BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Karsinoma
nasofaring
(KNF)
merupakan
keganasan
yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang jarang terjadi di sebagian besar wilayah dunia dengan angka kejadian di bawah
1/100.000
per
tahun.
Secara
global,
sekitar
65.000 kasus baru KNF dilaporkan setiap tahunnya dan lebih
dari
80%
berasal
dari
Cina
Selatan
dan
Asia
Tenggara (Wah et al. 2014). Data terakhir menunjukkan bahwa prevalensi KNF di Asia Tenggara mencapai kategori sedang sampai tinggi (Adham et al. 2014). Pada populasi berisiko tinggi, insidensi KNF memuncak pada usia 45-54 tahun dan insidensinya menurun setelahnya (Wah et al. 2014),
sementara
insidensi
KNF
pada
meningkat
populasi seiring
berisiko
dengan
rendah
bertambahnya
usia (Chang & Adami 2006). KNF lebih banyak menyerang laki-laki
dibandingkan
perempuan
dengan
rasio
2-3:1
(Curado 2008). Di Indonesia, KNF merupakan keganasan kelima yang paling sering terjadi pada wanita setelah kanker payudara, kanker serviks, kanker ovarium, dan kanker
tiroid.
Pada
laki-laki,
1
KNF
menempati
urutan
2
pertama sebagai keganasan yang paling banyak terjadi (Suzana yang
2007).
paling
KNF
merupakan
sering
insidensi
terjadi
sekitar
keganasan di
kepala
Indonesia
6,2/100.000
leher dengan
populasi
dan
diperkirakan ada 12.000 kasus baru setiap tahun (Adham et al. 2014). Gejala
KNF
umumnya
bervariasi
diantara
pasien.
Beberapa gejala tersebut sering diabaikan oleh pasien atau
salah
diagnosis
diinterpretasikan
sulit
anamnesis
untuk
gejala
oleh
ditegakkan
klinis
(Myers
dokter,
sehingga
jika
hanya
dengan
and
Suen
1996).
Sementara, five-year survival rate secara terus-menerus akan
menurun seiring dengan meningkatnya stadium KNF.
Pada
stadium
awal
(I-IIa),
KNF
sensitif
terhadap
radioterapi dan five-year survival rate mencapai
lebih
dari 80%. Namun demikian, jika terapi dilakukan pada stadium yang lebih lanjut (IIb-IV) five-year survival rate menurun hingga 40%, sehingga deteksi dini pada stadium awal penting untuk dilakukan (Fachiroh 2009). Deteksi
dini
tersebut
dapat
dilakukan
dengan
cara
melakukan screening pada populasi berisiko tinggi. Oleh sebab
itu,
identifikasi
faktor
risiko
KNF
perlu
dilakukan untuk mengetahui populasi berisiko tinggi,
3
sehingga tindakan preventif (screening) dapat dilakukan pada populasi tersbut. Infeksi genetik,
Epstein-Barr
dan
faktor
virus
lingkungan
tiga etiologi utama terjadinya
(EBV),
kerentanan
diperkirakan
menjadi
KNF di area endemik
(Wah et al. 2014). EBV memiliki hubungan erat dengan kejadian
KNF.
Pasien
penderita
KNF
memiliki
titer
antibodi EBV yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, terutama antibodi kelas IgA (Fachiroh 2009). Salah satu faktor lingkungan non-viral yang diperkirakan menjadi faktor
risiko
KNF
adalah
faktor
risiko
KNF
telah
merokok. didukung
Merokok oleh
sebagai studi
di
berbagai wilayah, baik wilayah dengan prevalensi tinggi maupun rendah. Namun demikian, merokok dapat memberikan efek yang berbeda terhadap kejadian KNF pada populasi yang berbeda (Jia & Qin 2012). Di Provinsi Yogyakarta, studi mengenai hubungan antara merokok sebagai faktor lingkungan, nasofaring
titer dalam
IgA-EBV, satu
studi
dan
kejadian
belum
pernah
karsinoma dilakukan
sebelumnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai
hubungan
kedua
faktor
tersebut
terhadap
kejadian karsinoma nasofaring. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara merokok, titer IgAEBV, dan kejadian karsinoma nasofaring. Penelitian ini
4
berfokus pada subjek laki-laki mengingat angka kejadian KNF
yang
lebih
tinggi
pada
laki-laki
dibandingkan
perempuan. 1.2
Rumusan Masalah
1. Apakah ada keterkaitan antara merokok dan kejadian KNF pada laki-laki? 2. Apakah ada keterkaitan antara merokok dan titer IgA-EBV pada laki-laki? 3. Apakah ada keterkaitan titer IgA-EBV dan kejadian KNF pada laki-laki? 4. Apakah ada keterkaitan antara merokok, titer IgAEBV, dan kejadian KNF pada laki-laki? 1.3
Tujuan Penelitian
1. Untuk
mengetahui
hubungan
antara
merokok
dan
kejadian KNF pada laki-laki. 2. Untuk mengetahui hubungan antara merokok dan titer IgA-EBV pada laki-laki. 3. Untuk mengetahui hubungan antara titer IgA-EBV dan kejadian KNF pada laki-laki. 4. Untuk mengetahui hubungan antara merokok, titer IgA-EBV, dan kejadian KNF pada laki-laki. 1.4
Keaslian Penelitian Studi mengenai hubungan antara kebiasaan merokok
dengan karsinoma nasofaring dan hubungan antara infeksi
5
EBV dengan karsinoma nasofaring sudah banyak dilaporkan secara
terpisah.
Namun
demikian,
penelitian
untuk
mengetahui hubungan antara ketiga variabel penelitian, yaitu
kebiasaan
karsinoma
merokok,
nasofaring
dilaporkan
di
dilakukan
mengenai
titer
dalam
Yogyakarta.
IgA-EBV,
satu
studi
Beberapa
etiologi
dan
risiko
belum
pernah
studi
yang
karsinoma
telah
nasofaring
diantaranya adalah: 1. Polesel, J. et al., 2011. Tobacco smoking, alcohol drinking, types
and
of
the
risk
of
nasopharyngeal
population.
Oral
Penelitian
tersebut
different cancer
Oncology,
in 47,
merupakan
histological a
low-risk
pp.541–545.
penelitian
kasus
kontrol yang dilakukan pada low-risk population di Italia.
Pada
penelitian
tersebut
dinyatakan
bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara merokok dengan
KNF
(semua
tipe)
dengan
OR
perokok
dibandingkan non-perokok = 1,52 (95% CI: 0,89-2,60). Namun,
pada
KNF
OR
yang
kenaikan intensitas
merokok
tipe
differentiated
signifikan (OR
untuk
dengan merokok
terdapat
peningkatan ≥15
batang
rokok/hari = 5,40; 95% CI: 1,34–21,76) dan durasi merokok (OR untuk merokok ≥32 tahun = 4,48; 95%CI:
6
1,11–18,74). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ditemukan
bahwa
pada
populasi
western,
KNF
tipe
differentiated berhubungan dengan merokok sedangkan KNF
tipe
hanya
undifferentiated
memiliki
sedikit
Perbedaan
dengan
populasi
dan
tidak
hubungan
penelitian
subjek
berhubungan dengan
penulis
penelitian
atau
merokok.
terletak
pada
tersebut
yang
merupakan populasi dengan risiko KNF yang rendah. Selain
itu,
Selain
menganalisis
studi
variabel
tersebut
alkohol
yang
hubungan
juga
terhadap
diteliti merokok
menganalisis
risiko
juga
KNF.
berbeda.
dengan
kebiasaan Persamaan
KNF, minum studi
tersebut dengan studi yang dilakukan penulis adalah sama-sama
menggunakan
confidence
interval
analisis
95%
untuk
odd
melihat
ratio
dan
risiko
KNF
terkait kebiasaan merokok. 2. Fachiroh J. et al., 2012. Tobacco consumption and genetic susceptibility to nasopharyngeal carcinoma (NPC) in Thailand. Cancer Causes and Control, 23, pp.1995–2002.
Penelitian
tersebut
merupakan
penelitian kasus kontrol yang dilakukan di Thailand sebagai daerah endemik KNF. Pada penelitian tersebut didapatkan
OR perokok = 2,00 (95% CI:
dibandingkan
dengan
non-perokok
dan
1,48–2,71) disimpulkan
7
bahwa
merokok
merupakan
KNF.
Perbedaan
dengan
populasi pada
dimana
variabel
faktor
penelitian
penelitian yang
penting
penulis
tersebut
dianalisis.
tejadinya
dilakukan
Perbedaan
adalah selain melakukan analisis mengenai antara
merokok
kejadian
KNF,
adalah
studi
dan
lainnya hubungan
tersebut
juga
menganalisis faktor genetik yang berperan terhadap kejadian KNF. Persamaan studi tersebut dengan studi yang dilakukan penulis adalah sama-sama menggunakan analisis odd ratio dan confidence interval 95% untuk melihat risiko KNF terkait kebiasaan merokok. Selain itu meskipun dilakukan pada populasi yang berbeda, studi
tersebut
(Thailand)
maupun
studi
yang
dilakukan oleh penulis (Yogyakarta, Indonesia) samasama dilakukan pada populasi berisiko sedang-tinggi. 3. Hsu
et
al.,
2009.
Independent
Effect
of
EBV
and
Cigarette Smoking on Nasopharyngeal Carcinoma: A 20Year Follow-Up Study on 9,622 Males without Family History
in
penelitian efek
EBV
Taiwan. kohort
dan
Penelitian
yang
rokok
tersebut
dilakukan
terhadap
merupakan
untuk
mengetahui
karsinoma
nasofaring
pada subjek laki-laki yang diikuti secara prospektif dari tahun 1984–1986. Setelah lebih dari satu tahun setelah
subjek
direkrut,
ditemukan
32
kasus
8
karsinoma
nasofaring.
Pada
penelitian
tersebut
disimpulkan bahwa peningkatan IgA terhadap antigen VCA
EBV
dan
DNAse
secara
signifikan
berhubungan
(dose response relationship) dengan risiko karsinoma nasofaring antibodi
(P<0,001).
anti-VCA
Hazard
rendah
ratio
adalah
9,5
untuk
titer
(95%CI:
2,2–
40,1) dan untuk titer anti-VCA tinggi adalah 21,4 (95%CI:
2,8–161,7)
seronegatif.
jika
Hazard
ratio
dibandingkan untuk
dengan
anti-DNAse
rendah
adalah 1,6 (95%CI: 0,5–4,6) dan untuk titer antiDNAse
tinggi
adalah
16,0
(95%CI:
5,4–47,1)
jika
dibandingkan dengan seronegatif. Penelitian tersebut juga
menyimpulkan
merokok
dan
bahwa
semakin
semakin
banyak
panjang
jumlah
durasi
rokok
yang
dikonsumsi risiko karsinoma nasofaring akan semakin tinggi.
Hazard
dibandingkan
ratio
dengan
pada
<30
≥30
pack-years
pack-years adalah
3,0
(95%CI: 1,3–7,2). Penelitian tersebut dilakukan pada populasi Selain
yang itu
penelitian desain
berbeda studi
kohort
kasus
dengan
tersebut sedangkan
kontrol.
penelitian
penulis.
menggunakan penulis
Penelitian
desain
menggunakan
tersebut
hanya
mengikutsertakan subjek laki-laki seperti pada studi penulis. Penelitian tersebut dilakukan pada populasi
9
yang berbeda dengan studi penulis. Namun demikian, penelitian
tersebut
(Taiwan)
dan
penelitian
yang
dilakukan oleh penulis (Yogyakarta, Indonesia) samasama merupakan populasi berisiko tinggi. 4. Ji et al., 2007.
Sustained elevation of Epstein–
Barr virus antibody levels preceding clinical onset of
nasopharyngeal
carcinoma.
Studi
tersebut
merupakan studi dengan desain kohort yang dilakukan di Kota Zhongshan China Selatan yang merupakan kota dengan studi
insidensi tersebut
kanker
tertinggi
dilakukan
follow
di
up
dunia.
titer
Pada
IgA-EBV
selama 16 tahun dimulai dari bulan Desember 1986 sampai bulan Desember 2002. Studi tersebut menemukan bahwa
sebelum
kenaikan
subjek
titer
terdiagnosis
antibodi.
Kenaikan
KNF
terdapat
titer
tersebut
dapat bertahan selama 10 tahun dengan durasi ratarata
37±28
bahwa
bulan.
antibodi
Penelitian
EBV
merupakan
tersebut marker
menunjukkan awal
KNF.
Perbedaan dengan penelitian penulis adalah populasi penelitian
dan
variabel
penelitian.
Pada
studi
tersebut yang diteliti adalah titer IgA-EBV dan KNF, tetapi
tidak
menganalisis
pengaruh
rokok.
Studi
tersebut juga menggunakan metode immunoenzymic assay untuk
mengukur
antibodi
terhadap
VCA-EBV
seperti
10
pada penelitian penulis. Meskipun berbeda populasi, penelitian tersebut dan penelitian penulis sama-sama dilakukan pada daerah dengan risiko KNF yang tinggi. 5. Fachiroh J. et al., 2006. Single-Assay Combination of EBV EBNA1- and VCA-p18-Derived Synthetic Peptides for Measuring Anti-EBV IgG and IgA Antibody Levels in
Sera
Options
from for
Nasopharyngeal Field
Carcinoma
Screening.
Patients:
Penelitian
ini
menunjukkan bahwa titer IgA dapat digunakan untuk diagnosis awal KNF. Pada penelitian ini ditemukan bahwa
pada
pasien
KNF
di
Indonesia
deteksi
KNF
dengan kombinasi antigen EBNA1 dan VCA-p18 memiliki sensitivitas 90,1% dan spesifitas 85,4%, sedangkan di
China
95,1%
sensitivitas
dan
90,6%.
dan
Metode
spesifisitasnya analisis
IgA-EBV
adalah yang
digunakan pada penelitian tersebut, akan digunakan pada
riset
penulis,
kasus kontrol
dengan
menggunakan
populasi
dan menganalisis hubungannya dengan
kebiasaan merokok. 1.5
Manfaat Penelitian
1. Memberikan
gambaran
mengenai
hubungan
antara
merokok dan kejadian KNF pada laki-laki. 2. Memberikan
gambaran
mengenai
hubungan
merokok dan titer IgA-EBV pada laki-laki.
antara
11
3. Memberikan gambaran mengenai hubungan antara titer IgA-EBV dan kejadian KNF pada laki-laki. 4. Memberikan merokok,
pengetahuan
respon
pada laki-laki.
imun
mengenai IgA-EBV,
hubungan dan
antara
kejadian
KNF