KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH H. MOESTOPO, SE, SH, MH BAB I PENDAHULUAN I.
Latar Belakang Dalam suatu Negara yang sedang membangun keberadaan tenaga kerja sebagai
sumber daya manusia merupakan salah satu faktor dari berbagai komponen pembangunan yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Namun, dalam kenyataannya mau tidak mau harus diakui bahwa komponen tenaga kerja merupakan hal yang paling menonjol, karena tenaga kerja sebagai subjek dan objek dalam pelaksanaan pembangunan suatu Negara, sebab dalam kenyataannya sektor industri di Negara-negara berkembang mempunyai daya serap tenaga kerja yang tidak memadai, dalam artian, bahwa dari penambahan angkatan kerja yang ada hanya merupakan suatu prestasi kecil saja yang memperoleh pekerjaan di sektor industri. Masalah ketenagakerjaan di Indonesia, seperti Negara sedang berkembang lainnya, terdapat beberapa kendala dan tantangan yang dihadapi dan memerlukan pemikiran dalam pelaksanaan pembangunan. Di antara masalah ketenagakerjaan yang menonjol adalah kesenjangan antara melimpahnya angkatan kerja yang akan memasuki dan memerlukan pekerjaan, di lain pihak terbatasnya kemampuan untuk menyerap angkatan kerja tersebut, bahkan sekarang sudah memasuki Pasar Bebas Asean dan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang menurut Adam Smith Keunggulan Absolutue, dan David Ricardo mengatakan keunggulan komparatip yang mungkin dapat bertahan dalam kompetisi tersebut. Atas kenyataan ini, terjadilah suatu kontradiksi bahwa di satu pihak sumber daya manusia merupakan modal utama pembangunan, akan tetapi di lain pihak kondisi demikian dapat menimbulkan masalah-masalah yang rumit, di antaranya dapat menimbulkan masalah sosial, seperti pengangguran. Memperhatikan kondisi ketenagakerjaan demikian, kiranya perlu ada suatu perangkat hukum bagi sarana perlindungan dan kepastian hukum
1
bagi tenaga kerja, terutama bagi mereka yang akan dan sedang mencari pekerjaan atau akan dan sedang melaksanakan hubungan kerja. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Ketentuan tersebut, mengandung arti bahwa semua warga Negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan seimbang dalam melakukan hubungan hukum, begitu juga dalam melakukan hubungan hukum yang dilaksanakan antara pengusaha dan pekerja. Walaupun semua warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum, namun dalam kenyataannya pengusaha sebagai pihak pemberi kerja dan upah jelas mempunyai kedudukan sosial ekonomi yang lebih tinggi, sehingga dalam melakukan hubungan hukum khususnya dalam pembuatan perjanjian kerja ada di tangan pengusaha. Mengingat kedudukan pekerja lebih rendah daripada pengusaha, maka perlu adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukumnya, Mengenai perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia, Philipus M. Hadjon menyatakan : Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi silemah (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha.1
Menurut Zainal Asikin, perlindungan hukum bagi pekerja sangat diperlukan mengingat kedudukan yang lemah. Selanjutnya beliau mengatakan : Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan-majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis.2.
1. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum dalam Negara Hukum Pancasila, Makalah disampaikan pada (symposium tentang Politik, Hak Asasi dan Pembangunan Hukum dalam rangka Dies Natalis XI/Lustrum VIII, Universitas Airlangga, 3 November 1994).
2
Bruggink membagi keberlakukan hukum menjadi tiga, yaitu keberlakukan faktual, keberlakuan normatip dan keberlakuan evaluatip/material. Selanjutnya beliau memberikan pengertian ke tiga keberlakuan hukum sebagai berikut : Adanya peraturan-peraturan hukum adalah untuk dipatuhi. Penguasa yang membuat peraturan tidak bermaksud untuk menyusun peraturan-peraturan agar dilanggar. Peraturan hukum dibuat dengan tujuan untuk memecahkan problema-problema yang terjadi dan bukan untuk menambah problema yang sudah ada dalam masyarakat. Masalah kepatuhan terhadap hukum merupakan salah satu segi dari persoalan yang lebih luas, yaitu kesadaran hukum. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan terhadap hukum perlu diketahui apakah sebab-sebabnya anggota masyarakat itu mau patuh pada hukum. Keberlakuan faktual yaitu oleh para warga masyarakat efektif kaidah diterapkan dan ditegakkan oleh pejabat hukum; keberlakuan normatip yaitu kaidah cocok dalam system hierarkis; keberlakuan evaluatif yaitu secara empiris kaidah tampak diterima; secara filosofis kaidah memenuhi sifat mewajibkan karena isinya.3
Hubungan pekerja dengan pengusaha pada dasarnya bersifat “unik”. Di satu pihak hubungan hukum yang tidak seimbang4, antara pekerja dengan pengusaha sangat rentan terhadap terjadinya konflik. Di lain pihak, hubungan saling membutuhkan (mutual symbiosis) antara pekerja dengan pengusaha merupakan embrio bagi terciptanya hubungan kerja sama antara pekerja dengan pengusaha itu sendri. Hubungan industrial yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja dengan pengusaha berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat dan dapat terjadi setiap saat apabila perbedaan pendapat ini tidak segera diselesaikan dengan sebaik-baiknya akan berubah menjadi perselisihan, yang pada akhirnya dapat merugikan kedua belah pihak, yakni timbulnya gangguan terhadap ketenangan bekerja dan ketenangan berusaha.
2. Zainal Asikin, et al., Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1993, h.5 3. JJ. Bruggink, (Alih bahasa arief Sidarta, Refleksi tentang Hukum), Citra Aditya Bhakti, Bandung 1993,h.5
3
Mengingat dampak negatip yang ditimbulkan dengan terjadinya peselisihan, maka wajarlah apabila semua pihak yang terlibat dalam hubungan industrial berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah timbulnya perselisihan. Namun demikian, apabila upaya pencegahan timbulnya perselisihan tidak dapat dihindarkan, maka para pihak harus dapat menyelesaikan secara efektif dan objektif., memberi kesempatan pada masyarakat, khusunya kepada masyarakat umum dan masyarakat pekerja untuk ikut berpartisipasi, sejalan dengan adanya era demokratisasi di segala bidang, maka perlu diakomodasikan keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Untuk mempertahankan atau memelihara hubungan kemitraan antara pekerja dan pengusaha, mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan memiliki posisi penting. Tujuan awal dibentuknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, pada tanggal 14 Januari Tahun 2004, diharapkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilaksanakan secara cepat, tepat, adil dan murah. UndangUndang tersebut, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang dipandang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun ternyata Undang-Undang ini juga belum mampu mengakomodasi hak-hak pekerja/buruh, hak-hak serikat pekerja/serikat buruh ketika melaksanakan hak dasarnya yaitu mogok kerja, dan masih banyak diketemukan pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa adanya penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terlebih dahulu. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 diharapkan sudah memenuhi harapan peradilan cepat, adil dan murah dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957. Untuk mengetahui hal tersebut maka kedua peraturan perundang-undangan tersebut perlu diadakan perbandingan. Dengan perbandingan ini, akan ditemukan adanya persamaan dan perbedaannya.
4
W Friedmen, Legal Theory, Ciolobia University Press, New York, 1967, h. 218
4
Penyelesaian perselisihan perburuhan sudah dikenal sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, yang berawal sebagai akibat dari buruh kereta api yang pertama kali melakukan pemogokkan. Penyelesaian perselisihan perburuhan di lapangan perusahaan kereta api dilakukan dengan mengadakannya Verzoenings raad (dewan pendamai). Peraturan tentang dewan pendamai bagi kereta api dan trem untuk Jawa Bali dan Madura, Regerings besluit tanggal 26 Pebruari 1923 Stb 1923 Nomor 80, dan kemudian diganti dengan Stb 1924 Nomor 224. Peraturan tersebut pada tahun 1937 dicabut dan diganti dengan peraturan dewan perdamaian bagi kereta api dan trem di Indonesia, yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yaitu Stb 1937 Nomor 624, tanggal 24 Nopember 1937. Perkembangan cara penyelesaian perselisihan perburuhan pada perusahaan di luar kereta api, dikeluarkan Regerings besluit, Stb 1937 Nomor 407, tanggal 20 Juli 1939. Peraturan ini kemudian diubah dengan Stb 1948 Nomor 238. Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut tetap berlaku walaupun Indonesia merdeka. Hal ini sesuai amanat Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Penyelesaian perselisihan perburuhan baru timbul sejak tahun 1949, dan pada tahun tersebut dikeluarkan Instruksi Menteri Perburuhan Nomor PBU. No 22-45/u.4191, tanggal 20 Oktober 1950 tentang Penyelesaian Perburuhan. Akibat pemogokan yang banyak terjadi pada tahun 1951 kemudian dengan persetujuan Dewan Menteri ditetapkan Peraturan Pertikaian Perburuhan (Peraturan Darurat Militer Nomor 1 Tahun 1951, pada tanggal 13 Pebruari 1951, dan kemudian pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Berlakunya Undang-Undang tersebut, sering mendapatkan kecaman dari para pihak, khususnya Serikat Buruh karena dipandangnya sebagai peraturan pengekangan terhadap hak mogok. Akibatnya, Undang-Undang tersebut dicabut dan diganti dengan Undang-Undang nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan., sebagai upaya pemerintah untuk memberi pelayanan kepada masyarakat pekerja dan sejalan dengan adanya era demokratisasi di segala bidang, maka perlu diakomodasikan keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Untuk mempertahankan atau memelihara hubungan kemitraan
5
antara pekerja dengan pengusaha, mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial memiliki posisi penting. Maka penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 diselesaikan melalui pengadilan. Dan upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan ini diharapkan merupakan pilihan terkahir. II.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang muncul dalam
penelitian ini adalah : a. Bagaimana perkembangan hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia sebelum dan sesudah berlakuknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri. b. Bagaimana perbandingan hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, apakah sudah sesuai dengan keinginan atau cita hukum (Ius Constituendum) pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh. III.
Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik a. Kajian Teoritis Menemukan dan menganalisis landasan teoritis, penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang dimulai sejak zaman pemberontakan penjajahan Hindia Belanda sampai berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. b. Praktek Empiris Dalam praktek empiris hendak dicari perbandingan hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 dengan UndangUndang No 2 Tahun 2004, guna menemukan persamaan dan perbedaannya maupun kelemahan dan kekurangannya.
6
IV.
Manfaat Praktis a. Dari sisi praktis memberikan pemahaman yang jelas kepada pekerja, pengusaha, pemerintah dan akademisi tentang perbedaan dan persamaan sejarah hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial sejak zaman penjajahan Hindia Belanda sampai berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. b. Dari perbedaan keberlakuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang cepat, adil dan murah sebagaimana cita hukumnya, diketemukan banyak hak-hak Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam mempertahankan berlangsungnya hukum materiil, belum terakomodasi didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
7
BAB II PERBANDINGAN HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1957 Tentang PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 Tentang PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
V.
Perbandingan Hukum Penyelesaian sengketa / perselisihan hubungan industrial di Indonesia diselesaikan
menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 dilakukan melalui mekanisme : 1) Buruh dan Majikan melakukan perundingan Bipartit di Perusahaan. 2) Penyelesaian melalui Proses Perantaraan di Departemen Tenaga Kerja dengan produk anjuran. 3) Pihak yang keberatan dengan anjuran Pegawai Perantara Departemen Tenaga Kerja bisa mengajukan upaya hukum lanjutan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) melalui Departemen Tenaga Kerja. 4) Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) akan bersidang untuk memeriksa dengan hukum acara biasa dan memberikan putusan, dan jika diperlukan Majelis Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dalam melakukan proses pemeriksaan perkara yang ditangani, bisa turun langsung kelapangan. 5) Jika para pihak masih keberatan dengan putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) maka bisa mengajukan upaya hukum berikutnya ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perbururuhan Pusat (P4P).
8
6) Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dalam melakukan pemeriksaan berkas dan menerbitkan Putusan, pihak yang merasa keberatan bisa minta peninjauan melalui veto Menteri Tenaga Kerja. Kelebihan dan kekurangan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesian Perselisihan Perburuhan : 1) dapat dilakukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 / Undang-Undang Nomer 09 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 2) jika para pihak keberatan dengan Putusan PT TUN bisa menempuh upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. 3) jika para pihak masih merasa keberatan dengan hasil kasasi masih bisa melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Kelebihan dan Kekurangan yang ada dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial : 1) Masalah kewenangan kelembagaan Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase , yang tidak seimbang fungsi dan peranannya sebagai media penyelesaian perselisihan hubungan industrial (non litigasi). 2) Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri hanya terbatas pada 4 (empat) Jenis perselisihan dan bersifat (contentius), sedangkan perkara-perkara ketenagakerjaan lainnya yang bersifat penetapan (volentiur) belum terakomodasi / belum terbentuk Lembaganya, sehingga dalam Undang-Undang ini telah terjadi konflik norma (contra legem), dan/atau terjadi kesesatan hukum Falacy, Misal PHK harus mendapat penetapan terlebih dahulu dari LPPHI, dan penyelesaian Mogok kerja. 3) Banyaknya perkara yang masuk dan Putusan Perkara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), pihak pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh belum memenuhi rasa keadilan.
9
4) Jangka waktu penyelesaian perkara sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, baik ditingkat PHI maupun di Mahkamah Agung tidak dapat dilaksanakan. 5) Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Pengadilan Hubungan Industriall Pada Pengadilan Negeri, menggunakan Hukum acara perdata pada umumnya (HIR/RBG), hal ini jelas-jelas bertentangan dengan cita hukum (Ius Constituendum), pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh. 6) Dampak diberlakukannya Hukum Acara Perdata umum (HIR/RBG) menjadi obyek Pengacara / Advokad berperaktek di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri 7) Putusan Sela Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri tentang upah proses yang diminta oleh pekerja belum pernah dikabulkan, karena pertimbangan hakim, masih terdapat upaya hukum yang masih panjang sampai di MA. 8) Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri yang amarnya memerintahkan pada pengusaha untuk mempekerjakan kembali selalu tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. 9) Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri yang
mempunyai
kekuatan hukum eksutorialpun tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, karena panjangnya proses hukum, maupun biaya yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
10
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
VI.
Kesimpulan : 1. Kelebihan dan kekurangan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial : Jenis perkara : a. Perselisihan hak; b. Perselisihan Kepentingan c.
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja; dan
d. Perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan 2. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang ada sekarang ini hanya Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri, dan Hukum acara yang dipergunakan tidak bersifat khusus tetapi merupakan Hukum acara perdata pada umumnya (HIR/RBG), hal ini jelas-jelas bertentangan dengan cita hukum (Ius Constituendum), dan sangat merugikan pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh. 3. Tidak dapat mempertahankan berlangsungnya hukum materiil yang ada pada UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) yang mempunyai kewenangan menyelesaikan masalah-masalah ketenagakerjaan yang bersifat penetapan atau voluntiur belum terbentuk, sedangkan disi lain Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) yang salah satu fungsinya yaitu sebagai dewan pendamai (verzoeings raad) sehingga keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha, maupun pemerintah sebagaimana prinsipprinsip tiga partnership, (Pekerja, Pengusaha dan Pemerintah) 4. Pemerintah dengan sengaja meninggalkan tanggungjawabnya untuk melindungii pekerja/buruh, dan sebagai Pembina pengusaha. Dengan diberlakukannya Undang-
11
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pemerintah tidak lagi menjadi bagian terpenting dalam upaya perlindungan pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan Pengusaha dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial maupun pemenuhan hak asasi manusia; 5
Pengingkaran (Disanoval) terhadap konsesus nasional hasil Seminar Nasional tanggall 4 sampai dengan 7 Desember 1974, tentang Model Hubungan Industrial di Indonesia, yaitu Hubungan Industrial harus mewujudkan manifestasi UUD 1945 dan Pancasila, dan pada era itu diberi nama
Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP), selanjutnya
berkembang menjadi Hubungan Industrial Pancasila (HIP) dan sekarang menjadi Hubungan Industrial (HI) saja; 6. Putusan hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), seringkali dijumpai banyaknya hambatan dalam melaksanakan eksekusi atau sita untuk bisa dijalankan atau ditegakkan. Sedangkan eksekusi mempekerjakan pekerja/buruh sulit dilaksanakan karena Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak mengatur secara khusus pelaksanaan eksekusi atau sita jaminan tertentu tersebut ; 7. Secara konsep hukum (Pembentukan Pengertian) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tengah terjadi konflik norma. karena dalam materi muatan yang mengatur kewenangan tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial hanya 4 (empat) jenis perselisihan, disisi lain, hak-hak dasar pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh maupun pengusaha yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomer 13 Tahun 2003 ketika terjadi perselisihan tidak bisa diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri, karena terbatasnya wewenang di diberikan oleh Undang-Undang, dan akibatnya merugikan pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh maupun pengusaha;
8. Dalam konteks Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) negara hanya memfasilitasi/menyediakan arena pertarungan, yang bernama Pengadilan Hubungan
12
Industrial (PHI) saja, sedangkan pekerja/buruh, serikat pekerj/serikat buruh dengan pengusaha
bertarung dalam
posisi
berhadap-hadapan pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat buruh yang lemah dan pengusaha yang jauh lebih kuat, dengan mengedepankan formalisme hukum perdata dan berujung pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh yang menjadi korban ketidakadilan. 9. Dalam tataran dan terapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang ada sekarang ini, semakin menjauhkan pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh rasa keadilan dan selalu menempatkan dalam posisi terkalahkan akibat rezim perdata yang disinyalir sudah terkontaminasi praktek mafia peradilan. 10. Dalam terapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) sekarang ini, berdampak buruk bagi dunia usaha, panjangnya rentang waktu untuk menyelesaikan suatu perselisihan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan teori kemitraan (tiga parthnersip), menjadi sebuah harapan yang hampa, sedangkan penyelesaian tingkat biepartit menjadi tidak bermakna lagi karena kehilangan Ruhnya, dan Penyelesaian ditingkat Tripartit, misall penyelesaian ditingkat Mediasi Dinas Tenaga Kerja dengan anjurannya hanya berfungsi sebagai syarat untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri saja. 2. Saran : Berdasarkan Kajian Hukum Perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah : 1. Sudah tiba waktunya Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dilakukan revisi dan/atau perubahan secara menyeluruh, karena banyaknya pasal-pasal tentang kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri terjadi konplik norma (contra Legem), kewenangan yang diberikan
13
oleh Undang-Undang kepada Instansi/Lembaga
yang berwenang di bidang
ketenagakerjaan tersebut; 2. Mengembalikan Peranan Pemerintah sebagai pihak yang seharusnya memberikan perlindungan kepada pekerja, dan sebagai Pembina para pengusaha dalam rangka menjalankan hubungan industrial yang bernafaskan kemitraan tiga parthnersip; 3. Segera membentuk Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industriall (LPPHI) bertugas menyelesaikan masalah-masalah ketenagakerjaan baik yang bersifat Volunter maupun yang bersifat Contentius. .4. Semua biaya perkara perselisihan Hubungan Industrial ditanggung oleh Negara, dan dalam waktu penyelesaian 30 (tiga puluh) hari putusan bersifat finall mempunyai kekuatan eksekutorial, upaya hukum PK.
Literatur : 1.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum dalam Negara Hukum Pancasila, Makalah disampaikan pada (symposium tentang Politik, Hak Asasi dan Pembangunan Hukum dalam rangka Dies Natalis XI/Lustrum VIII, Universitas Airlangga, 3 November 1994).
2.
Zainal Asikin, et al., Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1993, h.5
3.
JJ. Bruggink, (Alih bahasa arief Sidarta, Refleksi tentang Hukum), Citra Aditya Bhakti, Bandung 1993,h.5
4
W Friedmen, Legal Theory, Ciolobia University Press, New York, 1967, h. 218
14