Kajian Utama
Ikhlas = Prososial ? (Studi Komparasi Berdasar Caps) ABSTRACT Ikhlas is often interpreted as sincerity in helping or prosocial. This study aimed to test the common assumption by performing a comparative study based on the components in CAPS as the parameters. It results that in general, ikhlas and prosocial have some similarities: (1) involves both affective and cognitive systems, (2) carrying the idealism of discourse, and (3) leads to the normative construct. However, substantively, ikhlas and prosocial are two constructs that are different. KEYWORD: ikhlas, prosocial, CAPS Lu’luatul Chizanah Dosen Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang email:
[email protected]
Muqoddimah Dalam kehidupan sehari-hari, ikhlas merupakan istilah yang akrab kita gunakan. Ikhlas seringkali dikaitkan dengan perilaku menolong yang menandakan adanya ketulusan dalam melakukan hal tersebut. Goddard (2001) melalui studi semantik meneliti makna ikhlas dalam bahasa percakapan Melayu sehari-hari. Penggunaan PSIKOISLAMIKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI) Copyrigth © 2011 Lembaga Penelitian Pengembangan Psikologi dan Keislaman (LP3K). Vol 8 No. 2, Januari 2011 145-164
146
Lu’luatul Chizanah
kata ikhlas, selalu diiringi kata “memberi”, “menolong”, dan kata kerja “benevatife” lain. Ikhlas dikaitkan dengan niat yang baik dalam menolong. Ikhlas muncul apabila pertama pelaku ingin melakukannya, kedua, pelaku berpikir bahwa hal ini baik untuk dilakukan, dan ketiga, perbuatan dilakukan tidak untuk alasan yang lain (Goddard, 2001: 668). Berdasar penjelasan tersebut, ikhlas dapat diartikan sebagai bentuk perilaku menolong didasari niat yang baik, tanpa pamrih, demi keuntungan orang lain yang sekaligus juga merupakan bentuk perilaku prososial. Ikhlas dan prososial bisa jadi merupakan sinonim atau konsep ikhlas terakomodir dalam prososial atau pun sebaliknya. Ikhlas, sesungguhnya berasal dari ranah khasanah Islam, yaitu tasawuf. Ikhlas memiliki akar kata kholasho yang berarti murni, bersih. Ini merujuk pada pemurnian niat dalam menjalani rutinitas kehidupan, hanya demi mencari kedekatan kepada Tuhan (Qalami, 2003). Makna ikhlas tersebut sepintas nampak berbeda dengan makna ikhlas yang pada umumnya dipahami oleh masyarakat. Pergeseran ikhlas, dari yang berkaitan dengan proses pengabdian kepada Tuhan menjadi bentuk ketulusan dalam menolong, menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah ikhlas memang memiliki makna ganda sesuai konteks? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan berusaha dipaparkan dalam artikel ini. Ikhlas dan prososial akan dibandingkan konstruksinya secara teoritis dengan menggunakan parameter CAPS (Cognitive-Affective Personality System). Kerangka Teori Ikhlas secara bahasa bermakna bersih, suci. Secara istilah, ikhlas diartikan sebagai niat yang murni semata-mata mengharap penerimaan dari Tuhan dalam melakukan suatu perbuatan, tanpa menyekutukan Tuhan dengan yang lain (Qalami, 2003). Makki (2008) menyebutkan lima aspek penting dalam ikhlas, yaitu (1) ikhlas dalam arti pemurnian agama; (2) ikhlas dalam arti pemurnian agama dari hawa nafsu dan perilaku menyimpang; (3) ikhlas dalam arti pemurnian amal dari bermacam-macam penyakit dan noda yang tersembunyi; (4) ikhlas dalam arti pemurnian ucapan dari kata-kata yang tidak berguna, kata-kata buruk, dan kata-kata bualan, serta (5) ikhlas dalam arti pemurnian budi pekerti dengan mengikuti apa yang dikehendaki oleh Tuhan. PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
Ikhlas = Prososial ? (Studi Komparasi Berdasar Caps)
147
Konstruksi ikhlas didasarkan pada temuan Chizanah (2009). Konstruk psikologi ikhlas yang ditemukan dalam konfigurasi kognisi-afeksi meliputi konsep diri sebagai hamba Allah, motif transendental, harapan untuk mencapai kedekatan dengan Allah, nilai-nilai transendental, penghambaan, serta kebaikan. Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Chizanah (2011b) melalui analisis faktor eksploratori menghasilkan empat dimensi dalam konstruk ikhlas, yang meliputi motif transendental, pengendalian emosi, superiority feeling, dan konsepsi sebagai hamba Tuhan. Motif transendental dilandasi oleh konsepsi diri sebagai hamba Tuhan. Implikasi dari konsepsi ini adalah munculnya bentuk ideal orientation yaitu Tuhan. Kedua aspek ini hampir sama, karena samasama menyertakan atribut Tuhan. Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa konsepsi diri sebagai hamba Tuhan berkaitan dengan pandanganpandangan filosofis terhadap diri dan Tuhannya, sedangkan motif transendental mengarah pada penunggalan motif dalam berperilaku dan pemenuhan kebutuhan transendental (Chizanah, 2011b). Konsep diri sebagai hamba Allah berarti mengakui kelemahan diri, adanya tugas mengabdi, serta merasa tidak pantas untuk memiliki perasaan superior (superiority feeling) baik dalam level intrapersonal (diistilahkan dengan ujub, pen.) maupun sosial (diistilahkan dengan riya’, pen.). Perasaan superior tersebut dikategorikan sebagai elemen perusak ikhlas. Begitu pula wild desire atau unsurunsur bawaan manusia dan binatang, harus dikelola dengan baik sehingga tidak mengaburkan motif-motif transendental sehingga bercampur dengan motif-motif non-transendental seperti motif materi atau motif mendapatkan popularitas atau sekedar memenuhi standar internal. Bila motif yang melandasi suatu perbuatan telah mengalami percampuran, maka akan ada mekanisme perimbangan motif. Mekanisme perimbangan motif adalah proses evaluasi untuk menguat-lemahkan motif tertentu, motif yang pada akhirnya dominan itulah yang menjadi motif utama. Bila motif transendental yang dominan, maka mencapai ikhlas, akan tetapi bila motif lain yang dominan maka ikhlas tidak tercapai (Chizanah, 2011a). Kondisi afeksi seseorang yang mencapai ikhlas adalah stabil: tidak terlalu senang tapi juga tidak terlalu sedih, tidak mudah marah, tidak mudah takut, tegar, namun sekaligus lemah dan rawan, karena merasa was-was akan munculnya motif-motif yang mengganggu motif idealnya, yaitu transendensi. Secara ringkas proses menuju PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
148
Lu’luatul Chizanah
ikhlas meliputi abstinensi, eksklusi, dekonstruksi, dan regulasi diri disertai habituasi untuk menjadikan ikhlas sebagai kondisi jangka panjang berupa kepribadian ikhlas. Proses menuju ikhlas, dapat dirangkum sebagaimana bagan berikut (dikutip dari Chizanah, 2009, 2011a):
Bagan 1 : Proses menuju Ikhlas
Bagan 1 : Proses menuju Ikhlas
KONSTRUK PROSOSIAL
Konstruk Prososial Asumsi kebanyakan orang, ikhlas dalam bahasa psikologi adalah prososial. Prososial diartikan sebagai suatu tindakan heroik dengan tujuan untuk menolong orang lain (Passer & Smith, 2004). Asumsi kebanyakan orang, ikhlas dalam bahasa psikologi Definisi dalam konteks psikologi sosial menyebutkan definisi prososial sebagai suatu tindakan adalah prososial. Prososial diartikan sebagai suatu tindakan heroik menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung dengan tujuan untuk menolong orang lain (Passer & Smith, 2004). Definisi dalam konteks psikologi sosial menyebutkan definisi prososial sebagai suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan resiko bagi orang yang menolong. Istilah altruisme sering digunakan secara bergantian dengan prososial, tapi altruisme yang sebenarnya adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri (Baron & Byrne, 2005).
PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
Ikhlas = Prososial ? (Studi Komparasi Berdasar Caps)
149
Persahabatan, bantuan sosial, kerja sama merupakan beberapa hal yang dapat diketegorikan sebagai tindakan prososial. Secara umum, fokus dalam penelitian tentang prososial mengarah pada dua hal pokok yaitu perilaku menolong (helping behaviour) dan altruisme (Crisp & Turner, 2007; Batson, et.al., 2003). Perilaku menolong merujuk pada kesukarelaan untuk melakukan sesuatu yang akan mengun tungkan orang lain walau pada saat yang sama perilaku tersebut juga akan menguntungkan pihak penolong. Perilaku menolong ini merupakan perilaku yang disengaja atau diniatkan (ada intensi), sehingga perilaku ini tidak muncul secara mendadak atau tiba-tiba, misalkan menyelamatkan seseorang dari kebakaran mendadak. Yang termasuk perilaku menolong adalah mengumpulkan dana untuk korban bencana alam, dan sejenisnya. Tentunya dengan syarat adanya intensi, perilaku yang seolah menolong juga dapat dimasukkan sebagai perilaku menolong dan termasuk prososial dengan jenis hiprokisi moral (Baron & Byrne, 2005). Altruisme merujuk pada sebuah bentuk yang spesifik dari perilaku yang menguntungkan orang lain tapi tidak ada ekspektasi akan memperoleh keuntungan pribadi (Crisp & Turner, 2007). Contoh dari altruisme adalah menyelamatkan seseorang dari tertabrak kereta api secara spontan. Usaha menolong ini memang menguntungkan bagi orang lain, namun tidak dapat dipungkiri menyisakan kemungkinan adanya resiko bagi penolong. Ada tiga penjelasan mendasar mengapa seseorang meno long orang lain (Crisp & Turner, 2007), yaitu (1) penjelasan berdasar perspektif evolusi; (2) norma sosial; dan (3) modelling. Penjelasan pertama mengatakan bahwa secara biologis kita memiliki kecenderungan menolong, didasari oleh motif untuk mempertahankan generasi (keturunan). Ini artinya sasaran pertolongan adalah kerabat sedarah (kin selection) dengan tujuan melanggengkan eksistensi keturunan hingga masa selanjutnya (Brehm & Kassin, 1993). Berkaitan dengan ini, ditemukan sebuah studi menarik tentang sasaran pertolongan oleh Howard & Bryan (2008). Studi tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa seseorang cenderung untuk memberi pertolongan pada kerabat, sekalipun kerabat jauh dibandingkan sahabat, walau sedekat atau senyaman apa pun dengan sahabat tersebut. Studi lain oleh Westley dkk (2008) menguatkan pendapat bahwa sasaran pertolongan pada umumnya adalah kerabat, dengan asumsi bahwa peluang untuk mendapat pertolongan balik dari kerabat adalah lebih PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
150
Lu’luatul Chizanah
besar. Hasil studi-studi tersebut tentunya memperkuat argumen dalam perpektif evolusi. Kedua adalah penjelasan berdasar norma sosial. Norma sosial merefleksikan sebuah nilai yang diterima atau dinilai normal dalam suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Walaupun ada sejumlah perbedaan budaya, akan tetapi hampir dalam semua budaya menanamkan sebuah norma untuk menolong orang lain (Crisp & Turner, 2007). Terdapat tiga jenis believe yang sifatnya normatif untuk menjelaskan adanya tendensi menolong. Pertama adalah prinsip timbal-balik, yang mengatakan bahwa seseorang seharusnya menolong orang lain yang pernah menolong dirinya sebelumnya. Akan tetapi seseorang tidak secara otomatis menolong orang yang pernah menolongnya, kategori perbuatan menolong yang akan dibalas adalah pertolongan yang tidak terduga dan berkesan. Kedua adalah tanggung jawab sosial, yaitu sebuah norma bahwa seharusnya seseorang menolong orang lain terlepas apakah orang lain tersebut pernah menolong sebelumnya ataukah kemungkinan mendapat pertolongan dari orang lain tersebut di masa mendatang. Hal ini menyiratkan asumsi bahwa seseorang pada dasarnya memiliki kemauan untuk menolong orang lain. Ketiga adalah just-world hypothesis yaitu suatu beliefe bahwa dunia itu adil, tempat seseorang menuai apa yang dilakukannya. Ada keyakinan bahwa ”hal yang baik terjadi pada orang yang baik, hal yang buruk terjadi pada orang yang buruk”. Perilaku menolong muncul dengan adanya keyakinan ini dengan syarat yaitu penderitaan yang menimpa orang lain bukan karena kesalahannya atau orang yang ditolong dikenal baik dan suka menolong sebelumnya. Selain itu, ada norma yang lain yaitu norm of equity (Brehm & Kassin, 1993) dimana seseorang yang lebih beruntung seharusnya menolong orang lain yang kurang beruntung. Ketiga adalah penjelasan teori sosial-belajar yang menya takan bahwa, perilaku menolong muncul karena sese orang pernah melihat suatu fenomena menolong dan belajar melalui observasi yang dilakukan dan selanjutnya ditiru pada kesempatan selanjutnya. Yang penting untuk dicermati kemudian adalah motif atau tendensi dalam berperilaku. Motif merupakan kekuatan yang diarahkan untuk mencapai tujuan, dan tujuan sendiri memiliki tiga jenis, yaitu tujuan instrumental, tujuan ultimatum, dan konsekuensi yang tidak dimaksudkan. Tujuan ultimatum akan menunjukkan jenis motif. Dalam konteks prososial, ada dua motif besar yang melatarbelakangi PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
Ikhlas = Prososial ? (Studi Komparasi Berdasar Caps)
151
yaitu selfish motive, altruistic motive, collectivism, dan principlism (Batson, et.al, 2003). Seseorang yang menolong karena pertimbangan kekerabatan (kin selection); mendapat balasan pertolongan di kemudian hari (contingent reciprocity) (e.g. Wesley, et al., 2008), memiliki kesamaan emosi dengan sasaran pertolongan (negative staterelief), mengurangi kondisi tidak menyenangkan dengan menolong karena merupakan cara yang paling efektif (arousal: cost-reward model) (Brehm & Kassin, 1993; Batson, et.al., 2003), mengalihkan tanggung jawab atas emosi negatif diri dengan menolong (self-awareness) (Brehm & Kassin, 1993) maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai egoistic atau disebut egoism (Baron & Byrne, 2005; Brehm & Kassin, 1993; Batson, et.al., 2003). Hal ini berbeda bila yang menjadi dasar pertolongan adalah empati, maka dapat dikategorikan sebagai altruistic motive dengan penjelasan bahwa keuntungan pada diri sendiri (misal perasaan bangga, bermakna) merupakan konsekuensi yang tidak dimaksudkan. Hipotesis berkenaan dengan motif ini adalah empathy-altruism hypothesis yang mengklaim bahwa emosiemosi empati seperti simpati, kasihan, peka, dan sejenisnya, akan menghasilkan motivasi dengan tujuan ultimasi yaitu keuntungan orang lain (Baron & Byrne, 2005; Batson, et.al., 2003). Motif selanjutnya adalah collectivism, yaitu keuntungan yang merujuk pada keuntungan kelompok-kelompok tertentu secara keseluruhan. Tujuan ultimasi bukanlah untuk kepentingan atau kesejahteraan diri sendiri atau orang lain, akan tetapi untuk kesejahteraan kelompok. Motivasi jenis ini merupakan hasil dari identitas kelompok dan merupakan penjelasan atas perilaku prososial dalam dilema sosial (Batson, et.al., 2003). Principlism mengarah pada motif yang lebih luas, yaitu menegakkan prinsip moral yang universal, misalnya keadilan (Rawls, 1971 dalam Batson, et.al, 2003). Sebagian pakar psikologi sosial menyangsikan adanya motif jenis ini secara faktual, dengan argument bahwa tujuan ultimasi adalah keuntungan diri, membebaskan diri dari sanksi moral apabila tidak tampak menolong dan memunculkan hipokrisi moral yaitu perilaku seolah menolong dengan tujuan menghindari social cost atas tanggung jawab moral. Akan tetapi Batson, et.al (2003) menjelaskan bahwa motif principlism masih mungkin nyata dengan mendefinisikannya sebagai bentuk yang terpisah dari egoism dan pijakannya adalah kesejahteraan kelompok atau orang-orang secara umum melalui tegaknya prinsip moral secara universal. Motif ini, lanjut Batson, akan menjadi motif paling ekstrem dalam menjelaskan motip pada prososial. PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
152
Lu’luatul Chizanah
Nilai-nilai yang terkandung pada prososial dijelaskan oleh Batson (1994, dalam Batson, et. al., 2003) berdasarkan jenis motif. Nilai merupakan determinan penting dalam kemunculan perilaku prososial. Nilai dalam motif egoistik adalah kepuasan diri; nilai yang mendorong motif altruisme adalah kepuasan satu atau lebih individu; nilai yang mendorong kolektivisme adalah meningkatkan kesejahteraan kelompok; nilai dalam principlism adalah tegaknya prinsip moral. Keterkaitan antara nilai dengan motif dalam konteks prososial baru terbukti pada hubungan emosi empati sebagai sumber motif altruisme dengan nilai atas kesejahteraan orang lain, sedangkan keterkaitan nilai dan motif yang lain masih menunggu untuk diuji. Ada peran disposisi dalam perilaku prososial. Adanya perbedaan disposisi kemudian dikombinasikan akan membentuk apa yang disebut kepribadian altruistik. Faktor disposisional yang membentuk kepribadian altruistik, di antaranya adalah empati, mempercayai dunia yang adil, tanggung jawab sosial, dan locus of control secara internal (Baron & Byrne, 2005). Perilaku menolong, merupakan salah satu hal bentuk perilaku yang didasari keikhlasan. Akan halnya tendensi-tendensi yang terdapat pada prososial, dalam bahasan ikhlas, akan lebih mudah untuk mengatribusikannya dengan pahala. Tolok Ukur Pembanding Pembandingan antara konstruk ikhlas dengan konstruk prososial menggunakan CAPS (Mischell & Shoda; 1995, 1998 & 2006) sebagai tolok ukur pembanding. CAPS merupakan suatu meta-teori yang bisa memenuhi kebutuhan akan adanya suatu model teoritis yang lebih spesifik dalam struktur kepribadian individu, sehingga konstruk ikhlas maupun konstruk yang lainnya dapat diakomodir dalam skema CAPS. Penjelasan mengenai CAPS sebagaimana berikut mengacu pada artikel-artikel jurnal yang ditulis Mischell & Shoda: ’A Cognitive–Affective System Theory of Personality: Reconceptualizing Situations, Dispositions, Dynamics, and Invariance in Personality Structure’ (1995) di Psychological Review, 1995 Vol. 102, No. 2 halaman 246-268; ‘Reconciling Processing Dynamics and Personality Dispositions’ (1998) di Annu. Rev. Psychology 1998 49:229-58; dan ‘Applying Meta-theory to Achieve Generalisability and Precision in Personality Science’ (2006) di Applied Psychology: An International Review 2006, 55 (3), 439-452.
PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
Ikhlas = Prososial ? (Studi Komparasi Berdasar Caps)
153
1. Latar Belakang Kemunculan Secara umum, ada dua pendekatan besar dalam menjelaskan kepribadian, yaitu pendekatan proses dan pendekatan disposisi. Pendekatan pertama menyatakan bahwa kepribadian merupakan suatu bangunan system di mana terdapat unit-unit yang terhubung satu sama lainnya. Di dalamnya terjadi proses psikologi yang melibatkan aspek kognisi dan afeksi secara dinamis serta aspek kesadaran dan ketidaksadaran dengan situasi. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana fungsi seseorang secara psikologis dalam memediasi proses yang mendorong kestabilan individual differences dalam perilaku social yang dapat menjadikan keberegaman intra-individual dalam berbagai situasi. Pendekatan kedua pada tahun-tahun belakangan dirangkum dalam teori Big Five memposisikan stable traits, faktor atau disposisi perilaku sebagai unit-unit dasarnya. Tujuan mendasarnya adalah menggambarkan karakteristik individu secara menyeluruh dan jelas, serta menunjukkan kekhasan masing-masing individu. Perbedaan pokok antara dua pendekatan tersebut tampak dalam focus dari studistudi yang dilakukan. Studi dalam pendekatan proses diarahkan pada upaya untuk menganalisisinteraksi antara situasi dengan proses emosi-sosial-kognitif seseorang. Sedangkan pendekatan disposisi bertujuan mencari tahu seberapa jauh kekhasan individu akan tetap tampak dalam setiap situasi. Adanya dualistic pendapat seperti di atas, tampak jelas dalam menjawab pertanyaan, apakah kepribadian seseorang dapat berubah ataukah ajeg selama hidupnya? Pendekatan disposisi akan mengatakan bahwa kepribadian bersifat ajeg karena terbentuk dari stable traits. Sedangkan pendekatan proses mengatakan bahwa kepribadian bersifat dinamis. Kritik penting yang ditujukan pada pendekatan proses adalah tidak tampaknya unsur ‘manusia’ di dalamnya beserta fenomena kepribadian manusia. Pendapat ini mengingkari adanya disposisi yang stabil dan berbeda antara seseorang dengan yang lainnya, dan pada akhirnya menghindari aspek dasar dari kontruk kepribadian. Funder (1991 & 1994, dalam Mischell & Shoda, 1998) kemudian mengingatkan bahwa orang-orang memiliki karakteristik tertentu dalam artian disposisi yang khas, seperti misalnya seseorang yang hamper selalu tampak tidak bahagia dan selalu mengeluh dalam setiap situasi. Informasi semacam itu menurut Funder, merupakan penjelasan yang potensial maupun bersifat prediktif. Sementara itu PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
154
Lu’luatul Chizanah
pendekatan disposisi, menyisakan pertanyaan akan dasar alamiah dari invariant yang membentuk pokok kepribadian seseorang. Juga bagaimana dinamika yang terjadi dalam diri individu serta proses psikologis keterhubungan invarians dengan pengalaman atau perilaku yang diungkapkan. Berangkat dari masing-masing kekurangan dua pendekatan di atas, maka Epstein (1994, dalam Mischell & Shoda, 1998) menyatakan perlu adanya pendekatan yang lebih dinamis dan interaktif untuk memperjelas adanya hubungan kausal secara psikologis. Pada dasarnya, kedua pendapat tersebut berbeda dalam level analisis, akan tetapi secara fundamental tidaklah berlawanan. Sementara pendapat tentang adanya perbedaan penting antar individu seperti kualitas temperamen, chronic mood, dan affective states, serta skill tidaklah terlalu menciptakan konflik teoritis dengan pendekatan proses. Kontribusi penting dari pendekatan proses dalam upaya rekonsiliasi adalah identifikasi situasi diagnostic terhadap perbedaan-perbedaan tersebut contohnya dengan memperhatikan tendesi agresif atau kemampuan self control yang terutama sekali dapat dilihat. Penelitian lain berbasis pendekatan ini telah memeriksa korelasi yang stabil dan konsekuensi dari perbedaan individu dalam beberapa variable social kognitif seseorang seperti goal dan personal project yang berusaha dicapai sepanjang waktu, belief dan goal structures, dan tipe focus utama dalam rangka mencapai tujuan, seperti gain-oriented vs loss avoidant. Peluang akan terjadinya rekonsiliasi juga dapat dilihat dari sisi pendekatan disposisi yang menunjukkan bahwa ada arah kontekstualisasi pada stable traits terhadap situasi yang ada. Selain itu ada usaha untuk memasukkan faktor motivasi dan konsep tentang proses yang dinamis ke dalam model teorinya. Dalam upaya rekonsiliasi ini, diakui bahwa disposisi merupakan aspek penting dalam konstruk kepribadian, hal ini penting untuk dapat memahami bagaimana individu-individu berinteraksi dengan situasi dan yang paling penting adalah untuk mengidentifikasi dan mengukur dinamika proses intra-individu yang mempengaruhi interaksi tersebut.
PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
Ikhlas = Prososial ? (Studi Komparasi Berdasar Caps)
155
Tabel 1. Perbedaan antara Tiga Pendekatan 2. CAPS (Cognitive-Affective Personality System) CAPS merupakan hasil dari rekonsiliasi dua pendekatan besar sebagaimana dijelaskan di atas. Wujud konkretnya berupa model yang menunjukkan bahwa kepribadian merupakan suatu bentuk distinctive pattern dari system koneksi antara unit-unit mediasi dalam suatu circle besar. Sedangkan behavioral expression merupakan hasil dari interaksi antara features of situation dengan CAPS itu sendiri. Nantinya perilaku yang dimunculkan bisa berbalik mempengaruhi situational features atau system ekologi yang lebih luas, sehingga menjadi sebuah siklus. Perangkat situasi yang dimaksudkan bukan sebuah stimulus yang sederhana yang secara mekanis menyebabkan respon tertentu, sebagaimana diungkapkan dalam teori awal behaviorisme. Perangkat dalam konsep ini tidak hanya terwujud dalam lingkungna eksternal seseorang akan tetapi juga dalam pikiran, perencanaan, fantasi dan imajinasi. Selanjutnya perangkat tersebut mengaktifkan sejumlah respon internal, bukan hanya kognisi namun juga afeksi. CAPS itu sendiri berangkat dari pengakuan akan individuall differences. Disposisi seseorang akan tampak dari bentuk kuat lemahnya koneksitas yang menghubungkan unit-unit mediasi dalam konteks tertentu. Pola disposisi diungkapkan dalam rumus “if… then”. Diyakini dalam berbagai situasi akan dijumpai pola khas tiap orang. Individu akan berbeda dalam cara memusatkan perhatian secara selektif, bagaimana mereka mengkategorisasikan dan melakukan encode secara kognitif dan emosi, serta bagaimana hasil PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
156
Lu’luatul Chizanah
dari proses tersebut mampu mengaktifkan dan berinteraksi dengna kognisi dan afeksi lain dalam system kepribadian. Bila seseorang menampilkan sikap atau perilaku yang sama tidak berarti memiliki kepribadian yang sama. Sebab konten dari afeksi dan kognisi tiap individu berbeda ditampakkan pola atau system organisasi dari unitunit mediasi. Unit-unit mediasi itu terdiri dari: a. Encodings: kategori (konstruk) bagi diri, orang lain, masa, dan situasi b. Expectancies and Beliefs (Perkiraan dan Keyakinan): tentang dunia social, perilaku yang dimunculkan dalam situasi tertentu, dan self-efficacy. c. Affects (perasaan): perasaan, emosi, dan respon afeksi (termasuk reaksi psikologis) d. Goals and Values (tujuan dan nilai): hasil yang diinginkan dan wilayah afeksinya; hasil yang dihindari dan wilayah afeksinya; tujuan, nilai dan life projects. e. Competencies and Self-Regulatory Plans (kompetensi dan perencanan regulasi diri): perilaku potensial dan rancangan yang dapat seseorang lakukan, rencana dan strategi untuk mengorganisasikan aksi dan perasaan yang dihasilkan, serta wilayah internal dan peilaku yang dimiliki seseorang. Kelima unit mediasi di atas akan saling berinteraksi satu sama lain juga dengan perangkat psikologis situasi yang ada sebagaimana digambarkan pada skema berikut:
Bagan 2: Skema CAPS PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
Ikhlas = Prososial ? (Studi Komparasi Berdasar Caps)
157
Bagan di atas menunjukkan hubungan antara perangkat psikologis dari situasi (a, b, c, d, ...) dengan sistem kepribadian yang melibatkan afeksi dan kognisi (CAPS) dalam memunculkan sebuah perilaku. Unit-unit mediasi terdapat dalam sistem kepribadian yang diwakili dengan gambar lingkaran besar dan saling berinteraksi satu sama lain. Pola kepribadian ditunjukkan dengan tebalnya garis penghubung. Sedangkan garis tipis yang bercetak tipis menunjukkan ketidakaktifan pola tertentu. Garis putus-putus menujukkan hubungan antagonisitik antar noktah. Proses encoding merupakan pembuka keterhubungan unit-unit mediasi baik bersifat saling menguatkan atau antagonistik. Pola interaksi selanjutnya mengarah pada perilaku tertentu yang relevan Hasil Perbandingan konstruk ikhlas dan prososial menggunakan kompnen-komponen dalam CAPS sebagai tolok ukur dapat disimak dalam tabel berikut: Komponen Encoding
Ikhlas Prososial Konsep diri sebagai hamba Konsep diri sebagai pelesTuhan tari keturunan, makhluk sosial yang bermoral (Crisp & Turner, 2007; Passer & Smith, 2003) Expectancies & Kehidupan sosial dipan- Kehidupan sosial dipandang beliefs dang sebagia bagian dari sebagai sebuah ancaman tanggung jawab , bukan sekaligus kesempatan untuk sumber pemuasan kebutu- melakukan usaha pelestarian han (kebutuhan akan afili- generasi ; tempat berafiliasi asi, kebutuhan akan apre- dan mewujudkan integritas siasi, dll.) moral. Individu seharusnya mene- Perilaku didasarkan norma kan wild desire dan menghil- sosial: prinsip timbal-balik, angkan superiority feeling tanggung jawab sosial, dan keyakinan akan dunia yang adil (Crisp & Turner, 2007)
PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
158
Lu’luatul Chizanah
Affect
Goal & values
Kedekatan transendental/ kekhusyukan ibadah: tendensi pragmatis luas, kewaspadaan atas wild desire/ superiority feeling, baik yang implisit dan eksplisit; puas, tenang, tenteram, tidak malu, tidak kecewa, tidak frustasi Tujuan: mencapai kedekatan transendental; diwujudkan dalam ideal motive Motif menjadi komponen terpenting sebagai determinan terjadinya suatu perbuatan, ada perimbangan motif pada kasus motif majemuk Nilai: transendental, penghambaan, kebaikan
Vicarious feeling: distress personal, empati, merasa bermakna, kasihan, merasa terancam (Batson, dkk, 2003)
Tujuan: memenuhi kepuasan diri (utk. Helping behavior); orang lain (altruisme), group welfare (kolektivis); dan atau standar moral (principlism) Diwujudkan dengan melakukan observasi untuk menentukan perilaku prososial yang dimunculkan. Penjelasan perilaku sosial didasarkan atas dentifikasi jenis tujuan (instrumental, ultimasi) dan konsekuensi yang tidak dimaksudkan. Motif dibagi empat, yaitu egostic, altruistic, collectivism, principlism yang diidentikkan dengan tujuan ultimasi Nilai: self (motif egoisme); other (motif altruisme); group (motif kolektivis); dan prinsipil (motif principlism) Competencies Abstinensi dan eksklusi Meningkatkan integritas mor& self-regulato- terhadap wild desire, dekon- al, siap berkorban, hiprokisi ry plans struksi atas superiority feel- moral ing, dan regulasi diri
Secara umum, tidak ada perbedaan yang ekstrim antara keduanya, hanya sejumlah perbedaan tipis namun signifikan. Kedua konstruk memilikickesamaan yaitu melibatkan nilai-nilai normatif. Konstruk ikhlas, jelas mengusung idealisme normatif, yaitu adanya sanksi dalam bentuk emosi negatif seperti kecewa, malu, frustasi ketika tidak memenuhi standar minimal dalam ikhlas, berupa
PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
Ikhlas = Prososial ? (Studi Komparasi Berdasar Caps)
159
dominasi motif transendental di antara motif lainnya. Sedangkan prososial menyimpan sebuah idealisme akan integritas moral. Ketika seseorang tidak mewujudkannya maka membawa konsekuensi negatif berupa sanksi sosial serta sanksi internal berupa emosi negatif. Hal inilah yang kemudian memunculkan sebuah hipokrisi moral yang bertujuan hanya untuk mencegah timbulnya konsekuensi negatif (Baron & Byrne, 2005). Perbandingan dari aspek encoding menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan tentang konsep diri dalam konstruk ikhlas dan konstruk prososial. Konsep diri yang ikhlas mengarah pada pemahaman dan kesadaran diri sebagai hamba Tuhan, ketidakberdayaan atas kuasa Tuhan, ketidakpatutan adanya superiority feeling dalam kognisi. Berbeda dengan konsep diri pada prososial yang menyatakan bahwa diri sebagai bagian dari kehidupan sosial atau organisme yang bertahan dalam suatu ekosistem. Konsep diri ini membawa implikasi bahwa diri itu selalu terancam dan memiliki kebutuhan penting dalam sosial. Aspek expectancies and beliefs mencerminkan sistem keyakinan yang dimiliki. Bagaimana seseorang mempersepsi sosial, sekali lagi memunculkan perbedaan di antara kedua konstruk. Kehidupan sosial dalam konstruk ikhlas dipandang sebagai sebuah bagian dari tanggung jawab dalam menjaga nilai-nilai moral, bukan sarana memenuhi kebutuhan, misalnya kebutuhan berafiliasi, kebutuhan akan reward sosial (pujian, sanjungan, status sosial). Pada dasarnya seseorang memiliki otonomi dan independensi terhadap sosial, sebab orientasi sepenuhnya hanya kepada hubungan transendental dengan Pencipta. Sedangkan kehidupan sosial menurut prososial dianggap sebagai sebuah ancaman sekaligus kesempatan mewujudkan integritas moral. Sosial merupakan lahan untuk menyemaikan nilainilai kebaikan seperti empati. Kehidupan sosial merupakan bagian dari tanggung jawab, namun sekaligus sebagai sebuah kebutuhan untuk menunaikan kodrat sebagai makhluk sosial. Pada poin ini terdapat kesamaan antara konstruk ikhlas dengan prososial. Ikhlas dengan prososial sama-sama menganggap kehidupan sosial sebagai sebuah tanggung jawab dalam wilayah moral. Akan tetapi kemunculan kesadaran ini berangkat dari hal yang berbeda, prososial muncul dari kesadaran akan nilai-nilai dalam norma sosial, sedangkan ikhlas berangkat dari nilai-nilai dalam hubungan transendental.
PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
160
Lu’luatul Chizanah
Aspek affects pada kedua konstruk memiliki kesamaan, yaitu kemunculan emosi yang positif, hanya perbedaannya terletak pada dimensinya. Affect pada ikhlas memiliki dimensi yang lebih luas dibanding dalam prososial. Dimensi pada prososial tampak lebih sederhana: ‘sekedar’ rasa bangga yang mengakibatkan bahagia, sedikit merasa ‘terancam’ akan tetapi mengarah pada kepuasan akan rasa mampu mempertahankan eksistensi spesiesnya, serta bersifat vicarious feeling, yaitu perasaan yang bersumber dari perasaan orang lain (Batson, et.al., 2003). Ikhlas mengarah pada emosi dan kondisi mental yang berbeda dari umumnya orang. Sisi affect dalam ikhlas bertolak dari kedekatan dengan Tuhan/ kekhusyukan dalam beribadah. Perasaan dekat dengan Tuhan atau bisa diwujudkan melalui kekhusyukan ibadah tidak muncul secara mendadak, melainkan sesuatu yang sebelumnya telah diusahakan.yang awalnya muncul secara jangka pendek, artinya tidak selalu berhasil, akan tetapi dengan habituasi dapat mengarah ke jangka panjang menjadi sebuah kepribadian yang ikhlas. Aspek goal and values, mengindikasikan perbedaan sekaligus persamaan antara kedua konstruk. Konstruk ikhlas mencanangkan tujuan kedekatan transendental yang diwujudkan dengan memunculkan ideal motive, sebab motif dalam konstruk ikhlas merupakan aspek penting yang mendasari perbuatan. Ikhlas dan prososial terkesan goal-oriented. Nilai-nilai yang terkandung antara ikhlas dan prososial memiliki sedikit perbedaan. Pada prososial, nilai tidak dapat disimpulkan secara umum, sebab berkaitan dengan motif prososial. Kesamaan keduaa konstruk terletak pada pernyataan bahwa pada umumnya perbuatan tidak didorong oleh hanya satu motif. Aspek competencies and self-regulatory plans menunjukkan bahwa ikhlas merupakan sebuah konstruk yang lebih konkret langkahlangkahnya. Prososial, hingga ini belum memiliki kesepakatan di antara para pakar, maka diasumsikan lebih mengarah pada altruisme untuk aspek ini. Sikap berani berkorban serta integritas moral menjadi hal penting untuk dapat melakukan perbuatan altruistik. Ketika hal tersebut sulit dijumpai, padahal seseorang tengah terjebak dalam situasi yang berkaitan dengan standar moral, maka hipokrisi moral muncul sebagai suatu strategi untuk menghindari cost atau sanksi sosial bila tidak menolong (Baron & Byrne, 2005).
PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
Ikhlas = Prososial ? (Studi Komparasi Berdasar Caps)
161
Diskusi Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara ikhlas dengan prososial di samping adanya kesamaan umum yaitu sama-sama melibatkan unsur kognisi dan afeksi, sama-sama mengusung wacana idealisme (kedekatan transendental pada ikhlas dan integritas moral pada prososial), dan sama-sama merupakan konstruk yang normatif. Perbedaan terletak pada beberapa muatan dalam komponen-komponen CAPS yaitu konsep diri, persepsi terhadap kehidupan sosial, afeksi, tujuan dan nilai, serta prinsipprinsip dalam regulasi diri. Temuan tersebut sejalan dengan hasil studi dari Chizanah (2011b) dengan pendekatan EFA yang menunjukkan adanya keterpisahan konstruk antara ikhlas dengan altruisme, yang merupakan salah satu bentuk prososial. Keterpisahan konstruk didukung dengan adanya tingkat validitas diskriminan yang baik di antara ikhlas dan altruisme secara dimensional. Akan tetapi dalam penerapannya pada konteks sosial, ikhlas dapat diwujudkan melalui perilaku-perilaku menolong atau prososial. Studi dari Sutarmanto, Chizanah, & Khaliq (2011) melalui penelitian grounded theory menunjukkan bahwa indikator substantif ikhlas adalah penyatuan dengan kehendak Tuhan, yang dapat diwujudkan dalam bentuk kerelaan terhadap situasi dan ketulusan dalam melakukan perbuatan karena Tuhan, misalnya menolong secara tulus. Berdasar temuan tersebut dapat dipahami bahwa konstruk-konstruk yang secara teoritis berbeda, belum tentu tampak berbeda dalam konteks praktisnya. Ini dapat dianalogikan sebagaimana konstruk harapan dan optimisme, bahwa pada dasarnya keduanya secara teoritis merupakan dua konstruk yang berbeda sebab harapan melibatkan ketidakpastian sekaligus belief system yang kuat (Riyono, 2011), akan tetapi dalam tataran praktis, terdapat saling keterkaitan di antara keduanya. Seorang yang ikhlas dapat dikatakan sebagai seorang yang religius-spiritual. Seorang yang religius, sebagaimana diungkapkan oleh Emmons, Barrett, & Schnitker (2008), adalah seorang yang prososial karena mudah berempati, jujur, adil, dan menunjukkan penghargaan pada norma-norma prososial. Perilaku yang ditunjukkan dalam konteks sosial adalah perilaku menolong, altruisme, serta memiliki sikap anti-kekerasan dan menghindari konflik. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila ikhlas sering dimaknai berdasar wujud manifetasi dan efeknya yaitu sebagai perilaku menolong.
PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
162
Lu’luatul Chizanah
Daftar Pustaka Baron, R. A. & Byrne, D. (2005) Psikologi Sosial (Terj. Djuwita, dkk.). Jakarta: Erlangga. Batson, C. D., Lange, P.l A.M.. van; Ahmad, N.; Lishner, D. A. (2003) ‘Altruism and Helping Behavior’, dalam Michael A. Hogg & Joel Cooper (eds), The SAGE Handbook of Social Psychology. London: SAGE Publications Ltd, pp. 241-258. Brehm, S. S. & Kassin, S. M. (1993) Social Psychologi (2nd Ed.). Boston: Houghton Mifflin Company. Chizanah, L. (2009) ‘Konstruk Psikologi Ikhlas (Sebuah Kajian Hermeneutika atas Teks Ihya Ulumiddin Bab Ikhlas)’. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. _______ (2011a) ‘Konstruk Psikologi Ikhlas (Sebuah Kajian Hermeneutika). International Conference and The 3rd of Congress of API Proceedings Juli 2011: 217-224. _______ (2011b) ‘Validitas Konstruk Ikhlas: Analisis Faktor Eksploratori terhadap Instrumen Skala Ikhlas’. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Crisp, R. J. & Turner, R. N. (2007) Essential Social Psychology. London: Sage Publications Ltd. Emmons, R. A., Barrett, J. L., & Schnitker, S. A. (2008) ‘Personality and the capacity for religious and spiritual experience’, Handbook of Personality: Theory and Research (edited by Oliver P. John, Richard W. Robins, & Lawrence A. Pervin). New York: The Guilford Press. Goddard, C. (2001) „Sabar, ikhlas, setia - patient, sincere, loyal? Contrastive semantics of some virtues in Malay and English‟, Journal of Pragmatics 33, 653-681. Howard, R. & Bryan, A. J. (2008) ‘Altruism among relatives and nonrelatives’, Behavioural Processes 79 (2008): 120–123. Makki, A. T. (2008) The Secret of Ikhlas (‘Ilm al-Qulub). Terj. Abad Badruzaman. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Mischel, W. & Shoda, Y. (1995) ‘A Cognitive–Affective System Theory of Personality: Reconceptualizing Situations, Dispositions, Dynamics, and Invariance in Personality Structure’, Psychological Review. 1995 Vol. 102, No. 2. 246-268. _______ (1998) ‘Reconciling Processing Dynamics and Personality PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011
Ikhlas = Prososial ? (Studi Komparasi Berdasar Caps)
163
Dispositions’, Annu. Rev. Psychology. 1998. 49:229-58. _______ (2006) ‘Applying Meta-theory to Achieve Generalisability and Precision in Personality Science’, Applied Psychology: An International Review. 2006, 55 (3), 439-452. Passer, M. W. & Smith, R. E. (2004) Psychology The Science of Mind and Behavior (Sec. Ed.). NY: MG Hill. Qalami, A. F. (2003) Ringkasan Ihya’ Ulumiddin. Surabaya: Gitamedia Press. Riyono, B. (2010) ‘In search for anchor: The fundamental motivational force in compensating human vulnerability’, Disertasi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Sutarmanto, H., Chizanah, L. & Khaliq, I. (2011) ‘Eksplorasi Indikator-indikator Penerapan Ikhlas’. Laporan Penelitian (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Wesley A., Gurven, M., & Hill, K. (2008) ‘Reciprocal altruism, rather than kin selection, maintains nepotistic food transfers on an Ache reservation’, Evolution and Human Behavior 29 (2008) 305–318.
PSIKOISLAMKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI)
Vol. 8 No. 2 Tahun 2011