 (29,7%) dan WHO tipe 1(9,4%), Erkal et al (2001) di Turki mendapatkan WHO tipe 3 (60,8%), WHO tipe 1 (34,7%), dan WHO tipe 2 (4,5%). Berbeda dengan yang dilaporkan oleh Vaughan et al (1996) di Amerika Serikat dimana WHO tipe 1 adalah yang terbanyak (61%), diikuti WHO tipe 3 (26%) dan WHO tipe 2 (13%), begitu juga Sun (2005) di Amerika mendapatkan WHO tipe 1 (40,8%), WHO tipe 3 IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
65 (36,9%), dan WHO tipe 2 (22,3%). Dari gambaran distribusi jenis histopatologi tampaknya terdapat perbedaan jenis tipe yang terbanyak pada penderita KNF, di Asia jenis yang paling banyak adalah karsinoma sel tidak berdiferensiasi, sedangkan di Amerika Serikat yang paling banyak adalah jenis karsinoma dengan keratinisasi. Dengan adanya perbedaan dominasi jenis histopatologi pada masing-masing penelitian di tempat yang berbeda, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mencari faktor yang mempengaruhi jenis histopatologi. Derajat tumor (T), status kelenjar (N), metastasis (M), dan stadium karsinoma nasofaring berdasarkan klasifikasi UICC 1992 (TNM). Berdasarkan klinis, stadium dapat dikategorikan stadium I dan II adalah stadium dini, dan stadium III dan IV adalah stadium lanjut. Dari hasil penelitan didapatkan paling banyak subjek kasus KNF
adalah dengan
stadium III (58,4%), diikuti stadium IV (40,6%), stadium II (1%), dan tidak terdapat penderita dengan stadium I. Penelitian ini sama dengan yang didapatkan Armiyanto (1993) di Jakarta sebanyak 93,34% dari 30 kasus adalah stadium III-IV, Magdalena et al (1996) di Yogyakarta mendapatkan stadium lanjut 91,26% dari 454 kasus KNF, Sudyartono dan Wiratno (1996) di Semarang mendapatkan stadium lanjut 50% dari 64 kasus, Erkal et al (2001) di Turki mendapatkan stadium lanjut 93% dari 447 kasus, dan Krishna (2004) di India mendapatkan stadium lanjut 58,6% dari 29 kasus. Diagnosis KNF sering terlambat ditegakkan, disebabkan karena letak nasofaring tersembunyi di belakang rongga hidung dan di bawah dasar tengkorak sehingga penderita KNF pada umumnya datang berobat dalam stadium lanjut (Hold dan Shockley,1993; Roezin, 1996). Bila ditinjau berdasarkan
usia mulai merokok, maka terdapat perbedaan pada
kelompok kasus lebih muda usia mulai merokok dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari hasil analisis regresi logistik univariat menunjukkan hubungan yang bermakna dengan nilai OR=4,330 (p=0,000).
Usia mulai merokok juga merupakan variabel primer dalam penelitian
ini, maka dari hasil uji analisis regresi logistik multivariat terdapat hubungan yang bermakna dengan nilai OR=5,350 (p=0,000). Proses karsinogenesis pada manusia dapat berlangsung selama 15-30 tahun. Pada tahap inisiasi sel terpapar dengan dosis yang tepat dari suatu bahan karsinogen inkomplit, IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
66 menyebabkan kerusakan permanen pada DNA, bila sel membelah diteruskan ke generasi berikutnya. Inisiasi diikuti dengan masa laten secara klinik (Asikin, 2001). Dengan kata lain, bila kebisaan merokok
seseorang ditunda 10 tahun dari usia tertentu, maka ia akan
mendapat risiko KNF lebih kurang seperlima kalinya, atau dapat dikatakan bila usia mulai merokok 10 tahun lebih awal dari usia tersebut akan mempunyai risiko KNF sebesar limakalinya. Hal ini dapat dipahami dimana jika seseorang semakin muda usia saat terpapar dengan bahan karsinogen yang ada pada rokok, maka proses multi step karsinogenesis sampai terjadinya KNF telah dimulai juga sejak usia muda. Pelucchi et al (2006) di Italia mendapatkan pada orang-orang yang mulai merokok sebelum berusia 17 tahun mempunyai risiko yang tinggi (OR=13,6) untuk terjadinya KNF. Chow et al (2006) di Amerika Serikat melaporkan suatu studi cohort selama 26 tahun pada veteran perang Amerika Serikat dengan hasil bahwa orang-orang yang mulai merokok sebelum berusia 15 tahun mempunyai risiko sangat tinggi untuk terjadinya KNF. Sementara itu Friborg et al (2007) di Singapura mendapatkan hasil yang berbeda dimana umur mulai merokok tidak mempunyai hubungan dengan terjadinya KNF, tapi mendapatkan hubungan antara umur mulai merokok dengan kejadian karsinoma orofaring. Jika dilihat dari lama merokok, pada kelompok kasus relatif lebih lama dibandingkan kelompok kontrol. Hasil analisis regresi logistik univariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna dengan nilai p=0,293. Lama merokok berhubungan dengan usia mulai merokok, semakin muda usia mulai merokok semakin lama penderita tersebut merokok. Chow et al (2006) di Amerika Serikat melaporkan suatu studi cohort dengan hasil bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara lama merokok dengan kejadian KNF. Berbeda dengan Chen et al (1990) di Taipei yang mendapatkan peningkatan risiko merokok pada kejadian KNF akan meningkat jika semakin lama mengkonsumsi rokok, Nam et al (1992) di Amerika Serikat mendapatkan peningkatan risiko terjadinya KNF pada orang yang konsumsi rokoknya semakin banyak dan lama, Zhu et al (1995) di Amerika Serikat pada studi kasus-kontrol dengan sampel seluruhnya laki-laki mendapatkan bahwa laki-laki yang merokok selama 25 tahun atau lebih mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya KNF (tanpa menyingkirkan faktor perancu ikan asin). Sementara itu Hildesheim et al (1997) di Taiwan mendapatkan pada IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
67 orang yang merokok lebih dari 30 tahun mempunyai risiko 2,1 kali terjadi KNF dibandingkan orang yang tidak merokok dengan CI 95% = 1,2-3,7. Cheng (1999) di Taiwan mendapatkan peningkatan risiko menurut lama merokok, dimana orang yang merokok selama kurang 25 tahun OR=1,1 dan yang merokok selama lebih 25 tahun OR=1,7 (p=0,03), dan Friborg et al (2007) di Singapura mendapatkan pada orang yang merokok selama lebih dari 40 tahun mempunyai risiko ganda untuk terjadinya KNF (OR=2,0; CI 95% 1,2-3,3). Bila dilihat dari jumlah batang rokok yang dikonsumsi setiap hari, pada kelompok kasus lebih banyak batang rokok dihisap perharinya dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil analisis regresi logistik univariat, memperlihatkan perbedaan bermakna dengan nilai OR=2,530 (p=0,021) pada perokok dengan konsumsi rokok 11-20 batang perhari. Pada analisis regresi logistik multivariat, jumlah batang rokok perhari tidak memperlihatkan perbedaan bermakna dengan nilai p=0,587. Hasil yang lebih kurang sama dilaporkan oleh Friborg (2007) di Singapura yang mendapatkan tidak ada hubungan antara banyaknya jumlah batang rokok yang dikonsumsi dengan kejadian KNF, Cheng et al (1999) di Taiwan mendapatkan bahwa banyaknya rokok yang dikonsumsi tidak mempunyai efek yang signifikan untuk terjadinya KNF. Berbeda dengan Zhu et al (1995) di Amerika Serikat yang mendapatkan bahwa semakin banyak batang rokok dikonsumsi, semakin meningkat pula tingkat estimasi risiko relatif untuk terjadinya KNF. Chow et al (2006) di Amerika Serikat mendapatkan peningkatan risiko terjadinya KNF sebanyak 6,4 kali pada orang yang mengkonsumsi rokok lebih dari 2 bungkus perhari. Ditinjau dari jenis rokok ditemukan perokok dengan jenis kretek lebih banyak pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol.
Hasil analisis regresi logistik univariat
menunjukkan perbedaan tidak bermakna dengan nilai p=0,081. Pada analisis regresi logistik multivariat, jenis rokok yang dikonsumsi tidak memperlihatkan perbedaan bermakna dengan nilai p>0.05. Sebagai perbandingan yang lain, Pelucchi et al (2006) di Italia mendapatkan terjadinya peningkatan kejadian kanker faring dan oral pada perokok dengan jenis rokok berfilter dibandingkan dengan yang tidak berfilter. Pada varibel lama merokok, jumlah batang rokok dan jenis rokok yang dikonsumsi, dari analisis regresi logistik univariat dan multivariat didapatkan hasil bahwa tidak terdapat IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
68 hubungan yang bermakna dengan terjadinya KNF. Hasil ini berbeda dengan beberapa peneliti sebelumnya yang mendapatkan hubungan yang bermakna. Perbedaan ini mungkin akibat dari perbedaan disain penelitian yang dilakukan, dimana beberapa penelitian menggunakan studi secara case control, sementara yang lain dengan studi prospektif kohort. Begitu juga dengan cara pengambilan sampel kelompok kontrol, dimana pada penelitian ini sampel kontrol diambil dari pasien-pasien yang juga dirawat di rumah sakit yang sama dengan sampel kelompok kasus (hospital based controls), sementara beberapa peneliti terdahulu mengambil sampel kontrol bukan pasien rumah sakit. Dengan kata lain, disain penelitian dan cara pengambilan sampel yang berbeda memungkinkan mendapatkan hasil penelitian yang berbeda pula, selain faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan hasil penelitian yang didapatkan. Bila dilihat dari varibel diluar pengaruh rokok (faktor perancu),
orang yang
mengkonsumi ikan asin pada usia kurang 10 tahun lebih banyak dan frekuensi konsumsinya lebih sering pada kelompok kasus dibandingkan kelompok kontrol. Hasil analisis regresi logistik univariat memperlihatkan hubungan sangat bermakna p=0,000 dengan masingmasing OR menurut frekuensi konsumsinya adalah; jarang OR 1,257, kadang-kadang OR 3,882, dan sering OR 9,429.
Pada analisis regresi logistik multivariat, mengkonsumsi ikan
asin pada usia kurang 10 tahun memperlihatkan hubungan bermakna dengan nilai p=0,000 pada tingkat frekuensi konsumsi kadang-kadang dan jarang, dengan masing-masing OR menurut frekuensi konsumsinya adalah; kadang-kadang OR 7,766, dan sering OR 16,515. Pada penelitian ini berarti setiap peningkatan frekuensi makan ikan asin pada usia kurang 10 tahun maka risiko mendapatkan KNF tersebut akan lebih besar. Bahan makanan dan zat kimia tertentu dicurigai berperan dalam terjadinya KNF. Makanan yang mengandung nitrosamine yang dikonsumsi pada usia kurang 10 tahun, mempunyai risiko untuk terjadinya KNF pada usia dewasa. Bahan kimia ini merupakan mediator yang dapat mengaktifkan VEB dan bersifat pro-karsinogen (Ning et al, 1990). Nitrosamine banyak dijumpai pada bahan makanan yang diawetkan dengan cara diasinkan seperti ikan asin ataupun dengan cara pengasapan (Yu et al, 1990). Pada proses pengasinan atau pengeringan ikan dengan pemanasan sinar matahari, terjadi reaksi biokimia berupa IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
69 nitrosasi oleh sinar ultrviolet. Gugus nitrit dan nitrat yang terbentuk akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin menjadi nitrosamine dan beberapa volatile nitrosamine (Zheng et al, 1994). Ho (1985) di Hongkong dalam studi kasus kontrol dengan jumlah kasus 250 orang penderita KNF mendapatkan bahwa pada orang-orang yang mengkonsumsi ikan asin pada usia dini dengan frekuensi sedikitnya mengkonsumsi 1 kali dalam seminggu mempunyai OR 37,7 dibanding orang yang mengkonsumsi hanya 1 kali perbulan, sementara itu dalam penelitiannya di Malaysia dengan jumlah kasus 100, didapatkan pada orang yang mengkonsumsi ikan asing pada usia dini mempunyai risiko relatif 17,4 dibandingkan dengan orang yang tidak mengkonsumsi. Yu et al (1989) di Guangzhou-China dan mendapatkan hasil bahwa mengkonsumsi ikan asin, baik pada masa anak-anak dan dewasa mempunyai hubungan yang signifikan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya KNF. Ning et al (1990) di Tianjin-China mandapatkan bahwa mengkonsumsi ikan asin pada usia dini dengan konsumsi yang lama dan tingkat frekuensi yang semakin meningkat, akan mempunyai risiko yang tinggi pula terjadinya KNF. Zheng et al (1994) di Guangxi-China mendapatkan bahwa orang yang mengkonsumsi ikan asin sebelum berusia 2 tahun mempunyai risiko untuk terjadinya KNF dengan OR 3,8. Sedangkan Zou et al (1994) di Beijing-China mendapatkan hasil yang mendukung kesimpulan risiko tinggi terjadinya KNF di china selatan mungkin akibat dari konsumsi ikan asin yang didalamnya terdapat level N-nitrosamines yang tinggi. Armstrong et al (1998) di Malaysia mendapatkan terdapat hubungan yang sangat jelas antara terjadinya KNF dengan konsumsi ikan asin. Yang
et al (2005) di Taiwan mendapatkan
adanya hubungan kejadian KNF pada usia dini pada orang yang mengkonsumsi ikan asin sebelum usia 10 tahun dengan OR 3,94 (CI 95% 1,47-10,55). Bila ditinjau dari pemakaian kayu bakar, ditemukan pengguna kayu bakar lebih banyak pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol.
Hasil analisis regresi logistik univariat
menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna dengan nilai p=0,113. Pada analisis regresi logistik multivariat, pemakai kayu bakar memperlihatkan hubungan yang bermakna dengan nilai p=0,014 dengan OR 3,147 (CI 95% 1,26-7,86). Hasil yang lebih kurang sama dilaporkan Zheng (1994) di Guangxi-China, dimana pada orang yang terpapar asap pembakaran kayu bakar rumah tangga mempunyai risiko untuk terjadinya KNF dengan OR 5,4. Armstrong et al IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
70 (2000) di Malaysia mendapatkan adanya hubungan antara pajanan asap kayu bakar dengan KNF dengan OR 1,65 (CI 95% 0,69-3,92). McDermott et al (2004) dalam jurnal tentang etiologi KNF menuliskan pada populasi di Kenya yang terpajan dengan asap kayu bakar mempunyai hubungan dengan KNF, dimana dalam analisa asap kayu bakar tersebut didapatkan tingginya kadar zat karsinogenik hidrokarbon, yaitu benzpyrene dan benzanthracene, hasil lain yang sama dan konsisten juga didapat pada populasi di Alaska dan Indonesia pada orang-orang yang sering menggunakan kayu bakar. Frekuensi KNF tersering adalah pada usia 40 sampai 59 tahun dan kebiasaan merokok umumnya dimulai di usia antara 10 sampai 30 tahun. Berdasarkan analisis regresi logistik multivariat dapat dilihat dari usia mulai merokok, jumlah batang per hari, jenis rokok yang dihisap, serta pengaruh faktor lain selain rokok yaitu pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin pada usia kurang 10 tahun, maka dapat dilihat berbagai besarnya risiko mendapatkan KNF (odds rasio) pada perokok, pemakai kayu bakar dan pengkonsumsi ikan asin pada usia kurang 10 tahun, seperti dapat dilihat dalam table 4.2.1. Hasil analisis regresi logistik multivariat,
variabel-variabel usia mulai merokok antara 10–19 tahun, pemakaian
kayu bakar dan konsumsi ikan asin pada usia kurang 10 tahun dengan frekuensi konsumsi kadang-kadang dan sering mempunyai asosiasi yang bermakna dengan kejadian KNF, masing-masing dengan OR 5,350 (p=0,000), OR 3,147 (p=0,014), OR 7,766 (p=0,000) dan OR 16,515 (p=0,000). Setelah dilakukan uji analisis regresi logistik multivariat secara bertahap, maka didapatkan bahwa hanya faktor usia mulai merokok, mengkonsumsi ikan asin pada usia kurang 10 tahun dan pemakaian kayu bakar saja yang dapat diuji secara statistik sebagai faktor-faktor risiko terjadinya KNF. Kemudian dua faktor perancu yaitu konsumsi ikan asin sebelum berusia 10 tahun dan pemakaian kayu bakar dengan uji statistik dicoba dikeluarkan, dan didapatkan hasil bahwa faktor pemakaian kayu bakar dan konsumsi ikan asin sebelum usia 10 tahun adalah tetap merupakan faktor perancu yang berpengaruh sebagai faktor risiko, sehingga tidak dapat dikeluarkan sebagai faktor-faktor risiko terjadinya KNF.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
71 Dari keseluruhan hasil ini dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara rokok dengan KNF, dimana rokok dapat merupakan sebagai faktor risiko terjadinya KNF jika sudah mulai dihisap pada usia kurang dari 20 tahun. Faktor selain rokok (faktor perancu), yaitu faktor konsumsi ikan asin sebelum berusia 10 tahun dan faktor pemakaian kayu bakar juga mempunyai hubungan dengan KNF sebagai faktor risiko. Sehingga faktor rokok sebagai faktor risiko terjadinya KNF tidak dapat berperan sebagai faktor risiko yang berdiri sendiri, namun faktor konsumsi ikan asin sebelum berusia 10 tahun dan faktor pemakaian kayu bakar juga merupakan faktor-faktor yang akan saling mempengaruhi sebagai faktor risiko terjadinya KNF. Hal ini sesuai dengan apa yang dilaporkan banyak penelitian pada kepustakaan bahwa etiologi KNF adalah multifaktor, dan banyak dari faktor-faktor tersebut saling tumpang tindih dimana salah satu faktor mungkin terjadi bersamaan dengan faktor lain sebagai penyebab.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
72 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Ada hubungan yang bermakna antara mulai merokok sebelum berusia 20 tahun dengan KNF (p=0,000; OR 5,35 dan CI 95% 2,290 - 12,499) 2. Tidak terdapat hubungan bermakna antara lama merokok (p=0,293), jumlah batang rokok (p=0,021) dan jenis rokok yang dihisap (p=0,081). 3. Dijumpai hubungan yang bermakna antara
penderita KNF dengan yang bukan
penderita KNF pada orang yang mengkonsumsi ikan asin pada usia kuang 10 tahun, dengan frekuensi konsumsi ikan asin kadang-kadang p=0,000; OR 7,766 (CI 95% 2,937 - 20,538), sering p=0,000; OR 16,515 (CI 95% 5,300 - 51,463), dan pemakai kayu bakar p=0,014; OR 3,147 (CI 95% 1,260 - 7,860), 4. Merokok sebagai faktor risiko terjadinya KNF tidak dapat berperan sebagai faktor risiko yang berdiri sendiri, namun diperlukan juga faktor konsumsi ikan asin
pada usia
kurang 10 tahun dan faktor pemakaian kayu bakar.
6.2 Saran 1. Karena etiologi terjadinya KNF masih belum jelas dan belum sepenuhnya dimengerti, maka dibutuhkan penelitian lanjutan secara kohort untuk melihat bahan karsinogenik tertentu di dalam rokok yang paling berperan menyebabkan terjadinya KNF. 2. Perlu penelitian lebih lanjut dengan hewan percobaan untuk melihat patogenesis terjadinya KNF dengan menggunakan
bahan-bahan karsinogenik yang ada pada
rokok. 3. Selain
penelitian
yang
mencari
faktor-faktor
risiko
terjadinya
KNF,
peneliti
menyarankan dilakukan penelitian untuk mencari faktor-faktor protektif yang dapat mencegah maupun menghambat terjadinya KNF, seperti vitamin-vitamin, buah-
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
73 buahan, sayuran, herbal ataupun faktor lain yang diduga dapat berperan sebagai faktor protektif terjadinya KNF.
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
74 DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, LV & Del Regato, JA 1970, Cancer Diagnosis and Treatment and Prognosis, 4th ed, The CV Mosby Company, St. Louis, pp. 254-76 Aditama TJ, 2001, Masalah Merokok dan Penanggulangannya. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia – Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok dengan Yayasan penerbitan IDI, pp. 1-19 Aditama TJ, 2003, Rokok di Indonesia (Editorial). Jurnal Respirologi Indonesia, vol. 23, no.4, pp. 214-7 Aditama TJ, 2004, Sepuluh Program Penganggulangan Rokok, Majalah Kedokteran Indonesia, vol. 54, no.7, pp. 255-9 Adnan A, 1996, Tesis, Beberapa Aspek Karsinoma Nasofaring di Bagian THT FK-USU / RSUP H.Adam Malik, Medan. Ahmad A, 2002, Diagnosis dan Tindakan Operatif Pada Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring,
Simposium
Perkembangan
Multimodalitas
Penatalaksanaan
Kanker
Nasofaring Dan Pengobatan Suportif, Hotel Millenium, Jakarta. Armiyanto, 1993, Tesis. Pemeriksaan immunoglobulin A terhadap virus Epstein-Barr spesifik untuk “viral capsid antigen: dan “early antigen” pada karsinoma nasofaring, FK-UI. Jakarta Asikin N, 2001, Karsinogenesis Kimia, Course and Workshop, The 4th Basic Sciences in Oncology, Perhimpunan Onkologi Indonesia, Jakarta. Armstrong RW, Imrey PB, Lye MS, et al, 1998, Nasopharyngeal Carcinoma in Malaysian Chinese: Salted Fish and Other Dietary Exposures, International Journal Cancer, vol. 77, no. 2, pp. 228-35 Armstrong RW, Imrey PB, Lye MS, et al, 2000, Nasopharyngeal Carcinoma in Malaysian Chinese: Occupational Exposure to Particles, Formaldehyde and Heat, International Journal of Epidemiology, vol. 29, no. 6, pp. 991-8 Ballenger JJ, 1994, Anatomy Bedah Faring dan Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Binarupa Aksara, Edisi 13, Jilid 1, pp. 318-27 IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
75 Ballenger JJ, 1994, Tumor dan Kista di Muka, Faring dan Nasofaring,
Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Binarupa Aksara, Edisi 13, Jilid 1, pp. 371-96 Beasley P, 1997, Anatomy of the Pharynx and Oesophagus, Scott-Brown’s Otolaryngology, 6th ed., Butterworth-Heinemann, Great Britain, vol.1, pp.1/10/1-40 Bosman FT, 1999,
Aspek-aspek Fundamental Kanker, Onkologi, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, pp. 3-35 Brennan B, 2006, Nasopharyngeal carcinoma, Orph J Rare Dis, vol.1, no.23, pp. 1-5 Brennan JA, Boyle JO, Koch WM, et al, 1995, Association Between Cigarette Smoking and Mutation of the p53 Gene in Squamous-Cell Carcinoma of the Head and Neck, The New England Journal of Medicine, pp. 712-7 Budiarto E, 2003, Penelitian Kasus-Kontrol, Metodologi Penelitian Kedokteran : Sebuah Pengantar, EGC, Jakarta, pp. 96-145 Caldwell E, 2001, Kasus-Kasus Medis Mengenai Merokok, Berhenti Merokok, LKiS. Pustaka Populer, Yogyakarta, pp. 5-29 Chen CJ, Liang KY, Chang YS et al, 1990 Multiple Risk Factors of Nasopharyngeal Carcinoma: Epstein-Barr Virus, Malarial Infection, Cigarette Smoking and Familial Tendency, Anticancer Res, vol 10, no 2B, pp. 547-53 Cheng YJ, Hildsheim A, Hsu mm, et al, 1999, Cigarette Smoking, Alkohol Consumption and Risk of Nasopharyngeal Carcinoma in Taiwan, Cancer Causes and Control, vol. 10, pp. 201-7 Chew CT, 1997 Nasopharynx (the Postnasal Space), Scott-Brown’s Otolaryngology, 6th edition, Butterworth-Heinemann, Great Britain, vol 5, pp. 5/13/1-30 Chow
WH, McLaughlin JK, Hrubec Z et al, 2006, Tobacco Use and Nasopharyngeal Carcinoma in a Cohort of US Veterans, International Journal of Cancer, vol 55, no.4, pp. 538-40
Cottrill CP & Nutting CM, 2003, Tumours of the Nasopharynx, Evans PHR, Montgomery PQ, Gullane PJ, ed. Principle and Practice of Head and Neck Oncology, London, Martin Dunitz, pp. 193-218
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
76 Daly MB, 1993, Epidemiology of Cancer, Clinical Oncology, Prentice-Hall International Inc, a Lange Medical Book, pp. 19-27 Delfitri M, 2007, Disertasi, Asosiasi Antara Alel Gen HLA-DRB1 dan HLA DQB1 dengan Kerentanan Timbulnya Karsinoma Nasofaring pada Suku Batak, Universitas Sumatra Utara, Medan Dhingra PL, 2004, Tumours of Nasopharynx, Disease of Ear, Noses, and Throat, Third edition, Elsevier, New Delhi, pp. 299-01 Drastyawan B, Aditama TY, Yunus F, 2001, Pengaruh Asap Rokok Terhadap Saluran Napas. Jurnal Respirologi Indonesia, Official Journal of the Indonesian Association of Pulmonologists, vol.1, no.1, pp.31-7 Erkal HSSerin M, Cakmak A, 2001, Nasopharyngeal Carcinomas: Analysis of Patient, Tumor and Treatment Characteristics Determining Outcome, Radiotherapy and Oncology, vol. 61, pp. 247-56 Fachiroh J, Schouten T, Hariwiyanto B et al, 2004, Molecular Diversity of Epstein-Barr Virus IgG and IgA Antibody Responses in Nasopharyngeal Carcinoma: A Comparison of Indonesian, Chinese, and European Subjects, The Journal of Infectious Diseases, pp. 53-62 Friborg JT, Yuan JM, Wang R et al, 2007, A Prospective Study of Tobacco and Alcohol Use as Risk Factors for Pharyngeal Carcinomas in Singapore Chinese, American Cancer Society, vol 109, pp. 1183-91 Haugen A, 2000, Etiology of Lung Cancer, Textbook of Lung Cancer, Edited: Hansen HH, Denmark, pp. 1-9 Her C, 2001, Nasopharyngeal Cancer and the Southeast Asian Patient. American Family Physician, vol.63, no.9, pp. 1776-80 Hecht SS, 2003,
Tobacco Carcinogens, Their Biomarkers and Tobacco-Induced Cancer,
Nature Reviews Cancer, vol. 3, pp. 733-44 Hildesheim A, Anderson LM, Chen CJ, et al, 1997, CYP2E1 Genetic Polymorphisms and Risk of Nasopharyngeal Carcinoma in Taiwan, Journal of the National Cancer Institute, vol. 89, no.16, pp. 1207-12 IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
77 Ho JHC, 1985, Nasopharyngeal Carcinoma, The Western Journal of Medicine, vol.143, pp. 70-73 Holt GR & Shockley WW, 1993, Head & Neck Cancer, Clinical Oncology, A Lange Medical Book, London, pp. 214-37 Irish JC, Kammel S, Gullane PJ, et al, 2003, Molecular Biology, Principles and Practice at head and neck oncology, Martin Dunitz, London, pp.15-30 Kentjono WA, 2003, Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring, Naskah Lengkap Simposium Bedah Kepala Leher, FKUNAIR, Jakarta. Kolappan C & Gopi PG, 2002, Tobacco Smoking and Pulmonary Tuberculosis, Thorax, vol.57, no.11, pp. 964-6 Kresno SB, 2004, Karsinogenesis Secara Umum, Disajikan pada : The 7th Course Basic Sciences in Oncology Modul C & D Putaran ke-2, Jakarta, pp. 101-11 Krishna SM, James S, Kattor J, et al, 2004, Serum EBV DNA As a Biomarker in Primary Nasopharyngeal Carcinoma of Indian Origin, Japanese Journal of Clinical Oncology, vol. 34, no.6, pp. 307-11 Kurniawan AN, 1995, Diagnosis Patologik Karsinoma Nasofaring, Pencegahan dan Deteksi Dini Penyakit Kanker, Perhimpunan Onkologi Indonesia, pp. 289-93 Licitra L, Bernier J, Cvitkovic E, et al, 2003, Cancer of the Nasopharynx, Critical Reviews in Oncology Haematology, Elsevier, vol. 45, pp. 199-214 Lubis MND, 1993, The Technical Procedure and the Value of Fine Needle Aspiration Biopsy of the Nasopharyx, Patology, pp. 25 : 35-8 Lutan R, 2003, Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring, Kumpulan Naskah KONAS XIII PERHATI, Bali, pp. 16 Mabuchi K, Bross DS, Kessler II, 1985, Cigarette Smoking and Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer, vol. 55, pp.2874-6 Marshal MV, 1993, Carcinogenesis, Clinical Oncology, A Lange Medical Book. London, pp. 11-8
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
78 Mathur SJN, 2003, Epidemiological and Etiological Factors Associated with Nasopharyngeal Carcinoma, Indian Council of Medical Research, New Delhi, vol.33, no.9 McDermott AL, Dutt SN, Watkinson JC, 2001, The Aetiology of Nasopharyngeal Carcinoma, Clin. Otolaryngol, vol. 26, pp. 82-92 Mulyarjo, 2002, Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring,
Perkembangan
Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor Ganas THT-KL, FK UNAIR, Surabaya, pp.149-55 Myers JN, 1996, Molecular Pathogenesis of Squamous Cell Carsinoma of The Head & Neck. In: Myers EN, Suen JY, ed., Cancer of The Head & Neck, Philadelphia: WB Saunders Company, pp. 5-13 Nam J, McLaughlin JK, Blot WJ, 1992, Cigarette Smoking, Alcohol, and Nasopharyngeal Carcinoma : A Case-Control Study Among U.S. White, Journal of the National Cancer Institute, vol 84, no 8, pp. 619-22 Ning JP, Yu MC, Wang QS et al, 1990, Consumption of Salted Fish and Other Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) in Tianjin, a Low-Risk Region for NPC in the People’s Republic of China, Journal of the National Cancer Institute, vol 82, no 4, pp.291-6 Pelucchi C, Gallus S, Garavello W, et al, 2006, Cancer Risk Associated with Alcohol and Tobacco Use : Focus on Upper Aerodigestive Tract and Liver, Health Risks, vol.29, no.3, pp.193-8 Pfeifer GP, Denissenko MF, Olivier M, et al, 2002, Tobacco Smoke Carcinogens, DNA Damage and p53 Mutations in Smoking-Associated Cancers, Oncogene, pp.7435-51 Pinar T, Akdur R, Tuncbilek, et al, 2007, The Relationship Between Occupations and Head and Neck Cancers, Journal of the National Medical Association, vol.99, no.1, pp.64-71 Port JL, Yamaguchi K, Du B, et al, 2004,
Tobacco Smoke Induces CYP1B1 in the
Aerodigestive Tract, Carcinogenesis, vol. 25, no.11, pp. 2275-81 Roezin A, 1995, Deteksi dan Pencegahan Karsinoma Nasofaring, Pencegahan dan Deteksi Dini Penyakit Kanker, Perhimpunan Onkologi Indonesia, pp. 274-88
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
79 Roezin A, 1996, Faktor Predisposisi Kanker Nasofaring. Kumpulan Naskah Ilmiah, BatuMalang, pp. 833-40 Roezin A & Syafril A, 2001, Karsinoma Nasofaring, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Balai Penerbit FK-UI, Edisi Kelima, Jakarta, pp.146-50 Sasco AJ, Secretan MB, Straif K, 2004, Tobacco Smoking and Cancer: a Brief review of Recent Epidemiological Evidence, Lung Cancer , Elsevier, vol. 4, no.2, pp. 53-9 Situmeang SBT, Jusuf A, Arief N, dkk, 2002, Hubungan Merokok Kretek Dengan Kanker Paru, Jurnal Respirologi Indonesia. Official Journal of the Indonesian Association of Pulmonologists, vol.22, no.3, pp.109-17 Soetjipto D, 1989, Karsinoma Nasofaring, Tumor Telinga Hidung dan Tenggorok, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK-UI, Jakarta, pp. 71-84 Soetjipto D, 1993, Karsinoma Nasofaring Mungkinkah Melakukan Diagnosa Dini?, Kumpulan Naskah Ilmiah PIT PERHATI, Bukit Tinggi, pp. 284-96 Solak ZA, Kabaroglu C, Cok g, et al, 2005, Effect of Different levels of Cigarette Smoking on Lipid Peroxidation, Glutathione Enzymes and Paraoxonase 1 Activity in Health People, Clin Exp Med, vol.5, pp. 99-105 Sudiana IK, 2005, Teknologi Ilmu Jaringan dan Immunohistokimia, Sagung Seto, Jakarta, pp. 36-40 Sudyartono T & Wiratno, 1996, Manifestasi Klinik Sebagai Dasar Diagnosis Karsinoma Nasofaring, Kumpulan Naskah Ilmiah, Batu-Malang, pp 841-60 Sukardja IDG, 2000, Biologi Tumor. Onkologi Klinik, Airlangga University Press, Surabaya, pp. 13-8 Sung FL, Poon TCW et al, 2005, Anti Tumor Effect and Enhancement of Cytotoxic Drug Activity by Cetuximab in Nasopharyngeal Carsinoma Cells. In Vivo, vol.19, no.1, pp.237-46 Susworo R, 2004, Tinjauan Kepustakaan Kanker Nasofaring Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir, Cermin Dunia Kedokteran, vo.144, pp. 16-18 Thompson LDR, 2005, Nasopharyngeal Carsinoma, ENT Journal, vol.84, no.7, pp. 404-5
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
80 Tjarta A, 1995, Onkogenesis, Pencegahan dan Deteksi Dini Penyakit Kanker, Jakarta, pp. 2-12 Uzcudun AE, Retolaza IR, Grande AG et al, 2002, Pharyngeal Cancer Prevention : Evidence from a Case-Control Study Involving 232 Consecutive Patients, The Journal of Laryngology & Otology, vol.116, pp.523-31 Vaughan TL, Shapiro JA, Burt RD, et al, 1996, Nasopharyngeal Cancer in a Low-Risk Population: Defining Risk Factors by histological Type, Cancer Epicemiology, Biomarkers and Prevention, vol 5, pp 587-93 Vaughan TL, Stewart PA, Teschke K, et al, 2000, Occupational Exposure to Formaldehyde and Wood Dust and Nasopharyngeal Carcinoma, Occupational and Environmental Medicine, vol. 57, no. 6, pp. 376-84 Vinies P, Alavanja M, Buffler P, et al, 2004, Tobacco and Cancer : Recent Epidemiological Evidence, Journal of the National Cancer Institute, vol. 96, no.2, pp. 96-106 Wei WI & Sham JST, 2005, Nasopharyngeal Carcinoma, The Lancet, vol. 365, no.9476, pp. 2041-54 Wei WI, 2006, Nasopharyngeal Cancer, Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck Surgery Otolaryngology, 4th ed,vol 2, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia USA, pp.165771 Wei WI & Sham JST, 1996, Cancer of the Nasopharynx, Cancer of the Head and Neck. Philadelphia, 3rd ed, pp. 277-91 Weiss GR, 1993, Drugs in the Treatment of Cancer, Clinical Oncology, Appleton & Lange, USA, pp.97-100 Yang XR, Diehl S, Pfeiffer R, et al, 2005, Evaluation of Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in Taiwan, Cancer Epidemiology Biomarkers Prevention, vol.14, no.4, pp. 900-5 Yu MC, Gabrant DH, Huang TB, Henderson BE, 1990, Occupational and Others Non Dietary Risk Factor for NPC, Int. Journal Cancer, vol. 45, pp. 1033-9
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
81 Yu MC, Huang TB, Henderson BE, 1989, Diet and Nasopharyngeal Carcinoma: A CaseControl Study in Guangzhou-China, International journal Cancer, vol 43, no 6, pp. 107782 Yu MC, Mo CC, Chong WX et al, 1988, Preserved Food and Nasopharyngeal Carcinoma: A Case-Control Study in Guangxi-China, Cancer Res, vol 48, no 7, pp. 1954-9 Zachreni, 1999, Tesis, Hubungan Virus Epstein-Barr dengan Karsinoma Nasofaring secara Immunohistokimia, FK-USU, Medan. Zheng YM, Tuppin P, Hubert A et al, 1994, Environmental and Dietary Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma: a Case-Control Study in Zangwu County, Guangxi, China, Br Journal Cancer, vol 63, no 3, pp. 508-14 Zhu K, Levine RS, Brann EA, et al, 1995, A Population-Based Case-Control Study of the Relationship Between Cigarette Smoking and Nasopharyngeal Cancer (United States), Cancer Causes and Control, vol. 6, pp. 507-12 Zhuolin D, Yiping W, Wei L, et al, 2005, Glutathione S-transferase M1 and T1 Gene Deletion Associated with Increased Susceptibility to Nasopharyngeal Carcinoma, The ChineseGerman Journal of Clinical Oncology, vol. 4, no.5, pp. 276-8 Zou XN, Lu SH, Liu B, 1994, Volatile N-nitrosamines and Their Precursor in Chinese Salted Fish – a Possible Etiological Factor fo NPC in China, International Journal Cancer, vol 59, no 2, pp 155-8
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
82 Lampiran 1 KUESIONER
No. Urut
:
Tanggal
:
Tempat pengambilan sampel :
Data-data Pasien No. MR
:
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Suku
:
Pekerjaan
:
Alamat
:
Telepon / Hp
:
Hasil Biopsi histopatologi
:
Diagnosis
:
Stadium
:
Merokok
:
Umur mulai merokok
: .................
tahun
Lama merokok
: .................
tahun
Batang rokok perhari
: ................
batang
Jenis rokok
:
putih / kretek / lintingan /
Pernah berhenti merokok
:
ya
Jika ya, berapa lama
: .................
Riwayat makan ikan asin
ya
:
/
/
tidak
campuran
tidak
tahun ya
/
tidak
Umur < 10 tahun frekuensi makan ikan asin : sering / kadang-kadang / jarang Jumlah ikan asin yang dimakan
: ................. / hari
Anggota keluarga menderita kanker : Jika ya, hirarki keluarga
ya
/
tidak
: ....................
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
83 Di rumah memakai lampu minyak
:
ya
Jika ya, sudah berapa lama
: ................... tahun
Di dapur memakai kayu bakar
:
Jika ya, sudah berapa lama
: ................... tahun
ya
/
/
tidak
tidak
Dapur menyatu dengan rumah utama
:
ya
/
Di rumah memakai obat nyamuk bakar :
ya
/
tidak
Jika ya, sudah berapa lama
tidak
: ................... tahun
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
84 Lampiran 2
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
85
Keterangan : Sex
: L = Laki-laki P = Perempuan
Histopatologi
: 1 = Karsinoma sel skuamosa keratinizing 2 = Karsinoma sel skuamosa nonkeratinizing 3 = Karsinoma sel undifferentiated
Jenis rokok
: P = Rokok putih K = Rokok kretek L = Rokok linting C = Rokok campuran
Frekuensi
: Jrg = Jarang Kdg = Kadang-kadang Srg = Sering
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
86 Lampiran 3
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
87
Keterangan : Sex
: L = Laki-laki P = Perempuan
Jenis rokok
: P = Rokok putih K = Rokok kretek L = Rokok linting C = Rokok campuran
Frekuensi
: Jrg = Jarang Kdg = Kadang-kadang Srg = Sering
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
88 Lampiran 4
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
89 RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama lengkap
: Ibrahim Irsan Nasution, dr
NIP
: 140 356 395
Tempat dan tanggal lahir
: Medan, 6 Desember 1970
Agama
: Islam
Status perkawinan
: Kawin
Nama istri
: Dien Mediena, Ssos
Jumlah anak
: 2 (dua)
Nama anak
: 1. Fikri Roja Nasution 2. Fahri Zuhdi Nasution
Pangkat / Golongan
: Penata Muda / III b
RIWAYAT PENDIDIKAN Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1983
: Tamat Sekolah Dasar Perguruan Nasional Khalsa Medan
Tahun 1986
: Tamat Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Medan
Tahun 1989
: Tamat Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Medan
Pendidikan Tinggi Tahun 1996
: Lulus dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
PENDIDIKAN TAMBAHAN Tahun 2002 : Mengikuti Advance Trauma Life Support Course, Cirebon. Tahun 2006 : Mengikuti Temporal Bone Dissection Course, Langkawi-Malaysia. Tahun 2006 : Mengikuti Workshop Esofago-bronkoskopi, FK USU Medan
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.
90 RIWAYAT PEKERJAAN Tahun 1997-2000
: Kepala Puskesmas Sungai Tering Nipah Panjang, Tanjung Jabung - Jambi
Tahun 2001-2003
: Kepala Puskesmas Polak Pisang, Indragiri Hulu – Riau
Tahun 2004-sekarang
: Asisten dokter (PPDS) Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fak. Kedokteran USU / RSUP H.Adam Malik Medan
ORGANISASI PROFESI Tahun 1997-2000
: Anggota IDI Cabang Tanjung Jabung – Jambi
Tahun 2001-2003
: Anggota IDI Cabang Indragiri Hulu – Riau
Tahun 2004-sekarang
: Anggota Muda Perhati Cabang Sumatera Utara
IBRAHIM IRSAN NASUTION : HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KARSINOMA NASOFARING, 2008.