Karakteristik, Dampak Lingkungan dan Penanganan Brine SWRO Khairil Amri* Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha No. 10, Bandung, Indonesia * Corresponding Author:
[email protected]
Abstrak Kebutuhan air bersih meningkat setiap tahun karena peningkatan populasi manusia dan tingginya tingkat pencemaran air. Upaya penyediaan air bersih melalui teknologi desalinasi air laut berkembang sangat cepat sejak tahun 1990. Menurut data dari IDA tahun 2015, perkiraan jumlah air yang didesalinasi segera akan mencapai 100 MCM/hari dengan menghasilkan potensi limbah brine dua kali lipat nya (200 MCM/hari). Teknologi desalinasi air laut didominasi oleh sistem membran RO karena memiliki kebutuhan energi yang rendah dan ekonomis. Namun, brine dari sistem RO perlu dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi ekosistem laut. Makalah ini menjelaskan tinjauan singkat beberapa teknologi yang dikembangkan dalam proses desalinasi air laut, karakteristik, mitigasi dampak lingkungan yang ditimbulkan dan upaya penanganan brine SWRO. Pengolahan air laut dan penanganan brine dilakukan dengan menerapkan teknologi seperti teknologi evaporasi, RO, DM dan ZLD/ZDD. Karakteristik dan dampak lingkungan pembuangan brine dipengaruhi kondisi lokal air laut, kondisi regional, dan metode pembuangan dan teknologi yang digunakan. Kata kunci : SWRO, desalinasi, brine, dampak lingkungan
Peningkatan populasi manusia dan kemajuan perekonomian suatu negara akan mendorong peningkatan kebutuhan air bersih setiap tahunnya. Desalinasi air laut adalah salah satu metode penyediaan air bersih yang efektif dan ekonomis, sehingga perkembangannya sangat signifikan dan telah diterapkan di berbagai negara di dunia. Desalinasi adalah proses penghilangan mineral terlarut (khususnya garam) dari air laut, air payau dan dalam proses pengolahan air bersih (Palomar dan Losada, 2010).
produksi 70 MCM/hari (Jirka, 2008 ; Wenten, 2014 ; Bashitialshaeer dan Persson, 2015 ; Condorchem, 2014). Menurut data terbaru dari IDA, jumlah air yang di-desalinasi segera akan mencapai 100 MCM/hari dengan menghasilkan potensi limbah larutan garam dua kali lipat nya (200 MCM/hari) (IDA, 2015). Teknologi RO mendominasi 53% dari teknologi pengolahan air laut di dunia pada tahun 2011 (Mezher dkk dalam Wenten, 2014) dan 65% pada tahun 20132014 (Bashitialshaaer, 2015). Perkembangan teknologi RO disajikan pada gambar 1.
Beberapa negara dengan sumber air bersih terbatas seperti di Timur Tengah, telah mengembangkan proses desalinasi air laut sebagai proses utama dalam penyediaan air bersih dan air minum. Data UN Water menunjukkan bahwa pada Februari 2014 terdapat lebih dari 16000 pabrik desalinasi di seluruh dunia dengan kapasitas
Pengembangan teknologi desalinasi air laut di Indonesia masih sedikit, padahal Indonesia adalah negara dengan potensi air laut sangat besar. Hal ini didukung oleh fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan garis pantai terbesar ke dua di dunia dan visi pemerintah untuk memajukan kehidupan berbasis
1. Pendahuluan
2
Khairil Amri, Karakteristik, Dampak Lingkungan dan Penanganan Brine SWRO, 01-10
kemaritiman. Teknologi desalinasi air laut merupakan salah satu upaya untuk menyediakan kebutuhan air bersih dan industri lain berbasis kelautan seperti industri pembangkit listrik dan industri minyak dan gas bumi (offshore).
Gambar 1. Perkembangan distribusi teknologi RO dunia (Bashitialshaaer, 2015).
Ca dan Mg < 50 ppm, sulfat (SO42- ) < 150 ppm serta tidak adanya logam berat dan pirogen (Kimia Farma Tbk, 2014). Palomar dan Losada (2010) menjelaskan bahwa brine adalah garam konsentrasi tinggi yang memerlukan penanganan lebih lanjut sebelum dikembalikan ke lingkungan sekitar. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman lebih lanjut untuk menentukan teknologi yang tepat dan ekonomis serta mengetahui langkah antisipatif terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh brine. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, dalam makalah ini dijelaskan karakteristik brine, penanganan dan dampak lingkungan brine. Makalah ini difokuskan pada larutan brine yang dihasilkan melalui teknologi RO dalam proses desalinasi air laut (SWRO).
2. Teknologi Desalinasi Air Laut Produksi air bersih melalui proses desalinasi air laut akan menghasilkan air bersih dan larutan brine (brine). Brine adalah larutan dengan konsentrasi garam minimal 26 % w/w. Selain dari proses desalinasi, Condorchem (2014) menjelaskan bahwa brine juga dihasilkan dari beberapa proses industri lain, diantaranya adalah : industri tekstil, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, industri pengawet makanan, efluen dari pengolahan air limbah, industri penyamakan kulit, pengolahan air untuk pembangkit listrik dan sumur minyak dan gas. Brine juga dapat dihasilkan dari proses produksi garam pangan konvensional dengan kadar air dan pengotor masih tinggi. Di Indonesia, PT. Kimia Farma sebagai BUMN farmasi saat ini sedang membangun pabrik garam farmasetis dan aneka pangan dengan memanfaatkan brine hasil produksi garam konvensional dari air laut. Garam farmasi merupakan garam dengan kualitas tertinggi dengan kadar natrium klorida (NaCl) > 99,5 % serta dengan kandungan pengotor seperti
Pemahaman teknologi produksi air bersih diperlukan untuk memahami tindakan yang diperlukan dalam mengatasi dampak lingkungan dari seluruh proses yang berlangsung. Sistem desalinasi air laut memiliki sebuah unit intake yang menyediakan air laut untuk diolah di unit pre-treatment dan terhubung ke unit RO dan post-treatment unit. Sistem desalinasi air laut didesain tanpa penambahan zat kimia untuk menyederhanakan logistik dan memudahkan standarisasi produk. Unit desalinasi air laut didesain untuk mencegah terjadinya biofouling, penyumbatan dan korosi oleh proses biologi dan mekanikal (Levy dkk, 2015). Tabel 1. Teknologi proses desalinasi air laut Teknologi Membran
Proses Termal
Berbasis Ionik
Reverse Osmosis Elektrodialisis
Flash Evaporation Multiple Effect Evaporation Kompresi uap
Pertukaran ion
Sumber : Condorchem Envitech, 2014
Khairil Amri, Karakteristik, Dampak Lingkungan dan Penanganan Brine SWRO, 01-10
Sejumlah teknologi desalinasi telah diterapkan, diantaranya teknologi membran, termal dan proses ionik (Tabel 1). Teknologi membran adalah teknologi yang paling banyak diterapkan dibanding Pretreatment
teknologi lainnya. Diantara teknologi membran, membran RO adalah teknologi paling populer dalam menangani krisis air global. (Kurihara dkk, 1999 ; Jiang dkk, 2014). Cartridge Filter
NaHSO3
FeCL3
P-28
Cl2
Unit RO
6.5 MPa
Cl2
H2SO4 Recovery Energi dari Turbin
Air Laut
Produk Air Tangki Larutan Air Brine Filtrat Gambar 2. Pabrik RO satu tahap (diadaptasi dari Kurihara dkk, 1999) Tangki Air Laut
Sistem Konvensional High Pressure Pump
Air Laut (100)
Unit RO
Produk Air (40)
Produk Air Total (40+20)
Pretreatment
Larutan Brine (60) C = 5.8 % SW () Rasio Laju AIir
Unit RO
Pompa Booster 60 -> 10.00 MPa
Recovery Air 60% Product Water (20)
Larutan Brine (40) C = 5.7 % SW
Gambar 3. Pabrik RO dua tahap (diadaptasi dari Kurihara dkk, 1999)
RO adalah proses menggunakan membran dimana kontaminan berukuran terkecil dan ion monovalen dipisahkan dari umpan. Pemisahan dengan membran RO
bersifat khusus karena tergantung pada sifat kimia material, polimer penyusun lapisan membran dan konfigurasi padatan asimetrik lapisan membran (Macedonio
3
4
Khairil Amri, Karakteristik, Dampak Lingkungan dan Penanganan Brine SWRO, 01-10
dkk, 2012). Pengembangan metode RO konvensional (satu-tahap) untuk air laut (SWRO) baru-baru ini adalah dengan membuat proses SWRO dua-tahap (Gambar 2 dan 3), seperti dijelaskan oleh Kurihara dkk (1999). Pengembangan ini mampu meningkatkan produksi air bersih 10 % lebih tinggi dari proses satu tahap. Rata-rata brine yang dihasilkan dari teknologi RO adalah 40 % dan untuk teknologi termal 90 % dari umpan masuk (intake) (Bleninger dkk, 2009).
3. Karakteristik Brine SWRO Bleninger dkk (2009) mencoba menghitung pembuangan (discharge) dari pabrik desalinasi dan menjelaskan bahwa karakteristik brine yang dibuang dapat dipahami dengan memperhatikan komponen brine, yaitu : 1. Struktur bangunan pembuangan, terdiri dari tipe struktur, lokasi, dimensi dan orientasi pembuangan. 2. Efluen, terdiri dari tipe pembuangan, sifat fisika, fluks, sifat kimia/biologi dan laju alir. Seperti disajikan pada gambar 4, kosentrat garam akan larut ke air laut secara cepat jika kedalaman semakin besar. Ditinjau dari jenis air yang menerima buangan brine, perlu diperhatikan dua hal, yaitu : 1. Kondisi lokal di sekitar lokasi pembuangan, seperti tipe tampungan air, topografi, kedalaman, sifat fisika, kondisi hidrologi dan sifat kimia/biologi. 2. Kondisi regional untuk seluruh sistem perairan, terkait dengan pengaruh tekanan lain, pengaruh perubahan ekosistem air dan karakteristik pembilasan (flushing). Secara umum, perhitungan densitas brine dan air penerima dipengaruhi oleh fluks buoyancy. Untuk mengetahui faktor penentu pilihan sistem yang digunakan dalam mengatur efluen brine adalah dengan memahami karakteristik efluen
tersebut. Karakteristik brine RO disajikan pada tabel 2. Jirka (2008) menjelaskan karakteristik keluaran brine dari SWRO, yaitu : 1. Salinitas meningkat, tidak ada perbedaan temperatur sehingga brine kental (dense). 2. Densitas arus memiliki stabilitas tinggi dan turun sepanjang dasar laut. 3. Efek densitas sangat mempengaruhi karakteristik pengenceran. Tabel 2. Karakteristik brine Parameter
Unit pH Konduktifitas µS/cm TDS mg/L TOC mg/L PO43mg/L SiO2 mg/L Al3+ mg/L Fe3+ mg/L Turbiditas NTU UV254 cm-1 SUVA l/mg.m sumber : Ho dkk, 2015
Nilai 6.75 ± 0.6 1574 ± 49 1046 ± 28 24.3 ± 3.4 8.7 ± 4.0 38.9 ± 1.4 0.08 ± 0.03 0.20 ± 0.02 0.28 ± 0.01 0.52 ± 0.05 2.01 ± 0.003
4. Dampak Lingkungan SWRO dengan laju konversi 40%-50% membutuhkan air lebih sedikit dibanding proses termal/distilasi (laju konversi 10%20%), sehingga memiliki dampak lingkungan yang lebih kecil. Konsumsi energi tinggi namun dibanding proses termal lebih kecil. Sampah efluen tidak mengandung bahan kimia atau polusi termal, tapi memiliki konsentrasi garam yang tinggi sehingga dampak pada ekosistem laut lebih tinggi. SWRO tidak melibatkan proses pembakaran sehingga tidak menimbulkan polusi udara. Dampak visual tidak ada karena pabrik dibangun secara kompak, namun pabrik SWRO menimbulkan limbah padat akibat proses penggantian membran RO secara periodik (Polamar dan Lozada, 2010). Pembuangan limbah SWRO dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
dapat
1. Kontak langsung dengan air laut melalui konfigurasi sistem pembuangan.
Khairil Amri, Karakteristik, Dampak Lingkungan dan Penanganan Brine SWRO, 01-10
2. Kombinasi dengan efluen lain, seperti air pendingin sistem pembangkit listrik. 3. Dikeringkan. Ditinjau dari implementasi proyek desalinasi air laut, beberapa dampak yang ditimbulkan akibat infrastruktur SWRO adalah : 1. Menurunkan kualitas air karena pemasangan unit-unit proses dan pembangunan infrastruktur sipilnya. 2. Dampak pada sistem navigasi dan perikanan. 3. Dampak terhadap dinamika pesisir pantai. Pemasangan pipa bawah laut yang berhubungan dengan sumber air dan pipa pembuangan juga menimbulkan dampak pada beberapa hal, yaitu : 1. Kerusakan ekosistem di sekitar penggalian. 2. Efek pada turbiditas air karena peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi 3. Pengurangan cahaya matahari yang masuk ke dasar laut, mengganggu biota laut di dalamnya. 4. Pembentukan sedimentasi karena kematian organisme di dalam laut.
1. Berpengaruh pada kualitas air karena potensi bahan kimia berbahaya, meningkatkan kekeruhan karena keberadaan brine. 2. Berpengaruh pada plankton karena penurunan tekanan osmosis. 3. Dampak pada ikan karena kecepatan jet discharge. Untuk meminimalisir permasalahan ini maka kecepatan jet discharge tidak melebihi 3-3,5 m/s. 4. Dampak pada batu karang yang sensitif terhadap perubahan lingkungan. 5. Dampak pada rumput laut dan alga karena penurunan kualitas cahaya matahari yang masuk ke ekosistem laut. 6. Dampak pada rumput laut karena tingginya konsentrasi garam dalam brine. Roberts dkk (2010) menyimpulkan dari hasil penelitian di laboratorium dan observasi di lapangan bahwa penyebab utama terjadinya dampak negatif sistem ekologi adalah metode pembuangan dan pemilihan lokasi pembuangan. Dampak terbesar adalah dari pabrik desalinasi air laut dengan sistem multi-stage flash (MSF).
5. Penanganan Ditinjau dari sisi instalasi pengambilan air laut, dampak yang ditimbulkan adalah : 1. Resiko intrusi air laut ke dalam air tanah di sekitar penanaman pipa, khususnya pipa di bawah permukaan. 2. Jika dipasang dipermukaan, membutuhkan bahan kimia lebih banyak dalam proses preparasi, dampak negatif pada habitat permukaan air laut dan resiko tabrakan organisme karena besarnya laju alir air di permukaan. Brine yang dibuang ke laut akan menimbulkan dampak sebagai berikut :
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, tantangan dalam produksi air bersih adalah dihasilkan brine sebagai produk samping. Jika tidak ditangani dengan baik, brine akan menginduksi kerusakan ekosistem laut jika tidak ditangani dengan baik, terutama untuk area laut tertutup (Jiang dkk, 2014). Penanganan brine dilakukan dengan pendekatan teknologi desalinasi yang tepat untuk meminimalisasi terbentuknya brine selama proses penyediaan air bersih. Upaya lain adalah dengan melakukan treatment brine yang terbentuk dalam proses desalinasi air laut.
5
Khairil Amri, Karakteristik, Dampak Lingkungan dan Penanganan Brine SWRO, 01-10
Gambar 4. Karakteristik pencampuran dan distribusi zat untuk konfigurasi pembuangan melalui saluran atau bendungan di RO Plant (diadaptasi dari Bleninger, 2008)
Morillo (2014) telah membandingkan beberapa teknologi untuk menurunkan dan menghilangkan brine yaitu : 1. Evaporasi konvensional Cara paling konvensional adalah dengan memanaskan brine dibawah sinar matahari. Garam akan mengkristal karena air akan menguap akibat pemanasan matahari. Teknologi ini sangat membutuhkan ketersediaan lahan yang luas. Pengembangan teknologi ini adalah dengan mengintegrasikan kecepatan angin dan cahaya matahari untuk mempercepat penguapan. 2. Fitodesalinasi Penggunaan brine untuk produksi tanaman masih rendah karena rendahnya toleransi garam pada sebagian besar tanaman. Namun, ada spesies angiospermae yang toleran terhadap kadar garam air laut, disebut dengan halophytes. Metode ini masih dalam tahap penelitian dan pengembangan. Tantangan pengembangan metode ini adalah ketika tanah yang dialiri brine akan mengandung kalium berlebih dan menghambat infiltrasi air, drainase dan evaporasi, menyulitkan tanaman menyerap unsur hara dari tanah. 3. Sistem Evaporasi dan Kristalisasi Zarzo dkk dalam Moriello dkk (2014) telah menerapkan teknologi ZLD
berdasarkan prinsip evaporasi dan kristalisasi. Energi yang dibutuhkan sangat tinggi (0.095 Euro/kg brine yang dievaporasi. Mickley dkk dalam Moriello dkk (2014) juga melakukan recovery dan teknologi ZLD. Beberapa alternatif diusulkan dengan mengkombinasikan RO, pelunak soda, TBC, kristalisasi termal, spray dryer, kolam evaporasi dan landfill untuk mengambil kembali brine dari air payau sebesar 96%. 4. DM DM merupakan proses pemisahan secara non-isotermal dengan menggunakan membran. Pada proses ini, dua fluida encer dengan temperatur berbeda dipisahkan dengan membran hidrofobik mikropori. Temperatur operasi lebih rendah dari temperatur kedua fluida tersebut (Wenten dkk, 2014). Salah satu varian DM adalah vakum distilasi membran, dimana tekanan vakum digunakan untuk mengatur beda tekanan diantara dua sisi membran (Gambar 5). DM sudah komersial dan menghasilkan kualitas sangat baik dengan menolak garam 99-100%. Umpan tidak memerlukan proses pretreatment sehingga mengurangi kebutuhan material, namun DM mudah mengalami penyumbatan.
6
7
Khairil Amri, Karakteristik, Dampak Lingkungan dan Penanganan Brine SWRO, 01-10
Unit RO Air Laut
Produk Air
Larutan Brine
Permeasi
Vakum DM
Konsentrat Brine Berikutnya
Gambar 5. Skema proses desalinasi air laut dengan RO dan Vakum RO (diadaptasi dari Mericq dkk, 2010)
5. RO Dua-Tahap Pengolahan air laut dengan RO duatahap adalah alternatif teknologi untuk mendapatkan air bersih dalam jumlah banyak dan menurunkan brine. Pada tahap pertama, RO bekerja dengan tekanan tinggi sedangkan pada tahap kedua memiliki tekanan rendah. Industri Toray (Jepang) telah menerapkan sistem ini dan mampu
mendapatkan 60 % air dibanding proses satu-tahap yang hanya 40 % (Gambar 6). Faktor penting dalam penerapan teknologi RO adalah pencegahan terjadinya penyumbatan dan terbentuknya pengotor (fouling). Kunci pengelolaan efluen brine seperti dijelaskan oleh Ho, dkk (2015) adalah menekan kebutuhan energi untuk menghilangkan ion anorganik dan potensi terbentuknya pengotor. Salah satu cara seperti diusulkan Ho, dkk (2015) adalah melalui proses inline koagulasiultrafiltrasi. Koagulan yang digunakan adalah Polialumunium klorida, alumunium klorohidrat dan FeCl3. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa koagulan yang digunakan mampu mengurangi potensi fouling karena mengurangi DOC secara signifikan.
Pompa Bertekanan Tinggi
Air Laut
Sand Filter
Polishing Filter
Larutan Brine
Produk Air
Safety Filter 1st Unit RO Air
Gambar 6. Skema proses pilot plant desalinasi air laut oleh Toray-Jepang (diadaptasi dari Taniguchi dkk, 2001) 3
1 m air laut e.g T = 25 oC Garam = 35 ppt Ρ = 1023 kg/m3 Laju recovery untuk Pabrik RO : R = 30 – 50 %
Air Bersih 0.5 m3 o
T = 25 C Garam = < 10 ppt
Brine 0.5 m3
+
backwash
o
T = 25 C Garam = 70 ppt 3
ρ = 1050 kg/m + antiscalants +i (klorinasi dan deklorinasi) + koagulan
Rekomendari penanganan backwash
3
ρ = 997 kg/m
Gambar 7. Contoh karakteristik efluen RO (diadaptasi dari Jirka, 2008)
2nd Unit RO Air
8
Khairil Amri, Karakteristik, Dampak Lingkungan dan Penanganan Brine SWRO, 01-10
Air Laut NaOH
Pretreatment
Ke Laut
Recovery Magnesium
P-64
Mg(OH)2
Panas
ED
RO
NaCl 20% Recovery energi
Br2
Air Murni
Evaporasi
Garam Kering
Recovery Bromine
Cl2
Gambar 8. Skema proses ZDD (diadaptasi dari Davis, 2006)
Gambar 7 menyajikan salah satu neraca massa untuk proses SWRO yang dapat menghasilkan brine sebesar 50%. Dalam penanganan brine, diperlukan proses backwash untuk meregenerasi membran agar stabilitas sistem penyaringan tetap terjaga. Brine ditambahkan zat antiscalant, antifouling dan proses kuagulasi untuk mencegah gangguan perpipaan selama proses penanganan brine berlangsung. Jirka (2008) mengusulkan metode untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh brine, yaitu dengan melakukan beberapa upaya sebagai berikut : 1. Limbah brine dibuang di daerah yang tidak dilindungi, 2. Limbah brine dibuang di laut dengan turbulensi arus tinggi. 3. Konfigurasi limbah brine diatur melalui pengenceran agar tidak mengganggu ekosistem sekitar pembuangan. 4. Jika ada ekosistem yang dilindungi disekitar pembuangan brine, sebaiknya tidak menggunakan pembuangan langsung. 5. Maksimalkan pengenceran dengan menggunakan multi jet diffuser. Pembuangan brine ke laut dapat dilakukan dekat atau jauh dari lokasi
pabrik desalinasi. Pembuangan dekat dengan lokasi pabrik, ditandai dengan adanya pengenceran awal. Tingkat pengenceran lebih tinggi dicapai di lapangan dekat lokasi, karena efek turbulensi lapisan jet dan air. Pembuangan jauh dengan lokasi pabrik dengan memanfaatkan aliran gravitasi pembuangan brine dari atas ke dasar laut. Pengadukan bergantung pada kondisi atmosferik dan perbedaan densitas brine dengan air penerima. Rasio pengenceran sangat kecil dan cendrung konstan. Metode lain yang digunakan adalah CDI. Metode ini mampu menghilangkan 90% garam terlarut dalam brine namun elektrodanya mudah menangkap senyawa organik penyebab fouling dan scaling (Lee dkk, 2009). Teknologi terbaru dalam meminimalisasi brine adalah dengan menerapkan konsep ZLD, yaitu pengolahan air laut dengan mengambil seluruh air dan garam yang diperoleh berbentuk padatan siap dijual. Konsep ZLD melalui tiga langkah utama, yaitu : screening, evaporasi dan kristalisasi. Selain target utama proses ZLD adalah mengambil 100% air, garam padatan yang siap dijual juga menjadi perhatian, sehingga konsep ZLD juga dikenal dengan konsep ZDD. Perbedaan ZDD dengan ZLD lainnya adalah melalui pemanfaatan kelebihan energi dari RO
Khairil Amri, Karakteristik, Dampak Lingkungan dan Penanganan Brine SWRO, 01-10
dalam proses elektrodialisis. Konsep ZDD sederhana disajikan pada gambar 8 (Davis, 2006). Mekorot Water Company telah memproduksi garam dengan memanfaatkan brine dari pabrik SWRO di Eliat (Israel) dengan kapasitas produksi 10.000 m3/hari. Produksi garam dengan memanfaatkan brine SWRO mengurangi biaya produksi garam dan biaya produksi pabrik SWRO karena tidak membutuhkan jalur pembuangan brine dan mengurangi dampak lingkungan terhadap air laut (Raizky dan Nadav, 2007). Melian-Mertel dkk (2011) menjelaskan bahwa upaya untuk meminimalisasi dampak pembuangan brine adalah dengan memanfaatkan brine sebagai bahan baku industri berbasis senyawa klorida-alkali seperti industri klorin, hidrogen dan soda kaustik.
Kesimpulan Upaya untuk menangani brine dari pabrik SWRO telah dilakukan baik skala riset maupun skala komersial di seluruh dunia. Upaya tersebut dilakukan dengan memahami karakteristik dan dampak lingkungan dari brine yang sebelumnya hanya dibuang (discharge) ke laut. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi pembuangan brine atau mengolah brine menjadi produk yang lebih bermanfaat. Melalui upaya tersebut, pabrik SWRO mampu mengurangi dampak lingkungan dari brine dan meningkatkan keuntungan pabrik tersebut.
Daftar Notasi SWRO RO MCM IDA UN BUMN
SeaWater Reverse Osmosis Reverse Osmosis Mega Cubic Meter International Desalination Agency (IDA) United Nation
Badan Usaha Milik Negara
NaCl Ca Mg Tbk MSF ME ED ZLD ZDD kg TBC DM FeCl3
DOC CDI ED
Natirum Klorida Kalsium Magnesium Terbuka Mutistage Flash Mutltiple Effect Distillation Elektrodialisis Zero Liquid Discharge Zero Desalination Discharge kilogram Thermal Brine Concentrator Distilasi membran Ferriklorida Dissolve Organic Content Capacitive Deionization Electrodialisis
Daftar Pustaka A. Ravizky, N. Nadav, (2007), Salt production by the evaporation of SWRO brine in Eliat : a success story, J.Desalination, 205, 374-379. C. Jiang, Y. Wang, Z, Zhang, T. Xu, (2014), Electrodialysis of concentrated brine from RO plant to produce coarse salt and freshwater, J.Membr. Sci 450, 323-330. Condorchem Envitech, (2014), Brine treatment, available online : blog-en. condorchem.com/img/Brine-treatment.pdf, diakses 2 November 2015. D.A. Roberts, E.L. Johnston, N.A. Knott, (2010), Impacts of desalination plant discharges on the marine environment: a critical review of published studies, Water Res. 44, 5117–5128. F. Macedonio, E. Driolli, A.A. Gusev, A. Bardow, R. Semiat, M. Kurihara, (2012), Efficient technologies for worldwide clean water supply, J. Chemical Engineering Processing 5, 2-17. G.H. Jirka, (2008), Improved discharge configuration for brine effluents from desalination plants, J. Hydraul, Eng. 134, 116120. IDA, (2015), Desalination Year Book, GWI Desal Data/IDA.
9
Khairil Amri, Karakteristik, Dampak Lingkungan dan Penanganan Brine SWRO, 01-10
I.G. Wenten, N.F. Himma, S. Annisah, N. Prasetya (2014), Membran Superhidrofobik, Diktat Kuliah, Departemen Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung. I.G. Wenten (2014), Industri Membran dan Perkembangannya, Diktat Kuliah, Departemen Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung. J. Morillo, J. Usero, D. Rosado, H.E Bakouri, A. Riaza, F-J, Bernaola, (2014), Comparative study of brine management technologies for desalination plants, J. Desalination 336, 3249. J.-P. Mericq, S. Laborie, C. Cabassud, (2010), Vacuum membrane distillation of seawater reverse osmosis brines, Water Res. 44, 5260– 5273. J.S. Ho, Z. Ma, J. Qin, S.H. Sim, C-S. Toh, (2015), Inline coagulation– ultrafi ltration as the pretreatment for reverse osmosis brine treatment and recovery, J. Desalination 365, 242-249. Kimia Farma Tbk, (2015), Kimia Farma Bangun Pabrik Bahan Baku Garam Farmasi, available online http://www.kimiafarma.co. id/detail.php?i=378, diakses tanggal 2 November 2015. L.Y. Lee, H.Y. Ng, S.L. Ong, J.Y. Hu, G. Tao, K. Kekre, B. Viswanath, W. Lay, H. Seah, (2009), Ozone-biological activated carbon as a pretreatment process for reverse osmosis brine treatment and recovery, Water Res. 43, 3948–3955. M. Kurihara, H. Yamamura, T. Nakanishi, (1999), High recovery/ high pressure membranes for brine conversion of SWRO process development and its performance data, J. Desal, 125, 9-15. M. Taniguchi, M. Kurihara, S. Kimura, (2001), Behavior of a reverse osmosis plant adopting a brine conversion two-stage process and its computer simulation, J. Membr. Sci. 183, 249–257. N. Melian-Martel, J.J. Sadhwani, S.O.P. Baez, (2011), Saline waste disposal reuse for desalination plants for the chlor-alkali industry
The particular case of pozo izquierdo SWRO desalination plant, J.Desalination, 281, 35-41. P. Palomar, I.J. Losada, (2010, Impacts of Brine Discharge on the Marine Environment. Modelling as a Predictive Tool, Environmental Hydarulics Institute, “IH Cantabria”, Spain. R. Bashitialshaeer, K.M. Person, (2015), Developing new measuring technique controlling desalination brine concentration, IDAWC15, California. T.A. Davis, (2006), Zero Discharge Seawater Desalination : Integrating the production of freshwater, salt, magnesium, and bromine, Desalination and Water Purification Research and Development Program Report no. 111, University of South Carolina Research Foundation. T. Bleninger, A. Niepelt, G. Jirka, (2009), Desalination plant discharge calculator, Baden-Baden, Germany.
10