Prediksi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Ekosistem Mangrove Di Kawasan Pesisir Utara Pulau Jawa Wahyu Budi Setyawan1,2 1
Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jakarta, Indonesia
[email protected] 2 Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia
Abstrak Kenaikan muka laut adalah salah satu hasil dari perubahan iklim global. Ekosistem mangrove adalah ekosistem pesisir yang keberadaannya sangat peka terhadap perubahan muka laut. Sekarang, kehadiran ekosistem mangrove di pesisir utara Pulau Jawa sangat jarang. Keberadaannya sangat tertekan oleh aktiftas manusia yang melakukan pengembangan tambak dengan tidak memperhatikan keberadaan ekosistem mangrove. Kenaikan muka laut akan memberikan tekanan tambahan terhadap ekosistem mangrove tersebut. Dengan skenario kenaikan muka laut yang ada sekarang dan perlakuan terhadap ekosistem mangrove tetap seperti sekarang, sangat mungkin ekosistem mangrove akan punah dari pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 2100. Kata kunci: ekosistem mangrove, kenaikan muka laut, wilayah pesisir, Pulau Jawa
PENDAHULUAN Ekosistem mangrove telah lama diketahui dapat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat yang hidup disekitarnya. Meskipun demikian, ekosistem mangrove seringkali dikalahkan dengan kepentingan lain seperti pengembangan tambak di tepi pantai. Di berbagai negara banyak lahan mangrove dikonversi menjadi areal tambak ikan atau udang [1,2,3,4]. Demikian pula di Indonesia [5,6,7]. Di Pulau Jawa, ekosistem mangrove yang masih alamiah hanya tinggal di Segara Anakan (Cilacap) di Jawa Tengah, Situbondo dan Banyuwangi di Jawa Timur (Pramudji, komunikasi pribadi, 2010). Di berbagai daerah lain, mangrove hadir di tepi pantai sebagai bagian dari aktifitas perikanan tambak, atau mangrove muda yang baru tumbuh di pantai yang mengalami sedimentasi. Areal mangrove muda tersebut nanti juga akan dikonversi menjadi tambak. Makalah ini memberikan gambaran tentang kemungkinan dampak kenaikan muka laut terhadap kehadiran mangrove di pesisir utara Pulau Jawa, berdasarkan pada hasil pengamatan lapangan di kawasan pesisir utara Jawa bagian barat dan tengah.
TEORI Mangrove adalah vegetasi pantai yang tumbuh di lingkungan berenergi rendah, pantai yang bersifat sedimentasi, dan umumnya berada di dalam zona antara muka laut rata-rata dan pasang tinggi [8]. Kondisi tinggi atau rendahnya energi di lingkungan pantai dan sifat lingkungan pantai yang berkaitan dengan kondisi erosi atau sedimentasi adalah gambaran dari kondisi keseimbangan interaksi antara kekuatan-kekuatan asal laut dan kekuatan-kekuatan asal darat. Selain arus, kondisi gelombang laut adalah faktor utama yang penting dalam keseimbangan interaksi kekuatankekuatan asal darat dan kekuatan-kekuatan asal laut itu. Lingkungan laut berada di dalam kondisi energi rendah apabila energi gelombang yang memukul ke pantai kecil. Pantai dengan energi rendah bila mendapat suplai muatan sedimen yang tinggi akan bersifat sebagai pantai sedimentasi. Berkaitan dengan energi di lingkungan pantai, Sandy [9] menyebutkan bahwa kondisi air tenang merupakan kunci dari adanya mangrove di lingkungan pantai tropis. Kenaikan muka laut akan merubah kondisi energi dan proses pantai. Perairan tepi pantai adalah lingkungan perairan dangkal. Pertambahan kedalaman kolom air diperairan dekat pantai akan meningkatkan energi gelombang. Bila kondisi tersebut terjadi di lingkungan pantai mangrove, maka pantai mangrove akan mengalami erosi. Dalam kaitannya dengan zona pertumbuhan mangrove kenaikan muka laut akan menggeser zona pertumbuhan mangrove di tepi pantai ke arah darat. Besarnya pergeseran batas-batas zona pertumbuhan mangrove tersebut sangat ditentukan oleh kondisi lereng lokal setempat. Berdasarkan hasil penelitian di Bermuda, Ellison [10] menyebutkan bahwa 1). Bila laju kenaikan muka laut melebihi laju akresi sedimen di pantai, maka pantai akan tererosi dan pantai mangrove akan mundur, 2). Ketersediaan input muatan sedimen ke dalam ekosistem mangrove penting bagi pertumbuhan ekosistem mangrove terhadap kenaikan muka laut, dan 3). Lahan di belakang ekosistem mangrove perlu dilindungi agar mangrove dapat bermigrasi ke arah darat bila muka laut naik. Kondisi-kondisi tersebut ditegaskan lagi oleh Ellison [8]. Semeniuk [11] berdasarkan I-338
hasil studi tentang mangrove di Australia Barat Laut menyebutkan tentang peranan kondisi habitat ekosistem mangrove bagi ketahanan ekosistem mangrove terhadap kenaikan muka laut. Adame et al. [12] berdasarkan hasil penelitiannya tentang mangrove di Queensland Tenggara menegaskan pentingnya: 1). Geomorfologi pantai bagi respon ekosistem mangrove terhadap perubahan kondisi lingkungan termasuk menyesuaikan diri dengan kenaikan muka laut, dan 2). Ketersediaan suplai muatan sedimen bagi ekosistem mangrove untuk mempertahankan keberadaannya.
METODOLOGI Pengamatan lapangan terhadap kondisi pantai dan mangrove di lakukan di kawasan Serang, pesisir Propinsi Banten, tahun 2003 di kawasan Tanjung Pontang dan kawasan Pulau Cangkir (Serang),: di Propinsi Jawa Barat tahun 2006 dan 2008 di kawasan barat Delta Cisanggarung (Cirebon); di Propinsi Jawa Tengah tahun 2009 di kawasan timur Delta Pemali (Brebes) (Gambar 1). Hal-hal yang diamati meliputi kondisi geomorfologi pantai, proses pantai, habitat mangrove dan aktifitas manusia.
Gambar 1A. Peta indeks lokasi pengamatan. Panah dengan notasi angka satu menunjuk daerah Delta Cisanggarung dan Delta Pemali, dan panah dengan notasi angka 2 menunjuk daerah Tanjung Pontang dan Pulau Cangkir.
Gambar 1B. Citra satelit kawasan Tanjung Pontang – Tanjung Kait, Banten. Titik bulat putih penuh adalah lokasi pengamatan di daerah Tanjung Pontang dan di daerah sekitar Pulau Cangkir.
I-339
Gambar 1C. Citra satelit kawasan Cirebon – Brebes. Titik bulat putih penuh adalah lokasi pengamatan di sisi barat Delta Cisanggarung dan di sisi Timur Delta Pemali.
Prediksi kenaikan muka laut yang dipergunakan adalah prediksi kenaikan muka laut yang dipublikasikan oleh IPCC pada tahun 2007 [13]. Analisis terhadap keberlangsungannya keberadaan mangrove dilakukan dengan pendekatan analisis terhadap kemampuan mangrove untuk bertahan secara alamiah terhadap kenaikan muka laut dan pengaruh dari aktifitas manusia.
HASIL Gambaran Umum Daerah Penelitian Kawasan pesisir utara Pulau Jawa secara geomorfologis merupakan dataran rendah tepi pantai yang melampar memanjang dengan arah timur-barat. Dataran tersebut tersusun oleh endapan aluvial berumur kuarter dan merupakan produk dari sistem pengendapan yang melibatkan sungai-sungai yang bermuara ke Laut Jawa. Sungai-sungai besar tersebut yang membentuk sistem pengendapan delta adalah Ciujung-Cidurian, dan Cisadane pada segmen Teluk Banten dan Teluk Jakarta, Citarum, Cipunegara dan Cimanuk pada segmen Teluk Jakarta-Cirebon, dan Cisanggarung, Bangkaderes, Pemali dan Comal pada segmen Cirebon-Pemalang. Sekarang, di kawasan pesisir tersebut berkembang kota-kota pantai, termasuk Jakarta yang yang merupakan ibukota negara. Lahan-lahan tepi pantai sebagian besar merupakan areal perikanan tambak yang dikembangkan sedemikian rupa sehingga hanya menyisakan sangat sedikit mangrove di tepi pantai. Di banyak lokasi, areal tambak berbatasan langsung dengan laut. Kondisi lingkungan pantai yang bersifat sedimentasi dijumpai terutama di sekitar delta-delta yang disebutkan di atas. Sementara itu, kondisi pantai yang erosional dijumpai di banyak bagian pantai yang terbuka dan tidak dipengaruhi oleh sistem pengendapan yang membangun delta-delta tersebut di atas. Kondisi Lokasi Pengamatan Kawasan Tanjung Pontang Tanjung Pontang, sebelum tahun 1927, masih merupakan sebuah delta yang aktif dari aliran Sungai Ciujung. Setelah tahun 1927 delta tersebut menjadi delta mati karena aliran Sungai Ciujung diputus dan dialihkan ke kawasan Tengkurak. Bersama dengan hal itu juga dialihkan aliran Sungai Cidurian dari kawasan di sekitar Pulau Cangkir ke kawasan Tenjoayu. Akibat dari pengalihan aliran sungai tersebut, suplai muatan sedimen ke perairan ujung delta tersebut berhenti, dan akibatnya perairan pesisir di sekitar Tanjung Pontang mengalami defisit muatan sedimen, I-340
sehingga pantai mengalami erosi oleh gelombang (Gambar 2). Keadaan yang yang berkembang di kawasan Tanjung Pontang ini sama seperti yang terjadi di kawasan Delta Citarum, Jawa Barat, menyusul selesainya pembangunan Jatiluhur pada tahun 1970, dan seperti yang terjadi di sebelah selatan Jepara setelah elesainya pembangunan Kanal Wulan [6]. Keadaan yang sama juga terjadi di Delta Nil, di Mesir, menyusul pembuatan Bendungan Aswan di Sungai Nil [14,15].
Gambar 2A. Pantai mangrove di Tanjung Pontang dengan mangrove setempat-setempat karena erosi pantai.
Gambar 2B. Pantai mangrove di Tanjung Pontang. Sisi laut tererosi dan sisi darat berbatasan dengan tambak.
Pantai di kawasan Tanjung Pontang sekarang bersifat erosional. Pantai tersusun oleh batuan induk berupa batu lempung. Sebagian besar dataran dekat pantai merupakan areal tambak. Di sepanjang pantai, mangrove hadir setempat-setempatdan dalam kondisi mengalami erosi (Gambar 2). Di berbagai bagian pantai mangrove juga telah hilang, perairan pantai kontak langsung dengan areal tambak. Pantai di kawasan Tanjung Pontang memberikan gambaran pantai erosional. Kawasan Pantai Sekitar Pulau Cangkir Pantai di sekitar Pulau Cangkir merupakan pantai pasir dengan rataan lumpur di depan pantai (Gambar 3). Pantai dalam kondisi stabil, tidak terlihat adanya indikasi erosi atau sedimentasi di sepanjang pantai. Pantai tersusun oleh batuan induk batulempung. Dataran pantai di kawasan ini merupakan areal tambak. Di kawasan ini mangrove hadir di tanggul-tanggul tambak, dan di sepanjang tepi pantai.
Gambar 3A. Pantai mangrove di kawasan Pulau Cangkir. Mangrove hanya sebaris di tepi pantai dengan tambak di sebelah belakangnya. Pantai pasir hanya berupa jalur sempit endapan pasir di tepi pantai. Foto ke arah barat.
Gambar 3B. Pantai mangrove di kawasan Pulau Cangkir. Rataan lumpur dan batuan induk batulempung di depan pantai pasir. Permukaan kasar di depan pantai adalah batuan induk batulempung. Foto ke arah timur.
Kawasan Pantai Barat Delta Cisanggarung Delta Cisanggarung di daerah Losari dihasilkan oleh aliran Sungai Cisanggarung yang merupakan aliran sungai terbesar dari sistem aliran sungai yang berhulu di kawasan Gunung Ceremai dan pegunungan di bagian selatan dataran I-341
pantai. Menurut Wright [16] pertumbuhan suatu delta terjadi bila laju pengendapan sedimendi muara sungai lebih cepat daripada penurunan dasar laut atau cekungan (subsidence) atau pemindahan muatan oleh proses marin. Dengan kata lain, suatu delta terbentuk bila tersedia cukup banyak muatan sedimen dari daratan yang masuk ke laut melalui aliran sungai, dan perairan di depan muara sungai relatif berenergi rendah dan tidak terjadi penurunan dasar cekungan. Berkaitan dengan Delta Cisanggarung, maka dapat diketahui bahwa delta ini terbentuk karena tingginya suplai muatan sedimen dari sistem aliran sungai yang berhulu di Gunung Ceremai dan pegunungan di sekitarnya. Kemudian, berdasarkan pada bentuknya, Delta Cisanggarung termasuk tipe “delta kaki burung” (bird foot delta) atau tipe Mississipi, yang menunjukkan bahwa delta ini adalah delta yang aktif berekspansi karena suplai muatan sedimen dari aliran sungai dominan [17]. Menurut Wright [16] ciri dari delta ini adalah lmemiliki lebih dari satu sistem muara sungai. Memperhatikan kondisi Delta Cisanggarung, maka pantai di kawasan delta ini mewakili kondisi lingkungan pantai dengan tingkat sedimentasi yang tinggi. Pantai di sisi barat Delta Cisanggarung ini adalah pantai mangrove dengan rataan lumpur di depannya. Di atas rataan lumpur tersebut banyak dijumpai anakan mangrove. Sebagian besar dataran pantai di kawasan ini merupakan areal tambak. Upaya pengembangan tambak di kawasan ini terus dilakukan oleh penduduk setempat dengan memanfaatkan laju pengendapan lumpur dan pertumbuhan mangrove di tepi pantai. Aktifitas pengembangan tambak yang dilakukan seperti itu menyebabkan mangrove di kawasan ini sangat minimal (Gambar 4).
Gambar 4A. Pantai di sisi barat Delta Cisanggarung. Ekspansi pengembangan tambak yang agresif tidak memberikan ruang tumbuh bagi mangrove secara memadai. Titik bulat kuning adalah lokasi pengamatan.
Gambar 4B. Mangrove di sisi barat Delta Cisanggarung. Sebelah kiri tanggul adalah sisi laut, sebelah kanan sisi sarat. Foto menghadap ke utara pada saat laut pasang.
Kawasan Pantai Timur Delta Pemali Delta Pemali di daerah Brebes, Jawa Tengah adalah hasil aktifitas Kali Pemali yang berhulu di kawasan pegunungan dan gunungapi yang merupakan bagian dari sistem jalur Pegunungan Tengah Pulau Jawa dan komplek gunungapi yang merupakan bagian dari jalur Gunungapi Kuarter di bagian Tengah Pulau Jawa. Sebagaimana halnya Delta Cisanggarung, Delta Pemali ini juga menunjukkan kenampakkan bentuk tipe delta kaki burung. Pantai di sisi timur Delta Pemali ini adalah pantai mangrove dengan rataan lumpur (Gambar 5). Tidak jauh berbeda dengan pantai di sisi barat Delta Cisanggarung, aktifitas pengembangan tambak di kawasan ini juga juga sangat tinggi, dan menyebabkan mangrove hadir dalam kondisi minimal di sela-sela tambak di tepi pantai.
I-342
Gambar 5A. Pantai di sisi timur Delta Pemali. Pengembangan tambak yang agresif tidak memberikan ruang yang memadai bagi mangrove. Titik bulat kuning adalah lokasi pengamatan.
Gambar 5B. Mangrove di sisi timur Delta Pemali. Foto menghadap ke arah laut, ke arah tenggara.
PEMBAHASAN Kenaikan Muka Laut dan Proses Pantai Menurut prediksi dari IPCC tahun 2007 (Gambar 6), skenario kenaikan muka laut terburuk sampai tahun 2100 adalah + 0,5 meter [13]. Dengan kenaikan muka laut sebesar itu berarti perairan dangkal dekat pantai akan mengalami pertumbuhan kedalaman sebesar 0,5 meter. Sesuai dengan karakter gelombang di perairan dangkal, maka energi gelombang di dekat pantai juga akan meningkat. Pola pertambahan energi gelombang ini meningkat bertahap seiring dengan pertambahan kedalaman air.
Gambar 6. Muka laut global rata-rata di masa lalu dan proyeksinya ke depan menurut IPCC 2007 dari Bindoff et al. Tahun 2007.
Kenaikan muka laut akan menyebabkan terjadinya perubahan daerah genangan di tepi pantai. Perubahan daerah genangan yang juga berarti pergeseran garis pantai ke arah laut terjadi bila ketinggian morfologi daratan tepi pantai terlewati oleh ketinggian muka laut. Sebelum ketinggian daratan tepi pantai terlampaui oleh ketinggian muka laut, maka pergeseran garis pantai karena genangan belum terjadi. Pergeseran garis pantai hanya akan terjadi karena erosi pantai. Bila kita mengasumsikan keadaan tanpa campur tangan manusia, untuk pantai di daerah penelitian, efek dari kenaikan muka laut akan sebagai berikut. I-343
1) Untuk kawasan pantai yang mengalami erosi, seperti di Tanjung Pontang, kecenderungan erosi pantai akan terus berlanjut dan kemampuan gelombang mengerosi pantai terus meningkat. 2) Untuk kawasan pantai yang saat ini dalam kondisi stabil, seperti di kawasan pantai sekitar Pulau Cangkir, kondisi pantai yang stabil itu akan berubah menjadi pantai yang erosional. 3) Untuk kawasan pantai yang saat ini dalam kondisi sedimentasi, seperti di kawasan Delta Cisanggarung dan Delta Pemali, laju sedimentasi di perairan tepi pantai akan berkurang seiring dengan kenaikan muka laut. Untuk kawasan delta ini, sebelum laju sedimentasi terlampaui oleh kekuatan gelombang yang mengerosi, maka sedimentasi akan tetap berlangsung meskipun dengan laju yang berkurang. Kenaikan Muka Laut dan Kehadiran Mangrove Kehadiran mangrove di suatu kawasan pesisir memerlukan persyaratan tertentu seperti yang telah diuraikan di depan. Tanpa terpenuhinya persyaratan-persyaratan tersebut, mangrove tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Demikian pula, bila kondisi lingkungan berubah yang menyebabkan hilangnya persyaratan-persyaratan tumbuhnya mangrove tersebut, maka ekosistem mangrove yang ada akan mengalami degradasi atau menyebabkan kematian mangrove. Kenaikan muka laut akan menyebabkan perubahan kondisi lingkungan pesisir di daerah penelitian. Perubahan yang mungkin terjadi terhadap keseimbangan proses pantai telah diuraikan di depan. Berikut ini adalah gambaran tentang dampak yang mungkin terjadi terhadap kehadiran mangrove di daerah penelitian. Kawasan Pantai Tanjung Pontang Pantai di Tanjung Pontang bersifat erosional dan mangrove di tepi pantai hadir setempat-setempat. Di sebelah belakang pantai mangrove yang ada terdapat areal tambak. Sementara itu, di bagian pantai yang terbuka, tanpa mangrove, tambak berhubungan langsung dengan laut dengan indikasi pantai erosional. Memperhatikan kondisi pantai bersifat erosional, dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadinya pantai terbuka atau kontak langsung antara tambak dan laut terjadi karena mangrove telah hilang dari segmen pantai yang terbuka tersebut. Di depan telah diuraikan bahwa kenaikan muka laut akan meningkatkan laju erosi pantai di kawasan ini. Bila kondisi pantai yang seperti sekarang ini terus berlanjut, maka proses erosi pantai yang akan terus meningkat seiring dengan kenaikan muka laut itu akan menghilangkan mangrove dari tepi pantai di kawasan Tanjung Pontang ini. Mangrove yang akan tinggal adalah mangrove yang tumbuh atau ditanam di tanggul-tanggul tambak. Kawasan Pantai di Sekitar Pulau Cangkir Pantai di sekitar Pulau Cangkir sekarang dalam kondisi stabil. Kondisi pantai yang stabil ini adalah cermin dari keseimbangan interaksi kekuatan-kekuatan asal laut dan asal darat yang berada dalam keadaan seimbang. Bila kenaikan muka laut yang terjadi sebagaimana prediksi dari IPCC tahun 2007, maka secara perlahan keseimbangan interaksi tersebut di atas akan bergeser. Penambahan kedalaman kolom air di lingkungan perairan dangkal itu akan meningkatan energi gelombang yang memukul ke pantai. Kondisi pantai yang berada dalam keadaan stabil pada saat ini memberikan indikasi bahwa, bertambahnya kedalaman air laut di perairan dekat pantai akan menyebabkan energi dari kekuatan-kekuatan asal laut akan lebih besar daripada energi dari kekuatan-kekuatan asal darat. Akibat dari perubahan keseimbangan interaksi tersebut, maka pantai di kawasan sekitar Pulau Cangkir ini akan tererosi. Apabila skenario kenaikan benar-benar terjadi dan tidak ada campur tangan manusia maka, mangrove di sepanjang pantai akan tererosi. Kondisi pantai yang sekarang ada di kawasan Tanjung Pontang akan pula di kawasan sekitar Pulau Cangkir. Kawasan Pantai Delta Cisanggarung dan Delta Pemali Kedua delta ini memiliki karakter yang sama, yaitu sama-sama delta tipe kaki burung atau tipe Mississipi juga menunjukkan tingkat sedimentasi yang tinggi. Kondisi yang demikian itu sangat baik bagi pertumbuhan atau perkembangan mangrove, karena endapan lumpur yang terbentuk merupakan habitat yang cocok bagi pertumbuhan atau perkembangan mangrove. Kenaikan muka laut akan meningkatkan energi gelombang di lingkungan delta. Peningkatan energi gelombang tersebut selain akan mengerosi pantai juga akan menyebabkan muatan sedimen. Kondisi yang timbul karena kenaikan muka laut juga berkaitan dengan perubahan iklim ini setara dengan kondisi yang muncul karena subsiden dan kompaksi yang dialami oleh endapan delta seperti dijelaskan oleh Wright [16]. I-344
Bila suplai muatan sedimen ke laut melalui aliran sungai tetap seperti sekarang, maka pengendapan lumpur di tepi pantai akan berkurang, karena energi gelombang yang meningkat akan menyebarkan muatan lumpur ke kawasan perairan yang lebih luas. Seiring dengan kondisi tersebut, laju perkembangan mangrove ke arah laut juga kan berkurang atau bahkan mengalami erosi sesuai dengan dengan laju mundurnya garis pantai ke arah darat. Menurut Semeniuk [11], seiring dengan mundurnya garis pantaikarena kenaikan muka laut, mangrove akan bermigrasi ke arah darat. Menurut Ellison [8], di dalam habitat di lingkungan pasang surut (intertidal), spesies mangrove memiliki preferensi yang berbeda terhadap elevasi, salinitas dan frekuensi penggenangan. Keadaan tersebut menghasilkan zonasi spesies mangrove. Bila laju sedimentasi dapat mengimbangi laju kenaikan muka laut, maka preferensi spesies mangrove terhadap salinitas dan frekuensi penggenangan tidak terpengaruh secara berarti. Bila laju kenaikan muka laju kenaikan muka laut melebihi laju sedimentasi, maka zona-zona spesies mangrove akan bermigrasi ke arah darat ke elevasi yang sesuai dengan spesies-spesies tersebut, dan mangrove di tepi pantai akan mati. Berdasarkan rekaman stratigrafi pada masa Holosen di Pulau-pulau di Samudra Pasifik, untuk lingkungan deltaik, mangrove masih dapat bertahan pada laju kenaikan muka laut 45 cm pertahun. Di lingkungan delta seperti di Delta Cisanggarung dan Pemali sekarang ini, di bagian belakang mangrove telah dikembangkan kawasan tambak. Dengan demikian, apa yang dinyatakan oleh Semeniuk [11] itu tidak dapat terjadi. Dapat dipastikan bahwa para petani tambak akan berupaya mempertahankan tambak-tambak mereka yang ada sekarang dengan cara menambah ketinggian tanggul tambak. Hal ini berarti, mangrove tidak memiliki ruang untuk bermigrasi ke arah belakang.
KESIMPULAN Kenaikan muka laut akan menyebabkan perubahan kondisi lingkungan di kawasan pesisir. Hasil studi ini menunjukkan bahwa muka laut terhadap kehadiran mangrove di lingkungan pesisir berkaitan erat dengan lingkungan pesisir yang sekarang dan aktifitas manusia di kawasan pesisir. Berkaitan dengan kenaikan muka laut,ada tiga kondisi lingkungan pantai yang diungkapkan dalam penelitian ini. Pertama, pantai yang mengalami erosi. Pada pantai ini kenaikan muka laut akan meningkatkan laju erosi. Contoh kasus di kawasan Tanjung Pontang memberikan gambaran bahwa mangrove di tepi pantai dapat habis karena laju erosi pantai. Ke-dua, pantai yang stabil. Pada pantai ini kenaikan muka laut akan menyebabkan kondisi lingkungan pantai berubah dari stabil menjasi tererosi. Contoh kasus dari pantai di kawasan Pulau Cangkir menunjukkan bahwa erosi pantai yang terjadi dapat menghilangkan mangrove yang hanya ada sedikit di sepajang pantai. Ke-tiga, pantai sedimentasi di lingkungan deltaik. Kenaikan muka laut akan merubah kondisi keseimbangan proses pantai di kawasan ini. Suplai muatan sedimen yang tinggi di kawasan ini memberikan peluang pada mangrove untukdapat tetap hadirdi pantai. Dalam penelitian ini tidak dilakukan studi tentang laju sedimentasi di kawasan Delta Cisanggarung dan Delta Pemali, oleh karena itu gambaran tentang peluang bagi mangrove untuk tetap hadir di kedua kawasan delta tersebut belum dapat diberikan secara mendetail. Berkaitan dengan kecenderungan mangrove untuk bermigrasi ke arah darat seiring dengan kenaikan muka laut, peluang untuk bermigrasi bagi mangrove yang ada di daerah penelitian telah tertutup dengan kehadiran aktifitas pengembangan tambak di bagian belakang zona mangrove.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian di kawasan Tanjung Pontang dan Pulau Cangkir dilakukan pada tahun 2003 dan merupakan sebagian kegiatan penelitian ”Studi Karakteristik Garis Pantai Propinsi Banten”yang dibiayai dengan DIPA Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Tahun Anggaran 2003 dengan nomor tolok ukur 01.6330. Penelitian di kawasan Delta Cisanggarung di lakukan pada tahun 2006 dan merupakan sebagian dari kegiatan penelitian ”Studi Geomorfologi Pesisir untuk Pengelolaan dan Pengembangan Wilayah Pesisir Utara Pulau Jawa Bagian Tengah: Wilayah Pesisir Cirebon, Tanjungtua-Losari”, yang dibayai dengan DIPA Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Tahun Anggaran 2006 dengan nomor tolok ukur 05.03.2402. Penelitian di kawasan Delta Cisanggarung kembali dilakukan pada tahun 2008 dan merupakan bagian dari kegiatan penelitian ”Kajian Pengaruh Pemanasan Global terhadap Ekosistem Pesisir dan Perairan Cirebon, yang dibiayai dengan DIPA Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI tahun anggaran 2008. Penelitian di kawasan delta Pemali di lakukan pada tahun 2009 dan merupakan bagian dari kegiatan penelitian ”Studi Geomorfologi Pesisir untuk Menangani Masalah Erosi Pantai dan Banjirt Pasang Surut, serta Perencanaan Menghadapi Kenaikan Muka Laut di Wilayah pesisir Brebes, Tegal dan Pemalang”, yang dibiayai dengan dana Hibah peneliti dari DIPA Ditjen DIKTI Tahun Anggaran 2009 melalui program ”Sinergi Penelitian dan Pengembangan Ilmu I-345
Pengetahuan Teknologi (Program Insentif Riset untuk Peneliti dan Perekayasa)” Tahun Anggaran 2009 di lingkungan LIPI.
DAFTAR PUSTAKA [1] Olsen, S. and Foer, G., 1992. An Agenda for coastal ecosystems management in Central America. In: Central America’s Coasts. Editors: G. Foer and S. Olsen, The University of Rhode island and USAID, New Jessey: 1 – 20. [2] Ronnback, R., 1999. The Ecological basis for economic value of seafood production supportse by mangrove ecosystems. Ecological Economics 29: 235-252. [3] Stevenson, N.J., Lewis, R.R and Burbridge, P.R., 1999. Disused Shrimp ponds and mangrove rehabilitation. In: An International Perspective Wetland Rehabilitation. Editor: W. Streever, Kluwer Academic Publishers, the Netherlands: 277-297. [4] Thampanya, U., Vermaat, J.E., Sinsakul, S. And Panapitukul, N., 2006. Coastal erosion and mangrove progradation of southern Thailand. Estuarine, Coastal and Shelf Science 66: 75-85. [5] Sukardjo, S., 1980. The Mangrove ecosystem of the northern coast of West Java. In: Proceeding of The Jakarta Workshop on Coastal Resources Management. Editors: E.C.F.Bird and A. S Soegiarto, The united Nations University, Tokyo: 54-64. [6] Bird, E.C.F. and Ongkosongo, O.S.R., 1980. Environmental Change on the Coasts of Indonesia. The United Nations University, Tokyo: 52 p. [7] Fonseca, H., 2002. Mangroves, Local livelihoods vs corporate profits. NOVIB, IUCN and Swedish Society for Nature Conservation, World Rainforest Movement Electronic Bulletin: 65 p. [8] Ellison, J.C., 2000. How South Pacific mangroves may respond to predicted climate change and sea-level rise. In: Climate change in the South Pacific: impacts and responses in Australia, New Zealand and small island states. Editors: A. Gillespie and W.G.C. Burns. Klewer Academic Publishers, The Netherlands: 289-301. [9] Sandi, I.M., 1982. Mangrove dan tumbuhnya. In: Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Editor: S. Soemodihardjo, I. Soerianegara, M. Sutisne, K. Kartawinata, Supardi, N. Naamin dan H. Al Rasyid. LIPI dan MAB Indonesia: 133-143. [10] Ellison, J.C., 1993. Mangrove retreat with rising sea-level, Bermuda. Estuarine, Coastal and Shelf Science 37: 75 – 87. [11] Semeniuk, V., 1994. Predicting the effect of sea-level rise on mangroves in Northwestern Australia. Journal of Coastal Research 10(4): 1050-1076. [12] Adame, M.F., Neil, D., Wright, S.F., and Lovelock, C.E., 2010. Sedimentation within and among mangrove forest along a gradient of geomorphological settings. Estuarine, Coastal and Shelf Science 86: 21-30. [13] Bindoff, N.L., J. Willebrand, V. Artale, A, Cazenave, J. Gregory, S. Gulev, K. Hanawa, C. Le Quéré, S. Levitus, Y. Nojiri, C.K. Shum, L.D. Talley and A. Unnikrishnan, 2007. Observations: Oceanic Climate Change and Sea Level. In: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change Editors: Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. [14] Frihy, O.E. and Lotfy, M.F., 1994. Mineralogy and texture of beach sand in relation to erosion and accretion along the Rosetta Promontory of the Nile Delta, Egypt. Journal of Coatal research, 10(3), 588-599. [15] Frihy, O.E. and Dewidar, K.M., 2003. Pattern of erosion/sedimentation, heavy mineral concentration and grain size to interpret boundaries of littoral sub-cells of the Nile Delta, Egypt. Marine Geology, 199, 27-43. [16] Wright, D.L., 1978. River Delta. In: Coastal Sedimentary Environments. Editor: Davis, R.A.. Springer-Verlag, New York:, 5-68. [17] Seybold, H., Andrade Jr, J.S. and Herrmann, H.J., 2007. Modeling river delta formation. Proceedings of the National Acdemic of Science of USA: 1-5. [http://arxiv.org/PS_cache/arxiv/pdf/ 0711/0711.3283v1.pdf]. Access: 24 Novembre 2009.
I-346