Majalah Bisnis dan Iptek Vol.7, No. 2, Oktober 2014,Anggota 70-78 Dewan 2014 Iskandar, Kapasitas
KAPASITAS ANGGOTA DEWAN DALAM MENDORONG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH
Sentot Iskandar STIE Pasundan Bandung Email:
[email protected]
Abstract Reformation era is the starting point in the Indonesian decentralization policy change toward real. Where previously the areas are so restrictive and not memilikim any authority in doing pembanguanan region, now in the era of reform through Act No. 22 of 1999 , the region has the freedom and initiative to manage their own regions. Substantial changes in this Act is the separation of the Regional Government of the Council (Article 14 of Law No. 22 of 1999) that previously integrated integrally. This separation is a manifestation of political decentralization which gives the political space in Parliament and society that fosters sekaliguas Democratization process at the local level. With these changes should have transparency and accountability in the region is expected to further improve. Keywords: regional development; bureaucratic reform
Abstrak Era Reformasi merupakan titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi di Indonesia ke arah yang nyata. Apabila sebelumnya daerah-daerah begitu terkekang dan tidak memilikim kewenangan apapun dalam melakukan pembanguanan daerah, kini di era reformasi melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, daerah memiliki kebebasan dan berprakarsa untuk mengatur daerahnya sendiri. Perubahan yang cukup besar dalam Undang-Undang ini adalah dipisahkannya Pemerintah Daerah dari DPRD (pasal 14 UU No. 22 Tahun 1999) yang sebelumnya terpadu secara integral. Pemisahan ini merupakan perwujudan desentralisasi politik yang memberikan ruang gerak politik pada DPRD dan Masyarakat yang sekaliguas menyuburkan proses Demokratisasi pada tingkat lokal. Dengan adanya perubahan tersebut seharusnya transparansi dan akuntabilitas di daerah diharapkan semakin membaik. Kata kunci: pembangunan daerah; reformasi birokrasi
Majalah Bisnis Dan Iptek | Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pasundan Bandung 70
Iskandar, Kapasitas Anggota Dewan 2014
1. Pendahuluan Era Reformasi merupakan titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi di Indonesia ke arah yang nyata. Apabila sebelumnya daerah-daerah begitu terkekang dan tidak memilikim kewenangan apapun dalam melakukan pembanguanan daerah, kini di era reformasi melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, daerah memiliki kebebasan dan berprakarsa untuk mengatur daerahnya sendiri. Perubahan yang cukup besar dalam Undang-Undang ini adalah dipisahkannya Pemerintah Daerah dari DPRD (pasal 14 UU No. 22 Tahun 1999) yang sebelumnya terpadu secara integral. Pemisahan ini merupakan perwujudan desentralisasi politik yang memberikan ruang gerak politik pada DPRD dan Masyarakat yang sekaliguas menyuburkan proses Demokratisasi pada tingkat lokal. Dengan adanya perubahan tersebut seharusnya transparansi dan akuntabilitas di daerah diharapkan semakin membaik.
Akan tetapi dalam perjalanannya, baik dari segi kebijakan maupun dari aspek implementasi terdapat sejumlah kelemahan sehingga keluarlah UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan revisi atas UU No. 22 Tahun 1999. Dalam UU tersebut ada 16 urusan pemerintahan yang diberikan kepada pemerintah daerah : 1.
Perencanaan dan pengendalian pembangunan
2.
Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang.
3.
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
4.
Penyediaan sarana dan prasarana umum
5.
Penanganan bidang kesehatan
6.
Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi SDM potensial
7.
Penanggulangan masalah sosial
8.
Pelayanan bidang ketenagakerjaan
9.
Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
10. Pengendalian lingkungan hidup 11. Pelayanan pertanahan 12. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil 13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan 14. Pelayanan administrasi penanaman modal 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar 16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Majalah Bisnis Dan Iptek | Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pasundan Bandung 71
Iskandar, Kapasitas Anggota Dewan 2014
2. Hubungan antara Pemerintah Daerah dengan DPRD Pemerintah daerah mencakup Pemerintah Daerah dan DPRD dan proses-proses di dalamnya. Pemerintah daerah terdiri dari Kepala Daerah dan segenap apraturnya. Kepala Daerah adalah penyelenggara tertinggi pemerintahan daerah. DPRD adalah salah satu unsur pemerintahan daerah. Kedudukannya adalah lembaga perwakilan rakyat didaerah yang merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi Pancasila, berhak mengontrol jalannya pemerintahan daerah sehingga sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Hubungan pemerintah daerah dengan DPR merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, yang bersama-sama menciptakan pemerintahan daerah yang efisien, efektif dan transparan dalam rangka memberikan pelayanan publik yang memuaskan demi terciptanya kesejahteraan masyarakat di daerah.
Hal ini tercermin dalam membuat
kebijakan daerah berupa peraturan daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara pemerintaha daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masingmasing. Sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan atau pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
3. Potret Anggota Dewan di tingkat Lokal Sebagai salah satu pilar demokrasi, DPRD mempunyai fungsi antara lain; membuat peraturan-peraturan daerah (fungsi legislasi), fungsi keuangan (budgeter), fungsi pengawasan (controller), dan pemilihan pejabat.
Fungsi legislasi. Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama pemerintah daerah, artinya prakarsa dapat berasal dari DPRD maupun dari pemerintah daerah. Meskipun rancangan di buat oleh pemerintah daerah tetapi tetap menjadi kewajiban DPRD untuk menggodognya sehingga menjadi peraturan daerah yang aspiratif dan berdampak menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat.
Khusus peraturan daerah tentang APBD rancangannya
disiapkan oleh pemerintah daerah untuk dibahas bersama DPRD. Sebagai wakil rakyat, DPRD harus memasukkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya dalam
Majalah Bisnis Dan Iptek | Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pasundan Bandung 72
Iskandar, Kapasitas Anggota Dewan 2014
pasal-pasal peraturan yang dihasilkan. Peraturan daerah dan ketentuan daerah lainnya yang bersifat mengatur diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah. Peraturan daerah tertentu yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, perubahan APBD, dan tata ruang, berlakunya setelah tahapan evaluasi oleh pemerintah. Hal ini ditempuh dengan pertimbangan antara lain untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya.
Fungsi Keuangan (Budgeter); DPRD mempunyai fungsi anggaran yaitu kewenangan bersama pemerintah daerah untuk menyusun RAPBD untuk tahun berikutnya. DPRD berwenang menentukan pemasukan dan pengeluaran uang. Dalam membuat APBD, DPRD harus melibatkan unsur masyarakat, transparan dan akuntibel (bertanggung jawab) karena uang yang digunakan itu berasal dari rakyat. APBD yang telah disetujui dituangkan dalam Peraturan Daerah yang
sekaligus
menjadi
dasar
bagi
pemerintah
daerah
untuk
menjalankan
pemerintahannya dalam tahun berjalan.
Fungsi Pengawasan Fungsi pengawasan yaitu mengawasi jalannya pemerintahan khususnya terhadap kebijakan daerah yang dibuat bersama. Pengawasan DPRD bersifat politis dalam arti berkaitan
dengan
implementasi
kebijakan
politik
kepala
daerah.
Karena
itu
pertanggungjawaban kepala daerah dalam konteks ini adalah pertanggungjawaban politik yaitu semua hal yang berkaitan dengan implementasi kebijakan politik kepala daerah. Dalam menjalankan fungsi pengawasan ini, DPRD bisa menggunakan berbagai hak yang dimilikinya, seperti hak bertanya, interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.
4. Hakikat Pembangunan Hakikat pembangunan adalah membentuk manusia-manusia atau individu-individu otonom yang memungkinkan mereka bisa mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Dari sini, muncul keberagaman dan spesialisasi sehingga menyuburkan pertukaran (exchange) atau transaksi. Inilah yang menjadi landasan kokoh bagi terwujudnya manusia-manusia unggulan sebagai modal utama terbentuknya daya saing nasional dalam menghadapi persaingan mondial. Transaksi tidak lain merupakan perwujudan dari interaksi antarmanusia dengan segala keberagaman dan kelebihannya masing-masing. Adapun hasil dari transaksi atau interaksi tersebut adalah kesejahteraan
Majalah Bisnis Dan Iptek | Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pasundan Bandung 73
Iskandar, Kapasitas Anggota Dewan 2014
sosial (social welfare), sebagaimana dijanjikan oleh prinsip keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Kesejahteraan sosial terwujud melalui tercapainya kemakmuran (prosperity) yang berkeadilan (justice) Demokrasi adalah prasyarat terpenting untuk mewujudkan kwesejahteraan sosial yang berkeadilan. Format baru pembangunan Nasional dan Daerah mendatang tidak boleh lagi memisahkan diantara keduanya, melainkan harus padu (built in) di dalam strategi dan setiap kebijakan pembangunan.
Kokohnya bangunan kemakmuran ditopang oleh kualitas dari tiga pilar yang melandasinya, yaitu pertumbuhan, stabilitas, dan efisiensi. Pilar pertama, yaitu pertumbuhan merupakan sisi penawaran (supply side) yang keberlangsungannya ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu modal, tenaga kerja, dan teknologi. Ke tiga faktor ini diramu oleh pengusaha ( pengusaha kecil, menengah , koperasi, dan besar) untuk menggerakkan produksi.
Pilar kedua dari kemakmuran, adalah stabilitas ekonomi. Faktor yang mempengaruhinya dikelompokkan ke dalam sisi permintaan (demand side) seperti konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor yang saling berinteraksi melalui variabelvariabel nilai tukar, suku bunga, dan tingkat harga.
Pilar ketiga, yaitu efisiensi, merupakan proses yang menentukan apakah proses interaksi antara sisi penawaran dan permintaan berlangsung secara optimal. Sisi penawaran akan menggeliat dengan topangan yang kokoh seandainya didasarkan pada pola keunggulan kompetitif sehingga memungkinkan alokasi sumberdaya yang efisien.
Kemakmuran harus seiring dan seirama dengan kedialan. Terwujudnya keadialan juga ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu kebebasan individu (freedom), tertib sosial (social order), dan pemerataan (equity). Adapun institusional arena untuk menjamin kokohnya bangunan keadilan adalah tata kelola yang baik (good governance). Jika pasar merupakan kenderaan terbaik untuk mewujudkan bangunan kemakmuran, maka good governance bisa diibaratkan sebagai pengemudi yang andal dari kenderaan tersebut.
Majalah Bisnis Dan Iptek | Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pasundan Bandung 74
Iskandar, Kapasitas Anggota Dewan 2014
5.
Kapasitas
Anggota
Dewan
dalam Mendorong Percepatan
Pembangunan di Daerah Sejak tahun 2004 Lembaga DPR/DPRD telah mengalami transisi yang cukup signifikan seiring diterapkannya sistem pemilu langsung yang proporsional dan terbuka. Sesuai dengan Amandemen UUD 1945 pasal 20 A ayat (1) yang berbunyi DPR menjalankan fungsi seperti legislasi, anggaran dan pengawasan. Dalam hal ini posisi tawar-menawar lembaga legislatif dalam berhubungan dengan eksekutif menjadi signifikan mengingat wilayah tanggung jawab dan wewenangnya merambah ke ranah eksekutif. Persetujuan dari legislatif dan pembahasan kebijakan dengan DPR menjadi hal yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan. Dengan kata lain, mandat yang lebih luas telah memberikan ruang yang semestinya dapat dimanfaatkan secara optimal dan strategis oleh anggota dewan, terutama dalam menggunakan hak inisiatifnya dan pelaksanaan pengawasan secara lebih proaktif, efektif, dan kritis.
Dalam hal penyusunan peraturan perundang-undangan daerah (produk hukum daerah), anggota dewan mempunyai posisi yang strategis dalam menentukan arahnya demi pemercepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Hal ini karena, pertama, segala kepentingan masyarakat pada dasarnya diatur dan diurus oleh daerah melalui peraturan perundang-undangan daerah. Dengan demikian peraturan yang tidak memihak atau sekiranya dapat memberatkan masyarakat tentunya tidak perlu disetujui oleh anggota dewan. Kedua, peraturan perundang-undangan daerah menjadi “motor” penggerak konsep pengembangan wilayah pembangunan.
Sasaran yang harus dicapai dari setiap produk hukum daerah adalah terciptanya peraturan daerah yang adil, efektif dan efisien serta mampu menunjang pemercepatan pembangunan di daerah. Dalam hal membahas dan menyetujui rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama dengan kepala daerah, Anggota dewan dapat menentukan sumber penerimaan dan penggunaan anggaran. Khusus sumber penerimaan seperti dari pajak, retribusi, keuntungan usaha milik daerah dan sebagainya, diupayakan tidak terlalu memberatkan beban masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah. Sebagai contoh kenaikan tarif pajak pertambahan nilai akan memberatkan masyarakat konsumen yang berpendapatan rendah. Sebaliknya, Pengenaan pajak penghasilan yang progressif, dapat mengurangi kesenjangan pendapatan antara si kaya dengan si miskin.
Majalah Bisnis Dan Iptek | Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pasundan Bandung 75
Iskandar, Kapasitas Anggota Dewan 2014
Kemudian untuk aspek belanja (pengeluaran). Anggota dewan dapat menentukan arah kebijakan pengeluaran yang benar-benar bermanfaat bagi kepentingan masyarakat dan pemercepatan pembangunan di daerah. Seperti pembangunan sarana dan prasarana produksi di pedesaan, meningkatkan kemampuan masyarakat yang berpendapatan rendah baik segi pendidikan, kesehatan dan pendapatan, membangun sektor-sektor unggulan (leading sector) yang paling banyak menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan dan memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya.
Disamping itu, anggota dewan juga mempunyai fungsi pengawasan yaitu mengawasi jalannya pemerintahan khususnya terhadap implementasi kebijakan politik kepala daerah. Dalam menjalankan fungsi pengawasan ini anggota dewan bisa menggunakan berbagai hak yang dimilikinya sepertio interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Interpelasi yaitu hak untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara. Misalnya, rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah, rencana kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga ayang membebani masyarakat dan daerah.
Hak Angket, yaitu hak untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Contoh, dikeluarkannya izin tempat-tempat prostitusi dan kemaksiatan, perjudian dan lain sebagainya.
6. Upaya-Upaya meningkatkan Kapasitas Anggota Dewan Seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa posisi tawar menawar anggota dewan dalam berhubungan dengan eksekutif telah diberikan mandat yang luas dan dapat dimanfaatkan secara optimal dan strategis oleh anggota dewan dalam mempercepat peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi kenyataannya kesempatan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Ada sebuah paradoks lembaga legislatif yang tampak sangat kuat, namun kebanyakan tetap dibayangbayangi oleh eksekutif yaitu masalah sumberdaya dimana kurangnya dukungan intelektual dan teknis yang akan menghambat kemandirian kelembagaan dan mempengaruhi kinerjanya dalam berhubungan dengan eksekutif.
Majalah Bisnis Dan Iptek | Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pasundan Bandung 76
Iskandar, Kapasitas Anggota Dewan 2014
Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan menjamin kemampuan lembaga legislatif dalam menyediakan kapasitas pendukung yang memadai dan profesional. Misalnya dengan memiliki komisi-komisi yang efektif dalam memperjuangkan kepentingan umum dengan pakar-pakar kebijakan yang berpengalaman dalam memberikan masukan dalam hal legislasi maupun pengawasan terhadap kerja pemerintah. Beberapa fasilitas pendukung kerja yang dibutuhkan adalah SDM yang profesional dan memiliki spesialisasi dan dedikasi kepada DPRD, sistem teknologi informasi yang memadai, pusat informasi dengan data-data yang komprehensif dan pelayanan yang proaktif. “Selain itu perlu menciptakan tata kelola yang baik (Corporate governance) bagi lembaga legislatif yaitu
suatu sistem yang dipakai pemimpin untuk mengarahkan dan
mengendalikan serta mengawasi (directing, controlling, and supervising) pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif (E3P) dengan prinsip-prinsip transparan, accountable, responsible, independent, dan fairness (TARIF) dalam rangka mencapai tujuan organisasi” Corporate Governance terdiri dari 4 (empat) elemen yaitu: 1. Fokus kepada pimpinan ( Board ) 2. Hukum dan Peraturan sebagai alat untuk mengarahkan dan mengendalikan. 3. Pengelolaan sumber daya organisasi secara Efisien, Efektif, Ekonomis, dan Produktif (E3P). 4. Transparan, Accountable, Responsible, Independent, dan Fairness (TARIF). Jika kita berbicara tentang
Good
Government Governance (GGG) maka focus
pembahasan adalah kepada pucuk pimpinan suatu organisasi yang bertanggungjawab untuk mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi pemakaian sumber tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Dalam konstek Lembaga Pemerintahan maka yang dimaksud dengan pimpinan
adalah pimpinan politik dan pimpinan lembaga
pemerintahan. yaitu Kepala Daerah dan DPRD.
Pimpinan Politik dan Pimpinan Pemerintahan adalah yang bertangungjawab dan memiliki otoritas penuh dalam membuat keputusan tentang bagaimana melakukan pengarahan, pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan sumber daya sesuai dengan tujuan lembaga. Dalam melakukan pengelolaan sumber daya ini tentu saja harus memenuhi kaidah-kaidah Efisien, Efektif, Ekonomis, dan Produktif (E3P)
Majalah Bisnis Dan Iptek | Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pasundan Bandung 77
Iskandar, Kapasitas Anggota Dewan 2014
Selain itu juga, kelemahan yang mendasar dari aparatur sekarang ini adalah tidak kondusifnya budaya kerja dilingkungannya, maka dari itu untuk meningkatkan aktivitas kerja apaatur harus diawali dengan perubahan budaya organisasi. Perubahan mendasar adalah merubah budaya birokrat menjadi budaya Good Government Governance. Berbicara perubahan budaya organisasi, hanya akan bisa dilaksanakan oleh kemauan yang keras dan otoritas dari pimpinan yang akhiranya akan dilaksanakan oleh semua pihak.
Pola Lama
Pola Baru
Menunggu perintah, pasif mohon petunjuk, mencari & memilih aman.
Melakukan terobosan, proaktif, penuh inisiatif, berani ambil resiko.
Sikap tertutup, ‘nurut’, menghindari beda pendapat, disiplin mati.
Sikap terbuka, kreatif, berani berbeda pendapat, mencari alternatif.
Prestasi mediocre (ala kadarnya), cepat merasa puas, acuh, masa bodoh, risk avoider.
Prestasi excelent (unggul), tidak mudah puas, rasa memiliki, self esteem, risk taker.
Mental minta dilayani, pengabdian pada atasan.
Mental melayani, orientasi pada pelanggan.
Mental pegawai, mental penguasa, ewuh pakewuh.
Mental pelaku bisnis, mental pengusaha, terus terang.
Life – time employment, kepatuhan, kesehatan pada manusia.
Life – time employability, keberhasilan, komitmen.
Orientasi kuantitas, ijasah & senioritas.
Penonjolan individu, konpensasi ‘sama rata’.
Orientasi kualitas, kemampuan & karya.
DP3 – pelatihan SDM (keterampilan, kompetensi).
Kerja sama kelompok, kompensasi sesuai prestasi.
SPK – pendidikan SDM (pola- pikir, sikap mental, kebiasan, watak).
7. Penutup Demikian pokok-pokok pikiran ini, semoga dapat bermanfaat terutama dalam upaya
meningkatkan
kapasitas
anggota
dewan
dalam
mendorong
percepatan
pembangunan daerah.
Referensi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 UU No. 32 Tahun 2004
Majalah Bisnis Dan Iptek | Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pasundan Bandung 78