KAJIAN TANAMAN SELA DI LOKASI PEREMAJAAN TANAMAN PERKEBUNAN ABSTRAK Produktivitas tanaman kakao di Sulawesi Selatan sejak tahun 2000 terus menurun dari 1,5 – 2,0 t/ha menjadi 600 – 800 kg/ha. Salah satu penyebabnya, tanaman yang ada saat ini sebagian besar sudah berumur > 15 tahun. Upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kembali produktivitas tanaman kakao adalah dengan rehabilitasi tanaman, baik melalui sambung samping atau penanaman baru. Dalam masa rehabilitasi tersebut terdapat tenggang waktu ± 3-4 tahun hingga tanaman menghasilkan. Karena itu, diharapkan melalui penanaman tanaman sela pada areal tanaman perkebunan yang diremajakan dapat menjadi sumber pendapatan pengganti bagi petani. Kajian dilaksanakan pada lahan petani yang telah merehabilitasi perkebunan kakao berumur > 15 tahun melalui peremajaan tanaman yakni penanaman kakao baru. Pertanaman kakao muda umur ± 1 tahun yang pertumbuhannya relatif kurang seragam, dengan jarak tanam 4 m x 4 m. Kegiatan berlangsung mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2007 di desa Kamanre, kecamatan Kamanre, kabupaten Luwu. Perlakuan yang dikaji terdiri atas 3 jenis tanaman sela di antara kakao yakni jagung : varietas Sukmaraga, dan varietas Bisi-2, padi gogo : varietas Situ Patenggang, dan varietas Situ Bagendit, dan kacang hijau varietas Gelatik. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok. Setiap jenis tanaman sela masing-masing ditanam pada lahan sekitar 0.1 ha dan diulang pada 4 petani, sehingga luas areal penanaman lebih kurang 2,0 ha. Pengamatan dilakukan terhadap semua tanaman sela dan tanaman pokok kakao, meliputi komponen pertumbuhan, komponen hasil dan produksi tanaman sela. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan sidik ragam dan selanjutnya dilakukan uji beda rata-rata dengan uji jarak berganda-Duncan. Berdasarkan hasil kajian diperoleh bahwa pemanfaatan lahan dengan tanaman sela di antara kakao yang diremajakan umur ± 1 tahun tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao. Pertumbuhan dan hasil tanaman sela tidak berbeda antar varietas. Namun demikian, tanaman sela mengalami penurunan hasil akibat rendahnya tingkat kerapatan populasi tanaman. Dari berbagai jenis tanaman sela, kacang hijau (var. Gelatik) dan jagung var. Bisi-2 dan var. Sukmaraga sesuai ditanam bersama kakao selama belum berproduksi atau kanopi tanaman kakao saling menutupi. Pendapatan dari tanaman sela tertinggi diperoleh dari tanaman kacang hijau var. Gelatik mencapai Rp. 2.291.780/ha, sedangkan dari jagung var. Bisi-2 dan var. Sukmaraga masing-masing Rp. 1.687.040 dan Rp. 1.558.320 per hektar. Nilai pendapatan pengganti ini mencapai ± 10 % dari pendapatan kakao. Kata kunci : tanaman sela, peremajaan, kakao, tanaman perkebunan, pendapatan pengganti.
1 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
PENDAHULUAN Latar Belakang Potensi lahan perkebunan yang ada saat ini cukup luas, mencapai sekitar 14,4 juta hektar (BPS, 1998) dan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan sekitar 1,9 juta hektar per tahun. Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan penting di Sulsel. Komoditas ini memainkan peranan besar terhadap tatanan perekonomian baik regional maupun nasional, sumbangannya terhadap PDRB, kesempatan kerja, perolehan devisa, dan penggerak roda perekonomian terhadap sektor-sektor lain (Herman, 2000). Luas pertanaman kakao di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat mencapai ± 290.000 hektar dan produksi sekitar 250.000 t, pemasukan devisa ± $ 200 juta (Rp. 1,8 T), suatu jumlah yang cukup besar (Manwan, 2002, Dinas Pertanian Propinsi Sulsel, 2002). Produktivitas tanaman kakao di Sulawesi Selatan sejak tahun 2000 terus menurun dari 1,5 – 2,0 t/ha menjadi 600 – 800 kg/ha. Salah satu penyebabnya adalah karena tanaman yang ada saat ini sebagian besar sudah berumur > 15 tahun. meningkatkan
kembali
Upaya yang dapat ditempuh untuk
produktivitas
tanaman
kakao
adalah
dengan
rehabilitasi tanaman, baik melalui penanaman baru atau sambung samping. Dalam masa rehabilitasi tersebut terdapat tenggang waktu ± 3-4 tahun hingga tanaman menghasilkan. Penanaman tanaman sela pada waktu tersebut merupakan salah satu cara untuk mengoptimalkan lahan selama masa rehabilitasi atau peremajaan tanaman. Komoditas tanaman semusim seperti jagung, padi gogo, kacang hijau, dan kedelai dapat diusahakan sebagai tanaman sela. Jagung atau padi gogo sebagai tanaman sela berpeluang ditanam pada setiap pembukaan kebun baru atau peremajaan tanaman sampai tahun ke-4 (Sumitro, 1991). Dengan demikian, sebelum atau setelah tanaman perkebunan menghasilkan, lahan kosong di antara tanaman tersebut dapat dimanfaatkan dengan menanam tanaman semusim. Penanaman tanaman sela dapat memberikan beberapa manfaat yaitu : (a) pemanfaatan lahan lebih efisien, (b) kebun dan tanamannya lebih terpelihara dengan baik
(c) tersedianya bahan pangan 2 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
bagi petani (d) sebagai sumber pendapatan petani sebelum tanaman utama menghasilkan.
Tahir
dan
Hamadi
(1985)
mengemukakan
bahwa
pemanfaatan lahan di antara tanaman berumur panjang dengan tanaman semusim
dapat
menghemat
penggunaan
pupuk,
mengurangi
biaya
penyiangan dan meningkatkan pendapatan petani. Beets dan William (1984) menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pertanaman sistem tumpangsari, di antaranya adalah sifat-sifat dari tanaman yang ditumpangsarikan yaitu bukan merupakan inang dari hama/penyakit yang sama, tidak berkompetisi dalam hal penggunaan hara, air, dan cahaya matahari,
mempunyai
sifat
perakaran
yang
berbeda
dan
saling
menguntungkan. Menurut Newman (1986), penganekaragaman tanaman melalui tanaman sela harus mempertimbangkan kegunaan bagi petani, produksi, penggunaan lahan yang berkelanjutan dan efisien. Hasil
pengkajian
Silalahi,
dkk
(1999)
menunjukkan
bahwa
tumpangsari kentang, buncis, atau cabai pada tanaman jeruk yang belum menghasilkan tidak nyata berpengaruh pada tanaman jeruk. Pada tanaman jeruk yang telah menghasilkan, tumpangsari abai akan menghasilkan pertumbuhan jeruk yang lebih baik dibanding dengan kentang atau buncis. Demikian pula pada tanaman lain, seperti anggur (Yuniatuti dkk., 1986), sirsak (Hutagalung dkk., 1995; Ramlan dkk., 1998), kelapa (Pusat Penelitian Perkebunan, 2005), penanaman
tanaman
sela
tidak mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi tanaman utama bahkan menguntungkan. Berdasarkan hal tersebut dilakukan pengkajian penanaman tanaman semusim sebagai tanaman sela pada rehabilitasi tanaman perkebunan kakao, sehingga diharapkan mampu memberikan kontribusi pendapatan pengganti bagi petani selama tanaman utama belum berproduksi. DASAR PERTIMBANGAN Rehabilitasi atau peremajaan tanaman perkebunan, seperti kakao menyebabkan sumber pendapatan petani terhenti dalam waktu tertentu, hingga tanamannya berproduksi. Karena itu, penanaman tanaman sela pada areal tanaman perkebunan yang direhabilitasi dapat menjadi sumber pendapatan
pengganti
bagi
petani
sebelum
tanaman
utamanya 3
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
menghasilkan.
Disamping
itu,
dengan
pemeliharaan
tanaman
sela
pemeliharaan tanaman lebih intensif. Model pola dan sitem tanam yang digunakan umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, terutama ketersediaan air. Daya penyerapan akar tanaman berbeda antara satu tanaman dengan yang lain sehingga ketahanan berbagai jenis tanaman terhadap kekeringan berbeda (Soehardi dan Romli, 1994). Dengan demikian, ketahanan kekeringan ini juga merupakan salah satu dasar pertimbangan dalam menyusun pola tanam, sehingga sumber daya alam yang terbatas dapat dimanfaatkan secara maksimal. TUJUAN Tujuan Umum Mendapatkan jenis tanaman sela yang sesuai pada peremajaan tanaman perkebunan kakao Tujuan Tahunan Mendapatkan pola tanam yang sesuai pada peremajaan tanaman perkebunan kakao Memberikan pendapatan yang
pengganti dari tanaman
perkebuna
diremajakan
LUARAN YANG DIHARAPKAN Luaran umum Diperolehnya
jenis
tanaman
yang sesuai
sebagai
tanaman
sela pada peremajaan tanaman perkebunan kakao Luaran Tahunan 1 (satu) atau lebih jenis dan pola tanam sela yang sesuai dikembangkan wilayah perkebunan kakao yang diremajakan Adanya pendapatan pengganti sekitar 10% dari hasil tanaman sela diantara tanaman perkebunan kakao
4 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
PERKIRAAN MANFAAT Manfaat Adanya sumber pendapatan dan bahan pangan selama tanaman perkebunan kakao yang direhabilitasi/diremajakan belum berproduksi Dampak Terciptanya kegiatan usahatani sampingan yang dapat menghasilkan tambahan pendapatan/pendapatan pengganti dan kesejahteraan petani.
5 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
METODOLOGI Pendekatan Kegiatan ini merupakan upaya optimalisasi pemanfaatan lahan di antara tanaman kakao muda melalui pembudidayaan tanaman semusim sebagai tanaman sela. Bertujuan, selain untuk mendukung program pengembangan kakao juga diharapkan mampu memberikan kontribusi pendapatan pengganti petani selama tanaman kakao belum berproduksi. Jenis tanaman semusim yang ditanam di antara kakao muda adalah jagung, padi gogo dan kacang hijau. Ketiga jenis tanaman tersebut diminati oleh petani
kakao
dan
dalam
kajian
ini
digunakan
untuk
mengetahui
kesesuaian/kecocokan sebagai tanaman sela pada kakao yang diremajakan. Waktu dan Tempat Kajian dilaksanakan pada lahan petani yang telah merehabilitasi perkebunan kakao berumur tua (> 15 tahun) melalui peremajaan tanaman yakni penanaman kakao baru. Lokasi kajian di desa Kamanre, kecamatan Kamanre, kabupaten Luwu, salah satu sentra pengembangan kakao di Sulawesi Selatan, dengan ketinggian tempat > 100 m dpl. Kegiatan berlangsung mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2007. Rancangan Pengkajian Kajian dilakukan pada lahan pertanaman kakao muda umur ± 1 tahun yang pertumbuhannya relatif kurang seragam, dengan jarak tanam 4 m x 4 m. Perlakuan yang dikaji terdiri atas 3 jenis tanaman sela di antara kakao yakni jagung varietas Sukmaraga (Lampiran 1), dan varietas Bisi-2, padi gogo; varietas Situ Patenggang, dan varietas Situ Bagendit (Lampiran 2 dan 3), dan kacang hijau varietas Gelatik (Lampiran 4). Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah Rancangan Acak Kelompok. Setiap jenis tanaman sela masing-masing ditanam pada lahan sekitar 0.1 ha dan diulang pada 4 petani, sehingga luas areal penanaman lebih kurang 2,0 ha. Perlakuan tanaman sela yang dikaji dan teknologi budidaya yang diintroduksikan disajikan pada Tabel 1.
6 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Tabel 1. Jenis tanaman sela dan teknologi yang diintroduksikan No 1.
2. 3.
4.
Teknologi Introduksi Benih -
Pengolahan tanah Penanaman - Cara tanam - Jarak tanam Pemupukan - Jenis/Dosis (kg/ha) -
5
6.
7.
Jumlah (kg/ha) Varietas
Cara Waktu
Pemeliharaan Penyulaman Penjaranganan Penyiangan - Pengendalian hama/penyakit Panen - Waktu Panen - Cara Panen Pasca Panen
Jagung Bersari Bebas
Jenis tanaman sela Jagung Hibrida Kacang Hijau
Padi Gogo
20 Sukmaraga
20 Bisi-2
20 Gelatik
Sempurna
Sempurna
Sempurna
30 Situ Patenggan, Situ Bagendit Sempurna
Tugal (2 biji/lbg) 75 cm x 40 cm
Tugal (1 tan/lbg) 90 cm x 40cm
Tugal (2 biji/lbg) 40 cm x15 cm
Tugal (2 biji/lbg) 20 cm x 20) cm
Urea 300 (3x) SP-36 100 (1x) KCL 100 (2x) Tugal ditimbun I : 7 – 10 hst II : 25 – 30 hst III : 40 – 45 hst
Urea 350 (3x) SP-36 100 (1x) KCL 100 (2x) Tugal ditimbun I : 7 – 10 hst II : 25 – 30 hst III : 40 – 45 hst
Urea 50 (3x) SP-36 75 (1x) KCL 50 (1x) Tugal ditimbun I : 7 – 10 hst II : 25 – 30 hst
Urea 150 (2x) SP-36 75 (1x) KCL 50 (1x) Tugal ditimbun I : 7 – 10 hst II : 25 – 30 hst III : 40 – 45 hst
- 1 minggu stlh tanam - 10 hst - Herbisida dan manual
- 1 minggu stlh tanam - 10 hst - Herbisida dan manual
- 1 minggu st lh tanam - 10 hst - Herbisida dan manual
- 1 minggu sth tanam - 10 hst - Herbisida dan manual
- Insektisida Biji Masak Fisiologis (Kadar air 36 – 40 %) Petik, pisahkan kelobot Jemur dengan tongkol
- Insektisida Biji Masak Fisiologis (Kadar air 36 – 40 %) Petik, pisahkan kelobot Jemur dengan tongkol
- Insektisida Biji Masak Fisiologis
- Insektisida Butir Padi Masak kuning
Tebas tan/sabit Jemur dengan batang
Tebas/sabit Jemur (gabah)
7 www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Tanaman sela jagung, padi gogo dan kacang hijau masing-masing ditanam dengan jarak 100 cm dari barisan tanaman kakao muda. Jarak tanam untuk jagung bersari bebas 75 cm x 40 cm, jagung hibrida 90 cm x 40 cm, pagi gogo 20 cm x 20 cm, dan kacang hijau 40 cm x 15 cm. Sedangkan, jarak tanam kakao adalah 400 cm x 400 cm, sehingga ruang kosong yang ada di antara barisan tanaman kakao dapat ditanami 3-4 baris untuk tanaman jagung bersari bebas – jagung hibrida, 10 baris tanaman padi gogo, dan 5 baris tanaman kacang hijau. Untuk keperluan pengamatan pertumbuhan tanaman pada setiap pertanaman ditentukan tanaman sampel masing-masing sepuluh tanaman untuk kakao dan dua puluh tanaman untuk tanaman sela jagung, padi gogo, dan kacang hijau. Teknologi budidaya, khususnya pemupukan selain diaplikasikan pada tanaman sela juga dilakukan pada tanaman pokok kakao dengan dosis sebanyak 50 g urea, 25 g SP-36, dan 45 g KCL per pohon. Pupuk diberikan ke dalam lubang yang dibuat secara melingkar mengikuti radius kanopi kakao, kemudian ditutup tanah. Di samping itu, pemeliharaan tanaman pada kakao meliputi penyiangan dan pembumbunan, serta pengendalian hama dan penyakit yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Pengumpulan Data Pengamatan dilakukan terhadap semua tanaman sela dan tanaman pokok kakao, yang meliputi komponen pertumbuhan, komponen hasil dan produksi tanaman sela. Data pengamatan terhadap masing-masing tanaman, sebagai berikut : * Jagung
: tinggi tanaman, panjang tongkol, jumlah biji/tongkol,bobot 1000 biji dan hasil biji kering.
* Padi gogo
:
tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah berisi dan gabah hampa per malai, bobot 1000 biji, dan hasil gabah kering panen.
* Kacang hijau
:
tinggi tanaman, jumlah polong/tanaman, dan hasil biji kering.
:
tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah cabang kakao
** Kakao
Analisis Data Data yang dikumpulkan dianalisis dengan sidik ragam dan selanjutnya dilakukan uji beda rata-rata dengan uji jarak berganda-Duncan.
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Kabupaten Luwu Kabupaten Luwu memiliki wilayah seluas 3.247.77 km2 atau 324.777 ha, sekitar 5.20% dari luas keseluruhan propinsi Sulawesi Selatan. Luas usahatani komoditas perkebunan 63.560 ha (19.58%) dari luas wilayah kabupaten Luwu dan luas komoditas perkebunan kakao dalam wilayah KIM-BUN (pemukiman perkebunan) kakao mencapai 27.795,60 ha atau 43,75% dari luas komoditas perkebunan. Selanjutnya usahatani sawah 22.690 ha (6,95%) dan usahatani tambak 20.775 ha (6.22%). Hal ini menunjukkan bahwa sektor perkebunan memegang peranan penting di kabupaten Luwu. Selain kakao, perkebunan yang dominan adalah kelapa dalam. Potensi lahan pengembangan untuk tanaman perkebunan ini masih tersedia seluas 192.328 ha. Berdasarkan ketinggian tempat dari muka laut, terdapat 40,2% berada pada ketinggian 0 – 100 m; 18,09 % pada ketinggian 100 – 500 m; 22,98 % terletak pada ketinggian 500 – 1000 m dan 20,2 % pada ketinggian > 1000 m. Kabupaten Luwu memiliki curah hujan yang relatif tinggi, mencapai 1500 – 2700 mm per tahun atau rata-rata di atas 100 mm per bulan, sedangkan terendah pada bulan September – Oktober yakni 50 – 90 mm per bulan. Tipe iklim menurut Schmith dan Ferguson termasuk tipe A (sangat basah) dan B (basah). Secara garis besar kondisi biofisik kabupaten Luwu adalah sebagai berikut : Secara geografis terletak pada 2 03,45 - 3037,30 LS dan 119041’15 - 121043’11 BT. Secara astronomis berada pada posisi 2 059’ - 3044’ LS dan 199098’ - 12025’BT. Sebagian besar berada di wilayah dataran rendah, ketinggian 0 – 2000 dpl. Jenis tanah entisol dan insectisol mulai dari pesisir pantai, dataran rendah sampai daerah berbukit dan pegunungan. Temperatur rata-rata harian bervariasi dari 23 - 240C Kelembaban relatif bervariasi dari 76,8 - 85% Jarak dari provinsi Sulawesi Selatan/Makassar + 300 km. Lama penyinaran bervariasi antara 5,2 s/d 10,5 jam/hari Radiasi berkisar antara 304 kalori/cm/hari Kecepatan angin bervariasi antara 41,9 – 72 km/jam
9
Keadaan Umum Kecamatan Kamanre dan Lokasi Kajian Kecamatan Kamanre merupakan hasil pemekaran dari kecamatan Belopa. Berdasarkan data kecamatan Kamanre Dalam Angka tahun 2003 luas kecamatan mencapai 52,44 km2 dengan jumlah penduduk 10.176 jiwa dengan kepadatan penduduk 194 jiwa/km2. Lahan umumnya datar sampai agak datar (lereng 0 – 3%) dan sebagian berbukit (lereng > 15%), elevasi umumnya 5 – 20 m dpl dan tertinggi (bukit) 300 m dpl. Penggunaan lahan berupa kebun (dominan kakao), sawah, tambak dan pekarangan. Komoditas yang diusahakan yaitu : padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kakao, kelapa, pisang, cengkeh, langsat, durian, rambutan, nangka, kedondong, jambu, tambak dan sedikit ternak adapun sagu berupa vegetasi alami yang dimanfaatkan penduduk untuk diambil sagunya sehingga penyebarannya semakin sedikit. Lokasi kajian desa Kamanre memilki luas wilayah 11,80 km2, terdiri atas 4 dusun, 19 RW terletak pada ketinggian + 100 m dari permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1900 mm per tahun dan relative merata sepanjang tahun. Curah hujan terendah umumnya terjadi pada bulan September – Oktober yaitu 50 – 90 mm per bulan. Tipe iklim menurut Smith dan Ferguson termasuk tipe A (amat basah) dan B(basah). Jarak dari ibu kota kabupaten + 30 km, dari ibu kota kecamatan 11 km. Transportasi yang umum untuk masuk dan keluar desa adalah ojek (sepeda motor). Curah Hujan dan Pola Tanam Berdasarkan data curah hujan 10 tahun (tahun 1995 – 2004) dari Stasiun Kecamatan Belopa (stasiun CH terdekat), rata-rata curah hujan 1995,6 mm/tahun dengan 111 hari hujan. Curah hujan tersebut hampir merata setiap bulan. Curah hujan tertinggi tercatat pada bulan April sebanyak 276 mm, dan terendah pada bulan September 76 mm. Kondisi iklim yang demikian, sangat cocok untuk tanaman kakao, yang secara ekonomi juga sangat menguntungkan. Secara umum petani di Desa Kamanre hanya mengandalkan tanaman kakao dan sedikit tanaman kelapa dan pisang sebagai sumber pendapatan.
10
Keragaan Pertumbuhan Tanaman Kakao Pengaruh tanaman sela terhadap pertumbuhan tanaman kakao dilihat dari tinggi tanaman dan diameter batang, disajikan pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Pertumbuhan tinggi tanaman kakao di lokasi peremajaan yang ditanami tanaman sela Tinggi tanaman kakao (cm) Tanaman sela pada umur (hst) tanaman sela dan kakao 30 60 90 120 Jagung Var. Bisi-2
73,50d
106,50c
124,25 c
145,25b
Jagung Var. Sukmaraga
101,00b
122,00b
135,00b
144,50b
Padi gogo var. St. Patenggang
96,00c
108,00c
119,00d
145,50b
Padi gogo var. St. Bagendit
95,00c
109,00c
118,00d
146,25b
144,00a
149,00a
152,00a
157,75a
94,75c
103,00c
119,00d
142,00b
3,90
3,10
2,90
4,90
Kacang hijau Kakao monokultur KK(%)
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan Tabel 3. Pertumbuhan diameter batang kakao di lokasi peremajaan yang ditanami tanaman sela Tanaman sela dan Kakao
Diameter batang kakao (cm) pada umur (hst) tanaman Sela 60 90 120
Jagung var. Bisi-2
1,45c
1,93c
2,38b
Jagung var. Sukmaraga
1,76b
2,28b
2,30b
Padi gogo var. St. Patenggang
1,83ab
2,00c
2,20c
Padi gogo var. St. Bagendit
1,82ab
1,91c
2,25c
Kacang hijau
1,96a
2,63a
2,75a
Kakao monokultur
1,85ab
2,00c
2,25c
4,60
3,40
3,20
KK(%)
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan Dari angka-angka pada Tabel 2 dan 3, kelihatan bahwa perkembangan tinggi dan diameter batang tanaman kakao secara statistik terdapat perbedaan nyata mulai umur 30 hari setelah tanam (hst) hingga umur 120 hst tanaman sela untuk semua jenis. Tinggi tanaman kakao yang ditanami tanaman sela umur 30 hst bervariasi sekitar 73,50 11
– 144,0 cm dan pada umur 120 hst tinggi tanaman kakao mencapai 142,0 – 157,75 cm. Sedangkan, pertumbuhan diameter batang kakao juga bervariasi sekitar 1,45 – 1,96 cm sejak tanaman sela berumur 60 hst dan 2,2 – 2,75 cm pada umur 120 hst. Namun demikian, pada dasarnya perbedaan tersebut diduga terjadi bukan karena perbedaan pengaruh perlakuan jenis tanaman sela yang diintroduksikan. Pada pengamatan secara visual dan terukur di lapangan sebelum ditanami tanaman sela, individu tanaman kakao umur ± 1 tahun sudah memperlihatkan pertumbuhan yang relatif bervariasi. Karena itu, keragaman tumbuh antar individu tanaman kakao tetap tampak mulai umur 30 hst hingga 120 hst tanpa pengaruh langsung dari tanaman sela. Demikian juga tampak pada kakao tanpa tanaman sela (monokultur). Hal penting yang dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3, yakni adanya pertambahan tinggi dan diameter batang tanaman kakao tumbuh sangat aktif selama ± 3 bulan bersama tanaman sela semua jenis. Hingga umur 120 hst, kakao yang ditanami kacang hijau menunjukkan pertumbuhan tanaman kakao mencapai
157,75 cm dan diameter batang 2,75 cm
tertinggi dibandingkan pola tanm sela lainnya. Keragaan pertumbuhan dalam hal pembentukan cabang pada tanaman kakao disajikan pada Tabel 4. Pada Tabel 4 menggambarkan bahwa introduksi tanaman sela tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah cabang yang terbentuk pada tanaman kakao. Jumlah cabang kakao baru sekitar 2,08 – 2,38 pada saat tanaman sela umur 30 hst dan meningkat 2,80 – 3,15 pada umur 120 hst. Tabel 4. Pertumbuhan jumlah cabang kakao di lokasi peremajaan yang ditanami tanaman sela Jumlah cabang kakao pada umur (hst) tanaman sela
Tanaman sela dan kakao 30 2,25a 2,38a 2,10a
60 2,50a 2,51a 2,30a
90 2,75a 2,74a 2,50a
120 2,98b 2,80ab 3,15a
Jagung var. Bisi-2 Jagung var. Sukmaraga Padi gogo Var. St. Patenggang Padi gogo var. St. 2,40a 2,65a 3,10a 2,30a Bagendit Kacang hijau 2,46a 2,64a 2,93ab 2,25a Kakao monokultur 2,2a 2,53a 3,13a 2,08a KK(%) 11,90 8,20 9,00 10,00 Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan
12
Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan di antara pertanaman kakao muda dengan tanaman sela belum mengganggu pertumbuhan kakao.
Kondisi tersebut
terjadi karena perakaran (akar lateral) kakao muda belum begitu melebar sehingga adanya pengolahan tanah seperti pembumbunan pada tanaman sela tidak merusak akar tanaman kakao. Keragaan Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sela Jagung Pada pertanaman kakao yang diremajakan,
tanaman sela jagung yang
dicobakan terdiri atas jagung hibrida varietas Bisi- 2 dan jagung bersari bebas varietas Sukmaraga. Keragaan pertumbuhan tinggi tanaman , komponen hasil meliputi panjang tongkol, jumlah biji per tongkol dan bobot 1000 biji serta hasil biji kering jagung, disajikan pada Tabel 5, Tabel
5.
Pertumbuhan dan hasil tanaman sela peremajaan tanaman perkebunan kakao
Tanaman sela jagung
Tinggi tanaman (cm)
jagung
di lokasi
Panjang tongkol (cm)
Jumlah biji/tong kol
Bobot 1000 biji (g)
Hasil biji kering (kg/ha)
Var. Bisi-2
245,87a
17.10 a
438,03a
372,67a
3601,7a
Var. Sukmaraga
242,34a
16.19a
425,11a
314,11a
3273,60a
KK (%)
6,57
9,28
7,80
14,06
16,11
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan Berdasarkan analisis statistik terlihat bahwa data komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil tanaman sela jagung tidak berbeda nyata antara kedua varietas yang dicobakan. Secara visual penampakan tinggi tanaman (245,87 cm) jagung Bisi-2 lebih tinggi dari jagung Sukmaraga (242,34 cm). Selain itu Bisi-2 memiliki panjang tongkol 17,10 cm, jumlah biji/tongkol 458,03 dan bobot 1000 biji 372,67 g.
Sedangkan hasil
biji kering jagung Bisi-2 mencapai 3,6 t/ha relatif lebih tinggi dari Sukmaraga 3,3 t/ha. Hasil jagung kedua varietas tersebut jauh dari potensi hasilnya yang dapat mencapai 8,5 dan > 10 t/ha masing-masing untuk Sukmaraga dan Bisi-2 bila ditanam secara monokultur.
13
Rendahnya hasil yang dicapai diduga terkait dengan berkurangnya kerapatan populasi persatuan luas tanaman jagung sebagai tanaman sela siantara kakao yang diremajakan. Menurut Harjadi (1979), untuk mendapatkan hasil yang tinggi harus ada perimbangan antar fase vegetatif dengan fase reprodutif,
Perimbangan tersebut
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, panjang hari, serta kepadatan populasi (Arnon, 1972). Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa kedua varietas jagung, Bisi-2 dan atau Sukmaraga dapat tumbuh serta memberikan hasil relatif sama dalam pertanaman kakao yang diremajakan. Padi Gogo Padi gogo varietas Situ Bagendit dan varietas Situ Patenggang sesuai deskripsinya merupakan jenis padi gogo yang memiliki beberapa karakter tumbuh berbeda, namun keduanya termasuk golongan cere, bentuk tanaman tegak, dan umur tanaman sama yakni 110 – 120 hari serta sesuai ditanam pada lahan kering, musim hujan.
Padi gogo kedua varietas tersebut ditanam sebagai tanaman sela pada
pertanaman kakao yang diremajakan.
Data dan hasil pengamatan terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman padi gogo disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Pertumbuhan dan hasil tanaman peremajaan tanaman perkebunan Tanaman sela Padi Gogo Varietas St.Bagendit Varietas St. Patenggang KK (%)
sela
padi
gogo
di lokasi
Jumlah anakan produktif
Gabah berisi/malai (%)
Gabah hampa/malai (%)
Bobot 1000 biji (g)
Hasil G KP (kg/ha)
b
4,12b
61,77a
38,28a
39,44a
634,70a
105,62
a
5,11
a
65,05
a
34,95
b
36,73
797,40
6,14
10,09
16,55
11,65
2,14
6,07
Tinggi tanaman (cm) 100,82
a
a
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Duncan Berdasarkan hasil analisis lanjutan terhadap tinggi tanaman dari dua varietas padi gogo yang ditanam sebagai tanaman sela menunjukkan bahwa varietas Situ Patenggang lebih tinggi dibandingkan Situ Bagendit. Perbedaan tinggi tanaman antar varitas tersebut lebih banyak ditentukan oleh perbedaan faktor genetis masing-masing, mengingat pengaruh lingkungan relatif sama.
14
Pada Tabel 6 tampak pula jumlah anakan produktif lebih banyak dihasilkan varietas Situ Patenggang
dibandingkan Situ Bagendit.
Anakan produktif berkaitan dengan
jumlah malai yang dihasilkan dan sekaligus berpengaruh terhadap produksi gabah tiap rumpun. Hal lainnya yang turut menentukan tingkat produktivitas padi gogo adalah komponen hasil seperti, jumlah gabah berisi permalai dan bobot 1000 biji ternyata tidak berbeda antar varietas. Namun demikian prosentase gabah hampa per malai nyata lebih tinggi 38,28% pada varietas Situ Bagendit. Prosentase gabah berisi, di samping dipengaruhi oleh sifat genetis varietas juga sangat ditentukan oleh tingkat serangan hama, seperti penggerek batang dan walang sangit. Dalam kajian ini kendala utama yang dihadapi adalah serangan hama penggerek batang padi dan walang sangit, meskipun pada areal kajian belum pernah ditanami padi dan jauh dari sawah.
Dari kenampakan larva dan pupa nya, jenis
penggerek batang yang menyerang adalah Chilo sp yang hanya mempunyai tanaman inang padi sawah (Soejitno, 1991). Gejala tanaman yang diserang adalah mati pucuk (gejala sundep) dan malai kering berwarna putih sebelum bulir-bulirnya berisi (gejala beluk). Larva hama ini menggerek batang dari bagian atas ke arah pangkal batang. Kehilangan hasil akibat hama penggerek batang mempunyai hubungan linier dengan gejala beluk, yaitu tiap 1% beluk akan menurunkan hasil 2 – 3% (Soejitno, 1991). Selanjutnya hama walang sangit merupakan hama padi yang penting pada tanaman yang telah berbunga (Suharto dan Siwi, 1991). Serangan sebelum periode matang susu mengakibatkan gabah hampa.
Tanaman inang hama walang sangit
antara lain Panicum crusgalli L. Scop dan Paspelum dilatanum Poir. Selain walang sangit masih dapat hidup pada Echinoela crusgalli dan E. colonum. Walang sangit lebih mudah dikendalikan dengan insektisisa dari pada penggerek batang. Berdasarkan banyaknya pucuk yang mati serta bulir yang hampa akibat serangan penggerek batang dan walang sangit, kehilangan hasil dalam kegiatan ini diperkirakan sekitar 50% karena penggerek batang tidak dapat dikendalikan secara baik. Hasil gabah kering panen padi (GKP) gogo varietas Situ Bagendit dan varietas Situ Patenggang tidak berbeda nyata, masing-masing hanya mencapai 643,70 dan 797,40 kg/ha (Tabel 6).
15
Kacang Hijau Keragaan pertumbuhan tanaman kacang hijau, disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Tampak bahwa kacang hijau yang tumbuh pada berbagai lingkungan pola tanam belum banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah polong per tanaman. 11
50
Tinggi tanaman (cm)
49
10,70
Keterangan :
48 47
A = Kacang hijau/kakao muda
46 45
44,67
45,00
44
B = Kacang hijau/tan. lain C = Kacang hijau monokultur
43 42
A
B
C
Gbr 1. Tinggi tanaman kacang hijau pada berbagai pola tanam
Jumlah polong/tanaman
49,13 10.5 10
9,46 9,30
9.5 9
8.5
A
B
C
Gbr 2. Jumlah polong per tanaman pada berbagai pola tanam
Pada pola monokultur (C), rata-rata tinggi tanaman kacang hijau mencapai 45 cm, sedangkan bila kacang hijau sebagai tanaman sela dalam pertanaman kakao muda (A) atau jagung/tanaman lain (B) masing-masing sekitar 44,67 dan 49,13 cm (Gbr. 1). Demikian pula dalam hal pembentukan polong, untuk monokultur kacang hijau jumlah polong rata-rata 10,7 pertanaman, sedangkan pola tanam diantara tanaman kakao muda atau jagung/tanaman lain berturut-turut 9,45 dan 9,30 per tanaman (Gbr. 2).
Kondisi pertumbuhan tersebut menggambarkan bahwa
kacang
hijau sebagai tanaman sela yang ditanam secara teratur dan seimbang diantara tanaman pokok, pertumbuhannya tidak berbeda dengan kacang hijau monokultur. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan kacang hijau dan atau jagung sebagai tanaman sela cukup sesuai selama kakao yang diremajakan belum berproduksi atau kanopi tanaman kakao saling menutupi, mungkin sampai tanaman berumur ± 4 tahun. Menurut Beets dan William (1984), penggunaan jarak tanam teratur dimaksudkan untuk menghindari kompetisi antar tanaman terutama dalam hal penggunaan unsur hara, air, dan cahaya matahari. Dalam kajian ini, kacang hijau ditanam dengan jarak 40 cm X 15 cm dan ditempatkan pada jarak 100 cm dari barisan tanaman kakao. Rata-rata hasil biji kacang hijau yang dicapai pada berbagai pola tanam (sebagai pembanding), disajikan pada Gambar 3. Terlihat bahwa kacang hijau yang ditanam secara monokultur mampu memberikan hasil rata-rata 1 500 kg/ha (Sutarman dan 16
Hakim, 1985), kemudian kacang hijau di antara setiap barisan jagung mencapai sekitar 1 330 kg/ha (Rajit, 1993). Sedangkan, hasil kacang hijau sebagai sebagai tanaman sela diantara pertanaman kakao muda hanya sebanyak 678,63 kg/ha.
Hasil ini
menunjukkan terjadi penurunan sekitar 45 % dari pola monokultur. Kurangnya hasil tanaman sela dalam pola bersama kakao muda tersebut diduga berkaitan dengan rendahnya tingkat kerapatan populasi tanaman kacang hijau. Pada kajian ini populasi kacang hijau yang digunakan kurang dari 333 333 tanaman per hektar (jarak tanam 40 cm X 15 cm, masing-masing dua tanaman per lobang tugal). Di antara setiap barisan tanaman kakao muda hanya terdapat lima baris kacang hijau.
Sedangkan hasil
penelitian Sutarman dan Hakim (1985) menyebutkan populasi dari pertanaman monokultur bisa mencapai 666 666 tanaman per hektar
atau jarak tanam ganda
50 cm X (20 cm X 15 cm).
1600
1500 1380
1400
Hasil (kg/ha)
1200 1000 800
Keterangan :
678,63 A = Kacang hijau/kakao muda
600
B = Kacang hijau/tan. lain
400
C = Kacang hijau monokultur
200 0
A
B
C
Gambar 3. Hasil tanman kacang hijau pada berbagai pola tanam
17
Analisis Pendapatan Tanaman Sela Analisis dilakukan dengan cara membandingkan perolehan pendapatan dari tiap jenis tanaman sela yang diintroduksikan. Pendapatan merupakan selisih antara total penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan. Penerimaan diperoleh dari nilai harga jual sejumlah hasil masing-masing tanaman sela. Sedangkan, komponen biaya meliputi harga benih, pupuk, pestisida/herbisida, tenaga kerja dan lain-lain. Besaran nilai hasil, biaya produksi, nilai penerimaan dan pendapatan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Analisis pendapatan tanaman sela di lokasi peremajaan tanaman perkebunan kakao Tanaman Sela No
Uraian
1
Hasil (kg/ha)
2
Biaya produksi (Rp/ha) :
Jagung Bisi-2 Sukmaraga
Padi gogo Situ Situ Pateng Bagendit gang
Kacang hijau
3.601,70
3.273,60
643,70
797,40
678,63
Benih
500.000
300.000
300.000
300.000
2.00.000
Pupuk
935.000
870.000
480.000
480.000
350.000
Pestisida/herbisida
100.000
100.000
100.000
100.000
50.000
Tenaga kerja
1.000.000
1.000.000
1.060.000
1.060.000
1.080.000
Lain-lain
100.000
100.000
100.000
100.000
100.000
Jumlah Biaya
2.635.000
2.370.000
2.040.000
2.040.000
1.780.000
3
Penerimaan (Rp/ha)
4.322.040
3.928.320
1.416.140
1.754.280
4.071.780
4
Pendapatan (Rp/ha)
1.687.040
1.558.320
- 623.860
-285.720
2.291.780
Catatan : -
Harga jual : Jagung Padi (GKP) Kacang Hijau Upah tenaga kerja
= Rp. 1.200/kg = Rp. 2.200/kg = Rp. 6.000/kg = Rp.20.000/hari
Penggunaan berbagai jenis tanaman sela
pada perkebunan kakao yang
diremajakan memeberikan tingkat pendapatan yang bervariasi.
Secara umum,
produktivitas setiap jenis tanaman sela mengalami penurunan persatuan luas, dibandingkan bila ditanam monokultur. Karena itu, besaran nilai yang dihasilkan dapat mempengaruhi pendapatan. Pendapatan tertinggi yang dihasilkan dari tanaman sela adalah kacang hijau disusul jagung. Secara parsial, pendapatan yang diperoleh dari tanaman kacang hijau mencapai Rp. 2.291.780/ha. Besaran nilai ini dapat dianggap sebagai pendapatan pengganti dari tanaman kakao yang diremajakan. Dengan asumsi 18
produktivitas kakao saat ini ≤ 1,0 t/ha dan harga tertinggi sebesar Rp. 15.000/kg, tingkat pendapatan kakao kurang dari Rp. 15.000.000./ha.
Berdasarkan asumsi di
atas, maka pendapatan pengganti yang dihasilkan kacang hijau mencapai >10 % dari pendapatan kakao. Pendapatan yang diperoleh dari tanaman jagung varietas Bisi-2 dan Sukmaraga masing-masing sebesar Rp. 1.687.040. dan Rp. 1.558.320. per hektar.
Nilai
pendapatan pengganti tersebut juga mencapai ± 10 % dari pendapatan kakao. Dari tanaman padi gogo, produktivitas tanaman cukup rendah akibat adanya serangan hama penggerek batang dan walang sangit. Karena nilai penerimaan yang dihasilkan lebih kecil dari biaya produksi mengakibatkan pendapatan tanaman sela padi gogo bernilai negatif.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pemanfaatan lahan dengan tanaman sela di antara kakao yang diremajakan umur ± 1 tahun tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao. 2. Pertumbuhan dan hasil tanaman sela tidak berbeda antar varietas.
Namun
demikian, tanaman sela mengalami penurunan hasil akibat rendahnya tingkat kerapatan populasi tanaman 3. Dari berbagai jenis tanaman sela, kacang hijau (var. Gelatik) dan jagung var. Bisi-2 dan var. Sukmaraga sesuai ditanam bersama kakao selalam belum berproduksi atau kanopi tanaman kakao saling menutupi. 4. Pendapatan dari tanaman sela tertinggi diperoleh dari tanaman kacang hijau var. Gelatik mencapai Rp. 2.291.780/ha, sedangkan dari jagung var. Bisi-2 dan var. Sukmaraga masing-masing Rp. 1.687.040 dan Rp. 1.558.320 per hektar.
Nilai
pendapatan pengganti ini ± 10 % dari pendapatan kakao. Saran 1. Guna meningkatkan pendapatan pengganti dari tanaman sela, penggunaan pola jagung + kacang hijau di antara kakao yang diremajakan dapat dikaji lebih lanjut. 2. Agar kakao tumbuh dan berkembang normal penggunaan tanaman penaung sementara seperti pisang (jarak tanam 6 m x 6 m) setelah kakao berumur 9 – 12 bulan dan selama tanaman kakao belum menghasilkan sangat dianjurkan. 19
DAFTAR PUSTAKA Arnon, 1972. Crop Production in Dry Region. Volume 11. Systematic Treatment of Princippal Crops. Leonard Hill, London. P. 261-344 Beets, C. dan William. 1984. Multiplecropping and Tropical Farming System. Gower Publ. Co. Ltd, Engiand. BPS. 1998. Indonesia dalam Angka 1998. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Dinas Pertanian Sulsel, 2002. Laporan Tahunan 2001. Dinas Pertanian Propinsi Sulsel. Harjadi,S.S. 1979. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia, Jakarta. p. 105-109 Herman, 2000. Peranan dan Prospek Pengembangan Komoditas Kakao dalam Perekonomian Regional Sulsel. Warta Puslit Koka. 16 (1) 21-23. Hutagalung, L.,M. Thamrin, Armiati dan M. A. Mustaha. 1995. Pengaruh Mulsa dan Rotasi Tomat dengan Sayuran lain pada Lahan di antara Kombinasi Mangga, Pisang dan Sirsak. J. Hort. 5 (3) : 57-69. Manwan, I. 2002. Cocoa pod Borer in South Sulawesi. The Status Control Measure and its Constrain. Paper Presented at the Third Intern. Cocoa Conf. And Cocoa Dinner Makassar, October 24-25, 2002. Newman, S. M. 1986. A pear and vegetable interculture system : Land Equivalent Ratio, Light, Use Eficiency and Productivity. Expl. Agric. 22 (4) :383-392. Rajit, B.S., 1993. Uji Paket Teknologi Budidaya Kcang Hijau Padi Daerah Potensial Untuk Pengembangan. Buku Teknologi Untuk Menunjang Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan Bogor, Balittan Malang. Ramlan dan Nurjanani. 1998. Pemanfaatan Llahan Di antara Tanaman Sirsak Muda dan Tanaman Cabai, Kacang Panjang, Tomat, Kubis dan Bawang Merah. Dalam: Pros Sem. Holtikultura. IPPTP. Hlm. 229-239. Silalahi. F.H., R. Sitepu, E. Bangun, dan E. Sembiring. 1999. Pengkajian Teknologi Tumpangsari Tanaman Hortikultura dan Jeruk Siem Berastagi. J. Pengkajian dan Peng. Tek. Pert. 2 (1) : 23-28 Soenardi dan M. Romli. 1994. Pola Tanam Wijen dan Palawija untuk Peningkatan Penerimaan Petani. Pembr. Littri 20 (1-2) : 1-5. Soejitno, J., 1991. 1991. Bionomi dan Pengendalian Hama Penggerek Padi, p.713 – 736. In Edi Soenarjo, D.S. Damardjati dan M. Syam (Eds.) Padi Buku 3. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan Bogor
20
Suharto, H dan S.S. Siwi, 1991. Walang dan Hama Minor Lain, p. 737 – 750. In Edi Soenarjo, D.S. Damardjati dan M. Syam (Eds) Padi Buku 3. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan Bogor Sumitro, A. 1991. Evaluasi Lingkungan Pemukiman Transmigrasi Pola Hutan Tanaman Industri (Studi kasus di proyek hutan tanaman industri). Bulletin Ilmiah Instiper 2 (2) : 1-15. Tahir, M. dan Hamadi. 1985. Tumpang hilir. CV. Yasaguna, Jakarta. Thong, K.C. and W.L. Ng, 19778. Growth and Nutrients Composition of Monocrop Cocoa Plants on Inland Malaysian Soils. 1978 International Conference on Cocoa and Coconut, Kualalumpur Valmayor, R.V., T.C. Tabora, J.R. Ramirez, W.A. Herrera and A.B. Asencion, 1974. The Natural Distribution of The Root System of Citrus, Lanzones, and Cocoa. The Philippine Agriculture, 58, 244 – 262 Yunuastuti, S., Soegito, dan E. Ismiati. 1986. Usaha penggunaan tanaman sela pada anggur. Hortikultura 20 : 670-672.
21
Lampiran 1 : Deskripsi Varietas Jagung Sukmaraga Tanggal dilepas Asal
Umur Batang Warna batang Tinggi tanaman Daun Warna Warna malai Warna rambut Keragaan tanaman Perakaran Kerebahan Malai Tongkol Tinggi letak tongkol Kelobot Tipe biji Warna biji Baris biji Jumlah baris/tongkol Bobot 1000 biji Endosperm Rata-rata hasil (k.a. 15 %) Potensi hasil (k.a. 15%) Ketahanan penyakit Daerah sebaran
: 14 Februari 2003 : Bahan introduksi AMATI (Asian Mildew Acid Tolerans Late) asal CYMMYT Tahiland dengan introgressi bahan local yang diperbaiki sifat ketahanan terhadap penyakit bulai. Populasi awalnya diseleksi pada tanah kering masam Sitiung Sumbar, dan tanah sulfat masam di Brambai Kalsel. Hasil rekombinasi diuji pada berbagai lingkungan asam dan normal : 50% keluar rambut : 58 hari Masak fisiologis : 105 – 110 hari : Tegap : Hijau : 195 cm : Panjang dan sedang : Hjuau muda : Hijau muda : Coklat keunguan : Agak seragam : Dalam, kuat dan baik : Agak tahan : Semi kompak : Panjang dan silendris : 195 cm (90 – 100 cm) : Menutup baik (85%) : Semi mutiara, modified hard endosoem : Kuning : Lurus dan rapat : 12 – 16 baris : 270 g Protein (10,38%); Lisin (0,47%); dan Triptofan (0,093%) : 6,0 t/ha pipilan kering : 8.50 t/ha pipilan kering : Tahan penyakit Bulai, penyakit bercak daun (H.mayalis) dan penyakit karat daun (Puccina sp) : Dataran rendah sampai 800 m dpl adaptif tanah masam
22
Lampiran 2 : Deskripsi Varietas Situ Bagendit Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna daun telinga Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar adilosa Bobot 1000 biji Hasil
: : : : : : : : : : :
Anjuran tanaman
:
Pemulia
:
Tim Peneliti Teknisi Dilepas tahun
: :
: : : : : : : : : : :
S4325d-1-2-3Batur Cere 110 – 120 hari Tegak 99 – 105 cm 12 – 13 batang Hijau Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak Tegak Panjang ramping Kuning bersih Sedang Sedang Pulen 22% 27 – 28 gram 3 – 5 t/ha gabah kering bersih pada lahan kering, 5 – 6 t/ha gabah kering bersih pada lahan sawah Cocok ditanam di lahan kering dan mampu juga ditanam di lahan sawah Z.A. Simatupang dan A.A. Darajat, Ismail BP, dan N.Yunani Mukelar Amir, Atito D., dan Y. Samaullah Meru, Ulan, Karmila dan Sukarno 2002
23
Lampiran 3 : Deskripsi Varietas Situ Patenggang Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna daun telinga Warna lidah daun Muka daun Warna daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar adilosa Bobot 1000 biji Hasil Ketahanan terhadap penyakit Daerah kesesuaian tanam
: : : : : : : : : : : :
Sifat istimewa
:
Instansi pengusul Pemulia Tim Peneliti Teknisi Dilepas tahun
: :
: : : : : : : : : : :
: :
BP1153c9-12 Kartuna/TB47H-MR-10 Cere 110 – 120 hari Tegak 100 – 110 cm 10 – 11 batang Ungu tua Hijau tua Kuning kotor Ungu Kasar Hijau, tepi daun tua berkilau ungu Tegak Menyudut 35 – 50 derajat terhadap batang Agak gemuk Kuning kotor Sedang Tahan rebah Sedang 23,93% 26,5 – 27,5 gram (ka 14%) 3,5 – 5,6 t/ha gabah kering panen Tahan blast diferensial Lahan kering musim hujan, tumpangsari, sawah pada musim kemarau, llahan tipe tanah alluvial dan padsolik ketingggian tidak lebih dari 300 m dpl Aromatik lebih wangi dari pandan wangi, respon terhadap pemupukan BALITPA Simanulang, dan A.A. Darajat Atito DS, Husin Toha, Irsal L, dan Mukelar A. U.Sujanang, Karmila, Meru dan Sukarno 2002
24
Lampiran 4 : Deskripsi Varietas Gelatik Dilepas tahun Nomor induk Asal Hasil rata-rata Warna hipokotil Warna epipokotil Warna batang Warna daun Warna biji Warna bunga Warna polong tua Umur berbunga Umur polong masak Tinggi tanaman Bobot 1000 biji Kadar protein Kadar lemak Ketahanan terhadap penyakit Sifat-sifat lain Benih penjenis Pemulia
: 1985 : VC78146 : Hasil seleksi varitas introduksi dari AVRDC (Taiwan) : 1,5 t/ha : Hijau : Hijau : Hijau : Hijau : Hijau kusam : Kuning : Hitam : 35 hari : 58 ahri : 45 cm : ± 60 gr : 20% : 1,7% : - Tahan penyakit daun ( Cercospora sp.) - Cukup tahan Risoctonia sp. : - Polong tidak mudah pecah - Polong masak serempak : Dipertahankan di Balittan Bogor : Tateng Sularman dan Lukman Hakim : : : : : :
25