Roy Efendi et al.: Karakter Fenotipik Jagung Hibrida Bima 3
KARAKTER FENOTIPIK JAGUNG HIBRIDA BIMA 3 Roy Efendi, Bunyamin Z., dan Aviv Andriyani Balai Penelitian Tanaman Serealia
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui potensi dan kelemahan tanaman jagung hibrida Bima 3 yang dirakit oleh Balai Penelitian Tanaman Serealia dan jagung hibrida NK 99 dan Bisi 16 yang diproduksi oleh swasta. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Varietas yang diuji adalah Bima 3, NK 99 dan BISI 16 dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada fase masak fisiologis Bima 3 memiliki potensi biomas tanaman segar paling besar yaitu 21,7 t/ha yang berbeda nyata dengan Bisi 16 dan NK 99 masing-masing 16,9 t/ha dan 17,5 t/ha. Panjang, lebar dan luas daun di atas tongkol varietas Bima 3 lebih besar dibandingkan dengan varietas Bisi 16 dan NK 99. Selain itu Bima 3 memiliki sudut daun yang besar yaitu 38,3o dengan bentuk daun agak bengkok, sedangkan varietas NK 99 dan Bisi 16 memiliki sudut daun di atas tongkol yang lebih kecil yaitu 21o - 27,0o dengan bentuk daun lurus agak bengkok. Hal tersebut menjadi petunjuk bahwa varietas Bima 3 hanya dapat ditanam dengan populasi 66.666 tanaman/ha sedangkan Bisi 16 dapat ditanam dengan kepadatan populasi diatas 66.666 tanaman/ha. Rendemen biji jagung NK 99 dan Bisi 16 berkisar 77,3 – 79,9% nyata lebih besar dibanding Bima 3 yang hanya 74%. Rendahnya rendemen biji Bima 3 disebabkan oleh bobot janggel yang lebih besar yaitu 76,9 g dibanding Bisi 16 dan NK 99 masing-masing sebesar 54,9 dan 69,3 g. Hasil Bima 3 adalah 10,13 t/ha, nyata lebih rendah dibanding NK 99 dan Bisi 16 dengan hasil berkisar 11,4 - 12,3 t/ha. Kata kunci: penotipe, biomas, jagung hibrida
PENDAHULUAN Jagung dimanfaatkan untuk pangan dalam bentuk olahan atau segar, dan sebagian besar dimanfaatkan untuk pakan ternak baik dari biji maupun biomas. Limbah tanaman jagung potensial sebagai pakan ternak ruminansia bergizi tinggi melalui fermentasi, amoniasi, dibuat hay dan silase (Umiyasih and Wina
2008).
Tongkol, daun dan batang jagung dapat pula digunakan sebagai biofuel (Baenziger et al. 2006).
Untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pakan telah dilepas berbagai
varietas unggul jagung yang sesuai dengan kebutuhan. Setiap varietas unggul jagung memiliki keungggulan tertentu, seperti hasil tinggi, tahan dan toleran cekaman abiotis dan biotis. Jagung hibrida mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1983 sejak pelepasan jagung hibrida C-1. Pada umumnya jagung hibrida memberikan hasil lebih tinggi daripada jagung bersari bebas (Sudjana et al. 1991 dalam Indradewa et al. (2005). Setiap varietas memiliki fenotipik tanaman yang berbeda-beda. Menurut Donal Donald (1968) dalam Qi et al. (2010) fenotipik adalah arsitektur tanaman yang
116
Seminar Nasional Serealia, 2013
diharapkan mampu berproduksi lebih tinggi, baik kuantitas maupun kualitas, untuk dikembangkan sebagai varietas unggul. Modifikasi tajuk tanaman jagung selain melalui pengaturan jarak tanam dan tipe tajuk juga telah menjadi perhatian. Modifikasi tajuk seperti ukuran daun dan sudut daun di atas tongkol lebih sempit mampu meningkatkan intersepsi dan efisiensi cahaya untuk fotosintesis (Antunes et al., 2001; Maddonni et al., 2001; Pommel et al., 2001). Cilas et al. (2006) dan Yin et al. (2003) menyatakan terdapat hubungan penting antara fenotipik tanaman dan proses fisiologi selama pertumbuhan. Hasil penelitian Indradewa et al. (2005) menunjukkan bahwa pemendekan batang jagung menyebabkan peredaman cahaya lebih cepat. Konversi bahan kering dari pemendekan batang dan diperhitungkan maksimal dapat meningkatkan hasil 4,15% pada tanaman yang 50% lebih pendek dari tanaman normal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakter fenotipik jagung hibrida Bima 3, Bisi 16, dan NK 99, baik dari hasil biji maupun bagian vegetatif tanaman berupa daun dan batang.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Maros pada bulan Maret – Juli 2010, menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Varietas yang dimaksud adalah Bima 3, NK 99, dan BISI 16 dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm atau populasi 66.666 tanaman/ha.
Pemupukan dilakukan dua kali, pertama pada saat
tanaman berumur 10-12 HST dengan takaran 100 kg urea/ha + 300 kg ponska/ha, kedua pada saat tanaman berumur 35-40 HST dengan 200 kg urea/ha.
Pupuk
diberikan dengan cara tugal di samping barisan tanaman. Pengairan dilakukan sebelum tanam sampai umur 90 HST dengan interval 7 -15 hari sekali sesuai kondisi kadar air tanah dan pemberian air dengan cara leb. Data yang dikumpulan adalah: 1. Panjang, lebar dan luas daun dari daun paling bawah sampai daun bendera. Pengukuran
dilakukan
pada
fase
pertumbuhan
R1
(setelah
terjadi
penyerbukan). Sampel yang diukur tiap ulangan sebanyak 10 tanaman. 2. Tinggi tanaman dan diameter batang diamati pada saat tanaman pada fase R1 (setelah terjadi penyerbukan). Sampel yang diukur tiap ulangan sebanyak 10 tanaman. 3. Bobot biomas segar tanaman. Panen biomas segar dilakukan pada saat tanaman telah memasuki fase R6 atau masak fisiologis. Masak fisiologi
117
Roy Efendi et al.: Karakter Fenotipik Jagung Hibrida Bima 3
ditentukan dengan cara memotong tongkol jagung pada bagian tengah. Apabila seluruh biji pada bagian tengah terdapat bintik hitam (blac layer), maka tanaman sudah masak fisiologis. Sampel yang diukur tiap ulangan sebanyak 10 tanaman. 4. Sudut daun. Sudut daun yang diukur adalah daun di atas tongkol menggunakan busur. Sudut yang diukur adalah sudut bagian dalam antara batang dengan daun. Sampel yang diukur tiap ulangan sebanyak 10 tanaman. 5. Bobot kering batang, daun, dan seluruh bagian tanaman (tanpa biji). Sampel bobot segar yang telah dipanen dioven dengan suhu 75oC selama tiga hari. 6. Hasil dan komponen hasil. Sampel tongkol yang dipanen adalah dari petak ubinan dengan ukuran 3 m x 4 m, kemudian hasil biji/ha dihitung dengan rumus sebagai berikut:
7. Komponen hasil. rendemen biji, panjang tongkol, diameter tongkol, jumlah baris biji/tongkol, bobot biji, bobot tongkol, dan bobot junggel. Jumlah sampel yang diukur tiap ulangan sebanyak 10 sampel yang diambil dari panen ubinan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Panjang, lebar, luas dan sudut daun Ukuran daun jagung baik lebar, dan panjang maupun luas berbentuk kurva parbola, dimana daun posisi pertama sampai daun kedelapan (daun tongkol) cenderung meningkat, kemudian menurun kembali pada bagian daun di atas tongkol (daun ke-9) sampai daun bendera (daun ke-14) (Gambar 1, 2, dan 3). Ukuran daun jagung seperti panjang dan lebar serta luas daun dari varietas Bima 3, Bisi 16, dan NK 99 menunjukkan ukuran yang beragam.
Gambar 1
menunjukkan varietas NK 99 memiliki panjang daun 55–88 cm, lebih panjang dibanding varietas Bima 3 (50–85 cm), dan Bisi 16 (54-85 cm), namun panjang daun pada posisi di atas daun tongkol sampai daun bendera (posisi daun 9 -14) justru daun Bima 3 yang lebih panjang (85–42 cm) dibanding NK 99 (81–38 cm) dan Bisi 16 (83-37 cm).
118
Seminar Nasional Serealia, 2013
Gambar 1. Panjang daun posisi pertama sampai ke-14 dari tiga varietas jagung hibrida Lebar daun pada posisi pertama – kedelapan pada varietas Bima 3, Bisi 16, dan NK 99 relatif sama, berkisar 5–9 cm, namun daun di atas tongkol memiliki lebar daun pada varietas Bima 3 6–10 cm dibanding varietas Bisi 16 dan NK 99 (masingmasing memiliki lebar daun 4 – 8 cm dan 5 – 9 cm).
Gambar 2. Lebar daun posisi pertama sampai ke-14 dari tiga varietas jagung hibrida
119
Roy Efendi et al.: Karakter Fenotipik Jagung Hibrida Bima 3
Daun pada posisi pertama – daun tongkol (daun ke-7 dan 8) dari varietas NK 99 cenderung lebih luas (212–610 cm2) dibanding Bima 3 (195–571 cm2) dan Bisi 16 (182–484 cm2). Namun daun di atas tongkol – daun bendera dari Bima 3 justru lebih luas (601–176 cm2) dibanding NK 99 (570–121 cm2) dan Bisi 16 (570–101 cm2).
Gambar 3. Luas daun posisi pertama sampai ke-14 dari tiga varietas jagung hibrida
Gambar 4. Sudut daun di atas tongkol tiga jagung hibrida
Panjang, lebar, dan luas daun serta sudut daun berkorelasi dengan luas indeks daun yang berhubungan dengan tingkat penetrasi cahaya dan toleransi kepadatan tanaman/ha (Bos et al. 2000a; Bos et al. 2000b). Hasil penelitian Duvick et al. (2004) menyatakan bahwa hasil jagung hibrida per ha dapat ditingkatkan melalui penambahan populasi tanaman/ha. Toleransi tingkat kepadatan populasi tanaman berkorelasi positif
120
Seminar Nasional Serealia, 2013
(r = 0.81) dengan ukuran sudut daun, semakin kecil sudut daun semakin besar toleransinya dengan peningkatan kepadatan populasi tananaman/ha. Sudut daun diatas tongkol dari Bima 3 sebesar 38o, lebih besar dibanding varietas Bisi 16 (27o) dan NK 99 (22o). Sudut daun di atas tongkol varietas NK 99 dan Bisi 16 lebih kecil, yaitu 21o -27,0o dan bentuk daun lurus agak bengkok yang berpotensi ditanam lebih rapat dengan populasi di atas 66.666 tanaman/ha. Hibrida Bima 3 hanya dapat ditanam dengan populasi maksimum 66.666 tanaman/ha karena memiliki sudut daun yang besar yaitu 38,3o dengan bentuk daun agak bengkok. Produksi Biomas Tabel 1 menunjukan bahwa jagung hibrida NK 99 memiliki tanaman yang nyata lebih tinggi (206,7 cm) dibanding Bima 3 dan Bisi 16 (masing-masing 185 cm dan 188,4 cm). Namun varietas Bima 3 justru memiliki bobot biomas kering paling besar yaitu 103 g/tanaman, sedangkan varietas Bisi 16 dan NK 99 masing-masing hanya 70 g dan 82 g/tanaman. Dari keseluruhan bobot kering tanaman Bima 3, persentase bobot kering bagian batang mencapai 62% yaitu 64 g dan bagian daun hanya 38%. Hal tersebut didukung oleh diameter batang yang besar dari Bima 3 yaitu 21,2 mm. Batang besar merupakan indikator tahan rebah, selain biomas batang yang dihasilkan juga besar dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pada fase masak fisiologis, Bima 3 memiliki potensi biomas segar paling besar yaitu 21,7 t/ha yang berbeda nyata dengan Bisi 16 dan NK 99 masing-masing 16,9 t/ha dan 17,5 t/ha. Oleh karena itu budi daya jagung Bima 3 dapat diintegrasikan dengan usaha ternak dengan memanfaatkan biomas tanaman sebagai pakan hijauan yang bermutu melalui pengolahan secara biologis. Kajian ekonomi dari Umiyasih dan Wina (2008) menunjukkan bahwa sistem usahatani integrasi jagung dengan sapi meningkatkan keuntungan karena lebih efisien dalam penyediaan pakan ternak dan pupuk. Tabel 1. Tinggi tanaman, diameter batang dan bobot biomas kering tiga varietas jagung hibrida
Varietas
Tinggi tanaman (cm)
Diamter batang (mm)
*Bobot biomas kering /tanaman (g)
BIMA 3
185.0
21.2
103.0
64.0
36.3
21.7
Bisi 16 NK 99
186.4 206.7
20.6 17.7
70.0 82.0
37.3 46.7
30.7 33.3
16.9 17.5
* bobot biomas kering tanpa biji
121
Bobot kering batang/ tanaman (g)
Bobot daun kering/ tanaman (g)
biomas segar/ha (t/ha)
Roy Efendi et al.: Karakter Fenotipik Jagung Hibrida Bima 3
Hasil dan Komponen Hasil Rendemen biji dari tongkol jagung NK 99 dan Bisi 16 berkisar 77,3–79,9% nyata lebih besar dibanding Bima 3 dengan rendemen biji 74%. Rendahnya rendemen biji dari tongkol Bima 3 disebabkan oleh bobot janggel yang lebih besar dan bobot 100 biji yang lebih rendah dibanding varietas NK 99 dan Bisi 16. Bobot janggel Bima 3 pada saat panen 76,9 g lebih besar dibanding NK99 dan Bisi 16 dengan bobot janggel 54,9–69,3 g. Bobot 100 biji Bima 3 hanya 39,8 g, nyata lebih rendah dibanding NK 99 dan Bisi 16 dengan kisaran 43,6 – 47,1 g. Pada musim hujan hasil biji Bima 3 adalah 10,13 t/ha, nyata lebih rendah dibanding NK 99 dan Bisi 16 dengan hasil biji berkisar 11,4 - 12,3 t/ha. Tabel 2. Hasil dan komponen hasil tiga varietas jagung hibrida
Vartasie
hasil (t/ha)
Rendemen biji
Bobot junggel (g)
bobot biji/tongkol (g)
Jumlah baris biji (baris)
Panjang tongkol (cm)
Diamter tongkol (cm)
BIMA 3
10.1
0.74
76.9
203.2
13.6
17.2
5.1
Bisi 16 NK 99
12.3 11.4
0.77 0.80
69.9 54.9
273.7 231.7
14.2 12.5
19.1 19.4
5.3 4.6
Komponen hasil seperti rendemen biji merupakan kriteria yang sering diperhatikan petani. Petani tidak hanya sekedar menyukai diameter tongkol yang besar, namun juga memperhatikan rendemen biji yang tinggi. Perkembangan tersebut sebaiknya menjadi pertimbangan pemulia dan menjadi salah satu kriteria komponen hasil yang perlu diperhatikan.
KESIMPULAN Panjang, lebar, dan luas daun di atas tongkol varietas Bima 3 lebih besar dibandingkan dengan varietas Bisi 16 dan NK 99. Selain itu Bima 3 memiliki sudut daun yang besar yaitu 38,3 o dengan bentuk daun agak bengkok, sedangkan varietas NK 99 dan Bisi 16 memiliki sudut daun di atas tongkol yang lebih kecil yaitu 21 o -27,0o dengan bentuk daun lurus agak bengkok. Dengan demikian varietas Bima 3 hanya dapat ditanam dengan kepadatan populasi 66.666 tanaman/ha sedangkan Bisi 16 dapat ditanam dengan kepadatan populasi di atas 66.666 tanaman/ha. Pada fase masak fisiologis Bima 3 memiliki potensi biomas tanaman segar mencapai 21,7 t/ha, berbeda dengan Bisi 16 dan NK 99 masing-masing sebesar 16,9 t/ha dan 17,5 t/ha.
122
Seminar Nasional Serealia, 2013
Rendemen biji dari tongkol jagung NK 99 dan Bisi 16 berkisar 77,3–79,9% nyata lebih besar dibanding Bima 3 dengan rendemen biji 74%. Hasil biji Bima 3 adalah 10,13 t/ha lebih rendah dibanding NK 99 dan Bisi 16 yang berkisar 11,4 - 12,3 t/ha.
DAFTAR PUSTAKA Antunes M.H.A., Walter-Shea E.A., Mesarch M.A. (2001) Test of an extended mathematical approach to calculate maize leaf area index and leaf angle distribution. Agricultural and Forest Meteorology 108:45-53. Baenziger, P.S., Russell, W.K., Graef, G.L., Campbell, B.T., 2006. Improving lives: 50 years of crop breeding, genetics, and cytology (C−1). Crop Sci. 46, 2230–2244. Cilas, C., Bar-Hen, A., Montagnon, C., Godin, C., 2006. Definition of architectural ideotypes for good yield capacity in Coffea canephora. Ann. Bot. 97, 405–411. Cooke, K.M., Bernard J.K.and West J.W. 2008. Performance of dairy cows fed annual ryegrass silage and corn silage with steam-flaked or ground corn. J. Dairy Sci. 91: 2417 – 2422 Bos H.J., Tijani-Eniola H., Struik P.C. (2000a) Morphological analysis of leaf growth of maize: responses to temperature and light intensity. NJAS - Wageningen Journal of Life Sciences 48:181-198. Bos H.J., Vos J., Struik P.C. (2000b) Morphological analysis of plant density effects on early leaf area growth in maize. NJAS - Wageningen Journal of Life Sciences 48:199-211. Duvick D.N., Smith J.S.C., Cooper M. (2004) Long-term selection in a commercial hybrid maize breeding program. In J. Janick (ed.) Plant breeding reviews. Pt.2. John Wiley & Sons, New York. 24:109–151. Indradewa D., Kastono D., Soraya Y. 2005. Kemungkinan Peningkatan Hasil Jagung Dengan Pemendekan Batang. Ilmu Pertanian 12 (2):117 - 124. Maddonni G.A., Otegui M.E., Cirilo A.G. 2001. Plant population density, row spacing and hybrid effects on maize canopy architecture and light attenuation. Field Crops Research 71:183-193. Pommel B., Sohbi Y., Andrieu B. (2001) Use of virtual 3D maize canopies to assess the effect of plot heterogeneity on radiation interception. Agricultural and Forest Meteorology 110:55-67. Qi R., Ma Y., Hu B., de Reffye P., Cournède P.-H. (2010) Optimization of source–sink dynamics in plant growth for ideotype breeding: A case study on maize. Computers and Electronics in Agriculture 71:96-105. Umiyasih U., Wina E.L. 2008. Pengolahan dan nilai nutrisi limbah tanaman jagung sebagai pakan ternak ruminansia. Wartazoa 8 (3):1-12. Yin, X., Stam, P., Kropff, M.J., Schapendonk, A.H.C.M. 2003. Crop modeling, QTL mapping, and their complementary role in plant breeding. Agron. J. 95, 90–98.
123