Suaydhi / Karakteristik Awal dan Panjang Musim di Indonesia
109
Karakteristik Awal dan Panjang Musim di Indonesia Suaydhi Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) - LAPAN Jl. Dr. Junjunan 133 Bandung 40173
[email protected]
Abstrak – Penentuan awal musim hujan dan awal musim kemarau sangat penting bagi peningkatan produksi pangan. Kriteria untuk penentuan awal musim ini sangat bervariasi. Dalam makalah ini, data curah hujan harian GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation) digunakan untuk menentukan awal musim. Kriteria yang digunakan adalah nilai ambang 5mm/hari dan curah hujan pentad. Analisis dilakukan untuk delapan daerah berbeda di seluruh wilayah Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai ambang 5 mm/hari yang setara dengan nilai ambang dipakai oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) cocok digunakan untuk wilayah Indonesia. Awal dan panjang musim di Indonesia dipengaruhi terutama oleh angin monsoon dan ENSO (El Nino Southern Oscillation). Kata kunci: awal musim, curah hujan, monsoon, ENSO, Indonesia
I. PENDAHULUAN Dalam rangka menghadapi era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA), sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat strategis dan harus ditingkatkan produksinya. Peningkatan produksi pertanian, selain memerlukan infrastruktur yang baik juga memerlukan pengetahuan tentang karakteristik musim. Pola tanam dan jenis tanaman harus disesuaikan dengan karakter awal dan panjang musim di suatu lahan pertanian, agar dapat menghasilkan produksi yang optimal. Musim hujan di Indonesia dipengaruhi oleh banyak factor [1 - 3], antara lain oleh monsoon, El Nino/Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole, dan MaddenJulian Oscillations (MJO). Pergantian arah angin monsoon merupakan awal bergantinya awal musim, dari musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya. Perubahan arah angin monsoon ini dapat dipengaruhi oleh ada tidaknya fenomena El Nino dan La Nina.El Nino dapat menyebabkan awal musim hujan tertunda dan musim kemarau menjadi lebih lama. Sedangkan La Nina bisa mempercepat datangnya awal musim hujan dan memperpanjang durasi musimnya. Ada berbagai macam kriteria atau metode untuk menentukan awal musim hujan atau awal musim kemarau. Kriteria awal (onset) musim hujan yang biasa digunakan di Indonesia adalah metode hujan dasarian yang ditetapkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) [4]. Marengo dkk. [5] menggunakan kriteria hujan pentad (5 harian) untuk menentukan awal dan akhir musim hujan di Brazil. Amekudzi dkk. [6] menggunakan metode kurva kumulatif jumlah hari hujan dan jumlah curah hujan untuk menentukan awal dan akhir musim hujan di Ghana. Boyard-Micheau dkk. [7] menggunakan pendekatan berbasis analisis multivariate untuk menentukan awal musim hujan di Afrika timur (Kenya dan Tanzania). Sedangkan untuk menentukan awal monsoon di Kerala (bagian paling selatan India), Joseph dkk. [8] menggunakan sebuah metode pentad dari data awan konvektif tinggi. Di wilayah Sahel (Senegal, Mali, Burkina Faso), Marteau dkk. [9] menggunakan analisis data harian untuk menentukan awal monsoon.
Variasi penentuan awal atau akhir musim hujan ini disebabkan definisi awal/akhir hujan agak fleksibel [10]. Hal ini biasanya berkaitan dengan sudut pandang, misalnya seorang klimatologis akan mendefinisikan awal/akhir musim secara berbeda dibandingkan seorang agronomis ataupun seorang hidrologis [7]. Apalagi wilayah Indonesia mempunyai pola curah hujan yang sangat bervariasi [1 - 3, 11 - 12], ada daerah yang tinggi intensitas dan frekuensi curah hujannya (misalnya Papua) dan ada yang rendah intensitas dan frekuensinya (Nusa Tenggara Timur). Makalah ini bertujuan meneliti karakteristik awal dan panjang musim hujan di Indonesia menggunakan data curah hujan. Beberapa wilayah di berbagai wilayah Indonesia akan diambil sebagai sampel untuk mengetahui bagaimana awal dan panjang musim hujan bervariasi dari tahun ke tahun. II. DATA DAN METODOLOGI A. Data Data curah hujan harian yang cukup panjang rentang waktunya dan berkesinambungan mutlak diperlukan untuk menentukan awal musim hujan atau kemarau. Data curah hujan dari data stasiun-stasiun pengamatan di Indonesia kurang terpantau kualitasnya dan sulit mendapatkan data yang berkesinambungan [12]. Oleh karena itu penelitian dalam makalah ini menggunakan data reanalisis yang bersumber dari data satelit, yaitu data Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP [13]). Data curah hujan GSMaP diturunkan dari data radiometer microwave pasif dan data radiometer infra merah hasil pengamatan dari bermacam-macam satelit, seperti TRMM/TMI, Aqua/AMSR-E, ADEOS-II/AMSR, DMSP/SSMI(F13, 14, 15), GOES-8/10, METEOSAT-7/5 dan GMS. Tehnik filter Kalman digunakan untuk membuat estimasi laju curah hujan permukaan pada tiap piksel 0,1 derajat suhu kecerahan infra merah menggunakan satelit-satelit GEO-IR [13]. Filter ini memprediksi laju curah hujan dari radiometer microwave dan hasil morphing dari data tersebut diperoleh dengan cara mirip yang digunakan oleh Joyce dkk. [14]. Kemudian data prediksi ini diperbaiki berdasarkan
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXX HFI Jateng & DIY, Salatiga 28 Mei 2016 ISSN : 0853-0823
Suaydhi / Karakteristik Awal dan Panjang Musim di Indonesia
110
hubungan antara suhu kecerahan infra merah dan laju curah hujan permukaan. Data GSMaP tersedia dalam resolusi waktu 1 jam. Rentang waktu data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari 1 Januari 2001 sampai dengan 31 Desember 2013.
Daerah-daerah tersebut akan dianalisis lebih mendalam pada makalah ini untuk mengetahui variasi awal dan panjang musimnya. Dalam makalah ini, nama-nama daerah dalam kotak mewakili bagian wilayah, bukan merujuk pada nama propinsi.
B. Metodologi Menurut BMKG, kriteria awal musim hujan adalah jumlah curah hujan dasarian (10 harian) minimal 50 mm selama tiga dasarian berturut-turut dan awal musim kemarau adalah kebalikan dari awal musim hujan, yaitu jumlah curah hujan dasarian kurang dari 50 mm selama tiga dasarian berturut-turut [4]. Namun, kriteria dari BMKG ini kaku (rigid), sedangkan curah hujan sangat bervariasi. Dalam makalah ini, kriteria yang digunakan adalah modifikasi dari kriteria Marengo dkk. [5]. Mereka [5] mengindikasikan awal musim hujan (kemarau) dengan pentad yang rata-rata hujan hariannya lebih (kurang) dari 4 mm/hari, asalkan 6 dari 8 pentad sebelumnya (sesudahnya) mempunyai curah hujan kurang dari 3,5 mm/hari dan diikuti (didahului) dengan 6 dari 8 pentad sesudahnya (sebelumnya) mempunyai curah hujan lebih dari 4,5 mm/hari. Modifikasi kriteria dalam makalah ini adalah batas (threshold) awal musim hujan diubah dari 4 mm/hari menjadi 5 mm/hari mengikuti kriteria BMKG (50 mm per 10 hari), yang didahului dengan pentad curah hujan ratarata kurang dari 5 mm /hari (yaitu 4.99 mm/hari atau kurang) dan diikuti oleh pentad dengan pentad curah hujan rata-rata lebih dari 5 mm/hari (yaitu 5.01 mm/hari atau lebih). Kriteria untuk awal musim kemarau adalah kebalikan dari kriteria awal musim hujan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1 menunjukkan waktu (bulan) terjadinya puncak jumlah curah hujan (panel atas) dan jumlah curah hujan rata-rata yang diterima dalam satu tahun (panel bawah). Panel atas gambar tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Sumatra mempunyai puncak curah hujan pada bulan Desember, kecuali Sumatra bagian utara (bulan Nopember), Sumatra Barat (Mei), Sumatra Selatan (April), dan Lampung (Februari). Di wilayah Jawa, puncak curah hujan terjadi antara bulan Desember dan Februari. Bali dan Nusa Tenggara mengalami puncak curah hujan pada bulan Desember. Sebagian besar wilayah Kalimantan mengalami puncak curah hujan pada bulan Mei, kecuali Kalimantan bagian selatan (April) dan pantai timur Kalimantan (Februari). Di wilayah Sulawesi, sebagian besar mengalami puncak curah hujan di bulan April atau Mei. Puncak curah hujan di wilayah Maluku sangat bervariasi. Bagian selatan pulau Seram dan Buru mengalami puncak curah hujan pada bulan Juni atau Juli, sama dengan yang terjadi di Halmahera. Sedangkan bagian utara pulau Seram dan pulau Buru mempunyai puncak curah hujan antara Maret dan April. Papua juga mempunyai puncak curah hujan yang bervariasi antara Desember dan Mei. Pada panel atas Gambar 1 terdapat delapan (8) daerah yang ditandai dengan kotak warna merah. Delapan daerah tersebut mewakili berbagai pulau di Indonesia dan dipilih yang mempunyai pola puncak hujan yang berlainan.
Gambar 1. Bulan-bulan ketika terjadinya puncak curah hujan di Indonesia (panel atas) dan jumlah curah hujan rata-rata tahunan (panel bawah). Daerah- daerah yang ditandai dengan kotak merah akan menjadi bahan analisis lebih lanjut pada makalah ini.
Panel bawah Gambar 1 menunjukkan bahwa wilayah Papua dan sebelah barat pulau Sumatra secara umum mendapatkan jumlah curah terbanyak, sedangkan Nusa Tenggara mendapatkan curah hujan paling sedikit setiap tahunnya. Secara umum, wilayah Sumatra dan Jawa mendapatkan curah hujan antara 20 ribu hingga 35 ribu mm. Jumlah curah hujan di sebagian wilayah Kalimantan bisa mencapai 40 ribu mm, wilayah Sulawesi dan Maluku sekitar 25 ribu mm, di sebagian Papua bisa mencapai lebih dari 50 ribu mm per tahun, sedangkan di Nusa Tenggara hanya sekitar 10 ribu mm atau kurang per tahunnya. Gambar 2 menunjukkan klimatologi curah hujan pentad dari delapan daerah yang ditandai dengan kotak merah pada Gambar 1. Garis merah horizontal pada Gambar 2 merupakan kriteria awal musim, yaitu curah hujan dengan rata-rata 5 mm/hari. Arsiran warna biru muda di atas garis mengindikasikan musim hujan, dan kurva di bawah garis merah mengindikasikan musim kemarau.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXX HFI Jateng & DIY, Salatiga 28 Mei 2016 ISSN : 0853-0823
Suaydhi / Karakteristik Awal dan Panjang Musim di Indonesia
Sumatra bagian utara (Gambar 2a) mengalami musim hujan hampir sepanjang tahun, dari pentad ke 16 (berpusat pada tanggal 19 Maret) sampai awal Januari. Jadi panjang musim hujannya sekitar 57 pentad (285 hari atau 9,5 bulan). Di Sumatra bagian selatan (Gambar 2b), musim hujan dimulai pada pentad ke 58 (sekitar 15 Oktober) dan berakhir pada pentad ke 26 (sekitar 8 Mei). Panjang musim hujan untuk Sumatra bagian selatan ini sekitar 42 pentad (210 hari atau 7 bulan). Untuk Jawa bagian tengah (Gambar 2c), musim hujan dimulai pada pentad ke 60 (25 Oktober) dan berakhir pada pentad ke 23 (sekitar 23 April), sehingga mempunyai panjang musim 37 pentad (185 hari atau 6 bulan). Awal musim hujan di Nusa Tenggara bagian timur (Gambar 2d) terjadi pada pentad ke 67 (29 November) dan berakhir pada pentad ke 13 (4 Maret), sehingga panjang musim hujannya hanya sekitar 20 pentad (100 hari atau kurang dari 3,5 bulan). Musim hujan di Kalimantan bagian timur (Gambar 2e) dimulai pada pentad ke 54 (25 September) dan berakhir pada pentad ke 33 (12 Juni). Panjang musim hujan untuk daerah ini adalah 53 pentad (265 hari atau lebih dari 8,5 bulan). Di Sulawesi bagian tengah (Gambar 2f), musim hujan dimulai pada pentad ke 65 (19 November) dan berakhir pada pentad ke 34 (17 Juni), sehingga panjang musim hujannya sekitar 43 pentad (215 hari atau lebih dari 7 bulan). Maluku bagian tengah (selatan pulau Buru dan Seram) tampak mempunyai dua musim hujan (Gambar 2g). Musim hujan yang utama terjadi pada pertengahan tahun yang berawal pada pentad ke 14 (9 Maret) dan berakhir pada pentad ke 43 (1 Agustus) dengan panjang sekitar 30 pentad (150 hari atau 5 bulan). Musim hujan sekunder berawal pada pentad ke 68 (4 Desember) dan berakhir pada pentad ke 5 (23 Januari) dengan panjang 11 pentad (55 hari atau kurang dari 2 bulan). Wilayah Papua bagian utara (Gambar 2h) terlihat mempunyai curah hujan di atas 5 mm/hari sepanjang tahun. Jadi untuk wilayah ini bisa dikatakan tidak mempunyai musim kemarau. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa musim hujan dimulai dari Sumatra menuju Jawa terus ke arah timur menuju Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal ini disebabkan angin monsoon Asia yang banyak membawa uap air melewati Sumatra terlebih dahulu, kemudian menuju Jawa dan bertiup ke arah timur sampai NTT. Makin ke timur, uap air yang terbawa oleh angin monsoon tersebut makin sedikit. Angin monsoon Asia ini mempunyai intensitas kuat pada bulan-bulan Desember, Januari dan Februari, kemudian melemah pada bulan Maret. Meskipun angin ini masih terdeteksi pada bulan Maret dan April, namun tidak membawa uap air yang cukup untuk terjadinya hujan. Dengan demikian musim hujan di NTT akan berakhir sekitar bulan Maret. Sebaliknya pada saat angin monsoon Australia yang bersifat kering, wilayah di Indonesia yang akan dilewati terlebih dahulu adalah NTT. Angin monsoon ini bertiup pada saat musim panas di belahan bumi selatan (BBS), yaitu sekitar bulan Juni sampai Agustus (JJA). Karena wilayah NTT terpengaruh kuat oleh angin kering ini, maka wilayah hujan konvektif susah terbentuk di sini.
111
Akibatnya pada bulan-bulan JJA, NTT boleh dikatakan tidak mengalami curah hujan (lihat Gambar 2d).
Gambar 2. Klimatologi hujan pentad untuk delapan daerah yang ditandai pada Gambar 1, untuk Sumatra bagian utara (a), Sumatra bagian selatan (b), Jawa bagian tengah, (c) Nusa Tenggara bagian Timur (d), Kalimantan bagian timur (e), Sulawesi bagian tengah (f), Maluku (g) dan Papua bagian utara (h). Garis merah menunjukkan batas curah hujan yang dipakai (5 mm/hari) untuk menentukan musim hujan (arsiran warna biru muda).
Pengaruh angin kering ini makin berkurang ke arah wilayah Indonesia lainnya, sehingga hujan masih terjadi di Jawa pada JJA, dan Sumatra masih mendapat curah hujan yang cukup signifikan. Selain musim hujan di Sumatra lebih panjang daripada pulau Jawa dan paling pendek dialami oleh NTT, jumlah curah hujan tahunan di Sumatra lebih besar dibandingkan Jawa, dan NTT mempunyai jumlah curah hujan tahunan yang paling sedikit dibandingkan wilayah Indonesia lainnya.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXX HFI Jateng & DIY, Salatiga 28 Mei 2016 ISSN : 0853-0823
Suaydhi / Karakteristik Awal dan Panjang Musim di Indonesia
112
Pergerakan dari waktu ke waktu (dalam pentad) awal musim hujan dan dan awal musim kemarau ditunjukkan pada Gambar 3 untuk nilai ambang (threshold) 5 mm/hari. Untuk nilai ambang ini, awal musim hujan (panel atas Gambar 5) terlihat mulai dari Sumatra bagian utara sekitar pentad 12-16. Awal musim hujan di wilayah ini berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya yang umumnya terjadi setelah pertengahan tahun. Warna putih menandakan bahwa wilayah tersebut tidak dapat ditentukan kapan awal musim hujan atau kemarau, karena mempunyai curah hujan yang relatif stabil sepanjang tahun (baik di atas ataupun di bawah nilai ambang 5 mm/hari).
awal musim hujannya mulai terlihat terjadi pada awal tahun (pentad 14) seperti Gambar 2g.
Gambar 4. Sama dengan Gambar 3, namun untuk nilai ambang 4 mm/hari.
Gambar 3. Pergerakan awal musim hujan (panel atas) dan awal musim kemarau (panel bawah) untuk wilayah Indonesia dan sekitarnya dengan nilai ambang 5 mm/hari.
Pergerakan awal musim kemarau di wilayah Indonesia dimulai dari wilayah NTT pada pentad ke 16 (panel bawah Gambar 3. Wilayah Indonesia lainnya umumnya mengalami musim kemarau sekitar pentad 20 - 36. Di Maluku sebelah selatan pulau Buru dan Seram terlihat bahwa awal musim kemarau terjadi sekitar pentad ke 40 seperti pada Gambar 2g, meskipun awal musim hujannya tak kelihatan pada pentad ke 14. Perbedaan ini akan dijelaskan dengan penggunaan nilai ambang yang lain. Pada Gambar 4 dan 5, nilai ambang yang digunakan adalah 4 mm/hari dan 6 mm/hari secara berurutan. Penggunaan nilai ambang 4 mm/hari (Gambar 4) tidak menunjukkan banyak perbedaan dalam hal pergerakan awal musim hujan/kemarau, kecuali wilayah yang tak terdekteksi awal musimnya (warna putih) dan wilayah NTT terlihat lebih jelas terdeteksi awal musimnya. Pada nilai ambang 6 mm/hari (Gambar 5), wilayah-wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Papua awal musim hujan dan musim kemarau lebih terlihat jelas. Demikian pula dengan Maluku sebelah selatan pulau Buru dan Seram,
Gambar 5. Sama dengan Gambar 3, namun untuk nilai ambang 6 mm/hari.
Di atas telah disebutkan bahwa musim di Indonesia dipengaruhi olah fenomena ENSO [1]. Gambar 6 menunjukkan deret waktu indeks osilasi selatan (Southern Oscillation Index atau SOI) yang telah distandarisasi. Indeks 2 atau lebih (arsiran warna biru pada Gambar 6) mengindikasikan kondisi La Nina dan indeks -2 atau kurang (warna merah) mengindikasi kondisi El Nino. La Nina memperkuat pembentukan curah hujan di Indonesia dan sebaliknya El Nino memperlemah pembentukan curah hujan [1, 2].
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXX HFI Jateng & DIY, Salatiga 28 Mei 2016 ISSN : 0853-0823
Suaydhi / Karakteristik Awal dan Panjang Musim di Indonesia
Gambar 6. Indeks Osilasi Selatan (SOI) dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2014. Kondisi La Nina ditunjukkan dengan warna biru dan El Nino dengan warna merah.
113
Gambar 7 memperlihatkan variasi awal musim hujan dan awal musim kemarau dari tahun ke tahun dengan nilai ambang 5 mm/hari. Untuk wilayah Sumatra bagian utara (Gambar 7a), umumnya awal musim hujan yang terdeteksi. Pada saat kondisi La Nina yang cukup kuat, yaitu tahun 2008, 2009, dan 2011 (Gambar 6), awal musim hujan terjadi lebih cepat daripada tahun-tahun lainnya. Sebaliknya pada saat El Nino (tahun 2005), awal musim hujan terdeteksi lebih lambat daripada tahuntahun lainnya. Gambar 7b menunjukkan awal musim untuk wilayah Sumatra bagian selatan. Pada saat El Nino yang cukup kuat pada akhir 2004 dan awal 2005, musim kemarau yang dialami wilayah Sumatra bagian selatan ini lebih panjang dibandingkan pada tahun-tahun lainnya. Ketika terjadi La Nina pada pertengahan 2010, panjang musim kemarau di wilayah ini jauh lebih lama daripada tahun-tahun lainnya. Pengaruh ENSO pada curah hujan di Pulau Jawa terlihat jelas pada Gambar 7c. Pada saat La Nina (tahun 2001 dan 2008), awal musim kemarau terlihat lebih lambat datangnya dan awal musim hujan terjadi lebih cepat daripada tahun-tahun lainnya. Sedangkan pada saat El Nino (tahun 2002-2003), awal musim kemarau datang lebih cepat dan awal musim hujan lebih lambat. Hal yang sama juga terlihat pada awal musim di Kalimantan bagian timur (Gambar 7e), Sulawesi bagian tengah (Gambar 7f), dan Maluku (Gambar 7g). Untuk wilayah Nusa Tenggara dan Papua, variasi awal musim dari tahun-tahun tidak dapat dianalisis karena awal musimnya tidak terdeteksi dengan baik untuk ambang batas 5 mm/hari. V. KESIMPULAN Kriteria untuk menentukan awal musim hujan atau awal musim kemarau sangat bervariasi, tergantung pada sudut pandang keilmuan. Pada makalah ini, kriteria yang digunakan untuk menentukan awal musim adalah kombinasi antara kriteria yang digunakan oleh Marengo dkk. [5] dan kriteria dari BMKG. Kriteria kombinasi ini memberikan penentuan awal musim yang lebih detail. Hasil analisis awal musim dengan nilai ambang 5 mm/hari, atau setara dengan 50 mm per dasarian (10 hari) yang biasa dipakai oleh BMKG, menunjukkan bahwa nilai ambang ini cocok dipakai untuk wilayah Indonesia dibandingkan nilai ambang 4 mm/hari yang dipakai oleh Marengo dkk. [5] untuk wilayah Brazil. Nilai ambang yang lebih besar atau lebih kecil dari 5 mm/hari bisa digunakan untuk wilayah-wilayah tertentu di Indonesia untuk mempertajam penentuan awal musim. Variasi awal dan panjang musim di Indonesia dipengaruhi oleh angin monsoon dan ENSO. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan untuk Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA), LAPAN, yang telah memberikan dukungan dana dan fasilitas dalam penulisan makalah ini.
Gambar 7. Variasi awal musim hujan (warna biru) dan awal musim kemarau (warna merah) dari tahun ke tahun untuk delapan daerah pembahasan.
PUSTAKA [1]
Lee, H. S., General rainfall patterns in Indonesia and the potential impacts of local season rainfall intensity, Water, vol. 7, 2015, pp. 1751-1768.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXX HFI Jateng & DIY, Salatiga 28 Mei 2016 ISSN : 0853-0823
Suaydhi / Karakteristik Awal dan Panjang Musim di Indonesia
114
[2]
Chang, C. P., Z. Wang, J. Ju, T. Li, On the relationship between western Maritime Continent monsoon rainfall and ENSO during northern winter, Journal of Climate, vol. 17, 2004, pp. 665-672. [3] Hidayat, R., and S. Kizu, Influence of the Madden-Julian Oscillation on Indonesian rainfall variability in austral summer, International Journal of Climatology, vol. 30, 2010, pp. 1816-1825. [4] Giarno, Z. L. Dupe, dan M. A. Mustofa, Kajian awal musim hujan dan awal musim kemarau di Indonesia, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, vol. 13, no. 1, 2012, pp. 1-8. [5] Marengo, J. A., B. Liebmann, V. E. Kousky, N. P. Filizola, and I. C. Wainer, Onset and end of rainy season in the Brazilian Amazon basin, Journal of Climate, vol. 14, 2001, pp. 833-852. [6] Amekudzi, L. K., E. I. Yamba, K. Preko, E. O. Asare, J. Aryee, M. Baidu, and S. N. A. Codjoe, Variabilities in rainfall onset, cessation and length of rainy season for the various agro-ecological zones of Ghana, Climate, vol.3, 2015, pp. 416-434. [7] Boyard-Micheau, J., P. Camberlin, and N. Philippon, Regional-scale rainy season onset detection: A new approach based on multivariate analysis, Journal of Climate, vol. 26, 2013, pp. 8916-8928. [8] Joseph, P. V., K. P. Sooraj, and C. K. Rajan, The summer monsoon onset process over South Asia and an objective method for the date of monsoon onset over Kerala, International Journal of Climatology, vol. 26, no. 13, 2006, pp. 1871-1893. [9] Marteau, R., V. Moron, and N. Philippon, Spatial coherence of monsoon onset over Western and Central Sahel (1950-2000), Journal of Climate, vol. 22, 2009, pp. 1313-1324. [10] Smith, I. N., L. Wilson, and R. Suppiah, Characteristics of the northern Australian rainy season, Journal of Climate, vol. 21, 2008, pp. 4298-4311.
[11] Aldrian, E, and R. D. Susanto, Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature, International Journal of Climatology, vol. 23, 2003, pp. 1435-1452. [12] Hamada, J.-I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A. Winarso, T. Sribimawati, Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. Journal of the Meteorological Society of Japan, vol. 80, 2002, pp. 285–310. [13] Ushio, T., and co-authors, A Kalman filter approach to the Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) from combined passive microwave and infrared radiometric data, Journal of the Meteorological Society of Japan, vol. 87A, 2009, pp. 137–151. [14] Joyce, R. J., J. E. Janowiak, P. A. Arkin, and P. Xie, a method that produces global precipitation estimates from passive microwave and infrared data at high spatial and temporal resolution, Journal of Hydrometeorology, vol. 5, 2004, pp. 487-503
TANYA JAWAB Otong Nurhilal (UNPAD) ? Bagaimana pengaruh eksternal? Suaydhi (LAPAN) √ El-Nino dan angin dalam. Cukup Mulyana (UNPAD) ? Prediksi waktunya kapan? Suaydhi (LAPAN) √ Tidak bahas prediksi melainkan kriteria untuk mempunyai kesimpulan.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXX HFI Jateng & DIY, Salatiga 28 Mei 2016 ISSN : 0853-0823