KAJIAN SEMIOTIK DALAM NASKAH TEATER MAKYONG MUDA YAYASAN KONSERVATORI SENI
E- JOURNAL
OLEH
MUHARDI NIM 110388201075
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2015 vi
vii
viii
ABSTRAK Muhardi. 2015. Kajian Semiotik dalam Naskah Teater Makyong Muda Yayasan Konservatori Seni. Skripsi. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Maritim Raja Ali Haji. Pembimbing 1: Riau Wati, M.Hum., Pembimbing 2: Tety Kurmalasari, M.Sc Latar belakang dari penelitian ini adalah dikarenakan Teater Makyong yang hampir punah di usianya yang lebih dari seabad tersebut dapat lebih diketahui dan diminati sehingga tidak terkikis era globalisasi dan tetap mempertahankan khasanah bahasa dan kesusastraan Melayu. Naskah teater Makyong Muda Yayasan Konservatori Seni dapat di teliti serta dipahami makna tanda, lambang, dan isyarat melalui kajian semiotik. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan tinjauan tulisan naskah, secara tulisan terdapat berbagai lambang dan simbol dalam naskah teater yang dapat dimaknai. Dalam teori semiotik keseluruhan tanda, lambang, dan simbol tesebut terdapat dalam naskah Teater Makyong. Adapun tanda, lambang, dan simbol terbagi menjadi tiga yaitu ikon, indeks, dan simbol. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam naskah teater makyong yayasan konservatori seni. objek penelitian ini adalah naskah yang mengandung unsur semiotik. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pustaka. dalam pengkajian ini penulis menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data dengan tujuan memperoleh temuan-temuan unsur semiotik yang ada dalam naskah teater makyong yang mengandung unsur semiotik. Hasil penelitian ini adalah ditemukannya ikon, indeks, dan simbol dalam naskah teater makyong muda yayasan konservatori seni. Penggunaan kata dalam naskah teater makyong masih menggunakan bahasa asli daerah melayu kepulauan riau. Metode yang digunakan terhadap “Kajian Semiotik dalam Naskah Teater Makyong Yayasan Konservatori Seni,” adalah metode kualitatif deskriptif. Kata kunci : Semiotik, Teater Makyong
ix
ABSTRACT Muhardi. 2015. Kajian Semiotik dalam Naskah Teater Makyong Muda Yayasan Konservatori Seni. Skripsi. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Maritim Raja Ali Haji. Pembimbing 1: Riau Wati, M.Hum., Pembimbing 2: Tety Kurmalasari, M.Sc The background of this research is because of Makyong Theatre is almost extinct at the age of more than a century could be more known and desirable so it does not fading in the era of globalization and keep retaining a valuable treasures of Malay language and literature.The theater script of Young Makyong Arts Conservatory Foundation can be researched and understood the meaning of insignia, symbols, and signaling through semiotic studies. This can be evidenced by reviews written script, there are different insignia and symbols in a theatrical script that can be interpreted. In the semiotic theory whole insignia, symbols, and symbols contained in text of Makyong Theatre. The insignia, symbols, and symbols are divided into three icons, indices, and symbols. The purpose of this study is to describe the icons, indices, and symbols contained in the text Makyong theater arts conservatory foundations. This research object is a script that contains elements of semiotics. Data collection techniques in this study using literature techniques. in this study the authors used written sources to obtain data with the aim of obtaining the findings of semiotic elements that exist in the script that contains elements Makyong theater semiotics. Results of this research has discovered of icons, indices, and symbols in the script Makyong young theater arts conservatory foundations. The use of the word in the text Makyong theater is still use the original language Malay area Riau Archipelago. The method used toward "Semiotics Studies in Script Makyong Theatre Arts Conservatory Foundation," is the descriptive qualitative method. Keyword : semiotic, Theatre Makyong
x
1. Pendahuluan Tradisi teater sudah ada sejak dulu dalam masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan sudah adanya teater tradisional di seluruh wilayah tanah air. Fungsi teater pada saat itu adalah memanggil kekuatan gaib, menjemput roh pelindung untuk hadir di tempat pertunjukan, memanggil roh baik untuk mengusir roh jahat, peringatan nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan/kepahlawanan, dan pelengkap upacara. Teater tradisional atau teater rakyat lahir di tengah-tengah rakyat dan masih menunjukkan kaitan dengan upacara adat dan keagamaan. Artinya, pertunjukan hanya dilaksanakan dalam kaitan dengan upacara tertentu, seperti khitanan, perkawinan, selamatan, dan sebagainya. Tempat pertunjukan dapat dimana saja; halaman rumah, kebun, balai desa, tanah lapang dan seterusnya. Contoh-contoh teater rakyat yaitu: Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat, Randai dan Bakaba di Sumatera Barat, Mamanda dan Bapandung di Kalimantan Selatan, Topeng Prembon, dan Cepung di Bali, Ubrug, Banjet, Longser, Topeng Cirebon, Tarling, dan Ketuk Tilu di Jawa Barat, Ketoprak, Srandul, Jemblung, Gatoloco di Jawa Tengah, Kentrung, Ludruk, Ketoprak, Topeng Dalang, Reyog, dan Jemblung di Jawa Timur, Cekepung di Lombok, Dermuluk di Sumatera Selatan dan Sinlirik di Sulawesi Selatan, Lenong, Blantek, dan Topeng Betawi di Jakarta. Faktor yang menyebabkan mengapa teater tradisional terbatas pada ruang lingkup budaya yang mendukungnya antara lain adalah faktor bahasa. Jika wayang kulit dipertontonkan pada masyarakat yang tidak mengerti bahasa dan kebudayaan Jawa, maka wayang kulit bukanlah tontonan yang menarik. Jika masyarakat Kalimantan atau masyarakat aceh tidak menyenangi wayang kulit tentulah ini termasuk pada batas-batas kewajaran. Demikian juga sebaliknya, jika pada masyarakat sunda disuguhkan pertunjukan Makyong, sedangkan mereka tidak mengerti bahasa Melayu, maka Makyong menjadi tontonan yang amat tidak menarik. Akhirnya, seni pertunjukan daerah tersebut memang terbatas ruang lingkupnya pada masyarakat pendukungnya saja. Dari hal tersebut menyebabkan teater tradisional xi
tumbuh dengan lamban, namun eksistensinya tetap ada. Dalam masyarakat Melayu Kepulauan Riau, banyak terdapat jenis-jenis teater tradisional antara lain Mendu dan Makyong. Makyong merupakan seni teater tradisional masyarakat melayu yang sampai sekarang masih digemari dan sering dipertunjukan sebagai dramatari dalam forum lokal maupun internasional. Seni pertunjukan makyong berasal dari tiruan permainan yang dilakonkan oleh harimau jadi-jadian begitulah menurut kisah yang diceritakan Pak Man (Abdul Rahman di Mantang Arang, Kabupaten Bintan Kepulauan Riau pada 1972).
2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut (Malik, 2010:3), metode deskriptif adalah pengkajian ilmiah yang dilakukan untuk memperoleh informasi tentang status gejala pada saat penelitian itu dilakukan sehingga dapat diperiksa secara sistematis, baik dengan maupun tanpa menguji hipotesis, dan tanpa mengadakan perlakuan terhadap variable-variabel yang diamati. Metode yang digunakan terhadap “Kajian Semiotik dalam Naskah Teater Makyong Yayasan Konservatori Seni,” adalah metode kualitatif deskriptif. Metode penelitian Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Bogdan dan Taylor (dalam Tohirin,2012:2) 3. Pembahasan Dari hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap “Naskah Teater Makyong Muda Yayasan Konservatori Seni”, maka penulis akan menguraikan pembahasan berdasarkan teori semiotik. Semiotik merupakan hubungan antara penanda dan petanda yang diucapkan maupun yang berbentuk naskah.
xii
Teori semiotik terbagi menjadi ikon, indeks, dan simbol (Pradopo, 2009:121). Penggolongan yang berdasarkan pada hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya itu melihat atas pelaksanaan fungsi sebagai tanda. Pada ikon kita dapatkan kesamaan yang tinggi antara yang diajukan sebagai penanda dan yang diterima oleh pembaca sebagai hasil petandanya. Bentuk-bentuk diagram, lukisan, gambar, sketsa, patung, kaligrafi, ukir-ukiran, dan yang tampak sebagai tata wajah (grafika atau tipografi dalam bentuk-bentuk puisi ikonis) merupakan contoh bagi tanda-tanda yang bersifat ikonis. Dalam indeks, kita dapat menghubungkan antara tanda sebagai penanda dan petandanya yang memiliki sifat-sifat: nyata, musabab, dan selalu mengisyaratkan sesuatu. Misalnya, bunyi bell rumah merupakan indeksikal bagi kehadiran tamu; gerak dedaunan pada pohon-pohon merupakan indeksikal adanya angin yang bertiup; asap yang mengepul merupakan indeksikal bagi api yang menyala; dan sebagainya. Pada simbol menampilkan hubungan antara penanda dan petanda dalam sifatnya yang arbitrer. Kepada penafsir dituntut untuk menemukan hubungan penandaan itu secara kreatif dan dinamis. Tanda yang berubah menjadi simbol dengan sendirinya akan dibubuhi sifat-sifat cultural, situasional, dan kondisional. Dari penelitian yang dilakukan penulis, sebagaimana terdapat dalam BAB IV, Penulis menemukan 21 ikon, 17 indeks, dan 2 simbol dalam naskah teater makyong yayasan konservatori seni yang penulis kaji. Adapun pembahasan dari penelitian akan diuraikan seperti dibawah ini. 4. Simpulan dan Saran Bedasarkan dari hasil penelitian penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa dalam naskah teater makyong yayasan konservatori seni memiliki semiotik yang berupa ikon, indeks dan simbol. Adapun ikon dalam naskah teater makyong yayasan konservatori seni adalah ledang balai, minum ae bladikop, teratak, ayam beranak kecik, musang, si babi, negeri sepancungan daun, tepi laot, masjid, ruse puteh, anjeng wakanjeng, panah meru dewe, pondok, ruse, cecak mengkarong, xiii
gerude, kolam, kain pelayang, pokok limau manes, ikan kekek, periok bocor, pekan pesare, dan penjare. Adapun indeks dalam naskah teater makyong yayasan konservatori seni adalah Awang Oi, atapmu beterawang bintang dan lantai mu jongkat jangket, kalau kene mate lua atau dalam, Tanggam menanggam rapat merapat, awang nak merojoi, Awang nak melongso, Awang nak melengse, Macam lembeng kene gadai, sampai jangket uban atas kepala, besenang angin besenang ombak, dageng serebe dageng, tertimpe rambot sehelai pon die mati, Adek hitam loloi sayang, wak nak merejok, terpisahlah nyawe dan badan wak, ketawe mengilai-ngilai, cecak tesepet pintu. Simbol
dalam
naskah
teater
makyong
yayasan
konservatori
seni
yaitu
Amboi..Awang… Awang mate bute, mate merisep, dan rambot wak puteh. Saran Penulis menyarankan kepada pembaca khususnya para pemuda untuk melanjuti penelitian ini agar lebih sempurna serta mengembangkan penelitian ini tidak hanya pada semiotik dalam naskah teater makyong yayasan konservatori seni saja akan tetapi semua jenis subjek dengan objek teater makyong. Peneliti juga menyarankan kepada pihak dari Pemerintah daerah provinsi kepulauan riau agar tetap mempertahankan eksistensi teater tradisional makyong yang hampir punah di usianya yang lebih dari seabad tersebut sehingga dapat lebih diketahui dan diminati sehingga tidak terkikis era globalisasi dan tetap mempertahankan khasanah bahasa dan kesusastraan Melayu.
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. Dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Aminuddin, Semantik. 1988. Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Barat.
xiv
Budi, Aminullah.2013. “Analisis Semiotik Mantra Pengobatan Anak-Anak Desa Pekaka Kecamatan Lingga Kabupaten Lingga”. Tanjungpinang: Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Skripsi Universitas Maritim raja Ali Haji. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta Timur: Pusat Bahasa. Chaer, Abdul. 2004.Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta. Malik, Abdul. 2010. Penelitian Deskriptif untuk Penelitian Bahasa, Pendidikkan dan Budaya. Tanjungpinang : FKIP UMRAH. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2011. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Victori Inti Cipta. Pradopo Rachmat Djoko. 2009. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Rosyidi, Ikhwan. Dkk. 2010. Analisis Teks Sastra. Yogjakatra: Graha Ilmu. Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa. Sisantoro. 2005. Metode penelitian Sastra Analisis Psikologis. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Subroto. 1992. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
xv
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suseno, Tusiran. Dkk. 2006. Butang Emas. Tanjungpinang: Yayasan Pustaka Bunda. Tohirin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif: dalam pendidikan dan bimbingan konseling. Jakarta: Rajawali nPres. Wati, Riau. 2009. Teknik Penulisan dan Tata Tulis Karya Ilmiah. Tanjungpinang: UMRAH press. Ws, Hasanuddin. 1996. Drama karya dalam dua dimensi. Bandung: Angkasa.
xvi