KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
Disusun oleh: Nama Peneliti/Pengkaji I NIP Pangkat / Golongan Jabatan
: : : :
Roberto Akyuwen 197003191995031004 Pembina / IV/a Widyaiswara Madya
Nama Peneliti/Pengkaji II NIP Pangkat / Golongan Jabatan
: : : :
Budi Nugroho 197207181992121001 Penata Tk. I / III/d Widyaiswara Madya
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN JAKARTA 2012
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKRETARIAT BADAN JALAN PURNAWARMAN NOMOR 99, KEBAYORAN BARU, JAKARTA 12110 TELEPON (021) 7394666,7204131; FAKSIMILI (021) 7261775; SITUS www.bppk.depkeu.go.id
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini Nama Peneliti NIP Pangkat / Golongan Jabatan
: : : :
Roberto Akyuwen 197003191995031004 Pembina / IV/a Widyaiswara Madya
Nama Peneliti NIP Pangkat / Golongan Jabatan
: : : :
Budi Nugroho 197207181992121001 Penata Tk. I / III/d Widyaiswara Madya
dengan ini menyatakan bahwa kajian akademis yang saya susun dengan judul:
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA adalah benar-benar hasil karya sendiri dan bukan merupakan plagiat dari kajian akademis orang lain. Hasil Kajian Akademis ini diserahkan kepada Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) untuk digandakan/diperbanyak dan disebarluaskan. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi yang berlaku (dikenakan sanksi disiplin Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku). Demikian pernyataan ini Saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan bilamana diperlukan. Yogyakarta, 14 Desember 2012 Pembuat Pernyataan,
Budi Nugroho NIP 197207181992121001
Roberto Akyuwen NIP 197003191995031004
ii
Kajian Prospektif Fungsi, Tugas, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengaturan dan Pengawasan Jasa Keuangan di Indonesia Abstrak Indonesia telah membentuk otoritas jasa keuangan untuk memperkuat dan menstabilkan sektor keuangan. Penelitian ini bersifat prospektif yang ditujukan untuk mengindentifikasi dan menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang otoritas jasa keuangan dalam mengatur dan mengawasi jasa keuangan di Indonesia. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk merumuskan langkah-langkah antisipatif untuk mewujudkan sistem keuangan Indonesia yang stabil dan tumbuh secara berkelanjutan, serta mampu melindungi kepentingan konsumen. Rancangan penelitian yang digunakan bersifat kualitatif dan eksploratif. Data primer dikumpulkan dari para responden melalui wawancara dan diskusi kelompok terfokus. Para responden adalah pembuat keputusan di bidang perbankan maupun lembaga keuangan bukan bank di Indonesia. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen yang relevan. Berdasarkan analisis dan pembahasan diketahui bahwa ekspektasi industri keuangan dan konsumen terhadap otoritas jasa keuangan sangat besar, meskipun lembaga ini harus melalui masa transisi yang berat. Kinerja otoritas jasa keuangan akan sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam menangani pengaruh faktor internal dan eksternal. Disarankan agar otoritas jasa keuangan memfokuskan kegiatannya pada perlindungan konsumen atau investor dan melakukan edukasi secara masif kepada industri keuangan dan masyarakat. Kata-kata kunci: otoritas jasa keuangan, sektor keuangan, faktor-faktor internal dan eksternal, jasa keuangan, konsumen, investor, perbankan, lembaga keuangan bukan bank.
iii
Kajian Prospektif Fungsi, Tugas, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengaturan dan Pengawasan Jasa Keuangan di Indonesia Abstract Indonesia has established a financial service authority in order to strengthening and stabilizing the financial sector. This research is a prospective study which is aimed to identify and analyze the internal and external factors influencing the implementation of function, task, and obligation of the financial service authority in regulating and controlling the financial services in Indonesia. In addition, this research is also aimed to formulate the anticipative actions required to create a stable and sustainable financial system in Indonesia, and the ability to protect customer interests. The research design used was qualitative and explorative. Primary data was collected from various respondents through interviews and focused group discussion. The respondents were decision makers in the banking and non-bank financial institutions in Indonesia. Meanwhile, secondary data were gathered from the relevant documents. Based on the analysis and discussion, it was found that the financial industry and consumer have had a very high expectation on the performance of the financial service authority although this institution has to passing through a hard transition period. The financial service authority performance will be highly depending on its capability in overcoming various internal and external factors. The financial service authority is suggested to focus its activities on the consumer and investor protection and undertaking massive education to the financial industry and community. Keywords: financial service authority, financial sector, internal and external factors, financial services, consumer, investor, banking, non-bank financial institutions.
iv
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan kajian akademis yang berjudul: “Kajian Prospektif Fungsi, Tugas, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengaturan dan Pengawasan Jasa Keuangan di Indonesia”. Kajian akademis ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan di bidang keuangan negara. Selama penelitian dan penyusunan laporan penelitian dalam kajian akademis ini, penulis tidak luput dari kendala. Kendala tersebut dapat diatasi penulis berkat adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesarbesarnya kepada: 1. Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan; 2. Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan; 3. Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana; 4. Pegawai Bagian Organisasi dan Tata Laksana; 5. Kepala Balai Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Yogyakarta; serta 6. Responden Penelitian. Selain mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang mendukung terselesaikannya tulisan ini, penulis juga meminta maaf atas segala ketidaksempurnaan tulisan ini. Saran dan kritik yang dapat lebih membangun tulisan ini sangat penulis harapkan.
Penulis
v
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………………...... SURAT PERNYATAAN KEASLIAN....................................................... ABSTRAK………………………………………………………................... ABSTRACT………………………………………………………................. KATA PENGANTAR………………………………………………………... DAFTAR ISI………………………………………………………................ DAFTAR TABEL………………………………………………………......... DAFTAR GAMBAR………………………………………………………..... DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….. DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………… BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… A. Latar Belakang……………………………………………………… B. Rumusan Masalah………………………………………………………. C. Ruang Lingkup……………………………………………………….. D. Tujuan……………………………………………………….... E. Manfaat……………………………………………………….. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS……….. A. Tinjauan Pustaka……………………………………………………….. B. Kerangka Teoritis………………………………………………………... BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS………………………………… A. Jenis dan Rancangan Penelitian…………………………... B. Jenis dan Sumber Data…………………………………….. C. Teknik Pengumpulan Data…………………………………. D. Metoda Analisis Data……………………………………….. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN………………………………. A. OJK dan Kerumitan Sistem Keuangan……………………. B. Tantangan OJK……………………………………………… C. Langkah OJK: Belajar Dari Kegagalan……………………. D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Wewenang OJK………………………………. BAB V PENUTUP……………………………………………………….. A. Simpulan……………………………………………………… B. Saran……………………………………………………….... DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP PENULIS
vi
i ii iii iv v vi vii viii ix x 1 1 6 8 9 9 11 11 24 30 30 33 34 38 41 41 47 53 66 85 85 88 91
DAFTAR TABEL 2.1. Kriteria Utama Lembaga Pengawas Sektor Keuangan……….....
20
2.2. Struktur Pengawasan Lembaga Keuangan di Beberapa Negara………...………...………...………...………...………..........
21
2.3. Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan di Berbagai Negara...
22
4.1. Aset Lembaga Keuangan di Indonesia Tahun 2012……….........
51
4.2. Model Pendanaan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan……….
63
vii
DAFTAR GAMBAR 2.1.
Kerangka Teoritis Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia…...
26
4.1.
Susunan Dewan Komisioner OJK………...………...……….........
49
4.2.
Kronologi dan Target Pembentukan OJK………...………...…….
55
viii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Daftar Responden Wawancara .................................................... 94
Lampiran 2
Pertanyaan Wawancara............................................................... 96
Lampiran 3
Daftar Peserta FGD ..................................................................... 97
Lampiran 4
Agenda FGD ................................................................................ 99
Lampiran 5
Pokok-Pokok Pikiran FGD ......................................................... 100
ix
DAFTAR SINGKATAN
APBN API Bapepam-LK BEI BoE BPD BPR DFSA DPK DPR FGD FKSSK FSA FSC FSN FSS Himbara IMF JASINDO LKBB LPEI LPS MAKPI PDB Perbanas PNS Polri SDM
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Arsitektur Perbankan Indonesia Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Bursa Efek Indonesia Bank of England Bank Pembangunan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Dubai Financial Services Authority Dana Pihak Ketiga Dewan Perwakilan Rakyat Focused Group Discussion Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan Financial Service Authority Financial Supervisory Commissions Financial Safety Nets Financial Supervisory Services Himpunan Bank-Bank Milik Negara International Monetary Fund PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero) Lembaga Keuangan Bukan Bank Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia Lembaga Penjamin Simpanan Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia Produk Domestik Bruto Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional Pegawai Negeri Sipil Kepolisian Republik Indonesia Sumber Daya Manusia
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sistem keuangan merupakan elemen yang sangat penting dalam mendukung kinerja perekonomian di suatu negara, termasuk Indonesia. Sistem keuangan yang kuat dan stabil dalam jangka panjang akan menyediakan sumber daya keuangan yang memadai bagi pelaku ekonomi untuk menjalankan aktivitas ekonomi di berbagai bidang dalam bentuk konsumsi dan investasi. Selain itu, sistem keuangan yang dikelola dengan baik akan memberikan kepastian dan menciptakan iklim bisnis yang kondusif, serta mampu memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat terhadap beragam bentuk jasa keuangan. Sebaliknya, kondisi sistem keuangan yang labil dan tidak terkendali sebagai akibat pengelolaan yang kurang cermat dan tidak berhati-hati akan memberikan dampak buruk terhadap perekonomian. Indonesia telah memiliki pengalaman empirik, yaitu tatkala terjadi krisis keuangan pada tahun 1997, yang kemudian menjadi krisis perbankan, dan akhirnya bermuara pada krisis multidimensi. Dampak negatif yang ditimbulkan demikian hebat dan luas, sehingga menimbulkan banyak persoalan yang belum sepenuhnya terselesaikan hingga saat ini, termasuk membebani keuangan negara. Krisis keuangan yang dialami Indonesia merupakan salah satu dari serangkaian krisis keuangan yang terjadi di dunia. Argentina pernah mengalami hal yang sama pada tahun 1980, sedangkan Chili merasakannya pada tahun 1981. Bulgaria dan Jepang juga pernah mengalami krisis keuangan pada tahun 1990, Inggris pada tahun 1992, Venezuela pada tahun 1994, dan Meksiko pada
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
tahun 1995. Selain Indonesia, masih terdapat 5 negara lainnya yang merasakan dampak buruk dari krisis keuangan pada tahun 1997, yaitu Thailand, Korea Selatan, Malaysia, Israel, dan Spanyol. Maknanya, krisis keuangan dapat menimpa berbagai negara dengan karakteristik dan tingkat perekonomian yang berbeda. Sejak tahun 2008, Amerika Serikat dan kemudian negara-negara Eropa kembali mengalami krisis keuangan yang dampaknya masih berkelanjutan hingga saat ini. Penyelesaian krisis keuangan yang menjadi beban fiskal pemerintah merupakan fenomena yang umum dijumpai di berbagai negara. Honohan dan Klingebiel (2003) mengemukakan dengan jelas bahwa kebanyakan negara yang mengalami krisis perbankan sistemik membutuhkan biaya yang mahal untuk memperbaiki
sistem
perbankannya.
Dalam
beberapa
kasus,
anggaran
pemerintah yang dibutuhkan melebihi 50 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hosono, Iwaki, dan Tsuru (2005: 2) memperkiraan biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis perbankan di Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia sekitar 5-7 persen dari PDB, sedangkan untuk Indonesia mencapai 58 persen dari PDB. Peneliti lainnya, yaitu Sanhueza dalam Fuentes dan Ahumada (2003: 11), memperkiraan biaya untuk mengatasi krisis perbankan di Chili mencapai 35 persen dari PDB. Suatu proporsi yang besar dan membuat sumber daya keuangan
tidak
dapat
dimanfaatkan
secara
optimal
untuk
mendorong
pertumbuhan ekonomi dan menyelesaikan persoalan-persoalan pembangunan demi perbaikan kesejahteraan rakyat. Jika dibandingkan dengan kondisi di negara-negara lainnya, biaya mengatasi krisis perbankan di Indonesia yang mencapai 58 persen dari PDB merupakan yang tertinggi di dunia. Krisis keuangan di Argentina yang sering
2
BAB I PENDAHULUAN
disebut sebagai krisis yang berdampak besar memerlukan biaya yang sedikit lebih rendah, yaitu 55 persen dari PDB (Goldstein, 1997). Fakta ini memberikan gambaran mengenai parahnya kondisi krisis yang pernah dialami oleh Indonesia dan sekaligus menunjukkan bahwa sistem keuangan di Indonesia ketika itu masih labil. Berkaca dari pengalaman pahit tersebut, pemerintah bersama-sama dengan Bank Indonesia dan stakeholder keuangan lainnya, seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Kementerian Keuangan, berupaya secara bertahap memperkokoh sendi-sendi sistem keuangan nasional. Para
peneliti
yang
telah
melakukan
studi
di
banyak
negara
merekomendasikan adanya suatu jaring pengaman sistem keuangan atau financial safety net (FSN) yang kelembagaannya dapat bersifat implisit atau eksplisit. Maksud dari kelembagaan implisit adalah FSN diletakkan pada mekanisme sistem keuangan yang telah ada, sedangkan kelembagaan eksplisit adalah dengan membentuk institusi baru. Jaring pengaman yang dimaksud merupakan forum koordinasi di antara otoritas fiskal dan otoritas moneter untuk mengambil langkah-langkah strategis dan taktis yang dibutuhkan guna mengantisipasi terjadinya krisis keuangan. Fokus kegiatan di bawah skema jaring pengaman
sistem
keuangan
adalah
memberdayakan
lembaga-lembaga
keuangan (lender of the last resort) agar dapat menjalankan fungsinya secara efektif dan efisien. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia telah memahami fenomena tersebut, sehingga secara sistematis berupaya memperkuat kelembagaan jaring pengaman sistem keuangan di Indonesia. Pembentukan LPS melalui UndangUndang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan merupakan langkah nyata yang telah ditempuh, meskipun proses
3
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
politik yang dilalui dalam penyusunan undang-undang ini cukup banyak menghabiskan waktu dan tenaga. Hal ini sejalan dengan argumen yang dikemukakan oleh Fuentes dan Ahumada (2003: 11) bahwa keberadaan lembaga penjamin simpanan merupakan bagian dari upaya memperkecil dampak yang merugikan atas terjadinya krisis keuangan dan perbankan di suatu negara. Namun, dana masyarakat yang dijamin untuk diganti oleh LPS apabila terjadi gagal bayar baru sebatas pada dana yang disimpan di perbankan dan belum menjangkau lembaga keuangan bukan bank (LKBB). Padahal, dalam kehidupan masyarakat moderen saat ini, termasuk di Indonesia, pangsa dana masyarakat yang berputar di LKBB secara bertahap semakin besar, seperti jasa asuransi, pasar modal, lembaga pembiayaan, pegadaian, dan lain sebagainya. Setelah terbentuknya LPS, dipandang perlu untuk mengoptimalkan skema pengaturan
dan
pengawasan
terhadap
jasa
keuangan
secara
terpadu,
independen, dan akuntabel. Keterpaduan ditempuh untuk mengatasi berbagai kelemahan yang selama ini timbul sebagai akibat dipisahkannya pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank dan LKBB. Pengaturan dan pengawasan terhadap bank menjadi kewenangan Bank Indonesia selaku otoritas moneter, sedangkan LKBB berada di bawah pengaturan dan pengawasan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), yang merupakan salah satu unit kerja dari Kementerian Keuangan selaku otoritas fiskal. Setelah melalui serangkaian kajian pada tataran konseptual maupun praktis, termasuk mencermati praktik-praktik terbaik di banyak negara lain, maka bentuk kelembagaan yang dirasakan paling sesuai adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Setelah melalui interaksi politik di antara lembaga eksekutif
4
BAB I PENDAHULUAN
dan legislatif, OJK kemudian dibentuk melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 November 2011. OJK diharapkan mampu mewujudkan sistem keuangan di Indonesia yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Keberadaan
OJK
melengkapi
Forum
Koordinasi
Stabilitas
Sistem
Keuangan (FKSSK) yang merupakan suatu forum koordinasi yang dibentuk untuk menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Anggota FKSSK terdiri atas Menteri Keuangan selaku koordinator merangkap anggota, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua Dewan Komisioner LPS selaku anggota, dan Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota. Namun, sebagai suatu lembaga yang baru dibentuk dengan ekspektasi masyarakat yang besar, OJK dalam operasionalnya akan menghadapi beragam tantangan dan kendala. Ruang lingkup kegiatan yang ditangani sangat luas, strategis, dan terus berkembang dengan pesat, namun kesiapan sumber daya manusia (SDM) dan perangkat organisasi lainnya masih membutuhkan waktu untuk berkinerja secara optimal. Tantangan dan kendala yang dihadapi dapat bersumber dari faktor-faktor internal maupun eksternal. Sebagai contoh, implementasi tata kelola organisasi yang baik, gaya kepemimpinan, dan tercapainya sinergi di antara SDM merupakan tantangan dari dalam organisasi yang harus dijawab dengan baik, mengingat SDM OJK pada awalnya merupakan penggabungan dari SDM Bank Indonesia dan Bapepam-LK, di samping juga merekrut pegawai baru. Banyak fakta empirik di berbagai organisasi membuktikan bahwa pemantapan budaya kerja,
termasuk
kematangan
etos
kerja
di
kalangan
pegawai,
selalu
5
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
membutuhkan waktu. Selanjutnya, interaksi ke luar dengan bank maupun LKBB yang perlu dijalin dengan baik akan menghadapi tantangan yang besar, karena pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga keuangan melibatkan banyak hal yang sangat sensitif, sehingga berpotensi menimbulkan resistensi maupun moral hazard. Faktor-faktor internal dan eksternal dimaksud ingin ditemukenali melalui kajian akademis ini dengan menggunakan pendekatan yang bersifat prospektif. Kajian dilakukan dengan berlandaskan pada konsep-konsep yang relevan serta didukung oleh data dan informasi yang obyektif dan akurat. Dengan demikian, berdasarkan hasil kajian dapat direkomendasikan langkah-langkah antisipatif yang perlu dilakukan dalam rangka mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang OJK.
B. Perumusan Masalah Sektor keuangan yang kuat dan stabil merupakan unsur yang sangat penting dalam mendukung perekonomian suatu negara. Kondisi ini dapat dicapai apabila kelengkapan sistem keuangan dapat dipenuhi dan kelembagaannya dapat beroperasi dengan optimal. Pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia dengan dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berupaya melengkapi sistem keuangan di Indonesia dengan membentuk OJK, setelah sebelumnya telah mempertegas independensi Bank Indonesia dan membentuk LPS. Pembentukan OJK merupakan upaya memenuhi persyaratan yang diperlukan (necessary condition) untuk memperkuat aspek pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan bank dan bukan bank. Lembaga yang baru terbentuk ini menyimpan segudang harapan serta menghadapi beragam
6
BAB I PENDAHULUAN
tantangan
dan
kendala
untuk
dapat
menjalankan
fungsi,
tugas,
dan
wewenangnya secara ideal. Apabila harapan dapat diraih, maka persyaratan mencukupi (sufficient condition) sebagai pendukung sistem keuangan Indonesia yang kokoh dan berkelanjutan seyogyanya akan dapat dipenuhi. Tantangan dan kendala perlu diidentifikasi dan dianalisis sejak dini agar dapat ditempuh langkah-langkah taktis untuk mengatasinya. Mengapa demikian? Fakta empirik akhir-akhir ini menunjukkan adanya tren yang berbalik arah di negara-negara lain yang berlawanan dengan langkah politik ekonomi yang diambil melalui pembentukan OJK di Indonesia. Inggris misalnya, sebagai negara yang menjadi acuan pengaturan dan pengawasan jasa keuangan oleh suatu lembaga khusus (Financial Services Authority, FSA), telah memilih untuk kembali memperkuat fungsi bank sentral untuk mengatur dan mengawasi jasa keuangannya. Terdapat dorongan kuat dari berbagai pihak untuk mengembalikan kewenangan FSA kepada bank sentral. Kondisi yang serupa dilakukan pula oleh Pemerintah dan otoritas moneter di Amerika Serikat, Perancis, dan Korea Selatan. Alasan utama yang melandasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan otoritas moneter di negara-negara tersebut adalah terjadinya banyak kegagalan dalam operasional fungsi, tugas, dan wewenang lembaga pengatur dan pengawas jasa keuangan. Permasalahan yang timbul diantaranya terkait dengan belum
mapannya
perangkat
peraturan
perundang-undangan,
lemahnya
hubungan antarlembaga, serta lingkup kerja yang terlalu luas dan berisiko tinggi. Selanjutnya adalah persoalan transfer SDM untuk memenuhi kebutuhan kuantitas dan kualitas. Manajemen SDM juga dihadapkan dengan kondisi psikologis dan demoralisasi karyawan yang pada awalnya bersumber dari
7
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
ketidakpastian dan persaingan dalam pengisian jabatan-jabatan struktural. Intervensi untuk kepentingan politik ekonomi serta tarik-menarik di antara perlunya representasi otoritas moneter, otoritas fiskal, dan pelaku pasar keuangan senantiasa akan mewarnai perputaran roda organisasi lembaga pengatur dan pengawas jasa keuangan di negara manapun di dunia. Persoalan lainnya muncul dari segi ketersediaan dan penataan sarana dan prasarana pendukung, seperti sistem teknologi informasi dan fasilitas lainnya, yang merupakan instrumen dengan peran yang sangat vital. Dari segi waktu, OJK yang masih dalam fase transisi, segera akan menghadapi beratnya tantangan eksternal berupa krisis keuangan di negara-negara Eropa yang berimbas kepada sistem keuangan di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung (second or third round effects). Di samping itu, pembentukan OJK ditengarai juga membebani fiskal pemerintah dan lembaga keuangan, karena remunerasi karyawan OJK rencananya akan dibayar oleh pelaku jasa keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Berbagai permasalahan yang dikemukakan perlu ditemukenali dengan seksama, sehingga tantangan dan kendala yang muncul dapat diantisipasi dan dijadikan sebagai kekuatan bagi OJK dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya.
C. Ruang Lingkup Seluruh kegiatan dalam kajian akademis ini direncanakan berlangsung selama 6 bulan. Obyek yang dikaji adalah OJK yang sesuai dengan ketentuan undang-undang akan mengambil alih fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan bukan bank dari Bapepam-LK sejak
8
BAB I PENDAHULUAN
tanggal 31 Desember 2012, serta pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia sejak tanggal 31 Desember 2013. Data dan informasi dikumpulkan dari unit analisis yang relevan, yaitu individu-individu yang terkait dengan persiapan OJK atau memahami tentang konsep dan praktik stabilitas sistem keuangan dan jasa keuangan. Individu-individu yang dimaksud terdiri dari para pejabat dan staf terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, praktisi perbankan, praktisi LKBB, serta peneliti dan akademisi.
D. Tujuan Kajian akademis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal yang berpotensi mempengaruhi pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK dalam mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di Indonesia. Dengan memahami berbagai faktor yang berpengaruh,
maka
dapat
dirumuskan
langkah-langkah
antisipatif
untuk
mewujudkan sistem keuangan di Indonesia yang stabil dan tumbuh secara berkelanjutan, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
E. Manfaat Kajian akademis ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. memperkaya
khazanah
penelitian
empirik
mengenai
stabilitas
sistem
keuangan dan jasa keuangan yang memiliki keterkaitan dengan bidang ilmu politik ekonomi, kebijakan publik, ekonomi/keuangan publik, ekonomi moneter, ekonomi keuangan, dan manajemen keuangan;
9
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
2. memberikan rekomendasi yang dapat digunakan oleh manajemen OJK untuk mengantisipasi beragam tantangan dan kendala internal dan eksternal yang dibutuhkan dalam rangka mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan; serta 3. menjadi referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang relevan.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS
A. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai berbagai aspek yang terkait dengan stabilitas sistem keuangan dan kinerja jasa keuangan telah dilakukan di banyak negara. Sebagian peneliti memfokuskan penelitiannya dari sisi permintaan, sedangkan penelitian lainnya menggunakan perspektif penawaran. Terdapat pula peneliti yang melakukan studi dengan menggabungkan sisi permintaan dan penawaran. Namun demikian, kajian akademis yang memfokuskan pada lembaga yang mengatur dan mengawasi jasa keuangan relatif masih terbatas, karena keberadaannya yang juga relatif baru. Lain halnya dengan peran lembaga bank sentral yang secara konvensional merupakan pengatur dan pengawas lembaga keuangan, khususnya perbankan. Lembaga ini telah ada sejak lama, sehingga banyak diteliti. Cukup banyak pula peneliti yang telah mengamati perilaku bankbank umum dalam menjalankan operasinya. Tinjauan pustaka dalam kajian akademis ini dikonsentrasikan untuk membahas buku-buku teks dan penelitian-penelitian empiris di bidang yang terkait dengan stabilitas sistem keuangan dan jasa keuangan sebagai konsep fundamental dari fungsi, peran, dan wewenang OJK. Keuangan adalah studi mengenai bagaimana sistem keuangan mengkoordinasikan dan menyalurkan aliran dana dari para pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman dan sebaliknya. Keuangan juga mempelajari bagaimana menciptakan dana baru oleh lembaga intermediasi keuangan selama proses peminjaman (Burton dan Lombra, 2006: 4). Selanjutnya, Bundesbank, Bank Sentral di negara Jerman,
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
mendefinisikan stabilitas keuangan sebagai kemampuan sistem keuangan untuk menjalankan fungsi ekonomi makronya dengan baik bahkan dalam situasi tertekan dan selama periode penyesuaian struktural. Kemampuan yang dimaksud mencakup alokasi sumber-sumber keuangan dan risiko serta pembayaran dan proses penyelesaian secara efisien. Idealnya, sistem keuangan di suatu negara cukup mampu untuk menyerap tekanan ekonomi dan keuangan riil secara internal. Pada suatu negara yang menerapkan sistem ekonomi pasar (market mechanism), penyelamatan stabilitas keuangan dimulai pada tingkat keuangan individu. Efek disiplin pada pasar tertentu akan mendorong pelaku pasar keuangan untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab dan mengadopsi manajemen risiko secara efektif. Tingkat transparansi yang tinggi dan ketersediaan informasi dengan biaya murah merupakan prasyarat yang penting agar harga pasar keuangan terbentuk secara efisien dan dapat mengatasi potensi akumulasi berbagai risiko yang berlebihan. Bank sentral, pemerintah, dan otoritas lainnya bekerjasama untuk mengembangkan kerangka kerja kelembagaan bagi sistem keuangan. Kerangka kerja ini melibatkan pengawasan terhadap perbankan dan LKBB secara efektif. Tanggung jawab terhadap stabilitas sistem keuangan secara menyeluruh dipegang oleh bank sentral. Dalam kenyataannya, banyak bank sentral yang pada awalnya didirikan untuk tujuan ini telah menyerahkan kekuasaan untuk mengawasi dan mengatur berbagai aspek sistem keuangan di negaranya. Saat ini, sejumlah negara, termasuk Australia, Korea Selatan, dan Inggris, telah menyerahkan pengawasan lembaga keuangan kepada lembaga pengawas
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
khusus. Namun demikian, di negara-negara tersebut, bank sentral tetap mempunyai mandat untuk menjaga stabilitas keuangan (Laker, 1999: 1). Menurut MacDonald dan Koch (2006: 33) terdapat 5 kekuatan fundamental yang telah merubah struktur pasar dan lembaga keuangan. Ke-5 kekuatan juga dapat digunakan untuk menggambarkan peningkatan kompetisi yang dihadapi oleh lembaga-lembaga keuangan di dunia pada saat ini. Kelima kekuatan adalah: 1. deregulasi; 2. inovasi keuangan; 3. sekuritisasi; 4. globalisasi; dan 5. kemajuan teknologi. Kombinasi dari kekuatan-kekuatan tersebut telah mempengaruhi kinerja lembaga keuangan dalam menghadapi persaingan dengan menghasilkan produk-produk dan membuka pasar-pasar yang baru serta menggunakan instrumen-instrumen keuangan yang juga baru untuk memfasilitasi transaksi dan menyesuaikan profil risiko. Meskipun konsumen diuntungkan dengan adanya perubahan ini, namun lembaga-lembaga yang menyediakan jasa keuangan membutuhkan peran regulator untuk memantau dengan seksama perubahan risiko dan secara kontinyu meningkatkan persyaratan modal. Jasa keuangan adalah layanan ekonomi yang disediakan oleh industri keuangan yang mencakup beragam organisasi yang mengelola uang, yaitu bank dan LKBB, seperti asuransi, dana investasi, dan lain-lain. Nagata, Maeda, dan Imahigashi (2004: 2) menyatakan bahwa dewasa ini terdapat kecenderungan peningkatan tren penyediaan beragam jasa keuangan di bawah payung satu
13
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
kelompok keuangan. Alasan utama dilakukannya konglomerasi keuangan adalah sinergi yang dihasilkan dengan mengintegrasikan unit-unit bisnis yang berbeda. Sinergi yang diperoleh secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pengurangan biaya dan peningkatan penerimaan. Sektor keuangan secara tradisional terbagi-bagi sesuai dengan rejim kebijakan kompetisi dan mempertahankan suatu status khusus sebagai industri yang diatur dengan ketat (heavily regulated industry) (Yokoi-Arai dan Kawana, 2007: 77). Meskipun demikian, seiring dengan ekonomi pasar yang semakin kompetitif, maka kebijakan kompetisi telah menjadi salah satu pilar utama dari regulasi dan supervisi perbankan. Pelaku perbankan diberikan keleluasaan untuk memilih segmen pasar dan melakukan inovasi untuk mengembangkan produknya sesuai dengan kebutuhan konsumen. Oleh karenanya, pasar keuangan pada dasarnya semakin membutuhkan peran aktif dari lembaga pengatur dan pengawas jasa keuangan dalam menegakkan kebijakan. Situasi di Asia menurut Yokoi-Arai dan Kawana (2007: 77) bukanlah merupakan pengecualian, jika dibandingkan dengan di kawasan lainnya di muka bumi. Setelah mengalami krisis keuangan pada tahun 1997/1998, kawasan Asia membutuhkan rejim dan sistem regulasi yang lebih baik dan adil bagi semua pelaku pasar. Langkah ini merupakan aspek utama dari program reformasi struktural yang dipersyaratkan oleh International Monetary Fund (IMF). Lebih jauh lagi, dengan perekonomian dunia yang semakin mengglobal dan standar sektor
keuangan
yang
terus-menerus
berevolusi,
dampak
negatif
dari
ketidaksesuaian sistem keuangan di suatu negara dapat sangat signifikan, baik terhadap negara yang bersangkutan maupun kepada negara-negara lainnya. Pasar di negara yang bersangkutan tidak hanya menghadapi risiko reputasi,
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
tetapi operasi lembaga-lembaga keuangan domestik di dalam pasar keuangan internasional dapat terancam. Beberapa situasi krisis telah menjadi bukti empirik atas fenomena ini. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengatur sistem keuangan pada kisaran yang sejalan dengan standar internasional. Secara lebih spesifik, Hosono, Iwaki, dan Tsuru (2005) mempelajari efektivitas disiplin pasar oleh para penabung selama periode 1992-2002 di empat negara Asia yang mengalami krisis, yaitu Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand. Hosono, Iwaki, dan Tsuru (2005: 11-12) dapat menyimpulkan bahwa krisis pada awalnya telah melemahkan, namun kemudian memperkuat pasar keuangan di Indonesia. Maknanya adalah negara-negara tersebut dengan cepat menyadari kelemahan yang dimiliki dan dengan segera mengambil langkah-langkah perbaikan. Fenomena ini serupa dengan efek wake-up call yang ditemukan di negara-negara Amerika Latin yang terkena krisis. Namun, terdapat karakteristik krisis yang berbeda di antara keempat negara di Asia. Tidak seperti di Indonesia, kondisi yang berbeda dijumpai di dua negara lainnya. Di Korea Selatan dan Thailand, sensitivitas risiko dari para penabung mengalami penurunan setelah krisis. Hal ini terjadi karena disiplin pasar sedang berlangsung sebelum krisis dan skema perlindungan simpanan telah dibangun untuk memastikan kredibilitasnya di bawah kondisi politik yang stabil. Di Giorgio, Di Noia, dan Piatti (2000: 25) berpendapat bahwa regulasi pasar keuangan yang berlaku di Eropa seharusnya dirancang kembali dan diharmonisasikan dengan suatu model regulasi berdasarkan tujuan atau penyelesaian. Ketiga peneliti menganalisis kasus di Italia dan merumuskan suatu proposal komprehensif untuk reformasi regulasi sistem keuangan. Reformasi ini membutuhkan tiga lembaga independen yang terpisah, namun terkoordinasi
15
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
dengan bank sentral. Lembaga pertama bertanggung jawab terhadap stabilitas keuangan mikro, sedangkan lembaga kedua menangani pemenuhan persyaratan transparansi. Adapun lembaga ketiga bertanggung jawab dalam menjaga skema persaingan pasar. Kebijakan untuk menangani krisis atau crisis resolution policy telah diteliti oleh Hoque (2007). Penelitian dilakukan dengan menguji pengaruh beragam variabel penjelas (independent variables) terhadap krisis perbankan sebagai dependent variable. Suatu perekonomian tidak hanya dipengaruhi oleh terjadinya krisis perbankan, tetapi juga dipengaruhi oleh durasi krisis. Suatu krisis yang berlangsung lama dapat membebani perekonomian riil, karena menurunkan keyakinan dari penabung dan investor domestik terhadap sistem perbankan. Untuk itu, penyelesaian atas krisis keuangan perlu ditempuh secara sistematis, namun harus memperhatikan pula perspektif waktu penyelesaiannya. Penelitian
mengenai
tantangan
dan
peluang
pengembangan
jasa
keuangan di Indonesia telah dilakukan oleh Rossi (2010). Dikemukakan bahwa pada waktu lampau, Indonesia sebenarnya masih berada di luar pemantauan perusahaan dan investor berskala internasional (Rossi, 2010: 32). Namun, saat ini, Indonesia ditemukan kembali sebagai salah satu pasar perekonomian yang besar. Dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 230 juta jiwa, Indonesia menempati posisi keempat dalam hal populasi setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Rossi (2010: 32) bahkan menyebut Indonesia telah menjadi Brasil-nya Asia, bukan hanya karena peluang ekspor dan pengembangan komoditas, namun juga dikarenakan daya tarik rupiah sebagai mata uang perdagangan dan tujuan aliran modal.
16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
Seiring dengan pandangan Rossi (2010), penilaian IMF terhadap stabilitas sistem keuangan di Indonesia menghasilkan beberapa temuan penting. Salah satu temuan terpenting adalah bahwa reformasi struktural yang dilakukan telah membantu Indonesia untuk cepat pulih dari krisis global tahun 2008. Tetapi, isuisu yang terkait dengan penegakan hukum, transparansi, dan tata kelola yang masih lemah menjadi sorotan dalam persepsi pelaku pasar. Upaya mengatasi kelemahan-kelemahan ini seharusnya menjadi prioritas, sedangkan risiko politik tidak lagi menjadi perhatian. Temuan selanjutnya adalah bahwa sistem perbankan secara umum dapat dikatakan sehat. Meskipun bank-bank masih belum menyalurkan kredit dengan optimal, mengenakan tingkat bunga yang relatif tinggi, serta menghadapi risiko likuiditas, namun pendapatan dan modal yang besar telah menjadi penyangga dalam menghadapi volatilitas ekonomi makro. Selain itu, pengembangan pasar modal
yang
bertumbuh
dengan
baik
akan
membantu
menghindari
ketergantungan bank yang berlebihan terhadap sektor pembiayaan tertentu. IMF juga menemukan bahwa supervisi dan regulasi perbankan di Indonesia telah mengalami perbaikan secara mendasar. Meskipun demikian, masih terdapat celah yang berhubungan dengan penanganan bank-bank yang bermasalah dan manajemen krisis. Indonesia telah merancang suatu perubahan besar dalam arsitektur regulasi dengan menciptakan suatu lembaga pengawas terintegrasi. Lembaga yang dimaksudkan adalah OJK yang menjadi obyek dalam penelitian ini. Agar berjalan dengan optimal, lembaga ini harus mendapatkan prioritas dalam hal penguatan penegakan hukum, independensi, dan proteksi. Di samping itu, posisi Bank Indonesia juga perlu diperkuat kembali.
17
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
Khusus mengenai lembaga yang mengatur dan mengawasi jasa keuangan, hasil penelitian yang dilakukan oleh Chant Link & Associates (2008: 2) menunjukkan terdapat lima aspek utama yang muncul dalam persepsi pemangku kepentingan terhadap kiprah Dubai Financial Services Authority (DFSA). Kelima aspek adalah: 1. kepuasan yang tinggi; 2. kualitas staf yang tinggi; 3. tidak adanya perubahan yang substantif; 4. ekspektasi terhadap perubahan lingkungan di masa yang akan datang; dan 5. pemenuhan biaya yang dapat diterima. Kepuasan yang tinggi diantaranya dihasilkan dari pemenuhan prinsip-prinsip dasar regulasi serta hubungan dan komunikasi yang baik dengan pegawai DFSA. Selain itu, fleksibilitas, tanggung jawab yang terlaksana dengan baik, dan pengalaman positif dalam berhubungan dengan DFSA juga merupakan fakta yang mendukung kepuasan pemangku kepentingan. Pada penelitian lainnya, lembaga pengawas keuangan di Inggris, yaitu FSA, telah melakukan survei pada tahun 2011 untuk mengetahui kepedulian konsumen terhadap keberadaan FSA dan regulasi di bidang keuangan. Hasil survei mengungkapkan bahwa keterlibatan konsumen menjadi sangat penting dan membentuk persepsi terhadap FSA. Tanggung jawab yang diemban FSA menjadi aspek pertama yang disorot oleh konsumen, kemudian diikuti oleh kepedulian terhadap aktivitas-aktivitas yang terkait dengan pemenuhan regulasi. Selanjutnya, sikap terhadap risiko, perlakukan yang adil terhadap konsumen, dan penanganan terhadap kejahatan keuangan menjadi elemen-elemen yang penting.
18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
Llewellyn (2006) dalam Tim Kerjasama Penelitian FEB-UGM & FE-UI (2010: 25) menuliskan bahwa fungsi-fungsi dasar yang dimiliki lembaga pengatur dan pengawasan lembaga keuangan meliputi: 1.
prudential regulation bagi keamanan dan kesehatan lembaga keuangan;
2.
stabilitas dan integritas sistem pembayaran;
3.
prudential supervision lembaga keuangan;
4.
pengelolaan regulasi bisnis;
5.
pengelolaan pengawasan bisnis;
6.
penetapan jaring pengaman;
7.
bantuan likuiditas bagi stabilitas sistemik;
8.
penanganan lembaga yang tidak solven;
9.
resolusi krisis; serta
10. penanganan isu-isu yang terkait dengan integritas pasar. Dalam dokumen yang sama, Squam Lake Working Group (2009) menguraikan bahwa tugas lembaga pengawas pasar keuangan adalah menjaga stabilitas sistem keuangan secara menyeluruh. Untuk menjalankannya, regulator sistem keuangan melakukan fungsi-fungsi sebagai berikut: 1. mengumpulkan, menganalisis, dan melaporkan informasi terkait interaksi antarlembaga keuangan dan risiko lembaga keuangan; 2. menciptakan dan menerapkan peraturan sistemik bagi lembaga keuangan, seperti modal minimum (capital requirement); serta 3. mengawasi kiprah pelaku bisnis dan melindungi konsumen. Fungsi-fungsi tersebut ditujukan untuk mencapai empat tujuan, yaitu: 1. keamanan dan ketahanan lembaga keuangan; 2. pencegahan risiko sistemik;
19
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
3. keadilan dan efisiensi pasar; serta 4. perlindungan terhadap konsumen dan investor. Selanjutnya, Nier (2009) secara spesifik mendeskripsikan kriteria-kriteria utama lembaga pengawas sektor keuagan.
Tabel 2.1 Kriteria Utama Lembaga Pengawas Sektor Keuangan No. 1.
Kriteria Pembagian fungsi dan tugas yang jelas.
Keterangan Tanggung jawab pelaksanaan fungsi pengawasan sistemik dan bisnis (perlindungan konsumen) harus ditugaskan secara jelas kepada lembaga. 2. Konsistensi fungsi dan tujuan. Setiap lembaga yang bertanggung jawab dalam pengawasan sektor keuangan harus memiliki fungsi yang konsisten untuk menciptakan sinergi dan menghindari konflik antarlembaga. 3. Resolusi konflik. Tersedianya mekanisme formal untuk resolusi konflik antarlembaga. 4. Penyediaan sumber daya untuk Setiap lembaga memiliki sumber daya untuk mencapai tujuan. mencapai tujuan, sehingga meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas kinerja. 5. Penciptaan sinergi sumber daya. Penciptaan sinergi sumber daya antarlembaga untuk menghindari konflik fungsi dan tujuan. 6. Minimalisasi konflik Mengurangi jumlah lembaga dan menciptakan antarlembaga. mekanisme kerjasama antarlembaga yang kuat. 7. Konsistensi dengan fungsi dan Fungsi dan tujuan baru harus konsisten dan tujuan yang telah ditetapkan. sejalan dengan fungsi, tujuan, dan sumber daya yang telah ada. Sumber: Nier (2009) dalam Tim Kerjasama Penelitian FEB-UGM & FE-UI (2010: 28).
Lembaga yang berwenang dalam melakukan fungi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan harus mampu memformulasikan dan menerapkan kebijakan yang konsisten, terintegrasi, forward looking, dan cost effective. Selain itu, dapat mempertahankan kompetisi yang sehat dan mendukung inovasi pada sektor keuangan. Dengan demikian, lembaga tersebut akan memiliki ketahanan dalam menghadapi krisis, memiliki tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi, serta memiliki citra yang baik di mata publik.
20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
Tabel 2.2 Struktur Pengawasan Lembaga Keuangan di Beberapa Negara Lembaga Pengawas Berganda (Satu untuk Bank, Satu untuk Perusahaan Sekuritas dan Satu untuk Asuransi) Austria (2002) Albania Australia (1998) Amerika Serikat Bahrain (2002)* Argentina Belanda (2004)* Bahamas Bermuda (2002)* Barbados Kep. Cayman (1997)* Botswana Denmark (1988) Brasil Estonia (1999) Bulgaria Jerman (2002) Cina Gibraltar (1989) Filipina Guernsey (1988) Hongkong Hungaria (2002) India Islandia (1988) Indonesia Irlandia (2002)* Israel Jepang (2001) Italia Latvia (1998) Kroasia Maladewa (1988)* Lituania Malta (2002)* Panama Nikaragua (1999)* Perancis Norwegia (1986) Polandia Singapura (1984)* Portugal Korea Selatan (1997) Rusia Swedia (1991) Selandia Baru Uni Emirat Arab (2000)* Siprus Britania Raya (1997) Slovenia Afrika Selatan (1990)* Spanyol Kazakhstan (1998)* Srilanka Uruguay (1993) Thailand Tunisia Turki Uganda Yordania Yunani Sumber: Kawai dan Pomerleano (2010) dalam Tim Kerjasama Penelitian FEB-UGM & FE-UI (2010: 38). Keterangan: *Pengawasan dilakukan oleh Bank Sentral. Lembaga Pengawas Tunggal (Tahun Pendirian)
Lembaga Pengawas Mengawasi 2 Jenis Lembaga Keuangan Bank dan Perusahaan Bank dan Perusahaan Sekuritas dan Asuransi Sekuritas Asuransi Findlandia Kanada Bolivia Luksemburg Kolombia Cili Meksiko Ekuador Jamaika Swiss El Salvador Mauritius Uruguay Guatemala Slovakia Malaysia Ukraina Peru Bulgaria Venezuela
Tim Kerjasama Penelitian FEB-UGM dan FE-UI telah mencermati perbandingan sistem pengawasan terhadap lembaga keuangan di berbagai negara. Hal pertama yang dikaji adalah keterkaitan di antara struktur pengawasan dengan ukuran perekonomian. Hasil analisis dengan menggunakan korelasi Kendall’s Tau menunjukkan bahwa semakin besar ukuran perekonomian (dilihat dari populasi) di suatu negara, maka struktur lembaga pengawas di negara yang bersangkutan cenderung kepada lembaga pengawas berganda. Selain itu, hasil estimasi dengan model probit menunjukkan bahwa semakin
21
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
besar populasi suatu negara, maka semakin kecil probabilitas negara tersebut menerapkan struktur lembaga pengawas tunggal (Martinez dan Rose, 2003, diolah). Pengalaman di negara-negara lain menggambarkan bahwa lembaga pengawas tunggal tidak hanya mengawasi lembaga-lembaga keuangan, namun juga perilaku bisnis dan perlindungan konsumen. Contohnya adalah FSA di Inggris. Fenomena ini berbeda dengan pendekatan pengawasan tradisional yang terdiri dari beberapa lembaga terpisah yang masing-masing mengatur dan mengawasi bank, asuransi, dan pasar modal. The Group of Thirty
(2008) mencatat terdapat lima jenis sistem atau
pendekatan yang digunakan oleh pengawas lembaga keuangan di berbagai negara. Kelima jenis pendekatan adalah pendekatan institusional, fungsional, dual system (gabungan institusional dan fungsional), terpadu, dan twin peaks. Masing-masing pendekatan mempunyai kekuatan dan kelemahan tersendiri. Tabel 2.3 Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan di Berbagai Negara Negara Cina, Hongkong, Meksiko
Sistem Institusional
Konsep Pengawasan Lembaga pengawas dibentuk berdasarkan bentuk badan hukum lembaga yang diawasi.
Kekuatan Penyelesaian konflik pada lembaga yang diawasi lebih mudah dilakukan dalam satu sektor.
−
−
− − Brasil, Italia, Spanyol
Fungsional
Lembaga pengawas dibentuk berdasarkan jenis transaksi bisnis yang dilaksanakan.
− Konsistensi peraturan yang diterapkan untuk setiap fungsi, sehingga menghindari arbitrase regulasi. − Adanya saling tukar pengetahuan dan informasi antarlembaga pengawas.
−
− − − −
22
Kelemahan Respons perkembangan produk keuangan yang lambat dan dianggap tidak mampu mengakomodir perubahan yang signifikan dalam inovasi produk keuangan. Manajemen risiko tidak menyeluruh, karena lembaga yang diawasi melakukan transasksi bisnis lintas bidang. Inkonsistensi dalam aplikasi regulasi. Peraturan yang tidak konsisten dan tumpang tindih. Kompetisi antarlembaga pengawas yang menyebabkan terhambatnya inovasi produk keuangan. Tida ada lembaga pengawas yang melaksanakan manajemen risiko sistemik. Inefisiensi dalam koordinasi dan biaya. Penentuan ruang lingkup pengawasan sulit dilakukan. Keengganan menyerahkan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
Amerika Serikat
Dual System
Lembaga pengawas dengan pendekatan institusional dan fungsional.
Britania Raya, Kanada, Jepang, Jerman, Qatar
Terpadu
Lembaga pengawas tunggal.
Adanya saling tukar pengetahuan dan informasi antarlembaga pengawas.
fungsi pengawasan apabila terdapat ekspansi produk keuangan. − Tidak ada regulator yang mendapatkan informasi penuh mengenai suatu lembaga. − Struktur pengawasan rangkap yang tidak efisien (biaya tinggi). − Potensi kegagalan koordinasi antarpengawas sangat tinggi. − Kecenderungan pengawasan yang lebih fokus hanya pada satu fungsi. − Potensi inefisiensi, karena lingkup lembaga yang terlalu luas. − Kekuatan yang berlebihan dan potensi kegagalan koordinasi dengan bank sentral maupun kementerian keuangan, khususnya pada saat krisis. − Potensi monopoli birokrasi. − Risiko single point failure. Potensi miskoordinasi di antara lembaga pengawas regulasi dan aktivitas bisnis.
− Minimalisasi konflik antarsektor. − Fokus optimal dan menyeluruh dalam regulasi dan pengawasan. − Konsistensi peraturan. − Responsif terhadap perkembangan produk dan jenis transaksi keuangan. − Efisiensi biaya dan information-sharing. Australia, Belanda Twin Peaks Pemisahan lembaga − Fokus optimal pengawas yang pengawasan, karena memantau regulasi adanya pemisahan sektor keuangan dan fungsi regulasi dan aktivitas bisnis. bisnis pada lembaga yang berbeda. − Transparansi dan akuntabilitas, karena mandat didefinisikan dengan jelas. − Minimalisasi konflik antarsektor. − Koordinasi dengan pengambil kebijakan makro dan moneter. − Konsentrasi kekuatan pada satu lembaga yang lebih kecil. − Risiko reputasi lebih kecil. − Mencegah prudential supervisor melakukan kegiatan yang mengganggu perlindungan konsumen. − Karyawan dipekerjakan sesuai dengan keahlian. Sumber: The Group of Thirty (2008) dalam Tim Kerjasama Penelitian FEB-UGM & FE-UI (2010: 41-43).
Selain penelitian-penelitian yang telah diuraikan, masih terdapat banyak penelitian lainnya yang terkait dengan stabilitas sistem keuangan, jasa keuangan, serta lembaga pengatur dan pengawas operasional jasa keuangan. Penelitian-penelitian yang dimaksud antara lain dilakukan oleh Black (2004),
23
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
Central Bank of Sri Lanka (2005), Ferran (2010), Fuentes dan Ahumada (2003), Haslag dan Pecchenino (2001), Maclachlan (2001), serta Santoso dan Batunanggar (2007). Setiap penelitian memfokuskan pada aspek-aspek tertentu, seperti Ferran (2010) yang menganalisis mengenai pembubaran otoritas jasa keuangan.
B. Kerangka Teoritis Sektor keuangan merupakan pilar yang sangat penting bagi perekonomian suatu negara. Keuangan berperan vital dalam memompa aliran dana yang dibutuhkan untuk menumbuhkan perekonomian dan mendukung beragam aktivitas masyarakat. Peran ini dijalankan tidak hanya oleh sektor perbankan, melainkan juga oleh berbagai institusi yang tergolong ke dalam LKBB. Namun, seiring
dengan
pesatnya
penciptaan
instrumen-instrumen
dan
jasa-jasa
keuangan yang baru oleh lembaga-lembaga keuangan domestik dan global, maka batas di antara jenis-jenis lembaga keuangan, seperti bank, sekuritas, pasar modal, dan asuransi menjadi kabur. Fenomena ini seringkali dipandang sebagai suatu hal yang alamiah, sehingga pengalaman global mengenai isu perlunya suatu regulator keuangan yang terintegrasi masih sangat beragam. Setiap negara nampaknya memiliki alasan tersendiri dalam menyikapi kondisi ini. Di Indonesia, setelah melalui perdebatan cukup panjang yang melibatkan banyak pihak yang berkepntingan, pada akhirnya telah dibentuk OJK melalui UU No. 21 Tahun 2011. Alasan yang melatarbelakangi dibentuknya OJK antara lain adalah lemahnya regulasi dan pengawasan terhadap konglomerasi keuangan di Indonesia. Selain itu, terdapat peningkatan perdagangan global di bidang keuangan yang memerlukan penataan sistem keuangan yang lebih baik di
24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
tingkat domestik, dan upaya untuk mengurangi beragam kejahatan keuangan, seperti pencucian uang. Alasan lainnya adalah untuk memperkuat koordinasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan regulasi yang selama ini dijalankan oleh Bank Indonesia dan Bapepam-LK. Terbentuknya OJK merupakan implikasi bahwa keberadaan lembaga ini dipandang tepat oleh pemerintah, meskipun secara implisit, diakui atau tidak, terdapat resistensi dari pihak-pihak tertentu di Bank Indonesia. Adanya OJK diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam hal mekanisme supervisi terhadap sektor keuangan di Indonesia. Tetapi, keberadaan OJK harus ditunjang oleh komitmen yang kuat dari operatornya maupun pelaku pasar keuangan dan stakeholder lainnya, karena terkait dengan lingkup kerja yang luas yang meliputi aspek ekonomi, hukum, dan politik. Secara teoritis, OJK menjadi lembaga yang sangat strategis dalam mendukung tercapainya stabilitas sistem keuangan. Stabilitas sistem keuangan dapat didefinisikan sebagai daya tahan sistem keuangan terhadap tekanan internal dan eksternal yang dapat disebabkan oleh faktor ekonomi, keuangan, politik, dan lain sebagainya. Kedudukan OJK setidak-tidaknya akan dapat memperkuat efektivitas infrastruktur regulasi, yang selama ini dianggap belum maksimal dalam mengendalikan kiprah para pelaku di dalam industri keuangan di Indonesia. Selain itu, keberadaan OJK seyogyanya dapat meningkatkan pengembangan pasar keuangan dan memperbaiki kinerja lembaga-lembaga keuangan. Mengapa diperlukan stabilitas sistem keuangan? Pertama, suatu sistem keuangan yang stabil menciptakan kepercayaan dan lingkungan yang diinginkan oleh para penabung dan investor. Kedua, membantu transmisi kebijakan
25
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
moneter, sehingga mendukung tercapainya stabilitas harga. Ketiga, mendorong intermediasi keuangan yang efisien yang mendukung pertumbuhan investasi. Keempat,
sistem
keuangan
di
suatu
negara
yang
stabil
mendorong
berlangsungnya operasi pasar secara efisien dan memperbaiki distribusi sumber daya di dalam perekonomian. Secara umum, jika sistem keuangan stabil, maka interaksi investasi dan konsumsi serta ekspor dan impor dapat berlangsung dengan
optimal,
sehingga
dapat
berkontribusi
secara
nyata
terhadap
pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Kontribusi investasi menjadi perhatian utama, karena variabel inilah yang merupakan pilar utama bagi perekonomian yang tumbuh secara berkualitas dan inklusif. Gambar 2.1 Kerangka Teoritis Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
Stabilitas Moneter
Inflasi
Stabilitas Fiskal
Bank Rumah Tangga: Kondisi Keuangan Kondisi Ekonomi Makro
Perusahaan: Kinerja Keuangan
Lembaga Keuangan Bukan Bank Pasar Keuangan
Stabilitas Sistem Keuangan
Produk Domestik Bruto (PDB)
Infrastruktur Sistem Keuangan
Pemerintah: Kementerian Keuangan
Bank Indonesia
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Tantangan Internal Tantangan Eksternal
26
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
Dari Gambar 2.1 terlihat bahwa OJK mempunyai kedudukan yang penting dan strategis bersama institusi lainnya untuk mengatur, membina, dan mengawasi jasa keuangan agar tercipta sistem keuangan yang stabil secara berkelanjutan. Sistem keuangan yang stabil akan memungkinkan perekonomian nasional, yaitu produksi barang dan jasa, dapat tumbuh secara berkualitas, termasuk inflasi yang terkendali. Semua institusi yang berkepentingan dengan stabilitas sistem keuangan di Indonesia pada dasarnya menghadapi tantangan internal maupun eksternal. Dalam kajian akademis ini, analisis terhadap tantangan-tantangan tersebut difokuskan pada OJK. Apabila lembaga-lembaga yang mengelola sistem keuangan dapat bekerja dengan baik, maka akan tercipta kondisi moneter dan fiskal yang kuat dan stabil yang dibutuhkan untuk mencapai target-target pembangunan, khususnya peningkatan kesejahteraan rakyat. Kondisi ini dapat berlangsung dengan asumsi bahwa OJK, selain lembaga-lembaga lainnya, dapat menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara optimal.
Dalam pasal 4 UU No. 21 Tahun 2011
disebutkan bahwa tujuan pembentukan OJK adalah agar seluruh kegiatan di dalam sektor keuangan: 1. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; 2. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan 3. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Muatan ini sejalan dengan konsep dasar tujuan didirikannya suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang diuraikan dalam literatur, yaitu meliputi: 1. kepercayaan pasar: menjaga keyakinan publik terhadap sistem keuangan;
27
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
2. kepedulian
publik:
mendorong
pemahaman
publik
mengenai
sistem
keuangan; 3. perlindungan konsumen: mengamankan kepentingan konsumen; dan 4. mengurangi kejahatan keuangan: mengurangi penggunaan praktik bisnis untuk tujuan kriminal. OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Sesuai pasal 6 UU No. 21 Tahun 2011, tugas pengaturan dan pengawasan dilakukan OJK terhadap: 1. kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; 2. kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan 3. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Untuk menjalankan tugas-tugas tersebut, OJK mempunyai sejumlah wewenang yang diatur di dalam pasal 7, pasal 8, dan pasal 9 UU No. 21 Tahun 2011. Kewenangan-kewenangan ini membutuhkan kualitas manajemen yang tinggi dan akuntabel. Dalam praktiknya, OJK akan dihadapkan dengan sejumlah tantangan dan kendala yang antara lain berupa: 1. efisiensi: kebutuhan untuk menggunakan sumber daya secara efisien; 2. peran manajemen: manajemen bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pelaku jasa keuangan memenuhi regulasi yang ditetapkan; 3. proporsionalitas: restriksi-restriksi yang dikenakan oleh OJK terhadap industri jasa keuangan harus proporsional dengan manfaat yang diperoleh;
28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
4. inovasi: komitmen untuk memfasilitasi inovasi yang berhubungan dengan aktivitas-aktivitas yang diatur; 5. karakter internasional: menjaga daya saing pada tataran global; dan 6. kompetisi: meminimumkan dampak negatif dari persaingan di dalam pasar jasa keuangan dan memfasilitasi persaingan yang sehat.
29
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
A. Jenis dan Rancangan Penelitian Kajian akademis ini dapat dikategorikan sebagai suatu penelitian yang kualitatif, karena menggunakan instrumen analisis yang bersifat kualitatif. Menurut Babbie (2004: 370), analisis kualitatif adalah pengujian dan interpretasi non-numerik dari pengamatan dengan tujuan untuk menemukan makna dan pola hubungan tertentu dari variabel-variabel yang diamati. Dalam praktiknya, suatu penelitian kualitatif berupaya untuk menghubungkan hasil-hasil analisis data dengan teori-teori yang relevan, termasuk dengan penelitian-penelitian empirik sebelumnya. Langkah ini dapat mempertegas kedudukan penelitian yang dilakukan di dalam khazanah perkembangan teori atau penelitian empirik (kontribusi teori/empirik). Desain suatu kajian akademis pada dasarnya disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Untuk itu, sifat analisis data yang telah ditetapkan perlu diturunkan mencadi rancangan yang lebih operasional. Rancangan yang digunakan untuk melaksanakan kajian akademis ini adalah eksplorasi. Eksplorasi merupakan salah satu dari tiga jenis rancangan penelitian yang lazim digunakan di dalam penelitian akademis. Dua jenis rancangan lainnya yang dikenal dalam metoda penelitian akademis adalah deskripsi dan eksplanasi. Sekaran (2003: 119) menyatakan bahwa suatu studi eksplorasi dilakukan ketika tidak banyak yang diketahui mengenai situasi yang diamati, atau tidak tersedia informasi mengenai bagaimana persoalan-persoalan atau isu-isu penelitian yang sama dipecahkan
pada
masa
lampau.
Penelitian
eksplorasi
dilakukan
untuk
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
memahami persoalan dengan lebih baik, karena bidang yang diamati masih jarang diteliti. Lebih jauh lagi, Sekaran (2003: 120) menyatakan bahwa studi eksplorasi juga diperlukan pada saat sebagian fakta telah diketahui, tetapi lebih banyak informasi masih dibutuhkan untuk mengembangkan suatu kerangka kerja teoritis yang sesuai. Sejalan dengan Sekaran (2003), Babbie (2004: 87) mengemukakan bahwa kebanyakan penelitian sosial dilakukan untuk mengeksplorasi suatu topik. Pendekatan eksplorasi berlangsung tatkala seorang peneliti menguji suatu minat yang baru atau ketika subyek yang diteliti relatif baru. Dalam kajian akademis ini, sebagian informasi mengenai OJK telah diketahui, khususnya dalam kerangka undang-undang yang melandasi pembentukannya, namun masih banyak informasi yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa operasional OJK dapat berlangsung secara optimal. Di samping bersifat kualitatif dan eksploratif, kajian akademis ini juga memperhatikan landasan hukum lahirnya OJK yang merupakan bagian dari suatu
kebijakan
publik.
Oleh
karena
itu,
rancangan
yang
dibangun
memperhatikan pula konteks analisis kebijakan publik yang merupakan suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metoda penelitian dan argumen untuk menghasilkan serta memindahkan informasi yang relevan,
sehingga
dapat
dimanfaatkan
di
tingkat
politik
dalam
rangka
memecahkan masalah-masalah kebijakan. Terbentuknya OJK adalah melalui suatu proses kebijakan publik berupa serangkaian aktivitas intelektual yang bersifat politis, yaitu melalui interaksi di antara lembaga eksekutif (pemerintah dan Bank Indonesia) dan lembaga legislatif (DPR). Aktivitas politik nampak dalam aktivitas penyusunan agenda,
31
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas yang bersifat intelektual adalah perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, serta monitoring dan evaluasi kebijakan. Agar optimal, idealnya tidak terjadi saling intervensi di antara pihak-pihak yang berwenang secara politis dengan yang menangani aspek intelektual, meskipun dalam faktanya sangat sulit untuk dihindari. Analisis kebijakan yang ditempuh dalam kajian ini bersifat prospektif. Kata “prospektif” secara harfiah berarti melihat ke masa depan (looking forward). Prospektif juga mengacu pada suatu kejadian yang sepertinya atau diperkirakan akan terjadi di masa yang akan datang. Suatu analisis kebijakan prospektif pada dasarnya berupa kegiatan formulasi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai atau diimplementasikan. Analisis prospektif merupakan suatu alat sintesis informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan operasional OJK yang dinyatakan secara komparatif, serta diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan. Selain analisis prospektif, dalam studi kebijakan publik dikenal pula dua pendekatan yang lain, yaitu analisis kebijakan retrospektif dan analisis kebijakan terintegrasi. Analisis retrospektif dilakukan melalui penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Adapun analisis kebijakan terintegrasi merupakan satu bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Dibandingkan kedua jenis analisis kebijakan yang terakhir, analisis prospektif dipandang paling tepat untuk digunakan di dalam kajian akademis ini.
32
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
B. Jenis dan Sumber Data Data kualitatif mengacu pada informasi yang diperoleh secara naratif melalui wawancara dan pengamatan. Aspek deskriptif merupakan hal yang terpenting dari suatu penelitian kualitatif dengan menggunakan beragam teknik interpretasi (Sekaran, 2003: 32, 409). Oleh karena itu, kemampuan melakukan interpretasi menjadi sangat vital untuk menghasilkan suatu penelitian kualitatif yang berkualitas. Kemampuan interpretasi dimaksud tidak hanya terkait dengan kapasitas akademik atau intelektual, namun memerlukan pula kematangan peneliti secara psikologis, seperti dalam hal kesabaran ketika meramu dan mensintesis beragam data primer maupun data sekunder yang berhasil dikumpulkan. Sugiyono (2010: 23) menuliskan bahwa data kualitatif adalah data yang berbentuk kalimat, kata atau gambar, sedangkan data kuantitatif berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan (skoring). Jenis data yang dikumpulkan dalam kajian akademis ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah berupa kata-kata, kalimat-kalimat, dan catatan-catatan dari hasil wawancara dan diskusi dengan dari sejumlah responden yang terdiri dari para pejabat Bank Indonesia, Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), asuransi, pasar modal, peneliti/ pengamat kebijakan publik, dan akademisi. Jumlah responden yang menjadi sumber data primer berkisar 20 orang. Adapun data sekunder yang dikumpulkan berupa dokumen-dokumen yang relevan, seperti buku-buku teks, hasil-hasil penelitian, majalah, laporan perkembangan kinerja bank dan LKBB, serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Buku-buku teks yang digunakan bersumber dari koleksi pribadi peneliti, perpustakaan, maupun buku-buku terbaru yang dibeli dari toko buku.
33
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
Hasil-hasil penelitian diperoleh dari jurnal-jurnal resmi yang dimuat di internet maupun perpustakaan. Majalah dibeli dari toko buku dan tempat-tempat penjualan
majalah,
sedangkan
laporan
perkembangan
kinerja
lembaga
keuangan di Indonesia didapatkan dari Bank Indonesia, Bapepam-LK, maupun sumber-sumber lainnya, seperti IMF.
C. Teknik Pengumpulan Data Dalam melaksanakan suatu penelitian dengan tujuan eksplorasi, Sekaran (2003: 119) menganjurkan dilakukannya wawancara secara ekstensif dengan banyak pihak untuk memahami fenomena yang dikaji. Ditambahkan bahwa kebanyakan penelitian kualitatif yang mengumpulkan data melalui pengamatan dan wawacara pada dasarnya merupakan eksplorasi. Ketika data yang dikumpulkan mengungkapkan pola tertentu, maka teori dapat dikembangkan dan hipotesis dapat diformulasikan untuk diuji. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengujian hipotesis. Dengan memperhatikan Sekaran (2003), teknik pengumpulan data primer yang ditempuh dalam kajian akademis ini terdiri dari wawancara dan diskusi kelompok terfokus atau focused group discussion (FGD). Wawancara dilakukan dengan tatap muka secara langsung di antara peneliti dan para responden. Jumlah responden yang diwawancarai berkisar 15 orang yang disesuaikan dengan kebutuhan kajian akademis ini. Para responden yang diwawancarai terdiri dari perwakilan regulator, pelaku pasar keuangan, dan akademisi/peneliti. Secara teoritis, kegiatan wawancara dapat diklasifikasikan menjadi wawancara tidak terstruktur dan wawancara terstruktur. Kajian akademis ini menggunakan teknik wawancara terstruktur yang menurut Black (1999: 238)
34
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
menggunakan
pertanyaan-pertanyaan
yang
bersifat
terbuka
(open-ended
questions). Sekaran (2003: 227) menjelaskan bahwa wawancara terstruktur dilakukan ketika peneliti telah mengetahui jenis informasi yang dibutuhkan. Pewawancara
mempunyai daftar
pertanyaan
yang
telah
disusun
untuk
ditanyakan kepada para responden, baik melalui tatap muka, telepon, atau medium lainnya. Teknik wawancara yang ditempuh dalam kajian akademis ini adalah tatap muka, surat menyurat, dan electronic mail (e-mail). Peneliti mencatat pendapat yang dikemukakan oleh para responden, dengan tidak lupa memperhatikan pula intonasi dan gaya bahasa yang digunakan. Proses ini memungkinkan ditemukannya faktor-faktor baru, sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai situasi operasional OJK di masa mendatang. Atau sebaliknya, dimungkinkan pula diketahuinya variabel-variabel yang menurut responden tidak berperan signifikan terhadap operasional OJK. Wawancara akan dihentikan apabila peneliti memandang bahwa informasi telah terkumpul secara memadai. Informasi kemudian disusun secara sistematis untuk keperluan analisis. Dengan ketergantungan peneliti yang tinggi terhadap input dari responden, maka kualitas responden perlu menjadi perhatian utama, khususnya dalam hal kompetensi dan pengalaman kerja, yang terkait dengan materi kajian akademis. Teknik pengumpulan data primer selanjutnya adalah FGD yang sering pula disebut sebagai wawancara kelompok. Di dalam FGD, sejumlah responden diwawancarai secara bersama-sama dan dilengkapi dengan diskusi (Babbie, 2004: 302). Dijelaskan lebih lanjut oleh Babbie (2004: 302-303) bahwa lazimnnya sebanyak 12-15 orang dilibatkan dalam suatu FGD dengan topik tertentu. Peserta FGD tidak dipilih dengan metoda sampling tertentu, karena tidak
35
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
merepresentasikan populasi secara statistik. Tujuan dari FGD lebih bersifat eksploratif dibandingkan menggambarkan atau menjelaskan obyek yang dikaji. Krueger (1998) dalam Babbie (2004: 303) mengemukakan 5 keuntungan FGD, yaitu: 1.
dapat menangkap data riil di dalam suatu lingkungan sosial;
2.
memiliki fleksibilitas;
3.
mempunyai validitas yang tinggi;
4.
memberikan hasil dengan cepat; dan
5.
berbiaya murah.
Sedangkan kelemahan FGD adalah: 1.
peneliti kurang dapat mengendalikan situasi jika dibandingkan dengan wawancara individual;
2.
data yang dikumpulkan lebih sulit dianalisis;
3.
membutuhkan moderator yang memiliki kemampuan khusus;
4.
kelompok yang berbeda dapat memberikan hasil yang berbeda;
5.
kelompok yang ideal sulit untuk dikumpulkan; dan
6.
diskusi harus berlangsung di dalam suatu lingkungan yang kondusif.
Kemampuan peneliti dan moderator mengendalikan dinamika di dalam kelompok merupakan tantangan utama dari FGD. Berbeda dengan Babbie (2004), Sekaran (2003: 220) menuliskan bahwa FGD biasanya terdiri dari 8-10 orang yang dipimpin oleh seorang moderator yang melakukan diskusi sekitar 2 jam untuk membahas topik, konsep, atau produk tertentu. Para peserta pada umumnya dipilih berdasarkan keahlian terhadap topik yang dibahas, sehingga dapat menghasilkan informasi yang relevan. Diskusi diharapkan menghasilkan impresi, interpretasi, dan pendapat para
36
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
responden mengenai pokok-pokok pikiran yang dikaji. Respons spontan dari para responden yang menggambarkan ide-ide murni mengenai topik diskusi dipuyakan muncul. Jumlah peserta FGD dalam kajian akademis ini adalah sebanyak 14 orang. FGD dirancang berlangsung hanya satu kali dengan peserta yang berasal dari LPS/OJK, Bank Indonesia, pelaku pasar keuangan, pengamat/ penelitu, dan akademisi. Jumlah peserta FGD yang relatif terbatas diharapkan dapat memberikan
kesempatan
kepada
setiap
peserta
untuk
mengemukakan
pendapatnya secara tuntas mengenai hal-hal yang terkait dengan OJK. Langkah ini ditempuh mengingat praktik FGD di banyak kesempatan terkesan kurang tepat dalam hal komposisi dan jumlah peserta yang hadir. Logika bahwa semakin banyak informan semakin baik seringkali menyesatkan penyelenggara FGD, sehingga mengundang peserta dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Sebagai akibatnya, dengan waktu diskusi yang seringkali juga terbatas, maka keberadaan setiap nara sumber yang menjadi peserta FGD tidak dapat diotimalkan sebagai sumber data. Para responden yang dijadikan sebagai sampel pada pengumpulan data primer melalui wawancara dalam kajian akademis ini ditentukan dengan menggunakan teknik sampling non-probabilitas, yaitu sampling bola salju atau snowball sampling. Dalam suatu rancangan sampling yang bersifat nonprobabilitas, elemen-elemen populasi yang dijadikan sebagai sampel tidak dianalisis untuk keperluan generalisasi (Sekaran, 2003: 276). Menurut Babbie (2004: 184) prosedur sampling bola salju terutama digunakan untuk suatu penelitian yang dirancang dengan tujuan eksplorasi. Dalam praktiknya, setiap
37
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
orang yang diwawancarai diminta untuk mengusulkan orang lainnya untuk diwawancarai oleh peneliti. Adapun para responden yang dilibatkan di dalam FGD ditentukan dengan teknik sampling purposif. Teknik ini sering pula disebut dengan judgmental sampling. Sampling purposif digunakan untuk memilih para responden yang dapat memberikan informasi yang diinginkan oleh peneliti (Sekaran, 2003: 277). Peneliti memilih unit-unit pengamatan berdasarkan kriteria tertentu yang paling bermanfaat atau representatif (Babbie, 2004: 183). Dalam kajian akademis ini, responden FGD adalah orang-orang yang berpengalaman dan mengetahui mengenai konsep maupun praktik lembaga pengatur dan pengawas jasa keuangan serta stabilitas sistem keuangan. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui survei literatur dan kompilasi dokumen-dokumen yang terkait dengan topik penelitian. Literatur dan dokumen yang dimaksud berupa buku, jurnal, majalah, laporan, dan lain sebagainya. Data sekunder pada kajian akademis ini digunakan untuk memperkaya hasil analisis data primer.
D. Metode Analisis Data Data yang dikumpulkan dalam kajian akademis ini dianalisis secara kualitatif yang bersifat induktif. Induktif adalah suatu proses di mana peneliti mengamati fenomena tertentu dan menggunakannya untuk menarik kesimpulan. Dalam analisis kualitatif, data diuji tanpa mengkonversinya menjadi format numerik, dan tujuan utama yang ingin dicapai adalah menghubungkan hasil analisis dengan teori.
38
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
John dan Lyn Lofland (1995: 127-145) dalam Babbie (2004: 370) mengemukakan 6 cara untuk menemukan pola di dalam suatu penelitian. Keenam cara yang dimaksud meliputi: 1.
frekuensi;
2.
besaran;
3.
struktur;
4.
proses;
5.
penyebab; dan
6.
konsekuensi.
Cara lain ditawarkan oleh Huberman dan Miles (1994: 435f), yaitu dengan hanya dua strategi berupa analisis berorientasi pada variabel dan analisis yang berorientasi pada kasus (Babbie, 2004: 371). Analisis yang pertama dilakukan dengan menggambarkan atau menjelaskan suatu variabel tertentu, sedangkan analisis kedua ditujukan untuk memahami satu atau beberapa kasus tertentu. Kajian akademis ini dilakukan dengan mengkombinasikan cara-cara yang telah diuraikan tersebut. Tahap analisis yang pertama dilakukan adalah dengan cara mengklasifikasikan atau mengkategorikan data primer maupun sekunder yang telah dikumpulkan. Melalui langkah ini diharapkan dapat ditemukan indikasi pola dalam data yang terkait dengan teori. Selanjutnya dapat dituliskan sejumlah catatan
yang
dapat
menggambarkan
dan
mendefinisikan
konsep
yang
berhubungan dengan formulasi teoritis. Cara ini dapat pula disebut dengan triangulasi yang diarahkan untuk menemukan benang merah dari sumbersumber data yang berbeda. Melalui triangulasi misalnya, diharapkan dapat diketahui kesamaan atau perbedaan pandangan di antara responden mengenai
39
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan/kegagalan OJK dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya. Hasil penatatan kemudian digunakan pada tahap analisis berikutnya, yaitu pemetaan konsep. Dalam pemetaan konsep telah terlihat berbagai tantangan dan kendala yang akan dihadapi oleh OJK dari sudut pandang konsep stabilitas sistem keuangan dan jasa keuangan di Indonesia. Pemetaan konsep menggambarkan saling hubungan di antara pola data dengan beragam konsep dan teori yang relevan. Dengan demikian, dapat menunjukkan sumbangan kajian akademis ini (novelty) terhadap khazanah teoritis maupun penelitian empirik. Hasil pemetaan konsep selanjutnya dijadikan sebagai dasar penarikan kesimpulan dan perumusan rekomendasi yang sekaligus merupakan kontribusi kebijakan/praktik dari kajian akademis ini.
40
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. OJK dan Kerumitan Sistem Keuangan Sistem keuangan yang semakin rumit dipandang banyak pihak sebagai pemicu utama mulai terjadinya krisis keuangan global sejak tahun 2008 yang lalu. Konglomerasi bisnis di bidang keuangan berlangsung dengan cepat di banyak negara dan diikuti oleh perkembangan produk-produk derivatif atau hibrid yang
hampir-hampir
tidak
terkendali.
Situasi
ini
di
satu
sisi
sangat
menguntungkan pelaku pasar keuangan yang “cerdas” dalam memanfaatkan peluang yang terbuka lebar, namun di sisi lain, menimbulkan kompleksitas bagi regulator dan kerawanan bagi konsumen dan investor pemula yang pada umumnya mudah tergiur. Kasus moral hazard oleh pelaku pasar keuangan terjadi di banyak tempat, karena penegakan regulasi yang tidak konsisten dan mudah dimanipulasi, sehingga perlindungan terhadap konsumen sangat lemah. Kompas (Jumat, 6 Juli 2012: 34) menyajikan beberapa kasus yang terjadi di Indonesia. Sebut saja kasus reksadana bernama Antaboga yang muncul sebelum melebar ke Bank Century. Antaboga ditawarkan sebagai produk investasi ritel yang dibuat sedemikian rupa, sehingga mampu lolos dari pengawasan melekat oleh Bapepam-LK dan Bank Indonesia. Sebagai suatu produk reksadana, Antaboga dianggap sebagai alat investasi di bawah pengawasan Bapepam-LK, sehingga Bank Indonesia merasa tidak perlu mengawasinya. Namun, sebaliknya, Bapepam-LK mengandalkan pengawasan dari Bank Indonesia, karena produk reksadana dipasarkan melalui sebuah bank, yakni
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
Bank Century. Singkat cerita, pada akhirnya, banyak nasabah Bank Century yang telah mengalihkan dananya ke reksadana Antaboga, karena terpesona dengan return yang akan diperoleh, mengalami kerugian berupa hilangnya dana investasi. Penanganan masalah ini belum sepenuhnya tuntas hingga saat ini, khususnya yang menyangkut pelaggaran hukum. Bahkan, aspek politikpun ikut terseret dalam arus penyelesaian kasus ini. Contoh kasus lainnya adalah para nasabah Bank Global dan PT. Elnusa Tbk. Pada kedua kasus ini, lagi-lagi nasabah yang dirugikan, karena harus menunggu cukup lama sebelum memperoleh kembali dananya. Kasus-kasus yang terjadi di dalam pasar keuangan di Indonesia tersebut menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap konsumen dan investor, sehingga membuat harapan masyarakat sangat besar terhadap OJK yang telah lahir dan siap menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya. Kehadiran OJK yang meniadakan kelembagaan Bapepam-LK dan fungsi pengawasan Bank Indonesia bertujuan untuk mendorong kegiatan jasa keuangan menjadi lebih teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Penataan jasa keuangan sangat vital, karena sektor ini memiliki aset yang diperkirakan mencapai 66 persen dari PDB Indonesia pada tahun 2011. Bahkan, pada tahun 2020, rasio total aset jasa keuangan terhadap PDB Indonesia diduga akan mencapai 90 persen. Sementara itu, kapitalisasi pasar modal, sebagai salah satu bagian jasa keuangan yang tumbuh pesat, diperkirakan memiliki rasio yang meningkat dari 36 persen menjadi 64 persen terhadap PDB Indonesia pada kurun waktu yang sama. Dapat dikatakan bahwa OJK membawa era baru dalam pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan di Indonesia, khususnya yang terkait dengan
42
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
perlindungan terhadap konsumen dan investor. OJK seharusnya mampu menjamin keamanan nasabah terhadap praktik-praktik penipuan atau malpraktik yang dilakukan oleh para pengelola lembaga keuangan. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK terpilih, sebagaimana dikuntip oleh Kompas (Jumat, 6 Juli 2012: 34), menyatakan bahwa otoritas pengawas keuangan akan memberikan porsi yang besar untuk merespons potensi kasus. Ditambahkan bahwa perhatian utama OJK mengenai perlindungan konsumen, baik di perbankan maupun industri keuangan lainnya, tercermin dari adanya fungsi khusus di dalam struktur OJK. Meskipun
demikian,
dalam
pandangan
Prajoto,
pengamat
hukum
perbankan, hal tersebut tidaklah mencukupi (Kompas, Jumat, 6 Juli 2012: 34). Diingatkan bahwa kasus-kasus kejahatan keuangan yang masih terus terjadi memberikan isyarat bahwa di masa depan, OJK harus bertindak keras. Selain itu, OJK perlu menyiapkan strategi agar lembaga keuangan tidak dibobol oleh pemiliknya sendiri. Sebagai contoh, OJK harus turun tangan mewakili nasabah pada saat terjadi kasus seperti Bank Century dan Bank Global. Kasus-kasus keuangan yang belum tuntas hingga saat ini seluruhnya akan dilimpahkan kepada OJK. Secara lebih spesifik, Menteri Keuangan, Agus Martowardojo telah mengingatkan: “Kalau ada kasus-kasus di Bapepam-LK atau di institusi yang perlu disehatkan, itu semua akan dibawa ke OJK. Oleh karena itu, proses pengalihannya harus baik, jangan sampai ada yang tercecer. Sebelum dan sesudah dialihkan, sebaiknya diaudit, sehingga ada kesinambungan.” Sinyalemen dari Menteri Keuangan sangat logis apabila mengingat bahwa penyimpangan dana nasabah perbankan dan lembaga keuangan lainnya di Indonesia telah mencatat sejarah yang cukup panjang dan terus-menerus
43
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
berulang mengikuti sifat manusia (homo economicus) yang cenderung tamak. Sebagai gambaran, dalam Laporan Bank Indonesia, hingga pertengahan tahun 2012 saja sudah terdapat 1.009 laporan kejahatan perbankan. Tentu saja masih banyak kejadian lainnya tidak dilaporkan oleh korban kejahatan dengan berbagai alasan. Fakta-fakta seperti inilah yang membuat masyarakat menaruh harapan selangit terhadap kiprah dari OJK. Dalam UU No. 21 Tahun 2011, OJK dimungkinkan untuk menyusun perencanaan organisasinya secara independen, termasuk dalam menyidik pelaku kejahatan keuangan, dan menghukumnya. Di samping itu, terkait dengan pengawasan
bank,
pada
pasal
39,
OJK
memiliki
kewenangan
untuk
berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan terhadap kewajiban pemenuhan modal minimum bank hingga penertiban produkproduk perbankan dan transaksi-transaksi derivatif. Kewenangan ini sangat penting, karena beberapa kasus perbankan lahir dari inovasi “liar” atau dapat dikatakan “cerdik” dari pemilik bank dalam menciptakan produk investasi, sementara edukasi terhadap nasabah relatif masih lemah. OJK juga dilibatkan dalam pengambilan keputusan oleh FKSSK. Forum ini memilki peran yang vital dan strategis, karena menyangkut penyelesaian dan penanganan bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik. Mekanisme ini perlu ditempuh untuk menghindari terulangnya kekalutan dalam menetapkan posisi suatu bank gagal (sistemik atau tidak sistemik). Contoh nyata adalah ketidaksepakatan berbagai pihak dalam kasus status Bank Century yang telah menghabiskan dana talangan dari LPS sebesar Rp 6,7 triliun. Posisi OJK seharusnya sangat kuat dalam mengatasi kasus-kasus penyimpangan oleh pelaku jasa keuangan di Indonesia, karena memiliki pejabat
44
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
penyidik dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang dapat menyidik tersangka pelaku kejahatan perbankan maupun LKBB. Secara teknis, tanpa birokrasi yang rumit, penyidik OJK dapat memeriksa, menggeledah, menyita dokumen, dan mencegah pihak-pihak tertentu untuk bepergian ke luar negeri. Hasil penyidikan OJK juga wajib ditindaklanjuti dalam waktu yang relatif singkat, yaitu 90 hari sejak laporan diterima. Penetapan waktu tindak lanjut yang pendek diperlukan untuk memastikan bahwa kasus-kasus perbankan yang ditangani bisa cepat dituntaskan dan potensi pelarian tersangka bisa diminimalkan. Namun, untuk mewujudkan hal ini, banyak akademisi mengingatkan faktor transparansi sebagai kunci utamanya. Keberadaan OJK sewajarnya membawa perubahan-perubahan yang nyata. Sewaktu fungsi pengawasan masih ditangani oleh Bank Indonesia, publik pada umumnya tidak mengetahui, atau merasa tidak perlu untuk mengetahui, mengenai bank-bank mana saja yang sehat atau yang sakit. Agresivitas bank dalam menawarkan beragam produk dan layanannya, ditambah iming-iming undian berhadiah, seringkali mampu menutupi rasa ingin tahu nasabah yang awam dan tidak teredukasi dengan baik mengenai aspekaspek perbankan. Pada mekanisme yang baru, melalui OJK, lembaga-lembaga keuangan wajib menyampaikan pelaporan kondisi keuangannya secara bulanan, tiga bulan, semesteran, dan tahunan. Laporan ini selanjutnya akan diteruskan oleh OJK kepada DPR dan publik, sehingga perkembangan lembaga keuangan dapat dipantau oleh semua pihak yang berkepentingan. Pada kesempatan lainnya, Firdaus Djaelani, yang telah dilantik sebagai Kepala
Eksekutif
Pengawas
Perasuransian,
Dana
Pensiun,
Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK menyatakan bahwa OJK akan memprioritaskan pembenahan regulasi terkait produk keuangan yang
45
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
memiliki persinggungan di antara perbankan, asuransi, atau multifinance. OJK akan
meminta
masing-masing
asosiasi
untuk
merumuskan
berbagai
permasalahan yang saat ini masih tumpang tindih di antara industri perbankan dan industri keuangan non bank. Dikemukakan oleh Firdaus Djaelani (Investor Daily, Jumat 10 Agustus 2012: 21): “Kami akan memetakan produk-produk mana saja yang bersinggungan di antara asuransi dan perbankan, sehingga nantinya tidak perlu lagi meminta izin satu produk ke dua instansi, yaitu Bank Indonesia dan Bapepam-LK”. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa meskipun masing-masing jenis lembaga keuangan telah lama beroperasi dan industrinya telah sangat maju, namun belum terdapat batas yang jelas di antara produk asuransi, bank, dan multifinance. Sebagian industri multifinance masih beroperasi seperti layaknya suatu bank bayangan (shadow banking), karena memberikan kredit secara tunai yang sebenarnya sesuai regulasi hanya diperbolehkan bagi industri perbankan. Di masa mendatang, hendaknya OJK mampu membuat batasan yang lebih jelas dan sekaligus tegas dalam menegakannya. Misalnya, multifinance hanya diperkenankan memberikan kredit dalam bentuk barang (in kind), seperti dalam kredit kendaraan bermotor, properti, dan lain sebagainya. Sedangkan kredit dalam bentuk tunai hanya merupakan domain perbankan semata, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Penetapan batas yang jelas seperti dimaksud tidak memerlukan revisi substansial terhadap regulasi yang sudah ada. Regulasi perbankan, asuransi, dan multifinance hanya perlu dilengkapi dengan diktum-diktum tambahan yang memasukkan aturan pengawasan dan perizinan secara rinci. Sebagai contoh, apabila selama ini LKBB mengajukan permohonan perijinan ke Kementerian Keuangan, maka selanjutnya pengajuan ijin dimaksud harus dilakukan kepada
46
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
OJK. Adapun hal-hal yang bersifat sangat teknis dan organik tetap disesuaikan dengan karakteristik masing-masing lembaga keuangan. Penyelesaian payung hukum sebenarnya tidak hanya merupakan harapan dari kalangan internal OJK, namun diharapkan pula oleh segenap stakeholders, termasuk dari para pelaku dalam industri keuangan dan masyarakat luas. Penyempurnaan regulasi diperlukan untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi perkembangan industri keuangan. Selain itu, revisi peraturan perundang-undangan yang mengatur kiprah lembaga keuangan juga sangat penting dalam konteks perlindungan konsumen (market friendly).
B. Tantangan OJK Ketika kajian akademis ini dilakukan, kelembagaan OJK masih belum sepenuhnya utuh. Namun, setumpuk beban telah menghadang lembaga yang disebut banyak pihak sebagai “superbody” ini. Harapan industri keuangan maupun masyarakat sangat besar terhadap peran OJK. Majalah GOLDBank No. 4/I yang terbit pada periode 15 Juli-14 Agustus 2012 menuliskan judul Laporan Utamanya “Nasib Jabang Bayi Bernama OJK”. Diuraikan bahwa senyum dan canda sudah sewajarnya mengiringi kehadiran jabang bayi tatkala pertama kali terlahir di dunia. Tak sekedar rasa bahagia, kehadiran anggota baru itu bakal diikuti dengan proses perawatan penuh kasih sayang oleh anggota keluarga lainnya. Ditimang dan dimanja. Ketika beranjak tumbuh, si jabang bayi tersebut akan dibimbing untuk berjalan selangkah demi selangkah. Namun, situasi ini sangat berbeda dengan jabang bayi yang bernama OJK. Meski belum benar-benar keluar dari rahim, sang bayi ini sudah terlebih dahulu memiliki pekerjaan rumah yang bertumpuk. Bahkan, ketika ia benar-benar sudah
47
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
menapakkan kakinya di dunia nanti, tak ada yang akan mengajarinya merangkak. Si jabang bayi ini pun akan dibiarkan berjalan sendiri tanpa bimbingan dengan membawa beban yang berat. Malah mungkin saja, jika nanti ia jatuh, tak akan ada pihak yang akan menolongnya untuk berdiri lagi. Bukan tak mungkin, ia bakal mendapat hujatan dan kecaman dari semua yang memperhatikannya pada saat berjalan. Maklum, sebelumnya
OJK
sudah
digadang-gadang
oleh
banyak
pihak
bisa
menyelesaikan semua persoalan yang mendera di lembaga keuangan, baik industri perbankan, lembaga pembiayaan, asuransi, pasar modal, hingga dana pensiun. Selama ini, banyak kasus yang melilit industri keuangan diduga bersumber dari lemahnya pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga tersebut oleh Bank Indonesia dan Bapepam-LK. Alih-alih membenahi aturan dan meningkatkan pengawasan, negara justru membentuk organ baru yang akan menaungi semua lembaga yang bergerak di industri keuangan. Catatan yang sinis ini merupakan peringatan terhadap OJK agar menjadi solusi atas permasalahan dan bukan sebaliknya, justru memperkeruh suasana. Setelah melalui proses uji kelayakan di DPR, telah terpilih 7 orang Dewan Komisioner OJK, yang kemudian dilengkapi menjadi 9 orang. Dua orang tambahan anggota Dewan Komisiner OJK merupakan ex officio dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Terpilihnya Dewan Komisioner OJK tidak memuaskan semua pihak. Salah satu diantaranya adalah Sigit Pramono, Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), yang merasa tidak ada perwakilan dari asosiasinya di dalam susunan Dewan Komisioner OJK. Menurutnya (GOLDBank, No. 4/I: 10):
48
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
“Dewan Komisioner OJK jangan sampai menentukan kebijakan sendiri tanpa melibatkan pihak lain, terutama industri. Karena, yang menjalani usaha adalah industri, sehingga yang mengerti secara nyata selukbeluknya adalah industri itu sendiri”. Masalah SDM, khususnya kepemimpinan mendapatkan cukup banyak sorotan dari berbagai pihak, karena tumpuan harapan yang besar. Dewan Komisioner OJK dengan dukungan segenap jajarannya diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengawasan, sehingga semua jenis industri keuangan dapat berkembang dengan lebih baik. Keberadaan perwakilan dari Bank Indonesia memberikan harapan pada penataan LKBB, karena pengaturan dan pengawadan industri perbankan seringkali dijadikan sebagai benchmark oleh industri asuransi dan LKBB lainnya. Gambar 4.1 Susunan Dewan Komisioner OJK
Anggota Ex-‐Officio dari Bank Indonesia Halim Alamsyah (Deputi Gubernur Bank Indonesia)
Wakil Ketua OJK Rahmat Waluyanto (Mantan Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan)
OJK Ketua Muliaman D. Hadad (Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia
Anggota Ex-‐Officio dari Kementerian Keuangan Anny Ratnawati (Wakil Menteri Keuangan)
Kepala Eksekutif Pasar Modal OJK Nurhaida (Mantan Ketua Bapepam-‐ LK Kementerian Keuangan)
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon (Mantan Direktur Internasional Bank Indonesia)
Ketua Dewan Audit Ilya Avianti (Mantan Auditor Badan Pemeriksa Keuangan)
Anggota yang Membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen Kusumaningtuti Sandriharmy (Mantan Kepala Kantor Bank Indonesia Cabang New York)
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lain Firdaus Djaelani (Mantan Komisioner LPS)
Pimpinan OJK juga diharapkan dapat membuat keputusan yang lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Jika nantinya dijumpai produk-produk lembaga keuangan yang merugikan nasabah, maka OJK seharusnya cepat tanggap dan
49
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
mengambil tindakan tegas tanpa pandang bulu. Industri keuangan merupakan industri yang sangat bergantung pada aspek “kepercayaan”, sehingga aturan yang berlaku harus ditegakkan dengan ketat agar potensi munculnya kasus dapat diminimalkan. Kalaupun terjadi kasus, perlu diambil tindakan dengan cepat agar tidak berlarut-larut. Penundaan penyelesaian kasus akan merugikan nasabah dan dapat membawa dampak yang lebih luas bagis sistem keuangan maupun perekonomian pada umumnya. Meleburnya pengawasan Bank Indonesia dan Bapepam-LK ke dalam satu wadah, yaitu OJK, diharapkan membuat pengawasan terhadap lembagalembaga keuangan menjadi lebih terintegrasi. Harapan ini akan menjadi kenyataan jika terjadi sinergi dari penggabungan tersebut dan bukan sebaliknya. Dewasa ini, banyak dijumpai produk-produk asuransi yang dijual oleh bank atau sebaliknya, di samping produk-produk perbankan juga mulai menawarkan perlindungan asuransi. Oleh karena itu, perlu dijaga keseimbangan antarindustri, sehingga semua jenis industri keuangan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Perlu dihindari situasi di mana terdapat suatu industri yang didukung untuk maju, namun industri lainnya sulit untuk berkembang atau bahkan dikerdilkan secara sistematis. OJK sepantasnya mampu memperbaiki koordinasi dan menciptakan sinergi antarlembaga keuangan, sehingga seluruh industri keuangan di Indonesia dapat tumbuh dengan baik. Banyak pihak berharap lebih jauh, yaitu agar OJK dapat mengedepankan asas resiprokal yang terkait dengan perizinan bank. Kalangan DPR misalnya, dengan tegas mengingatkan agar jangan sampai bank asing bisa masuk dan beroperasi dengan mudah di Indonesia, namun investor perbankan
50
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
dari Indonesia mengalami kesulitan untuk memulai atau mengembangkan bisnisnya di negara lain. Kontribusi lembaga-lembaga keuangan terhadap perekonomian Indonesia merupakan tantangan lainnya yang dihadapi oleh OJK. Peran perbankan nasional terhadap pertumbuhan ekonomi pada saat ini masih berkisar 30 persen dan cenderung tidak mengalami perubahan yang berarti dalam beberapa tahun terakhir. Fakta ini berbeda jauh dengan di negara-negara lain. Sebagai perbandingan, peran perbankan dalam pertumbuhan ekonomi di Malaysia bisa mencapai 98 persen.
Tabel 4.1 Aset Lembaga Keuangan di Indonesia Tahun 2012 Jumlah Lembaga (Unit) 1. Emiten (diluar 31 Bank) 412 2. Bank 120 3. Multifinance 198 4. Asuransi Jiwa dan Umum 134 5. Asuransi Sosial 5 6. Dana Pensiun 271 7. Manajer Investasi 76 8. Sekuritas 119 Jumlah 1.335 Sumber: Bank Indonesia, Bapepam-LK, Bursa Efek Indonesia (BEI). No.
Lembaga Keuangan
Nilai Aset (Rp Triliun) 2.014,7 3.891,1 317,6 295,0 243,9 141,6 178,1 56,8 7.138,8
Untuk menghadapi berbagai tantangan, OJK membutuhkan biaya yang besar
dalam
menjalankan
tanggung
jawabnya.
Sesuai
dengan
yang
direncanakan, struktur organisasi OJK akan diisi oleh para pegawai dari berbagai direktorat di Bank Indonesia dan unit-unit kerja di Bapepam-LK. Diperkirakan setidak-tidaknya sejumlah 1.000 pegawai Bank Indonesia dan juga 1.000 pegawai Bapepam-LK akan mengisi formasi di OJK. Di samping itu, sekitar 500
51
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
tenaga professional akan direkrut untuk memperkuat kelembagaan OJK. Dengan demikian, sekurang-kurangnya 2.500 orang akan bekerja di OJK. Jumlah pegawai yang relatif besar ini tentu membutuhkan anggaran personil yang besar. Apalagi, OJK diposisikan sebagai lembaga yang high profile, sebagaimana Bank Indonesia dan Bapepam-LK, sehingga standar gaji dan tunjangan pegawainya dipastikan di atas rata-rata pekerja di Indonesia. Bahkan, Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, pernah menyatakan bahwa gaji pegawai OJK akan lebih baik dibandingkan gaji pegawai Bank Indonesia. Maknanya, setiap bulan, OJK akan membutuhkan dana yang sangat besar untuk memenuhi hak para personilnya. Biaya personil akan semakin membengkak jika ditambah pula dengan biaya administrasi, pengadaan aset, serta kegiatan pendukung lainnya, seperti operasi dan pemeliharaan gedung, kendaraan operasional, seragam pegawai, jaringan teknologi informasi dan komunikasi, dan lain-lain. Pada tahun 2012 ini, anggaran OJK masih bersumber dari anggaran Bapepam-LK. Mulai tahun depan, sesuai undang-undang, OJK akan memiliki pos anggaran tersendiri dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Idealnya, OJK didukung oleh anggaran yang memadai, namun porsi terbesarnya diperoleh secara mandiri, sehinga tidak sepenuhnya bergantung dari APBN. Sesuai pasal 34 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011, selain dari APBN, pembiayaan OJK dimungkinkan bersumber dari pungutan terhadap jasa keuangan. Namun, jika OJK memungut dana dari industri keuangan yang diatur dan diawasinya, maka independensi OJK patut dipertanyakan. Terdapat kemungkinan, meskipun bisa saja sangat kecil, OJK akan setengah hati dalam menegur atau mengambil
52
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
tindakan
tegas
terhadap
pelaku
pasar
keuangan
yang
melakukan
penyimpangan. Perbanas melaui ketuanya telah dengan tegas menolak jika industri keuangan diwajibkan untuk memberikan iuran bagi OJK. Keberatan Perbanas terutama disebabkan perbankan telah mengeluarkan dana untuk memenuhi kewajiban iuran kepada LPS. Selain itu, Bank Indonesia selama ini selalu mendengung-dengungkan efisiensi. Jika terhadap industri perbankan pada akhirnya tetap dipungut biaya untuk OJK, maka biaya operasional perbankan akan bertambah tinggi, sehingga upaya penurunan tingkat bunga kredit semakin jauh dari kenyataan. Selama ini, industri perbankan telah membayar iuran ke LPS sebesar 0,2 persen dari dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun. Hal yang senada dengan Ketua Perbanas juga telah disampaikan oleh Gatot M. Suwondo, Ketua Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara). Sebagaimana dikutip di dalam GOLDBank (No. 4/I, 15 Juli-14 Agustus 2012: 12), Gatot M. Suwondo menegaskan, “Tidak etis apabila OJK memungut iuran kepada lembaga yang diawasinya. Masa kita yang diawasi, kita yang harus membayar. Sebaiknya, operasional OJK sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah, seperti halnya Bank Indonesia dan Bapepam-LK, yang selama ini dibiayai pemerintah.” C. Langkah OJK: Belajar Dari Kegagalan OJK akan mulai berkiprah pada tahun 2013 dan beroperasi penuh pada tahun 2014. Apa yang harus dilakukan oleh jajaran OJK agar lembaga superbodi ini berhasil dalam menjalankan misinya dan tidak sampai gagal seperti di beberapa negara lain? Sebagaimana lazimnya suatu organisasi yang baru berdiri, konsolidasi ke dalam merupakan langkah pertama yang sewajarnya ditempuh. Tujuannya adalah untuk menyamakan persepsi di kalangan internal,
53
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
sehingga setiap elemen OJK tidak berjalan dengan kepentingannya sendirisendiri. Apabila terjadi kesamaan gerak langkah, maka masa transisi OJK akan berlangsung dengan mulus. Sekalipun dalam masa transisi, OJK harus memastikan terjaminnya kepastian berusaha, kepastian kegiatan pengawasan, dan kepastian efektifnya kebijakan. Konsolidasi internal merupakan salah satu unsur masa transisi untuk memastikan bahwa semua pihak mampu menjalankan fungsinya dengan baik dan mencapai target yang ditetapkan. Selanjutnya, pengawasan yang terintegrasi harus dapat diwujudkan sesuai dengan harapan dari pelaku pada industri keuangan. Pengawasan yang terintegrasi merupakan tugas yang berat, karena masing-masing industri sejatinya mempunyai fokus bisnis yang berbeda-beda. Industri perbankan misalnya, mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatannya. Sedangkan industri pasar modal lebih mengutamakan transparansi. Meskipun dihadapkan pada situasi seperti demikian, OJK harus tetap memfokuskan kinerjanya terutama pada perlindungan kepada nasabah atau investor. Selain
itu,
OJK
perlu
meningkatkan
intensitas
koordinasi
dengan
pemerintah (Kementerian Keuangan), Bank Indonesia, dan LPS. Koordinasi sangat vital dalam rangka menjamin stabilitas sistem keuangan nasional. Langkah ini menjadi seirama dengan kontribusi OJK pada tataran riil perekonomian yang bermuara pada perbaikan kesejahteraan masyarakat. Kesemuanya hanya mungkin terwujud apabila OJK memiliki SDM yang mumpuni dan berintegritas. Untuk itu, secara bertahap, perlu dilakukan peningkatan kualitas SDM, baik di dalam OJK maupun di kalangan pelaku industri keuangan. Pengembangan profesionalitas SDM sangat logis dilakukan
54
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
untuk memastikan bahwa segenap regulasi yang disusun dapat dilaksanakan secara efektif. Gambar 4.2 Kronologi dan Target Pembentukan OJK (Sumber: Darmawan, 2012: 35)
Oktober 2011 RUU OJK disahkan menjadi UU
2012-‐2013 Masa transisi pengalihan pengawasan perbankan, pasar modal, dan LKBB dari Bank Indonesia dan Bapepam-‐LK kepada OJK
1 Januari 2014 OJK berfungsi penuh mengawasi perbankan, pasar modal, dan LKBB
Sampai Akhir 2012 Penetapan Struktur Organisasi Persiapan Pengalihan SDM Penyusunan Quick Wins Peyelesaian Tugas yang Diamanatkan UU OJK Dewan Komisioner Mengadakan RoadShow
31 Desember 2012 Pengawasan bank oleh Bank Indonesia melebur ke OJK
31 Desember 2012 Bapepam-‐LK melebur ke OJK
OJK harus mau belajar dari kegagalan lembaga sejenis di negara lain, yang terutama bersumber dari persoalan miskoordinasi. Kiprah OJK tidak dapat dilepaskan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal, sehingga membutuhkan koordinasi secara intensif dan kondusif. Aset perbankan saja yang saat ini diawasi oleh Bank Indonesia dan akan diurusi oleh OJK telah mencapai sekitar Rp 3.891 triliun. Sedangkan total aset seluruh lembaga keuangan (bank dan LKBB) berjumlah Rp 7.139 triliun yang terdistribusi menjadi 1.335 unit lembaga keuangan. Suatu jumlah yang fantastis! Jika dirunut dari sejarah pembentukannya, gagasan untuk membentuk sebuah lembaga pengawas independen yang melakukan pengawasan secara
55
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
menyeluruh terhadap lembaga keuangan sebenarnya telah cukup lama diwacanakan. Ide ini, menurut Krisna Wijaya, Komisaris Bank Mandiri (dan mantan Kepala LPS) bersumber dari keinginan untuk merespons krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998. Namun, diskusi berlangsung secara berlarut-larut, sehingga terkesan timbul tenggelam. Beberapa bankir mengemukakan bahwa tertundanya pembentukan OJK di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari adanya tarik-menarik di antara dua kubu, yakni kubu Thamrin dan Lapangan Banteng. Kubu Thamrin merupakan istilah yang digunakan untuk merepresentasikan Bank Indonesia yang kantornya terletak di Jalan M. H. Thamrin, Jakarta Pusat, sedangkan yang dimaksudkan dengan kubu Lapangan Banteng adalah Kementerian Keuangan yang kantornya berlokasi di sekitar Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Terdapat kesan bahwa kubu Lapangan Banteng sangat menginginkan pembentukan OJK, sedangkan kubu Thamrin berada pada posisi yang sebaliknya. Interaksi di antara kedua kubu secara teoritis dapat diskenariokan seperti kasus Prisoners’ Dilemma di dalam Game Theory. Situasi ini sempat mengkhawatirkan, karena belajar dari keberadaan OJK di negara lain, keberhasilannya sangat ditentukan oleh koordinasi, kekompakan, kesigapan, dan integritas dari setiap elemen pembentuknya. Otoritas jasa keuangan di negara-negara lain mengalami kegagalan terutama disebabkan ketidakmampuan melakukan koordinasi dan sinergi di antara anasir-anasir yang mewakili otoritas moneter dan otoritas fiskal, di samping resistensi yang kuat dari pelaku pasar keuangan dan situasi krisis. Kalaupun sudah terdapat kesamaan visi dan misi, optimalnya kinerja OJK masih pula membutuhkan kesamaan persepsi terhadap nilai-nilai budaya kerja di kalangan personilnya yang
56
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
membutuhkan waktu. Kondisi ini perlu dicermati dengan baik oleh jajaran pimpinan OJK, agar pembentukan lembaga yang telah menyita banyak waktu, tenaga, dan dana ini, tidak menjadi sia-sia. Kegagalan lembaga sejenis di Inggris dan Korea Selatan harus dijadikan sebagai pelajaran. Di kedua negara, kehadiran otoritas jasa keuangan yang independen malah tidak efektif dan menimbulkan banyak persoalan. Kegagalan Financial Supervisory Services (FSS) di Korea Selatan terletak pada masalah koordinasi, di samping terdapat indikasi kuat tentang adanya penyalahgunaan wewenang. Persoalan koordinasi juga menjadi penyebab utama gagalnya Financial Service Authority (FSA) di Inggris, selain akibat kegagalan sejumlah lembaga keuangan di negara tersebut dalam mengatasi dampak krisis. Dengan demikian, OJK di Indonesia seyogyanya mampu terlebih dahulu mengatasi masalah koordinasi sebagai landasan berpijak untuk berkinerja pada tugas-tugas yang diemban. Tanpa koordinasi yang baik, OJK dapat melakukan kesalahan dalam menyusun kebijakan. Berkaca dari pengalaman FSA di Inggris, pemerintah koalisi konservatif dan liberal demokrat mengumumkan pelaksanaan reformasi arsitektur sistem keuangan dengan langkah pertama adalah pembubaran FSA. Selanjutnya, Bank of England (BoE) menjadi lembaga yang melaksanakan macro-prudential supervision dan oversight micro-prudential supervision. Untuk operasionalnya, dibentuk tiga lembaga baru, satu komite, dan satu komisi. Satu lembaga baru merupakan anak perusahaan dari BoE adalah Prudential Regulatory Authority yang bertugas menangani macro-prudential supervision dan oversight micro-prudential supervision. Kemudian dua lembaga baru adalah Economic Crime Agency yang akan menangani masalah kriminal di
57
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
bidang ekonomi dan Consumer Protection and Market Authority yang menangani perlindungan terhadap investor dan konsumen, termasuk melakukan penyidikan atas indikasi kejahatan. Komite yang dibentuk adalah Financial Policy Committee yang bertangung jawab untuk memantau seluruh isu keuangan dan ekonomi makro yang diperkirakan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan. Komite ini juga ditugaskan mengidentifikasi potensi risiko yang muncul dengan bantuan Gubernur BoE dan anggota independen. Adapun komisi yang didirikan adalah Banking Commision yang bertugas untuk menyusun kajian mengenai upayaupaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi risiko sistemik dalam sistem perbankan, serta upaya-upaya yang harus ditempuh untuk memisahkan perbankan ritel dan investasi. Pada kasus di Korea Selatan, bentuk pengawasan tetap meneruskan pengawasan terintegrasi yang telah diterapkan sejak tahun 1999. Perubahan hanya sedikit dilakukan pasa struktur pengawasannya. Sebelum tahun 2008, sistem pengawasan terpadu berada di bawah kendali Financial Supervisory Commissions
(FSC)
serta
Menteri
Keuangan
dan
Perekonomian.
FSC
bertanggung jawab kepada Perdana Menteri dan independen terhadap Menteri Keuangan dan Perekonomian. FSC membawahi Securities and Futures Commission (SFC) dan FSS yang kemudian membawahi seluruh lembaga keuangan. Sejak bulan Maret 2008, posisi Pimpinan FSC dan Gubernur FSS dipisahkan untuk meningkatkan efisiensi dan membedakan secara jelas di antara pembuatan kebijakan dan pengawasan pasar keuangan. FSC juga mengalami perubahan nama, yaitu dari Financial Supervisory Commission menjadi Financial Services Commission.
58
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
FSC dibentuk untuk melindungi integrasi pasar keuangan di Korea Selatan dengan meningkatkan kesehatan sistem kredit dan praktik bisnis yang jujur. Dalam praktiknya, FSC mengambil posisi sebagai badan penghasil kebijakan terkonsolidasi yang berkaitan dengan permasalahan pengawasan seluruh jenis industri keuangan. Struktur organisasi FSC terdiri dari 9 orang Komisioner, sedangkan FSS yang dibentuk pada 2 Januari 1999 merupakan gabungan dari Banking
Supervisory
Authority,
Securities
Supervisory
Board,
Insurance
Supervisory Board, dan Non-Bank Supervisory Authority. Tugas pokok FSS adalah menguji dan mensupervisi lembaga keuangan. Struktur organisasi FSS dipimpin oleh seorang Gubernur yang membawahi 25 departemen, 9 divisi, dan 16 kantor. Sebagai pengawas industri keuangan, OJK diharapkan mampu membuat kebijakan-kebijakan
beserta
aturan
teknis
turunannya
yang
lebih
baik
dibandingkan periode sebelumnya, sehingga dapat mendorong kemajuan industri keuangan di Indonesia. Kebijakan yang dimaksud harus market friendly dan dikomunikasikan kepada pelaku industri keuangan dengan intensitas yang memadai. Intervensi yang tidak wajar dari pihak-pihak yang tidak berwenang, termasuk intimidasi politik, seharusnya dihindari. Dalam kasus di Inggris, terdapat indikasi bahwa beberapa regulasi yang disusun oleh FSA sangat lemah sebagai akibat lobi-lobi politik yang berlebihan. Selain itu, orientasi kultur FSA yang cenderung berpihak kepada kepentingan industri keuangan telah menyebabkan kekurangharmonisan dengan BoE sebagai otoritas moneter. Fenomena sebaliknya terjadi dalam konteks OJK di Indonesia. Sebagaimana diutarakan oleh Ketua Perbanas, OJK ditengarai akan
59
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
cenderung berpihak kepada otoritas fiskal dan otoritas moneter, karena tidak ada wakil dari industri perbankan di dalam jajaran pimpinannya. Untuk mencegah kegagalan peran OJK, seperti di Inggris dan Korea Selatan, menurut Darmawan (2012: 33), terdapat setidak-tidaknya tiga langkah yang harus diupayakan oleh OJK, yaitu: 1. menerapkan prudential regulation secara konsisten yang berlaku secara internasional; 2. meregulasi instrumen dan pasar keuangan, bukan hanya institusinya; serta 3. mengembangkan transparansi dan membangun dukungan untuk menciptakan market dicipline. Pelengkapan organisasi OJK dapat dilihat sebagai likuidasi sederhana dari fungsi pengawasan Bank Indonesia (mulai Januari 2014) dan Bapepam-LK (mulai Januari 2013). Transfer pegawai dari Bapepam-LK diperkirakan akan berlangsung dengan lebih mudah dibandingkan dengan Bank Indonesia. Selain seleksi personil, akan terjadi pula pelimpahan aset-aset. Mekanisme seleksi pegawai OJK dari Bapepam-LK dirancang bahwa pada tahun pertama, pegawai yang lolos seleksi akan langsung dipekerjakan di OJK. Setelah tiga bulan, para pegawai tersebut boleh memilih di antara tetap di OJK atau kembali ke Kementerian Keuangan. Peleburan pegawai Bank Indonesia ke OJK diduga akan lebih kompleks. Salah satu penyebab fundamentalnya adalah fakta bahwa kesejahteraan pegawai Bank Indonesia selama ini jauh lebih baik dibandingkan pegawai negeri sipil (PNS). Dengan kondisi ini, maka sangat manusiawi jika pada awalnya para pegawai Bank Indonesia enggan untuk bergabung dengan OJK. Selain soal remunerasi, kejelasan masa depan karir merupakan permasalahan lainnya yang
60
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
menjadi tanda tanya di kalangan pegawai Bank Indonesia. Akankah OJK langgeng beroperasi, ataukah akan dibubarkan dalam beberapa tahun ke depan? Pada Rancangan APBN 2013, pemerintah diketahui menganggarkan Rp 934,1 miliar untuk menunjang kegiatan OJK. Anggaran ini salah satunya akan digunakan untuk memberikan remunerasi bagi pegawai OJK yang kabarnya sangat kompetitif. Bila telah beroperasi penuh pada tahun 2014, OJK direncanakan mendapatkan alokasi anggaran operasional sebesar Rp 2 triliun. Di samping itu, sedang diwacanakan bahwa OJK akan mencari sumber pendanaan lainnya, yaitu dari iuran pelaku industri keuangan. Pemungutan iuran/premi oleh OJK dari lembaga keuangan merupakan hal yang logis, karena lembaga keuanga mendapatkan manfaat secara langsung dari kinerja OJK. Sekalipun terdapat resistensi dari para praktisi dan pengurus asosiasi lembaga keuangan, khususnya menyangkut etika, namun stabilitas sistem keuangan dalam jangka panjang merupakan pertaruhan yang lebih penting. OJK perlu didukung oleh sumber dana yang memadai untuk memastikan bahwa pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di Indonesia dapat berlangsung dengan baik. Ketergantungan anggaran kepada APBN semata terlalu berisiko, karena proses perencanaan dan realisasinya yang panjang dan memakan waktu lama, di samping kemungkinan ketersediaannya pun sangat terbatas. Regulasi memungkinkan OJK melakukan pemungutan iuran kepada lembaga keuangan, di samping best practices di negara-negara menunjukkan hal yang sama. Data yang tersedia menunjukkan bahwa kegiatan pengawasan
61
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
jasa keuangan di negara-negara berikut ini telah menerapkan pemungutan iuran kepada lembaga keuangan yang diawasinya. 1. APRA di Australia. 2. AMF di Perancis. 3. BRSA di Turki. 4. BaFin di Jerman. 5. SB di Afrika Selatan. 6. FSC di Korea Selatan. Persentase biaya yang dikenakan kepada lembaga keuangan sangat bervariasi antarnegara. Biaya ini melengkapi komposisi biaya lembaga pengawas jasa keuangan yang secara rata-rata terdiri dari pembiayaan yang bersumber dari industri keuangan sebesar 56 persen, pemerintah 22 persen, campuran 16 persen, dan tidak disebutkan 6 persen (Tim Kerjasama Penelitian FEB-UGM & FE-UI, 2010: 170). Penetapan premi yang dipungut dari lembaga keuangan dapat dilakukan secara proporsional dengan memperhatikan ukuran aset dari masing-masing lembaga keuangan. Lembaga keuangan yang berskala besar, dengan karakter too big to fail, akan membutuhkan pengaturan dan pengawasan yang lebih kompleks, sehingga sangat wajar jika membayar iuran yang lebih besar. Sebaliknya,
lembaga
keuangan
yang
berukuran
kecil,
pada
dasarnya
membutuhkan biaya yang lebih sedikit dalam penanganannya. Namun, perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya pengalihan beban iuran kepada OJK oleh lembaga keuangan kepada konsumen. Fenomena ini merupakan praktik dari konsep tax incidence, di mana perusahaan cenderung mengalihkan kepada konsumen sebagian atau seluruh beban pajak yang
62
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
dikenakan kepadanya oleh pemerintah melaui otoritas yang berwenang. Dengan demikian, logika yang digunakan sebagai alasan penarikan premi yang selama ini telah dilakukan oleh LPS kepada perbankan tidak dapat diberlakukan.
Tabel 4.2 Model Pendanaan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan No. 1.
Model Basis transaksi
2.
Basis alokasi biaya
3.
Basis tetap tahunan
4.
Basis volume tahunan
5.
Basis jasa inti
6.
Basis risiko
7.
Pendapatan denda
8.
Pendapatan dari aktivitas lain
Karakteristik Fee pengawasan didasarkan pada jenis transaksi pada industri keuangan tertentu (fixed fee atau persentase dari nilai transaksi). Fee pengawasan didasarkan pada biaya yang dikeluarkan oleh OJK untuk mengawasi suatu industri. Fixed fee dibebankan kepada suatu lembaga keuangan tanpa memperhatikan ukuran lembaga keuangan yang bersangkutan. Fee dikenakan berdasarkan volume transasksi yang dilakukan oleh suatu lembaga keuangan dalam satu tahun. OJK membebankan fee berdasarkan biaya pengawasan jasa inti yang dijalankan oleh suatu lembaga keuangan. Fee dibebankan berdasarkan profil risiko suatu lembaga keuangan. Biaya OJK ditutup oleh pemasukan dari denda atas pelanggaran peraturan oleh industri keuangan. Biaya OJK ditutup oleh pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan lain, misalnya pelatihan.
Sumber: PACG (2009) dalam Tim Kerjasama Penelitian FEB-UGM & FE-UI (2010: 170-171).
Selain
persoalan
anggaran,
masih
banyak
masalah
yang
harus
diselesaikan oleh OJK. Apalagi, masa transisi OJK beriringan dengan suasana krisis global saat ini yang belum jelas pemulihannya. Oleh karena itu, Dewan Komisioner harus berupaya agar masa transisi OJK dapat berjalan dengan lancar. Masa transisi sangat krusial, karena menyangkut kepastian usaha bagi pelaku pasar keuangan dan kepastian mengenai keberlangsungan kebijakankebijakan yang telah diambil sebelumnya dan sedang berjalan. Sebagai contoh, Arsitektur Perbankan Indonesia (API) masih menjadi acuan bagi perbankan. Demikian pula dengan Master Plan Pasar Modal dan
63
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
LKBB yang masih berlaku. Tidak tertutup kemungkinan OJK akan melakukan perbaikan atas kedua dokumen tersebut. Penyempurnaan ditujukan untuk memperkuat jasa keuangan dengan menata keseimbangan di antara perbankan, pasar modal, dan LKBB. OJK juga perlu banyak belajar dari situasi krisis di zona Eropa yang memiliki sektor keuangan yang banking oriented dan di Amerika Serikat yang sektor keuangannya memiliki ciri capital market oriented. OJK seharusnya mampu membangun industri keuangan nasional yang sehat, stabil, kuat, dan efisien, termasuk memiliki daya tahan terhadap gejolak yang bersumber dari dalam maupun dari luar. OJK pada dasarnya dibentuk dengan konsep form follow function, sehingga regulasi dan supervisi industri keuangan perlu dilakukan secara terintegrasi. Sebagai pelengkap, OJK juga terlibat di dalam FKSSK serta memiliki akses pada sistem peringatan dini dan protokol manajemen krisis. Krisna Wijaya, Komisaris Bank Mandiri, membuat tulisan berjudul “Selamat Bekerja OJK” yang dimuat di majalah infobank Vol. XXXIV, No. 40 (September 2012: 61). akhirnya
Dituliskan bahwa setelah melalui proses yang cukup panjang, OJK
resmi
berdiri,
baik
kelembagaannya
maupun
Dewan
Komisionernya. Dewan Komisioner OJK dilantik secara resmi pada tanggal 21 Juli 2012. Diingatkan bahwa layaknya lembaga baru, para pemimpin OJK harus segera melengkapi berbagai sarana pendukung, mulai dari kelengkapan organisasi, pengisian formasi, hingga gedung. Hal tersebut secara teknis tidaklah sulit, karena telah ada semacam tim persiapan yang dibentuk oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Kendati demikian, sangat dimungkinkan ada tiga
64
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
hal penting lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dari Dewan Komisioner OJK. 1. Masalah penyempurnaan perundangan, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan tugas OJK. Sebagaimana diamanatkan, OJK akan menangani LKBB, seperti asuransi, lembaga pembiayaan, dan bahkan pengelolaan dana pensiun serta pasar modal mulai 1 Januari 2013. Sekalipun telah ada tim persiapan, masih banyak hal yang implementasinya memerlukan keterlibatan pihak lain, misalnya amandemen perundangan yang harus segera dilakukan. Sekecil apapun, hal-hal yang berkaitan dengan perubahan memerlukan proses dan waktu. Apabila berbagai perubahan ketentuan tidak dapat diselesaikan pada saat OJK beroperasi, dikhawatirkan operasional OJK menjadi kurang optimal, karena terkendala aspek legalitas dan dukungan hukum. 2. Berkaitan dengan kesiapan organisasi beserta perangkat dan SDM yang mendukung pelaksanaan operasional OJK. Walau sering disampaikan bahwa para pekerja di lingkungan Bapepam-LK siap dipindahkan ke OJK, namun permasalahannya bukan sekedar memindahkan orang semata. Apapun alasannya, keberadaan OJK diharapkan akan membawa angin segar dan harapan baru bahwa pengaturan dan pengawasan yang semula berada di Bapepam-LK akan menjadi lebih efisien dan efektif ketika beralih ke OJK. Kalau harapan tersebut tidak dapat menjadi kenyataan, pertanyaannya adalah, untuk apa ada OJK? Bagaimana agar OJK memiliki nilai tambah dan dapat menunjukkan peran yang semakin efektif dan efisien? OJK harus membangun suatu sistem, tata kelola, dan komitmen yang bernuansa pembaruan. Kewenangan yang dimiliki OJK tidak seharusnya membuat OJK
65
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
menjadi lembaga yang “ditakuti”, namun lebih tepat jika menjadi lembaga yang “disegani”. Semangat dan etos kerja yang dibangun harus mendorong budaya kerja baru di kalangan pegawai yang ditopang oleh keteladanan dari Dewan Komisioner OJK. 3. OJK perlu diarahkan untuk menjadi lembaga yang terhormat, independen, dan terpercaya. Dengan pola pikir linier yang dianut masyarakat pada umumnya, maka bisa saja ketidakpercayaan telah muncul sejak awal. Mengapa? Karena personil OJK adalah orang-orang yang sama di bidang pengaturan dan pengawadan lembaga keuangan, dan hanya lembaganya saja yang baru. Tentunya, Dewan Komisioner OJK telah menyiapkan segala sesuatunya agar harapan publik dan pelaku industri keuangan dapat segera diwujudkan.
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Wewenang OJK Pengaturan dan pengawasan terhadap industri keuangan merupakan tugas yang dapat dikatakan sulit. Tugas ini sangat kompleks, membutuhkan biaya yang besar, dan waktu yang lama, karena memerlukan ketelitian. Untuk itu, lembaga pengatur dan pengawas dimaksud membutuhkan SDM
dengan tingkat
pengetahuan dan ketrampilan yang mumpuni. SDM dengan kapabilitas yang sesuai dalam faktanya tidak dapat dibentuk dalam kurun waktu yang singkat, apalagi hanya 1-2 tahun. Tugas mengatur dan mengawasi sistem perbankan sendiri telah memiliki tingkat kerumitan yang tinggi, apalagi jika masih ditambah dengan asuransi, pasar modal, lembaga pembiayaan, dan dana pensiun. Adanya otoritas di suatu negara yang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan secara terintegrasi memiliki keunggulan maupun kelemahan. Dalam
66
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
perekonomian moderen, konglomerasi keuangan sering terbentuk, di mana sebuah induk perusahaan dapat memiliki beberapa lembaga keuangan yang berbeda. Fenomena ini secara alamiah menciptakan saling keterkaitan dan ketergantungan yang sekaligus juwa membawa risiko yang saling tertaut. Oleh karena itu, pengaturan dan pengawasan memang idealnya dilakukan secara menyeluruh dan tidak parsial. Di samping itu, fakta-fakta empirik telah membuktikan bahwa banyak lembaga keuangan melakukan praktik arbitrase peraturan dengan melahirkan produk-produk yang regulasi pengawasannya relatif longgar atau memanfaatkan celah regulasi. Lembaga keuangan yang memiliki kewenangan yang lengkap dapat mengurangi kompetisi di antara lembaga pengawas serta meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas. Selain itu, arogansi sektoral dan pengalihan atau duplikasi tanggung jawab dapat dihindari, sehingga implementasi kebijakan menjadi lebih efektif. Namun penyatuan tugas, fungsi, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap industri keuangan di bawah satu lembaga berpotensi menimbulkan ketidakjelasan tujuan yang harus dicapai. Faktor diseconomies of scale juga dapat muncul, karena lembaga pengawas tunggal cenderung lebih birokratis (struktur organisasi vertikal dan horizontal sangat panjang). Faktor negatif lainnya adalah tidak sinkronnya kebijakan, karena jenis lembaga keuangan yang berbeda membutuhkan implikasi kebijakan yang berbeda, serta peluang penyalahgunaan. Dari proses pembentukan OJK di Indonesia, dapat disimak beberapa nuansa yang mewarnai lahirnya OJK.
67
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
1. Terdapat kecenderungan para politikus untuk memanfaatkan pembentukan OJK
sebagai
instrumen
untuk
meningkatkan
pengaruhnya
di
dalam
perekonomian (politik ekonomi). 2. Adanya tarik-menarik kepentingan di antara otoritas moneter dan otoritas fiskal. 3. Persaingan pemilihan pimpinan diwarnai oleh kompleksitas hubungan di antara faktor kompetensi dengan kekuatan jaringan atau akses, baik terhadap tokoh-tokoh kunci di eksekutif maupun legislatif. 4. Beban psikologis yang berat sejak awal berdirinya OJK, karena membutuhkan change management yang fundamental, yaitu tugas, fungsi, dan wewenang yang tadinya diemban oleh dua lembaga menjadi disatukan. Semua sifat dan kriteria yang dimiliki oleh lembaga pengawas keuangan perbankan maupun LKBB selanjutnya berada di pundak OJK. Kriteria-kriteria lembaga pengawas yang ideal harus dipenuhi agar tujuan pembentukan OJK dapat dicapai secara optimal. Kriteria-kriteria dimaksud antara lain: 1. harus independen dan kuat; 2. memiliki sumber daya yang memadai; 3. aktif melakukan perbaikan; 4. memanfaatkan informasi pasar; 5. fokus pada informasi mengenai likuiditas sebagai sinyal dini permasalahan di bidang keuangan; 6. memantau ketercukupan permodalan lembaga keuangan secara intensif; 7. mencermati kualitas aset dan batas pinjaman lembaga keuangan; 8. mencegah potensi penyalahgunaan; serta
68
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
9. melakukan konsolidasi internal maupun komunikasi secara intensif dengan pelaku pasar keuangan. Secara umum, OJK akan melaksanakan berbagai tugas yang dapat dikategorikan ke dalam: 1. macropridential supervision; 2. microprudential supervision; dan 3. conduct of business supervision. Pengawasan makro bertujuan untuk mengantisipasi dan mengatasi dampak krisis
keuangan
yang
dapat
mengganggu
perekonomian,
sedangkan
pengawasan pada tataran mikro ditujukan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu melalui analisis laporan dan pemeriksaan langsung pada lembaga keuangan. Adapun pengawasan pelaksanaan bisnis terutama bertujuan melindungi konsumen atas berbagai kemungkinan terjadinya penyimpangan oleh pelaku pasar keuangan. Pada awalnya, sekurang-kurangnya terdapat dua risiko yang akan dihadapi oleh OJK. Risiko yang pertama adalah masa transisi, sedangkan risiko yang kedua terkait dengan penanganan krisis. Pengalihan fungsi pengawasan dari Bank Indonesia dan Bapepam-LK kepada OJK perlu dilakukan dengan cermat agar tidak menimbulkan gejolak terhadap kontinyutas pengawasan maupun pelaksanaan bisnis keuangan. Masalah SDM sangat krusial dalam masa transisi, karena menyangkut pengisian formasi pada organisasi baru, kesetaraan jabatan, remunerasi, jenjang karir, serta pengembangan integritas dan kompetensi. Aspek lainnya yang tidak kalah pentingnya dalam masa transisi OJK adalah arus data dan
informasi
serta
pelaporan
yang
sangat
dibutuhkan
dalam
proses
pengambilan keputusan, khususnya tatkala dalam situasi krisis.
69
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
Menurut Sugiharto, Komisaris Utama AJB Bumiputera 1912, fungsi, tugas, dan wewenang OJK nantinya akan dapat dijalankan dengan baik. Alasannya adalah bahwa ke-7 orang anggota Dewan Komisioner OJK yang telah dipilih oleh Komisi IX DPR pada Selasa, 19 Juni 2012, memiliki kompetensi dan pengalaman kerja yang memadai. Mereka adalah para pejabat karir senior pada Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Komposisi keahlian yang dimiliki oleh anggota Dewan Komisioner OJK sangat beragam, sehingga dapat saling melengkapi dan sesuai dengan kebutuhan OJK. Selain itu, kontinyutas pengaturan dan pengawasan sektor keuangan di Indonesia akan terjamin, karena UU No. 11 Tahun 2011 menetapkan adanya dua pejabat ex-officio di dalam OJK yang masing-masing berasal dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuanga. Selanjutnya, Sugiharto dalam jawaban tertulisnya menyatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan/kegagalan OJK meliputi: 1. transisi yang mulus dari fungsi pengaturan dan pengawasan yang dijalankan oleh Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan kepada OJK yang baru dibentuk; 2. independensi dan sterilnya OJK dari kepentingan politik; 3. konsistensi dalam pengawasan pelaksanaan kebijakan sektor keuangan; 4. Koordinasi antarlembaga pengawas sektor keuangan, yaitu Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, OJK, dan instansi terkait lainnya; 5. redefinisi dari peran pengawasan Bank Indonesia; 6. revisi undang-undang tentang Bank Indonesia, undang-undang tentang asuransi, undang-undang tentang pasar modal, undang-undang tentan
70
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
perbankan dan lembaga keuangan syariah, dan undang-undang tentang keuangan lainnya; 7. konsolidasi kelembagaan; serta 8. tersedianya protokol krisis untuk menghadapi kemungkinan krisis keuangan di masa depan. Kehadiran
OJK
diperkirakan
mampu
memperkuat
stabilitas
sistem
keuangan di Indonesia. Pertimbangannya adalah karena OJK merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang mengatur dan mengawasi kegiatan sektor keuangan secara menyeluruh. Di samping itu, independensi OJK dinilai lebih baik dibandingkan sistem yang berlaku sebelumnya, terutama dalam mereduksi conflict of interest dan ego sektoral dari masing-masing industri keuangan. Sugiharto mengingatkan mengenai perlunya OJK melakukan komunikasi dan sosialisasi secara intensif dengan para pelaku industri keuangan, terutama yang tidak terwakili secara langsung di dalam kepemimpinan OJK. Misalnya, diperlukan sosialisasi mengenai mekanisme pengawasan terhadap lembaga keuangan dan asuransi yang berbentuk khusus, seperti mutual (asuransi jiwa bersama), yang eksistensinya tetap harus dilindungi oleh regulasi yang berlaku. Selain itu, penerapan tata kelola yang baik merupakan aspek yang harus dijalankan dengan baik, khususnya dari segi akuntabilitas dan transparansi melalui pelaporan kegiatan operasional dan keuangan OJK. Dalam pandangan Arifin Indra Sulistyanto, Direktur Pelaksana Senior Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), fungsi OJK baru benar-benar akan teruji jika sistem keuangan Indonesia sedang berada dalam kondisi down turn, semisal krisis moneter atau krisis global. Dalam jangka pendek, OJK pasti harus melewati masa konsolidasi hingga mendapatkan bentuk yang pas. Pada
71
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
awalnya, OJK akan beroperasi dengan lambat. Kemudian dalam jangka menengah, OJK akan lebih efektif mengawasi seluruh industri keuangan, baik bank, multifinance, asuransi, sekuritas, pasar modal, maupun lembaga keuangan khusus. OJK akan lebih cepat mengantisipasi siklus bisnis dibandingkan jika terdapat lembaga pengawas sektor keuangan yang terpisah. Secara spesifik dikemukakan bahwa faktor yang paling menentukan keberhasilan operasional OJK adalah leadership di kalangan pimpinan OJK, termasuk teamwork. Arifin juga mencermati pentingnya koordinasi di antara OJK dengan Bank Indonesia serta penyesuaian regulasi yang terkait. Pengalaman FSA di Inggris yang mengalami kesulitas, karena persoalan koordinasi, patut dijadikan sebagai pelajaran oleh OJK. Diingatkan bahwa terdapat potensi kerumitan tatkala melakukan sinkronisasi peraturan yang terkait dengan pengalihan wewenang dari Bank Indonesia dan Bapepam-LK. Proses perekrutan dan penyiapan SDM harus dilakukan dengan rapih agar tidak menjadi “bom waktu” yang bisa meledak kapan saja. Dalam perspektif Arifin, idealnya, LPEI diperlakukan sebagai “bank plus”. Mengapa? Karena LPEI dibentuk dengan undang-undang dan mempunyai lingkup operasional yang lebih luas daripada bank. Di samping memberikan pembiayaan, LPEI juga menyediakan skema penjaminan dan asuransi. Pertimbangan lainnya adalah LPEI bersifat quasi sovereign dan sue generis, serta memiliki fokus kegiatan pada ekspor yang harus memenuhi banyak ketentuan internasional (WTO, ICC, Basle, UN, OECD, ADB, IMF, dan WB). Selain itu, LPEI memperoleh priviledge seperti bank sebagaimana tertuang di dalam UU No. 2 Tahun 2009.
72
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Berbeda dengan pendapat Sugiharto yang berharap banyak terhadap peran OJK dalam mengatur dan mengawasi bisnis perasuransian di Indonesia, menurut I Dewa Gde Suthapa, Komisaris Utama PT. BPR Indomitra Artha Pertiwi Cibinong, keberadaan OJK tidak akan berpengaruh banyak terhadap operasional BPR. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa SDM di OJK yang mengetahui mengenai BPR relatif terbatas, apalagi jika pegawai-pegawai Bank Indonesia yang memahami BPR tidak bersedia untuk pindah ke OJK. Masalah kepemimpinan juga perlu mendapatkan perhatian yang serius. Dewa mengharapkan agar, dalam konteks BPR, OJK lebih memfokuskan pada upaya pembinaan dibandingkan pengawasan, karena skala bisnis BPR yang tidak sebesar lembaga keuangan lainnya, terutama bank umum. BPR masih membutuhkan keberpihakan agar dapat berkembang dan bersaing di pasar keuangan. Selama ini, sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga pengatur dan pengawas kepada BPR sangat minim. Banyak hal yang sebetulnya diharapkan oleh BPR dengan kehadiran OJK, namun sepertinya akan sulit untuk diwujudkan. Hal-hal yang senada dengan para responden wawancara sebelumnya diutarakan pula oleh pimpinan PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero) atau yang dikenal dengan JASINDO. Menurut Budi Tjahjono, Direktur Utama JASINDO, masa transisi pengalihan tugas dari Bank Indonesia dan Bapepam-LK sangat krusial, namun terdapat optimisme. SDM yang berkompeten menjadi faktor kunci, meskipun komposisi personil OJK didominasi dari perbankan. Di samping itu, koordinasi di antara OJK dengan Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan perlu terus dibangun.
73
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
Sholihah, Direktur Keuangan JASINDO menegaskan bahwa OJK akan melalui masa transisi dengan baik dan tanpa permasalahan yang berarti. Namun demikian, diungkapkan bahwa OJK harus mampu mendorong pengembangan modal di kalangan pelaku industri keuangan dan tidak sekedar mengatur dan mengawasi. OJK perlu mengkreasikan jenis-jenis modal baru, sehingga lembaga keuangan dapat mengembangkan pasar inti, dan industri keuangan menjadi semakin kuat. Hal lainnya adalah agar OJK dapat membatasi atau mengatur masuknya perbankan ke industri asuransi dan perlunya pembatasan pemodal asing di dalam industri keuangan nasional. Krisna Wijaya, Komisaris Independen Bank Mandiri, menyatakan bahwa pembentukan OJK dilakukan selain agar pengawasan menjadi terintegrasi, juga agar industri keuangan menjadi lebih baik. Asumsi ini baru terbukti dalam hal terintegrasinya pengawasan lembaga keuangan. Jadi, tantangannya adalah membuktikan bahwa OJK mampu membuat sistem keuangan nasional menjadi lebih baik. Krisna termasuk yang optimis bahwa sistem keuangan di Indonesia akan menjadi lebih baik, meskipun ragu akan adanya banyak perubahan atau pembaharuan. Jajaran OJK termotivasi untuk dengan baik, karena adanya dorongan yang kuat dari stakeholders dan telah adanya sistem yang dibangun. Krisna memperkirakan OJK belum bisa membawa banyak perubahan dalam kurun 2-3 tahun ke depan, karena pimpinannya merupakan muka-muka lama dari Bank Indonesia dan Bapepam-LK. Kelak, apabila OJK telah dihuni oleh pekerja hasil perekrutan sendiri, maka bisa diharapkan terjadi banyak perubahan. Tentunya dengan asumsi bahwa memanga terdapat rancanga agenda perubahan dan dilaksanakan secara konsisten.
74
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Faktor terbesar yang mempengaruhi kinerja OJK, menurut Krisna Wijaya, adalah manusianya, karena menjadi pelaksana. Pimpinan OJK harus dengan cepat menciptakan rasa memiliki (sense of belonging) di kalangan pegawai OJK, karena
lembaga
baru
pasti
memiliki
banyak
ketidakpastian
yang
bisa
menimbulkan keraguan serta penurunan motivasi dan produktivitas pada pekerja. Penyatuan budaya kerja merupakan aspek penting lainnya, karena para pekerja berasal dari institusi yang berbeda (Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan). Upaya yang ditempuh bukan menyamakan, melainkan membuat budaya kerja OJK yang baru, dan peran pimpinan OJK sangat vital dalam hal ini. Perlu dihindarkan kemungkinan terbentuknya silo-silo yang mejurus pada “klik” di kalangan pekerja atas dasar esprit de corps yang berlebihan. Krisna Wijaya setuju bahwa adanya OJK akan semakin memperkuat sistem keuangan di Indonesia. Selain karena terintegrasinya pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan, juga karena kewenangan OJK yang semakin luas dan komprehensif. Semua situasi dan kondisi lembaga keuangan akan semakin terkonsolidasi dan terintegrasi, sehingga peringatan dini (early warning) potensi krisis dapat diidentifikasi dengan lebih baik dan akurat. Ditambahkan bahwa OJK pada dasarnya telah menjadi lembaga politik, karena Ketua dan Anggota Dewan Komisionernya dipilih oleh DPR. Dengan fakta ini, kemampuan pimpinan OJK untuk menjaga independensi patut dipertanyakan, meskipun hal ini masih terlalu dini untuk dibahas, apalagi dikhawatirkan. Namun, aspek ini jangan sampai terabaikan, karena sifat alami manusia yang pada umumnya sangat sulit untuk melepaskan rasa terima kasih atau balas budi dan jalinan pertemanan. Jajaran OJK harus berperilaku
75
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
profesional dan mengutamakan kepentingan lembaga, karena kedewasaan berpolitik membutuhkan waktu. Sebagai seorang banker yang sangat senior dan saat ini masih berkecimpung di dalam industri perbankan, Widigdo Sukarman, Komisaris Utama PT. Bannk Muamalat Indonesia, Tbk., menyatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan OJK ditentukan oleh profesionalisme dan intelektualitas jajarannya dalam menerawang keadaan industri jasa keuangan. Kondisi yang dimaksud mencakup hubungan intraindustri maupun dengan industri jasa keuangan dengan keadaan makro dan global. OJK harus bekerjasama dengan Bank Indonesia dan berani mengambil keputusan, karena telah didukung oleh undangundang. Faktor lainnya adalah perspektif waktu yang singkat dalam pengambilan keputusan,
di
samping
faktor
keberuntungan,
karena
lingkungan
yang
mendukung juga sangat penting dalam keberhasilan atau kegagalan OJK. Bankir senior lainnya, yaitu JB Kendarto, Direktur Utama Bank Mega, meyakini
bahwa
OJK
akan
mampu
menjalankan
fungsi,
tugas,
dan
wewenangnya dengan baik. Salah satu alasannya adalah karena OJK hanya merupakan penggabungan dari fungsi otoritas keuangan yang selama ini sudah ada (Bank Indonesia dan Bapepam-LK). SDM yang mengisi posisi di OJK mayoritas berasal dari Bank Indonesia dan Bapepam-LK, sehingga telah memiliki pengalaman dalam mengatur dan mengawasi jasa keuangan. Penggabungan diharapkan dapat meningkatkan pengawasan terhadap industri keuangan secara lebih terpadu dan komprehensif. Sebelumnya, kewenangan pengawasan berada di bawah lembaga yang berbeda, sehingga seringkali kurang efektif dan menjadi berlarut-larut manakala terjadi kejadian yang membutuhkan penanganan lintas batas antarlembaga.
76
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Menurut Kendarto, keberhasilan/kegagalan OJK dipengaruhi antara lain oleh profesionalisme dari SDM-nya serta dukungan dan komitmen dari seluruh institusi keuangan yang ada di bawah naungan OJK, masyarakat, serta seluruh pemangku kepentingan lainnya. Apabila faktor-faktor tersebut dapat dipenuhi, maka keberadaan OJK akan dapat memperkuat sistem keuangan di Indonesia. Dengan adanya OJK, fungsi pengaturan dan pengawasan jasa keuangan berada pada satu atap, sehingga akan memudahkan dalam melakukan koordinasi. Penyelesaian atas suatu masalah diperkirakan akan dapat dilakukan dengan lebih cepat dan akurat. Pada bagian akhir jawabannya yang disampaikan melalui e-mail, Kendarto mengharapkan agar proses transisi dari otoritas keuangan yang dikelola oleh Bank Indonesia dan Bapepam-LK menjadi OJK dapat berjalan dengan lancer. Di masa
mendatang,
fungsi
pengaturan
dan
pengawasan
jasa
keuangan
diharapkan dapat lebih cepat mengantisipasi perkembangan dunia bisnis di sektor keuangan. Lebih jauh lagi, tidak diharapkan adanya campur tangan dari pihak-pihak tertentu, baik dari parlemen, partai politik, maupun pihak-pihak lainnya yang memiliki kepentingan tertentu, dalam operasional dan keputusankeputusan yang akan diambil oleh OJK. Para akademisi dan pengamat memiliki pandangan yang berbeda mengenai potensi keberhasilan/kegagalan OJK. Hal ini berbeda dengan cara pandang praktisi jasa keuangan yang secara umum segaris. Sebagai contoh, Sukmawati Sukamulja, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya Yogyakarta,
berpikir
positif
dan
menyatakan
bahwa
OJK
akan
dapat
menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya dengan baik. Jawaban berbeda disampaikan oleh Dewi Hanggraeni, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas
77
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
Indonesia, yang belum yakin bahwa OJK akan berkinerja baik. Riant Nugroho, Ketua Harian Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI), bahkan menegaskan bahwa fungsi, tugas, dan wewenang OJK sulit untuk dapat dikatakan dapat dijalankan dengan baik. Hal senada diutarakan oleh Yanuar Rizky, seorang pengamat pasar modal, dengan alasan latar belakang lahirnya OJK sampai ke setting komisionernya kental dengan nuansa kompromi di antara kepentingan birokrasi Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Sukmawati menambahkan bahwa fungsi, tugas, dan wewenang OJK nantinya bisa berjalan dengan baik jika semua orang di dalam OJK memiliki komitmen yang kuat sesuai dengan idealisme awal yang melandasi dibentuknya OJK. Apabila idealisme ditinggalkan, maka OJK hanya akan menghabiskan uang negara tanpa berkontribusi secara nyata. Selain komitmen, faktor lainnya yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan OJK adalah penerapan tata kelola yang baik dan independensi. Pegawai OJK seharusnya tidak terpengaruh dengan vested of interest dari golongan tertentu. OJK diprediksi dapat memperkuat stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Namun, untuk mencapainya, menurut Sukmawati, OJK sebaiknya mempunyai rambu-rambu yang harus dilakukan untuk mendorong sumbangsihnya. Sejauh ini, Sukmawati belum melihat skala prioritas dalam perencanaan langkahlangkah yang akan ditempuh oleh OJK. Ketidakyakinan Dewi Hanggraeni akan kiprah OJK didasari oleh proses pemilihan Dewan Komisioner OJK yang cenderung tidak “clean”. Menurutnya, besar kemungkinan terdapa hidden agenda atau campur tangan politik. Selain itu, desain struktur organisasi serta sistem manajemen SDM OJK juga perlu
78
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
dicermati. Manajemen SDM yang dimaksud mencakup mulai dari perekrutan pegawai hingga pengembangan kompetensi dan career plan. Sesuai dengan keahliannya, Dewi melihat SDM sebagai faktor penentu keberhasilan atau kegagalan OJK, selain faktor-faktor lainnya. Secara lebih lengkap, faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kinerja OJK adalah sebagai berikut: 1. pemilihan
personil
di
bawah
Dewan
Komisioner
yang
berkompeten,
profesional, memiliki integritas, dan sebaiknya mempunyai mind set atau budaya melayani, bukan birokrat (mempersulit dan dilayani), berpikir out of the box, sangat memahami manajemen risiko, dan selalu menerapkan budaya risk awareness; 2. strutur organisasi dan arsitektur SDM dirumuskan dengan tepat; 3. harus bebas dari berbagai pengaruh kepentingan kelompok tertentu yang berpotensi merugikan (good governance); 4. harus ada check and balancing dalam setiap pengambilan keputusan stratejik; 5. harus ada pengawasan yang melekat, karena ruang lingkup OJK sangat luas dan powerfull (superbody); 6. harus dapat memetakan semua permasalahan yang dihadapi dan cepat bertindak dalam mengatasi permasalahan; serta 7. harus memiliki target key performance indicator (KPI) yang jelas, terukur, dan dilakukan pertanggungjawaban ke publik, tidak hanya ke DPR. Jika tidak ada intervensi, maka OJK memiliki potensi yang sangat besar untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Namun, untuk berperan secara optimal, OJK membutuhkan waktu. Seperti responden lainnya, pada akhirnya, Dewi berharap agar OJK dapat menjalankan fungsi, tugas, dan
79
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
kewenangannya yang mulia untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh industri keuangan dan tidak sebaliknya menciptakan masalahmasalah baru. Riant Nugroho mengemukakan bahwa latar belakang pendirian OJK bukanlah untuk membangun OJK itu sendiri, melainkan ketidaksukaan sebuah kementerian yang sangat berkuasa kepada Bank Indonesia. Bank Indonesia dipandang telah menjadi “sebuah negara di dalam negara” dan terbukti berkalikali menyelewengkan kekuasaan yang luar biasa yang telah diamanatkan kepadanya. Ditambahkan bahwa tidak sedikit kebijakan publik di Indonesia yang dibangun bukan dengan alasan “memang diperlukan”, namun lebih karena sentiment pribadi dan/atau kelembagaan. Fenomena ini adalah ciri khas suatu negara dengan kedewasaan kebijakan yang terbatas. Secara pribadi, Riant melihat Bank Indonesia telah menjadi lembaga yang “untouchable” dan “do no wrong”. Kesemuanya disebabkan oleh undang-undang yang memberikan kekuasaan tak terbatas kepada Bank Indonesia. Sementara itu, merubah undang-undang tentang Bank Indonesia sangat sulit, karena harga politik dan ekonominya teramat tinggi. Oleh karenanya, satu-satunya jalan cepat yang tersedia adalah mempreteli kewenangan Bank Indonesia dengan menerbitkan undang-undang tentang OJK. Di Inggris, lembaga seperti ini terbukti tidak efektif, karena kasus fraud perbankan terus terjadi. Saat ini, FSA di Inggris telah dibubarkan, dan perannya dikembalikan kepada bank sentral. Riant lebih jauh mengeksplorasi bahwa adanya konflik kepentingan di antara pimpinan dan kelembagaan di Bank Indonesia, OJK, Kementerian Keuangan, dan DPR akan membuat OJK sulit berfungsi dengan baik. Konflik ini akan berjangka panjang dan menjadi beban yang besar. Para pimpinan OJK
80
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
yang terdiri dari mantan pimpinan di Bank Indonesia, LPS, dan Bapepam-LK, bukan merupakan jaminan akan keefektifan OJK. Keberadaan OJK mungkin saja memperkuat stabilitas sistem keuangan di Indonesia, namun harganya teramat mahal. Sesungguhnya Indonesia tengah membangun sebuah “distrust monetary system” dengan keberadaan Bank Indonesia, LPS, dan OJK. Menurut Riant, stabilitas sistem keuangan di Indonesia dapat lebih terbangun secara efisien dan efektif jika dilakukan revisi terhadap undangundang Bank Indonesia, di mana kewenangannya diatur agar tidak absolut. Keberadaan OJK yang “sama dengan Bank Indonesia”, yaitu di luar pemerintah, akan
membuat
dikendalikan.
manajemen
Kelembagaan
stabilitas sistem
moneter
stabilitas
semakin
keuangan
tidak
mudah
Indonesia
dapat
dikatakan dibajak sendiri agar tidak dapat dikendalikan sendiri. Potensi konflik di antara OJK dengan Bank Indonesia dan pemerintah masih cukup besar untuk terjadi sepanjang politik Indonesia masih volatile. Denga tegas, Riant menyatakan bahwa OJK adalah lembaga yang baik, tetapi
sesungguhnya
tidak
diperlukan
untuk
Indonesia
dengan
kondisi
keterbatasan sumber daya saat ini. Pembentukan OJK merupakan suatu bukti bahwa
pemerintah
senang
memecahkan
masalah
tidak
pada
inti
permasalahannya. OJK akan memberikan tambahan beban ekonomi dan politik bagi stabilisasi keuangan di Indonesia. Terkecuali, dengan adanya OJK, maka anggaran Bank Indonesia mengalami penurunan menjadi separuhnya, maka terjadi pembenaran ekonomi. Pembenaran politiknya adalah bahwa jika OJK mampu muncul sebagai best practice untuk dunia sebagai sebuah pranata baru stabilisasi sistem keuangan nasional. Semantara itu, OJK memiliki waktu yang terbatas untuk persiapan, yaitu hanya kurang dari dua tahun.
81
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
Responden wawancara yang terakhir adalah Yanuar Rizky, seorang pengamat pasar modal yang telah sering muncul di media cetak maupun elektronik. Yanuar mengibaratkan pimpinan OJK sebagai seolah-olah seseorang dengan baju lama kemudian bergabung dengan identitas baru. Kondisi ini akan memaksa Dewan Komisioner OJK terus disibukkan dengan agenda konsolidasi birokrasi yang kompromistis sejak awalnya. Kewenangan Bapepam-LK selama ini, menurut Yanuar, adalah pada eksekusi kewenangannya sebagai penyidik yang diberikan oleh undang-undang tentang pasar modal. Penanganan kasus pidana nyaris tidak terdengar. Dengan adanya OJK, kewenangan penyidikan juga berlaku untuk perbankan. Jika di pasar modal saja sulit, maka bisa dibayangkan jika OJK juga harus menyidik kasus-kasus yang terjadi di perbankan dan asuransi. Dewan Komisioner OJK akan bergesekan dengan area penyidikan yang menjadi kewenangan Bareskrim Polri (perbankan). Kemampuan penyidikan diperkirakan akan terbatas, karena kemampuan ini tidak diuji dalam proses perekrutan Dewan Komisioner OJK. Faktor kultural dikatakan Yanuar sebagai penentu utama keberhasian atau kegagalan OJK. Kultur otoritas akan mewarnai bangunan kelembagaan OJK, sehingga kultur “lembek” harus ditinggalkan, jika OJK tidak ingin menemui kegagalan. OJK akan berhasil jika menuntaskan quick win-nya dengan menyelesaikan kasus-kasus lintas sektoral, termasuk kasus Antaboga-Bank Century, yang masih menggantung. Jika kelemahan integrasi pengawasan yang selama ini terjadi dapat diatasi, maka OJK berpeluang besar memperkuat stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Sebaliknya, jika OJK hanya berjalan dengan ritme birokrasi, maka OJK akan menimbulkan beban baru bagi industri keuangan.
82
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pendapat-pendapat yang disampaikan oleh peserta FGD pada dasarnya searah dengan hasil wawancara dengan responden. Dalam forum FGD, Widigdo Sukarman mengemukakan lima persoalan yang menurutnya turut menentukan keberhasilan atau kegagalan OJK, yaitu: 1. koordinasi; 2. profesionalisme; 3. biaya; 4. transisi; dan 5. keengganan Bank Indonesia; Pandangan Widigdo mendapatkan respons dari Agusman, Peneliti Eksekutif Bank Indonesia, yang mengemukakan bahwa Bank Indonesia mendukung sepenuhnya kehadiran OJK, karena telah menjadi undang-undang. Namun, tantangan yang dihadapi OJK sangat besar, termasuk dengan melihat arus balik di negara-negara lain yang telah mengembalikan fungsi pengawasan lembaga keuangan kepada bank sentral. Agusman menasehatkan agar OJK dalam operasionalnya perlu memitigasi risiko yang hanya mungkin dilakukan apabila personilnya memiliki profesionalisme dan independensi yang tinggi. Jajaran OJK perlu menyadari bahwa tugas mengurusi perbankan tidaklah ringan. Agusman selanjutnya juga mengulas mengenai sistem remunerasi, pembiayaan, koordinasi, dan teknologi informasi yang perlu dibangun dengan baik oleh OJK. Sebagai praktisi pada Bank Pembangunan Daerah (BPD), Eko Budiwiyono, Direktur Utama Bank DKI, memulai pendapatnya dengan menceritakan bahwa proses pembentukan OJK telah memakan waktu yang cukup lama, yaitu sejak tahun 2001 hingga terbentuk pada tahun 2011. Jika pada awalnya, OJK dapat
83
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
dikatakan “diperlukan”, maka pada saat ini, kelahiran OJK seperti “dipaksakan”. Masalah-masalah yang bakal dihadapi oleh OJK, menurut Eko, terdiri dari: 1. persoalan kelembagaan (agency problem); 2. kualitas pembuatan keputusan (decision making); 3. komunikasi dengan asosiasi; serta 4. intensitas pengawasan, di mana pelaku perbankan akan disibukkan oleh berbagai pemeriksaan (Bank Indonesia, LPS, PPATK, BPK, KAP, internal control, dan OJK); Permasalahan yang diidentifikasi oleh Eko Budiwiyono serupa dengan pendapat Hendrawan Tranggana, seorang pengamat perbankan. Menurutnya kiprah OJK akan ditentukan oleh aspek-aspek sebagai berikut: 1. koordinasi dan komunikasi 2. profesionalitas; 3. independensi; serta 4. integritas. Koordinasi yang dimaksudkan tidak hanya dengan lembaga-lembaga eksternal, namun juga termasuk di kalangan internal OJK sendiri.
84
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat ditarik beberapa simpulan berikut ini. 1. Harapan masyarakat dan pelaku industri keuangan terhadap OJK sangat besar.
Harapan
masyarakat,
termasuk
investor,
dilatarbelakangi
oleh
keinginan yang kuat untuk mendapatkan layanan yang optimal atas jasa keuangan yang disediakan oleh perbankan maupun LKBB. OJK diharapkan mampu memberikan perlindungan yang maksimal kepada nasabah lembaga keuangan dengan mencegah peluang timbulnya penyimpangan di kalangan penyedia jasa keuangan serta mampu dengan cepat dan tepat menyelesaikan permasalahan yang telah terjadi. Bagi pelaku industri keuangan, OJK diharapkan berlaku transparan dan adil dalam menjalankan pengaturan dan pengawasan terhadap beragam lembaga keuangan. Semua jenis industri keuangan diharapkan mendapatkan peluang yang sama untuk tumbuh dan berkembang, sehingga secara bertahap terjadi keseimbangan di antara pangsa perbankan dengan LKBB, seperti asuransi, pasar modal, lembaga pembiayaan, dan dana pensiun. Pelaku industri keuangan juga berharap agar OJK mampu meningkatkan koordinasi dan menciptakan sinergi dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan LPS, sehingga dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan baru yang meningkatkan kepastian usaha. Selain itu, OJK diharapkan melakukan komunikasi secara lebih intensif dengan para pelaku
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
industri
keuangan,
khususnya
dalam
rangka
mendiseminasikan
atau
mensosialisasikan setiap kebijakan yang dibuat. 2. OJK
akan
melalui
masa
transisi
yang
cukup
berat,
karena
perlu
mempersiapkan berbagai hal, sementara waktu yang tersedia relatif singkat (kurang dari dua tahun) untuk segera memulai tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam mengatur dan mengawasi jasa keuangan di Indonesia. Beberapa hal yang krusial untuk diselesaikan oleh OJK dalam masa transisi adalah penyempurnaan peraturan perundang-undangan, termasuk aturan teknis turunannya untuk keperluan operasional, perekrutan SDM dan pengisian formasi dalam seluruh bagian struktur organisasi, serta pemenuhan kelengkapan prasarana dan sarana. Diperkirakan bahwa semua elemen penting dari OJK tersebut belum dapat dipenuhi dalam waktu dekat, karena berbagai keterbatasan, sehingga akan disempurnakan secara bertahap. 3. OJK diperkirakan dapat menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya dengan baik dalam mengatur dan mengawasi jasa keuangan di Indonesia. Hal ini dapat tercapai apabila sejumlah persyaratan dapat dipenuhi, seperti kesiapan melalui masa transisi, profesionalitas SDM, dukungan pembiayaan yang memadai, koordinasi dan komunikasi eksternal dan internal yang berlangsung mulus, independensi yang tinggi, dan faktor-faktor lainnya. Jika prasyarat-prasyarat
ini
tidak
dipenuhi,
kehadiran
OJK
tidak
untuk
menstabilkan, tetapu justru dapat membebani sistem keuangan di Indonesia, sebagaimana terjadi di Inggris dan Korea Selatan. 4. Kinerja OJK akan dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal dapat dikendalikan secara langsung oleh manajemen OJK, karena menyangkut perangkat di dalam organisasi, sedangkan faktor eksternal relatif
86
BAB V PENUTUP
sulit atau bahkan tidak dapat dikendalikan oleh manajemen OJK, karena terkait dengan pihak-pihak di luar organisasi. Tingkat dan intensitas pengaruh dari setiap faktor terhadap kinerja OJK diperkirakan akan berbeda-beda, sehingga membutuhkan respons yang tepat dari pimpinan dan segenap jajaran OJK. 5. Faktor-faktor
internal
yang
diduga
mempengaruhi
keberhasilan
atau
kegagalan OJK dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya dalam mengatur jasa keuangan di Indonesia adalah berikut ini. (1) Kesiapan dalam melalui masa transisi, seperti penyesuaian regulasi, pemantapan struktur organisasi, perekrutan karyawan dan pengisian formasi, dan ketersediaan anggaran. (2) Kualifikasi/profesionalisme SDM yang tinggi dari segi pengetahuan, ketrampilan,
dan
integritas
yang
membutuhkan
waktu
untuk
penyiapannya (pendidikan dan pelatihan); (3) Gaya kepemimpinan, pembentukan budaya kerja yang sinergis, dan kerjasama (teamwork), karena SDM OJK memiliki latar belakang yang beragam. (4) Konsistensi dalam pengawasan dan penegakan pelaksanaan kebijakan sektor keuangan. (5) Kemampuan meredefinisi peran pengawasan yang disesuaikan dengan perkembangan industri keuangan yang sangat dinamis. (6) Tersedianya protokol krisis yang cepat tanggap untuk menghadapi kemungkinan krisis di masa mendatang. (7) Komunikasi dan sosialisasi secara intensif dengan para pelaku industri keuangan.
87
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
(8) Akuntabilitas dan transparansi pelaporan kegiatan operasional dan keuangan OJK. 6. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang diperkirakan akan mempengaruhi kinerja OJK adalah berikut ini. (1) Kompleksitas sistem pengaturan dan pengawasan, karena jumlah dan jenis lembaga keuangan di Indonesia yang banyak dengan skala usaha dan tingkat kesehatan yang berbeda-beda. (2) Kompleksitas koordinasi antarlembaga negara (otoritas moneter dan otoritas fiskal) yang terkait dengan pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan, seperti dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan LPS. (3) Independensi terhadap intervensi kepentingan politik maupun pemilik modal yang berbisnis pada industri keuangan di Indonesia. (4) Dukungan dan komitmen dari para pemangku kepentingan, termasuk lembaga-lembaga keuangan yang berada di bawah naungan OJK dan masyarakat selaku konsumen dan investor.
B. Saran Dengan memperhatikan butir-butir simpulan, maka dapat disarankan beberapa hal berikut ini. 1. OJK harus segera melewati masa transisi dengan sebaik-baiknya sebagai modal dasar atau fondasi untuk menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam mengatur dan mengawasi jasa keuangan di Indonesia. Masa transisi dapat diawali dengan melakukan konsolidasi ke dalam. Beberapa aspek yang perlu dituntaskan dengan seksama pada masa transisi antara lain,
88
BAB V PENUTUP
penyesuaian peraturan perundang-undangan, perekrutan SDM dan pengisian formasi dalam struktur organisasi, serta pemenuhan kelengkapan prasarana dan sarana, khususnya jaringan teknologi informasi dan komunikasi. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan harus mampu memberikan kepastian dan peluang pengembangan usaha bagi pelaku pasar keuangan serta dapat ditegakkan dengan tegas, khususnya yang menyangkut perlindungan terhadap kepentingan konsumen dan investor. Sedangkan perekrutan SDM harus benar-benar memenuhi persyaratan kompetensi dan integritas atau memiliki standar profesionalitas yang tinggi, sehingga pelaksanaan tugas dapat berlangsung dengan baik sesuai ketentuan yang berlaku.
SDM
OJK
selanjutnya
perlu
mengikuti
pendidikan
secara
berkelanjutan agar dapat mengikuti perkembangan industri keuangan dan tidak out of date. 2. OJK sebaiknya segera memungut iuran dari pelaku pasar keuangan untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya, selain dana yang disediakan oleh pemerintah, sehingga tidak membebani APBN. Meskipun terdapat pihak-pihak yang melihat pemungutan iuran dari industri keuangan sebagai hal yang kurang etis dalam hubungan antara lembaga yang mengawasi dan yang diawasi, namun, mengingat kepentingan yang lebih besar, yaitu keberhasilan OJK dan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan, maka pemungutan iuran/premi pantas untuk dilakukan. Lembaga keuangan akan menerima manfaat langsung dari pengaturan dan pengawasan sistem keuangan yang baik, sehingga rasional jika membayar premi. Pemungutan iuran dapat dilakukan secara proporsional dengan mempertimbangkan besar kecilnya aset dari suatu lembaga keuangan. Logikanya, lembaga keuangan yang lebih
89
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
besar membutuhkan pengaturan dan pengawasan yang lebih kompleks, dan demikian pula sebaliknya. Undang-undang OJK mengijinkan pemungutan iuran ini, selain telah menjadi best practices di berbagai negara. 3. Perlu pula dipertimbangkan melakukan sharing cost di antara OJK dan LPS agar meringankan perbankan, sehingga tidak mengalihkan tambahan beban biaya pungutan kepada konsumen. Sebagian dana yang dipungut oleh LPS dapat dialihkan ke OJK dengan logika pemikiran bahwa apabila OJK berkinerja baik, maka potensi kebangkrutan perbankan menjadi lebih kecil dan biaya yang ditanggung LPS menjadi lebih rendah. 4. Dengan keragaman jenis industri keuangan yang harus diatur dan diawasi, maka OJK sepatutnya memfokuskan kinerjanya terutama pada perlindungan terhadap nasabah atau investor. Dalam menjalankannya, OJK perlu meningkatkan intensitas koordinasi dengan pemerintah, Bank Indonesia, dan LPS untuk memastikan tercapainya stabilitas sistem keuangan di Indonesia dalam jangka panjang. 5. OJK secara bertahap perlu memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai hal-hal yang terkait dengan industri keuangan dengan intensitas yang memadai, sehingga masyarakat tidak selamanya berada dalam posisi yang lemah ketika berhubungan dengan lembaga keuangan, karena keterbatasan pemahaman. Edukasi masif dan secara luas dapat dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai institusi, seperti perguruan tinggi, lembaga pendidikan dan pelatihan, dan lain sebagainya, termasuk dengan pelaku pasar keuangan.
90
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2012. “Asal Transparan, OJK Bermanfaat”. Kompas, Jumat, 6 Juli, Hal. 34. Anonim, 2012. “Nasib Jabang Bayi Bernama OJK”. GOLDBank, No. 4/I, 15 Juli14 Agustus, Hal. 8-13. Anonim, 2012. “OJK Prioritaskan Pembenahan Tumpang Tindih Regulasi”. Investor Daily, Jumat, 10 Agustus, Hal. 21. Anonim, 2012. “Otoritas Jasa Keuangan: Menciptakan Perlindungan Paripurna”. Kompas, Jumat, 6 Juli, Hal. 34. Babbie, Earl, 2004. The Practice of Social Research, 10th Edition. Belmont: Thomson-Wadsworth. Bank Indonesia, 2012. “What is Financial Stability?” http://bi.go.id/web/en/ Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Ikhtisar/Definisi. Black, Julia, 2004. The Development of Risk Based Regulation in Financial Services: Canada, the UK and Australia. London: ESRC Centre for the Analysis of Risk and Regulation, London School of Economics and Political Science. Black, Thomas R., 1999. Doing Quantitative Research in the Social Sciences: An Integrated Approach to Research Design, Measurement and Statistics. London: Sage Publications. Burton, Maureen dan Ray Lombra, 2006. The Financial System and the Economy: Principles of Money & Banking. Mason: Thomson SouthWestern. Central Bank of Sri Lanka, 2005. “Financial System Stability”. Pamphlet Series No. 2. Colombo. Chant Link & Associates, 2008. Stakeholder Perceptions of the Dubai Financial Services Authority: Executive Summary. Dubai. Darmawan, Komang, 2012. “Harapan Besar pada OJK”. Investor, XIV/231, September, Hal. 30-35. Di Giorgio, Giorgio, Carmine Di Noia, dan Laura Piatti, 2000. Financial Market Regulation: The Case of Italy and a Proposal for the Euro Area. Financial Institutions Center, The Wharton School, University of Pennsylvania. Ferran, Eilis, 2010. “The Break-up of the Financial Services Authority”. Legal Studies Research Paper Series No. 10/04, November. Faculty of Law Legal Studies, University of Cambridge.
91
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
Financial Services Authority, 2012. “Consumer Awareness of the FSA and Financial Regulation”. Consumer Research 86, 2011 Report. London: TNS Research International. Fuentes, J. Rodrigo dan Luis Antonio Ahumada, 2003. “Banking Industry and Monetary Policy: An Overview”. Central Bank of Chili Working paper No.240. Goldstein, Morris, 1998. The Asian Financial Crisis: Causes, Cures, and Systemic Implications. Institute for International Economics. Haslag, Joseph dan Rowena Pecchenino, 2001. “Crony Capitalism and Financial System Stability”. Artikel dipresentasikan pada Irish Economic Conference. Honohan, Patrick dan Daniela Klingebiel, 2003. “The Fiscal Cost Implications of an Accomodating Approach to Banking Crises”. Journal of Banking & Finance, Vol. 27, Issue 8, August, pp. 1539-1560. Hoque, Khan Md. Anichul, 2007. Factors Correlating with Long Banking CrisesSpells: A Special Focus on Crises Resolution Policy Measures. Economics Department of Helsinki University and HECER. Hosono, Kaoru, Hiroko Iwaki, dan Kotaro Tsuru, 2005. “Banking Crises, Deposit Insurance and Market Discipline: Lesson from the Asian Crises”. RIETI Discussion Paper Series 05-E-029. International Monetary Fund, 2010. “Indonesia Financial System Stability Assessment”. IMF Country Report No. 10/288. Washington, D.C.: Monetary and Capital Markets and Asia and Pacific Departments. Laker, J. F., 1999. “Monitoring Financial System Stability”. Reserve Bank of Australia Bulletin, October, pp. 1-13. MacDonald, S. Scott dan Timothy W. Koch, 2006. Management of Banking, Sixth Edition. Mason: Thomson South-Western. Maclachlan, Fiona C., 2001. “Market Dicipline in Bank Regulation”. The Independent Review, Vol. VI, No. 2, Fall, pp. 227-234. Nagata, Takahiro, Yasuo Maeda, dan Hiroaki Imahigashi, 2004. Economics of Scope in Financial Conglomerates: Analysis of a Revenue Side. Tokyo: Financial Research and Training Center, Financial Services Agency. Rossi, Vanessa, 2010. The Challenges and Opportunities for Financial Services in Indonesia. London: Chatam House, City of London Economic Development. Santoso, Wimboh dan Sukarela Batunanggar, 2007. “Effective Financial System Stability Framework”. Occasional Papers No. 45. Kuala Lumpur: The
92
DAFTAR PUSTAKA
South-East Asian Central Banks Research and Training Centre (The SEACEN Centre). Sekaran, Uma, 2003. Research Methods for Business: A Skill Building Approach, Fourth Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Sugiyono, 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta. Tim Kerjasama Penelitian FEB-UGM & FE-UI, 2010. Alternatif Struktur OJK Yang Optimum: Kajian Akademik, Draft III. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Wijaya, Krisna, 2012. “Selamat Bekerja OJK”. infobank, Vol. XXXIV, No. 402, September, Hal. 61. Yokoi-Arai, Mamiko dan Takeshi Kawana, 2007. Competition Policy in Banking Sector of Asia. Tokyo: Financial Services Agency of Japan.
93
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
Lampiran 1. Daftar Responden Wawancara 1.
Dr. Ir. Arifi Indra Sulistyanto, MBA Direktur Pelaksana Senior, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
2.
Drs. Budi Tjahjono, MM Direktur Utama, PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero)
3.
Dr. Dewi Hanggraeni, MBA Dosen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
4.
Dr. I Dewa Gde Suthapa, SE, MBA Komisaris Utama, PT. BPR Indomitra Artha Pertiwi Cibinong
5.
Dr. Eko Budiwiyono, MBA Direktur Utama, PT. Bank DKI
6.
Dr. Firdaus Djaelani Anggota Dewan Komisioner, Lembaga Penjamin Simpanan
7.
Drs. JB Kendarto Direktur Utama, PT. Bank Mega
8.
Dr. Ir. Krisna Wijaya, MM Komisaris Independen, PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk.
9.
Dr. Nurhayati Ali Assegaf, M.Si., MP Ketua Fraksi Partai Demokrat, Dewan Perwakilan Rakyat RI
10. Dr. Riant Nugroho Ketua Harian, Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia 11. Dra. Solihah, Ak., MM, AAIK Direktur Keuangan, PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 12. Dr. H. Sugiharto, SE, MBA Komisaris Utama, Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912
94
LAMPIRAN 1
13. Prof. Dr. Sukmawati Sukamulja Guru Besar, Fakultas Ekonomi, Universitas Atmajaya Yogyakarta 14. Dr. Widigdo Sukarman, MPA, MBA Komisaris Utama, PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. 15. Yanuar Rizky, SE Pengamat Pasar Modal
95
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
Lampiran 2. Pertanyaan Wawancara 1.
Menurut Bapak/Ibu, apakah fungsi, tugas, dan wewenang OJK nantinya akan dapat dijalankan dengan baik? (Ya/Tidak) Mengapa?
2.
Faktor-faktor
apa
keberhasilan/kegagalan wewenangnya
dalam
sajakah OJK
yang
dalam
mengatur
dan
berpengaruh
menjalankan mengawasi
fungi, jasa
terhadap tugas, keuangan
dan di
Indonesia? 3.
Apakah keberadaan OJK nantinya akan dapat memperkuat stabilitas sistem keuangan di Indonesia? (Ya/Tidak) Mengapa?
4.
96
Apakah ada hal-hal lain yang ingin Bapak/Ibu tuliskan mengenai OJK?
Lampiran 3. Daftar Peserta FGD 1.
Dodi Iskandar, Ak., MA Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
2.
Dr. Agusman Peneliti Eksekutif, Bank Indonesia
3.
Budi Nugroho, SE, MH Pembantu Peneliti, Balai Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Yogyakarta
4.
Dr. Eko Budiwiyono, MBA Direktur Utama, PT. Bank DKI
5.
Dr. Dewi Hanggraeni, MBA Dosen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
6.
Dr. Firdaus Djaelani Anggota Dewan Komisioner, Lembaga Penjamin Simpanan
7.
Hendrawan Tranggana Pengamat Perbankan
8.
Henry Kuswantoro Pengolah Data, Balai Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Yogyakarta
9.
Dr. Ir. Krisna Wijaya, MM Komisaris Independen, PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.
10. Dr. Riant Nugroho Ketua Harian, Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia 11. Dr. Roberto Akyuwen Peneliti, Balai Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Yogyakarta 12. Dr. Widigdo Sukarman, MPA, MBA Komisaris Utama, PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
97
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
13. Amelia Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat BPPK 14. Atie RN Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat BPPK
98
Lampiran 4. Agenda FGD Hari, Tanggal
:
Kamis, 12 Juli 2012
Pukul
:
09.00-12.45 WIB
Tempat
:
Kantor BPPK, Jl. Purnawarman No. 99 Jakarta Selatan
Agenda FGD
:
09.00-09.30 WIB
Registrasi/Absensi Peserta FGD dan Kopi/Teh Pagi
09.30-09.40 WIB
Sambutan Pembukaan (Sekretaris BPPK)
09.40-09.45 WIB
Kata Pembuka Narasumber (Dr. Krisna Wijaya)
09.45-10.00 WIB
Presentasi Peneliti (Roberto Akyuwen)
10.00-12.00 WIB
Diskusi/Tanya Jawab
12.00-12.10 WIB
Kata Penutup Narasumber (Dr. Krisna Wijaya)
12.10-12.45 WIB
Makan Siang/Ramah Tamah
99
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
Lampiran 5. Pokok-Pokok Pikiran FGD 1.
Tantangan/permasalahan yang dihadapi OJK dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya.
2.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan/ kegagalan OJK dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya.
3.
100
Keberadaan OJK dan penguatan stabilitas sistem keuangan di Indonesia.
RIWAYAT HIDUP PENULIS Nama
: Roberto Akyuwen
NIP
: 197003191995031004
Tempat/Tanggal Lahir
: Ambon/19 Maret 1970
Unit Organisasi
: Balai Diklat Keuangan Yogyakarta
Riwayat Pekerjaan/Jabatan: 1. Kasubbid Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Desentralisasi Fiskal, Kedeputian Bidang Koordinasi Desentralisasi Fiskal dan Ekonomi dan Pengembangan Infrastruktur, Kemenko Bidang Perekonomian, 2003-2004. 2. Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Yogyakarta, 2009-sekarang. Riwayat Pendidikan: 1. Fakultas Teknologi Pertanian UGM, lulus tahun 1993. 2. Fakultas Ekonomi, Universitas Terbuka, lulus tahun 2002. 3. Magister Ekonomika Pembangunan UGM, lulus tahun 1997. 4. Program Doktor Ilmu Ekonomi UGM, lulus tahun 2003. Karya yang Pernah Dibuat: Jurnal/Buletin: 1. Roberto Akyuwen, 2000. “Kajian Teoritis Optimalisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Pembangunan Berkelanjutan di Daerah”, Media Ekonomi & Bisnis, Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Vol. XII, No. 1, hal. 3265, Juni 2000. 2. Roberto Akyuwen, 2000. “The Optimal Production and Exploration of Indonesian Crude Oil: A Theoritical Approach and Possibilities for Empirical Studies”,
Media
Ekonomi
&
Bisnis,
Fakultas
Ekonomi,
Universitas
Diponegoro, Vol. XII, No. 2, hal. 60-93, Juni 2000. 3. Roberto Akyuwen, 2004. “Stabilitas Ekonomi Makro dan Penanggulangan Kemiskinan”, Jurnal ALNI Indonesia, Vol. 2, No. 1, hal. 98-116, Mei 2004. 4. I Dewa Gde Suthapa dan Roberto Akyuwen, 2009. “Peran BPR dalam Menanggulangi Kemiskinan melalui Pemberian Kredit kepada Usaha MikroKecil di Provinsi Jawa Barat, Jurnal Studi Ekonomi, Fakultas Ekonomi
101
KAJIAN PROSPEKTIF FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN JASA KEUANGAN DI INDONESIA
Universitas Atmajaya Yogyakarta, Vol. IV, No. 2, Desember 2009, hal. 149176. 5. Roberto Akyuwen, 2010. “The Formulation of Regional Financing Balance by Adding Human Development Index: Strengths and Weaknesses”, Jurnal Studi Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya Yogyakarta, Vol. V, No. 1, Juni 2010, hal. 1-12. 6. Roberto Akyuwen, Abdulgani, and Marthin Nanere, 2011. “The Impact of Restructuring on the Performance of Garuda Indonesia”, World Journal of Management, Vol. 3, No. 1, March 2011, pp. 15-33. 7. Roberto Akyuwen, 2011. “The Impact of Restructuring on the Airline Performance: The Case of Garuda Indonesia”, Communication Today, Vol. 2, No. 1, March 2011, pp. 112-132. Buku: 1. Abdulgani dan Roberto Akyuwen, 2010. Ekonomika Penerbangan: Belajar Dari
Restrukturisasi
Garuda
Indonesia.
Sekolah
Pascasarjana
UGM,Yogyakarta. 2. Arifin Indra Sulistyanto dan Roberto Akyuwen, 2010. Dinamika Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia. Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta. 3. Roberto Akyuwen dan Ferry Muhammadsyah Siregar (Editor), 2010. Subsidi Pupuk Anorganik dan Pertanian Organik di Indonesia. Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta. 4. Roberto Akyuwen, Krisna Wijaya, dan I Dewa Gde Suthapa, 2010. Teori dan Praktek Keuangan Mikro di Indonesia. Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
102
RIWAYAT HIDUP PENULIS Nama
: Budi Nugroho
NIP
: 197207181992121001
Tempat/Tanggal Lahir
: Klaten/18 Juli 1972
Unit Organisasi
: Balai Diklat Keuangan Yogyakarta
Riwayat Pekerjaan/Jabatan: 1. Kepala Seksi P2 KPBC Bontang
2005-2006
2. Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai, BPPK
2006-2007
3. Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Yogyakarta
sejak 2007
Riwayat Pendidikan: 1. Prodip 3 Bea dan Cukai
1994
2. Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka
1999
3. Magister Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
2010
Karya yang Pernah Dibuat: Artikel: 1. Peran DJBC dalam Anti Pencucian Uang, Warta Bea Cukai September 2007 2. Pengeluaran dari KB ke DPIL, Warta Bea Cukai Februari 2008 3. Menjaga Globalisasi agar tetap santun, Edukasi Keuangan oktober 2010 4. Ministry of Finance Effort to Raise Export from Region, ICRD 2010 5. INSW Langkah Menuju ASW, Edukasi Keuangan 2012 6. Antara CIF dan Nilai Pabean, Warta Bea Cukai November 2012
103