Matematika merupakan salah satu kompetensi yang penting dikuasai oleh siswa selain bahasa, Matematika penting diajarkan kepada anak karena: (a) Matematika selalu digunakan dalam kehidupan sehari-hari, (b) Semua bidang studi membutuhkan keterampilan Matematika, (c) Matematika dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, tidak hanya dengan cara angka dan huruf tetapi juga melalui penggunaan tabel, diagram, grafik, dan gambar geometris atau teknis, (d) sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas, juga (e) Matematika penting untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran spasial (Cockroft, 1982). Matematika
mempunyai cakupan objek yang cukup luas, termasuk di
dalamnya adalah bahasa, bangun ruang, dan kuantitas. Sebagian besar penelitian memfokuskan penelitian Matematika pada kemampuan dasar berhitung atau aritmatika (Butterworth, 2003). Angka dan aritmetika merupakan hal pertama yang akan dipelajari oleh anak-anak untuk dapat menggunakan Matematika dalam kehidupannya. Sejak kecil, anak berkembang di lingkungan yang penuh dengan informasi kuantitatif dan pengalaman numerik. Mereka mendengar orang dewasa menggunakan angka untuk berhitung dan mengukur, seperti ketika menggunakan uang, serta menunjukkan waktu dan tanggal. Anak juga melihat angka di jalan, toko, ataupun pada halaman buku (Rouselle & Noel, 2007). Demikian juga ketika menyatakan kuantitas, seperti, dua meja, untuk identifikasi objek (contoh: kursi nomor tiga) dan posisi benda secara berurutan (misalnya: baris kelima) (Rubinsten & Sury, 2011).
Pada tingkat yang lebih luas Matematika juga dibutuhkan untuk
mempelajari bidang lain seperti, geografi, tehnik, astromomi, dan ekonomi. Hal ini menunjukkan kemampuan Matematika dibutuhkan tidak hanya dalam bidang akademik dan kesuksesan profesi, namun juga dalam kehidupan sehari hari. (Andersson & Östergren, 2012; Barbaresi, Katusic, Colligan, Weaver, & Jacobsen, 2005; Butterworth, 2005; Cockroft, 1982; Chinn & Ashcroft, 2007; Geary, 2011; Shalev, 2011; Rouselle & Noel, 2007; Rubinsten & Sury, 2011; Price & Ansari, 2013; Wimbarti, 2016). Keberhasilan dan kegagalan dalam proses dasar ini akan mempengaruhi proses dan kesuksesan anak dalam mempelajari Matematika pada tingkat yang lebih tinggi (Chinn & Ashcroft, 2007; Geary, 1993; Wu, Willcutt, Escovar, & Menon, 2014). Kemampuan Matematika mempengaruhi hasil belajar pada pelajaran Matematika, anak-anak yang mempunyai perfoma Matematika tinggi maka hal itu akan terlihat pada prestasi belajarnya, demikian juga sebaliknya. Kesukaran belajar Matematika anak dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: proses pengajaran lingkungan, status sosial ekonomi, kecemasan Matematika, gangguan perilaku dan kesehatan, serta neurologis (Butterworth, 2002; Shalev, 2011; Wadlington & Wadlington, 2008). Dari banyaknya faktor penyebab kesukaran Matematika ini, yang paling jarang atau bahkan tidak diketahui adalah diskalkulia (Butterworth, 2002; Wilson & Dehaene, 2007). Diskalkulia merupakan salah satu kesukaran belajar yang pada kemampuan Matematika (Price & Ansari, 2013). Hal ini merupakan pengaruh dari kecakapan dalam pengetahuan tentang bilangan dan aritmetika (Piazza, Facoetti, Trussardi, dkk,
2010) yang disebabkan oleh gangguan neurologis (Butterworth, 2005; Laderl, Bevan, & Butterworth, 2004; Moll, Göbel, Gooch, Landerl, & Snowling, 2014; Shalev, 2001; Rubinsten & Tannock, 2010; Rubinsten & Sury, 2011; Wadlington & Wadlington, 2008; Von aster, 2000) dan genetik (Butterworth, 2005; Laderl dkk, 2004; Wadlington & Wadlington, 2008; Moll dkk, 2014). Kemampuan numerik, termasuk aritmetika, dimediasi oleh area di lobus parietal (Dehaene 2011; DehaeneLambertz, & Cohen, 1998; Shalev, 2011; Butterworth, 2005) dan kemampuan memahami angka dan berhitung yang terpisah dengan kemampuan bahasa (Cohen, Dehaene, Cochon, dkk, 2000) serta dari memori semantik non numerik (Cappelletti, Butterworth, & Kopelman, 2001). Beberapa penelitian menyebutkan, bagian neuron yang berfungsi dalam pengolahan besaran angka adalah intraparietal sulcus (IPS) (Ashkenazi, RosenbergLee, Tenison, & Menon, 2012; Price & Ansari, 2003; Rubinsten & Tannock, 2010; Rubinsten & Sury, 2011) yang merupakan sistem besaran angka, termasuk di dalamnya adalah representasi nilai perkiraan angka dari kumpulan objek, representasi ruang dan representasi dari jumlah terus-menerus, seperti panjang dan waktu (Rubinsten & Sury, 2011). IPS (intraparietal sulcus) merupakan bagian otak yang terlibat dalam proses numerik dan aritmatika (Dehaene, Piazza, Pinel, & Cohen, 2003). IPS juga dianggap berhubungan dengan hal abstrak dan representasi angka (Eger, Sterzer, Russ, Giraud, & Kleinschmidt, 2003). IPS bagian kanan mempengaruhi
kemampuan
dalam
kapasitas
numerik
sederhana,
termasuk
kemampuan dalam memperkirakan numerosity pada kelompok kecil. Sedangkan IPS
bagian kiri yang berfungsi pada proses operasi angka (Piazza, Mechelli, Butterworth, & Price, 2002). Penelitian lain juga menyatakan bahwa bagian otak yang berperan dalam pemprosesan angka adalah Horizontal intraparietal sulcus (HIPS) (Wilson & Dehaene, 2007). HIPS ini merupakan bagian inti yang berperan dalam menggambarkan jumlah dan menggunakan angka (Dehaene, Molko, Cohen, & Wilson, 2004). Penelitian Dehaene, Piazza, Pinel, & Cohen (2003) menemukan beberapa bagian dalam lobus parietal yang berperan dalam mengorganisir angka yaitu, 1) Angular gyrus (GA) berperan ketika manipulasi angka verbal, 2) Posterior superior parietal lobus (PSPL) pada proses atensi, dan 3) Horizontal intraparietal sulcus (HIPS) yang berperan dalam pemrosesan angka, HIPS terlihat aktif ketika pada proses perkiraan, berhitung, perbandingan angka, dan pengolahan angka. HIPS inilah yang paling dipercaya sebagai domain yang spesifik pada lokus yang mewakili kuantitas numerik. Prevalensi kesukaran Matematika bervariasi. Hal ini di sebabkan oleh penentuan kriteria yang digunakan dalam mendefinisikannya dan negara dalam proses penelitian (Shalev, Auerbach, Manor, Gross-Tsur, 2000; Rouselle & Noel, 2008; Shalev, 2011). Kesulitan Matematika secara persistent terjadi pada 6-14% dari populasi umum (Barbaresi dkk, 2005). Penelitian Lewis, Hitch, & Walker (1994) menyebutkan bahwa dari 1200 anak usia 9 – 12 tahun, 18 orang diantaranya mengalami kesukaran Matematika, demikian juga dengan hasil dari penelitian Ramaa dan Gowramma (2002) di India menemukan bahwa 5,5% - 6 % siswa sekolah dasar
berpotensi diskalkulia.
Di negara-negara Amerika Serikat, India, dan Israel
ditemukan prevalensi diskalkulia antara 3% - 6,5% pada siswa sekolah (Gross Tsur, dkk, 1996; Shalev dkk, 2000; Shalev, 2011). Di Swiss Von Aster, dkk (1994) menemukan prevalensi anak-anak dengan diskalkulia mencapai 5% - 7%. Penelitian lain juga menemukan prevalensi anak yang mengalami diskalkulia karena gangguan neurologis permanen tidak lebih dari 2%, sedangkan yang mengalami kesulitan dalam Matematika karena sebab lain sekitar 8% (Wadlington & Wadlington, 2008; Peard, 2010). Sedangkan di Indonesia, prevalensi diskalkulia belum diketahui. Alat skrining diskalkulia digunakan sebagai langkah penting dalam proses diagnosis (Gliga & Gliga, 2012). Alat skrining dibutuhkan untuk memberikan informasi kepada profesional dan orangtua tentang prediksi kemampuan anak dan kemungkinan perfomansi anak selanjutnya, sehingga dapat mempermudah dalam proses merancang strategi penanganan yang tepat dan melakukan intervensi lebih awal kepada siswa (Gersten, Clarke, Haymond, Jordan, 2011; Hallahan, Kauffman, & Pullen, 2012). Skrining pada usia sekolah juga untuk memastikan bahwa kesulitan belajar anak tidak disebabkan karena sebab lain, seperti kecemasan dan metode pengajaran. Selain itu, anak-anak sudah mempunyai pengalaman yang cukup dengan angka dan dasar aritmetika (Anderson & Ostergen, 2012). Diskalkulia pada anak dapat diatasi dengan menggunakan latihan untuk meningkatkan kemampuan numerik. Hal ini dikarenakan kemampuan otak anak masih berkembang sehingga memungkinkan untuk melakukan intervensi pada anak (Adler, 2001; Dehaene, 2011; Wilson & Dehaene, 2007). Sebagaimana penelitian
yang dilakukan oleh Wilson, Revkin, Cohen, Cohen, Dehaene (2006) pada anak diskalkulia usia 7-9, dengan menggunakan permainan komputer “the number race” yang berisi dasar dasar aritmetika. Sebelum dan sesudah intervensi, anak anak tersebut diberikan tes dasar numerik, diantaranya: berhitung, penambahan, pengurangan, dan perbandingan angka simbolik dan non simbolik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah diberi perlakukan selama 5 minggu, anak-anak tersebut menunjukkan peningkatan pada tes dasar numerik. Berdasarkan ulasan di atas, penelitian ini bertujuan untuk
membuat alat
skrining diskalkulia untuk anak di tingkat sekolah dasar yang valid dan reliabel. Alat skrining sebagai langkah awal untuk melakukan diagnosis diskalkulia dan bukan tes yang mengukur prestasi Matematika. Hasil dari penelitian ini diharapkan memperoleh alat ukur skirining diskalkulia yang baik secara psikometris dan alat skrining diskalkulia ini dapat digunakan untuk deteksi dini kecenderungan kesukaran belajar Matematika pada siswa sekolah dasar.
Teori dan Pengukuran Diskalkulia Istilah kesukaran Matematika pada beberapa literatur memberikan penyebutan yang berbeda, diantaranya adalah Developmental dyscalculia (DD), mathematics difficulties/MD,
arithmetic
difficulties/AD,
mathematics/arithmatic
learning
disabilitily (MLD/ALD). Beberapa istilah ini dapat digunakan bergantian (interchangeably). Namun, semua istilah tersebut menujuk kepada individu dengan kesukaran Matematika (Butterworth, 2005; Devine, Soltesz, Nobes, Goswami, &
Szucs 2013; Wilson, Andrewes, Strurhers, dkk, , 2014). Meskipun mempunyai istilah yang berbeda, secara umum para ahli sepakat bahwa anak dengan diskalkulia mempunyai kelemahan dalam kemampuan numerikal dasar (Landers dkk, 2004; Wilson & Dehaene, 2007; Wadlington & Wadlington, 2008). Demikian juga pada penelitian diskalkulia yang sudah ada, terdapat perbedaan dalam menentukan kriteria dan mendefinisikan diskalkulia sehingga hasil dari tiap penelitian berbeda (Price & Ansari, 2013). Geary, Hamson, & Hoard (2000) menggunakan istilah nilai cut off dibawah persentil 35. Shalev, Manor, & Gros-tsur (1997) menggunakan kriteria dua tingkat dibawah usia kronologis untuk mengidentifikasi anak diskalkulia. Sementara Butterwoth (2003) menggunakan kriteria dibawah 2 stanines atau 11 pesentile. Koontz dan Berch (1996) memberikan batasan persentil 25 dengan menggunakan tes Iowa Test of Basic Skill untuk siswa berusia 4 dan 10 tahun. Penelitian longitudinal yang dilakukakan oleh Mazzocco dan Meyrs (2003) menggunakan persentil 10 pada usia anak taman kanak-kanak, 63% siswa yang teridentifikasi pada cut off persentil 10, pada penelitian 2 tahun kemudian tetap mengalami diskalkulia. Diskalkulia memiliki komorbid dengan disleksia (Geary, 1993; Gross Tsur, Manor, & Shalev, 1996; Shalev dkk, 2000; Adler, 2001; Hanich, Jordan, Kaplan, & Dick, 2001; Barbaresi dkk, 2005; Chinn & Ashcroft, 2007; Rousselle & Noel, 2007; Tressoldi, Rosati, & Lucangeli, 2007; Sewell, 2008; Wadlington & Wadlington, 2008; Emerson & Babtie, 2010; Askenazi & Henik, 2010; Reimann, Gut, Frischknecht, & Grob, 2012;Wilson dkk, 2014; Wu dkk, 2014), ADHD (Gross Tsur
dkk, 1996; Marshall, Schaver, O’Donnell, Elliot, & Handwerk, 1999; Shalev dkk, 2000; Adler, 2001; Chinn & Ashcroft, 2007; Sewell, 2008; Emerson & Babtie, 2010; Askenazi & Henik, 2010; Rubinsten & Tannock, 2010; Wilson dkk, 2014; Wu dkk, 2014), ADD atau attention deficit disorder (Marshall dkk, 1999; Adler, 2001; Chinn & Ashcroft, 2007; Sewell, 2008; Askenazi& Henik, 2010; Rubinsten & Tannock, 2010; Wu dkk, 2014) dispraksia, dan specific language delay (Emerson dan Babtie, 2010), gangguan membaca atau gangguan menulis ekspresif (APA, 2000 ; Emerson dan Babtie, 2010). Beberapa penelitian lain menemukan bahwa, kemampuan numerik bebas dari bahasa (Cohen dkk, 2000; Gelman & Butterworth, 2005), Penelitian yang dilakukan oleh Pica, Lemer,
Izard, &
Dehaene (2004) pada suku Indian Munduruku di
pedalaman Amazon dengan subjek penelitian orang dewasa dan anak anak yang mana mereka tinggal terisolasi dari dunia luar, tidak menempuh pendidikan dan tidak belajar kosakata Matematika secara formal.
Mereka hanya mempunyai sedikit
kosakata, dan hanya mempunyai angka tidak lebih dari 5. Hasil dari penelitian ini adalah adanya perbedaan antara sistem non verbal dari proses angka perkiraan (approximate number) dan bahasa pada sistem perhitungan aritmatika. Penelitian senada juga pernah dilakukan oleh Pieter Gordon, ahli linguistik dari Columbia University pada orang Indian di Amazon yaitu suku Indian Piraha, yang mana mereka mempunyai kosakata yang terbatas, hasil studi ini juga menyatakan ketika diberikan stimulasi berupa himpunan dari beberapa objek, mereka
tidak memberikan jawaban angka yang pasti. Namun, mereka selalu menjawab dengan perkiraan yang mendekati jumlah kelompok objek tersebut (Dehaene, 2011). Kemampuan numerik juga bebas dari inteligensi, Penelitian dilakukan oleh Brankaer, Ghesquie` re, Smedt (2014) pada anak yang kesukaran Matematika dengan kapasitas IQ rata-rata dan anak yang kesukaran Matematika dengan IQ di bawah ratarata. Hasil penelitian menunjukkan dari dua grup tersebut mempunyai kelemahan yang sama, yaitu pada proses besaran numerikal dan kesukaran Matematika tidak berhubungan dengan inteligensi. Proses indentifikasi kesukaran Matematika pada bidang pendidikan telah lama menggunakan pendekatan tradisional dengan menggunakan tes prestasi dan mendefinisikan diskalkulia sebagai kesenjangan perfomansi Matematika dengan usia dan IQ (Landers, dkk, 2004; Wilson & Dehaene, 2007). Menurut Butterworth (2002, 2003), proses identifikasi yang demikian akan menimbulkan kesalahan pada proses diagnosis karena terdapat banyak penyebab terjadinya kesukaran belajar atau rendahnya prestasi Matematika di sekolah seperti, ketidaktepatan dalam metode pengajaran, kecemasan Matematika, juga masalah kesehatan dan perilaku. Tes akademik terstandar belum mampu membedakan antara siswa yang mampu menyelesaikan soal Matematika sederhana dengan menggunakan jari dalam kurun waktu dua detik dan empat puluh lima detik. Selanjutnya tes pretasi menguji berbagai keterampilan termasuk verbal, kuantitas, dan bangun ruang, yang kemudian diakumulasikan menjadi skor umum prestasi Matematika, dan yang terakhir adalah tes prestasi Matematika mempunyai standar tes yang beragam.
Aspek yang tak kalah pentingnya dalam adminstrasi tes diskalkulia adalah penggunaan batas waktu dalam pengerjaan soal (Butterworth, 2002; Landers dkk, 2004; Wilson & Dehaene, 2007) khususnya pada tes untuk anak taman kanak-kanak dan
sekolah dasar (Berch, 2005). Hal ini dilakukan untuk meminimalisir efek proses pendidikan dan fokus pada kapasitas dasar anak (Butterworth, 2002). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Landers, dkk (2004) pada siswa berusia 8 dan 9 tahun menunjukkan terdapat perbedaan waktu yang signifikan saat mengerjakan tes skrining. Kelompok siswa dengan diskalkulia membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan kelompok kontrol pada jawaban yang benar. Demikian juga pada penelitian yang dilakukan oleh Bassolunghi dan Siegel (2004), menunjukkan bahwa siswa kelas 5 sekolah dasar dengan diskalkulia secara signifikan membutuhkan waktu yang lebih lama dari siswa normal saat diberikan tugas membandingkan angka. Beberapa penelitian tersebut menujukkan bahwa waktu dalam tes kemampuan berhitung merupakan aspek yang penting.
Identifikasi Tujuan Ukur dan Operasionalisasi Konsep American Psychiatric Association (2000) mendefinisikan diskalkulia dengan kemampuan Matematika dibawah kemampuan usia kronologis yang diukur secara individual melalui tes terstandar, dengan pengukuran inteligensi dan pendidikan yang sesuai, yang mana secara signifikan mengganggu prestasi akademis dan aktivitas sehari-hari
yang
membutuhkan
kemampuan
Matematika.
Diskalkulia
juga
didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam Matematika yang dikarenakan
disfungsi neurologis atau kerusakan pada area spesifik di bagian otak (Tajar dan Sharifi, 2011). Menurut DfEs (Department of Education and skills, UK) 2001 (dalam Butterworth, 2003), diskalkulia adalah sebuah kondisi yang mempengaruhi kemampuan aritmatika. Siswa yang mengalami diskalkulia memiliki kesulitan untuk memahami konsep angka sederhana, bermasalah dalam mempelajari prosedur. Kalaupun dapat menyelesaikan dengan benar
atau metode yang tepat, mereka
melakukan dengan mekanis dan kurang yakin dengan jawabannya. Beberapa ahli mendefinisikan diskalkulia sebagai kesukaran aritmetika yang di karenakan terganggunya bagian spesifik pada otak yang menyebabkan lemahnya kemampuan number sense, jadi aspek utama dalam lemahnya kemampuan numerik adalah number sense (Butterworth, 2003; Laderl, 2004; Jordan, Kaplan, Olah, Locuniak, 2006; Von Aster, 2007; Wilson dkk, 2006; Wilson & Dehaene, 2007; Mazzocco & Delvin, 2008; Dehaene, 2011; Dinkel dkk, 2013). Yang disebabkan oleh faktor gentik
dan neurologis (Adler, 2001; Laderl dkk, 2004; Wilson &
Dehaene, 2007; Shalev, 2011), tidak disebabkan oleh faktor sosial seperti lingkungan keluarga (Adler, 2001), gangguan prilaku dan kesehatan, metode pengajaran yang tidak tepat (Butterworth, 2002) serta pengaruh sosial ekonomi (Molko, Cachia, Riviere, Mangin, Bruandet, & Bihan, 2003). Butterworth (2005) berpendapat bahwa, diskalkulia merupakan hasil disfungsi internal dari dasar kognisi numeral. Manusia lahir dengan membawa kapasitas bawaan (innate capacity) untuk memahami dan memanipulasi numerosities,
Kemampuan ini berada pada salah satu syaraf yang terletak di lobus parietal. Dan ketika kemampuan dasar ini gagal berkembang dengan normal, maka menyebabkan kesukaran dalam memahami konsep angka yang berakibat pada proses belajar numerikal. Number sense merupakan kompetesi dasar numerik manusia, yang ada sebelum anak-anak masuk sekolah (Dehaene, 2011). Number sense dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami approximate dan memanipulasi kuantitas bilangan (Wilson & Dehaene, 2007).
Number sense merupakan dasar
representasi kuantitas non simbolik yang ada pada hewan dan perkembangan awal manusia. Pada anak dan orang dewasa,
number sense dihubungan dengan area
spesifik pada otak, yaitu HIPS (Horizontal segment of the intraparietal sulcus) (Wilson, Dehaene, Dobois, & Fayol, 2009). Number sense juga merupakan intuisi tentang kuantitas, yang dapat membedakan dan membandingkan besaran angka, kemampuan dalam menghitung, dan menggunakan operasi Matematika yang sederhana. Selain itu ia merupakan kemampuan untuk mengenali relasi dan operasi antar angka, kelancaran dan fleksibilitas dalam prosedur dan pengoprasian angka (Berch, 2005). Pemahaman dan operasi tentang angka, serta kemampuan untuk menggunakan Matematika dalam kehidupan sehari-hari (Reys, Reys, Mclntols, Emanuelsson, Johansson, & Yang, 1999; Yang, 2002). Kesulitan dalam mengenali kombinasi angka merupakan kelemahan dasar pada number sense termasuk kemampuan dalam memahami prinsip hitungan (Jordan, dkk, 2006).
Beberapa penelitian menemukan, ciri anak diskalkulia adalah kesulitan dalam belajar dan mengingat fakta-fakta Matematika. Kesulitan dalam melakukan prosedur penghitungan, menggunakan prosedur yang tidak matang, cara yang panjang atau kurang efektif dan tingkat kesalahan yang tinggi (Geary, 1993, 2011). Beberapa fakta menunjukkan bahwa siswa diskakulia memiliki masalah dalam kecepatan dalam memproses angka, menghitung, mencocokkan angka, dan prosedur perhitungan (Butterworth, 2003). Anak diskalkulia juga
mengalami kesukaran dalam angka,
lemah dalam subitize atau kemampuan mengenali jumlah dalam satu kelompok tanpa menghitung (Butterworth, 2002; Laderl dkk, 2004; Andersson & Östergren, 2012; Wilson & Dehaene, 2007; Wilson dkk, 2014). Kurang efisien dalam proses perkiraan perhitungan, lambat dalam memilih besaran angka (Laderl, 2004; Rousselle & Noel, 2007, 2008; Wilson & Dehaene, 2007; Wilson dkk, 2014) yang disebabkan karena lemahnya pemahaman makna bilangan atau kemampuan dalam memanipulasi bilangan (Wilson & Dehaene, 2007). Pada orang dewasa, Wilson dan Dehaene (2007) membagi diskalkulia pada tiga tipe yaitu, diskalkulia number sense, diskalkulia verbal, dan diskalkulia spasial atensi. Namun, ketiga tipe ini sulit untuk diterapkan pada anak-anak, karena faktor perkembangan neurologis anak, dan jika terdapat kesukaran maka dapat dikatakan hal tersebut saling berkaitan antar ketiga tipe diskalkulia yang lain. Kemampuan numerik
dasar ada sebelum kemampuan bahasa dan proses
pendidikan formal. Sebelum usia satu tahun anak dapat membedakan objek pada
rasio 1:2 sampai 2:3, (Xu & Spelke, 2000) dan semakin meningkat seiring dengan perkembangan usia dan proses pendidikan anak (Piazza, dkk, 2010). Berdasarkan ulasan diatas dapat disimpulkan bahwa, diskalkulia merupakan kesukaran Matematika yang disebabkan oleh terganggunya salah satu bagian otak yang menyebabkan lemahnya kemampuan numerik dasar atau number sense, yang ditandai dengan lemahnya dalam pemrosesan angka, lemah dalam memahami makna bilangan atau kemampuan dalam memanipulasi bilangan sehingga menyebabkan lemah pada subitizing, kurang efisien dalam proses berhitung, kurang efisien dalam proses perkiraan perhitungan, lambat dalam proses besaran angka. Penyusunan alat skrining ini mengacu pada konsep number sense dari Dehaene (2011),
Komponen kemampuan numerikal dasar (number sense) yang
digunakan untuk skrining diskalkulia adalah kemampuan berhitung, pengetahuan angka, dan aritmetika dasar (Butterwoth, 2003; Jordan, dkk, 2008). Berikut adalah uraiannya: 1. Berhitung Berhitung adalah kemampuan mengetahui jumlah benda dalam satu kelompok. Kemampuan berhitung ini termasuk kemampuan subitizing, yaitu kemampuan mengetahui jumlah dalam kelompok dengan cepat dan tanpa menghitung, pada anak anak dan orang dewasa Biasanya kemampuan ini hanya terbatas pada kurang dari empat aitem dalam himpunan (Trick, Enns, & Brodeur, 1996; Dehaene, 2011; Geary, 2000) dan kemampuan untuk menemukan berapa banyak jumlah benda dalam sebuah kelompok dengan memasangkan satu nama
angka dengan satu aitem. Berhitung merupakan hal yang penting dalam proses belajar Matematika, kesulitan dalam berhitung berhubungan dengan kesulitan Matematika (Dehaene, 2011; Geary, 2000; Jordan dkk, 2008). Kemampuan tersebut tidak tergantung kepada pendidikan formal, Anak-anak telah memiliki kemampuan ini sebelum masuk sekolah (Landers dkk, 2004). Penelitian Willburger, Fussenegger, Moll, Wood, & Landerl, (2008) menemukan bahwa anak diskalkulia lebih lama dalam proses subitizing dibandingkan anak yang tidak diskalkulia. 2. Pengetahuan Angka Pengetahuan angka ini mencakup pengetahuan tentang sense dari urutan angka, hubungan antar angka, besaran angka baik secara simbolik maupun non simbolik. Pengetahuan tentang angka membantu anak berpikir tentang masalah numerik, dan perkembangannya mencerminkan pengalaman awal dengan angka serta pemahanan mengenai arti dari besaran angka. Pengetahuan angka diantaranya adalah kemampuan membandingkan angka (number comparison). Kemampuan membandingkan angka ini tidak tergantung pada pendidikan formal (Xu & Spelke, 2000). Selain itu pengetahuan terhadap angka juga termasuk kemampuan posisi angka terhadap angka lainyang dapat ditunjukkan dengan kemampuan baris bilangan (number line). Kemampuan baris bilangan dibutuhkan dalam
proses
approximate
(memperkirakan),
untuk
memanipulasi
dan
memperkirakan kuantitas. Approximate merupakan kemampuan individu dalam memperkirakan jumlah suatu bilangan yang mendekati jawaban yang benar, tanpa
harus menghitungnya (Dehaene, 2011; Hanich dkk, 2001) kemampuan ini menjadi landasan intuisi Matematika dan berkembang dengan bertambahnya usia dan proses pendidikan (Dehaene, 2011) kemampuan perkiraan atau approximate bebas dari kemampuan bahasa (Dehaene, Spelke, Pinel, Stanescu, & Tsivkin, 1999). 3. Aritmetika dasar Aritmetika merupakan kemampuan merepresentasikan masalah berhitung, seperti kombinasi angka (contoh: “berapa jumlah 3+2?”). Anak-anak usia pra sekolah umumnya masih menggunakan bantuan jari untuk menyelesaikan tugas penjumlahan dan pengurangan (Dehaene, 2011) dan
telah mampu untuk
menggunakan strategi dalam berhitung. Untuk menghitung 2 +3 dimulai dengan kata “dua”. Mereka akan mengucapkan “dua, tiga, empat, lima”. Untuk tingkat yang lebih lanjut mereka mengembangkan strategi dengan memulainya dengan angka yang lebih besar dari dua angka tersebut. Ketika harus menghadapi soal 2+3, secara spontan mereka akan mentransformasikanya ke 3+2. Dehaene (2011) menyebutkan bahwa strategi tersebut adalah standar algoritma yang mendasari perhitungan anak sebelum masuk sekolah formal, tepatnya pada usia 5 tahun. Pada usia 6-7 tahun, anak akan mempelajari perhitungan sederhana seperti 2+3=5, dan bahkan 13-9=3. (Adler, 2001). Selanjutnya anak mulai belajar untuk menggunakan retrieval secara lansung pada kombinasi yang sederhana misal, 1+1 atau 2-1 (Hanich, 2001) sudah dapat menguasai beberapa konsep aritmetika sederhana, sudah mulai meninggalkan berhitung dengan jari dan menggunakan cara yang lebih efisien (Hanich dkk, 2001; Butterworth, 2005). Hasil penelitian Laders dkk
(2004) menemukan bahwa salah satu kelemahan anak diskalkulia adalah defisit dalam mempelajari fakta aritmetika dan prosedur hitungan. Berikutnya adalah proses menterjemahkan konsep teoritik dalam bentuk blueprint, blueprint ini berisi aspek dan indikator dari atribut yang hendak diukur. Blueprint merupakan gambaran skala yang akan dibuat dan yang mendukung proses validitas isi skala (Azwar, 2009). Blueprint dalam penelitian ini sebagai berikut:
No 1
Aspek Kemampuan berhitung
2
Pengetahuan angka
3
Aritmetika dasar
Tabel 1. Blue print alat ukur Indikator Kemampuan mengetahui jumlah benda dalam satu kelompok. Kemampuan berhitung dalam pola linear dan acak. - Subitizing: kemampuan berhitung secara spontan dalam suatu himpunan < 4 - Kemampuan berhitung jumlah aitem dalam sebuah himpunan pada jumlah yang > 4 Kemampuan dalam membandingkan besaran objek baik secara simbolik maupun non simbolik. Approximate, memperkirakan hasil aritmetika sederhana (penjumlahan dan pengurangan) dengan jawaban yang mendekati benar. Kemampuan dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan sederhana.