BAB 1 PENDAHULUAN
Di Indonesia Bidang Farmasi relatif masih muda dan baru dapat berkembang secara berarti setelah masa kemerdekaan. Pada zaman penjajahan, baik pada masa pemerintahan Hindia Belanda maupun pada masa pendudukan Jepang, tingkat pertumbuhan kefarmasian di Indonesia sangat lambat, sehingga tidak dikenal luas oleh masyarakat (Firmansyah, 2009). Saat ini kefarmasian di Indonesia telah tumbuh dan berkembang dalam dimensi yang cukup luas dan mantap. Industri farmasi di Indonesia, dengan
dukungan
teknologi
yang
cukup
modern
telah
mampu
memproduksi obat dalam jumlah besar dengan jaringan distribusi yang cukup luas. Saat ini, sekitar 90% kebutuhan obat nasional dipenuhi oleh industri farmasi dalam negeri. Peran profesi farmasi dalam pelayanan kesehatan, juga semakin berkembang dan sejajar dengan profesi kesehatan lainnya (Firmansyah, 2009). Obat dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam diagnosis, mengurangi rasa sakit, mengobati atau mencegah penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan. Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, bagi seorang dokter ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis dan pengobatan penyakit. Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan (Chaerunissa, Surahman, dan Imron, 2009). Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat berbeda dengan komoditas perdagangan, 1
2 karena selain komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan karena penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Obat mempunyai peran yaitu penetapan diagnosa, untuk pencegahan penyakit, menyembuhkan penyakit, memulihkan (rehabilitasi) kesehatan, mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu, peningkatan kesehatan dan mengurangi rasa sakit (Chaerunissa, Surahman, dan Imron, 2009). Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kefarmasian
telah
terjadi
pergeseran
orientasi
pelayanan
kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditif kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care). Dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat, namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication errors) (Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjan Kefarmasian). Menurut
Surat
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI Nomor
1027/MenKes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek medication errors adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah Terapi dengan obat biasanya terwujudkan dalam penulisan resep sebagai tindakan terakhir konsultasi penderita dengan dokternya setelah seorang dokter melakukan anamnesis, diagnosis dan prognosis penderita (Zaman-Joenoes, 2009). Oleh karena itu, penulis resep (prescriber) maupun pembaca resep (dispenser) harus memahami titik-titik rawan yang terdapat
3 pada penulisan resep. Resep wajib ditulis dengan jelas dan lengkap guna menghindari adanya salah interpretasi antara prescriber dan dispenser dalam mengartikan sebuah resep. Salah satu penyebab terjadinya medication error adalah terjadinya kegagalan komunikasi/salah interpretasi antara prescriber dengan dispenser dalam “mengartikan resep” yang disebabkan karena : tulisan tangan prescriber yang tidak jelas terutama apabila ada nama obat yang hampir sama serta keduanya mempunyai rute pemberian obat yang sama pula, penulisan angka desimal dalam resep, penggunaan singkatan yang tidak baku serta penulisan aturan pakai yang tidak lengkap (Cohen, 1999). Penulisan resep harus baik dan benar, supaya pengobatan pada pasien berhasil dan obat dilayani tepat dan relatif cepat. Sebaiknya permintaan dalam resep dari dokter dapat dibaca dengan jelas, tidak membingungkan, diberi tanggal dan ditandatangani. Resep yang baik juga harus memuat cukup informasi supaya apabila terjadi kesalahan dapat diketahui oleh ahli farmasi sebelum obat disiapkan dan diberikan pada pasien. Apoteker harus menanyakan kepada dokter penulis resep, apabila mendapatkan resep yang tidak lengkap dan tidak dapat dibaca dengan jelas. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Febriana Ayuningtyas pada 378 lembar resep dan/dari 738 jumlah R/ yang diambil dari tiga apotek di wilayah Surbaya Timur didapatkan data kelengkapan penulisan nama obat (100%), jumlah obat yang diberikan (100%), nama dokter penulis resep (99,74%), alamat dan nomer telepon dokter (99,74%), nama pasien (99,47%), tanggal resep (98,94%), cara peracikan (98,94%), jumlah dan frekuensi pemakaian obat (97,43%), superscription (96,34%), paraf dokter (96,34%), nomor Surat Izin Praktek (92,59%), rute, tempat, dan atau cara pemakaian (87,80%), penulisan bentuk sediaan (59,09%), jenis
4 kelamin pasien (47,09%), kekuatan bahan aktif (40,51%), umur pasien (36,24%), waktu pemakaian obat (27,51%), alamat pasien (27,25%), dan penulisan berat badan pasien (2,67%). Penelitian pada resep-resep yang dilayani di tiga apotek wilayah Surabaya Timur, yaitu sebuah apotek yang berada di daerah sekitar rumah sakit, sebuah apotek yang berada di sekitar pasar dan sebuah apotek yang berada di sekitar perumahan, dilakukan dengan tujuan agar mengetahui profil penulisan resepnya. Resep merupakan bentuk hubungan profesional antara dokter, apoteker dan pasien, sehingga dalam penulisan resep kejelasan tulisan dan kelengkapan informasinya harus diperhatikan. Resep yang lengkap terdiri dari : a.
Nama dan alamat dokter penulis resep dan nomor izin prakteknya
b.
Tanggal penulisan resep
c.
Awalan R/, merupakan singkatan dari bahasa latin “recipe” yang artinya “ambilah” (superscription)
d.
Nama dan jumlah bahan obat yang harus diserahkan kepada pasien (inscription), bentuk sediaan yang dikehendaki (subscription), yang ditulis setelah penulisan R/
e.
Cara pemakaian obat yang bersangkutan (signature)
f.
Tanda tangan atau paraf dari dokter penulis resep
g.
Nama dan alamat pasien. Bagi anak-anak atau bayi harus disebutkan umurnya, agar dosis yang akan diberikan dapat diteliti. Jenis kelamin juga harus disebutkan, agar obat yang diberikan dapat sesuai dengan pasien (Chaerunissa, Surahman, dan Imron, 2009). Penelitian tentang medication errors sangatlah penting, karena
medication errors dapat merugikan pasien (sampai menyebabkan kematian). Di Indonesia, penelitian tentang medication errors sangat sedikit. Penelitian tentang medication errors sering dilakukan di apotek,
5 karena apotek merupakan tempat masuknya resep dari dokter yang ditujukan kepada apoteker, kemudian oleh apoteker obat yang tertulis di resep, diberikan kepada pasien yang bersangkutan. Apotek KPRI RSUD Dr. Soetomo Surabaya merupakan apotek di rumah sakit yang melayani pasien rawat jalan, sehingga dari banyaknya resep yang didapat
dari apotek, akan/dapat memberikan
variasi
kelengkapan dalam penulisan resep. Penelitian pada kelengkapan resep di Apotek
KPRI
RSUD
Dr.
Soetomo
Surabaya
dilakukan
dengan
menggunakan metode survey research method. Berdasarkan latar belakang di atas dapat disusun rumusan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana kelengkapan peresepan di Apotek KPRI RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kelengkapan peresepan di apotek KPRI RSUD Dr. Soetomo Surabaya, mengurangi terjadinya medication errors dan sebagai perlaksanaan pharmaceutical care. Manfaat dari penelitian ini adalah: a.
Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan tentang kelengkapan peresepan terhadap identitas dokter penulis resep, identitas pasien, tanggal penulisan resep, superscription, inscription, subscription, signature dan paraf dokter penulis resep
b.
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi farmasis dan tenaga kesehatan yang lain dalam rangka meningkatkan kualitas pharmaceutical care dan mencegah terjadinya medication errors.