KAMI SIAP UNTUK MEMBANGUN (Nehemia 2:18)
1. Suatu hal yang membanggakan hati, bahwa pada peringatan hari aksara internasilan ke-47 tanggal 16 yang lalu, Bupati Nias Selatan, bersama 3 bupati lainnya dan 2 gubernur di seluruh Indonesia mendapat penghargaan dengan dianugerahkan “Aksara Pratama”. Sebuah prestasi bahwa pemerintah Nias Selatan dipandang berhasil “mengurangi jumlah buta aksara” di daerah kita ini. Selamat........... Peristiwa hari ini mengingatkan kita kembali 100 tahun yang lalu, ketika belum ada sekolah formal. Apa yang terjadi....leluhur kita yang memiliki tingkat kecerdasan yang handal membangun pendidikan berdasarkan pengalaman. Walaupun VOC telah tiba di daerah kita tahun 1669, dan pemerintah kolonial Belanda resmi menguasai Nias tahun 1825; tetapi barulah ketika misionaris RMG – Jerman menyebar di daerah ini, pendidikan dan pengajaran AKSARA dimulai, dengan dibukanya sekolah-sekolah zending, dan seminari di Ombolata. Pada masa zending, penginjilan dan pendidikan berjalan bersama yang diarahkan untuk upaya pembebasan dari kebodohan, kemiskinan dan kekafiran; serta usaha pembaharuan dan perdamaian. Itulah gerakan misi 100 tahun lalu. Sayangnya, gereja kita tidak meneruskan misi ini, terlebih setelah pemerintah kolonial Belanda, Jepang dan terakhir Indonesia mengambil-alih seluruh sekolah zending. Anehnya, hingga tahun lalu, ketika BNKP bekerjasama dengan Lembaga Alkitab Indonesia melakukan assesmen tentang Buta Aksara, maka diperkirakan ada sekitar 25 ribu lagi (termasuk yang berumur 40 tahun ke atas) yang tergolong Buta Aksara di 4 kabupaten 1 kota di kepulauan ini (saya kurang tahu di wilayah mana yang terbanyak buta aksara). Penghargaan Aksara Pratama kepada Bupati Nias Selatan, selain kita bersyukur, tetapi juga merupakan “sentakan” bagi kita semua bahwa pendidikan merupakan prioritas dalam membangun kehidupan dan
komunitas. Ini juga mengingatkan kita akan ungkapan kuno yang mengatakan: - Kalau mau hidup 1 bulan, tanamlah sayur - Kalau mau hidup 3 bulan, tanamlah jagung, - Kalau mau hidup 6 bulan, tanamlah padi - Kalau mau hidup 10 tahun, tanamlah kelapa - Kalau mau hidup 100 tahun, tanamlah pendidikan - Kalau mau hidup selama-lamanya, tanamlah iman , kasih dan pengharapan. 2. Untuk apa semua ini? Tentu jawabannya adalah untuk membangun. Membangun kehidupan seutuhnya dan persekutuan yang mendatangkan Syalom, atau Damai Sejahtera. Pendidikan tentu tidak terbatas pada ijazah atau gelar, tetapi justru semua harus mengarah pada pembangunan kehidupan sebagai imago dei (gambar Allah). Nehemia, adalah seorang yang telah berjuang memperoleh pendidikan dan pengalaman di Persia, sehingga dipercaya sebai juru minuman Raja. Ini sebuah prestasi, karena “orang luar, orang Yahudi, orang buangan” – mendapat kepercayaan di Istana, sebagai pengurus “rumah tangga” (biasanya sekarang, para bupati/walikota ....berusaha mencari personil di kerumah-tanggaan .... yang dipercaya, dalam arti masih ada hubungan famili). Tetapi, Nehemia, orang buangan, justru dipercaya mengurus rumah tangga, dan minuman raja. Mengapa? Dalam perekrutan personil yang mengurus kerumah-tanggaan Raja di Persia, ada 5 syarat utama, yakni: (1) Telah mengikuti pendidikan pengajaran di Persia (2) Memiliki Kejujuran yang Tinggi dan tidak munafik (3) Memiliki pengetahuan tentang Istana Raja dan bahasa (4) Memiliki Ketrampilan dalam hal tata Boga dan Busana. (5) Memiliki paras yang meyakinkan dan bertingkah laku sopan dan melayani. Nehemia memiliki ke-5 syarat ini, sehingga ia terpilih dan terpercaya. Dipilih dan dikenan Raja. Tetapi, lebih dari itu, Nehemia yang telah memiliki pendidikan, kepercayaan dan pengalaman di Istana, tidak puas dengan itu. Ia punya visi dan misi untuk membangun kembali tembok Yerusalem.
Membangun kembali bangsa yang telah hancur. Membangun kembali bangsa yang terbelakang di Yerusalem. Membangun kembali bangsa yang baru kembali dari pembuangan. (Saya tidak katakan bahwa pak Idealisman dan pak Hukuasa adalah Nehemia yang kembali membangun Yerusalem di Nias Selatan.....tetapi yang saya mau ingatkan ialah... Bahwa ada banyak orang yang sudah berpendidikan, berpengalaman, bahkan mendapat kepercayaan di berbagai tempat...... tetapi hanya memikirikan diri sendiri, dan kesenangan sendiri.) Kalau ada itu, maka sekarang bertobatlah, belajarlah dari Nehemia, yang mau kembali, yang berprinsip: Datahaogo mbanuada, marsipature hutana be) Tetapi, bagaimana Nehemia membangun? Kalau kita membaca pasal 1 dan 2 kitab Nehemia, maka kita melihat bahwa: (1) Ia kembali, Ia meneliti, Ia merencana, Ia berkomunikasi, Ia menggerakkan massa dan melaksanakan pembangunan: “dengan bersandar, bertolak dan bergantung kepada Allah”. Ia tempatkan seluruh aktifitasnya dalam bingkai rencana Allah. Dan karena mengandalkan Allah, maka semua rintangan dapat teratasi, menurut caranya dan waktunya Allah. Dengan demikian, seorang pemimpin tidak cukup hanya cerdas intelektual, cerdas emosional, cerdas komunikasi, cerdas managemen, melainkan, belajar dari Nehemia, harus CERDAS SPIRITUAL. Sehingga ia seorang yang jujur – tidak munafik, rendah hati, tetapi tidak rendah diri, lemahlembut, tetapi pemberani, inovator sekaligus antisipatif akan segala tantangan. (2) Bahwa ternyata, seorang pemimpin tidak ada apa-apanya (BAbelum apa-apa walaupun SPD-Sipade), kalau hanya seorang diri, atau hanya sekelompok saja. Nehemia dan pengikutnya, justru berhasil dalam visi dan misinya, ketika apa yang ia pikirkan dan rencanakan ---- mampu dikomunikasikan kepada semua orang, lalu bangsa itu berkata: “Kami siap untuk membangun”. Tidak bisa dipungkiri, pembangunan di Indonesia yang memakai pendekatan “dari atas ke bawah” (top down approach), telah
menciptakan paradigma dan tradisi bahwa yang membangun itu adalah pemerintah. Sehingga: o Ada program bebas pendidikan.....itu program pemerintah o Ada program bebas biaya kesehatan .... itu pemerintah o Parit tersumbat oleh sampah....itu urusan pemerintah o Koperasi rusak, karena koperisi dan kuperasi.... itu urusan pemerintah o Program pelebaran jalan....itu kerjanya PU, yang mungkin dianggap merusak dan mengganggu... Memang, semakin menebalkan rasa curiga dan praduga – kalau dalam realita: “Program itu hanya baik bagi segelintir orang, dan tidak untuk banyak orang....”. Semakin menghilangkan kepercayaan, apabila kata-kata: “Utolo, menjadi “Utölö”. Pernah ada guyon kritik sosial dengan lagu. Katanya, rakyat banyak, lagunya: “Hidupku yang sengsara, penuh dengan penderitaan....”. Lalu, muncul lagu Non-Eselon dan Para Eselon, Katanya: o o o o o
Non-eselon lagunya: “Padamu negeri kami mengabdi..” Eselon 4, lagunya: “Maju tak gentar......” Eselon 3, lagunya: “Di sini senang, di sana senang..” Eselon 2, lagunya: “Kemesraan ini janganlah cepat berlalu...” Eselon 1 ke jabatan politis: apa ya? “LANJUTKAN....”
Bapak/ibu/saudara. Pembangunan Pendidikan disebut berhasil...apabila paradigma ini berhasil ditransformasi, hingga semua rakyat berkata: “Kami siap untuk membangun”....dan bukan hanya dengan kata-kata, nehemia mencatat: “Mereka bekerja keras melakukan pekerjaan yang baik itu.” Ini bukan hal yang gampang, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Tetapi apabila visi dan misi itu diletakkan dalam bingkai kehendak Allah, serta mengandalkan Tuhan dalam segala hal, percayalah, akan berhasil seperti Nehemia. (3) Perlu disadari bahwa ada tantangan, ada ancaman, ada yang menghalangi, ada provokator, bahkan di Indonesia, dikenal dengan adanya Teroris. Pada ayat 19 dikatakan bahwa ancaman
itu datang dari SANBALAT – orang Horon; TOBIA, orang AMON, dan GESYEM orang ARAB. Nehemia berhasil mengatasi halangan dari dalam, bahkan berhasil mengambil hati rakyat hingga semua berkata: “Kami siap untuk membangun”, dan bekerja keras melakukan pekerjaan yang baik itu”. Tetapi, ancaman tetap ada. Sanbalat dkk mempolitisir bahwa Nehemia mau memberontak. Jadi rupanya, dari dahulu....gaya politisasi, putar-balik fakta sudah ada....dan bisa saja terus ada. Ingatlah, yang baik saja bisa dipolitir dan dianggap tidak baik, apalagi melakukan yang tidak baik. Tetapi, karena rencana dan program Nehemia adalah baik, dan berada dalam rancangan Allah, maka ia tidak takut. Ayat 20 sangat menarik: o Mengandalkan Allah ketika menghadapi tantangan (bukan membabat habis musuh dengan kekerasan) o Walaupun dia adalah pemimpin, tetapi ia menempatkan diri sebagai “hamba Tuhan” (ebed yahwe), yang artinya pelayan dan pekerja bagi Tuhan, dan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. o Ada keyakinan bahwa karena Tuhan beserta, maka mereka pasti berhasil. o Para penghambat, pengancam, pemberontah .... tidak dapat bagian dan tidak akan diingat. Tetapi ingatlah, bahwa ancaman tidak hanya dari luar. Ancaman yang paling besar dan utama adalah DIRI SENDIRI (kesombongan, ketamakan, keakuan, irihati, dsb). Lawanlah ancaman itu dengan mengandalkan Tuhan. Dan akhirnya, saya mengajak semua hadirin untuk menyatakan komitmen kita membangun daerah tercinta ini, mari kita dengan suara nyaring berkata: “Kami siap untuk membangun”.