KARAKTERISASI DAN PENGARUH NaCl TERHADAP KANDUNGAN OKSALAT DALAM PEMBUATAN TEPUNG TALAS BANTEN
SKRIPSI
EKA MARLIANA F34062338
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
1
CHARACTERIZATION AND THE INFLUENCE OF NaCl CONTENT OF MAKE FLOUR OXALATE IN BANTEN TARO Sugiarto, Sulusi Prabawati, and Eka Marliana Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone 62 856 8472165, e-mail :
[email protected]
ABSTRACT Banten Taro (Xanthosoma undipes K. Koch) is a type of taro, which wildly grows in Juhut, Pandeglang. This plant has not grown as a result of the lack of information on benefits and applications. In addition, not known the exact time of the harvest in Banten taro plants. Banten taro can use food as a way to achieve diversification. However, the constraints faced by Banten taro high enough oxalate content so that it can itch when consumed. The purpose of this study was investigated the characteristics of Banten taro on a variety of harvest and reduce the content of oxalate by immersion in NaCl solution in different concentrations solutions and time. Banten taro at the age of 8 months is adequate conditions for harvest. To qualify as a novel food ingredient, oxalate in Banten taro content should be reduced. One of them by immersion with NaCl solution. Reduction of oxalate are taro immersion best deals with solution 10% NaCl for 150 minutes. The content of oxalate in Banten taro up to 90.21% can be reduced. Keywords : taro Banten, Xanthosoma undipes K. Koch, oxalate, NaCl
2
Eka Marliana. F34062338. Karakterisasi dan Pengaruh NaCl terhadap Kandungan Oksalat dalam Pembuatan Tepung Talas Banten. Di bawah bimbingan Sugiarto dan Sulusi Prabawati. 2011
RINGKASAN Talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) merupakan jenis talas yang berpotensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan di daerah Banten. Talas Banten ini belum dibudidayakan dan masih tergolong sebagai talas liar dengan ciri khasnya seperti batang yang memanjang di bawah tanah dan umbi yang muncul di sekitar batang serta bagian tanamannya menimbulkan rasa gatal apabila dikonsumsi. Senyawa penyebab gatal pada talas adalah oksalat yang dapat mengakibatkan batu oksalat atau batu ginjal apabila kadar oksalatnya tidak dikurangi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik talas Banten pada berbagai umur panen dan menurunkan kandungan oksalat pada talas Banten dengan menggunakan perendaman dalam larutan NaCl dengan kondisi konsentrasi larutan dan waktu berbeda. Penelitian dilakukan di laboratorium kimia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor pada bulan Mei 2010 sampai Januari 2011. Tahapan penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu karakterisasi bahan berdasarkan umur panen dan profil tanaman dengan analisis yang dilakukan adalah kadar air, rendemen tepung, kadar oksalat, dan kadar pati. Rancangan penelitian pertama menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan faktor perlakuan adalah umur panen dan bagian batang. Penelitian kedua adalah reduksi kadar oksalat dengan menggunakan perendaman pada larutan NaCl 10% dan 5% dengan waktu rendam adalah 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Analisis yang dilakukan pada tahap reduksi kadar oksalat adalah kadar oksalat. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot) dengan dua faktor yaitu konsentrasi NaCl (petak utama) dan waktu perendaman (anak petak) yang digunakan dalam mereduksi kandungan oksalat pada talas Banten. Kadar air pada batang pada umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 78.03; 78.30; 76.23; dan 77.40%. Sedangkan untuk kadar air tepung pada umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 5.92; 6.42; 5.89; dan 5.11%. Kadar oksalat pada talas dengan umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 8525.68; 7115.37; 5903; dan 7030.14 ppm. Kadar pati pada talas Banten pada umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 94.63; 96.36; 91.09; dan 93.49%. Hasil rendemen tepung yang didapat untuk tepung umur panen 6; 8; 10; dan 12 bulan adalah 21.5; 20.16; 24.39; dan 20.43%. Reduksi oksalat merupakan upaya untuk menurunkan kadar oksalat pada talas Banten. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa waktu perendaman dan konsentrasi NaCl yang digunakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap reduksi oksalat. Selain itu, terdapat interaksi antara waktu perendaman dan konsentrasi NaCl terhadap reduksi oksalat talas pada selang kepercayaan 95%. Teknik reduksi oksalat yang terbaik ditemukan pada perendaman talas Banten dengan menggunakan larutan NaCl 10% selama 150 menit. Persentase penurunan reduksi oksalat yang terjadi sebanyak 90.21%.
3
KARAKTERISASI DAN PENGARUH NaCl TERHADAP KANDUNGAN OKSALAT DALAM PEMBUATAN TEPUNG TALAS BANTEN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh EKA MARLIANA F34062338
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
4
Judul
: Karakterisasi dan Pengaruh NaCl terhadap Kandungan Oksalat dalam Pembuatan Tepung Talas Banten
Nama
: Eka Marliana
NRP
: F34062338
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Ir. Sugiarto, M.Si)
(Ir. Sulusi Prabawati, M.S)
NIP 19690518 199403 1 002
NIP 19583012 198303 2 002
Mengetahui: Ketua Departemen
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP : 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus : 4 Februari 2011
5
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Karakterisasi dan Pengaruh NaCl terhadap Kandungan Oksalat dalam Pembuatan Tepung Talas Banten adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dari Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011 Yang membuat pernyataan
Eka Marliana F34062338
6
BIODATA PENULIS Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Emin dan Ocih Setiawati, dilahirkan di Bekasi pada tanggal 14 Maret 1988. Pada tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN Payangan dan melanjutkan ke SLTPN 9 Bekasi sampai dengan tahun 2003. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA di SMAN 48 Jakarta pada tahun 2006. Pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan seperti BEM TPB Kabinet Hexagonal sebagai staf Departemen Info dan Komunikasi (2006-2007), BEM FATETA Kabinet Integritas Pembaharu sebagai staf Departemen Sosial dan Kemasyarakatan (2007-2008), BEM FATETA Kabinet Semut Merah sebagai staf Departemen Sosial dan Kemasyarakatan (2008-2009), serta menjadi anggota HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri). Penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan antara lain ketua SEREAL (2008), koordinator konsumsi GEBYAR SOSIAL (2009), dan ketua KAKAK ASUH FATETA (2008-2009). Selama menempuh studi, penulis menerima beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) pada tahun 2008-2009 serta beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) tahun 2009-2010. Pada tahun 2009 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di PT. Coca-Cola Bottling Indonesia Unit Jawa Barat dengan judul ‘Sistem Penyimpanan, Distribusi, dan Transportasi Produk Minuman Ringan di PT. Coca-Cola Bottling Indonesia dan PT. Coca-Cola Distribution Indonesia Unit Jawa Barat’. Pada tahun 2010 penulis melaksanakan kegiatan penelitian di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor dengan judul skripsi’ Karakterisasi dan Pengaruh NaCl terhadap Kandungan Oksalat dalam Pembuatan Tepung Talas Banten’.
7
KATA PENGANTAR Puji serta syukur yang tak terhingga penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan pertolongan dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi, Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada : 1. Ir. Sugiarto, M.Si selaku dosen pembimbing I atas bimbingan, kesabaran, arahan, dan saran kepada penulis. 2. Ir. Sulusi Prabawati, M.S selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, kesabaran, masukan, dan saran kepada penulis. 3. Ir. Muslich, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam menyempurnakan skripsi ini. 4. Keluarga tercinta, Bapak Emin, Mama Ocih Setiawati, dan Meilady Isnaen Syah Putra yang terusmenerus memberikan kasih sayang, semangat, dukungan, doa, dan bantuan tak terhingga serta senantiasa memberikan inspirasi yang sangat berharga dalam hidup. 5. Keluarga besar Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor atas bantuannya selama penelitian. 6. Seluruh pihak yang tidak disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan selanjutnya.
Bogor, Januari 2011
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR........................................................................................................... viii DAFTAR ISI..........................................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL..................................................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................. ....... xiii I. PENDAHULUAN..................................................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG.......................................................................................................
1
B. TUJUAN PENELITIAN...................................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................................
3
A. TALAS .............................................................................................................................
3
B. TEPUNG TALAS .............................................................................................................
6
C. OKSALAT ........................................................................................................................
6
D. REDUKSI OKSALAT .....................................................................................................
8
E. PENELITIAN TERDAHULU………………………………………..………………….
9
III.BAHAN DAN METODE...................................................................................................... 11 A. BAHAN DAN ALAT........................................................................................................ 11 C. METODE PENELITIAN……………………………………....………..........................
11
1. Penelitian 1 (Penentuan Umur Panen) ........................................................................ 11 a. Karakterisasi Fisik Talas ....................................................................................... 11 b. Pembuatan Tepung Talas Berbagai Umur Panen .................................................. 11 c. Karakterisasi Tepung Talas ................................................................................... 12 2. Penelitian 2 (Reduksi Oksalat) .................................................................................... 13 D. RANCANGAN PERCOBAAN......................................................................................... 14 1. Rancangan Percobaan Penelitian 1 (Penentuan Umur Panen) ...…………………..... 14 2. Rancangan Percobaan Penelitian 2 (Reduksi Oksalat) …………………………...… 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................................................
16
A. KARAKTERISASI TALAS ............................................................................................. 16 B. KARAKTERISASI TEPUNG BERBAGAI UMUR PANEN ......................................... 22 1. Kadar Air Tepung .......................................................................................................
22
2. Rendemen Tepung ......................................................................................................
23
3. Kadar Oksalat .............................................................................................................. 25 4. Kadar Pati …………………………………………….……………………………... 27 C. REDUKSI OKSALAT TALAS …………………………………………...……………
29
D. PEMANFAATAN TALAS BANTEN (Xanthosoma undipes K.Koch) ………………..
32
ix
V. SIMPULAN DAN SARAN................................................................................................... 34 A. SIMPULAN....................................................................................................... ...... ...... . 34 B. SARAN...................................................................................................... ...... ...... ......... 34 DAFTAR PUSTAKA................................................................................... ...... ...... ...... ..
35
LAMPIRAN………………………………………………………………………………… 38
x
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Daftar kandungan gizi talas dalam 100 g umbi, daun, dan tangkai daun talas …..
5
Tabel 2. Hasil karakteristik talas Banten berdasarkan umur panen ..................................... 17 Tabel 3. Hasil karakterisasi penampakan fisik per bagian umbi …………….…..…….…. 20 Tabel 4. Hasil karakterisasi bobot kotor umbi (kimpul) talas Banten ………....…………. 20 Tabel 5. Persentase reduksi oksalat talas pada perendaman larutan NaCl …………….…. 30
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Cabang cormus talas ………….……….........................…...............…….........
4
Gambar 2. Klasifikasi bentuk cormus talas ……………………………………….………
5
Gambar 3. Bentuk kristal oksalat pada tanaman monokotil ……......……..........…....……
7
Gambar 4. Raphide yang bergerombol dalam sel idioblas ...............................….....……..
8
Gambar 5. Diagram alir penelitian 1 (penentuan umur panen) ..……….…………………
12
Gambar 6. Diagram alir penelitian 2 (reduksi oksalat) ………….......................................
13
Gambar 7. Habitat talas Banten di daerah Juhut, Pandeglang ………………...…..…...….
16
Gambar 8. Penampakan talas Banten ………………………………………………..……
16
Gambar 9. Penampakan cormus talas Banten …………………………….………………
17
Gambar 10. Penampakan umbi talas Banten …………………………………………….....
17
Gambar 11. Pembagian bagian batang pada talas Banten………..…………………………
19
Gambar 12. Hubungan antara kadar air batang dengan umur panen talas Banten …...…….
20
Gambar 13. Hubungan kadar air dengan bagian batang talas Banten …………….………..
21
Gambar 14. Hubungan antara kadar air tepung talas Banten dengan umur panen ……........
22
Gambar 15. Hubungan antara kadar air tepung dengan bagian batang talas Banten ……....
23
Gambar 16. Hubungan antara rendemen tepung talas Banten dengan umur panen ………..
24
Gambar 17. Hubungan rendemen tepung dengan bagian batang talas ……………………..
24
Gambar 18. Hubungan antara kandungan oksalat talas Banten dengan umur panen …..…..
25
Gambar 19. Hubungan antara kandungan oksalat dengan bagian batang talas .....................
26
Gambar 20. Hubungan antara kadar pati talas Banten dengan umur panen ……………..…
27
Gambar 21. Hubungan antara kadar pati dengan bagian batang talas …………………...…
28
Gambar 22. Hubungan antara waktu perendaman dan konsentrasi NaCl terhadap reduksi oksalat …………………………………………………………………………
29
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur analisis.......................................…………........................................ 39 Lampiran 2. Hasil sidik ragam kadar air batang talas Banten …….....................................
40
Lampiran 3. Hasil sidik ragam kadar air tepung talas Banten ..….......................................
41
Lampiran 4. Hasil sidik ragam rendemen tepung talas Banten .............................……....... 42 Lampiran 5. Hasil sidik ragam kadar oksalat talas Banten .................................................. 43 Lampiran 6. Hasil uji sidik ragam kadar pati talas Banten ...…….......................................
44
Lampiran 7. Hasil uji lanjut Duncan kadar pati talas Banten ............................................... 45 Lampiran 8. Hasil sidik ragam reduksi oksalat talas Banten dalam perendaman larutan NaCl …………………………………………….…………………………… 47 Lampiran 9. Hasil uji lanjut Duncan reduksi oksalat talas Banten …………..……………
48
xiii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Talas merupakan tanaman yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Indonesia memiliki ragam kultivar talas yang luar biasa banyaknya. Keanekaragaman talas ini dapat dilihat pada daerah–daerah pembudidayaan talas seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Irian Jaya saja pernah dilaporkan mempunyai 114 kultivar talas (1957), Biak dan Sorong sendiri memiliki 30 kultivar (1982) dan Kabupaten Jaya Wijaya 60 kultivar. Sementara itu, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI di Cibinong telah berhasil menginventarisasi dan mengidentifikasi lebih dari 180 macam talas dari 710 contoh talas yang dikumpulkan dari daerah pembudidayaan talas. Keanekaragaman varietas talas tersebut menyangkut berbagai sifat seperti tinggi pohon, bentuk dan ukuran daun, banyaknya stolon dan anakan, bentuk dan ukuran batang, warna dan tekstur serta rasa daging batang, umur panen, dan lain-lain. Talas termasuk famili Araceae yang terdiri menjadi tiga genus yaitu Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia (Prana dan Kuswara, 2002). Di Indonesia, talas yang sering dijumpai adalah Colocasia esculanta L. Schott yang lebih dikenal dengan sebutan talas Bogor. Jenis talas tersebut sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Namun, masih banyak varietas talas yang belum dibudidayakan dan masih tergolong sebagai talas liar dengan ciri khasnya seperti stolon yang panjang dan banyak, batang relatif besar, serta bagian tanamannya menimbulkan rasa gatal apabila dikonsumsi. Salah satu talas yang dimaksud adalah Xanthosoma undipes K. Koch yang dikenal dengan nama talas Banten. Talas Banten adalah talas lokal khas dari Gunung Karang di Desa Juhut, kabupaten Pandeglang. Masyarakat lokal menyebut talas Banten dengan istilah beneng yang berasal dari kata “besar koneng” (bahasa Sunda) yang artinya besar kuning. Talas ini berukuran besar dan daging batangnya berwarna kuning. Batang talas yang sudah berumur 3 tahun bisa mencapai panjang 2 meter dengan diameter 15 cm, sebagian batang masuk ke dalam tanah dan sebagian lainnya berada di atas permukaan tanah (BPTP Banten, 2009). Sampai saat ini belum ada penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik talas Banten sebagai bahan pangan. Padahal talas Banten dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat yang dapat digunakan sebagai diversifikasi pangan. Keunikan yang dimiliki oleh talas Banten adalah pemanfaatan batang yang dijadikan sebagai bahan pangan. Pada talas lain, yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan pangan adalah umbi talas tersebut. Perbedaan inilah yang menjadi daya tarik tersendiri yang dimiliki oleh talas Banten. Selain itu, talas Banten dapat tumbuh dengan baik tanpa pemeliharaan. Hal ini merupakan nilai penting dari talas Banten apabila dijadikan sebagai sumber pangan karena tidak memerlukan biaya dalam membudidayakannya. Namun menjadi permasalahan adalah belum adanya kepastian waktu yang baik untuk memanen talas Banten. Kurangnya informasi mengenai talas Banten menjadikan talas Banten ini perlu dikarakterisasi sehingga dapat diketahui karakteristik talas Banten sebagai bahan acuan untuk pemanfaatannya menjadi sumber pangan bagi masyarakat. Kendala pengolahan talas sebagai bahan pangan adalah tingginya kandungan oksalat sehingga memerlukan penanganan agar kandungan oksalat pada talas dapat direduksi. Salah satu cara untuk mereduksi oksalat adalah dengan perendaman talas di dalam larutan NaCl. Perendaman talas dalam larutan NaCl dimaksudkan agar dapat menghilangkan rasa gatal akibat kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Dengan tereduksinya kandungan oksalat pada talas maka akan menghasilkan sumber pangan yang dapat dijadikan sebagai alternatif pangan Indonesia.
1
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi talas Banten berdasarkan umur panen dan bagian batang, mendapatkan waktu pemanenan terbaik talas Banten, serta penentuan kondisi perendaman NaCl untuk mereduksi oksalat sehingga mendapatkan tepung talas rendah kandungan oksalat yang dapat digunakan dalam pembuatan aneka pangan olahan berbasis talas.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TALAS Talas merupakan tumbuhan asli daerah tropis yang bersifat perennial herbaceous, yaitu tanaman yang dapat tumbuh bertahun-tahun dan banyak mengandung air. Talas merupakan tumbuhan berbiji (Spermatophyta) dengan biji tertutup (Angiospermae) berkeping satu (Monocotyledonae). Talas tersebar dalam tiga genus tumbuhan yaitu Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia dari famili Araceae. Talas Banten tergolong dalam genus Xanthosoma. Taksonomi tumbuhan talas Banten adalah sebagai berikut (Prana dan Kuswara, 2002). Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Arales Famili : Araceae Genus : Xanthosoma Spesies : undipes K.Koch Talas merupakan salah satu tumbuhan yang lazim ditanam untuk dimanfaatkan umbi atau daunnya. Tanaman ini berasal dari kawasan Asia Selatan (India, Bangladesh, China Selatan) dan Tenggara (Myanmar, Vietnam, Thailand, Malaysia, Indonesia) (Prana dan Kuswara, 2002). Sebagai tanaman pangan, daun dan tangkai daunnya dapat digunakan sebagai sayuran, yaitu pada varietas yang tidak gatal. Talas seringkali dibudidayakan pada daerah tropis dengan curah hujan cukup (175–250 cm/tahun) serta memerlukan tanah yang subur di daerah lembab dengan temperatur sekitar 21–27°C. Tanaman ini dapat hidup pada dataran rendah sampai ketinggian 2700 m di atas permukaan laut namun tidak tahan terhadap temperatur sangat rendah (beku) (Minantyorini dan Hanarida, 2002). Talas adalah tanaman herba dengan tinggi antara 0.5-1.5 m dan sebagian besar daunnya berbentuk peltatus, kecuali khusus yang tumbuh di Hawai daunnya berbentuk hastate. Panjang helai daun sekitar 30-80 cm dan lebar daun antara 20-50 cm. Panjang tangkai daun bervariasi tergantung genotipenya, antara < 30 cm-1.5 m. Ukuran daun sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Ukuran maksimal daun biasanya terjadi saat awal muncul bunga dan setelah mendekati panen tangkai daun memendek dan helai daun mengecil (Minantyorini dan Hanarida, 2002). Tanaman talas mempunyai toleransi tinggi terhadap keteduhan sehingga dapat ditanam secara tumpang sari yang dapat menguntungkan petani (Waluya, 2003). Di Indonesia, talas ditanam dalam berbagai pola budidaya, bisa sebagai tanaman tunggal (monokultur), tumpang sari atau tumpang gilir (Prana dan Kuswara, 2002). Umur panen talas bervariasi tergantung kultivarnya. Ada kultivar yang genjah yang dapat dipanen pada umur sekitar 4 – 5 bulan, misalnya talas pare dan talas jahe. Namun ada pula kultivar yang tergolong berumur dalam (lambat) hingga waktu panennya bisa mencapai 8 bulan. Bila kultivar yang tergolong kelompok dalam ini dipelihara secara intensif, termasuk pengairannya, maka waktu panennya bahkan bisa ditunda sampai umur 10 – 12 bulan dengan bobot umbi yang tentu saja meningkat (Prana dan Kuswara, 2002).
3
Kebanyakan kultivar komersial dipanen sekitar umur 7 bulan. Pemanenan yang dilakukan lebih awal hasilnya jelas lebih sedikit dibandingkan yang dipanen belakangan. Akan tetapi penundaan pemanenan yang terlalu lama (lebih dari 8 bulan) berkemampuan mengurangi kualitas umbi, meskipun secara kuantitatif hasilnya bertambah (Prana dan Kuswara, 2002). Pemanenan dilakukan dengan cara menggali umbi talas, lalu pohon talas dicabut dan pelepahnya di potong sepanjang 20 – 30 cm dari pangkal umbi serta akarnya dibuang dan umbinya di bersihkan dari tanah yang melekat. Masa panen talas perlu mendapat perhatian yang cermat sebab waktu panen yang tidak tepat akan menurunkan kualitas hasil. Panen yang terlalu cepat akan menghasilkan talas yang tidak kenyal dan pulen, sebaliknya jika panen terlambat akan menghasilkan umbi talas yang terlalu keras dan liat (BPTP Banten, 2009). Talas merupakan tanaman umbi-umbian yang dapat mengeluarkan getah berwarna putih seperti susu. Tanaman ini memiliki daun berbentuk perisai dan warna daun yang sangat bervariasi tergantung varietasnya. Pada setiap permukaan daun dan pelepah tanaman ini dilapisi oleh lapisan lilin untuk melindungi diri. Tanaman ini memiliki sistem perakaran yang relatif dangkal. Daya jangkau akar tanaman ini mencapai kedalaman 40 - 60 cm dari permukaan tanah. Kulit umbi talas berwarna kemerah-merahan dan dagingnya berwarna putih keruh (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI di Cibinong melalui kegiatan eksplorasinya telah berhasil menginventarisasikan dan mengidentifikasi lebih dari 180 macam (morfotipe) talas dari 710 contoh talas yang dikumpulkan terutama dari Jawa, Bali, Sulawesi, dan Lampung. Keanekaragaman ini menyangkut berbagai sifat seperti tinggi pohon, bentuk dan ukuran daun, warna daun dan pelepah daun, banyaknya stolon dan anakan, bentuk dan warna serta ukuran pembungaan, bentuk dan ukuran umbi, warna dan tekstur serta daging umbi, umur panen, ketahanan terhadap hama/penyakit, ketahanan/toleransi terhadap kekeringan, dan lain-lain (Prana dan Kuswara, 2002). Karakter talas lainnya terdapat batang di bawah tanah berupa cormus yang berpati dan besar. Bentuk dan ukuran cormus bervariasi tergantung dari genotipenya, macam bibit yang digunakan, faktor ekologi khususnya jenis tanah, dan ada tidaknya batuan. Cormus tipe taro daratan umumnya bulat atau sedikit memanjang, sementara yang tipe rawa/sawah umumnya sangat memanjang. Cormus terdiri dari tiga bagian utama, yaitu kulit, korteks, dan daging. Kulit dapat halus, berserabut atau tertutup sisik. Serat pada daging sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi lingkungan. Untuk mengetahui bentuk cabang cormus talas yang dibedakan menjadi dua yaitu bercabang dan tidak bercabang dapat dilihat pada Gambar 1 (Minantyorini dan Hanarida, 2002). Sedangkan karakterisasi bentuk cormus talas yang diamati menurut deskriptor plasma nutfah talas terdapat pada Gambar 2 (Minantyorini dan Hanarida, 2002).
Keterangan gambar : 0 (tidak bercabang) dan 1 (bercabang) Gambar 1. Cabang cormus talas
4
Keterangan gambar : 1 (kerucut), 2 (membulat), 3 (silindris), 4 (elips), 5 (halter), 6 (memanjang), 7 (datar dan bermuka banyak), 8 (tandan) Gambar 2. Klasifikasi bentuk cormus talas (Minantyorini dan Hanarida, 2002)
Tabel 1. Daftar kandungan gizi talas dalam 100 g umbi, daun, dan tangkai daun talas
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Kandungan Gizi Kalori (cal.) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Abu (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Natrium (mg) Kalium (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin C (mg) Niacin (mg) Air (g) Bag. Yg dapat dimakan (%)
Umbi a 85.00 2.50 0.20 19.10 0.40 0.80 32.00 64.00 0.80 700 514.00 0.18 0.04 10.00 0.90 77.50 81.00
b 98.00 1.90 0.20 23.79 28.00 61.00 1.00 20.00 0.13 4.00 73.00 85.00
Bagian Tanaman Daun a b 69.00 71.00 4.40 4.10 1.80 2.10 12.20 12.30 3.40 2.00 268.00 302.00 78.00 47.00 4.30 8.30 11.00 1237.00 20385.00 10395.00 0.10 0.11 0.33 142.00 163.00 2.00 79.60 79.40 55.00 80.00
Tangkai Daun a 19.00 0.20 0.20 4.60 0.60 1.20 57.00 23.00 1.40 5.00 367.00 335.00 0.01 0.02 8.00 0.20 93.80 84.00
a.
Food and Nutrition Res. Center. Handbook I, Manila (1964) dalam Rukmana (1998)
b. c.
a dan b dikutip dari Prana dan Kuswara (2002)
Direktorat Gizi Depkes RI (1981) dalam Rukmana (1998)
Komposisi kimia umbi talas bervariasi tergantung pada varietas, iklim, kesuburan tanah, dan umur panen. Umbi talas berpotensi sebagai sumber karbohidrat dan protein yang cukup tinggi.
5
Umbi talas juga mengandung lemak, vitamin A, B1 (Thiamin) dan sedikit vitamin C. Umbi talas memiliki kandungan mineral Ca, dan P yang cukup tinggi (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Kandungan gizi pada talas dapat dilihat pada Tabel 1. Umbi talas merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan protein yang baik, kandungan pati yang mudah dicerna, bebas gluten, kaya akan tiamin, niacin, riboflavin, dan vitamin C (Onayemi dan Nwigwe, 1978). Talas juga kaya akan getah yaitu mencapai 10.7% getah kasar. Getah tersebut diekstrak dari cormus dan umbi talas menggunakan air mendidih. Cormus talas segar seberat 1 kg dapat menghasilkan 100 gram getah murni. Getah kasar dapat digunakan sebagai bahan pengikat dan emulsifier. Pati talas juga baik digunakan sebagai bahan pengisi, biodegradable polyethylene film, dan bahan pengganti lemak (Jane et al., 1992). Komposisi talas yang rendah lemak dan natrium, bebas gluten dan laktosa, kaya kalsium, fosfor, vitamin B serta mudah dicerna membuat talas banyak digunakan sebagai makanan bayi di daerah Hawaii. Masyarakat daerah Pasifik, yaitu New Zealand dan Australia juga mengkonsumsi talas sebagai makanan pokok (Matthews, 2004).
B. TEPUNG TALAS Tepung adalah hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan atau penepungan. Pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbi-umbian. Menurut Suismono et al. (2005), tahapan pembuatan tepung umbi-umbian yang lazim dilakukan baik pada skala industri rumah tangga maupun menengah dan besar adalah meliputi proses pengupasan, pencucian, penyawutan, pengeringan, dan penggilingan. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering atau dengan menggunakan sinar matahari. Pengeringan dengan menggunakan pengering buatan memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan sinar matahari. Hal ini dikarenakan suhu pengeringan dan aliran udaranya dapat diatur sehingga pengeringan lebih cepat dan merata. Pada tahap pengeringan, selain mengalami perubahan fisik, produk mengalami perubahan kadar air dan komponen kimia lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi proses, metode proses, kondisi bahan, dan perlakuan pendahuluan. Proses pengeringan juga bersifat mengawetkan dikarenakan penurunan kadar air pada bahan menyebabkan aktivitas air berkurang sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba maupun reaksi yang tidak diinginkan (Winarno, 1992). Talas dilaporkan mengandung pati 70 – 80% dengan granula yang berukuran kecil yaitu diameter 1.4 – 5 µm. Bentuk granula kecil pada pati talas menyebabkan talas mudah dicerna sehingga diindikasikan sebagai bahan pangan yang mampu mengatasi masalah pencernaan. Penduduk di beberapa daerah di Hawaii dan kepulauan Pasifik, menggunkan talas dalam bentuk tepung sebagai bahan makanan sapihan bayi dan balita yang hipersensitif terhadap susu (Jane et al., 1992). Selain itu, talas juga sering dikonsumsi sebagai makanan pokok bagi orang-orang yang alergi terhadap biji-bijian tertentu yang mengandung gluten terutama gandum (Lee, 1992).
C. OKSALAT Oksalat (C2O42-) di dalam talas terdapat dalam bentuk yang larut air (asam oksalat) dan tidak larut air (biasanya dalam bentuk kalsium oksalat atau garam oksalat). Asam oksalat adalah senyawa kimia yang memiliki nama sistematis asam etanadioat. Asam oksalat dapat ditemukan dalam bentuk bebas ataupun dalam bentuk garam. Bentuk yang lebih banyak ditemukan adalah
6
bentuk garam. Kedua bentuk asam oksalat tersebut terdapat baik dalam bahan nabati maupun hewani. Jumlah asam oksalat dalam tanaman lebih besar daripada hewan (Noonan dan Savage, 1999). Menurut Noonan dan Savage (1999), asam oksalat membentuk garam larut air bersama ion Na+, K+, dan NH4+ serta berikatan pula dengan Ca2+, Fe2+, dan Mg2+ menyumbangkan mineralmineral yang tidak tersedia pada hewan. Oksalat terdapat dalam bentuk ion oksalat (C2O42-) pada beberapa spesies tumbuhan dari famili Goosefoot dengan cairan sel mendekati pH 6. Ion oksalat yang ditemukan biasanya dalam bentuk natrium oksalat yang dapat larut serta kalsium oksalat dan magnesium oksalat yang tidak dapat larut. Oksalat dapat ditemukan dalam jumlah yang relatif kecil pada banyak tumbuhan. Bahan pangan yang kaya dengan oksalat biasanya hanya merupakan komponen minor dalam diet manusia, tetapi menjadi penting dalam diet di beberapa wilayah di dunia. Colocasia (talas) dari famili Aroid merupakan salah satu tanaman dengan level kadar oksalat paling tinggi, yaitu 470 mg/100 g (Noonan dan Savage, 1999). Peran oksalat pada tumbuhan antara lain sebagai perlindungan terhadap insekta dan hewan pemakan tumbuhan melalui toksisitas dan/atau rasa yang tidak menyenangkan, dan osmoregulasi (Ma dan Miyasaka, 1998). Kalsium oksalat adalah persenyawaan garam antara ion kalsium dan ion oksalat. Senyawa ini terdapat dalam bentuk kristal padat non volatil, bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam asam kuat (Schumm, 1978). Secara umum terdapat lima jenis bentuk dasar kalsium oksalat yang terdapat dalam berbagai tanaman, diantaranya berbentuk raphide (jarum), rectangular dan bentuk pinsil, druse (bulat), prisma, dan rhomboid (Horner dan Wagner, 1995). Bentuk umum kristal kalsium oksalat yang banyak ditemukan pada tumbuhan monokotil dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bentuk kristal oksalat pada tanaman monokotil (Horner dan Wagner, 1995) a. Raphide (bentuk jarum) b. Rectangular dan bentuk pinsil c. Druse (bentuk bulat)
Bradbury dan Nixon (1998) menyatakan bahwa efek gatal yang merangsang rongga mulut dan kulit disebabkan oleh adanya kristal kecil yang berbentuk jarum halus yang disebut raphide. Raphide adalah struktur berbentuk jarum yang tersusun atas kristal-kristal kalsium oksalat di dalam vakuola sel tumbuhan. Raphide umumnya memliki panjang sekitar 50 – 200 µm, diameter 2 – 4 µm, dan dapat berpenetrasi pada kulit (Bradbury dan Nixon, 1998). Efek gatal muncul ketika kristal dilepaskan dan menimbulkan lubang-lubang kecil pada kulit saat bersentuhan dengan raphide (Onwueme, 1994). Raphide terkurung di dalam kapsul yang dikelilingi lendir yang disebut dengan sel idioblas. Kapsul-kapsul itu terletak dalam daerah di antara dua vakuola. Ujung dari kapsul menyembul ke dalam perbatasan vakuola-vakuola pada dinding sel. Vakuola-vakuola tersebut berisi air sehingga jika diberi perlakuan mekanis maka air
7
akan masuk ke dalam kapsul melalui dinding sel. Tekanan air terhadap dinding sel meningkat sehingga kristal kalsium oksalat yang berbentuk jarum terdesak ke luar.
Gambar 4. Raphide yang bergerombol dalam sel idioblas (Aboubakar et al., 2008)
Asam oksalat bersama dengan kalsium dan zat besi di dalam tubuh manusia membentuk kristal yang tak larut sehingga dapat menghambat penyerapan kalsium oleh tubuh (Noonan dan Savage, 1999). Hal ini menyebabkan konsumsi makanan tinggi asam oksalat dalam jangka panjang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Metabolisme oksalat tidak dapat dilakukan di dalam tubuh sehingga dikeluarkan melalui ginjal. Individu yang memiliki kerentanan khusus dengan oksalat, yaitu penderita kelainan ginjal, encok, dan radang persendian atau osteoporosis harus membatasi asupan asam oksalat, sedangkan orang yang sehat mungkin tidak perlu, dengan tetap menjaga agar konsumsi bahan pangan tersebut tidak dilakukan secara terus-menerus dalam jangka panjang. Jenis paling umum dari batu ginjal adalah batu kalsium dengan komposisi mencapai 80% dan paling banyak ditemukan dalam bentuk kalsium oksalat (Mariani, 2008). Asam oksalat dan garamnya tergolong senyawa yang berbahaya karena bersifat toksik. Senyawa oksalat dengan dosis 4 – 5 gram dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa, tetapi dosis yang dilaporkan dapat menyebabkan pengaruh fatal biasanya adalah 10 – 15 gram (Noonan dan Savage, 1999). Proses pencernaan asam oksalat dapat mengakibatkan korosi pada mulut dan sistem pencernaan serta gagal ginjal. Gejala pada pencernaan yaitu abdominal kram dan muntahmuntah yang dengan cepat diikuti kegagalan peredaran darah dan pecahnya pembuluh darah inilah yang dapat menyebabkan kematian (Mariani, 2008).
D. REDUKSI OKSALAT Banyak cara dilakukan untuk menghilangkan rasa gatal akibat kandungan oksalat pada talas. Salah satunya dengan cara pemanasan (Smith, 1997). Pemanasan dilakukan melalui penjemuran, pemanasan (Lee, 1999); perebusan, perendaman dalam air hangat, pemanggangan (Iwuoha dan Kalu, 1994); dan pengeringan (Nur, 1956). Proses pemanasan dapat mengurangi kelarutan oksalat, namun proses pemanasan tidak dapat menghilangkan keseluruhan kandungan oksalat dalam makanan. Perebusan hanya mengurangi kadar oksalat terlarut, namun tidak untuk garam oksalat. Perebusan dapat mengurangi kadar oksalat dengan cara membuang air rebusan. Penurunan kadar oksalat dengan perebusan disebabkan oleh pelarutan dan degrasi panas (Iwuoha dan Kalu, 1995). Perebusan dapat menurunkan kadar oksalat total talas dari Jepang hingga 77%, sedangkan pemanggangan meningkatkan kadar oksalat hingga dua kali lipat (Catherwood et al., 2007). Pemanggangan akan meningkatkan efektivitas kandungan oksalat dikarenakan hilangnya kadar air dalam bahan yang disebabkan dalam pemanggangan tersebut (Noonan dan Savage, 1999). Perendaman umbi dalam air hangat suhu 38 - 48°C selama kurang dari 4 jam diklaim dapat menurunkan kadar komponen penyebab gatal tanpa menyebabkan gelatinisasi pati (Huang dan Hollyer, 1995). Proses fermentasi dapat juga digunakan untuk mengurangi kandungan oksalat
8
karena fermentasi dapat mendekomposisikan kalsium oksalat menjadi asam karboksilat yang kemudian terdehidrasi menjadi alkohol. Perlakuan kimia juga dapat dilakukan untuk menghilangkan kalsium oksalat. Penghilangan kalsium oksalat dapat dihilangkan dengan cara melarutkan kalsium oksalat dalam asam kuat sehingga mendekomposisi kalsium oksalat menjadi asam oksalat. Asam klorida dapat bereaksi secara sempurna dengan kalsium oksalat, disamping asam kuat lainnya seperti asam sulfat (Schumm, 1978). Reaksi antara asam klorida dengan kalsium oksalat akan menghasilkan endapan kalsium klorida dan asam oksalat yang dapat dinyatakan dengan persamaan reaksi sebagai berikut: 2 HCl (l) + CaC2O4 (s) CaCl2 (s) + H2C2O4 (l) Reaksi tersebut tergolong reaksi metatesis, yaitu reaksi yang berlangsung antara asam dan garam. Reaksi metatesis ditandai dengan terbentuknya endapan, gas atau zat yang langsung terurai menjadi gas (Schumm, 1978). Perendaman dalam larutan garam (NaCl) banyak dilakukan untuk mengurangi efek gatal pada talas. Garam terbentuk dari hasil reaksi asam dan basa yang terdiri dari ion positif (kation) dan ion negatif (anion), sehingga membentuk senyawa netral (tanpa muatan). NaCl akan terionisasi di dalam air menjadi ion Na+ dan Cl- yang akan berikatan dengan kalsium oksalat membentuk natrium oksalat dan endapan kalsium diklorida yang larut dalam air dengan reaksi sebagai berikut: CaC2O4 + 2 NaCl → Na2C2O4 + CaCl2
E. PENELITIAN TERDAHULU Penelitian reduksi oksalat yang dilakukan Onayemi dan Nwigwe (1987), menunjukkan bahwa perendaman menggunakan asam sitrat dengan konsentrasi 0.1% dan lama perendaman 3 jam mampu menurunkan kadar oksalat umbi hingga 80%, akan tetapi waktu perendaman yang terlalu lama dinilai kurang efisien disamping dapat mengurangi tingkat kesukaan konsumen terhadap produk karena rasa masam dari asam sitrat yang menimbulkan penyimpangan cita rasa. Penelitian yang berkaitan dengan talas telah dilakukan oleh Kurdi (2002) yang mereduksi oksalat dengan menggunkan asam klorida. Pada penelitiannya, Kurdi merendam irisan talas pada HCl dengan konsentrasi 0.05; 0.15; dan 0.25% selama 2; 4; dan 6 menit. Hasil optimum yang didapat pada penelitian Kurdi adalah perendaman HCl dengan konsentrasi 0.25% selama 4 menit. Perendaman talas dengan asam klorida menyebabkan kalsium oksalat bereaksi dengan asam. Konsentrasi yang tinggi mempunyai jumlah partikel yang lebih banyak sehingga mempunyai kemampuan lebih banyak untuk mereduksi oksalat pada talas. Akan tetapi persen reduksi oksalat yang diteliti oleh Kurdi (2002) tidak cukup tinggi, yaitu 32% sehingga oksalat tidak direduksi secara optimal. Perendaman dalam larutan NaCl dilakukan oleh Prabowo (2010) pada umbi porang, dimana umbi porang dengan talas masih satu keluarga dalam suku talas-talasan (Araceae). Perendaman irisan umbi porang dilakukan secara berulang hingga lima kali pada larutan NaCl 4.5% dengan nilai efisiensi hampir 40%. Nilai efisiensi tersebut dinilai masih rendah karena tidak mampu mereduksi sebagian besar kalsium oksalat dari irisan umbi. Mayasari (2010) menggunakan larutan asam dan larutan garam untuk mereduksi kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Mayasari menggunakan talas Bogor sebagai bahan penelitiannya. Larutan asam yang digunakan adalah asam sitrat dan asam klorida sedangkan
9
larutan garam yang digunakan adalah NaCl. Konsentrasi larutan asam sitrat dan asam klorida yang digunakan adalah 0.1; 0.3; dan 0.5 M dengan lama perendaman 5 dan 10 menit. Sedangkan konsentrasi larutan garam NaCl yang digunakan adalah 5; 7.5; dan 10% dengan lama perendaman 30 dan 60 menit. Hasil optimum yang didapat oleh penelitian Mayasari (2010) adalah perendaman larutan garam NaCl 10% selama 60 menit dapat mereduksi oksalat sebesar 93.62%. Wahyudi (2010) melakukan reduksi oksalat talas dengan menggunakan perendaman air hangat dengan suhu yang digunakan adalah 40 dan 50°C dengan lama perendaman adalah 1; 2; 3; dan 4 jam. Hasil yang terbaik yang didapat oleh Wahyudi (2010) adalah perendaman talas dengan air hangat suhu 40°C dengan lama perendaman selama 4 jam. Dengan metode perendaman talas dengan air hangat suhu 40°C dengan lama perendaman selama 4 jam dapat mereduksi oksalat sebanyak 81.96%.
10
III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah batang talas yang diperoleh dari Pandeglang, Banten yang berumur 6 bulan, 8 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah HCl 2 M, HCl 3%, NaOH 40%, larutan Luff Schrool, H2SO4 25%, KI 20%, indikator kanji, dan Na2SO3 0.1 N. Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, cawan aluminium, oven, desikator, pisau, waterbath, tray dryer, discmill, slicer, sentrifuse, HPLC (High Performance Liquid Chromatograph), hot plate, pendingin tegak, dan alat-alat gelas.
B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian 1 (Penentuan Umur Panen) Penentuan umur panen didasari pada karakterisasi fisik talas yang meliputi panjang, diameter, dan bobot talas serta analisa kimia pada tepung talas yang dilakukan pada tahap karakterisasi tepung talas yang meliputi kadar air, kadar oksalat, dan kadar pati. Parameter yang dipakai untuk mengetahui waktu panen talas Banten adalah ukuran panjang, diameter, dan bobot batang talas Banten yang besar serta kandungan oksalat yang rendah dan kandungan pati yang tinggi pada talas Banten. Dengan parameter tersebut, maka akan didapatkan informasi waktu panen yang tepat untuk talas Banten. Metode karakterisasi fisik talas sampai penentuan umur panen talas Banten merupakan penelitian 1 yang secara ringkas ditampilkan pada Gambar 5. Penelitian 1 bertujuan untuk mengetahui ukuran bobot, panjang, dan diameter batang talas serta kandungan air, oksalat, dan pati pada talas Banten yang didasari pada perbedaan umur panen serta bagian batang talas sehingga dapat dijadikan acuan untuk penentuan waktu panen yang tepat bagi talas Banten.
a. Karakterisasi Fisik Talas Talas yang telah dikelompokkan menurut umur panen 6 bulan, 8 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan dibagi tiga potongan batang yaitu ujung, tengah, dan pangkal. Ujung merupakan batang yang letaknya dekat dengan pelepah daun dan pangkal merupakan batang yang paling dalam saat ditanam. Sedangkan bagian tengah merupakan batang yang teletak diantara ujumg dan pangkal. Talas yang sudah dikelompokkan berdasarkan umur panen dan bagian batang kemudian dianalisis penampakan fisiknya yang meliputi bobot batang, tinggi batang, panjang diameter batang. Analisis kimia yang dilakukan adalah kadar air batang berdasarkan bagian batang yang telah dipotong. Karakterisasi fisik talas dilakukan untuk mengetahui penampakan fisik talas serta mengetahui ukuran bobot, panjang, dan diameter batang talas Banten.
b. Pembuatan Tepung Talas Berbagai Umur Panen Talas yang telah dipisahkan berdasarkan umur panen dan bagian batang kemudian diiris dengan menggunakan slicer untuk memperkecil ukurannya. Talas yang telah siap kemudian dikeringkan dengan menggunakan tray drier dengan pengeringan pada suhu
11
60°C. Talas yang telah kering (keripik talas dapat dipatahkan) kemudian dihancurkan dengan discmill dengan menggunakan pengayak 100 mesh. Pembuatan tepung talas diperlukan untuk menghasilkan tepung talas yang dapat dipakai untuk sampel pengujian.
c. Karakterisasi Tepung Talas Tepung talas yang telah jadi kemudian dianalisa untuk mengetahui karakteristiknya. Tepung talas yang didapat merupakan tepung talas dari berbagai umur panen dan bagian batang. Analisa yang dilakukan pada karakterisasi tepung talas meliputi kadar air, kadar oksalat, dan kadar pati. Karakteristik tepung talas digunakan untuk mengetahui kandungan air, oksalat, dan pati pada tepung talas berbagai umur panen dan bagian batang.
Talas Banten
Karakterisisasi penampakan fisik talas : bentuk, bobot, panjang, warna, diameter
Pengupasan
Kulit dan pelepah daun
Pengirisan tipis
Pengeringan, 60°C; 2 x8 jam
Penggilingan (pengayak 100 mesh)
Tepung talas berbagai umur panen
Analisis: kadar air, kadar oksalat, kadar pati
Penentuan umur panen talas Banten
Gambar 5. Diagram alir penelitian 1 (penentuan umur panen)
12
2. Penelitian 2 (Reduksi Oksalat) Talas Banten memiliki kandungan oksalat yang cukup tinggi dan dapat menyebabkan batu ginjal. Sehingga perlu penanganan untuk mereduksi kandungan oksalat yang ada di dalam talas Banten. Salah satunya dengan cara perendaman talas Banten pada larutan NaCl. Konsentrasi larutan NaCl yang digunakan adalah 10% dan 5 % dengan taraf waktu perendaman yang digunakan ada lima yaitu 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, dan 150 menit. Talas yang telah direndam dengan larutan NaCl kemudian direndam dengan air pada suhu kamar dengan waktu perendaman adalah 180 menit. Hal ini untuk mengurangi rasa asin akibat perendaman dengan larutan NaCl. Analisis kimia yang dilakukan adalah kadar oksalat. Metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
Batang talas Banten
Pengupasan
Pengirisan tipis
Reduksi oksalat (NaCl 5% dan 10%) (30’; 60’; 90’; 120’; dan 150’) Penirisan
Perendaman dalam air (25°C), 3 jam
Penirisan
Pengeringan, 60°C; 2 x8 jam
Penggilingan (pengayak 100 mesh)
Tepung talas rendah oksalat
Analisis kadar oksalat
Gambar 6. Diagram alir penelitian 2 (reduksi oksalat)
13
C. RANCANGAN PERCOBAAN 1. Rancangan Percobaan Penelitian 1 (Penentuan Umur Panen) Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian 1 adalah rancangan acak kelompok faktorial. Faktor yang diamati adalah umur panen dan bagian batang talas dengan kelompoknya adalah ulangan. Faktor umur panen yang diamati ada empat yaitu umur panen 6 bulan, 8 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan. Sedangkan faktor bagian batang yang diamati ada tiga adalah batang bagian ujung, tengah, dan pangkal. Model linier dari rancangan percobaan untuk penelitian 1 adalah sebagai berikut : Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ρk + εijk Keterangan : i = 1,2,3,4,; j = 1,2,3; k = 1,2 Yijk = nilai pengamatan pada faktor umur taraf ke-i, faktor bagian batang taraf ke-j, kelompok ke-k µ = rataan umum αi = pengaruh utama faktor umur ke-i βj = pengaruh utama faktor bagian batang ke-j ρk = pengaruh aditif dari kelompok dan diasumsikan tidak berinteraksi dengan perlakuan εijk = galat percobaan Hipotesis : a. Pengaruh faktor umur panen (A) H0 : α1 = … = αi = 0 (faktor umur tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) : paling sedikit ada satu i dimana αi ≠ 0 H1 b. Pengaruh faktor bagian batang (B) H0 : β1 = … = βj = 0 (faktor batang tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1 : paling sedikit ada satu j dimana βj ≠ 0 c. Pengaruh interaksi faktor A dengan faktor B H0 : (αβ)11 = (αβ)12 = … = (αβ)ab = 0 (interaksi dari faktor A dengan faktor B tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1 : paling sedikit ada sepasang (i,j) dimana (αβ)ij ≠ 0 d. Pengaruh pengelompokkan H0 : ρ1 = … = ρk = 0 (blok tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1 : paling sedikit ada satu k dimana ρk ≠ 0
2. Rancangan Percobaan Penelitian 2 (Reduksi Oksalat) Rancangan percobaan yang digunakan untuk reduksi oksalat pada perendaman talas dalam larutan NaCl adalah rancangan petak terpisah (split plot). Faktor yang dipelajari adalah konsentrasi larutan yang digunakan (α) yang disebut dengan petak utama dan waktu perendaman (β) yang disebut dengan anak petak. Faktor konsentrasi larutan (α) memiliki dua taraf yaitu 5% dan 10%. Sedangkan faktor waktu perendaman (β) memiliki memiliki lima taraf yaitu 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Perlakuan dilakukan dengan dua kali ulangan. Model linier rancangan petak terpisah untuk reduksi oksalat adalah sebagai berikut :
14
Yijk = µ + αi + δik + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : i = 1,2,3,4,5; j = 1,2; k = 1,2 Yijk = nilai pengamatan pada faktor α taraf ke-i, faktor β taraf ke-j, dan ulangan ke-k µ = rataan umum αi = pengaruh utama faktor α ke-i βj = pengaruh utama faktor β ke-j (αβ)ij = komponen interakasi dari faktor α dan faktor β δik = galat percobaan dari petak utama εijk = galat percobaan dari anak petak Hipotesis : a. Pengaruh petak utama (faktor konsentrasi NaCl (A)) (faktor konsentrasi larutan tidak berpengaruh terhadap respon H0 : α1 = … = αi = 0 yang diamati) H1 : paling sedikit ada satu i dimana αi ≠ 0 b. Pengaruh anak petak (faktor waktu perendaman (B)) H0 : β1 = … = βj = 0 (faktor waktu perendaman tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1 : paling sedikit ada satu j dimana βj ≠ 0 c. Pengaruh interaksi faktor konsentrasi larutan yang digunakan dan waktu perendaman (αβ)ij H0 : (αβ)11 = (αβ)12 = … = (αβ)ij = 0 (interaksi dari faktor A dengan faktor B tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1 : paling sedikit ada sepasang (i,j) dimana (αβ)ij ≠ 0
15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TALAS Penelitian ini diawali dengan karakterisasi talas Banten yang meliputi penampakan fisik tanaman talas. Talas yang diamati adalah talas yang telah dikelompokkan berdasarkan umur panen. Umur panen talas yang diamati adalah 6 bulan, 8 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan. Talas Banten ini berasal dari daerah Gunung Karang, Desa Juhut, Kabupaten Pandeglang. Habitat penanaman talas Banten ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Habitat talas Banten di daerah Juhut, Pandeglang
Talas Banten mempunyai keunikan yaitu mempunyai batang yang terdapat di dalam tanah. Batang yang tertanam di bawah tanah merupakan cormus yang berpati dan besar (Minantyorini dan Hanarida, 2002). Cormus yang terdapat pada talas Banten bentuknya memanjang dan mempunyai kecenderungan bertambah panjang setiap pertambahan umur tanaman. Cormus talas Banten mempunyai bentuk yang bercabang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Cabang dari cormus diduga merupakan umbi talas Banten. Umbi talas Banten berukuran kecil bila dibandingkan dengan batang (cormus) talas tersebut. Bentuknya seperti tandan yang menempel pada cormus. Penampakan cormus talas Banten ditunjukkan pada Gambar 9 sedangkan penampakan umbi talas Banten pada Gambar 10.
Gambar 8. Penampakan talas Banten
16
Batang (cormus) talas Banten Umbi talas Banten
Gambar 9. Penampakan cormus talas Banten
Gambar 10. Penampakan umbi talas Banten
Talas Banten yang tumbuh di daerah Juhut belum mempunyai kepastian umur panen yang tepat sehingga warga Juhut memanen talas apabila tanaman talas sudah terlihat besar dan tingginya sudah melebihi tinggi manusia. Penelitian ini berupaya untuk mengkarakteristik talas Banten berdasarkan umur panen sehingga diharapkan mampu mengetahui kepastian umur panen yang tepat. Karakterisasi penampakan fisik talas Banten dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil karakteristik talas Banten berdasarkan umur panen
Karakteristik talas Bentuk batang Warna kulit batang Warna daging batang Panjang batang (cm) Diameter batang (cm) Bobot kotor batang (kg) Bobot bersih batang (kg)
6 memanjang coklat kuning 34.81 8.49 1.7 1.43
Umur Panen (bulan) 8 10 memanjang memanjang coklat coklat kuning kuning 40.56 54.13 9.21 10.65 2.46 4.04 2.02 3.73
12 memanjang coklat kuning 66.95 10.8 5.98 5.56
Talas Bogor (Nurafriani, 2010) membulat merah putih 10.3 19 1.38 0.98
Batang (cormus) talas Banten mempunyai bentuk memanjang dengan setiap pertambahan umur tanaman akan bertambah panjang. Dengan bentuk yang memanjang maka mempermudah dalam pengupasan kulit batang sebelum dimasak. Selain itu, batang talas Banten permukaan kulit luarnya rata sehingga mudah dikupas. Hal tersebut merupakan keuntungan yang dimiliki oleh talas Banten. Namun bagian pangkal batang (batang yang letaknya paling dalam saat ditanam) memiliki sedikit kesulitan saat dikupas karena banyaknya akar yang menempel pada batang dan adanya umbi yang tumbuh disekitar pangkal batang. Bentuk batang talas Banten berbeda dengan batang talas Bogor yang diteliti oleh Nurafriani (2010) yang bentuknya membulat. Bila merujuk pada Minantyorini dan Hanarida (2002) yang telah mengklasifikasikan bentuk batang ke dalam 8 kategori maka talas Banten masuk pada
17
kategori 6 yaitu bentuk memanjang sedangkan talas Bogor masuk ke dalam kategori 2 yaitu membulat yang ditampilkan pada Gambar 2. Warna kulit batang talas Banten yang diamati memiliki warna coklat untuk semua talas Banten berbagai umur panen. Bila dibandingkan dengan talas Bogor yang memiliki warna kulit merah, talas Banten memiliki penampakan kulit yang lebih gelap sehingga penampakannya adalah warna coklat. Warna daging batang talas Bogor yang diamati memiliki warna kuning berbeda dengan talas Bogor yang warna dagingnya adalah putih. Talas Bogor mempunyai warna kulit dan daging buah yang sesuai dengan penjelasan Muchtadi dan Sugiyono (1992) bahwa talas memiliki kulit berwarna kemerah-merahan dan dagingnya berwarna putih keruh. Warna daging talas dapat mempengaruhi selera konsumen. Seorang konsumen akan memilih talas dengan warna daging yang segar dan cerah warnanya. Karena daging talas yang menarik (segar dan cerah warnanya) tidak memerlukan bahan pewarna sehingga aman untuk dikonsumsi. Daging talas yang banyak dipasarkan adalah yang berwarna putih dan kuning sehingga talas Banten memiliki potensi untuk dipasarkan karena memiliki warna kuning pada dagingnya. Penampakan warna kuning pada talas Banten merupakan daya tarik karena pada talas yang segar, warna kuningnya terlihat cerah. Panjang batang pada talas Banten menunjukkan peningkatan setiap kenaikan umur panen. Pada umur panen 6 bulan panjang batang adalah 34.81 cm, kemudian pada umur panen 8 bulan panjang batangnya mencapai 40.56 cm. Panjang batang talas umur panen 10 bulan adalah 54.13 cm dan talas Banten umur panen 12 bulan mencapai 66.95 cm. Selisih paling besar dijumpai pada saat talas mencapai usia 10 bulan karena perbedaan panjangnya mencapai 13.57 cm bila dihitung dari usia sebelumnya yaitu 8 bulan. Hal ini dimungkinkan karena talas Banten sedang mengalami fase pemanjangan sel yang optimum. Dikatakan pemanjangan sel yang optimum karena saat mencapai usia 12 bulan peningkatan panjang batang hanya sebesar 12.82 cm. Pertumbuhan panjang batang disebabkan oleh adanya kerja hormon pertumbuhan di dalam tanaman. Pada kasus ini hormon pertumbuhan yang berperan adalah sitokinin. Sitokinin berperan memacu pembelahan sel dan memacu pembesaran sel. Batang talas Banten memiliki panjang batang yang lebih besar daripada talas Bogor yang hanya memiliki 10.3 cm seperti yang diteliti oleh Nurafriani (2010). Talas Bogor yang diteliti oleh Nurafriani (2010) hanya ⅓ panjang batang talas Banten umur panen 6 bulan. Bila merujuk pada klasifikasi yang dilakukan oleh Minantyorini dan Hanarida (2002) terhadap panjang batang talas maka talas Banten masuk kedalam kategori 9 karena panjang batang mencapai lebih dari 18 cm. Klasifikasi panjang batang yang dilakukan oleh Minantyorini dan Hanarida (2002) membagi panjang batang menjadi empat kategori yaitu : 3 (<8 cm), 5 (8-12 cm), 7 (12-18 cm), dan 9 (>18 cm). Bobot kotor (daging dan kulit) batang talas Banten umur 6 – 12 bulan berkisar dari 1.7 – 5.98 kg. Bobot batang mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan usia tanaman talas. Pada umur panen 6 bulan bobot batangnya 1.7 kg dan pada usia 8 bulan bobotnya mencapai 2.46 kg. Bobot batang semakin bertambah pada umur panen 10 bulan yaitu sebesar 4.04 kg dan kemudian bertambah lagi pada umur panen 12 bulan yaitu mencapai 5.98 kg. Berdasarkan data tersebut maka dapat ditunjukkan bahwa semakin besar ukuran batang maka semakin berat bobotnya. Hal ini pun menunjukkan keterkaitan dengan panjang batang yaitu semakin panjang batang maka semakin besar bobot batang talas Banten. Pertambahan bobot batang talas Banten dapat disebabkan oleh dua faktor pertumbuhan pada tanaman yaitu faktor dalam seperti hormon tumbuh dan faktor lingkungan seperti air, kelembaban, suhu, dan cahaya.
18
Selain itu menurut Hidajat (1980), ukuran batang yang bertambah seiring dengan bertambahnya umur juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah sel-sel parenkima korteks akibat pembelahan sel secara periklinal di sekitar berkas pembuluh yang selanjutnya melebar ke arah radial dan tangensial, serta terjadinya pembelahan sel yang tersebar pada batang. Bobot batang pada talas Banten memiliki bobot yang lebih besar bila dibandingkan dengan talas Bogor. Talas Bogor hanya memiliki bobot sebesar 1.38 kg (Nurafriani, 2010) padahal talas Bogor tersebut dipanen pada usia tanaman 8 bulan. Dengan adanya informasi tersebut, maka menanam talas Banten mempunyai kelebihan dari segi bobot karena pada umur panen 6 bulan saja sudah didapat bobot batang sebesar 1.7 kg berbeda dengan talas Bogor yang harus menunggu sampai 8 bulan untuk mendapatkan bobot batang sebesar 1.38 kg. Klasifikasi bobot batang talas Banten bila merujuk pada Minantyorini dan Hanarida (2002), maka talas Banten umur panen 6 bulan masuk pada kategori 2, talas Banten umur panen 8 bulan masuk pada kategori 3, dan talas Banten umur panen 10 bulan dan 12 bulan masuk pada kategori 99. Klasifikasi Minantyorini dan Hanarida (2002) membagi kategori bobot talas menjadi 4 yaitu kategori 1 (<0.5 kg), 2 (0.5 – 2.0 kg), 3 (2.0 – 4.0), dan 99 (>4.0). Hasil yang didapat dari karakterisasi fisik batang talas Banten menunjukkan adanya peningkatan untuk setiap parameter seperti panjang batang, bobot batang, dan diameter batang. Peningkatan tersebut berbanding lurus dengan peningkatan umur panen. Hasil karakteristik fisik tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan umur panen yang terbaik pada talas Banten. Karakterisasi yang dilakukan tidak terbatas pada karakterisasi berdasarkan umur panen, melainkan dilakukan juga karakterisasi per bagian batang. Bagian batang yang diamati adalah ujung batang, tengah batang, dan pangkal batang. Ujung batang dilihat dari batang yang paling dekat dengan pelepah daun talas. Bagian pangkal batang adalah bagian batang yang paling dalam ditanam di tanah atau bagian yang paling dekat akar. Sedangkan bagian tengah batang adalah batang yang menghubungkan ujung batang dengan pangkal batang. Pembagian batang menjadi tiga potongan diawali dari pengukuran panjang batang secara keseluruhan kemudian hasil pengukuran dibagi menjadi tiga bagian yang sama panjang. Pembagian batang menjadi tiga potongan dapat dilihat pada Gambar 11.
Ujung batang Tengah batang
Pangkal batang
Gambar 11. Pembagian bagian batang pada talas Banten
Karakterisasi penampakan fisik batang per bagian juga diamati agar dapat diketahui sebaran bagian batang yang memiliki kapasitas bobot dan diameter terbesar serta melihat pola pertumbuhan yang terjadi pada batang talas Banten. Pada potongan per bagian batang, sebaran terbesar untuk bobot kotor, bobot bersih, dan diameter batang ditemukan pada bagian tengah batang untuk setiap umur panen. Karakterisasi fisik per bagian batang dapat dilihat pada Tabel 3.
19
Tabel 3. Hasil karakterisasi penampakan fisik per bagian batang
umur panen (bulan)
bagian batang
bobot kotor (kg)
bobot bersih (kg)
diameter (cm)
ujung
0.51
0.42
7.94
tengah
0.63
0.58
8.79
pangkal
0.53
0.44
8.37
ujung
0.81
0.63
9.08
tengah
0.93
0.77
9.29
pangkal
0.81
0.62
9.07
ujung
1.34
0.98
9.76
tengah
1.71
1.44
10.81
pangkal
1.31
1.05
10.54
ujung
1.52
1.53
10.54
tengah
2.04
1.96
11.12
pangkal
1.91
1.70
11.23
6
8
10
12
Bagian batang talas Banten merupakan bagian yang sering dimanfaatkan oleh warga setempat karena bobot batang lebih besar dari daripada umbi talas tersebut. Masyarakat setempat menyebut umbi sebagai kimpul. Berdasarkan penelitian kali ini, kimpul baru ada saat talas Banten mencapai umur tanaman 10 bulan. Hal ini diduga karena belum berkembangnya sel-sel pertumbuhan kimpul. Oleh karena itu, pemanfaaatan batang pada talas Banten lebih diutamakan daripada kimpul talas Banten. Karakteristik bobot kotor umbi (kimpul) talas Banten ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil karakterisasi bobot kotor umbi (kimpul) talas Banten
umur panen (bulan)
6
8
10
12
bobot kotor (kg)
-
-
0.37
1.17
kadar air batang (%)
Karakteristik fisik yang dilakukan tidak cukup untuk dijadikan sebagai acuan untuk penentuan umur panen talas Banten terbaik maka itu perlu dilakukan analisis kimia. Analisis kimia yang dilakukan adalah kadar air batang. Pada pengukuran kadar air ini, selain talas dibedakan berdasarkan umur panen, talas juga dibedakan berdasarkan bagian batang. Kadar air talas Banten berdasarkan umur panen ditampilkan pada Gambar 12.
78.5 78.0
78.30 78.03
77.5
77.40
77.0 76.5 76.23
76.0 6 bulan
8 bulan
10 bulan
12 bulan
umur panen Gambar 12. Hubungan antara kadar air batang dengan umur panen talas Banten
20
Berdasarkan sidik ragam didapatkan hasil Pvalue > α (0.05) untuk faktor umur panen (Lampiran 2) sehingga hipotesis H0 diterima yaitu faktor umur panen tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati (kadar air batang). Kadar air batang tertinggi ditemukan pada talas umur panen 8 bulan yaitu 78.3% sedangkan kadar air terendah ditemukan pada talas dengan umur panen 10 bulan yaitu 76.23% namun tidak ada perbedaan yang nyata antara kadar air batang umur panen tersebut. Hasil serupa juga didapatkan pada faktor bagian batang bahwa sidik ragam didapatkan hasil Pvalue > α (0.05) (Lampiran 2) sehingga hipotesis H0 diterima yaitu faktor bagian batang tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati (kadar air batang). Berdasarkan grafik pada Gambar 13, kadar air tertinggi ditemukan pada bagian pangkal batang dan terendah ditemukan pada bagian tengah. Tidak adanya perbedaan yang nyata disebabkan karena bagian batang berasal dari batang yang sama.
80 79.38
kadar air (%)
79 78
77.68
77 76 75.41
75 74 ujung
tengah
pangkal
bagian batang talas
Gambar 13. Hubungan kadar air dengan bagian batang talas Banten
Interaksi antara faktor umur dan bagian batang pun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air batang karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 2) sehingga hipotesis H0 diterima. Pengaruh blok pun tidak ada karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 2) dan hipotesis H0 diterima yaitu blok tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu kadar air batang. Kandungan air yang terdapat pada batang talas berpengaruh pada jumlah rendemen tepung yang dihasilkan. Kadar air yang tinggi pada batang akan menghasilkan rendemen tepung yang sedikit namun sebaliknya bila kadar air rendah pada batang maka akan mendapatkan rendemen tepung yang lebih banyak. Kadar air suatu bahan pangan merupakan sesuatu yang sangat penting. Kadar air suatu bahan juga memepengaruhi umur simpan bahan pangan tersebut. Semakin rendah kadar air suatu bahan maka akan semakin awet bahan pangan tersebut. Hal ini karena semakin rendah nilai kadar air maka semakin rendah nilai aktifitas airnya. Nilai aktifitas air ini berkaitan dengan mikroba. Aktifitas air dapat didefinisikan sebagai jumlah air bebas yang dapat digunakan mikroba untuk mendukung pertumbuhannya (Winarno, 1997). Bahan pangan dengan aktifitas air rendah maka air yang terdapat pada bahan tersebut tidak dapat digunakan mikroba untuk melakukan pertumbuhan sehingga bahan pangan akan lebih awet.
21
B. KARAKTERISASI TEPUNG TALAS BERBAGAI UMUR PANEN 1. Kadar Air Tepung Kadar air tepung talas Banten yang didapat menunjukkan hasil bahwa pada umur panen 8 bulan terjadi peningkatan kadar air namun kemudian terjadi penurunan pada umur panen 10 bulan terjadi penurunan begitu juga dengan tepung umur panen 12 bulan. Hubungan antara kadar air tepung talas Banten dengan umur panen ditunjukkan pada Gambar 14.
kadar air tepung (%)
7.0 6.5 6.0
6.42 5.92
5.89
5.5 5.11
5.0 4.5 6 bulan
8 bulan
10 bulan
12 bulan
umur panen Gambar 14. Hubungan antara kadar air tepung talas Banten dengan umur panen
Hasil sidik ragam didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) untuk faktor umur panen (Lampiran 3) sehingga hipotesis H0 diterima untuk faktor umur panen yang menjelaskan bahwa faktor umur panen tidak berpengaruh terhadap kadar air tepung. Pengaruh bagian batang pun tidak ada karena hasil sidik ragam didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) untuk bagian batang (Lampiran 3) sehingga hipotesis H0 diterima. Interaksi antara umur panen dan bagian batang yang didapatkan dari sidik ragam menunjukkan bahwa Pvalue > α (0.05) (Lampiran 3) sehingga hipotesis H0 diterima untuk interaksi antara umur panen dan bagian batang yang menyatakan bahwa interaksi dari faktor umur panen dengan faktor bagian batang tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu kadar air tepung. Hasil serupa juga didapatkan untuk pengelompokkan yaitu Pvalue > α (0.05) (Lampiran 3) untuk hasil sidik ragam. Sehingga blok tidak berpengaruh terhadap kadar air tepung. Kadar air tepung paling tinggi ditemukan pada tepung talas Banten umur panen 8 bulan yaitu sebesar 6.42% sedangkan kadar air tepung yang terendah ditemukan pada tepung talas umur panen 12 bulan yaitu 5.11%. Namun hal tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kadar air tepung Banten telah memenuhi syarat kadar air yang aman untuk tepung yaitu dibawah 14%, sehingga dapat mencegah pertumbuhan kapang (Winarno et al., 1980). Kadar air juga berpengaruh terhadap keawetan produk pangan karena bahan yang berkadar air tinggi akan lebih cepat busuk akibat adanya aktivitas mikroorganisme. Richana dan Sunarti (2002), menambahkan bahwa jumlah air dalam bahan akan mempengaruhi daya tahan bahan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh mikroba maupun serangga. Pada Gambar 15, grafik tersebut menunjukkan bahwa batang bagian tengah mempunyai kadar air yang tinggi yaitu 6.25% sedangkan yang terendah ditemukan pada bagian pangkal batang yaitu 5.41%. Hasil yang didapat tidak berpengaruh pada kadar air tepung yang didapat
22
sehingga pemanfaatan batang dapat maksimal tidak tergantung pada bagian batang tertentu saja. kadar air tepung (%)
6.4 6.25
6.2 6.0 5.8
5.85
5.6 5.41
5.4 5.2 ujung
tengah
pangkal
bagian batang Gambar 15. Hubungan antara kadar air tepung dengan bagian batang talas Banten
Kadar air tepung talas mempunyai nilai yang berbeda dengan kadar air batang talas. Hal ini dikarenakan pada tepung talas terjadi proses pengeringan sehingga air yang terkandung di dalam batang menguap. Nilai kadar air pada tepung talas menunjukkan pola grafik yang sama dengan kadar air batang talas. Hanya satu umur saja yang mempunyai pola grafik berbeda yaitu pada umur panen 12 bulan. Pada batang, kadar air yang didapat meningkat sedangkan pada tepung hasilnya menurun. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh pengaruh suhu dan lama pengeringan serta kondisi saat pengeringan berlangsung. Selain itu tidak adanya parameter yang jelas untuk mengetahui kekeringan keripik. Biasanya indikator keripik sudah kering adalah keripik dapat dipatahkan sehingga keripik dapat langsung ditepungkan. Namun kendalanya adalah keripik dipatahkan hanya beberapa sampel saja sehingga tidak semua keripik dapat diketahui keseragaman kekeringannya. Suhu yang kurang merata pada tray merupakan faktor penyebab ketidakseragaman kekeringan keripik. Selain itu juga waktu pengeringan juga berpengaruh terhadap kekeringan keripik. Semakin tinggi suhu dan lama pemanasan maka penguapan air yang terjadi akan lebih banyak sehingga kadar airnya juga lebih rendah. Walaupun demikian, suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan kegosongan pada bahan yang dikeringkan. Waktu yang terlalu lama juga akan menyebabkan ketidakefisienan proses pengeringan, karena pada awal pengeringan kecepatan jumlah air yang hilang per satuan waktu adalah tetap, tetapi kemudian terjadi penurunan penghilangan air tidak akan terlalu banyak lagi (Winarno, 1997).
2. Rendemen Tepung Rendemen tepung talas didapatkan dari hasil tepung dibandingkan dengan bobot bersih (daging) batang talas. Rendemen tepung talas yang didapat menunjukkan peningkatan pada umur panen 10 bulan. Rendemen tepung pada umur panen 10 bulan yaitu sebesar 24.39% sedangkan rendemen terendah ditemukan pada umur panen 8 bulan yaitu 20.16%. Hubungan antara rendemen tepung talas ditunjukkan pada Gambar 16. Hasil sidik ragam menunjukkan Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4) untuk faktor umur panen sehingga hipotesis H0 diterima untuk faktor umur panen yaitu faktor umur tidak berpengaruh terhadap rendemen tepung talas Banten. Interaksi yang terjadi juga tidak ada antara umur
23
panen dan bagian batang karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4). Blok pun tidak berpengaruh untuk rendemen tepung talas karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4).
rendemen tepung (%)
25 24.39
24 23 22 21.50 21
20.43
20.16
20 19 6 bulan
8 bulan
10 bulan
12 bulan
umur panen Gambar 16. Hubungan antara rendemen tepung talas Banten dengan umur panen
rendemen tepung (%)
Rendemen tepung talas umur panen 10 bulan mempunyai nilai rendemen tepung terbesar. Hal ini karena didukung oleh kadar air batang paling kecil yaitu 76.23% dan juga nilai kadar air tepung yang rendah yaitu 5.89%. Hal ini terbukti bahwa nilai kadar air mempengaruhi rendemen tepung yang dihasilkan. Bahwa semakin meningkatnya kadar air maka rendemen yang dihasilkan akan sedikit namun apabila kadar air dalam suatu bahan rendah maka rendemen produk yang dihasilkan akan meningkat.
23.0 22.73 22.5 22.0 21.5 21.0
21.05
21.09
20.5 ujung
tengah
pangkal
bagian batang Gambar 17. Hubungan rendemen tepung dengan bagian batang talas
Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa rendemen tepung talas Banten cenderung meningkat dari ujung ke bagian pangkal batang. Namun, hal ini tidak berpengaruh terhadap rendemen tepung talas karena berdasarkan hasil sidik ragam didapatkan hasil Pvalue > α (0.05) (Lampiran 4). Rendemen tepung talas dipengaruhi oleh proses pembuatan tepung talas seperti pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Proses tersebut dapat mengurangi rendemen tepung talas yang dihasilkan. Pada proses pengeringan, banyak komponen talas yang hilang akibat talas kering (sawut/keripik) tercecer di lantai dan menempel di tray dan sulit untuk diambil. Pada proses penepungan dan pengayakan, ada sebagian tepung yang beterbangan dan
24
menempel pada bahan penampung tepung. Hal ini semua dapat mengurangi rendemen tepung talas yang dihasilkan. Namun demikian, hal itu merupakan sesuatu yang lazim yang tidak dapat dihindari, karena setiap proses pengolahan pangan pasti akan mengalami kehilangan. Baik karena tercecer atau karena akumulasi di alat.
3. Kadar Oksalat Metode yang digunakan dalam menghitung kadar oksalat adalah dengan menggunakan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatograph) karena memberikan hasil yang sangat akurat (Savage et al., 2000). Dengan metode HPLC, analisis yang dilakukan adalah soluble dan total oksalat sedangkan untuk insoluble oksalat biasanya dilakukan dengan metode by different (Hollowey et al. 1989). Pada penelitian ini dilakukan analisis oksalat terlarut dan total oksalat untuk mengetahui kandungan oksalat yang terdapat pada talas Banten. Hubungan antara kandungan oksalat talas Banten dengan umur panen dapat dilihat pada Gambar 18.
kadar oksalat (ppm)
9000 8525.68 8000 7115.37
7000 6000
7030.14 5903.00
5000 6 bulan
8 bulan
10 bulan
12 bulan
umur panen Gambar 18. Hubungan antara kndungan oksalat talas Banten dengan umur panen
Hasil sidik ragam (Lampiran 5) didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) untuk faktor umur panen sehingga hipotesis H0 diterima yang menjelaskan bahwa faktor umur panen tidak berpengaruh terhadap kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Berdasarkan grafik pada Gambar 18 terlihat bahwa kandungan oksalat cenderung menurun pada umur tanaman talas 10 bulan namun mengalami kenaikan saat umur tanaman 12 bulan. Namun hal tersebut bukan merupakan acuan karena berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 5) bahwa umur panen tidak mempunyai pengaruh terhadap kandungan oksalat dalam talas. Perkembangan jumlah oksalat berkaitan dengan pola pertumbuhan tanaman talas Banten. Kandungan oksalat berkaitan dengan kebutuhan kalsium untuk pertumbuhan tanaman sehingga diduga mempengaruhi pengendapan kalsium untuk pembentukkan kristal kalsium oksalat. Seperti dijelaskan oleh Ma dan Miyasaka (1998), bahwa peran oksalat pada tumbuhan antara lain sebagai perlindungan terhadap insekta dan hewan pemakan tumbuhan melalui toksisitas dan/atau rasa yang tidak menyenangkan, dan osmoregulasi sehingga mempunyai arti penting bagi talas dalam melindungi diri. Pertumbuhan vegetatif tanaman talas yang maksimum sehingga menyebabkan penurunan jumlah total kristal kalsium oksalat. Pertumbuhan yang cepat membutuhkan
25
kalsium yang tinggi untuk pertumbuhan tanaman karena fungsi kalsium pada tanaman merupakan kation dari lamela tengah suatu dinding sel, dimana kalsium pektat merupakan penyusun utamanya. Selain itu Ca memiliki andil penting dalam pengaturan membran sel dengan jalan memelihara selektivitas terhadap berbagai jenis ion (Salisbury dan Ross, 1995).
kadar oksalat (ppm)
7700 7500
7491.59
7300 7100
7032.29 6906.76
6900 6700 ujung
tengah
pangkal
bagian batang Gambar 19. Hubungan antara kandungan oksalat dengan bagian batang talas
Berdasarkan grafik pada Gambar 19, sebaran kandungan oksalat yang tinggi berada pada batang bagian ujung dengan rata-rata kandungan total oksalat sebesar 7,491.59 ppm. Kandungan oksalat pada batang mempunyai pola kecenderungan menurun dari ujung batang ke bagian pangkal batang. Namun berdasarkan sidik ragam didapatkan bahwa Pvalue > α (0.05) (Lampiran 5) sehingga hipotesis H0 diterima yang menjelaskan bahwa faktor bagian batang tidak berpengaruh terhadap kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Menurut Salisbury dan Ross (1995), kelebihan kalsium akan berdampak pada defisiensi kalsium. Walaupun semua titik tumbuh peka terhadap defisiensi kalsium tetapi bagian akarlah yang lebih parah. Bagian itu akan berhenti tumbuh, menjadi tidak teratur, terlihat bagai membelit dan pada defisiensi berat akan mati. Sehingga bagian batang yang dekat akar (pangkal) tidak dapat menerima kelebihan kalsium. Interaksi antara umur panen dan bagian batang tidak berpengaruh terhadap kandungan oksalat karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 5). Selain itu, blok pun tidak berpengaruh terhadap oksalat yang ada di dalam talas karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 5). Kandungan oksalat yang tinggi diduga berada di dekat daerah xilem yang terdapat di dalam batang. Pada tumbuhan monokotil, jaringan pengangkut tersebar secara acak di dalam jaringan dasar (biasanya tersusun atas sel-sel parenkim). Setiap jaringan pengangkut dikelilingi oleh pembungkus (bundle sheath) dan memiliki xilem yang mengarah ke dalam serta floem yg mengarah ke luar batang (Campbell et al., 2002). Menurut Horner dan Wagner (1995), kalsium diangkut melalui xilem, kemudian dengan oksalat terlarut membentuk kristal kalsium oksalat. Selain itu Schadel dan Walter (1980) melaporkan bahwa tanaman dapat mengurangi kelebihan kalsium dengan cara pembuangan kalsium melalui proses gutasi dan penyimpanan kelebihan kalsium dalam bentuk kristal kalsium oksalat di sekitar xilem. Oksalat pada talas diduga kuat merupakan penyebab rasa gatal yang ditimbulkan talas. Menurut Bradbury dan Nixon (1998), Rasa yang tajam ini disebabkan oleh kalsium oksalat yang berbentuk raphide (Gambar 3) serta dapat menembus kulit lembut. Lebih lagi Bradbury dan Holloway (1988) melaporkan bahwa kristal kalsium oksalat tipe raphide menyebabkan
26
rasa gatal dengan cara melepaskan diri dari sel idioblas melalui selubung sel yang robek. Kemudian kristal ini menginjeksikan dirinya ke dalam jaringan mulut maupun kulit, dan bersamaan dengan robeknya selubung, senyawa yang bersifat toksik dikeluarkan dari dari sel idioblas. Senyawa yang bersifat toksik ini belum diketahui secara pasti komponennya.
4. Kadar Pati Kadar pati pada tepung talas Banten dengan hasil terbesar ditemukan pada umur panen 8 bulan yaitu sebesar 96.36%. Sedangkan kadar pati terendah ditemukan pada talas Banten umur panen 10 bulan yaitu sebesar 91.09%. Berdasarkan sidik ragam didapatkan Pvalue < α (0.05) (Lampiran 6) sehingga hipotesis H0 ditolak dan hipotesis H1 diterima yaitu paling sedikit ada satu umur panen yang mempengaruhi kadar pati pada talas Banten. Pada umur panen 8 bulan, diduga terjadi pembentukan pati pada talas saat berfotosintesis mempunyai kandungan nutrisi yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Leger (1980) yang menyatakan bahwa waktu/umur panen tertentu merupakan titik optimal dimana kandungan nutrisi terutama kandungan pati yang cukup tinggi dan sudah tidak terjadi penambahan yang berarti, pada umumnya umbi yang dipanen pada umur panen yang lebih tua akan memiliki kandungan pati yang lebih tinggi. Namun demikian peningkatan kandungan pati umbi yang ditanam juga dipengaruhi oleh kondisi tanamna, terutama bagian daun yang erat kaitannya dengan proses fotosintesis, dimana semakin tua umur tanaman, daunnya akan menguning sehingga sudah tidak efektif lagi dalam kaitannya untuk peningkatan kandungan pati. Hubungan antara kadar pati talas Banten dengan umur panen disajikan pada Gambar 20.
97 96.36a
kadar pati (%)
96 95
94.63b
94
93.49c
93 92 91.09d
91 90 6 bulan
8 bulan 10 bulan 12 bulan umur panen
Gambar 20. Hubungan antara kadar pati talas Banten dengan umur panen *) keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa talas Banten mempunyai perbedaan yang nyata untuk setiap umur panen. Berdasarkan hasil tersebut kandungan pati tertinggi ditemukan pada umur panen 8 bulan yaitu 96.36%. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu yang mendapatkan kadar pati umbi talas sebesar 24.5% (Bradbury dan Holloway, 1988), kadar pati umbi talas yang diuji pada penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh umur talas serta macam kultivar yang digunakan dan lingkungan pembudidayaannya. Karena talas yang diujikan oleh Bradbury dan Holloway (1988) adalah talas yang diambil dari negara Fiji.
27
Berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan talas Banten sebagai sampel ujinya. Selain itu, bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa tepung sedangkan bahan yang dipakai oleh Bradbury dan Holloway (1988) berupa umbi segar. Penentuan kadar pati pun pernah dilakukan oleh Hartati dan Prana (2003), mereka melakukan identifikasi terhadap kandungan pati yang dimiliki oleh 20 kultivar talas. Berdasarkan hasil analisis, kandungan pati yang dimiliki oleh 20 kultivar talas tersebut berkisar antara 68.24 – 72.61%. Hasil ini menunjukkan perbedaan kadar pati yang didapat pada penelitian yaitu kisaran kandungan pati yalas Banten sebesar 91.09 – 96.36%. Perbedaan ini didasari perbedaan genus tanaman talas karena talas yang diamati oleh Hartati dan Prana (2003) merupakan talas genus Colocasia. Fotosintesis yang terjadi pada talas Banten tertinggi pada talas umur panen 8 bulan karena terjadi peningkatan kadar pati yang sangat tinggi. Jumlah kandungan pati yang tinggi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan tapi di daun yang amat penting adalah tingkat dan lama cahaya seperti yang diungkapkan oleh Salisbury dan Ross (1995). Hal ini dapat diduga karena kondisi lingkungan yang kurang optimal pada saat penanaman. Pati yang sering dijumpai terdiri dari dua jenis yaitu amilosa dan amilopektin yang keduanya terdiri dari D–glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α–1,4. Ikatan α–1,4 menyebabkan rantai pati menggulung menjadi kumparan. Amilopektin terdiri dari molekul yang bercabang-cabang; cabang itu terdapat diantara C–6 dari glukosa pada rantai utama dan C–1 dari glukosa pertama pada rantai cabang (ikatan α–1,6) (Salisbury dan Ross, 1995).
kadar pati (%)
95.5 95.0
94.98a
94.5 94.0 93.54b
93.5
93.16b
93.0 92.5 ujung
tengah
pangkal
bagian batang Gambar 21. Hubungan antara kadar pati dengan bagian batang talas *) keterangan: Perbedaan huruf/angka menyatakan nilai yang berbeda nyata
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa Pvalue < α (0.05) (Lampiran 6) sehingga hipotesis H0 ditolak dan hipotesis H1 diterima yaitu minimal ada satu bagian batang yang berpengaruh terhadap kadar pati. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 7), bagian ujung batang berbeda nyata dengan bagian tengah dan pangkal batang. Bagian ujung batang mempunyai kandungan pati paling tinggi yaitu 94.98%. hal ini diduga bagian ujung merupakan bagian yang paling dekat dengan daun tempat fotosintesis berlangsung. Interaksi antara umur panen dan bagian batang mempengaruhi kadar pati yang ada pada talas. Hal ini didasari oleh hasil sidik ragam yang menyatakan bahwa Pvalue < α (0.05) (Lampiran 6) sehingga H0 ditolak dan H1 diterima yaitu paling sedikit ada sepasang interakasi antara umur dan bagian batang yang mempengaruhi kadar pati. Perbedaan yang nyata untuk
28
interakasi antara umur dan bagian batang terdapat pada Lampiran 7. Sedangkan untuk blok tidak berpengaruh terhadap kadar pati karena Pvalue > α (0.05) (Lampiran 6).
C. REDUKSI OKSALAT TALAS Teknik reduksi oksalat yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan cara perendaman talas menggunakan larutan NaCl. Ada dua konsentrasi larutan yang digunakan yaitu larutan NaCl 5% dan larutan NaCl 10%. Waktu perendaman juga diperhitungkan dalam penelitian ini dan taraf waktu yang digunakan sebanyak 5 taraf yaitu 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Hubungan antara waktu perendaman serta konsentrasi larutan NaCl yang digunakan terhadap reduksi oksalat dapat dilihat pada Gambar 22. Konsentrasi yang dipakai mengacu pada perlakuan terbaik yang dipakai oleh Mayasari (2010). Pada penelitian Mayasari (2010) tersebut, konsentrasi yang terbaik dalam mereduksi oksalat adalah perendaman talas dalam larutan NaCl 10%. Konsentrasi yang dipakai mempunyai tingkat tertinggi pada 10%. Hal ini dikarenakan bila konsentrasi NaCl ditambahkan akan berakibat asin pada rasa tepung yang dihasilkan sehingga pemakaian konsentrasi dibatasi. Sedangkan pemilihan waktu didasarkan pada kemampuan yang dimiliki NaCl dalam menyerap oksalat pada talas. Pada penelitian Mayasari (2010), waktu maksimum yang dipakai adalah 60 menit sedangkan pada penelitian kali ini waktu maksimum yang dipakai adalah 150 menit. Hal ini dilakukan untuk membuktikan kemampuan penyerapan oksalat oleh NaCl dapat lebih maksimal bila kondisi waktu ditambahkan lebih dari 60 menit.
7000 kadar oksalat (ppm)
6000 5000 4000 3000
NaCl 5%
2000
NaCl 10%
1000 0 30
60
90
120
150
waktu perendaman (menit) Gambar 22. Hubungan antara waktu perendaman dan konsentrasi NaCl terhadap reduksi oksalat
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa Pvalue > α (0.05) (Lampiran 8) untuk konsentrasi NaCl yang digunakan. Sehingga hipotesis H0 diterima yaitu faktor konsentrasi larutan NaCl (petak utama) tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati yaitu penurunan kandungan oksalat. Sedangkan hasil sidik ragam untuk waktu perendaman menunjukkan bahwa Pvalue < α (0.05) (Lampiran 8) sehingga hipotesis H0 ditolak dan H1 diterima yaitu minimal ada satu waktu perendaman yang berbeda nyata. Kadar oksalat terendah ditunjukkan pada waktu perendaman 150 menit dan terendah selama perendaman 30 menit. Kandungan oksalat pada talas semakin menurun setiap pertambahan waktu perendaman.
29
Berdasarkan uji lanjut Duncan pada Lampiran 9 hanya waktu perendaman selama 90 menit dan 120 menit yang tidak berbeda nyata. Sedangkan untuk waktu perendaman lainnya menunjukkan perbedaan yang nyata. Berdasrkan persentase reduksi oksalat yang ditampilkan pada Tabel 5, pengaruh waktu terbesar ditunjukkan pada 150 menit. Tabel 5. Persentase reduksi oksalat talas pada perendaman larutan NaCl
kadar oksalat awal (ppm)
waktu (menit)
5894.40 5894.40
kadar oksalat akhir (ppm)
persentase reduksi (%)
5%
10%
5%
10%
30
5690.37
5729.07
3.46
3
60
3594.08
3680.04
39.03
37.57
5894.40
90
3141.16
2023.68
46.71
65.67
5894.40
120
2739.29
1669.33
53.53
71.68
5894.40
150
1652.65
572.31
71.96
90.29
Interaksi antara konsentrasi larutan dan waktu perendaman tidak berpengaruh terhadap reduksi oksalat. Hal ini berdasarkan sidik ragam yang ditunjukkan pada Lampiran 8 bahwa bahwa Pvalue > α (0.05). Berdasarkan data pada Tabel 5, presentase reduksi oksalat terbesar ditemukan pada larutan NaCl 10% dengan waktu perendaman selama 150 menit. Hal ini didasari oleh semakin banyak partikel Na+ dan Cl- yang terdapat dalam larutan maka semakin banyak ikatan yang terjadi dengan partikel Ca2+ dan C2O42- yang menghasilkan natrium oksalat (Na2C2O4) yang larut dalam air sehingga kadar oksalat dapat tereduksi secara maksimal melalui air perendaman yang terbuang. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mereduksi atau bahkan menghilangkan kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Salah satu metode yang digunakan adalah perendaman dalam air hangat dengan suhu antara 38 – 48°C yang dilakukan oleh Huang dan Hollyer (1995). Proses pemanasan pun juga telah dilakukan oleh Wahyudi (2010) yang menggunakan suhu 40°C dalam merendam talas. Pada penelitian Wahyudi (2010), kandungan oksalat menurun hingga 81.96%. Untuk mendapatkan hasil reduksi oksalat yang lebih banyak, seharusnya talas dipanaskan dahulu pada suhu 40°C sebelum talas diberi perlakuan perendaman larutan garam. Namun hal itu tidak dilakukan karena pada penelitian ini talas langsung direndam dengan larutan NaCl. Perlakuan terbaik didapatkan pada perendaman talas dengan menggunakan larutan NaCl 10% selama 150 menit mencapai penurunan oksalat sebanyak 90.29%. Walaupun talas Banten tidak diberi perlakuan pemanasan tetapi hasil yang didapat menunjukkan penurunan yang lebih besar dalam mereduksi oksalat daripada hasil yang didapatkan oleh Wahyudi (2010). Hal ini diduga karena perendaman dengan larutan NaCl 10% tidak hanya melarutkan oksalat terlarut namun juga kalsium oksalat yang tidak larut dalam air. Reduksi oksalat dengan menggunakan larutan kimia seperti asam juga sudah pernah dilakukan sebelumnya. Asam yang digunakan dapat bersifat asam kuat atau pun asam lemah. Penggunaan asam kuat dalam mereduksi oksalat pernah dilakukan oleh Kurdi (2002). Kurdi (2002) menggunakan larutan asam klorida 0.25% selama 4 menit. Hasil yang didapat hanya mereduksi oksalat sebanyak 32%. Hasil yang didapat Kurdi mempunyai nilai yang lebih rendah dalam mereduksi oksalat bila dibandingkan dengan penelitian ini yang menggunakan larutan NaCl 10% selama 150 menit. Padahal reaksi antara asam klorida dan kalsium oksalat akan membentuk asam oksalat yang larut dalam air dan juga membentuk endapan kalsium klorida. Hal ini disebabkan oleh sifat asam klorida yang termasuk jenis asam kuat (pKa= -8.0) yang dapat
30
terdisosiasi penuh dalam air, sehingga mampu melarutkan kalsium oksalat menjadi asam oksalat (Schumm, 1978). Perendaman dengan asam sitrat pun pernah dilakukan Onayemi dan Nwigwe (1987) yang menggunakan larutan asam sitrat dengan konsentrasi 0.1% dengan lama perendaman 3 jam. Hasil perendaman dengan asam sitrat dapat menurunkan oksalat hingga 80%. Hasil yang didapat cukup tinggi karena konsentrasi yang digunakan hanya 0.1% namun waktu perendaman sangat lama yaitu 3 jam. Dengan waktu yang terlalu lama maka akan mengurangi tingkat kesukaan konsumen terhadap produk karena rasa masam dari asam sitrat yang menimbulkan penyimpangan cita rasa. Reduksi oksalat dengan perendaman larutan NaCl pernah dilakukan oleh Prabowo (2010) pada umbi porang yang masih satu keluarga dengan talas dalam suku talas-talasan (Araceae). Perendaman irisan umbi porang dilakukan secara berulang hingga lima kali pada larutan NaCl 4.5% dengan nilai efisiensi hampir 40%. Nilai efisiensi tersebut dinilai masih rendah karena tidak mampu mereduksi sebagian besar kalsium oksalat dari irisan umbi. Reduksi oksalat pada talas dengan perendaman larutan NaCl juga dilakukan oleh Mayasari (2010). Mayasari menggunakan larutan NaCl 10% untuk merendam talas dengan lama waktu perendaman 60 menit. Hasil penelitian Mayasari menunjukkan bahwa perendaman dengan larutan NaCl 10% selama 60 menit mampu mereduksi oksalat sebesar 96.83%. Perendaman dengan larutan garam NaCl 10% yang dilakukan mempunyai perbedaan hasil dengan penelitian sebelumnya yaitu Mayasari (2010). Mayasari (2010) menyatakan bahwa dengan perendaman larutan garam NaCl 10% selama 60 menit memiliki kemampuan terbaik untuk mereduksi kandungan oksalat yang ada di talas namun pada penelitian kali ini waktu perendaman terbaik adalah perendaman selama 150 menit dengan konsentrasi larutan yang digunakan sama yaitu sebesar 10%. Perbedaan lama waktu yang didapat disebabkan oleh perbedaan jenis talas yang digunakan. Talas yang dipakai oleh Mayasari adalah talas Bogor (C. esculenta L.Schoot) yang mempunyai penampakan fisik dan kandungan kimia yang berbeda dengan talas Banten (X. undipes K.Koch). Dengan adanya perbedaan jenis talas maka kemampuan untuk mengeluarkan oksalat yang terkandung di dalam talas berbeda juga. Selain itu waktu maksimal yang dipakai Mayasari hanya pada 60 menit berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan waktu maksimal 150 menit. Bila Mayasari (2010) menambahkan taraf waktu lebih lama pada faktor waktu perendaman maka akan didapat kemungkinan waktu terbaik bukan 60 menit melainkan taraf waktu yang lebih panjang karena dengan lamanya waktu perendaman akan terjadi pengikatan ion C2O42- oleh ion Na+ sehingga membentuk natrium oksalat (Na2C2O4) yang larut dalam air lebih lama dan pengikatan ion tersebut dapat maksimal dengan lamanya waktu perendaman. Penurunan kandungan oksalat mencapai 96.83% yang dilakukan oleh Mayasari dapat juga disebabkan oleh adanya perlakuan pemanasan sebelum perendaman dengan larutan NaCl. Penelitian Mayasari merupakan penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Wahyudi (2010) sehingga tingginya penurunan oksalat yang dicapai oleh Mayasari sangat besar karena memang pada saat pemanasan dengan suhu 40°C saja, kandungan oksalat sudah menurun 81.96%. Dengan adanya proses perendaman dengan air panas, asam oksalat yang ada di dalam talas dapat berkurang karena kandungan oksalat dalam bahan berpindah ke air rendaman yang tidak mengandung oksalat. Perpindahan oksalat dari dalam talas ke air rendaman memungkinkan kandungan oksalat pada talas berkurang. Reduksi oksalat pada talas Banten perlu dilakukan karena asam oksalat dan garamnya dapat memiliki efek merusak terhadap gizi dan kesehatan manusia, terutama dengan mengurangi penyerapan kalsium dan membantu pembentukan batu ginjal seperti yang dijelaskan oleh Noonan dan Savage (1999). Kebanyakan kencing batu terbentuk pada manusia karena adanya kristal
31
kalsium oksalat (Hodgkinson, 1977). Penderita batu ginjal harus membatasi total asupan oksalat tidak melebihi 50 – 60 mg per hari (Massey et al., 2001). Menurut Holmes dan Kennedy (2000), makanan yang mengandung oksalat (>10 mg/100g) termasuk makanan yang tinggi oksalat sehingga berpeluang dalam menyebabkan batu ginjal. Berdasarkan pernyataan Holmes dan Kennedy (2000) tersebut oksalat dalam makanan tidak boleh melebihi 10 mg/100 g. Dengan kata lain makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak boleh melebihi 100 ppm karena dapat berisiko pada batu ginjal. Bila membandingkan dengan hasil reduksi oksalat yang didapat, maka tepung yang dihasilkan dapat berisiko terhadap pembentukan batu ginjal. Makanan yang mengandung oksalat 100 ppm tidak boleh melebihi 50 – 60 mg per hari (Massey et al., 2001), sehingga bila dikalibrasikan dengan hasil tepung yang didapat maka asupan makanan tidak boleh melebihi 10.5 mg per hari untuk tepung dengan kandungan oksalat sebesar 572.31 ppm. Namun biasanya penggunaan tepung secara langsung jarang ditemukan. Biasanya pemanfaatan tepung dipakai untuk pengolahan makanan. Sehingga dengan adanya proses pengolahan yang terjadi dapat menurunkan kandungan oksalat yang ada dalam tepung talas Banten.
D. PEMANFAATAN TALAS BANTEN (Xanthosoma undipes K.Koch) Talas Banten merupakan sumber pangan lokal yang sedang digalakkan oleh Pemda Banten guna melaksanakan diversifikasi pangan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada beras sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional dan instrumen peningkatan produktivitas kerja melalui perbaikan gizi masyarakat. Minimnya informasi mengenai talas Banten oleh warga setempat menjadikan talas Banten hanya dianggap sebagai tanaman liar yang tumbuh subur. Pada awalnya masyarakat setempat menyebut talas Banten sebagai talas Belitung. Namun karena bentuknya yang besar dan warnanya kuning maka talas Banten disebut sebagai beneng atau besar koneng. Selain itu baru setelah adanya pemberitahuan oleh Petugas Pertanian Lapangan (PPL) Pemda Banten bahwa talas Banten mempunyai nilai jual dan konsumsi, talas Banten dibudidayakan dan bahkan telah dipamerkan dalam pameran makanan lokal tingkat provinsi maupun nasional. Talas Banten banyak ditemukan di daerah Gunung Karang di Desa Juhut, kabupaten Pandeglang. Talas jenis ini lebih unggul karena tidak membutuhkan perawatan khusus. Selain itu PPL Juhut Dadi Supriadi menjelaskan bahwa talas Banten lebih unggul karena bentuknya besar, dan ukurannya bisa satu meter lebih. Rasanya pun juga enak dan pulen sehingga dapat diolah menjadi berbagai makanan seperti keripik, bolu, digoreng atau dikukus dan diberi taburan kelapa parut (Radar Banten, 2010). Biasanya makanan yang diolah berasal dari bahan mentah talas (batang) padahal pemanfaatan langsung batang talas dapat menyebabkan batu ginjal karena kandungan oksalat pada batang talas Banten yang tinggi yaitu mencapai 61,783.75 ppm (Mayasari, 2010). Untuk mengurangi risiko batu ginjal, sebaiknya talas Banten dijadikan tepung karena kandungan oksalat dalam bentuk tepung lebih sedikit. Pada penelitian kali ini didapatkan kandungan oksalat tepung talas tanpa perlakuan reduksi oksalat adalah berkisar antara 4,479.65 – 9,721.90 ppm. Sedangkan apabila dengan perlakuan reduksi oksalat dengan perendaman larutan NaCl 10%, kandungan oksalat pada tepung talas Banten mencapai 572.31 ppm. Sehingga pemanfaatan tepung talas lebih aman dibandingkan dengan pemanfaatan batang talas Banten secara langsung. Selain itu, kandungan oksalat dapat turun kembali saat proses pengolahan pangan berlangsung. Sehingga olahan pangan aman untuk dikonsumsi.
32
Berdasarkan kandungan gizinya, tepung talas Banten mempunyai kandungan karbohidrat sebesar 90.68% dan kandungan protein sebesar 6.74% (Novita, 2011). Dengan melihat kandungan karbohidrat dan protein yang tinggi maka tepung talas Banten mempunyai keunggulan dari nilai kandungan gizinya. Dengan adanya keunggulan tersebut maka diversifikasi pangan dapat terwujud dengan adanya product development dari talas Banten berupa tepung talas Banten. Saat ini Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu Bogor menggunakan tepung talas Banten rendah oksalat untuk membuat produk olahan berupa cookies, brownies, dan bakpau. Dengan adanya product development tersebut maka meningkatkan nilai sosial talas Banten dan dapat bersaing dengan jenis talas lainnya.
33
V. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Karakterisasi talas Banten menurut tingkat umur bertujuan untuk mengetahui karakteristik penampakan fisik talas Banten serta mengetahui kandungan kimia yang terkandung seperti kadar air, kadar pati, dan kadar oksalat pada talas Banten berdasarkan tingkatan umur panen. Karakterisik dilakukan untuk mengetahui waktu pemanenen terbaik talas Banten. Bentuk batang talas Banten adalah memanjang dengan pertambahan panjang sesuai dengan tingkatan umur panen. Warna kulit talas Banten adalah coklat dengan warna daging batangnya kuning untuk berbagai umur panen. Waktu panen terbaik untuk talas Banten dilihat dari segi kandungan kimianya seperti air, kadar pati, dan kadar oksalat yang ada di dalam batang. Talas Banten dengan kandungan pati yang tinggi dan kadar oksalat yang rendah merupakan titik acuan untuk mendapatkan waktu panen terbaik. Kadar oksalat yang rendah ditunjukkan pada talas Banten dengan umur panen 10 bulan sebesar 5,903 ppm. Sedangkan untuk kandungan pati yang paling tinggi ditemukan pada talas Banten dengan umur panen 8 bulan yaitu 96.36%. Parameter tersebut merupakan acuan terpenting dalam pembuatan tepung talas Banten. Berdasarkan sidik ragam, yang mempunyai pengaruh yang berbeda nyata adalah kadar pati sehingga yang ditetapkan untuk waktu panen paling tepat. Sehingga berdasarkan analisis tersebut, waktu pemanenan terbaik untuk talas Banten adalah pada saat tanaman talas sudah berumur 8 bulan setelah tanam. Reduksi oksalat merupakan upaya untuk mengurangi gatal yang disebabkan oleh oksalat yang ada di dalam talas. Reduksi oksalat diperlukan untuk mengurangi kandungan oksalat yang ada di dalam talas Banten sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Teknik reduksi oksalat yang digunakan adalah perendaman talas dalam larutan NaCl dengan konsentrasi yang digunakan adalah 5% dan 10%. Lama waktu perendaman yang diujikan adalah 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Teknik reduksi oksalat yang terbaik adalah perendaman talas dalam larutan NaCl 10% selama 150 menit karena dapat mereduksi oksalat dengan persentase reduksi sebanyak 90.29%.
B. SARAN Penelitian mengenai reduksi oksalat dengan teknik lain seperti perendaman dalam asam dan pemanasan perlu dilakukan untuk mengetahui metode yang terbaik dalam mereduksi kandungan oksalat pada talas agar produk yang dihasilkan talas dapat bersaing dengan industri pangan lainnya.
34
DAFTAR PUSTAKA Aboubakar, Njintang, N.Y., Scher, J., dan Mbofung, C.M.F. 2008. Texture, microstructure and physicochemical characteristics of taro(Colocasia esculenta) as influenced by cooking conditions. Journal of Food Engineering 91 : 373-379. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1999. Official Methods of Analytical of The Association of Official Analytical Chemist. Washington, DC: AOAC Bradbury, J.H. dan Holloway, W.D. 1988. Chemistry of Trofical Root Crops : Significance for Nutrition and Agriculture in the Pacific. Australian National Univ Pr, Canberra. Bradbury, J.H. dan Nixon, R.W. 1998. The Acridity of Raphides from The Edible Aroids. Journal of The Science Food and Agriculture 76 : 608 – 616. [BTPT] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten. 2009. Pengelolaan Talas Lokal Beneng menjadi Produk Makanan Khas Banten. www.litbang.deptan.go.id [11 November 2010]. Catherwood, D.J., Savage, G.P., Mason, S.M., Scheffer, J.J.C., dan Douglas, J.A. 2007. Oxalate Content of Cormels of Japanese Taro (Colocasia esculenta (L.) Schott) and The Effect of Cooking. Journal of Food Composition and Analysis 20 : 147 – 151. Campbell, N.A., Reece, J.B., dan Mitchell, L.G. 2002. Biologi. Erlangga, Jakarta. Hartati, N.S. dan Prana, T.K. Analisis Kadar Pati dan Serat Kasar Tepung Beberapa Kultivar Talas (Colocasia Esculenta L. Schott). Jurnal Natur Indonesia 6(1): 29-33 (2003). Hidajat, E.B. 1980. Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Colocasia esculenta (L) Schoot. Laporan Penelitian ITB No. 5434181. Hodgkinson, A. 1977. Oxalic Acid in Biology and Medicine. London: Academic Press. Holloway, W.D., Argall, M.E., Jealous, W.T., Lee, J.A., dan Bradbury, J.H. 1989. Organic Acids and Calcium Oxalate in Tropical Root Crops. Journal of Agricultural and Food Chemistry 37 : 337–340. Holmes, R.P. dan Kennedy, M. 2000. Estimation of The Oxalate Content of Foods and Daily Oxalate Intake. Kidney International 57 : 1662–1667. Horner, H.T. dan Wagner. 1995. Calsium Oxalate in Higher Plants. In S.R Khan (ed.), Calsium Oxalate in Biological System , pp 53-72. Boca Raaton, CRC Press. Huang, A. dan Hollyer, J.R. 1995. Manufacturing of Acridity Free Raw Flour From Araceae Tubers. University of Hawaii. Honolulu HI. Iwuoha, C.I. dan Kalu, F.A. 1995. Calcium Oxalate and Physico-Chemical Properties of Cocoyam (Colocasia esculenta and Xanthosoma sagittifolium) Tuber Flours as Affected by Processing. Food Chemistry 54 : 61 – 66. Jane, J., Shen, L., Chen, J., Lim, S., Kasemsuwan, T., dan Nip, W.K. 1992. Physical and Chemical Studies of Taro Starches and Flours. Cereal Chem. 69(5) : 528 – 535. Kurdi, W. 2002. Reduksi Kalsium Oksalat pada Talas Bogor (Colocasia esculenta (L.) Schott) sebagai Upaya Meningkatkan Mutu Keripik Talas. Skripsi. IPB, Bogor.
35
Lee, W. 1999. Taro. Dalam Heidegger, A. (ed). 1999. Tropical Root Crops. Southern Illinois University, Illionis. Leger.1980. Differences in Yield, Starch Content and Starch Yield per Hectare According to The Date Harvesting. La Pomme de Terre Francoise No. 389 : 365 - 370. Ma, Z. dan Miyasaka, S.C. 1998. Oxalate Exudation by Taro in Response to Al. Plant Physiol 118 : 861-865. Mariani, R. 2008. Mencegah Batu Ginjal dan Batu Empedu. http://www.indofarma.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=125 [11 November 2010]. Massey, L.K., Palmer, R. G., dan Horner, H.T. 2001. Oxalate Content of Soybean Seeds (Glycine Max:Leguminosae), Soya Foods, and Other Edible Legumes. Journal of Agriculture and Food Chemistry 49 : 4262–4266. Matthews, P. 2004. Genetic Diversity in Taro, and the Preservation of Culinary Knowledge. Ethnobotany Journal 2(1547) : 55-77. Mayasari, N. 2010. Pengaruh Garam dan Asam Pada Pembuatan Tepung Talas Bogor (Colocasia esculenta (L.) Schott). Skripsi. IPB, Bogor. Minantyorini dan Hanarida. 2002. Panduan Karakterisasi dan Evaluasi Plasma Nutfah Talas. Departemen Pertanian. Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU IPB, Bogor. Noonan, S. dan Savage, G.P. 1999. Oxalate content of Food and Its Effect on Humans. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 8(1) : 64 – 74. Novita, D. 2011. Evaluasi Mutu Gizi dan Pendugaan Umur Simpan Cookies Tepung Komposit Berbasis Talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) Sebagai Bahan Pangan Tambahan Ibu Hamil. Skripsi. IPB, bogor. Nur, M. 1986. Tanaman Talas (Colocasia dan Beberapa Genus Yang Lain). Kementrian Pertanian, Jakarta. Nurafriani, R. R. 2010. Optimasi Formulasi Brownies Panggang Tepung Komposit Berbasis Talas, Kacang Hijau, dan Pisang. Skripsi. IPB, Bogor. Onayemi, O. dan N.C. Nwigwe. 1987. Effect of Processing on the Oxalate Content of Cocoyam. Lebens.-Wiss. Technol. 20(6): 293 – 295. Onwueme, I.C. 1994. Taro Cultivation in Asia and http://www.fao.org/docrep/005/ac450e/ac450e07.htm [11 November 2010].
the
Pacific.
Prabowo, A. 2010. Frekuensi Penggunaan Larutan Garam secara Berulang pada Proses Penurunan Kandungan Kalsium Oksalat Chips Porang. Skripsi. UNBRAW, Malang. Prana, M.S. dan Kuswara, T. 2002. Budidaya Talas Diversifikasi untuk Menunjang Ketahanan Pangan Nasional. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong. Radar Banten. 2010. Warga Juhut Buat Sentra Talas Beneng. www.RadarBanten.com [6 November 2010]. Ross, A.B., Savage, G.P., Martin, R.J., dan Vanhanen, L. 1999. Oxalates in Oca (New Zealand Yam) (Oxalis tuberose Mol.). Journal of Agriculture and Food Chemistry 47 : 5019 – 5022.
36
Richana, N. dan Sunarti, T. C. 2004. Karakterisasi Sifat Fisikokimiatepung Umbi dan Tepung Pati dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubikelapa, dan Gembili. J. Pascapanen 1(1) 2004: 29-37. Salisbury, F. B. dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Penerbit ITB, Bandung. Schadel L.A. dan Walter, W.M. 1980. Calcium Oxalate Crystals in The Root of Sweet Potato. J. Amer. Soc. Hort. Sci 105(6) : 851-854. Savage, G.P., Vanhanen, L., Mason, S.M., dan Ross, A.B. 2000. Effect of Cooking on The Soluble and Insoluble Oxalate Content of Some New Zealand Foods. Journal of Food Composition and Analysis 13 : 201-206. Schumm, W. 1978. Chemistry. Interscience Publisher Inc., New York. Setyowati, Hanarida, dan Sutoro. 2007. Karakteristik Umbi Plasma Nutfah Tanaman Talas (Colocasia esculenta). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Smith, D. S. 1997. Processing Vegetables Science and Technology. Tecnonic Publishing Company Inc., London. Suismono, Arief, R.W., Setyyanto, H., dan Asnawi, R. 2005. Model Agroindustri Tepung Kasava Berbasis Kemitraan. Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Kering. p578 – 588. Wahyudi, D. 2010. Pengaruh Suhu Perendaman terhadap Kandungan Oksalat dalam Talas pada Proses Pembuatan Tepung Talas. Skripsi. IPB, Bogor. Waluya. 2003. Usaha Produksi Kripik Talas. http://www.iptekda.lipi.go.id/root/buletin_detail.asp?Berita_id=76 [1 November 2010]. Winarno, F.G, Ferdiaz, S., dan Ferdiaz, D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Garamedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
37
LAMPIRAN
38
Lampiran 1. Prosedur analisis 1. Kadar Air (AOAC, 1999) Penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Prinsip dari metode ini adalah menguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan jalan pemanasan. Cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105ºC selama 10 menit. Sebanyak 2-10 gram sampel ditimbang di dalam cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya, lalu dikeringkan dalam oven 105ºC selama 5 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai bobot konstan. Kadar air dihitung dengan menggunakan persamaan : Kadar Air = B1 – B2 x 100% B1 Dimana : B1 = bobot contoh awal (gram) B2 = bobot contoh akhir (gram) 2. Kadar pati Bahan ditimbang sebanyak 1 gram. Kemudian ditambahkan dengan 200 ml HCl 3%. Bahan dihidrolisis selama 2.5 jam. Bahan yang sudah dihidrolisis, kemudian dinetralkan dengan NaOH 40%. Bahan ditera sampai 250 ml. ambil 10 ml dari bahan kemdian tambahkan larutan luff schrool 25 ml. Hidrolisis kembali selama 10 menit. Hasil yang didapat ditambahkan dengan 25 ml H2SO4 25% dan KI 20% sebanyak 20 ml. Kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 0.1 N. Hitung selisih titrasi bahan dengan blanko. Kadar pati = 0.9 x faktor pengenceran x mg glukosa x 100% mg contoh 3. Kadar oksalat (Savage et al., 2000) Total oksalat diekstraksi di dalam beaker glass dengan penutup gelas dari 1 gram sampel tepung. Sampel dilarutkan dalam 50 mL HCl 2 M dan selanjutnya dimasukkan ke dalam water bath 80 °C selama 15 menit. Ekstrak yang diperoleh kemudian didinginkan lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL dan volumenya ditepatkan dengan menggunakan HCl 2 M. Sedangkan oksalat terlarut diekstraksi dengan metode yang sama dengan menggunakan 50 mL air deionisasi. Selanjutnya larutan kemudian disentrifugasi selama 20 menit dengan kecepatan 3000 rpm dan bagian filtratnya dikumpulkan kemudian disaring dengan menggunakan membran selulosa asetat 0.45 µm. Sebanyak 5 µL sampel kemudian diinjeksikan ke dalam sistem HPLC dengan detektor uv/vis yang diset pada 210 nm. Pemisahan dilakukan dengan kromatografi ion exchange menggunakan isokratik elution pada 0.5 mL/menit dengan 0.0125 M asam sulfat sebagai fase geraknya. Kandungan asam oksalat dalam setiap sampel dianalisis dengan menggunakan kurva standar asam oksalat (0-500 ppm). 4. Rendemen Rendemen tepung atau pati dinyatakan dalam persen berdasarkan berat tepung atau pati terhadap batang segar, dengan perhitungan sebagai berikut : Rendemen = a x 100% b keterangan : a = berat tepung atau pati (g) b = berat batang segar (g)
39
Lampiran 2. Hasil sidik ragam kadar air batang talas Banten
umur (bulan)
6
8
10
12
Ulangan
Batang
rata-rata
1
2
Ujung
76.58
78.55
77.57
Tengah
75.46
77.55
76.51
Pangkal
82.07
77.97
80.02
Ujung
75.55
79.62
77.58
Tengah
73.16
76.84
75.00
Pangkal
74.64
89.97
82.30
Ujung
73.22
78.48
75.85
Tengah
70.06
81.05
75.55
Pangkal
82.81
71.76
77.28
Ujung
82.25
77.16
79.71
Tengah
79.42
69.74
74.58
Pangkal
81.76
74.08
77.92
rata-rata
78.03
78.30
76.23
77.40
Hasil sidik ragam kadar air batang
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:airbatang Source
Type III Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
12
9.584
.286
.979
144111.253
1
144111.253
4.305E3
.000
r
1.397
1
1.397
.042
.842
umur
15.226
3
5.075
.152
.926
batang
63.541
2
31.771
.949
.417
umur * batang
34.843
6
5.807
.173
.979
Error
368.262
11
33.478
Total
144594.522
24
483.269
23
Corrected Model Intercept
Corrected Total
115.007
a
a. R Squared = .238 (Adjusted R Squared = -.593)
40
Lampiran 3. Hasil sidik ragam kadar air tepung talas Banten
umur (bulan)
6
8
10
12
Ulangan
Batang
rata-rata
1
2
Ujung
6.07
6.92
6.49
Tengah
5.66
6.14
5.9
Pangkal
5.47
5.26
5.37
Ujung
5.23
6.86
6.04
Tengah
5.35
7.66
6.51
Pangkal
5.36
8.03
6.7
Ujung
5.28
6.37
5.82
Tengah
5.55
5.73
5.64
Pangkal
5.56
6.87
6.22
Ujung
4.53
5.52
5.03
Tengah
7.59
6.28
6.93
Pangkal
4.27
2.46
3.36
rata-rata
5.92
6.42
5.89
5.11
Hasil sidik ragam kadar air tepung Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:airtepung Source
Type III Sum of Squares a
Df
Mean Square
F
Sig.
12
1.906
2.156
.107
Corrected Model
22.874
Intercept
816.900
1
816.900
923.916
.000
r
2.788
1
2.788
3.153
.103
umur
5.250
3
1.750
1.979
.176
batang
2.791
2
1.396
1.578
.250
umur * batang
12.044
6
2.007
2.270
.113
Error
9.726
11
.884
Total
849.500
24
Corrected Total
32.600
23
a. R Squared = .702 (Adjusted R Squared = .376)
41
Lampiran 4. Hasil sidik ragam rendemen tepung talas Banten
umur (bulan) 6
8
10
12
Ulangan
Batang
rata-rata
1
2
Ujung
20.3
21.67
20.98
Tengah
19.36
23.79
21.58
Pangkal
17.61
26.25
21.93
Ujung
26.22
19
22.61
Tengah
14.25
22.05
18.15
Pangkal
22.62
16.82
19.72
Ujung
21.11
22.71
21.91
Tengah
18.94
29.11
24.03
Pangkal
23.11
31.36
27.24
Ujung
18.25
19.12
18.69
Tengah
15.19
25.99
20.59
Pangkal
22.52
21.52
22.02
rata-rata
21.50
20.16
24.39
20.43
Hasil sidik ragam rendemen tepung
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:rendemen Source
Type III Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
12
16.258
.889
.581
11217.753
1
11217.753
613.184
.000
r
66.367
1
66.367
3.628
.083
umur
67.391
3
22.464
1.228
.346
batang
14.702
2
7.351
.402
.679
umur * batang
46.634
6
7.772
.425
.848
Error
201.237
11
18.294
Total
11614.085
24
396.332
23
Corrected Model Intercept
Corrected Total
195.095
a
a. R Squared = .492 (Adjusted R Squared = -.062)
42
Lampiran 5. Hasil sidik ragam kadar oksalat talas Banten
umur (bulan) 6
8
10
12
Ulangan
Batang
rata-rata
1
2
Ujung
8626.63
4637.74
6632.18
Tengah
15111.62
4332.19
9721.90
Pangkal
13065.53
5380.38
9222.95
Ujung
10190.84
6541.45
8366.14
Tengah
7965.04
5047.59
6506.31
Pangkal
7463.75
5483.57
6473.66
Ujung
6168.09
4827.25
5497.67
Tengah
5718.18
6904.06
6311.12
Pangkal
5146.57
6653.84
5900.21
Ujung
14118.33
4822.41
9470.37
Tengah
5364.25
5815.45
5589.85
Pangkal
6722.22
5338.20
6030.21
rata-rata
8525.68
7115.37
5903.00
7030.14
Hasil sidik ragam oksalat talas Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:oksalat Type III Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
1.215E8a
12
1.012E7
1.248
.360
Intercept
1.225E9
1
1.225E9
151.019
.000
r
6.626E7
1
6.626E7
8.170
.016
umur
2.078E7
3
6925822.757
.854
.493
batang
1516651.109
2
758325.554
.094
.911
umur * batang
3.290E7
6
5483734.051
.676
.672
Error
8.921E7
11
8109761.135
Total
1.435E9
24
Corrected Total
2.107E8
23
Source
a. R Squared = .577 (Adjusted R Squared = .115)
43
Lampiran 6. Hasil sidik ragam kadar pati talas Banten
umur (bulan)
6
8
10
12
Ulangan
Batang
rata-rata
1
2
Ujung
94.77
93.71
94.24
Tengah
96.02
96.94
96.48
Pangkal
93.43
92.93
93.18
Ujung
93.87
93.89
93.88
Tengah
98.6
97.8
98.2
Pangkal
96.66
97.33
96.99
Ujung
96.08
95.47
95.78
Tengah
88.19
90.11
89.15
Pangkal
88.04
88.62
88.33
Ujung
95.5
96.52
96.01
Tengah
89.6
91.05
90.32
Pangkal
93.4
94.89
94.15
rata-rata
94.63
96.36
91.09
93.49
Hasil sidik ragam kadar pati Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:pati Source
Type III Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
12
18.383
37.104
.000
211579.237
1
211579.237
4.271E5
.000
r
1.084
1
1.084
2.187
.167
umur
88.023
3
29.341
59.222
.000
batang
14.660
2
7.330
14.795
.001
umur * batang
116.826
6
19.471
39.300
.000
Error
5.450
11
.495
Total
211805.281
24
226.043
23
Corrected Model Intercept
Corrected Total
220.594
a
a. R Squared = .976 (Adjusted R Squared = .950)
44
Lampiran 7. Hasil uji lanjut Duncan kadar pati talas Banten
Uji lanjut Duncan umur panen terhadap kadar pati Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
umur
A
96.3583
6
A2
B
94.6333
6
A1
C
93.4933
6
A4
D
91.085
6
A3
Uji lanjut Duncan bagian batang terhadap kadar pati Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Batang
A
94.9763
8
B1
B
93.5388
8
B2
93.1625
8
B3
B B
45
Uji lanjut Duncan interaksi antara umur panen dan bagian batang talas terhadap kadar pati Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
P
98.2
2
A2B2
96.995
2
A2B3
96.48
2
A1B2
96.01
2
A4B1
95.775
2
A3B1
94.24
2
A1B1
94.145
2
A4B3
93.88
2
A2B1
93.18
2
A1B3
90.325
2
A4B2
89.15
2
A3B2
88.33
2
A3B3
A B
A
B B B B B B
C C
D
C
D
C
D
C
D D D D E E F
E
F F
46
Lampiran 8. Hasil sidik ragam reduksi oksalat talas Banten dalam perendaman larutan NaCl Source
DF
Type I SS
nacl
1
46421.43
r(nacl)
2
1981496.33
lama
4
48426282.17
lama*nacl
4
160779.77
Mean Square
F Value
Pr > F
46421.43
0.2
0.6643
990748.16
4.33
0.0531
12106570.54
52.93
<.0001
40194.94
0.18
0.9447
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(nacl) as an Error Term Source nacl
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
1
46421.43012
46421.43012
0.05
0.8487
47
Lampiran 9. Hasil uji lanjut Duncan reduksi oksalat talas Banten
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
lama
A
5709.7
4
30
B
3637.1
4
60
C
2582.4
4
90
C
2204.3
4
120
D
1112.5
4
150
C
48