BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Perilaku Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respons ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan, dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (Notoatmodjo, 2005). Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respons lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi. Namun demikian, di dalam kenyataan stimulus yang diterima subjek
Universitas Sumatera Utara
dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap.
2.2.
Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan merupakan salah satu bagian dari perilaku, sebagaimana yang dikemukakan oleh Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2005), membagi perilaku seseorang ke dalam tiga domain, ranah atau wilayah yakni pengetahuan (cognitive domain), sikap (affective domain), dan tindakan (psychomotor domain). Kognitif dapat diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap atau tanggapan dan psikomotor diukur melalui tindakan (praktik) yang dilakukan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Overt Behaviour). Sebelum orang mengadopsi perilaku baru, terjadi proses yang berurutan yakni : 1. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). 2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut.
Universitas Sumatera Utara
3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. 4. Trial, sikap dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. 5. Adaption, dimana subjek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya, apabila perilaku tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama. Jadi, pentingnya pengetahuan disini adalah dapat menjadi dasar dalam merubah perilaku sehingga perilaku itu langgeng (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan seseorang terhadap obyek mempunyai intensitas dan tingkat yang berbeda-beda, yang secara garis besar dapat dibagi dalam enam tingkatan pengetahuan menurut Notoatmodjo (2005), yaitu: 1. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu (know) merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Universitas Sumatera Utara
2. Memahami (comprehension) diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan dan sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari. 3. Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada atau kondisi sebenarnya. 4. Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi yang telah dipelajari dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis
(synthesis)
adalah
suatu
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada. 6. Evaluasi (evaluation) berkaitan dengan kemampuan untuk malakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
Universitas Sumatera Utara
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas (Notoatmodjo, 2007). Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan (Notoatmodjo, 2007): 1. Pengalaman Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman baik dari pengalaman pribadi maupun dari pengalaman orang lain. Pengalaman ini merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran suatu pengetahuan. 2. Ekonomi (pendapatan) Dalam memenuhi kebutuhan pokok (primer) maupun kebutuhan sekunder, keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih tercukupi bila dibandingkan keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan akan informasi pendidikan yang termasuk ke dalam kebutuhan sekunder. 3. Lingkungan sosial ekonomi Manusia adalah makhluk sosial dimana di dalam kehidupan saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Individu yang dapat berinteraksi lebih banyak dan baik, maka akan lebih besar ia terpapar informasi. 4. Pendidikan Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan berpikir sejauh mana keuntungan yang akan mereka dapatkan.
Universitas Sumatera Utara
5. Paparan media massa atau informasi Melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik berbagai informasi dapat diterima oleh masyarakat sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media massa akan memperoleh informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang tidak pernah terpapar informasi media massa. 6. Akses layanan kesehatan atau fasilitas kesehatan Mudah atau sulitnya dalam mengakses layanan kesehatan tentunya akan berpengaruh terhadap pengetahuan khususnya dalam hal kesehatan. Menurut Suhardjo (2003), suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan : 1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan. 2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi. 3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi.
2.3.
Sikap (attitude) Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Campbell (1950) dalam Notoatmodjo (2005), sikap adalah suatu sindroma atau kumpulan gejala
Universitas Sumatera Utara
dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain. Sikap, menurut Widayatun, 1999 (Setiana, L., 2005), adalah kesiapan seseorang untuk bertindak atau berprilaku tertentu. Sikap juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamika / terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya. Soedjito dalam Mardikanto (1993) mengatakan bahwa sikap sebenarnya merupakan fungsi dari kepentingan, artinya sikap seseorang sangat ditentukan oleh kepentingan-kepentingan yang dirasakan. Semakin ia memiliki kepentingan, atau semakin banyak kepentingan yang dirasakan, maka sikapnya semakin baik dan sebaliknya semakin merasa tak memiliki kepentingan atau kepentingannya tidak dipenuhi maka sikapnya semakin buruk. Sikap dapat pula didefinisikan sebagai perasaan, pikiran dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Komponen sikap adalah pengetahuan, perasaan-perasan dan kecenderungan untuk bertindak, sikap adalah kecenderungan evaluasi terhadap suatu obyek atau subyek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadaphadapan dengan obyek sikap ( Van den Ban, Hawkins, H.S., 1999). Komponen sikap adalah: 1) kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek; 2) kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek;
Universitas Sumatera Utara
3) kecendrungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Pengetahuan akan merangsang seseorang untuk berfikir dan berusaha untuk mencari penyelesaian sehingga sikap seseorang terhadap obyek menjadi baik. Sikap yang didasari dengan pengetahuan akan bertahan lebih lama daripada sikap yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut Notoatmodjo (2005), tingkatan sikap terbagi menjadi 4, yaitu: 1. Menerima (receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2. Merespon (responding), merupakan indikasi dari sikap dalam bentuk memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa orang menerima ide tersebut. 3. Menghargai (valuing), merupakan indikasi dari sikap dalam bentuk mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan sesuatu masalah. 4. Bertanggung jawab (responsible) atas segala sesuatu yang telah dipilih dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.4.
Dukungan Tenaga Kesehatan Perilaku kesehatan seseorang juga sangat dipengaruhi oleh tenaga
kesehatan. Seseorang yang sudah mengetahui manfaat dari sebuah perilaku yang sehat dapat terhalang karena sikap dan tindakan tenaga kesehatan yang tidak
Universitas Sumatera Utara
mendukung dan memotivasi individu untuk melakukan sebuah perilaku kesehatan, khususnya pemberian makanan pada balita. Selain itu, banyak ibu yang kurang memahami cara pemberian makanan yang sehat kepada balita, sehingga sangat dibutuhkan peran dan dukungan dari tenaga kesehatan. Dukungan adalah menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Dukungan juga dapat diartikan sebagai memberikan dorongan/motivasi atau semangat dan nasihat kepada orang lain dalam situasi pembuat keputusan (Chaplin, J.P., 2006). Menurut Green yang dikutip Notoatmodjo (2005), dukungan tenaga kesehatan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam menimbulkan sebuah perilaku kesehatan. Green membagi faktor-faktor yang memengaruhi tindakan atau perilaku tersebut menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya. 2. Faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan seperti sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, rumah sakit, tempat pembuangan sampah, makanan bergizi, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor penguat (reinforcing factors), yaitu faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Faktor penguat mencakup: dukungan sosial dari tenaga kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan keluarga. Gottlieb (1983), berpendapat dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau dapat dikatakan karena adanya kehadiran mereka mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerimanya. Dukungan tenaga kesehatan masuk didalam lingkup dukungan sosial, dimana yang dimaksud dari dukungan sosial adalah bentuk dukungan dan hubungan yang baik untuk memberikan kontribusi penting pada kesehatan. Dukungan sosial yang dibutuhkan adalah berupa dukungan informasional yang mendasari tindakan. Dukungan sosial memiliki kekuatan sebagai pencegahan dan pendorong seseorang berperilaku sehat. Dukungan sosial berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan. Ciri-ciri bentuk dukungan sosial berkaitan dengan komposisi jaringan sosial atau sumber-sumber dukungan, karakteristik fungsional ditandai dengan penyediaan sumber daya tertentu atau jenis dari dukungan. Dukungan sosial berpengaruh terhadap penilaian individu dalam memandang seberapa berat suatu peristiwa yang terjadi dalam hidup yang bisa mempengaruhi pilihan dalam upaya penanggulangan. Dukungan sosial berdampak langsung terhadap perilaku kesehatan, Cohen dan Wills (1985), dalam Bishop (1997).
Universitas Sumatera Utara
House (dalam Smet Bart, 1999) membedakan dukungan sosial ke dalam empat bentuk yaitu: 1.
Dukungan informasi (informational), dalam hal ini tenaga kesehatan memberikan informasi, penjelasan tentang situasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi oleh seseorang. Mengatasi permasalahan dapat digunakan seseorang dengan memberikan nasehat, anjuran, petunjuk dan masukan.
2.
Dukungan penilaian (appraisal) yaitu: tenaga kesehatan berfungsi sebagai pemberi umpan balik yang positif, menengahi penyelesaian masalah yang merupakan suatu sumber dan pengakuan identitas individual. Keberadaan informasi yang bermanfaat dengan tujuan penilaian diri serta penguatan (pembenaran).
3.
Dukungan instrumental (instrumental) yaitu: tenaga kesehatan merupakan suatu sumber bantuan yang praktis dan konkrit. Bantuan mencakup memberikan bantuan yang nyata dan pelayanan yang diberikan secara langsung bisa membantu seseorang yang membutuhkan, seperti: pemberian makanan secara langsung (bubur, susu, roti, telur dan lain-lain).
4.
Dukungan emosional (emotional) yaitu: tenaga kesehatan berfungsi sebagai suatu tempat berteduh dan beristirahat, yang berpengaruh terhadap ketenangan emosional, mencakup pemberian empati, dengan mendengarkan keluhan,
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan kasih sayang, kepercayaan, dan perhatian. Dukungan emosional akan membuat seseorang merasa lebih dihargai, nyaman, aman dan disayangi. Menurut Sarason, I.G. dan Sarason, B. (1997), ada tiga cara untuk mengukur besarnya dukungan sosial, yaitu perceived social support, social embeddnes, dan enacted support. Ketiganya tidak memiliki korelasi yang signifikan antara satu dengan yang lain dan masing-masing berdiri sendiri, yaitu: 1.
Perceived social support; cara pengukuran ini berdasarkan pada perilaku subjektif yang dirasakan individu mengenai tingkah laku orang disekitarnya, apakah memberikan dukungan atau tidak.
2.
Social embeddnes; cara pengukuran ini berdasarkan ada atau tidaknya hubungan antara individu dengan orang lain sekitarnya. Fokus pengukuran ini tidak melihat pada kualitas dan keadekuatan, tetapi hanya melihat jumlah orang yang berhubungan dengan individu.
3.
Enacted support; cara pengukuran ini memfokuskan pada seberapa sering perilaku dari orang sekitar individu yang dapat digolongkan kedalam pemberian dukungan sosial tanpa melihat adanya persepsi akan dukungan sosial yang diterima individu. Pengukuran dukungan pada penelitian ini dilakukan dengan cara perceived
social support. Dalam hal ini faktor subjektifitas sangat berpengaruh karena melibatkan persepsi penerimanya. Adanya penilaian kognitif bahwa individu telah menerima dukungan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut hasil penelitian Theresiana K.L., (2002), tentang faktor-faktor yang memengaruhi pemberian makanan pada balita di Kabupaten Tangerang, menyatakan bahwa ada pengaruh tenaga kesehatan terhadap perilaku pemberian makanan pada balita. Bahkan, dari beberapa faktor yang diteliti (umur, pekerjaan, pendidikan, jumlah anak, pengetahuan, sikap ibu dan dukungan tenaga kesehatan), dukungan tenaga kesehatan merupakan faktor yang paling dominan. Peluang ibu untuk memberikan makanan yang tepat pada balita pada yang memperoleh dukungan dari tenaga kesehatan, 3,6 kali lebih baik dibanding ibu yang tidak memperoleh dukungan dari tenaga kesehatan. Bentuk dukungan yang diberikan dapat berupa; penyuluhan, pelatihan dan pendampingan pemberian makanan.
2.5.
Pemberian Makanan pada Balita Menurut Persatuan Ahli Gizi Indonesia/Persagi (1992) yang dikutip oleh
Kristiadi, E. (2007), berdasarkan karakteristiknya, balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia lebih dari 1-3 tahun yang dikenal dengan batita dan anak usia lebih dari 3-5 tahun yang dikenal dengan usia prasekolah. Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, yaitu anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Pada usia prasekolah, anak menjadi konsumen aktif, yaitu mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia prasekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif lebih besar. Namun, perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih
Universitas Sumatera Utara
kecil daripada anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering. Pada dasarnya makanan bagi balita harus bersifat lengkap artinya kualitas dari makanan harus baik dan kuantitas makanan pun harus cukup dan bergizi, artinya makanan mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan, dengan memperhitungkan : 1. Pada periode ini dibutuhkan penambahan konsumsi zat pembangun karena tubuh anak sedang berkembang pesat. 2. Bertambahnya aktivitas membutuhkan penambahan bahan makanan sebagai sumber energi. 3. Untuk perkembangan mentalnya anak membutuhkan lebih banyak lagi zat pembangun terutama untuk pertumbuhan jaringan otak yang mempengaruhi kecerdasan walaupun tidak secara signifikan. 2.5.1. Pemberian Makanan Sehat Seimbang Pemberian makanan yang sehat dan seimbang memiliki peranan penting dalam peningkatan kesejahteraan dan gizi masyarakat, terutama anak balita. Pengertian makanan sehat seimbang menurut Nasoetion, A. dan Hadi, R. (1995) adalah hidangan atau masakan yang mengandung energi dan zat gizi secara seimbang, baik jenis maupun jumlahnya. Menu seimbang menurut Ngadimin (1992) adalah susunan menu yang menggunakan beberapa golongan bahan makanan dan penggantinya dengan memperhatikan keseimbangan zat gizinya, baik jumlah maupun macamnya. Jadi
Universitas Sumatera Utara
menyusun menu adalah menyusun macam-macam hidangan untuk setiap kali makan dengan memperhatikan keseimbangan zat gizinya. Manfaat yang diperoleh dari menyusun menu seimbang adalah kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi, dapat memilih bahan makanan yang baik, serta mengurangi kebosanan akan menu makanan. Penyusunan
menu seimbang berpedoman pada menu empat sehat lima
sempurna yang terdiri dari: 1. Makanan pokok Merupakan makanan yang mengandung karbohidrat yang berfungsi sebagai sumber utama penghasil tenaga. Contoh bahan makanan yang mengandung karbohidrat seperti beras, jagung, sagu, ubi kayu, talas dan sebagainya. 2. Lauk pauk Merupakan sumber zat pembangun dan berfungsi sebagai sumber protein. Lauk pauk dapat dibagi menjadi lauk pauk hewani dan lauk pauk nabati. Lauk pauk hewani meliputi ikan, telur, daging ayam, daging sapi dan sebagainya, sedangkan lauk pauk nabati terdiri dari tahu, tempe, oncom dan jenis kacang-kacangan. 3. Sayuran Merupakan sumber vitamin dan mineral yang berfungsi sebagai zat pengatur. Contohnya bayam, kangkung, wortel, tomat, kacang panjang dan sebagainya. 4. Buah-buahan Merupakan sumber vitamin dan mineral yang mempunyai fungsi sebagai zat pengatur.
Universitas Sumatera Utara
5. Susu Merupakan minuman yang mengandung protein yang tinggi sehingga memiliki kandungan gizi paling lengkap yang dapat melengkapi kekurangan zat gizi pada jenis makanan lainnya, dengan kata lain susu merupakan penyempurna hidangan empat sehat lima sempurna untuk memenuhi kebutuhan gizi. Selain kecukupan gizi yang berpedoman pada menu empat sehat lima sempurna, penyusunan menu juga harus memperhatikan variasi dan kombinasi dari bahan makanan yang digunakan dan penampilan serta rasa makanan yang disesuaikan dengan kebutuhan gizi dan kesukaan anak balita untuk menambah cita rasa. Sesuai dengan pendapat Moehji, S., (1999) bahwa cita rasa makanan mencakup dua aspek utama, yaitu penampilan makanan sewaktu dihidangkan dan rasa makanan waktu dimakan. Penampilan makanan yang harus diperhatikan menurut Moehji, S., (1999) diantaranya yaitu: 1. Warna makanan Warna makanan harus terlihat menarik, sehingga menimbulkan selera makan anak balita. Warna bisa didapatkan dari wortel untuk warna orange, warna hijau dari buncis, warna merah dari tomat, warna putih dari kol, warna kuning dari jagung dan lain sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
2. Konsistensi atau tekstur makanan Tekstur makanan untuk anak balita harus lembut, tidak keras sehingga mudah dikunyah dan dicerna. Makanan yang berkonsistensi padat atau kental akan memberikan rangsang yang lebih lambat terhadap indera kita, khususnya anak balita. 3. Bentuk makanan Untuk membuat makanan menjadi lebih menarik harus disajikan dalam bentukbentuk tertentu. Bentuk makanan untuk anak balita harus bervariasi dan menarik sehingga menimbulkan ketertarikan anak balita untuk memakannya. Rasa makanan yang harus diperhatikan untuk anak balita yaitu: 1.
Aroma makanan Aroma yang disebarkan oleh makanan merupakan daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang anak balita sehingga membangkitkan selera. Tetapi untuk anak balita aroma makanan sebaiknya tidak berbau tajam sehingga tidak menyengat penciuman anak balita.
2. Bumbu masakan dan bahan penyedap Untuk makanan anak balita bumbu yang digunakan sebaiknya tidak berbau tajam, tidak pedas, tidak asam dan sebisa mungkin menggunakan bahan penyedap yang alami, seperti menambahkan gula putih ke dalam masakan. 3. Keempukan makanan
Universitas Sumatera Utara
Anak balita masih mempunyai pencernaan yang belum sempurna dan kemampuan mengunyah yang masih sangat kurang, sehingga makanan yang diberikan untuk anak balita harus empuk. 4. Kerenyahan makanan Makanan yang dimasak menjadi kering, tetapi tidak keras sehingga enak dimakan. Misalnya menggoreng kerupuk yang salah, akan menghasilkan kerupuk yang keras dan tidak renyah. Penyajian makanan untuk balita diperlukan kreatifitas ibu agar makanan terlihat menarik sehingga dapat menimbulkan selera makan anak balita. Penyajian makanan yang akan diberikan kepada anak balita harus memperhatikan porsi atau takaran konsumsi makan serta frekuensi makan yang dianjurkan dalam sehari. Waktu pemberian makan untuk balita sebaiknya disesuaikan dengan waktu pada umumnya. Pemberian makanan dibagi menjadi tiga waktu makan yaitu pagi hari pada pukul 07.00 - 08.00, siang hari pada pukul 12.00 - 13.00, dan malam hari pada pukul 18.00 - 19.00, dan pemberian makanan selingan yaitu diantara dua waktu makan yaitu pukul 10.00-11.00 dan pukul 16.00-17.00, seperti yang tercantum dalam tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Pola Pemberian Makanan Balita
0-6 bulan
Umur
Bentuk Makanan ASI Eksklusif
Frekwensi Sesering mungkin, minimal 8 kali/hari
6-9 bulan
Makanan Lumat/lembek
2x sehari, 2 sendok makan setiap kali makan
9-12 bulan
Makanan lembek
3x sehari, plus 2x makanan selingan
1-3 tahun
Makanan Keluarga 1-11/ 2 piring nasi/pengganti 2-3 potong sedang lauk hewani 1-2 potong sdg lauk nabati 1 / 2 mangkuk sayur 2-3 potong buah-buahan 1 gelas susu
3x sehari, plus 2x makanan selingan
4-6 tahun
1-3 piring nasi / pengganti 2-3 potong lauk hewani 1-2 potong lauk nabati 1-11/ 2 mangkuk sayur 2-3 potong buah-buahan 1-2 gelas susu
3x sehari, plus 2x makanan selingan
Sumber : Depkes RI, 2006
Selain takaran dan frekuensi makanan untuk balita ada juga anjuran pemberian makanan untuk anak balita berdasarkan Depkes RI (2006), yaitu: 1.
Umur 1-6 bulan, anjuran pemberian makanan yaitu: a) Beri ASI setiap kali bayi menginginkan sedikitnya 8 kali sehari yaitu pagi, siang maupun malam. b) Jangan berikan makanan atau minuman lain selain ASI.
Universitas Sumatera Utara
c) Susui bayi dengan payudara kanan dan kiri secara bergantian. 2.
Umur 6-12 bulan, anjuran pemberian makanan yaitu: a) Teruskan pemberian ASI sampai umur 2 tahun. b) Umur 6-9 bulan, kenalkan makanan pendamping ASI dalam bentuk lumat dimulai dari bubur susu sampai nasi tim lumat, 2 kali sehari. Setiap kali makan diberikan sesuai umur: -
6 bulan: 6 sendok makan
-
7 bulan: 7 sendok makan
-
8 bulan: 8 sendok makan
c) Beri ASI terlebih dahulu kemudian makanan pendamping ASI. d) Umur 9-12 bulan, beri makanan pendamping ASI,dimulai dari bubur nasi sampai nasi tim, 3 kali sehari. Setiap kali makan diberikan sesuai umur: -
9 bulan: 9 sendok makan
-
10 bulan: 10 sendok makan
-
11 bulan: 11 sendok makan
e) Pada makanan pendamping ASI, tambahkan telur atau ayam atau ikan atau tempe atau tahu atau daging sapi atau wortel atau bayam atau kacang hijau atau santan atau minyak. f) Bila menggunakan makanan pendamping ASI dari pabrik, baca cara memakainya, batas umur dan tanggal kadaluwarsa.
Universitas Sumatera Utara
g) Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya. h) Beri buah-buahan atau sari buah seperti air jeruk manis, air tomat saring, dan sebagainya. i) Mulai mengajari bayi minum dan makan menggunakan gelas dan sendok. 3.
Umur 1-2 tahun, anjuran pemberian makanan yaitu: a) Beri ASI setiap kali balita menginginkan. b) Beri nasi lembek 3 kali sehari. c) Tambahkan telur atau ayam atau ikan atau tempe atau tahu atau daging sapi atau wortel atau bayam atau kacang hijau atau santan atau minyak pada nasi lembek. d) Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya. e) Beri buah-buahan atau sari buah. f) Bantu anak untuk makan sendiri.
4.
Umur 2-3 tahun, anjuran pemberian makanan yaitu: a) Beri makanan yang biasa dimakan oleh keluarga 3 kali sehari yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur dan buah. b) Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya. c) Jangan berikan makanan yang manis dan lengket diantara waktu makan.
Universitas Sumatera Utara
5. Umur 3-5 tahun, anjuran pemberian makanannya yaitu sama dengan anak umur 2-3 tahun. 2.5.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemberian Makanan 1. Pendapatan Pada umumnya jika tingkat pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik juga (Suhardjo, 1986). Besar kecilnya pendapatan keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi dan pola konsumsi dipengaruhi pula oleh faktor sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu bagi suatu masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah, usaha perbaikan gizi erat hubungannya dengan usaha peningkatan pendapatan dan pembangunan sumber daya manusia (Roedjito D., 1989). 2. Banyaknya Anggota Keluarga Anak yang tumbuh dalam suatu keluarga yang miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebab seandainya besarnya keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua (Suhardjo,1986).
Universitas Sumatera Utara
3. Budaya Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Misalnya bahanbahan makanan tertentu oleh sesuatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu (Suhardjo, 2003). Dikemukakan juga oleh Nency Y, Arifin M.T. (2005), bahwa kebiasaan, mitos atau kepercayaan/ adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak. 4. Pengetahuan Kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebab penting dari gangguan gizi (Suhardjo, 1986). Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada umur dibawah 2 tahun (Depkes RI, 2000). 2.5.3. Macam-Macam Zat Gizi Pangan dan gizi sangat berkaitan erat karena gizi seseorang sangat tergantung pada kondisi pangan yang dikonsumsinya. Masalah pangan antara lain menyangkut ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi pangan yang dipengaruhi oleh kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan adat/kepercayaan yang terkait dengan tabu makanan (Baliwati, Y.F., 2004).
Universitas Sumatera Utara
Zat-zat makanan yang diperlukan tubuh dapat dikelompokkan menjadi 5 yaitu: 1. Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber tenaga utama kegiatan sehari-hari. Karbohidrat terdiri dari tepung terigu seperti : nasi, kentang, mie, ubi singkong, dll; gula seperti: gula pasir, gula merah, dll. Dampak yang ditimbulkan apabila kekurangan karbohidrat sebagai sumber energi dan kekurangan protein adalah KEP (Kurang Energi Protein). 2. Protein Dapat diperoleh melalui tumbuh-tumbuhan (protein nabati) dan melalui hewan (protein hewan) berfungsi : membangun sel-sel yang telah rusak, membentuk zatzat pengatur seperti enzim dan hormon, dan membentuk zat anti energi. Apabila tubuh menderita kekurangan protein, maka serangan penyakit busung lapar akan selalu terjadi. 3. Lemak Merupakan sumber tenaga, yang berfungsi : sebagai pelarut vitamin tertentu seperti A, D, E, K, sebagai pelindung alat-alat tubuh dan sebagai pelindung tubuh dari temperatur rendah. 4. Vitamin Dikelompokkan menjadi vitamin yang larut dalam air, meliputi vitamin B dan C dan vitamin yang larut dalam lemak/minyak meliputi A, D, E dan K.
Universitas Sumatera Utara
5. Mineral Mineral mempunyai fungsi : sebagai pembentuk berbagai jaringan tubuh, tulang, hormon dan enzim, sebagai zat pengatur berbagai proses metabolisme, keseimbangan cairan tubuh, proses pembekuan darah. 6. Air Air merupakan salah satu komponen yang penting bagi tubuh. Air dapat membantu mengatur suhu tubuh kita. Pasalnya, berat tubuh kita terdiri atas air sebanyak 55% sampai 75%. Peranan air di dalam tubuh kita, sebagai pengatur proses pengantaran zat gizi dan kimia tubuh lainnya ke dalam sel, dan membawa perginya limbah yang dihasilkan tubuh. Air berfungsi sebagai pelarut dan alat angkut dalam tubuh, katalisator dalam reaksi biologik dalam sel, termasuk saluran cerna, pelumas pada sendi-sendi, memelihara konsentrasi fisik dan kimia dari cairan intra dan ekstra seluler serta
sebagai peredam benturan. Namun ada
kelompok ahli gizi yang belum menerima air sebagai sumber zat gizi. Alasan menambahkan kedua zat ini sebagai kelompok zat makanan adalah karena pada proses metabolisme zat gizi selalu diperlukan air dan oksigen. Alasan tidak menyetujui dimasukkan air dan oksigen ke dalam kelompok zat makanan karena kedua zat tersebut umumnya sangat mudah didapat (Sajah, A., 2011). 2.5.4. Kebutuhan Gizi Balita Pengaturan makan anak usia dibawah lima tahun mencakup dua aspek pokok, yaitu pemanfaatan ASI secara tepat dan benar dan pemberian makanan pendamping ASI dan makanan sapihan serta makanan setelah usia setahun. Gizi
Universitas Sumatera Utara
kurang banyak menimpa anak-anak balita sehingga golongan anak ini disebut golongan rawan gizi. Masa peralihan antara saat disapih dan mulai mengikuti pola makanan orang dewasa atau bukan anak merupakan masa gawat karena ibu atau pengasuh anak mengikuti kebiasaan yang keliru. Kebutuhan zat gizi tidak sama bagi semua orang, tetapi tergantung banyak hal antara lain umur (Soekirman, 2002). Di bawah ini adalah angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan pada bayi dan balita. Tabel 2.2. Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Rata-Rata Per Hari Golongan Umur
Berat Badan (Kg) 5.5 8.5
Tinggi Badan (cm) 60 71
Energi (Kkal)
Protein (g)
0-6 bulan 560 10 7-12 800 16 bulan 1-3 tahun 12 90 1000 25 4-6 tahun 18 110 1550 39 Sumber: LIPI, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004)
Vitamin A (RE) 375 400
Besi/Fe (mg)
400 450
8 9
5 7
Pengetahuan tentang kadar zat gizi dalam berbagai bahan makanan bagi kesehatan keluarga dapat membantu ibu memilih bahan makanan yang harganya tidak begitu mahal akan tetapi nilai gizinya tinggi (Moehji, S., 2002). Setiap anggota keluarga khususnya balita harus cukup makan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan tubuh, sehingga keluarga perlu belajar menyediakan gizi yang baik di rumah melalui pangan yang disiapkan dan dihidangkan serta perlu membagikan pangan di dalam keluarga secara merata, sehingga setiap orang dapat
Universitas Sumatera Utara
makan cukup pangan yang beraneka ragam jenisnya guna memenuhi kebutuhan seseorang (Suhardjo, 1986). 2.5.5. Status Gizi Balita Menurut Suhardjo (2003), status gizi adalah keadaan kesehatan individuindividu atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energy dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri. Menurut Dorice M. dalam Waspadji, S. dan Suyono, S. (2003), mengatakan bahwa status gizi optimal adalah keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan zat gizi. Sedangkan, menurut Marsetyo (1991), status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat atau kondisi yang dapat diukur, dimana salah satu ukurannya adalah ukuran tubuh (antropometri) merupakan refleksi dari pengaruh faktor genetik dan lingkungan. Menurut Moehji, S., (2002), ada beberapa hal yang sering merupakan penyebab terjadinya gangguan gizi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai penyebab langsung gangguan gizi, khususnya gangguan gizi pada bayi dan balita adalah tidak sesuainya jumlah zat gizi yang mereka peroleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh mereka atau pola makan yang salah dan adanya penyakit infeksi atau status kesehatan. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak
Universitas Sumatera Utara
balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi. Beberapa kondisi dan anggapan orang tua dan masyarakat justru merugikan penyediaan makan bagi kelompok balita ini : 1. Anak balita masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke makanan orang dewasa, jadi masih memerlukan adaptasi. 2. Anak balita dianggap kelompok umur yang paling belum berguna bagi keluarga sehingga anak itu sudah tidak diperhatikan dan pengurusannnya sering diserahkan kepada saudaranya yang lebih tua, tetapi sering belum cukup umur untuk mempunyai pengalaman dan keterampilan untuk mengurus anak dengan baik. 3. Ibu sering sudah mempunyai anak kecil lagi atau sudah bekerja penuh, sehingga tidak dapat lagi memberikan perhatian kepada anak balita, apalagi mengurusnya. 4. Anak balita masih belum dapat mengurus sendiri dengan baik, dan belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukannya untuk makanannya. 5. Anak balita mulai turun ke tanah dan mulai mengenal berbagai kondisi yang memberikan infeksi atau penyakit lain, padahal tubuhnya belum cukup mempunyai imunitas atau daya tahan untuk melawan bahaya kepada dirinya (Achmad Djaeni, 2000).
2.6.
Landasan Teori Menurut Lawrence Green yang dikutip Notoatmodjo (2005), ada 3 faktor
yang memengaruhi perilaku kesehatan yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya. 2. Faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan seperti sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, rumah sakit, tempat pembuangan sampah, makanan bergizi, dan sebagainya. 3. Faktor penguat (reinforcing factors), yaitu faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Faktor penguat mencakup: dukungan sosial dari tenaga kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan keluarga.
2.7.
Kerangka Konsep Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori maka kerangka konsep
dalam penelitian ini adalah seperti yang tercantum pada gambar 2.1. Variable Independen
Variable Dependen
1. Pengetahuan 2. Sikap Pemberian Makanan pada Balita Dukungan Tenaga Kesehatan Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara