ANALISIS MODEL PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN DI SULAWESI SELATAN MODEL PREDICTION ANALYSES OF RAINY SEASON ONSET IN SOUTH SULAWESI Alimatul Rahim1*, Rini Hidayati2, Akhmad Faqih3, Mamenun4 1
Mayor Klimatologi Terapan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor 16680 2,3 Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor 16680 4 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jl.Angkasa 1 No. 2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720 *Email:
[email protected]
Naskah masuk: 3 Maret 2015; Naskah diperbaiki: 7 Desember 2015; Naskah diterima: 22 Desember 2015 ABSTRAK Model prediksi awal musim hujan merupakan salah satu kunci yang dapat digunakan untuk mengurangi resiko kegagalan panen padi yang disebabkan oleh faktor iklim di provinsi Sulawesi Selatan. Model prediksi awal musim hujan dibangun dengan menggunakan data curah hujan observasi Sulawesi Selatan dan anomali suhu muka laut di kawasan Pasifik dan perairan Sulawesi. Pada studi ini dilakukan analisis pemilihan stasiun hujan observasi, penentuan awal musim hujan, analisis komponen utama dan pengelompokan, analisis korelasi awal musim hujan terhadap anomali suhu muka laut, pembangunan model untuk prediksi awal musimhujan dan verifikasi model.Hasil analisis awal musim hujan menunjukkan setiap stasiun hujan mempunyai perbedaan awal musim hujan dengan rata-rata jatuh pada Julian Date (JD) ke-348 (14 Desember). Berdasarkan hasil analisis PCA dan cluster, diperoleh bahwa di Sulawesi Selatan terbagi menjadi 3 cluster wilayah. Cluster 1 mempunyai pola hujan lokal, sedangkan cluster 2 dan 3 mempunyai pola hujan monsun. Pada peta korelasi antara awal musim hujan di Sulawesi Selatan dan anomali suhu muka laut menunjukkan bahwa terdapat korelasi nyata(r≥ 0.5) antara kawasan Pasifik dan Laut Sulawesi pada cluster 1 dan 2 pada bulan Juni Juli Agustus September(JJAS). Sedangkan pada cluster 3, korelasi nyata hanya pada bulan Juni di perairan Sulawesi. Model prediksi AMH terbaik, pada cluster 2 terdapat di domain prediktor kawasan pasifik dengan nilai r=0.82, sedangkan pada cluster 1 dan 3, terdapat di domain perairan Sulawesi dengan nilai r=0.78 dan r=0.48. Verifikasi model terpilih pada cluster 3 mempunyai RMSE = 3, sedangkan cluster 1 dan 2, nilai RMSE berturut-turut sebesar 16 dan 29. Kata Kunci : Awal musim hujan, Anomali SML, Kawasan Pasifik, Korelasi, Model Prediksi ABSTRACT Model prediction of rainy season onset is one of the keys to reduce the risk of paddy haverst failure because of climate factor in South Sulawesi province. The model prediction for rainy season onset was build using rainfall data in South Sulawesi and SST anomaly in Pacific Ocean and Sulawesi Sea. This research is conducted to selecttherainfall station, determine onset using rainfall data, analyse PCA and cluster, make correlation between onset and SST anomaly, developonset model prediction, and verify the selected model.The onset analysis showed that every rainfall stations have different onset with average is on the 348th of Julian Date (December 14th). Based on the PCA and cluster analysis, there were three clusters of rainfall region. Cluster 1 has local pattern, Cluster 2 and 3 have monsoonal pattern. On the map of correlation between onset in South Sulawesi and SST anomaly showed that there were strong correlations with Pacific Ocean and Sulawesi Sea in cluster 1 and 2 on JJAS. Moreover, it has weak correlation in cluster 3 on June in Sulawesi Sea. The best AMH model prediction for cluster 2 was on the Pacifik Ocean domain with r=.82, on cluster 1 dan 3 was on the Sulawesi sea with r=0.78 and r=0.48. The selected model verification showed that the smallest RMSE (RMSE=3) was on cluster 3, moreover on cluster 1 and 2, RMSE model was 16 and 29. Keywords: Onset, SST Anomaly, Pacific Ocean, Correlation, Model Prediction.
ANALISIS MODEL PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN......................................................................................Alimatul Rahim, dkk
65
1. Pendahuluan Letak Indonesia yang berada diantara Benua AsiaAustralia dan Samudera Hindia-Pasifik menyebabkan iklim Indonesia dipengaruhi oleh sirkulasi atmosfir global. Salah satu parameter yang mempengaruhi sirkulasi atmosfir global adalah Suhu Muka Laut (SML). SML berperan penting dalam pembentukan uap air di atmosfir, pembentukan awan sehingga turun sebagai hujan. Ada tiga wilayah SML yang mempengaruhi keragaman iklim Indonesia yaitu SML di Samudera India (Indian Ocean Dipole Mode, IODM), SML di kawasan Pasifik (El Nino Southern Oscillation Index) dan SML Indonesia [1]. Ketiga sirkulasi yang terjadi di wilayah Indonesia tersebut dapat berlangsung secara bersamaan atau berlainan antar wilayah. Hubungan antara SML Kawasan Pasifik dan SML perairan Indonesia terhadap penentuan Awal Musim Hujan (AMH) dan panjang musim telah dilakukan [1]. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa SML Indonesia sangat berperan terhadap maju-mundur awal dan panjang pendek musim hujan di Ambon, demikian halnya dengan SML Nino 3.4 mempunyai pengaruh signifikan terhadap awal musim hujan dan panjang periode musim hujan di Ambon. Di Sulawesi, anomali curah hujan di sejumlah stasiun mempunyai korelasi nyata terhadap anomali SML (AnoSML) Nino 3 pada musim kemarau dan beberapa stasiun lainnya berkorelasi pada musim hujan. Umumnya wilayah yang curah hujannya berkorelasi nyata tersebut terletak cukup jauh dari garis khatulistiwa baik di bagian selatan maupun utara ekuator [2]. Pengembangan model prediksi AMH untuk wilayah Indonesia telah banyak dilakukan. Perhitungan AMH di wilayah Indonesia telah dilakukan dengan menggunakan analisis curah hujan 5 harian (pentad) dan kaitannya dengan ENSO [3]. Penentuan pentad dalam satu tahun dilakukan dengan membagi menjadi 73 pentad, dimana pentad pertama dimulai dari tanggal 30 Juni hingga 4 Juli dan pentad terakhir (pentad 73) antara tanggal 25 Juni hingga 29 Juni tahun berikutnya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh ENSO terutama pada tahun El Nino dan La Nina terhadap kejadian awal musim dan variablitias hujan di wilayah Indonesia. Untuk wilayah Sulawesi, lamanya hujan dan jumlah curah hujan pada musim hujan lebih kecil pada tahun El Nino dibandingkan La Nina [3]. Prediksi AMH juga dikembangkan menggunakan analisis 5 harian (pentad) dengan jumlah hujan 40 mm untuk wilayah Indonesia menggunakan data Global Summary of the Day (GSOD) dan CMAP. Struktur awal musim hujan mengindikasikan terdapat keterlambatan datangnya awal musim hujan di bagian
barat Indonesia dengan loading Emphrical Ortogonal Function (EOF) yang cukup tinggi pada pola monsun, menurun dengan lemah hingga bagian selatan Indonesia. Nilai skill yang diperoleh cukup tinggi dari wilayah selatan Sumatera, Kalimantan dan Timor, yaitu >0.5 dan meningkat hingga 0.8 [4]. Penelitian tentang pengaruh suhu muka laut di perairan India, Indonesia dan Pasifik terhadap AMH di Jawa menggunakan analisis hujan 10 harian (dasarian) berdasarkan kriteria BMKG telah dilakukan [5]. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat hubungan linear antara AMH dan SML di perairan India, Indonesia dan Pasifik. Hal ini mengindikasikan bila terjadi kenaikan SML di perairan India dan Pasifik yang berasosiasi dengan kejadian IOD dan ENSO, maka AMH di Jawa secara umum akan mundur dari normalnya. Sejalan dengan itu, bila terjadi kenaikan SML I perairan Indonesia yang berasosiasi dengan kejadian konveksi laut lokal, maka AMH di Jawa secara umum maju dari normalnya [5]. Pada sektor pertanian, perilaku iklim sering kali dikaitkan apabila terjadinya suatu kegagalan panen, sehingga tuntutan kebutuhan prediksi awal musim hujan di suatu wilayah semakin tinggi bahkan sampai pada tingkat lokal (wilayah kabupaten). Kemajuan sistem prediksi iklim global telah banyak dikembangkan, namun hasilnya tidak dapat langsung diaplikasikan untuk skala regional sehingga perlu diciptakan suatu model dengan tingkat akurasi tinggi yang diharapkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat pengguna. Apabila penentuan awal musim hujan tidak tepat maka akan mempengaruhi keberhasilan tanam. Terkait dengan hal tersebut, maka perlu dicari suatu metode yang akurat dalam menentukan awal musim hujan dan kemungkinan hubungannya dengan SML di kawasan Pasifik dan perairan sekitarnya. Tujuan penelitian ini yaitu melakukan analisis hubungan AMH di provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu sentra produksi padi yang menyumbangkan 7% dari total produksi padi nasional [6], dengan AnoSML kawasan Pasifik dan perairan Sulawesi, serta menyusun dan menghitung akurasi model prediksi awal musim berdasarkan data SML di kawasan Pasifik dan perairan Sulawesi.
2. Metode Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Anomali Suhu Muka Laut (AnoSML) bulan Juni, Juli Agustus, September (JJAS) dengan empat domain, yaitu: 1. Grid Perairan Sulawesi; koordinat4oLU – 10oLS dan 114o – 128oBT; 2. Grid Kawasan Nino 3; koordinat5oLU – 5oLS dan 90o – 150oBB;
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 16 NO. 2 TAHUN 2015 : 65-75
66
3. Grid Kawasan Nino 3.4;koordinat5oLU – 5oLS dan 120o – 170oBB; 4. Grid Kawasan Nino 4 terletakpada 5oLU – 5oLS dan 160oBT – 150oBB. Series data yang digunakan adalah selama 30 tahun (1981 – 2010), dengan resolusi spasial 2ox2o(National Oceanic & Atmospheric Administration (NOAA) National Climatic Data Center (NCDC) ERSST V.3b (http://www.iridl.ldeo.columbia.edu). Sedangkan domain wilayah yang digunakan dalam analisis ditunjukkan pada Gambar 1. Data sekunder lainnya yaitu data curah hujan harian di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 45 stasiun hujan (Gambar 2). Stasiun ini dipilih setelah dilakukan analisis ketersediaan data (sumber: BMKG). Periode data tahun 29 tahun (1981 – 2009) digunakan untuk membuat analisis awal musim serta penyusunan model prediksi awal musim hujan. Sedangkan data curah hujan tahun 2006 - 2009 digunakan untuk verifikasi hasil prediksi awal musim dari model yang telah dibentuk. Penyusunan data lima harian (pentad). Penyusunan data lima harian dilakukan pada stasiun terpilih yang mempunyai persentase ketersediaan data lebih dari 70%, yang diikuti dengan penyusunan data curah hujan dasarian selama 30 hari secara berturut-turut dengan periode 29 tahun. Perhitungan pentad dimulai dari tanggal 1 Agutus karena pada bulan Agustus sampai September merupakan awal musim kemarau di wilayah Indonesia dengan pola hujan monsun [7]. Berdasarkan kriteria Moron et al.[4], diidentifikasi terjadinya AMH dengan memperoleh kejadian AMH di tiap stasiun hujan selama periode 29 tahun. Tiap titik stasiun hujan berisi informasi posisi stasiun dan catatan curah hujan harian. Langkah selanjutnya adalah analisis AMH menggunakan Principal Component Analysis (PCA) yang kemudian dilakukan analisis cluster (pengelompokan) stasiun hujan. Penentuan Awal Musim Hujan (AMH). Penentuan awal musim hujan dihitung berdasarkan akumulasi curah hujan harian selama 5 hari (pentad) yang
...(2) Variabel baru um menunjukkan jumlah maksimum variasi dengan sebelumnya dengan menghitung eigenvector. Sehingga komponen utama dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: ...(3) Elemen eigenvector adalah bobot aij dan biasanya disebut loading.Elemen diagonal matriks Sy variancovarian matrik komponen utama sering disebut eigenvalue.Eigenvalue adalah variasi yang dijelaskan oleh komponen utama. Analisis Kelompok (Cluster). Analisis kelompok (cluster) merupakan bagian dari analisis multivariate (peubah ganda) yang mempunyai tujuan untuk mengelompokan objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Setiap objek pada kelompok yang sama memiliki tingkat kedekatan dan kesamaan antara satu dengan yang lain [9]. Kelompokkelompok yang terbentuk memiliki homogenitas internal dan heterogenitas eksternal yang tinggi. Langkah pertama adalah perhitungan sifat kesamaan antar seluruh pasangan objek, kemudian dilakukan perhitungan peringkat antar kelompok menggunakan sifat kemiripannya, kemudian dibuat sebuah pohon hirarki yang ditampilkan oleh dendogram [10]. Kesamaan antar dua objek dihitung menggunakan persamaan Euclidian distance (Jarak Euclidian), dimana persamaan ini merupakan persamaan yang paling sederhana dalam menentukan jarak terpendek antar dua objek dalam suatu kumpulan data multivariate. Euclidian distance ditentukan menggunakan persamaan: ...(4)
jumlahnya minimal 40 mm (CH Pentad ≥ 40 mm) (syarat pertama), dan tidak diikuti oleh jumlah curah hujan dasarian (10 hari) kurang dari 5 mm selama 30 hari (syarat kedua)[4]. Penentuan AMH dilakukan pada setiap stasiun hujan. Analisis Komponen Utama (Principle Component Analysis). Tujuan utama analisis komponen utama (PCA) adalah untuk mereduksi sejumlah data dengan variasi yang besar ke dalam beberapa bentuk variabel baru [8].Data yang dihitung dalam PCA merupakan data AMH pada setiap stasiun. Persamaan yang digunakan untuk menyatakan matriks pengurangan tiap varibel dengan rata-ratanya dinyatakan sebagai berikut:
Gambar 1. Domain wilayah penelitian
ANALISIS MODEL PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN......................................................................................Alimatul Rahim, dkk
67
Pemilihan dan Verifikasi Model. Pemilihan model bertujuan untuk mendapatkan model terbaik dari model yang telah diperoleh. Pemilihan model prediksi AMH dilakukan berdasarkan nilai korelasi tertinggi yang diperoleh pada model prediksi AMH dengan anomali suhu muka laut pada masing-masing domain wilayah.Verifikasi model dilakukan untuk mengetahui ketepatan model terpilih yang dibangun dengan memasukan prediktor ke dalam model. Tingkat akurasi model ditentukan dengan menilai tingkat kesalahan (error) prediksi terhadap observasi di tiap cluster. Besarnya nilai error dihitung menggunakan Root Mean Square Error (RMSE) dengan rumusan : ...(8)
Gambar 2. Posisi sebaran 45 stasiun/pos hujan
Banyaknya cluster ditentukan dengan plot jarak antar data maka dapat ditetapkan sebagai referensi jumlah cluster. Teknik untuk menghitung jarak dalam metode ini menggunakan metode Ward's dimana dihitung jumlah kuadrat antar dua kelompok untuk seluruh variabel. Persamaan Ward's adalah sebagai berikut : ...(5)
Dimana : Yoi = Observasi pada period ke-i (i = 1,2, . . .n) Ypi = Hasil prakiraan pada period ke-I (i=1,2,. . .n) n = Panjang periode prakiraan. Penanggalan Julian Date (JD). Dalam penelitian ini, untuk satuan waktu awal musim hujan digunakan penanggalan Julian Date (JD). Pada penanggalan JD, tanggal 1 Januari dihitung sebagai urutan ke-1, 2 Januari sebagai urutan ke-2 dan seterusnya hingga 31 Desember sebagai urutan ke-365.
3. Hasil dan Pembahasan
Dimana : W = Jarak G = Kelompok Besar g = Objek (Kelompok Kecil) Analisis Korelasi. Analisis korelasi digunakan untuk melihat kuat tidaknya hubungan peubah respon (x) dan peubah prediktor (y).Korelasi antar dua peubah diukur dengan suatu nilai yang disebut koefisien korelasi (r). ...(6) dengan x = data AnoSMLpada masing-masing domain, y = data AMH pada tiap cluster. Penyusunan Model Prediksi. Penyusunan model prediksi AMH dilakukan dengan menggunakan model teknik analisis regresi linier, dimana dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yang dinyatakan dalam bentuk suatu fungsi Y=f(X). Bentuk persamaan regresi linier yaitu: ...(7) dimana (a) = intersep Y populasi, (b) = koefisien kemiringan populasi Y = rata-rata AMH di setiap cluster X = Anomali SML pada domain wilayah penelitian JJAS
Awal Musim Hujan. Berdasarkan hasil perhitungan AMH diperoleh bahwa setiap stasiun/pos hujan di wilayah Sulawesi Selatan memiliki awal musim hujan yang beragam (Gambar 3). Rata-rata AMH untuk seluruh stasiun/pos hujan jatuh pada Julian Date (JD) ke-348 atau tanggal 14 Desember. Stasiun hujan yang memiliki nilai AMH pada JD paling tinggi atau awal musim hujan jatuh pada tahun berikutnya dari awal perhitungan AMH (1 Agustus) adalah Stasiun BPP. Panincong (PNCG) Kabupaten Soppeng dengan nilai JD ke-473 atau tanggal 18 April. Sedangkan stasiun hujan yang memiliki nilai JD paling kecil adalah stasiun BPP.Keera (KERA) Kabupaten Wajo dengan nilai JD ke-278 atau tanggal 5 Oktober. Hasil Analisis Cluster (Kelompok). Hasil pengelompokan stasiun hujan di provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan kejadian awal musim diperoleh tiga kelas cluster (Gambar 4). Berdasarkan analisis cluster diperoleh bahwa pada cluster 1 terdapat 13 stasiun hujan, cluster 2 terdapat 10 stasiun dan pada cluster 3 terdiri dari 12 stasiun hujan. Hasil pengelompokan stasiun hujan di provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan kejadian awal musim diperoleh 3 kelas cluster yang ditunjukkan pada Tabel 1.
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 16 NO. 2 TAHUN 2015 : 65-75
68
Gambar 3.Rata-rata awal musim hujan pada setiap stasiun/pos hujan.
Gambar 4. Peta cluster AMH di provinsi Sulawesi Selatan Tabel 1.Pengelompokan stasiun/pos hujan berdasarkan hasil analisis clusterAMH di Provinsi Sulawesi Selatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
ID. Sta. LMKA BTKP BRKA BLJN BLBA LRPG MNSB PKBT MLRE BNTS DPNG PLGN MGBW PLRO TNRL BLBL ENKG BTBL LMBG MLKJ BNBN PNKG BTBS
Nama Stasiun Lamalaka Batukaropa Baraka Belajen Bulubalea Larompong Minasabaji Pekkabata Malanroe Bontouse Doping Palaguna Menge-Belawa Palanro Tanete Rilau Bulo-Bulo Enrekang Bontobili Limbung Malakaji Bone-Bone Panakukkang Batubassi
Kab. Bantaeng Bulukumba Enrekang Enrekang Gowa Luwu Maros Pinrang Soppeng Wajo Wajo Wajo Wajo Barru Barru Bulukumba Enrekang Gowa Gowa Gowa Luwu Makassar Maros
Clus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
No 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
ID. Sta. CNRN SLJG MTMP AWAW BTNG MTLL BRGR PJLG SBBL KERA TNKK GRNG PKTG MSMB ALLE BLLN MNRG TRNG PPTJ PNCG GLST PTLG
Nama Stasiun Cenrana Solojirang Matampa Awang2 Benteng Mattalalang Biringere Pajalesang Sombala Bela Keera Tana Kongkong Garing Pakkaterang Masamba Allaere Balleangin Ma'rang Tiroang Pattojo Panincong Galesong Selatan Pattalasang
Kab. Maros Maros Pangkep Pinrang Selayar Selayar Sinjai Soppeng Takalar Wajo Bulukumba Gowa Jeneponto Luwu Maros Pankep Pangkep Pinrang Soppeng Soppeng Takalar Takalar
Clus. 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
ANALISIS MODEL PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN......................................................................................Alimatul Rahim, dkk
69
Pola Hujan Cluster 1. Hasil analisis data klimatologis menunjukkan bahwa di wilayah cluster 1 mempunyai pola hujan lokal dengan satu puncak musim hujan(Gambar 5). Curah hujan mengalami peningkatan mulai Maret hingga mencapai maksimum pada bulan Mei, dan menurun sejak Juni sampai September. Puncak hujan terjadi pada Mei dengan tinggi hujan sebanyak 242 mm, sedangkan puncak kering terjadi pada Septemberdengan tinggi hujan sebanyak 50 mm. Gambar 6. Pola curah hujan bulanan cluster 2
Pola Hujan Cluster 2. Pada cluster 2 diperoleh pola hujan monsun dimana terdapat satu kali puncak musim hujan dan satu kali puncak musim kemarau (Gambar 6). Puncak total hujan berlangsung pada bulan Desember dengan tinggi hujan sebanyak 286 mm, sedangkan puncak musim kering terjadi pada bulan Agustus hingga September dengan intensitas 36 mm. Pola Hujan Cluster 3. Pada wilayah cluster 3 yang terdiri dari 12 stasiun diperoleh pola musim hujan monsun dimana terdapat satu kali puncak musim hujan dan satu kali puncak musim kemarau (Gambar 7). Puncak musim hujan terjadi pada bulan Januari dengan intensitas 306 mm, sedangkan puncak musim kemarau terjadi pada bulan Agustus dengan intensitas 35 mm. Pola curah hujan bulanan di sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan mengikuti pola monsun. Musim hujan terjadi pada periode bulan Desember-JanuariFebruari-Maret-April-Mei (DJFAM) dengan puncak musim hujan terjadi pada bulan Desember-Januari, sedangkan Musim kering terjadi pada periode bulan Juni-Juli-Agustus-September-Oktober-Nopember (JJASOP) dengan puncak musim kering terjadi pada bulan Agustus-September. Hal ini sejalan dengan penelitian [7], dimana sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan masuk dalam region A yaitu wilayah dengan pola hujan monsun, namun pada wilayah Sulawesi Selatan bagian barat diperoleh pola hujan lokal dimana terjadi pergeseran puncak musim hujan dari pola monsun. Puncak musim hujan pada pola hujan lokal terjadi pada bulan Mei sedangkan puncak musim kemarau terjadi pada bulan September. Pola hujan lokal terjadi karena adanya pengaruh topografi yang mempengaruhi sirkulasi udara lokal sehingga mendorong terbentuknya arus konveksi [7].
Gambar 7. Pola curah hujan bulanan cluster 3
Korelasi AMH dengan Anomali SML. Tahapan korelasi AMH dengan grid anomali suhu muka laut (AnoSML) pada bulan Juni-Juli-Agustus-September di domain kawasan pasifik (Nino 3, Nino 3.4 dan Nino 4) dan kawasan perairan Sulawesi diawali dengan menghitung rataan AMH stasiun hujan yang terdapat pada tiap cluster, sehingga setiap cluster mempunyai nilai AMH sebanyak 29 (1981-2009). Hasil rataan AMH ini yang digunakan sebagai prediktan (y) dan nilai korelasi pada tiap grid AnoSML di domain wilayah penelitian sebagai prediktor (x).Selain nilai rataan AMH, juga diperoleh nilai maksimum dan minimum AMH pada tiap cluster, dimana nilai maksimum menunjukkan datangnya AMH terjadi paling lambat (dapat terjadi pada tahun berikutnya), sedangkan nilai minimum menunjukkan datangnya AMH terjadi paling cepat. Nilai rataan, maksimum dan minimum AMH pada cluster 1, cluster 2 dan cluster 3 berturut-turut ditunjukkan pada Gambar 8-10. Berdasarkan Gambar 8 diperoleh hasil rata-rata AMH pada cluster 1 dengan nilai tertinggi jatuh pada Julian Date (JD) ke-400, sedangkan nilai JD terkecil jatuh pada JD ke-282. Pada cluster 2, nilai tertinggi jatuh pada JD ke-347 dan nilai terkecil jatuh pada JD ke-295 (Gambar 9). Sedangkan pada cluster 3 nilai tertinggi JD jatuh pada JD ke-413 dan nilai terkecil jatuh pada JD ke-392 (Gambar 10). Dengan demikian, nilai JD yang paling tinggi dari ketiga cluster berada pada cluster 3 sedangkan nilai JD yang terkecil berada pada cluster 2.
Gambar 5. Pola curah hujan bulanan cluster 1 JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 16 NO. 2 TAHUN 2015 : 65-75
70
Palopo pada bulan Juni sampai - Juli, kemudian berlanjut pada bulan Agustus sampai September meliputi Kabupaten Pinrang bagian barat, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Wajo.
Gambar 8. Hasil rataan, maksimum, dan minimum AMH pada cluster 1
Gambar 9. Hasil rataan, maksimum, dan minimum AMH pada cluster 2
Pengaruh AnoSML wilayah perairan Sulawesi (lokal) dan kawasan Pasifik sangat signifikan terhadap AMH di cluster 1. Hal ini sesuai dengan pola curah hujan yang diperoleh pada cluster 1 yaitu pola hujan lokal (Gambar 5). Pola curah hujan lokal merupakan pola curah hujan yang berkebalikan dengan pola curah hujan monsun [11,12], dimana pola curah hujan lokal lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi topografi yang mempengaruhi sirkulasi udara lokal sehingga mendorong terbentuknya arus konveksi [7]. Selain itu, pola curah hujan lokal di Sulawesi Selatan dapat pula dipengaruhi oleh adanya Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa massa air hangat dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia melalui laut Indonesia. Arlindo mengalir terutama melalui Selat Makassar dengan sebagian kecil mengalir melalui Laut Maluku.Massa air hangat tersebut mendorong terjadinya arus konveksi di sebagian wilayah Sulawesi Selatan pada bulan Mei-Juli [7]. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini, dimana puncak curah hujan pada cluster 1 terjadi pada bulan Mei. Peta Korelasi Pada Cluster 2. Hasil korelasi AMH dengan AnoSML di cluster 2 ditunjukkan pada Gambar 12. Pada bulan Juni, Juli, Agustus dan
Gambar 10. Hasil rataan, maksimum, dan minimum AMH pada cluster 3
Peta Korelasi Pada Cluster 1. Hasil korelasi AMH dengan AnoSML di cluster 1 ditunjukkan pada Gambar 11. Pada bulan Juni, korelasi signifikan (r≥0,5 dengan selang kepercayaan 95%) terkonsentrasi pada kawasan Nino 4, Nino 3.4 dan semakin meningkat pada bulan September hingga mencapai kawasan Nino 3. Untuk wilayah perairan Sulawesi, korelasi tidak signifikan diperoleh bulan Juni, namun terjadi peningkatan korelasi sampai bulan September yang terkosentrasi pada laut Arafuru, laut Banda sampai perairan Sulawesi. Uraian diatas menjelaskan bahwa perairan Sulawesi (lokal) dan Pasifik (ENSO) mempunyai kontribusi signifikan terhadap kejadian AMH di wilayah Sulawesi Selatan. Kejadian AMH di cluster 1 dimulai dari wilayah Sulawesi Selatan bagian barat yang meliputi Kabupaten Tana Toraja dan Kota
September, terjadi korelasi signifikan (r ≥ 0,5) yang terkonsentrasi pada kawasan Pasifik. Untuk wilayah perairan Sulawesi, korelasi tidak signifikan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, dimana nilai korelasi (r) kurang dari -0,5.Namun pada bulan September terjadi peningkatan korelasi yang signifikan di sebagian wilayah cluster 2-dan terkonsentrasi pada daerah Sulawesi Selatan bagian utara.Hal yang sama juga terdapat korelasi signifikan (r ≥ 0,5) pada bulan Juni, Juli, Agustus dan semakin menguat pada bulan September yang terkonsentrasi pada wilayah Pantai Barat Sumatera dimana terdapat pengaruh AnoSML Samudera Hindia (IOD). Pengaruh AnoSML kawasan Pasifik (ENSO) terhadap AMH terjadi pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September (Gambar 12). Hal ini dapat dipahami karena ENSO berpengaruh kuat terhadap curah hujan Indonesia terutama pada wilayah dengan pola hujan monsun [3; 7; 6]. Pernyataan tersebut sesuai dengan pola hujan monsun di cluster 2. Puncak musim hujan pada cluster 2 terjadi sekitar bulan Desember-Januari dan puncak musim kering terjadi pada bulan AgustusSeptember.
ANALISIS MODEL PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN......................................................................................Alimatul Rahim, dkk
71
Gambar 12. Distribusi korelasi signifikan AMH dengan AnoSML pada cluster 2
Korelasi signifikan AMH cluster 2 pada bulan Juni, Juli, Agustus dan menguat pada bulan September pada wilayah pantai barat Sumatera yang dipengaruhi oleh AnoSML Samudera Hindia (IOD). Hal ini disebabkan karena adanya siklus IOD yang diawali dengan munculnya AnoSML negatif di sekitar selat Lombok hingga selatan Jawa pada bulan Mei – Juni. Bersamaan dengan itu, terjadi anomali angin tenggara yang lemah di sekitar Jawa dan Sumatera. Selanjutnya pada bulan Juli – Agustus, anomali negatif SML terus menguat dan cakupannya meluas sampai ke ekuator di sepanjang pantai selatan Jawa hingga pantai barat Sumatera, sementara itu mulai muncul anomali positif SML di Samudera Hindia bagian barat. Adanya dua kutub ini, semakin memperkuat anomali angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera.Siklus ini menguat pada September dan mencapai puncaknya pada Oktober, selanjutnya menghilang dengan cepat pada November–Desember [13]. Peta Korelasi Pada Cluster 3. Hasil korelasi AMH dengan AnoSML di cluster 3 ditunjukkan pada Gambar 13. Secara umum pada cluster 3, tidak terdapat korelasi signifikan antara AMH dengan AnoSML kawasan Pasifik (r ≤ -0,5) pada semua bulan JJAS. Korelasi signifikan antara AMH dengan AnoSML terjadi pada perairan Sulawesi, namun korelasi tersebut hanya terjadi pada bulan Juni, dan semakin melemah korelasinya pada bulan Juli, Agustus dan September. Demikian halnya dengan
korelasi AMH dengan AnoSML pada kawasan Samudera Hindia, dimana pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September mempunyai korelasi yang rendah dan tidak signifikan. Berdasarkan hasil analisis curah hujan (Gambar 7) dapat dilihat bahwa pola hujan pada cluster 3 mempunyai pola monsun, namun bila dibandingkan dengan cluster 2 yang memiliki pola hujan yang sama, curah hujan pada musim hujan (Nopember – Mei) bulanan di cluster 3 lebih rendah dibandingkan dengan cluster 2.Hal tersebut mengakibatkan kejadian AMH pada cluster 3 (Gambar 10) secara rata-rata terjadi pada JD>365 atau terjadi pada tahun berikutnya.Mundurnya kejadian AMH tersebut, mengindikasikan bahwa korelasi AMH dengan AnoSML di cluster 3 pada bulan JJAS umumnya mempunyai korelasi rendah, baik di kawasan Pasifik, Perairan Sulawesi maupun Samudera Hindia. Penyusunan Model Prediksi AMH . Model prediksi disusun dengan menggunakan teknik analisis regresi linear yang dihasilkan dari korelasi antara rata-rata AMH di setiap cluster dengan grid AnoSML pada domain wilayah penelitian bulan Juni-Juli-AgustusSeptember (JJAS). Model prediksi yang terbaik dipilih berdasarkan nilai korelasi paling tinggidengan uji signifikansi pada selang kepercayaan 95%. Grid AnoSML yang terpilih dengan nilai korelasi paling tinggi ditetapkan sebagai wilayah yang mempengaruhi awal musim hujan di wilayah Sulawesi Selatan.
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 16 NO. 2 TAHUN 2015 : 65-75
72
Gambar 13.Distribusi korelasi signifikan AMH dengan AnoSML pada cluster 3
Hasil Grid AnoSML terpilih berdasarkan nilai korelasi rata-rata AMH dengan AnoSML bulan JJAS disajikan pada Tabel 2.Pada cluster 1, ditunjukkan bahwa hampir semua domain wilayah penelitian berkorelasi signifikan dengan AMH. Untuk kawasan Pasifik diperoleh nilai korelasi nyata terhadap AnoSML bulan Juli dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,65 pada grid 146oBB, 0oLS dan 0,64 pada grid 152oBB, 0oLS. Untuk wilayah perairan Sulawesi diperoleh korelasi nyata terhadap AnoSML bulan Agustus dengan nilai korelasi (r) sebesar -0,78 pada grid 128oBT, 2oLU. Pada cluster 2, semua domain wilayah penelitian mempunyai korelasi nyata dengan AnoSML bulan September dengan nilai korelasi sebesar 0,82 pada grid 148oBB, 12oLS, nilai r = 0,81 pada grid 150oBB, 12oLS (Nino 4) dan nilai r = -0.63 pada grid 128o BT, 2o LU (perairan Sulawesi). Hal yang sama terjadi pada cluster 3 dimana semua domain wilayah berkorelasi terhadap
AnoSML bulan Juni, namun korelasi nyata (r = -0,48) hanya terjadi pada wilayah perairan Sulawesi dengan grid: 126oBT,2oLU (Tabel 2). Pemilihan Model Prediksi AMH Terbaik. Berdasarkan nilai korelasi signifikan antara rataan AMH dengan grid AnoSML bulan JJAS pada domain wilayah penelitian, maka terpilih 3 model prediksi AMH dengan nilai korelasi signifikan pada selang kepercayaan 95% untuk mewakili setiap cluster (Tabel 3). Pada Tabel 3, diperoleh model prediksi AMH pada cluster 1, 2 dan 3 dengan nilai korelasi berturut-turut 0,78, 0,82 dan -0,48 siginifikan pada selang kepercayaan 95% (nilai p<0,05). Pada cluster 1 diperoleh model prediksi dengan nilai korelasi tertinggi pada bulan Agustus, terletak pada koordinat 128oBT, 2oLU. Model prediksi pada cluster 1 menyatakan bahwa setiap kenaikan 1oC AnoSML akan menyebabkan kejadian AMH maju selama 59 hari.
Tabel 2.Grid AnoSML terpilih berdasarkan nilai korelasi signifikan Cluster 1
2
3
Domain wilayah Nino 3 Nino 3.4 Nino 4 Perairan Sulawesi Nino 3 Nino 3.4 Nino 4 Perairan Sulawesi Nino 3 Nino 3.4 Nino 4 Perairan Sulawesi
AnoSML Bulan Juli Juli Juli Agustus September September September September Juni Juni Juni Juni
Bujur 146oBB 146oBB 152oBB 128oBT 148oBB 148oBB 150oBB 128oBT 130oBB 130oBB 150oBB 126oBT
Lintang 0oLS 0oLS 0oLS 2oLU 12oLS 12oLS 12oLS 2oLU 6oLS 6oLS 4oLS 2oLU
Nilai (r) 0,65 0,65 0,64 -0,78 0,82 0,82 0,81 -0,63 0,40 0,40 0,27 -0,48
Nilai p*) 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,031 0,031 0,219 0,009
*) Uji signifikansi pada selang kepercayaan 95 % ANALISIS MODEL PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN......................................................................................Alimatul Rahim, dkk
73
Tabel 3. Model regresi terbaik antara AMH (y) dengan AnoSML (x)
Cluster AnoSML Bulan Bujur, Lintang 1 2 3
Agustus September Juni
128oBT, 2oLU 148oBB, 12oLS 126oBT, 2oLU
Untuk cluster 2 model prediksi terbaik terjadi pada bulan September dengan nilai korelasi (r) = 0.82 terletak pada grid dengan koordinat 148o BB, 12oLS. Model prediksi cluster 2 menyatakan bahwa setiap kenaikan 1oC AnoSML akan menyebabkan kejadian AMH mundur selama 42 hari. Sedangkan pada cluster 3 model prediksi AMH terbaik jatuh pada bulan Juni terletak pada grid 126oBT, 2oLU. Model prediksi cluster 3 menyatakan setiap kenaikan 1oC AnoSML akan menyebabkan AMH maju 15 hari. Verifikasi Model Prediksi. Prediktor yang dijadikan masukan model saat verifikasi adalah AnoSML pada grid terpilih bulan JJAS selama 4tahun berturut-turut yaitu tahun 2006, 2007, 2008, dan 2009. Tingkat akurasi model dalam memprediksi awal musim hujan dapat ditentukan dengan menilai tingkat kesalahan prediksi (RMSE) terhadap observasi di tiap cluster.Hasil RMSE dan grafik perbandingan antara AMH observasi dengan AMH model pada cluster 1, 2 dan 3 ditampilkan pada Gambar 14-16. Kejadian AMH model di cluster 1 mendekati AMH observasi terjadi pada tahun 2006, 2007 dan 2009 (Gambar 14). Pada tahun 2006 diperoleh selisih kejadian AMH observasi dan AMH model hanya terpaut 3 hari, dimana kejadian AMH observasi jatuh pada JD ke-358 (24 Desember) sedangkan kejadian AMH model jatuh pada JD ke-361 (27 Desember). Pada tahun 2007 kejadian AMH observasi selisih kejadian AMH hanya terpaut 2 hari dengan AMH model. Demikian pula untuk tahun 2009, selisih kejadian AMH observasi hanya terpaut 3 hari dengan kejadian AMH model, dimana kejadian AMH observasi jatuh pada JD ke-324 (20 November) sedangkan AMH model jatuh pada JD ke-327 (23 November). Selisih kejadian AMH yang cukup jauh terjadi tahun 2008 selama 20 hari.Kejadian AMH observasi jatuh pada JD ke-305 (1 November)sedangkan AMH model jatuh pada JD Ke325 (21 November). Karena selisih kejadian AMH observasi dan AMH model pada cluster 1 relatif kecil sehingga diperoleh nilai RMSE = 13. Pada cluster 2 (Gambar 15) terlihat bahwa grafik AMH model relatif berada dibawah grafik AMH observasi, namun pada tahun 2009 grafik AMH model yang dihasilkan berada diatas AMH observasi. Hal ini dapat dipahami karena pada tahun 2006, 2007 dan 2008 kejadian AMH observasi secara beturut-turut jatuh pada JD ke-341 (7 Desember), 328 (24 November)
Model Prediksi y = 345.68 -58.9x y = 308.75 +41.89x y = 404.54 - 15.14x
Nilai r Nilai p*) -0,78 0,82 -0,48
0,000 0,000 0,009
dan 310 (6 November). Hasil ini jauh diatas kejadian AMH model yang jatuh pada JD ke-304 (31 Oktober), 288 (15 Oktober) dan 275 (2 Oktober) ditahun yang sama. Namun hasil berbeda terjadi pada tahun 2009, dimana selisih kejadian AMH observasi dengan AMH model hanya terpaut 4 hari. Hasil perhitungan nilai RMSE pada cluster 2 diperoleh nilai sebesar 29. Hasil RMSE cukup bagus diperlihatkan pada cluster 3 (Gambar 16). Dibandingkan dengan nilai RMSE cluster 1 dan 2, nilai RMSE cluster 3 lebih kecil yaitu 3. Hal ini dapat dikatakan bahwa model prediksi cluster 3 memiliki ketepatan lebih baik dalam memprediksi kejadian AMH dibandingkan dengan model prediksi pada cluster 1 dan 2. Grafik kejadian AMH observasi dengan AMH model memperlihatkan pola yang sama dan saling berdekatan satu sama lain. Hal ini dapat dipahami karena kejadian AMH observasi tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009 secara berturut-turut jatuh pada JD ke-394 (29 Januari), 396 (31 Januari), 408 (12 Februari), 403 (7 Februari). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan kejadian AMH model yang jatuh pada JD ke-397 (1 Februari), 398 (2 Februari), 406 (10 Februari) dan 400 (4 Februari).
Gambar14. Nilai RMSE dan perbandingan antara AMH observasi dengan AMH model pada cluster 1
Gambar15. Nilai RMSE dan perbandingan antara AMH observasi dengan AMH model pada cluster 2
JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA VOL. 16 NO. 2 TAHUN 2015 : 65-75
74
Daftar Pustaka
Gambar16. Nilai RMSE dan perbandingan antara AMH observasi dengan AMH model pada cluster 3
4. Kesimpulan Kesimpulan. Awal musim hujan di Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh interaksi laut-atmosfir di kawasan Pasifik dan perairan Sulawesi, meskipun besar pengaruh di tiap wilayah berbeda. Hal ini ditunjukkan dengan hasil korelasi AMH di Sulawesi Selatandengan AnoSML dikawasan Pasifik dan AnoSML perairan Sulawesi. Pada cluster 1 di bulan Juni, korelasi nyata (r
≥ 0.5) terkonsentrasi pada kawasan Nino 4, Nino 3.4 dan semakin meningkat pada bulan September hingga mencapai kawasan Nino 3. Pada cluster 2, pada Juni, Juli, Agustus dan September, terjadi korelasi nyata yang terkonsentrasi pada kawasan Pasifik. Pada cluster 3, korelasi nyata hanya terjadi pada perairan Sulawesi yang terjadi pada bulan Juni dan semakin melemah pada bulan Juli, Agustus dan September. Berdasarkan model prediksi AMH terbaik, pada cluster 2, domain prediktor kawasan pasifik memiliki pengaruh kuat terhadap kejadian AMH Sulawesi Selatan terutama pada bulan September dengan nilai r=0.82. Sedangkan pada cluster 1 dan 3, domain perairan Sulawesi memiliki pengaruh kuat terhadap kejadian AMH terutama pada bulan Agustus dan Juni dengan korelasi berturut-turut sebesar 0.78 dan 0.48. Hasil verifikasi model terpilih diperoleh nilai RMSE yang paling kecil terdapat pada cluster 3, yaitu sebesar 3, sedangkan nilai RMSE pada cluster 1 dan cluster 2 berturut-turut sebesar 16 dan 29. Pola grafik yang dihasilkan oleh AMH model mengikuti pola AMH observasi, dimana pada cluster 1 dan 3, nilai AMH model dengan AMH observasi saling berdekatan. Saran. Perlu dilakukan analisis dan prediksi panjang musim untuk mengetahui lamanya musim hujan. Selain itu, perlu ditambahkan domain wilayah SML untuk kawasan Hindia yang juga mempengaruhi AMH di Indonesia.
[1] Swarinoto, Y., Makmur, E.E.S. (2009). Simulasi Prediksi Probabilitas Musim Hujan dan Panjang Musim Hujan di Ambon.Buletin Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 5(3). [2] Gunawan, D., Gravenhorst, G., Jacob, D., Podzun, R. (2003). Rainfall variability studies in South Sulawesi using Regional Climate Model ( R E M O ) . w w w. t r o p e n t a g e . d e / 2 0 0 3 . / abstract/full/413.pdf diakses 27 Mei 2012. [3] Hamada, J.L., Yamanaka, M.D., Matsumoto, J., Fukao, S., Winarso, P.A., Sribimawati, T. (2002). Spatial and Temporal Variations of the Rainy Season over Indonesia and their Link to ENSO.Journal of the Meteorological Society of Japan 80, 285-310. [4] Moron V, Robertson A.W, Boer R. (2008). Spatial coherence and seasonal predictability of monsoon onset over Indonesia.J. Climate 21, 1-11. [5] Marjuki, (2011). Model prediksi awal musim hujan di Pulau Jawa dengan menggunakan informasi suhu muka laut di Kawasan Pasifik dan India. Tesis Sekola Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. [6] Boer, R., Buono A., Suciantini., dan Ramadhan. (2011). Assessing the Potential Use of Dynamic Crop Calendar for Increasing the Resilience of Rice Production System in Indonesia to Climate Variability and Climate Change. CGIAR Science Forum. Beijing-China [7] Aldrian, E., Susanto, R.D. (2003). Identification of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature.Int. Journal of Climatology23, 1435–1452. [8] Wigena A. H. (2010). Regresi Kuadrat Terkecil Parsial: Suatu Teknik Statistical Downscaling. Departemen Statistika, IPB. Bogor. [9] Everitte S. B, Dunn G. (1998). Applied Multivariate Data Analysis.Halsted Print, New York, USA. [10] Trauth MH. (2006). Matlab Recipes for Earth Sciences. Springer. [11] Hermawan E. (2010). Investigasi datangnya awal monsun di Kawasan Barat Indonesia berbasis hasil analisis data EAR. Jurnal Elektronika, 2(10), 145-150. [12] Moron V, Robertson AW, Qian JH. (2009). Local versus regional-scale characteristics of monsoon onset and post-onset rainfall over Indonesia.Climate Dynamics Journal. [13] Saji NH, Goswami BN, Vinayachandra PN, Yamagata T. (1999). A dipole mode in the tropical Indian Ocean. Nature 401, 360-363.
ANALISIS MODEL PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN......................................................................................Alimatul Rahim, dkk
75