Kajian tentang Kesenjangan antara United Nations Convention Against Transnational Organized Crime dengan Peraturan Perundang-undangan Indonesia
National Legal Reform Program
KAJIAN Tentang
KESENJANGAN antara UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME dengan PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
KAJIAN TENTANG KESENJANGAN ANTARA UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA (UNTOC GAP ANALYSIS)
KAJIAN TENTANG KESENJANGAN ANTARA UNITED NATIONS CONVENTIONS AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
Penyusun: I Wayan Parthiana, S.H., M.H. Dr. Ramelan, S.H., M.H. Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H.
ii
Penerbit: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 6-7 Jakarta Selatan, Indonesia Telepon +62-21 526-7055 Faksimil +62-21 526-7055 Penerbitan ini didukung oleh The Netherlands Indonesia National Legal Reform Program (NLRP) Cetakan Pertama, 2010 Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang ISBN : 978-602-98660-0-1
DAFTAR ISI Kata Pengantar.........................................................................................v Sambutan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan............. vii
Bab II
Pendahuluan............................................................................1 1.
Berlakunya UNTOC di dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia. 3
2.
Sistematika dan Substansi UNTOC.................................................. 4
3.
Dampak UNTOC terhadap Peraturan Perundang-Undangan Indonesia............................................................................................7
4.
Relevansi Pengkajian atas Kesenjangan Peraturan PerundangUndangan Indonesia terhadap UNTOC........................................... 8
5.
Metoda Pengkajian........................................................................... 9
U NTOC G A P A NA LYS I S
Bab I
Kesenjangan antara UNTOC dengan Peraturan PerundangUndangan Indonesia.............................................................. 11 1.
Pernyataan Tujuan (Pasal 1)............................................................12
2.
Pemakaian Istilah (Pasal 2).............................................................14
3.
Ruang Lingkup Pemberlakuan (Pasal 3).........................................14
4.
Perlindungan Kedaulatan (Pasal 4).................................................15
5.
Kriminalisasi atas Partisipasi dalam Kelompok Pelaku Tindak Pidana Terorganisasi (Pasal 5)........................................................16
6.
Kriminalisasi atas Pencucian Hasil Tindak Pidana (Pasal 6)......... 17
7.
Upaya Memberantas Pencucian Uang (Pasal 7)............................. 17
8.
Kriminalisasi Korupsi (Pasal 8).......................................................19
9.
Tindakan Menentang Korupsi (Pasal 9)..........................................19
10.
Tanggung Jawab Badan Hukum (Pasal 10)................................... 20
11.
Penuntutan, Peradilan dan Saksi (Pasal 11)....................................21
12.
Perampasan dan Penyitaan (Pasal 12)........................................... 23
13.
Kerjasama Internasional Untuk Tujuan Perampasan (Pasal 13).. 26
iii
U NTOC G A P A NA LYS I S
iv
14.
Penyerahan Harta Hasil Tindak Pidana atau Kekayaan yang Disita (Pasal 14)...................................................................... 26
15.
Yurisdiksi (Pasal 15)........................................................................ 28
16.
Ekstradisi (Pasal 16)....................................................................... 30
17.
Pemindahan Narapidana (Pasal 17)............................................... 32
18.
Bantuan Hukum Timbal Balik (Pasal 18)....................................... 33
19.
Penyelidikan Bersama (Pasal 19)................................................... 35
20.
Teknik Penyelidikan Khusus (Pasal 20)......................................... 36
21.
Pemindahan Proses Pidana (Pasal 21)............................................37
22.
Penyusunan Data Tindak Pidana (Pasal 22)...................................37
23.
Kriminalisasi Gangguan Proses Peradilan (Pasal 23).................... 38
24.
Perlindungan Saksi (Pasal 24)........................................................ 39
25.
Bantuan Terhadap dan Perlindungan Korban (Pasal 25).............. 40
26.
Tindakan untuk Meningkatkan Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (Pasal 26).............................................................41
27.
Kerjasama Penegakan Hukum (Pasal 27)...................................... 42
28.
Pengumpulan, Pertukaran dan Analisis Informasi tentang Sifat Tindak Pidana Terorganisasi (Pasal 28)........................................ 43
29.
Pelatihan dan Bantuan Teknis (Pasal 29)...................................... 44
30.
Tindakan Lain: Pelaksanaan Konvensi Melalui Pembangunan Ekonomi dan Bantuan Teknis (Pasal 30)....................................... 44
31.
Pencegahan (Pasal 31).................................................................... 44
Bab III
Beberapa Temuan dan Rekomendasi..................................... 45
Bab IV
Matriks Kesenjangan antara UNTOC dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia ...........................................55
KATA PENGANTAR
Untuk merintis hal tersebut, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan bekerjasama dengan National Legal Reform Program (NLRP), sebuah lembaga yang didanai oleh Pemerintah Belanda dan diadministrasikan melalui Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memajukan lembaga-lembaga hukum dan masyarakat sipil, telah melakukan serangkaian kegiatan pengkajian dengan topik UNTOC Gap Analysis, yang membahas berbagai aspek kesenjangan antara peraturan perundang-undangan Indonesia dengan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime. Kajian tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis pendekatan dari aspek hukum pidana, hukum acara pidana, dan hukum internasional publik, yang dilakukan bersama-sama oleh Dr. Surastini Fitriasih, Dr. Ramelan, dan I Wayan Parthiana, MH dengan dukungan teknis dari Ditjen Peraturan Perundang-undangan dan NLRP. Kegiatan ilmiah tersebut berlangsung sejak 29 April 2010 sampai 20 Agustus 2010. Hasil kajian telah direview ahli hukum internasional (Belanda). Kementerian Hukum dan HAM – NLRP mempublikasikannya dengan maksud agar dapat menjadi bahan kajian dan referensi bagi semua pihak yang membutuhkannya. Sebagaimana dipahami, kebijakan hukum meratifikasi konvensi internasional mengandung konsekuensi bahwa secara yuridis formal konvensi tersebut telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Oleh karena itu selain mempertimbangkan berbagai tugas, tanggung jawab, hak dan kewajiban yang dibebankan kepada pemerintah (misalnya pendanaan, pembentukan struktur organisasi berupa badan, dewan, dan lain-lain) berdasarkan konvensi tersebut, hal yang tidak kalah penting untuk dipikirkan adalah sejauhmana konvensi yang telah diratifikasi bersesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada. Analisis kesenjangan antara UNTOC dan peraturan perundang-undangan nasional Indonesia menghasilkan tidak kurang dari 17 (tujuhbelas) temuan (kesenjangan), yang perlu diperhatikan oleh pembentuk undang-undang dan menindaklanjutinya. Sebagai contoh hasil kajian menemukan bahwa UNTOC sudah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, namun KUHP ataupun undang-undang pidana nasional Indonesia sama sekali tidak ada satupun yang dapat dipadankan dengan istilah “kejahatan (transnasional) terorganisasi”, sehingga dapat dipandang sebagai jenis kejahatan baru dalam hukum pidana nasional Indonesia, walaupun kejahatan dimaksud sudah banyak terjadi bahkan sudah menimbulkan dampak yang cukup serius bagi Indonesia. Ini berarti bahwa istilah “kejahatan transnasional terorganisasi” (transnational organized crime) - ditambah dengan 10 istilah lain yang diintroduksi oleh UNTOC - merupakan hal baru yang harus diperhatikan dengan seksama oleh para penegak hukum, khususnya dan pemerhati hukum pidana Indonesia pada umumnya.
Kata Pengantar
U NTOC G A P A NA LYS I S
Kajian yang membahas kesenjangan antara suatu peraturan perundang-undangan dengan sebuah konvensi internasional yang telah diratifikasi, baik dengan undangundang maupun keputusan presiden, merupakan hal yang baru dan cukup penting bagi proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
v
Hasil analisis tersebut juga menemukan bahwa dengan berlakunya UNTOC menimbulkan persoalan terhadap ruang lingkup berlakunya hukum pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 – 9 KUHP, yang secara limitatif menentukan jenis-jenis tindak pidananya. Dengan demikian Tim mempertanyakan, apakah Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7 dan Pasal 8 KUHP tersebut masih sesuai dengan UNTOC atau sudah ketinggalan zaman?
U NTOC G A P A NA LYS I S
Dengan berlakunya UNTOC di dalam sistem hukum nasional Indonesia tidaklah berarti penerapan berbagai pasal-pasal Konvensi tersebut dengan mudah dapat dijalankan, setidak-tidaknya para penegak hukum memerlukan waktu untuk mempelajari dan memahaminya sehingga benar-benar dapat dilaksanakan, dengan penerapan yang tidak melanggar prinsip-prinsip hukum pidana dan hukum acara pidana yang jauh sebelumnya sudah berlaku.
vi
Model analisis kesenjangan (gap analysis) seperti yang dirintis oleh Ditjen PP bersama NLRP mungkin patut dikembangkan dalam berbagai konvensi internasional lainnya. Seharusnya kajian tersebut dilakukan oleh para ahli hukum secara komprehensif sebelum (Delegasi Republik) Indonesia menyatakan persetujuannya, sehingga dapat dicermati bagian-bagian mana dari substansi konvensi tersebut kemungkinan mengandung benturan norma (conflicting norms) dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Semoga hasil analisis UNTOC bermanfaat bagi Kementerian Hukum dan HAM sebagai bahan referensi untuk menyempurnakan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang direncanakan akan disampaikan Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun ini (2011). Jakarta, 5 Januari 2011 Tim Kajian
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan Rahmat dan Karunia-Nya Kajian tentang Kesenjangan antara Peraturan Perundang-undangan Indonesia dengan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC Gap Analysis) yang merupakan hasil kerjasama Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dengan National Legal Reform Program (NLRP) Belanda dapat diselesaikan. Dalam pelaksanaannya kerjasama tersebut melibatkan tenaga ahli, yakni Dr. Ramelan, S.H., M.H., Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H., I Wayan Parthiana, S.H., M.H., dan Ms. Marjorie Bonn (tenaga ahli dari Belanda) serta masukan dari Kementerian-kementerian terkait. Kajian ini merupakan kajian hukum normatif atau kajian hukum doktrinal yang bertujuan untuk mengkaji apakah ketentuan atau aturan dan norma yang ada di dalam UNTOC terdapat kesenjangan atau apakah sudah di implementasikan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Hasil pengkajian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dan arahan bagi pembentuk undang-undang dalam rangka menyusun undang-undang baru dalam bidang yang berkaitan dengan substansi UNTOC. Pada kesempatan ini kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, juga kepada pihak National Legal Reform Program (NLRP) yang telah memfasilitasi kegiatan dimaksud sehingga kajian tersebut dapat selesai. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan hasil kerja dari Tim Kajian tentang Kesenjangan
Sambutan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan
U NTOC G A P A NA LYS I S
SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
vii
antara Peraturan Perundang-undangan Indonesia dengan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC Gap Analysis). Semoga kajian ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin… Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Jakarta, 22 Desember 2010 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
U NTOC G A P A NA LYS I S
DR. WAHIDUDDIN ADAMS, S.H.,M.A
viii
Sambutan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
BERLAKUNYA UNTOC DI DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL INDONESIA Majelis Umum PBB telah memprakarsai penyelenggaraan Konperensi Internasional tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi di Palermo, Italia. Melalui perundingan yang cukup alot dan melelahkan, negara-negara peserta Konperensi berhasil menyepakati United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC). Sesuai dengan Pasal 36 ayat 1, UNTOC terbuka bagi semua negara untuk penandatanganan dari tanggal 12 – 15 Desember 2000 di Palermo, Italia dan selanjutnya di Markas Besar PBB di New York hingga tanggal 12 Desember 2002. Perlu diketahui, bahwa penandatanganan ini barulah tahap penerimaan dan persetujuan atas naskah perjanjian oleh wakil-wakil dari negara-negara yang menghadiri konperensi, sebagai naskah yang final dan otentik. Namun, sampai tahap penandatanganan ini, UNTOC belum berlaku atau belum mengikat sebagai hukum internasional positif. Untuk dapat berlaku atau mengikat sebagai hukum internasional positif, berdasarkan Pasal 36 ayat 3, negara-negara diberi kesempatan untuk menyatakan persetujuannya untuk terikat pada (consent to be bound by) Konvensi dengan cara melakukan peratifikasian (ratification), penerimaan (acceptance), persetujuan (approval) atau aksesi (accession). Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat 1, Konvensi ini akan mulai berlaku (entry into force) pada hari kesembilan puluh setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi (ratification), penerimaan (acceptance), persetujuan (approval) atau aksesi (accession) yang keempat puluh. Dengan telah dipenuhinya ketentuan Pasal 38 ayat 1 maka kini UNTOC sudah berlaku sebagai hukum internasional positif. Akan tetapi, sesuai dengan salah satu prinsip hukum perjanjian (internasional), yakni pacta tertiis nec nosent nec prosunt, UNTOC hanya berlaku dan mengikat terhadap negara-negara yang sudah menyatakan persetujuannya untuk terikat, baik hal itu dilakukan dengan peratifikasian, penerimaan, persetujuan, ataupun pengaksesian. Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional yang sering menghadapi kasus-kasus kejahatan transnasional terorganisasi yang terus berkembang dengan segala akibatnya, juga telah meratifikasi Konvensi ini dan selanjutnya memberlakukan (mengesahkan dan mengundangkan) ke dalam hukum nasionalnya dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Transnational Organized Crime” (Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi) pada tanggal 12 Januari 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4960). Dengan demikian, maka semenjak itu, UNTOC secara yuridis formal Pendahuluan
U NTOC G A P A NA LYS I S
1.
3
telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi tersebut maka Konvensi dimaksud perlu ditransformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional yaitu dengan membuat ketentuan-ketentuan untuk menampung apa yang diatur di dalam Konvensi yang telah diterima dan disahkan. Asas-asas hukum pidana internasional yang baru, sebagaimana dimuat dalam Konvensi, akan membuka wawasan baru dalam perkembangan penerapan hukum pidana nasional.
2.
SISTEMATIKA DAN SUBSTANSI UNTOC
U NTOC G A P A NA LYS I S
Berbeda dengan perjanjian internasional pada umumnya ataupun perjanjian tentang kejahatan internasional pada khususnya yang memiliki sistematika yang sudah baku, yakni, terdiri dari preambul (preamble) yang berisi dasardasar pertimbangan dan maksud serta tujuan mengapa perjanjian itu dibuat, kemudian berlanjut dengan batang tubuh yang memuat substansinya yang terbagi menjadi bab-bab dan bab-bab ini terdiri dari satu atau lebih pasal, sebaliknya UNTOC sama sekali tidak memuat preambul ataupun pembagian atas batang tubuhnya menjadi bab-bab melainkan langsung dijabarkan dalam bentuk pasal-pasal (dari pasal yang paling awal sampai yang paling akhir). Oleh karena itu, untuk menelaah substansinya secara lebih mendalam, tidak ada jalan lain selain dengan mengikuti urutan pasal-pasalnya. Namun demikian, penguasaan dan pemahaman secara utuh dan terpadu atas UNTOC itu sendiri merupakan suatu keharusan sebab antara pasal yang satu dengan yang lain saling berhubungan dan di dalam keseluruhannya itulah terkandung maksud dan tujuan dari Konvensi ini.
4
Secara keseluruhan, substansi UNTOC secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni: a.
Kaidah hukum materiil-substansial yakni tentang kejahatan itu sendiri sebagaimana dapat dijumpai dalam Pasal 5, 6, 8, 9 dan 23, tentang yurisdiksi (Pasal 15) maupun hal-hal yang terkait dengan itu, antara lain tentang istilah-istilah yang digunakan (Pasal 2), ruang lingkup berlakunya Konvensi (Pasal 3), prinsip perlindungan dan penghormatan atas kedaulatan negara-negara peserta atau pihak pada Konvensi (Pasal 4);
b.
Kaidah hukum formal-prosedural, yakni, tentang masalah-masalah prosedural penanganan perkara, yang meliputi kerjasama internasional antara negara-negara peserta Konvensi, seperti ekstradisi (Pasal 16), pemindahan narapidana (Pasal 17), dan kerjasama timbal balik dalam masalah pidana yang disebut juga dengan bantuan hukum timbal balik (Pasal 18) ataupun pasal-pasal lainnya yang berkenaan dengan kerjasama internasional.
Perlu ditegaskan disini, bahwa pembedaan ini bukanlah sesuatu yang bersifat hitam dan putih sebab di dalam kaidah hukum formal-prosedural itupun Pendahuluan
terdapat hal-hal yang bersifat materiil-substansial, atau ada pasal-pasal yang substansinya merupakan area abu-abu (grey area). Pembedaan ini sekadar untuk memudahkan dalam penelaahannya saja.
a.
Perlindungan kedaulatan negara sesuai dengan hak eksklusif suatu negara yang ditentukan dalam Pasal 4 Konvensi yaitu Negara Pihak wajib melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan prinsipprinsip kedaulatan yang sejajar dan integritas wilayah negara-negara dan prinsip tidak melakukan intervensi terhadap masalah dalam negeri negara lain. Konvensi juga tidak memberikan hak kepada suatu Negara Pihak untuk mengambil tindakan dalam wilayah Negara Pihak lainnya untuk menerapkan yurisdiksi dan melaksanakan fungsi-fungsi yang hanya dimiliki oleh pejabat berwenang Negara Pihak lain berdasarkan hukum nasionalnya.
b.
Pertanggungjawaban badan hukum bukan hanya pidana saja tetapi juga meliputi tanggungjawab menurut hukum perdata dan hukum administrasi. Oleh karena itu, sanksi yang diterapkan bukan hanya sanksi hukum pidana tetapi juga sanksi yang bersifat pelarangan termasuk sanksi moneter (Pasal 10).
c.
Tenggang waktu daluwarsa ditentukan lebih panjang dan ditentukan lebih panjang lagi bila tersangka menghindari pelaksanaan proses peradilan (Pasal 11).
d.
Perluasan yurisdiksi kriminal dengan menerapkan asa extra-territorial jurisdiction, perluasan asas teritorial yang ditentukan dalam Pasal 15: 1)
Hukum pidana nasional memiliki yurisdiksi atas setiap tindak pidana jika:
tindak pidana dilakukan terhadap warga negara dari Negara Pihak tersebut;
tindak pidana dilakukan oleh warga negara dari Negara Pihak yang bersangkutan atau oleh orang yang tidak memiliki kewarganegaraan yang biasa bertempat tinggal di dalam wilayah negara yang bersangkutan atau;
tindak pidananya adalah satu dari tindak pidana yang ditetapkan Pasal 5 Ayat (1) dan dilakukan di luar wilayahnya dengan tujuan melakukan tindak pidana serius dalam wilayahnya;
tindak pidananya adalah satu dari tindak pidana yang ditetapkan dalam Pasal 6 Ayat (1) (b) (ii) Konvensi yang dilakukan di luar wilayah dengan tujuan untuk melakukan tindak pidana dalam wilayahnya. Pendahuluan
U NTOC G A P A NA LYS I S
Konvensi memuat asas-asas hukum pidana sejalan dengan perkembangan asas-asas hukum internasional yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan hukum nasional, yaitu:
5
2)
memberlakukan yurisdiksi hukum nasionalnya atas tindak pidana yang diatur dalam Konvensi ketika tersangka berada di wilayahnya dan tidak melakukan ekstradisi atas orang tersebut dengan alasan semata-mata bahwa ia adalah warganegaranya.
3)
memberlakukan yurisdiksi hukum nasionalnya ketika tersangka berada dalam wilayahnya dan tidak melakukan ekstradisi atas orang tersebut.
U NTOC G A P A NA LYS I S
Dari sisi lain, Konvensi ini dapat pula dipandang sebagai pengintegrasian dari empat substansi besar yang masing-masing sudah lazim diatur di dalam perjanjian-perjanjian internasional tersendiri. Keempatnya itu adalah, tentang kejahatan atau tindak pidana itu sendiri (Pasal 5, 6, 8, 9 dan 23), tentang ekstradisi (Pasal 16), pemindahan narapidana (Pasal 17), kerjasama timbal balik dalam masalah pidana atau bantuan hukum timbal balik (Pasal 18). Bahkan, aturan tentang ekstradisi (Pasal 16 ayat 1 - 17) dan bantuan hukum timbal balik (Pasal 18 ayat 1 – 30) dapat dipandang sebagai pemadatan atau pemampatan dari masing-masing pranata hukum tersebut. Selain dari keempat bidang tersebut, di dalam beberapa pasal lainnya juga terkandung tentang masalah-masalah yang lebih bersifat teknis-operasional yang juga dapat diatur dan dirumuskan dalam suatu perjanjian kerjasama dalam tingkatan yang self-executing, seperti kerjasama antara aparataparat penegak hukum (Pasal 26), kerjasama penegakan hukum (Pasal 27), pengumpulan, pertukaran dan analisis informasi tentang sifat tindak pidana terorganisasi (Pasal 28). Bahkan ada pula ketentuannya yang secara langsung dapat dilaksanakan pada tataran domestik negara-negara peserta/pihak ataupun pada tataran internasional melalui kerjasama antara aparat penegak hukum, seperti tentang pelatihan dan bantuan teknis (Pasal 29).
6
Tentu saja dalam Konvensi ini, sebagaimana konvensi pada umumnya, terdapat ketentuan-ketentuan yang sudah baku dan lazim, walaupun tidak persis sama antara yang satu dengan lainnya. Ketentuan-ketentuan itu antara lain adalah, tentang konperensi para pihak pada Konvensi (Pasal 32), sekretariat (Pasal 33), pelaksanaan Konvensi (Pasal 34), penyelesaian sengketa (Pasal 35), penandatanganan, peratifikasian, penerimaan, persetujuan dan aksesi (Pasal 36), hubungan konvensi dengan protokol (Pasal 37), pemberlakuan (Pasal 38), amendemen (Pasal 39), penarikan diri (Pasal 40), penyimpanan dan bahasa (Pasal 41). Dengan menetapkan tindak pidana serius (serious crime) sebagai tindakan yang merupakan suatu tindak pidana yang dapat dihukum dengan maksimum penghilangan kemerdekaan paling kurang empat tahun atau sanksi yang lebih berat (Pasal 2 huruf b) maka setiap tindak pidana yang ancaman hukumannya sama dengan atau lebih berat dari batas tersebut, sepanjang tergolong sebagai tindak pidana transnasional terorganisasi maka akan terliput di dalamnya, termasuk tindak pidana yang secara tegas diatur di dalam Pasal 5, 6, 8 dan 23 UNTOC. Dalam hukum pidana nasional Indonesia, tidak pernah ada sebutan khusus Tindak Pidana Serius. Selama ini hanya secara implisit saja tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun ke atas dikategorikan
Pendahuluan
Pada lain pihak, substansi Konvensi sebagaimana dapat dijumpai di dalam beberapa pasalnya, ada yang membebani kewajiban untuk mengambil tindakan kepada negara-negara pesertanya (Each State Party shall ………), antara lain seperti dapat dijumpai dalam pasal-pasal yang berisi kaidahkaidah hukum materiil-substansial (Pasal 4 ayat 1, Pasal 5 ayat 1, Pasal 6 ayat 1, Pasal 7 ayat 1, Pasal 8 ayat 1, Pasal 10 ayat 1 dan Pasal 23 ayat 1). Ketentuan yang bernada perintah (mewajibkan) yang sifatnya imperatif ini, mau tidak mau haruslah dilaksanakan oleh negara-negara peserta atau pihak pada UNTOC. Ada pula ketentuannya yang berisi kewajiban untuk mempertimbangkan (States Parties /Each State Party shall consider ………) antara lain terdapat dalam Pasal 16 ayat 2, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 26 ayat 2, dan Pasal 28). Walaupun kewajiban ini juga bernada sebagai perintah, namun putusan akhir dari kewajiban untuk pertimbangan itu sepenuhnya terletak pada negara-negara peserta yang bersangkutan sebab kewajiban yang dibebankan itu hanya terbatas untuk mempertimbangkan saja. Selain itu, ada ketentuan yang sifatnya sepenuhnya fakultatif (Each State Party may ………). Oleh karena sifatnya yang fakultatif maka pelaksanaannya tentulah sepenuhnya tergantung pada negara-negara yang bersangkutan. Hal ini antara lain dapat dijumpai dalam Pasal 14 ayat 3, Pasal 17, Pasal 18 ayat 16, dan Pasal 22.
3.
DAMPAK UNTOC TERHADAP PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN INDONESIA UNTOC yang kini sudah menjadi bagian dari dan berlaku sebagai hukum (positif) nasional Indonesia, secara yuridis formal sejajar kedudukannya dengan undang-undang nasional Indonesia yang lain pada umumnya, undangundang pidana pada khususnya. Sebagai hukum yang berasal dari luar yang substansinya tidak dibuat oleh institusi pembuat undang-undang (Presiden dan DPR) melainkan hanya disetujui saja, tidak akan dapat dielakkan lagi dampaknya terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan nasional Indonesia yang lainnya yang sudah ada dan lebih dahulu berlaku sebagai hukum positif. Apa dan bagaimana saja dampaknya itu? UNTOC sebagai sebuah konvensi dalam ruang lingkup hukum pidana internasional, sebenarnya dampaknya terhadap hukum pidana nasional Indonesia, sama saja seperti dampak dari konvensi-konvensi lainnya dalam bidang hukum pidana internasional, terhadap hukum atau undangundang pidana nasional Indonesia. Dampak tersebut akan cukup besar terjadinya terutama yang berkenaan dengan ketentuan UNTOC yang bersifat imperatif. Sedangkan ketentuan UNTOC yang bersifat fakultatif, dampaknya itu relatif kecil. Namun, meskipun kecil, tetap harus diberikan Pendahuluan
U NTOC G A P A NA LYS I S
sebagai tindak pidana serius. Namun karena merupakan poros dari tindak pidana yang lain yang tentu saja sudah ada pengaturannya di dalam hukum pidana nasional Indonesia, maka keberadaan dari tindak pidana serius ini merupakan kaidah hukum pidana baru yang membungkus banyak macam tindak pidana yang sudah ada sebelumnya.
7
perhatian yang sungguh-sungguh karena bersentuhan dengan peraturan perundang-undangan nasional yang ada hubungannya dengan ketentuan UNTOC tersebut. Untuk menyelesaikan dampak ini, maka Indonesia harus mentransformasikan substansinya ke dalam hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya. Secara sistematika, pentransformasian itu dapat disistematikakan sebagai berikut: Pertama; ada ketentuan UNTOC yang baru sama sekali dan tidak ada padanan atau pengaturannya di dalam hukum nasional Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia harus membuat undang-undangnya yang baru. Hal ini terutama berkenaan dengan substansi yang berupa kaidah hukum pidana materiilsubstansial, seperti tentang kejahatan atau tindak pidana yang ditegaskan di dalam salah satu atau beberapa pasalnya.
U NTOC G A P A NA LYS I S
Kedua; ada ketentuan UNTOC yang sudah ada padanan atau pengaturannya di dalam hukum nasional Indonesia. Jika demikian halnya, maka ada kemungkinan ketentuan UNTOC lebih lengkap atau lebih sempurna pengaturannya. Dalam hal ini, Indonesia haruslah menyesuaikan atau menyelaraskan ketentuan undang-undang nasionalnya dengan ketentuan UNTOC. Jika ketidak-sesuaian atau ketidak-selarasan itu sedemikian besarnya, Indonesia harus mengubah undang-undangnya tersebut bahkan harus membuat undang-undang baru yang substansinya sesuai/selaras dengan UNTOC untuk menggantikan undang-undang yang lama itu. Ketiga; sebaliknya jika pengaturan substansinya di dalam hukum atau undang-undang nasional justru sudah lebih lengkap sedangkan di dalam UNTOC justru tidak ada pengaturannya, hal ini tentulah sangat positif dan bisa dipertahankan terus. Bila perlu, diusulkan supaya ketentuan tersebut dimasukkan menjadi ketentuan UNTOC dengan melakukan pengamendemenannya.
8
4.
RELEVANSI PENGKAJIAN ATAS KESENJANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA TERHADAP UNTOC Atas dasar apa yang telah dipaparkan di atas, kiranya sangat relevan untuk dikaji secara lebih mendalam tentang sejauhmanakah terjadinya kesenjangan antara hukum atau peraturan perundang-undangan nasional Indonesia berkenaan dengan masuk dan berlakunya UNTOC ke dalam sistem hukum nasional Indonesia serta dampak-dampaknya terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan nasional Indonesia. Dengan pengkajian ini, diharapkan dapat diperoleh gambaran baik secara umum ataupun secara lebih rinci tentang kekurangan ataupun kelebihan dari hukum atau peraturan perundang-undangan nasional Indonesia terhadap UNTOC. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa setiap konvensi internasional pada umumnya, konvensi tentang kejahatan internasional pada khususnya, secara umum merupakan sesuatu hal yang baru ataupun kalau bukan merupakan
Pendahuluan
Hasil pengkajian atas kesenjangan ini, selanjutnya akan dapat dijadikan sebagai masukan bagi pembentuk undang-undang dalam rangka membuat undang-undang baru dalam bidang yang berkenaan dengan substansi UNTOC ataupun demi penyempurnaan peraturan perundang-undang lain yang ada kaitannya. Semua itu dalam rangka pentransformasian UNTOC ke dalam hukum nasional Indonesia. Pada akhirnya, walaupun bukan yang terakhir, akan terhindarkan atau terkurangi adanya ketentuan-ketentuan dalam UNTOC yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang terkait. Demikian pula akan terhindarkan kekosongan hukum yang terjadi sebagai akibat dari masih adanya kesenjangan tersebut. Secara ideal, diharapkan terwujud adanya keharmonisan antara keduanya.
5.
METODA PENGKAJIAN Kajian yang dilakukan ini merupakan kajian hukum normatif atau kajian hukum doktrinal, karena sumber data yang dikaji adalah data sekunder berupa bahan hukum, baik bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Bahan utamanya adalah bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini United Nations Convention Against Transnational Organized Crime dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Untuk peraturan perundang-undangan Indonesia, lebih dikhususkan pada tingkatan UU dan Peraturan Pemerintah. Ketentuan atau aturan dan norma yang ada di dalam UNTOC dijadikan acuan untuk melihat apakah sudah diimplementasikan dalam ketentuan berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia. Apabila sudah ada ketentuan serupa, lebih jauh dilihat pula apakah sudah sepenuhnya mengakomodasi norma yang diamanatkan dalam ketentuan UNTOC. Jadi bila dilihat dari perspektif tujuannya penelitian hukum normative ini merupakan penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum secara horizontal. Hal yang diteliti adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan nasional Indonesia sinkron dengan ketentuan dalam UNTOC. Penelitian sinkronisasi ini di samping mendapatkan data yang lengkap dan menyeluruh mengenai perundang-undangan yang relevan dengan ketentuan UNTOC, juga dapat mengungkapkan kelemahan dan kelebihan yang ada pada perundangundangan Indonesia yang terkait materi yang diatur dalam UNTOC. Dengan demikian, peneliti dapat memberikan rekomendasi terhadap perundangundangan tersebut. Oleh karena pengkajian dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
Pendahuluan
U NTOC G A P A NA LYS I S
hal yang baru, namun banyak ataupun sedikit, mengandung unsur-unsur baru yang kadang-kadang tidak atau belum diatur di dalam hukum nasional. Ataupun jika sudah diatur, ternyata masih mengandung kekurangan setelah diperbandingkan dengan ketentuan Konvensi. Inilah yang pada umumnya merupakan kesenjangan yang sering dapat dijumpai antara hukum atau peraturan perundang-undangan nasional negara-negara dengan konvensi pada umumnya, tidak terkecuali dengan hukum nasional Indonesia dalam hubungannya dengan UNTOC.
9
tertentu, maka pendekatannya adalah pendekatan undang-undang (statute approach). Dalam hal ini isu hukum yang menjadi obyek kajian adalah kejahatan transnasional yang terorganisasi.
U NTOC G A P A NA LYS I S
Untuk memudahkan pengkajian, digunakan metode matriks yakni dengan menempatkan secara sejajar ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang dikaji di dalam masing-masing kolom yang berbeda sehingga akan lebih jelas tampak tampilannya. Dalam pengkajian ini, instrumen hukum yang dijadikan sebagai fokus atau titik sentral adalah UNTOC itu sendiri. Oleh karena itu, UNTOC ditempatkan di dalam kolom pertama, dengan rumusan yang lengkap sesuai dengan urutan pasal-pasalnya. Pada kolom kedua, ditempatkan peraturan perundang-undangan nasional Indonesia -khususnya pasal-pasalnya- yang ada hubungannya dengan pasalpasal UNTOC dalam kolom pertama. Dengan menyejajarkan penempatannya dalam masing-masing kolom, akan lebih mudah untuk membandingkannya dalam rangka menemukan kelebihan ataupun kekurangan yang satu dari yang lain. Sebagai hukum yang berasal dari luar dan merupakan hasil kesepakatan dari negara-negara yang menjadi pihak/pesertanya, UNTOC mengandung kaidahkaidah atau nilai-nilai hukum baru yang dalam beberapa hal tidak terdapat di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan Indonesia. Ataupun jika sudah ada pengaturannya, boleh jadi terdapat perbedaan antara keduanya. Atau sebaliknya, suatu substansi ternyata sudah ada pengaturannya di dalam peraturan perundang-undangan nasional tetapi ternyata tidak ada di dalam UNTOC. Dalam hal ini, justru peraturan perundang-undangan nasional menunjukkan langkah yang lebih maju ketimbang UNTOC, meskipun dalam kenyataan, masalah seperti ini secara kuantitatif tidaklah banyak. Juga ada kemungkinan, keduanya mengandung kekurangan, tegasnya, sama-sama tidak mengatur tentang suatu hal yang seharusnya diatur. Pengkajian atau penganalisisan ini ditempatkan dalam kolom ketiga, sehingga akan lebih tampak permasalahannya.
10
Namun karena hukum merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdapat sub-sub sistem yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya dan yang keseluruhannya merupakan suatu keterpaduan yang utuh, maka ada kemungkinan terdapat aspek-aspek lain yang terkait yang perlu dipertimbangkan. Aspek-aspek lain ini dapat dikatakan meliputi segala macam, baik peraturan perundang-undangan ataupun masalah-masalah lain yang lebih bersifat teknis-operasional. Aspek-aspek lain ini diberikan tempat dalam kolom keempat, untuk menunjukkan keterkaitannya dengan pengkajian atau penganalisisan dalam kolom ketiga. Akhirnya pada kolom kelima, dapat dikemukakan rekomendasi berdasarkan hasil pengkajian tersebut. Rekomendasi itu dapat berupa, langkah apa yang seharusnya ditempuh atau dilakukan. Misalnya, apakah perlu dibuat undangundang baru tentang apa yang diatur dalam UNTOC, apakah ketentuan tertentu dari UNTOC harus diadopsi untuk menggantikan ketentuan yang sama yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, apakah ketentuan peraturan perundang-undangan harus diamendemen atau direvisi untuk disesuaikan dengan ketentuan UNTOC dan sebagainya. Pendahuluan
BAB
II KESENJANGAN ANTARA UNTOC DENGAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN INDONESIA
1.
PERNYATAAN TUJUAN (PASAL 1)
1.1.
Pendekatan UNTOC Pasal 1 Konvensi menegaskan tujuan yang hendak dicapai, yakni, memajukan kerjasama dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional terorganisasi secara lebih efektif. Penegasan dalam Pasal 1 Konvensi ini, dapat dipandang sebagai tujuan dari konvensi-konvensi tentang kejahatan atau tindak pidana internasional pada umumnya. Hal ini disebabkan karena tindak pidana internasional atau transnasional bagaimanapun juga melibatkan sekurang-kurangnya dua negara, yang pencegahan ataupun pemberantasannya akan lebih efektif jika dilakukan melalui suatu kerjasama (internasional) dibandingkan dengan bila masing-masing negara melakukan pencegahan dan pemberantasannya secara sendiri-sendiri.
1.2.
Masalah Pokok yang Dihadapi Indonesia Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan (archipelagic state) yang secara geografis sangat strategis karena terletak antara dua benua dan dua samudera yang cukup ramai lalu lintas pelayaran maupun penerbangannya, juga sangat strategis bagi para pelaku dari pelbagai macam kejahatan internasional/ transnasional, termasuk pelaku kejahatan transnasional terorganisasi. Mereka bisa bekerjasama dengan sesama rekannya yang berada di negara lain, apakah kejahatan itu dilakukan di dalam wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia, apakah korbannya terjadi di wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonsia, ataukah kombinasi antara semuanya. Bentuk dan jenis kejahatannyapun semakin canggih, terutama karena ditunjang oleh sarana teknologi yang mutakhir. Sebagai akibatnya, korbannyapun baik berupa orang ataupun harta benda, cukup banyak berjatuhan. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional, harus berperan aktif dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan internasional seperti kejahatan transnasional terorganisasi, baik secara tersendiri, ataupun dengan melalui kerjasama internasional.
1. 3.
Langkah Hukum yang Ditempuh Indonesia Demi mewujudkan kerjasama tersebut, Indonesia dalam perundangundangan pidana nasionalnya, belakangan ini hampir selalu mencantumkan di dalam salah satu butir konsideransnya tentang dimensi internasional dari tindak pidana yang diatur di dalam undang-undang yang bersangkutan. Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
KESENJANGAN ANTARA UNTOC DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
13
Demikian pula dalam Penjelasan, secara tegas ataupun tersimpul, dinyatakan tentang perlunya kerjasama internasional dalam pencegahan ataupun pemberantasannya. Ini menunjukkan, bahwa hukum nasional Indonesia tidaklah seperti katak dalam tempurung, melainkan sudah membuka pintu dan jendela untuk memandang ke luar, bahwa dibutuhkan kerjasama (antara negara-negara) dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana internasional/transnasional. Masih dalam rangka pencegahan dan pemberantasan, Indonesiapun telah mengadakan perjanjian-perjanjian bilateral ataupun multilateral sebagai sarana pencegahan dan pemberantasan tindak pidana internasional/ transnasional, seperti perjanjian tentang ekstradisi, perjanjian tentang kerjasama timbal balik dalam masalah pidana. Demikian pula keterlibatan Kepolisian Republik Indonesia dalam INTERPOL ataupun ASEANAPOL ataupun kerjasama kepolisian di wilayah-wilayah perbatasan.
U NTOC G A P A NA LYS I S
Hanya saja berkenaan dengan kejahatan atau tindak pidana transnasional terorganisasi sebagaimana diatur dalam UNTOC, hingga kini Indonesia belum memiliki undang-undang pidana positif (nasional) yang secara khusus mengaturnya. Akibatnya, semua langkah kerjasama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan atau tindak pidana internasional/transnasional yang telah ditempuh oleh Indonesia tersebut tidak bisa diberlakukan terhadap kejahatan atau tindak pidana transnasional terorganisasi.
14
2.
PEMAKAIAN ISTILAH (PASAL 2) Pasal 2 Konvensi mengenalkan 10 (sepuluh) macam istilah disertai dengan pengertiannya masing-masing. Sebagian dari istilah tersebut ada yang sudah dikenal di dalam hukum pidana nasional Indonesia, seperti, kekayaan, pembekuan atau penyitaan, dan perampasan. Istilah-istilah dalam Pasal 2 UNTOC tersebut boleh jadi mengandung makna yang sama atau hampir sama ataupun berbeda dengan yang terdapat di dalam hukum pidana nasional Indonesia. Sebagian lagi merupakan istilah yang relatif baru atau asing yang belum dikenal atau belum familiar di dalam hukum pidana nasional Indonesia, seperti, kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi, tindak pidana serius, kelompok terstruktur, dan pengiriman terkendali. Adanya pelbagai macam istilah dengan makna yang sama, hampir sama bahkan ada yang berbeda ataupun istilah yang sama sekali baru dan asing di dalam hukum pidana nasional Indonesia, terutama yang dikenalkan oleh konvensi-konvensi internasional seperti UNTOC, jika dibiarkan berlangsung sebagaimana adanya, akan dapat menimbulkan multi interpretasi dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu perlu dilakukan pembakuan istilah, sehingga setiap istilah memiliki makna atau pengertian yang sama, atau jika harus dibedakan sesuai dengan konteks pemakaiannya, semua itu haruslah bisa dipahami dengan jelas oleh setiap orang.
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
3.
RUANG LINGKUP PEMBERLAKUAN ( PASAL 3)
Jenis-jenis tindak pidana yang masuk dalam lingkup UNTOC, sebenarnya sudah ada pengaturannya dalam hukum pidana nasional Indonesia. Hanya saja pemaknaan dan luas lingkup pengaturannya tidak sepenuhnya sama dengan yang dikehendaki oleh UNTOC. Menjadi pertanyaan, mengapa UNTOC secara khusus menyerukan kepada negara-negara pihak, supaya mengkriminalisasikan keempat jenis kejahatan tersebut? Tampaknya hal ini disebabkan karena negara-negara peserta dalam Konperensi Palermo melihat masih cukup banyak adanya negara-negara yang belum menetapkan salah satu ataupun keempat jenis kejahatan itu sebagai tindak pidana di dalam hukum nasionalnya. Ataupun jika sudah, barangkali substansinya masih belum memadai. Di samping itu, keempat jenis kejahatan itulah belakangan ini yang seringkali dilakukan secara terorganisasi dan lintas batas negara atau transnasional. Sedangkan mengenai tindak pidana serius, seperti telah disebutkan dalam bagian Pemakaian Istilah, tidak pernah secara khusus digunakan namun beberapa undang-undang umumnya menyiratkan bahwa tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun ke atas adalah tindak pidana serius. Dengan demikian, baik istilah dan kriteria ini harus diperjelas dan disesuaikan dengan Konvensi.
4.
PERLINDUNGAN KEDAULATAN (PASAL 4) Pasal 4 ayat 1 dan 2 tentang Perlindungan Kedaulatan bersifat deklaratif, yakni, menyatakan sesuatu yang sebenarnya memang sudah demikian adanya. Tanpa dinyatakan secara tegaspun, negara-negara dalam hubunganhubungan internasional memang harus bertindak demikian karena semua negara di dunia berkedudukan sejajar atau sama derajat. Atas dasar itulah maka negara-negara harus saling menghormati kedaulatan dan kemerdekaan masing-masing, tidak boleh melakukan intervensi, tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang berupa penerapan kedaulatan ataupun yurisdiksi di dalam wilayah negara lain tanpa persetujuannya. Semuanya ini sudah merupakan prinsip-prinsip umum dari hukum internasional modern. Namun dalam prakteknya, tidak semua negara di dunia ini menaati prinsipprinsip umum dari hukum internasional ini. Ada negara-negara yang dengan dalih mencegah dan memberantas kejahatan lintas batas negara (transnasional), ternyata melakukan pencarian dan penangkapan langsung Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
Mengenai ruang lingkup berlakunya UNTOC adalah seperti ditegaskan dalam Pasal 3 ayat 1 huruf a dan b. Pasal 3 ayat 1 huruf a menegaskan empat jenis tindak pidana yakni; berpartisipasi dalam kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi (Pasal 5), tindak pidana yang merupakan pencucian hasil tindak pidana (Pasal 6), tindak pidana korupsi (Pasal 8), dan tindak pidana yang merupakan gangguan terhadap proses peradilan (Pasal 23). Sedangkan Pasal 3 ayat 1 huruf b menambahkan lagi ruang lingkup berlakunya, yakni, mencakup tindak pidana serius (serious crime), sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 huruf b.
15
atas seorang pelakunya yang berada di wilayah negara lain. Ataupun melakukan tindakan-tindakan dan pemaksaan (secara fisik ataupun psikis) terhadap negara lain yang pada umumnya lebih lemah dengan alasan negara itu menjadi sarang terorisme ataupun sarang kelompok kriminal lainnya. Tindakan seperti ini jelas merupakan intervensi dan pelanggaran atas kedaulatan negara lain. Adanya Pasal 4 ayat 1 dan 2 ini harus dipandang sebagai peringatan terhadap negara-negara peserta UNTOC, supaya dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional terorganisasi, tetap menghormati dan melindungi kedaulatan sesama negara.
U NTOC G A P A NA LYS I S
5.
16
KRIMINALISASI ATAS PARTISIPASI DALAM KELOMPOK PELAKU TINDAK PIDANA TERORGANISASI (PASAL 5) Ketentuan dalam Pasal 5 UNTOC menghendaki negara peserta menetapkan sebagai suatu tindak pidana perbuatan seseorang atau beberapa orang yang melibatkan diri dalam kegiatan kelompok terorganisasi. Jadi yang harus menjadi fokus perhatian dalam hal ini adalah bukan pada keterlibatan dalam pembentukan kelompok terorganisasi untuk melakukan tindak pidana, tetapi lebih pada bagaimana seseorang atau beberapa orang melibatkan diri dalam kegiatan dari kelompok terorganisasi yang sudah ada dan diketahuinya beraktifitas melakukan tindak pidana. Ketentuan tentang penyertaan maupun permufakatan jahat yang ada dalam perundang-undangan Indonesia, dapat dikatakan belum mengakomodasi amanat Konvensi tentang masalah partisipasi dalam kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi, karena: 1.
Ketentuan tentang penyertaan dan permufakatan jahat dalam ketentuan hukum pidana Indonesia tidak dengan sendirinya dapat digunakan memidana orang yang terlibat, tetapi masih harus dikaitkan dengan tindak pidana apa yang dilakukan atau akan dilakukan. Singkatnya penyertaan dan permufakatan jahat bukan tindak pidana. Sedangkan Konvensi menghendaki keterlibatan dalam kelompok terorganisasi ditetapkan sebagai suatu tindak pidana.
2.
Penyertaan dan permufakatan jahat selama ini digunakan dalam hal keterlibatan orang-perorangan; bukan untuk masalah keterlibatan seseorang dalam hubungannya dengan kelompok terorganisasi
3.
Perbuatan yang diamanatkan oleh Konvensi lebih luas daripada yang selama ini masuk dalam lingkup pengertian penyertaan dan permufakatan jahat menurut ketentuan hukum pidana Indonesia.
Demikian pula halnya dengan ketentuan Pasal 169 KUHP yang melarang keterlibatan seseorang dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan. Meskipun ketentuan ini sesungguhnya telah sejalan dengan semangat Pasal 5 Konvensi; namun ketentuan ini masih bersifat sangat umum dan pada kenyataannya hampir tidak pernah digunakan lagi. Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Meskipun UU Narkotika telah mengakomodasi sebagian ketentuan Pasal 5 Konvensi dalam memaknai permufakatan jahat, namun ketentuan ini hanya akan berlaku bagi tindak pidana narkotika. Untuk bentuk keterlibatan yang lain pun tidak diatur secara khusus. Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka perlu untuk mengakomodasi Ketentuan Pasal 5 Konvensi dengan merumuskannya sebagai perluasan penyertaan dalam hukum pidana Indonesia. Dengan demikian akan dapat diberlakukan untuk semua keterlibatan dalam tindak pidana yang masuk cakupan tindak pidana transnasional terorganisasi.
KRIMINALISASI ATAS PENCUCIAN HASIL TINDAK PIDANA (PASAL 6) Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo UndangUndang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan demikian maka apa yang diamanatkan dalam Pasal 6 Konvensi ini sudah terjawab. Undang-Undang ini telah merumuskan perbuatan pemindahan kekayaan dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagai tindak pidana pencucian uang. Selain telah merinci tindak pidana asal yang masuk dalam lingkup ketentuan tindak pidana pencucian uang, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang juga telah memberikan ruang jangkauan yang luas dengan memasukkan kriteria tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih sebagai tindak pidana asal. Sejalan dengan ketentuan Konvensi, UU Indonesia tentang Pencucian uang secara tegas menyatakan menganut asas kriminalitas ganda (double criminality) yaitu bahwa perbuatan yang dilakukan di luar wilayah negara Republik Indonesia, sepanjang dipandang sebagai tindak pidana menurut hukum di negara yang bersangkutan, dan menurut hukum Indonesia juga merupakan tindak pidana maka termasuk dalam kategori tindak pidana asal sebagaimana dirinci dalam UU Pencucian Uang.
7.
UPAYA MEMBERANTAS PENCUCIAN UANG (PASAL 7) Upaya memberantas pencucian uang di Indonesia dilakukan melalui upaya penal maupun non penal, yang melibatkan berbagai komponen, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2002 jo UU Nomor 25 Tahun 2003, yaitu : 1.
Penyedia jasa keuangan sebagai pihak pelapor transaksi mencurigakan yang terdiri dari bank, perusahaan sekuritas, perusahaan asuransi, perusahaan dana pensiun dan penyedia jasa keuangan lainnya seperti pedagang valuta asing, usaha jasa pengiriman uang.
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
6.
17
U NTOC G A P A NA LYS I S
18
2.
Pihak pengatur (regulator) yang terdiri dari Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, Menteri Keuangan.
3.
Lembaga Intelejen Keuangan yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
4.
Penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, KPK.
5.
Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pencucian Uang yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan yang bertugas terutama mengkoordinasikan upaya penanganan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
PPATK merupakan lembaga baru yang khusus dibentuk dalam rangka penanggulangan tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo UU Nomor 25 Tahun 2003, PPATK adalah pusat pengumpulan, analisis dan penyebaran informasi mengenai kemungkinan pencucian uang. PPATK sudah menjadi anggota Financial Action Task Force (FATF) dan Asia Pasific Group on Money Laundering (APG) dan banyak membuat nota kesepahaman (MoU) dengan lembaga sejenis dari berbagai negara. Dengan demikian ketentuan dalam Konvensi sudah dilaksanakan langsung dalam praktek atau ditindaklanjuti dengan mengadakan kerjasama global, regional atau sub-regional. Dalam rangka mencegah dan mendeteksi segala bentuk pencucian uang, pihak regulator penyedia jasa keuangan telah menetapkan peraturan agar pihak penyedia jasa keuangan menerapkan prinsip mengenal nasabah. Sementara itu upaya pencegahan melalui cara mendeteksi dan memonitor pergerakan uang tunai dan instrumen berharga yang melintasi batas negara telah diatur dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang melalui beberapa mekanisme. Mekanisme yang pertama adalah dengan mewajibkan Penyedia Jasa Keuangan untuk melapor kepada PPATK atas setiap transaksi yang mencurigakan atau transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,- atau lebih. Mekanisme kewajiban melaporkan juga dibebankan pada setiap orang yang membawa uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100.000.000,- atau lebih, atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia. Laporan itu disampaikan kepada Dirjen Bea dan Cukai. Mekanisme lainnya adalah dengan mewajibkan kepada setiap orang yang melakukan hubungan usaha dengan penyedia jasa keuangan untuk memberikan identitas secara lengkap dan akurat. Laporan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan dari penyedia jasa keuangan dan laporan pembawaan uang tunai merupakan cara-cara yang efektif untuk mencegah pencucian uang dan agar kewajiban ini dilaksanakan dengan baik maka undang-undang memperkuatnya dengan sanksi pidana. Bahkan, terkait laporan transaksi keuangan yang mencurigakan, ada ketentuan yang melarang direksi, pejabat atau pegawai Penyedia Jasa
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Sanksi pidana yang diancamkan kepada penyedia jasa keuangan, bila yang bersangkutan tidak melakukan kewajibannya melaporkan transaksi mencurigakan, menunjukkan kesungguhan pemerintah untuk memberantas tindak pidana pencucian uang sejak awal. Namun harus dipertimbangkan apakah untuk perbuatan tersebut sudah perlu diancamkan sanksi pidana dan bukan sanksi lain yang mungkin akan lebih efektif? Penggunaan sanksi pidana secara tidak tepat dan berlebihan justru akan kontra produktif. Jadi dalam hal ini mungkin lebih tepat untuk mengancamkan sanksi administratif, agar kepercayaan masyarakat kepada penyedia jasa keuangan tetap terjaga, tetapi sekaligus dapat menjamin kepatuhan penyedia jasa keuangan pada kewajiban-kewajibannya. Agar sanksi ini dapat efektif, maka kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tersebut selayaknya ada pada PPATK yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan tersebut.
8.
KRIMINALISASI KORUPSI (PASAL 8) Tindak pidana korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sejalan dengan telah diratifikasinya United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan juga telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 maka direncanakan untuk melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Hal ini disebabkan masih ada beberapa ketentuan yang belum selaras dengan Konvensi tersebut, salah satunya adalah belum dikriminalisasinya pejabat publik asing dan pegawai sipil internasional. Pembahasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam hasil kajian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Gap Analysis UNCAC dan Perundang-undangan Indonesia pada tahun 2006.
9.
TINDAKAN MENENTANG KORUPSI (PASAL 9) Hukum nasional mengatur pencegahan korupsi melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-Undang ini substansinya lebih bersifat preventif. Di samping itu, hukum nasional mengatur tindakan Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
Keuangan memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. Larangan serupa juga berlaku bagi Pejabat atau Pegawai PPATK, serta Penyelidik/Penyidik dan diperkuat dengan ancaman sanksi pidana yang berat karena mencantumkan pidana minimal khusus dan sistem ancaman pidananya kumulatif berupa penjara dan denda.
19
menentang korupsi dengan undang-undang yang substansinya lebih bersifat represif yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut telah mengamanatkan dibentuknya suatu lembaga khusus anti korupsi. Untuk melaksanakan amanat ini dibentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembahasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam hasil kajian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Gap Analysis UNCAC dan Perundang-undangan Indonesia pada tahun 2006.
U NTOC G A P A NA LYS I S
10.
20
TANGGUNGJAWAB BADAN HUKUM (PASAL 10) Mengenai badan hukum dalam Pasal 10 UNTOC sama sekali tidak ada penjelasan tentang maknanya. Hal ini dapat diartikan, bahwa pengertian badan hukum, sepenuhnya diserahkan pada masing-masing negara sesuai dengan hukum nasionalnya. Ketentuan ini mewajibkan kepada setiap negara untuk membebankan tanggungjawab kepada badan hukum baik tanggung jawab pidana, perdata ataupun administratif atas partisipasinya/peran sertanya dalam tindak pidana serius yang melibatkan kelompok penjahat transnasional terorganisasi. Sesungguhnya, di dalam hukum atau undang-undang pidana nasional Indonesia, pertanggungjawaban badan hukum terutama pertanggungjawaban pidana sudah diatur sejak berlakunya Undang-Undang (DRT) Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (sebagaimana telah diubah dan ditambah) walaupun dengan istilah yang berbeda. Dalam hukum atau undang-undang pidana nasional Indonesia terdapat istilah korporasi yang pengertiannya lebih luas daripada badan hukum karena tidak saja berkenaan dengan korporasi yang berbentuk badan hukum tetapi juga yang tidak berbentuk badan hukum. Tanggungjawabnyapun bisa berupa tanggungjawab pidana, perdata maupun administratif. Bahkan selain daripada korporasi atau badan hukum itu sendiri, pengurusnyapun tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perannya dalam suatu tindak pidana yang melibatkan badan hukumnya. Dengan demikian, apa yang diamanatkan dalam Pasal 10 UNTOC sebenarnya sudah terjawab dalam pelbagai peraturan perundang-undangan pidana Indonesia. Meskipun telah ditetapkan sebagai subyek hukum pidana sejak tahun 1955, dalam kenyataannya hingga saat ini belum pernah ada korporasi yang dijatuhi pidana. Hal ini nampaknya disebabkan ajaran pertanggungjawaban pidana korporasi kurang dikenal dalam praktek peradilan.
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
PENUNTUTAN, PERADILAN DAN SANKSI (PASAL 11) Sistem sanksi pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus yang masuk dalam lingkup Konvensi telah selaras dengan amanat dari Konvensi yang secara tersirat menghendaki dijatuhkannya sanksi yang berat terhadap (pelaku) tindak pidana. Bahkan dalam perundang-undangan khusus tersebut, di samping diancamkan pidana maksimal khusus juga diancamkan pidana minimal khusus dengan tujuan menghindarkan dijatuhkannya pidana yang ringan. Ketentuan ini memang ditujukan untuk tindak pidana- tindak pidana yang masuk kategori tindak pidana khusus, yang oleh banyak kalangan disebut sebagai extraordinary crime. Hanya saja untuk tindak pidana lain yang menurut Konvensi masuk kategori tindak pidana serius, tidak ada ketentuan pidana minimal khusus. Hal ini yang dalam pelaksanaannya dapat membuka celah terjadinya ketidaksesuaian dengan tujuan Konvensi yang ingin menjatuhkan pidana yang relatif lebih berat pada pelaku kejahatan transnasional terorganisasi. Oleh karena itu perlu dibuat ketentuan khusus agar hakim memperhitungkan beratnya tindak pidana transnasional terorganisasi ketika akan menjatuhkan pidana pada pelakunya. Ketentuan khusus ini dapat berupa pemberatan pidana, bila tindak pidana dilakukan secara transnasional terorganisasi. Kriminalisasi dan penentuan sanksi yang berat bagi pelaku tindak pidana belum cukup untuk menanggulangi tindak pidana transnasional terorganisasi. Kebijakan tersebut harus dibarengi dengan kewenangan hukum yang jelas pada para pelaksana hukum. Kejelasan di sini bukan hanya berupa kewenangan menurut undang-undang, tetapi juga harus ada independensi pelaksana hukum dalam mempertimbangkan tindakan yang tepat untuk memaksimalkan penangkalan tindak pidana tersebut. Tidak dapat dipungkiri, bahwa penyidik kepolisian dan kejaksaan masih rentan terhadap intervensi kekuasaan dan politik, mengingat kedudukan lembaga tersebut yang masih menjadi bagian dari eksekutif. Kebijakan untuk melakukan peninjauan kembali kedudukan penyidik dan penuntut umum sebagai bagian lembaga yudikatif yang independen, merupakan suatu langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini. Dalam menegakkan hukum, para pelaksana hukum berpedoman pada hukum acara pidana umum (dalam KUHAP) maupun yang ada dalam Perundang-Undangan Pidana Khusus. Perundang-undangan Pidana Khusus mengatur ketentuan khusus untuk menjamin efektifitas penegakan hukum yang diperkuat dengan pembentukan lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Sekalipun diatur ketentuan hukum acara pidana khusus namun tetap memperhatikan prinsip-prinsip peradilan yang layak (fair trial) sebagaimana diamanatkan oleh Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Tahun 1948 dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun 1966, yang antara lain:
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
11.
21
1.
Pembatasan penahanan yang diatur dalam Pasal 24, 25, 26, 27 dan 28 KUHAP, Pasal 25 ayat (1) Perpu Nomor 1 tahun 2002 jo UndangUndang Nomor 15 tahun 2003
2.
Penggunaan Laporan Intelejen sebagai bukti permulaan dalam perkara tindak pidana terorisme harus melalui pemeriksaan pendahuluan di sidang pengadilan (Pasal 26 Perpu Nomor 1 tahun 2002 jo UU Nomor 15 tahun 2003).
3. Persidangan in absensia (tanpa kehadiran terdakwa) hanya dimungkinkan setelah terdakwa dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir tanpa alasan. Ketidakhadiran terdakwa tanpa alasan setelah dipanggil secara sah dan patut, dipandang sebagai tindakan terdakwa melepaskan haknya untuk membela diri.
U NTOC G A P A NA LYS I S
Amanat Konvensi untuk menerapkan syarat-syarat yang lebih berat ketika mempertimbangkan pembebasan awal atau pembebasan bersyarat bagi pelaku tindak pidana, telah diakomodasi dalam hukum nasional Indonesia meskipun belum sepenuhnya. Hal ini terlihat dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang menentukan syarat lebih berat bagi terpidana kasus korupsi, terorisme dan narkotika dibandingkan dengan terpidana lainnya untuk mendapatkan remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat. Jadi syarat yang lebih berat hanya terbatas bagi terpidana tiga kasus tersebut; dan tidak berlaku bagi terpidana tindak pidana yang masuk dalam kategori tindak pidana serius dan tindak pidana terhadap proses peradilan. Untuk mengakomodasi amanat Konvensi secara menyeluruh, maka harus dibuat aturan khusus yang memberikan syarat yang lebih berat pada terpidana kasus kejahatan transnasional yang terorganisasi ketika akan mendapatkan pembebasan awal atau pembebasan bersyarat; misalnya dengan menetapkan syarat telah menjalankan pidana yang lebih lama untuk dapat memperoleh remisi, cuti, bebas bersyarat.
22
Dalam kaitan dengan penuntutan dan penjalanan pidana, Undang-undang Pidana Khusus, misalnya tentang tindak pidana korupsi, terorisme dan pencucian uang tidak mengatur secara khusus jangka waktu kadaluwarsa penuntutan dan penjalanan pidana, sehingga masih merujuk pada ketentuan kadaluwarsa penuntutan dan penjalanan pidana yang diatur dalam KUHP. Dengan mengingat kekhususan dari tindak pidana transnasional terorganisasi, yaitu sangat kompleks dan tidak mudah pengungkapannya, maka harus dibuat ketentuan khusus tentang penuntutan dan penjalanan pidana untuk menjamin efektifitas penegakan hukum pada pelakunya.
12.
PERAMPASAN DAN PENYITAAN ( PASAL 12 ) Ketentuan umum yang menjadi dasar hukum untuk perampasan barang (KUHP dan KUHAP), mengatur bahwa pada umumnya yang dapat dirampas
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Konvensi mewajibkan negara-negara pihak untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu guna memungkinkan perampasan atas hasil tindak pidana yang berasal dari tindak pidana yang tercakup dalam konvensi atau kekayaan yang nilainya sama dengan hasil tindak pidana tersebut, dan kekayaan, peralatan atau sarana lainnya yang digunakan atau ditujukan untuk digunakan dalam tindak pidana. Setiap negara juga diwajibkan mengambil upaya yang perlu guna memungkinkan identifikasi, pelacakan, pembekuan atau penyitaan barang apapun untuk tujuan akhir perampasan. Tindakan penyitaan ini tidak hanya ditujukan pada barang atau harta benda hasil kejahatan, melainkan juga dilakukan terhadap harta benda yang berasal dari konversi hasil kejahatan, harta benda sah yang tercampur dengan hasil kejahatan dan keuntungankeuntungan yang diperoleh dari harta benda hasil kejahatan. Untuk tujuan tersebut di atas, negara pihak harus memberikan kewenangan kepada pengadilan atau otoritas kompeten lainnya untuk memerintahkan agar catatan-catatan bank, keuangan atau perdagangan dapat dibuka atau disita. Kerahasiaan bank tidak boleh dijadikan alasan untuk menolak tindakan pembukaan atau penyitaan dokumen dimaksud. Dalam hubungan dengan tindakan penyitaan dan perampasan tersebut, negara pihak dimungkinkan untuk menerapkan prinsip pembuktian terbalik terbatas yaitu mensyaratkan seorang pelaku membuktikan asal-usul yang sah dari harta benda yang diduga merupakan hasil kejahatan atau yang telah disita, sesuai dengan prinsip dasar hukum nasional dan dengan proses peradilan serta proses lainnya. Ketentuan tentang penyitaan dan perampasan tersebut dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik. Hukum nasional mengatur tindakan penyitaan dan perampasan sebagai ketentuan umum dalam hukum pidana materiil maupun dalam hukum pidana formil. Pasal 39 sampai dengan Pasal 42 KUHAP dan Pasal 194 KUHAP merupakan hukum acara pidana yang mengatur tentang tata cara penyitaan dan perampasan barang-barang yang diperoleh dari kejahatan atau digunakan untuk melakukan kejahatan atau barang-barang yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Sementara itu
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
adalah barang-barang kepunyaan terdakwa yang diperoleh dari kejahatan atau digunakan untuk melakukan kejahatan atau barang-barang yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Hanya UU Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara lebih luas masalah ini. Dalam tindak pidana korupsi, yang dapat dirampas adalah barang yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan. Namun demikian, UU secara tegas tetap memberikan batasan tindakan perampasan barang terkait perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik, dengan melarang hakim menjatuhkan perampasan barang yang bukan kepunyaan terdakwa apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik dirugikan.
23
Pasal 39 KUHP mengatur pidana tambahan berupa perampasan barang yang diperoleh dari kejahatan.
U NTOC G A P A NA LYS I S
Penyitaan dan perampasan barang atau harta benda yang terkait dengan tindak pidana diatur secara lebih luas dalam perundang-undangan pidana khusus seperti Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 tahun 2001 yang menyatakan bahwa selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud KUHP, juga diancam pidana tambahan berupa perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan serta nilai harga lawan barang-barang yang menggantikan barang tersebut. Pidana tambahan juga dijatuhkan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Ketentuan pidana tambahan uang pengganti tidak dijumpai dalam Konvensi.
24
Ketentuan tentang pembuktian terbalik terbatas yang mensyaratkan terdakwa untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda istri/suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan tindak pidana diatur dalam UndangUndang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Ketentuan umum yang menjadi dasar hukum untuk perampasan barang (KUHP dan KUHAP) mengatur bahwa pada umumnya yang dapat dirampas adalah barang-barang kepunyaan terdakwa yang diperoleh dari kejahatan atau digunakan untuk melakukan kejahatan atau barang-barang yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Hanya UU Tindak Pidana Korupsi yang telah mengatur secara lebih luas masalah ini. Dalam tindak pidana korupsi, yang dapat dirampas adalah barang yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan. Namun demikian, UU secara tegas tetap memberikan batasan tindakan perampasan barang terkait perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik, dengan melarang hakim menjatuhkan perampasan barang yang bukan kepunyaan terdakwa apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik dirugikan. Dalam mencapai tujuan akhir berupa perampasan, Konvensi mewajibkan setiap negara mengambil upaya yang dianggap perlu guna memungkinkan identifikasi, pelacakan, pembekuan atau penyitaan barang apapun. Salah satu mekanisme yang telah ada dalam perundang-undangan nasional Indonesia adalah dengan mengecualikan ketentuan tentang kerahasiaan bank. Jadi berdasarkan mekanisme ini, untuk kepentingan pemeriksaan, penyidik, penuntut umum dan hakim berwenang untuk meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka/terdakwa atau orang lain. Persyaratan yang ketat ditetapkan untuk menghindarkan penyalahgunaan kewenangan ini.
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Dari penelaahan secara mendalam terhadap perundang-undangan Indonesia, khususnya untuk perampasan dan penyitaan seperti yang diatur dalam Pasal 12 Konvensi dapat disimpulkan bahwa masih belum ada pengaturan yang jelas dan komprehensif untuk tindakan penyitaan dan perampasan harta benda yang berasal dari konversi hasil kejahatan, harta benda yang tercampur dengan hasil kejahatan dan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari harta benda hasil kejahatan. Meskipun ketentuan yang ada secara implisit telah mencakup jenis-jenis obyek tersebut namun ketiadaan ketentuan yang khusus dan jelas akan menyulitkan dalam praktek. Sehubungan dengan sifat transnasional dari tindak pidana yang menjadi obyek kajian dan masalah kerja sama antar negara sebagai salah satu tujuan dari Konvensi, penelaahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi menunjukkan adanya ketentuan tentang permintaan dari negara lain terkait dengan barang yang dirampas. Akan tetapi, pengertian barang dalam undang-undang atau perjanjian ekstradisi terbatas pada barang-barang bergerak atau berwujud yang memang relatif mudah untuk diserahterimakan. Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana pengaturan tentang perampasan (barang) sudah memadai sebagai sarana kerjasama internasional, khususnya tentang prosedur atau mekanisme melakukan penyerahan barang yang dirampas. Prosedur perampasan barang memang sangat terkait dengan hukum atau peraturan peundang-undangan nasional terutama dari tempat barang itu berada. Oleh karenanya perlu ditinjau kembali ketentuan tentang penyitaan dan perampasan barang hasil pidana untuk disesuaikan dengan Konvensi.
13.
KERJASAMA INTERNASIONAL UNTUK TUJUAN PERAMPASAN (PASAL 13) Konvensi mengatur kerjasama internasional dalam rangka perampasan hasil tindak pidana, kekayaan, perlengkapan atau instrumen lain yang digunakan dalam tindak pidana yang berada di luar wilayah negara. Pasal 13 Konvensi menentukan prosedur permohonan penyitaan dan perampasan yang diajukan oleh suatu negara kepada negara lain, jika harta benda yang dimintakan untuk disita berada dalam wilayah negara lain tersebut.
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
Tindakan perampasan barang dilakukan secara berhati-hati. Hal ini tercermin dari diwajibkannya terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari hasil tindak pidana di dalam persidangan kasus pencucian uang. Bahkan, dalam konteks yang sama kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan tentang asal-usul harta kekayaan dalam tindak pidana korupsi adalah lebih luas lagi. Hal yang wajib dijelaskan terdakwa tidak hanya menyangkut asal-usul harta kekayaannya saja tetapi juga harta suami/istrinya, anaknya, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
25
Substansi dari Pasal 13 ini memang sudah ada beberapa padanannya di dalam beberapa undang-undang pidana Indonesia meskipun tidak persis sama. Namun apa yang diamanatkan dalam Pasal 13 ini, merupakan sesuatu yang bisa langsung diterapkan dalam praktek meskipun para pihak belum terikat dalam suatu perjanjian khusus tentang kerjasama internasional untuk tujuan perampasan. Hal ini disebabkan substansinya itu sudah bersifat teknis-operasional yang tidak membutuhkan peraturan khusus lagi untuk melaksanakannya.
U NTOC G A P A NA LYS I S
Hanya saja di dunia ini, ada kemungkinan negara-negara yang hanya bersedia melakukan kerjasama internasional untuk tujuan perampasan, apabila antara negara yang bersangkutan dengan negara mitranya sudah terlebih dahulu terikat pada suatu perjanjian sebagai landasan hukumnya. Dalam hal ini, perjanjian yang dimaksudkan itu haruslah dalam pengertian yang luas, jadi tidak semata-mata perjanjian kerjasama untuk tujuan perampasan saja, melainkan juga termasuk perjanjian lain yang dekat hubungannya, seperti perjanjian kerjasama timbal balik dalam masalah-masalah pidana. Indonesia dalam menghadapi kasus-kasus tindak pidana transnasional terorganisasi ataupun kasus-kasus tindak pidana transnasional lain yang tidak terorganisasi, sepanjang memiliki yurisdiksi kriminal atas kasus tersebut, dapat saja secara langsung bekerjasama untuk tujuan perampasan ini dengan negara-negara yang terkait. Sebagai negara berdaulat, setiap negara dapat menempuh langkah-langkah yang dipandangnya lebih efisien dan efektif dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional, termasuk kerjasama untuk tujuan perampasan seperti dalam Pasal 13 ini.
26 14.
PENYERAHAN HARTA HASIL TINDAK PIDANA ATAU KEKAYAAN YANG DISITA (PASAL 14) Mengenai harta hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita oleh negara pihak, Konvensi mewajibkan negara pihak untuk menyerahkannya sesuai dengan undang-undang nasionalnya dan prosedur administrasi. Negara pihak diminta untuk memberikan prioritas terhadap pengembalian harta hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita kepada negara pihak peminta yang akan menggunakannya untuk kompensasi kepada korban tindak pidana atau kepada pemiliknya yang sah. Negara pihak yang bertindak melakukan perampasan dan penyitaan berdasarkan permintaan negara pihak lain dapat memberikan pertimbangan khusus untuk membuat perjanjian atau pengaturan mengenai pemotongan dari harta tindak pidana atau kekayaan atau dana yang berasal dari penjualan harta tindak pidana kekayaan atau bagian darinya kepada rekening yang ditunjuk oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagai dana untuk memberikan bantuan teknik kepada negara berkembang atau negara transisi (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) (c) Konvensi dan kepada badan antar pemerintah yang mengkhususkan diri pada upaya melawan tindak pidana terorganisasi ataupun sebagai pembagian dengan negara pihak
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
lain yang ditentukan secara tetap atau kasus per kasus sesuai dengan hukum nasional atau prosedur administrasi. Perundang-undangan tindak pidana di Indonesia tidak mengatur tentang penyerahan harta tindak pidana atau kekayaan yang dirampas dan disita oleh negara lain atas permintaan negara Indonesia ataupun yang dirampas dan disita oleh negara Indonesia atas permintaan negara lain sebagaimana ditentukan oleh Pasal 14 Konvensi ini.
Hukum acara pidana umum (KUHAP) dan beberapa perundang-undangan khusus yang terkait dengan tindak pidana transnasional terorganisasi belum mengatur penyerahan harta hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita sebagaimana yang diamanatkan Pasal 14 Konvensi. Namun demikian bukan berarti tidak ada sama sekali instrumen hukum Indonesia untuk masalah ini. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana mengatur tentang permintaan bantuan dan pemberian bantuan dalam rangka menindaklanjuti putusan pengadilan mengenai perampasan harta kekayaan/benda yang disita ini. Ketentuan ini setidaknya dapat menjadi payung hukum bagi perundang-undangan pidana lainnya berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, termasuk bantuan untuk menindaklanjuti putusan pengadilan yang berisi perampasan benda sitaan/harta kekayaan berupa benda tidak bergerak seperti tanah, terkait dengan sistem hukum setiap negara terhadap kepemilikan benda tidak bergerak oleh negara lain. Bantuan timbal balik, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, dilakukan berdasarkan perjanjian atau atas dasar hubungan baik atau prinsip resiprositas. Dengan demikian, berarti penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 masih memerlukan tindak lanjut, berupa dibuatnya perjanjian terlebih dahulu dengan negara-negara yang diminta secara bilateral atau multilateral. Untuk lingkup ASEAN, telah dibuat Treaty on Mutual Legal Assistance on Criminal Matters among ASEAN Countries (MLA) tahun 2008, yang sudah mengatur kerjasama tentang penyerahan harta hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita. Dalam hal tidak dibuat perjanjian, bantuan timbal balik tetap dapat dilakukan berdasarkan hubungan bersahabat dengan berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
Ketentuan yang dimaksud dalam Konvensi dirumuskan secara singkat dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana yang mengatur tentang permintaan bantuan kepada negara yang diminta (Pasal 22), pemberian bantuan kepada negara peminta (Pasal 51 – Pasal 54), tindak lanjut putusan pengadilan berupa perampasan harta kekayaan / benda yang disita, pidana denda atau pembayaran uang pengganti, termasuk ketentuan tentang penggantian biaya dan bagi hasil harta kekayaan yang dirampas (Pasal 57).
27
internasional, setelah dilakukan kajian kasus per kasus. Dalam masalah hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita dan diserahkan ini, selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, harus juga diperhatikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi karena di dalam salah satu pasal dari undang-undang ini ada pengaturan tentang penyerahan barang hasil tindak pidana ataupun kekayaan yang disita.
U NTOC G A P A NA LYS I S
Untuk masalah penyerahan harta hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita, khususnya yang berkaitan dengan perampasan benda tidak bergerak seperti tanah maupun perampasan uang atau harta benda bergerak lainnya, perlu dilakukan kajian terhadap peraturan-peraturan terkait untuk memperjelas dan memudahkan pelaksanaannya. Hal ini disebabkan kemungkinan berbedanya sistem yang dianut oleh negara yang meminta bantuan dan yang dimintai bantuan.
28
15.
YURISDIKSI (PASAL 15) UNTOC membebani kewajiban kepada negara-negara pihak untuk memberlakukan yurisdiksinya terhadap kejahatan yang diatur dalam Pasal 5, 6, 8 dan 23. Tentang yurisdiksi ini, sebenarnya juga sudah diatur di dalam hukum pidana Indonesia seperti di dalam KUHP yakni dalam Pasal 2 – 9 yang pada hakekatnya merupakan perwujudan dari asas-asas yang sudah berlaku umum, seperti asas teritorial, asas ekstra-teritorial, asas kewarganegaraan aktif, asas kewarganegaraan pasif, asas perlindungan dan asas universal. Demikian pula di dalam undang-undang pidana Indonesia di luar KUHP, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tentang yurisdiksi kriminal Indonesia terhadap tindak pidana terorisme diatur di dalam Pasal 3, 4 dan 16 yang pada hakekatnya juga berdasarkan asasasas tersebut di atas tetapi terkandung perluasan atas yurisdiksi kriminal berdasarkan asas teritorial obyektif. Tegasnya, yurisdiksi kriminal Indonesia berlaku terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan di negara lain tetapi dilaksanakan atau diselesaikan di wilayah negara itu atau menimbulkan akibat yang sangat berbahaya terhadap ketertiban sosial dan ekonomi di wilayah negara itu. Persoalannya terletak pada luasnya ruang lingkup yurisdiksi kriminal tersebut, tegasnya apakah ruang lingkup yurisdiksi kriminal dalam hukum pidana Indonesia sudah sama luasnya dengan yurisdiksi kriminal yang diberikan oleh hukum internasional? Atau dengan rumusan lain, apakah yurisdiksi kriminal di dalam hukum pidana Indonesia, khususnya yurisdiksi kriminal dalam KUHP yang notabene merupakan hukum pidana peninggalan jaman Kolonial Belanda masih sesuai ataukah sudah ketinggalan dengan perkembangan jaman globalisasi seperti sekarang ini? Perlu diketahui, bahwa konvensi-konvensi tentang kejahatan internasional/ transnasional, menganut paham yurisdiksi kriminal yang amat luas. Hal
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Pasal 15 ayat 1 huruf (a) UNTOC menganut asas teritorial sedangkan huruf (b) memperluasnya dengan mencakup tindak pidana tersebut yang dilakukan di atas kapal yang mengibarkan bendera negara pihak atau pesawat terbang yang terdaftar berdasarkan peraturan perundang-undangan negara yang bersangkutan pada waktu tindak pidana tersebut dilakukan. Selanjutnya Pasal 15 ayat 2 huruf (a) menganut asas nasionalitas pasif, karena tindak pidana itu dilakukan terhadap warganegara dari negara pihak yang bersangkutan. Sedangkan huruf (b) menganut asas nasionalitas aktif, karena ditujukan terhadap si pelaku tindak pidana yang adalah warganegara dari negara pihak yang bersangkutan ataupun terhadap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan yang biasa bertempat tinggal di wilayah negara yang bersangkutan. Sebenarnya ketentuan Pasal 15 ayat 1 dan 2 ini juga sudah ada di dalam Pasal 2 - 5 KUHP. Akan tetapi Pasal 15 ayat 3 dan 4 UNTOC mengandung perluasan. Pasal 15 ayat 3 mewajibkan setiap negara pihak untuk mengambil tindakan yang dipandang perlu untuk memberlakukan yurisdiksinya atas tindak pidana yang diatur dalam UNTOC terhadap tersangka pelaku yang berada di dalam wilayahnya dan pelaku tersebut tidak diekstradisikan dengan alasan bahwa si pelaku adalah warganegaranya. Selanjutnya ayat 4 yang sebenarnya hampir sama dengan ayat 3, hanya saja si tersangka pelaku bukan warganegara dari negara yang bersangkutan namun berada di dalam wilayah negara itu tetapi tidak diekstradisikan. Dalam praktek, masalah seperti ini bisa saja terjadi. Suatu negara kedatangan seorang pelaku kejahatan baik orang itu warganegaranya ataupun bukan warganegaranya dan orang itu tidak diekstradisikan ke negara lain tetapi oleh negara itu tidak diambil tindakan hukum apapun disebabkan karena negara itu tidak memiliki yurisdiksi kriminal atas orang dan/atau perbuatannya tersebut. Sebagai akibatnya, orang itu menikmati impunitas di negara itu. Hal ini tentulah sangat bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dari para korban. Mengingat akan semakin kompleksnya jenis kejahatan yang terjadi pada masa kini maupun pada masa yang akan datang, termasuk kejahatan transnasional terorganisasi, sudah pada waktunya Indonesia memperluas ruang lingkup yurisdiksi kriminalnya baik yang berdasarkan asas teritorial, asas ekstra-teritorial, asas kewarganegaraan aktif ataupun pasif ataupun asas perlindungan. Dengan perluasan yuridiksinya itu, maka kejahatan jenis apapun yang timbul pada masa yang akan datang yang diatur di dalam konvensi-konvensi internasional dan ditransformasikan ke dalam hukum atau Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
ini dapat dimengerti, sebab kejahatan internasional/transnasional pada umumnya demikian kompleksnya baik peristiwanya sendiri maupun akibatakibatnya. Diharapkan supaya setiap jengkal dari kejahatan tersebut, terjangkau oleh yurisdiksi kriminal negara-negara. Dengan kata lain, tidak ada sedikitpun dari kejahatan itu atau bagian-bagian dari kejahatan itu yang berada di luar yurisdiksi kriminal negara-negara. Dalam hubungan ini, tidak terkecuali dengan UNTOC yang menganut paham yurisdiksi kriminal yang luas.
29
perundang-undangan pidana Indonesia, akan terjangkau oleh hukum pidana Indonesia. Sudah barang tentu, perluasan yurisdiksi itu harus didasarkan pada adanya kepentingan (interest) dari Indonesia terhadap kejahatan atau tindak pidana yang bersangkutan serta harus dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional umum.
U NTOC G A P A NA LYS I S
Pada lain pihak, perluasan yurisdiksi itupun akan lebih banyak menimbulkan pertautan atau konflik yurisdiksi kriminal antara dua negara atau lebih, tegasnya, atas satu tindak pidana bisa tunduk pada yurisdiksi dari dua atau lebih negara. Apalagi negara-negara lain juga menganut yurisdiksi yang sama dengan atau bahkan lebih luas dari yurisdiksi kriminal Indonesia. Akan tetapi penyelesaian konflik yurisdiksi dalam hukum pidana (internasional) relatif lebih mudah ketimbang konflik yurisdiksi dalam hukum perdata. Hal ini disebabkan karena dalam hukum pidana, jika salah satu dari negara yang yurisdiksi kriminalnya saling berkonflik atau bertautan tersebut berhasil menangkap si pelaku kejahatan atau tindak pidana, selanjutnya mengadili dan menjatuhkan putusan dengan kekuatan mengikat yang tetap/pasti maka negara-negara yang lainnya haruslah menghormati putusan pengadilan dari negara yang bersangkutan. Sesuai dengan asas ne bis in idem, negaranegara itu tidak boleh lagi mengadili untuk kedua kalinya atau lebih terhadap kejahatan tersebut. Dengan demikian maka selesailah masalahnya.
30
16.
EKSTRADISI (PASAL 16) Pengaturan tentang pranata hukum ekstradisi di dalam UNTOC cukup komprehensif yang pada hakekatnya merupakan pemadatan/pemampatan dari asas-asas dan kaidah-kaidah hukum internasional tentang ekstradisi yang sudah lazim dicantumkan di dalam perjanjian dan perundangundangan tentang ekstradisi. Beberapa asas ekstradisi tersebut, antara lain dapat dijumpai dalam Pasal 16 ayat 1 tentang asas kejahatan ganda (double criminality), Pasal 16 ayat 10 tentang tidak menyerahkan warganegara (non extradition of nationals), Pasal 16 ayat 14 tentang tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (non extradition of political criminal). Pada beberapa negara, seperti di Belanda dan Uni Emirat Arab, Pasal 16 ayat (1) Konvensi ini dapat langsung diberlakukan sehingga dapat dijadikan dasar untuk melakukan ekstradisi. Jadi negara tersebut tidak harus mengatur lebih lanjut ketentuan ini di dalam undang-undang ekstradisi. Bagi Indonesia, pelaksanaan ekstradisi didasarkan kepada perjanjian bilateral sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi atau dimungkinkan pula atas dasar asas resiprositas yang dianut hukum internasional. Meskipun demikian, ternyata ada beberapa substansinya yang justru merupakan hal yang relatif baru yang tidak selalu ada di dalam perjanjian dan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi. Ketentuan tersebut misalnya, Pasal 16 ayat 8 yang mewajibkan negara-negara pihak untuk
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Ketentuan baru lainnya adalah Pasal 16 ayat 12 tentang kewajiban negara pihak diminta berdasarkan atas permintaan dari negara pihak peminta, mempertimbangkan untuk melaksanakan atau melanjutkan pelaksanaan hukuman atau sisa hukuman dari orang yang diminta (terhukum) yang sudah dijatuhkan oleh negara pihak peminta apabila negara pihak diminta menolak permintaan ekstradisi dari negara-pihak peminta. Sudah tentu pertimbangan negara pihak diminta itu haruslah dengan tetap berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri, tegasnya, sepanjang hukum nasionalnya memungkinkan hal ini. Ketentuan ini terkait dengan pemindahan narapidana (butir 17). Ketentuan ini memang relatif baru dan sangat jarang dijumpai di dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi baik yang lama maupun yang dibuat belakangan ini. Bagaimana dengan pengaturan tentang ekstradisi di dalam hukum nasional Indonesia? Di dalam hukum nasional Indonesia, tentang ekstradisi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Jika ditelaah secara lebih mendalam, ternyata substansi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 ini tidak mengatur masalah-masalah seperti Pasal 16 ayat 8, 10, dan 12. Ini dapat dipandang sebagai kekurangan dari UndangUndang ini dibandingkan dengan UNTOC. Apalagi jika dibandingkan dengan perkembangan pranata hukum tentang ekstradisi belakangan ini seperti yang telah dituangkan di dalam United Nations Model Treaty on Extradition (1990) yang sudah banyak diikuti oleh negara-negara dalam membuat perjanjian-perjanjian maupun perundang-undangan ekstradisi pada masa belakangan ini, substansi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 ini sudah jauh ketinggalan. Oleh karena itu direkomendasikan supaya Undang-Undang
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
mempercepat prosedur ekstradisi dan menyederhanakan persyaratan pembuktiannya dengan mempertimbangkan tindak pidananya tanpa mengabaikan hukum nasional masing-masing. Adanya ketentuan ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa selama ini prosedur ekstradisi tersebut sangat panjang dan birokratis, membutuhkan biaya yang cukup besar dan waktu yang cukup lama. Pasal 16 ayat 10 tentang kewajiban negara pihak diminta -- yang menolak permintaan dari negara pihak peminta untuk mengekstradisikan si pelaku dengan alasan bahwa dia adalah warganegaranya sendiri -- untuk mengajukan si pelaku yang adalah warganegaranya itu ke hadapan badan yang berwenang untuk tujuan penuntutan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari orang yang bersangkutan menikmati impunitas di wilayah negara pihak diminta. Ketentuan ini memang sudah mulai dicantumkan di dalam beberapa perjanjian ekstradisi yang dibuat belakangan. Akan tetapi ketentuan ini baru bisa efektif dalam pelaksanaannya, apabila negara pihak diminta tersebut memiliki yurisdiksi kriminal atas kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan orang yang bersangkutan. Jika negara pihak diminta itu tidak memiliki yurisdiksi kriminal, maka tetap saja orang itu akan menikmati impunitas di wilayah negara tersebut. Hal ini terkait dengan luas atau sempitnya ruang lingkup substansi dari yurisdiksi kriminal masing-masing negara, khususnya negara pihak diminta, seperti telah dikemukakan pada butir 15 (pembahasan tentang jurisdiksi).
31
Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi ini dicabut dan diganti dengan undang-undang ekstradisi yang baru yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman.
U NTOC G A P A NA LYS I S
17.
32
PEMINDAHAN NARAPIDANA (PASAL 17) Tentang pemindahan narapidana, UNTOC hanya mengatur di dalam satu pasal saja dan itupun hanya merupakan himbauan saja supaya negara-negara pihak mempertimbangkan pembentukan perjanjian bilateral atau multilateral ataupun pembentukan peraturan perundang-undangan tentang pemindahan orang-orang yang dipidana penjara ataupun bentuk pencabutan hak kebebasan lainnya dari wilayah negara yang memidananya ke wilayah negara yang merupakan kewarganegaraan dari narapidana yang bersangkutan, supaya mereka dapat menyelesaikan hukuman atau sisa hukumannya di negaranya sendiri. Perjanjian semacam ini tampaknya masih belum banyak dibuat oleh negara-negara di dunia ini dan karena itu dapat dipandang sebagai sesuatu yang relatif baru. Sebuah perjanjian yang dapat dijadikan sebagai rujukan untuk masalah pemindahan narapidana ini adalah Convention on the Transfer of Sentenced Persons (1983) antara negara-negara anggota Dewan Eropa (Council of Europe) dan Schengen Convention (Title III Chapter V) (1990) yang merupakan pelengkap dari Konvensi 1983 tersebut. Perjanjian internasional tentang pemindahan narapidana ini dibuat berdasarkan pertimbangan kemanusiaan, yakni, memberikan kesempatan kepada narapidana (asing) yang sedang menjalani pidananya di negara lain yang bukan negara yang menjadi kewarganegaraannya untuk menjalani pidana atau sisa pidananya itu di negaranya sendiri. Dengan menjalani pidana atau sisa pidananya di negaranya sendiri, maka dia didekatkan dengan nilainilai sosial budaya dari masyarakat di negaranya sendiri, didekatkan dengan anggota keluarga dan sanak familinya, ataupun iklim dan cuaca di negaranya yang lebih sesuai dengan kehidupan pribadinya ketimbang iklim dan cuaca di negara lain. Semua ini, secara sosial-psikologis amat penting artinya bagi perkembangan kejiwaan dari narapidana yang bersangkutan. Namun demikian, narapidana asing yang bersangkutan harus tetap dihormati haknya untuk menentukan sendiri, apakah dia akan memilih untuk menjalani pidana di negaranya sendiri ataukah tetap akan menjalani pidananya di negara (asing) yang bersangkutan. Dalam beberapa hal, memang ada kemungkinan bahwa seorang narapidana asing, berdasarkan pertimbangan yang sifatnya sangat pribadi/personal, lebih senang menjalani hukuman di negara (asing) yang bersangkutan dibandingkan dengan di negaranya sendiri. Peraturan perundang-undangan Indonesia yang berkaitan dengan masalah pemidanaan seperti KUHAP, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ataupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana memang tidak ada satu pasal atau ayatnya pun yang mengatur tentang kemungkinan untuk pemindahan
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Oleh karena itu dapat direkomendasikan supaya Indonesia berinisiatif untuk mengadakan pendekatan kepada negara-negara sahabat untuk mengadakan perjanjian kerjasama pemindahan narapidana atau jika ada pendekatan dari negara-negara sahabat untuk mengadakan perjanjian kerjasama, sebaiknya Indonesia menyambut dengan terbuka. Memang ada kekhawatiran, bahwa perjanjian semacam ini akan mendorong warganegara Indonesia yang dipidana di negara yang sudah terikat pada perjanjian ini dengan Indonesia untuk beramai-ramai meminta pemindahan pelaksanaan pidana atau sisa pidananya di Indonesia. Pada hal lembaga pemasyarakatan di Indonesia sekarang ini banyak yang sudah penuh dengan narapidana bahkan ada yang jauh melebihi kapasitasnya. Namun hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak menerima narapidana warganegara Indonesia yang sedang menjalani pidana di negara lain untuk dipindahkan pemidanaannya ke Indonesia. Alasan kemanusiaan seperti tersebut di atas haruslah ditempatkan lebih tinggi atau di atas dari alasan lainnya.
18.
BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK (PASAL 18) Berkenaan dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters), Indonesia telah memiliki undang-undang tersendiri, yakni, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006. Sedangkan dalam konteks ASEAN, delapan negara anggota ASEAN yakni, Brunei Darrussalam, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Philipina, Singapura, dan Vietnam, juga telah menandatangani Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Maters di Kuala Lumpur pada tanggal 20 Nopember 2004. Selanjutnya, Myanmar sudah resmi menjadi pihak ASEAN Treaty on MLA pada bulan Desember 2009. Dengan demikian hanya 1 (satu) negara yaitu Thailand yang belum menjadi pihak pada Treaty tersebut. Jika ditelaah dengan seksama ketentuan tentang Bantuan Timbal Balik dalam UNTOC, yakni, Pasal 18 yang terdiri dari 30 ayat (ayat 1 - 30) tampak bahwa Pasal 18 ini merupakan pemadatan/pemampatan dari ketentuan-ketentuan dalam perjanjian-perjanjian tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Jika diperbandingkan antara Pasal 18 UNTOC dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, memang ada beberapa ketentuan yang sama tetapi juga ada kekosongan di pihak yang satu ataupun di pihak yang lain. Artinya, di dalam UNTOC ada pengaturannya sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tidak ada ataupun sebaliknya. Beberapa materi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 yang tidak ada atau tidak diatur di dalam UNTOC, antara lain adalah: 1.
tentang memperoleh kembali seluruh sanksi denda yang berupa uang;
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
narapidana. Meskipun demikian, semua undang-undang itu juga tidak melarang untuk melakukan perjanjian kerjasama pemindahan narapidana seperti dihimbau oleh UNTOC.
33
2.
tentang pengidentifikasian dan pencarian orang.
3.
tentang “transit” yang diatur di dalam Pasal 40 ayat 1, 2, 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 tetapi sama sekali tidak diatur di dalam UNTOC.
U NTOC G A P A NA LYS I S
Sedangkan beberapa ketentuan UNTOC yang tidak atau belum diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, yakni, 1.
tentang kemungkinan untuk memberikan informasi, hal-hal mengenai pembuktian dan penilaian para ahli (Pasal 18 ayat 4);
2.
tentang kewajiban untuk memfasilitasi kehadiran sukarela seseorang di negara pihak peminta.
3.
tentang kewajiban untuk merahasiakan informasi dari negara pihak diminta (Pasal 18 ayat 5);
4.
tentang kewajiban negara pihak diminta untuk tidak boleh menolak memberikan bantuan timbal balik dengan alasan kerahasiaan Bank (Pasal 18 ayat 8 UNTOC)
5.
tentang dapat dipindahkannya seseorang yang ditahan atau menjalani pidana untuk tujuan identifikasi, pemberian kesaksian atau untuk memperoleh bukti bagi penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan (Pasal 18 ayat 10);
6.
tentang larangan menggunakan informasi atau bukti yang diberikan oleh negara pihak diminta untuk melakukan penyelidikan, penuntutan ataupun proses peradilan dalam kasus lain, selain yang dinyatakan dalam permintaan, tanpa persetujuan sebelumnya dari negara pihak diminta tersebut (Pasal 18 ayat 19);
7.
tentang syarat yang dapat diberikan oleh negara pihak peminta kepada negara pihak diminta agar merahasiakan fakta dan substansi permintaan tersebut (Pasal 18 ayat 20);
8.
tentang tidak diperbolehkannya negara pihak diminta untuk menolak permintaan bantuan timbal balik dari negara pihak peminta hanya dengan alasan kejahatan itu melibatkan masalah keuangan (Pasal 18 ayat 22);
9.
tentang jaminan dari negara pihak peminta untuk tidak menuntut, menahan, menghukum atau membatasi kebebasan pribadi seorang saksi ahli atau orang lain yang memberikan bukti atau membantu penyidikan, penuntutan atau proses peradilan di wilayah negara pihak peminta (Pasal 18 ayat 27).
34
Namun baik UNTOC maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006,
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
sama sekali tidak menegaskan tentang pihak mana atau siapa yang harus bertanggungjawab dan sejauh manakah tanggungjawabnya itu atas “pengamanan/ keamanan” dari orang yang dipindahkan dari wilayah negara pihak diminta ke wilayah negara pihak peminta dalam rangka memberikan keterangannya di hadapan penegak hukum negara tersebut termasuk pengembaliannya ke negara pihak diminta. Demikian pula halnya dengan “pengamanan/keamanan” dari benda-benda yang akan dijadikan sebagai alat atau barang bukti yang dibawa dari wilayah negara pihak diminta ke wilayah negara pihak peminta.
19.
PENYELIDIKAN BERSAMA (PASAL 19) Pasal 19 ini membebankan kewajiban kepada negara-negara pihak pada UNTOC untuk mempertimbangkan penandatanganan persetujuan bilateral atau multilateral ataupun pengaturan-pengaturan mengenai masalahmasalah yang merupakan subyek dari penyelidikan, penuntutan atau proses peradilan di satu atau lebih negara. Oleh karena kewajiban yang dibebankan ini adalah kewajiban untuk mempertimbangkan, maka tentu saja sepenuhnya tergantung pada hasil pertimbangan dari negara-negara pihak itu baik secara bilateral ataupun multilateral. Para pihak sepenuhnya dapat menentukan pilihan, apakah akan membuat perjanjian semacam ini secara bilateral ataupun multilateral ataukah memilih tidak membuat perjanjian. Jika pada suatu waktu menghadapi kasusnya, para pihakpun masih dapat melakukan kerjasama secara kasus demi kasus. Satu hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan adalah, apakah hukum nasional masing-masing negara pihak mengenai mekanisme atau prosedur dalam melakukan penyelidikan, penuntutan ataupun peradilan sama ataukah tidak. Sejauh manakah persamaan dan perbedaannya? Jika ada perbedaanperbedaan, kiranya para negara pihak dapat saling menghormati. Hal ini sesuai dengan amanat dalam kalimat terakhir dari Pasal 19 ini, yakni, mereka wajib menjamin penghormatan atas kedaulatan dari negara pihak yang wilayahnya digunakan untuk melakukan penyelidikan tersebut, yang berarti pula, menjamin penghormatan atas pelaksanaan hukum nasionalnya. Hukum nasional Indonsia, seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ataupun Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak mengatur secara tegas tentang kemungkinan untuk melakukan penyelidikan bersama seperti diamanatkan dalam Pasal 19 UNTOC ini. Akan tetapi ketiga undang-undang itupun tidak melarang atau Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
Ternyata dari paparan di atas tampak cukup banyak kekosongan atau kesenjangan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 jika dibandingkan dengan Pasal 18 UNTOC. Masalah-masalah yang merupakan kesenjangan tersebut secara substansial justru amat penting untuk diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006. Oleh karena itu, perlu difikirkan untuk melakukan pengamendemenan terhadap Undang-Undang tersebut.
35
dengan kata lain, memberikan kemungkinan untuk melakukan kerjasama tersebut. Bahkan dalam prakteknya, ada tuntutan kebutuhan praktis untuk melakukan kerjasama itu secara kasus demi kasus. Ada baiknya juga pemerintah Indonesia melakukan penjajagan untuk melakukan kerjasama penyelidikan bersama dengan negara-negara sahabat yang secara potensial sering menghadapi masalah yang proses penyelidikan, penuntutan dan peradilannya, membutuhkan suatu kerjasama semacam ini.
20.
TEKNIK PENYELIDIKAN KHUSUS (PASAL 20)
U NTOC G A P A NA LYS I S
Mengenai teknik penyelidikan khusus, sebenarnya peraturan perundangundangan Indonesia, terutama dalam undang-undang pidana di luar KUHP, sudah banyak yang mengaturnya, seperti, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Jadi, tentang teknik penyelidikan khusus ini, bukanlah sesuatu yang baru sama sekali di dalam hukum nasional Indonesia. Akan tetapi dalam penerapannya, harus dilakukan dengan tetap menghormati dan melindungi hak asasi manusia dari pihak yang menjadi sasaran pada khususnya, hak asasi manusia dari masyarakat luas pada umumnya. Sifat penyelidikannya yang dilakukan dengan cara-cara yang khusus yang tentu berbeda dengan cara-cara penyelidikan yang dilakukan pada umumnya, mengandung kemungkinan yang sangat besar atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
36
21.
PEMINDAHAN PROSES PIDANA (PASAL 21) Pemindahan proses pidana ini, tegasnya, merupakan pemindahan orang yang diduga, dituduh ataupun didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dalam UNTOC ke negara pihak yang dipandang sebagai negara yang paling tepat dan efektif dalam pelaksanaan penuntutan dan peradilannya. Tentu saja pemindahan orang ini dapat pula disertai dengan pemindahan barang-barang bukti yang terkait, khususnya yang berupa benda-benda bergerak. Dengan demikian, proses penuntutan dan peradilannya dipusatkan pada negara pihak yang bersangkutan. Peraturan perundang-undangan Indonesia, seperti KUHAP ataupun peraturan perundang-undangan lainnya, tidak mengatur tentang pemindahan proses pidana ini. Namun, Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara tersimpul memungkinkan untuk dilakukan pemindahan proses pidana tersebut. Terlepas dari ada atau tidak adanya
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, haruslah dilakukan dengan tetap menghormati dan melindungi hak asasi manusia dari individu yang bersangkutan. Di samping itu juga terkait dengan sanksi pidana yang (kemungkinan) berbeda antara kedua negara. Misalnya, negara tempat orang itu tertangkap dan diproses secara pidana, ternyata sudah menghapuskan hukuman mati dari hukum pindana nasionalnya. Sedangkan Indonesia hingga kini masih menganut hukuman mati. Demikian juga dalam prakteknya, badan pengadilannya masih menjatuhkan hukuman mati serta telah banyak terhukum yang diesksekusi dengan hukuman mati. Jika orang yang bersangkutan dipindahkan proses pidananya dari negara yang bersangkutan ke Indonesia, sudah tentu dia akan sangat dirugikan sebab besar kemungkinannya dia akan diancam bahkan dijatuhi hukuman mati oleh badan peradilan Indonesia. Kecuali ada jaminan yang cukup kuat dan meyakinkan dari negara Indonesia, bahwa terhadapnya tidak akan diancam dan atau dijatuhi hukuman mati. Hal ini akan memberikan kepastian hukum sekaligus perlindungan hak asasi manusia bagi terpidana.
22.
PENYUSUNAN DATA TINDAK PIDANA (PASAL 22) Penyusunan data tindak pidana merupakan bidang kegiatan dalam ruang lingkup administrasi peradilan. Pasal 22 UNTOC menghimbau kepada negaranegara pihak untuk melakukan penyusunan data tindak pidana, apakah landasan hukumnya berupa undang-undang (tindakan legislatif) ataupun peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sepenuhnya tergantung kepada negara yang bersangkutan. Langkah ini lebih merupakan langkah internal dari masing-masing negara pihak, namun mengandung kerjasama internasional, terutama berkenaan dengan putusan-putusan badan peradilan negara-negara pihak lainnya yang dapat disusun datanya di negara pihak yang bersangkutan ataupun sebaliknya. Dalam hubungan dengan Indonesia persoalannya adalah, apakah putusanputusan badan peradilan (pidana) negara-negara lain dapat dijadikan sebagai alat bukti (surat) untuk diajukan ke hadapan pengadilan Indonesia? Pertanyaan ini muncul, disebabkan karena Pasal 22 tersebut menegaskan bahwa putusan itu dapat dijadikan sebagai informasi (alat bukti?) dalam proses pidana yang berhubungan dengan tindak pidana yang tercakup dalam Konvensi (UNTOC). Terhadap masalah ini dapat dikemukakan, bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur penggunanaan putusan pengadilan negara asing sebagai alat atau barang bukti dalam proses
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
pengaturan di dalam hukum atau perundang-undangan pidana Indonesia, jika pada suatu waktu Indonesia menghadapi suatu kasus yang berkenaan dengan kemungkinan perlunya dilakukan pemindahan proses pidana ke negara lain, Indonesia bisa saja melakukannya dengan negara yang bersangkutan, berdasarkan atas hubungan baik yang berlaku secara timbal balik antara kedua pihak. Hal ini dapat pula dipandang sebagai perwujudan dari pelaksanaan kedaulatan masing-masing pihak.
37
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Akan tetapi, praktek peradilan di Indonesia mengakui putusan pengadilan dalam perkara atas tersangka lain (pengadilan nasional, bukan pengadilan asing) dalam kasus yang masih berhubungan dengan perkara yang sedang diperiksa sebagai alat bukti surat apabila diajukan ke hadapan persidangan sesuai dengan proses yang sah menurut hukum acara pidana. Kadang-kadang putusan pengadilan tersebut turut dipertimbangkan oleh hakim untuk memperkuat keyakinannya atas perkara yang bersangkutan.
23.
KRIMINALISASI GANGGUAN PROSES PERADILAN (PASAL 23)
U NTOC G A P A NA LYS I S
UNTOC membebankan kewajiban kepada negara pihak untuk mengambil tindakan legislatif dan tindakan lainnya yang diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak pidana terhadap setiap perbuatan yang merupakan gangguan proses peradilan. Ada 2 (dua) bentuk perbuatan yang dipandang sebagai bentuk gangguan proses peradilan, yaitu : a.
Obyek gangguannya adalah saksi dan bukti
Setiap perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi atau janji, menawarkan atau memberi keuntungan yang tidak semestinya untuk membujuk, memberikan kesaksian palsu, atau mencampuri dalam pemberian suatu kesaksian atau perbuatan bukti dalam proses beracara.
b.
Obyek gangguannya pejabat peradilan atau penegak hukum
Setiap perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi untuk mencampuri pelaksanaan tugas resmi pejabat peradilan atau penegak hukum. Ketentuan ini tidak mengurangi hak negara (dalam perundang-undangannya) untuk melindungi pejabat publik dalam kategori lain.
38
Ketentuan yang mengatur kriminalisasi gangguan proses peradilan yang dimaksud dalam konvensi sudah diatur dalam perundang-undangan pidana Indonesia antara lain dalam : a.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
b.
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Substansi yang diatur dalam perundang-undangan Indonesia pada umumnya menyangkut gangguan yang bersifat fisik terhadap proses peradilan, sedangkan gangguan-gangguan yang bersifat non fisik seperti intimidasi mencampuri pelaksanaan tugas resmi pejabat peradilan atau aparat penegak Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
hukum belum dirumuskan secara jelas. 24.
PERLINDUNGAN SAKSI (PASAL 24) Konvensi mensyaratkan agar negara-negara pihak mengambil segala tindakan untuk memberikan perlindungan yang efektif terhadap para saksi dalam proses peradilan yang memberikan kesaksiannya mengenai tindak pidana yang tercakup dalam Konvensi. Perlindungan diberikan juga kepada keluarga mereka dan orang-orang lain yang dekat dengan mereka. Perlindungan diberikan berhubung kemungkinan adanya pembatasan atau intimidasi terhadap saksi dalam proses peradilan.
a.
Menetapkan prosedur untuk perlindungan fisiknya seperti misalnya menempatkan mereka dan mengizinkan untuk merahasiakan identitas dan keberadaan orang tersebut.
b.
Membuat aturan pembuktian guna memungkinkan kesaksian yang diberikan dengan suatu cara untuk menjamin keselamatan saksi, seperti memungkinkan pemberian kesaksian melalui teknologi komunikasi, misalnya saluran video (video links) atau cara lain yang memadai.
Konvensi juga mewajibkan bahwa ketentuan perlindungan saksi ini berlaku terhadap korban sepanjang mereka bertindak menjadi saksi. Perundangundangan tindak pidana khusus di Indonesia pada umumnya sudah mengatur perlindungan saksi. Perlindungan saksi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003), dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang Nomor 15 tahun 202 jo Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003) diatur secara umum yaitu tentang kewajiban negara memberikan perlindungan khusus dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan /atau hartanya, termasuk keluarganya. Undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan saksi adalah Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-undang ini bukan saja mengatur perlindungan secara fisik, tetapi juga perlindungan dalam bentuk pemberian keterangan kesaksian yang memungkinkan tidak perlu hadir di persidangan.
25.
BANTUAN TERHADAP DAN PERLINDUNGAN KORBAN (PASAL 25) Berbeda dengan perlindungan terhadap saksi, perlakuan terhadap korban
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
Tindakan-tindakan tersebut dilakukan tanpa mengurangi hak-hak terdakwa, termasuk hak untuk diadili secara layak (due process). Tindakan – tindakan perlindungan saksi dimaksud meliputi :
39
kejahatan, Konvensi mewajibkan kepada negara-negara pihak bukan saja memberikan perlindungan tetapi juga wajib memberikan bantuan terhadap korban kejahatan.
U NTOC G A P A NA LYS I S
Bantuan dan perlindungan terhadap korban kejahatan yang ditentukan dalam Konvensi meliputi :
40
a.
Tindakan-tindakan yang tepat dari kemungkinan ancaman pembalasan dan intimidasi.
b.
Prosedur-prosedur yang memadai untuk memberikan akses ganti rugi dan pemulihan bagi korban-korban tindak pidana.
c.
Dalam proses peradilan, pendapat-pendapat dan keprihatinan dari korban harus dikemukakan dan dipertimbangkan dengan cara yang tidak merugikan hak terdakwa untuk melakukan pembelaan.
Perundang-undangan Indonesia membedakan antara pelapor dan korban, sehingga beberapa undang-undang tidak memuat ketentuan tentang perlindungan korban, tetapi memuat ketentuan perlindungan pelapor. Perundang-undangan yang memuat perlindungan terhadap pelapor diantaranya adalah Pasal 39 - Pasal 41 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perlindungan yang diberikan terhadap pelapor pada dasarnya menyangkut larangan saksi, penyidik, penuntut umum dan hakim menyebut nama dan alamat pelapor dalam proses pemeriksaan. Perlindungan terhadap korban secara tegas diatur dalam Pasal 36 – Pasal 42 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang ini mengatur tentang pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban. KUHAP memberikan bantuan terhadap korban melalui ketentuan Pasal 160 ayat (1) huruf b yang mengatur tentang korban yang diberi kesempatan untuk pertama-tama didengar dalam pemeriksaan sidang pengadilan, dan ketentuan Pasal 90 yang mengatur penggabungan gugatan ganti kerugian oleh korban. Perundang-undangan yang mengatur secara khusus perlindungan korban dirumuskan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan yang diberikan berdasarkan ketentuan tersebut meliputi prosedur pemberian keterangan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan, kesaksian secara tertulis atau melalui sarana elektronik dan perlindungan dalam bentuk immunitas, tidak dapat dituntut secara hukum pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya.
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Korban dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat selain memiliki hakhak yang ditentukan dalam undang-undang, juga diberikan perlindungan dengan pemberian hak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
TINDAKAN UNTUK MENINGKATKAN KERJASAMA DENGAN APARAT PENEGAK HUKUM (PASAL 26) Konvensi mewajibkan negara pihak untuk mengambil tindakan-tindakan yang tepat guna mendorong orang-orang yang berpatisipasi atau telah berpartisipasi dalam kelompok-kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi agar bersedia : a.
Memberikan informasi yang bermanfaat (seperti identitas, sifat, komposisi, struktur, lokasi atau kegiatan kelompok-kelompok penjahat terorganisasi sendiri maupun keterkaitan kelompok penjahat terorganisasi dengan jaringan internasional, serta tindak pidana yang telah dan mungkin akan dilakukan oleh kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi) kepada badan yang berwenang untuk tujuan penyelidikan dan pembuktian.
b.
Memberikan bantuan faktual, konkrit kepada badan yang berwenang dalam rangka menghalangi kelompok penjahat terorganisasi dari sumber daya mereka atau dari hasil tindak pidana.
Konvensi juga mewajibkan negara pihak membuka kemungkinan pengurangan pidana atas terdakwa maupun pemberian kekebalan dari penuntutan terhadap seseorang yang bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan. Apabila seseorang yang bersedia memberikan informasi bermanfaat ataupun bantuan konkrit dalam penyelidikan dan pembuktian sebagaimana tersebut di atas berada di satu negara pihak dan orang tersebut bersedia melakukan kerjasama dengan badan-badan yang berwenang dari negara pihak lainnya, maka negara-negara pihak tersebut menurut Konvensi dapat membuat persetujuan atau peraturan tentang kemungkinan negara pihak lainnya memberikan perlakuan pengurangan pidana atau kekebalan penuntutan. Perundang-undangan Indonesia belum mengatur hal-hal terkait dengan bantuan dan kerjasama orang-orang yang pernah terlibat tindak pidana terorganisasi dengan aparat penegak hukum dalam rangka memberantas tindak pidana terorganisasi. Pengaturan tentang saksi mahkota yang bekerjasama dan membantu dalam penyelidikan dan pembuktian masih belum diterapkan dalam perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Pasal 42 mengatur peran serta masyarakat dengan memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang berjasa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Jika orang yang berjasa tersebut orang yang pernah terlibat dalam tindak pidana korupsi kemungkinan bekerja sama dalam penyelidikan dan pembuktian Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
26.
41
tindak pidana yang sama, mereka tidak berhak mendapat penghargaan. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur tentang saksi yang sekaligus menjadi tersangka bersedia bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam pembuktian di persidangan pengadilan, maka hakim dapat mempertimbangkan keterangan kesaksiannya tersebut sebagai alasan meringankan pidana.
U NTOC G A P A NA LYS I S
27.
42
KERJASAMA PENEGAKAN HUKUM (PASAL 27) Mengenai kerjasama penegakan hukum pada umumnya, beberapa pranata hukum yang ditegaskan di dalam UNTOC seperti ekstradisi (Pasal 16), pemindahan narapidana (Pasal 17), bantuan hukum timbal balik (Pasal 18), penyelidikan bersama (Pasal 19), kerjasama dalam melakukan teknikteknik penyelidikan khusus (Pasal 20), pemindahan proses pidana (Pasal 21), sebenarnya semua ini sudah termasuk di dalam ruang lingkup kerjasama penegakan hukum. Akan tetapi Pasal 27 tentang kerjasama penegakan hukum, secara lebih khusus menekankan kerjasama tersebut dalam pelbagai aspeknya yang lebih bersifat teknis-operasional seperti tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 huruf (a – f). Hal inipun sudah dilakukan oleh Indonesia, terutama oleh Kepolisian R.I. baik secara langsung dengan Kepolisian negara-negara sahabat ataupun dengan kerjasama melalui INTERPOL/ICPO (International Criminal Police Organisation). Persoalannya adalah, apakah kerjasama antara instansi-instansi penegak hukum tersebut dilandasi oleh suatu perjanjian kerjasama ataukah tidak? Pasal 27 ayat 2 UNTOC menekankan kepada negara-negara pihak untuk membuat perjanjiannya jika memang belum dilandasi oleh suatu perjanjian atau jika sudah dilandasi suatu perjanjian supaya perjanjian yang sudah ada itu diubah. Apapun hasil pertimbangan tersebut, sepenuhnya tergantung pada negara-negara yang bersangkutan. Namun perlu ditekankan disini, bahwa tanpa ada perjanjian kerjasama terlebih dahulupun, ketentuan Pasal 27 ini dapat langsung dilaksanakan baik pada tataran internasional ataupun domestik masing-masing negara pihak. Sudah tentu dengan tetap menghormati kedaulatan dan hukum nasional masing-masing negara pihak. Bahkan Pasal 27 ayat 2 mempersilakan para pihak untuk menjadikan Konvensi sebagai landasan hukum untuk bekerjasama apabila para pihak belum terikat pada suatu perjanjian. Dalam hubungannya dengan Indonesia, sebaiknya Indonesia menyikapi apa yang diamanatkan Pasal 27 ayat 2 ini dengan menginventarisasi perjanjian antara aparat penegak hukumnya dengan sesama aparat penegak hukum negara-negara sahabat jika memang perjanjian itu sudah ada. Jika perjanjian itu tidak atau belum ada perlu dipertimbangkan kemungkinan untuk mengadakan perjanjian kerjasama atau cukup dengan mengamendemen perjanjian yang sudah ada seperti tersebut di atas, terutama perjanjian kerjasama bantuan hukum timbal balik, dengan menyisipkan substansi-
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Selain itu, juga perlu diinventarisasi undang-undang pidana Indonesia di luar KUHP yang mengandung dimensi kerjasama internasional, khususnya berkenaan dengan kerjasama penegakan hukum untuk diharmonisasikan pengaturannya dengan perjanjian-perjanjian kerjasama penegakan hukum yang sudah ada ataupun praktek-praktek kerjasama penegakan hukum antara aparat penegak hukum yang sudah berlangsung selama ini. Sebagai contoh adalah, Undang-Undang Nomor 1/PRP. Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memberi wewenang kepada pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan kerjasama dengan negara-negara lain dalam bidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya. Juga Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana mengandung substansi mengenai kerjasama penegakan hukum dengan negara lain.
28.
PENGUMPULAN, PERTUKARAN DAN ANALISIS INFORMASI TENTANG SIFAT TINDAK PIDANA TERORGANISASI (PASAL 28)
43
Substansi Pasal 28 ini tergolong sebagai sesuatu yang bersifat teknisoperasional dan karena itu secara langsung dapat diimplementasikan oleh negara-negara pihak baik pada tataran domestik ataupun internasional. Andaikata substansi ini dipandang perlu dituangkan dalam bentuk perjanjian, tidak perlu dibuat satu perjanjian khusus, tetapi dapat disisipkan di dalam perjanjian kerjasama penegakan hukum seperti telah dipaparkan di atas. Atau ada kemungkinan bahwa substansi Pasal 28 ini sudah terliput di dalam perjanjian tentang kerjasama penegakan hukum yang sudah ada tersebut. Dalam kenyataan, ternyata institusi penegak hukum Indonesia seperti kepolisian dan kejaksaan telah membentuk satuan tugas atau unit kerja untuk menangani kasus-kasus tindak pidana internasional/transnasional, seperti tindak pidana transnasional terorganisasi, tindak pidana terorisme dan sebagainya antara lain dengan tujuan membentuk penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang ahli dan spesialis mengenai tindak pidana transnasional. Demikian juga penunjukan atau pengangkatan staf ahli dalam bidang-bidang yang terkait pada institusi kepolisian dan kejaksaan sudah sejak lama dilakukan. Demikian juga kerjasama antara kepolisian atau kejaksaan dengan perguruan tinggi di Indonesia.
29.
PELATIHAN DAN BANTUAN TEKNIS (PASAL 29)
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
substansi yang terkandung dalam Pasal 27 UNTOC ini. Atau langkah yang lebih komprehensif, yakni, setelah dilakukan inventarisasi atas semua perjanjian tentang kerjasama yang termasuk dalam ruang lingkup penegakan hukum yang sudah ada, dilanjutkan dengan pengkajian secara lebih mendalam tentang substansi dari semua perjanjian itu sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya sehingga dapat dilanjutkan dengan pengamendemenannya, ataupun jika dipandang perlu, membuat perjanjian baru.
Sama seperti substansi Pasal 28, substansi Pasal 29 inipun merupakan sesuatu yang sangat teknis-operasional dan karena itu secara langsung dapat diimplementasikan. Oleh karena yang menjadi fokus dari Pasal 29 adalah tentang pelatihan (ayat 1), perencanaan dan pelaksanaan program penelitian dan pelatihan (ayat 2), peningkatan pemberian bantuan pelatihan dan teknis (ayat 3) dan kegiatan operasi dan pelatihan melalui organisasi internasional regional ataupun global (ayat 4) maka lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) ataupun lembaga-lembaga pendidikan dalam lingkungan institusi seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman perlu ditingkatkan peranannya.
U NTOC G A P A NA LYS I S
30.
44
TINDAKAN LAIN: PELAKSANAAN KONVENSI MELALUI PEMBANGUNAN EKONOMI DAN BANTUAN TEKNIS (PASAL 30) Substansi Pasal 30 mewajibkan Negara-Negara Pihak mengambil tindakantindakan yang kondusif guna mengoptimalkan pelaksanaan konvensi melalui kerjasama internasional dengan alasan dan pertimbangan adanya pengaruhpengaruh negatif dari tindak pidana terorganisasi terutama pengaruh negatif terhadap pembangunan berkelanjutan.
31.
PENCEGAHAN (PASAL 31) Substansi Pasal 31 inipun sama seperti substansi pasal 28 dan 29 yakni berkenaan dengan masalah-masalah yang bersifat teknis-operasional yang dapat diimplementasikan secara langsung oleh negara-negara pihak, termasuk Indonesia. Semuanya tergantung pada ada atau tidaknya kehendak politik (political will) masing-masing negara pihak tersebut.
Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
BAB
III BEBERAPA TEMUAN DAN REKOMENDASI
BEBERAPA TEMUAN DAN REKOMENDASI
Secara kronologis, dapatlah dikemukakan beberapa temuan tersebut dan disertai pula rekomendasinya, seperti di bawah ini.
Pertama, dengan mulai berlakunya UNTOC ke dalam dan menjadi bagian dari hukum
nasional Indonesia, setelah dianalisis secara mendalam ternyata di dalam hukum nasional Indonesia sama sekali tidak ada satupun pasal dari KUHP ataupun undangundang pidana nasional Indonesia di luar KUHP yang mengatur tentang kejahatan (transnasional) terorganisasi. Demikian pula tindak pidana yang sudah diatur di dalam hukum pidana nasional Indonesia ternyata tidak ada yang dapat dipadankan dengan kejahatan (transnasional) terorganisasi. Dengan demikian, kejahatan (transnasional) terorganisasi ini dapat dipandang sebagai jenis kejahatan baru di dalam hukum pidana nasional Indonesia walaupun dalam kenyataan, kejahatan seperti ini sudah banyak terjadi bahkan sudah menimbulkan dampak yang cukup serius bagi Indonesia. Hal ini berbeda dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang setelah diratifikasi dan diberlakukan ke dalam dan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, sudah langsung berhadapan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai undang-undang anti korupsi yang sudah ada dan berlaku sebelumnya. Dalam hal ini, Indonesia mentransformasikan substansi UNCAC, khususnya kaidah-kaidah hukum pidana materiil-substansialnya ke dalam hukum pidana nasionalnya, dengan cara merevisi atau mengamendemen undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsinya (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Atau jika ketidaksesuaiannya atau ketertinggalannya demikian besarnya, dapat pula dibuat undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru yang substansinya selaras dengan UNCAC untuk menggantikan undang-undang yang lama tersebut. Dalam hubungan ini, pemerintah Indonesia menempuh cara pertama. Sedangkan kejahatan (transnasional) terorganisasi yang merupakan substansi pokok dari UNTOC, oleh karena tidak ada padanannya di dalam hukum pidana nasional Indonesia, maka mau tidak mau Indonesia haruslah mentransformasikan substansi pokoknya tersebut ke dalam hukum pidana nasional Indonesia, dengan cara membuat Beberapa Temuan dan Rekomendasi
U NTOC G A P A NA LYS I S
Berdasarkan analisis terhadap kesenjangan antara UNTOC dan peraturan perundangundangan nasional Indonesia yang bersinggungan dengan UNTOC seperti telah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, ternyata ada beberapa temuan yang dapat diungkapkan yang patut mendapat perhatian sungguh-sungguh dari badan pembuat undang-undang yakni, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Akan lebih baik lagi, jika kedua badan pembentuk undang-undang ini, menindaklanjutinya dengan langkahlangkah nyata seperti membuat undang-undang baru ataupun mengamendemen peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan dan atau yang terpengaruhi oleh temuan-temuan ini.
47
undang-undang tentang tindak pidana (transnasional) terorganisasi. Substansi dari undang-undang ini, sedapat mungkin supaya diselaraskan dengan substansi dari UNTOC, khususnya dengan kaidah-kaidah hukum materiil-substansialnya. Undang-undang inilah yang harus diterapkan terhadap kasus-kasus tindak pidana (transnasional) terorganisasi sesuai dengan asas-asas dari berlakunya hukum pidana Indonesia atau yurisdiksi kriminal menurut hukum pidana nasional Indonesia.
U NTOC G A P A NA LYS I S
Kedua, mengenai istilah-istilah. Ternyata UNTOC dalam Pasal 2 mengintroduksi
48
cukup banyak (10 macam) istilah. Pada lain pihak, hukum pidana nasional Indonesiapun juga sudah mengenal cukup banyak istilah. Seperti telah dikemukakan di atas (Bab II Bagian 2. Pemakaian Istilah (Pasal 2)), diantara istilah-istilah tersebut ada yang baru sama sekali karena belum/tidak ada di dalam hukum pidana nasional Indonesia tetapi ada pula yang sudah lama tercantum di dalam hukum pidana nasional Indonesia, baik dengan substansi yang sama ataupun dengan substansi yang berbeda. Istilah-istilah yang baru tersebut, antara lain, kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi, tindak pidana serius, kelompok terstruktur dan pengiriman terkendali. Sedangkan istilahistilah dalam UNTOC yang sudah dikenal di dalam hukum pidana nasional Indonesia, antara lain, kekayaan, hasil tindak pidana, pembekuan atau penyitaan, perampasan, dan tindak pidana asal. Walaupun istilah-istilah dalam UNTOC dimaksudkan khusus dalam hubungan dengan kejahatan (transnasional) terorganisasi, namun dalam praktek, terutama dalam kasuskasus konkrit, ada kemungkinan keterkaitan antara kasus kejahatan (transnasional) terorganisasi dengan dengan kasus-kasus kejahatan lain yang diatur dalam KUHP ataupun di luar KUHP dan secara serentak tersangkut istilah-istilah, baik yang tercantum dalam UNTOC ataupun istilah-istilah dalam KUHP atau undang-undang pidana lain di luar KUHP. Hal ini menimbulkan persoalan, istilah manakah yang harus digunakan? Dalam praktek hal ini dapat menimbulkan perbedaan pendapat, terutama di kalangan para penegak hukum, baik di kalangan internal dari korps penegak hukum itu sendiri maupun antara korps penegak hukum yang satu dengan yang lainnya. Kiranya perlu dipertimbangkan adanya pembakuan istilah-istilah dalam hukum pidana, sudah tentu sepanjang hal itu dimungkinkan.
Ketiga, adalah ruang lingkup berlakunya hukum pidana Indonesia sebagaimana
diatur di dalam Pasal 2 sampai dengan pasal 9 KUHP. Oleh para ahli, ketentuan ini dipandang sebagai konkritisasi dari asas-asas berlakunya hukum pidana, yakni, asas teritorial, asas kewarganegaraan aktif, asas kewarganegaraan pasif, dan asas universal. Sedangkan dari sudut pandang hukum (pidana) internasional, masalah ini termasuk dalam ruang lingkup yurisdiksi negara, khususnya yurisdiksi kriminal yang juga berdasarkan atas keempat asas tersebut. Tegasnya, yurisdiksi kriminal berdasarkan asas teritorial, asas kewarganegaraan aktif, asas kewarganegaran pasif, dan asas universal. Persoalannya adalah, ketentuan Pasal 2 - 9 KUHP, khususnya tentang ruang lingkup dari asas kewarganegaraan aktif dan pasif seperti dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7 dan Pasal 8 yang secara limitatif menentukan jenis-jenis tindak pidananya. Seperti sudah diketahui, KUHP Indonesia yang hingga kini masih berlaku adalah merupakan peninggalan dari KUHP Belanda yang diberlakukan di Hindia Belanda (sekarang: Indonesia) pada tahun 1918 berdasarkan asas konkordansi. Di Negeri Belanda sendiri KUHPnya itu sudah banyak mengalami perubahan (penambahan ataupun pengurangan). Timbul Beberapa Temuan dan Rekomendasi
Oleh karena itu, patut untuk dipikirkan secara lebih mendalam, mengenai perlu diperluasnya ruang lingkup yurisdiksi (kriminal) dalam Pasal 4, 5, 7 dan 8 KUHP. Perluasan ini tentu saja juga dalam rangka mengantisipasi atas semakin banyaknya bermunculan kejahatan transnasional yang semakin canggih serta semakin meningkatnya kepentingan nasional Indonesia baik pada tataran domestik ataupun internasional, yang harus dilindungi dari kejahatan atau tindak pidana internasional/ transnasional, baik yang terorganisasi ataupun tidak terorganisasi.
Keempat, ketentuan tentang penyertaan maupun permufakatan jahat yang ada
dalam perundang-undangan Indonesia dapat dikatakan belum mengakomodasi amanat Konvensi tentang masalah partisipasi dalam kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi karena lingkup perbuatan yang diamanatkan oleh Konvensi lebih luas daripada yang selama ini masuk dalam lingkup pengertian penyertaan dan permufakatan jahat menurut ketentuan hukum pidana di Indonesia. Oleh karena itu perlu untuk diakomodasi ketentuan Pasal 5 Konvensi dengan merumuskannya sebagai perluasan penyertaan dalam hukum pidana Indonesia agar dapat diberlakukan untuk semua keterlibatan dalam tindak pidana yang masuk cakupan tindak pidana transnasional terorganisasi.
Kelima, terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang,
perundang-undangan Indonesia sudah mengatur upaya penal secara sangat memadai. Akan tetapi juga harus dipertimbangkan bahwa upaya penal harus selaras dengan upaya-upaya non- penal yang dapat dilakukan, misalnya dengan memberikan sanksi yang mungkin akan lebih efektif daripada sanksi pidana dalam suatu kondisi dan situasi tertentu. Oleh karena itu seharusnya kewenangan pengawasan yang dimiliki oleh PPATK disertai dengan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif pada penyedia jasa keuangan yang tidak melaksanakan kewajibannya dalam upaya mencegah tindakan pencucian uang. Sanksi administratif yang dijatuhkan jangan sampai merusak kepercayaan masyarakat pada penyedia jasa keuangan dan berdampak buruk pada sistem transaksi keuangan.
Keenam, dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) belum diatur tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik asing ataupun oleh pegawai sipil internasional. Tampaknya, dalam rangka pengamendemenan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Beberapa Temuan dan Rekomendasi
U NTOC G A P A NA LYS I S
pertanyaan, untuk kurun waktu sekarang ini, apakah ketentuan dalam Pasal 4, 5, 7 dan 8 tersebut masih sesuai ataukah sudah ketinggalan jaman? Pada sisi lain, jenis-jenis kejahatan internasional/transnasional yang baru dengan karakter yang semakin canggih, semakin lama semakin banyak bermunculan yang juga sudah cukup banyak diatur di dalam konvensi-konvensi tentang kejahatan internasional. Konvensi-konvensi tentang kejahatan internasional/transnasional ini, -termasuk UNTOC- jiwa dan semangat dari yurisdiksi (kriminal)nya atas kejahatan atau tindak pidana yang diaturnya justru dalam ruang lingkup yang luas. Hal ini dapat dilihat dan dibaca dalam salah satu pasalnya yang menyerukan kepada negara-negara pihak/peserta untuk memberlakukan yurisdiksinya dengan jangkauan yang luas terhadap kejahatan yang diatur di dalam konvensi tersebut.
49
yang sedang berlangsung sekarang ini dan juga dalam rangka pentransformasian substansi UNCAC, kiranya masalah ini sudah ditampung untuk selanjutnya dicantumkan di dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi hasil amendemen tersebut.
Ketujuh, tentang tanggungjawab badan hukum. Sesungguhnya sudah sejak
U NTOC G A P A NA LYS I S
tahun 1955 hukum pidana nasional Indonesia mengakui bahwa badan hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atau dengan kata lain, badan hukum sudah diakui sebagai subyek hukum pidana. Bahkan dalam beberapa Undang-Undang Pidana Khusus, digunakan istilah korporasi yang ruang lingkupnya tidak hanya mencakup badan hukum tetapi juga perkumpulan yang bukan badan hukum. Namun demikian dalam prakteknya, hingga saat ini, belum pernah ada korporasi yang dijatuhi sanksi pidana. Hal ini nampaknya disebabkan ajaran pertanggungjawaban pidana korporasi kurang dikenal dalam praktek peradilan. Oleh karena itu perlu dilakukan sosialisasi dan pemberian pelatihan tentang perkembangan asas-asas baru hukum pidana dan hukum acara pidana bagi para penegak hukum. .
50
Kedelapan, sistem sanksi pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus
yang masuk dalam lingkup Konvensi telah selaras dengan amanat dari Konvensi yang secara tersirat menghendaki dijatuhkankannya sanksi yang berat terhadap (pelaku) tindak pidana. Bahkan dalam perundang-undangan khusus tersebut, di samping diancamkan pidana maksimal khusus juga diancamkan pidana minimal khusus dengan tujuan menghindarkan dijatuhkannya pidana yang ringan. Ketentuan ini memang ditujukan untuk tindak pidana yang masuk kategori tindak pidana khusus, yang oleh banyak kalangan disebut sebagai extra-ordinary crime. Hanya saja untuk tindak pidana lain yang menurut Konvensi masuk kategori tindak pidana serius, tidak ada ketentuan pidana minimal khusus. Hal ini yang dalam pelaksanaannya dapat membuka celah terjadinya ketidaksesuaian dengan tujuan Konvensi yang ingin menjatuhkan pidana yang relatif lebih berat kepada pelaku kejahatan transnasional terorganisasi. Oleh karena itu perlu dibuat ketentuan khusus agar hakim memperhitungkan beratnya tindak pidana transnasional terorganisasi ketika akan menjatuhkan pidana pada pelakunya. Ketentuan khusus ini dapat berupa pemberatan pidana bila tindak pidana dilakukan secara transnasional terorganisasi.
Kesembilan, kriminalisasi dan penentuan sanksi yang berat bagi pelaku tindak pidana harus dibarengi dengan kewenangan hukum yang jelas pada para pelaksana hukum. Kejelasan di sini bukan hanya berupa kewenangan menurut undang-undang, tetapi juga harus ada independensi pelaksana hukum dalam mempertimbangkan tindakan yang tepat untuk memaksimalkan penangkalan tindak pidana tersebut. Mengingat kedudukan lembaga penegak hukum yang masih menjadi bagian dari eksekutif maka kebijakan untuk melakukan peninjauan kembali kedudukan penyidik dan penuntut umum sebagai bagian lembaga yudikatif yang independen merupakan suatu langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini.
Kesepuluh, berkenaan dengan jangka waktu daluwarsa, UNTOC menyerukan kepada
negara-negara pihak/peserta supaya menetapkan jangka waktu daluwarsa yang lebih panjang atas tindak pidana yang diatur di dalamnya. Ini merupakan kecenderungan umum dari konvensi-konvensi tentang kejahatan internasional/transnasional
Beberapa Temuan dan Rekomendasi
mengingat sifatnya yang secara umum lebih canggih ketimbang kejahatan biasa. Hal ini dapat dipandang sebagai penyimpangan dari jangka waktu daluwarsa yang ditentukan di dalam hukum pidana nasional (KUHP) Indonesia. Undang-undang Pidana Khusus, misalnya tentang tindak pidana korupsi, terorisme dan pencucian uang tidak mengatur secara khusus jangka waktu kadaluarsa penuntutan dan penjalanan pidana, sehingga masih merujuk pada ketentuan kadaluarsa penuntutan dan penjalanan pidana yang diatur dalam KUHP. Dengan mengingat kekhususan dari tindak pidana transnasional terorganisasi, yaitu sangat kompleks dan tidak mudah pengungkapannya, maka harus dibuat ketentuan khusus tentang daluwarsa penuntutan dan penjalanan pidana yang lebih panjang daripada jangka waktu daluwarsa dalam KUHP untuk menjamin efektifitas penegakan hukum pada pelakunya. Ketentuan ini merupakan lex specialis dari ketentuan dalam KUHP. khususnya untuk perampasan dan penyitaan seperti yang diatur dalam Pasal 12 Konvensi sampai pada suatu kesimpulan bahwa masih belum ada pengaturan yang jelas dan komprehensif untuk tindakan penyitaan dan perampasan harta benda yang berasal dari konversi hasil kejahatan, harta benda yang tercampur dengan hasil kejahatan dan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari harta benda hasil kejahatan. Meskipun ketentuan yang ada secara implisit telah mencakup jenis-jenis obyek tersebut, namun ketiadaan ketentuan yang khusus dan jelas akan menyulitkan dalam praktek. Oleh karenanya perlu ditinjau kembali ketentuan tentang penyitaan dan perampasan barang hasil tindak pidana untuk disesuaikan dengan ketentuan dalam Konvensi.
Keduabelas, hukum acara pidana umum (KUHAP) dan beberapa perundang-
undangan khusus yang terkait dengan tindak pidana transnasional terorganisasi belum mengatur penyerahan harta hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita sebagaimana yang diamanatkan Pasal 14 Konvensi. Namun demikian bukan berarti tidak ada sama sekali instrumen hukum Indonesia untuk masalah ini. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana telah mengatur mengenai permintaan bantuan dan pemberian bantuan dalam rangka menindaklanjuti putusan pengadilan berupa perampasan harta kekayaan/benda yang disita ini. Ketentuan ini setidaknya dapat menjadi payung hukum bagi perundang-undangan pidana lainnya berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, termasuk bantuan untuk menindaklanjuti putusan pengadilan yang berisi perampasan benda sitaan/harta kekayaan berupa benda tidak bergerak, seperti tanah misalnya, terkait dengan sistem hukum setiap negara terhadap kepemilikan benda tidak bergerak oleh negara lain. Namun untuk pelaksanaannya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 masih memerlukan tindak lanjut.
Ketigabelas, tentang pranata hukum ekstradisi. Pengaturan tentang ekstradisi
dalam UNTOC yang dapat dipandang sebagai merepresentasikan perkembangan mutakhir dari pranata hukum tentang ekstradisi dalam hukum internasional serta dengan mengacu pada United Nations Model Treaty on Extradition (1990), semakin memperlihatkan ketertinggalan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
Beberapa Temuan dan Rekomendasi
U NTOC G A P A NA LYS I S
Kesebelas, penelaahan secara mendalam terhadap perundang-undangan Indonesia,
51
U NTOC G A P A NA LYS I S
Beberapa kekurangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tersebut, -di antara demikian banyak kekurangannya antara lain, ekstradisi dibatasi atas kejahatan yang dilakukan di luar wilayah negara diminta atau negara yang menyerahkan (Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1979). Padahal kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah negaradimintapun, si pelakunya juga dapat diekstradisikan oleh negara diminta, sepanjang berdasarkan pertimbangannya, orang yang diminta itu lebih tepat diadili oleh negarapeminta. Apalagi jika berkenaan dengan kejahatan transnasional (termasuk kejahatan transnasional terorganisasi) yang pelaku ataupun korbannya bisa berada di wilayah beberapa negara. Dalam kasus seperti ini, negara-diminta dapat mempertimbangkan untuk mengabulkan permintaan untuk pengekstradisian pelakunya kepada negarapeminta, walaupun kejahatan atau sebagian dari kejahatan terjadi di wilayahnya. Dalam hal ini, negara-diminta dapat mengesampingkan penerapan yurisdiksi kriminalnya yang berdasarkan asas territorial.
52
Berkenaan dengan penolakan negara-diminta terhadap permintaan negara-peminta untuk pengekstradisian atas orang yang diminta yang sudah berstatus sebagai terhukum, atas permintaan negara-peminta supaya negara-diminta mempertimbangkan pelaksanaan hukumannya tersebut di negara-diminta (Pasal 16 ayat 12 UNTOC) juga tidak ada di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
Keempatbelas, mengenai pemindahan narapidana, hingga kini belum ada satu
pasalpun dari Undang-Undang tentang Lembaga Pemasyarakatan (UU Nomor 12 Tahun 1995) ataupun KUHAP yang menegaskan tentang kemungkinan pemindahan narapidana ini. Tegasnya, pemindahan dalam rangka pelaksanaan hukuman atau sisa hukuman bagi narapidana asing yang sedang menjalani hukuman di Indonesia ataupun narapidana warganegara Indonesia yang sedang menjalani hukuman atau sisa hukumannya di negara lain, untuk dapat melaksanakan hukuman atau sisa hukumannya di negaranya sendiri. Oleh karena itu, kedua undang-undang tersebut di atas perlu diamendemen dengan menambahkan satu pasal atau ayat tentang pemindahan narapidana. Atau jika dipandang supaya landasan hukumnya lebih kuat, sebaiknya dibuat undang-undang khusus tentang pemindahan narapidana yang substansinya dapat diselaraskan dengan substansi dari perjanjian-perjanjian internasional bilateral atau multilateral tentang pemindahan narapidana. Ada baiknya pula Convention on the Transfer of Sentenced Persons antara Negara-Negara Eropa yang ditandatangani di Strasbourg pada tanggal 21 Maret 1983 dijadikan sebagai rujukannya. Kelimabelas, tentang bantuan hukum timbal balik. Ada satu kelebihan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik, yakni, ada pengaturan tentang “transit” yang memang sudah lazim dapat dijumpai di dalam konvensi-konvensi ataupun perjanjian bilateral ataupun multilateral tentang bantuan hukum timbal balik tetapi UNTOC sama sekali tidak mengaturnya. Kelebihan lainnya adalah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 mengatur tentang kemungkinan untuk memperoleh kembali sanksi denda yang berupa uang dan tentang pengidentifikasian dan pencarian orang. Akan tetapi pada sisi lain, justru Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 ini masih mengandung kekurangan jika dibandingkan dengan UNTOC, seperti, tentang Beberapa Temuan dan Rekomendasi
pemberian informasi, hal-hal yang berkenaan dengan pembuktian dan penilaian para ahli, tentang kewajiban untuk merahasiakan informasi yang diterima dari negaradiminta, negara-diminta tidak boleh menolak memberikan informasi kepada negarapeminta dengan alasan kerahasiaan bank, dan masih banyak lagi kekurangannya yang lain. Hal-hal seperti ini sama sekali tidak dapat dijumpai di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006.
Keenambelas, mengenai teknik penyelidikan khusus (Pasal 20), dan pemindahan
proses pidana (Pasal 21). Dilihat secara sepintas, substansi kedua pasal ini tampak tidak menimbulkan persoalan apapun karena sifatnya yang tergolong teknisoperasional yang dapat dilaksanakan secara langsung berdasarkan kesepakatan untuk bekerjasama antara para pihak. Akan tetapi, justru dalam penerapannya itulah terdapat kemungkinan pelanggaran atas hak asasi manusia dari orang atau kelompok orang yang menjadi sasarannya yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang seperti, aparat penegak hukum. Dalam melakukan teknik penyelidikan khusus oleh pejabat yang berwenang, misalnya, dengan penggunaan pengiriman terkendali secara tepat, penggunaan peralatan elektronik, bentuk-bentuk pengawasan lainnya ataupun dengan operasi-operasi rahasia (Pasal 20 ayat 1), walaupun dibenarkan menurut hukum nasional negara yang bersangkutan, dalam prakteknya sangat rentan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia dari masyarakat pada umumnya, hak asasi manusia dari orang atau kelompok orang yang menjadi sasaran dari teknik penyelidikan khusus tersebut pada khususnya. Demikian pula halnya dengan pemindahan proses pidana (Pasal 21), hak asasi manusia dari orang yang bersangkutan boleh jadi akan terlanggar, misalnya, negara dimana dia akan dipindahkan, ternyata mengancam kejahatannya itu dengan sanksi pidana yang lebih berat atau dengan hukuman mati sedangkan di negara semula, diancam dengan sanksi pidana yang lebih ringan atau tidak diancam dengan hukuman mati. Bahkan dengan pemindahan itu, mengakibatkan dirinya dipisahkan dan dijauhkan dari keluarga dan nilai-nilai sosial budaya yang selama ini dianutnya. Jika benarbenar proses pidananya dipindahkan dan sudah tentu dia sendiri juga dipindahkan tanpa persetujuannya, bukankah semua ini merupakan pelanggaran atas hak asasi manusianya? Untuk itu, kepada pejabat yang berwenang atau aparat penegak hukum dari masingmasing pihak perlu dimintakan perhatian, supaya berhati-hati dalam penerapan kedua pasal ini. Penerapan teknik penyelidikan khusus tetap harus dilakukan dengan menghormati hak asasi manusia, demikian pula pemindahan proses pidana Beberapa Temuan dan Rekomendasi
U NTOC G A P A NA LYS I S
Oleh karena hal-hal tersebut tidak saja dihadapi dalam kasus-kasus kejahatan transnasional terorganisasi seperti diatur dalam UNTOC tetapi juga akan dihadapi dalam kasus-kasus tindak pidana lain yang membutuhkan kerjasama bantuan hukum timbal balik, maka ada baiknya ketentuan-ketentuan dalam UNTOC yang tidak ada atau tidak ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tersebut diadopsi dan dicantumkan di dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, substansi UndangUndang Nomor 1 Tahun 2006 akan menjadi lebih lengkap dan akan semakin kuatlah eksistensinya sebagai landasan hukum dalam melakukan kerjasama bantuan hukum timbal balik.
53
hendaknyalah dilakukan dengan terlebh dahulu meminta persetujuan dari orang yang bersangkutan.
Ketujuhbelas, tentang gangguan terhadap proses peradilan. Hingga kini belum ada
U NTOC G A P A NA LYS I S
satu undang-undang yang secara terintegrasi mengatur tentang tindak pidana yang berupa gangguan terhadap proses peradilan (pemeriksaan di depan badan peradilan dari yang paling rendah hingga yang tertinggi), baik yang dilakukan di luar ataupun di dalam proses persidangan. Kalapun ada, ternyata masih tercerai-berai di sana-sini dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan pembentukan satu undang-undang yang secara komprehensif mengatur tentang gangguan terhadap proses peradilan ini.
54
Beberapa Temuan dan Rekomendasi
BAB
IV MATRIKS KESENJANGAN ANTARA UNTOC DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
1
PSL
tujuan Konvensi sehingga
undang-undang (Sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009). Tujuan Konvensi tersebut telah selaras dengan konsiderans dari
lebih efektif.
3.
2.
1.
uang tetapi
saja oleh
kejahatan
transnasional,
merupakan
kejahatan
bukan juga
kerjasama
regional
atau
Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
internasional
dan
keamanan
nasional
maupun
35
Tahun
2009
Tentang
U NTOC G A P A NA LYS I S
pidana narkotika telah bersifat transnasional yang
Narkotika, dalam pertimbangan huruf e ; bahwa tindak
Nomor
dengan terorisme.
dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
nasional yang mengacu pada konvensi internasional
dengan membentuk peraturan perundang-undangan
kan pada komitmen nasional dan internasional
Huruf d : “bahwa pemberantasan terorisme didasar-
internasional”
perdamaian
yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap
Huruf c : “bahwa terorisme mempunyai jaringan
Undang-Undang
-
-
Terorisme dalam pertimbangan :
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15
Peraturan
melalui forum bilateral atau multilateral.
melakukan
karena itu harus diberantas, antara lain dengan cara
nasional
pencucian
Pencucian Uang, dalam pertimbangan huruf d : “bahwa
Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-
beberapa undang-undang antara lain:
agar
mengadopsi tujuan konvensi.
bahan pertimbangan untuk meratifikasi UNTOC menjadi
tindak pidana transnasional terorganisasi secara
baru
perundangyang
harmonisasi perundang-undangan
terjadi
memperhatikan
undangan
peraturan
Indonesia pada dasarnya telah
tindak pidana transnasional terorganisasi telah dijadikan
penyusunan
Dalam
Kebijakan legislatif hukum pidana
Pentingnya kerjasama untuk mencegah dan memberantas
kerja sama untuk mencegah dan memberantas
REKOMENDASI
Tujuan Konvensi ini adalah untuk memajukan
Pernyataan Tujuan
DIPERTIMBANGKAN
ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
ISI
HAL-HAL LAIN YANG
Draft 5 (11 Agustus 2010) 1
MATRIKS KESENJANGAN ANTARA UNTOC DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
57
2
PSL
jaringan
perkembangan
situasi
dan
kondisi
yang
ada
padanan
perundang-undangan
Belum namun
tersebut
Indonesia
istilah
tindak pidana tersebut.
ada
dalam beberapa
rumusan
berkembang untuk menanggulangi dan memberantas
dengan
Tahun 1997 Tentang Narkotika sudah tidak sesuai
bangsa dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22
yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat,
korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa
terpadu
dengan
tujuan
untuk
tidak
langsung,
3.
Tahun
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia tentang
dengan
“kelompok
orang”
mengatur secara umum tanpa
Pidana Terorisme yang berbunyi : “setiap orang adalah
hanya
Ketentuan dalam KUHP
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
pok orang” pelaku tindak pidana.
kewenangan hakim untuk menbubaran dan pelarangan “kelom-
subyek
definisi/
angka (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
sebagai
dari
jatuhkan putusan berupa pem-
orang”
berasal
tindak pidana terorisme yang diatur dalam Pasal 1
“setiap
orang”
hukum
pengertian
“kelompok
tindak pidana tambahan seperti
Istilah
Perpu ini juga tidak mengatur
itu
tindak pidana Narkotika.
Selain
bertindak bersama dengan tujuan melakukan suatu
orang”.
dan tidak mengatur pertanggung-
sud
“kelompok
Terorganisasi
2009
lebih yang telah ada untuk suatu waktu tertentu dan
Kejahatan
35
pidana terhadap subyek hukum
atau
keuntungan keuangan atau materi lainnya;
langsung
mendefinisikan
Nomor
lanjut tentang apa yang dimak-
Undang-Undang
perkumpulan yang bermaksud melakukan kejahatan
yang terstruktur yang terdiri atas 3 (tiga) orang atau
2.
jawaban pidana serta ancaman
ditetapkan adalah kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok
yang Narkotika
lebih
lebih
secara
atau
penjelasan
Pidana Terorisme tidak
Tindak
memberikan
sanksi pidana penjara 6 tahun bila turut campur dalam
Pemberantasan
KUHP, Pasal 169 antara lain: mengancam dengan
tentang
Undang-Undang Nomor 15 Tahun
menurut Konvensi ini, untuk mendapatkan,
pelanggaran
melakukan satu tindak pidana serius atau
secara
ANALISIS
Peraturan Pemerintah Pengganti
1.
yang
oleh
dalam satu periode waktu dan bertindak
terstruktur
didukung
2003
kelompok
canggih,
ketentuan yang menyerupai rumusan tersebut antara lain :
suatu
teknologi
organisasi yang luas dan sudah banyak menimbulkan
tinggi,
dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
terdiri dari tiga orang atau lebih, terbentuk
berarti
a) “Kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi”
Untuk tujuan Konvensi ini:
Pemakaian Istilah
ISI
58 ikatan atau
ideologi
penganut
formal,
ikatan formal.
bentuk melalui suatu
tertentu. Korporasi di-
aliran
misalnya
suatu
tidak dibentuk dalam
rasi. Kelompok orang
berbeda dengan korpo-
Istilah kelompok orang
DIPERTIMBANGKAN
dan
pembakuan dalam
hukum
nisasi.
nasional
tindak
yang
pidana
terorga-
trans-
pidana Indonesia dalam
nakan
istilah-istilah yang digu-
risasi
Perlu dilakukan inventa-
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 2 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
atau sanksi yang lebih berat;
kemerdekaan paling kurang empat tahun
dihukum dengan maksimum penghilangan
merupakan suatu tindak pidana yang dapat
b) “Tindak pidana serius” berarti tindakan yang
ISI
dengan
yang dipermasalahkan bukanlah penyertaan dalam tindak pidana.
Sedangkan kejahatan oleh organisasi termasuk di dalamnya kejahatan korporasi yang merupakan bagian dari kejahatan
ada
undang-undang
yang
secara
menyebutkan klasifikasi tindak pidana serius.
Tidak
diidentikkan dengan organisasi dagang atau bisnis.
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia dari
(Pasal
penahanan
KUHAP)
tentang
acara,
beberapa
tindak
adalah
pidana
pidana
yang
serius
bahwa
bila
(1)
bantuan ayat
yang
pada
pejabat
lima tidak
semua
yang
hukum
penjara penasihat maka bersangkutan
sendiri,
lebih
pidana atau mempunyai
tahun
diancam
tersangka atau terdakwa yang
dikatakan
KUHAP)
56
tentang (Pasal
hukum
ketentuan
atau lebih. Demikian juga dalam
diancam pidana penjara 5 tahun
tindak
bahwa
dapat diketahui secara tersirat
20
ketentuan
hukum
misalnya
ketentuan
tetapi
Walaupun tidak ada terminologi khusus,
U NTOC G A P A NA LYS I S
khusus
kerah putih. Kejahatan oleh organisasi pada umumnya
tujuan melakukan kejahatan. Jadi
perkumpulan yang ber-
adanya
yang
mengacu kepada suatu organisasi rahasia seperti mafia.
sini
yang diselenggarakan melalui organisasi kriminal yang
di
menjadi fokus perhatian adalah
bahwa
pulkan
Kejahatan terorganisasi dimaksudkan sebagai kejahatan
tapi secara tersirat dapat disim-
crime) dan kejahatan oleh organisasi.
melakukan kejahatan. Akan te-
bermaksud
membedakan antara kejahatan terorganisasi (organized
yang
dimaksud
Secara teoritis, pengertian tindak pidana terorganisasi
perkumpulan
yang
apa
atau korporasi”.
menetapkan kriteria yang jelas
maupun yang bertanggung jawab secara individual,
ANALISIS
orang perorangan, kelompok orang baik sipil, militer
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
59
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 3
PSL
tentang
Tindak
Pidana
yang
diancam
dengan
lebih,
yang Negara
di Republik
dilakukan
pidana
tersebut tindak
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
maupun suatu struktur yang jelas;
keanggotaannya
tersirat
kejahatan. secara
dengan
dapat
Akan
bermaksud
perkumpulan
yang Jadi
yang
dipermasalahkan
bertujuan melakukan kejahatan.
adanya
menjadi fokus perhatian adalah
disimpulkan bahwa di sini yang
tetapi
melakukan
yang
dimaksud perkumpulan
dari
yang
apa
melakukan suatu tindak pidana Narkotika
kesinambungan
anggotanya,
menetapkan kriteria yang jelas
para
suatu waktu tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan
bagi
secara
formal
mengatur secara umum tanpa
(c) hanya
terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk
huruf KUHP
yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang
dan dalam
tidak perlu memiliki peran yang ditetapkan
(a)
juga pidana
melakukan tindak pidana dengan segera dan
Huruf
menurut hukum Indonesia.
merupakan
tindak
Negara Republik Indonesia dan
Indonesia atau di luar wilayah
wilayah
atau
pidana penjara 4 (empat) tahun
lainnya
yang diperoleh dari tindak pidana
Pidana adalah Harta Kekayaan
menyatakan bahwa Hasil Tindak
Pencucian Uang Pasal 2 butir y
2003
Undang-Undang Nomor 25 Tahun
penasehat hukum bagi mereka.
Ketentuan
dibentuk
dalam
mendefinisikan Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan
acak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
secara
pemeriksaan
proses peradilan wajib menunjuk
tingkat
ANALISIS
untuk
tidak
c) “Kelompok terstruktur” berarti suatu kelompok
yang
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
ISI
60 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 4 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
maupun
yang
tidak
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh
e. penyelundupan imigran;
d. penyelundupan tenaga kerja;
c. penyelundupan barang;
b. penyuapan;
a. korupsi;
penyertaan
dalam
tetapi
kelompok
yang
ada
terstruktur.
tindak
terorganisasi ini.
melakukan
pidana
untuk kelompok terstruktur yang
dalam UNTOC ada ciri khusus
dengan Padahal
dimaksud
yang
kelompok terstruktur.
apa
Tidak ada penjelasan lebih lanjut
adalah
terorganisasi,
Kelompok Pelaku tindak pidana
Tahun 2009 tidak ada terminologi
Dalam Undang-Undang Nomor 35
tindak pidana.
bukanlah
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
Ayat (1):
suatu tindak pidana; dari tindak pidana:
Pidana Pencucian Uang Pasal 2:
atau tidak langsung, melalui pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak
berwujud
berasal dari atau diperoleh, secara langsung
e) “Hasil tindak pidana” berarti setiap kekayaan
kepentingan terhadap, asset tersebut;
yang
berwujud.
hukum yang membuktikan hak atas, atau
baik
bergerak,
tidak berwujud, dan dokumen atau instrumen
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 1 butir 4 mendefinisikan Harta
tidak Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak
atau
bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau
berbentuk
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
berbentuk,
baik
d) “Kekayaan” berarti aset berbentuk apapun,
ISI
61
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 5
PSL
f)
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia diatur dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, tetapi
pelepasan atau perpindahan kekayaan, atau
istilah
penyitaan dan pemblokiran. Istilah/pengertian penyitaan
“penyitaan”
Hukum Acara Pidana Indonesia, membedakan pengertian
atau
berarti
“Pembekuan”
ayat (1) huruf n.
sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan
Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau
Ayat (2):
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga
wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah
penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di
y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana
x. di bidang kelautan; atau
w. di bidang lingkungan hidup;
v. di bidang kehutanan;
u. di bidang perpajakan;
t. prostitusi;
s. perjudian;
r. pemalsuan uang;
q. penipuan;
p. penggelapan;
o. pencurian;
n. terorisme;
m. penculikan;
l. perdagangan senjata gelap;
k. perdagangan manusia;
j. psikotropika;
i. narkotika;
h. di bidang asuransi;
g. di bidang pasar modal;
f. di bidang perbankan;
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
pem-
(freezing) sebagai
pembekuan diartikan
blokiran yang memiliki penger-
dapat
Istilah
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
pelarangan sementara pemindahan, konversi,
ISI
62 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 6 HAL-HAL LAIN YANG
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
PSL
yang
dikeluarkan
oleh
berdasarkan
pengawasan
yang
meliputi
berbeda
penguasaan penuntut
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyitaan
berarti
atau
yang
sengaja
U NTOC G A P A NA LYS I S
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 2 ayat (1):
dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
kejahatan
yang
dari
Pasal 39 ayat (1) : Barang-barang kepunyaan terpidana
lainnya;
diperoleh
tambahan
barang-barang tertentu sebagai salah satu bentuk pidana
KUHP Pasal 10 b, butir 2: menyebutkan perampasan
atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa yang diketahui
Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK
Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap Harta
hakim berwenang memerintahkan kepada Penyedia Jasa
2002 Pasal 32 ayat (1) : Penyidik, penuntut umum, atau
Pemblokiran menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun
pengadilan.
melalui ijin/persetujuan hakim.
hakim.
dan tata cara pelaksanaan harus
juan
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
dan penguasaan pemegang barang,
alih
benda tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk
mengambil
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau
untuk
cara
barang dilepaskan sementara dari
penyidik
tata
pemblokiran tanpa ijin/persetu-
umum),
atau
tindakan
Penyitaan menurut KUHAP Pasal 1 butir 16: Serangkaian
diblokir “belum” berada dalam
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun (penyidik/
pengertian bahwa barang yang
31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 negara
(seizure). Pemblokiran memiliki
“penyitaan”
yang
pengertian
hukum
Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
dengan
Pencucian Uang, Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor
akibat
perintah pengadilan atau badan berwenang
berarti
perampasan
diberlakukan,
ANALISIS
tian, tata cara pelaksanaan dan
32 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-
perundang-undangan lainnya,
tanpa diberi penjelasan tentang pengertiannya, misal Pasal
pemblokiran ada dalam
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
pencabutan permanen atas kekayaan dengan
dapat
“Perampasan”
bilamana
h) “Tindak pidana asal” berarti setiap tindak
g)
perintah
atau
sementara
penjagaan
secara
pengadilan atau badan berwenang lainnya;
suatu
kekayaan
menerima
ISI
63
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 7
PSL
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
i) “Pengiriman terkendali” berarti cara untuk
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Negara Republik Indonesia dan tindak pidanatersebut juga
wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah
penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di
y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana
x. di bidang kelautan; atau
w. di bidang lingkungan hidup;
v. di bidang kehutanan;
u. di bidang perpajakan;
t. prostitusi;
s. perjudian;
r. pemalsuan uang;
q. penipuan;
p. penggelapan;
o. pencurian;
n. terorisme;
m. penculikan;
l. perdagangan senjata gelap;
k. perdagangan manusia;
j. psikotropika;
i. narkotika;
h. di bidang asuransi;
g. di bidang pasar modal;
f. di bidang perbankan;
e. penyelundupan imigran;
d. penyelundupan tenaga kerja;
c. penyelundupan barang;
b. penyuapan;
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh a. korupsi;
yang
Pasal 6 Konvensi ini;
hasil-hasil dari tindak pidana:
mana
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
yang
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
diperolehnya dapat menjadi subjek dari suatu
pidana
ISI
64 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 8 HAL-HAL LAIN YANG
3
PSL
satu
berwenang
mereka,
bawah
Negara,
1.
atau
mengikat;
referensi
crime”
shall
(b)
conduct
huruf
mean
2
yang
maximum deprivation of liberty of at least
constituting an offence punishable by a
“serious
Konvensi ini, yakni:
seperti
Pasal
serius
dalam
pidana
ditetapkan
(b) Tindak
Pasal 5, 6, 8 dan 23 dari Konvensi
(a) Tindak pidana yang ditetapkan menurut
penuntutan atas:
lain, terhadap pencegahan, penyelidikan, dan
Konvensi ini berlaku kecuali jika dinyatakan
dalam batas-batas kewenangan mereka.
berlaku pada organisasi-organisasi tersebut
“Negara-negara Pihak” dalam Konvensi ini
menyetujui
menandatangani, mengesahkan, menerima,
kuasa, menurut prosedur internalnya, untuk
dalam Konvensi ini dan yang telah diberikan
kompetensinya dalam hal-hal yang diatur
Negara-negara Pihaknya telah menyerahkan
negara berdaulat dalam suatu wilayah, yang
suatu organisasi yang dibentuk oleh Negara-
j) “Organisasi regional integrasi ekonomi” berarti
terlibat dalam pelaksanaan tindak pidana;
pidana dan identifikasi orang-orang yang
untuk keperluan penyidikan suatu tindak
badan
di
lebih
dan
atau
sepengetahuan
wilayah
pengawasan
dengan
dalam
mencurigakan ke luar dari, melalui atau ke
memungkinkan kiriman yang tidak sah atau
ISI
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia 3
yang
pidana
ada
kebaharuan
dengan tindak pidana (nasional
dan
ada yang mengandung
Dikatakan baru karena berkenaan
Perlu dipikirkan dan di-
tersendiri di luar KUHP.
undang-undang
KUHP ataukah diatur di Pasal 3 Konvensi ini
Indonesia.
dalam
diintegrasikan ke dalam mun karena substansi pidana
pidana Indonesia, nahukum
di
dalam
tindak pidana yang sudah dikenal
dipertimbangkan apakah pengaturannya
diatur di dalam hukum
sudah
hukum
nasional Indonesia, perlu
dalam
ini ditransformasikan ke
Konvensi
ini
tercakup dalam Pasal 3
pidana
sebenarnya mencakup jenis-jenis
dapat dipandang
Pasal
Jika substansi Konvensi
sebagai substansi yang baru yang
Konvensi ini
dari
tindak
lingkup
ruang
atau
beberapa kejahatan
jenis
dalam
Walaupun termasuk
yang
pidana
DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 9 HAL-HAL LAIN YANG
Mengenai kejahatan atau tindak
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
65
4
PSL
2.
1.
Negara-negara
Pihak
tentang
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia perlindungan
dalam
memang
harus
hubungan-hubungan
lain
berdasarkan
hukum
tidak
dan boleh
melakukan
masing-masing
kedaulatan
dari moderen.
umum internasional
prinsip
Namun
hukum
intervensi. Ini sudah merupakan
atau
kemerdekaan
menghormati
nasionalnya.
Pihak
sama derajat dan harus saling
bertindak demikian karena semua
internasional
di
secara tegaspun negara-negara
mikian adanya. Tanpa dinyatakan
sebenarnya memang sudah de-
yakni menyatakan sesuatu yang
Negara
menerapkan
tentang
kedaulatan ini bersifat deklaratif,
negara di dunia ini berkedudukan
untuk
dan
yang hanya dimiliki oleh pejabat berwenang
lainnya
23
yurisdiksi dan melaksanakan fungsi-fungsi
Pihak
berdasarkan asas resiprositas.
2002
Negara
Tahun
Pasal 4 mengatur menyimpangan dari pada asas ini
1
untuk mengambil tindakan dalam wilayah
Nomor
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Pasal 3 dan
Undang-Undang
memberikan hak kepada suatu Negara Pihak
yang Atas
ini
Tidak
Konvensi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Perubahan
dalam negeri negara-negara lain.
sudah
Konvensi.
Indonesia
seperti ditegaskan dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)
dalam
Pasal
Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)
pidana
tidak melakukan intervensi terhadap masalah
ada
dan
semata-mata domestik
8
kejahatan serius
maupun transnasional.
yang
Pasal
baik
mencakup
kejahatan pada Pasal 5, Pasal 6,
substansinya
yang
sional terorganisasi untuk jenis
Pidana
serta
selaras
trans-
mencakup dan
vensi ini.
dengan ketentuan Kon-
nasional
mencakup
terorganisasi
nasional
tang kejahatan trans-
Pasal 3 ayat (1) Konvensi ini transna-
nasional
kejahatan
stansinya
luar
ten-
di
undang-undang
ataupun
bangkan pembentukan
KUHP
Tindak
Undang-Undang Terorganisasi yang sub-
tentang
tukan
dalam tentang pemben-
kaji secara lebih men-
KUHP.
Konvensi
hukum
serius),
pidana
dalam
asas-asas berlakunya
tindak
(kejahatan
atau
maka perlu dipertim-
hampir
pada
gai macam kejahatan
yang mencakup berba-
DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 10 HAL-HAL LAIN YANG
semua tindak pidana yang diatur
mencakup
karena
yang
Ketentuan Pasal 2 sampai Pasal 9 KUHP yang memuat
integritas wilayah Negara-negara dan prinsip
berdasarkan
melaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional moderen
mereka
suatu
prinsip-prinsip kedaulatan yang sejajar dan
kewajiban-kewajiban
wajib
kelompok penjahat terorganisasi.
melibatkan
umumnya
dan
transnasional
lama,
Dikatakan
transnasional)
tindak pidana yang pada dasarnya bersifat
dan
ANALISIS
terorganisasi.
four years or a more serious penalty.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
Tindak pidana serius tersebut merupakan
Perlindungan Kedaulatan
2.
ISI
66
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
5
PSL
atas
wajib
dalam
mengambil
Pidana
Pasal
materi
menganjurkan maupun
masih memiliki pengertian atau
melakukan tindak pidana (uitlokken), ataupun Pasal 88 KUHP tentang permufakatan jahat. Hanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
lainnya dan, jika dipersyaratkan oleh
undang-undang nasional, melibatkan
suatu tindakan yang dilakukan oleh
U NTOC G A P A NA LYS I S
permufakatan
jahat
(uitlokken)
terorganisasi.
pidana
penyertaan pidana
lam
tindak
untuk diterapkan daserta
(medeplegen),
dalam KUHP, antara lain turut
Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP tentang menganjurkan untuk
atau
memperoleh
tentang turut serta melakukan tindak pidana (medeplegen),
keuntungan
materi
dalam
keuangan
langsung
dalam
pidana
dan
per-
tian istilah dalam KUHP
KUHP maupun penger-
mufakatan jahat dalam
(deelneming)
dari serius yang terorganisasi.
tindak
tentang
Bentuk-bentuk
jahat
istilah
KUHP,
sudah tidak sesuai lagi
88 pengertian
Pasal
permufakatan
dalam penyertaan
langsung tentang
terlibat Ketentuan
jika
penyertaan dalam tindak pidana perbuatan material.
yang tidak
merujuk
(deelneming), antara lain Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
atau
tujuan
langsung
dengan
berhubungan
masih
dirinci
pada ketentuan umum hukum pidana tentang penyertaan
pidana Indonesia
per-
perundang-undangan
- Perlu
serius
pidana
sampai
hukum Indonesia.
lam
perundang-undangan
tindak
55
sebagi
luasan penyertaan da-
muskan
5 diru-
Pasal perlu
Konvensi
- Ketentuan
REKOMENDASI
lain untuk melakukan tindak pidana
dalam
Partisipasi
(i) setuju dengan satu atau lebih orang
menurut
dengan Pasal 60) dan
serius,
(Pasal memandang
Bab V Buku I KUHP
bangan tindak pidana.
umumnya
atau
Konvensi. perundangundangan pidana Indonesia pada
percobaan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
terlibat
5
2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
yang
pemenuhan tindak pidana;
dalam
mereka
16
Penafsiran
Pasal
dimaksud
dengan
tidak
Peraturan
sampai
sudah
sesuai dengan perkem-
KUHP
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
yang
pidana
dalam
penyertaan (deelneming)
Ajaran
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
Draft 5 (11 Agustus 2010) 11
sebagai tindak pidana yang berbeda dari
13
seperti
(a) Salah satu atau kedua dari hal berikut
Pasal
tidak
Indonesia
atau
ketentuan KUHP seluas
perundang-undangan
tindak
dalam
jahat serta dalam perundang-undangan pidana lainnya
sebagai
tentang
(deelneming) dan Pasal 88 KUHP tentang permufakatan
menetapkan
KUHP
terhadap
sama negara.
dan melindungi kedaulatan se-
nisasi harus tetap menghormati
penyertaan
62)
pihak dalam
kejahatan transnasional terorga-
Penafsiran
Pasal
supaya
pidana, apabila dilakukan secara sengaja :
untuk
UNTOC
harus
pencegahan dan pemberantasan
dalam
ini peringatan
negara-negara
sebagai
terhadap
Konvensi
(2)
ayat dipandang
karena itu Pasal 4 ayat (1) dan
negara menaati prinsip ini. Oleh
penyertaan
dengan
ANALISIS
dalam prakteknya tidak semua
Ketentuan semacam ini diatur dalam Bab V (Pasal 55
perlu
Pihak
Tindak
partisipasi
sampai
Negara
Pelaku
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
tindakan legislatif dan lainnya yang dianggap
1. Setiap
Terorganisasi
Kelompok
Kriminalisasi
ISI
67
PSL
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
penjahat
memfasilitasi,
memberi
atau
diru-
atau
memberi
sebagaimana
sarana
dengan
Demikian
permufakatan
pidana.
pula yang
dengan
melibatkan
maksud,
tujuan
Tahun 2009 tentang Narkotika.
niat,
keadaan faktual yang obyektif.
Pengetahuan,
dalam Undang-Undang Nomor 35
5
Pasal ini dapat didasarkan pada keadaan-
Pasal
Pasal 5 Konvensi sudah diadopsi
dalam
atau
Konvensi
persetujuan yang mengacu kepada ayat 1
kelompok penjahat terorganisasi.
serius
partisipasi
dibandingkan dengan pengertian
pidana
tindak
memiliki pengertian yang sempit
terjadinya
atau
membimbing
kejahatan (Pasal 88 KUHP) masih
membantu, bersekongkol, memfasilitasi
lebih sepakat akan melakukan
istilah
tindak
ke-2 KUHP) untuk terwujudnya
muskan dalam Pasal 55 ayat (1)
keterangan
kesempatan,
mengarahkan,
(b) Mengorganisasikan,
untuk
sebagaimana
terorganisasi
pidana
ditetapkan menurut ayat (1) (a) (i) dari Pasal
tindak
penjahat
tujuan-tujuan
kelompok
nasionalnya mensyaratkan keterlibatan suatu
diatur
sendiri-sendiri
ada aspek khusus bila
dakpastian hukum.
dengan
satan,
martabat,
akan menyebabkan keti-
atau
tenpidana terorganisasi mengingat
transnasional
tang
kekerasan, ancaman atau penye-
saan
diartikan sebagai dua orang atau
narkotika.
narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana
sesuatu,
sebagaimana diuraikan di atas.
membantu
bahwa
menganjurkan,
melakukan,
konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan
menyuruh,
serta
menjanjikan
dengan menyalahgunakan kekua-
atau
batas (dengan istilah memberi
syarat-syarat yang sangat ter-
tercapainya tujuan tindak pidana
akan
dari
terorganisasi
sepengetahuan
partisipasinya
dengan
kelompok
lain
penjahat terorganisasi;
b. kegiatan-kegiatan
turut
melaksanakan,
membantu,
yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan,
a. kegiatan kriminal dari kelompok
peran
dalam:
mengambil
3. Negara-negara Pihak yang undang-undang
2.
Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih
tersebut,
aktif
dari pada ketentuan yang ada dalam KUHP Pasal 88.
niat untuk melakukan tindak pidana
dari memberikan definisi permufakatan jahat yang lebih luas
kriminal
kelompok penjahat terorganisasi atau
kegiatan Pasal 1 butir 18 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
(Pasal 13), merencanakan dan/atau menggerakkan (Pasal 14).
yang, suatu
seseorang
dan
oleh
dengan sepengetahuan atas tujuan
(ii) dilakukan
tindak
tersendiri
undang
undang-
ada
Perlu
dengan menggunakan istilah pembantuan atau kemudahan
pidana atau masih menentukan
terorganisasi;
bali.
konkrit dalam pelaksanaan tindak
sedikit memperluas bentuk-bentuk penyertaan tersebut
penjahat
perlu dirumuskan kem-
kelompok
yang
tindakan
sempit
dengan
yang
melibatkan
penafsiran dihubungkan
atau
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
REKOMENDASI
Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun
DIPERTIMBANGKAN
kesepakatan
ANALISIS
Draft 5 (11 Agustus 2010) 12 HAL-HAL LAIN YANG
mendorong
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
salah satu dari para peserta dalam
ISI
68
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
6
PSL
suatu
Pihak
tindakan
dalam
nasionalnya
Jenderal
Perserikatan
Bangsa-
pada
saat
mereka
menyerahkan
yang
se-
yang kini sedang dibahas RUU nya di DPR.
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
pidana, untuk tujuan menyembunyi-
kan atau menyamarkan asal kekayaan
yang
Penyedia
Jasa
Keuangan
ke
Jasa
U NTOC G A P A NA LYS I S
Penyedia
suatu
dari
menghindari
hukum
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari
akibat
b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
membantu
terlibat
atau dalam
yang
sah
pelaksanaan tindak pidana asal untuk
seseorang
tidak
Un-
Undang-Undang tentang Tindak Pidana
Nomor 15 Tahun 2002
miliki
Indonesia sudah me-
baru
dang-Undang
a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
dengan
diubah
Ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja:
hasil
tindak
merupakan
tersebut
rencana
dengan mengetahui bahwa kekayaan
dalam
Uang dang
No-
Pencucian
Undang-Undang
1. a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 3
patut
(a) (i) Konversi atau pemindahan kekayaan,
atau
tentang Tindak Pidana
diketahui
pencucian uang.
yang
merupakan hasil tindak pidana sebagai tindak pidana
kekayaan
dilakukan secara sengaja:
untuk
menetapkan sebagai tindak pidana, apabila
diperlukan
Nomor 15 Tahun 2002 jo.
Undang-Undang
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
mor 25 Tahun 2003
mungkin
ANALISIS
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 13
diduga
yang
dengan
6
harta
Pasal
kekayaan
dengan
pemindahan
sampai
maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
3
lainnya
Pasal perbuatan
undang nasionalnya, peraturan dan upaya
dalam
merumuskan
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar undang-
membentuk,
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian
wajib
Uang
Pihak
1. Setiap
Negara
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
Pidana
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Kriminalisasi atas Pencucian Hasil Tindak
ataupun aksesi terhadap Konvensi ini.
instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan
atau
Bangsa pada saat mereka menandatangani
Sekretaris
(1) (a) (i) dari pasal ini, wajib memberitahu
tindak pidana yang ditetapkan menurut ayat
membantu persetujuan untuk tujuan-tujuan
mensyaratkan
undang-undang
yang
Negara-negara
termasuk
tersebut,
penjahat terorganisasi. Negara-negara Pihak
pidana serius yang melibatkan kelompok
nasional mereka mencakup seluruh tindak
ini wajib menjamin bahwa undang-undang
ISI
69
PSL
pada
pidana;
kekayaan,
penggunaan
dengan
atau
sistem
bekerja
sama
atau
pidana
yang
ditetapkan
setiap
dan
membantu,
pelaksanaan
menurut Pasal ini.
tindak
membimbing
dan
memfasilitasi
melakukan
bersekongkol,
untuk
konspirasi untuk melakukan, mencoba
ii) Partisipasi,
hasil tindak pidana;
bahwa kekayaan tersebut merupakan
mengetahui, pada saat penerimaan,
penguasaan
dasar
Perolehan,
konsep
kekayaan tersebut adalah hasil tindak
hukumnya:
i)
dikatakan
apa
ke
luar
negeri
Harta
Kekayaan
yang
usul
maksud Kekayaan
menyembunyikan Harta
atau yang
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia b. pentransferan;
a. penempatan;
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
sebagai berikut:
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi
milyar rupiah).
dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas
paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
asal
dengan
menyamarkan
lainnya,
tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan
tindak pidana; atau
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
f. membawa
namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
nama pihak lain;
ini.
dalam undang-undang
unsur yang ditentukan
dingkan dengan unsur-
Pasal 6 perlu diperban-
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas
yang ditentukan dalam
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan
unsur-unsur
Mungkin
dapat
ini sudah terjawab.
Harta
maupun atas nama pihak lain;
membelanjakan
tersebut, dengan mengetahui bahwa
lokasi, lam Pasal 6 Konvensi
sumber, tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri
dasar, yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
sifat
atau
Pencucian Uang maka
milikan dari atau hak atas kekayaan
atas
c. membayarkan
nama pihak lain;
Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas
DIPERTIMBANGKAN
pelepasan, pemindahan atau kepe-
penyamaran
ANALISIS
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 14 HAL-HAL LAIN YANG
yang diamanatkan da-
atau
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
Kekayaan
Penyembunyian
tindakannya;
(b) Tunduk
(ii)
ISI
70
PSL
tahun
dan
denda
paling
sedikit
Rp
d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. di bidang perbankan; g. di bidang pasar modal;
sebagai tindak pidana asal semua tindak
pidana serius sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 Konvensi ini dan tindak pidana
yang ditetapkan berdasarkan Pasal 5,
c. penyelundupan barang;
b. penyuapan;
b) Setiap Negara Pihak wajib memasukkan
a. korupsi;
jangkauan terluas dari tindak pidana asal.
berusaha
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
sebanyak 25 tindak pidana :
wajib
menerapkan ayat (1) dari Pasal ini hingga
Pihak
Tindak pidana asal telah dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1)
Negara
a) Setiap
Ayat (2)
juta rupiah).
rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta
Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana
dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah
atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara
rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa
berikut:
5. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai
rupiah).
banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
belas)
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
pidana, dipidana dengan pidana penjara paling
atau patut diduganya merupakan hasil tindak
g. penukaran, Harta Kekayaan yang diketahuinya
f. penitipan; atau
e. sumbangan;
d. hibah;
c. pembayaran;
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
ayat 1 dari Pasal ini :
2. Untuk tujuan melaksanakan atau menerapkan
ISI
71
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 15
PSL
pidana
yang
melibatkan
s. perjudian; t. prostitusi;
w. di bidang lingkungan hidup; x. di bidang kelautan; atau
merupakan
wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia merupakan
pidana
menurut
hukum
pasal
melakukan tindak pidana asal;
yang
hukum Indonesia juga merupakan tindak pidana.
orang-orang
menurut hukum di negara yang bersangkutan, dan menurut
yang ditetapkan dalam ayat 1 Pasal ini
pada
negara Republik Indonesia dipandang sebagai tindak pidana
Pihak, dapat diatur bahwa tindak pidana
berlaku
yaitu bahwa perbuatan yang dilakukan di luar wilayah
dasar hukum nasional dari suatu Negara
tidak
yang menganut asas kriminalitas ganda (double criminality)
e) Apabila disyaratkan oleh prinsip-prinsip
Sekretaris
dan
kepada
ini
Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa;
penjelasannya
menerapkan
Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
tindak
atau
Indonesia. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf e Konvensi diadopsi dalam
yang
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15
undang-undangnya setiap
dari
juga
perubahan dari undang-undang tersebut
salinan
d) Setiap Negara Pihak wajib menyediakan
dilaksanakan di sana.
Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut
penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di
tersebut
apabila
pidana
melaksanakan atau menerapkan Pasal ini,
tindak
y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana
hukum nasional dari Negara Pihak yang
berdasarkan
pidana asal hanya apabila dilakukan dan
pidana
v. di bidang kehutanan;
suatu Negara Pihak wajib menjadi tindak
tindak
u. di bidang perpajakan;
pidana yang dilakukan di luar jurisdiksi
tindak
yang
Namun,
r. pemalsuan uang;
maupun di luar jurisdiksi Negara Pihak
bersangkutan.
q. penipuan;
pidana yang dilakukan baik di dalam
p. penggelapan;
o. pencurian;
pidana asal wajib memasukkan tindak
c) Untuk tujuan dari sub-ayat (b), tindak
kelompok penjahat yang terorganisasi.
tindak n. terorisme;
k. perdagangan manusia;
j. psikotropika;
m. penculikan;
mereka
atas
tertentu, l. perdagangan senjata gelap;
asal
daftar tersebut suatu aturan menyeluruh
pidana
wajib, paling sedikit, memasukkan dalam
tindak
i. narkotika;
dari
daftar
peraturannya
menjabarkan
h. di bidang asuransi;
Pihak yang
Dalam hal Negara-negara
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Pasal 8 dan Pasal 23 dari Konvensi ini.
ISI
72 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 16 HAL-HAL LAIN YANG
7
PSL
atau
sebagai
niat
tujuan
unsur
yang suatu
Pasal
ini
dapat
didasarkan
dan
pelaporan
transaksi
catatan
dan
27
bahwa
Pasal
dari
aparat
ini,
administrasi,
Konvensi
Bank
Menteri
dari
Modal,
terdiri
Pasar
yang
hukum,
tukar
pada
dan
tingkat
bekerjasama
informasi
untuk
disyaratkan
oleh
undang-undang
nasionalnya, dan untuk tujuan tersebut,
yang
nasional dan internasional, dalam kondisi
saling
kemampuan
memiliki
nasional,
Mengenal
Nasabah,
pidana pencucian uang.
U NTOC G A P A NA LYS I S
Asing.
2004 tentang Pedagang Valuta
6/1/PBI/2004 tanggal 6 Januari
mengkoordinasikan
penanganan pencegahan dan pemberantasan tindak
terutama
Peraturan Bank Indonesia Nomor
bertugas
upaya
yang
Prinsip
kehakiman)
undang-undang
oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan
kekuasaan
efek-
dapat
kan pengawasan.
PPATK dalam melaku-
wewenang
dengan
ini tifitas
Hal
mempengaruhi
Pasar
lator).
Pengawas
Ketua
Badan
pihak pengatur (regu-
kepada
mencurigakan
keuangan Keuangan Non Bank, Keputusan
Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga
Penerapan
Modal Nomor : Kep-02/PM/2003
Pencegahan
Kejaksaan,
tentang
tidak
jasa transaksi
yang melaporkan
keuangan
tanggal 15 Januari 2003 tentang
Nasional
Kepolisian,
45/KMK.06/
penyedia
dan
Koordinasi
seperti
Nomor
Republik
2003 tanggal 30 Januari 2003
Indonesia
Keuangan
keuangan.
Pemberantasan Tindak Pencucian Uang yang dipimpin
5) Komite
Pengadilan, KPK.
4) Penegak
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
3) Lembaga Intelejen Keuangan yaitu Pusat Pelaporan
Keuangan.
Pengawas
(regulator)
Badan
pengatur
Indonesia,
2) Pihak
jasa
pencucian uang (meliputi, apabila sesuai
lain yang ditugaskan untuk memberantas
pengatur, penegak hukum, dan aparat
menjamin
18
(b) Wajib, tanpa mengenyampingkan Pasal
mencurigakan.
pembukuan
nasabah,
kan
identifikasi
dia
PPATK kepada penye-
Menteri
atas
Bank
PPATK hanya melapor-
Peraturan
tanggal 18 Juni 2001, Keputusan
lain
dapat dijatuhkan oleh
pedagang valuta asing, usaha jasa pengiriman uang.
antara
nasabah,
yang
tersebut wajib menekankan persyaratan
dana
mengenal
sanksi
Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001
perusahaan
prinsip
dengan
pensiun dan penyedia jasa keuangan lainnya seperti
asuransi,
perusahaan
menerapkan
bentuk pencucian uang, di mana rejim
perusahaan
bank,
keuangan
diikuti
sekuritas,
terhadap
tidak
kepada
transaksi
untuk menangkal dan mendeteksi segala
rentan
PPATK
mencurigakan
melaporkan
mencurigakan
yang
menetapkan
penyedia
pencucian uang, dalam kewenangannya,
lain dari
jasa
1) Penyedia jasa keuangan sebagai pihak pelapor transaksi
badan terdiri
peraturan agar pihak penyedia
Nomor 25 Tahun 2003, yaitu :
bukan bank dan, bilamana perlu, badan-
yang
yang
keuangan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
atas bank-bank dan institusi keuangan
domestik telah
Pihak regulator penyedia
melibatkan berbagai komponen, sebagaimana diatur dalam
menyeluruh
pengawas
jasa
jasa
keuangan untuk
Kewajiban
(a) Wajib membentuk rejim pengatur dan
1. Setiap Negara Pihak : Konvensi
DIPERTIMBANGKAN
baik global,
dalam regional atau sub-regional.
skala
kerjasama
serta Konvensi untuk be-
kan negara-negara pe-
Konvensi yang mewajib-
tentuan Pasal 7 ayat (4)
Supaya diperhatikan ke-
jasa keuangan.
terhadap bank penyedia
kepercayaan masyarakat
nya tanpa mengganggu
dan penjatuhan sanksi-
transaksi mencurigakan,
tidak mentaati pelaporan
dia jasa keuangan yang
sanksi terhadap penye-
Perlu dipikirkan adanya
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 17 HAL-HAL LAIN YANG
Ayat (1) huruf a dan huruf b
ANALISIS
Ayat (1) huruf a dan huruf b Konvensi
pada
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Rezim anti pencucian uang Indonesia dibangun dengan
Upaya Memberantas Pencucian Uang
keadaan faktual yang obyektif.
1
tindak pidana yang ditetapkan dalam ayat
dipersyaratkan
f) Pengetahuan,
ISI
73
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
PSL
informasi mengenai
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
3.
Peraturan Bank Indonesia untuk perbankan dan pedagang valuta
a. Transaksi keuangan mencurigakan b. Transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam
dan
dan
regional,
antar-regional dan
uang.
organisasi internasional melawan pencucian
prakarsa
diminta untuk menggunakan sebagai acuan
pasal lain dari Konvensi ini, Negara Pihak
mengenyampingkan
ketentuan
pengatur
bawah
rejim
di
tanpa
domestik
ini,
Pasal
pembentukan
pengawas
Dalam
uang asing yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau
besar dan instrumen berharga.
dan akurat.
jasa keuangan wajib memberikan identitas secara lengkap
orang yang melakukan hubungan usaha dengan penyedia
Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 17 menentukan bahwa setiap
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
kepada Dirjen Bea dan Cukai.
keluar wilayah Negara Republik Indonesia harus melapor
rupiah sejumlah Rp. 100.000.000,- atau lebih, atau mata
transfer lintas negara uang dalam jumlah
yang membawa uang tunai berupa
keuangan non bank (asuransi,
melaporkan
Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 16 ayat (1) menentukan
pengusaha bahwa setiap orang
dan
perorangan
Menteri
Pasar
Modal
perusahaan sekuritas.
Pengawas
untuk
dana pensiun) Keputusan Badan
lembaga
tersebut dapat mencakup persyaratan bahwa
untuk
Keputusan
Keuangan
asing,
lain
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
secara
guna
masing-
antara
apapun pergerakan modal yang sah. Upaya
informasi
pengamanan
regulator
jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,- atau lebih.
penggunaan
pada
negara
layak dan tanpa menghalangi dalam bentuk
menjamin
tunduk
mereka,
batas
nasabah
masing
melintasi
negara
mengenal
oleh
kewajiban
PPATK :
yang
berharga
instrumen-instrumen
Ketentuan lebih rinci mengenai diatur
dan
mengatur
kewajiban penyedia Jasa Keuangan untuk melapor kepada
tunai
2003
uang
Tahun
25
Nomor
Undang-Undang
untuk mendeteksi dan memonitor pergerakan
Ayat (2) Konvensi
ANALISIS
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo.
Ayat (2) Konvensi
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
kan pelaksanaan tindakan yang mungkin
2. Negara-negara Pihak wajib mempertimbang-
kemungkinan pencucian uang.
penyebaran
sebagai pusat pengumpulan, analisis dan
unit intelijen keuangan yang bertugas
wajib mempertimbangkan pembentukan
ISI
74 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 18 HAL-HAL LAIN YANG
8
PSL
Pihak
wajib
berupaya
untuk
global,
regional,
sub-regional dan
Action
Task
Force
Laundring
(APG)
dan
yang
di
atau
sudah
dalam
ditindaklanjuti
langsung
ini
penawaran
atau
pemberian
(b) Permintaan
atau
tugas resmi mereka;
penerimaan
oleh
atau menahan diri dalam pelaksanaan
badan lain agar pejabat itu bertindak
dalam tugas resminya atau orang atau
tidak semestinya, untuk pejabat public
atau tidak langsung , keuntungan yang
kepada pejabat public, secara langsung
(a) janji,
pidana, apabila dilakukan dengan sengaja:
tindak Tindak Pidana Korupsi.
(UNCAC)
melakukan
perubahan
U NTOC G A P A NA LYS I S
20 Tahun 2001.
1999 jo. Undang-Undang Nomor
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
untuk
Tahun 2006 maka direncanakan
dengan Undang-Undang Nomor 7
Corruption
Against
sebagai
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
menetapkan
perlu
untuk
sinya United Nations Convention
sub-
Sejalan dengan telah diratifika-
atau
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
regional
Tindak pidana korupsi telah diatur dalam Undang-Undang
regional.
global,
dengan mengadakan kerjasama
praktek
dilaksanakan
Ketentuan
bisa
Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK).
dan
Pusat
memiliki
berbagai
bernama
sudah
sejenis
Pengendalian
lembaga
Indonesia
negara.
lembaga
banyak membuat MoU dengan
Money
(FATF) dan Asia Pasific Group on
Financial
PPATK sudah menjadi anggota
Ayat 4 Konvensi
ANALISIS
legislatif dan tindakan lainnya yang dianggap
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
1. Setiap Negara wajib mengambil tindakan
Kriminalisasi Korupsi
memberantas pencucian uang.
hukum dan aparat pengatur keuangan guna
bilateral antara aparat peradilan, penegak
sama
mengembangkan dan meningkatkan kerja-
4. Negara
ISI
75
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Against
vention
Cor-
Con-
dikaji tersendiri.
ruption (UNCAC) sudah
Nations
United
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 19
PSL
yang
tidak public
menahan
diri
dan
tindakan
lainnya
yang
tindakan
wajib
dalam
menetapkan
sebagai
yang
dianggap
sebagai
perlu
tindak
untuk pidana
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
public
atau
seseorang
yang
ditetapkan
dalam
undang-undang
menjalankan fungsi dimaksud
dari Negara Pihak di mana orang tersebut
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
nasional dan sebagaimana yang diterapkan
yang
memberikan pelayanan public sebagaimana
pejabat
Konvensi ini, pejabat publk berarti seorang
4. Untuk tujuan dari Pasal ini dan Pasal 9 dari
ini.
tindak pidana yang ditetapkan dalam Pasal
keikutsertaan sebagai kaki tangan dalam
menetapkan
upaya
3. Setiap Negara pihak juga wajib mengambil
tindak pidana atas korupsi dalam bentuk lain.
mempertimbangkan
Demikian juga, setiap Negara pihak wajib
public asing atau pegawai sipil internasional.
ayat (1) Pasal ini yang melibatkan pejabat
tindak pidana tindakan yang merujuk pada
dianggap perlu untuk menetapkan sebagai
legislative
pihak
mengambil
Negara
mempertimbangkan
2. Setiap
pelaksanaan tugas resmi mereka
bertindak
orang atau badan lain agar pejabat itu
tersebut dalam tugas resminya atau
pejabat
manfaat
untuk
langsung,
semestinya,
tidak
pejabat public, secara langsung atau
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
76 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 20 HAL-HAL LAIN YANG
10
9
PSL
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pelaksanaan undangundang ini diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor Pidana Korupsi Pasal 13 dan Pasal 69.
Negara
pihak
wajib
mengambil
tanggung
jawab
pidana
orang
yang
3. Tanggung jawab tersebut tanpa mengabaikan
pidana, perdata ataupun administratif.
tanggung jawab badan hukum dapat berupa
2. Tunduk pada prinsip hukum Negara Pihak,
tindak
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
terdapat
kan
dalam
undangdalam pembuktian dan
perbedaan
(occupa-
pertanggungjawaban yang ditentu-
sistem
disebabkan
Sedikit
pengurus.
jabatannya
kejahatan individu
yang
paknya
undang, permasalahan
disebut
korporasi,
dijatuhi
dalam
sendiri
dilakukan
di
yang
pidana. Hal ini nam-
porasi
tional crime).
tersebut
tannya
pengurus
Tuntutan pidana terhadap korporasi diwakili oleh
korporasi
dalam
bertindak
yaitu
orang
namun kenyataannya
1955,
maupun bersama-sama.
lingkungan
yang
kukan kejahatan dalam jaba-
oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja
6, Pasal 8 dan Pasal 23 Konvensi ini.
untuk
lain
sebagai individu yang mela-
korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5, Pasal
dan
penjahat
hubungan
perorangan
Pengertian tindak pidana terorisme dilakukan oleh
pidana
terorganisasi
kelompok
maupun
belum pernah ada kor-
melibatkan
kepada
wab
pengurusnya.
yang
hukum
pidana
dalam
membebankan tanggung ja-
yang dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau
badan
tahun
subyek hukum pidana, dan
- Pasal 17 mengatur tata cara penuntutan korporasi
atas
jawab
sejak
keikutsertaan dalam tindak pidana serius
tanggung
pidana
hukum
untuk
sebagai
hukum/korporasi
hukumnya,
menetapkan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
dite-
prinsip
telah
tapkan sebagai subyek
wajib
atur tanggung jawab badan
Pihak
1. Undang-undang yang meng-
Negara 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
1. Setiap
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
Meskipun
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
mengambil
ANALISIS
badan
tanggungterhadap
satu
pasal
dari
transnasional)
sasi (nasional dan/atau
Tindak Pidana Terorgani-
undang-undang tentang
lah
cantumkan sebagai sa-
sanksinya, sebaiknya di-
hukum disertai dengan
jawab
Pembebanan
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 21
tindakan yang diperlukan, sejalan dengan
Tanggung Jawab Badan Hukum
layak terhadap tindakan mereka.
menangkal penggunaan pengaruh yang tidak
tersebut kemandirian yang memadai untuk
publik, termasuk memberikan kepada otoritas
mendeteksi dan menghukum korupsi pejabat
tindakan oleh otoritasnya dalam mencegah,
langkah-langkah untuk menjamin efektifitas
2. Setiap
korupsi pejabat publik;
menghukum
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
dan
mencegah,
mendeteksi,
lainnya untuk meningkatkan integritas dan
mengambil
tentang
tindakan
hukumnya,
1999
legislatif, administratif ataupun upaya efektif
Tahun
system
28
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas dari
Nomor
Undang-Undang
wajib, sepanjang tepat dan sejalan dengan
Hukum nasional mengatur pencegahan korupsi melalui
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Pasal 8 dari Konvensi ini, setiap Negara pihak
1. Disamping tindakan yang ditetapkan dalam
Tindakan Menentang Korupsi
ISI
77
PSL
yang
pelarangan, termasuk sanksi moneter.
pidana yang efektif, proporsional dan bersifat
terlibat
tindak
pidana
terorisme
pula bertanggung
perbuatan tersebut dianggap
korporasi. Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan
melalui
kegiatan
yang
pencabutan izin, pembubaran
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia korporasi
baik
Hanya
saja
dalam undang-undang
lingkungan
atur. dalam
yang
bertindak
undang masih belum meng-
mela-
jawab
orang berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain
yang
sebagai
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-
hukum
tanggung
perdata
kukan tindak pidana, undang-
badan
bentuk
yang putusan
mana
- Pengertian tindak pidana dilakukan oleh korporasi
terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
- Tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan
3. Sanksi
hakim.
Pasal 20 mengatur :
Tindak Pidana Korupsi.
instansi menindaklanjuti
gara,
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
apakah diumumkan oleh berita ne-
misalnya
larangan
pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi.
dan/atau
atur lebih lanjut pelaksanaan
usaha
pidana
izin
pidana denda ditambah sepertiga dan dapat dijatuhkan pencabutan
rasi. Akan tetapi tidak meng-
Pasal 5 mengatur ancaman pidana adalah maksimum tambahan
dan/atau pelarangan korpo-
dan dapat pula memerintahkan dibawa paksa.
memerintahkan pengurus menghadap sendiri
atur sendiri administrasi yaitu
2. Undang-undang juga meng-
lingkup
dengan
yang
hanya apabila
Tata cara pemanggilan oleh hakim dapat dilakukan
termasuk dalam lingkup usahanya.
kegiatan dalam
usaha korporasi.
dilakukan
perbuatan
tidak
termasuk
dipertanggungjawabkan
melakukan
dapat
tidak
Korporasi
jawab
korporasi
fungsional dalam struktur korporasi. jika
struktur korporasi. Demikian
terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun
kedudalam
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yaitu baik
fungsional
dukan
Pencucian Uang Pasal 4 mengatur tata cara penuntutan
mempunyai
jawab
Pengurus
pengurus
bertanggung
korporasi.
uang
pembatasan
jawab
ada
pencucian
apabila
hanya
dan
tanggung
dimana
pidana
dalam undang-undang tindak
Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-
yang
pidana korporasi. dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.
hukum
ini tunduk pada sanksi pidana atau bukan
badan Korporasi
bahwa
dan mengatur ancaman pidana pokok hanya dengan
- Pasal 18 mengatur tata cara pemanggilan korporasi
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
dikenai tanggung jawab sesuai dengan Pasal
memastikan
4. Setiap Negara Pihak wajib, secara khusus,
melakukan tindak pidana.
ISI
78 terbentur asas hukum.
DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 22 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
ISI
memerintahkan
dibawa
ke
sidang
negara
terdakwa secara perdata yang
diancamkan pada pasal-pasal tindak pidana narkotika peraturan perundang-undangan tersebut
ditambah sepertiga.
nyata ada kerugian keuangan
-
-
2007
tentang
hukum Indonesia bersifat luas dalam
Perbankan.
Undang-Undang
Nomor
Usaha Milik Negara. 10
Tahun
1998
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia peraturan
sanksi terhadap
badan hukum
ayat yang menegaskan tentang
trasi ini tidak ada satu pasal atau
Dalam undang-undang adminis-
perundang-undangan.
berdasarkan
hukum yang tidak dibentuk
U NTOC G A P A NA LYS I S
tentang
perundang-udangan maupun badan
peraturan
dasarkan
Tahun
badan
perundang-undangan arti badan yang dibentuk ber-
40
dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Nomor
pidana. 4. Pengertian
Perseroan Terbatas.
Undang-Undang
diatur tentang badan hukum antara lain :
menggugat
diputus bebas oleh pengadilan
ataupun
secara
bukti
penyi-
pemberatan tiga kali dari pidana denda sebagaimana
tingkat
dapat dijatuhkan pidana denda pada korporasi dengan
diatas dalam beberapa perundang-undangan administrasi -
secara
Negara tersangka
terdapat
sedangkan
tidak
dalam
terhadap
untuk perdata
Pengacara menggugat
Jaksa
cukup
tentang
hukum
pidana penjara dan denda pada pengurusnya, maka
2009
badan
subyek
perorangan
tentang hak negara melalui
maupun
orang
hukum
untuk
baik
umum,
Tahun 2001) mengatur secara
20
jo.
dikan
Tahun
1999 Nomor
yang
35
Tahun
Narkotika dalam Pasal 130 dinyatakan apabila tindak
Nomor
31
Undang-Undang
mor
korupsi (Undang-Undang No-
pemberantasan tindak pidana
ANALISIS
pidana dilakukan oleh korporasi, selain dijatuhkan
Undang-Undang
denda
d. Pidana pokok yang dijatuhkan maksimum pidana
atau kantor.
c. Panggilan disampaikan di tempat tinggal pengurus
Selain keempat
4.
dan
pengadilan.
sendiri
b. Hakim dapat memerintahkan pengurus menghadap
kepada orang lain.
a. Diwakili oleh pengurus, yang dapat mewakilkan
- Jika tuntutan dilakukan terhadap korporasi :
sendiri maupun bersama-sama.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
79
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 23
11
PSL
hukum
pidana
maksimum
umum
dan
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia pidana
dengan
hukum
nasionalnya
dan
wajib sesuai
dengan
Pihak
tepat,
berada
Negara
dibawah
Republik
KUHP tuan
daluarsa
a. Pembatasan penahanan yang diatur dalam Pasal 24,
Sipil dan Politik, antara lain :
yang
lembaga
bidang
lain
serta berdasarkan
penuntutan undang-undang.
kewenangan
di
melaksanakan kekuasaan negara
sebagai
Kejaksaan
tindak
yang
dalam
transnasional
Sekalipun diatur ketentuan hukum acara pidana khusus
pemerintahan
atau
daluarsa
kembali
inde-
menambahkan keten-
dalam
terorganisasi.
Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan Kovenan Hak-Hak
yang
Negara
Indonesia
kepolisian
Indonesia dalam Pasal 8 ayat (1):
pidana
Konvensi
setiap
ketentuan
2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia dalam Pasal 2 ayat (1):
layak (fair trial) sebagaimana diamanatkan oleh Deklarasi
tindakan
- Peninjauan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik
sesuai Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 23
ini,
penden.
bagian dari kekuasaan eksekutif.
lembaga yang
bagian yudikatif
menjadi
masih
tersebut
yang
penuntut umum seba-
dudukan penyidik dan
- Peninjuan kembali kerentan
gai
masih
berhubung kedudukan lembaga
kejaksaan
intervensi kekuasaan dan politik,
dan
Independensi penyidik kepolisian
Transaksi Keuangan (PPATK). namun tetap memperhatikan prinsip-prinsip peradilan yang
mengambil
pendirian
pembubaran/
tahap
dengan
dari
pengakhirannya.
sampai
mulai
terbatas, BUMN dan perbankan)
Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan Analisis
yang
mengatur
mengatur
hukum
hanya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun
penegakan
tersebut
tentang badan hukum (perseroan
uu
Hal ini adalah wajar sebab ketiga
perdata
REKOMENDASI
diperkuat pembentukan lembaga independen seperti Komisi
efektifitas
pidana,
DIPERTIMBANGKAN
undang-undang
menjamin
sanksi
ataupun administratif.
baik
ANALISIS
Draft 5 (11 Agustus 2010) 24 HAL-HAL LAIN YANG
Presiden.
untuk
3. Dalam hal tindak pidana yang ditetapkan
untuk
pertimbangan
tindak
kebutuhan
dengan
atas
terhadap
dan
hukum
menangkal tindak pidana tersebut.
semestinya
tersebut
penegakan
untuk
tindakan
dilaksanakan
efektifitas
ini,
yang diatur dalam KUHAP, juga mengatur ketentuan khusus
memaksimalkan
Konvensi
dalam
juga
Hukum acara pidana yang diatur dalam ketiga undang-
khusus
undang tersebut di samping berdasarkan ketentuan umum
mengatur ancaman pidana minimum khusus.
ancaman
orang atas tindak pidana yang tercakup
nasionalnya
Undang Nomor 20 Tahun 2001 disamping menganut sistem
yang berkaitan dengan penuntutan orang-
undang-undang
berdasarkan
kewenangan
bahwa
memastikan
2. Setiap Negara Pihak wajib berupaya untuk
2003, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Peraturan
beratnya tindak pidana tersebut.
dalam
Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun
diatur
ini dijatuhi sanksi dengan memperhitungkan
yang
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, Undang-Undang
pidana
Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 23 dari Konvensi
sanksi
Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1 Tahun 2002 jo.
Sistem
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
pidana yang ditetapkan menurut Pasal 5,
1. Setiap Negara Pihak wajib membuat tindak
Penuntutan, Penghakiman, dan Sanksi
ISI
80
PSL
wajib,
sebagaimana
proses
mengunjungi
untuk keluarga,
cuti
menjelang
mendapatkan bebas,
remisi,
cuti dan
Konvensi
ini
akan
mempengaruhi
tentang
Perubahan
atas
sesuai dengan hukum tersebut.
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
kadaluarsa
Pasal 78 sampai dengan Pasal 83.
pidana tersebut wajib dituntut dan dihukum
ketentuan
nasional negara Pihak dan bahwa tindak
itu
keabsahan perilaku, tunduk pada hukum
karena
penuntutan masih berdasarkan ketentuan umum KUHP
atau prinsip hukum lainnya yang mengatur
Oleh
yang lebih panjang tentang jangka waktu kadaluarsa penuntutan.
dan tentang pembelaan hukum yang berlaku
Undang-undang masih belum mengatur ketentuan khusus
dengan terpidana lainnya.
Pemasyarakatan ditentukan lebih berat dibandingkan
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
2006
yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi ini
prinsip bahwa uraian tentang tindak pidana
dalam
Tahun
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang
pelaksanaan peradilan.
28
Nomor
lebih panjang apabila tersangka menghindari
terorisme dan narkotika menurut Peraturan Pemerintah
memulai pembebasan bersyarat bagi terpidana kasus korupsi,
untuk
dicakup dalam Konvensi ini dan waktu yang
panjang
d. Syarat-syarat
haknya untuk membela diri;
patut, dipandang sebagai tindakan terdakwa melepaskan
peradilan bagi setiap tindak pidana yang
yang
nasionalnya, waktu daluwarsa penuntutan
layaknya, menetapkan berdasarkan hukum
Pihak
terdakwa tanpa alasan setelah dipanggil secara sah dan
Negara
sah dan patut, tidak hadir tanpa alasan. Ketidakhadiran
yang dipidana karena tindak pidana tersebut.
Setiap
hanya dimungkinkan setelah terdakwa dipanggil secara
Tahun 2003);
awal atau pembebasan bersyarat atas orang
6. Tidak satu pun ketentuan yang tercantum
5.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15
pada saat mempertimbangkan pembebasan
tindak
berwenang
beratnya
badan c. Persidangan tanpa kehadiran terdakwa (in absensia)
memperhatikan
atau
26 Peraturan Pemerintah Pengganti
pidana yang tercakup dalam Konvensi ini
lainnya
pengadilannya
4. Setiap Negara Pihak wajib menjamin bahwa
pemeriksaan pendahuluan di sidang pengadilan (Pasal
dalam perkara tindak pidana terorisme harus melalui
proses pidana selanjutnya.
b. Penggunaan Laporan Intelejen sebagai bukti permulaan
keperluan
mempertimbangkan
atau
untuk memastikan kehadiran terdakwa pada
banding,
Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor
persidangan 15 Tahun 2003;
sebelum
tentang
pembebasan
keputusan
25 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 KUHAP, Pasal
berupaya
dengan
pembelaan,
sehubungan
hak
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
memastikan bahwa syarat yang dibebankan
mengindahkan
ISI
81
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 25
12
PSL
dalam
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
dengan
dan
keuntungan-
mengatur pidana tambahan uang bukan
kepunyaan
terdakwa
pidana korupsi.
dari sumber yang sah, kekayaan tersebut
terhadap
perampasan
hingga sejumlah nilai yang terhitung dari
jawab
dan
ayat pencucian
(4),
hasil
(5)]
tindak
terkait
Pasal 12 Konvensi [(ayat (3),
Akan tetapi pengaturan dalam
dengan masalah pencucian uang
kewenangan
ayat
mengabaikan
ter-
tanggung
tanpa
negara-negara, masuk Indonesia.
pembekuan atau penyitaan lainnya, dikenai
wajib,
tersebut
di pidana
diatur (acara)
umum nasional
pidana
hukum
sudah
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak
tindak
yang
istri dan suami, anak dan harta benda setiap orang atau
hasil
2001 memberikan
Tahun
telah
Jika
untuk
20
tercampur dengan kekayaan yang diperoleh
terdakwa
Nomor
dalam
kewajiban
Undang-Undang
keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda
jo.
dari hasil tindak pidana.
Undang-
12 Konvensi merupakan masalah
jo.
menentukan
1999
yang dimaksud dalam pasal ini, sebagai ganti
Tahun
Pada umumnya ketentuan Pasal
31
huruf b Undang-Undang Nomor
1999
terdakwa
pidana dan Pasal 37 A Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2003
pidana korupsi (Pasal 18 ayat (1)
wajib dikenai tanggung jawab atas upaya
Tahun
harta
ke dalam kekayaan lain, kekayaan tersebut
25
dengan
Undang Nomor 20 Tahun 2001)
Nomor
sama
benda yang diperoleh dari tindak
banyak
pengganti yang jumlahnya paling
membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan hasil tindak
Undang-Undang
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo.
apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik dirugikan.
yang
dengan
atau dikonversi, sebagian atau seluruhnya,
3. Jika hasil tindak pidana tersebut telah diubah
perampasan.
dalam ayat (1) pasal ini untuk tujuan akhir
penyitaan barang apapun yang dimaksud
barang
Pasal 19 mengatur bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan
atau
perampasan
pembekuan
identifikasi,
pelacakan,
yang dianggap perlu guna memungkinkan
memperluas
pembe-
yang
undang-undang
Disamping itu juga diatur tentang pidana pembayaran uang
yang pengganti.
tercakup dalam Konvensi ini.
pidana
rantasan tindak pidana korupsi
tindak
Hanya
dalam
milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan.
harta benda hasil kejahatan.
keuntungan yang diperoleh dari
kejahatan
digunakan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk perusahaan
pidana
hasil
yang
hasil
pidana perampasan barang yang digunakan untuk atau
tindak
benda
dengan
harta
konversi
yang digunakan atau ditujukan untuk
hasil
tercampur
kejahatan,
dari
(b) Kekayaan, peralatan, atau sarana lainnya
tersebut;
2. Setiap Negara Pihak wajib mengambil upaya
4.
yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana Hanya Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
tercakup
sama
yang yang dilakukan.
pidana
Konvensi ini atau kekayaan yang nilainya
tindak
berasal
yang
pidana
barang
Konvensi.
disesuaikan
tindak
digunakan untuk melakukan kejahatan atau barang-barang
benda
(a) Hasil tindak pidana yang berasal dari
harta
dan
ditinjau ketentuan
Perlu
pasan
Indonesia
meliputi
Perundang-undangan
kepunyaan terdakwa yang diperoleh dari kejahatan atau
untuk
perlu guna memungkinkan perampasan atas:
dijadikan
penyitaan
yang penyitaan dan perampasan yang
ketentuan
42 KUHP dan Pasal 194 KUHAP yaitu barang-barang
umumnya
dengan
untuk
hasil
peram-
tentang
kembali
REKOMENDASI
hukum nasionalnya, tindakan yang dianggap
Pada
DIPERTIMBANGKAN
masih belum mengatur tentang
mengambil,
dalam
wajib
ANALISIS
Draft 5 (11 Agustus 2010) 26 HAL-HAL LAIN YANG
perampasan barang adalah Pasal 39 sampai dengan Pasal
Pihak
dimungkinkan
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
sistem
sepanjang
1. Negara-negara
Perampasan dan Penyitaan
ISI
82
PSL
atau
keuntungan lain
yang
ini,
dengan
cara
yang
yang
dan
dalam
sama
dimaksud
setiap
member-
badan-badan
wajib
atau
Pihak
pengadilan
Negara
atau
keuangan,
dibuka
bank,
dapat
atau disita.
Pihak
dapat
mempertim-
sesuai
dirampas,
tersebut
dapat
sebagai
mengabaikan
hak-hak
9. Tidak satu pun ketentuan yang tercantum
pihak ketiga yang beritikad baik.
ditafsirkan
8. Ketentuan-ketentuan Pasal ini tidak boleh
lainnya.
dan dengan proses peradilan dan proses
dengan prinsip dasar hukum nasional mereka
persyaratan
sepanjang
yang
lain
kekayaan
diduga sebagai hasil tindak pidana atau
usul yang sah dari hasil tindak pidana yang
bahwa seorang pelaku memperlihatkan asal-
bangkan kemungkinan untuk mensyaratkan
7. Negara-negara
dengan alasan kerahasian bank.
bertindak berdasarkan ketentuan Pasal ini
Negara Pihak tidak boleh menolak untuk
perdagangan
catatan-catatan
berwenangnya untuk memerintahkan agar
dayakan
ini,
6. Untuk tujuan Pasal ini dan Pasal 13 Konvensi
sepanjang sama dengan hasil tindak pidana.
Pasal
tindakan-tindakan
wajib juga dikenai tanggung jawab berupa
hasil tindak pidana yang telah tercampur
dikonversi, atau kekayaan yang berasal dari
hasil tindak pidana yang telah diubah atau
berasal dari hasil tindak pidana, kekayaan
5. Pendapatan
hasil yang tercampur tersebut.
ISI
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
seperti
diatur
dalam
oleh ayat
6
rahasia
khususnya
Undang-Undang
sepanjang
juga barang
alat
bisa yang
bukti,
negara-peminta
bersa-
relatif
Oleh
itu
diserah-
memang
bergerak
karena
untuk
atau terbatas
sebaiknya perampasan barang ini
terimakan.
mudah
atau
yang
barang-barang berwujud
pada
Ekstradisi
undang-undang perjanjian
dalam
Akan tetapi, pengertian barang
yang diminta.
maan dengan penyerahan orang
kepada
dirampas itu dapat diserahkan
alat bukti, maka barang yang
dirampas adalah juga merupakan
maka
sebagai
dijadikan
yang
dan
dirampas
ayat (2) mengatur barang yang
Ekstradisi Pasal 42 ayat (1) dan
Nomor 1 Tahun 1979 tentang
Berdasarkan
rahasia tersebut dikesampingkan.
perbankan yang
dengan
Perbankan,
berkenaan
tentang
Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998
Demikian pula dengan Undang-
25 Tahun 2003.
2002 jo. Undang-Undang Nomor
Undang-Undang Nomor 15 Tahun
pidana,
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
83
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 27
13
PSL
sama
Internasional
untuk
Tujuan
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia apakah meliputi tindakan penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan sidang pengadilan.
(a)
Pidana Korupsi sama sekali tidak mengatur kerjasama
tersebut
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
perintah
dan,
surat
mendapatkan surat perintah perampasan
apabila
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
kepada lembaga berwenang untuk tujuan
tersebut
oleh sistem hukum nasionalnya:
permintaan
lebih lanjut rincian pelaksanaan kerjasama yang dimaksud,
wilayahnya wajib, sepanjang dimungkinkan
Menyerahkan
melawan terorisme sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Undang-undang tidak mengatur
kerjasama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan
hasil tindak pidana, kekayaan, perlengkapan,
12 ayat (1) Konvensi ini yang berada di
dengan negara lain di bidang intelejen, kepolisian dan
ditetapkan dalam Konvensi untuk merampas
atau instrumen lain yang merujuk pada Pasal
Pasal 43 hanya mengatur tentang kerjasama internasional
memiliki jurisdiksi atas tindak pidana yang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Pihak
lain yang
permintaan dari Negara
1. Suatu Negara Pihak yang telah menerima
Perampasan
Kerja
Nomor 1 Tahun 2006).
perundang-
hukum
barang
Pasal
13 tertampung
dalam
Konvensi
serta
itu yang tentang
barang
negara
tersebut. Misalnya, jika
barang-barang
status
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 ini berlaku.
maka
2001,
jo.
mengatur
1999
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
Tahun
berada,
tempat 31
Undang-Undang
dalam Nomor
dari
memperhatikan hukum
sangat penting untuk
seperti
tidak
perundangyang
maka
atau
berbagai wujud bentuknya,
macam
nasional
pidana
Timbal Pidana,
dari
yang
negara mengharuskan
ada
perampasan,
khusus
dapat
Walaupun Pasal 13 ayat
transnasional.
perampasan
untuk melakukan
dahulu
adanya perjanjian lebih
yang
mengingat
tentang
substansinya
kerjasama
perjanjian
untuk
dipertimbangkan mengadakan
Perlu terdiri
barang
kemungkinan
karena
yang dirampas dapat
Oleh
DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 28 HAL-HAL LAIN YANG
mengatur bantuan timbal balik
undangan
Bantuan Masalah untuk
Dalam
tentang sehingga
Balik
2006
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
sudah
Ketentuan
negara tempat barang itu berada.
undangan nasional, terutama dari
peraturan
atau
dengan
Perampasan
terkait
sangat
dirampas.
kukan penyerahan barang yang
prosedur atau mekanisme mela-
internasional, khususnya tentang
sebagai sarana untuk kerjasama
ini sebenarnya sudah memadai
(barang) dalam Undang-Undang
perampasan
Peng-
Masalah Pidana (Undang-Undang
suatu Negara Pihak. tentang
tang Bantuan Timbal Balik dalam
dan berdasarkan ketentuan hukum nasional aturan
lain yakni undang-undang ten-
dalam
tersebut diartikan dan dilaksanakan sesuai
dimaksud
didasarkan pada landasan hukum
yang Pasal
ANALISIS
tindakan
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
dalam Pasal ini mempengaruhi prinsip bahwa
ISI
84
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
PSL
3.
mengambil
langkah
untuk
telah
mengadakan
perjanjian
pengadilan
tentang
perampasan
yang
nantinya
akan
berbeda
diantara Konvensi
dan
18
ini
sama
Konvensi
diberlakukan
pada
dapat
yang dirinci dalam Pasal 18, ayat (15),
Pasal ini. Sebagai tambahan dari informasi
Pasal
Ketentuan
diterapkan bersedia
atau
dan
karena
itu
dapat
negara
yang
dalam
U NTOC G A P A NA LYS I S
Namun membantu
pada Konvensi. ada mensyaratkan
kenyataan,
dua negara yang telah terikat
diterapkan secara langsung oleh
yang orang-orang kesaksian
persetujuan
memberikan
6) Mengusahakan
penyitaan hasil kejahatan.
5) Upaya untuk melakukan pencarian, pembekuan, dan
dan penyitaan;
hukum
diminta.
yang dapat dijadikan landasan
3) Identifikasi dan lokasi keberadaan seseorang;
ketentuan
4) Pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti
sebagai
tergolong
13
Pasal
Ketentuan
ayat (1) dari Pasal ini, oleh Negara Pihak
lainnya;
2) Pemberian barang bukti berupa dokumen dan catatan
yang
negara-negara yang terlibat.
atau, berdasarkan permintaan sesuai dengan
diperintahkan oleh Negara Pihak peminta
tujuan
termasuk pelaksanaan surat rogatori ;
hukum
Pasal 12 ayat (1) dari Konvensi ini untuk
terkait dengan masalah sistem
1) Pengambilan barang bukti dan pernyataan seseorang
perlengkapan atau instrumen lain merujuk
bergerak seperti tanah. Hal ini
perampasan benda-benda tidak
putusan
dimaksud di sini juga meliputi
tersebut meliputi :
b. Kerjasama bantuan timbal balik dengan negara lain
negara
yang
atau menyita hasil tindak pidana, kekayaan,
mengindentifikasi, melacak dan membekukan
wajib
hal
kutan.
negara
yang
bersang-
cam ini dengan negaraapakah
putusan
pengadilan,
menindaklanjuti
a. Kerjasama bantuan timbal balik dapat dilaksanakan
resiprositas.
memiliki kerjasama bantuan timbal balik atau berdasarkan prinsip
yang
diminta
lain
ditetapkan dalam Konvensi ini, negara Pihak
Pihak dalam
Negara
huOleh karena itulah perlu
landasan
adanya perjanjian sema-
tujuan
kumnya.
sebagai
ra bersedia menjadikan
menjamin negara-nega-
hukumnya, hal ini belum
landasan
sebagai
lain.
sampai
negara itu, dan lain-
(1)
dengan (5) Konvensi ini
ayat
13
untuk
untuk
kemungkinan menjadikan pasal
timbangkan
sertanya untuk memper-
dibawa ke luar wilayah
setempat,
di
masih
perkara
yang
(6) Konvensi mewajibkan negara-negara pe-
perampasan, yaitu :
internasional
yang
undang-undang
pidana
barang
bergerak/tetap,
REKOMENDASI
barang yang terlarang
negara
terkait
barang
tak
menyangkut
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
Draft 5 (11 Agustus 2010) 29
1 Tahun 2006 mengatur bantuan
kerjasama
jurisdiksi atas suatu tindak pidana yang
oleh
2. Menindaklanjuti permintaan yang diajukan
Pasal 22 Undang-Undang Nomor
Pidana Pencucian Uang Pasal 44 dan Pasal 44 A yang
dalam
masalah
mekanisme bantuan timbal balik
mengatur
tidak
diminta.
pelaksanaan
ini juga
berada di wilayah Negara Pihak yang
teknis yang bersangkutan.
rinci
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak
secara
merujuk pada Pasal 12 ayat (1) yang
yang
terkait (Pasal 19), sesuai dengan
perundang-undangan
diatur
perjanjian
dimaksud. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo.
berdasarkan
ketentuan
perlengkapan atau instrumen lain yang
atau
dengan
dalam
berlaku
sesuai
kerjasama
yang
perundang-
mengatur
undangan
peraturan
Indonesia. Akan tetapi undang-undang
meminta
dengan
dengan hasil tindak pidana, kekayaan,
yang
di
Konvensi ini sepanjang hal ini berkaitan
Pihak
pengadilan
dan
internasional yang telah diakui oleh pemerintah Republik
Negara
suatu
penyitaan
pemblokiran,
sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) dari
wilayah
oleh
sesuai
tindakan lainnya yang diperlukan
dikeluarkan
korupsi
dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak
diminta, surat perintah perampasan yang
sebagaimana pidana
penggeledahan,
mengatur kerjasama dengan penegak hukum negara lain
yang
melaksanakan
perintah
mengeluarkan
surat
untuk
untuk
bantuan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 41 yang
tujuan
lembaga
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
dengan
kepada
(b) Menyerahkan
berwenang,
Nomor 1 Tahun 2006 mengatur
tindak pidana yang berada di luar negeri. Hanya dalam
Undang-Undang
Walaupun
internasional dalam rangka penyitaan dan perampasan hasil
ANALISIS
tersebut; atau
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
diberikan, melaksanakan surat perintah
ISI
85
PSL
ini,
uraian
dari
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
yang
oleh
cukup
dasar
untuk
Pihak
yang
memung-
Negara
fakta-fakta
lanjut yang diminta.
Pihak Peminta dan uraian dari tindak
fakta yang dijadikan dasar oleh Negara
(2) dari Pasal ini, pernyataan dari fakta-
(c) Dalam hal permintaan menyangkut ayat
surat perintah tersebut.
sepanjang diminta untuk melaksanakan
pernyataan dari fakta-fakta dan informasi
dikeluarkan oleh Negara Pihak peminta,
yang menjadi dasar permintaan yang
hukum dari surat perintah perampasan
(1) (b) dari Pasal ini, salinan sah secara
(b) Dalam hal permintaan menyangkut ayat
nasionalnya;
kan surat perintah berdasarkan hukum
kinkan Negara Pihak diminta mendapat-
Peminta
dijadikan
dari
diminta
atau
multilateral
yang
Setiap
Negara
Pihak
wajib
mungkin
menyediakan
mengikat Negara Pihak Peminta.
bilateral
atau perjanjian, persetujuan atau pengaturan
nasionalnya dan aturan-aturan pelaksananya
sesuai dan berdasarkan ketentuan hukum
akan diambil oleh Negara Pihak
dalam ayat (1) dan ayat (2) dari Pasal ini
4. Keputusan atau tindak lanjut yang diatur
5.
timbal
balik
yang
tidak
dengan peraturan perundang-undangan.
kerjasama
bertentangan
perampasan
sebagai
landasan hukumnya untuk dite-
tujuan
ini.
dengan
perampasan
berkaitan
Pasal
perjanjian
rapkan dalam suatu kasus yang
dari
adanya
khusus tentang kerjasama untuk
keharusan
ANALISIS
pernyataan
(a)
7) Bantuan lain yang sesuai dengan tujuan pemberian
penyidikan di negara peminta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
kekayaan yang diminta dirampas dan
(1)
(a) Dalam hal permintaan menyangkut ayat
wajib memuat:
permintaan yang dibuat berdasarkan Pasal ini
ISI
86 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 30 HAL-HAL LAIN YANG
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
14
PSL
peraturan
hukum
dan
suatu
Negara
Jenderal
atau
hukum
dan
Pihak
untuk
Bangsa-
memilih
Perserikatan
kepada
perundang-
penjelasannya
adanya
perjanjian,
Negara
Pihak
cukup.
ini sebagai dasar perjanjian yang perlu dan
tersebut wajib mempertimbangkan Konvensi
syarat
ayat (1) dan ayat (2) dari Pasal ini dengan
membuat pengambilan upaya sesuai dengan
Jika
bangsa.
Sekretaris
undangannya
peraturan
kan Pasal ini dan setiap perubahan dari
mengabaikan hak-hak Pihak ketiga
yang
dilakukan
berdasarkan
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
dalam
tentang
Masalah
Bantuan
Pidana
Timbal
Undang-Undang Nomor 1 Tahun Balik
pidana
Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun
tindak
atau Pasal 13, alinea 1, Konvensi ini wajib
pemberantasan
2006
tentang
terorisme (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Undang–undang
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
disita oleh Negara Pihak menurut Pasal 12
1. Harta hasil tindak pidana atau kekayaan yang
Kekayaan yang Disita
Penyerahan Harta Hasil Tindak Pidana atau
Pasal ini.
internasional
untuk meningkatkan efektifitas kerja sama
atau pengaturan bilateral atau multilateral
kan untuk membuat perjanjian, persetujuan
9. Negara-negara Pihak wajib mempertimbang-
yang beritikad baik.
sebagai
8. Ketentuan Pasal ini tidak dapat ditafsirkan
pidana yang dicakup dalam Konvensi ini.
dimintakan bantuan bukan merupakan tindak
Negara Pihak apabila tindak pidana yang
7. Kerja sama dalam Pasal ini dapat ditolak oleh
6.
dari
perundang-undangannya yang memberlaku-
salinan
ISI
87
tidak bergerak berupa
rampasan harta benda
Berkenaan dengan pe-
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
kajian peraturan terkait untuk
peraturan-
dilakukan terhadap
Perlu
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 31
PSL
disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Konvensi.
prioritas
nasional
dan
menganut devisa
nesia lintas
terhadap kepemilikan benda tidak bergerak oleh negara lain. Sesuai dengan Penjelasan Umum dan Ketentuan Pasal 5 Undang-
disita, pidana denda atau pembayaran uang pengganti, termasuk ketentuan tentang penggantian biaya dan bagi hasil harta kekayaan yang dirampas (Pasal 57).
hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita
kepada pemiliknya yang sah.
lintas mengingat
lalu
Masalah
Pidana
bahwa
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia tentang
pidana
secara tetap atau kasus per kasus, harta
b) Pembagian dengan Negara Pihak lain,
tindak
13
berkenaan Pasal
Konvensi, juga berlaku
mukakan yaitu :
Pidana
Bantuan Timbal Masalah
atau
dengan
dalam
tentang
pidana
masih memerlukan tindak lanjut,
Balik
tindak
Apa yang telah dike-
melawan
diri
2006
upaya
terorganisasi.
pada
mengkhususkan
kekayaan yang disita.
yang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
penyerahan harta hasil
kejasama
2008 sudah mengatur
Countries (MLA) tahun
Dengan
penerapan
prinsip
hu-
pemerintah
demikian
atau
dasar
matters among ASEAN
assistance on criminal
Treaty on Mutual Legal
terbatas.
anut lalu lintas devisa
Konvensi ini dan kepada badan antar
resiprositas.
sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) (c)
baik
bungan
atas
darinya, kepada rekening yang ditentukan
bagian
dilakukan
atau
pidana
kekayaan
janjian, maka bantuan dapat
berasal dari penjualan harta hasil tindak
atau
2. Dalam hal belum ada per-
1. Perjanjian, atau;
a) Menyumbangkan jumlah dari harta tindak
pidana atau kekayaan atau dana yang
berdasarkan :
bantuan timbal balik ini dilakukan
mengenai:
pengaturan
untuk
dalam
atau
khusus
pertimbangan
perjanjian
membentuk
negara-
memberikan
Balik
negara tertentu mengTimbal
sedangkan Bantuan
Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Pasal 13 Konvensi ini, Negara Pihak dapat
bebas
lalu
Negara Republik Indo-
devisa,
peraturan
dari Negara Pihak lain menurut Pasal 12 dan
3. Pada saat bertindak berdasarkan permintaan
negara
tentang
pengadilan berupa perampasan harta kekayaan/benda yang
setiap
dikaji
tindak pidana atau mengembalikan harta
hukum
perlu
sistem
harta benda bergerak
sampai dengan Pasal 54), untuk menindaklanjuti putusan
kepada
seperti
korban
kompensasi
bergerak
tentang
perampasan uang atau
memberikan
tidak
tanah misalnya, terkait dengan
benda
berupa
bantuan kepada negara yang diminta (Pasal 22) maupun
kekayaan
per-
pelaksanaan-
dengan
pemberian bantuan kepada negara peminta (Pasal 51
sitaan/harta
yang berisi perampasan benda
1960
No-
dikaji
Pokok-Pokok
Tahun
Sedangkan
nya.
pengadilan
aturan
putusan
daklanjuti
Agraria
tentang
5
termasuk bantuan untuk menin-
pengadilan,
mor
kepada Negara Pihak Peminta agar ia dapat
Timbal Balik Dalam Masalah Pidana mengatur permintaan
harta
untuk
jika
sidang
perlu
Undang-Undang
tanah
DIPERTIMBANGKAN
penyerahan
disita.
atau
kekayaan
yang
harta hasil tindak pidana
dahkan
memperjelas dan memu-
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 32 HAL-HAL LAIN YANG
hasil tindak pidana atau kekayaan yang disita
mengembalikan
memberikan
hukum
mempertimbangkan
diminta,
oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan
penyerahan harta hasil tindak pidana atau kekayaan yang
diizinkan
di
Konvensi ini, Negara Pihak wajib, sepanjang
riksaan
penyidikan, penuntutan, peme-
bagi pidana
dengan
hukum
berkenaan
payung
Undang Nomor 25 Tahun 2003) tidak mengatur tentang
menjadi
uang (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-
tindak
dari Negara Pihak lain menurut Pasal 13
pemberantasan
2. Pada saat bertindak berdasarkan permintaan
tentang lainnya
undang–undang
Tahun 2001) dan undang-undang tindak pidana pencucian
prosedur administrasi.
dan
perundang-undangan
nasionalnya
pidana korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20
undang-undang
2003),
ANALISIS
dengan
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
diserahkan oleh Negara Pihak tersebut sesuai
ISI
88
PSL
adminstrasi.
dengan hukum nasional atau prosedur
hasil tindak pidana atau kekayaan, sesuai
dana yang berasal dari penjualan harta
hasil tindak pidana atau kekayaan, atau
ISI
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
atau
multilateral
kriteria
kasus
kasus
hubungan
per
dan
prinsip
nasional
baik
Bantuan Masalah
Timbal Pidana.
Juga
Balik
undang-undang
ini
ada hasil
tindak
pidana ataupun kekayaan yang disita.
barang
pengaturan tentang penyerahan
dari
karena di dalam salah satu pasal
Tahun 1979 tentang Ekstradisi
dengan Undang-Undang Nomor 1
dalam
tentang
Undang Nomor 1 Tahun 2006
itu berhubungan dengan Undang-
nya sebagai alat bukti dan karena
ini ada hubungan dengan status-
yaan yang disita dan diserahkan
Hasil tindak pidana atau keka-
Pasal 5 ayat (2).
hukum
hukum (Penjelasan
maupun
internasional
nasional
perhatikan
menguntungkan, dan mem-
persamaan kedudukan, saling
berdasarkan
pada
berpedoman
dengan kepentingan
habat
baik yaitu hubungan bersa-
dengan
2. Kajian
ASEAN)
(melalui perhimpunan negara
bilateral
negara yang diminta secara
bih dahulu dengan negara-
1. Mengadakan perjanjian terle-
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
89
Pasal
Konvensi ini.
untuk
14
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 33
15
PSL
atas
tindak
tindak pidana di Indonesia;
a) Tindak pidana dilakukan di wilayah Negara
memuat
yang
kriminal
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar
tersebut dilakukan.
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia palsu; Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-
tindak 4.
palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak
pidana
serius
dalam
dalam
tentang
di
jurisdiksi perundang-undangan
Ketentuan
Indonesia.
sendiri
di dalam hukum nasional-
dijabarkan
internasional tersebut,
diberikan oleh hukum
wilayahnya dengan tujuan melakukan
hukum
pidana
Konvensi ini dan dilakukan di luar
menurut
pitnya yurisdiksi yang diadili
Indonesia sehingga tidak dapat
negara-
atau menggunakan surat-surat tersebut diatas, yang
ayat
saja
yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut,
5,
Hanya
(1)
berdasarkan
dalam
kasus tersebut.
Pasal
di
tindak
i) Satu dari tindak pidana yang ditetapkan
hukum
diatur
bahwa
tukan luas atau sem-
c) Tindak pidananya adalah:
yang
kemungkinan
pidana
suatu
berdasarkan
tanggungan
bersangkutan terhadap
yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda
atas
ada
negara dalam menen-
Indonesia,
maka
Konvensi berada di luar yurisdiksi
wilayah
tanggungan
analogi,
yang
pidana
dalam
biasa
penafsiran
negara
pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga
di
yang
Pemalsuan surat hutang dan sertifikat hutang atas
tingan
sepanjang ada kepen-
but. Dengan kata lain,
daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula
tinggal
kewarganegaraan
Negara yang bersangkutan; atau
bertempat
memiliki
bersangkutan atau oleh orang yang tidak
3.
Indonesia dilarang menggunakan
yang
pidana
merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia.
Pihak
hukum
Karena
ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan
b) Tindak pidana tersebut dilakukan oleh
dalam
pada yurisdiksi kriminal.
kepentingan terhadap kasus terse-
kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank
Negara
yuris-
memiliki
warga negara dari Negara Pihak tersebut;
dari
lingkup
memberikan diksi yang sangat luas
ruang
nasional
nasional. Hukum Inter-
dasarkan hukum inter-
lingkup yurisdiksi ber-
pengertian dan ruang
Perlu ditinjau tentang
teori locus delictie.
dengan syarat negara
jenis tindak pidana yang tunduk
warganegara
sejalan
dengan perkembangan
transnasional,
secara limitatif ditentukan jenis-
Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang
2.
praktek
Dalam Pasal 4 dan Pasal 5 KUHP
(6)
(1)
a) Tindak pidana tersebut dilakukan terhadap
Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104,
ayat ayat
dalam
peradilan tindak pidana
kan
kepada negara-negara
15
106, 107, 108, dan 131.
1.
Pasal dengan
yurisdiksi
kriminal telah diterap-
Perluasan
DIPERTIMBANGKAN
ditinjau
tentang
kembali
KUHP perundang-
dalam
memasukkan
pengaturan
dalam
Pasal 4
akan
ada
atau
jangkauan dan
jangkauan
dan
tindak ada
atau yang
akan ada di kemudian
pidana
kejahatan
yang luas, maka setiap
umum
substansi yang sifatnya
Dengan
masa yang akan datang.
mungkin akan ada pada
yang
ada sebelumnya maupun
pidana baik yang sudah
kau semua jenis tindak
yang mampu menjang-
bersifat umum dan luas
dengan satu pasal yang
dan Pasal 5 tetapi cukup
seperti
KUHP tidak perlu limitatif
tentang yurisdiksi dalam
Sebaiknya
luasan asas teritorial.
kriminal, terutama per-
asas perluasan yurisdiksi
dengan
undangan pidana lainnya
maupun
diatur
yurisdiksi kriminal yang
ketentuan
Perlu
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 34 HAL-HAL LAIN YANG
Konvensi.
sampai
ataupun mencakup
KUHP
sudah
dalam
KUHP
ketentuan
RUU
yurisdiksi
yurisdiksinya atas setiap tindak pidana jika:
Negara Pihak dapat juga memberlakukan
Indonesia :
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
bersangkutan pada saat tindak pidana
yang
- Pasal 4
pesawat udara Indonesia;
Negara
peraturan
terdaftar
berdasarkan
apakah ruang lingkup
melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau
Pihak tersebut atau pesawat terbang yang
15 Konvensi.
berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah Indonesia
Pertanyaan yang dapat diajukan,
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
sesuai dengan ketentuan Pasal
yang mengibarkan bendera dari Negara
perundang-undangan
ketentuan
kebanyakan
perluasan yurisdiksi criminal tidak
tidak
terorganisasi
tindak pidana transnasional dan
b) Tindak pidana dilakukan di atas kapal
- Pasal 3
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu
ini jika:
Pihak tersebut; atau
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
- Pasal 2
Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 23 dari Konvensi
pidana yang ditetapkan berdasarkan Pasal 5,
jurisdiksinya
undangan pidana khusus terkait
Konvensi tentang Yurisdiksi
yaitu :
Ketentuan Pasal 15
memberlakukan
mengambil Pasal 9 KUHP, serta perundang-
wajib
Ketentuan Pasal 2 sampai dengan
Pihak
kriminal
Negara
ANALISIS
sudah diatur dalam KUHP Pasal 2 sampai dengan Pasal 9,
Setiap
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
tindakan yang mungkin diperlukan untuk
2. Tunduk pada Pasal 4 Konvensi ini, suatu
1.
Jurisdiksi
ISI
90
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
PSL
luar
wilayahnya
dengan
tujuan
16, wajib
(10)
yang
negara
dimana
Ayat (2)
dilakukan diancam dengan pidana.
perundang-undangan perbuatan
pelaku
berada
dalam
(2)
yang
Pasal
ini
telah
berdasarkan
Pihak
negara sesudah melakukan perbuatan.
negara
dimana
perbuatan
salah
satu
tindak
pejabat
Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
sebagaimana
diluar pidana
yang
melakukan
setiap
berlaku
perbuatan yang sama, badan berwenang dari
bagi
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
atau proses pengadilan berkenaan dengan
- Pasal 7
dilakukan, terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.
perundang-undangan
rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut
Berlakunya Pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian
- Pasal 6
sedang melakukan penyidikan, penuntutan
bahwa satu atau lebih Negara pihak yang lain
diberitahu, atau sebaliknya telah memahami,
atau
ayat
(1)
ayat
Negara
yurisdiksinya
suatu
melaksanakan
5. Apabila
atas orang tersebut.
wilayahnya dan tidak melakukan ekstradisi
tersangka
2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi warga
tindak
untuk Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir
atas
perlu
Indonesia
ketika
jurisdiksinya
dianggap
perundang-undangan
pidana yang tercakup dalam Konvensi ini
memberlakukan
tindakan
4. Setiap Negara Pihak dapat juga mengambil
dalam
pidana
Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
2.
ia adalah salah satu warga negaranya.
ekstradisi atas orang
tersebut dengan alasan semata-mata bahwa
dan tidak melakukan
450, dan 451;
Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan Pasal-pasal 160, 161, 240, 279,
atas
inilah yang akan menjadi
an kepastian hukum. Hal
tersebut di atas.
ketika tersangka pelaku berada di wilayahnya
jurisdiksinya
ku-
ka yang menentang ide
locus
yakni,
rang memberikan jamin-
kelemahan,
mengandung
Hanya saja, model ini
diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia
delictie.
menentukan
ke-
kesulitan
dicermati
mungkinan
Perlu
negara itu sendiri.
jangkau.
hari akan menjadi ter-
titik kecaman dari mere-
mengancam
ter-
masing-masing, sepenuhnya
gantung pada negara-
jadi
nya
REKOMENDASI
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
yang
tindak pidana yang diatur dalam Konvensi ini
memberlakukan
kejahatan
diperluas
yurisdiksi
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
Draft 5 (11 Agustus 2010) 35
Ayat (1)
- Pasal 5
1.
Pihak
ayat
tentang
untuk
Negara
Pasal
o
yang melakukan :
setiap
dari
dan
keselamatan penerbangan sipil.
n,
mengambil tindakan yang dianggap perlu
ini,
tujuan
Konvensi ini di dalam wilayahnya.
ayat (1) (a) (i) atau (ii) atau (b) (i)
ditetapkan sesuai dengan Pasal 6,
untuk melakukan tindak pidana yang
di
sudah
teori
Indonesia belum mengakomodasi
hukum pidana internasional.
tentang
udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf l, m,
446
sebagaimana telah dianut dalam
dengan
Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat
sampai
(1) (b) (ii) Konvensi ini dan dilakukan
444 yang
438,
kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan
Pasal
ditetapkan berdasarkan Pasal 6, ayat
pidana
perkembangan
tindak
ANALISIS
pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan
dari
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
yang
satu
wilayahnya.
Konvensi
3. Untuk
ii)
ISI
91
PSL
Bab
XXVIII
Buku
Kedua
Pasal
8
perahu,
dengan
16
yang
menganut
prinsip
perluasan
yurisdiksi
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia 4
Undang-Undang
Nomor
15
Tahun
2003
jo.
2002
butir
e
undang-undang
pemberantasan
kejahatan itu dilakukan.
berdasarkan undang-undang Republik Indonesia pada saat
Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar
yang dilakukan di atas kapal yang berbendera Negara
terorisme juga berlaku terhadap tindak pidana terorisme
Tahun
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Pasal
ketertiban sosial dan ekonomi di dalam wilayah mereka.
2. menimbulkan akibat yang sangat berbahaya terhadap
1. dilaksanakan atau diselesaikan di wilayah mereka, atau
yang dilakukan di negara lain, akan tetapi :
negara dapat diterapkan terhadap tindak pidana terorisme
teritorial obyektif yaitu perundang-undangan pidana suatu
Pasal
Pidana Terorisme diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 serta
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
Yurisdiksi kriminal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
internasional.
pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum
Diterapkannya pasal-pasal 2 – 5, 7, dan 8 dibatasi oleh
- Pasal 9
- Pasal 8
maupun dalam Ordonansi Perkapalan;
hukum nasionalnya.
sesuai
mengenai surat laut dan pass kapal di Indonesia,
Pihak
oleh
Negara
Ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan
yurisdiksi pidana manapun yang ditetapkan
suatu
dimaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku
sebagaimana
diluar
pidana
sekalipun tindak
tidak boleh mengenyampingkan pelaksanaan
satu
Indonesia
salah
diluar
melakukan
internasional pada umumnya, Konvensi ini
6. Tanpa mengabaikan norma-norma hukum
yang
dalam
berlaku bagi nakhoda dan penumpang perahu Indonesia,
dimaksud
mereka.
sama
sebagaimana
dengan tujuan mengkoordinasikan tindakan
satu
wajib, ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
itu
berkonsultasi
Pihak
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
lain
layaknya,
Negara
ISI
92 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 36 HAL-HAL LAIN YANG
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
16
PSL
diminta
dapat
Negara
Pihak
yang
meminta
dan
maka
ekstradisi
dapat
dilakukan
atas
dasar
yang
antara negara-
lembaga
ayatnya,
juga
konvensi-konvensi yang
atau ayat dari konvensi yang bersangkutan.
hubungan baik (ayat 2) disertai dengan suatu syarat, yakni, jika
untuk Ayat 3:
ditentukan
tentulah
U NTOC G A P A NA LYS I S
tersebut bisa berbeda-beda.
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
negara
Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun
mana
Negara
dengan
jian menerima permintaan ekstradisi dari
lain
terhadap
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
kan ekstradisi melalui adanya suatu perjan-
Pihak
masing-masing
negara
Perundang-undangan Indonesia mengatur ekstradisi dalam
kasus
Indonesia
sebab Republik
kasuistis
kejahatan politik.
kepentingan
secara
4. Jika suatu Negara Pihak yang mempersyarat-
antara mereka.
menghendakinya ataukah tidak,
apakah
negara atau anggota keluarganya tidak dianggap sebagai
prakteknya,
Pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala
Republik menghendakinya.
negara
perjanjian ekstradisi yang ditandatangani di
Dalam
Indonesia
kepentingan
pidana yang dapat diekstradisi dalam setiap
yang
sepanjang negara
kepentingan Republik Indonesia
dengan
Ayat 4:
RI
diekstradisikan
bersangkutan.
negara
dapat
politik
kan tindak pidana tersebut sebagai tindak
antara
juga
kejahatan
Pihak. Negara Pihak berupaya mencantum-
persetujuan
jenis
didasarkan
diperjanjikan
suatu
beberapa
diminta
ekstradisi yang ada di antara Negara-Negara
dalam
pelakunya
dipertimbangkan
diekstradisi
wajib Terhadap
ini
dicantumkan sebagai tindak pidana yang bisa
Pasal
sebagai kejahatan poiltik. tertentu
pasal-pasal sejenis yang
dalam salah satu pasal
atas
yang
3. Setiap tindak pidana yang menggunakan
mana
jika pengekstradisian atas orang
kejahatan biasa daripada kejahatan politik, tidak dianggap
tindak pidana yang disebutkan belakangan.
di
negeri
dalam
luar
Jendral
lui
Direktorat
terian Luar Negeri melapenyam-
melakukan
Kementugas dan wewenang
maka
ruang
dan
keluar
hubungan
lingkup rintah
diberi
jukan lembaga pemeyang
termasuk
eksternal
tindakan sebab tentang penun-
pakan atau
ini memang dapat dipahami
Tahun 2000
24
pemberitahuan ini meru-
Nomor
Oleh
masalah
dalam
Undang
karena
lainnya.
terdapat
huruf a UNTOC ataupun
nya di dalam Undang-
Ketiadaan pengaturan-
ditentukan
sebagai-
seperti pasal 16 ayat 5
ketentuan dari konvensi, lainnya
nal
lebih
perjanjian ekstradisi). Hanya saja
hakekatnya
merupakan
pada
Kejahatan
dapat menerapkan Pasal ini juga terhadap
yang
yang diamanatkan oleh internasio-
organisasi suatu
organ dari organisasipada
(belum
terikat
belangsung secara timbal balik
Ayat 2:
inter-
Ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik;
organisasi
nasional mengenai apa
dari
Konvensi ini, Negara Pihak yang diminta
satu
beritahuan kepada organ
beberapa di antaranya tidak tercakup dalam
salah
diberi wewenang
yang dan
untuk melakukan pem-
tugas
merintah
kepada
ataupun
secepatnya
berdasarkan hubungan baik yang
PBB
Sekretaris
menyampaikan
itu, Pemerintah
untuk
menunjuk lembaga pe-
Indonesia
sebaiknya
wewenang
juk atau diberi tugas dan
Ayat 1:
Jendral
kepada
untuk
tugas dan wewenang
pemerintah yang diberi
mengenai
ataupun
suatu
bersangkutan pada
ekstradisi,
terikat
perjanjian
sudah
ayat 2, ayat 3, ayat 4) yang berbunyi :
peminta
juga mengatur tentang kejahatan politik (Pasal 5 ayat 1,
apabila dengan
yang
negara-
orang
suatu
Indonesia
oleh
peminta,
diminta
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
Indonesia menghendakinya (ayat 2)
hubungan baik dan jika kepentingan negara Republik
(1)
kini lembaga
hingga ada
pemerintah yang ditun-
belum
Apabila
REKOMENDASI
beberapa tindak pidana serius yang berbeda,
2. Apabila permintaan ekstradisi terdiri dari
negara Pihak yang diminta.
kedua
dihukum berdasarkan hukum nasional dari
ekstradisi
mana
untuk
pidana
ataupun
tindak
mengekstradisikan
bahwa
Dalam hal belum ada perjanjian tersebut dalam ayat
ketentuan
berada di wilayah Negara Pihak yang diminta,
dengan
dalam salah satu pasal
lain, yakni, Indonesia bersedia
1); 2.
tidak
ekstradisi dengan negara-negara
di
ternasional sama sekali menegaskan
tentang Perjanjian In-
Indonesia
yang menjadi subyek permintaan ekstradisi
Ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian (ayat
1.
kelompok penjahat terorganisasi dan orang
No-
mor 24 Tahun 2000
Undang-Undang
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
Draft 5 (11 Agustus 2010) 37
dalam menghadapi kasus-kasus
sikap
menegaskan
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang tersebut antara lain mengatur:
3, ayat 1 (a) atau (b), melibatkan suatu
Undang Nomor 1 Tahun 1979 ini
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
di mana tindak pidana yang diatur pada Pasal
Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-
Ekstradisi dalam hukum nasional Indonesia diatur dalam
ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
tercakup dalam Konvensi ini atau pada kasus
1. Pasal ini berlaku bagi tindak pidana yang
Ekstradisi
ISI
93
PSL
nasional kan
Tahun 1979 tentang Ekstradisi tersebut
dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi.
inter-
aturan
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia tentang
lembaga
membentuk
pasal ini.
Konvensi
lainnya
guna
melaksanakan
perjanjian kstradisi dengan Negara Pihak
layaknya,
ditetapkan oleh hukum nasional negara Pihak
7. Ekstradisi tunduk kepada ketentuan yang
mereka.
yang bisa diekstradisikan diantara sesama
pasal ini digunakan sebagai tindak pidana
wajib mengakui tindak pidana terhadap mana
ekstradisi melalui adanya suatu perjanjian
kepada
Sekretaris
Jendral
Oleh
dari Pasal 18 ayat 13 UNTOC.Undang-Undang Nomor
UNTOC dapat dijumpai dalam Pasal 44 ayat 6 huruf a UNCAC.
1
Tahun
1979 dicabut
dan
berkenaan
Perserikatan
ketentuan
Bangsa-Bangsa, dengan
sahabat, maka perjanjian-
negara-negara
dengan
lumnya
ataupun
yang
yang sudah ada sebe-
pidana di luar KUHP baik
undang-undang
Setiap Sekretaris
bilateral
disi
kepada
Jendral
disi yang baru. pada perjanjian ekstramenyampaikan sikap Indonesia
diganti dengan undang-
harus
tentang Ekstradisi sudah
undang tentang Ekstra-
juga diatur di dalam
Oleh karena ekstradisi
untuk melaksanakan
amanat
juga Pasal 16 ayat 5 huruf a
termasuk
sanakan Pasal 16 ayat 5,
wewenang untuk melak-
juk atau diberi tugas dan
pemerintah yang ditun-
karena
Balik) lembaga
UNTOC. itu,
Timbal ayat
13
Hukum
dalam Pasal 18 (Bantuan
Indonesia telah terikat
dan
dalam (Ekstradisi)
jiwanya sama dengan
Undang-Undang
16
untuk
ayat 5 juga dijumpai di
Pasal
seperti
wewenang
Amanat
itu.
dan
ditunjuk dan diberi tugas
Konvensi yang isi dan
ini.
dari
adalah pemerintah yang paling tepat untuk
lembaga
Perjanjian
perjanjian bilateral dan khusus
tugas
pemerintah
penunjukan
sebagai peraturan pelaksanaan
(perpres)
presiden
atau
dan
Internasional
Hukum
REKOMENDASI
untuk
wewenang
diberikan
mengenai yang
atau lembaga
penegasan
Dalam hukum nasional Indonesia,
PBB.
nya
adalah,
sebagaimana
menggunakan
wewenang untuk menyampaikan-
tidak
bagi kerja sama ekstradisi, berupaya,
mereka
dalam Persoalannya
pemerintah yang diberi tugas dan
Jika
UNTOC sebagai
Konvensi ini sebagai landasan hukum
6. Negara Pihak yang tidak mempersyaratkan
(b)
16) hukum
pengekstradisian.
Pasal
peng-
seharusnyalah
untuk
menjadikan
landasan
Indonesia
Konvensi ini; dan
ini
ekstradisian,
ekstradisi dengan Negara-negara Pihak
Konvensi
apakah (khususnya
menggunakan
Bangsa-Bangsa
sebagai landasan hukum bagi kerja sama
mereka
Perserikatan
hukum
peraturan
Jenderal
landasan
Sekretaris
memberitahukan
pemerintah
an
lebih
perundangyang
rendah seperti peratur-
undangan
16 (Ekstradisi) tersebut sebagai
Indonesia
apakah akan menjadikan Pasal
sikap
atau aksesi terhadap Konvensi ini, agar
tentang
ratifikasi, penerimaan, persetujuan dari
saat
instrumen
PBB
Pada
penyerahan
(a)
Jendral
diatur di dalam per-
Sekretaris
kan
kepada
(Indonesia) untuk memberitahu-
wajib :
sebaiknya
ekstradisi melalui adanya suatu perjanjian,
yang
onal
UNTOC yaitu tentang kewajiban
ini digunakan.
5. Negara-Negara Pihak yang mempersyaratkan
pada
merupa-
masalah
ini
organisasi
tataran teknis operasi-
hubungannya
dari
organ
dengan Pasal 16 ayat 5 huruf a
dalam
1
bangkan tindak pidana terhadap mana pasal
Nomor
kepada
melakukan ekstradisi dengan mempertim-
Undang-Undang
huan
paian atau pemberita-
2
Indonesia
tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik,
dasar
Konvensi ini sebagai landasan hukum untuk
sikap
seperti dalam Pasal 2 ayat 1 dan
Dari
tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan
DIPERTIMBANGKAN
yang menegaskan tindak pidana terorisme dikecualikan dari
ANALISIS
Draft 5 (11 Agustus 2010) 38 HAL-HAL LAIN YANG
negara tersebut dapat mempertimbangkan
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
tersebut tidak memiliki perjanjian ekstradisi,
ISI
94
PSL
antara untuk
lain,
Pihak
Diminta
dapat
menolak
dan
kepada
perjanjian
ekstradisinya.
hukum
yang
mendesak
dan
dengan
permintaan
di
dalam
wilayahnya,
ke
dalam
lainnya
untuk
menjamin
di wilayahnya
kasus
yang
tersebut
tanpa
diwajibkan
Pihak
ekstradisi,
Negara
penundaan yang tidak semestinya kepada
menyerahkan
mengupayakan
permintaan
bahwa ia merupakan warga negaranya, atas
Pasal ini semata-mata dengan pertimbangan
dengan tindak pidana terhadap penggunaan
tersebut tidak mengekstradisi orang terkait
ditemukan tersangka pelanggar, jika negara
10. Suatu Negara Pihak yang
keberadaannya dalam proses ekstradisi.
tepat
penahanan atau menggunakan upaya yang
berada
yang ekstradisinya telah diminta dan yang
Negara Pihak meminta, mengambil orang
dan
bahwa kondisi tersebut sungguh diperlukan
Negara Pihak diminta dapat, setelah yakin
nasionalnya
9. Tunduk
pidana
ketentuan
tindak
menggunakan Pasal ini.
mempertimbangkan
persyaratan pembuktian yang terkait, dengan
prosedur ekstradisi dan menyerderhanakan
hukum nasionalnya, berupaya mempercepat
8. Negara-Negara Pihak wajib, tunduk terhadap
ekstradisi.
Negara
ekstradisi dan pertimbangan terhadap mana
minimum
meliputi,
hukuman
berlaku,
persyaratan
yang
Diminta atau melalui perjanjian ekstradisi
ISI
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia ekstradisi
1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi,
ekstradisi
adalah United Nations Model
sekali.
bahwa
sangat
Indonesia
disayangkan
terlibat
secara
aktif perundingan-perundingan untuk
merumuskan
tentang
konvensi
kejahatan
konvensi-
dan
semangatnya
sama seperti Pasal 16 ayat 5 huruf a
jiwa
yang
tersebut pengaturan
konvensi mengandung
setiap
internasional yang hampir dalam
khususnya
nasional,
naskah konvensi-konvensi inter-
nasional
atau konperensi-konperensi inter-
dalam
banyak
merupakan negara besar yang
mengingat
tentulah
Ketidakjelasan atau ketiadaan ini
Extradition, 1990.
Treaty
yang
on
baru
Nomor
on
Treaty
Model
oleh
negara-
baru
sebagai
1979 tentang Ekstradisi
Undang Nomor 1 Tahun
pengganti dari Undang-
yang
unekstradisi
pembuatan dang-undang
Dalam
disi.
undang tentang ekstra-
perjanjian dan undang-
negara dalam membuat
diikuti
on Extradition ini sudah
1990. UN Model Treaty
Extradition,
Nations
pada
sebaiknya mengacu United
juga
Undang-Undang
baru
bahkan mungkin tidak ada sama
yang
sebagai pengganti dari
undang-undang
buat
a, hingga kini masih belum jelas
undang-undang
buat
ekstradisi
UNCAC
maupun dalam mem-
seperti
Pasal 44 (Ekstradisi) ayat 6 huruf
lainnya
negara-negara sahabat
Indonesia dalam mem-
crime”.
tergolong extraditable
ini. sebagai
undang
yang undang-
pidana dalam
diatur
“tindak
ada tentang:
pasalnya
dalam
dengan
perjanjian
membuat
yang
konvensi
internasional
juga terdapat di dalam konvensi-
yang
sebagai acuan dalam
pidana
Juga perlu diperhatikan
tindak
berkaitan dengan ekstradisi yang
1
ataupun ketentuan sejenis yang
Nomor
diatur dalam Konvensi.
Undang-Undang
Tahun 1979 tentang Ekstradisi,
2
dengan
penegasan
supaya di dalam salah
masa yang akan datang
berkenaan
menghadapi
seperti dalam Pasal 2 ayat 1 dan
dalam
satu
menyampaikan/
akan diundangkan pada
kasus ekstradisi yang
berarti
ekstradisi
REKOMENDASI
memberitahukan sikap Indonesia
juga
tersimpul
itu perlu diperhatikan
secara
perjanjian
yang
UNTOC
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
Draft 5 (11 Agustus 2010) 39
Pasal 16 ayat 5 huruf a dari
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
95
PSL
yang
berwenang
untuk
tujuan
dengan
prosedur
yang
dan
lain, aspek
khususnya
hukum
untuk
ketentuan
warga
sebaliknya
seorang
berdasarkan
salah
hanya
atau
nasionalnya
Pihak
tersebut
guna
menjalani
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
dan
Negara
bahwa
penyerahan
orang
Pihak
Negara
telah yang
Pihak
ekstradisi,
diupayakan
untuk
tujuan
diminta
adalah
warga
negara
dari
Negara Pihak Diminta, maka Pihak Diminta,
yang
pelaksanaan hukuman, ditolak karena orang
12. Jika
dalam ayat (10) Pasal ini.
melepaskan dari kewajiban yang ditetapkan
tersebut atau penyerahan sudah cukup untuk
mereka anggap tepat, persyaratan ekstradisi
sepakat dengan opsi ini dan syarat lain yang
mengupayakan ekstradisi orang dimaksud
tersebut
dan
atau
diupayakan,
ekstradisi
pemeriksaan pengadilan, atau proses dimana
hukuman yang dikenakan sebagai akibat dari
Negara
bahwa orang tersebut akan dikembalikan ke
negaranya
menyerahkan
mengekstradisikan
berdasarkan
11. Kapan saja suatu Negara Pihak diberikan izin
penuntutan tersebut.
pembuktian, guna menjamin efisiensi proses
menyangkut
satu
yang bersangkutan wajib saling bekerja sama
Negara Pihak tersebut. Negara-negara Pihak
pidana berat lain sesuai hukum nasional
dengan cara yang sama seperti kasus tindak
keputusan dan melakukan proses hukum
penuntutan. Badan tersebut wajib mengambil
badan
ISI
pemerintah
dengan
diatur
dalam
konvensi-
Indonesia
diambil
bagaimana
sebaiknya
tentang
pemerintah
yang
dari
organisasi
inter-
dari
16
ayat
(3)
Konvensi
yang
tercakup
dalam dijadikan crime)
di
untuk perjanjian-
(extraditable
alasan dalam
pengekstradisian
dapat
Konvensi sebagai kejahatan yang
hatan
untuk mempertimbangkan keja-
mewajibkan negara-negara pihak
Pasal
kaidah hukumnya.
meliputi asas-asas dan kaidah-
pranata hukum ekstradisi yang
pemadatan/pemampatan
Pasal 16 Konvensi ini merupakan
nasional yang dimaksudkan.
organ
dilakukan pemberitahuan kepada
dan selanjutnya atas dasar itulah
oleh konvensi yang bersangkutan
terhadap apa yang diamanatkan
oleh
sikap
keputusan
konvensi dan untuk mengambil
yang
terkait dengan pokok masalah
yang lain (di dalam negeri) yang
lembaga-lembaga
mengkoordinasikannya
sangat perlu, antara lain untuk
untuk tugas dan wewenang ini
Penunjukan lembaga pemerintah
UNTOC ini.
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
96 DIPERTIMBANGKAN
dalam
pemperjanjian-per-
yang
(prosedur sederhana/singkat).
ekstradisi
procedure”
“simplified
supaya tentang extradition
dalamnya dicantumkan
di
negara-negara sahabat,
janjian ekstradisi dengan
buatan
maupun
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 40 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
hukuman
yang
telah
dikenakan
tingkat
pemrosesan,
termasuk
pembebanan
kewajiban
untuk
yang
dibuat
untuk
tujuan
dasar
jenis
kelamin,
ras,
agama,
terhadap
posisi
dipenuhinya
ekstradisi
hanya
atas
dianggap melibatkan masalah keuangan.
pertimbangan bahwa tindak pidana tersebut
permintaan
15. Negara-Negara Pihak tidak boleh menolak
tersebut
menyebabkan
orang
untuk alasan-alasan dimaksud.
kerugian
atau
akan
tersebut
tersebut
orang
permintaan
politik
kewarganegaraan, suku asal atau pendapat
atas
penuntutan atau penghukuman seseorang
permintaan
memiliki alasan kuat untuk meyakini bahwa
mengekstradisi, jika Negara Pihak Diminta
sebagai
14. Tidak satu pun dalam Konvensi ini ditafsirkan
berada.
Pihak dalam wilayah tempat orang tersebut
diberikan oleh hukum nasional dari Negara
penikmatan semua hak dan jaminan yang
semua
wajib dijamin atas perlakuan yang adil pada
terhadap penggunaan Pasal ini digunakan,
pidana
dijalankan
tindak
sedang
mempertimbangkan
dengan
yang
dengan
terkait
hukum
orang
kepadanya
proses
13. Setiap
atau sisa hukuman darinya.
berdasarkan hukum nasional Negara Peminta
sanaan
Peminta, wajib mempertimbangkan pelak-
berdasarkan atas permohonan dari Negara
selaras dengan persyaratan hukum tersebut,
jika hukum nasionalnya mengizinkan dan
ISI
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
antara
pencantuman
ekstradisi Dengan
baru
yang
terdapat
negaranya.
Negara
di-
kemungkinan
16
ayat menolak
(15)
tidak permintaan
negara-negara
pidana
itu
melibatkan
penafsiran dimaksud
apa
dengan
tentang
sekali tidak terdapat di dalam
Kedua ketentuan di atas sama
“melibatkan masalah keuangan”.
yang
perbedaan
ketentuan ini dapat menimbulkan
masalah keuangan. Akan tetapi
tindak
esktradisi dengan alasan bahwa
pihak
membolehkan
Pasal
syarakatannya sendiri.
hukumannya di lembaga pema-
untuk melanjutkan pelaksanaan
pertimbangkan
peminta, diwajibkan untuk mem-
minta, atas permintaan negara-
warga
negara diminta karena dia adalah
ditolak untuk diekstradisikan oleh
dengan seorang terhukum yang
Pasal 16 ayat (12) berkenaan
dan ayat (15).
tum dalam Pasal 16 ayat (12)
dalam Konvensi adalah tercan-
Substansi
nya.
tanggungjawab atas perbuatan-
dapat menghindarkan dari dari
ini, diharapkan pelakunya tidak
mereka.
perjanjian
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
97
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 41
PSL
(14)
Konvensi
yang mengandung dimensi politik
16
(8)
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia persya-
prosedur
Konvensi
negara-
Konvensi
asasi
peng-
ekstradisi.
Ketentuan
8
ini
sama
dengan “simplified extradition procedure”
ayat
Jiwa dan semangat dari Pasal 16
1979 tentang Ekstradisi.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
seperti ini tidak terdapat dalam
kasus
ratan tentang pembuktian dalam
menyederhanakan
mempercepat dan
untuk
dalam
pihak
kepada
ayat negara
mewajibkan
Pasal
manusia di bidang politik.
hak
demi terhadap
adalah
hormatan
politik
hatan yang mengandung dimensi
kejahatan politik ataupun keja-
untuk mengekstradisikan pelaku
Patut diketahui, bahwa larangan
diekstradisikan.
sehingga pelakunya tidak boleh
hatan politik ataupun kejahatan
kejahatan yang
atau meningkatkan efektivitas ekstradisi.
multilateral
ayat
dapat digolongkan sebagai keja-
dan
16
atau
bilateral
Pasal mengelaborasi
pengaturan-pengaturan untuk melaksanakan
perjanjian
17. Negara Pihak wajib berupaya membentuk
tersebut.
Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi tampak terlalu umum.
kejahatan
informasi yang berhubungan dengan dugaan
tentang
memberikan pandangannya dan memberikan
guna politik di dalam Undang-Undang
Peminta
Substansi
Pihak
memberikan kesempatan yang luas untuk
Negara
1979 tentang Ekstradisi.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
ANALISIS
dengan
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
yang diminta, jika perlu, wajib berkonsultasi
16. Sebelum menolak ekstradisi, Negara Pihak
ISI
98 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 42 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
ISI
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
yang
ekstradisi ekstradisi
na-
lampau delapan
telah
the
Procedure”
dengan
consents
before
a
nasional
positif,
tampaknya
tidak merupakan hukum inter-
UN Model Treaty ini, meskipun
competent authority”.
explicitly
provided that the person sought
a request for provisional arrest,
grant extradition after receipt of
if not precluded by its law, may
rumusan: “The Requested State,
Extradition
menegaskan tentang “Simplified
Extradition yang dalam Article 6
Treaty on
mengesahkan
United Nations Model
PBB
Pada tahun 1990, Majelis Umum
ini.
sekali tidak ada ketentuan seperti
puluhan atau sebelumnya) sama
masa
dasawarsa
(sekitar
perjanjian-perjanjian pada
ekstradisi
dalam
sional negara-negara ataupun di
undang-undang
kangan ini. Sedangkan di dalam
bela-
tentang
multilateral
ataupun dibuat
bilateral
perjanjian-perjanjian
nasional negara-negara ataupun
dalam undang-undang ekstradisi
ekstradisi) yang lazim dijumpai di
(prosedur sederhana/singkat dari
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
99
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 43
PSL
ISI
diikuti
dan
tentang
multilateral
ataupun ekstradisi,
dalam
perjanjian-perjanjian
16
ayat
(12)
ini
juga
dengan
alasan
orang
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia wajib
yang
untuk
diminta
negara
sebagai
terdapat
dalam
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1979.
tidak
itu sendiri. Ketentuan ini juga
hukumannya di negara diminta
melaksanakan hukuman atau sisa
tersebut
negara
dari
berstatus permintaan peminta,
Atas
terpidana.
tersebut
negaranya. Dalam hal ini orang
yang bersangkutan adalah warga
peminta
dijatuhkan hukuman oleh negara
orang yang diminta yang telah
atas
untuk
mewajibkan diminta hukuman
yang negara
melaksanakan
kepada
ektradisi,
merupakan hal baru di dalam
Pasal
sudah mulai dicantumkan.
ini, ketentuan pasal 16 ayat (8)
ektradisi yang dibuat belakangan
Di
ini sebagai salah satu pasalnya.
“simplified extradition procedure”
termasuk pencantuman tentang
bilateral
perjanjian-
negara-negara
pembuatan
oleh
praktek
perjanjian
dalam
diadopsi
dalam
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
100 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 44 HAL-HAL LAIN YANG
17
PSL
menyelesaikan masa hukuman mereka di sana.
tercakup dalam Konvensi ini, agar mereka dapat
ke wilayah mereka bagi tindak pidana yang
narapidana.
memberikan
atau bentuk pencabutan hak kebebasan lainnya, wewenang
Balik untuk
Dalam
tidak
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
No-
kepada
KUHAP pasal
negaranya demikian
Hingga kini belum ada peraturan perundang-undangan
pidana
di
pihak,
adalah
pidananya
di
yang dipidana
Indonesia
dan
dan menjalani
cukup banyak warganegara asing
merupakan suatu fakta bahwa
lain
Indonesia.
narapidana ini. Pada
sisa
mengenai masalah pemindahan
pidana pidananya
menjalani
di
atau
untuk
negara Indonesia dengan negara sahabat
asing
yang menjalani pidana di antara
maupun
perjanjian
hukuman bagi nara pidana asing
Indonesia
bagi
dan warganegara
pula
sendiri
atau
bisa
di
yang
tentang pemindahan pelaksanaan
Indonesia
sisa
untuk
pidana
asing
pidananya
menjalani
ataupun sebaliknya.
(Indonesia)
negaranya
sendiri
Indonsia
menjalani
hukuman/ sisa hukumannya di
menjalani
di
pidana
untuk
hukuman
lain
yang
negara
menegaskan
satu
kemungkinan bagi nara
semacam
dalam
dipertimbangkan ataupun RUU KUHAP ada
supaya
Perlu
menjalani
ini.
ini tidak bisa dijadikan alasan
hukuman
pemindahan bagi nara pidana asing.
pelaksanaan
tentang
untuk perjanjian
sahabat membuat
negara
ajakan dengan negara-
sedang
perjanjian
kapasitas. Namun demikian, hal
membuat
Indonesia
aktif mengadakan penj-
Sebaiknya
REKOMENDASI
untuk tidak menerima WNI yang
untuk
pada umumnya sudah melebihi
Indonesia
melakukan penjajagan
yang
syarakatan
Indonesia
daya tampung Lembaga Pemadi
Australia sudah pernah
Tampaknya ada kendala dalam
2008,
Pada
tahun
ketentuan Konvensi.
negara
yang dimaksud.
ke
yang bersangkutan
mengakomodasi
Pemasyarakatan belum
tentang
mor 12 Tahun 1995
Undang-Undang
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
Draft 5 (11 Agustus 2010) 45
berkewarganegaraan dari negara
yang
mengupayakan
narapidana
yang
pemindahan
U NTOC G A P A NA LYS I S
pengalihan
Pidana
mengadakan
Masalah
negara
Timbal
Bantuan
pengaturan-pengaturan
pemindahan orang-orang yang dipidana penjara
tentang
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang
dirasakan
atau
praktek
terkait dengan adanya beberapa
dapat
Kebutuhan
Pihak ketentuan tentang pemindahan narapidana ke negara lain.
Negara
Perundang-undangan pidana Indonesia belum mengatur
mempertimbangkan
ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
pembentukan perjanjian bilateral dan multilateral
Pemindahan Narapidana
ISI
101
18
PSL
juga
cukup
banyak
yang
dari
adanya
perjanjian
bagi
asing
ini
kedekatan
dengan
kemanusiaan,
narapidana masalah
nilai-nilai
sosial
budaya,
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia diplomatik.
(a) atau (b), adalah pada dasarnya bersifat
asasi permintaan
hak
saluran
dan mengajukan
hukum
yang
Bantuan kepada negara asing secara langsung atau melalui
9
dapat
bidang
menteri
pidana yang mengacu pada Pasal 4, ayat (1)
di
Menteri
jawab
(1):
bertanggung
adalah
yang tepat untuk mencurigai bahwa tindak
bantuan
Menteri
Pasal
balik
10:
manusia.
timbal
angka
Negara Pihak Peminta memiliki pertimbangan
secara
1
yang sama satu dengan lainnya, di mana
memberikan
wajib
1. Memperoleh
dan
Pasal
3
ditetapkan
Pasal
antara lain :
dalam
disebut
balik.
tidak
bilateral
Perjanjian
pidana.
Sedangkan
cari orang. ketentuan
balik negara–
timbal
tentang
masalah
negara ASEAN adalah:
diantara
bantuan
pidana.
seluruhnya dengan tindak
dalam
tentang bantuan timbal balik
2. Mengidentifikasi dan men-
dengan
antara negara-negara sahabat
Indonesia
atau
janjian multilateral dan
adakan perjanjian-per-
Indonesia telah meng-
DIPERTIMBANGKAN
Tahun
yang internasinoal
tentang
seperti, Hubungan
antara
kerjasama internasional.
Indonesia,
dari hukum acara pidana
dimensi
guna dengan dipertimbangkan
2006
ketentuan menegaskan
satu
Perlu
Konvensi.
disesuaikan
1
Nomor
penyempurnaan Undang-Undang
Perlu
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 46 HAL-HAL LAIN YANG
sanksi denda berupa uang
kembali
Konvensi,
tetapi dalam
2006
sebagai koordinator pengajuan permintaan bantuan timbal
berperan
tercakup dalam Konvensi ini sebagaimana
yang
hubungannya dengan tindak pidana yang
authority)
Tahun
(central
pemegang
penuntutan, dan proses pengadilan dalam
otoritas
Undang-Undang
Hukum dan Hak Asasi Manusia ditunjuk sebagai pejabat
hukum timbal balik dalam hal penyelidikan,
1
yang diatur dalam Pasal 3
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006. Menteri
Nomor
a. Bentuk bantuan timbal balik
Bantuan timbal balik dalam masalah pidana telah diatur
kemanusiaan
iklim, dan lain-lain yang bersifat
hari,
keluarga, soal makanan sehari-
seperti,
adalah
an
pemindahan pelaksanaan hukum-
ataupun undang-undang tentang
Alasan
masyarakatnya.
keluarganya, maupun kehidupan
seperti kerinduan atas tanah air,
psikologis
mereka
beban
diantara
menghadapi
Banyak
pidananya di negara-negara lain.
WNI yang dipidana dan menjalani
sebaliknya
ANALISIS
sama lain, seluas-luasnya, tindakan bantuan
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
1. Negara Pihak wajib saling memberikan satu
Bantuan Hukum Timbal Balik
ISI
102
PSL
dalam
melibatkan
kelompok
3.
Undang Nomor 1 Tahun
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
hukum
timbal
balik
yang
akan
catatan usaha;
perbankan, keuangan, perusahaan atau
relevan, termasuk laporan pemerintah,
resmi dari dokumen dan laporan yang
(f) memberikan dokumen asli atau salinan
pembuktian dan penilaian para ahli;
(e) memberikan informasi, hal-hal mengenai
(d) memeriksa barang dan tempat;
pembekuan;
(c) melakukan pencarian dan penyitaan, dan
adilan;
(b) memberikan pelayanan dokumen peng-
seseorang;
(a) mengambil bukti atau keterangan dari
untuk tujuan-tujuan berikut :
diberikan menurut Pasal ini dapat dimintakan
Bantuan
Negara Pihak Peminta.
sesuai dengan Pasal 10 Konvensi ini di
badan hukum dapat dikenai tanggung jawab
seseorang
ataupun
yang
melengkapi
Negeri
tentang
bantuan
timbal
belum
1
seseorang
yang na untuk tujuan identifikasi,
ditahan atau menjalani pida-
pindahkan
Konvensi tentang dapat di-
d. Ketentuan Pasal 18 ayat (10)
Tahun 2006.
dalam Nomor
diatur Undang-Undang
bank,
dengan alas an kerahasiaan
PBB.
pada Sekretaris Jenderal balik
informasi timbal
rikan
bantuan
tidak boleh menolak membe-
tersebut
ke-
memberitahukan
Negeri yang
Luar bahwa negara yang diminta
masalah Seyogyanya
dalam Menteri
balik
kukan
wewenang untuk mela-
huan badan yang diberi
pelaksanaan pemberita-
Luar
Manusia dengan Menteri
Hukum dan Hak Asasi
Perlu koordinasi Menteri
pidana.
akan
saling
(komplementer).
sisi
ditempatkan dalam po-
Konvensi yang menentukan
yang
multi dan bilateral, sebaiknya
janjian-perjanjian
c. Ketentuan Pasal 18 ayat (8)
Tahun 2006.
datang.
1
Undang-Undang
Nomor
masa
diminta, belum diatur dalam
yang
ada
baik
dalam
tentimbal masalah
sahabat bantuan
yang akan ada pada
dari
masi
negara
sudah
merahasiakan
untuk
infor-
pidana
balik
tang
negara
Konvensi tentang kewajiban
b. Ketentuan Pasal 18 ayat (5)
di
kehadiran
negara pihak peminta.
sukarela
U NTOC G A P A NA LYS I S
terkait sebelum permintaan tersebut dipenuhi.
lidikan, penuntutan, dan pengadilan dalam
hubungan dengan tindak pidana yang suatu
Pasal 30: Menteri melakukan koordinasi dengan instansi
dengan mempertimbangkan proses penye-
Diminta
nesia dengan negara-
Pihak
2. Memfasilitasi
Negara
atau
terkait sebelum permintaan tersebut dipenuhi.
dari
dan
pengaturan
multilateral
bilateral antara Indo-
penilaian
para ahli.
dan
buktian
Pasal 29 (2): Menteri melakukan koordinasi dengan instansi
Perjanjian-perjanjian
untuk ditindaklanjuti.
pem-
2006, dan dalam per-
lam Konvensi, Undang-
undang terkait, perjanjian, persetujuan dan
mengenai
informasi,
timbal
Matters yang ditanda-
hal-hal
telah
hukum
balik yang terdapat da-
bantuan
REKOMENDASI
tangani di Kuala Lum-
28, Menteri meneruskan kepada Kapolri atau Jaksa Agung
Bantuan
1
dalam
Nomor
disebut
ber 2004.
permintaan
tidak
Undang-Undang
tetapi
Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal
1. Memberikan
hal
mengatur
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Dalam
yang
bentuk bantuan timbal balik
Konvesi
pur tanggal 20 Nopem-
(1):
pengajuan
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
Tahun 2006, antara lain :
29
suatu
ANALISIS
Draft 5 (11 Agustus 2010) 47
semaksimal mungkin berdasarkan undang-
2. Bantuan hukum timbal balik wajib diberikan
pelaku tindak pidana terorganisasi.
dimaksud Pasal
di
pidana
berada pemberian Bantuan.
tersebut
dalam
permintaan Bantuan dinilai tidak cukup untuk menyetujui
pidana
Negara Pihak Diminta dan bahwa tindak
terdapat
tindak
yang
jika
informasi
Pasal 28 (3): Menteri dapat meminta informasi tambahan
saksi, hasil-hasil, sarana-sarana atau bukti
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
antar negara, termasuk para korban, para
ISI
103
PSL
hasil
pemberian
kesaksian
atau
untuk
kehadiran
lain
Negara Pihak Diminta.
nasional
yang
hukum
lainnya
dengan
bantuan
bertentangan
jenis
tidak
sukarela
tujuan
seseorang di Negara Pihak Peminta;
memfasilitasi
pembuktian;
benda-benda
f.
yang
diberikan
oleh
permin-
Pasal 18 ayat (20) mengatur
suatu permintaan yang disusun oleh Negara
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia agar
merahasiakan
bahwa
informasi
1
Tahun
membolehkan negara yang diminta menolak
tidak
yang
penggunaannya. Namun, hal ini tidak akan
g. Ketentuan Pasal 18 ayat (22)
Nomor
sementara, atau dengan pembatasan pada
dimaksud tetap bersifat rahasia, walaupun
permintaan
2006.
yang
Undang
Badan
menuruti
berada.
berwenang yang menerima informasi wajib
tersebut
belum diatur dalam Undang-
diminta
taan tersebut. Ketentuan ini
mengindahkan
informasi
tanpa
Negara yang badan berwenang memberikan
dilakukan
fakta dan substansi permin-
wajib
proses pemeriksaan dan proses pidana di
ini
peminta kepada negara yang
diberikan oleh negara pihak
Konvensi ini.
5. Pengiriman informasi menurut ayat (4) Pasal
tentang syarat yang dapat
Pihak yang disebut belakangan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006.
dalam
ada
persetu-juan
dan proses pidana, atau dapat menghasilkan
tanpa
diminta. Ketentuan ini tidak
bahwa
atau melakukan pemeriksaan dengan baik
yakin
sebelumnya dari negara yang
mereka
berwenang tersebut dalam mengupayakan
yang
informasi tersebut dapat membantu pihak
lain,
dalam
adilan kasus lain, selain yang taan,
kriminal dinyatakan
masalah
yang
Pihak
dengan
informasi
kepada badan yang berwenang di negara
berhubungan
menyampaikan
nuntutan atau proses peng-
bukti melakukan penyelidikan, pe-
dari
larangan
lumnya,
berwenang
tentang
menggunakan informasi atau
mengatur
Negara Pihak dapat, tanpa diminta sebe-
yang
Nomor 1 Tahun 2006. e. Pasal 18 ayat (19) Konvensi
negara yang diminta untuk
badan
belum
suatu
nya,
pengadilan,
diatur dalam Undang-Undang
proses
penyidikan, penuntutan atau
melacak
atau
atau
ANALISIS
untuk memperoleh bukti bagi
mengidentifikasi
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
tindak pidana, kekayaan, sarana-sarana
4. Tanpa mengesampingkan hukum nasional-
(i)
(h)
(g)
ISI
104 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 48 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
merupakan
bukti
yang
dapat
Pengirim.
Apabila,
mengkonsultasikan
di
depan
tidak
mungkin,
Pihak
Pengirim
mengenai
(9)
sampai
ayat
(29)
Pasal
ini
tidak
terikat
dengan
suatu
maka
terikat
perjanjian
ketentuan-ketentuan
tersebut
(29)
ini
Pihak
sebagai
Negara-Negara
Pasal sangat
pengganti
dianjurkan untuk menggunakan ayat-ayat
darinya.
ayat
sepakat untuk menggunakan ayat (9) sampai
digunakan kecuali jika Negara-Negara Pihak
yang berhubungan dengan perjanjian wajib
itu,
Pihak
semacam
Negara
perjanjian bantuan hukum timbal balik. Jika
tersebut
sesuai dengan Pasal ini jika Negara Pihak
digunakan terhadap permintaan yang dibuat
7. Ayat
akan
atau
maupun
atau
keseluruhan
mengatur
bilateral
terhadap
sebagian, bantuan hukum timbal balik.
yang
secara
ada,
kewajiban
yang
mengatur,
lain
multilateral,
perjanjian
mempengaruhi
6. Ketentuan-ketentuan Pasal ini tidak boleh
pengungkapan tersebut tanpa penundaan.
Negara
Negara Pihak Penerima wajib memberitahu
pemberitahuan
dalam perkara yang sifatnya luar biasa,
Pihak
diminta,
negara
apabila
dengan
dan,
Pengirim sebelum pengungkapan tersebut
wajib memberitahukan kepada Negara Pihak
kasus seperti ini, Negara Pihak Penerima
membebaskan orang yang tertuduh. Dalam
yang
proses beracara, mengungkapkan informasi
menghalangi Negara Pihak Diminta, dalam
ISI
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
bantuan
timbal
tidak 1
tidak
menahan,
yang
proses
penyidikan, atau
Undang-Undang
substansi
substansi
seharusnya
diatur
tetapi
2006 mengatur tentang “transit”
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
tidak diatur di dalam keduanya.
yang
atau sebaliknya atau ada hal-hal
satu tetapi ada di pihak yang lain
yang kekosongan di pihak yang
sama atau jiwanya sama, ada
dikatakan ada ketentuan yang
2006 ini, secara umum dapat
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
dengan
diperbandingkan
Nomor 1 Tahun 2006.
dalam
pihak peminta, belum diatur
peradilan di wilayah negara
penuntutan
membantu
yang memberikan bukti atau
lain
seorang
pribadi atau orang
saksi
ahli
kebebasan
Konvensi
Jika
boleh menghukum atau membatasi
peminta menuntut,
pihak
tentang jaminan dari negara
h. Ketentuan Pasal 18 ayat (27)
Tahun 2006.
keudalam
Nomor
diatur
masalah
Undang-Undang
angan,
melibatkan
balik hanya dengan alasan
permintaan
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
105
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 49
PSL
dengan
an” atas orang ataupun barang bukti” mulai dari proses paling awal hingga akhir. Sejauhmana pembagian tanggungjawab anta-
apakah tindakan tersebut merupakan suatu
tindak pidana berdasarkan hukum nasional
Negara Pihak Diminta.
bantuan
memberikan
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
ini,
yang
tercakup
(b)
tersebut
dengan
bebas
dimaksud Konvensi.
oleh Negara-Negara Pihak tersebut.
tentang
dalam
pidana
timbal
dalam Pasal
13
sebagaimana
balik
permintaan
bertanggungjawab
Manusia menerima
ketentuan-ketentuan yang dianggap tepat
untuk masalah
dari
Negara Pihak sepakat, tunduk terhadap
berwenang
bantuan
yang
yang
Asasi
kedua
badan
memberikan persetujuan secara sadar;
orang
badan
kewenangan Menteri Hukum dan Hak
jika
dalam
(a)
dipindahkan
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
dapat
Sekretaris Jenderal PBB tentang
kajahatan
Konvensi
Indonesia
dengan
Republik
belum memberitahukan kepada
hubungannya
Pemerintah
dalam
pengadilan
memperoleh
proses
untuk
bukti bagi penyelidikan, penuntutan, atau
“Pengamanan/keamanan” ini.
Pasal 18 Konvensipun juga sama
sebaliknya
sekali tidak mengatur masalah
atau
kesaksian
pemberian
orang
Diminta dengan tujuan untuk identifikasi,
keamanan
atau alat bukti tersebut .
yang keberadaannya di Negara Pihak lain
atas
diminta
hukuman di wilayah sebuah negara Pihak
10. Seorang yang sedang ditahan atau menjalani
ra negara-peminta dan negara-
tentang
kehendaknya,
terlepas
sesuai
diputuskan
“pengamanan/keaman-
2006 sama sekali tidak mengatur
apabila
dianggap perlu, memberikan bantuan, sejauh
dapat,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
Diminta
Negara
Pihak
dalam salah satu pasalnya.
tidak adanya kriminalitas ganda. Namun,
multilateral
sesuai dengan Pasal ini dengan pertimbangan
perjanjian
tidak sebagai
sudah seharusnya mengatur di
sebuah
sekali
padahal
sama
mengaturnya,
memberikan bantuan hukum timbal balik
9. Negara-Negara Pihak dapat menolak untuk
ini
Konvensi
pertimbangan kerahasiaan bank.
Pasal
Konvensi. Sebaliknya, Pasal 18
dengan
balik
sesuai
untuk memberikan bantuan hukum timbal
(3), ayat (4), dan ayat (5)] tetapi hal ini tidak terdapat di dalam
8. Negara-Negara Pihak tidak boleh menolak
[Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat
ANALISIS
kerja sama.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
tersebut tersebut jika mereka melakukan
ISI
106 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 50 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
Pihak
terhadap
orang
yang
kewajiban
untuk
tetap
menahan
negara
Pihak
dari
mana
orang
wajib,
tanpa
menunda
Pihak
tesebut
sebagaimana
yang
orang
penahanan
mana
bawah
dari
di
oleh
badan-badan
Pihak
Pihak
mana dari
boleh
orang
yang
yang
dipindahkan
tersebut
kalau
Negara
Pihak
dari
mana
seseorang,
apapun
kewarganegaraannya,
(10) dan ayat (11) Pasal ini sepakat, bahwa
seseorang dipindahkan sesuai dengan ayat
12. Kecuali
Negara Pihak dari mana ia dipindahkan.
yang dijalani di bawah penahanan dari
dari mana ia dipindahkan selama waktu
hukuman yang telah dijalani di Negara
diberikan pengurangan atas pelaksanaan
(d) Orang
pemulangan orang tersebut;
untuk memulai proses ekstradisi bagi
mana orang yang dipindahkan tersebut
Negara
tidak
terhadap
mempersyaratkan
dipindahkan
(c) Negara
berwenang dari kedua Negara Pihak;
disepakati
disepakati sebelumnya, atau sebaliknya
dipindahkan
Negara
orang
pelaksanaan kewajibannya, memulangkan
dipindahkan
(b) Negara Pihak terhadap orang tersebut
tersebut dipindahkan;
oleh
jika sebaliknya diminta atau diberi kuasa
orang yang dipindahkan tersebut, kecuali
dan
dipindahkan wajib memiliki kewenangan
(a) Negara
11. Untuk tujuan dari ayat (10) Pasal ini:
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
107
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 51
PSL
yang untuk
memiliki
kekuasaan
kepada
badan
yang
dengan
sistem
bantuan
hukum
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
diterima.
Apabila
badan
yang
yang
berwenang
untuk
eksekusi,
yang Bangsa-
berwenang.
Perserikatan
badan
Jenderal
oleh
yang berwenang yang ditunjuk untuk tujuan
Bangsa wajib diberitahu mengenai badan
Sekretaris
tersebut
dan eksekusi yang layak atas permintaan
badan tersebut wajib mendorong percepatan
badan
berwenang mengirimkan permintaan kepada
yang
yang layak atau pengiriman atas permintaan
wajib memastikan percepatan dan eksekusi
wilayah tersebut. Badan yang berwenang
memiliki fungsi yang sama untuk daerah atau
menunjuk badan berwenang yang lain, yang
timbal balik yang terpisah, maka ia bisa
wilayah
Negara Pihak memiliki daerah khusus atau
berwenang untuk dilaksanakan. Jika suatu
mengirimkannya
balik dan juga untuk melaksanakan atau
menerima permintaan bantuan hukum timbal
dan
berwenang
jawab
yang
tanggung
badan
13 Setiap Negara Pihak wajib menunjuk sebuah
mana ia dipindahkan.
keberangkatannya dari wilayah Negara dari
atau penghukuman-penghukuman sebelum
kelalaian-kelalaian,
tersebut
perbuatan-perbuatan,
orang
mempertimbangkan
mana
dengan
dari
dipindahkan
Negara
dari kebebasan pribadinya dalam wilayah
tunduk kepada pembatasan-pembatasan lain
tidak boleh dituntut, ditahan, dihukum atau
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
108 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 52 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
dari
atau
ratifikasi,
aksesi
atau
terhadap
penerimaan
dan
komunikasi
ditujukan
diterima
oleh
negara
syarat-syarat
yang
Pihak
keasliannya.
Sekretaris
yang
dapat
diterima
oleh
setiap
instrumen
ratifikasinya,
Konvensi
ini.
Dalam
keadaan
diperkuat secara tertulis.
secara lisan, namun wajib dengan segera
Negara Pihak, permintaan dapat dilakukan
mendesak dan yang disepakati oleh Negara-
terhadap
penerimaan, atau persetujuan atau aksesi
menyimpan
Negara Pihak pada saat negara dimaksud
bahasa
diberitahu mengenai bahasa atau bahasa-
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib
membuktikan
memungkinkan Negara Pihak tersebut untuk
dengan
dapat
Diminta,
yang
menghasilkan catatan tertulis, dalam bahasa
dimungkinkan, dengan cara lain yang dapat
14. Permintaan wajib dibuat tertulis atau, apabila
Kepolisian Internasional, jika dimungkinkan.
Negara Pihak sepakat, melalui Organisasi
dalam keadaan mendesak, yang Negara-
kepadanya melalui saluran diplomatik dan,
tersebut
untuk mempersyaratkan bahwa permintaan
boleh meniadakan hak suatu Negara Pihak
oleh Negara-Negara Pihak. Persyaratan tidak
kepada badan yang berwenang yang ditunjuk
terkait dengan hal tersebut wajib dikirim
timbal balik dan setiap komunikasi yang
Konvensi ini. Permintaan bantuan hukum
persetujuan
instrumen
ini pada saat setiap Negara Pihak menyimpan
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
109
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 53
PSL
identitas
badan
berwenang
dan
sifat
penuntutan,
dari
proses
dasar
atau
yang
kewenangan
yang
melakukan
yang tujuan
dengan
Pihak
Peminta
ingin
untuk
dari
orang
yang
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
pelaksanaan
permintaan
tersebut
meminta
dan
hukum
Diminta,
dengan
nasional
tidak
nasional
sejauh
hukum
dengan Pihak
Negara
Pihak
bertentangan
Negara
17. Suatu permintaan wajib dilaksanakan sesuai
hal itu dapat memudahkan pelaksanaannya.
sesuai dengan hukum nasional atau apabila
bagi
hal
dapat
apabila
Diminta
tambahan
Pihak
diperlukan
informasi
16. Negara
tindakan tersebut diupayakan.
(f) tujuan untuk mana bukti, informasi atau
bersangkutan; dan
kewarganegaraan
(e) dimana mungkin, identitas, lokasi dan
ditindaklanjuti;
Negara
dan rincian prosedur tertentu dimana
(d) uraian tentang bantuan yang diupayakan
penyajian dokumen-dokumen peradilan;
dengan
berhubungan
permintaan-permintaan
kecuali
(c) ringkasan dari fakta-fakta yang relevan,
peradilan.
investigasi, penuntutan ataupun proses
dari
tersebut terkait, dan nama serta fungsi
pengadilan terhadap mana permintaan
investigasi,
pokok
membuat permintaan tersebut;
(b) masalah
(a)
balik wajib memuat
15. Suatu permintaan bantuan hukum timbal
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
110 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 54 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
dimungkinkan
dan
sesuai
dengan
Negara
pemeriksaan
atas
dilaksanakan
lainnya,
dapat,
Pihak
pertama
Negara
Pihak
dari
atau
diperlukan
seseorang
dilakukan
oleh
seorang
pejabat
Peminta
tidak
boleh
tertuduh.
Dalam
kasus
memberitahu Negara Pihak Diminta sebelum
terakhir ini, Negara Pihak Peminta wajib
membebaskan
informasi yang merupakan bukti yang dapat
mengungkapkan dalam proses beracaranya,
menghalangi Negara Pihak Peminta untuk
Diminta. Tidak ada dalam ayat ini yang
persetujuan sebelumnya dari Negara Pihak
tanpa
yang
penuntutan,
selain
permintaan
peradilan
penyelidikan,
dalam
proses
ataupun
dinyatakan
untuk
Diminta
atau bukti yang diberikan oleh Negara Pihak
mengirimkan atau menggunakan informasi
Pihak
Negara Pihak Diminta.
dihadiri oleh seorang pejabat peradilan dari
peradilan dari Negara Pihak Peminta dan
wajib
menyepakati bahwa pemeriksaan tersebut
Pihak Peminta. Negara-Negara Pihak dapat
tersebut hadir sendiri di wilayah Negara
dimungkinkan
melalui konferensi visual jarak jauh jika tidak
mengizinkan
permintaan
lain,
ahli oleh otoritas peradilan dari Negara Pihak
Pihak dan harus didengar sebagai saksi atau
saat seseorang ada di wilayah suatu Negara
prinsip-prinsip dasar hukum nasional, pada
Jika
prosedur yang ditetapkan dalam permintaan.
19. Negara
18.
Diminta dan jika mungkin, sesuai dengan
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
111
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 55
PSL
dengan
Negara
Pihak
negara
kepada
Pihak
Negara
Peminta
wajib Pihak
Negara
Pihak
dimaksud,
fakta
kecuali
untuk
sepanjang
substansi
Diminta
dan
mematuhi
persyaratan
mengenai
Jika
permintaan
tidak
dibuat
sesuai
ini;
Pihak
Diminta
memper-
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
umum
atau
dan
kepentingan
keamanannya,
oleh
apabila
penuntutan,
atau
tunduk
serupa,
tersebut
yang
penyelidikan,
pidana
pidana proses
kepada
tindak
dakan yang diminta terkait dengan tindak
tin-
hukum
melaksanakan
dilarang
untuk
Diminta
nasionalnya
Pihak
(c) Jika pihak-pihak berwenang dari Negara
mendasar lainnya;
ketertiban
kedaulatannya,
taan tersebut cenderung akan merugikan
timbangkan bahwa pelaksanaan permin-
Negara
dengan ketentuan-ketentuan dari Pasal
(b) Jika
(a)
21. Bantuan hukum bersama dapat ditolak :
Negara Pihak Peminta.
kerahasiaan, ia wajib segera memberitahu
dapat
tersebut. Jika Negara Pihak Diminta tidak
diperlukan untuk melaksanakan permintaan
permintaan
merahasiakan
kepada
20. Negara Pihak Peminta dapat mensyaratkan
tanpa penundaan.
Diminta mengenai pengungkapan tersebut
memberitahukan
biasa,
Diminta. Apabila, dalam perkara yang luar
mengkonsultasikan
pengungkapan tersebut, dan jika diminta,
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
112 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 56 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
bantuan
mungkin
balik
memper-
timbal
wajib
hukum
dan
yang
wajib
Pihak
Peminta
wajib
segera
yang
timbal
diminta dapat
tidak
Pihak Diminta
balik
tersebut
penyelidikan,
penuntutan
atau
berkonsultasi dengan Negara Pihak Peminta
(25) Pasal ini, Negara Pihak Diminta wajib
guhkan pelaksanaannya sesuai dengan ayat
dengan ayat (21) Pasal ini atau menang-
26. Sebelum menolak sebuah permintaan sesuai
proses pengadilan yang sedang berlangsung.
campuri
dengan alasan bahwa hal tersebut men-
oleh Negara
hukum
ditangguhkan
25. Bantuan
diperlukan lagi.
bantuan
memberitahu Negara Pihak Diminta apabila
Negara
proses penanganan permintaan dimaksud.
pantas oleh Negara Pihak Peminta, selama
Diminta
permintaan-permintaan
menanggapi
Pihak
Negara
permintaan.
diberikan, lebih baik dicantumkan di dalam
dan untuk pertimbangan-pertimbangan yang
yang disarankan oleh Negara Pihak Peminta
timbangkan sejauh mungkin batas waktu
sesegera
permintaan
24. Negara Pihak Diminta wajib melaksanakan
penolakan bantuan hukum timbal balik.
23. Alasan-alasan wajib diberikan bagi setiap
masalah keuangan.
pidana dimaksud juga dianggap melibatkan
balik hanya dengan alasan bahwa tindak
suatu permintaan bantuan hukum timbal
22. Negara-Negara Pihak tidak boleh menolak
pengadilan di dalam yurisdiksi mereka.
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
113
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 57
PSL
lain
terhadap
kebebasan
Jaminan
keamanan
tersebut
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
bahwa
keberadaanya
tidak
lagi
Peminta
atau
telah
meninggalkan,
permintaan ditanggung oleh negara Pihak
28. Biaya-biaya umum dari pelaksanaan suatu
telah kembali atas kehendaknya sendiri.
Pihak
tinggal secara sukarela di wilayah Negara
patan untuk pergi, namun demikian tetap
diperlukan oleh otoritas peradilan, kesem-
resmi
Pihak sejak tanggal pemberitahuan secara
waktu yang disepakati oleh Negara-Negara
belas hari berturut-turut atau suatu jangka
yang telah memiliki, untuk jangka waktu lima
berakhir apabila saksi, ahli atau orang lain
Diminta.
keberangkatannya dari wilayah Negara Pihak
perbuatan, kelalaian atau hukuman sebelum
pribadinya di wilayah tersebut terkait dengan
pembatasan
dihukum atau tunduk terhadap pembatasan-
Pihak Peminta, tidak boleh dituntut, ditahan,
atau proses peradilan di wilayah Negara
membantu suatu penyelidikan, penuntutan,
dalam suatu proses beracara atau untuk
Peminta, setuju untuk memberikan bukti
yang atas permintaan dari Negara Pihak
Pasal ini, seorang saksi, ahli atau orang lain
27. Tanpa mengindahkan penggunaan ayat (12)
wajib tunduk pada syarat-syarat tersebut.
bantuan dengan syarat-syarat tersebut, ia
perlu. Jika Negara Pihak Peminta menerima
ketentuan dan syarat-syarat yang dianggap
dapat diberikan tunduk terhadap ketentuan-
guna mempertimbangkan apakah bantuan
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
114 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 58 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
guna
menentukan
cara-cara
ketentuan-
biaya-biayanya
didasarkan,
pelaksanaan
yang
yang
nasional
dimilikinya
hukum
Pihak
pemerintah,
dokumen-
dari
yang
Pihak
wajib
mempertim-
persetujuan-persetujuan
untuk
memperluas
ketentuan-ketentuan
untuk memberikan efek yang praktis atau
pengaturan yang dapat melaksanakan tujuan
bilateral atau multilateral atau pengaturan-
penandatanganan
bangkan, sejauh diperlukan, kemungkinan
30. Negara-Negara
tersedia untuk masyarakat umum.
yang menurut ketentuan hukum nasional
dokumen atau informasi yang dimilikinya
catatan-catatan
secara tunduk
salinan-salinan
ketentuan-ketentuan
tepat,
dianggap
atau
Peminta
terhadap
sebagian
Negara
keseluruhan,
kepada
(b) dapat, atas kebijakannya, memberikan
tersedia untuk masyarakat umum.
ketentuan
informasi
menurut
atau
catatan pemerintah, dokumen-dokumen
Peminta salinan-salinan tentang catatan-
(a) wajib memberikan kepada Negara Pihak
29. Negara Pihak Diminta :
yang
akan
syarat-syarat
tersebut
dan
wajib ditanggung.
termasuk
permintaan
ketentuan
konsultasi
taan, maka Negara-Negara Pihak wajib ber-
bersifat luar biasa untuk memenuhi permin-
kutan. Apabila diperlukan biaya besar atau
oleh Negara-Negara Pihak yang bersang-
Diminta, kecuali jika sebaliknya disepakati
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
115
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 59
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
20
19
PSL
dilaksanakan
dalam
berbagai
kasus
perjanjian
kerjasama
kepada dalam
membuat
menjamin
batas-batas
terorisme (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
dalam
dimungkinkan dan di bawah persyaratan-
wajib,
1. Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana
Perundang-undangan tindak pidana khusus sudah mengatur
yang
prinsip-prinsip
Pihak
oleh
beberapa teknik penyelidikan khusus :
diizinkan
dalam sistem hukum nasional, setiap Negara
1. Jika dasar
kegiatan penyelidikan
Teknik Penyelidikan Khusus
sepenuhnya dihormati.
digunakan untuk
sama
perjanjian
perbedaan kepentingan nasional.
perbedaan sistem hukum serta
negara lain, terkendala karena
khusus secara kasuistis dengan
ataupun
tetap
menghormati
dengan
harus
penyelidikan ini, dilaksanakan
khusus
Teknik
menghormati
dengan
Against
ratifikasi
(CAT) pembentukan
Torture
Convention
Perlu tindak lanjut dari
pihak.
nasional masing-masing multilateral
atau
tetap
negara sahabat dengan
Perjanjian
bilateral
dan
Indonesia kepolisian
kejaksaan dari negara-
dengan
negara
sian dan kejaksaan dari
prehensif antara kepoli-
an bersama yang kom-
jian tentang penyelidik-
untuk membuat perjan-
Perlu
yang dipertimbangkan
dang-undangan terkait.
kedaulatan dan hukum
lebih
lebih
dicantumkan di dalam perun-
untuk
isi
dipertimbangkan mengadopsi Konvensi
untuk
Perlu
kepolisian.
secara
dikaji mendalam.
perlu dahulu dari
pembuatan perjanjian, masalah ini
kearah
dan melangkah
perbedaannya. Sebelum
ataukah Sejauhmana persamaan
tidak.
itu
merupakan
wewenang
dari masing-masing negara
penyelidikan
atau melakukan
mekanisme
prosedur
de,
masalah penyelidikan, tentu saja
karena hal ini berkenaan dengan
wajib
akan
terlibat
kan dua atau lebih negara. Oleh
yang
bahwa kedaulatan Negara Pihak yang wilayahnya
Pihak
atas kasus-kasus yang melibat-
pernah
untuk
19
melakukan penyelidikan bersama
dimaksud
Pasal kewajiban
negara-negara
membebani
Ketentuan
ini
aparatur
Australia, bom JW Marriot, dan lain-lain.
berdasarkan
Kerjasama
dengan
penegak hukum negara lain.
Indonesia
terorisme seperti kasus bom Bali, bom Kedutaan Besar
dilaksanakan
lain.
bersama
Negara
dapat
negara
penyelidikan
antara aparatur penegak hukum
badan
adalah, apakah meto-
mengenai pembentukan badan-
perhatian
Persoalan yang perlu mendapat
Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 60 HAL-HAL LAIN YANG
belum secara khusus mengatur
Perundang-undangan
ANALISIS
persetujuan secara kasus demi kasus. Negara-
bersama
kepolisian
kerjasama
dengan
wewenang Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan
penyelidikan
persetujuan
pengaturan,
penyelidikan bersama. Dalam hal tidak adanya
atau
Pasal 15 ayat (2) huruf h Undang-Undang Nomor 2 tahun
intelijen,
2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia mengatur
bidang
bersangkutan dapat membentuk badan-badan
di
atau lebih Negara, badan-badan berwenang yang
lain
pencegahan dan pemberantasan terorisme.
negara
penuntutan, atau proses pengadilan di satu
dengan
2003 mengatur wewenang untuk melakukan kerjasama internasional
pengaturankepolisian dan kerjasama teknis lainnya dalam rangka
atau
hal-hal yang merupakan subjek penyelidikan,
multilateral
pengaturan yang dalam hubungannya dengan
atau
Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 tahun
bilateral
Pasal 43 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
persetujuan-persetujuan
penandatanganan
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan
Penyelidikan Bersama
Pasal ini.
ISI
116
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
PSL
di
e.
jasa
keuangan
mengenai
harta
dengan
persetujuan
atau
pengaturan-pengaturan
menggunakan
teknik-teknik
penyelidikan
ayat 2 pasal ini, keputusan-keputusan untuk
pengaturan sebagaimana ditetapkan dalam
3. Dalam hal tidak adanya persetujuan atau
tersebut.
ayat (1); hukum
acara
penyedia
jasa
d. Kewenangan
untuk
kepada
pidana
U NTOC G A P A NA LYS I S
melakukan
tindak memerintahkan
pidana
keuangan
untuk
pencucian uang (Pasal 38);
menurut
c. Pengaturan alat bukti elektronika sebagai alat bukti
secara sewenang-wenang.
dikucilkan
tidak ditahan, ataupun
hak untuk tidak ditangkap,
persetujuan-
tidak
dahulu tindak pidana asalnya (Penjelasan Pasal 3
dari
atau
ketentuan-ketentuan
dan
diskriminatif,
Negara-Negara
pencucian uang, tidak perlu dibuktikan terlebih
kedaulatan
sama
hak diperlakukan
b. Untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana
untuk
kemanusiaannya,
jasa keuangan (Pasal 17);
a. Kewajiban mengenal identitas nasabah penyedia
direndahkan martabat
tidak
lakukan secara kejam,
Undang Nomor 25 Tahun 2003) :
(Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-
2. Undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang
wajib
persamaan
mematuhi
dibentuk
atau
tidak diper-
dilaksanakan secara ketat sesuai dengan
prinsip-prinsip
dilaksanakan
sepenuhnya
dan
tersebut
Perjanjian-perjanjian
pengaturan-pengaturan
internasional.
dalam konteks kerja sama pada tingkat
tidak
untuk
telepon (Pasal 31).
disiksa,
hak
kewenangan untuk menyadap pembicaraan lewat
kebebasan
pengaturan-pengaturan untuk menggunakan
atas
teknik-teknik penyelidikan khusus tersebut
apabila diperlukan, persetujuan-persetujuan
dan keamanan pribadi,
penyidikan
pelaksanaan
hak
teknik
dengan
surat dan kiriman melalui jasa pos/pengiriman dan
yang
yang
Kewenangan membuka, memeriksa dan menyita
undang-undang
manusia
secara langsung terkait
bilateral atau multilateral yang sesuai atau
Ketentuan
kekayaan seseorang, tanpa izin Gubernur Bank
lembaga
asasi
dan
Kewenangan untuk meminta keterangan dari bank
berHak-hak
khusus ini, antara lain,
pidana
d.
sangkutan.
pemblokiran harta kekayaan (Pasal 29);
dengan
mengatur rahasia bank tidak berlaku (Pasal 30);
tindak
terorganisasi
tujuan
kejahatan
dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan
yang
hubungannya
Kewenangan untuk memerintahkan kepada bank
ada
Negara Pihak didorong untuk membentuk,
penyelidikan
pidana
untuk
c.
terkait
tindak pidana terorisme (Pasal 27);
Indonesia.
tujuan
tindak
wilayahnya
yang
operasi-operasi
bentuk-bentuk
yang tercakup dalam Konvensi ini, Negara-
2. Untuk
secara efektif.
dan
atau
pejabat-pejabatnya
lainnya
oleh
memberantas
berwenang
rahasia,
pengawasan
elektronik
atau
hukum secara konsisten.
peralatan
seperti
perilaku aparat penegak
lainnya,
orang-orang lain yang
khusus
Perlu penegakan standar
menurut hukum acara pidana dalam pemeriksaan
penyelidikan
pelaku
si
oleh
aparat penegak hukum.
Penyiksaan
Anti
sasarannya,
menjadi ataupun
bukti kejahatan
sebagai seperti
intelijen
Pengaturan alat bukti elektronika sebagai alat bukti
laporan
permulaan yang cukup (Pasal 26); b.
Penggunaan
yang
Undang-undang tentang
orang
dari
REKOMENDASI
hak-hak asasi manusia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
dianggap tepat, penggunaan teknik-teknik
a.
ANALISIS
Draft 5 (11 Agustus 2010) 61
pengiriman terkendali secara tepat dan, jika
diperlukan guna memungkinkan penggunaan
yang
Nomor 15 Tahun 2003) :
tindakan
Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
mengambil
nasionalnya,
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
persyaratan yang ditetapkan oleh hukum
ISI
117
PSL
4.
dari
bersangkutan,
membuktikan
bahwa
harta
atau
menempatkan
kembali secara keseluruhan atau sebagian.
memindahkan penyadapan
dan
merekam
tentang
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia kepada
jasa
keuangan
bank/lembaga
keadaan
dan
perjanjian
lainnya,
atau
7) Meminta
bantuan
Interpol.
Indonesia
konsesi yang dilakukan tersangka/terdakwa; atau
pencabutan sementara perizinan. Lisensi serta
perdagangan
6) Menghentikan sementara transaksi keuangan,
tersangka/terdakwa kepada instansi terkait;
5) Meminta data kekayaan dan data perpajakan
terdakwa atau pihak lain yang terkait;
keuangan untuk memblokir rekening tersangka,
4) Memerintahkan
tersangka/terdakwa;
keuangan
3) Meminta keterangan kepada bank/lembaga jasa
seseorang bepergian ke luar negeri;
2) Memerintahkan instansi terkait untuk melarang
pembicaraan;
1) Melakukan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
petunjuk (Pasal 26 A).
Pengaturan alat bukti elektronika sebagai alat bukti
Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
b.
a.
korupsi :
3. Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana
atau
seperti menahan
yang
metode-metode
Pihak
persetujuan
terdakwa
kekayaannya bukan hasil tindak pidana (Pasal 35).
dan membiarkan barang-barang tetap utuh,
meliputi
Negara-Negara
dengan
dapat,
internasional
tingkatan
menggunakan
pada
untuk
terkendali
pengiriman
Keputusan-keputusan
bersangkutan.
Kewajiban
berlaku (Pasal 33);
pelaksanaan
dan
yurisdiksi oleh Negara-Negara Pihak yang
memperhatikan
pengaturan-pengaturan
f.
keterangan
undang-undang yang mengatur rahasia bank tidak
meminta
dengan
untuk
pemblokiran (Pasal 32); e. Kewenangan setiap orang. Untuk maksud hal ini, ketentuan
dan
pema-
kasus
haman-pemahaman dalam bidang keuangan
demi
kan
kasus penyedia jasa keuangan mengenai harta kekayaan
secara
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
dapat, apabila diperlukan, mempertimbang-
dilakukan
khusus tersebut pada tingkat internasional
ISI
118 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 62 HAL-HAL LAIN YANG
21
PSL
hukum
untuk dan
lain
negara penangkapan
yang
tepat
dalam
beberapa
yurisdiksi,
untuk memusatkan penuntutan.
terdapat
dengan
tujuan
proses pidana.
untuk
dilakukan
pemindahan
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia formal)
lebih
dipertimbangkan
hal
ini,
seyogyanya
menguntungkan baginya.
pidana negara mana yang lebih
berdasarkan atas prinsip, hukum
Dalam
orang yang bersangkutan.
kepentingan
di antara kedua negara.
pidana
peminmemperhatikan
proses
perbedaan sanksi pidana
dahan
memperhatikan
samping tifitas dan efisensi, juga harus
di
dengan
pidana,
berdasarkan pertimbangan efek-
proses
syarat-syarat
Indo-
Berkenaan dengan pemindahan
undang-udangan
ini diadopsi dalam per-
jika ketentuan Konvensi
Perlu
nesia tentang tambahan
pemin-
yang
acara
ASEAN.
dahan proses penuntutan.
prosedur
pidana
hukum
ketentuan
tentang
menyangkut
(hukum
lanjut
merumuskan
belum
di antara negara-negara masih
di negara lain. Undang-undang
tindak pidana teorisme
penuntutan
pemindahan
terorisme yang terjadi/dilakukan
proses
mengatur
pidana
tindak
terorisme
atas
dijadikan rujukan untuk
tindak
pidana
perundang-undangan pemberantasan
U NTOC G A P A NA LYS I S
penuntutan
kemungkinan
kepentingan
pelaksanaan peradilan, khususnya dalam hal
dapat
13
merupakan
2007
tanggal Januari
2003 sebatas mengatur yurisdiksi
tersirat
membuka
secara
Nomor
dalam hal dimana pemindahan tersebut dianggap 2003
Undang-Undang Nomor 15 Tahun
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
tindak pidana yang tercakup dalam Konvensi ini, Tahun
ditanda tangani di Cebu, Philipina
Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo.
Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Pengganti
dengan yang lainnya, proses penuntutan suatu 15
Counter Terrorism yang
on
ASEAN
Undang-
Pemerintah
Pengganti
Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan
Convention
REKOMENDASI
pemindahan penuntutan dengan negara lain.
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
Perundang-undangan Indonesia belum mengatur proses
ANALISIS
kemungkinan untuk memindahkan antara satu
penyitaan barang bukti di luar negeri.
pencarian,
penegak
melakukan
instansi
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Draft 5 (11 Agustus 2010) 63
Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan
Pemindahan Proses Pidana
ISI
119
23
22
PSL
belum
mengatur
kriminalisasi
gangguan proses peradilan perkara tindak pidana khusus dirumuskan dalam undang-undang dimaksud pada bab tersendiri, misalnya :
diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak
pidana, apabila dilakukan secara sengaja:
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia 1999
jo.
intimidasi untuk mencampuri pelaksanaan
b) Penggunaan kekuatan fisik, ancaman atau
Dengan Tindak Pidana Korupsi”.
dengan judul “Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan
Tahun
dalam Konvensi ini.
31
dalam Bab III, Pasal 21 sampai dengan Pasal 24
Nomor
yang
pelaksanaan tindak pidana yang tercakup
Undang-Undang
Lain
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 mengatur
2.
Pidana
bukti dalam proses beracara terkait dengan
pemberian suatu kesaksian atau pembuatan
dalam
“Tindak
tekanan
mental
yang
bentuk
pejabat
mobilisasi
peradilan,
belum
media
dan
media dipikirkan
non
untuk
masih
pembentukan opini, baik melalui
misalnya
pendensi
kuat untuk mempengaruhi inde-
berikan
tetapi sesungguhnya dapat mem-
mencampuri
judul
Berkaitan Dengan Tindak Pidana Terorisme”.
atau
dengan
24
palsu
bersifat
kesaksian
tidak
semestinya untuk membujuk memberikan
yang
langsung dalam bentuk non fisik,
tidak
atau
Gangguan
yang
menawarkan
langsung.
gangguan
Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor
janji,
keuntungan
bersifat
berbentuk
15 Tahun 2003 mengatur dalam Bab IV, Pasal 20-
atau
memberikan
intimidasi
yang
pada
dalam
proses
sedang
fisik
umumnya
tersebut
diatur
gangguan yang undang-undang
peradilan
Kriminalisasi
yang
hakim
untuk
tersebut
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
a) penggunaan kekuatan fisik, ancaman atau
1.
Dalam
lainnya
sepanjang
tindakan
legislatif
dan
Setiap Negara Pihak wajib mengambil tindakan
Kriminalisasi Gangguan Proses Peradilan
perkara
diperiksa/diadili.
atas
keyakinan
dipertimbangkan
pengadilan
memperkuat
turut
putusan
Kadang–kadang
acara
pidana.
proses yang sah menurut hukum
yang tercakup dalam Konvensi ini.
proses
perdalam
Kon-
sebagaimana
ketentuan akan datang.
umum dalam KUHP yang
sebagai
vensi seyogyanya diatur
dimaksud
adilan
gangguan
Perumusan kriminalisasi
yakinan hakim.
untuk memperkuat ke-
bukti
pidana yang berhubungan dengan tindak pidana
alat
sebagai
pengadilan
yang memberi petunjuk
satu
lain
an putusan
nesia tentang pengguna-
ke persidangan sesuai dengan
dengan
yang
menggunakan informasi tersebut dalam proses
berhubungan
kasus
tersangka/perkara dalam
salah
masih
lain
nama
undang-undangan Indo-
yang
atas
alat bukti surat apabila diajukan
Indonesia,
penyidikan,
pelanggar di negara lain dengan tujuan untuk
perundang-undangan
proses
negara
yang
dalam
dipertimbangkan
perkara yang diperiksa, sebagai
apapun
terhadap
hukuman
sebelumnya
tepat,
bukti
Perlu
REKOMENDASI
dalam penyusunan per-
DIPERTIMBANGKAN
memandang putusan pengadilan
Praktek peradilan di Indonesia
ANALISIS
Draft 5 (11 Agustus 2010) 64 HAL-HAL LAIN YANG
seorang
dijatuhkan
dianggap
barang
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
atau
bukti
ketentuan-ketentuan dan dengan tujuan yang
sepanjang
diperlukan dengan pertimbangan, berdasarkan
lainnya
Perundang-undangan
tindakan penggunaan putusan pengadilan negara lain sebagai alat
atau
legislatif
Indonesia
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
Setiap Negara Pihak dapat mengambil tindakan
Penyusunan Data Tindak Pidana
ISI
120
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
24
PSL
dalam
dengan
agar
memenuhi
hadir langsung di pengadilan.
menyangkut
identitas
dan
keberadaan
yang
terhadap
elektronik
dengan
tentang
Peraturan
Perlindungan
Saksi
dan
Korban,
dan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun
perlindungan
memiliki
memberikan
banyak
U NTOC G A P A NA LYS I S
pengaturan khusus dalam beberapa undang-Undang seperti
2006
yang
cukup
kepada Saksi, seperti
informasi
telah
diberikan.
pembatasan-pembatasan
pengungkapan
sarana
3. Saksi tidak dapat dituntut karena kesaksian yang
Perundang-undangan
dimungkinkan,
jika perlu, tidak mengungkapkan atau
dan Indonesia
diperlukan
melalui
menampung mereka dan mengizinkan,
sejauh
perlindungan fisik orang tersebut, seperti,
atau
2. Saksi tersebut dapat memberikan kesaksian secara didampingi oleh pejabat yang berwenang.
bagi
dengan tertulis
diproses
prosedur-prosedur
untuk
(a) Menetapkan
hak
terdakwa,
semestinya:
termasuk
hak-hak
persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa
mengurangi
ayat (1) Pasal ini dapat meliputi, antara lain,
alat keterangan saksi.
tanpa
kete-
bukti
syarat kekuatan atau
pah
keabsahan
tentang
1. Saksi yang berada dalam ancaman sangat besar, atas
2006
saksi dalam Pasal 9 dan Pasal 10, yaitu :
yang dekat dengan mereka.
Tahun
2. Tindakan-tindakan yang digambarkan dalam
13
bagi keluarga mereka dan orang-orang lain
Nomor
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur perlindungan
tercakup dalam Konvensi ini dan, jika patut,
dan
harus di bawah sum-
yang
sidangan,
rangan yang diberikan
pidana
belum
pidana (KUHAP).
tindak
sah,
dirumuskan dalam hukum acara
mengenai
yang
Uang mengatur secara umum kewajiban negara memberi
per-
perlindungan khusus terhadap saksi dan keluarganya.
di
kesaksian
lisan
saksi atau sarana elektronik.
tertulis
melalui
yang diberikan dengan
keterangan
bukti
bukti
dapat diakui sebagai
cara dan kekuatan alat
KUHAP,
dan
revisi saksi secara langsung
Dalam
atau melalui sarana elektronik,
saksi dalam proses pidana yang memberikan
dan alat
Terorisme
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian
Pidana
pembalasan atau intimidasi terhadap saksi-
Tindak sehingga
Pemberantasan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
memberikan
tentang
dari
untuk
efektif
kemungkinan
perlindungan
kemampuannya,
meng-
perlu ditambahkan tata
masih
REKOMENDASI
anut asas pemeriksaan
KUHAP
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
Draft 5 (11 Agustus 2010) 65
tertulis
memberikan
kesaksian
Norma yang mengatur tata cara
Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
wajib
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Pihak
dikriminalisasi.
ANALISIS
mengambil
Negara
dalam
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
tindakan-tindakan yang tepat dalam batas
Setiap
publik
perundang-undangan
pejabat
peraturan
melindungi
kategori lain.
yang
memiliki
yang mengurangi hak Negara Pihak untuk
dalam Konvensi ini. Tidak ada dalam ayat ini
Perlindungan Saksi
1.
hubungannya
pelaksanaan tindak pidana yang tercakup
hukum
tugas resmi pejabat peradilan atau penegak
ISI
121
25
PSL
orang tersebut;
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia kesaksian
cara lain yang memadai.
komunikasi seperti saluran video atau
pembuatan
persetujuan-persetujuan
bagi
korban-korban
sejauh
juga
dapat
pidana
khusus
tercakup oleh Konvensi ini.
ketentuan
hukum
nasionalnya,
3. Setiap Negara Pihak wajib, tunduk kepada
yang
90
yang
mengatur
Nomor
13
Tahun
mengatur
perkara
perlindungan korban dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal
Undang-Undang
2006
penggabungan
gugatan ganti kerugian oleh korban.
Pasal
tama didengar keterangannya dalam sidang adalah korban
pidana
dan
korban-korban
tindak
bagi
KUHAP mengatur perlindungan korban dalam Pasal 160
memberikan akses ganti rugi dan pemulihan
menetapkan
memadai
wajib
pemberian
ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa yang pertama-
prosedur-prosedur
yang
Pihak
tentang
korban,
untuk
Negara
pula
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Setiap
mengatur
perlindungan
pembalasan dan intimidasi.
nasional
dan
hukum
bantuan
ini, terutama dalam kasus-kasus ancaman
pemberian
saksi,
mengatur bahwa
dan alamat pelapor. Dalam
rangka
korban-korban
ketentuan
tindak pidana yang tercakup oleh Konvensi
kepada
dengan
dilarang menyebut nama
perlindungan
korban
Perundang-undangan penyidik, penuntut umum dan hakim dalam pemeriksaan,
mengambil
dan
wajib
kemampuannya untuk memberikan bantuan
Pihak perlindungan
Negara
tindakan-tindakan yang tepat dalam batas
1. Setiap
Bantuan terhadap dan Perlindungan Korban
mereka adalah saksi-saksi.
diterapkan
4. Ketentuan-ketentuan Pasal ini juga wajib
yang mengacu pada ayat (1) Pasal ini.
Negara lain bagi penampungan orang-orang
atau pengaturan-pengaturan dengan Negara-
kan
3. Negara-Negara Pihak wajib mempertimbang-
2.
ini
dan keadaan tertentu.
memungkinkan
diberikan melalui penggunaan teknologi
perlindungan
misalnya
undang-undang,
Undang Pemberantasan Terorisme. diberikan pada keluarga dalam garis keturunan tertentu
yang
yang menjamin keamanan saksi tersebut,
kesaksian Menurut
memungkinkan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
Undang-Undang Pencucian Uang, Undang-Undang tentang
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
hanya
diberikan
pada
yang
oleh
dengan
berat.
korban
tindak
dimungkinkan
Ganti
seharusnya Negara.
yang
halnya
yang
ini dikaitkan dengan kesalahan
kerugian dari pelaku. Tentunya
yang berupa restitusi, yaitu ganti
pidana pada umumnya hanyalah
diperoleh
kerugian
diberikan
kompensasi
pula
manusia Demikian
asasi
kepada korban pelanggaran hak
psikososial
medis dan bantuan rehabilitasi
Pemulihan, dalam arti bantuan
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
diberikan oleh saksi dengan suatu cara
guna
(b) Menyediakan aturan-aturan pembuktian
ISI
122 DIPERTIMBANGKAN
dipertimbangkan
hatan (victim oriented).
pendekatan korban keja-
pensasi didasarkan pada
konsep pemberian kom-
Perlu
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 66 HAL-HAL LAIN YANG
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
26
PSL
merugikan
pembelaan.
tidak
terhadap
hak-hak
mengambil
dapat
dituntut
karena
laporan
atau
Peraturan perundang-undangan Indonesia belum mengatur
Indonesia
dimaknai
secara
oleh
Negara
kepada
merupakan
kewa-
gagal
karena
negaranya
berwenang
dalam
dituangkan dalam ben-
yang
penegak
badan
lukan bantuan orang-orang yang
dan
kepada
kejahatan terorganisasi memer-
penyelidikan
berwenang
rangka
tujuan
yang
kerjasama antar negara guna memberantas kelompok
untuk
badan-badan
kerjasama antara aparat
kepada
Bentuk Sifat rahasia dan tertutup dari
kejahatan terorganisasi, serta memberikan bantuan
(a) Menyediakan informasi yang bermanfaat
U NTOC G A P A NA LYS I S
hukum,
hukum
jika
dari
masi dan dokumentasi. transnasional terorganisasi.
tentang orang-orang yang terlibat dalam kelompok
dalam mengelola infor-
kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi:
mempidana
berantas
tindak
strategi
untuk menghimpun dan mendokumentasikan informasi
dan
pemberdayaan aparatur penegak hukum
Perlu
REKOMENDASI
Kewajiban dari negara atau lembaga penegak hukum
mencegah
sangat
menjadi
sehingga
menetapkan
informasi untuk
relevan
Dokumentasi
korban tindak pidana
bersangkutan
warga
yang
da
memberikan perlindungan kepa-
telah
Negara
dianggap
kewajiban
Negara
kan
tidak. Jadi kompensasi merupa-
pelaku dinyatakan bersalah atau
pelaku mampu atau tidak, atau
jiban Negara tanpa perlu melihat
kompensasi
mampu. Padahal secara konsep,
korban dalam hal pelaku tidak
diberikan
keliru, yaitu ganti kerugian yang
di
dalam
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
Draft 5 (11 Agustus 2010) 67
yang telah berpartisipasi dalam kelompok-
1.
wajib
dorong orang-orang yang berpartisipasi atau
Pihak tentang :
Negara
tidak
kesaksian yang diberikan.
3. Pelapor
didampingi oleh pejabat yang berwenang.
secara tertulis atau melalui sarana elektronik dengan
tindakan-tindakan yang tepat untuk men-
Setiap
dengan Aparat Penegak Hukum
Tindakan untuk Meningkatkan Kerja Sama
1.
ketentuan
perundang-undangan
dinyatakan bersalah.
peraturan
memberi Kompensasi
dapat khusus,
hakim tentang
persetujuan Secara
atas
2. Korban dapat memberi keterangan atau kesaksian
besar,
pidana terhadap pelanggar dengan cara yang
pada
dapat
terdakwa
restitusi bila
keterangan kesaksian tanpa hadir di sidang pengadilan.
dipertimbangkan
Jadi
ANALISIS
tahapan-tahapan yang tepat dalam proses
dan
diberikan
disampaikan
pelaku.
1. Korban yang merasa dalam ancaman yang sangat
untuk
10, yaitu :
korban
keprihatinan-keprihatinan
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
memungkinkan pandangan-pandangan dan
ISI
123
PSL
pelaku
faktual,
pidana
menghalangi
yang
konkrit
berwenang
untuk
yang
membantu
badan
dan
kelompok-
tindak
oleh
yang
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
berarti
dalam
penyelidikan
atau
terhadap
penuntutan
dasar
seseorang
kekebalan yang
atas
hukum
pidana yang tercakup oleh Konvensi ini.
penyelidikan atau penuntutan atas tindak
memberikan kerja sama yang berarti dalam
pemberian
prinsip-prinsip
nasionalnya,
dengan
kan untuk membuka kemungkinan, sesuai
3. Setiap Negara Pihak wajib mempertimbang-
oleh Konvensi ini.
penuntutan atas tindak pidana yang tercakup
yang
atas tertuduh yang memberikan kerjasama
keadaan yang tepat, pengurangan hukuman
kan untuk membuka kemungkinan, dalam
2. Setiap Negara Pihak wajib mempertimbang-
hasil tindak pidana.
sasi dari sumber daya mereka atau dari
kelompok-kelompok penjahat terorgani-
dapat
kepada
bantuan
teroganisir;
dilakukan
kelompok
pidana
mungkin
tindak
terorganisasi lainnya.
dengan penjahat
telah
internasional
kelompok-kelompok
keterkaitan penuntutan serta memberi perlindungan.
tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
bekerjasama dengan aparat penegak hukum, diatur dalam
Keringanan hukuman bagi saksi yang juga tersangka yang
pidana
pengurangan hukuman atau pemberian kekebalan dari
tindak
termasuk
keterkaitan-keterkaitan,
(b) Memberikan
(iii)
(ii)
penuntutan
transnasional terorganisasi diberi penghargaan berupa
dan
penyelidikan
pok-kelompok penjahat terorganisasi;
Saksi mahkota yang bekerjasama dan membantu
lokasi atau kegiatan-kegiatan kelom-
kejahatan terorganisasi. 2.
pembuktian terhadap hal-hal seperti:
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
seperti
antar
sebagai
hukum
tergolong
penegak
(self executing
Prersiden.
bentuk
ataupun
dalam
Undang
kan
Keputusan
Undang-
agreement), tanpa perlu dituang-
dilaksanakan
perjanjian yang dapat langsung
negara,
aparat
antara
internasional,
kerjasama
tataran
perjanjian
Pada
dan
sifatnya
lebih longgar dari pada agreement.
informal
yang
of (MOU)
Memorandum Understanding
tuk
saan, sebaiknya berben-
perjanjian,
an terhadap saksi mahkota.
tuk
antara kepolisian, kejak-
DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 68 HAL-HAL LAIN YANG
penting memberikan pengharga-
terlibat di dalamnya, sehingga
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
(i) identitas, sifat, komposisi, struktur,
ISI
124
27
PSL
1.
negara lain.
keamanan dan pertukaran informasi yang
cepat, terkait semua aspek tindak pidana
U NTOC G A P A NA LYS I S
payung
intinya mengenai kerjasama penegakan hukum dengan
dan jawatan-jawatan guna memudahkan
kerjasama
pelaksanaan penegakan
hukum,
pelengkap
2007 menjadi
Januari
13
mereka,
Timbal Balik dalam Masalah Pidana memuat substansi yang
yang ditandatangani di
perwakilan-perwakilan
pelaksanaannya.
antara
pidana
on Counter Terrorism Cebu Philipina tanggal
tindak
2004,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan
men-
efektif
November
dan ASEAN Convention
29
pencucian uang.
perlu,
lebih
hukum,
ciptakan saluran-saluran komunikasi di
jika
serta
penegakan
di Kuala Lumpur tanggal
ditandatangani
dengan memperhatikan
pihak.
sional
masing-masing
dah-kaidah hukum na-
prinsip-prinsip dan kai-
tetap
tik-nasional
nasional ataupun domes-
kan pada tataran interyang
negaraASEAN
dari
Matters negara
dapat langsung diterap-
27
Ketentuan Assistance in Criminal
Pasal
REKOMENDASI
Treaty on Mutual Legal
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
Draft 5 (11 Agustus 2010) 69
antara badan-badan yang berwenang di
dan,
masalah
bantuan
(a) Meningkatkan dalam
luwes
2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 mengatur
efektif: balik
karena cakupannya lebih luas dan
timbal
kerjasama
Pasal 44 dan Pasal 44 A Undang-Undang Nomor 15 Tahun
tindakan-tindakan
cukup melaksanakan
2006
intelejen, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya.
mengambil
untuk
Tahun
khususnya,
1
oleh Konvensi ini. Setiap Negara Pihak wajib,
Nomor
melaksanakan
bantuan Undang-Undang
pelaksanaan balik,
memadai
untuk
timbal
acara
kepada
wewenang
kerjasama internasional dengan negara lain di bidang
Indonesia
memberi
hukum
terdapat
memberantas tindak pidana yang tercakup
Republik
2003
terutama
Pemerintah
Tahun
kekurangan
Sekalipun
efektivitas tindakan penegakan hukum guna
15
Nomor
meningkatkan
Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang
untuk
Pemerintah
masing-masing,
Peraturan
sistem hukum dan pemerintahan nasional
43
masih
Pasal
Dalam rangka pencegahan pemberantasan tindak pidana terorisme
ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
erat satu dengan lainnya, sesuai dengan
Negara-Negara Pihak wajib bekerja sama
Kerjasama Penegakan Hukum
dan ayat (3) Pasal ini.
Negara Pihak lainnya sesuai dengan ayat (2)
oleh
menyangkut
perlakuan
nasionalnya,
pemberian
hukum
kemungkinan
dengan
tujuan atau pengaturan-pengaturan, sesuai
kan untuk membentuk persetujuan-perse-
yang bersangkutan dapat mempertimbang-
Negara Pihak lainnya, Negara-Negara Pihak
kepada badan-badan yang berwenang dari
dapat memberikan kerja sama yang berarti
(1) pasal ini berada di satu Negara Pihak
5. Apabila seorang yang dimaksud pada ayat
Pasal 24 Konvensi ini.
sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam
4. Perlindungan atas orang-orang tersebut wajib
ISI
125
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
PSL
tercakup
oleh
Konvensi
ini,
sama
dengan
Negara-Negara
dalam
tindak
pidana
hasil-hasil tindak
tindak perleng-
pidana
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
yang
dan
untuk
jawatan-
berwenang,
meningkatkan
dan
antara
atau
perjanjian
bilateral
tunduk
meliputi,
perjanjian-
Negara-Negara Pihak
pengaturan-pengaturan
kepada
pertukaran personil dan ahli-ahli lainnya,
jawatan
perwakilan-perwakilan
badan-badan
(d) Memfasilitasi koordinasi efektif di antara
tujuan analisis atau penyelidikan.
diperlukan atau sejumlah bahan untuk
(c) Memberikan, apabila tepat, hal-hal yang
tindak pidana tersebut;
untuk digunakan dalam perbuatan
yang digunakan atau dimaksudkan
kapan atau sarana-sarana lainnya
kekayaan,
perbuatan
tersebut;
dari
pidana atau kekayaan yang berasal
pemindahan
terkait;
atau lokasi orang-orang lain yang
keterlibatan
orang-orang yang dicurigai memiliki
identitas, keberadaan dan kegiatan
(iii) pemindahan
(ii)
(i)
Konvensi ini mengenai :
dengan tindak pidana yang tercakup oleh
Pihak lain melakukan penyelidikan terkait
(b) Bekerja
keterkaitan dengan tindak pidana lainnya.
yang bersangkutan menganggap perlu,
termasuk, apabila Negara-Negara Pihak
yang
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
126 hukum.
DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 70 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
informasi
dengan
Negara-
rute
dapat
alat-alat
apabila
dan
yang
penjahat
kegiatan-kegiatan
administratif
dan
tindakan-
pidana
ini,
untuk
yang
oleh
wajib perse-
langsung
antara
instansi-instansi
persetujuan-persetujuan atau
adanya
persetujuan-
pengaturan-pengaturan
dapat
yang ini
tersebut
Konvensi
Pihak-Pihak
mempertimbangkan
bersangkutan,
dimaksud di antara Negara-Negara Pihak
tidak
atau
hal
persetujuan
Dalam
pengaturan-pengaturan tersebut sudah ada.
apabila
penegak hukum mereka dan, mengubahnya,
sama
atau pengaturan-pengaturan mengenai kerja
tujuan-persetujuan bilateral atau multilateral
pembentukan
Pihak
memberlakukan
tercakup
Negara-Negara
tujuan
mempertimbangkan
Konvensi
2. Dengan
Konvensi ini.
tindak
untuk tujuan identifikasi dini terhadap
tindakan lain yang diambil secara tepat
secara
(f) Pertukaran informasi dan berkoordinasi
mereka.
menyembunyikan
atau dipalsukan ataupun cara-cara untuk
palsu, dokumen-dokumen yang diubah
pengangkut, dan penggunaan identitas
meliputi,
kelompok
metode-metode
digunakan,
oleh
dan
terorganisasi,
digunakan
khusus
Negara Pihak lainnya melalui cara- cara
(e) Pertukaran
pejabat penghubung.
yang bersangkutan, penempatan pejabat-
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
127
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 71
28
PSL
atau
regional,
guna
organisasi-organisasi
Pihak
wajib
berusaha
menanggapi
tindak
pidana
trans-
dan
tindak
pidana
analisis
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia yang
untuk
mengembangkan
dan
berbagi
tindak
lainnya
pelaku
dengan
dan
pidana
melalui
satu
organisasi-
terorganisasi
keahlian analisis mengenai kegiatan-kegiatan
kan
2. Negara-Negara Pihak wajib mempertimbang-
teknologi-teknologi dibentuk
Satgas
Tindak
Pidana
Transnasional
tugas
kerja
perundang-
menghimpun umum
dan atau
badan
larangan bagi setiap
belum
menyentuh
pihak-pihak terkait untuk menjamin integritas
orang-orang
yang
serta
dan pembiayaan
menajemen transnasional terorganisasi masih
dalam pembentukan,
membentuk badan khusus yaitu Badan Narkotika Nasional.
tindak
Pencegahan
hukum yang terlibat
orang
mendokumentasikan
an
data, membuat catat-
untuk
pada suatu lembaga
suatu konsep kebijakan. pidana
untuk
perlu menjamin integritas.
diperkuat
profesi
Yayasan,
dibentuk atau ditugaskan ke-
1. Perlunya
REKOMENDASI
Terorisme, dan untuk masalah narkotika pemerintah telah
hukum, belum mengarah kepada
penegakan
etik
akademisi masih terbatas untuk proses
standar profesi, kode
Keterlibatan kalangan ilmiah dan keperluan
Terbatas,
hukum Perseroan pada kemampuan menganalisa.
badan seperti
undangan yang meng-
Peraturan atur
sebatas
unit masih
atau
anggota, belum mengarah ke-
dibentuk
DIPERTIMBANGKAN
meningkatkan kemampuan teknis
yang
Satuan
ANALISIS
Draft 5 (11 Agustus 2010) 72 HAL-HAL LAIN YANG
Bidang Politik, Hukum dan Keamanan dibentuk Desk Anti
Terorganisasi dan Terorisme, di Kementerian Koordinator
telah
dan
dilibatkan.
profesional
kelompok-kelompok
Di Kepolisian dibentuk Detasemen Khusus 88, di Kejaksaan
untuk
dan ahli tindak pidana transnasional terorganisasi.
tujuan
termasuk
dengan
beroperasi,
terorisme
keadaan dimana tindak pidana terorganisasi
pidana
membentuk penyidik dan penuntut umum yang spesialis
tindak
kasus/perkara tindak pidana transnasional terorganisasi
pidana terorganisasi di wilayahnya, keadaan-
akademis,
membentuk unit kerja atau satuan tugas untuk menangani
Lembaga penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan telah
dan
dan
berkonsultasi
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
kecenderungan-kecenderungan dalam tindak
ilmiah
menganalisa,
kalangan
untuk
dengan
kan
1. Setiap Negara Pihak wajib mempertimbang-
sifat
pertukaran
tentang
terorganisasi
informasi
Pengumpulan,
penggunaan teknologi modern.
nasional terorganisasi yang dilakukan melalui
guna
bekerjasama, dalam batas kemampuannya,
3. Negara-Negara
instansi penegak hukum mereka.
meningkatkan kerjasama diantara instansi-
internasional
pengaturan-pengaturan
atau
termasuk
persetujuan
dimaksud,
akan menggunakan sepenuhnya persetujuan-
Apabila dianggap tepat, Negara-Negara Pihak
pidana yang tercakup oleh Konvensi ini.
hukum timbal balik terkait dengan tindak
sebagai landasan bagi kerja sama penegakan
ISI
128
29
PSL
pemantauan
atas
kebijakan-
tindak
terhadap
yang
oleh
tersebut
tercakup
Program-program
pidana
Program-program
tersebut
wajib,
awasan
tindak
pendeteksian
terhadap
pencegahan,
pidana
dan yang
peng-
(a) Metode-metode yang digunakan dalam
hal sebagai berikut:
hukum nasional, berhubungan dengan hal-
khususnya dan sejauh diperbolehkan oleh
staf.
dapat meliputi dukungan dan pertukaran
ini.
tindak
Konvensi
atas
pencegahan, pendeteksian dan pengawasan
muatan
kurang
melibatkan
analisis.
sehingga
kurang
penguasaan
kalangan ilmiah dan akademis,
hukum
kuri-
an
hukum
aparat
gabung-
baga terkait lainnya.
badan/lem-
antara
pendidikan
Penyelenggaraan
kulum.
penyusunan
Perlu bantuan teknis
nya.
dengan
yang
penegak
Pendidikan
pidana
hukum
dengan lembaga lain-
rat
penegak
tindak
2.
penegak
maupun antara apa-
rat
kerjasama antar apa-
penguatan
gota profesi. 2. Perlunya
1.
badan hukum menjadi ang-
pengurus
transnasional
transnasional dan terorganisasi.
sifat
kriminologis dan sosiologis yaitu
U NTOC G A P A NA LYS I S
perikanan dan sebagainya.
yang bertanggung jawab terhadap kegiatan
pidana
terorisme, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana
tindak
dan pejabat bea cukai, serta aparat lainnya
hukumnya korupsi,
mengembangkan
penegak pemberantasan
bagi
termasuk para jaksa, para hakim penyelidik
pidana
tindak pidana transnasional terorganisasi seperti pendidikan
aparat
khusus tindak
bersifat yuridis dogmatis, kurang
yang
tahun menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan khusus
pelatihan
muatan
program-program
Pihak
memperbaiki
Negara
Kurikulumnya
1. Setiap mengandung
banyak
pajak,
pemberantasan tindak pidana terorganisasi hampir setiap
masih
konsultan
pengacara,
Lembaga pendidikan pada instansi yang terkait dalam
akuntan.
notaris,
khususnya
terorganisasi sebagai
terlibat dalam tindak pidana
badan-badan
REKOMENDASI
tertentu
serta
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
Draft 5 (11 Agustus 2010) 73
hukum swasta dan profesi-profesi
masyarakat
ANALISIS
sejauh
dan
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
diperlukan, memulai, mengembangkan atau
wajib,
pidana penilaian-
efektivitas
melakukan
Pelatihan dan Bantuan Teknis
efisiensinya.
penilaian
dan
memberantas
terorganisasi
guna
kebijakannya dan tindakan-tindakan faktual
kan
3. Setiap Negara Pihak wajib mempertimbang-
dan
metodologi-
dikembangkan
digunakan secara tepat.
wajib
dan
pengertian-pengertian
standar-standar
tersebut,
metodologi
umum,
tujuan
organisasi internasional dan regional. Untuk
ISI
129
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
PSL
dalam
orang-orang
teknik-teknik
keterlibatannya
oleh
dan
yang tindak
yang
di
Negara-Negara
persing-
pemindahan
barang
tindak
pidana,
kekayaan,
metode-metode
yang
digunakan
hasil
tersebut,
kekayaan,
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia zona
pelabuhan-
pada
hukum
modern,
elektronik,
yang
termasuk pengiriman
yang
dilakukan
melalui
dalam bentuk lainnya; dan
an telekomunikasi atau teknologi modern
penggunaan komputer-komputer, jaring-
terorganisasi
memberantas tindak pidana transnasional
(h) Metode-metode yang digunakan dalam
terkendali dan operasi-operasi rahasia;
pengawasan
an
(g) Perlengkapan dan teknik-teknik penegak-
dan
pengawasan
bebas
pelabuhan bebas;
perdagangan
(f) Tehnik-tehnik
(e) Pengumpulan bukti-bukti;
dan tindak pidana keuangan lainnya;
kan dalam memberantas pencucian uang
termasuk metode-metode yang diguna-
perlengkapan atau sarana-sarana lainnya,
penyamaran
untuk pengiriman, penyembunyian atau
dan
perlengkapan atau sarana-sarana lainnya
hasil-hasil
(d) Mendeteksi dan memantau pemindahan
selundupan;
(c) Memantau
gahan, dan tindakan balasan yang tepat;
termasuk
pidana yang tercakup oleh Konvensi ini,
dicurigai
digunakan
(b) Rute-rute
tercakup oleh Konvensi ini;
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
130 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 74 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
dan
dan
seminar-
konferensi-konferensi
internasional
menggunakan
khusus
dan
kebutuhan-
Pihak
wajib
meningkatkan
instansi-instansi
dengan
tanggung
dan
dan
usaha-
wajib
pelatihan
dalam
kegiatan-
diperlukan,
memaksimalkan
sejauh
operasi
untuk
Pihak
bilateral
dalam
persetujuan-persetujuan
dan
organisasi internasional dan regional dan
kegiatan
usaha
memperkuat,
Negara-Negara
pengaturan-pengaturan
multilateral,
atau
4. Dalam hal adanya persetujuan-persetujuan
jawab yang relevan.
atau
karan di antara aparat dalam otoritas pusat
dukungan-dukungan dan pertukaran-pertu-
tersebut dapat meliputi pelatihan bahasa,
timbal balik. Bantuan pelatihan dan teknis
memudahkan ekstradisi dan bantuan hukum
bantuan pelatihan dan teknis yang akan
3. Negara-Negara
kebutuhan dari Negara-negara transit.
masalah-masalah
yang menjadi perhatian bersama, termasuk
mendorong diskusi tentang masalah-masalah
seminar untuk meningkatkan kerja sama dan
regional
patut,
Pasal ini dan untuk tujuan itu juga, apabila
bidang-bidang yang mengacu pada ayat (1)
yang dirancang untuk berbagi keahlian dalam
sanaan program penelitian dan pelatihan
sama lain dalam perencanaan dan pelak-
2. Negara-Negara Pihak wajib membantu satu
saksi.
perlindungan korban-korban dan saksi-
(i) Metode-metode yang digunakan dalam
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
131
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 75
30
PSL
Dalam
meng-
2.
1.
perlu
dengan
koordinasi
dengan
organisasi-organisasi
satu
dengan
tujuan
untuk
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
memberantas
tindak
bantuan
keuangan
dan
pidana
pidana
secara
mereka
dan
melaksanakan
efektif
Konvensi ini dengan hasil yang baik;
membantu
terorganisasi
guna
transnasional
berkembang
melawan
tindak
negara-negara
materi untuk mendukung usaha-usaha
(b) Meningkatkan
transnasional terorganisasi;
dan
berkembang dimaksud guna mencegah
memperkuat kemampuan negara-negara
bekembang,
berbagai tingkatan dengan negara-negara
(a) Meningkatkan kerja sama mereka pada
internasional dan regional:
termasuk
lainnya,
pengetahuan di bidang
pertama
perundang-undangan.
pembentukan peraturan
pertukaran
dengan
wajib
adalah
Pihak
Untuk
Negara-Negara
menciptakan
tahap
studi negara
usaha-usaha nyata sejauh dimungkinkan dan
bagi
peserta Konvensi
khususnya
pembangunan berkelanjutan.
umumnya,
pada
antar
melalui banding
sama
alaman
kerja
pengaruh negatif tindak pidana terorganisasi
melalui
internasional, mempertimbangkan pengaruh-
pertukaran
teknis
pengetahuan dan peng-
bantuan
bangunan ekonomi dan
dimungkinkan,
guna
mengambil
kondusif
wajib
dilakukan
yang
Pihak
optimalnya pelaksanaan Konvensi ini, sejauh
tindakan-tindakan
Negara-Negara
pelaksanaan
rangka
REKOMENDASI
Konvensi melalui pem-
DIPERTIMBANGKAN
teknis
pelaksanaan
ANALISIS
Draft 5 (11 Agustus 2010) 76 HAL-HAL LAIN YANG
efektifkan
lain:
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
U NTOC G A P A NA LYS I S
melalui pembangunan ekonomi dan bantuan
Tindakan
dan
Konvensi
bilateral
multilateral yang relevan lainnya.
pengaturan-pengaturan
ISI
132
PSL
bantuan
teknik
kepada
memenuhi
kebutuhan-kebu-
melalui
yang
dan
secara
memadai
teratur khusus
Negara-
pendanaan
Bangsa-Bangsa.
mekanisme
khusus,
nasionalnya
dengan
ketentuan-
sesuai
dan
lain
Negara-
lembaga-lembaga
meyakinkan
dan
mereka
3. Sejauh
mereka
dimungkinkan,
Konvensi ini.
membantu
tujuan
guna
kepada
dan
banyak
tindakan-tindakan
mencapai
berkembang
modern
peralatan-peralatan
negara-negera
pelatihan
khususnya
upaya-upaya
lebih
ini,
dalam
Pasal
memberikan
dengan
program-program
dengan
sesuai
dengan
keuangan sepatutnya untuk bergabung
Negara
dan
ketentuan Konvensi ini.
(d) Mendorong
yang
ketentuan-
kekayaan
dengan
atau
sesuai
pidana
dirampas
tindak
bagian dari uang atau nilai dari hasil
kontribusi ke dalam rekening tersebut,
ketentuan Konvensi ini, guna memberikan
hukum
pertimbangan
Negara Pihak juga dapat memberikan
Perserikatan
suatu
ditunjuk untuk tujuan tersebut dalam
yang
rekening
sukarela
Pihak berusaha memberikan kontribusi
Untuk tujuan tersebut, Negara-Negara
tuhannya bagi pelaksanaan Konvensi ini.
mereka
negara ekonomi transisi untuk membantu
negara-negara berkembang dan negara-
(c) Memberikan
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
133
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 77
31
PSL
tidak negeri
keuangan
lainnya
pada
tingkatan
atau
penetapan-
material
logistik,
dengan
pembiayaan
yang
diperlukan
pengaturan-pengaturan
dan
dan pidana
nasional
dan
menciptakan
serta
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
dasar
hukum
peluang-peluang
berpartisipasi
di
yang
terorganisasi
pasar-pasar
penjahat
administratif
melalui
atau
tindakan
tindakan-tindakan lainnya.
legislatif,
yang sah dengan hasil tindak pidananya,
untuk
kelompok-kelompok
yang ada saat ini atau yang akan datang bagi
mengurangi
prinsip-prinsip
nasionalnya,
dengan
2. Negara-negara Pihak wajib berusaha, sesuai
pidana transnasional terorganisasi.
yang ditujukan untuk pencegahan tindak
meningkatkan praktik terbaik dan kebijakan
proyek
mengembangkan dan mengevaluasi proyek-
1. Negara-Negara Pihak wajib berusaha untuk
Pencegahan
transnasional terorganisasi.
tindak
pendeteksian,
terhadap
pencegahan,
pengawasan
untuk
diatur oleh Konvensi agar menjadi efektif dan
sebagai sarana kerja sama internasional yang
mengenai
mempertimbangkan
bantuan
penetapan bilateral atau multilateral tentang
persetujuan-persetujuan
4. Negara-Negara Pihak dapat menandatangani
bilateral, regional, dan internasional.
sama
yang ada atau pengaturan-pengaturan kerja
luar
mengesampingkan
bantuan
boleh
komitmen-komitmen
tersebut
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
134 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 78 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
dalam
pengembangan
penasihat
hukum,
penyalahgunaan
oleh
(ii)
(i)
pen-
tindakan-tindakan
kelompok-kelompok
terorganisasi;
dan
oleh
perintah
peng-
kemungkinan
pembiayaan
sesuai, orang-orang yang dihukum
dalam suatu periode waktu yang
adilan atau cara-cara lain yang tepat
pembatalan
Memperkenalkan
badan-badan hukum;
pengelolaan,
orang yang terlibat dalam pendirian,
tentang badan-badan hukum dan
Pembentukan laporan-laporan publik
dimaksud dapat mencakup;
jahat
hukum
(d) Mencegah penyalahgunaan badan-badan
publik untuk kegiatan perdagangan;
izin-izin yang diberikan oleh badan-badan
publik dan terhadap subsidi-subsidi dan
waran yang dilakukan oleh badan-badan
sasi terhadap prosedur-prosedur pena-
kelompok-kelompok penjahat terorgani-
(c) Pencegahan oleh
notaris
publik, konsultan pajak dan akuntan.
terutama
etik bagi profesi-profesi yang relevan,
dan badan swasta terkait, termasuk kode
untuk melindungi integritas masyarakat
standar dan prosedur yang dirancang
(b) Peningkatan
industri;
badan-badan swasta terkait, termasuk
instansi penegak hukum atau jaksa dan
(a) Penguatan kerja sama antara instansi-
Tindakan-tindakan tersebut dipusatkan pada:
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
135
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 79
PSL
dari
yang
dokumen-dokumen
orang-orang
(didiskualifikasi)
dari
dalam
yang
dihukum
atas
tindak
secara
berkala
instrumen-
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
oleh
yang
dapat
publik
sebab-sebab
kesadaran
keberadaan,
dan
terkait
disebarkan, apabila dianggap tepat, melalui
transnasional terorganisasi. Informasi dapat
kegawatan, serta ancaman dari tindak pidana
dengan
meningkatkan
5. Negara-Negara Pihak wajib berupaya untuk
kelompok-kelompok
kelemahan
penjahat terorganisasi.
disalahgunakan
mendeteksi
praktik administrasi dengan tujuan untuk
instrumen hukum yang relevan dan praktik-
mengevaluasi
4. Negara-Negara Pihak wajib berupaya untuk
pidana yang tercakup oleh Konvensi ini.
orang-orang
mendorong reintegrasi ke dalam masyarakat
3. Negara-Negara Pihak wajib berupaya untuk
Negara Pihak lainnya.
badan yang berwenang dari Negara-
(iii) dari ayat ini dengan badan-
mengacu pada sub-ayat (d) (i) dan
di dalam dokumen-dokumen yang
(iv) Pertukaran informasi yang terdapat
badan hukum; dan
jabatannya sebagai direktur badan-
dibatalkan
nasional
(iii) Pembentukan
di
badan-badan
didirikan
direktur
yang
jurisdiksinya;
hukum
sebagai
oleh Konvensi ini atas jabatannya
atas tindak pidana yang tercakup
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
136 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 80 HAL-HAL LAIN YANG
32
PSL
Setiap
wajib
sama
satu
wajib,
lainnya dan
dan
sepatutnya,
transnasional
internasional
dengan
untuk dalam
mengembangkan
tindakan-tindakan
pidana
rentan
dan
terorganisasi
dalam dan
transnasional
Pihak
memajukan
pidana
untuk
tindak
Negara-Negara
memberantas
kemampuan
dengan ini dibentuk untuk meningkatkan
1. Suatu Konferensi Para Pihak pada Konvensi
Konferensi Para Pihak pada Konvensi
transnasional terorganisasi.
atau
tindak
terpinggirkan
yang
kondisi-kondisi
kelompok-kelompok
mengatasi
tindakan
sosial
secara
terhadap
dengan
membuat
contoh
yang
pidana transnasional terorganisasi, sebagai
yang ditujukan untuk pencegahan tindak
partisipasi dalam proyek-proyek internasional
yang mengacu pada Pasal ini. Hal ini meliputi
dan
regional yang relevan dalam meningkatkan
organisasi-organisasi
bekerja
pidana
Pihak
tindak
terorganisasi.
mencegah
tindakan-tindakan
mengembangkan
membantu
lainnya
Pihak
Negara-Negara
dapat
yang
otoritas-otoritas
Bangsa, nama dan alamat dari otoritas atau
Bangsa-
memberitahu
Perserikatan
Pihak
Jenderal
Negara
Sekretaris
7. Negara-Negara
6.
memberantas tindak pidana dimaksud.
dan
partisipasi
mencegah
meningkatkan
dalam
untuk
masyarakat
tindakan
media massa dan wajib meliputi tindakan-
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
137
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 81
PSL
Jenderal
Perserikatan
Bangsa-
Pihak
wajib
menggunakan
aturan
yang
ditetapkan
sete-
sebut).
penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan
ter-
bayaran atas biaya-biaya yang timbul dalam
(termasuk aturan-aturan menyangkut pem-
rusnya dalam ayat (3) dan ayat (4) pasal ini
kegiatan-kegiatan
prosedural dan aturan-aturan yang mengatur
Para
sejak berlakunya Konvensi ini. Konferensi
para Pihak tidak lebih lambat dari satu tahun
Bangsa wajib menyelenggarakan Konferensi
Sekretaris
meninjau pelaksanaan Konvensi ini.
kegiatan-kegiatan oleh
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
pidana
transnasional
kecenderungan-kecenderungan
tindak
dengan
relevan
dan
(d) Meninjau
secara
berkala
pelaksanaan
organisasi-
regional
organisasi-
dan
juga
internasional
sama
organisasi bukan pemerintah;
yang
organisasi
(c) Bekerja
yang berhasil untuk memberantasnya;
terorganisasi dan tentang praktik-praktik
dalam
dan
Negara-Negara Pihak tentang pola-pola
(b) Memfasilitasi pertukaran informasi antara
an kontribusi-kontribusi sukarela;
termasuk dengan mendorong pengerah-
29, Pasal 30 dan Pasal 31 Konvensi ini,
Negara-Negara Pihak berdasarkan Pasal
(a) Memfasilitasi
termasuk :
yang disebutkan dalam ayat (1) Pasal ini,
mekanisme untuk mencapai tujuan-tujuan
3. Konferensi Para Pihak wajib menyepakati
2.
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
138 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 82 HAL-HAL LAIN YANG
33
PSL
Konvensi ini; ini
dan
yang
diperlukan
mengenai
dalam
pelaksanaannya
melalui
mekanisme-mekanisme peninjauan Para
program-programnya,
Pihak, rencana-
informasi
memberikan
Konvensi
wajib
oleh
para
Pihak
Konferensi
Negara
ditetapkan
melaksanakan
Konvensi
ini,
Jenderal
Perserikatan
Bangsa-
melaksanakan
kegiatan-kegiatan
yang
(a) Membantu Konferensi Para Pihak dalam
2. Sekretariat wajib:
Konferensi Para Pihak pada Konvensi ini.
yanan sekretariat yang diperlukan kepada
Bangsa wajib menyediakan pelayanan-pela-
1. Sekretaris
Sekretariat
Para Pihak.
sebagaimana dipersyaratkan oleh Konvensi
untuk
tindakan-tindakan legislatif dan administratif
rencana dan praktik-praktiknya, termasuk
tentang
kepada
5. Setiap
Pihak.
mungkin
tambahan semacam ini sebagaimana yang
melalui
informasi yang diberikan oleh mereka dan
mereka
ini dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh
Negara Pihak dalam melaksanakan Konvensi
tindakan-tindakan yang diambil oleh Negara-
pengetahuan
ini, Konferensi para Pihak wajib memperoleh
4. Untuk tujuan ayat (3) (d) dan (e) dari Pasal
Konvensi
rekomendasi-rekomendasi
memperbaiki
pelaksanaannya.
untuk
(e) Membuat
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
139
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 83
34
PSL
membantu
Pihak
seba-
informasi
organisasi-organisasi
Negara
Pihak
wajib
mengambil
guna
menjamin
pelaksanaan
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
masing-masing
Negara
Pihak
Negara
tindakan-tindakan
3. Setiap
yang
Pihak
lebih
dapat
tegas
atau
mengambil
pelaku tindak pidana terorganisasi.
ini mempersyaratkan keterlibatan kelompok
Konvensi ini, kecuali sejauh Pasal 5 Konvensi
sebagaimana diuraikan pada Pasal 3 ayat (1)
keterlibatan kelompok penjahat terorganisasi
terlepas dari sifatnya yang transnasional atau
nasional
Konvensi ini wajib ditetapkan dalam hukum
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 23
2. Tindak pidana yang ditetapkan sesuai dengan
kewajiban-kewajibannya dalam Konvensi ini.
nasionalnya,
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum
tindakan-tindakan legislatif dan administratif,
tindakan-tindakan yang diperlukan, termasuk
1. Setiap
Pelaksanaan Konvensi
internasional dan regional terkait.
sekretariat
(c) Menjamin koordinasi yang perlu dengan
ayat (5) Konvensi ini; dan
gaimana yang diuraikan dalam Pasal 32
para
memberikan
Konferensi
dalam
permintaan,
kepada
Pihak
(b) Atas
Negara
sidang-sidang
pelayanan-pelayanan
pada
Konferensi para Pihak peserta;
diperlukan
yang
pengaturan-pengaturan
membuat
memberikan
dan
dan
ditetapkan dalam Pasal 32 Konvensi ini
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
140 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 84 HAL-HAL LAIN YANG
35
PSL
Pihak
antara
mengenai
sengketa
atau
penafsiran
dua atau
lebih
sepatutnya
wajib,
atas
permintaan
tidak
dapat
salah
Negara-
menyepakati
satu
Pihak
dapat,
dengan
melalui
saat
Statuta pada
Internasional
atau
aksesi
Konvensi
ini,
4. Setiap
itu.
Negara
Pihak
yang
membuat
Pihak yang membuat pensyaratan semacam
ayat (2) Pasal ini terhadap setiap Negara
Negara Pihak lainnya tidak akan terikat pada
dirinya pada ayat (2) Pasal ini. Negara-
menyatakan bahwa ia tidak mengikatkan
persetujuan
penandatangan, ratifikasi, penerimaan, atau
Negara
Mahkamah.
3. Setiap
sesuai
Mahkamah
permintaan
kepada
Negara Pihak dapat melimpahkan sengketa
arbitrasi,
pihak
organisasi
Negara
setelah tanggal permintaan arbitrasi, Negara-
melalui arbitrasi. Apabila, 6 (enam) bulan
salah satu Negara-Negara Pihak, diselesaikan
yang
diselesaikan melalui negosiasi dalam waktu
pelaksanaan Konvensi ini yang tidak dapat
Negara
2. Setiap
melalui negosiasi.
penafsiran atau pelaksanaan Konvensi ini
menyelesaikan sengketa-sengketa mengenai
1. Negara-Negara Pihak wajib berusaha untuk
Penyelesaian Sengketa
pidana transnasional terorganisasi.
untuk mencegah dan memberantas tindak
keras dari yang diatur oleh Konvensi ini
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
141
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 85
36
PSL
kapan
pun
menarik
selanjutnya
di
Markas
Perserikatan
organisasi
setidaknya
satu
tersebut
salah telah
Negara
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia adanya
Perserikatan
disimpan
atau kepada
Bangsa-
penerimaan
persetujuan.
dengan
atau
dapat
menyimpan
instrumen
organisasi
tersebut
wajib
menyatakan ruang lingkup kompetensinya
persetujuan,
Dalam instrumen ratifikasi, penerimaan atau
anggotanya telah melakukan hal yang sama.
bila sekurang-kurangnya satu dari Negara
ratifikasi, penerimaan ataupun persetujuan
regional
Bangsa. Suatu organisasi integrasi ekonomi
Jenderal
wajib
Sekretaris
ratifikasi,
persetujuan
berlaku
Instrumen
ini
penerimaan
ratifikasi,
3. Konvensi
ayat (1) Pasal ini.
menandatangani Konvensi ini sesuai dengan
anggota
apabila
oleh organisasi integrasi ekonomi regional
2. Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan
12 Desember 2002.
Bangsa-Bangsa di New York hingga tanggal
dan
hingga 15 Desember 2000 di Palermo, Italia,
untuk penandatanganan sejak tanggal 12
1. Konvensi ini terbuka bagi semua Negara
Persetujuan dan Aksesi
Penandatanganan, Ratifikasi, Penerimaan,
Perserikatan
pemberitahuan
juga
Jenderal
melalui
Sekretaris
Bangsa-Bangsa.
kepada
pensyaratannya
dapat
pensyaratan sesuai dengan ayat (3) Pasal ini
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
142 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 86 HAL-HAL LAIN YANG
37
PSL
Organisasi
dimaksud
penyimpanan
wajib
perubahan
juga
yang
Bangsa-Bangsa.
Sekretaris
satu wajib
pada
Pada
saat
Jenderal
aksesi
pihak
menyatakan
ruang
lingkup
dengan
penyimpanan
sesuai
ekonomi
regional
atau
suatu juga
4.
Konvensi
ini,
Konvensi
ini
dengan
wajib dengan
mempertimbangkan
bersama-sama
dari
secara
protokol
ditafsirkan
Setiap
sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari itu.
menjadi Pihak terhadap protokol tersebut
terikat dengan suatu Protokol kecuali jika ia
3. Suatu Negara Pihak pada Konvensi ini tidak
wajib
organisasi
terhadap
menjadi Pihak pada Konvensi ini.
integrasi
Pihak
Negara
suatu
menjadi
Protokol,
2. Untuk
atau lebih protokol.
1. Konvensi ini dapat dilengkapi dengan satu
Hubungan dengan Protokol
kompetensinya.
terkait
perubahan
lainnya
memberitahukan
wajib
oleh Konvensi ini. Organisasi dimaksud juga
kompetensinya terhadap hal-hal yang diatur
wajib
aksesi, organisasi integrasi ekonomi regional
Perserikatan
kepada
Instrumen
ini.
disimpan
adalah
sekurang-kurangnya
anggotanya
Konvensi
Negara
regional
Negara atau organisasi integrasi ekonomi
4. Konvensi ini terbuka untuk aksesi oleh setiap
terkait lainnya sesuai dengan kompetensinya.
memberitahukan
ini.
terhadap hal-hal yang diatur oleh Konvensi
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
143
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 87
39
38
PSL
Konvensi
ini
mulai
persetujuan
hari
aksesi
ratifikasi,
tanggal
pada
atau
setelah
berlaku
instrumen
puluh
ekonomi
regional
tidak
dapat
dari organisasi tersebut.
yang disimpan oleh Negara-negara anggota
dihitung sebagai tambahan dari instrumen
integrasi
instrumen yang disimpan oleh organisasi
keempat puluh. Untuk tujuan ayat ini, setiap
penerimaan,
penyimpanan
kesembilan
menyetujui
menerima,
atau
yang mengaksesi
meratifikasi,
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Perserikatan Bangsa-
mempertimbangkan dan memutuskan usulan
Negara pihak pada Konvensi dengan tujuan
negara Pihak dan kepada Konferensi Negara-
usulan amandemen tersebut kepada Negara-
Bangsa, yang kemudian mengkomunikasikan
Sekretariat Jenderal
amandemen dan menyampaikannya kepada
Pihak terhadap Konvensi dapat mengajukan
mulai berlakunya Konvensi ini, suatu Negara
1. Setelah lewat masa 5 (lima) tahun sejak
Amandemen
atau
setelah
Negara
puluh
organisasi instrumen yang terkait.
oleh
ketiga
penyimpanan
tanggal
hari
pada
berlaku
keempat puluh tersebut, Konvensi ini mulai
Konvensi ini setelah penyimpanan instrumen
regional
ekonomi
2. Untuk setiap Negara atau organisasi integrasi
1.
Pemberlakuan
tujuan dari protokol itu.
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
144 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 88 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
Konferensi
para
Pihak
wajib untuk
kesepakatan
dicapai,
lingkup
kompetensinya,
wajib
pada
Konvensi
ini.
Organisasi-
pilihnya
pilih
dan
anggota
mereka
Negara-negara
hak
bila
penerimaan,
atau
persetujuan
tersebut
kepada
instrumen Sekretaris
persetujuan
5. Apabila
suatu amandemen mulai berlaku
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
amandemen
atau
penyimpanan
penerimaan
tanggal
ratifikasi,
sejak
suatu Negara Pihak, 90 (sembilan puluh) hari
ayat (1) Pasal ini mulai berlaku mengikat
4. Amandemen yang disahkan sesuai dengan
Negara-Negara Pihak.
ratifikasi,
ayat (1) Pasal ini berlaku dengan adanya
3. Amandemen yang disahkan sesuai dengan
sebaliknya.
menggunakan
hak
organisasi tersebut tidak dapat menggunakan
Pihak
jumlah Negara anggotanya yang menjadi
dengan jumlah suara yang sama dengan
menggunakan hak pilihnya dalam Pasal ini
ruang
2. Organisasi integrasi ekonomi regional, dalam
Negara Pihak.
pada saat pertemuan Konferensi Negara-
Konvensi yang hadir dan memberi suara
suara mayoritas Negara-Negara Pihak pada
untuk diterima, memeroleh dua per tiga
amandemen wajib, sebagai upaya terakhir,
ada
yang
upaya
tidak
setiap
ditempuh dan
Bila
mencapai konsensus telah
amandemen.
berupaya mencapai konsensus pada setiap
dimaksud.
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
145
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 89
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
41
40
PSL
hal
tersebut
akan
mengikat
terikat
pada
ini
setiap
ketentuan-
dan
Jenderal tersebut
Perserikatan
diri
Jenderal
Perserikatan
Bangsa-
Sekretaris
Bangsa-Bangsa.
kepada
Jenderal
Perserikatan
yang kesemuanya otentik, wajib disimpan
China, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol
2. Naskah Asli Konvensi, dalam bahasa Arab,
ini.
Bangsa ditunjuk sebagai penyimpan Konvensi
1. Sekretaris
Penyimpanan dan Bahasa
terhadap protokol-protokolnya.
(1) Pasal ini akan berakibat penarikan diri
3. Penarikan diri dari Konvensi ini sesuai ayat
telah menarik diri.
ketika seluruh Negara-Negara anggotanya
berhenti menjadi Pihak terhadap Konvensi ini
2. Suatu organisasi integrasi ekonomi regional
Jenderal.
penerimaan pemberitahuan dari Sekretaris
berlaku efektif 1 (satu) tahun setelah tanggal
Penarikan
Sekretaris
Bangsa-Bangsa.
kepada
Konvensi ini melalui pemberitahuan tertulis
1. Suatu Negara Pihak dapat menarik diri dari
Penarikan Diri
telah mereka ratifikasi, terima atau setujui.
amandemen-amandemen sebelumnya yang
Konvensi
tetap
ketentuan
lainnya
penundukan dirinya. Negara-negara Pihak
Negara-Negara Pihak yang telah menyatakan
mengikat,
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
146 DIPERTIMBANGKAN
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 90 HAL-HAL LAIN YANG
PSL
menandatangani Konvensi ini.
Pemerintah masing-masing, telah
ini berkuasa penuh, telah diberi kuasa oleh
SEBAGAI BUKTI, yang bertandatangan di bawah
ISI
ANALISIS
U NTOC G A P A NA LYS I S
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
147
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
DIPERTIMBANGKAN
HAL-HAL LAIN YANG
REKOMENDASI
Draft 5 (11 Agustus 2010) 91
TIM PENGKAJI
I Wayan Parthiana, S.H., M.H. lahir di Gianyar, Bali, tahun 1947. Dia meraih gelar Sarjana Muda Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar (1970), gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung (1974) serta gelar Magister Bidang Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung (1985). Sejak tahun 1974 sampai sekarang, I Wayan Parthiana telah mengabdikan dirinya sebagai pengajar di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan dan mengampu mata kuliah Hukum Internasional, Hukum Organisasi Internasional, Hukum Laut Internasional, Hukum Hak-Hak Asasi Manusia, Hukum Perjanjian Internasional, dan Hukum Pidana Internasional. Selain di fakultas hukum, pada tahun 1983-1994, I Wayan Parthiana juga mengajar mata kuliah Hukum Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Selain mengajar, I Wayan Parthiana banyak menulis buku dalam bidang hukum khususnya hukum internasional yaitu: Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia (Edisi Pertama, 1983, Alumni, Bandung dan Edisi Kedua, 1989, Mandar Maju, Bandung); Beberapa Masalah Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia (Kumpulan Karangan) (Bina Cipta, 1987); Pengantar Hukum Internasional (Edisi Pertama, 1990 dan Edisi Kedua, 1993, Mandar Maju, Bandung); Hukum Perjanjian Internasional Bagian Pertama dan Kedua (Edisi Pertama, 2005, Mandar Maju, Bandung); Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional (Edisi Pertama, 2005, Mandar Maju, Bandung); Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi (Edisi Pertama, 2004, Yrama Widya, Bandung); Hukum Pidana Internasional (Edisi Pertama, 2006, Yrama Widya, Bandung); Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern (Edisi Pertama, 2010, Yrama Widya, Bandung). Dr. Ramelan, S.H., M.H. Dr. Ramelan lahir di Madiun pada tahun 1945 dan memperoleh gelar akademik Sarjana Hukum dari Universitas Airlangga pada tahun 1970, Magister Ilmu Hukum dari Universitas Padjajaran pada tahun 2002, dan Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Padjajaran pada tahun 2009. Yang bersangkutan pernah berkarir di Kejaksaan Republik Indonesia lebih dari 35 tahun serta mengikuti banyak pendidikan kedinasan antara lain: Pembentukan Jaksa (1971), Pendidikan Intelijen Operation pada Pusdik Intelstrat Mabes ABRI (1974), Pendidikan Bidang Operasi Kejaksaan Agung (1982), Sekolah Staf Pimpinan Administrasi (1988), Pendidikan Analisis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara/Kejaksaan Agung (1991), Kursus Reguler Angkatan XXVIII LEMHANNAS (1995). Dr. Ramelan memiliki pengalaman kerja yang panjang sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Curup (1988-1990), Kepala Kejaksaan Negeri Sidoarjo (19901991), Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Irian Jaya (1991-1993), Kepala Kejaksaan Negeri Bogor (1993-1994), Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (1994), Staf Khusus Jaksa Agung (1994-1996), Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Kejaksaan Agung Republik Indonesia (1996-1997), Kepala Kejaksaan Tinggi Riau (1997-1998), Direktur Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung Republik Indonesia (1998), Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (1998-1999), Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (1999-2000), Staf Ahli Jaksa Agung Republik Indonesia Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
U NTOC G A P A NA LYS I S
I Wayan Parthiana, S.H., M.H.
149
(2000- 2005), Dosen (dengan jabatan sebagai Lektor) pada mata kuliah Hukum Acara Pidana di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta (2004-sekarang), Widyaiswara (Luar Biasa) pada Pusdiklat Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Setelah pensiun dari Kejaksaan Agung, Dr. Ramelan bekerja sebagai Tenaga Ahli pada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) (2005-2009), Anggota tim Pakar Hukum Kementerian Pertahanan (2006-sekarang), dan Komisaris Independen PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk dan Komisaris Independen PT Tjiwi Kimia (2007- sekarang), Konsultan Hukum PT Kereta Api Indonesia (Mei 2010-sekarang).
U NTOC G A P A NA LYS I S
Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H.
150
Lahir di Bogor pada tahun 1964, Dr. Surastini memperoleh gelar akademik dari Universitas Indonesia yaitu Sarjana Hukum tahun 1988, Magister Hukum tahun 1997 dan Doktor Bidang Hukum tahun 2006. Selain itu, Dr. Surastini juga mengikuti Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Universitas Diponegoro, Semarang (1993); Summer Course, Winconsin University, USA (1993); Continuing Legal Education on Legal Consultant and Lawyer, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta (1994); Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Universitas Diponegoro, Semarang (1998); dan Training Programme on The Human Rights Trainers, Departemen Kehakiman RI – Roul Wallenberg Institute, Jakarta dan Swedia. (2001). Dr. Surastini banyak berkecimpung di dunia pendidikan dengan menjadi pengajar pada Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1988-sekarang), Program Sarjana Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta (1994-2000), Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Jakarta (1999-2001), Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2003-sekarang), Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta (2007), Program Sarjana Departemen Kriminologi, FISIP Universitas Indonesia (2009-sekarang), Program Magister Pascasarjana Kriminologi, FISIP Universitas Indonesia (2010). Selain mengajar, Dr. Surastini pernah menjadi Sekretaris Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1994-2003), anggota Task Force for Preparing Quality of Undergraduate Education Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1998 – 1999), serta Manajer Pendidikan dan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2006-2008). Kontribusi lain Dr. Surastini dalam beberapa tahun terakhir antara lain adalah keterlibatannya dalam Penyusunan Modul CAT, Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (2008); Penyusunan Revisi Modul HAM untuk Brimob, Sentra HAM – Kemitraan (2009); Pelatih dalam Penyegaran untuk Pelatih Utama Brimob, Sentra HAM –Kemitraan (2009); Analis Pusat Penelitian Jejaring KY tentang Putusan Pengadilan (2009); Peneliti dalam Penyusunan Buku Pedoman Penanganan People Smuggling, Departemen Kriminologi Fisip UI – IOM (2009); Peneliti dalam Penyusunan Arah Kebijakan Polri, Departemen Kriminologi Fisip UI – Kompolnas (2009); Analis Pusat Penelitian Jejaring KY tentang Putusan Pengadilan (2010); Pengajar dalam Pelatihan Hukum Pidana “The Building Blocks Project”, Kerjasama Indonesia- Belanda (2010).
Matriks Kesenjangan antara Untoc dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia