BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan jenis karsinoma yang
berasal dari epitel yang melapisi permukaan nasofaring (Wei, 2006). KNF umumnya merupakan karsinoma sel skuamus yang tumbuh di sekitar tuba Eustachius di dinding lateral nasofaring. KNF pertama kali dilaporkan pada tahun 1901 dan diketahui karakternya secara klinis di tahun 1922 (Zeng & Zeng, 2010). 2.1.1 Epidemiologi Di Indonesia, KNF merupakan keganasan yang paling sering dijumpai di daerah kepala dan leher. Frekuensi relatif berkisar antara 38,1-71,8% (Mulyarjo, 2002). Berdasarkan data kombinasi klinik dan patologi dari berbagai rumah sakit di Indonesia, KNF menduduki peringkat ke 6 dari tumor ganas tubuh manusia setelah tumor ganas leher rahim, hati, payudara, paru dan kulit (Roezin, 1997). Angka prevalensi KNF di Indonesia adalah 6,2 / 100.000 individu per tahun (Adham, et al., 2012). Di daerah Kaukasia KNF jarang ditemukan, insidensnya kurang dari 1/100.000. Angka ini berlawanan dengan insidens pada penduduk Guangdong di Cina Selatan, Inuit di Alaska, dan penduduk asli Greenland. Khusus untuk orang Kanton yang mendiami daerah sentral dari provinsi Guangdong, insidensnya adalah 15-25 kasus/100.000, sehingga KNF disebut juga “Canton tumor” (Zeng & Zeng, 2010).
Di Hongkong dilaporkan insiden KNF sebesar 20 per 100.000
5
6
penduduk. Di Taiwan dan Singapura insiden KNF masih tergolong tinggi yaitu 18,1 dan 7,4 per 100.000 penduduk. Suatu penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa KNF merupakan tumor ganas terbanyak (42%) diantara penderita tumor ganas kepala dan leher yang berobat di rumah sakit. Sedangkan di Selangor, Malaysia didapatkan insiden KNF pada orang Cina sebesar 17,3 per 100.000 penduduk laki-laki dan 7,3 per 100.000 penduduk perempuan, orang Malaysia lakilaki dan perempuan hanya 2,5 dan 0,3. Insiden KNF pada orang Cina laki-laki berumur 40-49 tahun di Malaysia ternyata tinggi yaitu 40,1 per 100.000 per tahun. Insiden KNF yang relatif tinggi juga didapatkan pada orang Eskimo di Alaska yaitu 13,5 per 100.000 penduduk laki-laki dan 3,7 per 100.000 penduduk perempuan (Tsao, et al., 2006; Wei, 2006). KNF dapat diketemukan pada semua umur, namun jarang diketemukan dibawah 20 tahun. Insiden KNF mulai meningkat pada umur 20 - 24 tahun, mendatar (plateau) diantara umur 45 - 54 tahun, kemudian menurun. Kebanyakan KNF dijumpai pada usia produktif yaitu umur 30 - 59 tahun (sekitar 80%), dengan puncak antara 40 - 49 tahun. Kejadian KNF lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan 2-3 : 1 (Wei, 2006). Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, frekuensi KNF sekitar 59,3%–65,81%. Angka ini diperoleh berdasarkan laporan hasil penelitian yang dilakukan pada periode 1981-1985 didapatkan KNF sebanyak 570 (65,81%) penderita, periode 1990-1994 sebanyak 888 (59,5%) penderita, periode 1991-1995 sebanyak 889 (59,3%) penderita. Berdasarkan buku laporan tahunan yang dikeluarkan oleh RSUD Dr. Soetomo tahun 1997 diketemukan 265 kasus KNF baru (Mulyarjo, 2002).
7
2.1.2 Etiologi dan patogenesis Karsinogenesis KNF disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu infeksi kronis virus Epstein-Barr (EBV), faktor lingkungan (bahan karsinogenik), dan faktor genetik. Meskipun penyebab yang pasti masih belum diketahui, banyak laporan berdasarkan penelitian in vitro dan in vivo yang mendukung peran EBV sebagai faktor etiologi utama pada KNF. Insiden KNF yang tinggi pada ras dan lokalisasi geografik tertentu mengindikasikan adanya faktor lingkungan yang bersifat atau mengandung bahan karsinogenik (environmental carcinogens) dan kerentanan genetik (genetic susceptibility) sebagai faktor penyebab penting dari KNF (Zeng & Zeng, 2010). 2.2
Kemoterapi pada Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring memiliki respons terhadap terapi radiasi
dan
kemoterapi. KNF sangat sensitif terhadap kemoterapi, pemberian kombinasi berbasis cisplatin memiliki aktivitas terapi lebih baik dari pada yang single agent (Ali & Al Sarraf, 2000). Kemoterapi memiliki peran penting pada terapi kuratif dan paliatif penderita KNF stadium lanjut. Obat kemoterapi (sitostatika) yang sering digunakan pada KNF yaitu cisplatin, carboplatin, 5-fluorouracil, epirubicin, bleomycin, methotrexate dan paclitaxel (Kawashima, et al., 2004). Sitostatika atau obat anti kanker adalah golongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan kanker bahkan dapat membunuh sel kanker. Penggunaan sitostatika dimulai pada tahun 1946 dengan ditemukannya secara kebetulan nitrogen mustard yang dapat dipakai mengobati leukemia. Umumnya obat anti kanker sangat toksis, sehingga penggunaannya harus hati-hati dan atas indikasi yang tepat. Sampai saat
8
ini lebih 40 jenis obat anti kanker dipakai secara aktif di seluruh dunia (Sukardja, 2000). 2.2.1 Indikasi dan kontra indikasi Pemberian
radioterapi
sering
dikombinasikan
dengan
kemoterapi,
khususnya KNF stadium lanjut. Tujuan pemberian kemoterapi adalah sebagai berikut, sebagai tambahan pengobatan primer (radioterapi), meningkatkan kontrol dan penyembuhan lokoregional, mengurangi besarnya tumor, terapi buat tumor yang radioresisten, meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi, mengobati penyakit dengan metastasis jauh, penyakit tidak kompatibel pembedahan dan radiasi, serta meningkatkan overall cure rate (Tara & Lundberg, 2008). Kemoterapi chemotherapy),
dapat
bersamaan
diberikan (concurrent
sebelum
radioterapi
chemo-radiotherapy)
(neoadjuvant dan
setelah
radioterapi (adjuvant chemotherapy). Kombinasi kemo-radioterapi dilaporkan dapat mematikan sel kanker, meningkatkan kepekaan tumor terhadap radiasi dan memberantas mikrometastasis, sehingga ketahanan hidup (survival) penderita KNF meningkat (Rischin, et al, 2002; Kawashima, et al, 2004). KNF merupakan tumor yang sensitif terhadap kemoterapi. Indikasi pemberian kemoterapi pada KNF antara lain stadium lanjut lokoregional, disertai adanya metastasis jauh, tumor persisten dan rekuren (Tara & Lundberg, 2008). Kemoterapi memiliki kontra indikasi, yaitu: 1) kontra indikasi absolut. Misalkan: penyakit stadium terminal, hamil trimester pertama, septisemia, dan koma; dan 2) kontra indikasi relatif. Misalkan: usia lanjut, terutama untuk tumor yang tumbuhnya lambat dan sensitifitasnya rendah; status penampilan yang sangat
9
jelek; ada gangguan fungsi organ vital yang berat; demensia; penderita tidak dapat mengunjungi klinik secara teratur; penderita tidak kooperatif; tumor resisten terhadap obat; dan tidak ada fasilitas penunjang yang memadai (Kentjono, 2010). 2.2.2 Cisplatin Nama lain cisplatin adalah platinol-AQ, platinol, cis-platinum dan cisdiamminedichloroplatinum. Indikasi pemberian cisplatin antara lain untuk kanker otak, korteks adrenal, testis, ovarium, serviks, endometrium, payudara, kepala dan leher, esophagus, paru, kulit, dan limfoma non Hodgkin. Cisplatin dan carboplatin merupakan obat anti tumor yang paling sering digunakan saat ini (Cepeda, et al., 2007). Kemoterapi KNF berbasis pada platinum (cisplatin) dan telah digunakan sejak tahun 1980-an (Ma & Chan, 2010). a. Mekanisme kerja Cisplatin diberikan secara intra-vena, kemudian segera berdifusi ke jaringan dan terikat pada plasma protein. Hampir 90% cisplatin berikatan dengan albumin dan plasma protein lainnya. Cisplatin menembus membran sel terutama melalui mekanisme disfusi pasif (Cepeda, et al., 2007). Ketika cisplatin melewati membran sel, pusat cis-Pt mungkin berkoordinasi dengan penyusun dari lapisan lipid ganda, yang mengandung atom nitrogen dan belerang termasuk fosfolipid dan phosphatidylserine. Di dalam sitoplasma terdapat komponen seluler yang memiliki soft nucleophilic sites, seperti mikrofilamen sitoskeletal, tiol-yang memuat peptide dan protein, serta RNA, dapat bereaksi dengan cis-platin. Terdapat fakta yang menarik, yaitu hanya 5 - 10% dari ikatan kovalen sel terkait cisplatin ditemukan
10
dalam fraksi gDNA, sedangkan 75-85% dari obat mengikat protein dan komponen sel lainnya. Target cisplatin non-DNA intrasel adalah tripeptide glutathione (GSH) yang terdapat di dalam sel dengan konsentrasi tinggi (0,5-10 mM). GSH dan biomolekul tiol yang mengandung lainnya seperti metallothioneins (MT) berikatan secara cepat dengan platinum. Cisplatin / Cis-DDP mengikat GSH dan MT seringkali dikaitkan dengan komponen Cepeda et al.
6 Anti-Cancer Agents in Medicinal Chemistry, 2007, Vol. 7, No. 1
concentrations of copper and platinum, which leads to propose an active transport for cisplatin in addition to passive diffusion. Thus, experiments with the yeast protein Ctr1 (a high-affinity copper transporter) and cis-DDP, revealed that mutation or deletion of the CTR1 gene leads to stronger cisplatin resistance and to intracellular reduction of platinum levels in yeast and in mouse cells [18]. Interestingly, cisDDP accumulation in cells became increased when human CTR1 gene was overexpressed, although the ability of the drug to access its cytotoxic targets was unaltered [19]. On the other hand, it has been found that copper-transporting Ptype adenosine triphosphate (ATP7B), which regulates copper homeostasis in the cell, has a role in cisplatin efflux and is associated with cisplatin resistance in vitro [20], and in various cancers [21-24]. Hence, expression of ATP7B in human carcinoma cells modulates sensitivity to cis-DDP and copper through a more efficient efflux of the two agents [19]. Another exporter protein implicated in cisplatin resistance through drug efflux is the ATP-binding cassette, sub-family C 2 (ABCC2 also known as MRP2 or cMOAT) [25-27]. Altogether these data indicate that there is a connected transport for copper and cisplatin because both copper and cisplatin (i) can reduce the uptake of each other, (i) trigger the degradation and delocalization of CTR1 17, and (iii) also show bidirectional cross-resistance [28-30].
proteins and other cellular constituents [33, 34]. The most
negatif farmakologis, termasuk pengembangan resistensi dan toksisitas. important non-DNA target of cisplatin is probably the Di tripeptide glutathione (GSH) which is present in cells at high concentrations (0.5-10 mM). GSH and other thiol-containing biomolecules such as metalothioneins (MT) bind quickly to platinum [6]. Cis-DDP binding to GSH and MT has primarily been associated with negative pharmacological properties, including the development of resistance and toxicity. On the other hand, cis-DDP may alter the activity of enzymes, receptors, and other proteins through coordination to sulfur atoms of cysteine and/or methionine residues and to nitrogen atoms of histidine residues. In fact, binding of cis-DDP to methionine 1 (met1) and/or histidine 68 (his68) of ubiquitin may inhibit the ubiquitin-proteasome pathway of selective degradation of cellular proteins, which ends up in cytotoxic events [35]. In addition, it has been found that cis-DDP, besides inhibiting in vitro the activity of heat shock protein 90 (Hsp90), an ATP-binding chaperone, efficiently and specifically blocks its C-terminal ATP binding site. The C-terminal of Hsp90 via its ATP hydrolytic function is involved in the correct folding of proteins which play a role in signal transduction and cell cycle regulation [36].
sisi lain, cis-DDP dapat mengubah aktivitas enzim, reseptor, dan protein lain melalui koordinasi dengan atom belerang sistein dan / atau residu metionin dan atom nitrogen dari residu histidin (Cepeda, et al., 2007).
Data eksperimen lebih dari 35 tahun terakhir menunjukkan bahwa gDNA
adalah target seluler utama cis-DDP. Struktur N7 atom guanin dan adenin Binding to DNA terletak di alur utama dari helix 2.3.ganda (double helix) adalah situs
2.2. Binding to Non-DNA Targets
Experimental data accumulated over the last 35 years indicates that gDNA is the main cellular target of cis-DDP [12]. The N7 atoms of guanine and adenine located in the major groove of the double helix are the most accessible and reactive nucleophilic sites for platinum coordination to DNA due to both their high nucleophilicity and accessibility. As shown in Fig. (4), cis-DDP may form on DNA various structurally different adducts. The binding kinetics of cisDDP to DNA begins with the formation of monofunctional cis-[Pt(NH3)2(H2O)]:DNA adducts, but most cis-Pt(II) centers react further to produce cis-[Pt(NH3)2]:DNA bifunctional adducts called interstrand or intrastrand cross-links, which then block replication and/or prevent transcription
nukleofilik paling mudah diakses dan reaktif untuk koordinasi platinum
When cis-DDP passes trough the cell membrane, the cisPt(II) center may coordinate to some constituents of the lipidic bilayer, which contain nitrogen and sulphur atoms including phospholipids and phosphatidylserine [31]. In the cytoplasm many cellular components that have soft nucleophilic sites such as cytoskeletal microfilaments, thiol-containing peptides and proteins and RNA, may react with cisplatin [32]. Hence, of interest is the observation that only 510% of covalently bound cell-associated cisplatin is found in the gDNA fraction, whereas 75-85% of the drug binds to
dengan DNA karena nucleophilicity dan aksesibilitas yang tinggi (gambar 2.1).
Fig. (4). Main adducts formed after binding of cis-DDP to DNA. (A) 1,2-intrastrand cross-link, (B) interstrand cross-link, (C) monofunctional adduct, and (D) protein-DNA cross-link. The main site of attack of cis-DDP to DNA (N7 of guanine) is shown in the central panel.
Gambar 2.1 Beberapa formasi DNA adduct yang sering terbentuk setelah ikatan cis-DDP dengan DNA (Cepeda, et al., 2007)
11
Cis-DDP dapat terbentuk pada DNA adduct berbagai struktur yang berbeda.
Ikatan
kinetik
cis-DDP
dengan
DNA
dimulai
melalui
pembentukan monofungsional cis-[Pt (NH3)2 (H2O)]: DNA adduct, tetapi kebanyakan center cis-Pt (II) bereaksi lebih lanjut untuk menghasilkan cis[Pt (NH3)2]: DNA adduct bifungsi yang disebut interstrand atau intrastrand cross-link, yang kemudian memblokir replikasi dan / atau mencegah transkripsi. Lebih kurang 60-65% dari bentukan adduct oleh cis-DDP adalah 1,2-d(GPG) intrastrand cross-link dan 20-25% d(APG) intrastrand cross-link. Belum lama ini telah ditunjukkan bahwa minor 1,3-d(GpTpG) intrastrand cross-link bisa juga amat penting dalam mekanisme kerja cisDDP. Bahkan, minor 1,3-d(GpTpG) intrastrand cross-link adduct menginduksi nukleosom dalam suatu susunan asimetris DNA dalam hubungan ke octamer histon, yang mempengaruhi posisi translasi DNA (Cepeda, et al., 2007). b. Dosis Obat ini termasuk golongan cell cycle non specific. Setelah pemberian intra vena, cisplatin dengan cepat didistribusikan ke jaringan dan kurang lebih 90% berikatan dengan protein plasma dalam 2-4 jam setelah pemberian. Sebanyak 20-15% dieleminasi dalam bentuk utuh melalui ginjal. Dosis yang diberikan 60-120 mg/m2/hari, diberikan setiap 3-4 minggu. Pemberian cisplatin melalui intra vena dalam 100-500 ml normal salin. Sebelum pemberian cisplatin sangat dianjurkan untuk rehidrasi dengan memberikan 1-2 liter normal salin yang ditambahkan 20 mEq KCL dan 8 mEq MgSO4 per liternya. Dosis cisplatin dapat dikurangi 25%-50% pada penderita
12
dengan creatinin clearances 10-50 mL/menit. Tetapi banyak oncologist tidak menggunakan cisplatin pada creatinin clearances < 40 ml/menit (Florea & Busselberg, 2011). Dosis cisplatin untuk skuamous sel karsinoma kepala dan leher bervariasi. Jika dikombinasikan dengan 5-FU maka cisplatin 100 mg/m2 IV diberikan pada hari pertama dan 5-FU 1000 mg/m2/hari, diberikan melalui infus kontinu selama 96 jam, diulang tiap 3 minggu. Jika dikombinasikan dengan bleomycin dan methotrexate, maka dosis cisplatin yang digunakan adalah 50 mg/m2 (Kentjono, 2002). c. Efek samping Efek
samping
hematologi
yang
timbul
adalah
leukopeni
dan
trombositopeni, sedangkan anemia biasanya timbul setelah beberapa kali pemberian. Mual dan muntah sering dijumpai dan biasanya bertahan sampai 24-96 jam. Berdasarkan klasifikasi emetic power cisplatin tergolong very emetic chemotherapy. Sedangkan nephrotoxicity (peningkatan level serum creatinin dan BUN) tergantung dosis yang diberikan dan biasanya jarang dijumpai jika rehidrasi dilakukan secara adekuat (Florea & Busselberg, 2011). Selain itu dapat pula terjadi ototoxicity, jenis yang timbul adalah high frequency hearing loss atau tinnitus, lebih sering dijumpai pada penderita yang mendapat dosis > 100 mg/m2 dengan pemberian IV cepat (Florea & Busselberg, 2011). Pada beberapa kasus, cisplatin dapat menimbulkan abnormalitas jantung (cardiotoxicity) berupa bundle branch block, gelombang ST-T yang abnormal, atrial fibrilasi dan supraventrikular takikardi. Pemberian cisplatin juga dapat menimbulkan neuropati perifer berupa glove and stocking type
13
neuropathy, klinis berupa mati rasa, kesemutan dan terasa tebal pada kedua tangan-kaki bagian distal (Saini, et al., 2003). Cisplatin dapat menimbulkan toksisitas pada hepar, reaksi alergi dari yang ringan sampai syok anafilaksis. Reaksi alergi dan syok anafilaksis dapat timbul hanya beberapa menit setelah pemberian. Timbulnya komplikasi ini dapat diatasi dengan pemberian epinefrin, kortikosteroid dan antihistamin (Kentjono, 2010). d. Interaksi obat Pemberian kombinasi radioterapi dan kemoterapi dapat diberikan penderita KNF stadium III dan IV. Penelitian di Amerika oleh Al-Sarraf (1998) terhadap 147 pasien KNF stadium lanjut. Sebanyak 69 pasien diberikan radioterapi saja, dan 78 pasien lainnya diberikan chemoradiotherapy. Radioterapi diberikan pada kedua kelompok dengan dosis total 70 Gy, sedangkan kelompok chemoradiotherapy diberikan Cisplatin 100 mg/m2 pada hari 1, 22 dan 43 selama radiasi dan pasca radiasi diberikan Cisplatin 80 mg/m2 pada hari ke satu dan Fluorouracil 1000 mg/m2/hari pada hari ke 1-4 yang diberikan tiap 4 minggu sampai 3 seri. Three year progression free survival rate pada kelompok radioterapi didapatkan angka sebesar 24%, sedangkan kelompok kemoradioterapi 69%. Jumlah penderita yang bertahan hidup 3 tahun untuk kelompok radioterapi sebesar 47%, sedang kelompok kemoradioterapi sebesar 78% (Kentjono, 2010). 2.2.3 Resistensi terhadap cisplatin Resistensi terhadap kemoterapi dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: a. Hipermetilasi DNA, hal ini akan menghalangi sintesis gen selama periode toksiknya. Peristiwa tersebut mengakibatkan resistensi, oleh
14
karena inaktivasi gen yang mensintesis protein yang dibutuhkan untuk cancer-killing forms. Namun kejadian ini dapat dihambat dengan inhibitors of DNA methylation (Nyce, 1997); b. Ekspresi gen multidrug resistance 1 (MDR1). Gen MDR1 mensintesis P-glycoprotein (Pgp) suatu multidrug transporter, yang dapat membuat ionic gradient sehingga menyebabkan penurunan akumulasi obat pada sel kanker (Broxterman et al., 2009); c. Ekspresi Heat shock protein (Hsp). Ekspresi Hsp akan mempengaruhi signaling subseluler, dalam mengontrol siklus sel dan proliferasinya (Tiligada, 2006). Paparan kemoterapi juga menimbulkan perubahan epigenetik yang dapat mempengaruhi sifat sel kanker sehingga didapatkan sebagian sel yang resisten terhadap kemoterapi d. Sel punca kanker atau cancer stem cells (Jordan et al., 2006; Sell, 2010). Mekanisme spesifik yang memicu jalur sitotoksik dalam merespons kerusakan karena cis-DDP terutama mencakup cara untuk mendeteksi serta untuk menentukan apakah kerusakan DNA yang di induksi cisplatin cukup mematikan (lethal). Pada kasus tertentu, kerusakan langsung yang disebabkan oleh cisplatin terhadap protein atau biomolekul lainnya akan memicu mekanisme sitotoksisitas (Cepeda, et al., 2007). Penelitian yang berfokus pada kerusakan protein DNA akibat terbentuknya DNA adduct menunjukkan bahwa untaian DNA yang diinduksi oleh 1,2 cisplatin intrastrand adduct dikenali oleh sejumlah protein, antara lain: kompleks XPARPA, TATA-box binding protein TBP, hMSH2, dan nonhistone HMG1 serta
15
HMG2. Disepakati bahwa terdeteksinya (recognition) keberadaan 1,2-intrastrand adduct oleh protein tersebut dapat menjadi langkah pertama menuju inisiasi apoptosis atau kematian sel terprogram (programmed cell death). Namun, kebanyakan molekul cisplatin terikat pada protein dari pada berikatan dengan DNA, sehingga bukti eksperimental menunjukkan bahwa jenis kerusakan akibat cisplatin juga berperan dalam memicu PCD pathways. Selain itu, nekrosis atau kematian sel karena kegagalan cell machinery juga dilaporkan sebagai mekanisme cisplatin untuk membunuh sel (Cepeda, et al., 2007). 2.2.4 Repair of cisplatin-DNA adduct Cisplatin-DNA adduct dapat diperbaiki (repaired) melalui beberapa jenis protein, antara lain nucleotide excision repair (NER) proteins, mismatch repair (MMR) proteins, dan DNA-dependent protein kinase (DNA-PK) protein (Cepeda, et al., 2007) a. Nucleotide excision repair (NER) protein NER tampaknya menjadi mekanisme utama resistensi cisplatin. NER adalah kompleks multiprotein yang ATP-dependent, yang dapat mengenali ikatan pada DNA yang diinduksi 1,2-intrastrand cross-link, dan kemudian berturut-turut memotong sebagian DNA termasuk yang terbelit (kink) sekitar 27-29 pasang basa oligonukleotida. Celah yang tersisa kemudian diisi oleh DNA polimerase. Telah dilaporkan bahwa setidaknya 16 gen yang penting untuk pengenalan kerusakan DNA dan fungsi eksisi intrastrand adduct yang dibentuk oleh cis-DDP dengan guanin yang berdekatan.
MMR is a comparative small contributor to the cis-DDP resistance phenotype in comparison with NER. In fact in these two types of tumors an intact MMR system appears to be essential for the linkage of DNA damage/repair with the initiation of apoptosis [50].
3.1.3. DNA-PK Protein The DNA-PK protein mainly repairs DNA double-strand breaks (DSB) induced by cell exposure to ionizing radiation.
As shown in Fig. (7), HGMB1 recognizes the major 1,2d(GpG) intrastrand cisplatin-DNA adduct and may avoid that NER can repair this DNA lesion. In addition, HMGB1 has been linked to other DNA-dependent pathways. Hence, HMGB1 (i) may activate cleavage of recombination activation genes 1 and 2 (RAG1 and RAG2),16 (ii) may stimulate the binding of sequence-specific transcription factors, (iii) may interact with the MMR protein MutSα then having a possible role in mismatch repair, (iv) binds to the tumor suppressor
Fig. (6). Scheme of the steps involved in the repair of the major cisplatin 1,2-intrastrand crosslink by the nucleotide excision repair system (NER).
Gambar 2.2 Mekanisme perbaikan major cisplatin 1,2-intrastrand crosslink dengan nucleotide excision repair (NER) (Cepeda, et al., 2007)
b. Mismatch repair (MMR) protein MMR merupakan sistem perbaikan pasca-replikasi yang mengoreksi nukleotida yang tidak berpasangan (unpaired) ataupun yang mispaired. MMR melibatkan setidaknya lima protein (MLH1, MSH2, MSH3, MSH6,
dan
PMS2)
serta
fungsi
perbaikan
mekanisme
yang
membutuhkan ATP. Hubungan antara pengenalan kerusakan DNA oleh protein MMR dan kaitannya dengan sitotoksisitas masih belum jelas. Namun, telah diusulkan bahwa protein MMR akan mencoba untuk memasukkan nukleotida yang "benar" di antara untai yang tidak rusak (non damaged) dengan intrastrand adduct untuk guanines yang terdekat dan perbaikan ini mungkin menyebabkan jalur kematian sel. Hal ini menarik untuk menunjukkan, bahwa pada kanker ovarium dan usus besar MMR berkontribusi kecil dibandingkan dengan NER. Bahkan dalam dua jenis tumor tersebut sistem MMR masih utuh tampak penting dalam hubungan kerusakan atau perbaikan DNA dengan inisiasi apoptosis.
17
c. DNA-dependent protein kinase (DNA-PK) protein Protein DNA-PK terutama melakukan perbaikan pada DNA untai ganda yang putus (double-strand breaks) yang disebabkan oleh radiasi pengion. Namun, telah dijelaskan bahwa protein DNA-PK juga dapat berinteraksi dengan lesi cisplatin-DNA. DNA mengikat subunit Ku DNA-PK in vitro sangat penting untuk memulai aktivitas kinase DNA-PK untuk memfosforilasi diri sendiri atau faktor transkripsi lainnya. Menariknya, telah dilaporkan bahwa pada sel kanker ovarium kehadiran cisplatinDNA adduct berfungsi untuk menghambat kemampuan subunit Ku DNA-PK mentranslokasi pada substrat DNA duplex sehingga aktivitas kinase dihambat. 2.3
Sel Punca (Stem Cell) Sel punca atau stem cell adalah suatu sel yang memiliki 3 karakteristik
penting, yaitu: belum berdiferensiasi (undifferentiated), mampu memperbanyak diri sendiri (self renewal), dan dapat berdiferensiasi menjadi > 1 jenis sel (pluripoten dan atau multipoten). Sel punca merupakan sel yang belum memiliki bentuk dan fungsi spesifik layaknya sel lainnya pada organ tubuh. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa bahwa populasi sel punca dalam suatu jaringan matur, tampak sebagai suatu populasi sel inaktif, yang fungsinya baru terlihat dalam waktu dan kondisi tertentu (Halim dkk., 2010). Berdasarkan tingkat maturasi tubuh yang menjadi sumber keberadaannya, secara praktis sel punca dibagi menjadi dua jenis, yaitu sel punca embrionik dan sel punca dewasa. Sel punca embrionik didapatkan saat perkembangan individu masih
18
berada dalam tahap embrio. Sel punca ini adalah massa sel dalam (inner cell mass) yang terdapat dalam blastosis. Sel punca embrionik tergolong sel punca yang bersifat pluripoten. Selain itu sel punca embrionik juga mempunyai daya proliferasi sel yang tinggi, telomer yang panjang, dan akitivitas enzim telomerase yang tinggi. Sedangkan sel punca dewasa adalah sel punca yang ditemukan di antara sel-sel lain yang telah berdiferensiasi, dalam suatu jaringan yang telah mengalami maturasi. Dengan kata lain, sel punca dewasa adalah sekelompok sel yang belum berdiferensiasi, bahkan terkadang ditemukan dalam keadaan inaktif pada suatu jaringan yang telah memiliki fungsi spesifik dalam tubuh individu. Keberadaan sel punca ini diperkirakan bertujuan untuk menjaga homeostasis jaringan tempatnya berada (Halim dkk., 2010). Di dalam tubuh pembelahan sel punca sangat jarang terjadi, tetap pada kondisi tidak aktif dan dorman dalam waktu yang panjang sampai mereka mendapat sinyal yang sesuai untuk mulai dan akhirnya berhenti membelah. Kontrol yang ketat pada proses self renewal in vivo dibutuhkan untuk memastikan sel punca tidak membelah tanpa kontrol, yang akan mengakibatkan pertumbuhan berlebihan dan menjadi kanker. Karena alasan tersebut sel punca di dalam jaringan atau organ jumlahnya sangat sedikit (Ferdiansyah, 2011). Sifat penting lain adalah potensi sel punca, plastisitas (diferensiasi) untuk menjadi berbagai jenis sel. Terdapat 3 sifat dasar potensi plastisitas atau diferensiasi sel punca, yaitu: a) Totipoten, dapat membentuk semua jenis sel yang berkontribusi untuk membentuk organisme. Sifat ini hanya dimiliki oleh sel telur yang telah mengalami fartilisasi atau zigot.
19
b) Pluripoten, dapat membentuk hampir semua jenis sel organisme termasuk sel germinal tetapi tidak dapat membentuk jaringan plasenta. Sifat ini dimiliki oleh sel embrio dan sel germinal. c) Multipoten, bisa membentuk hampir semua sel pada jaringan tertentu (mesodermal, endosermal, ektodermal). Sifat ini dimiliki oleh sel punca dewasa. Potensi sel punca sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dari sel, apakah mengandung gen yang sesuai atau gen yang telah teraktifasi dan diprogram untuk menjadi sel tertentu atau beberapa sel. Lingkungan dimana sel punca berada juga sangat berpengaruh, sebagai contoh perubahan faktor pertumbuhan lokal, sitokin, hormon, kontak sel dengan sel, sel dengan matriks sangat penting pada switching on dan off gen dan gene pathway bahkan reprogramming gene pathway, selanjutnya merubah tipe sel yang terjadi. Klasifikasi potensi sel punca di atas tidak kaku, saat ini telah dapat dibuktikan perbedaan antara pluripoten dan multipoten menjadi tidak jelas, beberapa sel mempunyai potensi yang lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya. Apoptosis juga merupakan bagian yang integral pada proliferasi dan diferensiasi sel (Ferdiansyah, 2011). Di dalam organ tubuh yang normal, sel punca didefinisikan sebagai suatu himpunan bagian sel dengan kapasitas pembaruan diri dalam mempertahankan sel punca reservoir dan diferensiasi untuk menghasilkan berbagai jenis sel dalam jaringan. Sel punca memiliki kemampuan pembaruan diri (self-renewal), secara simetris dan membagi diri mereka dengan menghasilkan sel anak yang memiliki kemampuan identik dengan sel induk. Melalui diferensiasi, sel punca kanker berubah dengan hirarki yang terbatas dalam berproliferasi membentuk sel dewasa
20
fungsional. Model ini terlebih dulu ditemukan pada sistem hematopoietik, di mana sejumlah kecil sel donor mengindentifikasi dengan karakteristik sel induk dapat melanjutkan kembali oleh transplantasi sumsum tulang. Setelah peristiwa tersebut, sel punca dengan tissue specific diisolasi dari beberapa organ termasuk paru, kulit, hati, dan otak. Populasi sel punca terutama tetap diam di khusus niche dalam kondisi
fisiologis
sementara
aktif
memasuki
proses
proliferasi
dan
membedakan respon terhadap rangsangan spesifik. Jumlah sel yang memperbarui dan berdiferensiasi secara akurat diatur untuk mempertahankan homeostasis jaringan. Zhang dkk. pertamakali mengindentifikasi dari stemlike cell dalam epitel nasofaring tikus normal dengan pendekatan well-established label-retaining cell (LRC), yang didasarkan pada bukti bahwa sel punca mampu mempertahankan analog nukleosida dengan bromodeoxyuridine (BrdU). Epitel skuamosa stratified mukosa nasofaring tikus, menunjukkan kurang dari 3% adalah long term BrdU LRCs, dimana 64,12% berada di lapisan basal dan 35,88% berada di lapisan superbasal. Selain itu, sekitar 12% dari LRCs adalah direkrut ke dalam perkembangan siklus sel, dinunjukkan oleh double-label dengan BrdU dan 3H-TDR. Penemuan ini menunjukkan keberadaan sel punca dalam normal nasofaring (Zeng & Zeng, 2010). 2.3.1 Niche sel punca Niche adalah suatu habitat yang mensuplai faktor-faktor yang dibutuhkan untuk eksistensi dari organisme atau spesies (Burness & Sipkins, 2010). Niche sel punca adalah istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Schofield pada tahun 1978, digunakan dalam menggambarkan microenvironment yang terbatas yang mensupport sel punca. Niche sel punca ditemukan pada ovarium dan testis
21
Drosophila dan C. elegans, sedangkan pada mamalia didapatkan di bone marrow, folikel rambut, intestine, otak, dan testis (Li & Xie, 2005). Niche sel punca terdiri dari beberapa kelompok sel di suatu jaringan khusus yang menjaga sel punca tersebut. Struktur niche bervariasi dan jenis sel yang berbeda tergantung lingkungan niche tersebut. Misalkan N-cadherin-positive osteoblastic lining cell di dalam trabekula tulang membentuk niche untuk HSC, sedangkan sel endotel membentuk niche sel NSC (Li & Xie, 2005). Selama perkembangan embrio, berbagai faktor niche bertindak atas sel punca embrio untuk mengubah ekspresi gen, dan menginduksi proliferasi atau diferensiasi bagi perkembangan janin. Di dalam tubuh manusia, niche sel punca memelihara sel punca dewasa dalam keadaan diam, tapi setelah trauma, microenvironment sekitarnya secara aktif memberi signal ke sel punca untuk mempromosikan pembaruan diri atau diferensiasi untuk membentuk jaringan baru. Beberapa faktor penting untuk mengatur karakteristik sel punca dalam niche yaitu: interaksi sel-sel antara sel-sel punca, serta interaksi antara sel punca dan sel diferensiasi sekitarnya, interaksi antara sel-sel punca dan molekul adesi, komponen matriks ekstraseluler, konsentrasi oksigen, growth factor, sitokin, dan sifat fisiokimia lingkungan, termasuk pH, kekuatan ion (misalkan konsentrasi Ca2+) dan metabolitnya. Sel punca dan niche dapat memicu satu sama lain selama pengembangan dan timbal balik signal untuk mempertahankan satu dengan lain masih ada (Li & Xie, 2005). 2.3.2 Sel punca kanker Sel punca kanker (cancer stem cells / CSCs) adalah bagian dari sel kanker dengan kemampuan memproduksi semua jenis sel kanker yang ditemukan di suatu
22
tumor, yang dapat juga termasuk sel dengan kemampuan berdiferensiasi. CSC lebih menunjukkan fenotip stem-cell like dari pada true stemness (Marotta & Polyak, 2009). Riset paling awal seputar keberadaan CSC dilakukan oleh John Dick dkk. pada leukemia mieloblastik akut (acute myeloblastic leukemia / AML) dengan mentransplantasikan sel leukemia pada hewan coba. Selain pada leukemia, CSC juga dibuktikan pada glioma. Seperti halnya pada sel punca dewasa, pengetahuan berbagai petanda molekuler permukaan merupakan modal utama untuk melakukan isolasi CSC (Halim dkk., 2010). a. Teori pembentukan sel punca kanker Gagasan bahwa kanker muncul dari sel punca pertama kali diusulkan lebih dari 150 tahun yang lalu sebagai teori sisa embrional kanker. Namun, pada awal abad ke-20, teori sisa embrional kanker tidak digunakan, dan hipotesis bahwa
kanker
muncul
dari
de-diferensiasi
menjadi
berlaku
umum. Kemudian, sekitar 50 tahun yang lalu, studi tentang kanker sel germinal (teratokarsinoma) memunculkan kembali prinsip-prinsip dari sel punca kanker, bahwa kanker mengandung sel punca, dan kanker yang dapat diobati
dengan
induksi
diferensiasi
(terapi
diferensiasi). Namun,
teratokarsinoma dianggap pengecualian terhadap aturan, dan teori dediferensiasi asal tetap berlaku umum untuk kanker paling sampai tahun 1980. Kemudian studi seluler mengenai asal kanker hepatokarsinogenesis menunjukkan bahwa kanker hati tidak timbul dari de-diferensiasi dari hepatosit, seperti yang umum diyakini, melainkan dari penangkapan pematangan sel dalam garis keturunan hepatosit. Munculnya kembali teori
23
sel induk kanker saat ini menimbulkan ketertarikan kembali pada sel punca kanker (Sell, 2009). Sel punca kanker merupakan begian dari sel kanker yang memiliki kemampuan seperti sel punca biasa yang dapat memproduksi semua tipe sel kanker. Istilah sel punca kanker lebih menggamberkan suatu fenotip yang mirip sel punca yang terdapat pada tumor, dibandingkan stemness-nya. Sel punca kanker berperan pada onkogenesis, pertumbuhan tumor, metastasis, dan rekurensi kanker (Marotta & Polyak, 2009).
Gambar 2.3 Teori pembentukan sel punca kanker (Marotta & Polyak, 2009)
24
Pada gambar 2.3 (a) tampak bahwa CSC berasal dari sel punca dewasa, sel progenitor, atau sel yang telah berdiferensiasi melalui perubahan genetik yang multipel dan epigenetik yang terlibat pada onkogenesis. CSC dapat memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan sel punca dewasa di organ tertentu karena mereka berasal dari sel tersebut. Pada bagian (b) selama pertumbuhan tumor, sel kanker dapat berkembang menjadi genetik baru ataupun perubahan epigenetik ataupun dipengaruhi lingkungan mikronya, sehingga dapat berubah menjadi tipe sel kanker yang baru (Marotta & Polyak, 2009). b. Sifat sel punca kanker Sel punca kanker mempunyai beberapa sifat, yaitu: transplantability, berkemampuan untuk tumbuh secara in vitro, dan dapat bertahan terhadap terapi yang ditujukan untuk sel-sel amplifying kanker (Sell, 2009). i. Transplantability Pada tahun 1952, Harry Green menunjukkan bahwa jaringan embrio dan kanker, tetapi bukan jaringan normal atau hiperplastik, akan tumbuh di lokasi dengan di binatang coba. Sel tumor cangkokan, disebut sebagai sel inisiasi, ditemukan melalui studi pengenceran, 1:30 - 1000 sel pada tumor
solid. Untuk
mencapai
tingkat
keberhasilan
50%
pada
transplantasi dibutuhkan injeksi 300 sel adenokarsinoma (Sell, 2009). ii. Pertumbuhan in vitro Frekuensi sel tumor-memulai kemudian ditemukan menjadi urutan yang sama besarnya dengan frekuensi sel-sel yang bertahan hidup dan berkembang di soft agar. Pada tahun 1955, Puck dan Marcus
25
mengembangkan metode kultur soft agar. Dengan pendekatan ini, Salmon (1952) menemukan bahwa dari 1:1.000 berkembang menjadi 1:100.000 koloni sel. Rentang proporsi unit tumor membentuk kolonimirip dengan proporsi yang ditemukan baru-baru ini untuk sel tumorinisiasi leukemia. Penemuan kembali sifat-sifat pertumbuhan tumor in vitro dan inisiasi tumor setelah transplantasi telah menjadi stimulus bagi kebangkitan pada sel punca kanker. iii. Resistensi terhadap terapi Kemampuan populasi kecil sel tumor untuk menghambat terapi radiasi dipelajari menggunakan HCCs yang dicangkokkan pada tikus. Karakterisasi komposisi selular dan perilaku biologis dari hepatoma diungkapkan bahwa tikus tersebut mengandung sel-sel kanker dengan karakteristik
seperti
dibudidayakan
sel
punca,
termasuk
in vitro. Resistensi
terhadap
kemampuan kemoterapi
untuk maupun
radioterapi disebabkan ada beberapa teori, yaitu: (Morrison et al., 2011) a) Kerusakan DNA. Tampak bahwa Checkpoint kinase 1/2 (Chk1/2 kinase)
yang
aktif
setelah
terpapar
genotoxic
stress
dan
memberhentikan siklus sel untuk memberikan waktu DNA repair. b) Drug infiltration. Terdapat komponen efflux transporter dari famili ATP-binding cassette (ABC), yang dapat menyebabkan infiltrasi obat tidak terkonsentrasi lama di dalam sel kanker dan segera dibuang.
26
c) Apoptosis. Sinyal pada CSC terdapat jalur Akt, Bcl-2, NFkB yang aktif sehingga sel dapat bertahan dari apoptosis, bahkan dapat berproliferasi. d) Microenvironment. Lingkungan mikro CSC akan meningkatkan produksi free-radical scavengers. Berkembangnya studi tentang respon terhadap pengobatan iradiasi pada sel kanker menunjukkan bahwa setelah radiasi dosis tinggi, tumor yang mampu tumbuh kembali, menunjukkan adanya sel punca kanker yang resisten terhadap radioterapi. Baru-baru ini, sebagai contoh resistensi terhadap terapi, ditemukan oleh Rich (2007) bahwa sub-populasi yang sangat tumorigenic dari kanker-sel glioblastoma manusia mampu menahan radiasi karena peningkatan perlindungan mereka terhadap kerusakan DNA. Sel punca kanker yang resisten terhadap terapi standar, akan dipelajari karakternya lebih jauh melalui studi petanda molekul (biomarker) dengan melakukan isolasi sel punca kanker tersebut (Sell, 2009). Perbedaan yang penting antara sel punca normal dengan sel punca kanker adalah sel punca normal dalam keadaan non proliferasi (stage G0), sedangkan sel punca kanker terus menerus dalam keadaan siklus pembelahan. 2.3.3 Sel punca karsinoma nasofaring Dari pandangan NSCs, sel punca kanker ditengarai merupakan suatu populasi kecil sel dalam tumor, yang mampu malakukan pembaruan diri dan menghasilkan keturunan heterogen untuk membentuk massal tumor. Ide tentang sel
27
punca kanker bukanlah hal baru tetapi mulai mendapat perhatian dan meningkat antusiasme di bidang onkologi. Antusiasme ini diarahkan untuk mengindentifikasi dan karakterisasi initiating analog tumor yang langka dengan NSCs dalam sel hematopoietik keganasan dan solid tumor, termasuk payudara, paru-paru, usus besar, dan otak (Zeng & Zeng, 2010). Sejumlah bukti mendukung keberadaan sel punca kanker pada KNF. Pertama, (label-retaining cells)
LRCs
ditemukan
di
tikus
dengan
KNF
xenografts yang di-insersikan pada faring tikus biasa, dengan yang memiliki persentase kurang dari 0,5% pada xenografts tikus dari tiga cell line KNF manusia. Kedua, Wang dkk. (2005) mengisolasi side population (SP) sel mengikuti kriteria sel punca kanker dari cell line KNF manusia dengan menggunakan selpermeable-DNA spesifik bisbenzimidazole dye Hoechst 33342 dan diteliti lebih lanjut karakteristik biologis sel SP termasuk proliferasi, pembaruan diri, dan tumorinisiasi. Dalam salah satu cell line KNF undifferentiated CNE-2, jumlah sel SP tampak kurang dari 3% dari seluruh populasi. Setelah disortir secara in vitro, selsel SP menunjukkan potensi proliferasi yang lebih besar dan menghasilkan klon lebih signifikan dari sel-sel non-SP. Selain itu, SP sel dapat membantu berkembangnya sel-sel non-SP, sedangkan non-SP sel tidak mungkin mampu membangkitkan sel SP. Selain itu, peningkatan ketahanan terhadap terapi konvensional termasuk kemoterapi dan radioterapi dapat diamati dalam sel SP. Lebih penting lagi, dalam suatu tes in vivo oleh Friborg et al. (2007) diungkapkan bahwa SP dan non-SP sel berbeda dalam kemampuan untuk mengawali terjadinya tumor. Dibuktikan bahwa sepuluh ribu sel SP mencukupi
28
untuk membentuk tumor sementara sel non-SP memerlukan 200.000 (Zeng & Zeng, 2010). Jika hipotesis tersebut terbukti benar tentang adanya sel punca di nasofaring normal
dan KNF,
maka
akan
membuka
bidang
baru
untuk
meneliti
tentang onkogenesis, kemajuan dan pengobatan serta resistensi KNF. Konsep ini menantang pandangan tradisional tentang pertumbuhan tumor, yang menyebutkan bahwa sel-sel tumor diasumsikan sama untuk tumorigenesis, dan heterogenitas tumor
berkembang
dari
mutasi
acak
(random
mutation) atau
seleksi
alam. Sedangkan hipotesis sel punca kanker mengusulkan bahwa tumor di inisiasi dan dipelihara oleh minoritas sel tumor dan heterogenitas tumor berasal dari penyimpangan "diferensiasi" sel ini (Zheng & Zheng, 2010). Hipotesis sel punca kanker banyak menjelaskan tentang asal dari KNF. Pembaruan diri (self-renewal) sangat penting dalam menunjukkan stemness dari sel punca kanker. Jika sel punca KNF berproliferasi tetapi gagal untuk memperbarui diri, maka kelompok sel punca KNF suatu saat nanti akan habis. Melalui pertimbangan dalam hal kesamaan antara sel punca kanker dan sel punca normal, dalam hal pembaruan diri, dan sel penanda permukaan, dapat dipahami bahwa sel punca kanker berasal dari mutasi NMS, yang menghindar dari kontrol proliferasi sehingga dapat melakukan pembaruan-diri. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa hal ini dapat terjadi. Sebagai contoh, Kim et al. (2005) mengisolasi putative bronchio-alveolar stem cells (BASC) dari paru-paru tikus. Ditemukan K-ras untuk mengaktifkan perluasan BASCs dan mengubah sel-sel ini menjadi adenokarsinoma prekursor. Selain itu, Guo et al. (2008) menunjukkan bahwa delesi PTEN dalam sel
29
punca hematopoietik tikus diduga mengakibatkan gangguan myeloproliferative dan diikuti oleh kejadian leukemia akut T-lymphoblastic (Zheng & Zheng, 2010). Selain itu, ada kemungkinan lain bahwa sel progenitor atau sel akhir diferensiasi yang mengalami mutasi dan mendapatkan kemampuan pembaruan diri, menimbulkan subset dari tumor sel dengan beberapa sifat NMSc. Banyak jalur yang penting untuk pemeliharaan NMSs dengan ditemukannya disregulasi dalam berbagai
jenis
kanker. Sebagai
contoh,
IMT-1,
anggota
kelompok
gen
Polycomb (PCG), diperlukan untuk pemeliharaan dan self-renewal sel punca embrional dan somatik. Dalam konteks KNF, Song et al. (2006) menyatakan bahwa Bmi-1 ditemukan sangat banyak terekspresi dalam kedua jenis cell line KNF maupun sampel jaringan KNF, namun tidak berhubungan dengan prognosis pasien KNF. Secara eksperimental, over ekspresi Bmi-1 cukup untuk membuat sel epitel normal nasofaring menjadi immortal melalui induksi aktivitas telomerase reverse transcriptase dan inhibisi ekspresi p16Ink
4a
(Zeng & Zeng,
2010). Identifikasi sel punca KNF diperlukan untuk menunjukkan keberadaannya. Su, et al., (2011) menggunakan cell line SUNE-1 5-8F untuk mengidentifikasi keberadaan sel punca KNF melalui kemampuan proliferatif, ekspresi petanda sel punca kanker, faktor kemampuan memperbarui dirinya (self-renewal) dan ketahanannya terhadap kemoterapi serta radiasi, menunjukkan bahwa CD44+ merupakan petanda permukaan (surface marker) dari sel punca KNF. Pendapat ini didukung oleh beberapa peneliti lain yang melaporkan bahwa fenotip sel punca KNF adalah CD44+ (Kumar, 2009; Wang & Bourguignon, 2011).
30
2.4
Cluster of differentiation 44 (CD44) Cluster of differentiation 44 (CD44) adalah suatu famili polimorfik yang
secara imunologis berhubungan dengan proteoglikan dan glikoprotein permukaan sel. Pada keadaan normal, CD44 merupakan bagian dari molekul adesi saat terjadi interaksi sel dengan sel maupun sel dengan matriks, aktivasi dan homing limfosit, serta migrasi sel (Zoller, 2011). Ekspresi CD44 yang berlebihan tidak hanya berhubungan dengan invasi, metastasis, stadium klinis dan resistensi obat pada neoplasma, namun juga dianggap sebagai petanda permukaan (surface marker) dari sejumlah sel punca kanker, misalnya kanker payudara, kanker prostat, kanker pankreas, kanker ovarium, dan KNF. Okamoto dkk. (2009) melakukan penelitian pada cell line karsinoma sel skuamus kepala dan leher dan didapatkan bahwa sel dengan CD44+ tidak hanya resisten pada kemoterapi namun juga memiliki ciri-ciri sebagai sel punca (Su et al., 2011). 2.4.1 Petanda permukaan (surface marker) CD44 pertama kali digandakan pada 1989 dan di-identifikasi sebagai anggota dari famili the cartilage link protein. CD44 merupakan reseptor penting yang mengikat hyaluronan (HA). Glikoprotein CD44, dikode sebagai gen tunggal, bervariasi pada ukuran N-glycosylation dan O-glycosylation dan alternatif dari insersi produk potongan ekson pada wilayah ekstraseluler suatu molekul. CD44 memiliki tujuh domain ekstraseluler, sebuah domain transmembran, dan sebuah domain sitoplasma (gambar 2.4).
tion of β-catenin, a constituent of the Wnt signalling pathway. CD44s and CD44v6 expression is restricted to the intestinal crypts in non-transformed tissue, but both CD44 isoforms are strongly overexpressed in dysplastic crypts and adenomas in humans and mice with mutant APC55. In mice with mutated TCF4, a transcription factor that is activated by β-catenin, CD44 is not expressed in the epithelium of the small intestine, which is accompanied by a loss of intestinal stem cells55. These authors suggested that CD44 expression in intestinal crypts is part of a genetic programme that is controlled by the Wnt signalling pathway. Second, HA–CD44 binding promotes protein kinase Cε (PKCε) activation and this increases NANOG phosphorylation and translocation to the nucleus. Here, it associates with Drosha and an RNA helicase, p68, leading to the transcription of the oncogenic microRNA (miRNA) miR-21 and a reduction in the expression of the tumour suppressor programmed cell death 4. These events initiate the upregulation of the inhibitor of apoptosis (IAP) proteins and multidrug-resistant protein 1 (MDR1; also known as P-glycoprotein)56. CD44, in turn, associates with and stabilizes MDR1 expression57. This could be one mechanism through which CD44 contributes to stem cell resistance to chemotherapy, as MDR1 exports several drugs from cells. By contrast, pro-metastatic miR-373–520c downregulates CD44 (REF. 58), indicating that the regulation of CD44 expression by miRNAs might be context-dependent. Figure 1 | CD44 gene and protein structure. a | CD44 consists of several exons, some Finally, stimulated by early reports on the metastasisof which are constant region exons that are used in every CD44 mRNA and protein (green 2,3 bars) and others are variant exons (red bars) that are used in the CD44 variant proteins and promoting activity of CD44v isoforms , several studies addressed aberrant and alternative splicing in are selected by alternative splicing. b | Examples of alternatively spliced CD44 proteins. cancer on a gene by gene basis. There is evidence that c | The CD44 protein is composed of an extracellular link domain, a stalk-like region in the extracellular domain close to the transmembrane region, where the variant exon products expression of certain cancer-specific variants correlates with tumour progression. In this list, which (red) are inserted, the transmembrane region (TM) and the cytoplasmic tail (CP). There are CD44 in the(brown crosstalk with tumour sur(orange roundings, antibodies couldmany interfere withsuppressor signallinggenes, through multiple sites for N-glycosylation circles) andthe O-glycosylation circles) and includes tumour CD44 is 59 two active glycosaminoglycan (GAG)-binding (yellowtransduction circles), one located in the v3 its coordinating activitysites in signal through CD44 and, on theaffected second specificity, addithe depending most frequently . However, although exon product. The link module con tains the binding site for hyaluronan (HA). The oncogene receptors and its stabilization of MDR genes, tional signalling important CIC survival. mutationscascades in splicing elementsfor have been observed in cytoplasmic tail has binding motifs cytoskeletal teins, as well astherafor SRC Potential a blockade offor CD44 shouldlinker exertpro multi-factorial targetsoncogenes, include EpCAM or CD133,have which are found several no mutations been kinases. ERM, ezrin, radixin and moesin; S–S, disulphide bonds. peutic effects (Supplementary information S3 (figure)). located in in cis-acting the same mem brane microdomains as CD44. Thus, splice elements of CD44 (REF. 60) CD44-based therapeutic strategies support this (REF. 146) . Importantly, many ofsplicing the stratagies outlined whether the alternative of CD44 in cancers is stem cell andaepigenetics the have resultbeen of genetic epigenetic changes remains to idea, butCD44, also indicate themaster risk ofgenes targeting marker in TABLE 1 carriedorout in syngeneic animal 172 Embryonic are characterized the beThis elucidated. shared by CICs and stem ASCs(ES) that cells is widely expressed . bymodels. helps clinical translation as side effects 48–50 a set of transcription factors , as well asnot be hidden. Most importantly, central contribuHowever,expression if CD44 isofoverexpressed in CICs, as a result will 173chromatin organization and epigenetic signaby distinct adhesion, migration of p53 mutation , for example, this might represent tions ofStem CD44cells, to the crosstalkhoming betweenand CICs and the tures that govern their intrinsic and will Shared features between CICs and stem cells are frea therapeutic window that allows theability attacktoofself-renew CICs niche not be missed. 51 into multiple ASCs, CICs and ES quently linked to secondary events such as interacwithout differentiate affecting ASCs. Thus, lineages distinct .expression expresssup OCT4, NANOG MYC11,52,and and several tion with a niche, the process of epithelial–mesenchymal profiles cells of tumour pressor genes,and oncogenes Summary 61 papers have shown that the signalling pathways transition , andasmigration and apoptosis resistance, CD44 partner molecules in CICs versus ASCs may Notch, CD44 has been(EMT) defined a CIC marker in many Protein kinase Cε (PKCε) Wnttoand Hedgehog, which areCICs. important shapingtumour tis- which have associated with CD44 (REFS 62,63). contribute selec tively targeting For for examentities, butallitbeen remains to be explored whether Several isoforms of this enzyme 53 sue structure, cell fate and identity , are also important Cell adhesionexpress is indispensible the development of mediate serine and threonine ple, a blockade of specific CD44v molecules (CD44v7 CICs preferentially CD44s orfor CD44v. Clearly phosphorylation in manyin AML,for stem cell function. multicellular and stem cell adhesion and CD44v6–v10 in lymphoma and CD44v6 in CD44 (and potentiallyorganisms CD44v) has biological functions different protein substrates does not seem to belongchronic to the group migration is essential embryogenesis and AML, acuteCD44 lymphocytic leukaemia, lym-of genes, that would be of value to CICs.inThis is mainly due to tissue thus propagating various signal 64 as OCT4 and NANOG, that are174,175 central for mainremodelling . Thus,between adhesiveCD44 and motility-promoting phocyticsuch leukaemia and multiple myeloma ) may the bidirectional signalling and its surtransduction pathways leading taining characteristics. activities of CD44 of in CD44 stem cells well be important to transcription factor be preferable tostem avoidcell interference withNonetheless, HSC engraft-two conroundings. The crosstalk withmight transmembrane activation. between and genes that regulate for CICs. molecules functions as a potent ampliment. Tonections more safely avoidCD44 side effects, I consider bis- stem and cytoplasmic pecific antibodies, which target two different antigens fier of a variety of signals. The results from initial preon a tumour cell, as demonstrated for CD44 and a leu- clinical trials enforce the multiple benefits that CICs NATURE REVIEWS | CANCER ADVANCE ONLINE PUBLICATION | 3 kaemia idiotype176, as most promising. Such bispecific receive from CD44 and strengthen the point that CIC
31
Gambar Struktur CD44 pada transmembran sel punca KNF R E V 2.4 IEW S (Zoller, 2011)
CD44 protein terdiri dari link domain ekstraselular, daerah tangkai seperti di domain ekstraseluler dekat wilayah transmembran yang menunjukkan letak
produk ekson varian (merah), wilayah transmembran (TM) dan ekor sitoplasma
(CP). Ada beberapa situs untuk N-glikosilasi (lingkaran coklat) dan O-glikosilasi (lingkaran oranye) dan dua lokasi (lingkaran kuning), satu berlokasi di produk ekson v3 yang mengikat glikosaminoglikan aktif (GAG) (Zoller, 2011). 2.4.2 Resisten terhadap obat (drug resistance) © 2011 Macmillan Publishers Limited. All rights reserved
P
P
P
P
Gambar 2.5 Keterkaitan CD44a |dan MDR1(MDR) (Zoller, Figure 6 | CICs, CD44antara and drug resistance. Multidrug-resistant proteins are 2011) associated with activated CD44 (high molecular mass hyaluronan (HA) ligated and associated with phosphorylated ezrin, radixin and moesin (ERM)). Conversely, low molecular mass HA promotes CD44 and concomitantly MDR protein internalization, which is accompanied by a substantial increase in cytotoxic drug sensitivity. Maintenance of the complex between CD44, phosphorylated ERM, actin and MDR1, as well as the recovery of the S100A–annexin II complex indicates internalization within caveolae and/or glycolipid-enriched microdomains (GEMs) so that endosomal proteins may become degraded after ubiquitylation. As cancer-initiating cells (CICs; also known as cancer stem cells), will mostly assemble a high molecular mass HA matrix, the CD44-mediated stabilization of MDR proteins within the cell membrane will contribute to drug resistance. b | An alternative mechanism of CD44v3-supported drug resistance relies on the attenuation of the Hippo pathway, which is stimulated by membrane protein-attached merlin and leads to the upregulation of p53, downregulation of inhibitor of apoptosis (IAP) proteins and pronounced cleavage of caspase 3. CD44 has an essential role in attenuating these stress and apoptotic signalling pathways, and in CD44v3-expressing tumour cells, merlin is replaced by phosphorylated ERM, so that IAP expression is increased and caspase 3 cleavage does not take place. HYAL2, hyaluronidase 2; LATS, large tumour suppressor; MST, mammalian sterile 20-like kinase.
Gambar di atas menunjukkan bahwa CD44 dapat menyebabkan drug resistance berawal dari ikatan CD44 dengan hyaluronan (HA). Kompleks CD44HA mempengaruhi ekspresi transporter obat MDR1. Molekul MDR1 berikatan 10 | ADVANCE ONLINE PUBLICATION
www.nature.com/reviews/cancer © 2011 Macmillan Publishers Limited. All rights reserved
32
dengan CD44 sitoskeleton aktin, ankyrin, dan ERM. Ketiganya membentuk ikatan yang kuat sehingga ketika CD44 terekspresi ditemukan pula MDR1. Kedua molekul protein tersebut berekspresi bersama-sama dan teratur. Abbas (2012) menyatakan bahwa nama lain dari CD44 adalah Pgp-1. Protein ini merupakan produk dari gen MDR1. 2.4.3 Menghambat apoptosis Mekanisme alternatif resistensi obat oleh CD44 terkait kegagalan apoptosis pada sel punca KNF dapat dipicu melalui jalur Hippo. Ikatan antara merlin dan protein membran sel akan menimbulkan efek upregulation p53 (wild type), downregulation protein inhibitor apoptosis (IAP), dan berlanjut pada cleavage caspase 3. CD44 memiliki peran penting dalam pelemahan stres ini dan jalur sinyal apoptosis. CD44 di sel tumor, ERM yang terfosforilasi dapat menggantikan merlin, sehingga terjadi signaling effect juga. Namun terdapat perbedaan ekspresi protein, pada signaling yang kedua terjadi peningkatan IAP dan tidak terjadi cleavage caspase 3 (gambar 2.6).
Gambar 2.6 Peran CD44 dalam menghambat apoptosis (Zoller, 2011)
33
Secara keseluruhan, CD44 dapat mempromosikan epithelial mesenchymal transition (EMT), motilitas, sel endotel dan niche adhesi, dan secara aktif modulasi niche. Tumor mikro juga merangsang CD44 dan CD44v6, sehingga kelangsungan hidup sel melalui aktivasi atau upregulation protein anti-apoptosis dan gen resistensi obat. Gen CD44 tampaknya tidak termasuk kelompok gen yang memelihara karakteristik sel punca, seperi halnya Oct-4 dan Nanog. Namun ada dua hubungan antara CD44 dan gen yang meregulasi sel punca, pertama, CD44 adalah target dari jalur Wnt. Kedua, HA-CD44 mendorong aktivasi protein kinase Cε (PKCε), dan meningkatkan fosforilasi dan translokasi Nanog ke dalam nukleus. Hubungannya dengan Drosha dan sebuah helicase RNA, p68, memimpin transkripsi onkogen microRNA, miR-21 dan reduksi ekspresi tumor supressor programmed cell death. Peristiwa ini mengawali upregulasi Inhibitor of Apoptosis Protein (IAP) dan protein multidrug-resisten (MDR1; juga dikenal sebagai Pglycoprotein). CD44 berhubungan dengan dan stabilisasi ekspresi MDR1. Hal ini menjadi suatu mekanisme melalui CD44 berkontribusi pada resistensi sel punca terhadap kemoterapi (Zoller, 2011). 2.5
Kematian Sel (Cell Death) Ketika suatu sel mengalami stres, misalkan oleh radiasi atau zat yang
toksin, maka terdapat tiga kemungkinan yang terjadi yaitu: 1. Memperbaiki kerusakan (repair of the damage); 2. Apoptosis (suicide by apoptosis) ; dan 3. Nekrosis (direct lethality by necrosis). Pada sel limfoid kejadian apoptosis merupakan pilihan apabila sel tersebut mengalami stres yang hebat dibandingkan sel yang lain (Cohen, et al., 2010). Repair of damage oleh karena cisplatin sudah
34
dibahas pada sub bab sebelumnya, maka selanjutnya akan dibahas mengenai dua bahasan terakhir. 2.5.1 Apoptosis Apoptosis adalah suatu kematian sel yang terprogram (programmed cell death) dan merupakan akhir fenomena biologis sel. Apoptosis menunjukkan suatu proses eliminasi sel, hal ini terjadi secara normal selama proses perkembangan dan penuaan sebagai mekanisme homeostasis untuk memelihara populasi sel dalam jaringan. Mekanisme terjadinya apoptosis sangat kompleks dan canggih, melibatkan suatu kaskade aktivasi molekul yang bergantung energi atau energy dependent (Chalah & Khosravi-Far, 2008; Kresno, 2011). Apoptosis dapat dibedakan menjadi apoptosis fisiologis dan apoptosis patologis. Apaptosis fisiologis terkait erat dengan enzim telomerase. Pada sel embrional enzim ini mengalami aktivasi, sedangkan pada sel somatik enzim ini tidak mengalami aktivasi, kecuali sel yang bersangkutan mengalami transformasi menjadi ganas. Sedangkan apoptosis patologis biasanya terkait dengan aktivitas p53, jalur sitotoksik, disfungsi mitokondria, dan komplek Fas/FasL (Sudiana, 2008). Apoptosis terlaksana dengan cara mengaktifkan caspase (suatu keluarga sistein protease). Proses ini diawali oleh beberapa aksi termasuk aktivasi yang dimediasi reseptor, dari kompleks sinyal yang menginduksi kematian DISC (Death Inducting Signaling Complex). Komponen utama DISC adalah FasL (CD95L) dan TRAIL (Tumor Necroting Factor-Realted Apoptosis Inducing Ligand). Sekali terpicu oleh mekanisme aktivasi atau autokatalisator, maka kerusakan sel diawali
35
pada caspase 8 yang melepaskan DISC yang meyebabkan aksi selanjutnya. Caspase ini disebut juga caspase pengeksekusi (Kresno, 2011). Beberapa obat penginduksi kerusakan DNA berkaitan dengan p53, menunjukkan bahwa protein p53 adalah sebagai yang paling bertanggung jawab atas apoptosis. Selanjutnya p53 menginduksi gen Bax dan mengekspresi antigen Fas maupun menekan secara simultan proto-onkogen, misalnya Bcl-2. Protein yang berhubungan dengan mitokondria dari kelompok Bcl-2 berperanan penting dalam proses apoptosis yang terinduksi oleh obat anti kanker (sitostatika) dan radiasi. Ketika Bax dan Bad mempromosikan kematian sel, Bcl-2 dan Bcl-xL melawan proses tersebut. Kelompok ketiga dari promotor tidak langsung menampilkan Bad, Bid, Bik, dan Bim, yang disebut juga protein BH3. Hal ini mengacu ketidakseimbangan Bax dan Bad yang menginduksi permeabilisasi membran mitokondria untuk mengeluarkan yang lainnya yaitu cytochrom-c (cyt-c) dari mitokondria. Cyt-c mengikat faktor aktivasi protease apoptosis dan mengagregasi menjadi apoptosom heptamer. Procaspase 9 berdimerisasi pada lipatan apoptosom, yang dapat menyebabkan aktivasi dirinya sendiri. Caspase 9 yang aktif selanjutnya mengaktivasi caspase 3, 6, dan 7 (caspase pengeksekusi) yang menyebabkan degradasi proteome (Kresno, 2011). Selain penjelasan sebelumnya, saat ini diketahui ada 2 jalur utama proses apoptosis, yaitu jalur ekstrinsik (death receptor pathway) dan jalur ekstrinsik (jalur mitokondria). Selain itu ada jalur tambahan yang dimediasi oleh sel T dan sel NK yang bergantung pada perforin/granzim (Kresno, 2011).
36
a. Jalur Ekstrinsik Jalur ekstrinsik yang mengawali apoptosis melibatkan interaksi yang dimediasi oleh reseptor transmembran, antara lain reseptor kematian (death receptor) famili TNF. Reseptor dari kelompok ini memiliki domain ekstra sel yang kaya akan cystein dan memiliki domain sitoplasmik yang disebut death domain yang berperan penting dalam meneruskan sinyal kematian dari permukaan sel ke jalur persinyalan intrasel. Saat ini telah diketahui ada beberapa jenis ligand untuk masing-masing reseptor yang karakteristik dan fungsinya sudah jelas, yaitu Fas/FasR, TNF-α/TNFR, Apo3L/DR3, Apo2L/DR4, dan Apo2L/DR5 (Kresno, 2011). Urutan peristiwa yang terjadi pada jalur ini dimulai dengan pengikatan ligand, misalkan FasL dengan FasR, disusul dengan rekrutmen proteinprotein adapter sitoplasmik yang merupakan death domain yang berikatan dengan reseptor tersebut. Jalur FasL/FasR, death domain-nya adalah FADD (Fas associated death domain). FADD dan TRADD kemudian berikatan dengan pro-caspase 8 melalui dimerisasi domain efektor kematian (death effector domain). Pada saat ini terbentuklah DISC (death inducing signaling complex) yang menyebabkan aktivasi autokatalitik pro-caspase 8. Setelah caspase 8 diaktivasi, terjadi stimulasi fase eksekusi (gambar 2.7). Apoptosis yang dimediasi oleh resptor kematian dapat dihambat oleh protein yang disebut c-FLIP yang mengikat FADD dan caspase 8 sehingga keduanya menjadi tidak efektif. Pengetahuan tentang adanya jalur apoptosis melalui ligand/reseptor kematian ini telah merangsang pengembangan obat anti-
37
kanker dengan sasaran reseptor kematian, misalnya obat-obat dengan sasaran Fas, DR4, DR5, dengan hasil yang menjanjikan (Kresno, 2011).
Gambar 2.7 Jalur apoptosis (Kresno, 2011) b. Jalur intrinsik Jalur ini berawal dari sejumlah besar stimulus yang tidak dimediasi oleh reseptor (non receptor mediated), yang menghasilkan sinyal intraseluler yang langsung bereaksi dengan sasaran intrasel dan memberikatan erat dengan mitokondria. Stimulus yang mengawali jalur intrinsik menghasilkan sinyal intrasel yang dapat berupa sinyal negatif atau sinyal positif. Sinyal negatif terjadi pada kondisi ketiadaan faktor pertumbuhan, sitokin atau
38
hormon tertentu yang menyebabkan kegagalan supresi program kematian sel, sehingga berakibat kematian. Sedangkan sinyal positif diantaranya dihasilkan oleh radiasi, toksin, hipoksia, hipertermia, infeksi virus, atau radikal bebas. Semua stimulus ini menyebabkan perubahan pada pori membran mitokondria sehingga menjadi permeabel dan dilepaskannya 2 kelompok protein pro-apoptotik ke dalam sitosol. Kelompok pertama terdiri atas cytochrome-c (cyt-c), Smac/DIABLO, dan serine protease Htr A2/Omi. Protein ini mengaktivasi jalur mitokondria yang bergantung pada caspase. Cyt-c akan mengikat Apaf-1 dan pro-caspase9 dan membentuk apoptosome. Smac/DIABLO dan HtrA2/Omi mempromosikan apotposis dengan cara menghambat IAP (Inhibitor of Apoptosis Protein). Kelompok kedua adalah AIF (Apoptosis Inducing Factor), endonuklease G dan CAD, yang dilepaskan pada saat sel akan mengalami (committed) apoptosis (gambar 2.7). Kontrol dan pengaturan proses dalam jalur mitokondria dilakukan melalui famili protein Bcl-2. Famili Bcl-2 terdiri dari anggota pro-apoptosis, yaitu Bax, Bad, Bcl-xs, Bid, Bik, Bim, dan Hrk; dan anggota anti-apoptosis, yaitu Bcl-2, Bcl-xl, Bcl-w, Btl-1 dan Mcl-1. Efek apoptosis bergantung keseimbangan antara Bcl-2 dan Bax. Ekspresi berlebihan Bcl-2 terdapat pada banyak penyakit keganasan dan resistensi kemoterapi. Mekanisme molekular radiasi dan obat sitostatika akan merusak DNA berdasarkan aktivasi apoptosis pada tumor yang sensitif melalui proses yang melibatkan p53, p21, Bcl-2 dan faktor-faktor lain (Kresno, 2011).
39
c. Apoptosis pada sel punca kanker Kegagalan kemoterapi konvensional untuk meraih respons komplet pada sel kanker masih belum diketahui mekanismenya secara jelas. Masih tersisanya komponen tumor yang tidak tereliminasi dapat memunculkan kesulitan di kemudian hari yang berkaitan dengan munculnya kembali tumor bahkan menjadi progresif. Suatu penelitian menunjukkan adanya suatu kelompok sel pada kanker yang bersifat seperti sel punca bertanggung jawab terhadap berkembangnya sel tumor menjadi berbagai bentuk. Mekanisme apoptosis yang diinduksi oleh obat sitostatika tidak mampu mengeliminasi sekelompok sel tersebut, yang sejauh ini diduga sebagai sel punca kanker/CSC (Jagani dan Khosravi-Far, 2008). Satu hal yang menarik adalah kesamaan antara sel kanker dan sel punca, keduanya mampu untuk self renewal dan berdiferensiasi. Sejak pertama kali diketahui bahwa sel leukemia dapat ditransplantasikan pada tikus, maka perkembangan tentang adanya sekelompok sel yang mampu berkembang menjadi sel kanker baru lebih banyak diteliti, sehingga muncul hipotesis tentang sel punca kanker. Pada penelitian oleh Dick dkk. (1997) tersebut disampaikan bahwa keberadaan sel punca kanker dengan CD34+ CD38hanya sekitar 0,1-1% dari sel acute myeloid leukemia (AML). Riset tersebut memacu penelitian selanjutnya untuk mengetahui lebih jauh keberadaan sel punca kanker pada jenis kanker lain, misalkan kanker payudara, prostat, ovarium, dsb (Jagani & Khosravi-Far, 2008). Apoptosis signaling dan abnormal survival merupakan pembahasan penting dalam mengetahui jalur apoptosis pada sel punca kanker. Jalur yang pro-
40
survival, misalkan NF-kB dan PI3-K, sangat teraktivasi pada sel punca leukemic – AML. Jalur pertumbuhan (developmental pathway) yang utama seperti Notch, Hedgehog (Hh), dan Wnt, yang secara rumit mengontrol self renewal pada sel punca selama perkembangan embrionik dan perbaikan sel dewasa dan homeostasis, ditemukan meningkat pada berbagai jenis kanker. 2.5.2 Nekrosis Nekrosis adalah kematian sel oleh karena adanya kerusakan sistem membran. Kerusakan membran ini disebabkan oleh aktivitas suatu enzim lisozim. Enzim lisozim yang aktif ini disebabkan oleh karena kerusakan sistem membran oleh karena sebab tertentu yang mengakibatkan membran pembungkus enzim lisozim bocor. Tumpahnya enzim tersebut ke sitosol menyebabkan lisozim mencerna protein yang berada di sitoplasma maupun protein penyusun sistem mebran sel tersebut (Sudiana, 2008). Meskipun apoptosis dan nekrosis secara konsep berbeda, namun keduanya dalam simultan kejadiannya pada kultur jaringan atau sel yang dipapar oleh stres. Apoptosis dan nekrosis dapat ditemukan pada kultur sel yang dipapar oleh cisplatin. Namun pada dosis tinggi, cisplatin dapat menyebabkan kerusakan molekul yang terkait dengan energy supply, yang mengarah pada peristiwa nekrosis (Gonzales, et al., 2001). Melalui sudut pandang stres pada sel, Soti, et al. (2003) berpendapat apabila sel dipapar stres yang sangat berat (lethal) akan berakibat nekrosis (gambar 2.8).
41
Chaperones and senescence, C. Sõti et al. 43
Fig. 1 Hypothetical relationships between chaperone occupancy (chaperone overload), cell proliferation, cellular senescence, apoptosis and necrosis. If there is no chaperone overload, i.e. the amount of damaged proteins does not exceed the amount of available chaperone capacity for a longer time period, cells proliferate normally. Chaperone overload may arise from a constant and large elevation in the amount of damaged proteins and/or a prolonged inefficiency of the cell to produce enough heat shock proteins and other chaperones to repair damaged proteins or a sudden discrepancy between protein damage and chaperone induction (such as a proteotoxic insult combined with the impaired chaperone induction). A modest chaperone overload makes the cells very sensitive to the senescent state. If chaperone overload becomes robust, cells become very sensitive to apoptosis. In the case of a complete, extreme chaperone overload, the possibility of cell necrosis is highly increased.
in culture. In agreement with the above hypothesis, in certain rodent stem cells, human astrocytes, rodent glial cells and rodent oligodendrocyte precursor cells, the use of appropriate culture media allows the cells to escape senescence while remaining untransformed (Rubin, 2002). In light of the above findings (which still have to be extended to more senescenceprone human cells), it is an exciting question to ask whether and how senescent cells exist in vivo. Our hypothesis would imply that a low level of persistent environmental stress is an important factor in inducing replicative senescence in living organisms by exhausting their capacity for chaperone-induction. As a general conclusion, chaperones may not only constitute the most ancient defence mechanism of our cells, but also behave as direct sensors of their functional competence. Various levels of chaperone overload may make an important contribution to the signals directing the cell to senescence, apoptosis or necrosis.
Bonelli MA, Alfieri RR, Petronini PG, Brigotti M, Campanini C, Borghetti AF Gambar 2.8 Pengaruh stres (cisplatin) selshock (Soti, etWI-38 al., 2003) (1999) Attenuated expression ofpada 70-kDa heat protein in
2.5.3 Onkosis
human fibroblasts during aging in vitro. Exp. Cell Res. 252, 20–32. Bree RT, Stenson-Cox C, Grealy M, Byrnes L, Gorman AM, Samali A (2002) Cellular longevity: role of apoptosis and replicative senescence. Biogerontology 3, 195–206. Bukau B, Horwich AL (1998) The Hsp70 and Hsp60 chaperone machines. Cell 92, 351–366. Chiosis G, Lucas B, Shtil A, Huezo H, Rosen N (2002) Development of a purine/scaffold novel class of Hsp90 binders that inhibit the proliferation of cancer cells and induce the degradation of Her2 tyrosine kinase. Bioorg. Med. Chem. 10, 3555–3564. Choi HS, Lin Z, Li BS, Liu AY (1990) Age-dependent decrease in the heatinducible DNA sequence-specific binding activity in human diploid fibroblasts. J. Biol. Chem. 265, 18005–18011. Cristofalo VJ, Allen RG, Pignolo RJ, Martin BG, Beck JC (1998) Relationship between donor age and the replicative lifespan of human cells in culture: a reevaluation. Proc. Natl Acad. Sci. USA 95, 10614–10619. Csermely P (2001a) A nonconventional role of molecular chaperones: involvement in the cytoarchitecture. News Physiol. Sci. 15, 123–126. Csermely P (2001b) Chaperone-overload as a possible contributor to ‘civilization diseases’: atherosclerosis, cancer, diabetes. Trends Genet. 17, 701–704. Csermely P, Schnaider T, Söti Cs Prohászka Z, Nardai G (1998) The 90 kDa molecular chaperone family: structure, function and clinical applications. A comprehensive review. Pharmacol. Therapeutics 79, 129–168. DeMagalhaes JP, Chainiaux F, Remacle J, Toussaint O (2002) Stressinduced premature senescence in BJ and hTERT-BJ1 human foreskin fibroblasts. FEBS Lett. 523, 157–162. Dias S, Shmelkov SV, Lam G, Rafii S (2002) VEGF (165) promotes survival of leukemic cells by Hsp90-mediated induction of Bcl-2 expression and apoptosis inhibition. Blood 99, 2532–2540. Fares MA, Ruiz-Gonzalez MX, Moya A, Elena SF, Barrio E (2002) GroEL buffers against deleterious mutations. Nature 417, 398. Fujita N, Sato S, Ishida A, Tsuruo T (2002) Involvement of Hsp90 in signaling and stability of 3-phosphoinositide-dependent kinase-1. J. Biol. Chem. 277, 10346–10353. Gabai VL, Mabuchi K, Mosser DD, Sherman MY (2002) Hsp72 and stress kinase c-jun N-terminal kinase regulate the bid-dependent pathway
Onkosis adalah kematian sel oleh karena faktor iskemia (kekurangan
oksigen). Saat terjadi penurunan oksigen di dalam sel oleh karena sesuatu hal, maka sel mengalami gangguan pembentukan ATP (adenosine triphosphate). Gangguan pembentukan ATP akan menyebabkan gangguan pula pada fungsi
Acknowledgments
pompa natrium (sodium pump), sehingga terjadi penumpukan natrium. Kadar
Work in our laboratory was supported by research grants from ICGEB (CRP/HUN 99– 02), the Hungarian Science Foundation (OTKA-T37357) and the Hungarian Ministry of Social Welfare (ET T21/00). A.S.S. is a recipient of a National Overseas Fellowship of the State of India.
natrium (intraseluler) yang tinggi menyebabkan air masuk ke dalam sel, sehingga mengalami pembengkakan (Yunani: oncos), dan akhirnya pecah (Sudiana, 2008).
References Arrigo AP (2001) Hsp27: Novel regulator of intracellular redox state. IUBMB Life 52, 303–307. Basu S, Binder RJ, Suto R, Anderson KM, Srivastava PK (2000) Necrotic but not apoptotic cell death releases heat shock proteins, which deliver a partial maturation signal to dendritic cells and activate the NF-kappa B pathway. Int. Immunol. 12, 1539–1546. Bence NF, Sampat RM, Kopito RR (2001) Impairment of the ubiquitinproteasome system by protein aggregation. Science 292, 1552–1555.
Pendapat penulis lain menyatakan bahwa peristiwa onkosis berujung pada
nekrosis, demikian pula kerusakan sel yang disebabkan oleh apoptosis (gambar 2.9).
© Anatomical Society of Great Britain and Ireland 2003
by von Recklinghausen78 almost 100 years ago, precisely with the meaning of cell death with swelling. In a monograph on rickets and osteomalacia, published posthumously in 1910, von Recklinghausen described death with swelling primarily in bone cells. It is an obvious but little known fact that osteocytes often die with enlargement of their lacunae and sometimes also of their canaliculi. Pathologists with expertise in bone diseases are familiar with such images, especially in bone tissue that dies by slow ischemia, eg, in the stumps of a fracture (even Virchow illustrates this phenomenon, without giving it a name, in Figure 129 of his Cellular Pathology2). Von Recklinghausen's color illustrations of oncotic osteocytes are striking (Figure 8). It is certainly a tour de force for the swelling osteocyte to enlarge its stony lacuna. Von Recklinghausen was probably correct in assuming that this process required an enzymatic effect, which he called trypsis. (Note that Von Recklinghausen included in oncosis also the mode of death of the so-
necrosis, and it allows necrosis to cover, as it always did, those changes that occur after cell death. In today's medical jargon, the root onco- is not limited to the swelling of tumors (for example, oncotic pressure). Our proposal is summarized in Figure 9. It will be noticed in this figure that necrosis can occur after
ONCOSIS 2A
k. AA4;-
oi ..~~~~~~~~~~~~~~ Ok...: StMlitrw ,:4:otisek
CROSIS
+
IC .::
19
2B
o&e,
...,`.E
42
a
..."a .T
-.:
ii :: -,
Figure 8. Oncosis in osteocytes as illustrated by von Recklinghausen in 1910. (reference 78 Tal. XXI). From the tibia of a 30-month-old girl u'ith osteoporotic osteomalacia (rickets). prof, bone lamellae with normal osteocytes; Onk.Kp. and Onk.Knkp., suwollen, dying, or dead osteoclytes in enlarged lacunae; truSt., cross sections of dilated bone canzaliculi. (Sections of tndecalcified bone stained with thionine; dilated canaliculi and some lacunae appear black because they are filled with air injected into the bone (reference 78 p 135), a method not known in our day. Original drawing watercolored.)
Gambar 2.9
2C
PHAGOCYTOSIS,
PHAGOCYTOSIS BY MACROPHAGES OR NEARBY CELLS Figure 9. TuJo pathuays of cell death leading to necrosis. At the top is shown a niormal cell. 1 A Suwelling. 1 B: Vacuolization, blebbing, and increased permeability. 1 C: Necrotic changes. ie, coagulationl, shrinkage, and karyolysis. 2A: Shrinkage and pyknosis. 2B: Budding and karvorhexis. 2C: Necrotic changes, ie, breakup into a cluster of apoptotic bodies (2C adaptedfrom Weedon et al53).
INFLAMMATION
Dua jalur kematian sel yang mengarah pada nekrosis (Majno & Joris, 1995)
Gambar di atas menunjukkan bahwa pendekatan kejadian nekrosis terdapat melalui dua mekanisme, melalui onkosis dan apoptosis. 2.5.4 Protein p53 (wild type) Protein 53 (wild type) disebut juga p53 atau tumor protein 53, suatu tumor supresor yang pada manusisa dikode dengan gen TP53. Protein ini penting pada organisme multiselular yang mengatur siklus sel dan berfungsi sebagai tumor supresor yang mencegah pembentukan kanker. Dalam merespon terhadap stimulasi stres, p53 (wild type) yang pada keadaan normal berada pada kadar yang rendah, akan meningkat konsentrasinya di dalam sel untuk stabilitas protein (Giaccia & Kastan, 1998).
43
Feedback loops of p53 pathway SL Harris and AJ Levine
2900
Activation of p53 Stress Signals
DNA Hypoxia Ribosome rNTP Damage biogenesis Depletion
Kinases
Mediators
ATM
ATR
CHK2 CHK1
Coactivators with Acetyltransferase Activity CBP
p300
PCAF TRAF
Spindle Heat or Cold Nitric Damage shock Oxide (NO)
Corepressors with Deacetylase Activity
Other p53 Activity Modulators
HDAC1/mSin3
PML
HDAC1/MTA
HMG1
MDM2
p14ARF
p53
E2F-1
Oncogene Activation
SUMO-1 WRN
Core Regulation
Figure 1 Diversity of cancer-related signals that activate p53 contributes to the central role the p53 protein as a tumor suppressor. See text for details
Gambar 2.10 Aktivasi, mediator, dan regulasi yang mempengaruhi fungsi sel punca kanker p53 (Harris & Levine, 2005)
casein kinase-2, which results in the modification of in a cell increases, from 6–20 min to hours, and this different amino-acid residues on the p53 protein results in a 3–10-fold increased concentration of the (Appella and Anderson, 2001). Phosphorylation at the p53 protein in a cell. Second the ability of the p53 serine and threonine residues and protein acetylation,p53 methylato bind oleh to specific DNA DNA, sequences and Pembentukan (wild protein type) dipicu kerusakan tion, ubiquitination or sumolation at the epsilon amino promote the transcription of genes regulated by those groups of lysines, mostly at the carboxy-terminal DNA sequences is enhanced. Collectively, these two kadar produce oksigen, stimulus onkogenik, adesi, perubahan pool domainpenurunan of the p53 protein, a combinatorial changes are sel the definition of the activation of the p53 set of modifications that may well be specific to the type protein. The different types of stress that are responded of stressribonukleat, acting upon the cell.stres In this way, theInduksi location dari on beberapa to by the p53 protein have one thingmengarah in common: they all dan redoks. sebab tersebut dapat the protein and the chemical nature of the protein have the potential to disrupt the efficient and faithful modification on a single protein, p53, may integrate the duplication of the cell, resulting in an enhanced collection of stress signals that thesel cellyang must cope with in oleh mutation rate or(Gambar aneuploidy2.10). during Kematian cell division. Indeed pada proses kematian disebabkan apoptosis its life cycle. Other types of stress signals also result in gene amplifications, deletions and aneuploidy are different patterns of p53 protein modifications. Ribocommonly observed and have been correlated with sel yang melibatkan p53are (wild type) dapat olehinadanya cacat (gene nucleoside triphosphate pool sizes monitored and dipicu mutations the p53gen geneyang (Overholtzer et al., 2003). reported to the p53 protein as well as the synthesis and Thus, the absence of the p53 gene or functional protein biogenesis of ribosomes in the nucleolus. Very low the organism to develop cancers at a young defect). Kecacatan gen dalam suatu sel dapatpredisposes dipicu oleh banyak faktor, antara lain ribonucleoside triphosphate levels or too few ribosomes age (Malkin et al., 1990). to sustain the cell cycle are reported to p53 and cell cycle When cells are removed from an animal and placed in progression activate thevirus culture, these cells will a limited bahanis halted. kimia,Hypoxic radikalconditions bebas, maupun (oncovirus). Gendivide yang cacatnumber dapatof times, p53 protein and lead to cell cycle arrest, apoptosis or with the cells showing a senescent phenotype as cell senescence. Both heat- and cold-shock conditions, which division stops. Cell division is limited by the length of aktivitas beberapa enzim seperti PKC dan CPK-K2, dimana enzimto restore result memicu in denatured proteins and RNA aggregation, the telomere and by the absence kedua of telomerase activate the p53 pathway. Spindle poisons, which block the proper length to the chromosome end. The ATM chromosome segregation, also activate the p53 protein. kinase appears to sense this problem and signals to p53, ini memicu aktivitas p53 (wild type). type) merupakan faktor Inflammation in tissues and its associated nitric oxideProtein whichp53 then(wild initiates a program of cellular senescence signaling can activate the p53 response. For most of that stops cell division (termed M1). Inactivation of p53 these stress signals, terhadap the p53 protein is modifiedp21. by Peningkatan by mutation orp21 an oncogene like the SV40 transkripsi pembentukan yang disintesis akanT-antigen phosphorylation and acetylation, but the nature of the reverses this block to cell division and permits several protein kinases and histone acetylases that carry out more divisions, which then results in cells with very menekan semua CDK. Sebelumnya diketahui terjadinya siklusand masthese post-translational changes in response to thesetelah short telomeres, bahwa chromosomal abnormalities latter stress signals remains unclear (Vogelstein et al., sive cell death (termed M2). Any cell that survives these 2000). events has many mutations, is aneuploid and is pembelahan sel sangat tergantung kompleks antara CDK dengan These protein modifications appear to alter pada the ikatan transformed and immortalized (reviewed in Vaziri, p53 protein in two ways: first the half-life of the protein 1997). Oncogene
cyclin. Cyclin adalah suatu protein yang dihasilkan oleh sel, protein ini dapat muncul dan hilang pada fase siklus sel, seperti cyclin A dan cyclin B pada fase M,
a stressful event would enhance the error rate, and if a mutation should occur in a gene that regulates the cell cycle, the p53 protein activates the apoptotic pathway in that cell. The activation of the p53 protein in response to stresses is mediated and regulated by protein kinases, histone acetyl-transferases, methylases, ubiquitin and ligases. As the p53 protein is activated by these sumo protein modifications, it can also be inactivated by phosphatases, histone deacetylases, ubiquitinases or even inhibitors of ubiquitin ligases. In addition, cyclin E topada fasewithG1, the cyclin activated D p53dan protein appears interact a number of proteins that are important for its transcriptional activity such as PML bodies (promyelocytic (Sudiana, leukemia bodies)2008). (Louria-Hayon et al., 2003; Zhu
RRRCWWGYYY (spacer of 0–21 nucleotides) RRRCWWGYYY, where R is a purine, W is A or T, and Y is a pyrimidine. Thus, two degenerate 10 bp sequences separated in the genome by a variable length spacer are required to regulate the p53-responsive genes. 44 These p53 REs have been found both 50 to a gene and in the first or second introns of a gene. An algorithm that identifies p53-responsive genes in the human and mouse genome has been utilized to detect a number of new genes regulated by the p53 protein (Hoh et al., 2002). serta cyclin A p53 dannetwork cyclininitiate E pada fase The genes in this one of threeS programs that result in cell cycle arrest (G-1 or G-2 blocks are observed), cellular senescence or apoptosis (Figure 2).
Downstream Events of p53
MDM2
p14ARF
Core Regulation
p53
E2F-1
Cyclin E
G1-S
Cdk2
Cdc25C
p21 14-3-3-σ Reprimo
Cyclin B
Cdc2
Gadd45
Fas PIDD
Scotin
IGF-BP3 Killer/DR5
PAG608 Bax
Casp 8
B99
p53AIP Noxa PIGs PUMA
Bid
PERP
Siah
PAI KAI
BAI-1 GD-AiF
p48 p53R2
TSP1 Maspin
Cyto C
G2-M Apaf-1
Cell Cycle Arrest
Casp9 Casp 3
Inhibition of Angiogenesis and Metastasis
DNA Repair
Apoptosis Figure 2 Downstream targets of the p53 transcription factor mediate its different biological outcomes. See text for details
Gambar 2.11 Downstream events of p53 (Harris & Levine, 2005)
Oncogene
Apabila terjadi pengikatan p21, maka semua CDK akan ditekan, baik pada CDK1 pada fase M, CDK4 dan CDK6 pada fase S, maupun CDK2 pada fase S. Dengan terjadinya penekanan semua CDK, maka siklus sel akan berhenti. Saat siklus sel berhenti, p53 (wild type) akan memicu aktivitas Bax, suatu protein yang menekan aktivitas Bcl2 pada membran mitokondria, sehingga terjadi perubahan permeabilitas membran mitokondria. Perubahan ini menyebabkan pelepasan cytochrom-c ke sitosol. Di sitosol, cytochrom-c akan mengaktivasi Apaf-1 yang selanjutnya akan mengaktivasi kaskade caspase sehingga mengaktifkan DNA-se. DNA-se yang aktif menembus membran inti dan merusak DNA, sehingga DNA sel yang bersangkutan rusak (fragmentasi) dan akhirnya sel mengalami apoptosis (gambar 2.11).
45
Selain p53 (wild type), didapatkan pula p53 mutan (mutant p53). Umumnya p53 yang mutan berasal dari missense mutation yang mengacu pada DNA binding domain p53. P53 yang mutan sangat banyak terdapat pada sel kanker. Ciri-ciri p53 (mutant type) adalah: pertama, miliki waktu paruh yang lebih panjang dari pada p53 (wild type), yaitu sekitar 1-24 jam; kedua, kehilangan kemampuan berikatan dengan DNA, karena ada kelainan sekuens DNA. Protein p53 (mutant type) tidak dapat menjadi faktor transkripsi untuk protein yang dihasilkan oleh p53 (wild type). Ditemukannya p53 (mutant type) berhubungan dengan sel kanker yang dapat menurunkan apoptosis, growth arrest, dan senescence, serta akan meningkatkan kemoresisten (Strano, et al., 2007). Sebagian besar mutasi p53 tersebar pada ekson 120-290 (hotspot mutation p53). Pada umunya mutasi p53 pada satu alel diikuti oleh delesi alel yang lain sehingga kedua alel menjadi inaktif atau tidak berfungsi. Allelic deletion terjadi pada sekitar 60% kanker kolon, payudara, ovarium, serviks, dan sekitar 30% tumor otak. Mutasi p53 dapat disebabkan oleh bahan karsinogenik, misalnya: aflatoksin dan sinar ultra-violet (Kresno, 2011). 2.5.5 Heat shock protein 70 (Hsp70) Heat shock protein (Hsp) pertama kali ditemukan oleh Ritossa tahun 1962, adalah protein fungsional yang ekspresinya meningkat bila sel terpapar suhu tinggi atau berbagai bentuk stres yang lain. Hsp memiliki memiliki efek sitoprotektif kuat dan berperilaku sebagai molekul pendamping (chaperone) untuk protein sel lain. Hsp diberi nama sesuai dengan berat molekulnya, misalnya Hsp60, Hsp70, dan
46
Hsp90 yang sering diteliti memiliki ukuran 60, 70, dan 90 kiloDalton (Goldstein & Li, 2009). Keradangan kronis pada pemeriksaan histologi suatu infeksi tidak cukup untuk menjelaskan mekanisme tumorigenik. Kekurangan ini dapat diselesaikan dengan mengidentifikasi adanya Hsp di dalam dan sekitar tumor. Hsp dapat diproduksi oleh tumor, mikroba, dan bahkan sel radang di microenvironment tumor. Saat ini Hsp dapat berimplikasi sebagai elemen biokimia yang bersifat anti tumor maupun juga onkogenesis (Goldstein & Li, 2009). Hsp berfungsi sebagai upregulation stress, berperan sebagai molecule chaperone dan house keeping. Pada upregulation stress Hsp kadarnya meningkat dipicu oleh paparan berbagai kondisi jenis stres lingkungan seperti infeksi, peradangan, olahraga, papran racun (etanol, arsenik, logam, sinar ultraviolet, dll.), kelaparan, hipoksia, nitrogen defisiensi (pada tanaman), atau kurang air. Karena itu Hsp juga disebut sebagai protein stress atau bagian dari respons stres. Sebagai molecule chaperone, Hsp berperan dalam interaksi protein dengan protein, seperti folding (melipat) dan membantu dalam pembentukan protein yang benar dan mencegah agregasi protein yang tidak diperlukan. Fungsi house keeping diekspresikan pada kondisi non-stress, karena fungsinya memantau protein sel. Beberapa contoh peran mereka diantaranya memonitor adanya protein tua untuk didaur ulang (proteasome) dan membantu protein yang baru disintesis melipat dengan benar (Sell, 2010). Heat shock factor (Hsf) adalah suatu faktor transkripsi yang mengatur ekspresi dari heat shock protein (Hsp). Pada keadaan normal sel yang tidak stres, Hsf dipelihara dalam bentuk monomer non aktif di sitoplasma, dan salah satu peran
47
Hsp dalam menon-aktifkan Hsf. Pada saat sel mengalami stres, protein dalam sel mengalami denaturasi dan menjadi tidak berfungsi. Keadaan itu dapat menyebabkan sel mati bila protein tidak diperbaiki. Kompleks Hsp memfasilitasi pelipatan protein yang tidak melipat atau mengalami kesalahan melipat, yang juga melepaskan Hsf. Sehingga memungkinkan Hsf mengaktifkan bentuk trimerik dan translokasi ke nukleus. Beberapa penelitian mengungkapkan peran Hsp pada drug resistance, keterlibatan Hsp90, Hsp27, Hsp70 dalam melawan sinyal kematian. Protein antionkogenik juga dapat berikatan dengan Hsp, misalnya p53 mutan berikatan dengan Hsp72/Hsc73 lebih kuat dari pada p53 non mutan. Gen penyebab kanker payudara, BRCA-1, dapat meningkatkan ekspresi Hsp27 pada percobaan menggunakan cellline. Pada kanker payudara didapatkan adanya interaksi antara reseptor estrogen dan Her-2/neu, keduanya merupakan mediator aktivasi jalur PI3-K melalui Hsf1 yang menstimulasi sintesis Hsp dengan konsekuensi penting terjadinya pertumbuhan sel dan survival, sehingga menyebabkan sel tumor resisten terhadap obat anti kanker. Pada kenyataannya, penderita yang mengekspresikan reseptor estrogen dan Her-2/neu menunjukkan disease-free survival dan overall survival yang memendek, meskipun diterapi anti-estrogen (Tamoxifen) saja maupun kombinasi dengan kemoterapi, dan Hsp diduga sebagai bagian terakhir yang bertanggung jawab terhadap resistansi tersebut. Taira dkk. (1999) menyampaikan bahwa regulasi Hsp dipengaruhi oleh beberapa proto-onkogen, misalkan c-Myc. Khususnya Hsp70, melalui interaksi c-Myc dan cbf/nf-y yang menyebabkan perubahan pada siklus sel (Schmitt, et al., 2007).
48
Hsp70 terdiri dari dua struktur, yaitu N-terminal tempat berikatan dengan basa nukleotida dan pengikat aktivitas ATP-ase, serta C-terminal tempat berikatan dengan unfolded protein. Fungsi sebagai chaperone berhubungan dengan konsentrasi ADP/ATP di tempat itu (Bonorino & Souza, 2007). Terdapat pemisahan yang jelas antara efek Hsp70 saat terekspresi intraseluler dan ekstraseluler. Instraseluler Hsp70 utamanya berfungsi sebagai protein chaperone yang membawa dan melipat (folding) protein naïve ataupun yang mutasi, dengan hasil akhir sitoproteksi saat sel terpapar stres, terutama heat shock itu sendiri. Intraseluler Hsp70 juga berfungsi sebagai molekul regulator serta mempunyai fungsi inhibisi yang besar pada metabolisme intraseluler. Kebalikannya, Hsp70 berimplikasi pada aktivasi imun, memberikan paparan sel imunokompeten ke Hsp70 eksogen yang memicu respons inflamasi akut, aktivasi innate immunity dan meningkatkan kewaspadaan anti-tumor (Asea & Calderwood, 2008). Pemberian dan akumulasi obat kemoterapi pada sel kanker in vitro, juga diikuti oleh akumulasi beberapa Hsp. Misalnya pada sel kanker kepala leher in vitro, terhadap pemberian cisplatin, terjadi peningkatan ekspresi Hsp70. Hsp70 juga ditemukan pada kanker serviks yang resisten terhadap cisplatin. Miyazaki et al. (2005) menunjukkan bahwa pada penderita karsinoma esofagus, didapatkan overall survival yang membaik setelah diberikan kemoterapi dan radiasi, situasi tersebut berhubungan dengan menurunnya ekspresi Hsp27 dan Hsp70; namun tidak berhubungan dengan ekspresi protein pro-apoptosis yang ditemukan, yakni Bax dan Bcl-2 (Bonarino & Souza, 2007). Paparan kemoterapi dapat menimbulkan perubahan epigenetik yang dapat mempengaruhi sifat sel kanker sehingga
49
didapatkan sebagian sel yang resisten terhadap kemoterapi (Jordan, et al., 2006; Sell, 2010). Hightower dkk. (1989) menyampaikan bahwa pada suatu cawan kultur yang berisi Hsp70 yang tidak berhubungan dengan sel dan dapat dilepaskan ke medium ekstra seluler setelah terpapar heat shock ataupun dibasuh dengan medium kultur jaringan. Penelitian yang lebih akhir menunjukkan keberadaan ekstraseluler Hsp70 yang ditunjukkan dengan adanya free Hsp70 dan antibodi Hsp70 di peredaran darah (Asea & Calderwood, 2008). Fungsi Hsp70 sebagai regulator negatif dalam skala luas dan menghambat secara luas melalui kemampuannya untuk menghambat aktivitas protein kinase dan faktor transkripsi. Kadar Hsp70 diregulasi secara ketat melalui kontrol negatif Hsf1 dan destabilisasi pada level mRNA. Hsp70 dan chaperones yang lain dilepaskan dari sel yang bisa tampakuntuk mengikat dengan afinitas tinggi ke sel seperti limfosit B, monosit di darah perifer, makrofag, dan sel dendritik, sebaik pada sel neuronal, misalkan sel glia dan astrosit. Seperti halnya Hsp90, Hsp70 kebanyakan merupakan anti-apoptosis. Sebagai protein anti-apoptosis, Hsp70 melindungi sel dari pengaruh sitotoksik TNF, monosit, stres oksidatif, agen kemoterapi, ceramide dan radiasi. Hsp70 menghambat translokasi Bax dari sitosol ke mitokondria saat kaskade apoptosis distimulasi oleh nitric oxide dan heat stress (Goldstein & Li, 2009).
effector caspases (caspase-3) and pro-apoptotic molecules (Bid, Bim and Bax). At a mitochondrial level, Hsp70 prevents mitochondrial membrane permeabilization, and antagonizes cytochrome c and Endo-G release through inhibition of Bax activity. Downstream to mitochondria, Hsp70 protects cells from apoptosis by interacting with and inhibiting AIF and Apaf-1 pro-apoptotic activity, thereby impairing apoptosis execution. Hsp70 can also stabilize lysosomes and lysosomal membrane permeability (LMP), preventing the release of acidic hydrolases (cathepsins) from the lysosomal lumen.
50
Gambar 2.12 Peran Hsp70 dalam menghambat kematian sel (Zorzi & Bonvini, 2011) Gambar di atas menunjukkan bahwa Hsp70 menghambat pembentukan apoptosom dengan berikatan dengan Apaf-1. Hsp70 mencegah peristiwa late caspase dependent seperti aktivasi fosfolipase A2 sitosol dan berubah morfologi selnya, selanjutnya menghambat aktivasi caspase 3. Pada jalur caspase independent, Hsp70 berikatan dengan Apoptosis Inducing Factor (AIF) yang keluar dari mitokondria dan mencegahnya untuk translokasi ke dalam nucleus. Selain apoptosis, Hsp70 dapat pula menghambat nekrosis melalui inhibisi terhadap JNK, Bax, dan caspase 3 (Zorzi & Bonvini, 2011). 2.6
Stress cell akibat pemberian cisplatin Paparan stres terhadap sel mengaktifkan respon survival melalui induksi
Hsp, jika paparan stres tertentu di intensifkan, kematian sel tetap akan terjadi, baik oleh nekrosis atau apoptosis. Apoptosis (programmed cell death) telah ditandai
51
dalam konteks morfo-genesis dan perkembangan embrio. Selama fase induksi, sejumlah sinyal menyebabkan sel untuk memasuki jalur apoptosis dengan mengubah
keseimbangan
protein
pro-apoptotis
dan
anti-apoptotis
yang
menentukan baik kerentanan atau resistansi terhadap apoptosis. Akhirnya, tahap pembersihan melibatkan fagositosis dan degradasi apoptosis bodies oleh makrofag atau sel tetangga (Jolly & Morimoto, 2000). Beberapa laporan mengungkapkan bahwa jalur yang mengarah ke apoptosis terkait dengan respons stres. Heat shock dan kondisi stres lainnya yang menyebabkan heat shock response juga dapat menyebabkan apoptosis atau nekrosis, sebagian ditentukan oleh intensitas dan durasi stres. Bagaimanapun juga heat shock response juga dapat melindungi terhadap kematian sel yang disebabkan oleh stres melalui proses sel pelindung yang dikenal sebagai thermotolerance atau sitoproteksi, saat paparan sel kondisi stres ringan, cukup untuk menginduksi ekspresi dan akumulasi Hsp, melindungi terhadap tantangan berikutnya dari stres lain yang dengan sendirinya mematikan. Karena kelangsungan hidup dan kematian sesuai dengan peristiwa seluler yang berkebalikan, harus ada beberapa pos pemeriksaan dan titik regulasi lintas, yang membahas bahwa sel-sel yang mengalami kerusakan molekul pantas diperbaiki untuk bertahan dan sel-sel tertentu yang rusak tidak dapat diperbaiki sehingga mengalami kematian (Jolly & Morimoto, 2007).
52
lation causes the release of cytochrome c from the mitochondria, leading to the activation of caspases and eventually apoptosis. Stress-activated protein kinases become activated on stress (SAPKs-stress activated protein kinases or JNKs-cjun n-terminal kinase) (pathway 5), and this event also results in the caspasedependent apoptotic pathway. Finally, stress, such as DNA damage, can increase the Fas/FasL ligand (pathway 6), leading to caspase-dependent apoptotic cell death independently of mitochondrial involvement (88–90). HSPs are proposed to function at different levels of these interrelated pathways. First, HSPs will assist folded intermediates and misfolded proteins to acquire a native state (4–6) (pathway A). HSPs have also been shown to play a role in the negative regulation of their own synthesis by autoregulation (8) (pathway B). Hsp70 is also able to block the apoptotic pathway at several levels: It can either inhibit caspase activation by cytochrome c (pathway C), block metabolic events downstream of caspases activation (pathway D), or inhibit SAPKs/JNKs activation (17,85–93) (pathway E). Hsp27 can also inhibit the appearance of ROS species (pathway F) and can also block Fas-induced apoptosis (96,97) (pathway G). Finally, at least in some tumor cells, HSPs can be expressed at the cell surface where they may play a role either as antigen or more likely as antigen-presenting molecules (100,103,104) (pathway H).
HSPS
where they can activate the immune response resulting in elimination by the immune system (98–101). In a chemically induced murine tumor, the two Hsp90 isoforms were detected in the cytoplasm and on the surface of tumor cells, where they were accessible to the host immune system (102). The cell-surface expression of intracellular members of the Hsp70 family (103,104) and of the endoplasmic reticulum-resident heat shock
Gambar 2.13 Respons sel terhadap stres (Jolly & Morimoto, 2000)
Downloaded from http://jnci.oxfordjournals.org/ by guest on August 1, 2013
Fig. 1. Schematic of the major cellular pathways activated by stress. Exposure of cells to various stresses leads to the coordinate or separate activation of several major signaling pathways. Solid arrows ! activation events, dotted arrows ! inhibitory events, and HSP ! heat shock protein. Environmental stresses (heat shock, UV irradiation, and toxic chemicals), physiologic stresses (oxygen levels, metabolic state, and pH), and pathophysiologic stresses (fever, inflammation, tissue injury, infection, ischemia/reperfusion, and cancer) are associated with the appearance of misfolded proteins (pathway 1), whose accumulation results in the activation of the heat shock transcription factor in the nucleus, which, in turn, activates the transcription of hsp genes (2,3,7,8). Stress such as UV irradiation also induces DNA damage (pathway 2), which can result in apoptotic cell death mediated by the release of cytochrome c from mitochondria and subsequent activation of caspases (78–81). The mitochondrial release of HSP60/HSP10, which also occurs during induction of apoptosis, may accelerate activation of caspases. The tumor suppressor protein p53 can also be activated as a consequence of stress exposure (pathway 3), resulting in the increased transcription of some p53 target genes, such as Hsp70, and the decreased transcription of other genes, such as c-fos or multidrug resistance genes (66–69). Stress also results in increased levels of reactive oxygen species (ROS) (pathway 4), whose accumu-
Ada semakin banyak bukti bahwa Hsp dapat berfungsi di beberapa titik di jalur sinyal apoptosis (Gambar 2.13), yang menunjukkan bahwa titrasi konstan terjadi antara jalur ini, dan bahwa keseimbangan ini bisa menentukan nasib sel AS
TARGETS
FOR
CANCER THERAPY
Hsps as Tumor Antigens or Antigen-Presenting Molecules: Hsp-Based Vaccines Against Cancer?
stres. Stres lingkungan (misalnya heat shock, radiasi UV, dan bahan kimia The rationale for using Hsp-based vaccines against tumor antigens follows from observations that a subset of the Hsps is detected antigenically on the surface of certain tumor cells,
beracun), stres 1568 fisiologis (misalnya kadar oksigen, REVIEW Journal of the Nationalnegara Cancer Institute, metabolisme, Vol. 92, No. 19, October 4, 2000 dan pH), dan stres patofisiologis (misalnya demam, peradangan, cedera jaringan, infeksi, iskemia / reperfusi, dan kanker) yang terkait dengan munculnya protein yang misfolded (jalur 1) yang terakumulasi di dalam inti kemudian mengaktivasi faktor transkripsi heat shock, selanjutnya mengaktifkan transkripsi gen hsp. Stres seperti radiasi UV juga memicu kerusakan DNA (jalur 2) yang dapat mengakibatkan kematian sel melalui mekanisme apoptosis yang dimediasi oleh pelepasan cyt-c dari mitokondria yang teraktivasi dan selanjutnya mengaktifkan caspase. Mitokondria melepaskan Hsp60/Hsp10 yang terjadi juga selama induksi apoptosis, dapat mempercepat aktivasi caspases. Protein penekan tumor p53 juga dapat diaktifkan sebagai konsekuensi paparan stres (jalur 3), mengakibatkan peningkatan
53
transkripsi beberapa gen target p53, seperti Hsp70, dan transkripsi gen lain, seperti c-fos atau multidrug gen resistensi (Jolly & Morimoto, 2007). 2.7
Faktor Transkripsi
2.7.1 Octamer 4 Octamer 4 (Oct-4) merupakan anggota faktor transkripsi famili POU, berperan penting pada pluripotent maintenance dan potensi proliferasi dari sel punca embrional (SPE) dan sel punca dewasa (SPD). Oct-4 esensial untuk menjaga self renewal dan protein ini normalnya ditemukan pada sel punca yang totipoten dan pluripoten (Tai, et al., 2005; Hu, et al., 2008). Oct-4 memiliki fungsi untuk menghambat terjadinya apoptosis pada SPE. Oct-4 ditemukan pada germ cell tumors dan beberapa tumor somatik misalkan hepatoma, kanker payudara, kanker kandung kemih, melanoma, dsb (Hu, et al., 2008). Penelitian lain menunjukkan bahwa didapatkan peningkatan ekspresi Oct-4 pada karsinoma sel skuamus rongga mulut yang berhubungan dengan jeleknya survival prognosis pasien (Tsai, et al., 2011). Prince et al., dalam risetnya menunjukkan bahwa Oct-4 mRNA meningkat bermakna pada CD44+ dibandingkan CD44-, hal ini mendukung bahwa sel dengan CD44+ memiliki kemampuan kuat dalam self-renewal (Su, et al., 2011). Self renewal dan pluripotency merupakan sifat utama dari SPE. Oct-4 berperan besar pada proses tersebut. Ekspresi Oct-4 banyak ditemukan pada sel punca kanker payudara dan hepar, yang berdampak pada kemampuan tumor untuk memperbarui diri dan tumorigenesis melalui proses lanjutan terhadap target gen yang dipengaruhinya. Keberadaan Oct-4 berbanding terbalik dengan survival prognosis pasien dengan kanker sel skuamus (SCC), dan pada yang resisten dengan
54
kemoterapi. Pada kasus hepatoseluler karsinoma ekspresi Oct-4 akan diikuti dengan peningkatan ABCG2, akan meningkatkan resistensi terhadap obat dan meningkatkan kemampuan inisiasi sel tumor (Tsai, et al., 2011). 2.7.2 Wnt/β-catenin Famili gen human Wnt terdiri dari 19 anggota, dikode oleh glikoprotein antara 22 hingga 24 residu cys. Sinyal Wnt ditransduksikan ke jalur kanonikal (canonical pathway) untuk menentukan nasib sel, dan jalur nonkanonikal (noncanonical pathway) untuk mengontrol pergerakan dan polaritas jaringan. Jalur sinyal Wnt sangat penting untuk perkembangan normal, namun sering kali terjadi penyimpangan dan diaktifkan pada kanker. Sinyal protein yang disekresikan mengikat famili Wnt untuk reseptor permukaan sel dari keluarga Frizzled (FZD). Tidak adanya sinyal Wnt, maka aktivator transkripsi β-catenin secara aktif terdegradasi oleh aksi kompleks protein yang dikenal sebagai the destruction box, yang terdiri dari Axin dan protein adenomatous polyposis coli (APC). Protein tersebut memfasilitiasi fosforilasi β-catenin oleh casein-kinase 1α (CKIα) dan glycogen synthase kinase 3β (gambar 2.14).
55 Molecular Signaling Pathways in Nasopharyngeal Cancer
31
Fig. 3.2. The Wnt/b-Catenin Signaling Pathways. (Diagram reproduced courtesy of Cell Signaling Technology, Inc. [www. cellsignal.com])
Gambar 2.14 Jalur signaling Wnt/ β-catenin (Le & Lu, 2010)
progression in 78 NPC patients treated with definitive radiation therapy on multivariate analysis (Ma et al. 2003). These findings were similarly confirmed in a more recently published series. Chua et al. (2004) reported on the association between EGFR expression and disease-specific survival, relapse-free survival, locoregional relapse-free, and distant metastasis-free rates in 54 patients with stage III–IV
a. Jalur kanonikal
NPC treated with induction chemotherapy and radiation therapy: Those rates for patients with EGFR extent of > 25% were 48%, 36%, 60%, and 55%, respectively, when compared with 86%, 80%, 93%, and 86%, respectively, for EGFR extent <25%. In multivariate analysis, EGFR extent was the only independent factor that predicted for disease relapse, locoregional failure, and cancer death in this series.
Sinyal Wnt ditransduksikan melalui famili reseptor Frizzled (FZD) dan koreseptor LRP5/LRP6 ke kaskade sinyal β-catenin. Tidak adanya sinyal Wnt, menyebabkan kompleks β-catenin dengan APC dan AXIN akan difosforilasi oleh CKIα dan glycogen synthase kinase 3β (GSK3β) pada terminal NH2- di kotak degradasi (degradation box), dan di-poli ubiquitinisasi oleh kompleks βTRCP1 atau βTRCP2 untuk selanjutnya akan didegradasi melalui proteasom. Keberadaan sinyal kanonikal Wnt, Dishelved (DVL) difosforilasi oleh CKIα untuk afinitas ikatan yang tinggi terhadap FRAT. Karena sinyal kanonikal Wnt menginduksi pembentukan
56
kompleks FZD-DVL dan kompleks LRP5/6-AXIN-FRAT, β-catenin dilepaskan dari fosforilasi oleh CKIα dan GSK3β untuk stabilisasi dan akumulasi
nukleus.
Nukleus
β-catenin
dilengkapi
dengan
T-cell
factor/lymphoid enhancer factor (TCF/LEF) suatu faktor transkripsi dan juga famili Legless suatu protein docking (BCL9 dan BCL9L) berasosiasi dengan koaktivator famili PYGO (PYGO1 dan PYGO2). TCF/LEF - βcatenin – Legless – PYGO kompleks nuklear adalah efektor untuk jalur kanonikal Wnt untuk mengaktifkan transkripsi dari gen target, misalkan FGF20, DKK1, WISP1, MYC, dan CCND1 (Katoh & Katoh, 2007). b. Jalur non-kanonikal Sinyal nonkanonikal Wnt ditransduksi melalui famili reseptor FZD dan beberapa koreseptor, misalkan ROR2 dan RYK. Small G-protein (RHOA, RHOU, RAC, dan CDC42) dan c-jun NH2-terminal kinase adalah DVLdependent molekul efektor dari jalur nonkanonikal. Small G protein diimplikasikan dalam reorganisasi sitoskeletal selama metastasis dan invasi. NLK memfosforilasi famili faktor transkripsi TCF/LEF untuk menghambat jalur sinyal kanonikal Wnt. Faktor transkripsi NFAT diimplikasikan pada convergen extension selama awal embriogenesis seperti halnya metastasis selama karsinogenesis. Jalur nonkanonikal Wnt, ditransduksikan ke sejumlah DVL- atau Ca2+ dependent cascade, ovarlapping dengan jalur sinyal planar cell polarity (Katoh & Katoh, 2007). c. Jalur Wnt dan karsinogenesis Aktivasi transkripsi dari kanonikal Wnt terjadi selama regenerasi jaringan berhubungan dengan inflamasi kronis yang persisten, dan up-regulation
57
dari Wnt1, Wnt3, atau Wnt10b mengacu pada mouse mammary tumor virus (MMTV) yang berintegrasi dengan karsinogenesis ca mammae. Epigenetic silencing dari gen SFRP1, SFRP2, DKK1, WIF1, dan AXIN2 terjadi pada jaringan premaligna yang berhubungan dengan inflamasi kronis atau pada kanker manusia, dimana mutasi dari gen APC, AXIN1, AXIN2 terjadi pada kanker manusia. Beberapa gen yang mengkode inhibisi pada jalur kanonikal Wnt akan direpresi selama karsinogenesis berhubungan dengan epigenetic silencing dan perubahan genetik (Reya & Clevers, 2005). Helicobacter pylori, virus hepatitis dan virus papilloma adalah penyebab untuk kanker gaster, kanker liver, dan kanker serviks. Karena inflamasi kronik persisten merupakan faktor penyebab untuk beberapa jenis kanker pada manusia, eradikasi, dan vaksinasi adalah faktor yang realistis untuk pencegahan kanker. Bagaimanapun juga, eradikasi dan/atau vaksinasi dapat gagal dalam mencegah kanker yang terkait dengan inflamasi persisten dengan re-organisasi jaringan dan perubahan epigenetik. Karena upregulation ligand family Wnt dan down-regulation dari inhibitor Wnt terjadi selama fase awal karsinogenesis, obat anti inflamasi nonsteroid dan agonis PPARγ yang menghambat jalur sinyal kanonikal Wnt merupakan kandidat potensial untuk chemoprevention (Katoh & Katoh, 2007).