MODEL PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN DI PULAU JAWA DENGAN MENGGUNAKAN INFORMASI SUHU MUKA LAUT DI KAWASAN PASIFIK DAN INDIA
MARJUKI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini menyatakan bahwa tesis Model Prediksi Awal Musim Hujan di Pulau Jawa dengan Menggunakan Informasi Suhu Muka Laut Di Kawasan Lutan Pasifik dan India adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Mei 2011
Marjuki NRP G251080021
ABSTRAK MARJUKI. Rainfall Onset Model Prediction At Java Island Using Sea Surface Temperature Information at Indian and Pacific Ocean Area, Under supervision of RIZALDI BOER and AGUS BUONO.
The rainfall variability is one of an important role to play onset of wet season. This research aims to analyze that SST (Sea Surface Temperature) exerting an influence on rainfall onset over Java. The significant scale (15°S – 15°N; 80°E100°W) of SST patterns are observed to derive a potential predictor rainfall onset over Java. The onset wet season is define as the first 10-day that receive at least 50 mm followed by 2 consecutive 10-days. In Java generally it starts from 1 September. In this study, The regression Multivariate method was offered to develop a rainfall onset model prediction based on SST circulation patern. The principal component and regression technique are improved to achieve a better models and cross validation technique were applied to validate models. Domain predictor of models were derived using spatial correlation analysis result between Rainfall onset data each ZOM over Java and SST anomaly from Indian Ocean to Pacific Ocean during 1978-2007 . There are 28 from 30 ZOM which have potential predictors that be trained to models. The high spatial coherence of the rainfall onset is SST pattern at Juni-Juli-August that represent SST on eastern equatorial Pacific as characteristic of El Nino Southern Oscillation (ENSO), SST on Western Sumatera Island as characteristic of Indian Ocean Dipole Mode (IOD) and SST on around Java region as Characteristic of local condition. Three representative correlation patterns of Java Rainfall onset with SST Indian-Pacific area are investigated that clarify of ENSO, IOD and local condition. Verification result for those models showed promising skill prediction during test in year of 2008 with standart deviation 10 days. In Java generally, skill prediction when rainfall onset advanced exhibited better result than skill prediction when it delayed. The Indonesian ocean area that has local characteristic have influenced better rainfall onset over Java than others. It indicated that models which developed using predictor of Indonesian SST have better skill prediction than SST of Indian or pacific ocean area. However, predictor which has combination domain area of Indonesian SST and Pacific have main influenced rainfall onset over Java. It can be explained that 18 ZOM’s model have been using predictor from those domain. Keywords : Rainfall onset, SST, 10 days, Java
RINGKASAN MARJUKI. Model Prediksi Awal Musim Hujan Di Pulau Jawa Dengan Menggunakan Informasi Suhu Muka Laut Di Kawasan Lutan Pasifik dan India. Dibimbing oleh RIZALDI BOER dan AGUS BUONO.
Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Utara-Selatan) dikenal sebagai Sirkulasi Hadley dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) dikenal sebagai Sirkulasi Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia. Pergerakan matahari yang berpindah dari 23.5o Lintang Utara ke 23.5o Lintang Selatan sepanjang tahun mengakibatkan timbulnya aktivitas moonson yang juga ikut berperan dalam mempengaruhi keragaman iklim. Pengaruh lokal terhadap keragaman iklim juga tidak dapat diabaikan, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi sangat beragam menyebabkan sistem golakan lokal cukup dominan. Curah hujan di Indonesia sangat bergantung pada monsoon Asia dimana pola angin bergerak dari Barat Laut ke Tenggara, pengaruh lainnya adalah SML Indonesia, El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole Mode (IOD). Awal musim hujan ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian telah lebih dari 50 mm dan diikuti minimal dua dasarian berikutnya. Perhitungan awal musim hujan yang dilakukan setelah 1 September. Dengan mencari hubungan variable Awal Musim Hujan (AMH) dan Suhu Muka Laut (SML) periode Juni,Juli,Agustus (JJA), dihasilkan domain prediktor model awal masuk musim hujan di Jawa. Gejala anomali iklim ditandai dengan ketidak normalan SML sehingga mempengaruhi pola iklim lainnya dengan tingkat yang berbeda-beda di wilayah Jawa. Pengaruh yang paling sering dirasakan adalah tingkat variasi awal musim hujan. Untuk skala ruang yang lebih sempit, prediksi awal musim hujan perlu di kaji lebih mendalam dengan pendekatan model statistik dengan asumsi dasar mengabaikan pengaruh komponen iklim lokal. Tujuan penelitian ini adalah (1) Menyusun model prediksi awal musim hujan antara bulan Agustus-Desember di wilayah Jawa dengan prediktor SML ( Suhu Muka Laut) wilayah (15°S – 15°N; 80°E- 100°W). (2)
Menyusun peta spasial yang menunjukkan kemampuan model prediksi awal musim hujan di Jawa. (3) Menentukan domain prediktor SML yang mempengaruhi awal musim hujan untuk di Jawa. Pengelompokkan wilayah Jawa berdasarkan kemiripan pola Awal Musim Hujan (AMH) dengan analisis cluster, sehingga pola AMH wilayah Jawa ditetapkan terbagi dalam 30 kelompok. Selanjutnya variabel AMH periode 1978-2007 di Jawa yang terbagi menjadi 30 ZOM, rataan AMH tiap ZOM digunakan untuk mencari pola hubungan tiap kelompok wilayah dengan anomali Suhu Muka Laut (SML). Hasil korelasi (r) antara anomali SML rataan periode JJA dengan Awal Musim Hujan (AMH) di Jawa menghasilkan tiga pola utama. Pola-1 menunjukkan korelasi signifikan (r ≥ 0.5) terkonsentrasi pada wilayah perairan Barat Sumatera dan Pasifik di dihasilkan oleh 4 kelompok. Pola-2
menunjukkan korelasi signifikan
terkonsentrasi pada wilayah perairan Barat Sumatera, Pasifik tropis dan wilayah Perairan Indonesia (-0.5 ≤ R ≥ +0 .5) dihasilkan oleh 18 kelompok. Pola-3 menunjukkan korelasi signifikan terkonsentrasi pada perairan wilayah Indonesia dan Pasifik (-0.5 ≤ R ≥ +0.5) dihasilkan oleh 6 kelompok. Sedangkan 2 kelompok tidak mempunyai pola yang jelas, namun dianggap sebagai pola ke-2 dalam penyusunan model prediksi. Model disusun dengan periode data 30 tahun (1978-2007) menggunakan teknik analisis Principal Component Regression (PCR). Variable sebagai prediktor adalah nilai reduksi anomali SML pada suatu domain terpilih (PC1, PC2.....PCn) dan sebagai prediktan adalah rataan AMH di tiap kelompok. Validasi silang Leave One Out Cross Validation (LOOCV) digunakan sebagai ukuran kestabilan model. Prediktor yang di jadikan masukan model saat verifikasi adalah hasil reduksi anomali SML bulan JJA tahun 2008 di domain terpilih pada masing-masing pola. Untuk mengetahui skill prediksi model AMH, digunakan metode Relative Operating Characteristics (ROC). ROC merupakan metode verifikasi standar yang direkomendasikan WMO (World Meteorological Orgazation). Kehandalan model prediksi AMH tiap ZOM dipetakan sehingga didapat pola wilayah kehandalan model prediksi saat AMH maju dan AMH mundur dari normal. Dengan mengetahui pola wilayah kehandalan model prediksi
AMH saat kejadian maju atau mundur dari normalnya maka dapat diketahui kehandalan prediksi kejadian AMH di wilayah Jawa. Secara umum AMH di Jawa dipengaruhi oleh tiga pola interaksi Laut-Atmosfer yaitu ENSO, IOD, SML Lokal, meskipun besar pengaruhnya di tiap wilayah berbedabeda. Pernyataan itu dibuktikan oleh hasil korelasi AMH di Jawa dengan SML wilayah (15°S – 15°N; 80°E- 100°W). Efek kombinasi ENSO, IOD dan SML lokal dominan mempengaruhi AMH di Jawa, hal itu diindikasikan oleh jumlah model ZOM pada pola-2 lebih banyak dibandingkan pola-1 dan pola-3. Kombinasi domain prediktor wilayah karakteristik ENSO dan laut lokal memiliki sensitifitas yang lebih baik terhadap kejadian AMH dibandingkan kombinasi lainnya. Hal itu ditunjukkan dengan nilai skill terbaik dihasilkan oleh model dengan domain prediktor di pola-3. Kehandalan model prediksi AMH di Jawa saat kejadian maju dari normal lebih baik dibandingkan saat kejadian mundur dari normal. Hal itu dapat di pahami, karena pengaruh SML Indonesia (lokal) tampaknya cukup kuat mensuplai uap air ke Jawa sehingga hujan terjadi. Teknik penentuan domain prediktor yang sudah dilakukan dalam bentuk mencari batasan maksimum wilayah korelasi signifikan dalam persegi empat, cara itu dapat di tingkatkan hingga mendeliniasi pola di peta korelasi, sehingga tidak ada grid prediktor yang hilang atau grid yang tidak termasuk domain ikut ter-ekstraksi. Teknik dan metode penyusunan model AMH ini dapat diterapkan di wilayah Indonesia lainnya.
© Hak Cipta IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengkutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyaksebagian atau seluruh karya tulis bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN DI PULAU JAWA DENGAN MENGGUNAKAN INFORMASI SUHU MUKA LAUT DI KAWASAN PASIFIK DAN INDIA
MARJUKI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Klimatologi Terapan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Ir. Rini Hidayati, M.S.
Judul Penelitian
:
Nama NIM
: :
Model Prediksi Awal Musim Hujan di Pulau Jawa dengan Menggunakan Informasi Suhu Muka Laut di Kawasan Lautan Pasifik dan India Marjuki G251080021
Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom Anggota Diketahui :
Ketua Program Studi Klimatologi Terapan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
Tanggal Ujian : 24 Mei 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Kuasa atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Agus Buono, M.Si,M.Kom. selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak membantu, membimbing dan mengarahkan dalam penelitian ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada : 1) Ibu Wartilah selaku orang tua yang membanggakan, dengan doa beliau yang tulus dan iklas penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 2) Bapak Hariyanto, Ibu Umi Zulaikha yang selalu membrikan dorongan dan semangat. 3) Famiyana Dewi, istri yang selalu mendampingi dengan kesabaran dan keiklasan 4) Putri-putri yang kusayangi, Fathania Radinka Putri, Farryn Naqyya Ilmi (Alm), kalian telah memberi inspirasi. 5) Supriyanto Rohadi, sahabat yang selalu memberikan motivasi. 6) Teman-teman mahasiswa Program Studi Klimatologi Terapan, Sekolah Pascasarjana IPB atas bantuan pemikiran dan diskusi ilmiah. Penelitian ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program Klimatologi Terapan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Judul penelitian ini adalah Model Prediksi Awal Musim Hujan Di Pulau Jawa Dengan Menggunakan Informasi Suhu Muka Laut Di Kawasan Lutan Pasifik dan India. Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini belum sempurna, kritik, saran dan masukan pemikiran yang konstruktif
diharapkan untuk menyempurnakan.
Semoga penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2011
Marjuki
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1975 dari ayah Darso Sugiman (alm) dan ibu Wartilah. Penulis adalah putra ke dua dari empat bersaudara. Tamat Sekolah Teknik Menengah tahun 1993 di Jakarta, menyelesaikan Diploma I di Akademi Meteorologi dan Geofisika (AMG) Jakarta tahun 1994. Diploma III diselesaikan penulis tahun 2001 dan Sarjana Matematika Universitas Pamulang di selesaikan tahun 2006. Tahun 2008, penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Klimatologi Terapan (KLI), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR........................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvi 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................... 1.3 Hipotesa ................................................................................................. 1.4 Tujuan .................................................................................................... 1.5 Manfaat .................................................................................................. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................
1 2 3 3 4 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musim Hujan dan Monsun .................................................................... 5 2.2 Pengaruh Sirkulasi Walker ..................................................................... 6 2.3 Definisi Musim Hujan............................................................................. 10 2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Awal Musim ............................................ 12 2.5 Perkembangan Model Prediksi Awal Musim Hujan ............................. 14 2.6 Potensi Aplikasi Prediksi Awal Musim Hujan ...................................... 15 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 17 3.2 Data Penelitian ....................................................................................... 17 3.3 Prosedur Pengolahan Data……………………………………………...19 3.4 Analisis Cluster………….……………………………………………...20 3.5 Principal Componen Analisis ................................................................ 20 3.6 Analisis Korelasi .................................................................................... 21 3.7 Principal Component Regression ......................................................... 22 3.8 Analisis Validasi Silang .......................................................................... 23 3.9 Verifikasi ................................................................................................ 24 3.10 Evaluasi .................................................................................................. 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7
Pengelompokan Zona Musim..................................... .......................... ..28 Normal Awal Musim Hujan Jawa……………………………………... 29 Korelasi Awal Musim Hujan dengan Anomali Suhu Muka Laut .... .... ..31 Pola Hubungan Suhu Muka Laut Dengan ZOM Jawa ......................... ..33 Domain Prediktor Suhu Muka Laut ..................................................... ..35 Reduksi Prediktor Suhu Muka Laut ..................................................... ..36 Penyusunan Model Prakiraan Awal Musim Hujan Jawa ..................... ..37
4.8
4.9
4.7.1 Menyusun Model...........................................................................37 4.7.2 Validasi Model...............................................................................39 4.7.3 Verifikasi Model............................................................................40 Evaluasi Skill Model ............................................................................. . 41 4.8.1 Skill Prediksi AMH Maju atau Mundur Dari Normal................... 42 4.8.2 Pola Wilayah Kehandalan Model Prediksi AMH di Jawa……… 45 Pembahasan........................................................................................... ..47 4.9.1 Hubungan Awal Musim Hujan di Jawa dengan SML....................47 4.9.2 Evaluasi Skill Model prediksi Awal Musim Hujan Jawa …………….……………...…50
5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... . 52 5.1 5.2
Kesimpulan ........................................................................................... ..52 Saran ..................................................................................................... ..54
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ . 55 LAMPIRAN ....................................................................................................... . 58
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Domain Prediktor .............................................................................................. 36 2. Koefisien Persamaan Regresi Tiap Pola ........................................................... 38 3. Skill prediksi Awal Musim Hujan Pola-1 ......................................................... 42 4. Skill prediksi Awal Musim Hujan Pola-2 ......................................................... 43 4. Skill prediksi Awal Musim Hujan Pola-3 ......................................................... 44
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Peta Daerah Monsun ...................................................................................... 6 2. Skematik Sirkulasi Walker.............................................................................. 7 3. Daerah dengan curah hujan dibawah normal ................................................. 8 4. Skematik wilayah ENSO dan IOD .................................................................. 10 5. Pola Angin Samudera India- Pasifik Saat Normal dan ENSO........................ 13 6. Sebaran Data Awal Musim Hujan Jawa ......................................................... 18 7. Grid Anomali Suhu Muka Laut ...................................................................... 18 8. Diagram Alir Penyusunan Model AMH ......................................................... 19 9. Kurva Skill Prediksi Hasil ROC ..................................................................... 26 10. Grafik Jumlah Cluster Terhadap Jarak Data ................................................... 23 11. Peta Zona Musim Jawa ................................................................................... 29 12. Peta Normal Awal Musim Hujan Jawa .......................................................... 30 13. Peta Korelasi Awal Musim Hujan Jawa dengan Suhu Muka Laut Pola-1 .... 31 14. Peta Korelasi Awal Musim Hujan Jawa dengan Suhu Muka Laut Pola-2 .... 32 15. Peta Korelasi Awal Musim Hujan Jawa dengan Suhu Muka Laut Pola-3 .... 33 16. Peta Wilayah Pola Korelasi AMH dengan Anomali SML.............................. 34 17. Grafik RMSE Validasi Silang Model Awal musim Hujan ............................. 39
18. Grafik Verifikasi Model Awal musim Hujan.................................................. 41 19. Peta Skill Mundur dari Normal Model Awal Musim Hujan Jawa .................. 45 20. Peta Skill Maju dari Normal Model Awal Musim Hujan Jawa ..................... 41
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Data Awal Musim Huja Jawa Periode 1978-2008 dalam Dasarian .................. 58 2. Koordinat Pos Pengamatan Curah Hujan Jawa ................................................. 68 3. Daftar Kabupaten Wilayah Zona Musim .......................................................... 73 4. Korelasi Spasial AMH dengan Anomali SML tiap Pola .................................. 74 5. Scree Plot Prediktor Masing-masing Pola......................................................... 80 6. Hasil Uji Regresi Tiap Cluster .......................................................................... 86 7. Validasi Silang Tiap Cluster ............................................................................. 112 6. Grafik Skill Prediksi AMH Maju-Mundur tiap Model ..................................... 122
1
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dilewati oleh garis katulistiwa serta
dikelilingi oleh dua samudera dan dua benua. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Utara-Selatan) dikenal sebagai Sirkulasi Hadley dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) dikenal sebagai Sirkulasi Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia. Pergerakan matahari yang berpindah dari 23.5o Lintang Utara ke 23.5o Lintang Selatan sepanjang tahun
mengakibatkan
timbulnya
aktivitas
monsun
yang
berperan
dalam
mempengaruhi keragaman iklim Indonesia. Pengaruh lokal terhadap keragaman iklim juga tidak dapat diabaikan, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi sangat beragam menyebabkan sistem golakan lokal cukup dominan. Semua aktivitas dan sistem ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun akan tetapi besar pengaruh dari masing-masing aktivitas atau sistem tersebut tidak sama dan dapat berubah dari tahun ke tahun. Aktifitas monsun dapat dipengaruhi oleh kejadian anomali iklim global, El Nino memiliki hubungan langsung antara variasi awal musim di Indonesia dengan Sea Surface temperatur (Moron et al. 2009). Selain itu, kejadian anomali iklim global lainnya yang mempengaruhi aktifitas monsun adalah Indian Ocean Dipole Mode (IOD). Kejadiannya ditandai dengan perbedaan suhu perairan samudera hindia bagian barat dan timur (10°S – 10°N; 50°- 110°E). Menurut Mulyana (2002), siklus dipole mode diawali pada bulan Mei-Juni kemudian menguat pada bulan Juli-Agustus mencapai puncaknya pada bulan Oktober, selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan Nopember-Desember. Sebanyak 50% perubahan curah hujan di wilayah Maritim kontinen hingga Pasifik Barat di sebabkan oleh perubahan anomali SST di Samudera Hindia (Annamalai et al. 2005). Umumnya ketika terjadi El Niño, efeknya saling memperkuat dengan IOD tetapi ada kasus ketika bukan tahun El Niño
2
Indonesia kering, ternyata ketika itu IOD aktif, jadi Indonesia mengalami kekeringan ketika bukan tahun El Niño dapat dijelaskan dari pengaruh IOD. Pulau Jawa adalah wilayah sentra pertanian di Indonesia, tingkat keberhasilan maupun kegagalan panen tiap tahun bergantung pada ketersedian air karena apabila awal musim hujan maju atau mundur dari normalnya maka akan mempengaruhi jadwal tanam, sehingga perlu diberikan perhatian khusus terhadap pola iklim. Terkait akan hal itu, untuk mengurangi kerugian para petani dan menjaga tingkat stabilitas pangan di Indonesia, maka dicari suatu cara dan metode yang akurat dalam menentukan awal masuk musim hujan akibat dari perilaku monsun yang di pengaruhi oleh aktifitas ENSO dan IOD. Dengan memperhatikan pola variasi curah hujan sepuluh harian (dasarian) di wilayah Jawa serta tingkat hubungannya dengan Suhu Muka Laut (SML) dari samudera india hingga samudera pasifik, maka kejadian awal masuk musim hujan dapat diduga. Sering kali kegagalan panen dikaitkan dengan perilaku iklim, maka tuntutan kebutuhan prediksi awal musim hujan disuatu wilayah semakin tinggi, sampai pada tingkat skala lokal (wilayah kabupaten). Kemajuan sistem prediksi iklim global telah banyak dikembangkan, namun hasilnya tidak dapat langsung di aplikasikan untuk skala wilayah regional sehingga perlu diciptakan suatu model dengan tingkat akurasi tinggi yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat pengguna. 1.2
Perumusan Masalah Model prediksi cuaca umumnya didasari dengan mekanisme proses sirkulasi
atmosfer tiap komponen skala harian dengan batasan waktu 2 sampai 3 hari kedepan, sehingga pendekatan model mekanistik lebih menjawab persoalan. Namun untuk proses sirkulasi atmosfer musiman model mekanistik akan lebih sulit dilakukan karena proses sirkulasi atmosfer musiman memiliki skala waktu yang lebih panjang, mekanisme yang kompleks dengan rata-rata fluktuasi tiap komponen rendah. Salah satu mekanisme proses yang mempengaruhi musim adalah interaksi laut-atmosfer mulai dari samudera india sampai samudera pasifik yang mengakibatkan terganggunya pola periodik monsun. Gejala anomali iklim global ENSO dan IOD
3
akibat dari ketidak normalan temperatur muka laut sehingga mempengaruhi pola iklim lokal dengan tingkat yang berbeda-beda di wilayah Indonesia. Pengaruh yang paling sering dirasakan adalah tingkat variasi awal musim hujan. Untuk skala ruang yang lebih sempit, prediksi awal musim hujan perlu di kaji lebih mendalam dengan pendekatan model statistik dengan asumsi dasar mengabaikan pengaruh komponen iklim lokal dan komponen iklim global lainnya kecuali SML.
1.3
Hipotesa
1)
Daerah tropis berada di ambang kritis suhu muka laut yang mendorong curah hujan maksimum atau minimum sehingga suhu muka laut berperan terhadap kejadian awal musim hujan.
2)
Fenomena IOD, aktifitas iklim laut lokal dan ENSO merupakan fenomena iklim laut yang mempengaruhi awal musim hujan di Pulau Jawa.
3)
Terdapat hubungan linier antara awal musim hujan di Jawa dengan suhu muka laut lokal dan global.
4)
Suhu muka laut sangat potensial menjadi prediktor model prediksi awal musim hujan di wilayah Jawa.
1.4
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah : 1)
Membahas dan menentukan model prediksi awal musim hujan antara bulan Agustus-Desember di wilayah Jawa dengan prediktor SML ( Suhu Muka Laut) wilayah (15°S – 15°N; 80°E- 100°W)
2)
Menyusun peta spasial yang menunjukkan kemampuan model prediksi (forecast skill model) awal musim hujan di Jawa.
3)
Menentukan domain prediktor SML yang mempengaruhi awal musim hujan untuk di Jawa.
4
1.5
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap teknik
maupun model prediksi awal masuk musim yang selama ini di operasionalkan oleh instansi BMKG. Hal itu tentunya dengan mengedepankan dasar dan alasan ilmiah sehingga tujuan utama dalam meningkatkan skill prediksi awal masuk musim hujan dapat dirasakan pengguna.
1.6
Ruang Lingkup Penelitian Definisi awal masuk musim hujan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
akumulasi curah hujan hujan sepuluh hari (dasarian) mencapai 50 mm atau lebih dan diikuti dua dasarian berikutnya. Jika curah hujan lebih dari 50 mm dalam tiga dasarian tidak di temukan maka awal musim ditentukan dengan akumulasi curah hujan tiga dasarian mencapai lebih dari 150 mm. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai curah hujan dasarian tiap titik (pos hujan) di seluruh kabupaten wilayah Jawa periode minimal selama 30 tahun keluaran BMKG. Selain itu digunakan data SML regional dan global dalam batasan wilayah (15°S – 15°N; 80°E- 100°W). Untuk lintang 10°N – 15°N merupakan zona kunci awal monsun di
Kerala India dengan waktu kejadian 7 sampai 12 hari sebelumnya (Singh et al. 2004). Sehingga batasan wilayah terpilih menggambarkan aktivitas monsun serta hubungan laut-atmosfer di samudera pasifik dan samudera Hindia.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Musim Hujan dan Monsun Di tinjau dari aspek geografis, Indonesia diapit oleh dua benua dan dua
samudera sehingga memungkinkan adanya tiga sirkulasi atmosfer yang aktif sepanjang tahun. Sirkulasi Hadley yang berubah menjadi monsun, sirkulasi Walker yang mengindikasikan fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) serta sirkulasi laut-atmosfer menyebabkan konveksi kuat yang membentuk awan potensial hujan. Selain itu sebagai negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan luas perairan sekitar 70% dan daratan 30%
serta di lewati garis khatulistiwa menyebakan
Indonesia menerima INSOLASI (Incoming Solar Radiation) dalam jumlah besar mengakibatkan potensi penguapan uap air cukup kuat terjadi. Wilayah lautan dengan temperatur 28°C merupakan lokasi potensial terjadi konveksi tropis (Vinaya et al. 2007). Monsun adalah angin yang arahnya berbalik secara musiman, pembalikan tersebut membutuhkan gaya gradien tekanan yang disebakan oleh beda tekanan atmosfer. Angin monsun disebabkan oleh perbedaan sifat fisis antara lautan (ocean) dan daratan (continen) karena kapasitas panas lautan lebih besar dari pada daratan. Permukaan lautan memantulkan radiasi matahari lebih banyak dari pada daratan dan radiasi matahari dapat memasuki kedalaman laut juga dengan bantuan arus laut, sedangkan didarat radiasi matahari hanya mencapai beberapa centimeter saja dari permukaan. Hasil dari beda sifat fisis ini adalah lautan lebih lambat panas bila ada radiasi matahari dan lebih lambat dingin bila tidak ada radiasi matahari dibandingkan daratan. Pergerakan semu matahari dapat membalikkan arah gaya gradient tekanan dari daratan ke lautan menghasilkan perubahan arah angin musiman atau monsun sehingga beda panas Utara-Selatan yang sangat penting diperkirakan antara benua Asia dan samudera Hindia. Jika angin berhembus dari arah Barat Laut (Northwest) atau menuju pantai (daratan) maka Indonesia terjadi periode musim hujan, sebaliknya jika angin berhembus dari arah Tenggara (Southeast) atau menuju lepas pantai
6
(lautan) maka Indonesia terjadi periode musim kemarau. (Gambar 1) menunjukkan daerah monsun yang dibatasi oleh garis bujur 30° Barat dan 170° Timur dan oleh garis lintang 35° Utara dan 25° Selatan (Ramage 1971). Namun, belum banyak metode yang digunakan untuk mengidentifikasi datangnya monsun, apalagi biasanya model yang ada tidak melibatkan variabilitas interannual (Falluso & Webster 2002).
Gambar 1. Peta daerah monsoon muka bumi berdasarkan definisi dari Ramage 1971.
2.2
Pengaruh Sirkulasi Walker Sirkulasi Walker adalah sirkulasi zonal (Timur-Barat) sepanjang ekuator.
Pada tahun normal, sirkulasi ini di tandai dengan kenaikan udara di sekitar pasifik bagian Barat dekat dengan benua maritime Indonesia dan penurunan udara di samudera pasifik bagian Timur lepas pantai Amerika Selatan. Intensitas sirkulasi Walker dikendalikan oleh variasi SML (Suhu Muka Laut) di samudera pasifik bagian Timur dan bagian Barat (Gambar 2).
7
DJF Normal
Eq 30oLS 90oBB
0o
90oBT
180o
90oBB
DJF El Nino
Eq 30oLS 90oBB
0o
90oBT
180o
90oBB
Gambar 2. Skematik dari sirkulasi Walker di bagian atas dan bawah atmosfer dalam keadaan normal dan ENSO (Nicholls 1987)
Perubahan dalam kadar panas SML kemudian di alihkan kedalam atmosfer dalam bentuk perubahan tekanan atmosfer. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa ada kopel (perangkai) yang kuat antara lautan dan atmosfer, demikian disebut El Nino Southern Oscillation (ENSO). Dalam tahun-tahun ENSO terjadi penurunan (subsidensi) massa udara diatas benua maritim Indonesia dan awan konvektif bergerak ke pasifik bagian tengah, sehingga sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kekeringan atau musim kemarau panjang. Model dasar interaksi lautan adalah kenaikan temperatur Samudera Pasifik Ekuatorial. Di atas pusat anomali temperatur ini akan terjadi penguapan dan konveksi kuat, akibatnya angin pasat di sebelah barat pusat anomali temperatur akan melemah dan angin pasat di sebelah timur pusat ini akan menguat. ENSO menyebabkan variasi iklim tahunan di Indonesia, keterlambatan musim tanam terjadi pada tahun-tahun ENSO dibandingkan kondisi normal. Tanpa memperhitungkan manajemen air yang baik maka produksi pangan akan turun sehingga mengganggu stabilitas pangan Indonesia. Dari data yang tercatat saat tahun-tahun ENSO mengakibatkan musim kemarau lebih panjang dan musim hujan lebih pendek. Dampak kekeringan Tahun
8
ENSO di Indonesia tercatat hampir dirasakan diseluruh wilayah Indonesia kecuali untuk beberapa tempat yang pengaruh ekuatorialnya lebih kuat Penjelasan diatas menunjukkan, bahwa keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Pada saat fenomena ENSO berlangsung, hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal (Gambar 3). Pengamatan terhadap tahun El-Nino yang terjadi dalam periode 1896 sampai 1987, diperoleh bahwa untuk setiap peningkatan anomali suhu muka laut di daerah Nino 3 rata-rata curah hujan wilayah di Indonesia pada musim kering turun sekitar 60 mm. Penurunan curah hujan wilayah dapat mencapai 80 mm dari normal apabila suhu muka laut di Nino-3 naik sampai 1.8 oC di atas normal (Boer 2003).
Wilayah dengan Hujan Bawah Normal (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 60 62 64 66 68 70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 Tahun
Gambar 3. Persen daerah yang curah hujan di bawah normal (panah hitam menunjukkan tahun bukan El-Nino)
Fenomena ENSO tidak hanya mempengaruhi tinggi hujan tetapi juga mempengaruhi masuknya awal musim hujan atau akhir musim kemarau tergantung pada waktu pembentukan dan lama dan intensitasnya. Pada umumnya pada saat terjadi El-Nino awal musim hujan di wilayah yang bertipe iklim monsun mengalami
9
keterlambatan, sebaliknya pada saat berlangsungnya fenomena La-Nina,akhir musim hujan mengalami keterlambatan atau awal masuknya musim kemarau mundur. Faktor lain yang mempengaruhi keragaman hujan di Indonesia adalah Indian Ocean Dipole Mode (IOD). Fenomena ini pertama kali dikemukakan oleh (Saji et al. 1999). IOD dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara suhu muka laut di kawasan barat Samudera
India (50°-70°BT, 10°LU-10°LS) dengan suhu muka laut di
kawasan tenggara Samudera India (90°-110°BT, 0°-10°LS). Apabila terjadi indeks sangat negatif (dibawah standar deviasi historis) yang berarti suhu di tengah samudera Hindia lebih hangat daripada di pantai barat Sumatera, maka wilayah Indonesia barat bagian selatan mendapat resiko kekeringan akibat terjadi subsidensi dan aliran masa udara menjauh daerah ini. Apabila yang terjadi sebaliknya, maka wilayah yang sama akan mengalami curah hujan tinggi. Dampak IOD penting di perhatikan saat periode Juni-Oktober dimana akan memberikan banyak bulan basah di bagian Tenggara (Southeast) dan Barat Daya (Southwest) lokasi IOD terjadi (Risbey et all. 2009). Selain itu pada akhir Mei potensi terjadi ketidakstabilan musim angin baratan Afrika (Hagos & Kerry 2006). Sehingga wilayah tengah Samudera india sangat penting diperhatikan pada bulan Juni, Juli, Agustus. Dibandingkan dengan ENSO, fluktuasi dari gejala IOD memiliki periode yang sangat pendek tidak lebih dari satu musim sehingga koherensi gejala ini rendah dan sulit diasosiasikan dengan iklim Indonesia. Selain itu sangat sulit untuk menduga besarnya pengaruh ENSO, IOD atau efek kombinasi keduanya terhadap curah hujan (Risbey et all. 2009). Untuk memahami lebih jauh kaitan kejadian ENSO dan IOD terhadap kejadian awal masuk musim hujan di wilayah Jawa, kajian di fokuskan menentukan domain prediktor interaksi lautan-atmosfer yaitu fluktuasi SML di Pasifik
ekuator
bagian
tengah
dan
timur
merepresentasikan ENSO dan IOD (Gambar 4).
hinga
Samudera
India
yang
10
Gambar 4. Skematik wilayah ENSO dan IOD
2.3
Definisi Awal Musim Hujan Kombinasi revolusi dan kemiringan bumi akan mempengaruhi sudut jatuh
sinar matahari dan intensitas insolasi (incoming solar radiation), akibatnya di muka bumi terjadi pembagian wilayah musim (musim dingin, semi, panas dan gugur). Musim diwilayah Indonesia tidak mengikuti pembagian wilayah musim dibumi karena unsur temperatur hampir konstan sepanjang tahun namun sebaliknya variasi unsur curah hujan sangat besar. Curah hujan yang terjadi di suatu wilayah memberikan gambaran musim pada wilayah tersebut. Awal musim hujan (AMH) dapat di jelaskan oleh curah hujan yang terjadi pada suatu tempat. Ketentuan definisi AMH di satu tempat dapat berbeda di tempat lainnya, hal itu dapat bergantung pada kondisi klimatologis. Kondisi klimatologi akan memberikan ciri atau indikator tertetentu ketika AMH terjadi, sehingga dapat ditetapkan definisi yang tepat. Sebagai ilustrasi, Departemen Meteorologi India menetapkan wilayah Kerala sebagai salah satu indikator awal datangnya AMH di seluruh India (Wang et al. 2009). Apabila setelah 10 Mei tercatat curah hujan sebanyak 10 mm per 24 jam dalam 2 hari di lima stasiun pengamatan dari tujuh stasiun yang ada di Kerala maka dinyatakan sebagai AMH (Pai & Rajeevan 2009). Sedangkan definisi AMH di wilayah Indonesia
11
didasarkan pada ketentuan yang dibuat oleh BMKG yaitu awal musim hujan ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian telah lebih dari 50 mm dan diikuti minimal dua dasarian berikutnya, sebaliknya awal musim kemarau ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian kurang dari 50 mm dan diikuti minimal dua dasarian berikutnya. Saat perhitungan awal musim hujan yang dilakukan BMKG biasanya setelah 1 September. Definifisi AMH dapat juga bergantung pada kondisi wilayah lokal untuk bidang pertanian. Untuk kepentingan sektor pertanian, AMH adalah informasi yang penting dalam penentuan waktu dan pola tanam. Definisi AMH yang digunakan pada bidang pertanian di Indonesia, apabila curah hujan setelah 1 Agustus tercatat > 40 mm dalam 5 hari berturut-turut tanpa diikuti 10 hari dry spell atau curah hujan < 5 mm dalam periode 10 hari (Moron et al. 2008). Sedangkang wilayah Sahel Afrika mendefinisikan AMH dalam bidang pertanian yaitu apabila curah hujan setelah 15 Mei tercatat > 20 mm dalam 2 hari berturut-turut tanpa diikuti 7 hari dry spell atau curah hujan < 5 mm dalam periode 20 hari (Marteu et al. 2007). Perbedaan definisi AMH di tiap tempat disebabkan karena perbedaan posisi geografis yang berimplikasi pada pola umum atmosfer suatu wilayah. Sebagai contoh untuk wilayah tropis pola atmosfer dominan adalah Intertropical Convergence Zone (ITCZ) atau pias pumpun antar tropis akibat dari gerak periodik Matahari 23.5o arah Utara dan Selatan. Wilayah yang di lewati ITCZ biasanya pada periode musim hujan dan sebaliknya. Kondisi tropis berbeda dengan yang terjadi di wilayah sub tropis hingga kutub (lintang tinggi), pada wilayah tersebut pola atmosfer yang berperan dan penting di perhatikan yaitu gelombang rossby (Graham et al. 2010). Gelombang Rossby adalah angin yang mengelilingi bumi, bergerak dari Barat ke Timur dan biasanya mendorong kelembaban dari Samudra Atlantik. Dalam penjalaranya, gelombang ini berosilasi diantara lintang 30o dan 60o sehingga memiliki pengaruh dominan terhadap wilayah lintang tinggi. Selain itu, faktor yang membedakan definisi AMH adalah posisi lautan dan daratan yang berimplikasi pada pola umum atmosfer. Contoh dalam hal ini adalah perilaku monsun yang hanya terjadi disekitar perairan India dan pasifik serta benua Asia dan Australia.
12
2.4
Faktor Yang Mempengaruhi Awal Musim Monsun adalah salah satu fenomena iklim global menyebabkan pergerakan titik
kulminasi matahari terhadap bumi yang bergerak utara selatan dan terciptanya kontras tekanan dan suhu antara benua dan samudera. Selain itu fenomena monsoon juga mengikuti pola garis pantai karena pada daerah tersebut terjadi pusat pusat konveksi dan juga diakibatkan oleh pola kontras antara benua dan samudera. Sehingga pergerakan daerah fenomena monsoon tidak murni bergerak arah utara selatan. Wilayah Jawa termasuk dalam pewilayahan monsun atau wilayah yang dicirikan dengan pola hujan tahunan satu puncak hujan dan satu puncak kemarau (Aldrian & Susanto 2003). Hal ini mengakibatkan nilai kontras akumulasi hujan pada puncak musim hujan dan puncak kemarau. Sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BMKG, jika hujan diatas 150 mm, maka dikategorikan musim hujan, sebaliknya apabila curah hujan dibawah 150 mm per bulan akan disebut musim kemarau. Dengan memahami kejadian monsun maka dapat menduga terjadinya awal musim Indonesia Fenomena iklim global lainnya adalah ENSO, dampak dari fenomena ini dapat dirasakan secara global. Fenomena ini berhubungan berturut turut dengan fase hangat dan dingin di wilayah ekuator Pasifik. Secara normal terdapat kolam hangat (warm pool) di sebelah utara pulau Papua yang merupakan tempat berkumpulnya arus permukaan dari aliran sabuk dunia sebelum dihantar melalui arus lintas Indonesia (Arlindo) melalui wilayah benua maritim menuju samudera india. Kolam hangat ini juga tempat sirkulasi Walker dimana terjadi pengangkatan masa udara (convection center). Pada saat El Niño, terjadi perpindahan daerah wam pool menuju ke timur daerah ekuator Pasifik dan meninggalkan daerah di utara Papua. Dinamika fenomena laut tersebut tentunya akan menggangu kondis atmosfer di wilayah lainnya. Sel Walker menyebabkan telekoneksi atmosfer antara wilayah samudera India dan pasifik yang berpusat di wilayah warm pool sekitar Papua (Aldrian & Susanto.2003). Pada kondisi normal, angin 850 mb atau angin lapisan bawah di perairan India-Pasifik pada periode JJA bertiup dari Timur (Gambar 5a). Kejadian ENSO menyebabkan pola angin di lapisan bawah pada periode bulan JJA di perairan India-Pasifik
13
menyimpang dari normalnya. Meningkatnya SML di pasifik tropis membuat arus angin berbalik atau terjadi putaran di Pasifik Tengah (Gambar 5b). Implikasinya untuk wilayah Pasifik Tengah-Timur akan terjadi banyak hujan akibat konvergensi efek dari putaran angin (pembalikan arah). Sedangkan Jawa atau Indonesia pada umumnya akan terjadi pengurangan curah hujan selanjutnya mengakibatkan awal masuk musim hujan akan mundur dari normalnya. Dengan demikian perlu memperhatikan sinyal kejadian ENSO sebagai faktor yang mempengaruhi AMH di Jawa. Sinyal tersebut yaitu fluktuasi SML periode JJA di wilayah pasifik equator sehingga kejadian AMH maju atau mundur dari normal di Jawa dapat di prediksi.
a
b
Gambar 5 Pola angin 850 mb JJA Samudera India-Pasifik Saat (a) Normal dan (b)ENSO Selain faktor tahunan tersebut, pola iklim Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non tahunan seperti harian intra seasonal dan faktor inter tahunan. Untuk skala intra seasonal atau antara 30 sampai 90 hari, terdapat dominasi pengaruh pergerakan daerah konveksi dari samudera India ke arah timur. Pergerakan variabilitas intra seasonal ini membawa akibat daerah hujan yang tinggi pada daerah yang dilaluinya. Variabilitas atau osilasi intra seasonal ini dikenal dengan istilah Madden Julian Oscillation (MJO) sesuai nama pencetusnya (Madden & Julian 1994). Untuk daerah benua maritim Indonesia, penjalaran gelombang ke timur gejala ini terjadi di samudera India dan peristiwa yang dimulai di laut akan berakibat pada
14
daerah hujan yang mana daerah hujan ini akan bergerak ke arah timur masuk di kepulauan Indonesia melalui propinsi Sumatera Barat dan terus bergerak ke Timur (Aldrian 2008). Apabila peristiwa tersebut terjadi pada bulan musim hujan maka pergerakan akan lebih ke arah selatan mengikuti jalur Intertropical Convergence Zone (ITCZ) atau daerah konvergensi antar tropis yang sedang berada di bumi belahan selatan. Pola mengikuti jalur ITCZ dikarenakan ITCZ merupakan pusat konveksi yang menarik massa udara sekitar. Peristiwa penjalanan dengan gelombang ini terjadi dengan periode antara 30 sampai 90 hari atau periode seasonal dan intraseasonal sehingga gejala MJO ini dikenal juga dengan istilah gelombang intraseasonal. Pergerakan intraseasonal ini mengakibatkan variabilitas curah hujan sehingga terjadi waktu jeda basah (wet spell) atau waktu jeda kering (dry spell), implikasinya akan terjadi kehilangan hari bulan basah atau hari bulan kering antara 20 sampai 50 hari (Benjamin
&
Pierre
2006).
Kejadian
tersebut
tentunya
akan
berpotensi
mempengaruhi AMH di wilayah Indonesia khususnya Jawa karena dasar perhitungan AMH adalah akumulasi curah hujan dalam sepuluh harian (dasarian). Dengan memahami kejadian MJO maka dapat dihindari menentukan awal musim palsu akibat dry spell atau wet spell.
2.5
Perkembangan Model Prediksi AMH Hasil dari model iklim global biasanya diberikan sebagai input untuk model
iklim regional dimana dinamika proses yang terjadi kembali dihitung dalam skala regional. Untuk model prediksi dibutuhkan model iklim laut dan atmosfir yang dijalankan sekaligus dimana terjadi umpan balik antara keduanya. Masing masing model tersebut tidak dapat jalan sendiri sendiri untuk prediksi karena masing masing saling membutuhkan untuk data di permukaan laut. Untuk model atmosfir global biasanya membutuhkan data SML, sedangkan untuk model iklim regional model atmosfir membutuhkan data di daerah batas domain di laut atau di atmosfir pada masing masing lapisan. Saat ini model AMH sudah banyak dikembangkan baik yang berdasar dinamika atmosfer, pemanfaatan data satelit maupun perhitungan statistik. Kajian data satelit dimanfaatkan untuk menduga anomali curah hujan dalam periode
15
masa transisi (Maret-Juni) sehingga akan di ketahui sebaran pola hujan spasial untuk wilayah Indonesia (As-syakur & Prasetia 2010). Kajian tersebut dapat dijadikan indikasi awal pertimbangan perkembangan fenomena iklim global untuk kepentingan menduga AMH. Dalam teknk perhitungan statistik (Hamada et al. 2002) melakukan analisa terjadinya AMH di Indonesia kaitannya dengan kejadian ENSO. Model prediksi AMH dengan teknik statistik namun menggunakan data prediktor SML telah banyak dikembangkan. BoM Australia mengidentifikasi wilayah prediktor SML potensial sebagai prediktor sebelum diaplikasikan dengan teknik statistik (Fiona lo et al. 2008). Demikian juga dengan India Meteorological Departemen (IMD) telah melakukan dengan teknik yang serupa dan bahkan telah dioperasionalkan (Rajeevan 2009).
Selain
teknik
tersebut,
(Moron
&
Robertson.
2009)
juga
telah
mengembangkan suatu metoda menduga awal terjadinya mosun dengan teknik pemanfaatan data satelit untuk wilayah India. Pengembangan model iklim atmosfir dan laut berbasis data satelit untuk Indonesia relatif masih baru. Keterbatasaan sumber daya manusia dan komputer untuk kajian ini merupakan hambatan tersendiri. Untuk kebutuhan data pada wilayah yang luas, Indonesia membutuhkan pengamatan iklim terpadu sehingga mencakup seluruh wilayah teritorialnya. BMKG masih memanfaatkan data hujan yang ada untuk operasional utama prediksi AMH. Model dengan teknik statistik dalam hal ini ARIMA masih menjadi tumpuan produk informasi awal musim. Kompleksitas masalah lingkungan dan iklim di Indonesia akhir akhir ini menambah persoalan tentang akurasinya. Hal itu mendorong institusi ini mencari teknik dan metode yang tepat dalam mengembangkan model prediksi iklim. Saat ini model prediksi iklim berbasis satelit sedang dikembangkan oleh BMKG sehingga diharapkan dapat menghasilkan produk informasi iklim yang lebih handal.
2.6
Potensi Aplikasi Prediksi AMH Iklim merupakan komponen ekosistem sekaligus faktor alam penting yang
sangat dinamik dan sulit dikendalikan. Karena sifat iklim yang dinamis dan beragam diperlukan suatu pemahaman yang lebih akurat teradap karakteristik iklim melalui
16
analisis dan interpretasi informasi iklim sehingga lebih berdaya guna dalam bidang pertanian. Pendekatan yang paling efektif untuk memanfaatkan sumber daya iklim adalah menyesuaikan sistem usaha tani termasuk paket teknologinya dengan kondisi iklim setempat. Penyesuaian tersebut harus didasarkan pada pemahaman terhadap karakteristik dan sifat iklim secara baik melalui analisis dan interpretasi informasi iklim. Berbagai proses fisiologi, pertumbuhan dan produksi tanaman sangat dipengaruhi oleh unsur iklim, yaitu keadaan atmosfer dari saat ke saat selama umur tanaman, ketersediaan air sangat ditentukan oleh curah hujan dalam periode waktu tertentu. Demikian juga, pertumbuhan dan produksi tanaman merupakan manivestasi akumulatif dari seluruh proses fisiologi selama fase atau periode pertumbuhan tertentu oleh sebab itu dalam pengertian yang lebih teknis dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman dipengaruhi oleh berbagai unsur iklim selama pertumbuhan tanaman. Sehingga kondisi iklim yang tidak menentu dapat menjadi faktor pembatas produksi pertanian. Secara teknis dalam budidaya tanaman, hampir semua unsur iklim berpengaruh terhadap produksi dan pengelolaan tanaman. Namun tiap unsur iklim mempunyai pengaruh dan peran yang berbeda teradap berbagai aspek dalam budidaya tanaman. Dalam perencanaan kegiatan operasional pertanian seperti perencanaan pola tanam, pengairan, pemupukan, pengendalian hama terpadu dan panen membutuhkan informasi prediksi awal musim hujan (AMH). Tingkat keakuratan prediksi AMH sangat membantu petani mengurangi resiko gagal panen, sehingga diperlukan model prediksi yang handal. Ini dapat dilakukan melalui pengembangan sistem analisis dan teknik prediksi AMH yang lebih kuantitatif dengan model statistik dan dinamik. Dengan memanfaatkan informasi iklim merupakan poin penting yang akan memberikan jalan petani dalam mencapai target produksi serta meningkatkan derajat petani (Ikrom & Gary 2008).
17
3. METODOLOGI
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di laboratorium Klimatologi, CCROM. Seluruh
rangkaian kegiatan penelitian dilaksanakan meliputi studi pustaka atau literatur, pengumpulan data penelitian, pengolahan data dan perbaikan hasil penelitian.
3.2
Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data
hujan dasarian dan data Suhu Muka laut (SML). Wilayah penelitian meliputi seluruh kabupaten di Jawa yang diwakili oleh beberapa pos pencatat data hujan didalamnya. Dari catatan data hujan harian, selanjutnya disusun akumulasi curah hujan sepuluh harian (dasarian) dengan periode data 1979-2008. Sebaran data hujan di Jawa terdiri dari 188 pos hujan mulai dari Propinsi Banten hingga Pulau Madura (Gambar 5). Tingkat kelengkapan data selama 30 tahun di tiap pos hujan bervariasi, namun pada umumnya untuk wilayah Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah relatif lengkap. Sedangkan wilayah Jawa Timur terdapat beberapa pos hujan mulai 2005-2008 tidak ada data. Untuk mengatasi kekosongan data tersebut dilakukan rataan untuk data curah hujan tahun yang ada kemudian dipakai untuk mengisi tahun yang kosong. Berdasarkan akumulasi curah hujan dasarian maka ditentukan terjadinya Awal Musim Hujan (AMH) dengan menggunakan kriteria yang telah di lakukkan BMKG. Hasil yang di dapatkan yaitu informasi kejadian AMH di tiap titik selama periode 30 tahun (Lampiran 1). Tiap titik pos pengamatan berisi informasi posisi stasiun (Lampiran 2) dan catatan curah hujan harian. Langkah selanjutnya data ini akan di kelompokkan menurut kejadian AMH yang mirip sehingga didapatkan zona musim (ZOM) di Jawa. ZOM merupakan gambaran satu atau beberapa wilayah kabupaten yang mempunyai kejadian AMH serupa, namun ZOM bukan mewakili wilayah administrasi. Dalam satu ZOM dapat terdiri dari satu atau beberapa pos pencatat hujan didalamnya sehingga ZOM yang dipakai merupakan nilai AMH rataan dari
18
beberapa pos hujan. Nilai rataan inilah yang selanjutnya akan di pakai untuk mencari hubungan dengan SML dan sebagai prediktan dalam menyusun model prediksi AMH di Jawa
Gambar 6. Sebaran Data AMH di Jawa
Data sekunder lainnya yaitu anomali Suhu Muka Laut (SML) periode Juni, Juli, Agustus (JJA) didapat dari institusi Japan Meteorological Agency (JMA) http://jra.kishou.go.jp/tool/anatools/analyze/index1.php?&dataset=SST. Panjang data series selama 30 tahun dengan periode tahun 1978 - 2008. Batasan wilayah sebaran data SML yang dipakai adalah 15°LU-15°LS dan 80°BT-100°BB dengan resolusi grid sebesar 2°X 2° (Gambar 6). Tiap grid berisi informasi rataan anomali SML bulan JJA selama 30 tahun. Selanjutnya data SML tersebut di korelasikan dengan data AMH di tiap ZOM.
Gambar 7. Sebaran Data Grid Anomali SML Wilayah Penelitian
19
3.3
Prosedur Pengolahan Data Bagan alir penyusunan model prediksi awal musim hujan di sajikan dalam
(Gambar 7), Metode penyusunan model dapat di jelaskan sebagai berikut : Data AMH Stasiun wilayah Jawa Periode 1978-2008
Data SML spasial Wilayah Global Periode 1978-2008
Kelompokan sta yang memiliki kemiripan AMH dengan cluster
Analisis Korelasi Spasial Anomali SML vs AMH tiap kelompok
Daftar pengelompokan hasil cluster
Tentukan domain SML yang berkorelasi tinggi tiap kelompok AMH
Rata-rata AMH berdasarkan daftar kelompok
Pilih/ekstrak data prediktor (Anomali SML) sesuai dengan Domain terpilih
Reduksi Data Anomali SML
Susun Pers. Hubungan antara PC anomali SML pada domain terpilih vs AMH tiap kelompok stasiun
Uji Kelayakan Model dengan Validasi Silang
Gunakan model untuk memprediksi AMH tahun 2008
Verifikasi Model Evaluasi Skill Model AMH dengan ROC
PETA SKILL AMH
Gambar 8. Diagram alir penyusunan model prediksi AMH
20
3.4
Analisis Cluster Analisis cluster merupakan teknik multivariat yang mempunyai tujuan utama
untuk mengelompokkan beberapa objek berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Analisis cluster mengklasifikasi objek sehingga setiap objek yang paling dekat kesamaannya dengan objek lain berada dalam kelompok yang sama. Kelompok yang terbentuk memiliki homogenitas internal yang tinggi dan heterogenitas eksternal yang tinggi. Banyaknya cluster ditentukan dengan plot jarak antar data sebagai fungsi dari jumlah cluster. Bila terjadi lompatan signifikan jarak antar data maka dapat di tetapkan sebagai referensi jumlah cluster. Metode pemecahan dimulai dari satu kelompok besar yang mengandung seluruh observasi, selanjutnya observasi yang paling tidak sama dipisah dan dibentuk kelompok yang lebih kecil. Proses ini dilakukan hingga tiap observasi menjadi beberapa kelompok kecil (objek). Kesamaan antar objek merupakan ukuran korespodensi antar objek. Teknik untuk mengukur jarak dalam metode ini yaitu metode ward’s, dengan menghitung jumlah kuadrat antara dua kelompok untuk seluruh variabel, formulasinya adalah : G
ng
W = ∑∑ g =1 i =1
xi − x
2
Dimana ; W : Jarak G : Kelompok Besar g : Objek (kelompok kecil)
3.5
Menghitung PCA (Principal Componen Analysis) PCA telah mulai dilakukan oleh Pearson (1901) dan kemudian dikembangkan
oleh Hotelling (1933). Aplikasi dari PCA didiskusikan oleh Rao (1964), Cooley dan Lohnes (1971), dan Gnanadesikan (1977). Perlakuan statistik yang menakjubkan dengan PCA ditemukan oleh Kshirsagar (1972), Morrison (1976), dan Mardia, Kent, dan Bibby (1979). Tujuan utama metode PCA adalah mereduksi sejumlah data
21
dengan variasi yang besar ke dalam bentuk variabel baru. Data yang dihitung dalam PCA merupakan anomali yaitu dengan mengurangi tiap variable dengan rata-ratanya. x1 x1 x x 2 2 x' = x3 − x3 x k x k Variabel baru u m menunjukan jumlah maksimum variasi dengan sebelumnya menghitung eigenvector. Sehingga komponen utama dapat dihitung dengan formula :
u m = emT x' Elemen eigen vector adalah bobot a ij dan biasanya disebut sebagai loading. Elemen diagonal matrik S y, varian-covarian matrik komponen utama atau sering disebut eigen values. Eigen value adalah variasi yang dijelaskan oleh komponen utama. Posisi data awal observasi pada sistim koordinat baru komponen utama disebut skor dan dihitung sebagai kombinasi linier antara data awal (asli) dan nilai bobot a ij. Sebagai contoh, bila skor untuk rth sample pada kth komponen utama maka dapat di hitung dengan :
Ykr = a k1 x k1 + a k 2 x k 2 + + a kp x kp
3.6
Analisis Korelasi Dengan memperhatikan korelasi antara komponen satuan grid SML dan PC-1
AMH selanjutnya dapat dianalisis keeratan hubungan antara AMH dan SML di suatu wilayah (15°S – 15°N; 80°E- 100°W). Nilai korelasi tiap grid di petakan, sehingga dapat diketahui pola keeratan hubungan kedua variabel. Tingkat hubungan SML dan AMH di satu grid dinyatakan dengan formulasi : n n n n∑ X t Y i , j ,t − ∑ X t ∑ Y i , j ,t t =1 t =1 t =1
(r ) = n
n∑ X t t =1
2
n − ∑ X t t =1
2
n n∑ Y i , j , j − ∑ Y i , j , j t =1 t =1 n
2
2
22
Dimana : r = besarnya korelasi antara AMH dengan SST X t = AMH bulan ke t Y i,j,t = Rata-rata SML pada lintang ke (i) bujur ke (j), bulan ke t n = Banyaknya bulan r = Nilai korelasi pada rentang -1 ≤ r ≤ 1 Analisis korelasi, di gunakan untuk menentukan keeratan hubungan antara AMH tiap kelompok dan wilayah grid SML yang ditandai dengan nilai korelasi signifikan (-0.5 ≥ r ≥ 0.5 ). Nilai korelasi signifikan dari tiap grid akan membentuk suatu pola spasial, kemudian di ambil sebagai domain prediktor untuk menyusun model prediksi AMH di Jawa. Dalam mempetakan hubungan korelasi spasial antara SML dan AMH di Jawa digunakan software Interactive Tool for Analysis of Climate System (ITACS) yang di dikembangkan oleh Japan Meteorological Administration (JMA) tahun 2008. Peta korelasi spasial ini menunjukan korelasi lokasi spesifik antara series data kelompok AMH di Jawa dan tiap grid wilayah SML. Korelasi AMH tiap kelompok di Jawa dengan wilayah SML Perairan India, Indonesia dan Pasifik mengindikasikan wilayah SML potensial menjadi prediktor model AMH. Ketiga perairan tersebut merupakan lokasi dimana kejadian fenomena iklim regional dan global serta berasosiasi dengan kondisi iklim wilayah Jawa. Kesimpulan tersebut menguatkan alasan teknik korelasi yang digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan prediktor.
3.7
Principal Componen Regression (PCR) Model regresi statistik dalam prosesnya adalah mengolah data histori dan
mengidentifikasi hubungan sebab akibat. Dalam menyusun model prediksi penelitian ini, digunakan teknik analisis Principal Component Regression (PCR) dengan variable bebas sebagai prediktor adalah SML pada suatu wilayah grid dan variable tak bebas sebagai prediktan adalah AMH di Jawa. Metoda Principal Component Regression (PCR) merupakan teknik analisis multivariat yang dilakukan dengan
23
terlebih dahulu mereduksi komponen data awal dengan teknik Principal Component Analysis (PCA) dilanjutkan dengan teknik analisis regresi antara komponen utama yang baru (PC 1 ,PC 2 ...PC n ) terhadap respon (Prediktan). PCR secara khas digunakan untuk model regresi linier, dimana jumlah variabel bebas (prediktor) adalah sangat banyak. Metoda ini telah dioperasionalkan untuk prediksi musim hujan oleh India Meteorological Departement (Rajeevan 2009). Selain itu dengan teknik PCR ini juga diaplikasikan untuk model penentu datangnya monsun untuk wilayah Kerala India dengan performa yang baik (Pai & Rejeevan 2009). Prediktor model PCR dalam model AMH di Jawa, menggunakan komponen utama (PC) hasil reduksi SML pada suatu domain terpilih. Prosedur model yang diduga dari nilai PC 1, PC 2 ,….PC n , ditunjukkan sebagai berikut :
Yˆ = b0 + b1 Z1 + b2 Z 2 + b3 Z 3 + ..... + bn Z n + e Dimana :
(9)
Y : Respon (data AMH/LMH tiap stasiun) b 0 : Nilai intersepsi b 1 : Koefisien regressi Z : Komponen utama (PC) e : Nilai Error
Untuk menilai model regresi yang dihasilkan merupakan model yang paling sesuai (memiliki error terkecil), ditetapkan beberapa asumsi kenormalan.
3.8
Analisis Validasi Silang (Cross validation) Validasi model pada dasarnya merupakan cara untuk menyimpulkan apakah
model sistem tersebut di atas merupakan perwakilan yang valid dari realitas yang dikaji sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Validasi merupakan proses iteratif yang berupa pengujian berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model. Teknik validasi silang pada dasarnya membagi data sebagai data training dan data testing secara berurutan dan terus menerus Efron, 1982; Gong, 1983 dan Michaelson, 1987 (Wilks 1995). Model prakiraan awal musim hujan dengan data periode 1978-2007, di validasi dengan validasi silang untuk menguji stabilitas model
24
tersusun. Leave One Out Cross Validation (LOOCV) yaitu teknik validasi dengan mengeluarkan satu data untuk testing dari kumpulan data training (n-1), selanjutnya menghitung nilai Root Mean Square Error (RMSE). Hal tersebut dilakukan berurutan dan seterusnya sehingga setiap satu data prediktan teruji sebagai data testing (independen data) dan menghasilkan sejumlah (n) nilai RMSE, dihitung menggunakan persamaan : RMSE =
2 1 n ( ) − ∑ Y Y oi pi n j =1
Dimana : Y oi = Observasi pada periode ke-i (i=1,2, ... , n) Y pi = Hasil prakiraan pada periode ke-i (i=1,2, ... , n) n = Panjang periode prakiraan Semakin kecil nilai RMSE mengindikasikan model memiliki tingkat kesalahan prediksi (error) yang kecil. Nilai RMSE rata-rata seluruh hasil testing validasi menggunakan persamaan berikut : RMSE rata-rata =
1 RMSE − j + ...... + RMSE − k j
Dimana :
3.9
RMSE rata-rata
= Rata-rata RMSE validasi
RMSE ke-j
= Testing ke-j dengan data training (n- data ke-j)
RMSE ke-j
= Testing ke-k dengan data training (n- data ke-k)
j,k
= urutan data ke-
n
= Jumlah seluruh data
Verifikasi Langkah verifikasi yaitu dengan memasukkan prediktor ke dalam model untuk
tahun data yang tidak dilibatkan dalam training. Prediktor verifikasi model AMH adalah hasil reduksi anomali SML bulan JJA tahun 2008 di domain terpilih. Tingkat akurasi model dalam memprakirakan awal musim hujan Tahun 2008 ditentukan dengan menilai tingkat kesalahan prediksi terhadap observasi (error) di tiap cluster.
25
Sehingga dengan verifikasi model merupakan perwakilan yang benar dari suatu fakta di lapangan (observasi). Alasan penting suatu model perlu di verifikasi, adalah : Memonitor kualitas prediksi, seberapa akurat model prediksi dan kaitanya dengan waktu kedepan. Meningkatkan kualitas prediksi, sebagai langkah lanjutan dalam menemukan kesalahan hasil prediksi. Membandingkan kualitas prediksi dari model lainnya.
3.10 Evaluasi Karena hasil prediksi AMH mengandung elemen yang mengikut sertakan faktor kemungkinan, maka digunakan simulasi Monte Carlo. Dasar dari simulasi Monte Carlo adalah percobaan elemen kemungkinan dengan menggunakan sampel random (acak). Prinsip kerja simulasi Monte Carlo yaitu membangkitkan angka acak atau sampel dari suatu variabel yang telah diketahui distribusinya. Oleh karena itu, dengan simulasi seolah-olah data diperoleh dari pengamatan. Simulasi ini merupakan alat rekayasa untuk menyelesaikan berbagai persoalan ketidapastian. Simulasi tidak memberikan hasil yang eksak namun dalam bentuk peluang kejadian suatu persoalan. Tujuan digunakan teknik peluang pada penelitian ini adalah mengetahui besarnya kemungkinan AMH pada kondisi kejadian maju atau mundur dari normalnya. Untuk mengetahui skill prediksi model, uji kehandalan model prediksi menggunakan metode Relative Operating Characteristics (ROC) yang disusun dengan melakukan simulasi hasil prediksi berdasarkan kejadian AMH bawah normal dan atas normal. Selanjutnya memplot nilai False Alarm Rate dan Hit Rate dari tabel kontigensi. Formulasi umum yang digunakan dalam mencari nilai sebagai dasar penyusunan table kontigensi adalah sebagai berikut :
Hit _ Rate =
hits hits + misses
False _ Alarm _ Rate =
false _ alarms correct _ negatives + false _ alarms
26
Bias =
hits + false _ alarms hits + misses
Dimana : hit
: adalah jika prediksi peristiwa terjadi dan terjadi
miss
: adalah jika prediksi peristiwa tidak terjadi tetapi terjadi
false alarm
: adalah jika prediksi peristiwa terjadi tetapi tidak terjadi
correct negative : adalah jika prediksi peristiwa tidak terjadi dan tidak terjadi Analisis skill prediksi ditinjau pada kemampuan model prediksi saat AMH maju dari normal atau prediksi saat AMH mundur dari normal. Skill prediksi model AMH dinyatakan dalam persentase ditandai dengan garis skill pada kurva. Bila garis skill berhimpit dengan garis non skill artinya model tak ada skill sedangkan bila garis kurva diatas garis non skill artinya skill positif (handal). Garis kurva dibawah garis non skill artinya skill negatif (tidak handal). Tingkat kehandalan model artinya skor skill yang didapatkan dari luas areal di bawah garis kurva. Sebagai contoh, jumlah blok di bawah garis kurva skill (gambar 8) sebanyak 18.5 kotak sehingga 18.5/25 = 0.74, maka skill prediksi sebesar 74 %.
Garis Skill Garis Non Skill
Gambar 9. Kurva Skill Prediksi Hasil ROC
Dalam evaluasi model prediksi ada beberapa istilah yang sering dipakai sebagai acuan ukuran yaitu :
27
•
Kehandalan: adalah tingkat kesesuaian atau kemiripan rata-rata antara hasil prediksi dengan observasi.
•
Skill : adalah ketepatan relatif suatu model prediksi terhadap refrensi. Referensi umumnya prakiraan yang tidak memiliki skill (unskill forecast) misalnya peluang acak atau klimatologi. Jadi skill dapat dikatakan sebagai peningkatan ketepatan (acuracy) prakiraan karena membaiknya sistem prakiraan tersebut.
•
Bias : adalah penyimpangan antara nilai rata-rata prediksi dengan nilai ratarata observasi
•
Error : adalah penyimpangan antara data hasil prediksi dan data observasi
28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Pengelompokan Zona Musim (ZOM) Pengelompokkan wilayah Jawa berdasarkan kemiripan pola Awal Musim
Hujan (AMH) dengan analisis cluster sehingga terklasifikasi setiap objek wilayah yang paling dekat kesamaan karakter AMH dengan objek wilayah lain akan berada dalam ZOM yang sama. (Gambar 9) menunjukkan lompatan signifikan jarak terjadi pada saat jumlah cluster 30, sehingga pola AMH wilayah Jawa ditetapkan terbagi dalam 30 ZOM.
Gambar 10. Grafik jumlah cluster terhadap jarak antar data Peta kelompok wilayah AMH Jawa yang mempunyai kemiripan karakter datangnya musim hujan di tampilkan pada (Gambar 10). Hasil tersebut menggambarkan bahwa untuk pengelompokan berdasarkan dengan kemiripan AMH, pulau Jawa terbagi menjadi 30 ZOM. Daftar wilayah kabupaten tiap kelompok di tampilkan pada (lampiran 3). Dalam tujuan yang sama, BMKG mengelompokan ZOM wilayah Jawa berdasarkan kemiripan pola curah hujan. Pengelompokan yang dilakukan berdasarkan kemiripan pola curah hujan menghasilkan 94 ZOM di Jawa. Apabila dibandingkan dengan ZOM yang dihasilkan BMKG, maka perbedaan hasil
29
pengelompokan tersebut bukanlah hal yang mendasar. Dari 94 ZOM yang dihasilkan dari kemiripan pola curah hujan, bisa saja beberapa ZOM sudah diwakili oleh satu ZOM yang berdasarkan dengan kemiripan datangnya AMH. Namun ternyata ada keuntungan dengan membagi Jawa menjadi 30 ZOM, yaitu semakin sedikit ZOM tentunya akan sedikit pula model prediksi AMH di Jawa sehingga memudahkan dalam operasional. Dalam satu ZOM dapat terdiri dari satu atau beberapa wilayah administrasi kabupaten, sehingga batas wilayah ZOM tidak sama dengan batas wilayah administrasi pemerintahan kabupaten. Namun untuk memudahkan dalam analisis, wilayah kabupaten digunakan sebagai acuan wilayah pembahasan terkait Prediksi AMH di Jawa.
ZOM
Gambar 11. Peta Zona Musim Pulau Jawa Berdasarkan Kemiripan AMH
4.2
Normal AMH di Jawa Variabel AMH periode 1978-2008 di Jawa yang terbagi menjadi 30 ZOM,
selanjutnya dirata-rata untuk mengetahui normal AMH. Hasil rataan variabel tiap ZOM menggambarkan karakteristik kejadian normal AMH untuk beberapa wilayah didalam satu ZOM. Dengan demikian model prediksi yang akan disusun bukan
30
mewakili titik pos pengamatan melainkan wilayah yang terdiri dari beberapa pos dengan kemiripan karakteristik AMH.
Gambar 12. Peta Normal AMH di Jawa
Biasanya AMH di Jawa di tandai dengan kejadian monsun Asia, hal itu menyebabkan sirkulasi angin bergerak dari arah Barat-Barat Laut (Baratan). Sejalan dengan itu, kejadian AMH di Jawa umumnya terjadi lebih dahulu di wilayah Jawa bagian Barat selanjutnya merambat ke wilayah Jawa bagian Timur. (Gambar 11) menunjukkan peta normal AMH di Jawa, secara umum kejadian AMH dimulai dari Banten yaitu Nopember I sampai November II dengan deviasi standar 19 hari. Selanjutnya Jawa Barat mulai dari Nopember II hingga Nopember III dengan deviasi standar 24 hari kecuali wilayah Bandung dan Sukabumi yang masuk pada Oktober III. Dibandingkan wilayah lainnya di Jawa Barat, kedua wilayah tersebut tampak memiliki normal AMH lebih maju. Hal itu bisa saja terjadi karena faktor topografi sehingga akumulasi hujan orografi lebih sering terjadi saat masa peralihan (transisi) monsun. Untuk Jawa Tengah, AMH normal terjadi pada Nopember II hingga Desember I dengan deviasi standar 15 hari kecuali wilayah pantura yang masuk pada Desember II. Normal AMH Jawa Timur masuk pada Desember I hingga Desember
31
III dengan deviasi standar 14 hari. Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa pengaruh utama AMH di Jawa adalah sirkulasi monsun, indikasinya adalah pola normal AMH sejalan dengan pola sirkulasi monsun. Nilai AMH tiap ZOM selanjutnya dikorelasikan dengan SML untuk mencari pola hubungan dengan kondisi SML global. Dalam penyusunan model prediksi, nilai normal AMH tiap ZOM dijadikan variabel tak bebas (prediktan).
4.3
Korelasi AMH dengan Anomali SML Hasil korelasi (r) antara anomali SML rataan bulan Juni,Juli, Agustus (JJA)
dengan Awal Musim Hujan (AMH) periode 1978-2007 di 30 ZOM di Jawa menghasilkan tiga pola utama.
Gambar 13. Peta Korelasi ZOM vs Anomali SML Pola-1
Pola-1 menunjukkan korelasi signifikan (r ≥ 0.5) terkonsentrasi pada wilayah perairan Barat Sumatera dan Pasifik di dihasilkan oleh 4 ZOM yaitu: ZOM 1, ZOM 10, ZOM 16, ZOM 21. Penentuan pola-1 didasarkan pada kemiripan peta spasial nilai korelasi signifikan di tiap ZOM. Selanjutnya diambil batasan wilayah korelasi signifikan tiap ZOM itu untuk digabungkan kedalam satu peta. Hasil penggabungan adalah kumpulan lokasi SML yang berkorelasi signifikan beberapa ZOM. Kemudian ditentukan batas maksimum dari pola spasial tersebut untuk ditetapkan sebagai domain prediktor (Gambar 12). Pola-1 menjelaskan hubungan korelasi positif antara AMH di 4 ZOM wilayah Jawa dengan perairan yang mempunyai karakteristik IOD (perairan Barat Sumatera) dan ENSO (perairan Pasifik). Apabila terjadi anomali SML positif pada Perairan Barat Sumatera dan Pasifik maka AMH di 4 ZOM Jawa akan
32
mengalami mundur dari normalnya. Uraian diatas menjelaskan, perairan Barat Sumatera dan Pasifik mempunyai kontribusi signifikan terhadap kejadian AMH di 4 ZOM pulau Jawa.
Gambar 14 Peta Korelasi ZOM vs Anomali SML Pola-2
Pola kedua menunjukkan korelasi signifikan terkonsentrasi pada wilayah perairan Pasifik dan wilayah Perairan Indonesia (-0.5 ≤ R ≥ +0.5) dihasilkan oleh 18 ZOM, yaitu: ZOM 2, ZOM 3, ZOM 4, ZOM 5, ZOM 6, ZOM 7, ZOM 9, ZOM 11, ZOM 17, ZOM 18, ZOM 19, ZOM 20, ZOM 22, ZOM 23, ZOM 24, ZOM 26, ZOM 27, ZOM 29. Selanjutnya di lakukan langkah yang sama dengan pola-1 untuk menentukan batasan domain prediktor pola-2 berdasarkan gabungan lokasi peta korelasi spasial tiap ZOM pola-2. Pola tersebut menjelaskan hubungan korelasi positif antara AMH di 18 kelompok wilayah Jawa dengan perairan yang mempunyai karakteristik ENSO (perairan Pasifik). Selain itu korelasi negatif dijelaskan oleh AMH di 18 ZOM yang sama dengan perairan yang mencirikan karakteristik iklim laut lokal. Apabila terjadi anomali SML positif pada perairan Pasifik maka 18 ZOM di Jawa akan mengalami AMH mundur dari normalnya. Sebaliknya, bila anomali SML perairan Indonesia terjadi anomali positif maka 18 ZOM di Jawa akan mengalami AMH maju dari normalnya. Berdasarkan penjelasan diatas, maka perairan Pasifik dan Laut Indonesia mempunyai kontribusi signifikan terhadap kejadian AMH di 18 ZOM di Jawa. Pengaruh yang di berikan oleh dua fenomena iklim laut tersebut tidak terjadi secara parsial tapi secara bersamaan sehingga tidak mudah menentukan pengaruh yang paling dominan.
33
Gambar 15 Peta Korelasi ZOM vs Anomali SML Pola-3
Pola ketiga menunjukkan korelasi signifikan terkonsentrasi pada perairan wilayah Indonesia (R ≥ -0.5) dihasilkan oleh ZOM 12, ZOM 14, ZOM 15, ZOM 25, ZOM 28, ZOM 30. Dengan teknik yang sama dengan pola sebelumnya ditentukan batasan domain prediktor pola-3 berdasarkan gabungan lokasi peta korelasi spasial tiap ZOM pola-3 (Gambar 14). Pola tersebut menjelaskan hubungan korelasi negatif antara AMH di 6 kelompok wilayah Jawa dengan perairan yang mencirikan karakteristik iklim laut lokal. Apabila SML perairan Indonesia mengalami anomali positif maka 6 kelompok wilayah Jawa akan mengalami AMH maju dari normalnya. Sedangkan ZOM 8 dan ZOM 13 tidak mempunyai pola yang jelas, namun dua ZOM tersebut dianggap sebagai pola ke-2 dalam penyusunan model prediksi. Hal itu dilakukan karena pola ke-2 merupakan kombinasi kejadian dua fenomena iklim laut global dan regional. Sehingga diharapkan pengaruh dua fenomena iklim laut dapat memberikan kontribusi terhadap wilayah ZOM 8 dan ZOM 13. Hasil peta korelasi antara anomali SML periode bulan JJA dengan AMH tiap ZOM periode 1978-2007 dapat di lihat pada (lampiran 4). 4.4
Pola hubungan SML dengan ZOM di Jawa Korelasi spasial AMH di tiap ZOM dengan SML global, didapatkan 30 pola
hubungan. Masing-masing pola memuat informasi lokasi SML yang berkorelasi signifikan dengan kejadian AMH. Berdasarkan analisis visual pola yang terbentuk memiliki hubungan spesifik dengan tiga lokasi SML global, yaitu perairan Barat Sumatera, Pasifik dan Laut Indonesia. Merujuk hasil analisis korelasi spasial pada sub bab sebelumnya bahwa hubungan tiga lokasi SML dengan AMH tiap ZOM
34
memilki tiga pola Utama. Penentuan pola didasarkan pada kemiripan peta spasial nilai korelasi signifikan. Selanjutnya ditentukan batasan lokasi SML yang berkorelasi signifikan dengan tiap ZOM itu untuk digabungkan kedalam satu peta. Hasil penggabungan adalah kumpulan kemiripan pola lokasi SML yang
berkorelasi
signifikan dengan AMH di tiap ZOM. Pola-1 terdiri dari 4 ZOM yang serupa, Pola-2 terdiri dari 18 ZOM yang serupa dan Pola-3 terdiri dari 6 ZOM yang serupa. Bila ZOM di Jawa yang termasuk dalam satu pola sama dipetakan maka didapatkan suatu zonasi wilayah berdasarkan kemiripan pola hubungan AMH dengan tiga lokasi spesifik SML global (Gambar 15).
Gambar 16. Peta Wilayah Berdasarkan Kemiripan Pola Korelasi
Berdasarkkan peta kemiripan pola korelasi, dapat diidentifikasi wilayah ZOM di Jawa yang sensitif terhadap pengaruh tiga lokasi spesifik SML global. Pola-1 menunjukkan wilayah Karawang dan Jawa Tengah bagian Utara sensitif terhadap perubahan SML di Barat Sumatera dan Pasifik. Hal itu dapat dijelaskan bila terjadi IOD aktif dan ENSO aktif maka AMH wilayah Karawang dan Jawa Tengah bagian Utara berpotensi mundur dari normalnya. Kondisi tersebut karena posisi geografis Jawa Tengah bagian Utara adalah termasuk wilayah pesisir Utara sehingga iklim laut
35
global mempengaruhi wilayah tersebut. Pola-2 menunjukkan wilayah Banten, Jawa Barat bagian Utara, Jawa Tengah bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Barat sensitif terhadap perubahan SML di perairan Indonesia dan Pasifik. Hal itu dapat dijelaskan bila SML Indonesia meningkat maka AMH di Banten, Jawa Barat bagian Utara, Jawa Tengah bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Barat berpotensi Maju dari normalnya. Sebaliknya bila ENSO aktif maka AMH di Banten, Jawa Barat bagian Utara, Jawa Tengah bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Barat berpotensi berpotensi mundur dari normalnya. Kondis tersebut menjelaskan bahwa kondis SML Indonesia dan Pasifik memiliki peranan penting terhadap lokasi di 18 ZOM Jawa. Pola-3 menjelaskan wilayah Jawa Barat bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Timur sensitif terhadap perubahan SML di perairan Indonesia. Bila terjadi peningkatan SML Indonesia maka AMH Jawa Barat bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Timur berpotensi maju dari normalnya. Secara umum, perairan Indonesia dan Pasifik mempunyai peranan yang tidak dapat di abaikan dalam kejadian AMH di sebagian besar wilayah Jawa. Dalam kajian ini tidak diketahui besarnya pengaruh tiap lokasi SML karena pengaruh yang diberikan tidak bersifat individu melainkan bersamaan. 4.5
Domain Prediktor SML Berdasarkan hasil analisa peta korelasi antara anomali SML periode bulan JJA
dengan AMH periode 1978-2008 di ketiga pola hubungan maka diperoleh domain prediktor. Domain prediktor di tentukan pada pola hubungan yang nyata dengan membuat batas luasan wilayah yang memiliki nilai korelasi signifikan (-0.5 ≤ R ≥ +0.5). Analisis peta korelasi pada pola-1, pola-2 dan pola-3 menghasilkan batasan wilayah prediktor (domain prediktor) terpilih dapat dilihat pada (Tabel 1). Untuk 2 kelompok yang hubungannya tidak tampak jelas, dimasukan pada domain prediktor pola-2. Domain prediktor menggambarkan luasan maksimum wilayah SML di lokasi perairan hasil penggabungan kemiripan pola korelasi spasial. Implikasinya adalah domain akan berbentuk persegi sehingga dimungkan akan tercampur dengan sejumlah grid yang nilai korelasinya tidak signifikan. Hal itu akan teratasi saat mereduksi seluruh komponen grid SML hasil ekstraksi sehingga didapatkan variabel
36
yang dominan. Domain yang di hasilkan berdasarkan peta spasial menggambarkan tiga domain utama. Domain pertama terletak di perairan Barat Sumatera dan mencirikan karakteristik fenomena IOD. Domain kedua terletak di perairan Pasifik Tengah-Timur, mencirikan karakteristik fenomena ENSO. Domain ketiga terletak di Selatan Jawa mencirikan aktifitas laut Indonesia (lokal). Wilayah domain adalah batasan dalam bentuk empat persegi dari kumpulan tiap kelompok sehingga menggambarkan luasan pola korelasi gabungan dalam satu kelompok yang sama. Dalam penyusunan model prediksi AMH, domain prediktor merupakan kombinasi dari ketiga wilayah terpilih. Urutan kombinasinya bergantung dari pola umum hubungan korelasi AMH Jawa dan SML. Pola-1 adalah kombinasi wilayah Perairan Barat Sumatera (IOD) dan Perairan Pasifik Tengah-Timur (ENSO). Pola-2 adalah kombinasi Perairan Pasifik (ENSO) dan Perairan Selatan Jawa (aktifitas laut lokal). Pola-3 adalah perairan Selatan Jawa (aktifitas laut lokal). Dengan menetapkan domain pada tiap pola hubungan maka tiap ZOM yang masuk pada pola itu memiliki prediktor yang sama saat menyusun model prediksi AMH. Tabel.1 Domain prediktor Batasan wilayah
Pola Korelasi ZOM vs SML Pola-1 Pola-2 Pola-3 4.6
Lintang (⁰) 9S 8S 6S 3S 8S
Bujur (⁰) 3S 3N 6N 3N 3N
175E 80E 180 120E 80E
130W 100E 120W 130E 100E
Reduksi Prediktor SML Langkah selanjutnya mengekstrak data anomali SML bulan JJA periode 1978-
2007 tiap kotak grid (2⁰x2⁰) pada batas wilayah dalam domain prediktor terpilih. Proses ekstraksi tiap domain menghasilkan data anomali SML yang cukup banyak sehingga perlu dilakukan reduksi. Hasil reduksi data merupakan perwakilan atau gambaran sejumlah data yang ditentukan oleh prosentase variasi dominan. Total variasi kumulatif lebih dari 60% dianggap mewakili kumpulan data yang akan di
37
analisis. Kecukupan nilai variasi maksimum dapat ditentukan dengan melihat grafik scree plot ketika mereduksi kumpulan data SML. Saat komponen plot scree mulai mendatar maka variasi maksimum telah tercapai sehingga pada titik itu di tetapkan jumlah variable prediktor yang akan digunakan dalam menyusun model. Selain itu ukuran persen kumulatif hasil penurunan grafik plot scree di tetapkan sebagai nilai batasan yang lebih teliti. Variabel input pada pola-1 tampak PC1, PC2 dan PC3 dapat menjelaskan 93% keragaman sehingga prediktor yang di ambil adalah tiga variable. Pada pola-2, tampak PC1, PC2 dan PC3 dapat menjelaskan lebih dari 91% keragaman dari variabel input sehingga prediktor yang di ambil adalah tiga variable. Untuk pola-3 dua variable (PC) sudah dapat menjelaskan lebih dari 80% keragaman dari variabel input sehingga prediktor yang di gunakan dua variabel. Grafik plot scree hasil reduksi prediktor di domain terpilh masing-masing pola di tampilkan pada (lampiran 3).
4.7 4.7.1
Penyusunan Model Prakiraan Awal Musim Hujan di Jawa Menyusun Model Model disusun dengan periode data 30 tahun (1978-2007) menggunakan teknik
analisis Principal Component Regression (PCR). Variable sebagai prediktor adalah nilai reduksi anomali SML pada suatu domain terpilih (PC1, PC2.....PCn) dan sebagai prediktan adalah AMH di tiap kelompok. Untuk mengukur proporsi atau variasi total di sekitar nilai tengah prediktan yang dapat dijelaskan oleh model regresi, maka digunakan ukuran nilai R2. Model prediksi pada pola-1 diperoleh dengan tingkat
keragaman (R²) rata-rata sebesar 81.2 % dengan rata-rata MSE sebesar 3.3. Pada Model prediksi pola-2 diperoleh tingkat keragaman (R²) rata-rata sebesar 31.4 % dengan rata-rata MSE sebesar 3.6. Sedangkan Model prediksi pada pola-3 diperoleh tingkat keragaman (R²) rata-rata sebesar 24.6 % dengan rata-rata MSE sebesar 3.7. Untuk Model prediksi ZOM 8 dan ZOM 13 diperoleh
tingkat keragaman (R²)
sebesar 7.7 % dan 1.8 %, hasil itu mengindikasikan bahwa model di dua ZOM tidak layak digunakan, selain itu asumsi kenormalan pada kedua ZOM tidak terpenuhi, koefisien regresi dan ukuran keragaman (R²) tiap model dapat dilihat pada (tabel 2).
38
Hasil training dengan asumsi kenormalan model dalam teknik regressi diseluruh ZOM disajikan pada (lampiran 5). Tabel 2. Koefisien Persamaan Regressi tiap Pola Pola
Pola-1
Pola-2
Pola-3
ZOM Z1 Z10 Z16 Z21
b0 34.4 34.5 34.2 35.5
Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 Z7 Z8 Z9 Z11 Z13 Z17 Z18 Z19 Z20 Z22 Z23 Z24 Z26 Z27 Z29
32.4 31.6 29.9 33.7 36.4 31.4 35.3 32 34.2 32.3 33.2 34 35.7 33.6 30.9 30.9 35.2 30.9 33.9 34.2
Z12 Z14 Z15 Z25 Z28 Z30
33.1 33.2 31.9 34.6 34.8 33
Koefisien b1 b2 0.0369 0.0946 0.0048 -0.113 0.041 0.0329 0.0587 0.228 Rata-rata 0.0756 -0.114 0.0701 -0.21 0.0813 -0.175 0.0451 -0.0298 0.0058 0.058 0.115 -0.0575 0.0143 0.126 0.0582 -0.112 0.0565 -0.0505 -0.0103 0.121 0.0667 -0.23 0.0944 -0.15 0.0446 -0.281 0.0443 -0.133 0.115 -0.222 0.115 -0.222 0.0549 -0.0463 0.115 -0.222 0.0821 0.0399 0.0339 -0.165 Rata-rata -0.266 0.068 -0.183 -0.0561 -0.106 -0.126 -0.114 -0.166 -0.105 -0.177 -0.163 -0.177 Rata-rata
b3 0.0178 0.135 -0.159 0.01 0.056 0.0064 0.007 0.116 -0.025 -0.175 0 0.0539 -0.033 0 -0.258 -0.0115 0.156 -0.0567 -0.0489 -0.0489 0.0336 -0.0489 -0.0954 0.0922 -
R2 13.3 11.4 16.4 31.6 18.2 27.6 45.2 30.7 9.8 2.1 40.0 7.7 27.5 12.7 1.8 57.5 40.6 44.9 25.0 55.0 55.0 19.5 55.0 28.1 42.0 30.8 37.0 32.0 12.6 20.6 23.2 22.2 24.6
MSE 2.7 3.9 3.1 3.6 3.3 3.6 2.4 4.4 5.3 3.9 4.3 4.3 2.5 4.5 9.7 2.4 3.2 2.9 2.6 3.0 3.0 2.5 3.0 3.3 1.3 3.6 4.9 2.9 4.4 1.9 2.7 5.1 3.7
39
4.7.2 Validasi Model Nilai RMSE model AMH hasil validasi silang Leave One Out Cross Validation (LOOCV) digunakan sebagai ukuran kestabilan model. Berdasarkan hasil validasi di tiap cluster di hasilkan RMSE dari 30 ulangan training dan testing. Grafik box plot RMSE tersebut menunjukkan RMSE rataan pola-1 sebesar 1.6 dasarian (16 hari), RMSE rataan pola-2 sebesar 1.6 dasarian (16 hari), RMSE rataan pola-3 sebesar 1.6 dasarian (16 hari). Secara umum RMSE rataan validasi model tiap pola menunjukkan error model kurang dari dua dasarian dan sebanyak 30 nilai RMSE tiap ZOM memilki sebaran normal hal itu mengindikasikan model cukup stabil (Gambar 16)
Gambar 17. RMSE Validasi Silang Model Prediksi AMH di Tiap Pola
. ZOM 13 menunjukkan RMSE rataan model sebesar 2.8 dan sebaran nilai RMSE 30 training tidak menyebar normal, hal itu mengindikasikan model ZOM 13 selama validasi tampak tidak stabil.
Kestabilan model diukur berdasarkan nilai
RMSE rataan dalam 30 kali ulangan training ≤ 2 dasarian. Selain itu, pola kecenderungan (trend) hasil prediksi model mengikuti garis observasi juga di amati
40
selama 30 kali ulangan testing. Validasi model yang stabil didapatkan apabila model menunjukkan ukuran nilai RMSE rata-rata ≤ 2 dasarian dan pola trend ulangan testing sesuai dengan observasi. Grafik trend tiap ulangan testing selama 30 kali di semua model ZOM disajikan pada (lampiran 7). Trend hasil testing ZOM 13 pada grafik 30 kali ulangan testing tampak menyimpang dari obesrvasi. Hal yang serupa di temukan pada model ZOM 8, dimana RMSE rataan 1.6 dasarian namun pada grafik 30 kali ulangan testing tampak menyimpang dari obesrvasi. Hasil itu menunjukkan model tidak cukup stabil, pernyataan tersebut mendukung hasil korelasi sebelumnya bahwa ZOM 8 dan ZOM 13 tidak memiliki pola hubungan dengan domain prediktor. 4.7.3
Verifikasi Model Prediktor yang di jadikan masukan model saat verifikasi adalah hasil reduksi
anomali SML bulan JJA tahun 2008 di domain terpilih pada masing-masing pola. Tingkat akurasi model dalam memprediksi awal musim hujan Tahun 2008 dapat di tentukan dengan menilai tingkat kesalahan prediksi terhadap observasi (error) di tiap pola. Grafik prediksi terhadap observasi awal musim hujan tiap pola hasil verifikasi ditampilkan pada (Gambar 17). Apabila sebaran titik berada di bawah garis fitting maka prediksi AMH mundur dari observasi dan sebaliknya bila sebaran titik berada di atas garis fitting maka prediksi AMH maju dari observasi. Prediksi AMH di pola1 yang terdiri dari 4 ZOM tampak mundur 1-2 dasarian dan pola-2 yang terdiri dari 18 ZOM secara umum tampak mundur 1-2 dasarian kecuali ZOM 13 yang mundur hingga 5 dasarian. Pola-3 tampak menyebar di sekitar garis fitting yang menunjukkan prediksi sesuai dengan observasi. Verifikasi secara umum, prediksi AMH Tahun 2008 yang memberikan error prediksi sebesar ≤ 1 dasarian sebanyak 18 ZOM. Hal itu menunjukkan bahwa sebanyak 60 % model prediksi di Jawa cukup baik di gunakan karena hasil verifikasi pada 18 ZOM mendekati observasi (deviasi 10 hari). Verifikasi pada 40% ZOM lainnya menunjukkan error sebesar > 1 dasarian hasil itu mengindikasikan model pada 12 ZOM perlu ditingkatkan akurasinya. Akan tetapi bila toleransi batas error prediksi di naikan sebesar ≤ 2 dasarian maka model di 12 ZOM tersebut masih cukup layak digunakan. Bila tetapan toleransi batas error
41
prediksi verifikasi dinaikan menjadi ≤ 2 dasarian, maka sebanyak 93% model AMH di Jawa layak diaplikasikan dalam operasional. Namun dengan melonggarkan nilai toleransi error verifikasi tentunya model yang dihasilkan menjadi tidak terlalu baik.
Gambar 18. Prediksi Terhadap observasi tiap Pola
4.8
Evalusi Skill Model Untuk mengetahui skill prediksi model AMH, digunakan metode Relative
Operating Characteristics (ROC). ROC merupakan metode verifikasi standar yang direkomendasikan WMO (World Meteorological Orgazation) pada sepuluh tahun terakhir (Hamill dan Josip.2006). ROC disusun dengan melakukan simulasi hasil prediksi dalam periode 30 tahun berdasarkan kejadian AMH bawah normal atas normal. Selanjutnya nilai False Alarm Rate (FAR) dan Hit Rate (HR) di plot ke dalam tabel kontigensi. Analisis skill prediksi di tinjau pada kemampuan model prediksi ketika AMH maju dari normal atau prediksi saat AMH mundur dari normal. Nilai skill menjelaskan peluang kejadian AMH di suatu wilayah akibat peningkatan atau membaiknya sistem prakiraan terhadap klimatologi. Dengan mengetahui skor skill sehingga dapat disimpulkan penyebab peningkatan sisitim prediksi tersebut.
42
4.8.1 Skill Prediksi AMH Maju atau Mundur Dari Normal Rataan skill prediksi AMH maju dari normal pada pola-1 sebesar 69% sedangkan rataan skill prediksi AMH mundur dari normal pada pola-1 sebesar 65.5% (Tabel 3). Merujuk peta pola wilayah ZOM (Gambar 15), tampak pola-1 tersebar di pantai Utara Jawa Jawa Barat (Karawang) dan Pantai Utara Jawa Tengah. Sehingga dapat dikatakan bahwa model prediksi AMH pola-1 yang meliputi wilayah tersebut tampaknya lebih baik saat kejadian AMH maju dibandingkan AMH mundur dari normalnya. Kondisi itu dapat dipahami karena pola-1 merupakan hubungan AMH dengan fenomena IOD dan ENSO. Bila memperhatikan jarak lokasi kejadiannya fenomena iklim global terhadap wilayah Jawa maka IOD lebih dekat dengan wilayah pesisir Jawa Barat bagian Barat dan Utara. Untuk fenomena ENSO lebih dekat untuk wilayah pesisir Jawa Tengah, Jawa Timur dan madura. Dengan demikian wilayah pola-1 yang berada di Pantai Utara Jawa dari Jawa Barat hingga Jawa Tengah memilki respon terhadap dua fenomena iklim global itu. Dampaknya perubahan SML di perairan Barat Sumatera dan Pasifik pada bulan JJA akan berperan dengan AMH di wilayah pesisir Utara Jawa yang biasanya terjadi pada September. Dari hasil itu pula dapat dijelaskan iklim wilayah pesisir Utara Jawa Barat dan Tengah memiliki respon yang sensitif terhadap dua aktifitas iklim global. Tabel 3. Skill Model Prediksi AMH Pola-1 Pola
Pola-1
ZOM Z1 Z10 Z16 Z21 Rata-rata
Skill AMH Mundur 66 64 54 78 65.5
Skill AMH-Maju 80 66 66 64 69
Rataan skill prediksi AMH maju dari normal pada pola-2 sebesar 68.8% sedangkan rata-rata skill prediksi AMH mundur dari normal sebesar 64.6% (Tabel 4). Merujuk peta pola wilayah ZOM (Gambar 15), wilayah ZOM pada pola-2 tampak tersebar di sepanjang Jawa bagian Tengah mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Sehingga dapat dikatakan bahwa model prediksi pada ZOM yang termasuk pada pola-2 tersebut lebih handal saat kejadian AMH maju dibandingkan AMH mundur
43
dari normalnya. Kondisi itu dapat dijelaskan karena pola-2 memiliki hubungan AMH dengan fenomena ENSO dan aktifitas laut Indonesia. Dari hasil itu juga dapat dikatakan, pengaruh aktifitas laut Indonesia terhadap AMH di wilayah ZOM yang termasuk pola-2 tampak lebih kuat dibandingkan pengaruh ENSO. Akan tetapi bila ditinjau lebih terperinci di tiap ZOM, ternyata pengaruh aktifitas ENSO tampak kuat di 6 wilayah ZOM yaitu ZOM 7, ZOM 9, ZOM 11, ZOM 17, ZOM 22, ZOM 23 . Hal itu di indikasikan dengan skill prediksi AMH mundur pada 6 ZOM tersebut lebih baik dibanding skill prediksi AMH maju dari normal. Penjelasan diatas, dapat dijadikan dasar kesimpulan umum bahwa sebagian besar wilayah ZOM pola-2 dipengaruhi oleh aktifitas laut Indonesia namun untuk beberapa wilayah pengaruh aktifitas ENSO tampak lebih kuat. Tabel 4. Skill Model Prediksi AMH Pola-2 Pola
Pola-2
ZOM Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 Z7 Z8 Z9 Z11 Z13 Z17 Z18 Z19 Z20 Z22 Z23 Z24 Z26 Z27 Z29 Rata-rata
Skill AMH Mundur 66 48 80 52 50 52 52 80 52 50 72 66 56 66 88 84 76 80 80 42 64.6
Skill AMH-Maju 78 98 86 62 50 44 60 62 44 44 66 74 76 64 80 78 78 80 76 76 68.8
44
Rataan skill prediksi AMH mundur dari normal pada pola-3 sebesar 75.7% sedangkan rata-rata skill prediksi AMH maju dari normal pada pola-3 sebesar 77.0% (Tabel 5). Merujuk peta pola wilayah ZOM (Gambar 15), wilayah ZOM pada pola-3 tersebar di sepanjang Jawa bagian Tengah hingga Selatan mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Sehingga dapat dikatakan bahwa prediksi AMH pada wilayah ZOM yang masuk pada pola-3 tersebut lebih baik saat AMH maju dibandingkan AMH mundur dari normalnya. Kondisi itu dapat dijelaskan karena pola-3 memiliki hubungan AMH dengan fenomena aktifitas laut Indonesia bagian Timur Jawa. Dari hasil itu juga dapat dikatakan, pengaruh laut tersebut terhadap AMH di wilayah ZOM pada pola-3 tampak kuat. Indikasinya adalah model prediksi pada ZOM 12, ZOM 14, ZOM 15 memiliki skill maju AMH lebih handal dibandingkan skill mundur. Memperhatikan penjelasan diatas, dapat disimpulkan secara umum wilayah Jawa bagian Tengah hingga Selatan dipengaruhi oleh aktifitas laut Indonesia.
Tabel 5. Skill Model Prediksi AMH Pola-3 Pola
Pola-3
ZOM Z12 Z14 Z15 Z25 Z28 Z30 Rata-rata
Skill AMH Mundur 66 72 74 78 76 88 75.67
Skill AMH-Maju 80 82 84 72 68 76 77.00
Bila ditinjau wilayah Jawa secara utuh, maka skill prediksi AMH maju dari normal 71% dan skill prediksi AMH mundur dari normal 68%. Hal itu menunjukkan skill prediksi AMH maju lebih baik dari skill prediksi mundur dari normal, meskipun perbedaan nilainya tidak terpaut jauh. Pernyataan umum itu mengisyaratkan bahwa fenomena iklim global mempengaruhi AMH mundur dari normal di sebagian wilayah Jawa disamping itu aktifitas laut Indonesia juga memberi pengaruh kejadian AMH maju dari normal untuk sebagian besar wilayah Jawa. Pengaruh aktifitas SML tampak berbeda-beda di wilayah ZOM bergantung pada pola hubungan tiap ZOM dengan
45
wilayah SML. Grafik skill prediksi AMH mundur dan maju dari normal di semua cluster di tampilkan pada (lampiran 8).
4.8.2 Pola Wilayah Kehandalan Model Prediksi AMH di Jawa Kehandalan model prediksi AMH tiap cluster dipetakan sehingga didapat pola wilayah kehandalan model prediksi saat AMH maju atau AMH mundur dari normal. Peta kehandalan model prediksi AMH di Jawa disajikan pada tingkat skill 40% - 90% dengan interval 10 %. Dengan mengetahui pola wilayah kehandalan model prediksi AMH saat kejadian maju atau mundur dari normalnya maka dapat diketahui tingkat kehandalan prediksi kejadian AMH di suatu wilayah. Nilai kontur < 60% yang diberi warna kuning mengindikasikan prediksi AMH pada wilayah tersebut buruk atau menggambarkan lokasi false alarm rate. Nilai kontur 60%-70% dengan warna coklat menggambarkan prediksi AMH pada wilayah tersebut sedang. Nilai kontur ≥ 70% dengan warna hijau mengindikasikan prediksi AMH pada wilayah tersebut baik atau menggambarkan hit rate.
Gambar 19. Peta Skill AMH Mundur dari Normal di Jawa
46
(Gambar 18) menunjukkan pola yang terbentuk menggambarkan wilayah kehandalan model prediksi saat AMH mundur dari normal di Jawa. Pola sebaran nilai skill pada kategori buruk terletak pada wilayah DKI Jakarta, Bogor, sebagian Sukabumi dan sebagian kecil Jawa Timur bagian Timur. Pola sebaran nilai skill pada tingkat sedang tampak mendominasi sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Banten serta Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian Tengah. Sedangkan nilai skill pada tingkat baik tampak terdistribusi di Banten Utara, Jawa Barat bagian Timur, sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian Timur.
Gambar 20. Peta Skill AMH Maju dari Normal di Jawa
Pola wilayah kehandalan model prediksi AMH saat maju dari normal di sajikan pada (Gambar 19). Sebaran wilayah skill pada tingkat baik tampak mendominasi sebagian besar Banten, Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa Timur. Sedangkan skill pada tingkat sedang tampak terdistribusi di Jawa Barat bagian tengah, Jawa Tengah, Jogjakarta dan sebagian Jawa Timur bagian Timur. Pola sebaran nilai skill pada tingkat buruk tampak di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat bagian selatan. Skill ratarata model prediksi AMH di Jawa saat mundur dari normal adalah 68% dan saat
47
AMH maju dari normal adalah 71%. Hasil rataan skill tersebut menunjukkan secara umum kemapuan prediksi AMH mundur dari normal di Jawa pada tingkat sedang dan kemampuan prediksi AMH maju dari normal di Jawa pada tingkat kategori baik. Secara umum pula dapat di simpulkan bahwa terjadi peningkatan skill prediksi terhadap klimatologis untuk kejadian AMH maju atau mundur di wilayah Jawa.
4.9
Pembahasan
4.9.1 Hubungan Awal Musim Hujan di Jawa dengan SML Awal musim hujan di Jawa dalam periode tahun 1978-2007 memiliki hubungan linier dengan aktifitas iklim laut lokal maupun global. Hal tersebut dibuktikan dengan pola korelasi signifikan antara AMH di Jawa dengan anomali SML rataan bulan JJA wilayah 15⁰ LU-15⁰ LS dan 80⁰ BT-100⁰ BB. Rataan JJA di tentukan karena sekitar awal Juni adalah waktu transisi sirkulasi atmosfer dan lautan wilayah perairan Indonesia hingga Pasifik (Pai & Rajeevan 2009). Waktu transisi mengindikasikan sirkulasi arus laut yang hangat masuk dari pasifik dan selanjutnya meningkatkan uap air laut di wilayah Indonesia pada umumnya. Sejalan dengan kondisi laut, transisi atmosfer Timuran menjadi Baratan akan menambah uap air di wilayah Indonesia dari samudera Hindia. Sehingga apabila terjadi penyimpangan SML di perairan IndonesiaPasifik akan menunda transisi arus laut. Dampaknya adalah musim hujan di wilayah Indonesia pada umumnya akan tertunda. Peta korelasi pada 30 cluster wilayah Jawa menunjukkan tiga pola hubungan utama dengan penyimpangan SML perairan Barat Sumatera, Pasifik Tengah-Timur dan laut Indonesia sedangkan 2 cluster tidak menunjukkan pola hubungan yang nyata. Perairan Barat Sumatera merupakan wilayah indikator kejadian Iklim Indian Ocean Dipole Mode (IOD) dan perairan Pasifik Tengah-Timur merupakan wilayah indikator kejadian El-Nino Southern Oscillation (ENSO) sedangkan laut Indonesia merupakan sumber uap air utama saat konveksi lokal. Wilayah perairan Indonesia hingga pasifik merupakan wilayah potesial sebagai prediktor model iklim karena loading tiga PC pertama menggambarkan pola ENSO kuat (Fiona lo et all. 2008)
48
Peta korelasi pada pola-1 menunjukkan hubungan AMH 4 ZOM di Jawa dengan anomali SML perairan Barat Sumatera dan Pasifik Tengah-Timur. Hal itu menjelaskan bahwa kejadian AMH wilayah didalam 4 ZOM tersebut di pengaruhi oleh fenomena IOD dan ENSO.
Berdasarkan pola tersebut maka dua wilayah
perairan (Barat Sumatera dan Pasifik Tengah-Timur) dipilih sebagai domain untuk prediktor model prediksi AMH di 4 ZOM di Jawa. Peta korelasi pada pola-2 menunjukkan hubungan AMH dalam 18 ZOM di Jawa dengan anomali SML perairan Indonesia dan Pasifik Tengah-Timur. Pola hubungan itu menjelaskan bahwa kejadian AMH wilayah dalam 18 ZOM di Jawa dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan aktivitas SML Indonesia (Lokal). Berdasarkan pola hubungan tersebut, dua wilayah perairan (laut Indonesia dan Pasifik TengahTimur) dipilih sebagai domain prediktor untuk menyusun model prediksi AMH di 18 ZOM Jawa. Peta korelasi pola-3 menunjukkan hubungan antara AMH pada 6 ZOM di Jawa dengan anomali SML wilayah perairan Indonesia. Dengan demikian kejadian AMH didalam 6 ZOM itu dipengaruhi oleh fenomena perubahan aktivitas SML Indonesia. Berdasarkan pola tersebut maka wilayah perairan Indonesia dipilih sebagai domain prediktor untuk menyusun model prediksi AMH di 6 ZOM tersebut. Untuk 2 ZOM (ZOM 8 dan ZOM 13) yang tidak memiliki pola hubungan nyata dengan anomali SML, model disusun dengan menggunakan domain prediktor pada pola-2 Wilayah tropis memiliki ciri faktor harian yang kuat karena tidak adanya perbedaan suhu permukaan dan tekanan yang besar antar selang waktu berbeda. Konsekuensinya adalah sirkulasi angin permukaan di daerah ini lemah. Kekurangan dari faktor angin permukaan yang lemah akan menyebabkan kuatnya pengaruh angin lokal seperti angin darat dan laut, angin lembah dan gunung. Pada wilayah tropis kontinen seperti Indonesia, pengaruh iklim laut yang berasosiasi dengan fenomena iklim global membuat ciri tersendiri pada beberapa wilayah Indonesia. Untuk wilayah Jawa pengaruh iklim lokal akibat topografi bentuk pantai di beberapa wilayah akan dapat dirasakan, namun pengaruh iklim laut global akibat bentuk pulau yang pipih juga dapat dirasakan. Tiap wilayah akan terjadi interaksi antara pengaruh iklim lokal
49
sebagai ciri dari wilayah tropis dan pengaruh iklim laut global sebagai ciri wilayah maritime kontinen. Hasilnya yaitu ada wilayah yang dirasakan kuat pengaruh iklim lokalnya dan ada wilayah yang dirasakan kuat pengaruh iklim laut global. Namun ada juga wilayah yang dirasakan kombinasi dari dua pengaruh iklim lokal dan global tersebut. Dengan kondis iklim yang demikian komplek itu, maka di Jawa terbentuk pola hubungan tiap wilayah berdasarkan kuat lemahnya pengaruh iklim yang terjadi. Alasan itu juga yang menjelaskan bahwa di Jawa terbentuk tiga pola hubungan utama berdasarkan hasil korelasi spasial antara AMH dan SML. Jumlah ZOM yang termasuk pada pola-2 terlihat lebih banyak dibandingkan dua pola lainnya. Hal itu karena pola-2 merupakan wilayah yang memiliki kombinasi karakteristik fenomena iklim laut Indonesia (laut lokal) dan laut global. Siklus IOD di awali peningkatan SML pada bulan Mei-Juni mencapai puncaknya pada Oktober dan menghilang pada Nopember hingga Desember (Mulyana 2002). Sedangkan ENSO biasa terjadi pada awal Juni ditandai dengan peningkatan suhu di Pasifik tropis Tengah-Timur. Normalnya pada awal Juni arus laut hangat akan menuju perairan Indonesia (Aldrian & Susanto 2003). Merujuk waktu kejadian IOD dan ENSO maka peningkatan SML di perairan Barat Sumatera dan perairan Pasifik Tengah-Timur pada bulan JJA akan mengurangi penguapan di laut Indonesia (laut lokal). Implikasinya, AMH di Jawa yang biasanya terjadi pada awal September akan tertunda, lamanya penundaan (mundur) bergantung pada kuat lemahnya anomali peningkatan di dua wilayah perairan tersebut. Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa berdasarkan pola hubungan SML dengan 30 ZOM di Jawa, sebanyak 60% wilayah ZOM di pengaruhi oleh fenomena iklim ENSO dan konveksi laut Indonesia. Sedangkan 20% wilayah ZOM di pengaruhi fenomena konveksi laut Indonesia dan 13% wilayah dipengaruhi IOD dan ENSO serta 7% wilayah ZOM tidak mempunyai hubungan dengan ketiga fenomena iklim laut lokal dan regional. Secara umum hasil validasi silang dengan teknik LOOCV yang di lakukan untuk model AMH di Jawa dapat dikatakan stabil. Hal itu diindikasikan dengan RMSE rataan pada 30 model ZOM kurang dari 2 dasarian, demikian pula verifikasi model prediksi AMH di Jawa menunjukkan kemampuan model prediksi pada semua
50
ZOM di Jawa secara umum cukup handal. Hal tersebut di tunjukkan dengan nilai rataan kesalahan prediksi (bias) di semua ZOM sebesar 1,6 dasarian atau 16 hari. Hasil verifikasi juga menunjukkan dari 30 model ZOM, sebanyak 12 model menghasilkan error lebih dari satu dasarian dan sisanya kurang dari satu dasarian. Hasil itu menunjukkan sebanyak 57% model prediksi AMH di Jawa dapat menduga hingga mendekati hasil observasi (deviasi 10 hari). Kelayakan model prediksi AMH yang di indikasikan dengan kestabilan saat validasi dan verifikasi tampak berhasil di hampir semua ZOM wilayah Jawa.. Hal itu tidak terlepas dari penentuan variabel SML digunakan sebagai prediktor yang tepat sebelum model disusun. Demikian pula teknik identifikasi wilayah domain prediktor juga tampak memberikan hasil yang baik. Alasan mendasarnya adalah suatu sistim model yang baik ditentukan dengan masukan (prediktor) yang tepat. Namun kesatuan sistim lainnya seperti penentuan teknik dan metode yang tepat juga tidak dapat di abaikan, karena model disusun tidak bersifat individual melainkan sebuah sistim dari gabungan beberapa teknik dan metoda. Hasil tersebut tentunya semakin menguatkan alasan fisis bahwa wilayah Jawa secara umum di pengaruhi oleh iklim laut lokal dan global.
4.9.2
Evaluasi Skill Model Prediksi Awal Musim Hujan di Jawa Kehandalan model prediksi AMH mundur dari normal pada tingkat skill
kurang dari 60% terletak pada wilayah DKI Jakarta, Bogor, sebagian Sukabumi dan sebagian kecil Jawa Timur bagian Timur. Pola sebaran nilai skill pada tingkat 60%70% tampak mendominasi sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Banten serta Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian Tengah. Sedangkan nilai skill pada tingkat lebih dari 70% tampak terdistribusi di Banten Utara, Jawa Barat bagian Timur, sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian Timur. Kehandalan model prediksi AMH maju dari normal pada tingkat kategori lebih dari 70% tampak mendominasi sebagian besar wilayah Banten, Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa Timur. Sedangkan nilai skill pada tingkat 60%-70% tampak terdistribusi di Jawa Barat bagian tengah, Jawa Tengah, Jogjakarta dan sebagian Jawa
51
Timur bagian Timur. Pola sebaran nilai skill pada tingkat kurang dari 60% terdistribusi di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat bagian selatan. Meskipun beda nilainya tidak terpaut jauh, secara umum kehandalan model prediksi AMH di Jawa saat kejadian maju dari normal lebih baik dibandingkan saat kejadian mundur dari normal. Kondisi itu dapat di pahami, karena wilayah Jawa tidak hanya di pengaruhi aktivitas ENSO dan IOD. Pengaruh SML Indonesia (lokal) tampaknya cukup kuat mensuplai uap air ke Jawa sehingga hujan tetap terjadi dan pada saat yang sama pengaruh global tidak cukup kuat. Dengan demikian, awal musim hujan maju dari normalnya di Jawa sedikit lebih dipengaruhi oleh aktivitas SML Indonesia (lokal) namun pengaruh iklim global tetap memilki pengaruh terhadap AMH. Besarnya pengaruh dua fenomena iklim tersebut di satu wilayah akan berbeda terhadap wilayah lainnya di Jawa. Pola skill model prediksi AMH saat kejadian mundur dari normal dengan tingkat kehandalan lebih dari 70%, tampak menyebar di wilayah sekitar pesisir Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Utara. Sedangkan pola skill model prediksi AMH saat kejadian maju dari normal dengan tingkat kehandalan lebih dari 70% pola sebaranya tampak lebih luas yaitu sebagian besar Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Polanya juga tampak lebih lebar tidak hanya wilayah pesisir dan sekitarnya namun juga wilayah Jawa bagian Tengah. Uraian tersebut menunjukkan AMH mundur dari normal wilayah pesisir Jawa memiliki sensitifitas atau respon yang baik terhadap pengaruh aktifitas laut global meskipun laut lokal tetap mempengaruhi. Sedangkan kejadian AMH wilayah Jawa secara umum memiliki respon yang baik terhadap perubahan SML lokal. Rataan skill prediksi AMH maju dari normal pada pola-1 sebesar 69%, pola-2 sebesar 68.8% dan pola-3 sebesar 77.0%. Sedangkan rataan skill prediksi AMH mundur dari normal pada pola-1 sebesar 65.5%, pola-2 64.6% dan pola-3 sebesar 75.7%. Berdasarkan hasil tersebut tampak pola-3 mempunyai skill prediksi (maju dan mundur dari normal) lebih baik dibandingkan dua pola lainnya. Sehingga dapat dijelaskan bahwa kombinasi domain prediktor karakteristik ENSO dan laut lokal memberikan pengaruh yang lebih baik.
52
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Secara umum AMH di Jawa dipengaruhi oleh tiga pola interaksi Laut-
Atmosfer yaitu ENSO, IOD, SML Lokal, meskipun besar pengaruhnya di tiap wilayah berbeda-beda. Pernyataan itu dibuktikan oleh hasil korelasi AMH di Jawa dengan SML wilayah (15°S – 15°N; 80°E- 100°W). Terdapat hubungan linier antara AMH di Jawa dengan SML di perairan India,Indonesia dan Pasifik. Hal ini di indikasikan bila terjadi kenaikan SML di perairan Indi dan pasifik yang berasosiasi dengan kejadian IOD dan ENSO maka AMH di Jawa secara umum mundur dari normalnya. Sejalan dengan itu, bila terjadi kenaikan SML di perairan Indonesia yang berasosiasi dengan kejadian konveksi laut lokal maka AMH di Jawa secara umum maju dari normalnya. Rataan JJA di tentukan karena sekitar awal Juni adalah waktu transisi sirkulasi atmosfer dan lautan wilayah perairan Indonesia hingga Pasifik. Waktu transisi mengindikasikan sirkulasi arus laut yang hangat masuk dari pasifik dan selanjutnya meningkatkan uap air laut lokal di wilayah Indonesia pada umumnya. Sejalan dengan kondisi laut, transisi angin Timuran menjadi Baratan akan menambah uap air di wilayah Indonesia dari samudera Hindia. Sehingga apabila terjadi penyimpangan SML di perairan Indonesia-Pasifik akan menunda transisi arus angin Timuran. Dampaknya adalah musim hujan di wilayah Indonesia pada umumnya akan tertunda. Kondisi tersebut menggambarkan daerah tropis berada di ambang kritis suhu muka laut yang mendorong curah hujan maksimum atau minimum sehingga suhu muka laut berperan terhadap kejadian awal musim hujan Dari 30 ZOM 28 membentuk pola korelasi signifikan dengan SML yang terbentuk pada wilayah Samudera India, Perairan Indonesia dan Pasifik. Kondisi itu menyebabkan efek kombinasi ENSO dan SML lokal tampak dominan mempengaruhi AMH di Jawa. Indikasikan lainnya yaitu jumlah model ZOM pada pola-2 lebih banyak dibandingkan pola-1 dan pola-3.
53
Kelayakan model prediksi AMH dengan teknik multivariate tampak berhasil di hampir semua ZOM wilayah Jawa yang di indikasikan dengan kestabilan model saat validasi dan verifikasi. Hal itu tidak terlepas dari ketepatan penentuan variabel SML yang digunakan sebagai prediktor dan teknik identifikasi wilayah domain prediktor. Untuk model ZOM 8 (Karawang bagian Uatara) dan ZOM 13 (Cianjur dan Cilenca) tidak menunjukkan hubungan nyata dengan fenomena iklim global maupun SML lokal sehingga perlu dikaji untuk pengaruh variabel iklim lainnya. Kehandalan model prediksi AMH di Jawa saat kejadian maju dari normal lebih baik dibandingkan saat kejadian mundur dari normal. Hal itu dapat di pahami, karena AMH wilayah Jawa tidak hanya di pengaruhi aktivitas ENSO dan IOD. Pengaruh SML Indonesia (lokal) tampaknya cukup kuat mensuplai uap air ke Jawa sehingga hujan terjadi. Dengan
demikian, AMH maju dari normalnya di Jawa lebih
dipengaruhi oleh aktivitas SML Indonesia (lokal). AMH mundur dari normal wilayah pesisir Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian Selatan dan Jawa Timur bagian Utara memiliki sensitifitas atau respon yang baik terhadap pengaruh aktivitas laut lokal-global. Indikatornya adalah, dengan tingkat skill model kejadian AMH mundur lebih dari 70%, pola menyebar di wilayah tersebut. Sedangkan pola skill model prediksi AMH saat kejadian maju dari normal dengan tingkat kehandalan lebih dari 70% pola sebaranya tampak lebih luas yaitu sebagian besar Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Polanya juga tampak lebih lebar tidak hanya wilayah pesisir dan sekitarnya namun juga wilayah Jawa bagian Tengah. Hal itu menunjukkan kejadian AMH wilayah Jawa secara umum memiliki respon yang baik terhadap perubahan SML lokal. Besar pengaruh tersebut akan berbeda-beda dan dapat juga bergantung dari kondisi topografi dan bentuk pantai. Domain prediktor wilayah karakteristik laut lokal memiliki pengaruh yang lebih baik terhadap kejadian AMH dibandingkan kombinasi lainnya. Hal itu ditunjukkan dengan nilai skill terbaik dihasilkan oleh model dengan domain prediktor di pola-3. Sedangkan kombinasi domain prediktor wilayah karakteristik ENSO dan laut lokal memiliki pengaruh paling dominan terhadap AMH di Jawa. Pernyataan
54
tersebut di kuatkan oleh jumlah ZOM yang paling banyak terdapat pada pola-2. Namun untuk analisis lebih rinci di tiap ZOM maka masing-masing wilayah di Jawa memiliki tingkat hubungan dan sensitifitas yang berbeda-beda terhadap SML Indonesia-Pasifik. 5.2
Saran Model AMH di pulau Jawa disusun berdasarkan 30 ZOM, namun terdapat 2
ZOM tidak mempunyai domain prediktor sehingga perlu dicari variabel prediktor lain. Teknik penentuan domain prediktor yang dilakukan adalah menetapkan batasan maksimum
pewilayahan grid yang memilki korelasi signifikan dapat di
tingkatkan ketelitiannya hingga mendeliniasi batas pola peta korelasi, sehingga prediktor yang didapatkan adalah grid yang memang memilki korelasi signifikan. Teknik dan metode penyusunan model AMH dengan multivariate dapat diterapkan di wilayah Indonesia lainnya. Namun penting untuk diperhatikan adalah untuk kondisi klimatologi wilayah anti monsun (tidak dipengaruhi monsun) dan dinamika atmosfer umumnya.
55
DAFTAR PUSTAKA
Pai DS, Rajeevan MN. 2009. Summer monsoon onset over Kerala : New definition and prediction. J Earth Syst Sci 118:123-135 Moron V, Robertson AW, Boer R. 2008. Spatial coherence and seasonal predictability of monsoon onset over Indonesia. J Climate 21:1-11 Wang B et al. 2008. Advance and prospectus of seasonal prediction: assessment of the APCC/CliPAS 14-model ensemble retrospective seasonal prediction (1980– 2004). Clim Dyn 33:93-117 Vinayachandran PS, Shankar D, Kurian JF, Durand, Shenoi SSC. 2007. Arabian sea mini warm pool and the monsoon onset vortex. Current Science 93:203-214 Chakraborty A, Nanjundiah RS, Srinivasan J. 2006 Theoretical aspects of the onset of Indian summer monsoon from perturbed orography simulations in a GCM. Ann.geophyst 24:2075-2089 Boer R. 2005 Pendekatan Strategis, Taktis dan Operasional dalam Mengurangi Risiko Iklim di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di dalam: Seminar Pelembagaan Pemanfaatan Informasi Ramalam Iklim untuk Mengatasi Dampak Bencana Iklim; Kupang 21-22 Juni 2005 Annamalai H, Liu P, Xie SP. 2005. Southwest indian ocean sst variability: its local effect and remote influence on asian monsoons. J.Climate 18:4150-4167 Singh RP, Dey S, Sahoo AK, Kafatos M. 2004. Retrieval of water vapor using SSM/I and its relation with the onset of monsoon. Ann.geophyst 22:3079-3083 Fasullo J, Webster PJ. 2002. A hydrological definition of indian monsoon onset and withdrawal. J.Climate 16:3200-3211 Rajeevan,M.N. 2009 Prediction of Indian summer monsoon: Status, problems and prospects. Current Science 81:1451-1457 Samson MH, Kerry HC. 2006 The Onset of African Monsoon Numerical Study. Itacha NY 14853
56
Fiona Lo, Mathew CW, Sarah L. 2008.
Improving Prediction of The North
Australian Wet Season: Onset and Duration. CACWR Technical Report No.001 Daniel S. Wilks. 1995 Statistical methods in the Atmospheric Science Volume ke-59 Ithaca, New York Mulyana, E. 2002. Pengaruh Dipole Mode Terhadap Curah Hujan Indonesia. J Sains Teknologi Modifikasi Cuaca 2002:39-43 Thomas M.H, Josip J. 2006 Measuring Forecast Skill : Is it The Varying The Climatology? Q.J.R.Meteorol.Soc 32pp 2905-2923 Wang.B, Ding Q, Joseph PV. 2009. Objective Definition of The Indian Summer Monsoon Onset Journal of Climate 22:3303-3316. Marteau. R, V. Moron., Nathalie P. 2009. Spatial Coherence of Monsoon Onset over Western and central Sahel (1950-2000). Journal of Climate 22:1313-1324 Graham DQ, Copllini P, Cromwell D, Challenor PG. 2002. Rossby Waves : Synergi in Action. Phil.Trans.R.Soc.Lond 361:57-63 Artikov I, Gary DL. 2008. Climate Change and Farm Use of Weather Information. Nebraska Lincoln University http://digitalcommons.unl.edu/ageconworkpap/27 Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification Of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia And Their relationship to Sea Surface Temperature. Int.Journal of Climate 23: 1435-1452 Benjamin P, Pierre C. 2006. Influence of Madden Julian Oscillation on East African Rainfall,
I:
Intraseasonal
Variability
and
Regional
Dependency.
Q.J.R.Meteorol.Soc. 132: 2521-2539 Hamada et al. 2002. Spatial and temporal Variation of the rainy Season over Indonesia and Their Link to Enso Met. Soc. Japan 80pp:285-310 Risbey et all. 2009.
On Remote Drivers of Rainfall Variability in Australia
American Meteorological Society. DOI: 10.1175/2009MWR2861.1
57
Assyakur AR, Prasetia R. 2010. Spatial patterns of Anomalies in Indonesia during March to June 2010: Comparation between Multisatellite TRMM Precipitation Analysis (TMPA) 3B43 with Rain Gauges Data. Disampaikan Seminar Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XVII Konggres Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) di Institut Pertanian Bogor 9 Agustus 2010.
58
Lampiran 1 Data Awal Musim Huja Jawa Periode 1978-2008 dalam Dasarian
Menes
Cibaliung
Labuan
Pandeglang
Malimping
Rangkas
Serang
Betung
Ciomas
Curug
Cengkareng
Tangerang
Priok
Kemayoran
Halim
Depok
Darmaga
Lembang
Tahun
78/79
25
30
34
24
30
35
35
28
26
26
34
34
35
36
34
24
38
32
79/80
30
34
34
37
32
34
34
30
30
33
33
33
33
33
33
40
33
32 29
80/81
25
30
33
28
30
34
30
32
35
35
31
31
31
38
30
37
31
81/82
24
27
30
24
30
34
30
36
27
36
36
36
36
30
28
26
36
32
82/83
36
35
36
34
35
34
36
36
34
36
36
36
36
36
39
33
36
34
83/84
29
29
30
29
31
34
30
35
29
35
35
37
28
35
35
44
28
30
84/85
32
34
32
24
34
37
34
28
35
36
24
27
36
40
37
33
24
24
85/86
28
33
29
36
28
30
37
37
36
24
37
36
35
37
35
34
24
35
86/87
29
29
32
31
29
25
34
26
30
25
37
37
35
37
31
35
27
30
87/88
31
33
34
43
34
33
38
38
38
33
35
34
34
33
31
33
28
33
88/89
29
29
29
39
29
29
39
29
35
29
39
29
39
35
35
35
29
31
89/90
33
30
36
29
34
35
34
34
33
32
37
34
37
34
34
30
27
30
90/91
32
33
33
29
39
33
34
34
33
33
37
36
37
36
34
34
24
33
91/92
31
32
34
32
32
32
36
32
31
32
37
34
37
38
31
33
29
31
92/93
26
24
33
24
24
26
39
24
27
26
37
37
37
37
30
43
26
32
93/94
30
32
29
24
33
24
39
36
39
32
36
36
36
37
36
38
27
32 44
94/95
31
33
33
29
33
27
38
38
33
31
37
37
32
37
32
30
29
95/96
28
28
29
30
28
33
33
39
32
32
35
35
37
37
27
29
27
30
96/97
33
30
29
28
28
31
33
26
34
27
35
37
36
29
28
25
38
30
97/98
33
34
36
31
39
36
41
32
38
38
39
39
39
39
39
38
30
33
98/99
33
27
28
31
27
29
36
27
36
27
37
37
27
37
27
28
27
29
99/00
29
29
28
26
28
26
35
29
30
29
35
35
36
36
37
29
27
29
00/01
36
31
34
27
31
29
39
43
31
30
37
31
39
37
39
30
24
36
01/02
28
29
31
25
27
38
38
35
26
29
35
28
36
36
35
35
25
28
02/03
35
34
31
31
35
40
24
39
35
31
40
36
39
36
39
34
27
32
03/04
33
33
33
26
29
35
38
34
34
28
36
35
36
28
32
26
24
28
04/05
30
35
30
25
30
31
35
41
35
38
36
36
36
36
38
31
25
38 33
05/06
34
34
29
24
35
31
42
36
33
29
38
38
38
37
33
32
26
06/07
32
34
36
34
34
33
39
42
31
34
39
38
35
39
39
38
30
33
07/08
35
34
34
34
34
29
34
34
34
35
34
33
34
40
34
30
24
29
08/09
28
29
31
33
29
30
30
31
28
30
30
30
35
36
32
33
27
30
Catatan : Angka warna merah adalah data rataan periode 1978-2008
Citeko
Argabinta-cianjur
Cibuni-cianjur
Jampang Kulon
Kab.Sukabumi
Sukabumi
Wanayasa
purwakarta
Cikampek
Bantarhuni
Kab.Majalengka
Jatibarang
Lohbener
Sudikampiran
Anjarwinangun-Crb
Jatiwangi
Cimalaka
Cadasngampar
Bandung
Cisondari
59
38
24
28
29
29
30
30
27
34
32
37
35
35
37
36
33
34
34
33
28
33
27
25
31
30
30
31
31
33
36
33
32
38
38
34
34
42
34
33
31
31
28
25
27
44
27
29
29
32
31
32
35
35
35
33
33
32
33
29
29
36
27
27
27
29
30
28
28
25
36
35
32
36
36
32
31
38
26
30
35
36
35
31
35
39
35
34
34
34
36
36
35
36
36
34
34
34
37
34
33
28
29
28
29
30
29
28
28
29
30
34
30
39
36
32
32
30
30
37
32
24
24
24
24
24
25
24
24
24
37
28
33
37
36
33
24
33
31
31
24
25
28
33
28
37
34
29
25
29
34
34
34
34
34
34
32
30
32
35
33
29
40
29
26
25
26
24
29
29
39
35
35
35
39
39
30
30
32
26
32
31
29
29
30
37
31
42
31
31
32
32
33
33
38
35
33
37
32
31
32
28
31
29
40
37
29
28
29
31
31
32
32
32
32
34
29
32
40
29
32
34
38
37
30
32
31
30
30
34
32
32
32
32
36
32
32
39
31
29
32
34
38
32
30
32
27
32
35
33
38
33
35
35
34
36
32
34
33
32
35
30
30
29
30
37
32
30
32
30
31
31
36
34
34
34
31
31
31
31
37
26
25
24
24
31
27
24
33
27
28
32
33
33
34
33
32
34
33
31
27
32
29
32
34
44
30
32
32
32
32
32
35
35
35
35
32
34
32
32
32
31
29
32
34
31
29
32
32
37
32
36
40
42
36
37
34
43
34
44
43
29
29
30
29
31
31
29
29
32
31
29
30
30
35
35
30
30
29
29
27
30
27
28
28
28
28
28
31
29
36
30
30
37
37
30
30
31
31
30
30
31
34
31
28
32
37
32
33
35
34
40
40
40
41
40
35
34
33
33
43
29
28
27
28
28
28
29
37
37
28
31
30
29
30
36
29
30
29
29
29
29
37
28
28
31
35
29
29
29
30
29
36
32
36
31
29
30
29
29
31
28
37
28
27
31
37
29
30
29
30
35
31
30
39
35
29
35
35
29
29
28
31
27
34
31
28
30
26
28
28
30
39
37
32
32
30
30
30
28
37
32
30
32
28
37
28
32
32
34
39
32
35
35
36
35
32
32
32
32
32
24
28
28
28
33
33
28
29
37
37
31
35
32
36
37
37
32
31
28
28
35
29
37
30
37
31
37
37
35
33
37
43
35
36
37
33
41
33
39
32
31
37
32
29
35
30
24
29
31
33
37
35
39
34
35
40
37
32
35
37
33
31
39
30
33
34
33
33
31
42
34
34
36
38
39
33
39
32
32
33
30
31
29
30
31
34
28
30
31
39
33
29
34
34
35
30
35
32
30
30
30
31
29
30
32
28
30
30
31
34
33
35
35
36
35
31
35
32
30
32
Catatan : Angka warna merah adalah data rataan periode 1978-2008
pacing-krwg
peengakaran-krwg
Pedes-krwg
pasirukeum-krwg
Peundeuy-krwg
Petaruman-krwg
Rawagempol-krwg
Telukbuyung-krwg
Rengasdengklok-krwg
cibadar-krwg
27
Gempol-krwg
30
33
Gebang-malang-Krwg
30
29
Cibuaya-Krwg
31
Cilamaya-krwg
24
Batu jaya-Krwg
Singaparna
30
Tasikmalaya
Cilenca
30
Ciamis
Paseh
60
24
24
37
37
37
35
37
37
37
37
37
38
37
36
36
36
32
31
30
35
35
35
32
35
31
33
31
32
37
36
35
34
33
36
32
32
36
35
36
36
36
36
36
36
36
36
35
37
36
36
35
36
36
26
36
36
34
31
39
30
36
36
35
36
36
36
36
36
36
36
36
34
37
27
34
37
36
36
36
35
36
36
36
36
36
36
36
37
36
36
36
30
30
35
31
31
36
43
36
36
36
36
36
36
37
36
36
37
36
36
36
24
28
24
24
24
34
37
24
42
24
37
33
37
33
37
33
42
36
31
33
39
28
31
31
32
36
35
36
34
38
36
36
38
35
31
39
38
36
36
36
29
40
29
37
31
37
31
38
25
33
37
37
37
30
31
35
30
36
35
32
32
31
33
33
37
34
38
35
34
34
34
35
34
34
38
32
33
34
32
37
32
40
28
29
37
40
32
35
28
39
35
39
40
32
39
33
33
33
39
39
32
37
29
29
29
37
36
35
32
37
37
35
38
34
32
37
37
34
30
37
32
34
27
34
33
34
36
36
35
36
36
36
32
35
36
36
35
34
35
35
32
30
31
31
31
38
34
38
32
37
31
37
37
41
36
37
34
37
32
38
37
39
37
39
37
39
37
39
37
39
37
39
34
32
24
27
28
27
28
39
32
37
40
32
32
38
39
37
35
37
36
37
36
37
39
41
35
37
36
36
32
32
31
31
31
37
32
38
37
37
38
37
38
38
37
37
37
37
38
38
40
37
31
29
29
40
31
37
30
40
35
40
37
37
31
39
30
37
35
40
32
28
28
28
28
37
37
37
33
37
37
37
37
37
37
31
28
37
32
37
32
33
31
36
35
39
38
40
40
40
40
37
40
38
43
40
43
39
39
39
30
27
31
27
27
39
38
38
28
38
40
37
37
38
38
40
43
40
39
39
31
29
31
29
29
39
39
39
39
36
39
36
36
39
38
37
38
39
39
36
37
35
31
28
29
37
37
36
32
37
37
37
37
36
38
37
36
37
36
32
31
30
41
28
31
36
39
36
37
39
39
39
36
40
39
39
38
37
39
40
37
34
43
31
31
41
38
37
38
39
37
40
40
41
37
40
36
39
39
39
41
26
41
41
40
36
40
41
41
41
36
36
35
41
28
28
31
31
42
41
31
33
35
35
31
36
37
36
35
36
36
40
41
41
41
41
41
36
33
31
32
29
29
29
31
31
37
36
33
33
39
38
38
41
39
39
33
39
30
39
33
32
33
31
44
40
37
36
43
39
39
40
39
39
39
39
36
39
39
32
30
32
31
31
33
40
37
36
35
37
37
37
37
39
37
37
36
36
36
32
32
32
31
31
30
28
37
36
35
37
37
37
37
36
37
37
36
36
36
32
Catatan : Angka warna merah adalah data rataan periode 1978-2008
Anjatan-indrmyu
Kandanghaur-indramyu
Kab.INDRAMAYU
Kr kendal
Cilacap
banyumas
Bumiayu-brebes
Slatri
Jt Roke
Tegal
Tonjong
Jejeg
pemalang
Ngadirejo-pemalang
BanjarDawa-pemalang
Wleri-kendal
Ungaran
Staklim-Semarang
gn butak-prwrejo
Kertek
61
36
36
34
36
37
35
32
34
34
32
32
34
34
28
34
37
30
31
31
34
37
35
34
38
30
42
31
30
37
32
31
31
31
30
32
36
30
36
36
31
36
36
30
35
30
29
32
32
34
33
32
29
29
32
35
34
30
32
32
30
36
36
32
32
26
26
31
32
31
31
31
32
31
26
32
32
34
32
32
32
37
37
36
35
37
36
36
37
39
36
36
33
35
34
37
36
32
31
31
34
37
36
29
35
29
30
29
32
30
29
29
30
40
29
40
37
32
28
28
29
37
37
37
36
25
31
27
36
34
27
27
31
43
29
34
35
32
25
25
31
38
35
38
34
30
29
40
36
36
31
40
29
33
31
38
38
32
30
30
30
35
38
31
35
29
26
25
36
34
25
25
29
29
32
35
37
32
29
29
24 33
37
37
39
39
33
38
34
37
35
33
34
31
37
31
37
34
32
33
33
34
32
31
32
29
29
32
32
32
32
32
32
32
32
32
35
32
32
32
29
37
38
33
32
29
37
32
35
39
33
33
34
33
33
35
43
32
30
30
29
35
34
36
35
32
32
37
34
37
33
33
34
34
34
35
36
32
32
39
36
33
34
34
35
31
32
34
41
36
34
34
34
32
27
31
37
32
32
32
30
39
34
34
34
24
27
32
31
30
32
32
30
32
30
29
37
33
27
27
30
37
35
43
37
30
32
32
34
32
32
32
31
33
34
35
42
36
32
41
31
36
37
37
33
38
29
31
34
32
32
31
33
31
32
35
31
33
34
34
37
36
37
40
35
28
29
38
35
35
31
38
29
32
35
32
29
30
31
31
29
37
37
35
37
28
28
28
35
35
34
28
30
30
37
30
28
33
28
28
31
42
40
35
41
35
35
39
36
35
33
39
35
38
32
35
33
33
33
33
38 27
30
38
31
32
27
27
27
34
34
32
28
27
33
33
37
27
32
27
27
29
36
38
36
29
29
38
29
32
29
37
28
33
30
34
34
29
27
27
29
35
36
33
39
27
28
30
38
29
37
35
29
33
30
31
40
29
27
27
28
36
38
32
34
27
28
30
31
31
36
28
26
30
37
38
37
32
26
26
28
37
36
36
35
31
31
31
41
38
34
39
30
31
32
39
39
31
36
36
31
37
37
32
37
27
37
30
34
36
36
34
34
36
31
36
32
36
28
28
42
36
37
38
40
30
31
32
37
33
36
33
30
33
37
38
35
36
31
31
31
35
36
37
35
30
29
29
36
35
33
34
33
35
29
35
35
31
35
35
29
39
39
35
35
39
31
36
42
40
33
33
33
33
32
35
35
32
33
33
39
37
37
34
35
34
31
34
34
36
33
33
34
33
32
35
35
32
30
30
34
37
36
36
35
28
31
32
35
34
32
33
31
33
32
35
35
32
35
28
28
Catatan : Angka warna merah adalah data rataan periode 1978-2008
Jogjakarta
Adisucipto
Klaten
pati
Wonogiri
Ayahcom-Kbm
Kedungwringin-kbm
somagede-kbm
sampangcom-kbm
Gombong-kbm
Kuwarasan-kbm
Sekayu-kbm
Rowokawuk-kbm
Rembes-kbm
karang gayam-kbm
karang sambung-kbm
Karang anyar-kbm
adimulyo-kbm
Kedungsamak-kbm
kaligending-kbm
62
34
35
33
33
34
34
30
30
30
31
31
31
31
30
31
30
31
31
32
31
30
34
34
33
39
30
30
30
30
31
31
31
31
30
31
30
31
31
32
31
33
30
32
34
29
30
29
29
29
29
30
29
29
29
29
30
29
29
29
30
31
36
33
36
32
31
27
27
27
32
32
27
32
27
27
27
32
32
27
27
35
34
33
36
34
37
35
35
35
35
35
35
35
35
35
34
35
35
35
35
29
36
33
36
29
31
31
31
31
31
31
31
31
31
31
31
31
31
31
31
34
34
34
33
33
31
30
30
25
24
31
24
31
24
29
24
25
24
25
31
34
34
35
32
29
31
37
30
30
30
30
30
30
30
29
30
30
30
30
30
32
34
39
35
33
29
32
34
30
32
26
32
31
29
34
25
29
29
30
35
32
34
34
31
33
33
33
33
33
33
33
33
33
33
33
33
33
33
33
33
32
29
32
34
36
29
29
29
29
29
29
30
29
29
29
29
29
29
29
29
32
34
37
37
38
29
29
29
29
29
29
30
29
29
29
29
29
29
29
29
33
34
32
34
33
30
30
32
32
32
30
35
32
32
32
30
30
30
33
32
31
33
32
31
31
31
31
30
31
31
30
31
32
30
32
34
32
32
34
32
31
37
31
30
32
27
24
27
27
31
28
27
27
28
27
27
28
28
28
31
33
32
37
32
38
31
31
31
33
31
31
31
31
30
33
31
31
31
33
31
37
30
32
37
37
37
30
33
30
33
31
33
31
37
31
30
38
37
32
31
31
32
32
30
29
29
29
29
29
29
29
32
29
32
31
29
32
32
32
29
28
32
30
28
30
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
29
28
32
34
34
34
33
36
32
38
32
38
40
39
39
39
31
32
39
36
39
38
32
29
29
35
35
30
27
27
27
27
30
27
27
27
27
33
27
27
36
27
32
32
32
31
30
29
29
30
29
29
33
29
29
30
29
29
29
29
31
29
27
37
37
31
29
27
27
26
27
27
27
26
28
28
28
28
26
28
29
30
28
37
38
39
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
28
31
41
31
32
34
32
31
31
31
31
31
31
31
30
31
31
31
31
31
31
30
34
32
35
34
28
28
30
28
30
30
28
30
29
30
31
39
28
31
31
33
33
30
36
31
31
30
30
30
30
33
31
33
30
33
33
33
33
38
33
35
34
31
35
34
33
29
29
29
29
33
26
29
29
29
33
29
29
29
29
41
35
33
33
33
36
31
31
33
35
40
40
31
39
35
34
35
31
41
40
30
34
33
33
33
34
34
30
34
34
34
33
34
30
34
34
30
34
30
30
32
30
33
33
33
31
30
30
30
31
31
31
31
30
31
30
31
31
36
31
Catatan : Angka warna merah adalah data rataan periode 1978-2008
Alian-Kbm
podourip-kbm
petanahan-kbm
klirong-kbm
Rantewringen-kbm
kotowinagun-kbm
klposawit-kbm
bedegolan-kbm
tersobo-kbm
Cluwak-pati
Arjosari-pacitan
kebon agung-pacitan
pringkuku-pacitan
Pacitan
Ngadirejo
Slahung
babadan
bollu
kesugihan
ngilo-ilo
63
31
31
31
31
31
31
31
31
32
30
34
31
37
32
34
34
34
34
33
34
31
31
31
31
31
31
31
31
32
30
39
31
37
32
34
39
34
30
33
32
30
29
29
29
29
30
30
30
30
29
39
30
30
30
32
36
32
33
31
32
27
30
30
31
30
30
30
32
32
27
33
31
32
32
32
32
33
33
32
32
35
35
39
35
35
36
30
36
36
35
33
31
32
32
35
40
34
36
39
37
31
31
31
31
31
30
30
29
33
31
36
32
33
33
32
36
34
34
30
29
31
24
31
24
24
24
24
25
34
30
31
28
31
31
25
36
32
31
24
33
30
37
30
30
31
30
31
30
36
30
31
30
32
32
30
32
41
32
36
37
30
28
26
26
28
31
28
31
31
32
36
28
28
28
28
32
35
39
31
39
33
33
33
33
33
33
33
33
33
33
38
33
33
33
33
35
33
39
33
33
29
29
29
29
29
29
29
29
29
29
36
30
37
39
32
37
32
33
37
32
29
29
29
29
29
35
29
29
29
29
36
29
30
30
30
41
38
38
35
34
32
30
33
33
31
31
30
31
31
30
33
32
33
33
41
40
32
38
34
33
31
30
30
31
31
36
31
32
32
31
33
32
32
32
31
34
34
34
32
33
40
31
24
28
28
27
27
31
27
24
30
24
27
27
27
37
39
32
39
37
31
32
30
33
33
33
33
33
32
31
32
33
32
32
33
32
38
37
32
32
39
31
31
33
32
32
31
31
33
30
37
37
37
37
33
37
38
32
33
39
29
32
32
31
38
32
32
32
32
29
39
37
32
32
32
31
32
37
30
30
28
28
31
28
28
28
28
28
28
28
32
26
29
29
32
34
30
31
40
34
36
35
40
35
31
35
39
38
40
32
39
37
38
41
42
39
38
30
34
31
27
27
27
27
27
27
27
27
27
27
38
31
27
27
27
35
30
39
27
35
29
30
30
30
34
34
31
29
34
29
30
31
31
31
33
39
31
35
29
35
31
27
27
27
27
27
27
28
27
27
28
31
26
26
28
31
29
32
29
29
29
28
28
28
28
28
28
28
28
28
30
28
32
30
28
36
31
29
30
38
31
31
31
31
31
31
31
31
34
31
39
35
30
35
33
35
39
37
31
35
28
31
31
30
31
31
32
30
30
28
32
28
32
32
32
32
39
33
31
32
30
30
30
33
30
31
33
33
33
30
41
31
31
31
31
33
42
39
33
34
29
33
30
35
29
33
33
33
33
29
35
31
32
30
32
34
35
33
33
34
35
40
41
41
41
41
41
33
35
39
35
31
32
40
40
34
35
34
33
34
30
30
30
30
30
30
30
30
34
34
35
31
32
34
34
34
35
34
33
34
31
31
31
31
31
31
31
31
32
30
35
31
32
32
32
35
35
34
33
34
Catatan : Angka warna merah adalah data rataan periode 1978-2008
ponorogo
pudak
pulung
purwantoro
sawo
Purwodadi
lembeyan
poncol
Sarangan
slagreng
Madiun
Balerejo
Caruban
catur
CAU
Dawuhan
Dungus
Gemarang
Giringan
pahijo
64
38
34
34
34
30
35
41
34
30
34
34
36
34
35
34
33
34
36
34
35
31
36
36
33
36
36
30
40
30
37
30
30
34
35
38
33
31
34
33
35
30
36
32
32
30
32
32
31
33
30
30
32
30
32
33
32
31
33
32
33
36
32
30
32
40
32
36
36
32
31
32
31
36
38
32
32
36
31
36
32
34
40
34
34
35
37
34
36
34
34
34
34
34
34
34
34
34
34
34
34
30
36
29
30
29
36
36
36
30
29
29
44
30
30
31
30
39
30
38
31
36
36
32
24
33
34
37
36
35
24
33
36
38
38
33
36
38
36
33
33
39
32
30
36
36
36
31
34
32
32
39
33
38
40
32
39
32
33
33
33
39
39
28
31
35
37
31
35
29
29
39
34
35
34
30
35
39
39
39
39
33
33
33
33
33
34
31
33
33
33
32
34
33
33
33
33
33
33
33
33
36
37
32
32
35
37
32
36
37
32
32
34
32
34
35
32
32
32
34
35
36
41
36
34
30
38
29
34
34
37
33
37
34
34
34
30
36
30
41
42
34
37
33
33
37
36
32
34
34
32
32
34
34
37
35
34
34
32
35
34
32
34
32
32
32
35
31
35
32
32
31
34
34
32
32
32
33
33
36
32
38
37
37
37
37
35
32
38
32
30
32
32
32
37
33
33
32
33
36
34
34
32
32
32
32
36
32
41
32
32
32
32
32
32
32
37
32
37
37
37
37
39
31
31
33
39
37
32
37
32
37
32
31
34
37
32
34
33
37
37
32
32
30
32
32
32
31
32
31
29
29
38
30
40
37
37
32
37
32
37
30
40
30
30
30
30
30
20
30
30
30
30
40
30
32
30
31
30
30
31
37
39
36
40
40
38
32
37
33
34
34
37
38
33
40
34
38
40
39
40
35
30
30
29
30
29
29
35
28
30
28
39
30
27
36
30
27
29
30
37
30
42
29
29
30
31
29
31
29
29
37
28
29
29
32
31
38
29
36
32
37
29
28
29
30
31
28
30
39
37
37
29
29
39
29
36
35
37
29
29
32
36
30
30
38
37
28
37
39
28
28
38
31
39
36
28
36
36
35
36
32
39
31
31
35
39
32
39
35
31
34
31
35
34
34
33
32
34
33
34
38
39
32
30
38
33
32
39
32
30
30
37
31
36
37
32
37
33
32
37
33
32
35
34
34
33
32
39
33
32
30
35
35
35
33
33
34
34
34
33
34
36
32
32
34
35
33
34
33
32
33
34
33
33
34
33
34
34
35
35
34
36
32
32
34
35
33
35
33
32
33
44
33
38
34
33
34
34
35
35
34
36
32
32
34
35
33
35
33
32
33
34
33
35
34
33
34
34
35
35
34
36
32
32
34
35
33
35
33
32
33
34
33
34
34
33
34
34
35
35
Catatan : Angka warna merah adalah data rataan periode 1978-2008
gombal
kandangan
kare
kertobayon
notoputro
pagotan
pg.kanigoro
saradan
sareng
Jiken-Blora
Cawak
dander
jt blimbing
kanor
karang nongko
kedung adem
kerjo
klepek
merkuris
sumber rejo
65
35
35
34
36
31
34
34
34
34
41
34
33
33
35
32
33
35
33
34
33
35
35
34
36
34
36
34
32
36
33
32
30
32
34
33
33
33
36
34
32
32
32
33
35
40
38
32
32
37
32
36
29
30
32
32
29
31
29
29
30
36
32
32
36
34
32
31
31
36
33
34
31
31
39
30
31
39
34
34
31
34
34
34
40
35
34
34
34
34
40
35
36
36
36
36
34
38
36
35
36
35
30
30
30
30
38
34
38
36
33
36
33
35
32
30
30
38
38
38
35
32
33
33
38
40
38
34
33
36
41
33
28
37
37
28
36
37
36
37
37
32
33
36
39
36
43
32
32
32
32
33
35
39
32
32
32
39
42
34
39
39
30
36
37
39
39
31
39
39
37
33
35
30
36
31
41
38
31
31
30
33
33
34
33
39
39
41
33
33
37
39
33
31
37
31
32
33
32
33
31
41
35
39
35
32
32
32
32
32
31
33
36
29
35
36
34
36
29
32
29
36
36
36
38
35
32
41
30
36
37
34
33
33
37
31
30
36
30
34
33
34
34
34
34
33
34
32
33
34
31
34
32
33
34
32
34
34
34
32
33
36
32
32
34
31
39
31
32
36
39
33
32
31
33
31
31
33
35
37
31
31
33
33
33
32
33
33
32
32
27
34
32
33
28
32
32
32
33
30
33
37
35
37
34
32
34
34
32
32
37
37
32
38
36
31
32
37
32
37
38
40
37
37
39
36
39
31
31
39
38
39
32
34
34
31
37
39
34
34
34
31
37
34
39
32
32
38
32
38
32
32
29
29
32
30
38
31
29
39
29
39
40
34
40
31
30
30
38
31
30
33
31
33
33
30
30
33
31
33
33
40
40
40
39
34
34
40
34
33
35
38
34
34
34
34
33
39
33
34
34
30
35
37
35
27
37
35
31
35
27
30
36
29
34
30
29
30
27
30
29
32
32
32
32
29
30
31
36
31
35
29
29
34
36
29
29
29
29
36
34
30
37
32
29
29
30
31
29
37
29
31
27
31
37
27
29
43
29
31
31
35
36
31
38
37
36
32
35
38
35
40
38
38
38
36
35
40
38
39
38
38
34
34
32
32
39
31
33
39
33
34
39
33
34
41
33
34
31
31
33
33
38
37
42
32
33
31
31
38
31
37
28
32
32
32
36
32
37
43
32
35
41
33
33
33
33
44
34
34
41
35
36
37
33
32
36
36
36
37
37
35
35
34
36
34
35
34
33
35
33
32
32
35
33
35
33
40
33
33
35
35
35
34
36
34
35
34
33
35
34
35
34
35
39
35
33
35
33
38
35
35
35
34
36
34
35
34
33
35
34
34
33
33
34
39
34
34
34
35
34
35
35
34
36
34
35
34
33
35
34
34
33
33
35
32
33
35
33
34
33
Catatan : Angka warna merah adalah data rataan periode 1978-2008
Kerek
bejeng
cerme
Duduksampeyan
gresik
lowayu
mentaras
Tambak Ombo
kab lamongan
Pujon
Bantur-malang
Tulung agung
37
34
35
35
35
35
35
36
37
34
33
36
36
38
37
30
33
32
35
35
35
35
35
36
38
37
33
36
38
32
36
30
37
36
35
35
35
35
35
36
36
36
33
36
36
Bondowoso
rembang
33
Ranuklakah
Leran
30
Srengat
Bojonegoro
33
Kencong
tretes
66
35
38
34
31
36
34
30
37
37
32
30
35
35
35
37
36
34
34
35
33
31
33
34
33
34
30
30
34
37
32
31
32
34
34
34
35
40
34
36
36
36
36
42
36
42
37
36
35
37
34
31
36
30
32
30
35
36
38
32
36
39
33
32
32
32
41
36
37
38
29
31
36
36
34
36
30
36
36
37
37
38
41
36
37
36
36
36
34
33
33
31
40
39
39
33
34
33
39
35
39
36
39
34
34
33
36
36
36
39
33
31
32
41
35
31
35
35
37
31
37
37
34
35
37
36
30
37
36
39
31
31
38
33
33
33
37
33
32
33
34
37
35
35
33
33
33
33
36
34
33
31
33
30
35
32
35
40
37
39
35
39
35
40
32
45
32
36
36
35
32
29
39
34
33
29
35
33
37
37
34
33
37
37
37
37
30
37
38
36
37
30
37
33
34
34
35
36
34
39
39
33
35
36
34
34
33
42
36
34
36
34
34
32
33
35
31
33
33
33
33
38
34
33
37
33
34
39
36
33
36
32
33
32
34
32
35
33
39
33
33
35
42
36
38
33
32
27
39
32
34
27
32
32
39
37
35
38
32
37
37
37
37
37
37
37
32
41
36
32
38
32
33
34
34
39
34
35
34
34
37
38
34
35
38
36
33
37
37
37
37
31
37
29
32
32
35
32
31
31
36
35
32
33
33
39
30
30
32
31
32
31
39
30
32
31
35
33
31
34
33
37
36
36
37
34
31
39
30
32
30
32
37
38
34
34
34
33
34
34
34
34
34
42
39
33
34
42
42
34
42
35
40
29
29
35
42
29
29
31
29
35
29
45
31
27
30
27
30
38
29
27
29
29
31
30
36
31
34
34
35
35
33
34
37
29
29
45
31
32
38
31
34
29
37
27
41
41
35
35
38
38
35
36
42
42
31
39
43
30
37
28
37
33
37
35
38
36
37
31
34
32
32
39
35
32
28
39
36
37
37
29
37
32
39
31
35
34
37
37
36
36
37
36
35
36
32
33
41
36
35
35
37
32
31
32
32
35
34
37
32
33
32
32
37
42
32
42
31
32
33
31
39
33
35
36
37
33
42
33
33
33
36
33
36
41
33
32
38
38
34
31
36
34
32
32
29
33
32
33
35
33
35
41
35
33
32
34
34
36
33
33
33
34
42
41
35
42
39
39
39
35
42
35
41
42
33
41
39
39
39
31
39
34
34
33
35
35
35
35
35
34
35
35
35
35
34
34
34
34
30
34
34
33
35
33
35
35
35
35
35
35
35
36
36
36
33
36
36
35
34
31
36
Catatan : Angka warna merah adalah data rataan periode 1978-2008
Stamet Juanda
Gubeng
kandangan
Simo
Pasewaran
Bawean-banyuwangi
Socah
Tanjung Bumi
Kalianget
pakong
67
30
36
35
35
36
33
34
37
35
34
36
36
35
35
37
33
33
36
37
35
30
36
35
35
33
33
35
36
36
35
35
31
35
35
33
31
31
37
37
33
36
36
41
34
34
34
36
40
42
35
33
42
38
38
33
34
33
39
36
40
33
41
42
42
34
34
34
41
37
39
33
36
37
35
33
34
34
36
44
33
37
37
36
33
34
30
34
37
39
36
33
37
36
33
34
38
35
39
39
33
35
40
35
32
34
32
30
32
40
34
35
33
36
36
32
37
34
37
34
37
34
39
34
36
34
36
36
34
36
34
38
38
36
40
34
36
37
38
39
32
36
35
36
32
35
33
38
37
37
33
37
37
36
38
33
36
38
43
37
40
36
38
34
34
37
37
30
37
37
37
32
35
34
33
32
32
32
31
43
30
37
37
33
33
34
30
30
33
34
37
40
34
34
40
31
35
30
42
39
34
32
35
33
34
30
30
27
39
29
34
32
35
34
34
34
29
30
29
32
30
35
36
33
33
37
35
30
37
29
29
35
32
33
33
32
32
30
37
33
43
36
36
37
37
31
35
37
37
33
34
35
33
39
37
32
32
42
34
32
33
36
33
32
35
36
33
35
34
43
31
33
33
31
35
37
32
35
38
33
33
39
42
33
31
38
34
34
38
39
41
35
34
35
35
37
34
34
37
45
34
30
36
34
34
34
34
34
39
37
35
Catatan : Angka warna merah adalah data rataan periode 1978-2008
68
LAMPIRAN 2 Koordinat Stasiun Pos Pengamatan Curah Hujan di Jawa STASIUN
Lintang/Lat -6.3767 -6.7158 -6.3785 -6.3111 -6.8014 -6.2149 -6.1115 -6.2615 -6.2283 -6.2871 -6.1236 -6.1720 -6.1078 -6.1556 -6.2641 -6.4053 -6.5536
Bujur/Long 105.9199 105.7056 105.8316 106.1056 106.0128 106.1329 106.1319 106.7508 106.0345 106.5633 106.6800 106.6470 106.8811 106.8472 106.8981 106.7589 106.7498
1
Menes
2
Cibaliung
3
Labuan
4
Pandeglang
5
Malimping
6
Rangkas
7
Serang
8
Betung
9
Ciomas
10
Curug
11
Cengkareng
12
Tangerang
13
Priok
14
Kemayoran
15
Halim
16
Depok
17
Darmaga
18
Lembang
-6.8300
107.6100
19
Citeko
20
Argabinta-cianjur
21
Cibuni-cianjur
22
Jampang Kulon
23
Kab.Sukabumi Sukabumi Wanayasa purwakarta Cikampek Kab.Majalengka Jatibarang Lohbener Sudikampiran Anjarwinangun-Crb Jatiwangi
-6.6980 -7.4082 -7.1700 -7.2592 -7.9000 -6.9200 -6.6763 -6.5250 -6.4130 -6.8342 -6.4600 -6.4100 -6.4000 -6.6378 -6.7342
106.9350 106.9917 107.4000 106.6284 107.9500 106.9000 107.5547 107.4475 107.4620 108.2407 108.3100 108.2800 108.3700 108.4124 108.2632
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
69
34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72
Cimalaka Cadasngampar Bandung Cisondari Paseh Cilenca Singaparna Ciamis Tasikmalaya Batu jaya-Krwg Cilamaya-krwg Cibuaya-Krwg Gebang-malang-Krwg Gempol-krwg pacing-krwg peengakaran-krwg Pedes-krwg pasirukeum-krwg Peundeuy-krwg Petaruman-krwg Rawagempol-krwg Telukbuyung-krwg Rengasdengklok-krwg cibadar-krwg Anjatan-indrmyu Kandanghaur-indramyu Kab.INDRAMAYU Kr kendal Cilacap banyumas Bumiayu-brebes Slatri Jt Roke Tegal Tonjong Jejeg pemalang Ngadirejo-pemalang BanjarDawa-pemalang
-7.7333 -6.9000 -6.6111 -7.0930 -7.1030 -8.2000 -7.3509 -7.3363 -7.4088 -6.1014 -6.2580 -6.0759 -6.2810 -6.3087 -6.1562 -6.2859 -6.0993 -6.2301 -6.2876 -6.1768 -6.2577 -6.0759 -6.1637 -6.1820 -6.3600 -6.3600 -6.3400 -6.5833 -7.7333 -7.4238 -7.2600 -6.9434 -6.3440 -6.8500 -7.1844 -7.1669 -6.9450 -7.0667 -6.9242
107.9333 108.1000 107.4000 107.4800 107.7640 107.6000 108.1111 108.3637 108.3596 107.2176 107.5750 107.2140 107.4880 107.5674 107.3041 107.1730 107.2140 107.5761 107.3410 107.3002 107.5889 107.1736 107.3181 107.3634 107.9200 108.1100 108.3200 108.5833 109.0167 109.2801 108.9928 108.9579 107.7280 109.1500 109.0211 109.0916 109.3463 109.8670 109.4136
70
73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112
Wleri-kendal Ungaran Staklim-Semarang gn butak Kertek Jogjakarta Adisucipto Klaten pati Wonogiri Ayah Kedungwringin-kbm somagede-kbm sampangcom-kbm Gombong-kbm Rowokawuk-kbm Rembes-kbm karang gayam-kbm karang sambung-kbm Karang anyar-kbm adimulyo-kbm Kedungsamak-kbm kaligending-kbm Alian-Kbm petanahan-kbm klirong-kbm Rantewringen-kbm kotowinagun-kbm bedegolan-kbm Cluwak-pati Arjosari-pacitan kebon agung-pacitan pringkuku-pacitan Pacitan Ngadirejo Slahung babadan bollu kesugihan
-6.9711 -7.1111 -6.9800 -7.8151 -7.3875 -7.8166 -7.7857 -7.7000 -6.7372 -7.8167 -7.7200 -7.5500 -7.5747 -7.5813 -7.5945 -7.6025 -7.7167 -7.5892 -7.5474 -7.6179 -7.6667 -7.6332 -7.5819 -7.6000 -7.7500 -7.7500 -7.7333 -7.7167 -7.6833 -6.5348 -8.1241 -8.2191 -8.1903 -8.1936 -8.2053 -8.0207 -7.9806 -7.8210 -7.8441
110.0754 110.4135 110.4200 110.0322 109.9662 110.2948 110.4377 110.6000 111.0736 110.9333 109.4000 109.5333 109.5275 109.4992 109.5189 109.5434 109.4833 109.5799 109.6716 109.5836 109.5833 109.6529 109.6763 109.7000 109.5833 109.6330 109.6500 109.7333 109.7833 110.9346 111.1564 111.1560 111.0409 111.1065 111.3294 111.4160 111.5008 111.5441 111.6138
71
113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151
ngilo-ilo pahijo ponorogo pudak pulung purwantoro sawo Purwodadi lembeyan poncol Sarangan slagreng Madiun Balerejo Caruban catur CAU Dawuhan Dungus Gemarang Giringan gombal kandangan kare kertobayon notoputro pagotan pg.kanigoro saradan sareng Jiken-Blora Cawak dander jt blimbing kanor karang nongko kedung adem kerjo klepek
-7.9766 -7.8056 -7.8706 -7.8696 -7.8744 -7.9667 -7.9859 -7.5587 -7.7616 -7.7305 -7.6667 -7.6584 -7.6242 -7.5578 -7.5478 -7.7833 -7.7000 -7.5952 -7.6864 -7.6309 -7.7333 -7.7986 -7.7589 -7.7189 -7.6723 -7.4837 -7.7030 -7.5167 -7.5531 -7.7468 -7.0086 -7.1994 -7.2753 -7.2446 -7.0794 -7.4220 -7.3658 -7.2289 -7.2825
111.4092 111.3231 111.4750 111.7142 111.6198 111.5833 111.5918 111.4260 111.4030 111.2657 111.2167 111.2781 111.5205 111.6047 111.5700 111.6833 111.6333 111.6274 111.6110 111.7406 111.2667 111.5212 111.6994 111.6887 111.5315 111.6918 111.5370 111.5333 111.7502 111.5543 111.5086 112.1200 111.8535 111.8725 112.0533 111.8211 112.0547 112.0945 111.9185
72
152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181
merkuris sumber rejo tretes Bojonegoro rembang Kerek bejeng cerme Duduksampeyan gresik lowayu mentaras Tambak Ombo kab lamongan Pujon Bantur-malang Tulung agung Kencong Srengat Ranuklakah Bondowoso Stamet Juanda Gubeng kandangan Simo Pasewaran Socah Tanjung Bumi Kalianget pakong
-7.3461 -7.3000 -7.3626 -7.1485 -6.6250 -6.9004 -7.2604 -7.2190 -7.1653 -7.1749 -6.9786 -6.9704 -7.0774 -7.1205 -7.8350 -8.3009 -8.0585 -7.7611 -8.0608 -7.9863 -7.9217 -7.2237 -7.2673 -7.2552 -7.2684 -7.9803 -7.0900 -6.8909 -7.0413 -7.0313
112.3153 112.0167 111.8705 111.9268 111.5015 111.8836 112.5085 112.5557 112.5733 112.5777 112.4195 112.4509 112.5733 112.4176 112.4668 112.5693 111.9076 112.2344 112.0606 113.2684 113.8175 112.7239 112.7502 112.6579 112.7505 114.2919 112.7200 113.0744 113.9156 113.5474
73
LAMPIRAN 3 Daftar Wilayah Kabupaten di Jawa Berdasarkan ZOM ZOM 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kabupaten Pemalang Pandeglang, Lebak (Banten Selatan) Banyumas Tangerang,Serang (Banten utara) Jogja Gresik Sukabumi,Cianjur, Purwakarta Karawang bagian Utara Kuningan,Cirebon Semarang, Klaten DKI Jakarta, Bekasi, Bogor Bandung, Sumedang Blora Garut, Cianjur, Tasik bagian Selatan Brebes, Tegal Wonogiri Purwodadi, Blora Kediri, Magetan Malang Gresik, bagian utara Karawang bagian Selatan, Bekasi bagian Timur Cilacap kebumen Kerawang bagian Timur Indramayu Gresik, Surabaya, Jombang, Banyuwangi Blitar bagian Utara, Sebagian Jombang Blitar,Kediri,Nganjuk Tulung Agung, Trenggalek Madiun,Ngawi, Blora bagian utara Rembang,Tuban, Bojonegoro
74
LAMPIRAN 4 Korelasi Spasial AMH vs SML Pola-1
ZOM 1
ZOM 10
ZOM 16
ZOM 21
75
Korelasi Spasial ZOM vs SML Pola-2
ZOM 2
ZOM 3
ZOM 4
ZOM 5
ZOM 6
ZOM 7
76
Korelasi Spasial ZOM vs SML Pola-2
ZOM 8
ZOM 9
ZOM 11
ZOM 13
ZOM 17
ZOM 18
77
Korelasi Spasial ZOM vs SML Pola-2
ZOM 19
ZOM 20
ZOM 22
ZOM 23
ZOM 24
ZOM 26
78
Korelasi Spasial ZOM vs SML Pola-2
ZOM 27
ZOM 29
79
Korelasi Spasial AMH vs ZOM Pola-3
ZOM 12
ZOM 14
ZOM 15
ZOM 25
ZOM 28
ZOM 30
80
LAMPIRAN 5 Grafik Scree Plot Tiap Pola Hubungan Korelasi Scree Plot Prediktor Pola-1 160 140
Eigenvalue
120 100 80 60 40 20 0 1
20
40
60
80 100 120 Component Number
140
160
180
200
Scree Plot Prediktor Pola-2 160 140
Eigenvalue
120 100 80 60 40 20 0 1
20
40
60
80 100 120 140 Component Number
160
180
200
81
Scree Plot Prediktor Scree Plot of C1, ...,Pola-3 C55 40
Eigenvalue
30
20
10
0 1
5
10
15
20 25 30 35 Component Number
40
45
50
55
82
LAMPIRAN 6 Hasil Regresi Tiap ZOM ZOM 1 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 34.4 + 0.0369 PC1 + 0.0946 PC2 Predictor Coef SECoef T Constant 34.3667 0.3037 113.15 PC1 0.03688 0.02461 1.50 PC2 0.09459 0.07255 1.30 PC3 0.01779 0.09527 0.19
S = 1.66355
R-Sq = 13.3%
+ 0.0178 PC3 P VIF 0.000 0.146 1.0 0.204 1.0 0.853 1.0
R-Sq(adj) = 3.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 11.014 71.953 82.967
MS 3.671 2.767
F 1.33
P 0.287
DFSeq SS 1 6.214 1 4.703 1 0.096
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 17 7.5 35.000 34.059
SE Fit 1.106
Residual 0.941
St Resid 0.76 X
X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
3.0
90
1.5
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1
-2
0 Residual
2
4
33.0
Hist ogram of t he Residuals
33.6
34.2 Fitted Value
34.8
35.4
Residuals Versus t he Order of t he Dat a 3.0 1.5
3.6
Residual
Frequency
-1.5 -3.0
-4
4.8
2.4 1.2 0.0
0.0
0.0 -1.5 -3.0
-2.4
-1.2
0.0 Residual
1.2
2.4
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
83
ZOM 2 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 32.4 + 0.0756 PC1 - 0.114 PC2 + 0.056 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 32.4271 0.07564 -0.11396 0.0561
S = 1.91192
SECoef 0.3507 0.02827 0.07821 0.1008
R-Sq = 27.6%
T 92.48 2.68 -1.46 0.56
P VIF 0.000 0.013 1.0 0.157 1.0 0.583 1.0
R-Sq(adj) = 19.2%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 36.159 95.041 131.200
MS 12.053 3.655
F 3.30
P 0.036
DFSeq SS 1 27.838 1 7.189 1 1.131
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 15 6.2 28.000 31.759 17 9.1 32.000 33.461
SE Fit 0.828 1.253
Residual -3.759 -1.461
St Resid -2.18R -1.01 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
4
90
2
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1 -5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
0 -2 -4
5.0
32.4 Fitted Value
33.6
34.8
4 2
7.5
Residual
Frequency
31.2
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
Hist ogram of t he Residuals 10.0
5.0 2.5 0.0
30.0
-4
-3
-2
-1 0 Residual
1
2
3
0 -2 -4
2
4
6
8
10 12
14 16
18
20 22
Obser vation Or der
24 26
28 30
84
ZOM 3 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 31.6 + 0.0701 PC1 - 0.210 PC2 + 0.0064 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 31.5821 0.07008 -0.20999 0.00645
S = 1.54687
SECoef 0.2837 0.02287 0.06328 0.08154
R-Sq = 45.2%
T 111.32 3.06 -3.32 0.08
P VIF 0.000 0.005 1.0 0.003 1.0 0.938 1.0
R-Sq(adj) = 38.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 51.254 62.213 113.467
MS 17.085 2.393
F 7.14
P 0.001
DFSeq SS 1 24.682 1 26.556 1 0.015
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 17 9.1 32.000 33.882
SE Fit 1.014
Residual -1.882
St Resid -1.61 X
X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
3.0
90
1.5
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1
-4
-2
0 Residual
2
30
32 Fitted Value
34
Residuals Versus t he Order of t he Dat a 3.0
4.8
1.5
3.6
Residual
Frequency
-1.5 -3.0
4
Hist ogram of t he Residuals
2.4 1.2 0.0
0.0
-2.4
-1.2
0.0 Residual
1.2
2.4
0.0 -1.5 -3.0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
85
ZOM 4 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 29.9 + 0.0813 PC1 - 0.175 PC2 + 0.007 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 29.9019 0.08129 -0.17457 0.0068
S = 2.10071
SECoef 0.3853 0.03106 0.08594 0.1107
R-Sq = 30.7%
T 77.61 2.62 -2.03 0.06
P VIF 0.000 0.015 1.0 0.053 1.0 0.951 1.0
R-Sq(adj) = 22.7%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 50.729 114.738 165.467
MS 16.910 4.413
F 3.83
P 0.021
DFSeq SS 1 32.386 1 18.326 1 0.017
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 15 6.2 25.000 28.833 17 9.1 30.000 32.008 30 -5.7 34.000 28.906
SE Fit 0.910 1.377 0.534
Residual -3.833 -2.008 5.094
St Resid -2.02R -1.27 X 2.51R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Residual Plots for AMH Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
5.0
Residual
Percent
90 50 10 1 -5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
0.0 -2.5 -5.0
5.0
Hist ogram of t he Residuals
5.0
6
2.5
4
28.5
30.0 Fitted Value
31.5
33.0
0.0 -2.5
2 0
27.0
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
8
Residual
Frequency
2.5
-4
-2
0 Residual
2
4
-5.0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
86
ZOM 5 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 33.7 + 0.0451 PC1 - 0.0298 PC2 + 0.116 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 33.6531 0.04511 -0.02981 0.1160
S = 2.30313
SECoef 0.4224 0.03405 0.09422 0.1214
R-Sq = 9.8%
T 79.67 1.32 -0.32 0.96
P VIF 0.000 0.197 1.0 0.754 1.0 0.348 1.0
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 15.052 137.915 152.967
MS 5.017 5.304
F 0.95
P 0.433
DFSeq SS 1 9.978 1 0.230 1 4.844
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 16 7.9 29.000 33.537 17 9.1 32.000 33.082 25 15.9 40.000 34.101
SE Fit 0.692 1.510 0.881
Residual -4.537 -1.082 5.899
St Resid -2.07R -0.62 X 2.77R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
Residuals Versus t he Fit t ed Values
99 5.0
Residual
Percent
90 50
0.0 -2.5
10 1
2.5
-5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
-5.0
5.0
Hist ogram of t he Residuals
32
33
34 Fitted Value
35
36
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
8
Residual
Frequency
5.0 6 4 2 0
2.5 0.0 -2.5
-4
-2
0 2 Residual
4
6
-5.0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
87
ZOM 6 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 36.4 + 0.0058 PC1 + 0.0580 PC2 - 0.025 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 36.3761 0.00579 0.05801 -0.0247
S = 1.99030
SECoef 0.3650 0.02943 0.08142 0.1049
R-Sq = 2.1%
T 99.65 0.20 0.71 -0.24
P VIF 0.000 0.846 1.0 0.482 1.0 0.816 1.0
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 2.206 102.994 105.200
MS 0.735 3.961
F 0.19
P 0.905
DFSeq SS 1 0.100 1 1.886 1 0.219
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 17 9.1 37.000 36.211 20 26.1 41.000 36.186 25 15.9 33.000 36.826
SE Fit 1.305 1.055 0.761
Residual 0.789 4.814 -3.826
St Resid 0.53 X 2.85R -2.08R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
5.0
90
2.5
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1 -5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
-2.5 -5.0
5.0
Hist ogram of t he Residuals
5.0
7.5
2.5
5.0 2.5 0.0
-4
-2
0 Residual
2
4
36.00
36.25 36.50 Fitted Value
36.75
37.00
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
10.0
Residual
Frequency
0.0
0.0 -2.5 -5.0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
88
ZOM 7 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 31.4 + 0.115 PC1 - 0.0575 PC2 - 0.175 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 31.3571 0.11499 -0.05747 -0.1751
S = 2.06648
SECoef 0.3790 0.03055 0.08454 0.1089
R-Sq = 40.0%
T 82.74 3.76 -0.68 -1.61
P VIF 0.000 0.001 1.0 0.503 1.0 0.120 1.0
R-Sq(adj) = 33.1%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 74.171 111.029 185.200
MS 24.724 4.270
F 5.79
P 0.004
DFSeq SS 1 59.900 1 3.233 1 11.039
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit 9 3.4 28.000 32.141 0.577 15 6.2 27.000 31.930 0.895 17 9.1 34.000 34.726 1.355
Residual -4.141 -4.930 -0.726
St Resid -2.09R -2.65R -0.47 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
4
90
2
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1
0 -2 -4
-5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
5.0
28
Hist ogram of t he Residuals
30
32 Fitted Value
34
Residuals Versus t he Order of t he Dat a 4 2
6
Residual
Frequency
8
4 2 0
0 -2 -4
-4
-2 0 Residual
2
2
4
6
8
10 12
14 16
18
20 22
Observation Order
24 26
28 30
89
ZOM 8 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 35.3 + 0.0143 PC1 + 0.126 PC2 + 0.000 PC3 Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 35.3333 0.01432 0.12563 0.0003
S = 2.07023
SECoef 0.3780 0.03063 0.09029 0.1186
R-Sq = 7.7%
T 93.48 0.47 1.39 0.00
P VIF 0.000 0.644 1.0 0.176 1.0 0.998 1.0
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 9.234 111.432 120.667
MS 3.078 4.286
F 0.72
P 0.550
DFSeq SS 1 0.938 1 8.297 1 0.000
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit 7 -10.9 27.000 34.811 0.622 17 7.5 36.000 34.908 1.376
Residual -7.811 1.092
St Resid -3.96R 0.71 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals 99
Residual
Percent
90 50
0
-4
10 -8
1
-5
0
5
Residual
34
35 Fitted Value
36
Hist ogram of t he Residuals
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
7.5
Residual
Frequency
10.0
5.0
0
-4
2.5 0.0
-8 -8
-6
-4 -2 Residual
0
2
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
90
ZOM 9 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 32.0 + 0.0582 PC1 - 0.112 PC2 + 0.0539 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 32.0303 0.05823 -0.11198 0.05393
S = 1.58405
SECoef 0.2905 0.02342 0.06480 0.08350
T 110.25 2.49 -1.73 0.65
R-Sq = 27.5%
P VIF 0.000 0.020 1.0 0.096 1.0 0.524 1.0
R-Sq(adj) = 19.1%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 24.760 65.240 90.000
MS 8.253 2.509
F 3.29
P 0.036
DFSeq SS 1 16.758 1 6.955 1 1.047
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 17 9.1 33.000 32.912
SE Fit 1.039
Residual 0.088
St Resid 0.07 X
X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
3.0
90
1.5
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1
-4
-2
0 Residual
2
0.0 -1.5 -3.0
4
Hist ogram of t he Residuals
30
31
32 Fitted Value
33
34
Residuals Versus t he Order of t he Dat a 3.0
6
Residual
Frequency
8
4 2 0
-2.4
-1.2
0.0 Residual
1.2
2.4
1.5 0.0 -1.5 -3.0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
91
ZOM 10 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 34.5 + 0.0048 PC1 - 0.113 PC2 + 0.135 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 34.4589 0.00479 -0.11326 0.1354
S = 1.98186
SECoef 0.3635 0.02930 0.08107 0.1045
T 94.80 0.16 -1.40 1.30
R-Sq = 11.4%
P VIF 0.000 0.871 1.0 0.174 1.0 0.206 1.0
R-Sq(adj) = 1.1%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 13.078 102.122 115.200
MS 4.359 3.928
F 1.11
P 0.363
DFSeq SS 1 0.277 1 6.201 1 6.601
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 17 9.1 34.000 34.005 21 -16.8 29.000 32.834 23 -11.7 39.000 35.051 24 1.5 38.000 33.955
SE Fit 1.299 1.020 0.670 0.512
Residual -0.005 -3.834 3.949 4.045
St Resid -0.00 X -2.26R 2.12R 2.11R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
5.0
90
2.5
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1 -5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
-5.0
5.0
Hist ogram of t he Residuals
5.0
6
2.5
4 2 0
-4
-2
0 Residual
2
33
34 Fitted Value
35
36
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
8
Residual
Frequency
0.0 -2.5
4
0.0 -2.5 -5.0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
92
ZOM 11 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 34.2 + 0.0565 PC1 - 0.0505 PC2 - 0.033 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 34.2291 0.05650 -0.05053 -0.0327
S = 2.11554
SECoef 0.3880 0.03128 0.08654 0.1115
R-Sq = 12.7%
T 88.22 1.81 -0.58 -0.29
P VIF 0.000 0.082 1.0 0.564 1.0 0.772 1.0
R-Sq(adj) = 2.7%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 17.003 116.364 133.367
MS 5.668 4.476
F 1.27
P 0.306
DFSeq SS 1 14.890 1 1.729 1 0.384
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 17 9.1 35.000 35.504 26 2.9 30.000 34.366
SE Fit 1.387 0.429
Residual -0.504 -4.366
St Resid -0.32 X -2.11R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values 5.0
90
2.5
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals 99
50 10 1 -5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
-5.0
5.0
Hist ogram of t he Residuals
5.0
6
2.5
4 2 0
-4
-2
0 Residual
2
33
34 Fitted Value
35
36
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
8
Residual
Frequency
0.0 -2.5
4
0.0 -2.5 -5.0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
93
ZOM 12 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2 The regression equation is AMH = 33.1 - 0.266 PC1 + 0.068 PC2
Predictor Constant PC1 PC2
Coef 33.1379 -0.26585 0.0685
S = 2.22383
SECoef 0.4064 0.06745 0.1239
T 81.54 -3.94 0.55
R-Sq = 37.0%
P VIF 0.000 0.001 1.0 0.585 1.0
R-Sq(adj) = 32.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2
DF 2 27 29
SS 78.341 133.526 211.867
MS 39.170 4.945
F 7.92
P 0.002
DFSeq SS 1 76.831 1 1.510
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 1 -5.3 34.000 35.252 9 -3.2 30.000 34.346 17 -16.3 42.000 37.557 27 -1.0 39.000 33.452
SE Fit 1.392 0.796 1.199 0.422
Residual -1.252 -4.346 4.443 5.548
St Resid -0.72 X -2.09R 2.37R 2.54R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
5.0
Residual
Percent
90 50
-5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
-5.0
5.0
Hist ogram of t he Residuals
32
34 Fitted Value
36
38
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
6
Residual
Frequency
30
5.0
8
4
2.5 0.0 -2.5
2 0
0.0 -2.5
10 1
2.5
-4
-2
0 2 Residual
4
6
-5.0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
94
ZOM 13 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2 The regression equation is AMH = 32.3 - 0.0103 PC1 + 0.121 PC2
Predictor Constant PC1 PC2
Coef 32.3361 -0.01026 0.1207
S = 3.12614
SECoef 0.5713 0.09482 0.1742
R-Sq = 1.8%
T 56.60 -0.11 0.69
P VIF 0.000 0.915 1.0 0.494 1.0
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2
DF 2 27 29
SS 4.802 263.864 268.667
MS 2.401 9.773
F 0.25
P 0.784
DFSeq SS 1 0.114 1 4.688
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit 1 -5.3 29.000 33.635 1.957 9 -3.2 40.000 32.995 1.119
Residual -4.635 7.005
St Resid -1.90 X 2.40R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
Residuals Versus t he Fit t ed Values
99 6
Residual
Percent
90 50
0 -3
10 1
3
-8
-4
0 Residual
4
-6 31.5
8
Hist ogram of t he Residuals
33.5
6
6
Residual
Frequency
32.5 33.0 Fitted Value
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
8
4 2 0
32.0
3 0 -3
-6
-4
-2
0 2 Residual
4
6
8
-6
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
95
ZOM 14 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2 The regression equation is AMH = 33.2 - 0.183 PC1 - 0.0561 PC2
Predictor Constant PC1 PC2
Coef 33.2156 -0.18253 -0.05611
S = 1.70985
SECoef 0.3125 0.05186 0.09528
R-Sq = 32.0%
T 106.30 -3.52 -0.59
P VIF 0.000 0.002 1.0 0.561 1.0
R-Sq(adj) = 27.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2
DF 2 27 29
SS 37.230 78.937 116.167
MS 18.615 2.924
F 6.37
P 0.005
DFSeq SS 1 36.216 1 1.014
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit 1 -5.3 33.000 33.604 1.071
Residual -0.604
St Resid -0.45 X
X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
3.0
Residual
Percent
90 50 10 1
-4
-2
0 Residual
2
0.0 -1.5 -3.0 30.0
4
Hist ogram of t he Residuals
3.0
4.5
1.5
3.0
33.0 34.5 Fitted Value
36.0
0.0 -1.5
1.5 0.0
31.5
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
6.0
Residual
Frequency
1.5
-2.4
-1.2
0.0 Residual
1.2
2.4
-3.0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
96
ZOM 15 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2 The regression equation is AMH = 31.9 - 0.106 PC1 - 0.126 PC2
Predictor Constant PC1 PC2
Coef 31.8951 -0.10609 -0.1263
S = 2.10904
SECoef 0.3854 0.06397 0.1175
R-Sq = 12.6%
T 82.75 -1.66 -1.07
P VIF 0.000 0.109 1.0 0.292 1.0
R-Sq(adj) = 6.2%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2
DF 2 27 29
SS 17.369 120.098 137.467
MS 8.684 4.448
F 1.95
P 0.161
DFSeq SS 1 12.233 1 5.136
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit 1 -5.3 31.000 31.155 1.321
Residual -0.155
St Resid -0.09 X
X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
5.0
90
2.5
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1
-5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
0.0 -2.5 -5.0
5.0
Hist ogram of t he Residuals
30
31
32 Fitted Value
33
34
Residuals Versus t he Order of t he Dat a 5.0 2.5
6
Residual
Frequency
8
4 2 0
-4
-2
0 Residual
2
4
0.0 -2.5 -5.0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
97
ZOM 16 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 34.2 + 0.0410 PC1 + 0.0329 PC2 - 0.159 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 34.2333 0.04102 0.03294 -0.1594
S = 1.76896
SECoef 0.3230 0.02617 0.07715 0.1013
T 106.00 1.57 0.43 -1.57
R-Sq = 16.4%
P VIF 0.000 0.129 1.0 0.673 1.0 0.128 1.0
R-Sq(adj) = 6.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 16.007 81.360 97.367
MS 5.336 3.129
F 1.71
P 0.191
DFSeq SS 1 7.689 1 0.570 1 7.747
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit Residual St Resid 17 7.5 37.000 36.079 1.176 0.921 0.70 X 20 25.5 38.000 34.484 0.920 3.516 2.33R 26 3.3 38.000 34.433 0.507 3.567 2.10R R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
4
90
2
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1 -5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
0 -2 -4
5.0
Hist ogram of t he Residuals
33
34 35 Fitted Value
36
Residuals Versus t he Order of t he Dat a 4
6
Residual
Frequency
8
4 2 0
-3
-2
-1
0 1 Residual
2
3
4
2 0 -2 -4
2
4
6
8
10 12
14 16
18
20 22
Observation Order
24 26
28 30
98
ZOM 17 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 33.2 + 0.0667 PC1 - 0.230 PC2 - 0.258 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 33.1733 0.06673 -0.23040 -0.25836
S = 1.54581
SECoef 0.2835 0.02286 0.06324 0.08149
T 117.01 2.92 -3.64 -3.17
R-Sq = 57.5%
P VIF 0.000 0.007 1.0 0.001 1.0 0.004 1.0
R-Sq(adj) = 52.6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 84.039 62.128 146.167
MS 28.013 2.390
F 11.72
P 0.000
DFSeq SS 1 21.133 1 38.886 1 24.019
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 17 9.1 38.000 38.411 23 -11.7 28.000 31.891
SE Fit 1.013 0.523
Residual -0.411 -3.891
St Resid -0.35 X -2.67R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals 99 2
Residual
Percent
90 50 10 1
0 -2 -4
-4
-2
0 Residual
2
4
30
Hist ogram of t he Residuals
38
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
6
Residual
Frequency
34 36 Fitted Value
2
8
4 2 0
32
0 -2 -4
-4
-3
-2
-1 0 Residual
1
2
3
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
99
ZOM 18 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 34.0 + 0.0944 PC1 - 0.150 PC2 - 0.0115 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 33.9545 0.09438 -0.15040 -0.01154
S = 1.78828
SECoef 0.3280 0.02644 0.07316 0.09427
R-Sq = 40.6%
T 103.53 3.57 -2.06 -0.12
P VIF 0.000 0.001 1.0 0.050 1.0 0.903 1.0
R-Sq(adj) = 33.7%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 56.720 83.147 139.867
MS 18.907 3.198
F 5.91
P 0.003
DFSeq SS 1 42.787 1 13.885 1 0.048
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit 1 -12.9 31.000 34.263 0.930 11 -26.8 34.000 30.839 0.923 17 9.1 38.000 36.174 1.172 20 26.1 40.000 36.916 0.948
Residual -3.263 3.161 1.826 3.084
St Resid -2.14R 2.06R 1.35 X 2.03R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
4
90
2
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1 -5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
0 -2 -4 30.0
5.0
Hist ogram of t he Residuals
31.5
33.0 34.5 Fitted Value
36.0
Residuals Versus t he Order of t he Dat a 4
6
Residual
Frequency
8
4 2 0
-3
-2
-1
0 Residual
1
2
3
2 0 -2 -4
2
4
6
8
10 12
14 16
18
20 22
Obser vation Or der
24 26
28 30
100
ZOM 19 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 35.7 + 0.0446 PC1 - 0.281 PC2 + 0.156 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 35.6713 0.04462 -0.28073 0.15605
S = 1.73059
SECoef 0.3174 0.02559 0.07080 0.09123
R-Sq = 44.9%
T 112.39 1.74 -3.97 1.71
P VIF 0.000 0.093 1.0 0.001 1.0 0.099 1.0
R-Sq(adj) = 38.6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 63.498 77.869 141.367
MS 21.166 2.995
F 7.07
P 0.001
DFSeq SS 1 11.622 1 43.113 1 8.763
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 17 9.1 36.000 36.742
SE Fit 1.135
Residual -0.742
St Resid -0.57 X
X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
3.0
Residual
Percent
90 50 10 1
0.0 -1.5 -3.0
-4
-2
0 Residual
2
4
32
Hist ogram of t he Residuals
3.0
4.5
1.5
3.0 1.5 0.0
34
36 Fitted Value
38
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
6.0
Residual
Frequency
1.5
0.0 -1.5 -3.0
-2.4
-1.2
0.0 Residual
1.2
2.4
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
101
ZOM 20 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 33.6 + 0.0443 PC1 - 0.133 PC2 - 0.0567 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 33.6195 0.04435 -0.13260 -0.05667
S = 1.60440
SECoef 0.2943 0.02372 0.06563 0.08458
T 114.25 1.87 -2.02 -0.67
R-Sq = 25.0%
P VIF 0.000 0.073 1.0 0.054 1.0 0.509 1.0
R-Sq(adj) = 16.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 22.274 66.926 89.200
MS 7.425 2.574
F 2.88
P 0.055
DFSeq SS 1 9.645 1 11.473 1 1.156
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 17 9.1 35.000 35.715
SE Fit 1.052
Residual -0.715
St Resid -0.59 X
X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
3.0
90
1.5
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1
-4
-2
0 Residual
2
-3.0
4
Hist ogram of t he Residuals
33
34 Fitted Value
35
36
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
3.6
Residual
Frequency
32
3.0
4.8
2.4 1.2 0.0
0.0 -1.5
-2.4
-1.2
0.0 Residual
1.2
2.4
1.5 0.0 -1.5 -3.0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
102
ZOM 21 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 35.5 + 0.0587 PC1 + 0.228 PC2 + 0.010 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 35.4667 0.05867 0.22769 0.0100
S = 1.90600
SECoef 0.3480 0.02820 0.08313 0.1092
T 101.92 2.08 2.74 0.09
R-Sq = 31.3%
P VIF 0.000 0.047 1.0 0.011 1.0 0.927 1.0
R-Sq(adj) = 23.4%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 43.013 94.453 137.467
MS 14.338 3.633
F 3.95
P 0.019
DFSeq SS 1 15.729 1 27.254 1 0.031
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 10 26.0 33.000 36.977 17 7.5 36.000 34.843
SE Fit 0.832 1.267
Residual -3.977 1.157
St Resid -2.32R 0.81 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
4
90
2
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10
0 -2 -4
1 -5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
5.0
33
Hist ogram of t he Residuals
37
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
2
6
Residual
Frequency
35 36 Fitted Value
4
8
4 2 0
34
0 -2 -4
-4
-3
-2
-1 0 Residual
1
2
3
2
4
6
8
10 12
14 16
18
20 22
Obser vation Or der
24 26
28 30
103
ZOM 22 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 30.9 + 0.115 PC1 - 0.222 PC2 - 0.0489 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 30.8980 0.11475 -0.22194 -0.04892
S = 1.73258
SECoef 0.3178 0.02562 0.07088 0.09133
R-Sq = 55.0%
T 97.24 4.48 -3.13 -0.54
P VIF 0.000 0.000 1.0 0.004 1.0 0.597 1.0
R-Sq(adj) = 49.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 95.419 78.047 173.467
MS 31.806 3.002
F 10.60
P 0.000
DFSeq SS 1 63.549 1 31.009 1 0.861
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 9 3.4 29.000 32.387 17 9.1 34.000 34.287 20 26.1 38.000 34.466
SE Fit 0.483 1.136 0.918
Residual -3.387 -0.287 3.534
St Resid -2.04R -0.22 X 2.41R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
4
90
2
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1
-4
-2
0 Residual
2
0 -2 -4
4
4
7.5
2
5.0 2.5 0.0
-3
-2
-1
0 1 Residual
2
3
28
30 Fitted Value
32
34
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
10.0
Residual
Frequency
Hist ogram of t he Residuals
26
4
0 -2 -4
2
4
6
8
10 12
14 16
18
20 22
Obser vation Or der
24 26
28 30
104
ZOM 23 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 30.9 + 0.115 PC1 - 0.222 PC2 - 0.0489 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 30.8980 0.11475 -0.22194 -0.04892
S = 1.73258
SECoef 0.3178 0.02562 0.07088 0.09133
R-Sq = 55.0%
T 97.24 4.48 -3.13 -0.54
P VIF 0.000 0.000 1.0 0.004 1.0 0.597 1.0
R-Sq(adj) = 49.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 95.419 78.047 173.467
MS 31.806 3.002
F 10.60
P 0.000
DFSeq SS 1 63.549 1 31.009 1 0.861
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 9 3.4 29.000 32.387 17 9.1 34.000 34.287 20 26.1 38.000 34.466
SE Fit 0.483 1.136 0.918
Residual -3.387 -0.287 3.534
St Resid -2.04R -0.22 X 2.41R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
4
90
2
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1
-4
-2
0 Residual
2
0 -2 -4
4
4
7.5
2
5.0 2.5 0.0
-3
-2
-1
0 1 Residual
2
3
28
30 Fitted Value
32
34
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
10.0
Residual
Frequency
Hist ogram of t he Residuals
26
4
0 -2 -4
2
4
6
8
10 12
14 16
18
20 22
Observation Order
24 26
28 30
105
ZOM 24 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 35.2 + 0.0549 PC1 - 0.0463 PC2 + 0.0336 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 35.2404 0.05491 -0.04628 0.03357
S = 1.58694
SECoef 0.2910 0.02346 0.06492 0.08366
R-Sq = 19.5%
T 121.08 2.34 -0.71 0.40
P VIF 0.000 0.027 1.0 0.482 1.0 0.691 1.0
R-Sq(adj) = 10.2%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 15.889 65.478 81.367
MS 5.296 2.518
F 2.10
P 0.124
DFSeq SS 1 14.348 1 1.135 1 0.406
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 17 9.1 36.000 35.766 24 1.5 39.000 35.109
SE Fit 1.040 0.410
Residual 0.234 3.891
St Resid 0.20 X 2.54R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
4
Residual
Percent
90 50 10 1
2 0 -2
-4
-2
0 Residual
2
4
33
Hist ogram of t he Residuals
34
35 Fitted Value
36
37
Residuals Versus t he Order of t he Dat a 4
6
Residual
Frequency
8
4 2 0
2 0 -2
-3
-2
-1
0 1 Residual
2
3
4
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
106
ZOM 25 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2 The regression equation is AMH = 34.6 - 0.114 PC1 - 0.166 PC2
Predictor Constant PC1 PC2
Coef 34.6306 -0.11401 -0.16577
S = 1.39072
SECoef 0.2542 0.04218 0.07750
T 136.25 -2.70 -2.14
R-Sq = 30.6%
P VIF 0.000 0.012 1.0 0.042 1.0
R-Sq(adj) = 25.4%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2
DF 2 27 29
SS 22.979 52.221 75.200
MS 11.490 1.934
F 5.94
P 0.007
DFSeq SS 1 14.129 1 8.850
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit 1 -5.3 35.000 33.525 0.871 24 6.6 31.000 33.869 0.370
Residual 1.475 -2.869
St Resid 1.36 X -2.14R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
3.0
90
1.5
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1
-3.0 -4
-2
0 Residual
2
4
32
Hist ogram of t he Residuals
3.0
6
1.5
4 2 0
33
34 35 Fitted Value
36
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
8
Residual
Frequency
0.0 -1.5
0.0 -1.5 -3.0
-2.4
-1.2
0.0 Residual
1.2
2.4
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
107
ZOM 26 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 30.9 + 0.115 PC1 - 0.222 PC2 - 0.0489 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 30.8980 0.11475 -0.22194 -0.04892
S = 1.73258
SECoef 0.3178 0.02562 0.07088 0.09133
R-Sq = 55.0%
T 97.24 4.48 -3.13 -0.54
P VIF 0.000 0.000 1.0 0.004 1.0 0.597 1.0
R-Sq(adj) = 49.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 95.419 78.047 173.467
MS 31.806 3.002
F 10.60
P 0.000
DFSeq SS 1 63.549 1 31.009 1 0.861
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 9 3.4 29.000 32.387 17 9.1 34.000 34.287 20 26.1 38.000 34.466
SE Fit 0.483 1.136 0.918
Residual -3.387 -0.287 3.534
St Resid -2.04R -0.22 X 2.41R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
4
90
2
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1
-4
-2
0 Residual
2
0 -2 -4
4
4
7.5
2
5.0 2.5 0.0
-3
-2
-1
0 1 Residual
2
3
28
30 Fitted Value
32
34
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
10.0
Residual
Frequency
Hist ogram of t he Residuals
26
4
0 -2 -4
2
4
6
8
10 12
14 16
18
20 22
Obser vation Or der
24 26
28 30
108
ZOM 27 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 33.9 + 0.0821 PC1 + 0.0399 PC2 - 0.0954 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 33.8833 0.08206 0.03985 -0.09536
S = 1.82091
SECoef 0.3340 0.02692 0.07449 0.09599
R-Sq = 28.1%
T 101.46 3.05 0.54 -0.99
P VIF 0.000 0.005 1.0 0.597 1.0 0.330 1.0
R-Sq(adj) = 19.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 33.659 86.208 119.867
MS 11.220 3.316
F 3.38
P 0.033
DFSeq SS 1 29.791 1 0.595 1 3.273
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit 17 9.1 33.000 35.308
SE Fit 1.194
Residual -2.308
St Resid -1.68 X
X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
3.0
Residual
Percent
90 50 10
0.0 -1.5 -3.0
1 -5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
5.0
32
Hist ogram of t he Residuals
3.0
6
1.5
4 2 0
33
34 Fitted Value
35
36
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
8
Residual
Frequency
1.5
0.0 -1.5 -3.0
-2.4
-1.2
0.0 Residual
1.2
2.4
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
109
ZOM 28 The regression equation is AMH = 34.8 - 0.105 PC1 - 0.177 PC2
Predictor Constant PC1 PC2
Coef 34.8281 -0.10497 -0.17675
S = 1.64159
SECoef 0.3000 0.04979 0.09147
T 116.09 -2.11 -1.93
R-Sq = 23.2%
P VIF 0.000 0.044 1.0 0.064 1.0
R-Sq(adj) = 17.6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2
DF 2 27 29
SS 22.040 72.760 94.800
MS 11.020 2.695
F 4.09
P 0.028
DFSeq SS 1 11.978 1 10.062
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit 1 -5.3 34.000 33.561 1.028 12 7.3 37.000 33.458 0.557
Residual 0.439 3.542
St Resid 0.34 X 2.29R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
4
Residual
Percent
90 50 10 1
2 0 -2
-4
-2
0 Residual
2
4
32
4
6
2
4 2 0
34 35 Fitted Value
36
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
8
Residual
Frequency
Hist ogram of t he Residuals
33
0 -2
-3
-2
-1
0 1 Residual
2
3
4
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
110
ZOM 29 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2, PC3 The regression equation is AMH = 34.2 + 0.0339 PC1 - 0.165 PC2 + 0.0922 PC3
Predictor Constant PC1 PC2 PC3
Coef 34.2265 0.03395 -0.16547 0.09225
S = 1.13918
SECoef 0.2089 0.01684 0.04660 0.06005
T 163.82 2.02 -3.55 1.54
R-Sq = 42.0%
P VIF 0.000 0.054 1.0 0.001 1.0 0.137 1.0
R-Sq(adj) = 35.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2 PC3
DF 3 26 29
SS 24.426 33.741 58.167
MS 8.142 1.298
F 6.27
P 0.002
DFSeq SS 1 6.390 1 14.974 1 3.062
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit 6 1.7 32.000 34.908 0.344 7 -10.3 36.000 33.665 0.291 17 9.1 36.000 34.924 0.747
Residual -2.908 2.335 1.076
St Resid -2.68R 2.12R 1.25 X
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
3.0
90
1.5
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1
-3.0 -3.0
-1.5
0.0 Residual
1.5
3.0
32
Hist ogram of t he Residuals
3.0
6
1.5
4 2 0
33
34 Fitted Value
35
36
Residuals Versus t he Order of t he Dat a
8
Residual
Frequency
0.0 -1.5
0.0 -1.5 -3.0
-2.4
-1.2
0.0 Residual
1.2
2.4
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
111
ZOM 30 Regression Analysis: AMH versus PC1, PC2 The regression equation is AMH = 33.0 - 0.163 PC1 - 0.177 PC2
Predictor Constant PC1 PC2
Coef 32.9771 -0.16329 -0.1767
S = 2.25111
SECoef 0.4114 0.06828 0.1254
R-Sq = 22.2%
T 80.16 -2.39 -1.41
P VIF 0.000 0.024 1.0 0.170 1.0
R-Sq(adj) = 16.4%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PC1 PC2
DF 2 27 29
SS 39.044 136.823 175.867
MS 19.522 5.068
F 3.85
P 0.034
DFSeq SS 1 28.985 1 10.059
Unusual Observations Obs PC1 AMH Fit SE Fit 1 -5.3 33.000 32.020 1.410
Residual 0.980
St Resid 0.56 X
X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for AMH Residuals Versus t he Fit t ed Values
99
5.0
90
2.5
Residual
Percent
Normal Probabilit y Plot of t he Residuals
50 10 1
-5.0
-2.5
0.0 Residual
2.5
Hist ogram of t he Residuals
30.0
31.5
33.0 Fitted Value
34.5
36.0
Residuals Versus t he Order of t he Dat a 5.0 2.5
3.6
Residual
Frequency
-2.5 -5.0
5.0
4.8
2.4 1.2 0.0
0.0
-4
-2
0 Residual
2
4
0.0 -2.5 -5.0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
112
LAMPIRAN 7 30 Ulangan Testing Validasi Silang Tiap ZOM Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 1
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 2
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 3
113
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 4
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 5
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 6
114
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 7
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 8
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 9
115
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 10
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 11
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 12
116
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 13
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 14
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 15
117
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 16
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 17
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 18
118
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 19
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 20
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 21
119
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 22
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 23
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 24
120
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 25
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 26
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 27
121
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 28
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 29
Ulangan Testing Validasi Silang ZOM 30
122
LAMPIRAN 8 Grafik Skill Prediksi Model AMH di Tia ZOM
Grafik Skill Model ZOM 1
Grafik Skill Model ZOM 2 MAJU
Grafik Skill Model ZOM 3
123
Grafik Skill Model ZOM 4
Grafik Skill Model ZOM 5
Grafik Skill Model ZOM 6
124
Grafik Skill Model ZOM 7
Grafik Skill Model ZOM 8
Grafik Skill Model ZOM 9
125
Grafik Skill Model ZOM 10
Grafik Skill Model ZOM 11
Grafik Skill Model ZOM 12
126
Grafik Skill Model ZOM 13
Grafik Skill Model ZOM 14
Grafik Skill Model ZOM 15
127
Grafik Skill Model ZOM 16
Grafik Skill Model ZOM 17
Grafik Skill Model ZOM 18
128
Grafik Skill Model ZOM 19
Grafik Skill Model ZOM 20
Grafik Skill Model ZOM 21
129
Grafik Skill Model ZOM 22
Grafik Skill Model ZOM 23
Grafik Skill Model ZOM 24
130
Grafik Skill Model ZOM 25
Grafik Skill Model ZOM 26
Grafik Skill Model ZOM 27
131
Grafik Skill Model ZOM 28
Grafik Skill Model ZOM 29
MAJU
MUNDUR
Grafik Skill Model ZOM 30