Kapitalisme atau Sosialisme Pelajaran dari Dua Korea Arief Budiman* KOREA Selatan dan Korea Utara merupakan dua negara yang sangat menarik untuk diperbandingkan. Beberapa data ekonomi yang dapat kita perbandingkan (dari World Development Report 1984) dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel Jumlah penduduk (1982) Luas daerah (ribuan km persegi) GNP per kapita (Dollar AS, 1982) Indeks produksi makanan per kapita (1969-71 = 100), 1980-82 Suplai kalori harian per kapita Penduduk per dokter, 1980 Perdagangan (Dollar AS, juta), 1982 Ekspor Impor
Korea Utara 18,7 juta 121 1.650*)
Korea Selatan 39,3 juta 98 1.910
132 3.004 430
125 2.931 1.440
843 899
21.853 24.251
*)
Aidan Foster-Carter: “Standing Up: Two Korean States and the Dependency Debate – A Bipartisan Approach.” Makalah untuk seminar Seoul National University, Seoul 6-8 Juni 1985, hal. 51.
Dari data di atas tampak memang, kedua negara memiliki ciriciri ekonomi yang berlainan, tapi hasil mereka, paling sedikit bila dilihat dari GNP per kapitanya, tidak jauh berbeda. Korea Selatan lebih tinggi sedikit dari Korea Utara. Dalam hal eksporimpor tampak, betapa kecil volume perdagangan Korea Utara dibanding Korea Selatan, tapi neraca perdagangannya dapat dikatakan seimbang (Korea Selatan surplus sedikit, Korea Utara defisit sedikit). Tapi dalam hal suplai kalori harian bagi *
Arief Budiman, Sosiolog, pengajar Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Dimuat dalam Kompas, 14 Agustus 1985.
penduduknya, juga dalam hal produksi makanan, Korea Utara ada di atas Korea Selatan. Dan seterusnya. Yang mau saya bicarakan di sini bukanlah perbedaan ciri-ciri yang terinci dari kedua Korea ini. Saya akan membicarakan perbedaan sistem kemasyarakatan yang dianut oleh kedua negara ini: Utara dengan sosialismenya dan Selatan dengan kapitalismenya. Dari data ekonomi di atas tampak, kedua sistem tersebut memberikan hasil pembangunan ekonomi yang sama, dengan catatan, Selatan lebih baik sedikit (Meski harus diingat juga utang negara Korea Selatan, sebagai pengutang terbesar nomor empat di antara negara Dunia Ketiga, tentunya jauh lebih tinggi daripada Korea Utara). Teori kanan dan kiri Yang menarik dalam memperbandingkan kedua Korea ini, seperti yang dinyatakan oleh sosiolog Inggris, Aidan Foster-Carter dalam artikelnya: “The Korean Paradox,” Inside Asia, November/December, 1984), keduanya membuktikan kesalahan ramalan-ramalan dua teori besar: teori kanan yang beranggapan kapitalisme adalah jalan yang terbaik bagi pembangunan, dan teori kiri yang menganggap sosialisme sebagai jalan terbaik tersebut. Teori kanan beranggapan, Korea Selatan telah berhasil membuktikan ramalannya. Dengan menggunakan mekanisme pasar, maka segalanya dapat berjalan lancar. Harga tidak didikte dari atas, tapi disesuaikan dengan penawaran yang ada di pasar. Ekonomi nasional dibuka untuk bersaing dengan ekonomi dunia, sehingga hanya pengusaha yang tangguh yang dapat hidup. Teori kiri beranggapan sebaliknya. Melalui apa yang dikenal dengan nama “Teori Ketergantungan,“ pembangunan di Dunia Ketiga dianjurkan untuk lebih menutup diri terhadap ekonomi dunia. Sistem perekonomian dalam negeri hendaknya dilaksanakan melalui perencanaan negara, bukan dengan cara liberal melalui pasar bebas. Kalau tidak, maka jurang antara kaya dan miskin akan melebar, kaum buruh dan tani akan menjadi miskin, sementara kaum pengusaha dan industrialis menjadi kaya. Teori kiri ini juga
| 2 |
Kapitalisme atau Sosialisme: Pelajaran dari Dua Korea
sangat anti kepada bantuan/pinjaman luar negeri, yang menurut teori kiri itu, akan membuat negara tanpa tergantung kepada pemberi dana, di samping keuntungan juga disedot ke luar negeri.
Teori kiri jelas mengarahkan mata pisaunya ke Korea Selatan. Bagi teori ini, meskipun Selatan berhasil menunjukkan pembangunan ekonomi yang meningkat tinggi, hasil ini harus dibayar dengan mahal. Utang luar negeri yang besar, pemerintah yang otoriter, ketidak-merataan ekonomi di kalangan penduduknya, dan bahkan ada tuduhan, para pengusaha Korea Selatan yang besarbesar itu hanyalah kaki tangan dari perusahaan multinasional raksasa saja. Bagi teori kiri, Korea Utaralah yang akan menjamin kesinambungan pembangunan, karena sejak semula pembangunan diarahkan kepada kekuatan dalam negeri, harga-harga yang terkendali karena melalui ekonomi perencanaan oleh negara, pemerataan yang lebih baik, dan sebagainya. Bagi teori kanan, hal yang sebaliknya terjadi. Perkembangan Korea Selatan merupakan contoh yang berhasil. Selatan sebelumnya merupakan bagian dari Korea yang “ditugaskan” untuk mengembangkan pertanian, karena tambang bahan-bahan mineral terletak di Utara. Karena itu, ketika zaman penjajahan Jepang sampai PD-II, industri-industri dibangun di Utara. Tapi lihat sekarang, Korea Selatan berhasil membangun industrinya, bahkan sampai melebihi Utara. Ini menunjukkan kekuatan ekonomi pasar bebas, serta penyatuan ekonomi Korea Selatan dengan perekonomian kapitalis dunia, yang unsur-unsurnya antara lain penanaman dan bantuan modal asing. Sedangkan Korea Utara menurut teori kanan, merupakan negara dengan ekonomi tertutup yang sulit berkembang. Dalam kenyataannya Kenyataannya, realitas di Utara maupun di Selatan jauh lebih canggih dari yang diramalkan oleh teori-teori ini. Korea Utara yang dianggap memiliki ekonomi yang mandiri, ternyata tidak semandiri yang dibayangkan. Meskipun Utara tidak ikut persekutuan
| 3 |
negara-negara besar, juga tidak Comecon (persekutuan negaranegara komunis), pengaruh Rusia dalam perekonomiannya ternyata sangat besar. Industri-industri di Utara dibuat dengan bantuan teknis dan keuangan dari Rusia. Bantuan ini, menurut Foster-Carter dalam artikelnya itu, ternyata belum terbayar. Jadi, bukan negara-negara kapitalis Dunia Ketiga yang mengalami krisis pembayaran utang, Korea Utara pun menghadapi hal yang sama. Dengan demikian dalam kenyataannya, Korea Utara ternyata menghadapi pula masalah ketergantungan seperti yang dialami oleh negara-negara Dunia Ketiga, yang mengikuti jalan kapitalis. Sebaliknya, berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh teori kiri, Korea Selatan ternyata lebih mandiri dari apa yang diperkirakan. Para pengusaha Korea Selatan, seperti mereka yang menguasai perusahaan-perusahaan raksasa seperti Hyundai, Daewoo, Samsung dan Gold Star, ternyata bukan sekedar boneka perusahaanperusahaan multinasional belaka. Mereka secara agresif memperjuangkan kemandirian mereka, dan sampai batas-batas tertentu mereka cukup berhasil. Bahkan pemerataan pendapatan, yang oleh teori kiri diramalkan buruk, ternyata tidak seburuk yang disangka. Indeks Gini Kore Selatan pada tahun 1976 adalah 0,45 (biasanya, lebih dari 0,5 dianggap buruk), dibandingkan misalnya dengan indeks Gini Brazil (0,71 pada tahun 1972), Argentina (0,52 pada tahun 1970) dan Meksiko (0,59 pada tahun 1977). Harga bahan makanan pokok diatur oleh pemerintah, seperti halnya di Indonesia. Tetapi berbeda dengan persangkaan teori kanan, Korea Selatan mencapai semua ini tidak melalui pelaksanaan resep pasar bebas ala Adam Smith. Korea Selatan mencapai ini dengan ekonomi etatis (campur tangan negara yang besar) yang kuat. Negara tidak melepaskan ekonominya pada pasar bebas, tapi mengendalikannya secara berencana. Kredit bank untuk usaha dikendalikan oleh negara, yang memperolehnya melalui pinjaman luar negeri (Dikutip dari Ulrich Menzel & Dieter Senghaas: “Newly Industrializing Countries Defined,” Economics, Vo. 30, Tubingen, West Germany, 1984,
| 4 |
Kapitalisme atau Sosialisme: Pelajaran dari Dua Korea
hal. 117). Penggunaan barang buatan dalam negeri dipaksakan kepada konsumen warga Korea, meskipun barang tersebut (pada mulanya paling sedikit) lebih mahal dan lebih rendah mutunya ketimbang barang impor. Memang etatisme yang dijalankan di Selatan berbeda dengan yang dilaksanakan di Utara. Tapi yang jelas, sistem perekonomian Korea Selatan sama sekali berlainan dengan sistem ekonomi kapitalis liberal. “Korea Selatan bukan daerah kekuasaan Milton Friedman,“ kata Foster-Carter.
Sebaliknya juga, berlainan dengan ramalan teori kanan, perekonomian di Utara berkembang dengan stabil dan pasti. Seperti diuraikan pada permulaan artikel ini, ternyata Korea Utara tidak jauh tertinggal oleh perkembangan tetangganya di Selatan. Bahkan dalam beberapa hal, terutama yang berhubungan dengan kebutuhan dasar rakyatnya, keadaan di Utara lebih baik. Teori dua kucing Dari pengalaman kedua Korea tampak, dalam pembangunan ekonomi masalah sistem sosial, apakah sosialisme ataupun kapitalisme, tidak menjadi persoalan benar. Keduanya, bila dijalankan dengan baik, dapat berprestasi secara cukup meyakinkan. Korea Selatan dan Utara adalah contoh dalam artikel yang sekarang ini. Kalau kita mau lebih luas, kita juga melihat RRC yang menggunakan sistem sosialisme, yang kini merupakan negara industri yang agresif memasuki pasar dunia, khususnya pasar di Asia Tenggara. Sekali lagi saya kutip Foster-Carter yang merupakan sarjana aliran Neo-Marxis yang menyatakan: “Baik di Pyongyang maupun di Seoul, tampaknya nama permainannya adalah melakukan industrialisasi melalui pemerintah yang kuat, dan hanya dengan demikian pembangunan ekonominya dapat diperluas dan diperdalam.“ (Inside Asia, Nov./Dec. 1984: 28). Masalah sistem kapitalisme ataupun sosialisme tampaknya bukan masalah, kalau yang dituju adalah perkembangan ekonomi saja, selama dijalankan dengan baik. Seperti yang pernah dikatakan pemimpin RRC, Deng
| 5 |
Hsiaoping: “Tidak penting kucing itu berwarna hitam atau putih, selama keduanya dapat menangkap tikus.“ Tampaknya memang keduanya dapat menangkap tikus. Tetapi kalau kepada saya diberikan pilihan antara sosialisme dan kapitalisme yang dijalankan dengan baik, maka saya akan memilih yang pertama (tentunya sesudah disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia). Karena, bila kita sudah mencapai suatu titik pembangunan ekonomi yang berhasil, bagi saya sistem sosialisme akan lebih ampuh untuk bertahan. Pada sistem kapitalisme, sesudah titik ini dicapai, yang kita peroleh adalah manusia-manusia yang serakah. Karena manusia serakah merupakan motor bagi kapitalisme untuk berkembang (Lihat Arief Budiman, “Menciptakan Manusia Indonesia yang Tidak Serakah,“ makalah untuk HIPIS di Palembang, 19-22 Maret 1984). Maka meskipun suatu tingkat perkembangan ekonomi yang maju dapat dicapai melalui jalan kapitalisme, kualitas manusia yang kita peroleh adalah manusia yang egois dan meterialis, sehingga masyarakat tersebut selalu dibayangi oleh persengketaan kepentingan antar-individu. Adalah sebaliknya bagi masyarakat yang melaksanakan pembangunannya dengan jalan yang lebih sosialistis. Bila sistem ini dijalankan dengan baik, maka tingkat perkembangan ekonomi yang sama dapat dicapai. Tapi pada saat yang sama kita juga memperoleh kualitas manusia yang lebih sedikit mengandung perpecahan. Manusia di sini lebih mengutamakan kebersamaan. Quo Vadis, Indonesia? Jalan mana yang harus kita pilih? Adalah tugas kita untuk mempelajari secara seksama untung-rugi dari jalan yang akan kita pilih. Yang jelas, kita harus bersikap terbuka kepada segala kemungkinan, baik kemungkinan yang ada di kanan maupun di kiri. Kita tidak boleh fanatik terhadap salah satunya. Bukankah kita sedang memikirkan nasib anak-cucu kita di masa depan?
| 6 |