KARAKTERISTIK KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA FINANSIAL INKLUSIF Johnny W. Situmorang
KARAKTERISTIK KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA FINANSIAL INKLUSIF (CHARACTERISTIC OF COOPERATIVE AS INCLUSIVE FINANCIAL INSTITUTION) Johnny W. Situmorang Peneliti Utama Kementerian Koperasi dan UKM & Dosen ABFI Insitute Perbanas, Jakarta Jalan MT. Haryono Kavling 52-53, Jakarta Selatan Email:
[email protected] Diterima 27 Agustus 2014; direvisi 31 Agustus 2014; disetujui 24 September 2014
Abstrak Kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan rakyat berkaitan dengan aksesibilitas rakyat Sampai saat ini, miliaran orang di dunia miskin karena tidak terakses terhadap perbankan, terutama sebagai sumber pembiayaan. Di Indonesia, dengan dominannya UMKM sebagai pelaku usaha, aksesibilitas UMKM terhadap lembaga perbankan juga rendah. Sehingga tingkat kesejahteraan pelaku UMKM juga rendah dan ketimpangan pendapatan juga tinggi. Koperasi sebagai entitas
memantapkan posisi koperasi maka pengawasan Pemerintah terhadap prinsip kehati-hatian dan kesehatan koperasi harus semakin meningkat serta peningkatan kapasitas sumberdaya manusia koperasi secara berkesinambungan.
Abstract Poverty and welfare inequality are associated with the accessibility of people to the formal
institutions is low. Resulting low welfare of SMEs with high income inequality. Cooperative as
on prudential and healthy principles and also increasing human resource capacity for cooperative sustainability.
1
INFOKOP VOLUME 24 NO. 1 - Oktober 2014 : 1-17
Pengantar (keuangan) inklusif menjadi agenda utama dunia dalam rangka mengatasi kemiskinan dan kesenjangan kesejahteraan antar manusia. Negara-negara yang tergabung dalam G-20, yaitu negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia telah menyepakati bahwa keuangan inklusif adalah pendekatan baru dalam meningkatkan aksesibilitas rakyat terhadap lembaga keuangan. Laporan pertemuan G-20 di Toronto, Kanada, pada tahun 2010, menyatakan bahwa terjadinya ketimpangan kesejahteraan antar negara dan antar manusia disebabkan oleh lemahnya akses rakyat terhadap lembaga keuangan formal konvensional, khususnya perbankan (Masha, 2010). Penghapusan kemiskinan (poverty alleviation) sesungguhnya merupakan sasaran pembangunan ekonomi baik secara unilateral maupun multilateral. Manakala negara-negara maju mampu menghapuskan kemiskinan struktural di negara masing-masing, tingkat kemiskinan, terutama di negara-negara berkembang (developing countries) dan terbelakang (underdeveloped countries), masih sangat tinggi. Sementara dengan perkembangan ekonomi dan teknologi global, terjadi ketimpangan dan kemiskinan di negara berkembang dan terbelakang karena ketidakmampuan rakyat miskin mengakses lembaga keuangan formal. Lembaga keuangan formal merupakan lembaga yang eksklusif yang menerapkan berbagai aturan yang menjadi penghambat rakyat miskin mengakses lembaga tersebut. Negara G-20 sendiri mengakui bahwa krisis ekonomi 2008-2009 akibat dari ketimpangan antara negara maju dan berkembang-terbelakang dan antara orang kaya dan orang miskin. Pada masa itu, lebih dari 2 miliar orang tidak mampu mengakses lembaga keuangan eksklusif. Oleh karena itu pengembangan keuangan inklusif merupakan solusi atas kemiskinan dan kesenjangan dan menjadikannya sebagai program aksi G-20.
2
Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang menjadi anggota G-20. Antara negara maju G-20 dan Indonesia pendapatan perkapita Indonesia jauh lebih rendah daripada negara-negara G-20 lainnya, distribusi pendapatan timpang, dan tingkat kemiskinan tinggi. Bila mengacu pada laporan G-20, dengan penduduk lebih dari 237 juta orang dan jumlah UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) lebih dari 57 juta unit maka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang masih terjadi di Indonesia adalah karena aksesibilitas rakyat terhadap lembaga keuangan eksklusif yang rendah. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi dan kecenderungan peningkatan pendapatan per kapita, Indonesia masih belum mampu menghilangkan kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan secara nyata dan meningkatkan dayasaing bangsa dalam percaturan ekonomi global. Dalam perencanaan strategis pembangunan ekonomi Indonesia, sesungguhnya pembangunan lembaga keuangan inklusif, walaupun tidak dinyatakan sebagai “inklusif”, menjadi salah satu sasaran utama pembangunan. Pengembangan koperasi adalah salah satu tugas pemerintah Indonesia dalam pembangunan ekonomi Indonesia sejak awal kemerdekaan. Keberadaan koperasi sebagai lembaga keuangan formal yang inklusif menjadi sasaran pembangunan ekonomi. Bahkan, pemerintah Indonesia mempunyai kementerian yang khusus mengurusi pembangunan koperasi pada tingkat pusat dan dinas pemerintahan pada tingkat regional (provinsi) dan lokal (kabupaten dan kota). Sejarah pembangunan ekonomi Indonesia mencatat bahwa pada awal kemerdekaan, koperasi dimunculkan sebagai solusi ekonomi rakyat yang dimotori oleh Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Republik Indonesia. Kemudian sejak tahun 1967 sampai 1992, kebijakan dan program pemerintah dalam pembangunan koperasi
KARAKTERISTIK KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA FINANSIAL INKLUSIF Johnny W. Situmorang
lebih mengarah pada upaya mendukung stabilitas pangan dan kestabilan harga-harga. Setelah itu, pemberdayaan koperasi di bidang jasa keuangan menjadi salah satu sasaran utama pembangunan koperasi. Sejalan dengan pemikiran dan pengembangan lembaga Indonesia yang terus berkembang, tulisan ini mengungkapkan karakteristik koperasi lembaga keuangan yang inklusif sehingga semakin dapat dikembangkan kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan. Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan Disparitas Penganut aliran utama ekonomi dan ekonomi kelembagaan selalu dihadapkan pada dikotomi pemikiran dan praktek pembangunan ekonomi. Aliran utama ekonomi dengan pemikiran neoklasik mengemukakan pertumbuhan ekonomi menjadi arus utama dalam pembangunan ekonomi yang pada gilirannya akan menghilangkan kemiskinan suatu bangsa dan negara. Sedangkan aliran ekonomi kelembagaan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk menghilangkan kemiskinan melainkan perubahan struktur atau kelembagaan yang mampu mengubah perekonomian menuju kesejahteraan. Pengutamaan pertumbuhan ekonomi harus diikuti oleh pemerataan pendapatan. Sayangnya, negara-negara terbelakang dan berkembang mengadopsi penuh pendekatan pembangunan ekonomi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi disertai dengan disparitas (ketimpangan) yang multi, antara lain antar-individu dan antar-daerah, sehingga kemiskinan masih tetap sebagai masalah utama negara-negara terbelakang dan berkembang. Kritik terhadap model pembangunan dengan pengarus-utamaan pertumbuhan ekonomi semakin menguat karena ternyata ketimpangan juga terjadi antara negara maju dan negara1
negara terbelakang dan berkembang dalam era globalisasi. Perubahan tatanan perekonomian dunia atau globalisasi terus menerus terjadi. Perubahan tersebut cenderung mengubah pola relasi antar negara yang sebelumnya lebih pada unilateral yang bersifat dependensi menjadi pola hubungan bilteral, multilateral, dan regional yang bersifat inter-dependensi. Hubungan tersebut membentuk kesepakatan yang mengikat dalam dalam hal perdagangan dan investasi bebas (free trade and investment), seperti AFTA (ASEAN Free Trade Area), CAFTA (China-AFTA), dan WTO (World Trade Organization), dan kawasan pertumbuhan (regional), serta kesepakatan tak mengikat, seperti APEC Economic Cooperation) dan G-20, sampai pada unionisasi regional, seperti Uni Eropa dan Asean Economic Community (AEC). Bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi pertanyaan besar sejauhmana Indonesia memperoleh manfaat (trade creation) dari perubahan pola hubungan tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Indonesia, termasuk negara yang paling berpartisipasi dan aktif dalam relasi internasional. Namun, banyak kalangan masih meragukan Indonesia untuk memperoleh manfaat dari relasi tersebut. Sebab, kesiapan Indonesia masih dipertanyakan. Manakala perubahan lingkungan eksternal merupakan peluang bagi pembangunan ekonomi, tetapi lingkungan internal belum sepenuhnya mendukung. Dalam perspektif perekonomian makro, Indonesia sangat bagus, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, karena Indonesia sudah menyepakati ikut aktif dalam perubahan maka memperkuat struktur perekonomian dengan basis UMKM1 dan Indonesia untuk meningkatkan kemanfaatan perubahan perekonomian.
Menurut UU 20/2008 tentang UMKM, defenisi Usaha Mikro (omzet <300 juta dan aset neto di luar tanah dan bangunan tempat usaha
3
INFOKOP VOLUME 24 NO. 1 - Oktober 2014 : 1-17
Statistik Indonesia menunjukkan terjadinya perkembangan perekonomian tanpa pemerataan (BPS, 2014). Pada tabel 1 terlihat perkembangan perekonomian Indonesia yang meningkat selama tahun 2004-2013. cenderung naik selama 10 tahun terakhir. Pada tahun 2004, pertumbuhan ekonomi 5.03% dan pada tahun 2008 sebesar 6.01% dan diramal pada tahun 2013 menjadi masing-masing dan 6.25%. Pertumbuhan ekonomi ini termasuk kategori tinggi dalam kondisi perekonomian dunia yang melemah. Realisasi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 meleset dari target. Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, realisasi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 lebih rendah daripada target, yakni 5.3% (Anonim, 2014b). Dari sisi pertumbuhan ekonomi, pada tahun 2004, peringkat Indonesia adalah 93 dari 197 negara dan pada tahun 2012 peringkat 38 dari 179 negara. Pada tahun 2004, dengan PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar Rp2,295.83 triliun, meningkat terus dan pada tahun 2013 menjadi Rp9,083.97 triliun. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menargetkan pada tahun 2014, PDB Indonesia mencapai Rp10,000.00 triliun atau setara dengan US $0.83 triliun. Pencapaian tersebut menyebabkan Indonesia menjadi salah satu anggota negara yang tergabung dalam G-20 walaupun pada lapisan terendah dari 20 negaranegara G-20. Akibat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, pendapatan per kapita (PDB/ kapita) juga meningkat. Pada tahun 2004, PDB per kapita Indonesia adalah Rp10.48 juta (US $873.3) dan meningkat menjadi Rp21.37 juta (US $1780.8) dan Rp37.54 juta (US $3128.3) masing-masing tahun 2008 dan 2013. Dari sisi kualitas pembangunan, perkembangan ekonomi berdampak pada
4
kualitas sumberdaya manusia. Berdasarkan IPM (Indeks Pembangunan Manusia), posisi sumberdaya manusia Indonesia meningkat selama tahun 2004-2014. Pada tahun 2004, IPM sebesar 68.70, naik menjadi 71.17 pada tahun 2008, diperkirakan akan menjadi 73.29 pada tahun 2013. Dalam selang waktu 10 tahun, peningkatan kualitas sumberdaya manusia penurunan tingkat kemiskinan yang cukup nyata. Pada tahun 2004, dengan jumlah orang miskin 36.15 juta orang, tingkat kemiskinan sebesar 16.16%. Pada tahun 2008, orang miskin turun menjadi 34.36 juta dan tingkat kemiskinan menjadi 15.42%. Pada tahun 2013, kemiskinan diproyeksikan turun drastis menjadi 28.07 juta orang dengan tingkat kemiskinan menjadi 11.37. Apakah pertumbuhan ekonomi ini mengakibatkan pembangunan berkeadilan sebagaimana dinyatakan oleh Pemerintah dalam perencanaan pembangunan? Tampaknya belum sepenuhnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 10 tahun terakhir belum disertai perubahan struktural yang nyata. Kontribusi sektor pembangunan selama itu hampir tidak berubah. Transformasi struktural yang menjadi harapan untuk menaikkan kualitas pembangunan ekonomi tidak nyata terlihat. Kontribusi sektor pertanian cenderung turun tapi sektor industri manufaktur juga turun. Pada tahun 2004, kontribusi sektor pertanian 14.34%, naik menjadi 14.50% pada tahun 2008, malah turun menjadi 14.43% pada tahun 2013. Sektor manufaktur pada masa yang sama juga turun, dari 28.07% pada tahun 2004 menjadi 27.80% pada tahun 2008, dan turun lagi menjadi 23.70%. Peranan sektor jasa keuangan masih sangat rendah. Pada tahun 2004 hanya 4.20%, turun menjadi 3.40% pada tahun 2008, dan naik sedikit menjadi 3.53% pada tahun 2013.
KARAKTERISTIK KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA FINANSIAL INKLUSIF Johnny W. Situmorang
Tabel 1: Perkembangan Perekonomian Indonesia Berdasarkan Indikator Terpilih 2004 – 2013
Sumber : BPS (2014); Kementerian KUKM *Angka sangat sementara; **Tahun 2012 Keberadaan koperasi semestinya sebagai solusi masalah kemiskinan di Indonesia. Dengan jumlah anggota koperasi yang terus meningkat, pada tahun 2013 mencapai 34.69 juta orang, semestinya kesejahteraan rakyat sudah tinggi karena koperasi hadir untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Menurut data pada tabel 1, jumlah orang miskin pada tahun 2013 masih tinggi, yaitu 28.07 juta orang. Kalau orang miskin ini merupakan bagian dari anggota koperasi maka pembangunan koperasi harus benar-benar menyasar penghapusan kemiskinan. Kalau jumlah orang miskin di luar anggota koperasi maka sesungguhnya jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat banyak, melebihi 28.07 juta. Korelasi koperasi dengan penghapusan kemiskinan selama ini masih belum terungkap secara komprehensif. Namun kajian yang mengungkapkan relasi keanggotaan dan tingkat kemiskinan secara
regional (provinsi) menunjukkan bahwa probabilitasnya adalah 15% (Situmorang dan Sijabat, 2011). Ini menunjukkan ada sesuatu yang perlu diperbaharui secara nyata dalam kerangka membangun koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat mengingat fungsi berjalan secara intensif baik melalui unit usaha simpan-pinjam maupun koperasi yang bergerak dalam usaha tunggal bidang simpan-pinjam. Dengan keberadaan lembaga Kementerian dan dinas-dinas pemerintahan daerah untuk pembangunan KUMKM, semestinya terjadi percepatan peningkatan kesejahteraan. Perkembangan perekonomian makro tidak sejalan dengan peningkatan kualitas pembangunan itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih disertai oleh kemiskinan dan multi-ketimpangan (disparitas). Pada tabel 2 terlihat bagaimana 5
INFOKOP VOLUME 24 NO. 1 - Oktober 2014 : 1-17
ketimpangan itu terjadi. NTP (Nilai Tukar Petani) naik menjadi 101.96 naik sangat rendah. Artinya, kesejahteraan petani hanya naik 3%. Ini didukung oleh upah buruh tani harian hanya Rp27,017.00 dan upah buruh industri kecil Rp590.80 ribu sebulan. Indeks Gini meningkat, menjadi 0.413 pada tahun 2013 dari 0.363 dan 0.35 pada tahun 2004 dan 2008. Indeks Gini (IG) menunjukkan pemerataan pendapatan dimana semakin tinggi IG semakin tak merata distribusi pendapatan antar kelompok, masyarakat miskin dan kaya. Ketimpangan kesejahteraan rakyat antar-wilayah juga terlihat dimana kemiskinan di perdesaan jauh lebih tinggi daripada perkotaan. Pada tahun 2013 masih terdapat 14.32% rakyat miskin atau ratarata 17.79% per tahun sedangkan di perkotaan 8.39% atau rata-rata 10.72% selama tahun 2004-2013. Ketimpangan pendapatan antarpulau juga masih menandai perekonomian Indonesia. Pada tahun 2013, rakyat di wilayah P. Jawa menikmati lebih besar PDB, sebesar 55.94% atau rata-rata 57.75% per tahun,
sedangkan pada tahun 2013 rakyat wilayah luar Pulau Jawa menikmati PDB sebesar 44.06% atau rata-rata 42.25%. Arus urbanisasi (desa ke kota) dan migrasi (luar Jawa ke Jawa) selalu dan akan semakin besar dan membebani Pulau Jawa, khususnya perkotaan. Dengan jumlah penduduk lebih banyak di Pulau Jawa daripada luar Pulau Jawa, ketimpangan ini akan sangat berbahaya dari sisi nasionalisme dan NKRI. Transformasi struktural yang tak terjadi perekonomian Indonesia ketika ketimpangan terjadi antar-sektoral. Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian turun 43.33% pada tahun 2004 menjadi 41.33% dan turun lagi menjadi 34.36% pada tahun 2013 atau rata-rata 39.67% per tahun. Sedangkan penyerapan tenaga kerja sektor industri (manufaktur) naik dari 11.81% menjadi 12.55% pada tahun 2008 dan naik lagi menjadi 13.43% pada tahun 2013 atau rata-rata 12.60% per tahun. Bila dikaitkan dengan kontribusi sektoral terhadap PDB
Tabel 2: Perkembangan Ketimpangan Di Bawah Rejim Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, Tahun 2004 - 2013
Sumber: BPS (2014) *Angka sangat sementara, **Tahun 2012 6
KARAKTERISTIK KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA FINANSIAL INKLUSIF Johnny W. Situmorang
yang hampir tidak berubah maka tenaga kerja yang keluar sektor pertanian tidak sepenuhnya terserap sektor industri manufaktur. Tenaga kerja yang tidak terdidik dari sektor pertanian adalah push-out dan menjadi tenaga kerja sektor informal di perkotaan. Ini merupakan ancaman di perkotaan dalam hal kependudukan, permukiman, dan kesejahteraan atau ekonomi dan sosial bahkan juga terhadap budaya dan keamanan serta politik. Perbandingan Indonesia dengan negara lain di dunia juga menunjukkan masih rendahnya posisi Indonesia dalam perekonomian global relatif, termasuk terhadap negara-negara sekelas, misalnya Malaysia dan Thailand. Posisi Indonesia berdasarkan GNI selama tahun 2004 – 2013 tidak lebih baik berdasarkan dayabeli (purchasing power) meskipun Indonesia telah menjadi anggota G-20, kelompok 20 negara dengan GDP tinggi. Peringkat Indonesia pada tahun 2004 adalah 121 dari 180 negara, tahun 2008 adalah 121 dari 179 negara, dan tahun 2013 adalah 102 dari 161 negara. Perkembangan posisi Indonesia tersebut secara 2008 kemudian naik lagi pada tahun 2012 dibandingkan tahun 2004. Posisi Indonesia Dalam Persaingan Global Pada gambar 1 terlihat beberapa lembaga internasional pemeringkat kompetisi negaranegara mengungkapkan posisi kompetisi posisi semakin jauh dari titik pangkal nol, semakin rendah dayasaing negara. Menurut WCY (the World Competitiveness Yearbook) yang diterbitkan oleh The International Management Development (IMD) bahwa pada tahun 2012 Indonesia berada pada peringkat 40 negara dari 59 negara. Posisi ini naik pada tahun 2014 dengan peringkat 37 dari 60 negara namun masih di bawah Singapore (3), Hong Kong (4), Malaysia (12), dan Thailand (29). Demikian
juga GCI ( ) mengungkapkan dayasaing Indonesia pada peringkat 38 dari 148 negara, di bawah Singapore (2), Hong Kong (7), Taiwan (12), Malaysia (24), Korea Selatan (25), Brunei Darusalam (26), China (29), dan Thailand (37)2. Dalam kawasan ASEAN saja yang akan masuk dalam AEC, posisi Indonesia lemah dibandingkan anggota Asean, seperti Malaysia, Thailand, dan Viet Nam. Secara kualitas, peringkat ini menunjukkan posisi Indonesia yang semakin melemah karena perbaikan dari waktu ke waktu kurang nyata. Majalah “Tempo” (2014)3 menyatakan bahwa Indonesia gamang menjelang 2015, peluang terbuka tapi hambatan menyebar di seantero nusantara. Peringkat wisata Indonesia adalah ke-70, di bawah Singapura (10), Malaysia (34), dan Thailand (43). Biaya logistik dan infrastruktur Indonesia tinggi, sebesar 27% dari PDB, sehingga sulit menjadi basis produksi industri otomotif. Indonesia kalah dengan Singapura (8%), Malaysia (13%), Thailand perkebunan karet Indonesia (0.6 ton/ha), kalah jauh dari Viet Nam (1.72 ton/ha), Thailand (1.7 ton/ha), dan Malaysia (1.4 ton/ha). Bisnis produk kayu Indonesia dengan ekspor US $1.4 miliar, tertinggal dari China (US $40 miliar), Viet Nam (US $4.0 miliar) dan Malaysia (US $2.4 miliar), padahal sumber kayu Indonesia mencapai 40 juta hektar. Ekspor produk kayu Indonesia pada tahun 2013 turun menjadi US $1,750.0 miliar dibandingkan tahun 2012, sebesar US $1,760.0 miliar. Pada tahun 2013, ekspor non-migas Indonesia ke negara-negara
neraca perdagangan terbesar adalah terhadap Thailand, sebesar US $5.4 miliar dan bahkan $0.3 miliar. Praktek bisnis salah satu sorotan dunia karena terkait dengan dayasaing global. Praktek bisnis di Indonesia masih diliputi oleh
2
The Global Competitiveness Index 2013-2014 rankings. © 2013 World Economic Forum. www.weforum.org/gcr. Diunduh pada 5 Mei 2014.
3
Majalah Tempo edisi 5-11 Mei 2014 hal 110 - 129
7
INFOKOP VOLUME 24 NO. 1 - Oktober 2014 : 1-17
ekonomi biaya tinggi, misalnya menyangkut memulai (start) bisnis, perizinan, perkreditan, dan energi. Menurut EDBI (the Ease Doing ), posisi bisnis Indonesia secara global adalah pada peringkat 120 dari 189 negara.
biasanya adalah wirausaha yang inovatif yang pada gilirannya menjadikan dunia usaha berdayasaing tinggi. Secara ideal, mengacu David McClelland, jumlah wirausaha Indonesia yang inovatif setidaknya sebanyak 2% dari jumlah penduduk.
Kewirausahaan dan inovasi adalah juga faktor penunjang dayasaing suatu bangsa dalam perekonomian terbuka dengan sistem pasar kompetitif. Kewirausahaan dan daya inovasi pelaku bisnis Indonesia juga termasuk rendah dibandingkan dengan negara maju dan juga negara sekelas, khususnya yang anggota ASEAN. Lembaga-lembaga internasional mengungkapkan posisi keiwrausahaan dan inovasi Indonesia yang relatif rendah. Pada gambar 1 menurut GII ( ), pada tahun 2014, daya inovasi Indonesia berada pada peringkat 87 dari 143 negara dunia. Sementara menurut ELGI ( ), pada tahun 2013, kewirausahaan Indonesia adalah pada posisi 67 dari 120 negara. Kewirausahaan berkaitan dengan inovasi. Tingkat kewirausahaan yang tinggi
Pada tahun 2013, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 246.6 juta orang sehingga jumlah wirausaha Indonesia paling tidak sebanyak 4.93 juta orang. Pada saat ini, jumlah wirausaha Indonesia masih sebesar 1.65% (Sinaga, 2014). Studi ERIA (2014)4 mengungkapkan posisi Indonesia dalam kebijakan pembangunan tersebut untuk mendukung kompetisi dan inovasi. Posisi Indonesia pada umumnya di atas rata-rata ASEAN. Pada gambar 2 dengan menunjukkan semakin jauh dari titik pusat nol, semakin baik. Terlihat berdasarkan indeks 8 faktor kebijakan untuk mendukung kompetisi dan inovasi UMKM, Indonesia di atas rata-rata ASEAN. Hanya satu faktor UMKM Indonesia berada di bawah ASEAN, yaitu MERSI (More
Gambar 1: Peringkat Indonesia Dalam Kompetisi Global Menurut Lembaga
Sumber: Website lembaga, 2014
4
8
ERIA (Economic Research Institute for Asean and East Asia)
KARAKTERISTIK KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA FINANSIAL INKLUSIF Johnny W. Situmorang
Effective Representation of Small Enterprises Interest) dengan indeks 3.4, sedangkan ASEAN 3.8. MERSI menunjukkan peran dan kapasitas asosiasi Usaha Mikro (UMr) dan partisipasi UMr dalam hal bimbingan (konsultasi) UMKM. Kelemahan utama Indonesia adalah pada kapasitas riset dan frekuensi konsultasi yang rendah. Indonesia unggul atas Lao (2,7), Cambodia (2.5), dan Brunei Darussalam (2.3). Posisi negara-negara ASEAN lainnya di atas Indonesia (Anonim, 2014c).
kerangka legal (kebijakan) pengembangan
Salah satu faktor yang menonjol adalah
Dengan ketimpangan dan dayasaing yang rendah merupakan indikator aksesibilitas dunia usaha, khususnya UMKM, yang rendah terhadap
oleh AF (Access to Finance). Dengan Indeks AF Indonesia 4.8, posisinya di atas rataUMKM Indonesia lebih baik daripada ratarata negara-negara ASEAN lainnya karena sound ). Namun, posisi Indonesia masih di bawah Singapore (5.6) dan Malaysia (4.6) dan sama dengan posisi Thailand. Indonesia kalah dengan ASEAN3 tersebut karena kelemahan credit bureau/ registries dan akses pasar modal (capital stock), yaitu pusat informasi kredit yang kurang mantap dan fungsional sebagai esensi promosi collateral-free. Juga akibat langkanya
leasing, anjak piutang (factoring), modal ventura, dana ekuitas, business angels sampai pasar modal. Tambunan (2012) menambahkan bahwa dayasaing UMKM Indonesia lemah karena kapasitas produksi terbatas dan kemampuan internasionalisasi UMKM yang lemah. Indonesia termasuk negara yang rendah pada pembiayaan teknologi.
Indonesia, perbankan dan non-perbankan, yang pada umumnya berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang sangat tunduk pada aturan dan prinsip kehati-hatian, dengan skala usaha besar sulit menjadi lembaga pembiayaan bagi UMKM dengan karakteristik badan usaha yang tidak eligibel sebagai pelanggan lembaga 4Cs ( ). Pada umumnya UMKM tidak memiliki legal standing menuntutnya untuk bisa menggunakan jasanya. Tidak hanya laporan keuangan UMKM yang
Gambar 2: Posisi Kompetitif dan Inovatif UMKM Indonesia di ASEAN, Tahun 2014
Sumber: ERIA (2014) 9
INFOKOP VOLUME 24 NO. 1 - Oktober 2014 : 1-17
Gambar 3: Alokasi Pinjaman Dunia Usaha Indonesia, Rata-rata Bulanan 2010 - Maret 2014 (%)
nilai total pinjaman perbankan terhadap dunia usaha adalah Rp 2817.07 triliun. Nilai kredit perbankan ini hanya mengalir kepada UMKM sebesar Rp 496.99 triliun atau 17.64%. Ini di bawah rata-rata alokasi kredit perbankan pada UMKM selama lebih dari empat tahun terakhir. Ketimpangan sangat nyata antara UMKM dan usaha besar. Di sinilah dituntut peran koperasi yang inklusif menggantikan posisi perbankan yang eksklusif.
tidak tersedia bahkan juga ketidak-mampuan UMKM menyusun suatu proposal. Oleh karena itu alokasi dana-dana perbankan terhadap UMKM jauh di bawah alokasi terhadap usaha skala besar.
Koperasi Sebagai Lembaga Finansial Inklusif
Ketimpangan dalam alokasi sumberdaya modal dalam rangka pembiayaan dunia usaha, UMKM dan usaha besar, juga terjadi. Pada gambar 3 terlihat, selama tahun 2010 – 2014, alokasi pinjaman perbankan Indonesia terhadap dunia usaha Indonesia adalah timpang. Lembaga perbankan lebih memihak pada usaha skala besar. Nilai pinjaman total rata per tahun perbankan kepada dunia usaha mencapai Rp 2675.32 triliun. Alokasi terhadap UMKM rata-rata hanya 18.58% dari total kredit atau sebesar Rp 497.08 triliun. Sisanya, 81.42% kredit perbankan dialokasikan pada usaha skala besar yang jumlahnya hanya 0.01% dari 57,9 juta unit usaha. Dengan demikian, sebanyak 47.25 juta UMKM Indonesia tidak mampu mengakses lembaga perbankan. Dibandingkan dengan jumlah UMKM, alokasi kredit perbankan per UMKM hanya sebesar Rp8.59 juta sementara alokasi pinjaman perbankan kepada usaha skala besar yang jumlahnya hanya 5,066 unit adalah rata-rata Rp 429.97 miliar per unit usaha. Distribusi kredit perbankan di antara UMKM sendiri juga timpang. Selama tahun 2011-2013, sebagian besar alokasi kredit perbankan kepada UMKM diterima oleh usaha menengah (48%), lalu usaha kecil (30.67%), dan usaha mikro sebesar 21.33% (Anonim, 2014d). Pada Maret 2014 misalnya, 5
10
Lembaga keuangan bank telan menjadi lembaga eksklusif yang lebih melayani perusahaan skala besar yang pada umumnya degree of leverage-nya (DOL)5 tinggi. Perbankan tidak sungkan memberikan pelayanan khusus pada bisnis skala besar dengan nilai pinjaman yang besar pula. Sementara UMKM sangat sulit mengakses pembiayaan walaupun bank komersil menyediakan plafond untuk pembiayaan usaha UMKM. Pada APEC Public- Private Dialogue on Addressing Impediments of SMEs and MEs in Accessing Trade Finance terungkap semua negara anggota APEC memiliki skema pembiayaan untuk UMKM baik melalui perbankan maupun nonperbankan (Situmorang and Junaidi, 2014 dan Situmorang dkk, 2014). Misalnya, Indonesia mempunyai program KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang penjaminannya oleh pemerintah dan pembiayaan ekspor melalui LPEI (Lembaga Pengembangan Ekspor Indonesia). Namun kenyataannya masih sangat sulit bagi UMKM mengakses lembaga pembiayaan
meningkatkan peran ekonomi UMKM (Terry, 2014). Citibank sebagai TNC (Trans National Corporation) masih sulit memberikan pinjaman kepada UMKM karena persyaratan Citibank tidak terpenuhi oleh UMKM. Menurut Lim (2014), eksekutif Citibank, bahwa
Degree of Leverage (DOL) adalah ukurankan kemampuan perusahaan menciptakan laba tinggi apabila ekspansi atau peningkatan produksi terjadi. Perusahaan yang DOL-nya tinggi berarti padat modal.
KARAKTERISTIK KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA FINANSIAL INKLUSIF Johnny W. Situmorang
kelemahan UMKM terlihat pada tiga aspek, yaitu struktur korporasi, kontrol, dan usaha. Struktur korporasi UMKM yang pemilikannya individual atau keluarga dan basis modalnya lemah (low equity base). Kontrol terkait pada terkait pada posisi-tawar lemah, aliran tunai Sementara Citibank sebagai bank komersial menentukan persyaratan tinggi yang tak dimiliki oleh UMKM. Menurut Krisna Wijaya (2014) mengutip kajian Bank Dunia tentang ). menjadi ukuran sejauhmana aksesibilitas jarak yang jauh, persyaratan yang tak terpenuhi, dan kepercayaan bank. Asli Demirgüç–Kunt Leora Klapper dari Bank Dunia menyatakan bahwa separoh orang dewasa di seluruh dunia tidak memiliki rekening bank. Di desa hanya 50% dewasa memiliki rekening di bank sedangkan di kota sebesar 69%. Hasil studi di 148 negara menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara ketakmerataan kepemilikan rekening formal dan ketak-merataan pendapatan di
menciptakan akses pada UMKM dan rakyat miskin. mengungkapkan bahwa akses ke layanan keuangan memainkan peran penting dalam pembangunanan dengan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketimpangan pendapatan. Sistem keuangan yang inklusif memungkinkan masyarakat miskin untuk memperlancar konsumsi mereka dan mengasuransikan diri terhadap kerentanan ekonomi yang mereka akibat pengangguran serta penyakit, kecelakaan, dan pencurian. Finansial inklusif memungkinkan masyarakat miskin untuk menabung dan meminjam, membangun aset mereka, berinvestasi di bidang pendidikan, dan berwirausaha, serta pada gilirannya meningkatkan mata pencaharian mereka. Finansial inklusif cenderung menguntungkan kelompok yang
kurang beruntung seperti perempuan, pemuda, dan masyarakat pedesaan. Untuk semua alasan ini lembaga keuangan inklusif telah menjadi terkenal dalam beberapa tahun terakhir sebagai tujuan kebijakan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat miskin (www.worldbank.org). Finansial inklusif adalah pemberian layanan keuangan dengan biaya terjangkau untuk bagian segmen yang kurang beruntung dan berpenghasilan rendah masyarakat. Sejak
tanpa
diskriminasi.
Perserikatan
Bangsa-
inklusif adalah sebagai akses dengan biaya yang wajar untuk semua rumah tangga ke berbagai jasa keuangan, termasuk tabungan atau deposito jasa, pembayaran dan layanan transfer, kredit, dan asuransi. Diperkirakan 2.5 miliar orang dewasa usia kerja global tidak memiliki akses ke jenis layanan keuangan formal disampaikan oleh lembaga keuangan resmi. Misalnya di Sub-Sahara Afrika hanya 24% orang dewasa memiliki rekening bank meskipun sektor keuangan formal Afrika telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir (www. wikipedia.org). Sebanyak 1.89% masyarakat global yang tidak terjangkau lembaga keuangan tersebut, berada di Indonesia bila dihitung berdasarkan jumlah UMKM Indonesia yang tidak terakses sistem perbankan nasional. Selanjutnya Wijaya (2014) menyatakan bahwa di Indonesia, mengacu pada Global Findex, hanya 20% rakyat Indonesia yang memiliki rekening bank, di bawah Singapura (98%), Thailand (73%), Malaysia (66%), dan Filipina (27%). Mengacu pada defenisi tersebut di atas, koperasi di Indonesia sesungguhnya telah Secara ideal, menurut Swasono (2014) bahwa kehadiran dan peranan koperasi sejalan dengan hakikat demokrasi ekonomi menurut UUD 1945. Demokrasi ekonomi menurut pasal 33 UUD 1945 adalah kemakmuran rakyat lebih utama daripada kemakmuran orang seorang, cabang produksi penting yang menguasai hajat
11
INFOKOP VOLUME 24 NO. 1 - Oktober 2014 : 1-17
hidup orang banyak, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya juga dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Karakteristik terlihat dari kepemilikan dan prinsip koperasi, pelayanan koperasi, dan manfaat koperasi. Kepemilikan dan prinsip koperasi. Koperasi primer di Indonesia berdiri atas dasar kesepakatan orang per orang membentuk badan usaha berbadan hukum atau business entity dimana setiap orang menjadi anggota koperasi adalah juga pemilik koperasi (people association and business organization). Anggota koperasi bersifat sukarela dan terbuka sehingga memungkinkan setiap orang dapat menjadi pelaku dalam sistem koperasi. Setiap anggota koperasi memiliki hak suara yang sama untuk merumuskan perencanaan strategi dan hak memperoleh manfaat atas hasil operasional baik dalam bentuk material (uang) maupun immaterial (sosial) sebagai bentuk pengelolaan koperasi secara demokratis. Operasionalisasi koperasi berdasarkan prinsip “dari, oleh, dan untuk anggota” dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan anggota secara bersama. Pengembangan koperasi itu sendiri ditempuh melalui proses pendidikan dan jejaring antar koperasi.
koperasi mempunyai anggota rata-rata 171 orang. Koperasi terdiri dari dua macam, koperasi yang multi-usaha yang salah satu unit usahanya adalah simpan-pinjam, seperti Koperasi Unit Desa (KUD), Koperasi Serba Usaha (KSU), dan Koperasi Wanita (Kopwan), dan koperasi mono-usaha hanya bergerak yaitu Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dan Koperasi Kredit (Kopdit), Unit SimpanPinjam Koperasi (USP-Koperasi), Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi (UJKS-Koperasi). Keberadaan koperasi didukung oleh UU 25/1992 dan PP 9/1995 dan seluruh koperasi telah berbadan-hukum yang terdaftar dalam Lembaran Negara6. Pada umumnya anggota koperasi, kecuali koperasi karyawan/pegawai, adalah pengusaha dalam skala UMKM. Salah satu bidang usaha koperasi multi-usaha adalah USP (Unit Simpan Pinjam) yang menjadi unit penting perekat partisipasi anggota dalam koperasi untuk menopang unit usaha lainnya sedangkan koperasi mono-usaha sepenuhnya Kementerian KUKM (2014)7, pada Desember 2013 jumlah total koperasi yang berusaha melibatkan 18.64 juta anggota. Jenis koperasi Koperasi 87.17%, UJKS-Koperasi 19.63%, KJKS 10.70%, dan KSP/Kopdit 9.80%. Oleh karena itu, semua koperasi Indonesia melayani
Pada tahun 2014, jumlah koperasi di Indonesia mencapai 206,288 unit dengan jumlah anggota 35.24 juta orang atau setiap
penduduk Indonesia terakses terhadap lembaga keuangan inklusif. Pada boks 1 terlihat dua koperasi sebagai contoh. Kopdit Lantang Tipo (KLT) sebagai koperasi mono-usaha jasa keuangan non-bank mampu melayani lebih dari 139 ribu anggota yang tersebar di seluruh wilayah provinsi Kalimantan Barat, terutama di wilayah perdesaan. Kantor pusat-nya bukan di ibukota provinsi atau kabupaten melainkan di
6
UU 25/1992 tentang Perkoperasian dan Peraturan Pemerintah (PP) 9/1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan-Pinjam Melalui Koperasi. Koperasi adalah lembaga keuangan non-bank yang sah dan terdaftar.
7
Data Asdep Urusan Pengembangan dan Pengendalian Simpan-Pinjam, Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian KUKM tahun 2014 tidak dipublikasikan
12
KARAKTERISTIK KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA FINANSIAL INKLUSIF Johnny W. Situmorang
wilayah perdesaan, yaitu Kecamatan Parindu. Koperasi SAE Pujon (KSAEP) adalah jenis KSU bidang usaha utama produksi susu segar yang memiliki anggota 11,896 orang peternak sapi perah sebagai produsen susu segar yang tersebar di Kabupaten Malang dan sekitarnya. Kantor Pusat-nya juga bukan di ibukota provinsi atau kabupaten melainkan di wilayah perdesaan. Pelayanan Koperasi.
masyarakat berpendapatan rendah atau orang dengan menempatkan dananya di koperasi dan memperoleh dana pembiayaan dari koperasi itu. Dari dua kasus koperasi pada boks 1 mencapai Rp2.96 triliun atau transaksi bisnis
Ciri lembaga
berpendapatan rendah dalam tabungan dan pinjaman. Koperasi menjalankan fungsi dana masyarakat (simpanan atau tabungan) dan penyaluran dana yang terhimpun kepada inklusif tercermin dari pelayanannya kepada anggota dan masyarakat sekitarnya. Selama tahun 2009-2011, mobilisasi dana koperasi sebesar Rp226.53 miliar per koperasi atau sebesar Rp13.15 juta per anggota. Sedangkan penyaluran dana koperasi ke masyarakat sebesar Rp180.80 miliar per koperasi atau Rp38.93 juta per anggota. Fungsi intermediasi murah rakyat mencapai Rp21.32 triliun dan sisi penyauran kembali ke masyarakat sebesar 66.31 triliun8. Studi Kementerian KUKM tentang Koperasi Skala Besar (KSB) mengungkapkan bahwa pada tahun 2012 sebanyak 12 Calon KSB mampu memobilisasi dana murah sebesar Rp1.79 triliun atau Rp149.52 miliar per koperasi. Mobilisasi dana murah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2011 sebesar 27.31% dari total Rp1.41 triliun. Mobilisasi dana koperasi dari masyarakat rata-rata Rp6.68 juta per anggota pada tahun 2012, naik 12.91% dari tahun 2012. Penyaluran kembali dana tersebut ke masyarakat adalah Rp7.01 juta per anggota, naik 11.53% dari tahun 2011 (Anonim, 2014a). Menurut Fajar (2012)9, walaupun pembiayaan koperasi mencakup 20.32% rumahtangga, namun koperasi adalah
Rp21.23 juta per anggota atau naik 23.86% dari tahun 2011 sementara omzet KSAEP adalah sebesar Rp177.79 miliar atau transaksinya dengan setiap anggota adalah Rp0.54 juta, naik 24.57% dari tahun 2011. Kedua koperasi telah melaksanakan fungsi intermediasi masyarakat oleh KLT mencapai Rp1.30 triliun, naik 25.99% dari tahun 2011. Penyaluran kembali dana dalam bentuk pinjaman kepada mayarakat adalah Rp1.33 triliun, naik 26.50% dari tahun 2011. Sedangkan mobilisasi dana masyarakat oleh KSAEP mencapai Rp6.36 miliar, naik 28.07% dari tahun 2011. Penyaluran kembali dana tersebut kepada masyarakat adalah Rp12.83 miliar. Pinjaman koperasi jauh lebih besar daripada simpanan karena sebagai KSU, KSAEP memperoleh dana-dana dari berbagai pihak dalam bentuk hibah dan pinjaman. Fungsi lembaga intermediasi telah berjalan melalui koperasi yang pelayanannya kepada masyarakat terutama wilayah perdesaan. Masyarakat berpendapatan rendah atau miskin mampu mengakses lembaga intermediari tersebut, pada umumnya anggota tidak dikenakan kriteria 4Cs melainkan hanya capacity. Aset jaminan, pengetahuan lemah, dan psikologis UMKM menurut Wibowo dan Artati (2012) yang menjadi kelemahan UMKM mengakses perbankan teratasi dengan
8
Menurut data Kementerian KUKM 2014 tidak dipublikasikan.
9
Menurut Fajar, koperasi berperan dalam pembiayaan rumahtangga penghasilan rendah 3.92%, penghasilan menengah 5.73%, dan penghasilan tinggi 10.67%.
13
INFOKOP VOLUME 24 NO. 1 - Oktober 2014 : 1-17
koperasi. Pada koperasi dengan nama Kopdit, keanggotaan Kopdit sangat selektif. Setiap calon anggota untuk menjadi anggota penuh harus melalui proses pengenalan karakter dan pelatihan perkoperasian. Calon anggota harus menyimpan terlebih dahulu selama statusnya calon anggota, biasanya selama tiga bulan. Setelah tiga bulan, sang calon anggota mengikuti pelatihan dan setelah lulus memperoleh status anggota. Kemudian yang bersangkutan dapat memperoleh pinjaman koperasi. Karakter calon anggota betul-betul diketahui oleh pengurus dan manajer koperasi sebelum menjadi anggota penuh. Kondisi ini merupakan kesempatan kepada anggota untuk meningkatkan kapasitasnya berkoperasi sekaligus pengenalan karakter loyalitas terhadap koperasi. Manfaat Pelayanan Koperasi Jasa Finansial. Dengan prinsip dari-oleh-untuk inklusif memberikan manfaat secara holistik terhadap anggotanya dan juga masyarakat dan wilayahnya. Pembentukan koperasi adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan terwujud dengan pelayanannya anggota koperasi adalah sistem yang mampu kaitannya dengan kemiskinan, kajian regional Situmorang dan Sijabat (2011) mengungkapkan bahwa tahun 2000-2010 cenderung bila semakin banyak anggota koperasi maka semakin rendah jumlah orang miskin di Indonesia. Probabilitas yang menunjukkan relasi tingkat keanggotaan koperasi dan tingkat kesejahteraan berdasarkan provinsi adalah 15.15%. Meskipun peluang keanggotaan koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan masih rendah, namun relasi tersebut membuktikan adanya dorongan peningkatkan pendapatan dan kesejahteraan melalui koperasi. Manfaat
koperasi
sebagai
lembaga
moneter. Sebagaimana peran perbankan sebagai instrumen peredaran uang, koperasi juga telah berperan sebagai instrumen moneter
14
di Indonesia. Bahkan jangkaunnya lebih luas dari perbankan. Kalau lembaga perbankan komersial, termasuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) hanya beroperasi paling jauh di ibukota kecamatan besar, tetapi koperasi menyebar sampai ke wilayah perdesaan. Koperasi di Indonesia juga telah berfungsi sebagai “money creating” dengan penawaran uang (narrow money) mencapai Rp 60.57 miliar per tahun dengan “velocity of money” mencapai ratarata 1.79 kali selama tahun 2009-2011. Koperasi jasa keuangan inklusif telah mampu memoneterkan perekonomian “akar rumput”, mengakomodasi perekonomian rakyat atau non-formal yang selama ini tak terintegrasikan dalam kalkulasi sistem moneter Indonesia (Situmorang, 2013). Penutup Kemiskinan dan disparitas perekonomian suatu negara terkait dengan aksesibilitas
merupakan lembaga yang eksklusif karena tidak mampu diakses oleh pelaku ekonomi rakyat, terutama UMKM, untuk membiayai produksi atau usahanya. Kondisi itu juga terjadi di Indonesia dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum disertai dengan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan. Aksesibilitas UMKM masih rendah. Produk perbankan nasional yang tersalur kepada UMKM masih rendah karena sebagian besar UMKM sulit memenuhi kriteria 4C’s. Akibatnya, dayasaing UMKM Indonesia di ASEAN masih di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand dan akhirnya kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih tinggi dana menjadi persoalan serius dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Sementara perubahan tatanan perekonomian, globalisasi dengan kompetisi dan perdagangan bebas, menuntut dayasaing ekonomi suatu negara yang tinggi untuk bisa semakin berperan. itu dapat teratasi dengan hadirnya koperasi
KARAKTERISTIK KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA FINANSIAL INKLUSIF Johnny W. Situmorang
Untuk terhadap anggotanya dan masyarakatnya. Karakteristik koperasi sebagai lembaga dan prinsip dari, oleh, dan untuk anggota hal simpan-pinjam dan manfaat ekonomi dan sosial koperasi terhadap anggota dan lingkungan koperasi sampai ke perdesaan.
semakin
mengokohkan
kehadiran
pemerintah hendaknya melakukan pengawasan yang ketat untuk menjamin prinsip kehatihatian dan kesehatan koperasi. Di samping itu, peningkatan kapasitas pengelola koperasi dan pemantapan lembaga adalah juga upaya yang harus dilakukan secara berkesinambungan.
15
INFOKOP VOLUME 24 NO. 1 - Oktober 2014 : 1-17
Daftar Pustaka Anonim. 2014a. Kinerja Koperasi Peserta Program Koperasi Skala Besar. Laporan Akhir. Sekretariat Kementerian KUKM, Biro Umum kerjasama dengan Tim Koordinasi Penyelenggaraan Penelitian KUMKM (TKPP-KUMKM) Kementerian KUKM, Jakarta. _______. 2014b. Melanjutkan Reformasi Bagi Percepatan Pembangunan Ekonomi Yang Berkeadilan. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrembangnas) Tahun 2014. Dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2015. Kementerian PPN/Bappenas Jakarta, April. _______.
2014c. ASEAN SME Policy
Innovative ASEAN SMEs. ERIA-ASEAN ERIA Research Project Report 2012 no. 8. _______.
2014d.
Cetak Biru Pembiayaan
Lim, Raymond. 2014. Providing Finance To SMEs And MEs. APEC Public - Private Dialogue On Addressing Impediments Of SMEs And Senior Vice President, Citi Commercial Bank Singapore. Masha, Nasihin. 2010. G-20 Hadirkan Prinsip Keuangan Inklusif. Senin, 28 Juni 2010, diunduh pukul 06:32 WIB. Sinaga, Pariaman. 2014. Koperasi dan UMKM Sebagai Instrumen Penguat Ekonomi Rakyat. Bahan Diskusi Kuliah Kerja Lapangan Terpadu Jurusan Pendidikan Ekonomi FE Unnes Semarang. Kementerian KUKM, Jakarta, 12 Agustus. Situmorang, Johnny W dan Saudin Sijabat. 2011. Koperasi dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia: Tinjauan Probabilitas Tingkat Anggota Koperasi Dan Tingkat Kemiskinan Propinsi.
Menengah Tahun 2015 – 2019. Draft 21 Rancangan Blueprint Pembiayaan
Kementerian KUKM. Jakarta. Fajar, Agung Nur. 2012. Peran Koperasi Dalam Program Inklusi Keuangan. I Vol 20 Juni 2012 hal 56-73. ISSN 0216813X (terakreditasi). Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM, Jakarta.
16
hal 43-69. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM. Jakarta. Situmorang, Johnny W. 2013. Uang, Koperasi, dan Moneterisasi Perekonomian “Akar Rumput”. INFOKOP Media Pengkajian 97-113. ISSN 0216-813X (terakreditasi). Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM, Jakarta.
KARAKTERISTIK KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA FINANSIAL INKLUSIF Johnny W. Situmorang
Situmorang, Johnny W dan Akhmad Junaedi. 2004. Indonesia Institutional Setting And Impediments For Trade Finance. Submit for APEC Public - Private Dialogue on Addressing Impediments of SMEs and Ha Noi, March 27-28.
Wijaya, Krisna. 2014. Keuangan. Sabtu, 26 April.
Situmorang, Johnny W., Akhmad Junaidi, dan Choirul Djamhari. 2014. Laporan APEC Public - Private Dialogue On Addressing Impediments Of SMEs And
http://www.brookings.edu/~/media/Projects/ BPEA/Spring%202013/2013a_klapper. pdf. Measuring Financial Inclusion: Explaining Variation in Use of Financial Services Across and within Countries. Brookings Papers on Economic Activity, spring 2013. Diunduh 6 Mei 2014, pukul 13.30.
. Laporan internal. Jakarta, 1 April. Swasono, Sri Edi. 2014. Demokrasi Daulat Rakyat. OPINI Harian Kompas hal 6. Jakarta, 16 Agustus. Tambunan, Tulus. 2012. Pasar Bebas ASEAN: Peluang, Tantangan dan Ancaman Bagi UMKM Indonesia. INFOKOP Media
Kendala Inklusi
Website diunduh 28 April 2014, pukul 11.00
h ttp : //e co n . w o r ld b a n k. o rg /w b s ite/
pagePK:64168182~piPK:64168060
hal 13-35. ISSN 0216-813X (terakreditasi). Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM, Jakarta. Terry, Andrew. 2014. The Impedimennts to SMEs and Mes in Accessing Trade Finance in APEC and Sugegested Solutions. APEC Public - Private Dialogue On Addressing Impediments Of SMEs And
http://en.wikipedia.org/wiki/Financial_ inclusion Diunduh 7 Mei 2014 pkl 14.30
Profesor of Business Regulation, The University of Sidney Business School, Australia.
http://www.bi.go.id/id/statistik/seki/terkini/ Diunduh 12 Mei 2014, pukul 12.00.
Wibowo, Y. Santoso dan Rahmi Artati. 2012. Penguatan Infrastruktur Keuangan Bagi UMKM: Menyongsong MEA 2015.
http://www.imd.org/uupload/IMD.WebSite/ wcc/WCYResults/1/scoreboard_2014.pdf. Diunduh 11 Juni 2014 pukul 1100.
Sector Development Unit - World Bank
Vol 21 Oktober 2012 hal 36-52. ISSN 0216-813X (terakreditasi). Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM, Jakarta.
17