-
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian kota dikaitkan dengan suatu areal dimana ada atau tej a d i pemusatan penduduk dan kegiatan. Kota sebagai tempat konsentrasi penduduk d m pusat aktivitas perekonomian seperti industri, perdagangan dan jasa, pada dasarnya me-
rupakan sebuah sistem bersifat tidak statis, sewaktu-waktu dapat menjadi tidak teratur dan susah untuk dikontrol (Watt, 1973; Steams dan Montag 1974). Sebuah kota mempunyai fuagsi majemuk, sebagai pusat populasi, perdagangan, pemerintahan, industripmaupun pusat budaya dari suatu wilayah.
Untuk itu sernua
kota periu ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai: ada kawasan pemukirnan, kawasan perdagangan, pemerintahan, industri, sararra-sarana kebudayaan, kesehatan, rekreasi clan lainnya (Sampurno, 199I). Di beberapa negara maju antam lain di Jepang seperti di Teizen Avenue (Sendai), Sungai Kitakami. Tama, Kohoku dan Kyoto, akhir-akhir ini terdapat perubahan cara berf'ikir, menjauhi standar kuantitas menuju rasio persepsi
penghijauan, yaitu standar berdasar pa& efek visual dari penghijauan.
Oleh
karena itu perlu perlindungan dan konservasi penghijauan bagi kota, dengan menanami pohon, semak-semak atao tanaman lainnya. Menurut Rahardjo (1989) pe-mbuhan
penduduk perkotaan dari tahun 1920-1985 meningkat menjadi 22
kali lipat. Jika dibandiigkan sampai dengan tahun 1980 maka perubahan pertumbuhan penduduk perkotaan meningkat 16 kali lipat, pedesaan hmya 3 kali lipat. Kondisi ini telah menimbulkan berbagai masalah seperti lahan pertanian produktif menjadi berkurang dan persoalan pengembangan dan pengelolaan pertumbuhan tahan perkotaan.
Acuan pengembangan kota pada umumnya adalah konsep kota taman yang pada dekade pertama abad ini sudah diterapkan di Eropa (misalnya kota Welwyn di Inggris).
Penrbahm dan kesinambungan yang w a d i berlangsung dalam tiga
kategori yaitu secara perorangan, kelompok dan kelembagaan. Ketiganya wajib dicermati secara holisrik inregratif (sekaligus sebagai komponen yang ti&
terpi-
sahkan). Menurut Soegijoko (1989) konsep kota taman yang dikembangkan oieh Ebenezer Howard di luar daerah terbangun atau di pusat-pusat industri agar orang &pat kembali rnenyatu dengan alam.
Konsep fisik ini hams diimbangi dengan
perencanaan ekonomi, sosial dalam hubungan dengan lingkungannya. kannya pula
Dikata-
bahwa kemudian muncul konsep kota putih yang dikembangkan
oleh Buruham sejak 1893, sebagai kontras terhadap kota industri yang hitam. Konsep ini bercirikan bangunan-bangunan klasik yang indab, ruang-ruang terbuka yang banyak, jalan-jalan bagi pejalan kaki yang indah dan lebar.
Kemudian
mulai timbul gerakan kota indab di Amerika, dengan ciri landmark, monumenrnonurnen, plaza-plaza, jalan setapak dan jalan protokol yang lebar-lebar serta disain-disain skala besar. Isrnailngah (1993) mengernukakan bahwa sifat alamiah seperti hutan sangat menarik. Oleh karena itu konsep kembali ke d a m di perkotaan untuk mengimbangi lingkungan buatan manusia sangat penting.
Hutan dapat memodifhsi
iklirn, rnemberikan pernandangan, estetika yang bermutu, mengurangi pofusi, mensimulasi pikiran, sebagai sumber pendidikan, dan berperan sebagi paru-paru untuk lin-gan
sehat.
Alam merupakan komoditi yang sangat penting untuk
kualitas hidup. Sifat alamiah dapat mernelihara diri sendiri dan mengurangi biaya perneliharaan, serta melestarikan proses ekologi yang sangat penting seperti untuk pelestarian sumber genetik (plasma nutfah) dari keanekaragam tlora dan fauna.
Watt (1973) dan Haeruman (1979) mengemukakan bahwa kalau kota sudah berkembang di luar kemampum sumber alam yang mendukungnya, dilakukan spekulasi pertumbuhan kota, penentuan batas kota yang semakin luas, perpindahan golongan lemah kepinggir kota kemudim diganti oleh golongan yang lebih mampu clan h a t .
Begitu penghasilan penduduk &lam sebuah kota meningkat,
mereka pindah semakia jauh dari pusat kota. Akibatnya keinginan untuk menjaga keindahan kota menjadi berkurang s e h i g g a memudarkan keadaan pusat kota.
Hasil penelitian Duckworth et al. (1954, dalam Watt 1973) menunjukan kesan suhu udara kota yang lebih panas daripada lingkungan disekelilingnya, seolahoIah sebuab p &
panar yang terapung diatas media yang lebih dingin. Peneli-
tian selanjutnya menunjukan bahwa suhu udara maksimum d i sebuab kota biasanya dicapai di daerah padat penduduk yang merupakan pusat kota yang terpanas, yang terendah dicapai di tepi kota, di pinggir pulau pinas.
Kesan pulau panas
terhadap wilayah di tepi kota bergantung kepada besar d m luasnya kota.
Feno-
mena suhu udara kota yang lebih panas di pusatnya menjadi masalah yang sangat penting. Misalnya dalarn dekade 1891-1900 suhu tldara rata-rata per tahun di Los Angeles 1 6 , 7 - ~ . Setelah mencapai dekade 1951-1960 suhu udara rata-rata per
tahun di kota itu meningkat menjadi 1 8 , 4 - ~ . Hasil penelitian Myrup (1969 dalam Watt 1973) menunjukkan faktor yang mempengaruhi suhu udara
kota
antara lain adalah untuk mengurangi pamas dalam kota, ialah bertarnbahnya permukaan di dalam kota yang memudahkan proses penguapan.
Penambahan
h a s pemukaan bagi proses penguapan dari 0,O menjadi 0,s dapat menurunkan suhu maksimum udara dari 3 4 , 6 ' ~ ke 2 6 , 2 * ~(hasil simulasi komputer). Menurut Soeriaatmadja (1979) bahwa implikasi dari hasil ini adalah taman, air mancur jalur hijau dan pohon di pinggir jalan atau hutan kota memberikan kesan
dan peranan yang sangat penting.
Gambar 2. Pusat kota yang lebih panas dan tercemar dari sekitarnya Sumber: Miller ( 1986) Miller (1986) mengemukakan bahwa bangunan beton dan jalan aspal menyerap panas sepanjang hari &n melepaskannya dengan lambat pa& rnalam hari. Pusat kota tidak hanya lebih panas dari pinggir kota, kurang nyaman, mengandung banyak polusi, kurang sinar matahari, kurang angin clan k e l e m b a b a ~ y arendah. Kebisingan adalah s u m yang berlebihan, tidak diinginkan dan sering disebut polusi rak t e r l i h yang menyebabkan efek fisik clan psikologis. Efek fisik berhubungan dengan transmisi gelombang suara melaIui udara, efek psikologis b r hubungan dengan respon manusia terhadap s u m .
Intensitas suara yang dapat
didengar oleh telinga manusia antara 0-120 desibel.
Fakta-fakta berikut ini
memherikan beberapa arti fisik terhadap skala desibel dari tingkat intensitas
suara: 0 desibel sama dengan awal pendengaran, 130 desibel &pat disarnakan awal dari rasa sakit, perubahan 1 desibel dalam Sound Pressure Level (SPL) merupskan perbedaan terkecil yang &pat dikenal, peningkatan 10 desibel dapat
disamakan dengan sekitar dua kali lipat peningkatan kebisingan.
Suara yang
biasa terdengar adalab 40 desibel, lokasi yang tenang di pemukiman malam hari dan 80 dB truk besar atau sepeda motor yang lewat dalam jarak 16 m.
Menurut Leonard (1971) intensitas suara dengan 0 dB menggambarkan permulaan kemampuan mendengar oleh manusia normal, klakson mobil 110 dB, gonggong anjing 92 dB, jalan raya yang ramai 75 dB, pusat pengetikan 72 dB,
kantor yang sibuk 52 dB dan bicara normal 48 dB. Suhu dan angin merupakan variabel iklim yang mempengaruhi penyebaran su-
ara. Jika suhu bervariasi dalam atrnosfir, gelombang suara mengikuti lengkung alur, tidak merupakm garis lurus. Jalur pohon yang menmuti jurusan angin dari sumber kebisingan, akan mengutangi tingkat suara yang sangat besar.
Hasil
penelitian Eam er al. (1986) di Penang menunjukkan bahwa penyebab utama kebisingan bersumber dari kesibukan lalu lintas, kemudian dari para tetangga. ason
=
I
240
PO Po
raa m 140
-
tao
m M 40
w 0
Gambar 3. Rata-rata kadar debu di beberapa kota di Indonesia pada tahun 1983-1992 dalam pg/m3, (Kantor KLH 1992) Jakarta (Jkt), Manado (Mnd), Padang (Pdg), Padang Panjang (PP), Medan (Mdn), Bandung (Bdg)), Palembang (Plg), Kuparlg (K),Banjar Baru (BB), Biak, Cilacap (C)
Jakarta adalah kota penghasil CO dm debu terbanyak jika dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia yaitu 378.200,4 tonltahun dan 7.382,O tonttahun, (Soedomo et al. &lam Kantor KLH, 1992). Pa&
Gambar 3 terlihat
rata-rata kadar debu beberapa kota di Indonesia. Debu atau partikulat terdiri dari bekrapa komponen zat pencemar.
Dalam sebutir debu terdapat unsur-unsur
seperti garam sulfat, ~ u l f u r o ~ d a timah , hitam, asbestos, oksida besi, silika, jeIaga dan unsur kimia lainnya. Pencemaran debu secara langsung &pat menyebabkan kerusakan pada organ pernafasan dan kulit. Bryson dan Wendland (1970) d a m Suriaatmadja (1979) rnengemukakan bahwa perubahan suhu bumi selama
80 tahun terakhir selain dipengaruhi oleh C 0 2 dan sinar matahari juga dipengaruhi oieh debu. Dalam hal ini debu menmnkan suhu burni karena mempengaruhi kejernihan udara menurut model berikut:
T(*c)= -3,545
+ 0,002debu + 0,006 sinar matahari ....... .......
(1)
Ketersediaan lahan untuk hutan kota semakin bersaing dengan sektor pembangunan laionya. Ankara tahun 1985 dan 1988 luasan lahan yang digunakan untuk membangun gedung telah metipat 5,s kali, yakni dari 229,s ha menjadi 1.257 ha. Pembangunan gedung tahun I988 yang terbanyak adalah bangunan tempat tinggal (28%), untuk pendidikan (17,5%) dan perkantoran (17%). Sementara itu sampai dengan tahun 1 9 9 0 telah dibangun 1 , l juta unit perurnahan. Diasumsikan setiap unit rumah membutuhkan lahan rata-rata 100 m2, maka sejumlah rumah tersebut telah menggunakan lahan 11.000 ha. Perkiraan kasar rnenunjukkan bahwa kegiatan industti menggunakan lahan sekitar 0,4 juta ha, hampir 1% dari iahan yang
a&.
Sektor industri juga memperlihatkan perkembangan cepat yang mendorong
meningkatnya penggunaan lahan.
Secara umum ada kecenderungan setiap 1 ha
laban kawasan industri, akan mendorong penggunaan 5 ha lahan bagi kepentingan lain yang berkaitan dengan pengembangan kawasan industri (Kantor KLH. 1992). Masalah limgkungan sosial antara him adalah semakin berkurangnya teqpat rekreasi dam terbuka dan laboratorium alam unhk pendidikan, dan pemandangaa alam banyak yang rusak atau hilang. Dari buku Statistik DKI (1992) dmgan judul Jakarta Dalam Angka, menunjukkan bahwa banyak sekali pelajar dan mahasiswa membutuhkan sarana laboratorium alam untuk pendidikan dan penelitian.
Kakanwil Pariwisata (1987) menyatakan bahwa selain karena tekanan
jumlah dan kepadatan penduduk, meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan baik asing maupun domestik ke obyek-obyek wisata di Jakarta, mendorong pula perlunya dibangun hutan kota, khususnya hutan-hutan kota di lokasi-lokasi tertentu.
I3umaZa
Ekosistem Hutan kota adalah sebuah ekosistem. Odum (1983) mengemukakan bahwa jaringan dari komponen-komponen dan proses yang terjadi pa& hgkungan merupakan sebuah sistem. Sistem lingkungan hidup biasanya meliputi daratan atau
air, misalnya hutan, danau, lautan, lokasi pertanian, perkotaan, regional, desadew dan biosfir dalam keseluruhannya, meliputi kombinasi dari makhluk hidup, siklus kimia, alum air, kornponen-komponen yang a& di bumi dan sebagainya. Komponen-komponennya adalah manusia, manusia sebagai pelaku, unit-unit atau organisasi seperti industri, kota-kota, perubahan-perubahan ekonomi, tingkah laku sosial, transportasi, komunikasi, proses informasi, politik, dan lainnya. Setiap komponen merupakan susbsistem yang kompleks. Subsistem komunitas biologi ditentukan oleh penampilan dari banyak spesis makhluk bidup.
Ekosistem merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan Iingkungannya dimana terjadi hubungan, antar vegetasi, hewan dan segala macam bentulc materi yang melakukan siklus dalam sistem, dan energi yang menjadi sumber kekuatan. Untuk mendapatkan energi dan materi yang diperlukan bagi hidupnya, semua komunitas bergantung kepada lingkungan abiotik. Organisma produsen memer-
Iukan energi, cahaya, oksigen, air dan garam-garam yang semuanya diambil dari lingkungan abiotik. McNaughton and Wolf (1979) mengemubkan bahwa suatu karakteristik linier tentang aliran energi dan zat-zat kimia meialui organisme
disebut rantai makana Energi dan materi dari konsumen tingkat pertama yaitu vegetasi ditemkan ke konsumen tingkat kedua dan seterusnya ke konsumenkonsumen lainnya melalui jaring-jaring rnakanan.
Dengan konsep ekosistem
komponen-komponen lingkungan hidup dilihat secara terpadu sebagai kornponen yang berkaitan dan tergantung satu sama lain dalam suatu sistem. Pendekatan ini disebut pendekatan ekosistem atau pendekatan holistik. Suatu kajian ekologi penting rnengenai bagaimana komunitas tumbuh d m berkembang.
Faktor-faktor yang memegang peranan penting yaitu ketersediaan
bahan pembentuk koloni atau baban penyerbu secara kebetulan; pemilihan bahan yang tersedia &lam lingkungannya dan pengubahsuaian lingkungan oleh tumbuhan. Sejak saat koloni pertama tiba, dari habitat yang gundug dan mulai tumbuh, mereka mulai mengubah lingkungan itu, (Ewusie 1980).
Watt (1973) dan
Haeruman (1992) mengemukakan bahwa a& lima kelompok s u m k r alam yang terdiri dari materi, energi, ruang, waktu clan kanekaragaman. keanekaragaman hayati menjadi perhatian dunia.
Akhir-akhir ini
Kemajuan rehyasa genetika
menumbuhkan pengertian banyak orang terhadap perlunya bahan brrku utamanya yang beranekaragam.
Ekosistem memberikan informasi yang banyak sekali, sangat bermanfaat bagi manusia dan perlu dipelajari agar manusia dapat melakukan sesuatu yang tepat
dalarn pengeblaan lingkungan.
Interaksi diantara komponen ekosistem tidak
hanya w a d i melalui aliran energi dan siklus materi, akan tetapi juga melalui
w
a
n informasi.
Informasi dalam ha1 ini dapat dimmuskan sebagai suatu
simbol atau sebagai indikator tentang sesuatu yang tejadi atau yang ada dimasa
lalu, baik rnasa sekarang rnaupun untuk masa mendatang pada komponen ekosistem, baik secara individu, maupun secara keseluruhan pada sistem itu.
Atas
dasar sistem informasi ini tepat s e w filosofi masyarakat Minang (Navis, 1986)
tentang alam terkembang menjadi guru atau alam tersebut merupakan laboratorium dalam kehidupan . Ekosistem mempunyai keteraturan, berwujud sebagai kemampuan untuk memelihara sendiri, mengatur sendii, serta mengadakan keseimbangan kembali yang disebut dengan homeostasis.
Homeostasis merupakan kemampuan ekosis-
tern untuk menahan berbagai perubahan dalam sistem secara keseIuruhan (Watt
1973). Longman and Jenik (1974) mengemukakan bahwa ekosistem hutan tropis merupakan sebuah sistem yang dinamis, adanya saling ketergantungan antara vegetasi dan hewan dengan berbagai interaksi, ada yang bersaing, bekejasama clan lainnya. Dibawah naungan pohon terdapat perkecambahan, anakan, tumbuh-
tumbuhan yang merambat, epifit, lurnut menutupi potongan kayu dan kotoran, semut yang memakan atau mengisap cairan dalam bunga, burung-burung yang menyebarkan benih, binatang pengwat memakan buah-buahan, herbivora berkeliaran, dan satwa laimya.
Ewusie (1980) mengernukakan bahwa hutan tropika
terkenal dengan perlapisannya. Ini b e r d bahwa populasi campuran di dalamnya
disusun pada arah veaikal dengan jarak teratur secara tak sinambung. Ricklefs dalam Anwar (1984) mengemukakan bahwa hutan tropis mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi, sebagai contoh hutan KaIimantan di Indonesia menurut
Haeruman (1980) mempunyai sekitar 40.000 jenis, terkaya didunia dengan 4000 jenis pohon besar yang penting. Dalam 1 ha terdapat paling &kit
60 jenis,
320 pohonan dengan diameter diatas 10 crn. Vegetasi yang a& dalam hutan ini
tidak menggugurkan daun, kondisinya sangat bervariasi, ada yang sedang ber-
bunga, a& yang sedang berbuah, a& yang dalam perkecambahan, atau berada dalam tingkatan kehidupan sesuai dengan sifat atau kelakuan masing-masing jenis
vegetasi. Pohon-pohon dari komunitas hutan hujan yang m e k a r a g a m , tingginya rata-rata 46-55 m adakalanya secara individu &pat mencapai 92 m, dengan
bent& pohon pada umumnya ramping. Tiuggi pohon tidak sama, seringkali ter&pat 3 lapis pohon-pohon, tetapi kadang-kadang hanya dua lapis.
Vegetasi
bawah pada hutan hujan terdiri dari semak, terna dan sejumlah anakan serta kecambah-kecambab dari pohon.
Disamping itu hutan hujan memiliki tanaman
memanjat dari pelbagai bentuk dan ukuran, serta efipit yang tumbuh pada batang
dan daun. Hutan hujan tropis sangat berstratifikasi, secara garis besar membentuk tiga lapisan yaitu pohon-pohon yang sangat menjulang tinggi, lapisan tajuk
yang membentuk lapisan permadani hijau yang berkesinambungan dengan keting-
gian 80-100 kaki clan lapisan tumbuhan bawah. Samingan (1975) mengemukakan bahwa dalam masyarakat hutan hujan dikenal adanya kelas-kelas atau golongangolongan ekologis yang disebut dengan synusia.
Synusia merupakan golongan
tumbuh-tumbuhan yang mempunyai cara hidup serupa, mendududki niche yang
sama dan memainkan peranan yang serupa dalam komunitasnya. Atau dikatakan pula bahwa synusia adalah sekelompok turnbuhan yang mempunyai tuntutan yang
serupa pa& habitat yang serupa.
Hutan hujan tropis mempunyai synusia yaitu
tumbuhan autotropb (berktorofil) yang berdiri sendiri seperti pepohonan, perdu
dan terna, tersusun ddam lima strata dan tumbuh-tumbuhan yang tidak dapat berdiri sendhi seperti tumbuh-tumbuhan memanjat, pencekik, epifit dan semi parasit. Tumbuh-tumbuhan heterotrof (tidak berklorofil) yaitu =profit dan parasit.
Penghijauan perkotaau rnenrpakan kegiatan pengisian Ruang Terbuka Hijau (RTH), adalah unsur hutan kota dan merupakan sebagian dari ruang terbuka. Penghijauan kota adalah suatu usaha untuk menghijaukan kota dengan melaksana-
kan pengelolaan taman-taman kota, taman-taman lingkungan, jalur hijau dan sebagainya (Dinas Pertamanan DKI, 1978).
Menurut Zoer'aini (1989) faktor-
faktor yang mempengaruhi keberhasiian penghijauan di lingkungan pemukiman terutama a M a h faktm perencanaan yang memperhatikan persyaratan klasifikasi hortkdtura (ekologi) dan klasifikasi fisik dalam pemilihan jenis, faktor pelaksanaan yang sesuai dengan perencanaan, dan faktor pemeliharaan yang rutin secara terus-menerus.
Pelaksanaan penghijauan secara konseptual yaitu perencanaan,
peiaksanaan dan pemeliharaan dengan mepertimbangkan aspek estetika, pelestarian lingkungan dan fungsional (lihat Gambar 4).
Eckbo (1956), rnenyatakan bahwa pemilihan jenis tanaman untuk penghijauan
agar tumbuh dengan baik hendaklah di pertimbangkan syarat-syarat hortikultura, ekologi d m syarat-syarat fisik.
Syarat hortikultura yaitu respon dan toleransi
terhadap suhu, kebutuhan air, kebutuhan dan toleransi terhadap cahaya matahari, kebutuhan tanah, hama dan penyakit, serta syarat-syarat fisik yaitu tujuan penghijauan, persyaratan budidaya, b e n d tajuk, tekstur, warna, aroma.
Hasil penefitian pelaksanaan penghijauan di Jakarta dengan studi kasus Jakarta Selatan (Zoer'aini dan Arwindrast.. 1988) menunjukkan: a.
Jenis yang paling banyak ditanam adalah Acaria auriculifonnis (akasia),
Pterocarpus indicus (angsana), Swietenia macrophyiia (mahoni), Mimusops elengi (tanjung), Filiciwn deciepem (kiara payung), Delonir regia
(flam-
boyan), Lagennomia indica (bungur) dan Polyathia longifoiia (glodogan).
b.
Pernilihan jenis lehih ditekankan kepada tanaman yang mudah diperoleh, mudah tumbuh dan rindang, keanekaragaman jenis rendah.
c.
Aspek pelestarian lingkungan kurang mendapat perhatian, dan kurangnya menanam tanaman praduktif. Sedangkan hasil penelitian di lingkungan pemukiman dengan studi kams
pemukiman Pondok Indah dan Bintaro Jaya (Zoer'aini, 1989) menunjukkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan penghijauan di lingkungan pemukiman Pondok Indah dan Bintaro Jaya ditinjau dari aspek fungsi lansekap, pelestarian lingkungan, es-tetika dan pertimbangan pemeliharaan tanaman yang memenuhi
persyaratan H a s i f h i hortikultura (ekologi) dan klasifikasi fisik diniIai masih kurang.
Pertimbangan pemilihan jenis oieh pengusaha untuk penghijauan di
lingkungan pemukiman Pondok Indah dan Bintaro Jaya umumnya diutamakan tanaman yang memberikan kesan hijau dan rindang, mudah tumbuh, cepat besar, murah, mudah memetiharanya serta bibitnya mudah didapat.
Jenis tanaman
untuk penghijauan pada pemukiman Pondok Indah dan Bintaru Jaya pada umumnya ditmami dengan tanaman yang tidak produktif d m sangat didominasi oIeh tanaman Angsana (daunnya mudah gugur, pertumbuhannya cepat dan susah diatur mudah terserang rayap dan diserang hama).
Kurang adanya komunikasi
antara Pemerintah Daerah, pengusaha pemukiman dengan penghuni, penghuni
banyak tidak mengetahui adanya peraturart tentang penghijauan dari pemerintah
h e r a h DKI. Persepsi rnasyarakat terbadap penghijauan di Jakarta (Zoer'aini, 1990) menunjukkan bahwa hampir semua masyarakat mengetahui dan menyenangi penghijauan Masyarakat sudah terbiasa menanarn pohon dan tanaman laimya, sehingga tidak sukar untuk mengajak masyarakat melaksanakan penghijauan.
Dalam pelaksa-
naan dan pemeliharaan &pat dibina hubungan kerjasama yang jelas antara masyarakat dan pemerintah.
Menurut Grey dan Deneke (1978) penghijauan kota
disepanjang jdan d m sungai, taman-taman kota, taman-taman lingkungan, penghijauan di sekitar bangunan seperti hotel, sekolah, pabrik, kantor,
pekarangan
rumab, semuanya merupakan unsur hutan kota. Pembangunan hutan kota dapat dilaksanakan dengan meningkatkan penghijauan perkotaan baik kuantitas maupun kualitas dengan meniru hutan alam atau ekosistem dam. Grey dan Deneke (1978) mengemukakan bahwa beberapa kota di Arnerika telah banyak menanam pohon yang berfungsi unhk melindungi kota. Pepohonan tersebut ditanam berkelompok disepanjang jalan, pada plaza di sekitar bangunan, ditempat-tempat umum atau tempat pribadi, tempat hisnis, atau indus-
.
Hutan kota meliputi vegetasi berkayu termasuk liigkungan tempat tumbuh-
nya, terdapat mulai dari perkampungan tericeciI hingga kota-kota besar.
Bukan
hanya pepohonan akan tetapi juga dihubungkan dengan tanah yang turut membentuk lingkungan tempat keberadaannya seperti sabuk hijau, pinggir sungai, tempattempat rekreasi dan pinggir jalan.
Hutan kota sering berada di luar batas kota.
Jalur hijau, hutan kota, hutan lindung, dan tanaman urugan tanah, &pat dikatakan sebagai bagian dari hutan kota. Area ini biasanya untuk umum dan berman-
faat untuk berbagai macam kegunaan, serta mempunyai nilai luar biasa untuk
lingkungan kota, yaitu sebagai pelindung mata air, tempat rekreasi, memberikan pemandangan, tempat hiburan, atau sebagai tempat pernbuangan limbah.
Hutan
kota terdapat pada seluruh jenis tempat atau kawasan seperti perdagangan, tanah industri, tanah mil* atau d i kawasan lainnya. Menurut Wirakusumah (1987) kegiatan-kegiatan rnenuju program hutan kota di kota Jakarta sudah dimulai sejak akhi tahun limapuluhan, yaitu pa& saat-saat kampanye gerakan menanami lahan kritis dengan bemacam-macam nama kegiatannya seperti gerakan brantas tanah gundul, gerakan karang kim, gerakan penghijauan dan lainnya.
Hanya karena istilahnya relatif baru rnungkin saja akan
menemui semacam keraguan pada masyarakat.
Begitu pula masalah tata letak
hutan kota terhadap proses polusi, berapa jauh sebaiknya hutan kota dibanguo dari pusat-pusat polutan dan atau berapa jauh dari obyek-obyek yang akan dilindungi serta berapa tebalnya hutan-hutan kota itu harus dibangun. informasi tentang syarat-syarat vegetasi dan jenis yang hams dipi!ih
Termasuk setepat-
tepatnya untuk dikembangkan &lam hutan kota begum sempat digali di Indonesia, hingga merupakan kendala dalarn gagasan pengembangan hutan kota. Dikata3Ean pula bahwa dalam tahun 1963 DPRGR DE;I Jakarta membuat keputusan untuk membangun sabuk hijau melalui gerakan penghijauan sekeliling kota selebar 0,5
krn sepanjang 35 km. Haeruman (1987) rnengemukakan bahwa hutan kota juga terletak jauh di luar batas kota, sepanjang interaksi yang intensif antara penduduk sebuah kota dengan hutan tersebut berlangsung secara terus menerus.
Sebagai contoh Tarnan Hutan
Raya Ir H. Juanda d i Bandung dan Taman Hutan Raya Dr. Muh. Hatta di Padang, dan di Bengkulu sedang dalam taraf pembangunan.
Ekosistem hutan kota
tumbuh secara ekologis sesuai &ngan lingkungan perkotaan, artinya terdiri dari
tegakkan yang berlapis-lapis dimana masing-masing fungsinya meniru hutan alami. Pemeliharaan relatif sedikit, dibandingkan misalnya lapangan olah raga, taman-taman urnum dalam skala luas yang sarna. Secara rinci komposisi tegakan
dalam hutan kota perlu dijabmkan secara teknis dengan pendekatan yang diperlukan sesuai dengan fungsinya antara lain: biologis, estetis, rekreatif, ekologis, fisis, sosial, sebagai cadangan untuk pengembangan RTH dalam pernbangun-
an kota jangka panjang.
Idealnya sebuah hutan kota dapat mencapai kondisi
optimum sebagaimana layaknya hutan yang terbentuk karena peristiwa aiam. Namun sesuai dengan nilai-nilai "urbanity" maka ada keterbatasan dalam pemben-
tukan hutan kota tersebut seirama pula dengan perkembangan kota yang tm-jadi serta berbagai aspek kehidupan yang meoyangkut kehidupan penduduk kota. Haemman (1992) secara lisan mengatakan bahwa kalau hanya berupa kumpulan pohon yang bez-jejer tidaklah dapat dikatakan hutan kota.
Tanaman ymg a&
hams merupakan asosiasi, dimana akan terdapat saling berinteraksi dalam mencapai suatu keseimbangan. Oleh karena itu perlu ditentukan berapa jenis minimum vegetasi yang turnbuh baru disebut hutan kota. Tanaman dalam pot tidak &pat
dikatakan hutan kota, karena jika ti*
ada manusia, tanaman pot itu akan mati.
Hutan kota h a s berinteraksi Iangsung dengan lingkungannya (tanah dan air
tanah). Fakuara er al. (1987) mengemukakan tentang hutan kota, yaitu mang terbuka yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalarn kegunaan proteksi, estetika serta r e k r m i dan laimya.
Menurut Grey & Deneke (1978)
hutan kota rnerupakan kawasan vegetasi berkayu yang luas serta jarak tanamnya terbuka bagi umum, mudah dijangkau oleh penduduk kota clan &pat memenuhi
fungsi perlindungan dan regulatifnya, seperti kelestarian
tanah,
taw
air,
ameliorasi iklim, penangkal polusi udara, kebisingan dan lain-lain.
Jorgensen
(1977 dalam Grey dan Deneke, 1978) seorang yang dianggap pelopor mengemu-
kakan bahwa hutan kota meliputi lahan minimal ditetapkan 50-100 hektar, jarak lokasi hutan kota dapat dicapai dengan bejalan kaki dari pusat pemukiman penduduk padat; jarak sama yang ditempuh dari titik akhir jaringan transportasi umum atau setara waktu yang diperlukan pejalan kaki apabila ia bersepeda dan harus terbuka bagi umum. Linglcungan mempengarubi vegeiasi, begitu pula vegetasi besar pengaruhnya
terhadap lingkungan. Watt (1973) mengemukakan bahwa asosiasi spesis tumbuhan dimanapun di bumi i~ dasarnya ditentukitn oleh tiga faktor lingkungan yaitu: suhu, curah hujan dan kelembabau udara. Asosiasi ini ditentukan oleh modifikasi
-
karena pentbahan suhu, curah hujan, kelembaban, dan modifikasi azonal, seperti
angin yang keras searah. kabut tebal, pola curah hujan menurut musimnya.
Andreson (1975) dalam Grey dan Deneke (1978) mengemukalcan bahwa
hutan kota di negara bagian New York terdiri dari barisan pepohonan di sepanjang jalan, gerombol vegetasi di taman-taman, termasuk jalur hijau di pinggir kota, menyambung ke d a d hutan di Catskills, Adironacks dan Allegheny Highlands.
Grey & Deneke (1978) mengemukakan bahwa hutan kota meliputi
vegetasi sepanjang jalari, danau, empang, hijau sepanjang sungai, padang pengembalaao. Kawasan hutan kota minimum 0,4 ha, jika berbentuk jalur minimum
30 m Iebarnya. Hutan kota meliputi taman-taman, tepi jalan, jalan tol, jslan
kereta api, bangunan umum, iahan-Iahan yang terbuka, kawasan p a d a g rumput, kawasan luar kota, kawasan pemukiman, kawasan perdagangan dan kawasan
-
i n d h . Booth (1979) mengemukakan bahwa jalur hijau dengan lebar 183 meter
dapat mengunngi pencemaran udara sampai 75 %. 1
Shuktur hutan kota ditentukan oleh keanekaragaman vegetasi yang ditanam,
sehingga terbangun hutan kota yang berlapis-lapis clan berstrata baik secard vertikal maupun horizontal yang meniru hutan alam. Michael (1986) mengemukakan bahwa aspek-aspek sh-uktw vegetasi secara garis besar ditentukan oleh bentuk pertumbuhan vegetasi, ukuran, bentuk tajuk, fungsi dam, ukuran clan tekstur daun. Bentuk pertumbuhan vegetasi dapat dibagi menjadi empat kelompok utama yaitu yang berbenhik pohon adalah turnbuhan berkayu yang mempunyai satu batang dan bercabang-cabang, mempunyai ketiiiggian diatas 8 m. Ketinggian h i yang membedakan pohon dengan semak-semak (shrubs). Semak-semak mempunyai beberapa batang, dan umumnya mempunyai ketinggian dibawah 8 m. Bentuk yang lain adalah herba yaitu tumbuhan yang tidak berkayu, dm tegak. Terakhir adalah bryoids yang terdiri dari seperti lumut, paku-pakuan, cendawan. Ukuran dibagi berdasarkan tinggi vegetasi.
Bentuk dm ukuran daun adalah
besar, lebar, menengah, kecil, seperti jarum, rumput-rumputan dan campuran. Tekstur daun ada keras, papery dan sukulen. Coverage biasanya sangat beragam, a& tumbuhan yang sangat tin&
dengm penutupan horisontal dan luas, relatif
dapat sebagai penutup, ada menyambung, dan terpisah-pisah. Penutupan tumbuhan merupakan indikasi dari sistem akar di &lam tanah. Sistem akar sangat penting dan mempunyai pengamh kompetisi pada faktor-faktor ekologi. Hutan alam tropis menampilkan tigrt lapisan pohon.
..
Menumt Samingan 1975; Ewusie,
1980; Longman dan Jenik, 1974 dan Goley 1983 lapisan pohon dan lapisan
lainnya yang berdiri sendiri seperti belukar perdu, terna sebagai berikut: 1. Paling atas (stratum A). Terdiri dari pepohonan setinggi 30-45m, yang mun-
cul keluar mencuat tinggi diatas sudur hutan, bertajuk lebar, dan umumnya 1
tersebar sedemikian rupa sehingga tidak saling bersentuhan membentuk lapisan yang berkesinambung. Bentuk khas tajuknya kring dipakai untuk mengenali spesis dalam suatu wilayah. Pepohonan yang mencuat sering berakar agak dangkal dan berbanir. 2. Lapis pepohonan kedua (stratum B), dibawah yang mencuat. Ada kaianya
disebut juga sebagai tingkat atas terdiri dari pepohonan dengan ketinggian 18 - 27 m. Pepohonan ini tumbuh berdekatan dan cenderung membentuk su-
dur yang bersinambung. Tajuk sering membulat atau memanjang dan tidak selebar pa& pohon yang mencuat (stratum A). 3. Lapis pepohom ketiga (stratum C), dinamakan juga tingkat bawah. Terdjri
dari pepohonan yang tumbuh sekitar 8-14 m, cendemng rapat dan tegak. 4.
Lapisan belukar (stratum D), terdiri dari spesis berkayu dengan ketinggian sekitar 10 m. Ada dua bentuk belukar yaitu yang mempunyai percabangan dekat ke tanah, tidak mempunyai sumbu utama dan yang menyempai pohon kecil, mempunyai sumbu yang jelas.
Sering mencakup pohon muda dari
spesis pohon yang lebih besar.
5. Lapisan terna (stratum E), terdiri dari tumbuhan kecil, merupakan kecambah (anakan) dari berbegai vegetasi. Biasanya terna tidak banyak dan tergantung kepada seberapa banyak sinar matahari yang tembus. Perlapisan vertikaf komunitas hutan mempengaruhi sebaran populasi hewan yang hidup dalam hutan. Beberapa jenis b w n g d a m kehidupannya dan pencarim makanannya terdapat pada pepahonan yang mencuat tinggi, pada lapisan
p
yang lebih rendah terdapat herbivor mamalia seperti bajing, lemur. Di tengah lain clan pa& lapisan bawah (dasar) terdapat hewan dasar hutan seperti rusa. 1
Vegetasi mempunyai nilai keindahan bagai masyarakat semenjak dulu. Bangsa Mesir, Persia, China, dan Romawi menggunakan tumbuhan unnrk mengatasi
situasi yang tidak menyenangkan. Mereka menggunakan pepohonan untuk kein-
dahan, pembuatan taman-taman formal dan menambah keindahan puri-pun mereka. Perkembangan budaya seianjutnya rnenggunakan pohonan sebagai pelengkap patung-patmg dan membagi suatu lansekap dengan bangunan. Kemudian berkem bang ilmu tentang perawatan tanaman. Transplanting tanaman mulai berkembng di Mesir sejak 1500 sebelum Masehi (Chadwick, 1970 dalam Grey and Deneke 1978). Selanjutnya ilmu ini berkembang dengan munculnya taman botani yang a&
kaitannya dengan pendidikan hortikultura clan arborikultura dan terns
berkembang sesuai dengan perkembangan perawatan tanaman. Munculnya ideide baru datam perancangan tempat tinggal dan perancangan lansekap. Menurut Zube (1973) dalam Grey dan Deneke sejak tahun 1800 ruang terbuka di London
dan di sepanjang Boulevard di Paris ditanami dengan pepohonan yang lebat clan padang rumput. Banyak rumah-rumah dikelilingi pepohonan sehingga menimbulkan kenyamanan, lingkungan sehat dan estetis. Kenyamanan berhubungan dengan tingkat aktivitas seseorang, pakaian, suhu udara, kecepatan udara, suhu radiasi, dan kelembaban (Mount, 1979). Menurut Mudiyarso clan Suharsono (1992) kondisi yang nyaman adalah apabila sebagian energi manusia dibebaskan untuk keja produktif dan usaha pengatwan suhu
-
tubuh berada pa& kota merupakan kebutuhan bagi setiap penghuninya. Oliver
(1981) menghitung kenyamanan secara kuantitatif digunakan THI (Temperature Humidity Index) yang dimmuskan secara empiris: THI = Td - (0,55
- 0,55 RH)(Td - 58)
...............................
(2)
dimana Td= suhu bola kering dan RH= kelembaban. antara 61
-
Indeks kenyamanan berkisar
71. Diatas 71 orang sudah merasa tidak nyaman.
Sani, (1986)
menghitung Indeks Kenyamanan (IK) dengan rumus:
IK = 0,7(TWB)+0,2(TG)+O,I(TDB)
..................................
(3)
dimana TWB= suhu bola basah; TG= suhu termometer globe; TDB= suhu bola k e ~ g
Iklim ideal kenyamanan manusia menurut Laurie (1984) adalah udara yang bersih. dengan suhu a n m a 10° - 26,7OC, kelembaban antara 40
- 7 5 % , udara
yang tidak terperangkap dan angin tidak kencang serta terlidung terhadap hujan.
-
Meskipun iklim pa& dasarnya tidak dapat d i i b a h , tetapi iklim pada suatu bagian lahan tertentu &pat dipengaruhi dengan mudah dan dirubah oleh perancangan. Menurut Simonds (1983) kenyamanan &pat terpenuhi oleh bentuk. ruang, atau tataruang, susunan, warna, simbol, s u m , kualitas cahaya, keharuman dari sesuatu yang digunakan, dan sebagainya yang merupakan satu kesatuan yang harmonis
dari berbagai variasi, memenuhi kepuasan, keperluan, atau keinginan sesorang dan merupakan resultan kualitas dari keindahan. Menurut Robinette (1983) zone nyaman di dapat dari menganalisa hubungan suhu udara dengan 3 variabel iklim yaitu rata-rata suhu radiasi matahari, kelembaban dan angin. Zone nyaman sa-
..
ngat bervariasi tergantung kepada kesukaan manusia sesuai dengan karakteristik fisik, psikofogi dan aktifitas seseorang.
Ada dua kriteria untuk mendapatkan
kenyamanan yaitu menciptakan zone nyamaa berdasarkan preferensi termal dan aktifitas seseorang dan menerima kondisi iklim yang a& serta mencari metoda untuk mengubah zona nyaman agar sesuai dengan iklim. Tigkat kenyamanan manusia selain tergantung kepada suhu, kelembaban dan angin juga tergantung
dari usia, kebudayaan, aktivitas dan preferensi berbagai oraog dalam lingkungan. Sering juga ditentukan oleh adaptasi dan daya tahan manusia. Kenyamanan dapat didesain pada batas-batas tertetu dengan menggunakan vegetasi, dan memodifka-
si aspek-aspek suhu u h , kelembaban, radiasi atau angin. Sejak jaman nenek moyang di Indonesia, pekarangan rumah ditanami dengan berbagai jenis tanaman, mulai dari yang memanjat, semak, rerumputan atau penutup tanah, pepohonan, bunga-bungaan dan hewan ternak. Semua ini maksudnya agar dapat memetik hasilnya setiap saat bila diperlukan, diberikan ke tetangga atau dinikmati kesejukan dan keindahannya sehingga memberikan kenyamanan fi-
sik dan sosial (Zoer'aini, 1979). Menurut Soemarwoto (1983) pekarangan mempunyai fungsi ganda yang rnerupakan integrasi antara fungsi dam dengan hngsi untuk memenuhi kebutuhan sosial, budaya dan ekonomi manusia. Fungsi ganda berupa hidrologi, pencagaran sumberdaya genetis (plasma nutfah), efek iklim mikro, sosial, dan produksi. Elemen-elemen ikiim utama yang sangit mempengaruhi kehidupan adalah cahaya matzlhari, suhu udara, angin dan kelembaban.
Interaksi dari keempat
elemen iklim &pat memberikan kenyamanan, kepanasan, kedinginan atau biasa. Pepohonan, semak-belukar, dan rerumputan dapat merubah suhu kota.
Daun-
daun &pat mengintersepsi, refleksikan, mengabsorbsi dan menptransmisikan si-
.,
nar
matahari. Efektifitasnya tergantung kepada misalnya spesis yang rindang,
banyak daun, cabang maupun ranting.
Setiap spesis mempunyai bentuk karakteristik, wama, terkstur dan ukuran. Vegetasi dapat membentuk ruang, sebagai pembatas, pengatap dan pelantai. Vegetasi &pat merubah ruang luas menjadi lebih sempit, dan rnemberikan suasa-
1
na yang sunyi dan nyaman. Pohon dan semak dapat digunakan untuk rnencipta-
kan latar yang unik ddam proses pembentukan ruang. Vegetasi dapat digunakan sebagai penghubung. Pepohonan dapat memberikan kesan ruang tiga dimensi, menutupi pemandangan yang kurang bagus. Vegetasi sangat bemanfaat untuk merekayasa masalah lingkungan di perko-
taan. Selain merekayasa estetika, mengontrol erosi dan air tanah, mengurangi polusi udara, mengurangi kebisingan, mengendalikan air limbah, mengontrol lalu lintas, dan cahaya yang menyilaukan, serta mengurangi pantulan cahaya, mengurangi bau. Robinatte (1972) dalam Grey dan Deneke (1978), mengemukakan berbagai sifat tumbuhan yang khas dan pengmh-pengaruhnya dapat menolong mernecahkan masalah-masalah teknik yang berhubungan dengan lingkungan yaitu
-
daging dam yang mengurangi bunyi; ranting-ranting yang bergerak dan bergetar untuk menyerap dan menutupi bunyi-bunyian.
Pubescence diatas dam untuk
menjebak dan menarik partikel-partikel air; stomata daun-daun untuk mengganti gas-gas. Kumpulan bunga dan dedaunan yang mernberikan bau sedap ulltuk mengurangi bau busuk. Daun dan ranting-ranting untuk memperlambat angin, dan curahan hujan. A k a yang menjalar untuk menahan erosi tanah. Daun-daun tebal untuk menghalangi cahaya. Daun-daun tipis untuk menyarihg cahaya serta ranting-ranting berduri untuk menghalangi gerak-gerik manusia.
Menurut Eckbo
(1964), Grey dan Deneke (1978), Sani (1986), Fakuara (1987), Zoer'aini (1989)
.
fungsi hutan kota tergantung kepada fungsi vegetasi dm dapat dikelompokkan
f
menjadi: (lihat Gambar 3)
P
Funes~ - laFungsi lansekap meliputi fungsi fisik dan fungsi sosial antara lain: Vegetasi sebagai unsw struktural berfungsi untuk perlindungan terhadap kondisi fisik alami sekitarnya terhadap angin, sinar matahari, pemandangan yang kurang bagus dan terhadap bau. Penggunaan dalam unsur struktur ini ditentukan oleh ukuran, ben-
tuk kerapatan vegetasi. Hutan kota dengan aneka vegetasi mengandung nilai-nilai ilmiah sehingga dapat sebagai laboratorium hidup untuk sarana pendidikan dan penelitian. Fungsi kesehatan (hygiene), misalnya untuk terapi mata dan mental serta fungsi rekreasi, olah raga, dan tempat interaksi sosial lainnya. Rekreasi erat kaitannya dengan estetika dan merupakan bagian dari hidupnya manusia, yaitu berbagai kegiatan untuk mencari kesegaran mental dalam rangka memperbaiki semangat seseorang, yang menimbulkan inisiatif dm perspektif kehidupan sehingga siap kembali untuk bekerja keras (Douglass, 1970). Fungsi sosial politik ekonomi, misalnya untuk persahabatan antar negara. Hutan kota dapat memheri-
kan hasil tambahan secara ekonorni untuk kesejahteraan penduduk seperti buahbuahan, obat-obatan sebagai warung hidup dan a p t & hidup.
Dalam pengembangan lingkungan fungsi lingkungan diutamakan tanpa mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi menyegarkan udara dengan mengambil C02 dalam proses fotosintesis dan menghasilkan 0 2 yang sangat diperlukan bagi
makhluk hidup untuk pemrtfasan.
Kriedemann (1977) mengemukakan bahwa
fotosintesis adalah suatu proses mendasar yang sangat penting untuk tanaman hortikultura, karena 90-95 % dari berat basah tanaman merupakan hasil langsung
. dari aktivitas fotosintesis.
6 C02 + 6 H20
sinar matahari
- - - - - - - - - - ->
C6H1206+602 .....(4)
khlorofil enzim Fotosintesis adalah suatu proses metaholisme turnbuh-tumbuhan berhijau daun yang sangat dinamis, tanggap terhadap panjangnya h& dan faktor-faktor iklim. Kemampuan melepaskan 0 2 tergantung kepada tumbuhan hijau yang mempunyai chlorofil tinggi, dan laju fotosintesis tinggi dengan titik kompensasi cahaya rendah. Monteith (1990) mengemukakan bahwa fotosintesis pada tanam-
an yang tumbuh normal akan menggunakan semua C02 pada lapisan 30 meter diatas tanaman dalam sehari. Odum (1976) menunjukkan bahwa produktivitas daripada efisiensi fotosintesis menjadi penting untuk kelangsungan hidup populasi tumbuhan. Menurut Grey and Deneke (1976) setiap tahun vegetasi di bumi ini mempersenyawakan sekitar 150.000 juta ton C02 dan 25.000 juta ton bidrogen dengan membebaskan 400.000 juta ton 0 2 ke atmosfu, serta menghasilkan
-
450.000 juta ton zat-zat organik. Setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg C02 yang ekuifalen dengan C02 yang dihembuskan oleh tufas manusia sekitar
200 orang dalam walctu yang sama sebagai hasil pernafasannya. 0 2 sebagai hasil fotosintesis sebagian dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan untuk berjalannya proses respirasi (pernafasan). Pada proses respirasi justru memerlukan 0 2 dan menghasilkan C02. Seperti yang dikemukakan oleh Soemanvoto (1991) bahwa pada fase pertumbuhan, tumbuhan atau sekumpulan tumbuhan seperti hutan, laju fotosintesis (P) lebih besar daripada proses pemafasan (R), sehingga PIK = > 1. Pada fase ini laju pengikatan C02 lebih besar daripada laju ernisi C02, sehingga
..
hutan mengurangi kadar C02 dalam atrnosfir. Akan tetapi makin besar hutan, semakin banyak daun yang ternaungi dan semakin besar pula proporsi bagian
FUNGSIONAL lansekap)
Peneduh, pembataslpenqarah, pembentuk ruang, 'pewangi' , perlindungan, pengindah, rekreasi, pendidlkan, sosbudl sosek/politik, kesehatan:
Warna, bentuk, terkstur: tajuk daun, batangl cabanq/akar buahlbunqa, aroma
KONSEPTUAL: Perencanaan Pelaksanaan Pe~elibaraan
PENGBIJAUAN yang memenuhi aspek PELESTARIAN keseinbangan ekologis, edapis/penyetinbang alau, 010-hidrologi, ikliu nikro
- PUNGSIONAL (fung- PELESTARIAN LINGKrmGAN (ekologis)
- KLASIPIKASI HEHILIE JENIS
1. Bortikultural/ekologikal:
- Syarat tumbuh dan toleransi -
terhadap: suhu, air, hama, penyakit,cahaya, tanah, anqin, peaanqkasan, pencemaran Sifat penyebaran bunqalbuah Sifat adaptasi, perbanyakan, pemindahan, qugur daun
2. Pisik: Tujuan, ukuran dewasa, kecepatan tunbuh, sifat ueur, bentuk tekstur, warna, aroma, syarat budidaya.
Gambar 4. Model penghijauan yang konseptual di perkotaan (modifikasi dari Zcxr 'aini, 1989)
t
I
tumbuhan yang kurang mengandung klorofil seperti batang dan akaz. Dengan demikian nisbah P/R semakin mengecil, akhirnya akan mendekati 1. Bila tumbuhan atau hutan itu mencapai keseimbangan dinamik, maka laju pengillatan C02 sama dengan laju pelepasan C02. Begitu pula tumbuhan yang muda biasanya P/R > 1, semakin tua tumbuhan P/R semakin mendekati 1.
Monteith (1973), Mudiyarso dan Suharsono (1992) mengemukakan bahwa kelembaban udara menunjukkan kandungan uap air di atmorfir pada suatu saat dan waktu tertentu.
Kelembaban udara berhubungan dengan kesetimbangah
energi dan merupakan ukuran banyaknya energi radiasi berupa panas laten yang dipakai untuk menguapkan air yang terdapat dipermukaan yang menerima radiasi. Makin banyak air yang diuapkan, makin banyak energi yang berbentuk panas laten dan makin lembab udaranya. Uap air di atmosfir bertindak sebagai pengatur panas (suhu udara) karena sifatnya dapat menyerap energi radiasi matahari gelombang pendek maupun gelombang panjang. Monteith dan Unsworth (1990)
- mengemukakan bahwa kelembaban nisbi
adalah perbandingan tekanan uap air
aktual terhadap tekanan uap jenuh pada suhu yang sama.
Evaporasi dipengaruhi oleh suhu dan merupakan pertukaran antara panas Iaten dan panas terasa (sensibel). Tanaman yang tinggi laju evapomspirasinya lebih
besar. Kehilangan panas karena tejadinya evaporasi akan menyebabkan suhu disekitar tanaman menjadi lebih sejuk. Menurut Grey dan Deneke (1976) pepohonan dengan vegetasi lainnya dapat memperbaiki suhu kota melalui evapotransp h i . Sebatang pohon yang terisolir akan menguapkan air sekitar 400 literthari, jika air tanah cukup tersedia (Krainer dan Kozlowski, 1970) dan (Federer, 1970).
. - Untuk
mengurangi pengaruh berkurangnya kelembaban udara perlu diadakan
penghijauan dengan penghutanan, taman-taman, air mancur, RTH, situ-situ dan
rawa. Kota yang berkembang memakai energi lebih banyak, menyebabkan udara bertambah panas yang memerlukan kelembaban udara dari pepohonan atau hutan kota, (Issoewandhono 1987). Hasil penelitian Sani (1986) menunjukkan a&
1
suhu di l u x dan di dalam taman kota kecil sebesar 4 , s ' ~di Kualalumpur. Vegetasi selain sebagai produsen pertama dalam ekosistem juga &pat axnciptakan ruang hidup (habitat) bagi makhluk hidup lainnya. Sebagai contoh bang.
B w n g sebagai komponen ekosistem mempunyai peranan penting,
diantaranya adalah mengontrol populasi serangga, membantu penyerbukan hunga dan pemencaran biji. Kehadiran burung di kota mempunyai arti penting sebagai penyerbuk bunga dan pemencar biji, sangat penting artinya dalam membantu proses regenerasi hutan.
Hampir pada setiap bentuk kehidupan terkait erat
dengan burung, sehingga burung mudah dijumpai di beberapa tempat. Dengan kondisi tersebut diduga bunrng &pat dijadikan sebagai indikator lingkungan, karena apabila terjadi pencemaran lingkungan, burung merupakan komponen
alam terdekat yang terkena pencemaran.
Burung berperanan dalam rekreasi
alarn, ini terbukti dengan adanya taman burung yang selalu dikunjungi orang, untuk menikmati bunyi, kecantikan ataupun kecakapan burung. Burung mempunyai nilai pendidikan dan peuelitian. Keindahan burung dari segala yang dimilikinya akan memberikan suatu kenikmatan tersendiri. Tabel 2 terlihat bahwa berbagai jenis burung
mernerlukan krbagai jenis makanan. Komposisi dan
struktur vegetasi akan mempengaruhi jenis dan jumlah burung melakukan akfivitas. Hal ini disebabkan karena tiap jenis burung mempunyai niche yang berbeda.
Banyak yang dapat dipelajari dari burung, antara lain ide membuat dan pengembangan model pesawat terbang didhami oleh morfologi burung. Dengan adanya b a n g dalam hutan kota &pat dijadikan sarana untuk lebii mencintai alam.
.)
Tabel 2. Berbagai jenis makanan untuk berbagai jenis burung No. Jenis makanan
Jenis burung
1. Biji-bijian : Geooelia striatg, Str~otooeliachinensis 2. Biji-bijian, serangga : Lonchura leucoaastroides, Passer montanus 3. Buah, serangga : griolus chinensis, Pvcnonotus cafer, Pvcnonotus aoiavier 4. Buah benalu, serangga : Dicaeum triaonostiama, Dicaeum triaoleum 5. Madu, serangga : Aethooyga mvstacal~s,Anthreotes malacensis, Nectarinia juaulariz. 6. Serangga : Aeaithina tiohia, Coosvchus saularris, Dendroc~ u s macei, Dendrocooos moluccensi s, Dicrurus macrocercur, Dicrurus leucoohaeus, Hemious hirun*dinaceus, Lalase niarg, Muscicaoa banvumas Orthotomus seoium, Qrthotomus sutorius, & , Pericrocotus cinnamomeus, aaenicoohaeus rurv~rostris,Prinia familiaris, Rhioidura .iava: , 70steroos oaloebrosa, Locustella certhiola 7. Serangga, katak bnius schacib.. 8. Ikan, katak, serangga : Halcvon chloris 9. Ikan kecil : Alcedo menintinq, Arachnothera lonairostris
Sumber: Hernowo dan Prasetyo (1989) Kemampuan areal menampung burung ditentukan oleh luasan, komposisi dan struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem dan bentuk areal. Pembangunan ben-
tuk, struktur hutan kota pada lokasi yang dapat mengundang burung, dapat dijadikan sarana p e n d i d i dan penelitian agar lebih mencintai alam dan lingkungan.
Hasil penelitian Kusnadi (1983) dalam Hernowo (1989)menunjukkan jumlah dan jenis burung semakin meningkat dengan bertambahnya jarak dari pusat kegiatan industri. Pada jarak 1 km dijumpai 32 jenis,jumlahnya 1.012 ekor; jar& 2 km
..
terdapat 46 jenis dengan jumlah 1.123 ekor dan jarak 3 km terdapat 52 jenis dengan jumlah 1.309 ekor.
Tabel 3.
Penyebaran persinggahan burung menurut s t r a t a pohon Strata
J e n i s burung Tajuk Tengah t a j u k
Pangkal t a j u k
Bawah
Alap-alap burung Jalak ungu Cipo Gelatik Dedet
Burung madu kelapa Bentet Kutilang Kucica Kepodang Sumber: Mulyani (1985) Dari Tabel 3 tedihat bahwa ada burung yang mempunyai kebiasaan berada mulai dari tajuk sampai kebawah tajuk. Ini menunjukkan bahwa bila hutan kota mem-
punyai komposisi banyak jenis, berlapis-lapis dan berstrata akan memikat banyak burung.
-
Fungsi hutan kota lainnya sebagai penyanggah dan perlindungan permukaan tanah dari air hujan dan angin untuk penyediaan air tanah dan pencegahan erosi. Fungsi pengendalian atau mengurangi polusi udara dan lirnbah, menyaring debu, meredam kehisingan. Bianpoen (1977) mengemukakan bahwa tumbuh tumbuhan dapat mengurangi debu, dengan tajuk yang rindang sehagai berikut: a. Sebidang tanah seluas 300 x 400 m2 dapat menufunkan kadar deb" dalam udara dari 7000 partikeyliter menjadi 4000 partikel /liter. h.
Anma ujung-ujung suatu jalur hijau sepanjang 5km dengan lebar 2 km konsentrasi debu menurun dengan perbandingan 50:3.
.-
Berbagai hasil penelitian laimya menunjukkan bahwa vegetasi dapat menga kumulasi berbagai jenis polutan. Penelitian Wargasasmita er al. (1991) menunjukkan bahwa tumbuhan dapat mengakumulasi Pb pada daun dan kulit batangnya.
Tabel 4.
Rata-rata konsentrasi Pb (pg/g) pada k u l i t batang dan daun dari 10 jenis tumbuhan tepi jalan di Jakarta Rata-rata
No.
Kontrol
Jenis tumbuhan daun
1. Akasia 2. Angsana 3. Asam jawa 4. Asam landi 5. Bungur 6. Cemara 7 . Flamboyan 8. Glodogan 9. Mahoni 10. Kiara payung
Sumber:
batang
daun
batang
76,l 321,7 28,8 94,2 99.0 221,6 56,2 72,2
249,l 77,9
Modifikasi dari Wargasasmita e t a 7 . (1991)
Terbukti dari hasil penelitian itu bahwa kandungan Pb lebih banyak pada tanaman di tepi jalan dibandingkan dengan kandungan Pb pada tumbuhan sejenis, di lokasi yang jauh dari pinggir jalan (lihat Tabel 4). Jahja Fakuara er al. menemukan
- dalam penelitiannya bahwa Cassia siamea (johar),
Pithecellobiurn duke (asam
landi), dan Swierenia mucrophylia (mahoni) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap Pb. Badri (1986) mengemukakan bahwa tumbuhan merupakan indikator dari pencemaran logam berat. Hasil penelitiannya manunjukkan bahwa Axonopus compressus, Acalypha wilkesiana dan Pterocarpus indicus dapat menyerap logam berat seperti Zn, Pb, Cu dan Pb. Hasil penelitian Dahlan (1989) menunjukkan bahwa kandungan Ph jerapan dan Pb ' serapan sangat bervariasi menu-rut jenis daun. Daun tanaman Agathis Alba (damar), Bixa orellanu (kesumba), Filicium decipiens (kiara payung), Swieteniu macrophylia (mahoni), Podocarpus imricam Gamuju) dan Myristicafragruns (pala) mempunyai potensi yang . ?
tinggi sebagai pereduksi Pb. Sedangkan daun pohon pala, jamuju, kupu-kupu,
damar, kesumba, mahoni dan kirai payung mempunyai kemampuan untuk mereduksi Pb yang tinggi-sedang, daun pohon kupu-kupu mempunyai kemampuan penyerapan relatif lebih rendah. Penelitian Misawa et al. (1993) studi sabuk hijau terhadap kualitas udara dengan enam jenis tumbuhan yaitu Pa-sania edulis, Quercus myrsinaefolia. Mirica rubru; Ilex integra: Ilex rotunda dan CIypromeria juponica dengan berbagai bentuk shuktur jalan. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyerapan partikulat sangat tergantung kepada jenis spesis tumbuhan itu dan juga tergantung kepada struktur jalan (lihat Tabel lampiran 14). Oleh karena itu sebaiknya agar penyerapan partikulat sebanyak mungkin, perlu dikembangkan struktur jalan dan penutupan jalan dengan sabuk vegetasi. Grey dan Deneke (1976) mengemukakan bahwa a& beberapa tumbuhan tertentu &pat menyerap polutan tertentu. Seperti sebagian spesis kayu manis dan "yellow birch" dapat menyerap sulfur dioxide. Ahli dari Rusia, Robinette (1972) menun:ukkan hasil penelitiannya, bahwa ling-
- kungan pabrik dengan luas 500 m lahan hijau dapat menurunkan sekitar 70% sulfur dioxide dan 67 % nitrit oxide. Demikian pula Stevenson (1970 dalam Grey dan Deneke 1978) mengemukakan bahwa hutan &pat menyerap ozon sekitar
80%, dan pohon yang tinggi akan menyerap lebjh banyak dari pohon yang rendah. Seberapa jauh tingkat kebisingan dapat dikontrol oleh vegetasi terganhmg kepada jenis spesis, tinggi tumbuhan, kerapatan, dan jarak tumbuh; faktor iklim yaitu angin, kecepatan, suhu dan kelembaban; properti dari suara yaitu tipe, asal, tingkat desibel, dan intensitas suara. Gelombang suara diabsorbsi oleh daun-
daun, cabang-cabang, ranting-ranting dari pohon dan semak. Telah dipostulasi-
kan bahwa bagian tanaman yang paling efektif untuk absorbsi suara adalah bagian . ?
yang memiliki daun tebal, berdaging dengan banyak petiole.
Kombinasi ini
memberikan tingkat fleksibilitas dan vibrasi tertinggi (Robinette 1972, dalam Grey dan Deneke 1978). Suara juga didefleksi dan direfraksi oleh cabang yang lebih besar dan batang pohon. Diduga hutan &pat rnereduksi sum pa& tingkat 7dB setiap 30 m dengan jarak dan frekuensi pada sekitar 1000 CPS (Embleton, 1963 daiam Grey dan Deneke 1978). Hail penelitian Bianpoen er al. (1988) menunjukkan bahwa kadar debu, kebisingan maupun suhu di dalam taman lebih rendah. Cook dan Van Haverbeke (1971) mengemukakan hasil studi oleh School of Engineering di Universitas Nebraska, Rocky Mountain Forest, Range Experiment Station, dan di hutan Amerika dengan hasil sebagai berikut: 1. Pengurangan kebisingan yang disebabkan oleh kendaraan yang berkecepatan
h g g i dan truk di daerah pedesaan dicapai hasil terbaik dengan pohon dan semak, lebarnya 20 m-30 m, penyangga tepinya 16 m-20 m dari pusat jalur lalu lintas terdekat. Deretan pusat pohon dengan ketinggian minimal 14 m. 2. Penurunan kebisingan dari lalu lintas mobil dengan kecepatan sedang di da-
-
erah perkotaan, pohon dan semak penyangga lebarnya 6 m-16 m akin efektif dengan penyangga semak yang tepinya 2 m-2,s m serta latar belakangnya deretan pohon dengan tinggi sekitar 4,s m-10 m. 3. Untuk mendapatkan hail yang optimum, jajaran semak dan pohon seharusnya ditanam dekat pusat kebisingan. 4. Penggunaan pohon-pohon tinggi yang rindang, vertikal, seragam, dikombina-
sikan dengan semak atau fumput yang tinggi maupun penutup tanah yang lembut sebagai lawan dari permukaan trotoar, tumpukan batu atau krikil.
5. Pohonan dan semak ditanam saling menutupi merupakan suatu kesatuan,
.-
dapat menjadi bafer yang h a t
6. Sebaiknya ditanam conifer atau vegetasi yang hijsu sepanjang tahun
7. Penyangga sebaiknya dua kali jarak dari pusat sumba suara ke penerima, dan pada kedua sisi dan sepanjang jalan jika digunakan pa& jalur lalu
lintas. Penggunaan vegetasi untuk peredaman kebisingan tidak akan efektif bila tidak memperhatikan ukuran dan kepadatannya. Akan lebih efektif lagi jika vegetasi digunakan kombinasi dengan permainan topografi jalan. Hutan &pat menyerap
sekitar 6-8 desibel per 30 m. Kerapatan tanaman lebih penting dari pada jenis spesis dalam ha1 mengurangi kadar bising (lihat Tabel lampiran 12). Panjang gelombang suara relatif lebih besar dibanding ukuran tanaman. Pohon-pohon dan semak bila digunakan secara tepat akan memegang peranan. Begitu pula posisi sumber suara dengan penerima suara akan mempengaruhi nilai hutan kota sebagai penyaring suara, seperti terhadap suara pesawat terbang atau lebih tinggi, tidak akan bermanfaat. Apalagi sumber s u m terlihat, akan menguatkan satu sama lain (Leonard, 1971). Hutan kota dalam ha1 mengurangi kebisingan selain mengha-1angi gelombang suara, juga menghalangi sumber suara. Cook dan Van Haverbeke (1971) dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jalur pepohonan yang tinggi dan padat dikombinasikan dengan semak, digabungkan dengan permukaan
halus lainnya, akan mengurangi kebisingan sampai 50%. Hutan kota juga berfungsi sebagai tempat pelestarian plasma nutfah dan bioindikator dari timbulnya masalah lingkungan seperti hujan masam.
.Karakteristik visual atau estetika erat kaitannya dengan rekreasi. Ukuran, bentuk, warna dan tekstur tanaman serta unsur komposisi dan hubungannya dengan lingkungan sekitarnya, merupakan faktor yang memepangaruhi kualitas
:
estetika. Kualitas visual vegetasi sangat penting, karena tanggapan seseorang me-
rupakan reaksi dari suatu penampakan. Suatu penataan vegetasi dapat berfungsi dengan baik misalnya sebagai pembentuk ruang, pengendalian suhu udara, memperbaiki kondisi tanah namun apabila visualnya tidak menarik, ha1 ini akan mengganggu pandangan. Penataan tanaman yang berhasil adalah apabila vegetasi itu berfungsi, akan tetapi juga harus menarik. Vegetasi dapat memberikan keindahan dari garis, bentuk, wama, dan tekshlr yang ada dari tajuk, daun, batang, cabang, kulit batang, aka, bunga, buah maupun aroma. Pohon dan semak sebagai bingkai pemandangan. Estetika dapat dilihat dari penampiian vegetasi dalam hutan kota secara individu maupun dalam bentuk asosiasi.
Vegetasi dengan gerakannya dapat memberikan suara yang
memberikan suasana alamiah. Dengan terdapatnya unsw-unsur penghijauan yang di rencanakan secara baik dm menyeluruh akan menambah keindahan kota.
Booth (1979) dan Robinette (1976) mengemukakan bahwa fisiognomi vegetasi dapat digunakan sebagai aksen dan penghubung visual, yang dipengaruhi oleh -ukuran, bentuk, wama dan tekstur. Vegetasi memberikan kesan alami lingkungan, khususnya lingkungan perkotaan, dimana vegetasi memberikan kesegaran visual terhadap lingkungan yang serba keras. Vegetasi tidak hanya memberikan kesan lembut terhadap lingkungan yang keras, akan tetapi dengan ketidak teraturannya akan membuat lmgkungan yang harmonis. Kegunaan arsitektural vegetasi sangat penting di dalam tataruang luar. Dengan tekstur vegetasi kasar sedang, dan halus dapat digunakan pada ruang lux untuk menghubungkan bangunan dengan tapak disekitarnya, menyatukan dan menyelaraskan lingkungan sekitar yang seolah tidak beraturan, memperkuat titik-titik dan area-area tertentu dalam lansekap, mengurangi kekakuan unsw-unsw arsitektural yang keras dan mem. ?
bingkai pemandangan yang terpilih. Dalam ha1 ini vegetasi berfungsi sebagai pelengkap pemersatu, penegas, pengenal, pelembut, dan pembingkai.
Menurut Grey dan Deneke (1978) dan Wirakusumah (1987) peranan hutan ko-
ta berdasarkan lokasi peruntukan aktivitas kota, dapat dibagi menjadi hutan kota konservasi, hutan kota industri, hutan kota wilayah pemukiman, hutan kota wisata, hutan kota tangkar satwa. Lokasi hutan kota dapat dirancang sesuai dengan fungsi hutan kota. Besarnya bobot tiap fungsi lansekap, fungsi pelestarian lingkungan dan fungsi estetika berbeda-be& tergantung lokasi peruntukan. Jika di lokasi industri fungsi pelestarian lingkungan lebih dominan kemudian fungsi lansekap clan fungsi estetika. Di lokasi pemukiman fungsi estetika lebih dominan kemudian fungsi lansekap dan fungsi pelestarian lingkungan. Hutan kota penang-
kar satwa lebih mengutamakan fungsi pelestarian lingkungan. Begitu pula untuk hutan kota wisata lebih mengutamakan fungsi estetika. Dari hasil telaahan kepustakaan rumusan hutan kota a l a h : Komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitarnya, berbentnk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk), sbnktur
meniru (menyerupai) butan dam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa liar dan rnenimbulkan limgkungan sehat, suasana nyarnan, sejuk dan estetis.
. . .
Analisis Cluster. D~sknrmnandan
..
ISIS
gorelast Kanun&
Tujuan analisis cluster pada dasarnya adalah membentuk cluster sehingga keragaman di dalam cluster diusahakan sekecil mungkm, sedangkan keragaman antar cluster relatif Iebih besar daripada keragaman di datarn cluster. Analisis cluster adalah suatu proses pembentukan cluster dari n unit pengukuran menjadi k
. .buah
cluster (n > k) berdasarkan kemiripan p variahel masing-masing unit
pengukuran. Unit-unit dalam satu cluster memiliki sifat yang mirip, dibandingkan dengan unit-unit yang lain. Tahap-tahap pekejaan dalam analisis cluster:
1. Penentuan jumlah cluster yang diinginkan, yaitu 5 cluster. 2. Membagi seluruh unit pengukuran kedalam 5 cluster
3. Mencari titik pusat masing-masing cluster 4. Menentukan cluster terdekat dari tiap-tiap unit pengukuran dengan melihat
jarak pusat cluster terhadap unit pengukuran
5. Menghitung kembali pusat dari cluster yang menerima unit pengukuran baru dan cluster yang kehilangan unit pengukuran tersebut. 6. Mengulang tahap 4 dan 5 sampai tidak ada unit yang berpindah gerombol, (Andenberg, 1973). Analisis diskriminan merupakan suatu teknik mengelompokkan individu atau objek kedalam kelompok yang saling bebas berdasarkan variabel bebas. Dengan analisis diskriminan akan diperoleh fungsi diskriminan yang merupakan kombina-
si linier variabel bebas. Pola perbedaaanya akan terlihat dalam ruang berdimensi yang dibentuk oleh fungsi-fungsi diskriminannya.
Rumus umum diskriminan
linier sama dengan persamaan regresi linier berganda sebagai berikut:
D
=
Bo
+ B l X l + B2X2 + B3X3+
......
+ SpXp
............ ....
(5)
dimana: 8 = koefisien yang diperkirakan dari data, X = variabel bebas Tujuan analisis diskriminan adalah mencari kombinasi linier variabel kuantitatif yang memiliki keragaman antar kelompok terbesar, relatif terhadap keragaman dalam keiompoknya. Persentasi kasus yang terk1as:fikasi secara benar adalah satu indikator dari keefektifan fungsi diskriminan. Indikator keefektifan lain adalah nilai diskriminan aktual dalam setiap cluster. Fungsi diskriminan yang baik adalah yang memiliki variabilitas antar cluster ketika dibandingkan dengan variabilitas . ?
dalam cluster. Sebenamya kwfisien fungsi diskriminan dipilih agar rasio jumlah kuadrat antar cluster dan jumlah kuadarat dalam cluster sebesar-besarnya.
Kombinasi linier lain dari variabel prediktor mempunyai rasio lebih kecil. Kalau ada satu fungsi diskriminan, klassifikasi kasus kedalam cluster di dasarkan pada nilai fungsi tunggal. Kalau ada beberapa cluster nilai suatu kasus dalam semua
1
fungsi harus di hitung secara simultan (Norusis, 1990). Analisis koreiasi kanonik merupakan ukuran derajat asosiasi antara nilai diskriminan dan cluster. Analisis korelasi kanonik merupakan salah satu teknik analisis statistik peubah ganda untuk mengetahui hubungan antara variabel clan respon (Dlllon clan Goldstein, 1984). Analisis korelasi kanonik merupakan suatu cara utk menjajikan siktur korelasi antar dua himpunan variabel ke benfuk yang sesederhana mungkin, dengan memperhatikan beberapa variabel penting saja, tanp'd kehilangan keterangan yang diperlukan.
Ditentukan variabel yang dominan, variabel yang tidak
penting artinya variabel yang tidak dapat memberikan keterangan yang bermakna (tidak signifikan) untuk menjelaskan keterkaitan antara dua himpunan variabel disisihkan.
Analisis kanonik digunakan untuk melihat hubungan antara dua
kumpulan variabel kuantitatif, dengan maksud mencari kombinasi linier dari setiap kumpulan yang terkorelasi maksimum satu dengan yang lain (Tatsuoka, 1971).
Kombinasi linier dari p variabel yang berkorelasi maksimum dengan
kombinasi linier dari q respon:
+ .... + ap Xp; a = koefisien atau pembobot kanonik W = U = bl Y 1 + .... + bq Yq; b = koefisien atau pembobot kanonik V = G = a1 X1
Menurut Dillon dan Goldstein (1984) prosedur pengujian koefisien korelasi kanonik pada contoh besar menggunakan Uji Wilks Lamda dengan pendekatan Khi kuadrat, dengan hipotesis nolnya bahwa tidak a& hubungan antara kelompok
.peubah bebas dengan kelompok variabel tidak bebas.
>