KANDUNGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF (ANALISIS ISI NOVEL JACK AND SUFI KARYA MUHAMMAD LUQMAN HAKIM) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
oleh: SAMKHUN NAJI NIM: 108011000140
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M
Nama NIM Fak/Jurusan Judul
ABSTRAK : Samkhun Naji : 108011000140 : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan/Pendidikan Agama Islam : Kandungan Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf (Analisis Isi Novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim)
Tujuan penelitian dari novel Jack and Sufi ini yaitu untuk menemukan bentuk pendidikan akhlak tasawuf yang ditampilkan dalam novel Jack and Sufi, untuk memperkaya khazanah keilmuan bagi peneliti karya sastra novel selanjutnya dan untuk referensi dalam dunia pendidikan. Penelitian ini juga dapat memberikan manfaat bagi pembaca, yaitu sebagai wahana pemikiran dalam memahami suatu karya sastra, membantu dalam memahami suatu karya sastra dan sebagai rujukan dalam bidang pendidikan. Metode dalam skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu suatu jenis penelitian yang mengacu pada khazanah kepustakaan seperti buku-buku, artikel atau dokumen-dokumen lainnya. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis isi (content analysis), yaitu sebuah analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami dan menangkap isi karya sastra, serta metode deskriptif, yaitu metode yang membahas objek penelitian secara apa adanya sesuai dengan data-data yang diperoleh. Penelitian ini menemukan 4 bentuk nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi yaitu: tentang nilai kearifan (al-hikmah) meliputi ketajaman intelegensi, kejernihan dalam berpikir. Nilai menjaga kesucian (al-iffah) meliputi kedermawanan, keteguhan hati, dan wira’i. Nilai keberanian (al-syaja’ah) meliputi sikap tenang san kesabaran. Terakhir nilai keadilan (al-‘adl) meliputi kasih sayang, bersahabat, dan tawadhu’.
i
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah swt atas taufik dan hidayah-Nya, akhirnya penulisan skripsi yang berjudul “Kandungan Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf (Analisis Isi Novel Jack and Sufi Karya Muhammad Luqman Hakim)” ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman. Peneliti menyadari betul bahwa selama proses penulisan skripsi ini dalam rangka mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, banyak pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini. Maka dari itu peneliti memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya sekaligus ucapan terima kasih. Adapun apresiasi dan ucapan terima kasih ini peneliti khususkan kepada: 1. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk
menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Abdul Majid Khon, MA dan Marhamah Shaleh Lc., MA selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam juga seluruh dosen dan staf Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuannya selama penulis menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Dimyati, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing selama penulisan skripsi ini yang memberikan bimbingan, saran dan kritik selama penulisan. 4. Tanenji, S.Ag, MA, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan motivasi dan saran kepada penulis selama menjadi mahasiswa. 5. Bapak dan ibu dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu namun tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat penulis, yang telah membimbing penulis selama kuliah di Jurusan Pendidikan Agama Islam
ii
Ilmu Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 6. Kepada kedua orang tua yakni: Ayahanda Musthafa dan Ibunda Wastiah yang selalu memberikan didikan, motivasi, doa dan kasih sayang kepada penulis. 7. Kepada kakak saya Ani Rohani, Siti Khayatun, dan Khumaidullah Irfan, serta adik saya Numrotul Mustariqoh. Penulis ucapkan banyak terima kasih karena sudah memberi motivasi. 8. Sahabat-sahabat saya dan teman-teman kelas ”Dhe” PAI yang sudah memberikan banyak motivasi dan bantuannya sampai selesainya skripsi ini. 9. Teman-teman Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2008 yang telah memberikan dukungannya dalam skripsi ini.
iii
DAFTAR ISI
Cover SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ABSTRAK .......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ ....... vii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Identifikasi Masalah ................................................................... 6 C. Batasan Masalah ……………………………………… …… .... 7 D. Rumusan Masalah ....................................................................... 7 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 8
BAB II
LANDASAN TEORI A. Hakikat Novel dan Nilai Pendidikan 1. Pengertian Novel ........................................................................ 9 2. Ciri-ciri Novel .............................................................................. 11 3. Macam-macam Novel .................................................................. 12 5. Sastra dan Nilai Pendidikan ........................................................ 14 B. Konsep Pendidikan Akhlak Tasawuf 1. Pengertian Pendidikan ................................................................ 17 2. Pengertian Tasawuf ……………………………………………. 19 3. Pengertian Akhlak ...................................................................... 21 4. Integrasi Pendidikan Akhlak Tasawuf ........................................ 26 5. Dasar Pendidikan Akhlak Tasawuf ............................................ 27 6. Materi Pendidikan Akhlak Tasawuf …………………………… 30
iv
7. Tujuan Pendidikan Akhlak Tasawuf ............................................ 32 C. Hasil Penelitian yang Relevan .................................................. 33 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 35 B. Bentuk dan Strategi Penelitian ..................................................... 35 C. Sumber Data ................................................................................. 36 D. Instrumen Penelitian ..................................................................... 36 E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 37 F. Teknik Analisis Data .................................................................... 37 G. Teknik Penulisan .......................................................................... 38 H. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data .......................................... 38
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Novel 1. Sinopsis Novel .............................................................................. 40 2. Biografi Pengarang........................................................................ 45 B. Temuan Hasil Analisis …………………………………… ....... 46 C. Pembahasan Hasil Analisis 1. Nilai Kearifan ................................................................................ 51 2. Nilai Menjaga Kesucian diri ......................................................... 54 3. Nilai Keberanian ........................................................................... 60 4. Nilai Keadilan ............................................................................... 62
BAB V
KESIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan .................................................................................. 69 B. Implikasi ....................................................................................... 70 C. Saran ............................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 73
v
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 ............................................................................................................ 46 Tabel 4.2 ........................................................................................................... 47
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri P & K RI No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988
Huruf
Nama
Huruf Latin
Keterangan
Alif
-
tidak dilambangkan
bā’
B
-
tā’
T
-
ṡā’
ṡ
s dengan satu titik di atas
Jīm
J
-
ḥā’
ḥ
h dengan satu titik di bawah
khā’
Kh
-
Dāl
D
-
Żāl
Ż
z dengan satu titik di atas
rā’
R
-
Zāi
Z
-
Sīn
S
-
Syīn
Sy
-
ṣād
ṣ
s dengan satu titik di bawah
Arab
vii
ḍād
ḍ
d dengan satu titik di bawah
ṭā’
ṭ
t dengan satu titik di bawah
ẓā’
ẓ
z dengan satu titik di bawah
‘ain
‘
koma terbalik
Gain
G
-
fā’
F
-
Qāf
Q
-
Kāf
K
-
Lām
L
-
Mīm
M
-
Nūn
N
-
hā’
H
-
wāwu
W
-
tidak dilambangkan
apostrof, tetapi lambang ini tidak
atau ’
dipergunakan untuk hamzah di awal kata
Y
-
hamzah yā’
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradaban merupakan kata yang mengacu pada interaksi keseluruhan aspek-aspek kehidupan suatu komunitas, yang kemudian terekspresikan secara fisik maupun spiritual. Keseluruhan aspek itu, misalnya ideologi, ilmu pengetahuan, hukum, etika, seni, nilai-nilai keindahan, kebaikan dan kebenaran. Peradaban itu dikatakan
maju ketika terjadi proses interaksi antar berbagai
dimensi tersebut yang pada gilirannya akan membentuk wajah peradaban komunitas itu sendiri. Proses interaksi tersebut mungkin terjadi dalam wadah yang kita sebut sebagai dunia pendidikan. Dengan adanya pendidikan yang memuat keseluruhan aspek tersebut, kita dapat berharap akan kemajuan peradaban masyarakat Indonesia pada masa depan.1 Pendidikan adalah kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perilaku seseorang dan masyarakat. Dalam aktualisasinya, pendidikan sering dilihat dari dua sudut pandang, sebagai fenomena individual dan fenomena sosial budaya.2 Oleh karena itu, institusi manusia seperti agama, hukum, etika, seni, dan budaya tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan dari peran pendidikan itu sendiri. 1
M. Anis Matta, “Seni Islam: Format Estetika dan Muatan Nilai”, dalam Aswab Mahasin (ed.), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa,(Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, Bina Rena Pariwara, 1996), h. 20 2 Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, (tt.p, Friska Agung Insani, 2000), h. 99
1
2
Pada saat sekarang, praktek-praktek pendidikan mengalami kemunduran yang hanya fokus pada kecerdasan otak.3 Ditambah lagi arus modernisasi tak pelak lagi mengakibatkan banyak perubahan dalam masyarakat. Perubahan ini menyimpan potensi negatif yaitu tereduksinya nilai-nilai yang ada di masyarakat berupa kemerosotan akhlak. Dan ini jelas akan mengakibatkan kemunduran suatu peradaban. Hal ini sebagai akibat praktek pendidikan yang tidak mengacu pada pengembangan manusia secara utuh dan tidak adanya kesiapan filtrasi terhadap nilai-nilai kebudayaan baru yang dibawa arus modernisasi tersebut. Kerusakan akhlak yang ada sekarang memang telah meluas. Umat Islam selayaknya tidak terkena penyakit itu. Namun kenyataannya tidak demikian. Sifatsifat yang menyalahi akhlak Islam ini barangkali salah satu penyebabnya adalah karena umat Islam lebih mengutamakan aspek luar dari pada aspek yang di dalam. Padahal seharusnya keduanya dibutuhkan dan memang merupakan satu kesatuan. Di sinilah peran akhlak tasawuf di mana ilmu ini sangat mementingkan rohani seseorang sebagai tempat tinggal yang baik bagi keinginan-keinginan manusia dengan merawatnya secara baik sehingga dapat melahirkan tindakan-tindakan yang positif mengalir sendiri tanpa ada motif yang terselubung yang bersifat negatif di mata Allah.4 Dalam pendidikan akhlak tasawuf yang dikembangkan adalah IQ (dzaka „aqli), EQ (dzaka dihni), dan SQ (dzaka qolbi). Ketiganya merupakan komponen potensi kemanusiaan yang perlu dikembangkan secara harmonis. Hal ini bertujuan agar menghasilkan daya guna yang luar biasa, baik secara horizontal dalam lingkup pergaulan antar manusia maupun secara vertikal dalam relasinya kepada Ilahi.5 Ketiganya merupakan potensi ruhani dalam diri manusia yang sangat penting untuk dikembangkan. Dengan demikian, nanti pada gilirannya tidak ada lagi krisis manusia modern yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kesyahduan dalam beragama, yang telah memeluk agama tidak ubahnya seperti robot, yakni rutin, kaku, jauh 3
Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Mizan, 2006), h. 54 Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia, Dialog Al-Qur‟an, Tasawuf dan Psikologi, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 23 5 Siroj. loc. cit. 4
3
dari kesan menjiwai dan sangat kering dari nilai-nilai keintiman, sehingga yang tampak dalam aktivitas beragama adalah sekedar memenuhi kewajiban dan sekaligus tidak berdampak pada kesalehan sosial sekaligus tidak berdampak pada transformasi perbaikan sosial kemasyarakatan.6 Dengan model keberagamaan yang mengedepankan pengetahuan akhlak tasawuf diharapkan fenomena keberagamaan manusia menjadi sesuatu yang hidup, yang ramah, sekaligus peduli terhadap implikasi sosial kemasyarakatan, karena memang demikianlah sesungguhnya jati diri Islam.7 Sebagai masyarakat Indonesia yang Islam, untuk mewujudkan hal tersebut tentunya perlu pola pendidikan yang berorientasi pada pembinaan akhlak yang berlandaskan pada ajaran agama Islam yang dikenal dengan pendidikan akhlak tasawuf. Bentuk pendidikan tersebut adalah upaya mengimbangi pendidikan yang sekarang berkembang, di mana orientasinya hanya pada ranah kecerdasan otak, dan jarang sekali terarah pada kecerdasan emosi dan spiritual. Padahal, keduanya merupakan wadah dari pentingnya integritas, kejujuran, komitmen, visi, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, penguasaan diri.8 Faktor yang menyebabkan rusaknya akhlak seseorang menurut peneliti bukan hanya dari derasnya arus modernisasi yang mengakibatkan perubahan perilaku seseorang, tetapi juga faktor pola pendidikan yang kurang mengena. Pola pendidikan
yang
menggunakan
metode
menakut-nakuti,
memukul
dan
mengancam misalnya, itu tidak tepat dilakukan. Karena metode seperti itu tidak akan mungkin mengembangkan potensi akhlak pada anak.9 Imam al-Ghazali, dalam Zainuddin, berpendapat bahwa kesusastraan termasuk ke dalam salah satu faktor lingkungan pendidikan. Karya sastra berupa buku-buku yang berisi cerita yang baik, benar dan mulia akan membawa pengaruh dan peranan yang sangat penting dalam pembentukan watak perilaku dan
6
Djamaluddin, Reorientasi Pembelajaran Akhlak Tasawuf di Perguruan Tinggi, Tadris Volume 3. Nomor 1. 2008, pp. 8 7 Ibid, 8 Siroj, loc. cit. 9 Murtadha Muthahhari, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Sadra Press, 2011), h.38
4
kepribadian anak.10 Umar Bin Khattab pernah berkata “Ajarkanlah sastra pada anak-anak kalian, karena sastra itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani”.11 Petuah Umar Bin Khattab di atas cukup menggambarkan kaitan erat antara sastra dan pembentukan karakter seseorang. Dengan mengajarkan sastra, kita menjadi tahu makna kehidupan. Kita menjadi terbiasa untuk mengungkapkan sesuatu dengan keindahan dan kelembutan. Sastra mengajarkan kita untuk peduli dan empati. Ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai moral bisa diungkapkan tanpa kesan menggurui. Bahkan kegemilangan sebuah peradaban bisa dilihat dari sastrawan dan karya-karya sastra yang lahir pada masa itu. Seperti kegemilangan Islam yang melahirkan ulama sekaligus sastrawan seperti Imam Syafi‟i, Jalaluddin Rumi, Umar al Khayyam dll.12 Dalam perspektif peradaban, seni menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan dimensi kehidupan masyarakat. Keberadaan seni dalam berbagai bentuknya, seperti contoh karya sastra, merupakan upaya manusia untuk menggambarkan dan mengekspresikan sesuatu yang ia rasakan dalam batinnya tentang realitas berbagai wujud melalui berbagai bentuk ekspresi yang indah, ilustratif dan memiliki daya pengaruh yang kuat. Keberadaan dan kondisi sastra pada suatu masyarakat ikut mengindikasikan dari maju atau tidaknya peradaban suatu bangsa.13 Di kala sistem pendidikan kontemporer tidak berhasil membekali generasi penerus dengan nilai-nilai luhur pembentuk watak bangsa, sastra sepatutnya dilihat sebagai jalan alternatif. Oleh karena itu, menurut hemat peneliti, pola pendidikan yang berbasis sastra dapat dijadikan alternatif dalam pembinaan akhlak pada diri anak tanpa harus melakukan tindakan di luar batas yang bisa berakibat fatal. Dengan mengajarkan sastra dengan sendirinya para anak didik tahu akan akibat atau manfaat dari apa yang telah ia lakukan dalam kehidupan ini tanpa harus 10
Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
cet.i, h. 93 11
Matta, op. cit, h. 24 Bulqia Mas‟ud, Sastra (http://www.edukasi.kompasiana.com.) 13 Ibid., h. 21 12
dan
Pembentukan
Karakter,
2013,
5
melakukan tindakan yang berlebihan dalam menghukum, walaupun dalam tingkatan tertentu hukuman itu dibolehkan. Kemudian muncul pertanyaan apakah sistem pendidikan yang ada selama ini telah gagal dalam membentuk kepribadian anak-anak bangsa? Jika peneliti menilik pada hasil penelitian Taufik Ismail, penyair senior Indonesia, bahwa minimnya pembelajaran apresiasi sastra adalah salah satu penyebab mengapa kemerosotan moral yang terjadi. Taufik Ismail memaparkan „TRAGEDI NOL BUKU‟ bahwa siswa-siswi di Indonesia berhasil menyelesaikan „NOL‟ karya sastra sampai mereka menginjak SMA. Hal ini begitu memilukan jika dibandingkan dengan budaya literasi yang berkembang di negara-negara maju, bahkan di Malaysia sekalipun.14 Dari sinilah muncul kesadaran bahwa menurut peneliti pendidikan akhlak tasawuf (pendidikan yang berorientasi pada jiwa, pada penanaman kebenaran universal sebagai pemenuhan fitrah manusia) yang berbasis sastra menjadi sebuah keniscayaan. Karya sastra dapat menjadi salah satu medium yang efektif dalam pendidikan akhlak tasawuf. Karena sastra bisa mengasah rasa, mengolah budi, membukakan pikiran dan mengajak manusia berdialog dengan dirinya sendiri. Namun, tidak semua hasil karya sastra dapat digunakan sebagai sarana membangun akhlak. Sastra yang dapat digunakan untuk membangun akhlak adalah sastra yang „baik‟. Sastra yang baik adalah yang mampu membuat pembacanya melakukan suatu perenungan, mendapatkan pencerahan, dan mengajak kepada kehidupan yang lebih baik dan benar. Dalam hal ini, maka materi dalam karya sastra sangat penting adanya. Keberadaan isi dalam suatu karya sastra haruslah memuat nilai-nilai yang mengandung unsur pendidikan akhlak tasawuf. Tanpa hal itu, maka sastra hanya akan menjadi bacaan yang sifatnya menghibur belaka tanpa ada nilai yang dapat dijadikan pelajaran. Novel termasuk karya sastra yang banyak beredar di masyarakat dan memuat banyak nilai-nilai pendidikan untuk kehidupan manusia dalam setiap ceritanya. Sebagai pembaca kita harus dapat menangkap nilai apa yang 14
Taufik Ismail, Generasi Nol Buku, 2013, (http://www.kompas.com.)
6
sebenarnya ingin disampaikan dari novel tersebut kepada para pembaca, bukan hanya sekadar bacaan yang menghibur semata. Berdasarkan asumsi bahwa novel merupakan salah satu karya sastra yang memuat banyak nilai-nilai pendidikan, jadi bisa disimpulkan bahwa karya sastra berupa novel layak menjadi medium dalam ranah pendidikan, karena memuat nilai-nilai pendidikan yang dapat berkontribusi dalam pembangunan masyarakat. Dalam hal ini, peneliti tertarik untuk menganalisis sebuah karya sastra berupa novel yang berjudul Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim. Dalam karyanya tersebut, si pengarang banyak memberikan hal-hal penting tentang nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf. Menurut peneliti novel ini sarat akan muatan nilai pendidikan akhlak tasawuf mengingat si pengarang adalah ahli di bidang ilmu tasawuf. Sebagai contoh diceritakan si Jack tokoh sentral dalam buku ini adalah seorang yang telah belajar ilmu tasawuf dari berbagai negara dan dia juga mempunyai pesantren yang cukup terkenal di daerahnya, namun dia tidak langsung kembali ke pesantrennya untuk mengajarkan ilmu yang didapatnya, tetapi malah memilih untuk berdakwah di wilayah yang hampir tak tersentuh oleh para ulama seperti dia. Wilayah itu dia sebut sebagai wilayah remang-remang, karena di dalamnya memang tercampur antara kebaikan dan keburukan. Dia memilih wilayah tersebut karena panggilan Ilahi untuk mengajak mereka yang telah terbawa arus hitam untuk kembali ke jalan yang benar dengan cara dia sendiri. Dari pengamatan yang dilakukan peneliti ada beberapa novel yang dijadikan judul skripsi untuk diambil nilai-nilai akhlaknya seperti novel Bumi Cinta karya Habiburrahman al-Syirazi, Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman alSyirazi.15 Ada juga yang meneliti novel ini (Jack and Sufi) namun nilai yang diambil adalah nilai tentang kepedulian sosialnya. Skripsi tersebut peneliti jumpai di perpustakaan online milik UMM (Universitas Muhamdiyah Malang) dengan judul “Nilai Kepedulian Sosial Dalam Buku Jack and Sufi”.16 Jadi memang belum ada judul skripsi seperti yang akan diteliti oleh peneliti. Melihat data tersebut 15
Lihat Katalog skripsi di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lihat Katalog Perpustakaan Online UMM (Universitas Muhammadiyah Malang)
16
7
menurut peneliti merupakan hal yang penting untuk menggali nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi tersebut, mengingat pentingnya nilai pendidikan akhlak tasawuf itu sendiri dan adanya nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel tersebut. Adapun penelitian ini akan diberi judul “Kandungan Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf dalam Novel Jack and Sufi Karya Muhammad Luqman Hakim.” B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut: 1. Derasnya arus modernisasi yang mengakibatkan masyarakat terkena penyakit kerusakan moral (akhlak) 2. Praktek pendidikan yang masih hanya fokus pada kecerdasan otak, dan mengabaikan tentang pentingnya kecerdasan emosional dan spiritual. 3. Kurangnya pemahaman tentang pendidikan akhlak tasawuf sebagai pendidikan emosional dan spiritual. 4. Pola pendidikan yang kurang mengena dapat mengakibatkan kerusakan akhlak pada anak didik. 5. Penggunaan metode (alat/media) pendidikan yang belum optimal sehingga belum bisa membentuk pribadi anak didik dengan baik. 6. Kurangnya minat mengapresiasi karya sastra novel sebagai medium dalam
penyampaian
nilai-nilai
pendidikan
guna
membentuk
kepribadian anak didik. 7. Masih belum adanya penelitian mengenai novel Jack and Sufi untuk digali nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf yang terkandung di dalamnya. C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dibatasi hanya pada “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf dalam Novel Jack and Sufi Karya Muhammad Luqman Hakim.”
8
D. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah itu, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf
yang terdapat
dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim?” E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Setelah mengetahui permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: “Untuk mengetahui bentuk nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf yang terkandung dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim.” 2. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca, adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis 1) Dapat memperluas khasanah ilmu dalam karya ilmiah terutama dalam bentuk cerita. 2) Sebagai wahana pemikiran dalam menetapkan teori-teori yang ada dengan realitas yang ada di masyarakat. b. Manfaat Praktis 1) Dapat memberikan kontribusi bagi pembaca dalam pengajaran terutama memahami makna atau hikmah dalam suatu cerita. 2) Dapat memberikan masukan kepada peneliti lain untuk penelitian selanjutnya. 3) Sebagai transformasi nilai pendidikan yang terimplementasi dalam kehidupan sehari hari.
BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Novel dan Nilai Pendidikan 1.
Pengertian Novel Sebelum menjelaskan apa itu novel, baiknya kita pahami apa itu karya
sastra. Kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta; akar kata sas-, dalam kata kerja turunan berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi‟. Akhiran –tra biasanya menunjuk alat, sarana. Maka dari itu, sastra dapat berarti ”alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran, “.1 Karya sastra dapat digolongkan sebagai salah satu sarana pendidikan dalam arti luas. Pendidikan dalam arti ini tidak terbatas pada buku-buku teks (pelajaran dari kurikulum yang diajarkan di sekolah), namun bisa berupa karya sastra seperti cerpen, puisi, novel. Dunia kesusastraan secara garis besar mengenal 3 jenis teks sastra, yaitu naratif (prosa), teks monolog (puisi), dan teks dialog (drama). Salah satu dari ragam prosa adalah novel.2 Jadi, karya tulis berupa novel termasuk salah satu dari karya sastra berupa teks, yang berisi tentang cerita. Kata novel berasal dari bahasa latin, novus (baru). Sedangkan dalam bahasa Italia novel disebut novella, kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel. yaitu suatu proses naratif yang lebih panjang dari pada cerita pendek (cerpen), yang biasanya memamerkan tokoh-tokoh atau pristiwa imajiner. Novel 1
Partini Sardjono Prodotokusumo, Pengkajian Sastra, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 7 2 Widjoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: Upi Press, 2006), cet. ke-1, hal. 43.
9
10
merupakan karangan sastra prosa panjang dan mengundang rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekitar dengan cara menonjolkan sifat dan watak tokoh-tokoh itu.3 Alterbernd dan Lewis, dalam Burhan Nurgiyantoro, berpendapat, fiksi— sebagai sinonim dari novel—adalah: prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel diartikan sebagai “karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku”.5 Sastra berupa novel jika dilihat dari aspek isi merupakan karya imajinatif yang tidak lepas dari realitas. Karya sastra merupakan cermin zaman. Berbagai hal yang terjadi pada suatu waktu, baik positif maupun negatif direspon oleh pengarang. Dalam proses penciptaannya, pengarang akan melihat fenomenafenomena yang terjadi di masyarakat itu
secara kritis,
kemudian mereka
mengungkapkannya dalam bentuk yang imajinatif.6 Novel sebagai karya sastra mempunyai fungsi dulce et utile, artinya indah dan bermanfaat. Dari aspek gubahan, sastra disusun dalam bentuk yang apik dan menarik sehingga membuat orang senang membaca, mendengar, melihat, dan menikmatinya. Sementara itu, dari aspek isi ternyata karya sastra sangat bermanfaat. Di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan yang berguna untuk menanamkan pendidikan karakter.7
3
Bitstream, Pengertian Novel, 2013, (http://repository.usu.ac.id.) Ibid., h. 2-3. 5 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia 1998), h. 1079 6 Haryadi, Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa, Makalah disampaikan pada Seminar Pendidikan IKIP Yogyakarta, 13 Juni 2011 7 Bulqia Mas’ud, loc. cit., 4
11
Dengan demikian, karya sastra memiliki peran sangat fundamental dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karya sastra pada dasarnya membicarakan berbagai nilai hidup dan kehidupan yang berkaitan langsung dengan pembentukan karakter manusia. Sastra dalam pendidikan berperan mengembangkan bahasa, mengembangkan kognitif, afektif, psikomotorik, mengembangkan kepribadian dan mengembangkan pribadi.8 2.
Ciri-ciri Novel Di Indonesia antara roman, novel, dan cerpen mempunyai sedikit
perbedaan. Ada juga yang disebut novellet. Dalam roman biasanya kisah berawal dari tokoh lahir sampai dewasa kemudian meninggal, roman biasanya mengikuti aliran romantik. Sedangkan novel berdasarkan realisme, dan hidupnya dapat berubah dari keadaan sebelumnya. Berbeda dengan cerita pendek yang tidak berkepentingan pada kesempurnaan cerita atau keutuhan sebuah cerita, tetapi lebih berkepentingan pada kesan.9 Hendy menyebutkan ciri-ciri novel sebagai berikut: a. Sajian cerita lebih panjang dari cerita pendek dan lebih pendek dari roman. Biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa bagian. b. Bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada dalam masyarakat dengan ramuan fiksi pengarang. c. Penyajian berita berlandas pada alur pokok atau alur utama yang batang tubuh cerita, dan dirangkai dengan beberapa alur penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri). d. Tema sebuah novel terdiri atas tema pokok (tema utama) dan tema bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok tersebut. e. Karakter tokoh-tokoh utama dalam novel berbeda-beda. Demikian juga karakter tokoh lainnya. Selain itu, dalam novel dijumpai pula tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang digambarkan berwatak 8
Suhardini Nurhayati, Sastra dan Pendidikan Karakter, 2013, (httpwww.malangpost.com.) 9 Sahabat Bersama, Pengertian Novel, 2013, (http://Sobatbaru. Blogspot.com)
12
tetap sejak awal hingga akhir. Tokoh dinamis sebaliknya, ia bisa mempunyai beberapa karakter yang berbeda atau tidak tetap.10 Pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri novel adalah cerita yang lebih panjang dari cerita pendek, diambil dari cerita masyarakat yang diolah secara fiksi, serta mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Ciri-ciri novel tersebut dapat menarik pembaca atau penikmat karya sastra karena cerita yang terdapat di dalamnya akan menjadikan lebih hidup. 3.
Macam-macam Novel Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan
keragaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang novel. Nurgiyantoro membedakan novel menjadi novel serius dan novel popular. a. Novel Pop (Populer) Novel pop ini merupakan novel yang hanya mengambil tema-tema yang sedang popular walaupun itu bersifat fiktif, dengan bahasa yang popular pada novel itu dibuat dan mengesampingkan isi pesan yang dibuat dalam novel tersebut. Mereka hanya memikirkan bagaimana novel tersebut laku keras atau banyak disukai oleh para pembaca, karena novel ini dibuat untuk nilai konsumtif dan bersifat komersial. b. Novel Serius Dalam novel serius ini justru sebaliknya dari novel populer. Novel ini mengangkat tema-tema universal yang sedang dihadapi oleh masyarakat dengan harapan mampu mengubah atau memberikan konstribusi pada masyarakat/pembaca agar mau mengikuti apa yang diinginkan oleh penulis. Novel ini lebih mengutamakan isi pesan dari pada sekedar hayalan-hayalan fiktif yang banyak disukai masyarakat/pembaca saat ini.11 Dalam dunia kesastraan sering ada usaha untuk membedakan antara novel serius dengan novel populer. Namun bagaimanapun adanya perbedaan itu tetap 10
Zaidan Hendy, Kasusastraan Indonesia Warisan yang Perlu Diwariskan 2. (Bandung: Angkasa,1993), h. 225 11 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h. 16
13
saja kabur. Ciri-ciri yang ditemukan dalam novel serius (yang biasanya dipertentangkan dengan novel populer) sering juga ditemukan dalam novel populer, atau sebaliknya.12 Berbicara
tentang
sastra
populer,
Kayam
dalam
Nurgiyantoro
menyebutkan bahwa sastra populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaan-rekaan kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamannya dan bukan penafsiran tentang emosi itu. Oleh karena itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.13 Novel populer telah mengalami perkembangan. Ada jenis novel yang lahir dari novel populer, yaitu novel metropop. Ada kriteria dalam novel metropop. Dalam novel metropop, tema cerita tidak ditentukan, tetapi mengharuskan tema cerita berkaitan dengan kehidupan metropolitan. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel-novel metropop merupakan tokoh yang dekat dengan kehidupan masyarakat urban Indonesia karena penulisan novel metropop dilakukan oleh pengarang Indonesia. Perkotaan adalah latar fisik yang terdapat dalam novel metropop. Latar sosial yang digambarkan dalam novel-novel metropop yaitu mencakup gaya hidup masyarakat urban Indonesia, khususnya orang-orang dewasa muda, dan bahasa sehari-hari yang ditulis dengan ringan dan santai. Novel metropop dikategorikan sebagai novel-novel dewasa. Karya-karya metropop dapat dibaca oleh siapa pun, baik perempuan maupun laki-laki dewasa. Selain itu juga metropop ditujukan untuk pembaca Indonesia karena tokoh-tokoh di novel ini dekat dengan kehidupan masyarakat urban Indonesia.14 Adapun mengenai novel serius cenderung yang muncul adalah memicu sedikitnya pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Meskipun demikian, hal ini tidak menyebabkan popularitas novel serius menurun. Justru novel ini mampu 12
Ibid, h. 17 Ibid, h. 18 14 Yuliono, Novel (httpwww.goodreads.com.) 13
Metropop,
Kebaruan
dalam
Novel
popular,
2013,
14
bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, roman Romeo Juliet karya William Shakespeare atau karya Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane yang memunculkan polemik yang muncul pada dekade 30-an yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan belum ketinggalan zaman. 4.
Satra dan Nilai Pendidikan Nilai dapat diartikan suatu ide yang paling baik, menjunjung tinggi dan
menjadi pedoman manusia atau masyarakat dalam tingkah laku, keindahan, dan keadilan.15 Dalam karya sastra itu ternyata mengandung nilai pendidikan yang dapat kita ambil. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai sastra terutama novel sebagai karya yang mengandung macam-macam nilai pendidikan. Sastra sebagai hasil kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filosofi, religi dan sebagainya. Baik yang bertolak dari pengungkapan kembali ataupun yang baru semuanya dirumuskan secara tersurat dan tersirat. Sastra tidak saja lahir karena kejadian, tetapi juga dari kesadaran penciptaannya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan serta bertendensi.16 Sastrawan ketika menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan keindahan, tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan pikiran-pikirannya, pendapat-pendapatnya, dan kesan-kesan perasaannya terhadap sesuatu. Melalui karyanya, pencipta karya sastra berusaha untuk mempengaruhi pola pikir pembaca dan ikut mengkaji tentang baik dan buruk, benar mengambil pelajaran, teladan yang patut ditiru sebaliknya, untuk dicela bagi yang tidak baik. Karya sastra diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil manfaatnya.17 Karya sastra tidak sekedar benda mati yang tidak berarti, tetapi di dalamnya termuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur 15
Fakultas Bahasa dan Seni, Estetika Sastra, Seni, dan Budaya, (Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 2008), hlm. 49-50. 16 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Buku Seru, 2013), h. 89 17 Ibid., h. 22
15
yang mampu menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan. Dalam karya sastra, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif yang mampu mendidik manusia, sehingga manusia mencapai hidup yang lebih baik sebagai makhluk yang dikaruniai oleh akal, pikiran, dan perasaan.18 Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak memberikan penjelasan secara jelas tentang sistem nilai. Nilai itu mengungkapkan perbuatan apa yang dipuji dan dicela, pandangan hidup mana yang dianut dan dijauhi, dan hal apa saja yang dijunjung tinggi. Adapun nilai-nilai pendidikan dalam novel sebagai berikut. a. Nilai Pendidikan Religius Religi merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai human nature. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya berhubungan ke dalam keesaan Tuhan.19 Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam karya sastra dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai religius dalam sastra bersifat individual dan personal. Nurgiyantoro berpendapat, bahwa kehadiran unsur religi dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri.20 Mangunwijaya menyatakan, bahwa pada awalnya semua karya sastra adalah religius. Semua sastra pada awalnya digunakan sebagai sarana berpikir dan berzikir manusia akan kekuasaan, keagungan, kebijaksanaan, dan keadilan Tuhan Yang Maha Esa. Kerinduan manusia kepada Tuhan, bahkan hubungan kedekatan manusia dengan Tuhan telah lama ditulis dalam karya sastra para sufi, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar Raniri, Al Hallaj, Amir Hamzah, Abdul Hadi W.M, dan masih banyak lagi.21
18
Jakob Sumardjo, Memahami Kesustraan, (Bandung: Alumni, tt), h. 14 Rosyadi, Nilai-nilai Budaya dalam Naskah Kaba, (Jakarta: CV Dewi Sri, 1995), h. 90 20 Nurgiyantoro, op. cit., h. 326 21 Lustantini Septiningsih, Mengoptimalkan Peran Sastra dalam Pembentukan KarakterBangsa, 2013, (httpwww.kemendikbud.com) 19
16
b. Nilai Pendidikan Moral Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang disaratkan lewat cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupakan moral.22 Moral merupakan pandangan pengarang tentang nilai-nilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Hasbullah menyatakan bahwa, moral merupakan kemampuan seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk. 23 Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar.24 . c. Nilai Pendidikan Sosial Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat/ kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai sosial yang ada dalam karya sastra dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan.25 Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya. Nilai pendidikan sosial mengajarkan bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu dalam
22
Nurgiyantoro, op. cit., h. 320 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h.
23
194 24
Septiningsih, loc. cit. Rosyadi, Nilai-nilai Budaya dalam Naskah Kaba, (Jakarta: CV Dewi Sri, 1995), h. 80
25
17
masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat. Dari sekian nilai-nilai yang tersebut di atas peneliti tidak akan meneliti semuanya. Adapun nilai yang digali dalam penelitian ini adalah tentang nilai pendidikan moral religius yang ada pada karya tersebut, dengan menggunakan literatur dari Islam, yaitu menggunakan teori konsep pendidikan akhlak tasawuf. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai konsep pendidikan akhlak tasawuf. B. Konsep Pendidikan Akhlak Tasawuf 1.
Pengertian Pendidikan Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedogogik”,
yang terdiri atas kata “Pais” yang berarti Anak” dan kata “Ago” yang berarti “Aku membimbing”. Fuad Hasan menyimpulkan paedogogik berarti aku membimbing anak.26 Purwanto menyatakan bahwa pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Hakikat pendidikan bertujuan untuk mendewasakan anak didik, maka seorang pendidik haruslah orang yang dewasa, karena tidak mungkin dapat mendewasakan anak didik jika pendidiknya sendiri belum dewasa.27 Menurut Tilaar, hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Maksud dari memanusiakan manusia atau proses humanisasi adalah melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya. Maksudnya adalah menempatkan kedudukan manusia pada tempatnya yang terhormat dan bermartabat. Kehormatan itu tentunya tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang selalu dipegang umat manusia.28 Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa pendidikan identik dengan proses pengembangan yang bertujuan agar membangkitkan sekaligus mengaktifkan potensi-potensi yang terkandung dalam diri manusia. Pengembangan yang 26
Fuad Hasan, Dasar-dasar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h.1 M Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Karya, 1986), h. 11 28 HAR Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 435 27
18
dimaksud adalah menguak potensi-potensi yang tersembunyi dalam diri manusia. Pendidikan harus diarahkan untuk membangkitkan serta mengaktifkan potensipotensi positif yang dimiliki oleh objek didik.29 Menurut Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksud dari pendidikan yaitu menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.30 Sedangkan dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal I menyatakan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara".31 Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya membantu peserta didik untuk menyadari nilai-nilai yang dimilikinya dan berupaya memfasilitasi mereka agar terbuka wawasan dan perasaannya untuk memiliki dan meyakini nilai yang lebih hakiki, lebih tahan lama, dan merupakan kebenaran yang dihormati dan diyakini secara sahih sebagai manusia yang beradab.32 Adler dalam Arifin, mengartikan pendidikan sebagai proses di mana seluruh kemampuan manusia dipengaruhi oleh pembiasaan yang baik untuk membantu orang lain dan dirinya sendiri mencapai kebiasaan yang baik.33 Dengan demikian, yang dimaksud dengan pendidikan ialah upaya yang dilakukan dengan penuh kesadaran untuk membantu mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka meliputi potensi akal, jiwa, jasmani tanpa ada unsur 29
Murtadha Muthahhari, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Sadra Press, 2011), h.37 30 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hal. 4 31 Undang-undang Tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Yogyakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h. 4 32 M Elly Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana,m 2006), h.114 33 H M Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi aksara, 1993), h. 12
19
pemaksaan serta memfasilitasi mereka agar terbukalah wawasan mereka untuk mencari kebenaran dan kebahagiaan yang hakiki. Di atas penulis sudah menjelaskan tentang pengertian pendidikan yang kesimpulannya bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah suatu usaha manusia untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Jika pendidikan digandengkan dengan kata akhlak tasawuf maka maksudnya adalah pendidikan yang berorientasi mengembangkan potensi jiwa yang ada pada diri manusia agar menjadi baik secara rohani. 2. Pengertian Tasawuf Selanjutnya penulis akan menjelaskan konsep pendidikan akhlak tasawuf. Pertama tentang pengertian tasawuf. Menurut Abu al-Wafa’ al-Ghanimi alTaftazani, sebagaimana dikutip oleh A.R. Ustman, pengertian tasawuf itu dapat diperoleh dari asal kata tasawuf maupun didasarkan pada ajaran dalam praktik tasawuf itu sendiri. Berikut ini beberapa teori tentang asal kata tasawuf adalah: a. Ahl-Shuffah, orang-orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke Madinah dan karena mereka tidak memiliki harta dan dalam keadaan miskin, mereka tinggal di masjid nabi dan tidur dengan bantal pelana (Shuffah). b. Shaff yaitu barisan atau pertama. Sebagaimana shalat mereka disebut sufi. Karena dalam shalat atau beribadah kepada Tuhan selalu berada pada barisan pertama (al-Shaff al-Awwal). c. Shafa berarti suci, seseorang sufi adalah orang disucikan dan telah mensucikan dirinya melalui latihan berat dan lama. d. Sophos dari bahasa Yunani yang berarti hikmat atau pengetahuan sebagaimana orang-orang sufi berhubungan dengan hikmat. e. Shuf berarti bulu domba (woll) karena kaum sufi mempunyai tradisi atau kebiasaan berpakaian yang terbuat dari bulu domba sebagai simbul dari kesederhanaan dan kemiskinan.34
34
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman Ke Zaman, terj. Oleh A.R. Ustman, (Bandung: Mizan, 1985), hlm 21.
20
Dari sekian pengertian yang telah ada, pendapat yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) adalah yang paling tepat dari segi bahasa dan pendapat ini lebih sesuai secara historis karena para sufi di zaman dulu mempunyai kebiasaan memakai jubah terbuat dari bulu domba dan selalu diidentikkan dengan sifat zuhud. Di dalam literatur tasawuf diriwayatkan bahwa para Nabi berpakaian shuf.35 Ibnu Khaldun dalam M. Fauqi Hajaj memberikan pengertian bahwa tasawuf adalah menjaga kebaikan tata karma bersama Allah dalam amal-amal lahiriyah dan bathiniyah dengan berdiri di garis-garisNya, sambil memberikan perhatian pada penguncian hati dan mengawasi segala gerak-gerik hati dan pikirannya demi memperoleh keselamatan.36 Sementara itu oleh Murtadha Muthahhari dan Syaikh Muhammad Husain Thabathaba’i, untuk istilah tasawuf dan sufi mereka menyebutnya dengan istilah “irfan dan arif”. Menurut mereka istilah irfan dan arif dilihat dari sudut pandang ilmiah, di mana irfan adalah salah satu ilmu yang lahir dari Islam dan memberitahukan tentang hubungan dengan Tuhan dan jalan mencapainya, sedangkan kaum arif adalah orang yang mahir dan ahli dalam irfan.37 Terlepas dari apa pun akar katanya, yang jelas istilah tasawuf menurut Said Aqil Siroj menunjuk pada makna orang-orang yang tertarik pada pengetahuan esoteris, yang menyalami dan menukik jauh ke dalam inti agama, yang berupaya mencari jalan dan praktik-praktik amalan
yang dapat
mengantarkannya pada kesadaran tercerahkan dan pencerahan hati.38 Lanjutnya, tasawuf tidak hanya berusaha menciptakan manusia yang hidup dengan benar, rajin beribadah, berakhlak mulia, tapi bisa merasakan indahnya hidup dan nikmatnya ibadah. Tasawuf juga berupaya menjawab pertanyaan mengapa manusia harus berakhlak karimah. Apabila etika dapat memberikan semangat keadilan dan kemampuan merespon segala sesuatu dengan tepat, 35
Totok Jumantoro-Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo: Amzah, 2005), h. 246 36 M. Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 5 37 Murtadha Mutahhari dan Syaikh Muhammad Husain Thabathaba’i, Menapak Jalan Spiritual, terjemahan MS, Nasrullah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm 19-21 38 Said Agil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 37
21
tasawuf dapat menumbuhkan makna dan nilai, serta menjadikan tindakan dan hidup manusia lebih luas dan kaya.39 Bahkan kaum sufi berusaha berpegang teguh kepada kebenaran meskipun ketika dikelilingi oleh kesalahan dan kebohongan, berpijak kuat pada kepastian bahwa kebenaran, yang senantiasa indah dalam arti metafisik, akhirnya akan menang.40 3. Pengertian Akhlak Kata akhlak berasal dari bahasa Arab “khuluq” yang jamaknya akhlaq. Artinya tingkah laku, perangai, tabiat, watak, moral, etika dan budi pekerti. Kata akhlaq mengandung persesuaian dengan perkataan khaliq yang berarti pencipta, serta erat kaitannya dengan kata makhluq bermakna yang diciptakan. Apabila kita hubungkan arti akhlaq dengan kata khalq, khalq dan makhluq, maka sesungguhnya
rumusan
pengertian
akhlaq
timbul
sebagai
media
yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluq, dan antara makhluq dengan makhluq itu sendiri.41 Sementara itu menurut M. Quraish Syihab, secara linguistik, kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim gair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut memang begitu adanya. Kata akhlaq adalah jamak dari kata khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti kata akhlaq sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya di dalam al-Quran maupun hadis sebagaimana tertulis di bawah ini:
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (Q.S. al-Qalam/68: 4)
39
Ibid,. Sayyed Hossein Nasr, The Garden of Truth:Mereguk Sari Taswuf, Terj. dari The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam‟s Mystical Tradition. Oleh Yuliani Liputo, (Bandung: Mizan, 2010), h.78 41 M. Ma’rifat Imam dan Nandi Rahman, Ibadah Akhlak, Tinjauan Eksetoris dan Esoteris, (Jakarta: Uhamka Press, 2002), h23 40
22
“(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang terdahulu.” (Q.S. asy-Syu‟arâ'/26: 137)
أكول الوؤهنين إيوانا أحسنهن خلقا “Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna budi pekertinya.” (H.R. Tirmiżî)
) انوا بعثت ألتون هكا رم األخالق ( رواه أحود “Bahwasanya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti.” (H.R. Ahmad)42 Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu argumen dari keanekaragaman tersebut.43
“Sungguh, usahamu memang beraneka macam.” (Q.S. al-Lail/92: 4) Ayat pertama di atas menggunakan khuluq dalam arti budi pekerti, ayat kedua menggunakan kata akhlaq untuk arti adat kebiasaan. Selanjutnya hadis yang petama menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti, dan hadis kedua menggunakan kata akhlaq, juga untuk arti budi pekerti. Dengan demikian, kata akhlaq dan khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru‟ah, atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat atau tradisi. Adapun pengertian akhlak menurut istilah dapat dilihat dari beberapa pendapat pakar berikut: a. Al-Ghazali mengungkapkan tentang akhlak yaitu “sikap yang mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran
42
Kanzul „Ummal, 11: 240/31969 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. IV, h. 253 254.
43
23
dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.44 b. Ibn Miskawaih secara singkat mendefinisikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.45 c. Menurut Ahmad Amin, dia menyimpulkan dari berbagai pendapat ahli, menyatakan bahwa: akhlak adalah kebiasaan berkehendak. Berarti bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Dengan perkataan lain, akhlak adalah menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia secara berturut-turut.46 Al-Ghazali memberikan kriteria, bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian terlebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian.47 Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang dikemukakan Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib al-akhlak. Tokoh filsafat etika yang hidup lebih dahulu ini menyatakan bahwa akhlak adalah “keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu.” la tidak bersifat rasional, atau dorongan nafsu.48 Bila ditinjau pembagian yang merusak dan menyelamatkan, keduanya meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini 44
M. Abdul Mujib dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Ghozali, (Jakarta: Mizan, 2009),
h.38 45
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, (Yogyakarta: Belukar, 2004), h.
31 46
Ahmad Amin. Etika (Ilmu akhlak). (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. Ke-7, h. 62 Al- Ghazali, Ihya‟ Ulum al-Din, (Kairo: Dar al-Kutub al_Arabiyyah, T.Th.), jld 3, h.52 48 Suwito. loc. cit 47
24
dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti keikhlasan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Al-Mawardi yang menyebutkan bahwa akhlak diri (disposisi mental) adalah unsur dasar atau landasan bagi tindakan artinya, seseorang tidak dapat dianggap berakhlak baik, sebelum ia memiliki akhlak diri yang baik. Dua jenis sikap akhlak yaitu: legalitas dan moralitas. Legalitas sekedar kesesuaian lahiriyah tindakan dengan suatu aturan moral tanpa disertai sikap hati (disposisi mental). Sedangkan moralitas (akhlak) adalah sikap hati yang terungkap dalam tindakan lahiriyah yang sesuai aturan moral tanpa pamrih.49 Menurut Abuddin Nata ada lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:50 Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Dalam kaitan ini Ahmad Amin51 mengumpamakan, bahwa seseorang yang dermawan ialah orang yang menguasai keinginan untuk memberi, dan keinginan itu selalu ada padanya meskipun terdapat keadaan yang menghalanginya, kecuali keadaan yang menghalanginya itu luar biasa dan terpaksa. Sebaliknya orang kikir ialah orang yang dikuasai oleh rasa cinta harta, dan mengutamakannya lebih dari membelanjakannya. Dengan keterangan ini nyata bahwa orang yang baik ialah orang yang menguasai keinginan baik secara berturut-turut. Sebaliknya orang jahat atau durhaka ialah orang yang selalu dikuasai oleh keinginannya untuk berbuat jahat atau durhaka. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, atau tidur. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang 49
Pengertian moralitas dan legalitas menurut Immanuel Kant. Lihat Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), h. 58 50 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 5-7 51 Ahmad Amin, op. cit., h. 65
25
dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa, bersin, dan sebagainya bukanlah perbuatan akhlak melainkan perbuatan alami, seperti halnya binatang juga melakukannya. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya. Namun karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana disebutkan pada sifat yang pertama, maka pada saat akan menjalankannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran. Hal yang demikian tak ubahnya dengan orang yang mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu, maka begitu mendengar panggilan shalat ia tidak merasa berat mengerjakannya, dan tanpa pikir panjang ia sudah dengan mudah dan ringan dapat mengerjakannya. Ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri si pelakunya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan karena paksaan, tekanan atau intimidasi dari luar dirinya, maka perbuatan tersebut bukan termasuk ke dalam akhlak dari si pelakunya. Keempat, perbuatan akhlak ialah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, perbuatan akhlak yang baik adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang lain. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak yang baik.52 Kelima perbuatan tersebut kemudian disebut sebagai perbuatan akhlaki (etis) yang acapkali dipertentangkan dengan perbuatan alami. Perbuatan alami adalah perbuatan yang terjadi di luar kehendak si pelakunya, seperti bernafas, berkedip, bersin, dan lain sebagainya. Terhadap perbuatan alami, pelakunya tidak bisa dikenakan hukum “baik atau buruk”. Sebaliknya, terhadap perbuatan etis, yaitu perbuatan yang timbul karena kehendak si pelakunya, bisa dikenakan hukum “baik atau buruk”. Dalam kaitan ini Murtadha Muthahhari menyatakan: “Perbuatan etis” itu layak untuk dipuji dan disanjung. Dengan kata lain, manusia 52
Abudin Nata, loc. cit.
26
mengakui akan nilai agung suatu perbuatan etis. Nilai yang dimaksud di sini bukan dalam arti material, seperti yang biasa diistilahkan dengan “upah” atau gaji. Namun nilai yang dimaksudkan di sini berada pada kedudukan yang lebih tinggi dalam diri manusia. Nilai-nilai tersebut tidak dapat disejajarkan dengan uang atau barang.53 4. Integrasi Pendidikan Akhlak Tasawuf Dari bahasan di atas, dapat dinyatakan bahwa akhlak sesungguhnya merupakan istilah yang bersifat umum, sehingga perlu diuraikan lagi. Karena itu terdapat istilah akhlâq al-karîmah dan akhlâq al-sayyi‟ah. Akhlâq al-karîmah adalah perbuatan terpuji, baik, luhur dan mulia. Sedang akhlâq al-sayyi‟ah adalah perilaku yang jelek, nista, sekaligus menyengsarakan. Akhlâq al-karîmah yang telah menjadi bagian tak terpisahkan pada seseorang sehingga ia menjadi konsisten, kontinyu sekaligus berusaha keras melalui serangkaian riyâdlah untuk senantiasa bertahan hidup dalam karakter tersebut itulah yang sesungguhnya disebut dengan istilah tasawuf, dan pelakunya disebut dengan sufi, salik atau darwis dalam bahasa Persia.54 Harun Nasution berpendapat, ketika mempelajari tasawuf akan terbukti bahwa kaum sufilah yang terutama pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka seperti nilai-nilai kejujuran, keadilan, tolong menolong, murah hati, pemaaf, sabar, baik sangka, pemurah. Semua nilainilai ini terdapat dalam ajaran al-Qur’an dan Hadis, di mana setiap muslim harus meneladaninya sejak kecil.55 Atas dasar itu, dapat dimengerti filosofi berpikir penggabungan atau pengintegrasian akhlak tasawuf menjadi satu kesatuan, yakni diharapkan praktek tasawuf yang dikembangkan tetap berpijak pada nilai-nilai akhlak terpuji. Tasawuf mementingkan hubungan vertikal dan horisontal sekaligus. Keasyikan dan kesyahduan dalam berkomunikasi dengan Allah (habl min Allâh), dalam 53
Muthahhari, op. cit., h. 12 Djamaluddin, Reorientasi Pembelajaran Akhlak Tasawuf di Perguruan Tinggi, Tadris Volume 3. Nomor 1. 2008, pp.5 55 Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), cet.3, h.57 54
27
pandangan tasawuf Islam harus berefleksi dalam cermin praktik hidup keseharian yang saleh pada hubungan horisontal (habl min al-nâs).56 Jadi, sederhananya dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah sasaran ajaran tasawuf. Akhlak adalah yang paling utama dalam menempuh jalan sufi. Tidak dapat dikatakan orang itu bertasawuf sedangkan dia tidak berakhlak. Dan dengan bertasawuflah akhlak kita akan menjadi baik dan benar. Melalui pendidikan akhlak yang berbasis tasawuf maka tindakan akhlak kita akan menjadi bermakna dan bernilai dari segi lahir dan bathin. 5. Dasar Pendidikan Akhlak Tasawuf Agama Islam sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci al-Qur’an senantiasa menganjurkan manusia untuk membersihkan diri agar jauh dari dosa dan kesalahan, dengan melakukan amalan-amalan yang digariskan Allah untuk hamba-Nya. Di samping itu banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan kepada manusia untuk bertawakal, sabar serta taubat. Dan beribadat yang lain sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW sebagai seorang Insan Kamil. Al-Qur’an yang kebenarannya tidak diragukan lagi, menjadi petunjuk bagi orang yang bertaqwa (al-Baqarah/2:2). Ia sebagai al-Furqan (pembeda antara yang benar dan yang salah) (al-Furqan/25:1) mempunyai fungsi sebagai kitab suci yang berisi ajaran dan pedoman yang dapat dipakai untuk mengarungi kehidupan ini. Ia juga sebagi al-Dzikru (peringatan) (al-Hijr/15:9) agar manusia hidup bahagia dunia dan akhirat. Tasawuf lahir karena didorong oleh ajaran Islam sebagaimana yang terkandung dalam sumbernya al-Qur’an dan Hadis. Yakni mendorong untuk hidup sufistik. Selain itu kedua sumber itu mendorong agar umatnya berperilaku baik, tolong menolong, beribadah, berpuasa dan sebagainya. Yang semua itu merupakan inti tasawuf.57 Al-Qur’an mendeskripsikan sifat-sifat orang yang wara‟ dan taqwa dalam surat al-Ahzab ayat 35:
56
Djamaluddin, loc. cit. Nasution,, loc. cit.
57
28
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim laki-laki dan perempuan yang mukmin laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar (jujur), sabar, khusyu‟ mau mengeluarkan sedekah, mau berpuasa, mau memelihara kehormatannya, yang banyak dzikir kepada Allah, maka Allah akan menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (alAhzab:35).58 Dari beberapa ayat di atas, peneliti dapat memberikan penjelasan, bahwa ayat-ayat tersebut menganjurkan kepada hamba Allah SWT agar dalam hidupnya senantiasa mencerminkan ajaran-ajaran yang merupakan konsekuensi hidup bagi manusia. Manusia dalam hidupnya wajib menyerahkan segala keputusan yang diberikan oleh Allah SWT, atas apa yang dilakukannya dan bersabar atas segala keputusan Allah. Selain itu mereka harus senantiasa bertaubat kepada Allah atas kesalahan yang telah diperbuat. Ayat-ayat di atas menjelaskan tentang beberapa ajaran tasawuf seperti sabar, tawakal, bertaubat dan lainnya atau dengan kata lain, bahwa di dalam ayat tersebut tersirat makna pendidikan tasawuf yang tentunya bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki budi pekerti yang luhur. Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an tentang ajaran tasawuf, hadis pun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Berikut ini terdapat arti dari teks hadis yang dapat dipahami dengan pendidikan tasawuf. Pandangan
58
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989),
hlm. 673.
29
mengenai cinta kepada Allah berdasarkan kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara manusia dengan Tuhannya. Kesadaran dan komunikasi langsung dengan Tuhannya berakar pada ajaran Islam, yakni al-Ihsan,59 sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim yang menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Jibril AS, mengenai sendisendi Islam. Berikut arti dari dialognya: Artinya: “Abu Hurairah berkata bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah SAW berada di tengah-tengah sahabat, datanglah seorang laki-laki, lalu bertanya: „wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan iman?‟ Nabi menjawab: „Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitab-Nya, berjumpa dengan-Nya, rasul-rasul- Nya, dan engkau beriman kepada hari kebangkitan.‟ Lalu dia bertanya lagi: „Apakah Islam itu?‟ Nabi menjawab: „Hendaknya engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, mendirikan shalat yang difardukan, menunaikan zakat yang difardukan, dan berpuasa di bulan Ramadhan‟ kemudian dia bertanya lagi: „apakah ihsan itu?‟ Nabi menjawab: „Hendaknya engkau menyembah kepada Allah seakanakan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak bisa melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu…”60 Hadis di atas merupakan landasan dasar bagi para pengamal ajaran tasawuf (orang sufi), sehingga dapatlah sekiranya menjadi pendorong untuk meningkatkan dan mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian masalah akhlak, Nabi sendiri mengatakan bahwa beliau diutus ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak. adapun hadisnya sebagai berikut: ) انوا بعثت ألتون هكا رم األخالق ( رواه أحود “Bahwasanya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti.” (H.R. Ahmad)
59
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 12. Lihat hadis di Sakhih Muslim, jilid I Isa Babi al-Halabi, (Mesir,tt), hlm. 23.
60
30
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa ajaran Islam intinya adalah mengenai akhlak. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. harus diteladani agar manusia dapat hidup sesuai dengan tuntunan syariat, yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan umat manusia itu sendiri. Sesungguhnya Rasulullah saw. adalah contoh serta teladan sempurna bagi umat manusia yang mengajarkan serta menanamkan nilai-nilai akhlak terpuji kepada umatnya. Kemudian yang melandasi pentingnya pendidikan akhlak tasawuf dalam konteks Pendidikan Nasional adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3. Dinyatakan bahwa: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.61 Undang-undang tersebut secara tersirat menjadikan penting adanya pendidikan akhalak tasawuf sebagai mata pelajaran yang memberi nilai kepada peserta didik guna menciptakan masyarakat atau warga negara yang mempunyai tanggung jawab sebagai hamba Tuhan dan antar manusia satu sama lain. Sehingga dengan demikian, pendidikan akhlak tasawuf memberikan pengajaran kepada kita untuk mati dalam diri kita dan hidup abadi dalam kehidupan untuk-Nya, membentuk akhlak yang mulia dengan memahami sepenuhnya atas kedudukan seorang hamba di hadapan Tuhan agar hidup bahagia di dunia dan di akhirat atau menuju kebahagiaan yang abadi. Selain itu pendidikan akhlak tasawuf bermanfaat untuk memperoleh suatu hubungan khusus dengan Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran bahwa manusia sedang berada di kehadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara Tuhan dengan makhluk-Nya, sehingga pada gilirannya akan tercipta kehidupan masyarakat yang harmonis.
61
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI, No. 22 tahun 2003, (Bandung: Citra Umbara, 2003), hlm. 7
31
6. Materi Pendidikan Akhlak Tasawuf Proses pendidikan adalah untuk menumbuhkan potensi-potensi yang ada pada peserta didik. Secara garis besar potensi manusia dapat mengarah kepada kebaikan dan ada kalanya kepada keburukan. Oleh sebab itu dapat dikatakan ada manusia yang berkelakuan baik dan ada manusia yang berkelakuan buruk. Walaupun demikian menurut Quraish Syihab al-Qur’an mengisyaratkan bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung pada kebaikan.62 Karena itu menjadi penting adanya pendidikan akhlak tasawuf untuk membimbing potensi kebaikan yang ada pada diri setiap manusia. Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi materi dari pendidikan akhlak tasawuf adalah menyangkut potensi apa saja yang terdapat pada diri manusia yang bisa menjadikannya berbuat baik secara jasmani dan ruhani. Sehingga pada gilirannya setelah manusia mengetahuinya ia akan mempunyai akhlak yang baik kapanpun dan dimanapun ia berada. Adapun mengenai potensi-potensi tersebut para ulama seperti Imam alGhozali dan Ibnu Miskawaih63 membaginya menjadi empat bagian yang kesemuanya merupakan induk dari segala bentuk akhlak terpuji maupun tercela. Pertama, adalah kekuatan akal, kekuatan akal jika terdidik dengan baik maka ia akan melahirkan kebijaksanaan (hikmah), yaitu keadaan jiwa yang bisa menentukan hal-hal yang benar di antara yang salah dalam urusan ikhtiariyah (perbuatan yang dilaksanakan dengan pilihan dan kemauan sendiri). Namun jika tidak terdidik dengan baik justru akan melahirkan kebalikannya yang mempunyai dua kemungkinan yakni bisa menjadi pintar tapi busuk dan keji atau bisa menjadi bodoh. Artinya keadaan jiwa yang terlalu pintar atau tidak bisa menentukan yang benar di antara yang salah karena bodohnya di dalam urusan ikhtariyah. Kedua, kekuatan marah. Jika ia terdidik dengan baik maka ia akan berwujud berani (syaja‟ah), yaitu keadaan kekuatan amarah yang tunduk kepada akal pada waktu dilahirkan atau dikekang. Sebaliknya, jika tidak terdidik dengan 62
Shihab, op. cit., h. 254 Suwito, op. cit., h. 94
63
32
baik maka akan menjadi berani tapi sembrono atau penakut (jubun) dan lemah, tidak bertenaga (khauron), yaitu kekuatan amarah yang tidak bisa dikekang atau tidak pernah dilahirkan, sekalipun sesuai dengan yang dikendaki akal. Ketiga, kekuatan nafsu syahwat. Jika terdidik dengan baik akan melahirkan sifat perwira (iffah), yaitu keadaan syahwat yang terdidik oleh akal dan syari’at agama. Sebaliknya keadaan syahwat yang tidak terdidik oleh akal dan syari’at agama akan melahirkan sifat rakus (syarhan) dan beku (jumud) yang artinya kekuatan nafsu syahwat bisa berlebihan atau sama sekali tidak berfungsi. Keempat, kekuatan keseimbangan di antara kekuatan tiga di atas, wujudnya ialah adil, yakni kekuatan yang dapat menuntun amarah dan syahwat sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hikmah. Justru sebailiknya jika kekuatan syahwat dan amarah yang tidak terbimbing oleh hikmah maka ia akan zalim yakni, kebalikan dari adil. Dari keempat sendi akhlak tersebut jika baik akan melahirkan perbuatan baik pula seperti jujur, suka memberi kepada sesama, tawadhu, tabah, pemaaf, kasih sayang terhadap sesama, tinggi cita-cita, dan masih banyak lagi cabangcabang lainnya.64 7. Tujuan Pendidikan Akhlak Tasawuf Tujuan adalah suasana ideal yang ingin diwujudkan dalam tujuan pendidikan. Suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education) yaitu pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh di samping badan, kemauan yang bebas dan akal.65 Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan.66 Dari semua pendapat tersebut dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan akhlak tasawuf adalah
64
untuk mencapai suatu keyakinan yang didasari atas
M. Ardani, Akhlak Tasawuf, Nilai-nilai Akhlak Dalam Ibadah dan Tasawuf, (Jakarta: Mitra Cahaya Utama, 2005), h. 61-64. Lihat juga Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak. terj. dari Tahdzibul Akhlak, oleh Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1998), h.52 65 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologi, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986), h. 67 66 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. 4, h. 119
33
tingkah laku yang terpuji dan mulia sesuai dengan ajaran Islam agar terwujud hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhannya dan manusia dengan sesama makhluk. Semua itu pada dasarnya akan bermuara pada hidup di dunia dan akhirat melalui tingkah laku yang baik dalam menghadapi problema kehidupan, serta menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan (hablum minallah) dan sesama manusia (hablum minannas) serta makhluk lain. C. Hasil Penelitian yang Relevan Dengan memaparkan adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti lainnya atau para ahli, maka dapat diketahui tentang keaslian penelitian ini. Setelah peneliti melakukan tinjauan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, peneliti tidak menemukan judul skripsi yang sama dengan yang peneliti kaji. Adapun yang peneliti temukan hanya beberapa judul yang hampir sama. Maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti mencontek hasil karya orang lain, peneliti perlu mempertegas perbedaan di antara masing-masing judul dan masalah yang akan dibahas sebagai berikut: 1. “Analisis Isi Pesan Dakwah pada Novel Dalam Mihrab Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy”. Skripsi ini disusun oleh Siti Maryam, mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2009. Penelitiannya dibatasi pada analisis isi pesan dakwah yang meliputi akidah, akhlak dan syariah. 2.
“Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El-Shirazy”. Skripsi ini disusun oleh Ali Rif’an, mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta
pada
tahun
2013.
Penelitiannya dibatasi pada kajian akhlak dalam novel Bumi Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy. Mengungkapkan tentang akhlak terpuji dan akhlak tercela. 3.
“Nilai Moral dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy”. Skripsi ini disusun oleh Hena Khaerunnisa, mahasiswi
34
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2011. Penelitiannya dibatasi pada kajian nilai moral dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Hena mengungkapkan delapan nilai moral dalam novel Ketika Cinta Bertasbih. Dari ketiga judul skripsi tersebut, tidak ada satupun yang sama dengan apa yang peneliti kaji. Letak kesamaannya hanya pada ranah kajian tentang nilai pendidikan dalam sebuah novel. Namun dari segi objek dan isi yang dikaji adalah berbeda. Objek yang dipakai peneliti adalah novel yang berjudul Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim. Dan nilai yang akan diambil dan diteliti adalah nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian tidak terikat pada satu tempat karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) sastra. Penelitian ini bukan penelitian yang analisisnya bersifat statis melainkan sebuah analisis yang dinamis yang dapat terus dikembangkan. Adapun naskah yang diteliti berupa novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim. B. Bentuk dan Strategi Penelitian Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode content analysis atau analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan apa yang menjadi masalah, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Metode content analysis atau analisis isi yang digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen, dalam penelitian ini dokumen yang dimaksud adalah novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim. Pada dasarnya, analisis isi dalam bidang sastra tergolong upaya pemahaman karya dari aspek ekstrinsik. Aspek-aspek yang melingkupi di luar estetika struktur sastra tersebut, dibedah, dihayati, dan dibahas mendalam. Unsur ekstrinsik sastra yang menarik perhatian analisis isi cukup banyak, antara lain meliputi: pesan moral, nilai pendidikan, nilai religius, dan sebagianya.1
1
Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2013), h. 160
35
36
Analisis isi adalah strategi untuk mengungkap pesan karya sastra. Tujuan analisis isi adalah membuat inferensi. Inferensi diperoleh dari identifikasi dan penafsiran. Inferensi juga berdasarkan konteks yang melingkupi karya sastra. Untuk itu, analisis isi harus mempunyai target tertentu. Adapun target dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui nilai-nilai pesan pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim. Dengan demikian peneliti harus membangun konsep tentang nilai-nilai pendidikian akhlak tasawuf dan mengenai karya sastra itu sendiri.2 C. Sumber data Sumber data adalah data lapangan atau sumber informasi yang langsung mempunyai wewenang dan bertanggung jawab terhadap pengumpulan ataupun penyimpanan data.3 Sumber data utama dalam penelitian ini adalah naskah karya Muhammad Luqman Hakim yang berjudul Jack and Sufi, yang diterbitkan oleh Pustaka Pesntren pada tahun 2004 dan terdiri dari 294 halaman. Adapun data yang diperoleh berupa dialog, monolog dan narasi yang mengandung nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf yang diambil dari novel tersebut. Perolehan data tersebut dilakukan melalui penelitian dengan cara mengidentifikasikan
data
sesuai dengan arah permasalahan yang terurai dalam pemaparan data. 4 D. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus „divalidasi‟ seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan.5 Kegiatan yang dilakukan peneliti sehubungan dengan pengambilan data yaitu kegiatan membaca novel Jack and Sufi dan peneliti bertindak sebagai pembaca yang aktif membaca, mengenali, mengidentifikasi yang di dalamnya 2
Ibid, h. 161 H. Syamsir Salam & Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), Cet. ke-1, hal. 38. 4 Bagong Suyanto & Sutinah, (eds.), Metode penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. ke-3, hal. 55-56 5 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan Rnd, (Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 305 3
37
terdapat gagasan-gagasan dan pokok pikiran, sehingga menjadi sebuah keutuhan makna. E. Teknik Pengumpulan Data Beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: (1) tes, (2) angket, (3) wawancara, (4) obsevasi dan (5) telaah dokumen.6 Dari kelima teknik pengumpulan data tersebut, peneliti menggunakan teknik telaah dokumen atau biasa disebut dengan studi dokumentasi. Peneliti menghimpun, memeriksa, mencatat dokumen-dokumen yang menjadi sumber data penelitian. Dokumentasi berasal dari kata “dokumen” yang artinya barang-barang tertulis. Dalam melaksanakan studi dokumentasi ini, peneliti memilih novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim sebagai bahan dalam pengumpulan data. Dalam penelitian kualitatif, teknik ini merupakan alat pengumpul data yang utama karena pembuktian rasional melalui pendapat, teori atau hukum-hukum yang diterima, baik mendukung maupun yang menolong hipotesis tersebut.7 Dengan kata lain, teknik pegumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat, karena data-datanya berupa teks. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut: membaca novel Jack and Sufi secara berulang-ulang, mencatat kalimat-kalimat yang menyatakan pemakaian gaya bahasa dan nilai pendidikan. F.
Teknik Analisis Data Analisis dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat penelitian
berlangsung dan setelah pengumpulan data dalam waktu tertentu. Miles dan Huberman sebagaimana dikutip Sugiyono mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terusmenerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data yaitu:
6
H. Syamsir Salam & Jaenal Aripin, op.cit., hal.134-135. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan: Komponen MKDK, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), cet. ke-4, hal.181. 7
38
1. Data Reduction (Reduksi data) Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang sudah direduksi akan menghasilakan gambar yang jelas. Dan mempermudah peneliti mengumpulkan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan. 8 2. Data Display (Peyajian Data) Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Adapun yang paling sering digunakan untuk penyajian data penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Miles dan Huberman juga mengatakan “dalam melakukan display data selain dengan teks yang naratif dapat juga data berupa grafik matriks, netwoks (jejaring kerja) dan chart.“ 9 3. Conclusion Drawing/Verification Langkah ketiga yang dilakukan Miles dan Huberman adalah penarikan kesimpulan
dan verifikasi. Kesimpulan awal masih bersifat
sementara dan akan berubah jika tidak ada bukti-bukti yang kuat atau valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan dalam pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung dengan data-data yang valid dan konsisten saat peneliti kembali, maka kesimpulan yang dikemukakan adalah kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan data berupa hubungan kausal atau interaktif dan hipotesis atau teori. 10 G. Teknik Penulisan Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013. 8
Sugiyono, op.cit, hal. 247. Ibid, hal. 249 10 Ibid, hal. 252 9
39
H. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Banyak cara pengujian kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan penekukan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan memberchek. Dalam penelitian ini, untuk mengabsahkan data, peneliti menggunakan teknik ketekunan dalam penelitian. Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Peneliti secara tekun memusatkan diri pada latar penelitian untuk menemukan ciri-ciri dari unsur yang relevan dengan persoalan yang diteliti. Peneliti mengamati secara mendalam pada novel agar data yang ditemukan dapat dikelompokkan sesuai dengan kategori yang telah dibuat dengan tepat. 11 Sebagai bekal peneliti untuk meningkatkan ketekunan adalah dengan cara membaca berbagai referensi buku maupun hasil penelitian atau dokumentasidokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti. Dengan membaca ini maka wawasan peneliti akan semakin luas, sehingga dapat digunakan memeriksa data itu benar atau dapat dipercaya atau tidak.
11
Ibid, hal. 321
BAB IV HASIL PEMBAHASAN DAN ANALISIS PENELITIAN A. Deskripsi Novel 1. Sinopsis Novel Jack and Sufi Kota merupakan tempat tarung yang dahsyat, pergumulan batin yang dahsyat. Tempat keramaian orang dengan berbagai aneka perilaku, kepentingan dan pekerjaan akan menyebabkan seseorang tarik ulur antara satu dengan yang lain dalam diri pribadinya. Bukan hal yang mudah untuk menjadi manusia yang berpendirian teguh saat hidup di kota. Inilah ruang-ruang yang menyediakan sajian, makanan yang tidak disediakan label halal-haram dan menuntut kita sendiri yang arif memilah dan memilih. Apakah yang akan kita lakukan jika berhadapan perilaku yang bercampur baur, bersatu padu membentuk senyawa yang bernama “kehidupan kota”? Mengutukkah, mengasingkan diri di dalam rumah dan asyik bercengkerama dengan keluarga dan kebiasaan masing-masing? Melakukan aksi “pembersihan" dengan kekuatan dan berbagai embel-embel lainkah? Atau akan malah terhanyut dengan segala gemerlapnya kota dan tanpa sadar kita semakin kehilangan diri, kesejatian diri? Ataukah malah sebaliknya kita hanyut tetapi tidak meladeni dengan keterhanyutan itu dan berusaha menolong teman, keluarga atau semua orang agar dapat kembali dari basah kuyupnya dunia remang-ramang?1 Opsi yang terakhirlah yang diambil oleh Jack, tokoh sentral dalam buku ini. Jack tidak memposisikan diri sebagai orang yang anti riuh rendahnya kota dan 1
Kaha Anwar, Resensi Buku Jack & Sufi; Sufisme di Remang-Remang Jakarta, 2013, (www.wisata-buku.com)
40
41
lantas mengutuknya. Jack juga tidak berdiam diri di kamarnya dan asyik dengan laku spritualnya. Jack juga tidak suka jika dakwahnya dilakukan dengan cara gembar-gembor, meneriakkan asma Tuhan di jalanan dengan menenteng pedang. Sebaliknya, Jack menghanyutkan diri dalam arus kehidupan kota, yaitu kota Jakarta. Hanya yang membedakan Jack dengan orang kebanyakan adalah Jack tidak terseret arus kehidupan kota, itu saja. Jack memang lain. Ketika bertahun-tahun belajar agama di pesantren, lalu meneruskan studi ke Timur Tengah, ke Eropa, dan bahkan melangkah ke Afrika untuk belajar tasawuf, Jack kembali ke Indonesia bukannya mendirikan pesantren atau mengajar di perguruan tinggi. Tapi malah menyeruak di balik semak-semak belukar Jakarta, menghampiri mereka yang dipinggirkan oleh peradaban, yang disingkirkan oleh mereka yang merasa suci, dan diabaikan oleh para ulama dan kyai, ustadz dan agamawan. Remang-remang Jakarta, remang-remang rel kereta, remang-remang mereka yang berurusan dengan peradilan, dan remang-remang yang memainkan uang rakyat untuk dikorupsi. Jack mendekati mereka untuk kembali ke jalan Ilahi, dengan caranya sendiri.2 Jack tidak sekedar menguji diri, ilmu, dan ajaran agamanya di “majelis zikir” remang-remang kota, melainkan benar-benar hidup dengan segala yang dimiliki di dalamnya. Lelaku yang tidak mudah untuk dijalankan oleh kebanyakan orang. Orang akan lebih suka mengasingkan diri, menyepi di kaki-kaki bukit atau di puncak gunung. Katanya di sana lebih tenang, lebih khusyu’ melakukan kegiatan spiritual dan akan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga Tuhan berbalik kasih kepadanya. Ini hanya prasangka manusia semata. Jika pola pikir seperti ini terus diperanak-pinakkan maka kehidupan kota akan semakin suram, tak ada lagi yang mencoba mengarahkan kemudi kehidupannya. Prostitusi, klub malam, diskotek dan tempat remang-remang bukanlah tempat yang sepi akan hadirnya Tuhan atau malah Tuhan tidak hadir sama sekali di sana. Tuhan meliputi segalanya, setiap inci kehidupan hambaNya. Tidak dibatasi oleh ruang waktu.3
2
M. Luqman Hakim, Jack and Sufi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), cet. IV, h. 4. Kaha Anwar, loc. cit.
3
42
Jack melakukan bertapa di keramaian kota. Sesuatu yang amat sulit dilakukan dibanding dengan bertapa di tempat-tempat sepi. Konsekuensinya ada dua: pertama, terseret yang akhirnya gagal lelakunya. Kedua, berhasil merengkuh kenikmatan bersama orang-orang di sekitarnya. Melakukan hal tersebut pasti membutuhkan segala daya, kekuatan, ilmu yang dilambari dengan keteguhan iman, kearifan dan sikap bijak dalam menjalaninya. Sanggupkah kita menjalani seperti Jack: berdakwah dengan hasanah dan hikmah. Sungguh berat melaksanakan berpuasa setelah lebaran dan sholat setelah salam.4 Daerah remang-remang (tempat-tempat maksiat) merupakan sasaran Jack dalam melakukan dakwah. Kafe merupakan tempat nongkrong paling asyik bagi Jack dalam bermunajat kepada Allah SWT dan di kafe itu pula Jack mengenal seorang waitres cantik yang bernama Susi yang akhirnya oleh Jack dianggap sahabat sekaligus murid spiritualnya. Rumah prostitusi yang dianggap tempat najis dan menjijikkan oleh sebagian besar kaum sufi, merupakan sasaran utama bagi Jack dalam menjalankan dakwahnya.5 Anak-anak jalanan yang hampir tidak pernah disentuh oleh para ulama juga merupakan sasaran dakwah bagi Jack yang pada akhirnya beberapa dari mereka diangkat menjadi santri dan oleh Jack ditempatkan di villa yang disulap menjadi pondok pesantren yang dulunya merupakan milik tukang jagal paling angker di Jakarta. Dalam menjalani kehidupannya, dia melepaskan semua atribut sufinya, yang biasanya seorang sufi menggunakan sarung, baju koko, berjubah mengenakan peci sudah tidak dipakai lagi oleh jack. Agar diterima oleh masyarakat remang-remang Jack harus berpenampilan seperti mereka. Celana jeans, jaket kulit hitam, kacamata hitam merupakan seragam kebesarannya yang baru. Namun dalam hatinya Jack masih tetap sebagai seorang sufi yang mengemban amanat untuk memperbaiki akhlak umat.6
4
Ibid. Ibnu Ghibran, Resensi Jack and Sufi; Celoteh Kecil Kaum Kusam, 2013, (http://www.ibnugibran.wordpress.com) 6 Luqman Hakim, op. cit., h. XVI 5
43
Sasaran dakwah Jack adalah preman, pelacur, dukun, paranormal, anak jalanan, koruptor, artis dan lain sebagainya. Intinya jack berdakwah kepada seluruh lapisan masyarakat terutama kepada kaum yang terpinggir yang hampir tidak pernah tersentuh oleh para kaum sufi seperti Jack. Bagi Jack predikat sufi bukan hanya milik santri dan ulama tapi milik semua lapisan masyarakat yang mau mengingat Allah. Hidayah tidak diberikan oleh kyai atau ulama tapi semata mata hak preogratif Allah yang akan diberikan kepada hambaNya yang mau mengingat dan berdzikir kepadaNya walaupun dia adalah seorang anak jalanan, preman, bahkan pelacur sekalipun. Bertaubat melalui Jack sangat mudah bahkan Jack tidak pernah memaksa pelacur yang sedang bertobat untuk meninggalkan pekerjaannya asalkan dia mau berdzikir mengingat Allah dan biarlah Allah sendiri nanti yang akan memberi petunjuk dan hidayahNya kepada hamba yang sedang bertobat tersebut. Tapi Jack kadang memperingatkan agar tidak mencoba mengikuti alur kehidupannya, apa lagi sekedar untuk menguji sejauh mana kualitas iman kita. Kisah baladanya, sekedar untuk refleksi kita bersama agar kehidupan interaktif antara hamba dengan Allah tidak terjebak formalisme. Sebab iblis itu tergelincir dan sesat hanya gara-gara memandang perintah Allah secara formal belaka, bahkan memandang Adam as juga secara lahiriyahnya. Namun Allah menilai sejauh mana hati anda bergantung kepadaNya. Bukan bergantung pada prestasi amal kita masing-masing.7 Buku ini tak ingin mengajak kita untuk mencoba memainkan peran sebagaimana yang ditempuh Jack. Buku ini mungkin lebih tepat kita tempatkan sebagai sebuah cermin tentang bagaimana kita mencoba mengubah cara pandang kita yang stereotyping atas kecenderungan-kecenderungan yang bertolak belakang dengan keyakinan, ideologi, dan mungkin rasa keimanan kita. Laku sufi sebagaimana yang ditunjukkan Jack, kyai kita ini, boleh jadi adalah sumber pelajaran penting tentang pencarian hakikat hidup kita sendiri. Sekali lagi kita
7
Ibid, h. XX
44
diajak untuk selalu mempertanyakan pendapat, pikiran, dan cara kita melihat orang lain (kehidupan lain).8 Untuk itu, buku ini sungguh menarik untuk dikaji dan diambil intisarinya. Mengingat banyaknya dakwah-dakwah keagamaan yang akhir-akhir ini dilakukan dengan wajah garang, guyonan (banyolan) atau dengan lagak sok-sokan dengan terus nyerocos mengutip firman-firman Tuhan. Mampukah kita mengajak ke jalan Tuhan tanpa harus terus-terusan melontarkan kata Tuhan dan Nabi, melainkan dengan nama dan sifatNya. Buku yang cukup bagus untuk dibaca dan dipelajari serta diambil hikmahnya, terutama oleh para kaum sufi yang menginginkan suasana berbeda dalam mengenal Tuhan yang biasanya dilakukan dengan cara menyendiri dan berdzikir di tempat tempat yang sunyi dan suci, tapi tokoh kita ini yang bernama Jack mengambil cara yang berbeda yaitu dengan cara berdzikir dan berdakwah di remang-remang Jakarta yang sebelumnya hampir tidak pernah di jamah oleh kaum sufi pada umumnya. Buku ini pada akhirnya mengajak kita untuk coba menggunakan perspektif sufistik dalam mencermati berbagai perubahan sosial, godaan gaya hidup, dan mengajukan argumen lain tentang bagaimana posisi yang proporsional, moderat namun tak menghilangkan nalar kritis kita sendiri.9 Namun di balik semua itu buku ini juga memiliki beberapa kekurangan yang di antaranya alur cerita yang tidak jelas bahkan tiap chapter kadang tidak saling berhubungan. Sebagian besar dalam setiap chapter pembaca langsung dibawa ke inti permasalahan tanpa ada latar belakang penjelasan semisal bagaimana Jack cara mempengaruhi umatnya agar mau bertobat tidak pernah dijabarkan secara gamblang sehingga menurut peneliti memerlukan beberapa metode penelitian lebih lanjut apabila seseorang yang ingin terjun ke dunia Jack sebagai seorang sufi yang memilih hidup di keremangan Jakarta. Menurut peneliti saat ini kita banyak membutuhkan orang yang mau berjuang semisal Jack.
8
Ibid, h. XII Ibid, h. XIII
9
45
Judul
: Jack & Sufi; Sufisme di Remang-Remang Jakarta
Penulis
: Muhammad Luqman Hakim
Penerbit : LKiS Yogyakarta Tahun
: 2009
Genre
: Metropop
Tebal
: 294 Halaman
ISBN
: 978-979-3381-329
2. Biografi Pengarang Muhammad Luqman Hakim, lahir di Madiun, 20 April 1962. Belajar di pesantren Tebuireng Jombang, hingga menyelesaikan kuliah di Fakultas Syariah Unhasy Tebuireng (sekarang menjadi IKAHA). Ia melajutkan studinya di Special Program Philosophy, di Fakultas Filsafat UGM, kemudian menempuh program Doktor di University of Malaya Kuala Lumpur Jurusan Siyasah Syariah.10 Muhammad Luqman Hakim belajar Tasawuf pada Hadharatus Syaikh KH Abdul Jalil Mustaqim, Mursyid Thariqat Syadziliyah Qodariyah-Naqsyabandiyah, Samaniyah, dan Syathariyah. Beberapa karyanya dalam bidang tasawuf antara lain: -
Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf
-
Raudhah Taman Jiwa Kaum Sufi
-
Tujuh Samudra Agung Ummul Qur‟an
-
NU di Tengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat
-
Di Balik Sarung Presiden
-
Pledoi Sufi dari Sunan Kalijaga hingga Syaikh Siti Jenar
-
Negeri Tanpa Kyai
-
Allah pun Berdzikir
-
Kedai Sufi Kang Luqman
-
Jack and Sufi; Sufisme di Remang-remang Jakarta 10
Ibid, h. 293
46
-
Dan sejumlah buku keagamaan nonsufistik lainnya.11 Menurut Gus Mus, dia orangnya kalem, lembut dan sederhana. Tapi, kalau
sudah bicara akan menyemburkan banyak mutiara hikmah kesufian. Memang begitulah sosok Muhammad Luqman Hakim yang kesohor sebagai ahli dalam tasawuf, dosen dan juga penulis banyak buku. Alumnus Pesantren Tebuireng, Jombang ini selama ini memang banyak menggeluti dunia tasawuf serta mengisi pengajian-pengajian tasawuf di berbagai kalangan.12 Kegiatan sehari-harinya adalah menulis
berbagai
masalah sosial
keagamaan, khususnya tinjauan sufistik. Ia juga memberi kuliah tasawuf di Jakarta, dan menerbitkan majalah dunia Sufi: Cahaya Sufi, dan Sufinews.com. Ia menjadi pimpinan redaksi keduanya.13 B. Temuan Hasil Analisis Temuan nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi adalah hasil analisis peneliti dengan menggunakan teori yang telah dirancang sebelumnya. Adapun nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf yang terdapat dalam novel Jack and Sufi adalah sebagai berikut: Tabel 4.1 Temuan Hasil Analisis Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf Dalam Novel Jack and Sufi No. 1.
Ruang Lingkup Kearifan (al-hikmah)
Bentuk Perilaku Ketajaman Intelegensi Kejernihan Berpikir
2.
Menjaga Kesucian (al-iffah)
Kedermawanan Keteguhan Hati Kewira’ian
3.
Keberanian (al-syaja‟ah)
11
Ketenangan
Ibid. Musthofa Bisri, Lukman Hakim MA: “Kalau Tidak Ada “Kebinatangan”, Ya Tidak Ada Politik”, 2013, (http://www.gusmus.net) 13 Luqman Hakim, op. cit., h.294 12
47
Kesabaran 4.
Keadilan (al-„adl)
Cinta Kasih Bersahabat Tawadhu’
Tabel 4.2 Paparan Data Hasil Analisis Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf Dalam Novel Jack and Sufi
No.
Dialog/Monolog
1.
“………….Sebailknya sama sekali tidak bisa disebut orang bodoh, jika seseorang mampu mengekang hawa nafsunya, kepentingan dirinya, egoismenya, iri dengkinya, walaupun ia tampak seperti orang bodoh, hakikatnya ia adalah orang yang pandai. Karena betapa pun hebat ilmu seseorang, sepanjang ia masih senang dengan hawa nafsunya, ia tidak akan pernah menyelamatkan kita di dunia hingga akhirat…”.14 “…….“Ya, saya paham atas kebingungan anda. Sederhananya begini, kalau anda bisa hadir di depan Allah dalam suasana religius di masjid, di tempat majekis zikir, atau di tempat-tempat kebajikan, itu semata karena Allah hadir dengan asma‟ dan sifatnya yang Maha Indah, Maha Lembut, Maha Terpuji. Tapi kalau anda datang ke tempat pelacuran, perjudian, di tempat orang KKN, di tempat para preman, maka anda harus melihat Allah atas kehadiranNya yang berasma‟ dan bersifat Yang Maha Menghina, yang Maha Menyiksa, yang Maha Menghisab perbuatan hambaNya. Takwalah kepada Allah di manapun anda berada, baik di tempat kebajikan atau kezaliman, dua-duanya jangan sampai menjadi penghalang interaksi anda dengan Allah…….”15 “Bersama rombongan jama‟ahnya Jack menuju pusat kota, putar-putar di Monas, lalu menuju ke arah selatan, melewati setiap jalan yang macet.
2.
3.
14
Ibid., h. 75 Ibid., h. 234
15
Keterangan Ketajaman Intelegensi
Kejernihan Berfikir
Kedermawanan
48
4.
5.
“Jack, kita muter-muter melulu sejak tadi,” Tanya Parjo penasaran. Sementara para jama‟ah yang menumpang di mobil itu juga penasaran. Apalagi setiap ada peminta-minta di pinggir jalan, Jack kadang malah turun membagi uang, dan makanan kecil. “Ceritanya lagi membayar zakat Jack,” lanjut Parjo. “Iya, Mas Jack, ngapain kasih uang pengamen, anak-anak peminta itu…..”16 “….Banyak anak muda Islam yang bercita-cita jadi tokoh Islam, karena kalau jadi tokoh Islam ia jadi bangga. Jadi panutan masyarakat. Sebuah cita-cita keblinger, sebagaimana cita-cita menjadi muballigh kondang karena ingin jadi public figure. Cuap sana cuap sini, seperti politisi, lalu jadi ajang karir, kemudian ada sejumlah fasilitas materi dan budaya yang memanjakan dirinya. Lebih-lebih bercita-cita Keteguhan Hati jadi muballigh sebagai pekerjaan, karir, dan profesi, wah, apa bedanya dengan penjual jamu dan tukang sulap yang bisa menyihir penonton dengan hiburannya?“Ah, wallahu a‟lam. Yang penting anakanak di sini punya akhlaqul karimah, dengan pengetahuan dan pemahaman ilimu-ilmu Islam hebat, “kata Jack bergumam sendiri, sembari mengingat-ingat pesan kakek bertongkat agar Jack mulai mengkader ulama masa depan.”17 Jack tertawa lebar. Tiba-tiba selembar cek berisi milyaran rupiah disodorkan. “Ini, kalau kamu tidak percaya…” Jack meraih saja lembaran itu tanpa basa-basi. Anda rela ini untuk saya?” Ikhlas Jack….” Untuk dan demi rakyat kan?‟ Ya, dan untuk suksesmu…” Kewira’ian Tidak. Ini untuk mereka…” Ya…ya..yaa untuk sukses mereka.” Karena itu uang ini akan saya bagi-bagi untuk mereka. Lagi pula Anda sudah lama tidak bayar zakat kan?” Alah Jack. Ini bukan uang zakat. Ini uang cumacuma.kamu tahulah dari mana uang ini aku
16
Ibid., h. 22 Ibid., h. 195
17
49
6.
7.
8.
9.
dapatkan…” Kalau begitu tepat Bung, Uang ini harus kita bersihkan. Kita cuci. Kita bagi-bagi saja besok kepada mereka…”18 “……Baiklah sobat mulai saat ini anda memasuki markas maksiat di negeri ini. Kamu masih ingat kunci-kunci yang dulu saya berikan?” “Oh, masih...” “Antara lain?” “Semua ini juga kehendak Allah, Jack...” “Bagus! Apalagi?” “Kadang Allah menakdirkan hambaNya berbuat Ketenangan maksiat, dalam rangka si hamba itu lebih dekat kepadaNya....” “Asyik, apalagi....? “Orang yang merasa aneh dengan kekuasaan Allah mengentas seorang ahli maksiat, maniak dosa, menjadi kekasih Allah, berarti tidak paham dengan kekuasaan Ilahi itu sendiri...” “Jack memeluk si Gendut sekali lagi….”19 “…..jangan berhenti berprofesi. Hanya karena ingin mendekati Allah, lalu anda berhenti meninggalkan semuanya. Keinginan itu adalah hawa nafsu anda yang tersembunyi, emosi anda yang tergesa-gesa. Kesabaran Biarlah Allah menakdirkan dan memposisikan anda di mana, dan bagaimana saat ini. Kelak anda bisa sangat dekat dengan Allah tanpa anda harus berhenti dari profesi anda..20 ..”….Di bulan puasa ini kedatangan Jack selain membawa oleh-oleh sekedar berbekal untuk buka puasa bagi masyarakat kumuh itu, Jack sedang membawa kabar gembira bagi mereka. Yaitu wujud impian masa depan mereka, yaitu anak-anak mereka. Cinta Kasih Anak-anak germo, anak pelacur, anak preman, anak maling, anak pemulung, siapa yang memikirkan mereka? Jack hanya geleng kepala pada penguasa negeri ini……”21 “…….Siapa yang bersahabat dengan manusia model ini, ia akan mendapatkan tiga hal pula: Meraih kebajikan-kebajikan tersebut sebagai anugerah, karena seseorang itu sangat erat kaitannya dengan Bersahabat 18
Ibid., h. 84 Ibid., h. 166 20 Ibid., h. 161 21 Ibid., h. 11-12 19
50
10.
keyakinan agama sahabat dekatnya. Ia juga meraih rasa ringan dalam hatinya, dan mendapatkan keselamatan dunia dan agamanya…….”22 “….Apakah anda juga masih menuntut sesuatu dari Allah? Ini sungguh tidak sopan, tidak etis, dan tidak punya adab di hadapan Allah, karena Anda pasti tidak yakin kepada Allah, karena anda pasti sangat Tawadhu’ mencurigai Allah. Apa modal kita, bekal kita, prestasi amal kita, sehingga kita punya hak menuntut Allah? Padahal kita tidak pernah memiliki modal, tak pernah berbuat, tak pernah membuat bekal. Sebab yang menggerakkan kepatuhan, amal, taat, ibadah kita itu, Allah juga!...”23
C. Pembahasan Hasil Analisis Nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim banyak ditunjukkan dalam bentuk deskripsi cerita, dialog antar tokoh, maupun respon para tokoh dalam menyikapi sesuatu. Dalam novel ini terdapat dialog seperti percakapan langsung pada umumnya. Namun percakapan ini berbentuk tulisan sehingga lebih mudah untuk dilihat dan dibaca berulang-ulang. Paragraf dan kalimat dalam sebuah novel merupakan kumpulan ide yang ingin dituangkan oleh pengarang. Dalam penelitian ini dapat terjadi perbedaan interpretasi, mengingat kemampuan seseorang berbeda dalam memahami suatu teks. Sehingga terkadang pesan yang disampaikan oleh pengarang dipahami berbeda oleh pembaca. Oleh sebab itu, paragraf dan kalimat yang jelas akan lebih mudah dipahami oleh pembaca pada umumnya. Pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang pun dapat dipahami oleh pembaca dengan mudah. Untuk melihat pesan di balik deskripsi cerita maka dalam skripsi ini penulis akan menyampaikannya dalam bentuk potongan paragraf atau kalimat. Adapun penjabaran nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack an Sufi karya Muhammad Luqman Hakim akan penulis paparkan berikut ini:
22
Ibid., h. 76 Ibid., h. 192
23
51
1. Kearifan (al-hikmah) Kearifan merupakan keutamaan dari jiwa berpikir dan mengetahui. Terletak pada mengetahui segala yang ada ini. Mengetahui segala yang ilahiah dan manusiawi. Pengetahuan ini membuahkan pemahaman mana di antara halhal yang mungkin harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.24 Kearifan merupakan keutamaan jiwa rasional yang memelihara jiwa al-syahwiyyah dan jiwa al-ghadabiyyat yang memungkinkan seseorang membedakan yang benar dari yang salah dalam semua perbuatan yang disengaja.25 Dalam pengertian tasawuf kearifan diartikan sebagai pengetahuan. Kearifan yang mempunyai arti pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan biasa. Ia merupakan pengetahuan yang abadi, sebab isinya tentang yang Abadi. Maka dari itu, ketika seseorang sudah mempunyai kearifan atau dalam bahasa tasawufnya ma‟rifat, ia akan menjadi orang yang mengenal hakikat segala sesuatu, memandang, dan bersikap terhadap dunia melalui penglihatan hatinya yang telah tercerahkan. Ia tidak lagi terpaku pada segala sesuatu yang bersifat embel-embel, sebab yang menjadi perhatiannya ialah yang hakiki. Ia tidak sibuk memikirkan dirinya dan hasratnya yang rendah. Namun ia senantiasa asyik memandang wajah Sahabat atau Kekasihnya, yang Maha Pengasih dan Penyayang itu. Dan pada tingkatan tertentu seorang sufi akan meninggalkan sikap acuh tak acuh, masa bodoh dan ketidakpedulian terhadap masalah keagamaan, kemanusiaan dan sosial.26 Ada bagian-bagian yang masuk pada kategori kearifan. Di antaranya adalah ketajaman intelegensi, kejernihan berfikir, dan jernih ingatan.27 Adapun nilai akhlak tasawuf yang ditampilkan adalah ketajaman intelegensi seperti dalam dialaog: “Inilah etika kita berguru atau bersahabat dengan seseorang, mestinya harus selektif agar berpengaruh positif dalam keseharian kita. Banyak 24
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. dari Tahdzibu al-Akhlak oleh Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1998), h.45 25 Suwito, Filasafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, (Yogyakarta: Belukar, 2004), h. 97 26 Said Aqil Munawwar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 351 27 Ibn Miskawaih, op.cit., h. 46
52
orang pandai, alim, intelektual, tetapi sepanjang kepentingan-kepentingan dirinya lebih menonjol, sama sekali tidak patut kita ikuti. Tidak peduli apakah dia ustadz, kyai, cendekiawan muslim, ataukah syaikh, manakala ia masih menuruti kepentingan nafsunya, sangat tidak layak untuk diikuti jejaknya. Kepentingan nafsu itu sering kali justru dijadikan umpan setan untuk berselingkuh dengan ilmu pengetahuan, kebenaran, agama, dan hal-hal yang suci. Artinya, mereka yang berselimut kesucian, keulamaan, kecendikiawaan, jika masih menuruti hawa nafsunya, seperti popularitas, riya‟, takjub diri, ingin dipuji, takbbur, egois, berarti ia tetap saja seorang yang bodoh. Sebailknya sama sekali tidak bisa disebut orang bodoh, jika seseorang mampu mengekang hawa nafsunya, kepentingan dirinya, egoismenya, iri dengkinya, walaupun ia tampak seperti orang bodoh, hakikatnya ia adalah orang yang pandai. Karena betapa pun hebat ilmu seseorang, sepanjang ia masih senang dengan hawa nafsunya, ia tidak akan pernah menyelamatkan kita di dunia hingga akhirat.28 Dialog di atas ingin memberi pemahaman bahwa memilih panutan yang benar-benar baik adalah sangat penting. Oleh karena itu ketajaman intelgensi sebagai bagian dari akhlak muslim sangatlah berperan penting dalam kaitannya mencari panutan agar tidak salah dalam memilih panutan. Adapun pengertian ketajaman intelegensi itu sendiri adalah kemampuan jiwa untuk merenungkan pengalaman yang ada pada lingkungan sekitar kita untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk.29 Selain ketajaman intelegensi, ada lagi nilai lain yang ditampilkan yaitu nilai tentang kejernihan dalam berfikir. Nilai ini terdapat pada dialog: “Suatu hari Jack diundang seminar di sebuah lembaga kajian dunia sufi. Jack diundang karena ada sejumlah orang yang mengenal Jack sebagai sosok yang hampir mirip kelelawar. Hidupnya di malam hari, dan di remang-remang kegelapan. Jack hanya diminta untuk mengisahkan balada kehidupan malam, dan makna Ketuhahan yang terselip di balik celah-celah anyirnya remang-remang itu. “Rasanya menjelaskan dan menghayati Allah di tengah kehadiran malam yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran itu, sudah setengah mustahil. Banyak faktor yang merasa menjadi hijab antara kita dengan Allah. Pertama, wajah di hadapan kita yang tentu sangat antagonis dengan nuansa Ilahi. Kedua, apakah kita tidak risih khusyu‟ dan khudur di 28
Luqman Hakim, op. cit., h.75 Ibn Miskawaih, loc. cit.
29
53
tengah-tengah mereka. Ketiga, apakah kita tidak jadi sembrono dengan hadir di tempat seperti itu?” kata seorang penanya. Jack terjengah mendengar pertanyaan peserta yang begitu kritis. “Allah tidak bisa dibatasi oleh apa pun, termasuk oleh kegelapan pun, bahkan oleh kebaikan apa pun, Karena Allah itu Mahabesar. Jika Allah bisa ditabiri, dihijab, ditirai, maka hijab dan tirai itu pasti lebih besar dibanding Allah. Padahal Allah Mahabesar dari segalanya.” “Saya jadi semakin bingung memahaminya…” “Ya, saya paham atas kebingungan anda. Sederhananya begini, kalau anda bisa hadir di depan Allah dalam suasana religus di masjid, ditempat majekis zikir, atau di tempat-tempat kebajikan, itu semata karena Allah hadir dengan asma‟ dan sifatNya yang Maha Indah, Maha Lembut, Maha Terpuji. Tapi kalau anda datang ke tempat pelacuran, perjudian, di tempat orang KKN, di tempat para preman, maka anda harus melihat Allah atas kehadiranNya yang berasma‟ dan bersifat Yang Maha Menghina, yang Maha Menyiksa, Yang Maha Menghisab perbuatan hambaNya. Takwalah kepada Allah di manapun anda berada, baik di tempat kebajikan atau kezaliman, dua-duanya jangan sampai menjadi penghalang interaksi anda dengan Allah” Semua peserta seminar diam begitu lama. Tiba-tiba suara tepuk tangan membahana di gedung itu. Bukan tepuk tangan atas jawaban Jack, tetapi tepuk tangan yang disertai tetesan air mata keharuan atas problema yang menyesakkan dada mereka. Sang penanya tadi seperti mewakili benak para peserta.30 Dialog di atas menunjukkan pentingnya berpikir jernih. Kejernihan berpikir adalah kesiapan jiwa untuk menyimpulkan apa saja yang dikehendaki. Jack dalam memandang kehidupan pasti diciptakan mempunyai pasangan, ada indah ada jelek, ada baik ada buruk semua itu adalah sunnatullah. Kaum sufi berusaha berpegang teguh kepada yang baik dan yang indah bahkan di tengah-tengah apa-apa yang tampak dalam kehidupan sebagai jahat dan jelek. Mereka berpegang teguh kepada kebenaran meskipun ketika dikelilingi oleh kesalahan dan kebohongan, berpijak kuat pada kepastian bahwa kebenaran akhirnya akan menang.31 Maka orang yang bertakwa adalah mereka yang selalu berfikir jernih dalam kondisi apa pun, entah dalam kondisi yang tampak sebagai kebajikan maupun tampak seperi kezaliman. Dan ini dibuktikan oleh Jack sebagai tokoh di dalam cerita tersebut bagaimana dia menempatkan hati dan pikirannya
30
Luqman Hakim, op. cit., h. 234 Seyyed Hossein Nasr, op. cit., h. 78
31
54
selalu untuk ingat kepada Allah. Oleh karena itu dapat kita pahami bahwa, kebajikan yang dimaksud akhlak kearifan dalam tasawuf merupakan kebajikan spiritual yang telah dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian tertentu berdasarkan ajaran Islam.32 2. Menjaga kesucian (al-iffah) Adalah keutamaan dari bagian hawa nafsu menurut penilaian baiknya. Dia mengikuti pengetahuan yang akurat, hingga dia tidak terseret oleh hawa nafsunya, dan dia tidak menjadi budak hawa nafsunya. Dia muncul pada diri manusia apa bila hawa nafsunya dikendalikan oleh pikirannya.33 Dan penilaian ini didasarkan pada pikiran yang mengandung unsur syari’at. Jadi nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahanlah yang akan menimbulkan sikap iffah, yaitu orang yang dapat menahan syahwat dan farjinya dari berbuat lacur. Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orangorang yang khusyu' dalam sembahyangnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (QS. Al-Mu‟minun. Ayat 1-3)34 Akhlak yang lahir dari sifat iffah ini banyak sekali, di antaranya ada sifat dermawan, wira’i, kesabaran, keteguhan hati.35 Iffah dalam pembahasan ini sering diartikan dengan kedermawanan di samping mempunyai arti menjaga kesucian. Hal ini mungkin terjadi, karena mengingat kebajikan satu dengan yang lain itu mempunyai saling keterkaitan secara spiritual. Sebagai contoh sifat tawakkal tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak disertai dengan sifat sabar, karena untuk bisa bertawakal kepada Allah maka kita butuh kesabaran dalam menerima cobaan dari Allah.
32
Ibid., h. 164 Suwito, op. cit., h. 103 34 Depag, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Solo: Qomari Prima Publisher, 2007), h. 475 35 Suwito, op. cit., h. 104 33
55
Adapun nilai akhlak tasawuf yang ditampilkan pada novel ini sebagai cabang dari sifat iffah antara lain adalah tentang kedermawanan. Berikut dialognya: Bersama rombongan jama‟ahnya Jack menuju pusat kota, putar-putar di Monas, lalu menuju kearah selatan, melewati setiap jalan yang macet. “Jack, kita muter-muter melulu sejak tadi,” Tanya Parjo penasaran. Sementara para jama‟ah yang menumpang di mobil itu juga penasaran. Apalagi setiap ada peminta-minta di pinggir jalan, Jack kadang malah turun membagi uang, dan makanan kecil. “Ceritanya lagi membayar zakat Jack,” lanjut Parjo. Dalam hal ini Jack memberikan teladan kepada temannya tentang kedermawanan yang tidak mengharapkan ingin dipuji oleh orang lain. Jack memandang para anak jalanan, peminta-minta termasuk orang yang kurang mendapat perhatian dari kita yang mempunyai latar pendidikan yang lebih baik. “Iya, Mas Jack, ngapain kasih uang pengamen, anak-anak peminta itu. Namanya kan tidak mendidik. Lagi pula di antara mereka banyak pemabuknya. Kita kan ngasih uang untuk mabuk, lah, berarti kita turut mendukung kemabukan mereka kan?” celoteh Susi ngedumel. Jack hanya senyum-senyum saja. Kendaraan terus melaju kencang ke arah Depok. Malam sudah sedemikian larut. Di Padepokan Jack, sudah berkumpul beberapa jama‟ah, dan ternyata di antara mereka adalah para peminta-minta, tukang ngamen, dan gelandangan. “Gila lu Jack! Memang umat kamu ini macam apa lagi? Kemarin para artis bermasalah, kini gelandangan, pengemis, besok perampok, lusa koruptor, aku kira sama gilanya dengan imamnya ini” kata Parjo gemes, dan membuat jama‟ah di mobilnya semakin bingung. Para gelandangan itu sudah kumpul dengan para pengamen dan pengemis jalanan. Jack seperti bapak bagi mereka. Tidak jelas kapan Jack mulai mengenal dunia mereka, tidak satu pun yang tau, hanya Jack, Allah dan para malaikat saja yang tahu. Di sini menggambarkan betapa Jack sangat disegani di kalangan para gelandangan, bahkan dia sudah diangggap menjadi bapak bagi mereka. Inilah bukti bahwa kepedulian sosial itu sangat dibutuhkan apalagi pada daerah perkotaan yang hamper manusia di dalamnya hidup masing-masing tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Di antara satu gelandangan itu ada tampak akrab sekali dengan Jack. Gelandangan tua, perempuan keriput, berkulit putih bersih, dengan
56
rambut memutih bergerai. Parjo dan Susi diam-diam mengamati gelandangan itu ketika sedang ngobrol akrab dengan Jack. Tidak jelas siapa perempuan tua itu. Malah kadang tampak seperti ibunya Jack, kadang seperti bibinya Jack, kadang pula seperti sahabat dekatnya. Walaupun gelandangan perempuan itu tidak menampakkan sekali wajah masam atau kusamnya, kadang malah bercahaya. Aneh. Ketika semua jama‟ah jalanan itu pamit pulang, Jack memeluk satu per satu sambil memberikan pesan yang dibisikkan lewat telinganya. Ada yang mendengarkan bisikan Jack dengan manggut-manggut, ada pula yang ketawa, ada pula yang meronakan wajah dan menitikkan air mata, ada pula yang diam seribu bahasa. Entah apa yang dibisikkan Jack kepada mereka, satu sama lain berbeda. “Kapan Jack kamu berhenti nyeleneh dan kembali normal? Tanya Susi. Jack hanya tertawa terbahak-bahak. “Kalian ini bagaimana, justru mereka yang disebut normal kadang-kadang malah abnormal..ha…ha…”36 Setelah membaca potongan dialog di atas, dapat dipahami bahwa si Jack ingin memberi pemahaman arti pentingnya kedemawanan dalam arti yang sesungguhnya. Nilai kedermawanan yang ditunjukkan Jack adalah kedermawanan yang tak mempunyai unsur ingin merasa dirinya adalah orang baik. Dalam dialog di atas juga terjadi perbedaan pendapat antara Jack dan Susi. Susi mempunyai pendapat apa yang dilakukan Jack itu salah, karena menurut Susi akibat dari perbuatan Jack adalah hanya sia-sia. Namun Jack memberi pengertian kepada Susi melalui dialog selanjutnya: “Apa karena ada misi tertentu ente mendekati para gelandangan itu?” “Nggak ada. Saya tidak punya kepentingan apa-apa. Hanya saja saya merasa sama dengan mereka. Kita di dunia ini tidak lebih dari gelandangan Allah, kita hanya pengemis dan selalu mengamen kepada Allah. Nah, renungkan itu.”37 Dialog tersebut merupakan jawaban dari Jack untuk kebimbangan Susi mengapa Jack mau memberi kepada para gelandangan. Kedermawanan yang ditampilkan Jack merupakan kedermawanan yang diajarkan oleh Nabi. Tentu masih ingat dalam pikiran kita kisah Nabi dengan seorang pengemis Yahudi yang buta. Walaupun Nabi terus dicela oleh si Yahudi, Nabi tetap memberinya makanan kepadanya. Hal ini tentu dapat kita pahami bahwa di kemudian hari 36
Luqman Hakim, op. cit., h. 22 Ibid., h. 23
37
57
dengan cara tersebut Nabi berhasil membuat si Yahudi menjadi Muslim dan bertaubat. Apa yang dilakukan Jack secara makna tidak jauh beda dengan kisah Nabi. Si Jack hanya ingin meneladani sifat Nabi yang sangat dermawan. Menurut para sufi kebajikan dalam pandangan tasawuf bukan dipahami sekedar kebajikan moral melainkan kebajikan spiritual dengan dimensi niskala dan eksistensial. Dan setiap kebajikan itu ditengarai oleh akal bukan sekedar sentimental.38 Untuk itu, kedemawanan bukanlah sekedar pemberian sentimental atas dasar ingin merasa baik. Agar kedermawanan bernilai spiritual, ia harus didasarkan pada kesadaran metafisik bahwa orang lain dalam pengertian mendalam adalah diri kita sendiri dan bahwa dalam memberi, kita juga mengatasi ego kita sendiri, yang memisahkan kita dari orang lain, dan karena itu kita sebenarnya juga menerima. Hal ini hanya akan dicapai jika kita sudah benar-benar mencintai Allah, yang merupakan sumber seluruh kasih sayang. Karena kebajikan seperti ini hanya akan terwujud jika dalam diri kita ada cinta dan belas kasih.39 Pada kesempatan lain, Jack juga mengajarkan kita tentang makna akhlak keteguhan hati. Keteguhan hati adalah termasuk sifat orang beriman yang bersabar. Dalam beberapa kondisi sabar juga disebut dengan istilah iffah, terkadang juga termasuk dalam sifat syaja‟ah. Sabar yang tergolong dari sifat iffah pada dialog berikut: Banyak anak muda Islam yang bercita-cita jadi tokoh Islam, karena kalau jadi tokoh Islam ia jadi bangga. Jadi panutan masyarakat. Sebuah citacita keblinger, sebagaimana cita-cita menjadi muballigh kondang karena ingin jadi public figure. Cuap sana cuap sini, seperti politisi, lalu jadi ajang karir, kemudian ada sejumlah fasilitas materi dan budaya yang memanjakan dirinya. Lebih-lebih bercita-cita jadi muballigh sebagai pekerjaan, karir, dan profesi, wah, apa bedanya dengan penjual jamu dan tukang sulap yang bisa menyihir penonton dengan hiburannya? “Ah, wallahu a‟lam. Yang penting anak-anak di sini punya akhlaqul karimah, dengan pengetahuan dan pemahaman ilimu-ilmu Islam hebat, “kata Jack bergumam sendiri, sembari mengingat-ingat pesan kakek bertongkat agar Jack mulai mengkader ulama masa depan.40 38
Seyyed Hossein Nasr, op. cit., h. 164 Ibid., h. 165 40 Luqman Hakim, op. cit., h. 195 39
58
Jika diamati Jack dalam dialog ini menunjukkan sifat sabar yang mempunyai arti sikap tegar (keteguhan hati) pantang menyerah untuk membangkitkan motif beragama dalam menghadapi dorongan syahwat berupa keinginan menjadi terkenal, menjadi public figure, dan berlimpahan materi. Kesabaran yang ditampilkan Jack adalah berupa beramal dengan komitmen keyakinan, sebab keyakinan mengajarkan kepadanya bahwa menuruti hawa nafsu itu berbahaya dan ketaatan itu bermanfaat. Sifat wira’i juga ditampakkan oleh Jack ketika dia sedang berhadapan dengan para elite negeri ini yang mempunyai kepentingan pribadi. Berikut dialognya: Nama Jack begitu populer di kalangan kaum gelap di Jakarta. Disebut kaum gelap karena mereka tidak memiliki kepastian hidup, keyakinan masa depan, dan mungkin mereka sangat rakus dan tamak terhadap masa depan orang lain. Mereka adalah para penikmat maksiat di Jakarta, para tikus-tikus malam yang menggerogoti harta negara dan rakyat, koruptor, dan para penghibur, gelandangan, dan mereka yang kehilangan kepercayaan diri di depan sesama, apalagi di depan Allah. “Jack, sudah waktunya kamu tampil di permukaan. Jadi caleg lah. Atau minimal kamu bisa jadi pilihan rakyat lewat DPD. Kamu bisa jadi senator di sana…. Biar kamu bisa teriak wakili suara kita…” Jack terbahak-bahak. “Tidak ada yang pilih aku, Bung!” “Wah, jangan remehkan peran kami Jack. Seluruh preman di Jakarta akan mendukungmu. Semua perempuan remang-remang pasti mencoblosmu sambil histeris. Apa lagi orang-orang di pinggiran sungai Jakarta itu, siapa tak kenal kamu Jack?” Jack hanya garuk-garuk kepala ketika didesak lelaki bertubuh gempal yang penuh goresan tato itu. Di sampingnya ada lelaki pengusaha yang kelihatan kelimis, dan seorang pejabat penting di BUMN. Kalian tahu apa bedanya pejuang dengan politisi?” Mereka tampak terhenyak dan kernyitnya serentak berkerut. “Ini peluang Jack….,” kata pengusaha di sampingnya.”Berapa kamu butuh biaya, akan saya talangi semua….” Jack tertawa lebar. Tiba-tiba selembar cek berisi milyaran rupiah disodorkan. “Ini, kalau kamu tidak percaya…” Jack meraih saja lembaran itu tanpa basa-basi. Anda rela ini untuk saya?” Ikhlas Jack….” Untuk dan demi rakyat kan?‟ Ya, dan untuk suksesmu…”
59
Tidak. Ini untuk mereka…” Ya…ya..yaa untuk sukses mereka.” Karena itu uang ini akan saya bagi-bagi untuk mereka. Lagi pula Anda sudah lama tidak bayar zakat kan?” Alah Jack. Ini bukan uang zakat. Ini uang cuma-cuma. kamu tahu lah dari mana uang ini akan dapatkan…” Kalau begitu tepat Bung, Uang ini harus kita bersihkan. Kita cuci. Kita bagi-bagi saja besok kepada mereka…” Penguasa itu bungkam, antara jengkel dan harap-harap cemas. Jack ternyata menolak jadi wakil rakyat, dan uang itu amblas terbagi-bagi begitu saja untuk komunitas Jack yang juga tidak jelas masa depannya. “Jujur saja Jack. Saya tambah penasaran, kenapa kamu menolak ide bagus kita-kita ini untuk mewakili aspirasi kita di dewan?” “Ya, saya takut…saya ngeri saja…” “Lho?” “Iya, kalau Allah masih marah pada wakil-wakil rakyat di Senayan, maka murka Allah pasti memberangus saya juga. Ngeri dan sangat traumatik…”Meerka manggut-manggut saja mendengar ungkapan tajam Jack. Lalu Jack ngeloyor begitu saja. Keluar dari kafe itu…41 Kewira’ian Jack terletak pada hatinya yang selalu ingat kepada Allah. Tahap wara’ seperti ini kelihatannya sama sekali sudah meninggalkan urusan duniawi. Satu sisi Jack dikenal oleh mereka yang suka dalam kemaksiatan, tapi di sisi lain Jack juga menjaga dirinya agar tidak terjerumus oleh perilaku para pemaksiat. Ini sungguh sulit untuk dilakukan. Namun Jack bisa melewatinya, dengan segala mujahadah dan riyadhahnya. Jack menganggap hal ini tidak melanggar moral atau akhlak. Hal yang dilakukan Jack bukannya tanpa dasar. Etika yang dibangun oleh sufi adalah etika ruhaniyah tanpa mengabaikan moral pada tingkatannya sendiri. Kaum sufi memahami klaim moralitas pada kemutlakan di tingkat ini, mereka berusaha untuk keluar sama sekali dari ranah tindakan lahiriyah dan mencapai kebaikan mutlak melalui cinta dan pengetahuan tentang Ilahi, yang melampaui oposisi yang baik dan yang buruk serta melihat kenisbian dari apa yang kita sebut keburukan dalam kaitannya dengan yang baik secara mutlak dan yang nyata secara mutlak. Di sanalah Jack meletakkan dasar etikanya, yaitu etika sufi yang merupakan etika ruhaniyah, berbeda dengan moralitas biasa. Sementara pada saat
41
Ibid, h. 84
60
yang bersamaan kaum sufi meletakkan arti penting bagi moralitas pada tingkatannya sendiri.42 3. Keberanian (al-syaja‟ah) Keberanian adalah keutamaan jiwa amarah, dan muncul pada diri seseorang bila jiwa ini tunduk dan patuh terhadap jiwa berfikir serta menggunakan penilaian baik dalam menghadapi hal-hal yang membahayakan.43 Keberanian adalah tepatnya pikiran ketika berbagai bahaya datang. Kondisi ini hanya akan diperoleh karena adanya faktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam menghadapi segala hal.44 Sikap keberanian dalam arti yang sesungguhnya adalah dengan menggabungkan sikap tersebut dengan sikap tak mementingkan diri sendiri, tindakan tanpa motif duniawi atau dinodai oleh cacat seperti marah, keserakahan, nafsu untuk berkuasa, atau haus akan dendam. Inilah yang dilakukan oleh para sufi untuk medapatkan sikap ruhani yang benar terhadap amal perbuatan, di mana mereka melepaskan diri dari buah perbuatannya demi suatu kebenaran.45 Dalam novel ini menampilkan sikap tenang yang merupakan bagian dari akhlak keberanian. Berikut dialognya: “Ya, misalnya kalau kamu ingin ke Jakarta, melihat kemaksiatan Jakarta dan bejatnya manusia Jakarta, dengan motivasi kamu ingin menguji iman kamu maka malam ini juga kamu saya usir dari Jakarta…” “Lho, aku ini jujur Jack. Akan ingin kemari bukan untuk menguji cintaku kepada Allah melalui kemaksiatan hambaNya yang dicemburui Allah. Tapi memang kepingin lihat dengan mata kepala saya, biar saya bisa sejenak tidak bergemuruh bunyi Allah saja di dadaku…” Jack tertawa terbahak-bahak mendengar kepolosan Gendut yang tak pernah surut oleh air pasang, juga tak pernah lekang oleh panasnya usia dan kehidupan. “Baiklah sobat mulai saat ini anda memasuki markas maksiat di negeri ini. Kamu masih ingat kunci-kunci yang dulu saya berikan?” “Oh, masih...” “Antara lain?” “Semua ini juga kehendak Allah, Jack...” “Bagus! Apalagi?” 42
Seyyed Hossein Nasr, op. cit., h. 111 Ibn Miskawaih, op. cit., h. 45 44 Ma’rifat Imam dan Nandi Rahman, op. cit., h.36 45 Seyyed Hossein Nasr, op. cit., h. 117 43
61
“Kadang Allah menakdirkan hambaNya berbuat maksiat, dalam rangka si hamba itu lebih dekat kepadaNya....” “Asyik, apalagi....? “Orang yang merasa aneh dengan kekuasaan Allah mengentas seorang ahli maksiat, maniak dosa, menjadi kekasih Allah, berarti tidak paham dengan kekuasaan Ilahi itu sendiri...” “Jack memeluk si Gendut sekali lagi.46 Dialog di atas menerangkan tentang keberanian si Gendut untuk mengikuti Jack masuk ke dalam dunia kemaksiatan yang ada di Jakarta. Dan disebutkan pula pesan-pesan yang disampaikan Jack kepada Gendut sebelum mereka bertindak. Sikap tenang ditampilkan di sini. Dengan penuh keyakinan dan kepasrahan tanpa motif menguji iman Gendut dan Jack memasuki dunia kemaksiatan. Tujuannya adalah membantu mereka yang ingin kembali ke jalan yang benar. Mempunyai sikap yang tenang dalam konteks ini tidaklah mudah. Maka dari itu Jack memberi nasehat kepada Gendut terlebih dahulu. Ketenangan akan diperoleh dari sikap berani yang ditengarai oleh kearifan, menjaga kesucian diri dengan sikap adil dalam diri sendiri. Tanpa itu, mereka tidak akan mampu mengarunginya. Selain sikap tenang, di sini juga ditampilkan sikap sabar. Sabar di sini berbeda dengan sabar yang menjadi cabang dari sikap menjaga kesucian. Yang dimaksud sabar bagian dari sifat berani adalah sabar yang berkaitan dengan halhal yang menakutkan.47 Jack memberi gambaran tentang sabar dengan dialognya sebagai berikut: Dengan senyum yang membasuh seluruh ruang itu, Jack berkata tegas, “Kalian semua jangan berhenti bekerja, jangan berhenti berprofesi. Hanya karena ingin mendekati Allah, lalu anda berhenti meninggalkan semuanya. Keinginan itu adalah hawa nafsu anda yang tersembunyi, emosi anda yang tergesa-gesa. Biarlah Allah menakdirkan dan memposisikan anda di mana, dan bagaimana saat ini. Kelak anda bisa sangat dekat dengan Allah tanpa anda harus berhenti dari profesi anda.48 Dialog tersebut mempunyai pemahaman bahwa, kesabaran itu bukan hanya bagaimana seseorang menahan untuk tidak melakukan hal yang dilarang. 46
Luqman Hakim, op. cit., h. 166 Ibn Miskawaih, op. cit., h. 48 48 Luqman Hakim, op. cit., h. 161 47
62
Namun, sabar juga berkaitan bagaimana cara yang benar untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka dari itu Jack memberi masukan untuk tidak tergesa-gesa keluar dari pekerjaannya hanya karena merasa bahwa pekerjaannya dipandang kurang baik, seperti menjadi penyanyi café, artis dan lain-lain. Memang lingkungan yang ada dalam dunia tersebut dekat dengan hal-hal yang buruk. Tetapi walaupun demikian janganlah merasa bahwa itu akan menjauhkan dari Allah. Dalam hidup ini banyak sekali pengalaman yang tidak semuanya menyenangkan. Suatu bahaya besar jika kita mengalami kehidupan yang tidak menyenangkan, kemudian menuduh Allah tidak adil, tidak berpihak kepada kita dan meninggalkan kita. Itu adalah permulaan dari pesimisme kepada Tuhan, dan juga merupakan kehilangan harapan kepada Allah.49 Oleh karena itu, Jack mengatakan janganlah tergesa-gesa dalam hal melaksanakan perintahNya atau menjauhi laranganNya, sebab jika kita tergesa-gesa itu hanya menuruti hawa nafsu kita yang tersembunyi. Jika kita menurutinya, maka kita akan mengalami permulaan yang salah yang akan mengakibatkan pesimisme dan putus harapan kalau apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan harapan kita hanya karena merasa sudah melaksanakan perintahNya dengan menjauhi laranganNya. 4. Keadilan (al-a‟dl) Keadilan juga merupakan kebajikan jiwa yang timbul akibat menyatunya tiga kebajikan di atas. Ketika tiga fakultas bertindak selaras dengan satu sama lain dan tunduk pada fakultas melihat jiwa sehingga fakultas-fakultas tadi tidak kontradiksi atau mengikuti keinginannya sendiri-sendiri atas dasar kecenderungan tabiat-tabiatnya.50 Buah kebajikan ini adalah sikap yang mendorong orang memilih selalu untuk adil pada dirinya dulu, dan kemudian adil pada orang lain dan menuntut keadilan dari mereka. Seseorang tidak dapat dikatakan kesatria apabila ia tidak adil. Seseorang tidak dapat disebut pemberani apabila ia tidak mengetahui keadilan jiwa/dirinya dan mengarahkan semua indranya untuk tidak mencapai tingkat nekat maupun pengecut. Sebagai contoh seorang hakim tidak 49
Sudirman Tebba, Orientasi sufistik Cak Nur, (Jakarta: Paramadina, 2004), h.150 Ma’rifat Imam dan Nandi Rahman, op. cit., h.38
50
63
akan memperoleh kearifan (al-hikmah), kalau ia tidak menegakkan keadilan dalam berbagai pengetahuannya dan tidak menjauhkan diri dari sifat kelancangan dan kedunguan. Dengan demikian manusia tidak akan disebut adil kalau ia tidak mengetahui cara mengharmoniskan al-hikmah, al-syaja‟ah, dan al-iffah.51 Akhlak yang menjadi cabang dari sifat adil ini beraneka ragam sesuai dengan konteksnya. Sikap adil seseorang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sosial, seperti bersikap baik dalam kerja sama, cinta kasih kepada sesama manusia, jauh dari rasa dengki, dan masih banyak lagi.52 Adapun jenis akhlak keadilan yang ditampilkkan dalam novel ini adalah sikap cinta kasih dengan cara menolong mereka yang tertindas oleh peradaban modern ini. Berikut potongan dialognya: Beberapa hari setelah Jack mengembalikan fitrah sang penjagal, kini yang terbayang adalah anak-anak pelacur di pinggir rel kereta. Sepanjang rel kota, di mana krisis ini menjadi sasaran kelas bawah para penjaja cinta. Di situ bercampur baur pencopet kelas teri, persembunyian pembunuh, para penjudi, tukang ojek, tukang becak, dan pemulung. Tak satu pun manusia Jakarta yang menganggap mereka sebagai layaknya manusia. Sudah setahun silam, Jack memasuki daerah kumuh itu bersama Parjo. Maka di sana ia kenal preman Dulimin, Oscor, dan si Kadal. Ia juga kenal dengan germo Sumi dan seorang pelacur yang beranak pinak di manamana. Setiap kali Jack datang, ia menuju rumah Dulimin dan mampir di germo Sumi. Jangan dikira masuk di daerah kumuh seperti itu gampang, Jack melakukan proses interaksi yang lama penuh dengan hati-hati, dan berhubungan dari hati ke hati pula. Mereka menganggap Jack preman pula. Tapi preman berbaik hati. Di bulan puasa ini kedatangan Jack selain membawa oleh-oleh sekedar berbekal untuk buka puasa bagi masyarakat kumuh itu, Jack sedang membawa kabar gembira bagi mereka. Yaitu wujud impian masa depan mereka, yaitu anak-anak mereka. Anak-anak germo, anak pelacur, anak preman, anak maling, anak pemulung, siapa yang memikirkan mereka? Jack hanya geleng kepala pada penguasa negeri ini. Tapi Allah menakdirkan bangsa ini memang demikian, diberi pemimpin dan menterimenteri koruptor. Demi sinisme Tuhan pada bangsa ini, yang katanya mayoritas muslim. Tentu dengan cara Allah memberi pelajaran pada para ulama, agar sadar bangkit kembali. 51
Suwito, op. cit., h. 117 Ibn Miskawaih, op. cit., h. 49
52
64
Massa di sana bertepuk tangan, sambil mencoba untuk mengerti apa yang dimaksud Jack, dengan rumah baru, pondok baru, dan sekolah baru. “Jadi mulai besok, bukan hanya orang kaya saja yang bisa menempati villa mewah, bukan hanya pejabat saja yang punya villa indah di puncak. Tapi kita semua kan punya…” Suara gegap gempita disambut oleh anak-anak di sana. Lalu Jack mengumpulkan pentolan-pentolan di sana, mendiskusikan nasib anakanak mereka. Dan Jack bercerita tentang seseorang yang telah bertaubat mewakafkan villanya yang besar untuk pesantren dan pendidikan anakanak kumuh, anak-anak pelacur, yang tidak ingin bernasib seperti orang tuanya. Pesantren gratis, dari uang yang selama ini dikumpulkan oleh si penjagal, entah uang apa namanya. Sepulang Jack pulang dari villa penjagal kemarin yang terbayang adalah nasib anak-anak itu. Dan alhamdulillah, Tuhan memberi jalan keluar yang tak terduga. Dalam sekejap ada pesantren anak-anak kumuh, dan dalam sekejap mulai ada seseorang pemimpin pesantren mantan penjagal. Tentu, si penjagal tidak duduk sebagai ustadz, tetapi cukup berhamburan bersama anak-anak itu, ikut belajar mengaji. Jack pun pamitan diiringi dengan rasa haru dan isak tangis. Anak-anak yang tak berdosa itu seperti melepaskan seluruh pandangan matanya untuk Jack. Dan Jack adalah harapan dan masa depan mereka.53 Apa yang dilakukan Jack dalam dialog di atas adalah usaha Jack dalam menegakkan kedilan yang sesungguhnya, yakni berbuat adil kepada sesama manusia dengan tujuan mencari kebenaran dan ridho Allah swt. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya 53
Luqman Hakim, op. cit., h. 11-12
65
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah, ayat 8)54 Keadilan merupakan nilai akhlak yang timbul dari rasa kasih sayang. Dengan berbuat adil berarti kita telah melakukan tindakan yang timbul dari rasa kasih sayang kita terhadap sesama manusia. Sebelum dapat berbuat adil terhadap orang lain, terlebih dahulu kita harus belaku adil terhadap diri sendiri. Gambaran orang yang adil adalah berdiri di posisi tengah. Dalam arti tengah dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, ketika Jack memutuskan melakukan dakwah dengan cara tersebut itu berangkat dari rasa kasih sayang yang tinggi, sehingga apa yang dilakukan Jack adalah bentuk keadilan yang ingin dia tunjukkan kepada sesama manusia, bahwa di dalam kehidupan ini kita harus saling tolong-menolong dalam hal kebaikan bahkan dalam kondisi yang tidak kita sukai sekalipun. Ayat di atas dengan jelas mempunyai makna keadilan yang sebenarnya. Jika ada suatu golongan yang tidak kita sukai mungkin karena mereka ahli maksiat atau mereka beseberangan ideologi, itu jangan membuat kita tidak berlaku adil terhadapnya, karena walau bagaimanapun kita adalah sama-sama manusia yang harus menebarkan kasih sayang (rahmat Allah) dan wujudnya adalah dengan berbuat adil kepada sesama manusia. Jika melihat isi dialog tersebut dapat dipahami, bahwa mereka yang tinggal di kawasan kumuh dan dekat dengan kejahatan dan keburukan, atau mereka para elite yang kehilangan arah dengan berbuat keburukan, tidaklah menjadi suatu penghalang bagi Jack untuk menolong mereka yang ingin kembali ke jalan yang benar. Bagi Jack, rasanya sangatlah tidak adil jika mereka tidak dihampiri oleh penempuh jalan Allah seperti dirinya. Mereka adalah yang perlu dikasihani dan perlu ditolong, karena mereka telah kehilangan tujuan hidup yang sebenarnya. Untuk melakukan hal ini pasti membutuhkan kesatriaan moral, karena bisa jadi dia terjerumus, tapi juga bisa terjadi sebaliknya. Dan yang terjadi adalah Jack bisa menolong mereka dan dia tidak terjerumus. Hal inilah yang menurut peneliti kenapa Jack bisa melakukan hal tersebut, itu karena empat pokok 54
Depag, op. cit., h. 144
66
kebajikan yang diajarkan oleh Islam tentang kearifan, kesucian diri, keberanian, dan keadilan tertancap pada diri Jack dengan suatu keyakinan pada Allah bahwa pasti Allah akan membantunya. Termasuk juga yang menjadi bagian dari adil adalah sifat bersahabat. Bersahabat adalah cinta yang tulus, yang menyebabkan orang memperhatikan masalah-masalah sahabatnya dan berbuat baik untuknya.55 Jack menampilkan dialog tentang cara mencari sahabat yang baik. Karena, menurut Jack sahabat yang baik akan mengantarnya kepada kebaikan pula. Berikut dialognya: sebaliknya sama sekali tidak bisa disebut orang bodoh, jika seseorang mampu mengekang hawa nafsunya, kepentingan dirinya, egoismenya, iri dengkinya, walaupun ia tampak seperti orang bodoh, hakikatnya ia adalah orang pandai. Karena betapa pun hebat ilmu seseorang, sepanjang ia masih senang dengan hawa nafsunya, ia tidak akan pernah menyelamatkan kita di dunia hingga akhirat.” “Apa karakteristik hamba Allah yang bisa mengekang hawa nafsunya itu, Bung?” “Hamba Allah yang mampu mengekang hawa nafsunya, walaupun ia bodoh, pasti memiliki tiga karakter: sadar dirinya, tawadhu‟ pada sesama, mencari kebenaran dengan jujur. Menurut Ammar ra., jika tiga perkara berkumpul pada diri seseorang, maka ia telah benar-benar mengakumulasi keimanannya: Sadar diri, menyiramkan kedamaian bagi semesta, dan menginfakkan hartanya walaupun ia miskin.” Siapa yang bersahabat dengan manusia model ini, ia akan mendapatkan tiga hal pula: meraih kebajikan-kebajikan tersebut sebagai anugerah, karena seseorang itu sangat erat kaitannya dengan keyakinan agama sahabat dekatnya. Ia juga meraih rasa ringan dalam hatinya, dan menapatkan keselamatan dunia dan agamanya.56 Dialog di atas menggambarkan mana sahabat yang baik dan mana sahabat yang buruk. Menurut Jack, itulah gambaran etika ketika berguru atau bersahabat dengan seseorang, mestinya harus selektif agar berpengaruh positif dalam keseharian kita. Jangan mencari guru atau sahabat yang masih menonjolkan kepentingan dirinya sendiri. Hal itu sama sekali tidak patut untuk kita ikuti. Akhlak yang termasuk kategori adil pada diri sendiri dengan memandang bahwa kita hamba Allah adalah sikap tawadhu’. Sikap tawadhu’ pada dasarnya
55
Ibn Miskawaih, op. cit., h. 50 Luqman Hakim, op. cit., h. 76
56
67
adalah sikap adil terhadap diri sendiri. Tidak merasa tinggi (takabbur) dan tidak merasa rendah (rendah diri). Jika seseorang bisa tawadhu’ pada dirinya, maka ia bisa bersikap tawadhu’ pada orang lain, yakni tidak memandang orang lain lebih rendah dari dirinya. Berikut dialog yang menggambarkan sikap tawadhu’ pada Allah sebagai cerminan tawadhu’ pada diri sendiri: Apakah anda juga masih menuntut sesuatu dari Allah? Ini sungguh tidak sopan, tidak etis, dan tidak punya adab di hadapan Allah, karena Anda pasti tidak yakin kepada Allah, karena anda pasti sangat mencurigai Allah. Apa modal kita, bekal kita, prestasi amal kita, sehingga kita punya hak menuntut Allah? Padahal kita tidak pernah memiliki modal, tak pernah berbuat, tak pernah membuat bekal. Sebab yang menggerakkan kepatuhan, amal, taat, ibadah kita itu, Allah juga!57 Kita adalah makhluk ciptaan Allah yang dihidupkan dan dimatikan olehNya. Kita dapat berbuat baik itu semata-mata karena karunia Allah. Jika keinginan kita tak sesuai dengan kehendakNya, maka tak pantas menuntutNya agar sesuai dengan keinginan kita. Itu adalah bentuk sikap tidak patuh kepadaNya. Salah satu akhak mulia yang menjadi fokus perhatian kaum sufi adalah tawadhu’. Mereka antusias untuk menerapkannya pada diri mereka sebagai bentuk peneladananan Rasulullah yang merupakan model utama kaum mu‟min dalam masalah tawadhu’. Tawadhu’ merupakan perilaku mulia di antara dua perilaku nista, atau tengah-tengah antara sombong dan rendah hati. As-Suhrawardi mengatakan: “Tawadhu’ sesungguhnya adalah menjaga keseimbangan antara sikap tinggi hati (al-kibr) dan rendah hati (ad-dhi‟ah). Tinggi hati berarti meninggikan diri melebihi kadarnya, sementara rendah hati berarti menempatkan diri pada posisi yang membuatnya dicemooh dan bisa berakibat pada penyianyiaan haknya.58 Rasulullah telah memberi arahan agar bersikap moderat dalam bertawadhu’, yakni tidak berlebih-lebihan dalam merendahkan diri yang bisa membuatnya direndahkan atau dilecehkan. Beliau bersabda: “berbahagialah orang
57
Ibid, h. 192 Fauqi Hajjaj, op. cit., h. 330
58
68
yang merendahkan diri tanpa membuatnya terlecehkan dan orang yang menghinakan diri tanpa membuatnya sengsara”.59
59
Ibid, h. 332
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil kajian yang dilakukan peneliti mengenai kandungan nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim digambarkan melalui perilaku para tokoh yang berperan di dalam novel tersebut. Dilihat dari ruang lingkupnya, nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf tersebut menggambarkan nilai kearifan (al-hikmah), menjaga kesucian (al-iffah), keberanian (al-syaja’ah), dan keadilan (al-‘adl). Nilai kearifan yang ditunjukkan pada novel ini meliputi ketajaman intelegensi, kejernihan berfikir. Kemudian nilai menjaga kesucian meliputi dermawan, wira’i, kesabaran, keteguhan hati. Adapun nilai keberanian meliputi tenang, sabar. Kemudian yang terakhir mengenai nilai adil meliputi cinta kasih, bersahabat, dan tawadhu’. Dari kesemua nilai yang telah disebutkan yang menjadi titik penilaiannya adalah nilai tanggung jawab kemanusiaan sebagai hamba Allah dan sebagai mahkluk yang saling tolong menolong. Kedua, novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim merupakan jenis novel populer metropop yang dikemas dengan kalimat yang mudah dimengerti. Novel ini menceritakan perjalanan seorang pemuda bernama Jack (nama samaran) yang telah lama menempuh studi tasawuf di berbagai negara.
69
70
Namun, setelah kembalinya dia ke Indonesia, bukannya dia berdakwah di pesantren-pesantren padahal dia mempunyai pesantren. Tetapi malah yang dia lakukan adalah berdakwah kepada mereka yang terpinggirkan oleh kehidupan peradaban modern. Maka tak jarang dia berdakwah di wilayah yang mungkin dianggap kotor alias tempat maksiat. Cara Jack mengajak mereka untuk kembali ke jalan yang benar tentu dengan caranya sendiri. Yang pasti cara dia bukan dengan kekerasan. Dia punya teman bernama Susi dan si Gendut yang selalu menemaninya. Sungguh menarik ketika mengikuti perjalanan ceritanya. B. Implikasi Penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek lain yang relevan dan memiliki hubungan positif. Implikasi tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1. Implikasi teoritis a. Membuka wawasan akan beragamnya novel yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran. b. Membuka peluang dilakukannya penelitian-penelitian tentang nilai pendidikan Islam. 2. Implikasi paedagogis Novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim digunakan sebagai media pembelajaran novel yang isinya dapat dipahami dan banyak mengandung nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf. 3. Implikasi praktis a. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penelitian pendidikan, sehingga peneliti lain akan termotivasi untuk melakukan penelitian yang nantinya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. b. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk lebih mencermati media pembelajaran yang tepat bagi siswa.
71
C. Saran 1. Mengenai eksistensi novel, sudah sepantasnya penulis novel atau karya sastra lainnya, mempertimbangkan nilai-nilai pendidikan khususnya pendidikan
akhlak
tasawuf
yang
bisa
disumbangkan
kepada
masyarakat luas dan bukan mempertimbangkan selera pasar atau trend. Karena sangat jarang sekali novel yang berisi tentang akhlak tasawuf dan dalam beberapa tahun terakhir banyak bermunculan novel atau karya sastra yang sangat jauh dari unsur mendidik, sebab bagaimanapun karya sastra terutama novel yang banyak diminati oleh seluruh lapisan masyarakat, terlebih lagi dari kalangan remaja yang merupakan cikal bakal pemimpin bangsa. 2. Bagi para pembaca. Hikmah yang dapat diambil dari nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf yang terkandung dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim. Novel ini banyak memberikan kontribusi kepada seluruh pembaca, khususnya umat Islam untuk mengamalkan dan mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam kehidupan masyarakat yang semakin modern dan pragmatis. 3. Hendaknya para pendidik di sekolah menganjurkan para peserta didiknya untuk melengkapi bahan bacaan mereka dengan bacaan yang edukatif. Secara lebih konkret, misalnya, dengan menyediakan bukubuku yang dimaksud di perpustakaan sekolah sehingga para peserta didik dapat membacanya. 4. Kemudian melalui lembaga pendidikan formal dapat menanamkan nilai-nilai akhlak tasawuf kepada anak didik sehingga tercermin pola pikir, tingkah laku, dan kepribadiannya dalam masyarakat. Dan dapat merespon fenomena kemasyarakatan dengan cara mengedepankan kedamaian, kenyamanan dan keadilan di masyarakatnya. 5. Hendaknya dilakukan apresiasi sastra dalam proses belajar mengajar khususnya pada pendidikan agama Islam, agar murid terbiasa mengambil hikmah pada setiap buku cerita yang telah dia baca.
72
6. Bagi peneliti selanjutnya. Kajian tentang nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel ini belum
dikatakan sempurna, karena
keterbatasan waktu, metode serta pengetahuan dan ketajaman analisis yang peneliti miliki, untuk itu besar harapan penulis, akan ada banyak peneliti-peneliti baru yang berkenan untuk mengkaji ulang novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim.
DAFTAR PUSTAKA Ardani, M., Akhlak Tasawuf “Nilai-nilai Akhlak dalam Ibadah dan Tasawuf, Jakarta: Mitra Cahaya Utama, 2005. Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya’ Ulum al-Din, Kairo: Dar al-Kutub al_Arabiyyah, tt. Al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Oleh A.R. Ustman, Bandung: Mizan, 1985. Anwar, Kaha, Resensi Buku Jack & Sufi; Sufisme di Remang-Remang Jakarta, www.wisata-buku.com, 12 Desember 2012 Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. IV, 2000. Amin, Ahmad. Etika (Ilmu akhlak). Jakarta: Bulan Bintang, cet VII, 1993 Bisri, Musthofa, Lukman Hakim MA: “Kalau Tidak Ada “Kebinatangan”, Ya Tidak Ada Politik”, http://www.gusmus.net. 12 Desember 2012 Bitstream, Pengertian Novel, http://repository.usu.ac.id, 10 september 2013 Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Solo: Qomari Prima Publisher, 2007. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Semarang: CV. Toha Putra, 1989. Djamaluddin, Reorientasi Pembelajaran Akhlak Tasawuf di Perguruan Tinggi, Tadris Volume 3. Nomor 1. 2008. Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta: Buku Seru, 2013. Fakultas Bahasa dan Seni, Estetika Sastra, Seni, dan Budaya, Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 2008.
73
74
Ghibran, Ibnu, Resensi Jack and Sufi; Celoteh Kecil Kaum Kusam, http://www.ibnugibran.wordpress.com, 12 Desember 2012 Haryadi, Peran
Sastra dalam Pembentukan
Karakter Bangsa, Makalah
disampaikan pada Seminar Pendidikan IKIP Yogyakarta, 13 Juni 2011 Hasan, Fuad, Dasar-dasar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Hendy, Zaidan, Kasusastraan Indonesia Warisan yang Perlu Diwariskan 2. Bandung: Angkasa,1993 Hajjaj, M. Fauqi, Tasawuf Islam dan akhlak, Jakarta: Amzah, 2011. Hossein Nasr, Sayyed, The Garden of Truth:Mereguk Sari Tasawuf, Terj. dari The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. terj. Oleh Yuliani Liputo, Bandung: Mizan, 2010. Hakim, M. Luqman, Jack and Sufi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, cet. IV, 2004. Ismail, Taufik, Generasi Nol Buku, http://www.kompas.com , 1 september 2013. Irfan, Mohammad dan HS, Mastuki, Teologi Pendidikan, tt. P: Friska Agung Insani, 2000. Imam, M. Ma’rifat dan Rahman, Nandi, Ibadah Akhlak, Tinjauan Eksetoris dan Esoteris, Jakarta: Uhamka Press, 2002 Jumantoro Totok dan Amin, Samsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf, Wonosobo: Amzah, 2005. Khalil, Ahmad, Merengkuh Bahagia, Dialog Al-Qur’an, Tasawuf dan Psikologi, Malang: UIN Malang Press, 2007 Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologi, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986.
75
Mas’ud,
Bulqia,
Sastra
dan
Pembentukan
Karakter,
http//www.edukasi.kompasiana.com, 11 Juli 2013. Mutthahhari, Murtadha, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, Jakarta: Sadra Press, 2011. ____________________, dan Thabathaba’i, Muhammad Husain, Menapak Jalan Spiritual, terj. Oleh MS, Nasrullah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. Matta, M. Anis, “Seni Islam: Format Estetika dan Muatan Nilai”, dalam Aswab Mahasin (ed.), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, Bina Rena Pariwara, 1996. Mujib, M. Abdul dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Ghozali, Jakarta: Mizan, 2009. Muslim, Sakhih Muslim, jilid I Isa Babi al-Halabi, Mesir, tt. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan: Komponen MKDK, Jakarta: PT. Rineka Cipta, cet. IV, 2004 Miskawaih, Ibn, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. dari Tahdzibu al-Akhlak oleh Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1998. Munawwar, Said Aqil, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002. Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005. Nurhayati, Suhardini, Sastra dan Pendidikan Karakter, httpwww.malangpost.com, 11 september 2103 Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Nasution, Harun, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, cet III, 1995.
76
Prodotokusumo, Partini Sardjono, Pengkajian Sastra, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Purwanto, M Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja Karya, 1986 Rosyadi, Nilai-nilai Budaya dalam Naskah Kaba, Jakarta: CV Dewi Sri, 1995. Salam, H. Syamsir dan Aripin, Jaenal, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: UIN Jakarta Press, cet. I, 2006 Sahabat Bersama, Pengertian Novel, http://Sobatbaru. Blogspot.com, 2013
Siroj, Said Aqil, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, Bandung: Mizan, 2006. Setiadi, M Elly, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana, 2006. Sumardjo, Jakob, Memahami Kesastraan, Bandung: Alumni, tt Septiningsih, Lustantini, Mengoptimalkan Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa, httpwww.KementerianPendidikandan Kebudayaan.com, 12 september 2013 Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, cet. IV, 1997 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, Yogyakarta: Belukar, 2004. Suseno, Frans Magnis, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanusius, 1987. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan Rnd, Bandung : Alfabeta, 2008. Suyanto, Bagong & Sutinah (eds.). Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta: Kencana. cet. ke-3, 2007 Syukur, Amin, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
77
Tebba, Sudirman, Orientasi Sufistik Cak Nur, Jakarta: Paramadina, 2004. Tilaar, HAR,. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2002. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia 1998. Undang-undang
Tentang
SISDIKNAS
dan
Peraturan
Pelaksanaannya,
Yogyakarta: CV. Tamita Utama, 2004. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI, No. 22 tahun. 2003, Bandung: Citra Umbara, 2003. Widjoko dan Hidayat, Endang, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, Bandung: Upi Press, cet. I, 2006. Yuliono,
Novel
Metropop,
Kebaruan
dalam
Novel
Popular,
httpwww.goodreads.com, 11 septemper 2013 Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, cet. I, 1991.