perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN PERILAKU MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM PADA SUB DAS KEEROM DISTRIK SENGGI KABUPATEN KEEROM PROVINSI PAPUA
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajad Magister Program Studi Ilmu Lingkungan
Oleh SEMUEL JEUJANAN A131208008
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015 commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa: 1. Tesis yang berjudul : “KAJIAN PERILAKU MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM PADA SUB DAS KEEROM DISTRIK SENGGI KABUPATEN KEEROM PROVINSI PAPUA”. Ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Permendiknas No 17 Tahun 2010). 2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada Jurnal atau form ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai Author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini. Maka Prodi Ilmu Lingkungan PPs UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Ilmu Lingkungan PPs UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta, Februari 2015 Mahasiswa
Semuel Jeujanan NIM. A131208008 commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul : Kajian Perilaku Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam pada Sub DAS Keerom distrik Senggi Kabupaten Keerom Provinsi Papua. Permasalahan perilaku menjadi sangat penting dibahas terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam yang semakin hari semakin gencar di lakukan oleh masyarakat di Sub DAS Keerom. Tesis ini merupakan sebagian persyaratan untuk mencapai derajad Magister pada Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sejak awal penyusunan perencanaan tesis sampai pada penyelesaian penulisan ini, banyak bantuan dan bimbingan diberikan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Dr. Prabang Setyono, M.Si sebagai pembimbing utama sekaligus ketua Pengelola Program Studi Ilmu Lingkungan yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini. 2. Prof. Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, M.Si sebagai pembimbing kedua yang telah banyak menuntun penulis dengan sangat teliti menyelesaikan penyusunan tesis ini. 3. Dr. Sunarto, M.Si selaku sekretaris Pengelola Program Studi Ilmu Lingkungan yang banyak memberi masukan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini. 4. Kemendikbud yang telah memberi kesempatan memperoleh Beasiswa BPPS. 5. Rektor Universitas Cenderawasih yang telah mengisinkan penulis melanjutkan studi jenjang Magister di UNS Surakarta. 6. Drs. Ferdinand SD, M.Si selaku Kepala Pusat Studi Ekologi dan Pembangunan UNCEN yang telah memberi dukungan baik moril maupun materiil selama penulis melanjutkan studi, juga kepada rekan-rekan peneliti yang telah memberi dukungan moril. commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Dekan FKIP Uncen beserta para pembantu Dekan dan Staf yang memberikan dukungan dalam melakukan penelitian ini. 8. Rekan-rekan kerja di Program Studi Pendidikan Geografi UNCEN yang telah memberikan dukungan moril. 9. Ketua LMA Senggi dan seluruh masyarakt Senggi yang dengan sukarela memberikan data dan informasi yang sangat berharga dalam penelitian ini. 10. Kedua orang tua Bapak Julius Jeujanan dan Ibu Gergonia Heatubun yang tiada henti mendoakan penulis. 11. Isteriku tercinta Ani Yuniati yang dengan sabar dan penuh perhatian mendampingi penulis dalam melanjutkan studi maupun melakukan penyusunan tesis. Dan spesial ucapan cinta dan kasih sayang buat buah hati kami Sean yang telah hadir melengkapi kebahagiaan kami dikala proses penyusunan tesis ini berlangsung. 12. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Lingkungan Angkatan 2012. 13. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak tidak sempat disebutkan satu persatu. Kiranya Tuhan Allah Yang Maha Penyayang membalas kebaikan bapak/ibu dan saudara/I sekalian.
Surakarta,
Februari 2015
Penulis
Semuel Jeujanan
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Semuel Jeujanan, NIM. A131208008. 2015. Kajian Perilaku Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam pada Sub DAS Keerom Distrik Senggi Kabupaten Keerom Provinsi Papua. TESIS. Pembimbing I. Dr. Prabang Setyono, M.Si, II: Prof. Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, M.Si, Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
ABSTRAK Pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat di Sub DAS Keerom meliputi aktivitas berladang, aktivitas mencari sagu, aktivitas berburu dan aktivitas mengambil kayu. Aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam tersebut dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan juga kebutuhan ekonomi. Karena motif utama ekonomi maka mempengaruhi perilaku masyarakat yang didukung oleh faktor-faktor baik faktor internal dan faktor eksternal. Aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam tersebut mengakibatkan penurunan fungsi Sub DAS Keerom. Tujuan Penelitian untuk: 1. Melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang terkait dengan penurunan fungsi Sub DAS Keerom, 2.Menemukan faktor dominan penyebab penurunan fungsi Sub DAS Keerom, 3. Melakukan identifikasi perilaku masyarakat 4.Mengkaji faktor-faktor pengaruh perilaku masyarakat. Penelitian lapangan dilakukan di Sub DAS Keerom yaitu kampung Senggi Distrik Senggi dengan metode wawancara mendalam, angket serta diskusi kelompok terfokus. Pemeriksaan kualitas air menggunakan data sekunder pada pemenelitian sebelumnya pada lokasi yang sama. Hasil identifikasi dilapangan diketahui aktivitas berladang dan penebangan kayu dilakukan di pinggir sungai mengakibatkan terjadinya erosi dan sedimentasi di sungai Keerom. Pemeriksaan kualitas air pada sungai Keerom menunjukkan parameter Zat Padat Tersuspensi (TSS) 792 mg/l, Biological Oxygen Demand (BOD) 15, 09 mg/l, dan Chemical Oxygen Demand (COD) 38 mg/l. Berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi perairan pasa Sub DAS Keerom telah terjadi pencemaran sungai taraf tercemar ringan menurut metode Indeks Pencemaran (Pollution index) berkisar 1,22 sampai 3,13. Faktor yang paling dominan dalam penurunan fungsi Sub DAS Keerom adalah aktivitas penebangan kayu yang dilakukan pada pinggir sungai sepanjang aliran sungai. Perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam tergolong kedalam perilaku ramah lingkungan 64, 51 % yang terdiri dari perilaku memelihara 44 % dan perilaku memperbaiki 21 %. Perilaku tidak ramah lingkungan diketahui sebesar 35,49 % yang terdiri dari perilaku merusak 23 % dan perilaku mengabaikan 12 %. Faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari persepsi, motivasi dan keinginan masyarakat dalam merespon faktor-faktor eksternal seperti faktor fisik (sumberdaya alam) faktor ekonomi (pendapatan, permintaan), faktor pendukung (sarana dan prasarana jalan dan telekomunikasi) serta faktor pendorong (lemahnya penegakan hukum serta keterlibatan aparat). Kata kunci : Sub DAS, Perilaku, Sumberdaya alam dan Faktor pengaruh commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Semuel Jeujanan, Student ID Number: A131208008. 2015. A Study on the Community Behavior in the Use of Natural Resources in the Keerom Subwatershed of Senggi District in Keerom Regency, Papua Province. THESIS. Supervisor I. Dr. Prabang Setyono, M.Si, Supervisor II: Prof. Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, M.Si, Environmental Science Study Program, Postgraduate Program of Sebelas Maret University, Surakarta.
ABSTRACT The community living in Keerom Subwatershed use the natural resources to support activities such as farming, looking for sago, hunting and logging. These natural resource-utilizing activities are done to meet their basic needs and economic needs. Because it is the economy which serves as the main motivation, behavior of the community is influenced, not to mention support from internal and external factors. Those activities lead to decreases in the function of Keerom Subwatershed. This study aims to: 1) identify relevant factors for the decreases in the function of Keerom Subwatershed; 2) discover the major factor causing the decreases in the function of Keerom Subwatershed; 3) identify behavior of the community and 4) examine factors influencing the behavior of this community. The field study was conducted in Keerom Subwatershed located in Senggi Village, Senggi district using in-depth interviews, questionnaires and focus group discussions. The examination on the water quality was done using secondary data obtained from previous research which was also conducted in the same research site. The results of the field identification reveal that farming and logging activities alongside the river banks lead to erosion and sedimentation in Keerom River. The examination on the water quality of Keerom River suggests the following parameters: the Total Suspended Solid (TSS) equals to 792 mg/ l, the Biological Oxygen Demand (BOD) equals to 15.09 mg/ l, and the Chemical Oxygen Demand (COD) equals to 38 mg/ l. The analysis on the water conditions of Keerom Subwatershed reveals that there has been river pollution at a low level based on the Pollution Index, ranging from 1.22 to 3.13. The most significant factor causing decreases in the function of Keerom Subwatershed is logging activities carried out alongside the river banks. Behavior of the community in the utilization of natural resources is considered environmentally friendly (64.51%). This behaviour consists of the act of maintaining (44%) and the act of improving (21%). Meanwhile, their environmentally unfriendly behavior is found to be 35.49%, consisting of destructive behavior (23%) and negligence (12%). Both internal factors and external factors affect the behavior of the community. The internal factors consist of perceptions, motivations and desires of the community in response to the external factors such as physical factors (natural resources) economic factors (income, demand), supporting factors (road infrastructure and telecommunications) and driving forces (the low level of law enforcement and involvement of the government officials).
Keyword: Sub DAS, Behavior, Natural Resources and the Influence Factor commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………………………………………… PENGESAHAN PENGUJI …………………………………………………………….. PERNYATAAN ORISINALITAS DAN HAK PUBLIKASI …………………............. KATA PENGANTAR …………………………………………………………………. ABSTRAK ……………………………………………………………………………... ABSTRACT ……………………………………………………………………………. DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….... DAFTAR TABEL …………………………………………………………………….... DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………... PENDAHULUAN …………………………………………………………. BAB I. A. Latar Belakang ……………………………………………………….....
i ii iii iv vi vii viii Ix X 1 1
B. Perumusan Masalah …………………………………………………….. 6 C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….. 7 D. Manfaat ………………………………………………………………….
BAB II.
LANDASAN TEORI ……………………………………………………….
8
A. Tinjauan Pustaka ………………………………………………………..
8
1. Sumber Daya Alam ………………………………………………....
8
a. Klaisifikasi Sumber Daya Alam ………………………………... 8 b. Pemanfaatan Sumber Daya Hutan ……………………………… 9 c. Pemanfaatan Sumber Daya Lahan ……………………………...
11
2. Daerah Aliran Sungai …………………………………………….....
12
a. Pengertian Daerah Aliran Sungai …………………………….....
12
3. Perilaku Kearifan Lingkungan ……………………………………...
13
a. Pengertian Perilaku ……………………………………………... 13 b. Etika Dan Perilaku Lingkungan ………………………………...
16
1) Pengertian Etika ………………………………………….....
16
2) Etika Lingkungan …………………………………………...
19
4. Bentuk Perilaku Terhadap Lingkungan ………………………….....
22
a. Perilaku Ramah Lingkungan …………………………………… 22 b. Perilaku Tidak Ramah Lingkungan ………………………….....
25
commit to user 5. Iklim ………………………………………………………………...
26
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Keterkaitan Dengan Asas Lingkungan …………………………………. 28 C. Kerangka Pikir ………………………………………………………….. 31 .
BAB III
D. Penelitian Yang Relefan ………………………………………………..
32
METODE PENELITIAN …………………………………………………... 34 A. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………………......
34
1. Tempat Penelitian …………………………………………………..
34
2. Waktu Penelitian ……………………………………………………
34
B. Jenis Penelitian …………………………………………………………. 34 C. Populasi Dan Sampel …………………………………………………...
35
D. Data Dan Sumber Data …………………………………………………
36
E. Teknik Sampling ……………………………………………………......
36
F. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………... 37 1. Studi Literatur ………………………………………………………
37
2. Observasi ……………………………………………………………
38
3. Angket/Kuesioner …………………………………………………..
38
4. Wawancara Mendalam ………………………………………….......
38
5. Diskusi Kelompok Terfokus ……………………………………......
39
G. Validitas Data ……………………………………………………….......
39
H. Teknik Analisa Data ……………………………………………………. 40
BAB V.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………….........
41
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……………………………………
41
1. Kondisi Fisik ………………………………………………………..
41
2. Kondisi Biologi …………………………………………………......
44
3. Kondisi Sosial ………………………………………………………
47
a. Jumlah Dan Kepadatan Penduduk ………………………….......
47
b. Pendidikan …………………………………………………....... 48 c. Sosiol Ekonomi ………………………………………………....
51
B. Identifikasi Penurunan Fungsi Sub DAS Keerom ……………………...
54
a. Sedimentasi Dan Debit …………………………………………. 55 b. Erosi ……………………………………………………………. commit to user
57 ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Kualitas Air Permukaan ………………………………………...
58
1) Sifat Fisik …………………………………………………...
60
2) Sifat Kimia ………………………………………………….
60
C. Faktor Dominan Penyebab Menurunnya Fungsi Sub Das Keerom ………………………………………………………. D. Analisis Perilaku Masyarakat Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam ……………………………………………………. 1. Aktivitas Berladang ……………………………………………........
62 66 69
2. Aktivitas Mengambil Sagu ………………………………………….
79
3. Aktivitas Berburu ……………………………………………….......
88
4. Aktivitas Mengambil Kayu …………………………………………
95
E. Faktor Pengaruh Perilaku Masyarakat ………………………………....... 110
BAB VI
KESIMPULAN ……………………………………………………………. 116 A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 116 B. Saran ……………………………………………………………………. 117 Daftar Pustaka LAMPIRAN
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1
Data Iklim Rata-Rata Kabupaten Keerom Selama 6 Tahun Terakhir (2005-2010) …………………………………
43
Tabel 2
Pengelompokan Daerah Aliran Sungai Sub Das Keerom ……………….
43
Tabel 3
Daftar Jenis Tumbuhan yang Ditemukan di Lokasi Penelitian ………….
45
Tabel 4
Jumlah Dan Kepadatan Penduduk Distrik dan Kampung di Wilayah Senggi ……………………………………………………….
47
Tabel 5
Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin ……………….
48
Tabel 6
Jumlah Sekolah di Distrik Senggi ………………………………………
50
Tabel 7
Jumlah Murid dan Guru di Distrik Senggi ………………………………
50
Tabel 8
Tingkat Pendidikan Responden ………………………………………….
51
Tanel 9
Pendapatan Rata-Rata Perbulan Responden dari Mata Pencaharian Utama …………………………………………...
Tabel 10
52
Jumlah Rumah Tangga Berdasarkan Sektor Ekonomi Berdasarkan Pekerjaan Utama Kepala Rumah Tangga 2010 ……………
54
Tabel 11
Hasil Analisis Kualitas Air Sungai di Areal Studi ………………………
59
Tabel 12
Hasil Perhitungan Indeks Pencemaran Air ………………………………
62
Tabel 13
Aktivitas Masyarakat di Sub DAS Keerom …………………………......
68
Tabel 14
Untuk Tujuan Apa Bapak/Ibu Membuka Ladang ……………………….
70
Tabel 15
Pada Lokasi Mana Bapak/Ibu Berladang ……………………………......
71
Tabel 16
Jika Masa Panen Sudah Selesai, Apakah yang Bapak/Ibu Lakukan Dengan Lahan Bekas Tanam Tersebut …………………………………..
71
Tabel 17
Skema Perilaku Masyarakat dalam Aktivitas Berladang ..………………
73
Tabel 18
Apa Tujuan Utama Bapak/Ibu Mencari Sagu …………………………...
80
Tabel 19
Seberapa Sering Bapak/Ibu Mengambil Sagu …………………………...
81
Tabel 20
Apakah Setelah Pohon Sagu ditebang, dilakukan Penanaman Kembali di Lokasi Tersebut ………………………………...
82
Tabel 21
Skema Perilaku Masyarakat dalam Aktivitas Mengambil Sagu ………...
83
Tabel 22
Apa Tujuan Utama Bapak/Ibu Berburu ………………………………….
88
Tabel 23
Alat Apa yang Sering Bapak/Ibu commit toGunakan user Untuk Berburu ……………..
89
xi
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 24
digilib.uns.ac.id
Sepengetahuan Bapak/Ibu Apakah Ada Pihak Lain Selain Warga Kampung yang Melakukan Aktivitas Berburu di Wilayah ini …………..
89
Tabel 25
Apakah Akltivitas Berburu Tersebut Mendapat Izin Dari Warga ……….
90
Tabel 26
Apakah Terdapat Larangan Jenis Hewan Tertentu yang Tidak Boleh Diburu ……………………………………………………...
90
Tabel 27
Skema Perilaku Masyarakat Dalam Aktivitas Berburu ………………….
91
Tabel 28
Selain Untuk Kayu Bakar, Apa Tujuan Lain Bapak/Ibu Menebang Kayu ……………………………………………...
Tabel 29
96
Apakah Lokasi Menebang Kayu yang bapak/Ibu Lakukan di Pinggir Kali ………………………………………...............
96
Tabel 30
Apakah Dalam Menebang Pohon Dilakukan Pemilihan ………………...
97
Tabel 31
Perhitungan Nilai Kayu dan Keuntungan Para pihak …………………...
100
Tabel 32
Skema Perilaku Masyarakat Dalam Aktivitas Mengambil Kayu ……......
105
Tabel 33
Pengaruh Faktor Internal dan Faktor Eksternal Terhadap Perilaku
Tabel 34
Masyarakat Dalam Aktivitas Pemanfaatan Sumber Daya Alam ………..
113
Profil Perilaku Masyarakat ………………………………………………
114
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1
Kondisi jembatan penghubung sungai Keerom …………………………...
5
Gambar 2
Pengaruh Timbal Balik Stimulus dengan Tanggapan Manusia …………...
15
Gambar 3
Teorisasi Budaya Lingkungan Hidup oleh: Rohadi (2010) ……………….
26
Gambar 4
Skema Kerangka Pikir Penelitian ………………………………………….
31
Gambar 5
Skema Analis Data; Model Interaktif oleh: Miles & Huberman 1992 …....
39
Gambar 6
Peta Lokasi Penelitian ……………………………………………………..
40
Gambar 7
Cara Pengeringan Biji Coklat dan Tanaman Coklat Masyarakat ……….....
52
Gambar 8
Kios milik pedagang warga transmigran …………………………………..
53
Gambar 9
Titik Pengamatan Sedimentasi Pada Sungai Keerom ……………………..
56
Gambar 10
Diagram perilaku masyarakat dalam aktivitas berladang …………………
74
Gambar 11
Aktivitas Mengambil Sagu di Lokasi Penelitian ………………………......
81
Gambar 12
Diagram perilaku masyarakat dalam aktivitas mengambil sagu …………..
84
Gambar 13
Diagram perilaku masyarakat dalam aktivitas Berburu …………………...
91
Gambar 14
Kayu Gergajian yang Siap Diangkut di Pinggir jalan
Gambar 15
di Kampung Senggi ……………………………………………………….
98
Tampak Jembatan Sungai Keerom ………………………………………...
99
Gambar 16
Jalan Setapak dan Sepeda Motor yang sudah
101
Dimodifikasi untuk Mengangkut Kayu ……………………………………
102
Gambar 17
Dua Orang Pengangkut Kayu dan Motornya ………………………….......
103
Gambar 18
Diskusi dengan Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat Senggi ……………...
Gambar 19
Sosialisasi Tentang Pentingnya menjaga Hutan …………………………...
105
Gambar 20
Diagram perilaku masyarakat dalam aktivitas mengambil kayu ……….....
106
Gambar 21
Pengaruh timbal balik stimulus lingkungan dengan tanggapan
Gambar 22
manusia di Sub DAS Keerom …………………………………………….
111
Profil Perilaku Masyarakat ………………………………………………..
114
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB. I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam laporan tujuan pembangunan Milenium di Indonesia tahun 2011 tujuan ketujuh yaitu memastikan kelestarian fungsi lingkungan, disebutkan bahwa
kelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan prasyarat utama bagi
kesejahteraan dan keberlangsungan kehidupan manusia. Kesejahteraan manusia dipenuhi melalui pembangunan, namun pembangunan itu harus dilaksanakan dengan tidak merusak lingkungan. Pembangunan yang dilaksanakan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dapat mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan yang dapat berdampak pada menurunnya kapasitas pemenuhan kebutuhan manusia untuk kesejahteraan. (BAPPENAS, 2011). Lebih
lanjut
dijelaskan
bahwa
untuk
menjaga
keberlanjutan
kesejahteraan manusia, diperlukan upaya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), yaitu pembangunan yang dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan tiga pilar pembangunan (sosial, ekonomi, dan lingkungan).
Dalam
rangka
menerapkan
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan telah ditetapkan berbagai kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudkan pembangunan yang selaras dengan upaya pelestarian
lingkungan
hidup.
Melalui
kebijakan
tersebut
diharapkan
pembangunan yang dilaksanakan pada saat ini tetap dapat memberikan manfaat bagi generasi mendatang. Mengacu pada prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut, menjadi sebuah keniscayaan bahwa kebijakan pembangunan di daerah terutama yang mengangkut pengelolaan sumber daya alam harus memperhatikan aspek lingkungan. Hal ini penting untuk menjamin keberlanjutan ekologi serta keberlanjutan ekonomi dimasa mendatang, terutama pada daerah yang memiliki wilayah hutan primer yang masih luas serta belum terjadi kerusakan lingkungan yang serius. Hal ini sangat penting mengingat laju kerusakan hutan di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Sehingga commit to userperlu adanya kebijakan dalam 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemanfaatan sumber daya alam yang ramah lingkungan serta tidak bersifat eksploitatif. Disisi yang lain, keberadaan masyarakat adat sebagai pemegang hak kekuasaan turun temurun atas wilayah hutan adat memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga dan memanfaatan sumber daya alam. Hal ini penting mengingat keterikatan antara masyarakat adat dan hutan merupakan hubungan religius, sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini seperti yang terjadi pada masyarakat adat Senggi di kabupaten Keerom Papua terhadap wilayah hutan adat Sub DAS Keerom. Keberadaan sumber daya alam di wilayah ini cukup melimpah dan masyarakat menggantungkan hidup pada hutan Sub DAS Keerom terletak di wilayah administratif Distrik Senggi Kabupaten Keerom Provinsi Papua, dengan luas wilayah 3.088,55 km2. Secara geografis wilayah ini terletak antara 140º18’27” - 140º59’12” BT dan 3º15’32” 3º42’11” LS. Keadaan topografi wilayah pada umumnya datar sampai curam yang secara umum dapat dikatakan datar. Topografi datar mendominasi areal tersebut yaitu 50% dan landai menempati urutan kedua yaitu 41%, tidak terdapat areal yang kelerengannya lebih dari 40% atau sangat curam. Ketinggian tempat bervariasi dari 214 m dpl sampai 520 m dpl dan sebagian besar areal mempunyai rata-rata ketinggian sekitar 260 m dpl. (Laporan Studi Amdal PT. Semarak Dharma Timber, 2012). Sub DAS Keerom termasuk dalam DAS Mamberamo yaitu sebuah sungai sepanjang 670 km yang terletak di sebelah selatan Pegunungan Foja, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Sumber air sungai ini berasal dari pertemuan antara beberapa anak sungai utama, yaitu Tariku, Van Daalen dan Taritatu. Air lalu mengalir ke arah utara melalui lembah Pegunungan Van Rees guna mencapai bagian delta yang berawa dataran rendah. Sungai ini bermuara di Samudra Pasifik di titik utara Tanjung D'Urville. Danau Rombebai dan Bira terletak di sepanjang aliran sungai. Daerah hulu berupa pegunungan yang curam, di daerah hilir terdapat dataran yang yang berawa-rawa, dan di bagian tengah berupa cekungan dataran tinggi yang luas. Curah hujan di daerah aliran sungai (DAS) Mamberamo dapat mencapai 5.600 mm/tahun Daerah Aliran Sungai (DAS) Mamberamo meliputi commit Kabupaten to userMamberamo Raya, Mamberamo 2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tengah, Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Waropen hingga sebagian wilayah di Kabupaten Tolikara dan Kabupaten Puncak Jaya. Aliran sungai Keerom mengalir dari Distrik Senggi di bagian Timur menuju Sungai Mamberamo di bagian Barat melewati wilayah Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Sarmi. Aliran sungai Keerom kemudain menyatu dengan aliran sungai yang ada di wilayah kabupaten Jayapura dan Sarmi. Secara
ekologis
keberadaan
Sub
Das
Keerom
mendukung
keseimbangan ekosistem karena kaya akan sumberdaya alam. Di diwilayah ini banyak dijumpai sumberdaya alam yang cukup melimpah, mencakup sumber daya hutan berupa jenis kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Juga dijumpai hasil hutan non kayu,
sagu, rotan, berbagai jenis satwa liar.
Sumberdaya lahan cukup luas mencakup wilayah dataran dan sumber daya air berupa sungai sungai-sungai kecil yang semuanya mengalir ke sungai Keerom. Semua sumberdaya alam tersebut memberikan manfaat ekonomi bagi penduduk yang mendiami wilayah DAS tersebut. Penduduk Distrik Senggi merupakan campuran antara penduduk asli yang terdiri dari beberapa suku dan penduduk pendatang yang merupakan transmigran. Wilayah Sub DAS Keerom merupakan tanah adat atau hak ulayat oleh 6 (enam) suku yaitu: suku Find, suku Yorop, suku Yikli, suku Yabanda dan suku Tukui. Pada setiap suku terbagi lagi menjadi beberapa anak suku atau oleh masyarakat adat setempat dikenal dengan nama keret.
Suku-suku tersebut
dikepalai oleh seorang kepala suku umum atau ketua LMA (Lembaga Musyawarah Adat) yang dipilih berdasarkan musyawah mufakat.
Lembaga
tersebut diberi nama Lembaga Musyawarah Adat Distrik Senggi. Berdasarkan observasi yang dilakukan diketahui aktifitas yang paling banyak dijumpai diwilayah Sub DAS Keerom adalah kegiatan pertanian mencakup pertanian lahan kering dan perladangan berpindah. Pertanian lahan kering paling banyak di usahakan oleh warga transmigran, sedangkan perladangan berpindah merupakan aktifitas yang dilakukan oleh warga lokal yang bersifat subsisten. Hutan sagu yang masih melimpah dan luasnya hutan di wilayah ini maka masyarakat lokal setempat masih melakukan tradisi berburu dan meramu sagu.
commit to user 3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di wilayah ini terdapat pengambilan dan pemanfaatan hasil hutan kayu yang diduga tidak memiliki izin yang melibatkan masyarakat lokal sebagai pemilik lahan dan pemilik modal yang merupakan warga transmigran bahkan juga warga dari luar distrik. Praktek tersebut sudah berlangsung sejak lama dan diduga melibatkan aparat, baik aparat distrik, kampung dan aparat keamanan setempat. Pada kasus illegal loging tersebut pemilik lahan dan pemilik modal sepakat untuk bagi hasil kubikasi kayu yang ditebang. Sementara untuk aparat distrik, aparat kampung dan aparat keamanan memperoleh fee dari pemilik modal. Fee tersebut diperoleh ketika kayu-kayu tersebut hendak di bawah keluar untuk di jual. (dokumentasi pribadi: wawancara dengan Tokoh Masyarakat Senggi, Maret 2012) Tingginya intensitas pembalakan liar di wilayah Sub DAS Keerom yang melibatkan masyarakat adat dan pemilik modal telah mengakibatkan beberapa kejadian banjir yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Salah satu akibat dari banjir yang terjadi yaitu terkikisnya bantaran sungai utama yaitu sungai Keerom yang berdampak pada konstruksi jembatan penghubung menjadi rusak dan harus dilakukan perbaikan. Perbaikan jembatan penghubung ini sudah dilakukan beberapa kali dalam 10 tahun terakhir. Selain bencana banjir yang sering terjadi, aktivitas masyarakat yang tidak ramah lingkungan tersebut dikhawatirkan mengancam keberlanjutan ekosistem di wilayah Sub DAS Keerom. Terutama sungai Keerom yang menunjukan kualitas yang menurun. Berdasarkan hasil pemeriksaan kualitas air sungai pada tahun 2012, hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi kualitas perairan sungai untuk beberapa parameter baik sifat fisik maupun kimia berada di atas NAB baku mutu air Kelas II PP No. 82 Tahun 2001. (Lampiran) Menurunya kualitas air sungai tersebut selain karena faktor alami juga karena faktor campur tangan manusia yang berhubungan langsung dengan hutan dan lahan di wilayah hulu.
commit to user 4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 1. Kondisi jembatan penghubung sungai Keerom. tampak jembatan lama dan tumpukan kayu yang masih tersangkut pada tiang jembatan.
Maraknya praktek pembalakan liar (ilegal loging) yang dilakukan oleh oknum masyarakat, oknum pejabat maupun oknum aparat keamanan diwilayah Sub DAS Keerom akibat dari lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait serta kurangnya edukasi kepada masyarakat dalam menerapkan pola pemanfaatan sumber daya alam yang ramah lingkungan Hal demikian memaksa masyarakat untuk berfikir dan bertindak sesuai dengan pengetahuan serta sumber daya yang dimiliki yaitu bagaimana cara untuk mempertahankan hidup dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam yang ada. Sementara itu pihak lain yang juga berperan aktif dalam pembalakan liar seperti oknum pejabat maupun aparat keamanan memanfaatkan situasi ini dengan memberikan akses, fasilitas dan kemudahan lainnya tanpa melakukan kewajiban yang di persyaratkan oleh aturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga para pihak tersebut terbebas dari kewajiban untuk membayar pajak dan retribusi, adapun retribusi dibayar bukan kepada lembaga yang seharusnya menerima tetapi kepada oknum yang juga menerima manfaat dari praktek ilegal tersebut. Eksploitasi sumberdaya alam yang tidak terkendali diwilayah Sub DAS Keerom tersebut diduga berkaitan dengan perilaku masyarakat yang hanya mengejar manfaat ekonomi belaka tanpa memperdulikan keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan dimasa yang akan datang. Kebutuhan ekonomi akantosandang, pangan dan papan yang terus commit user 5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengalami peningkatan dari waktu ke waktu diduga menjadi faktor penyebab eksploitasi sumberdaya alam diwilayah ini. Pendapatan masyarakat yang rendah dan tingkat pendidikan formal masyarakat yang juga rendah, serta kurangnya edukasi kepada masyarakat untuk menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan turut mempengaruhi perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah ini. Status sosial dari pemilik lahan atau tuan tanah yang memiliki wewenang dan kuasa penuh terhadap hak ulayatnya sangat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Terbukanya akses transportasi dan kumunikasi bagi penduduk dari luar untuk masuk ke wilayah tersebut dan sebaliknya juga penduduk dari dalam wilayah yang masih terisolir dapat menjangkau wilayah lain yang sudah mengalami kemajuan diduga menjadi faktor pendorong prilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah ini. Kurangnya pengawasan dari instansi terkait serta peran aktif lembaga adat untuk mencegah perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan tersebut merupakan faktor pendukung perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam diwilayah ini. Berdasarkan
uraian
tersebut
maka
penulis
berpendapat
bahwa
pemanfaatan sumber daya alam di wilayah Sub DAS Keerom yang meliputi aktivitas; berladang, mengambil sagu, berburu dan mengambil kayu tidak terlepas dari faktor sosial ekonomi, yang merupakan faktor dominan disamping faktor lainya yang mempengaruhi perilaku masyarakat. Perilaku masyarakat tersebut bermuara pada dua perilaku utama yaitu perilaku ramah lingkungan dan perilaku tidak ramah lingkungan. Dengan demikian maka fokus dalam penelitian ini adalah mengkaji lebih jauh tentang perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam diwilayah Sub DAS Keerom.
B. Perumusan Masalah Dari hasil rumusan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah diuraikan sebagai berikut: 1. Faktor apa saja yang terkait dengan penurunan fungsi Sub DAS Keerom commit to user 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Manakah diantara faktor tersebut yang paling dominan dalam menurunkan fungsi Sub DAS Keerom 3. Bagaimana perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam 4. Faktor apa yang mempengaruhi perilaku masyarakat.
C. Tujuan Penelitian Mengacu pada perumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah: 1. Melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang terkait dengan penurunan fungsi Sub DAS Keerom 2. Menemukan faktor dominan penyebab penurunan fungsi Sub DAS Keerom 3. Melakukan identifikasi perilaku masyarakat 4. Mengkaji faktor-faktor pengaruh perilaku masyarakat
D. Manfaat Berdasarkan tujuan yang diuraikan maka manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Dasar bagi pengembangan penelitian selanjutnya; 2. Memberikan informasi kepada masyarakat yang mendiami wilayah Das Mamberamo Sub Das Keerom yang diharapkan bisa merubah perilaku tehadap pemanfaatan sumber daya alam.
commit to user 7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB. II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Sumber Daya Alam Sumber
daya
alam
adalah
seluruh
bentang
lahan
(resourcessystem/resources stock) termasuk ruang publik dalam skala luas maupun semua daya-daya alam di dalamnya, beserta seluruh komoditi yang dihasilkan (resources flow) (Kartodiharjo, 2008 cit Emilia, 2013). Menurut Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009 sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan non hayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
a. Klasifikasi sumber daya alam Menurut Luthfifatah, (2013) secara umum sumber daya alam dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yang disebut sebagai kelompok stock dan kelompok flow. Pada kelompok stok sumber daya ini dianggap memiliki cadangan yang terbatas sehingga eksploitasi terhadap sumber daya tersebut akan menghabiskan cadangan sumber daya. Apa yang kita manfaatkan sekarang mungkin tidak lagi tersedia di masa mendatang. Dengan demikian sumber daya stok tidak dapat diperbaharui (non reneweble) atau terhabiskan (exhaustible). Termasuk dalam kelompok ini antara lain sumber daya mineral, logam, minyak dan gas bumi. Kelompok kedua adalah sumber daya alam yang disebut “flows” (alur). Pada jenis ini sumber daya ini jumlah kuantitas fisik dari sumber daya berubah sepanjang waktu. Berapa jumlah yang kita manfaatkan sekarang bisa mempengaruhi atau bisa juga tidak mempengaruhi ketersediaan sumber daya di masa mendatang. Dengan kata lain sumber daya jenis ini dikatakan dapat diperbaharui
(reneweble).
Dalam
kelompok
sumber
daya
ini,
untuk
regenerasinya ada yang tergantung pada proses biologi dan ada yang tidak. Ikan dan hutan misalnya termasuk dalam kelompok sumber daya yang regenerasinya tergantung pada proses biologi (reproduksi). Sementara energi surya, gelombang commit to user 8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pasang surut, angin, udara, dan sebagainya termasuk dalam kelompok sumber daya alam yang tidak tergantung pada proses biologi. Namun perlu dicatat bahwa meskipun ada sumber daya yang bisa melakukan proses regenerasi, jika titik kritis kapasitas maksimumn regenerasinya sudah dilewati, sumber daya ini akan berubah menjadi sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. (Luthfifatah, 2013).
b. Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa :bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Menurut Redi (2014) kemakmuran rakyat dalam konteks penguasaan sumber daya alam harus mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kesejahteraan dimaksud bukan berarti bahwa sumber daya alam harus sedemikian rupa dieksploitasi dan menghasilkan secara ekonomi, tetapi sumber daya alam yang merupakan titipan anak cucu tersebut harus pula memberikan manfaat untuk jangka panjang atas keberadaannya sehingga manfaat yang diterima merupakan manfaat tidak hanya intergenerasi namun juga manfaat antargenerasi. Dalam Undang – undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan pasal (1) ayat (9) disebutkan bahwa Pemanfaatan hutan adalah kegiatan utuk memanfaatkan kawasan hutan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pada pasal (10) pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu melalui kegiatan penebangan, permudaan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Redi (2013:118) menyebutkan bahwa kegiatan pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh commit to user masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam dan zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Pada sisi yang lain, Mawardi (2012) menyebutkan bahwa sumberdaya hutan Indonesia yang berfungsi sebagai sumberdaya alam dan lingkungan hidup telah mempunyai peranan sangat strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Sumberdaya hutan juga telah melindungi puluhan Daerah Aliran Sungai dari bahaya banjir, kekeringan, erosi dan sedimentasi. Namun dilain pihak, kualitas dan kuantitas sumberdaya hutan cenderung semakin menurun. Hal ini antara lain karena penebangan hutan yang berlebihan, kebakaran hutan, perambahan hutan dan alif fungsi hutan untuk peruntukan lain (perkebunan dan pengembangan infrastruktur fisik seperti jalan, perumahan dan sebagainya). Penurunan kualitas dan kuantitas hutan cenderung meningkat, sementara kegiatan-kegiatan rehabilitasi sumberdaya hutan, seperti reboisasi pengendalian kebakaran hutan, dan pengendalian alih fungsi hutan, masih belum sebanding dengan laju kerusakan yang terjadi. Senada dengan pandangan Mawardi, Siburian, (2008) menyebutkan bahwa kerusakan hutan terjadi karena pelaku perusak hutan memandang bahwa hanya kayu lah yang memiliki nilai ekonomi dari seluruh sumber daya yang ada dalam kawasan hutan. Padahal hutan memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih penting dari sekedar kayu. Dalam skala nasional persoalan lingkungan di Indonesia akan menjadi semakin berat oleh karena krisis ekonomi yang berkepanjangan. Karena penurunan kegiatan industri yang menggunakan banyak bahan baku impor, orientasi kegiatan industri dan perekonomian Indonesia akan diarahkan pada eksploitasi sumberdaya alam. Dikhawatirkan bahwa proses-proses eksploitasi sumberdaya alam
di Indonesia akan semakin tak terkendali dan disyahkan
dengan dalih pemulihan ekonomi nasional yang terpuruk. Tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh para pengelola lingkungan di Indonesia akan semakin berat, terutama oleh karena desakan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan dasar yang perlu segera ditangani. Isu-isu lingkungan menjadi tidak atau kurang berarti oleh karena orientasi pemerintah dan juga masyarakat yang commit to user lebih pada persoalan kehidupan sehari-hari. (Mitchell et al, 2010). 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Lahan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan sekaligus merupakan media lingkungan untuk memproduksi pangan, perumahan, dan lain-lain. Pertambahan jumlah penduduk yang disertai dengan meningkatnya kegiatan pembangunan telah berakibat terjadinya pergeseran pola penggunaan lahan di Indonesia. Sering dijumpai pola penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan tersebut, sehingga timbul berbagai masalah, seperti terjadinya jutaan lahan kritis, hilangnya lahan subur, dan terjadinya pencemaran tanah. Degradasi lahan tersebut terjadi karena peruntukan lahan/tanah yang kurang tepat, sebagai akibat pelaksanaan yang tidak memperhatikan kaidah penataan ruang dan kriteria kemampuan serta kesesuaian lahan. (Sudaryono, 2002). Lebih
lanjut
Sudaryono (2002) mengatakan guna menjamin
pemanfaatan yang lestari, lahan harus dikelola dengan memperhatikan keseimbangan antara aspek konservasi dan pemanfaatannya. Pemanfaatan sumberdaya lahan dilakukan dengan mempertimbangkan: 1) fungsi lokasi lahan dalam tatanan lingkungan berdasarkan karakteristik tanah, lahan dan wilayah; 2) cara-cara pemanfaatan yang memperhitungkan kaidah konservasi; 3) pemanfaatannya disesuaikan dengan tata ruang; 4) kelembagaan dan kualitas sumberdaya manusia; 5) peran serta masyarakat secara luas. Senada dengan Sudaryono, Juhadi (2007) menyebutkan bahwa lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat material maupun spiritual yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian pemanfaatan lahan. Berbagai tipe pemanfaatan lahan dijumpai di permukaan bumi, masing-masing tipe mempunyai karakteristik tersendiri. Menurut Vink (1975 cit Juhadi 2007) dalam sumberdaya lahan dalam konteks bagi pertanian dapat dibedakan menjadi enam kelompok, yaitu (1) iklim, (2) relief dan formasi geologis, (3) tanah,to(4) air, (5) vegetasi, (6) anasir artifisial commit user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(buatan). Dalam hubungannya dengan periode formasinya dan dampak yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas manusia, maka sumberdaya lahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori stabilitas, yaitu (1) sumberdaya yang sangat stabil (iklim, relief, dan formasi geologis), (2) sumberdaya buatan yang merupakan hasil budidaya manusia (sumberdaya artifisial), dan (3) sumberdaya yang relatif tidak stabil (vegetasi dengan berbagai karkter biologisnya, termasuk tipe-tipe vegetasi alamiah dan vegetasi tanaman). Sementara itu dalam kaitan lahan dengan dengan Daerah Aliran Sungai, (Sitorus, 1998 cit Sodikin 2012) berpandangan bahwa aspek penggunaan lahan merupakan salah satu aspek yang harus dievaluasi dalam kaitannya dengan kinerja dan penyusunan perencanaan DAS secara terpadu dan terencana, sehingga penggunaan lahan diharapkan tetap mampu memberikan sumbangan yang nyata terhadap kelestarian fungsi DAS.
2. Daerah Aliran Sungai a. Pengertian Daerah Aliran Sungai Sebagaimana terdapat dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 disebutkan Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anakanak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerahperairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Definisi DAS (Daerah Aliran Sungai) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh igir-igir bukit/pungung-punggung gunung yang menampung dan menyalurkan air hujan ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2002). Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air atau catchment area yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri dari sumber daya alam seperti tanah, air dan vegetasi serta sumber daya manusia sebagai pemanfaat sumber daya. Keterlanjutan didefinisikan
sebagai
pemanfaatan
dan
pencagaran
suatu commit proses to perubahan user
sumberdaya
dimana
alam
kesinambungan 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemanfaatan dan pencagaran sumberdaya alam, arah investasi pemanfaatan sumberdaya alam, dan perubahan kelembagaan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam tersebut konsisten dengan sasaran pemanfaatan saat ini dan dimasa yang akan datang (World Commission on Environment and Development, 1987). Menurut Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, kondisi DAS dikatakan baik jika memenuhi beberapa kriteria : 1) Debit sungai konstan dari tahun ke tahun 2) Kualitas air baik dari tahun ke tahun 3) Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil. Hal ini digambarkan dengan nisbah. 4) Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun
3. Perilaku Kearifan Lingkungan a. Pengertian Perilaku Secara sosiologis, konsep dan pengertian mengenai perilaku diambil dari gagasan Mead mengenai perbedaan perilaku tertutup dengan perilaku terbuka. Perilaku tertutup adalah proses berpikir, yang melibatkan simbol dan makna. Sedangkan perilaku terbuka adalah perilaku aktual yang dilakukan oleh aktor. Beberapa perilaku terbuka tidak melibatkan perilaku tertutup, misalnya perilaku habitual atau respons tanpa berpikir terhadap stimulus eksternal. Namun, kebanyakan tindakan manusia melibatkan kedua jenis perilaku tersebut (Ritzer at all, 2008). Dalam hal ini, simbol pada perilaku tertutup berfungsi sebagai sebuah informasi yang memiliki artinya masing–masing bagi pihak yang berinteraksi. Makna adalah interpretasi dari masing-masing aktor yang terlibat dalam interaksi sosial. Sementara perilaku aktual dalam perilaku terbuka diartikan sebagai perilaku yang sudah terlihat jelas akan simbol dan maknanya. Menurut Skinner (1938 cit Widayati, 2011)
bahwa perilaku
merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dalam hal ini, perilaku manusia tersebut terjadi melalui proses, yaitu Stimulus-Organisme–Respons, sehingga teori Skinner ini disebut teori “S-O-R”. Dalam hal ini terdapat dua jenis respon commit to useryang di hasilkan yaitu : 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Respondent Respons atau Reflexive, yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu atau eliciting stimuli, yang akan menimbulkan respon-respon yang relatif tetap yang mencakup perilaku emosional. 2) Operant Respons atau Instrumental Respons, yaitu respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan yang lain atau reinforcing stimuli, yang akan memperkuat respons. Senada dengan Skinner, Widayati (2011) berpendapat bahwa pada dasarnya perilaku adalah refleksi potensi faktor pendukung yang terdapat di dalam jiwa setiap individu, untuk bereaksi terhadap lingkungannya
beserta
segala isinya. Dalam hal ini perilaku untuk bereaksi terhadap sesama manusia, tumbuhan, hewan, benda-benda mati lainnya; juga bereaksi terhadap konsepkonsep tertentu. Meskipun perilaku berseifat individual, namun perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dipengaruhi oleh beberapa norma ataupun konsep, yang berlaku dan dianut dalam masyarakat. Lebih lanjut Widayati (2011) mengatakan bahwa perilaku manusia (human behaviour) merupakan reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun kompleks. Secara umum perilaku dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok, (1) perilaku instinktif yang didasari oleh kodrat untuk mempertahankan hidup; (2) perilaku abnormal akibat gangguan jiwa (sakit jiwa, mabuk, terhipnotis); dan (3) perilaku normal atau wajar yang berkaitan dengan sikap sebagai tanggapan terhadap rangsangan dari lingkungan. Perilaku manusia (B=behaviour) dicirikan salah satunya oleh sifat deferensial. Artinya, satu rangsangan (S-stimulus) kepada seseorang (I-individu) dapat menimbulkan lebih dari satu tanggapan (R=response) yang berbeda, dan beberapa rangsangan yang berbeda dapat saja menimbulkan satu, tanggapan yang sama, seperti terlihat pada gambar 2 berikut.
commit to user 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Manusia (M= man)
Lingkungan (E=environmet) Stimulus (S1)
Tanggapan (R1) Tanggapan (R2)
Individu(I)
Stimulus (S2)
Tanggapan (R3)
Stimulus (S3)
Tanggapan (R4)
Stimulus (S4)
Gambar 2. Pengaruh timbal balik Stimulus Lingkungan dengan Tanggapan Manusia (oleh Widayati, 2011)
Beberapa kemungkinan yang terjadi dalam hubungan manusia dengan lingkungannya berdasarkan gambar 2.1 diatas adalah sebagai berikut. 1) Suatu ketika komponen lingkungan sebagai stimulus (S1, S2, S3 dan S4) yang diterima individu manusia (I) secara parsial, dapat berakibat pada terbentuknya tanggapan tertentu (R1, R2, R3, dan R4) secara parsial. 2) Komponen lingkungan sebagai stimulus (S1, S2, S3 dan S4) yang diterima individu manusia (I) secara integral; dapat saja berakibat pada terbentuknya tanggapan tertentu (R1, R2, R3, dan R4) secara parsial atau terbentuknya satu tanggapan. 3) Tanggapan manusia (R) dapat saja berpengaruh terhadap lingkungan menjadi berubah. Hal ini mengingat berbagai kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam, pada hakekatnya merupakan wujud tanggapan mereka terhadap tantangan lingkungan. Dalam hal ini perilaku terbentuk di dalam diri seseorang yang terdiri dari dua faktor utama, yaitu stimulus yang merupakan faktor dari luar diri seseorang tersebut (faktor eksternal), dan respons merupakan faktor dari dalam diri orang bersangkutan (faktor internal). Faktor eksternal atau stimulus ini meliputi faktor lingkungan, baik fisik maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada, faktor eksternal yang paling berperan dalam membentuk perilaku manusia adalah faktor sosial dan budaya tempat mereka berada. Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya perilaku commit toadalah user perhatian, motivasi, persepsi, 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
inteligensi, fantasi, dan sebagainya. (Gversham, Watson, dan Skinner dalam Functional Behavioural Assessment: Principles, Procedures, and Future Directions). Menurut
Boedojo (1986) bentuk tingkah laku seseorang dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu : a)
Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yakni dengan mengetahui situasi dan rangsangan dari luar;
b)
Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar diri subyek;
c)
Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah nyata yaitu berupa perbuatan terhadap situasi rangsangan dari luar, misalnya keikutsertaan dalam suatu kegiatan tertentu.
b. Etika dan Perilaku Lingkungan 1). Pengertian Etika Secara etimologis kata etika (berasal dari bahasa Yunani ethos, atau ta etha) memiliki arti adat istiadat atau kebiasaan. Etika berkaitan dengan kebiasaan dan tata cara hidup yang baik yang ada pada diri seseorang atau masyarakat. Kebiasaan baik ini dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan atau norma, dan kemudian disebarluaskan, dikenal, dipahami, dan diajarkan secara lisan di dalam masyarakat. Etika juga sering dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang baik-buruknya perilaku manusia. (Rohadi, 2011). Pengertian etika tersebut sedikit banyak memiliki kesamaan makna dengan moralitas, namun pada saat tertentu pengertian etika berbeda dengan moralitas. Dijelaskan oleh Keraf (2002) bahwa moralitas berasal dari kata Latin mos (jamak: mores) yang juga berarti “adat-istiadat” atau “kebiasaan”. Disinilah letak kesamaan makna antara etika dan moral yang sama-sama berarti adat-istiadat dan kebiasaan yang dibakukan dalam bentuk aturan (baik perintah atau larangan) tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia. Pengertian etika tersebut sangat jelas merujuk kepada kedudukan manusia sebagai makhluk sosial yang dituntut memiliki perilaku yang baik dalam kehidupan bermasyarakat.commit Disinilah tercermin sikap dan perilaku manusia to user 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang baik seperti; jujur, adil, menepati janji, tidak berbohong, dan sebagainnya, dalam setiap perbuatan manusia di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut Keraf (2002) menjelaskan bahwa pengertian etika juga bisa berbeda dengan moralitas. Dalam pengertian ini, etika dimengerti sebagai refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, situasi khusus tertentu. Dalam situasi tertentu seseorang harus diperhadapkan pada pilihan dilematis dimana hanya boleh memilih satu dari dua pilihan yang sama-sama memiliki nilai yang sah. Itu berarati harus ada nilai yang dilanggar. Dengan demikian Keraf ingin menjelaskan bahwa pilihan manusia yang mempunyai kedudukan otonom dalam memutuskan sesuatu secara benar sebagai manusia pada waktu tertentu mempunyai nilai yang lebih tinggi dari pengertian etika yang disebutkan pertama. Untuk menjawab pertanyaan, bagaimana kita harus bertindak dalam situasi konkret tertentu tersebut, maka Setyono (2011) memberikan tiga jawaban berbeda. Jawaban pertama dikenal sebagai teori deontologi, jawaban kedua dikenal sebagai teori teleologi, dan jawaban ketiga dikenal sebagai etika keutamaan. Ketiga teori ini juga berguna untuk menjawab pertanyaan, bagaimana menilai suatu tindakan yang baik secara moral. a). Etika Deontologi Istilah ”deontologi” berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban, dan logos berarti ilmu atau teori. Terhadap pertanyaan bagaimana bertindak dalam situasi konkret tertentu, deontologi menjawab: lakukan apa yang menjadi kewajibanmu sebagaimana terungkap dalam norma dan nilai-nilai moral yang ada. Sejalan dengan itu, menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk secara moral karena tindakan itu memang buruk secara moral sehingga tidak menjadi kewajiban untuk kita lakukan. Dengan demikian, etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut: baik atau to buruk. commit user Akibat dari suatu tindakan tidak 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pernah diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral suatu tindakan. Hal ini akan membuka peluang bagi subyektivitas dan rasionalisasi yang menyebabkan kita ingkar akan kewajiban-kewajiban moral. b). Etika Teleologi Etika teleologi menjawab pertanyaan bagaimana bertindak dalam situasi konkret tertentu dengan melihat tujuan atau akibat dari suatu tindakan. Dengan kata lain, etika teleologi menilai baik-buruk suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibat dari suatu tindakan tersebut. Suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan baik dan mendatangkan akibat baik. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa etika teleologi lebih bersifat situasional dan subyektif. Kita bisa bertindak berbeda dalam situasi lain tergantung dari penilaian kita tentang akibat yang jelas-jelas bertentangan dengan norma dan nilai moral bisa dibenarkan oleh etika teleologi hanya karena tindakan itu membawa akibat yang baik. Persoalannya, tujuan yang baik itu untuk siapa, untuk pribadi, untuk pihak pengambil keputusan dan yang melaksanakan keputusan atau bagi banyak orang. Apakah tindakan tertentu dinilai baik hanya karena berakibat baik untuk saya, atau baik karena berakibat baik bagi banya orang? Berdasarkan jawaban atas pertanyaan ini, etika teleologi bisa digolongkan menjadi dua yaitu egoisme etis dan utilitarianisme. Egoisme etis menilai suatu tindakan sebagai baik karena berakibat baik bagi dirinya sendiri. Kendati bersifat egoistis, tindakan ini diniali baik secara moral karena setiap orang dibenarkan untuk mengejar kebahagiaan dirinya. Oleh karena itu, setiap tindakan yang mendatangkan kebahagiaan diri sendiri akan dinilai baik secara moral. Sebaliknya, buruk kalau kita membiarkan diri kita menderita dan dirugikan. Utilitarianisme menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi banyak orang. Prinsip yang dianut etika utilitarianisme adalah bertindaklah sedemikian rupa agar tindakanmu itu mendatangkan manfaat sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang (the greatest good for the greatest number). Etika utilitarianisme mempunyai tiga keunggulan yaitu (1) kriterianya rasional, (2) etika utilitarianisme menghargai kebebasan setiap individu dalam menentukan sikap moral, dalam mengambil commit to user 18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keputusan dan tindakan, (3) utilitarianisem lebih mengutamakan kepentingan banyak orang dari pada kepentingan sendiri atau segelintir orang. c.) Etika Keutamaan Etika keutamaan lebih mengutamakan pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. Dalam kaitan dengan itu, sebagaimana dikatakan Aristoteles, nilai moral ditemukan dan muncul dari pengalaman hidup dalam masyarakat, dari teladan dan contoh hidup yang diperlihatkan oleh tokoh-tokoh besar dalam suatu masyarakat dalam menghadapi dan menyikapi persoalanpersoalan hidup ini. Di sana kita menemukan nilai
moral
tertentu, dan belajar
mengembangkan dan menghayati nilai tersebut. Jadi, nilai moral bukan muncul dalam bentuk adanya aturan berupa larangan dan perintah, melainkan dalam bentuk teladan moral yang nyata dipraktekkan oleh tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat. Dari teladan hidup orang-orang itu kita mengenal dan belajar nilai dan keutamaan moral seperti kesetiaan, saling percaya, kejujuran, ketulusan, kesediaan berkorban bagi orang lain, kasih sayang, kemurahan hati, dan sebagainya. Dengan demikian, etika keutamaan sangat menekankan pentingnya sejarah dan cerita-termasuk cerita dongeng dan wayang. Dari sejarah- khususnya sejarah kehebatan moral para tokoh besar dan dari cerita dongeng ataupun sastra kita belajar tentang nilai dan keutamaan, serta berusaha menghayati dan mempraktekannya seperti tokoh dalam sejarah, dalam cerita atau dalam kehidupan masyarakat.
2). Etika Lingkungan Keraf (2002) mengelompokan teori etika lingkungan dan membaginya kedalam tiga tahapan yaitu Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Selian ketiga paham tersebut Keraf juga menambahkan hak asasi alam dan ekofiminisme sebagai sebagai alternatif untuk merubah cara pandang mengkaji commit to user 19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hubungan manusia dan lingkungan. Untuk lebih memahami ketiga teori etika lingkungan tersebut, maka akan dijelaskan sebagai berikut: a) Shallow Environmental Ethics (Antroposentrisme) Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia
sebagai
pusat
dari
sistem
alam
semesta.
Manusia
dan
kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitannya dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Cara
pandang
antroposentris
ini
menyebabkan
manusia
mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya, tanpa cukup memberi perhatian kepada pelestarian alam. Dengan demikian Keraf (2002) berpendapat bahwa teori antroposentris ini merupakan penyebab utama dari krisis lingkungan yang kita alam sekarang karena perilaku manusia dipengaruhi oleh cara pandang atroposentris yang berciri instrumentalistik dan egoistik. Teori ini dianggap sebagai sebuah teori etika lingkungan atau ekologi yang dangkal dan sempit (shallow environmenmtal ethics). Menurut Buntaran, (1966) dalam Setyono (2011) ekologi dangkal tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1) Gambaran manusia yang terpisah dari alam 2) Mangutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia 3) Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya 4) Kebijakan dan manajemen sumber daya alam untuk kepentingan manusia 5) Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya di negara-negara miskin 6) Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi 7) Norma utama adalah untung dan rugi commit to user 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8) Mengutamakan rencana jangka pendek 9) Menyesuaikan diri dengan sistem politik dan ekonomi yang berlaku b) Intermediate Environmental Ethics (etika biosentrisme) Menurut Keraf (2002), etika biosentris adalah pandangan yang menganggap bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya. Sehingga semua makhluk hidup pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral, terlepas apakah dia bernilai bagi manusia atau tidak. Dengan dasar tersebut maka bukan hanya manusia yang perlu dan patut untuk diperlakukan dengan baik, tetapi juga hewan dan tumbuhan patut juga mendapatkan perlindungan secara moral karena senyatanya mereka juga memiliki kehidupan selayaknya yang dimiliki oleh manusia. Berdasarkan pandangan teori ini maka Keraf berargumentasi bahwa konsekuensi dari paham tersebut adalah alam semesta adalah sebuah komunitas moral, dimana setiap kehidupan dalam alam semesta ini, baik manusia maupun yang bukan manusia, sama-sama mempunyai nilai moral. Dengan demikian etika tidak lagi dipahami secara terbatas dan sempit dan hanya berlaku bagi manusia, harus ada perluasan lingkup keberlakuan etika dan moralitas untuk mencakup seluruh kehidupan di alam semesta. c) Deep Environmental Ethics. (etika ekosentrisme) Kalau teori biosentris memusatkan etika pada seluruh kehidupan maka ekosentris lebih luas lagi mencakup seluruh komunitas ekologis baik yang hidup maupun yang tak hidup, yang memiliki hubungan timbal balik diantara komponen tersebut. Salah satu versi teori ekosentrisme adalah teori etika lingkungan sekarang ini populer dikenal sebagai Deep Ecology yang pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess (Keraf, 2002). Deep Ecology atau ekologi dalam ini menuntut suatu etika baru yang tidak hanya berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Deep Ecology
menekankan bahwa manusia dan kepentingannya
bukan lagi ukuran bagi segala sesuatu yang lain, tetapi seluruh komunitas biosfer. Dengan demikian pusat perhatian commit to user dari Deep Ecology tidak hanya 21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mencakup kepentingan manusia yang sesaat tetapi mencakup kepentingan jangka panjang untuk seluruh komunitas. Salah satu kritik tajam dari gerakan Deep Ecology adalah usulan atau anjuran untuk kita meninggalkan konsep dan paradigma pembangunan berkelanjutan
dan
menggantinya
dengan
konsep
dan
paradigma
“keberlanjutan ekologis”. Konsep keberlajutan ekologi yang ditawarkan tersebut tentu saja mendapat berbagai tantangan terutama apabila diterapkan pada negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia yang masih berkutat pada masalah kesejahteraan dan pemerataan ekonomi. 4) Bentuk perilaku manusia terhadap lingkungan a). Perilaku ramah lingkungan Menurut Setyono (2011), relasi manusia dan lingkungan bersifat eksistensial. Manusia hanya ada dalam lingkungan (Umwelt) dan manusialah yang membuatnya menjadi lingkungan hidup yang manusiawi (Lebenswelt). Hubungan yang eksistensial itu diungkapkan dengan istilah yang disebut oleh filsuf Heidegger sebagai 'Sorge' (pemeliharaan). Menurut Heidegger pemeliharaan merupakan hakikat seluruh eksistensi manusia sehingga ia menyatukan segala unsur kehidupan. Pemeliharaan merupakan dasar perhubungan manusia dengan lingkungan. Manusia menghadapi lingkungan dengan sikap memelihara agar lingkungan menjadi pendukung hidupnya. Pemeliharaan membuat lingkungan menjadi keadaan yang menyenangkan. Selain perilaku ramah lingkungan “memelihara” yang sudah dijelaskan diatas juga dikenal perilaku ramah lingkungan “memperbaiki”, yaitu suatu tindakan nyata yang dilakukan untuk memulihkan kondisi lingkungan yang telah rusak akibat ulah manusia. Memperbaiki atau memulihkan lingkungan yang telah rusak merupakan tanggung jawab moral manusia, baik secara individu maupun secara kolektif. Seperti di jelaskan oleh Keraf (2002:146) prinsip tanggung jawab moral ini menuntut manusia untuk mengambil prakrsa, usaha, kebijakan dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dengan segala isinya. Ini berarti, commit to user 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kelestarian alam dan kerusakan alam merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat manusia. Dasar dari sikap dan perilaku manusia untuk menjaga dan memelihara lingkungan serta memperbaiki lingkungan yang telah rusak tidak terlepas dari paham biosentris dan ekosentris yang memandang semua ciptaan, (bukan hanya hanya manusia) baik yang hidup maupun tak hidup memiliki hak yang sama untuk berharga pada dirinya sendiri. Seperti tercermin dalam sembilan prinsip moral berikut yang menurut Keraf (2002), bisa menjadi pegangan dan tuntunan bagi perilaku kita dalam berhadapan dengan alam. i. Sikap hormat terhadap alam Hormat terhadap alam merupakan suatu prinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari alam semesta secara keseluruhan. Setiap anggota komunitas sosial mempunyai kewajiban untuk menghargai kehidupan bersama (kohesivitas sosial), demikian pula setiap anggota komunitas ekologis harus menghargai dan menghormati setiap kehidupan dan spesies dalam komunitas ekologis. ii. Prinsip tanggung jawab Setiap bagian dari benda di alam semesta ini diciptakanan oleh Tuhan dengan tujuan masing-masing, terlepas dari apakah tujuan itu untuk untuk kepentingan manusia atau tidak. Oleh karena itu manusia sebagai bagian dari alam semesta, bertanggungjawab pula untuk menjaganya. iii. Solidaritas kosmis Prinsip solidaritas muncul dari kenyataan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam semesta sehingga kedudukan manusia sederajat dan setara dengan alam dan semua makhluk hidup lainnya. Prinsip ini kemudian mendorong manusia untuk menyelamatkan lingkungan dan semua kehidupan di alam semesta. iv. Prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam Prinsip kasih sayang dan kepedulian adalah prinsip moral satu arah menuju yang lain tanpa mengharapkan balasan. commit to user 23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
v. Prinsip “No Harm” Karena manusia mempunyai kewajiban moral dan tanggung jawab terhadap alam, maka tentu saja manusia tidak mungkin merugikan alam secara tidak wajar. Meskipun manusia diperkenankan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan segala isi alam, namun hal itu tidak berarti harus dengan mengeksploitasi serta memusnahkan spesies tertentu untuk kebutuhan hidup manusia. vi. Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam Yang menjadi penekanan dalam prinsip ini adalah nilai, kualitas, cara hidup yang baik, dan bukan kekayaan, sarana, standar material yang menjurus kepada sikap rakus dan ketamakan. Dengan sikap tamak dan rakus maka alam akn di eksploitasi secara berlebihan untuk mengejar kepentingan ekonomi. Dengan demikian maka pola konsumsi dan produksi manusia modern harus dibatasi. vii. Prinsip keadilan Prinsip keadilan menekankan tentang akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaaan sumber daya alam dan pelestarian alam, dan dalam ikut menikmati pemanfaatan sumber daya alam. viii. Prinsip demokrasi Prinsip demokrasi ini berkaitan dengan pengambilan kebijakan dibidang lingkungan yang menentukan baik-buruk, rusak tidaknya, tercemar tidaknya lingkungan hidup. ix. Prinsip integritas moral Prinsip ini dimaksudkan untuk pejabat publik dalam mengambil kebijakan harus pro terhadap lingkungan dan tidak sekedar mengejar keuntungan
pribadi
dan
kelompok
yang
pada
akhirnya
akan
mengorbankan lingkungan. Kesalahan pengambilan keputusan akan menyebabkan rusaknya lingkungan.
commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b). Perilaku tidak ramah lingkungan Menurut Setyono, (2011) perilaku tidak ramah lingkungan dapat dikategorikan dalam dua sub yaitu merusak dan mengabaikan. Tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkup global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber pada perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan dikarenakan: i. Sistem pengelolaan yang tidak ramah dan kurang peduli pada lingkungan. ii. Kurang menghargai terhadap alam lingkungan beserta isinya, baik biotik ataupun abiotik. iii. Mengeksploitasi serta berusaha memiliki secara maksimal atau berlimpah. iv. Tidak berusaha untuk memulihkan kembali kerusakan yang ditimbulkan, akibat pengeksploitasian sumber daya alam. v. Kurang memikirkan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan akibat pengeksploiasian sumber daya alam. Senada dengan pandangan tentang bentuk perilaku lingkungan diatas, Rohadi (2010) dalam teorisasi konsep mengatakan bahwa fakta-fakta dan faktor terjadinya dinamika budaya lingkungan hidup di komunitaskomunitas Kota Yogyakarta melahirkan konsep Budaya Tradisional dan Rasional. Budaya Tradisional adalah cara pikir dan perilaku komunitas yang dilandasi oleh tradisi yang bersifat turun menurun dari nenek moyang mereka. Sedangkan, Budaya Rasional adalah perilaku yang lebih dilandasi ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh rasio mereka, sebagaimana diuraikan dalam Model Budaya Lingkungan sebagai berikut: i. Merusak:
adalah budaya perilaku yang membuat kualitas lingkungan
hidup menurun ii. Mengabaikan: adalah budaya perilaku yang tidak peduli dengan lingkungan hidup. Prakteknya juga dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup iii. Memelihara: adalah budaya perilaku yang membuat lingkungan hidup bertahan seperti kondisi semula, dan commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
iv. Memperbaiki: adalah budaya perilaku yang membuat kualitas lingkungan hidup meningkat, bisanya dengan inovasi baru. Seperti tergambar dalam konstruksi teori sebagai berikut:
Budaya Mengabaikan
Budaya Merusak
Lingkungan Hidup
Rasional Tradisional
Budaya Memperbaiki
Budaya Memelihara
Gambar 3. Teorisasi Budaya Lingkungan Hidup oleh: Rohadi (2010)
5). Iklim Iklim adalah keadaan rata-rata cuaca pada suatu wilayah dalam jangka waktu yang relatif lama. Iklim juga didefinisikan sebagai
Sintesis kejadian cuaca
selama kurun waktu yang panjang, yang secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan nilai statistik yang berbeda dengan keadaan pada setiap saatnya. (World Climate Conference, 1979 cit Hadi, 2013). Menurut Glenn T. Trewartha, (1980) cit Hadi, 2013 Iklim juga berarti Konsep abstrak yang menyatakan kebiaasan cuaca dan unsur-unsur atmosfer di suatu daerah selama kurun waktu yang panjang. Serta peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi di suatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Gibbs, 1978) Iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, commit to user musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan. Selain perubahan yang 26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal. Unsur-unsur iklim yang menunjukan pola keragaman yang jelas merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim. Unsur iklim yang sering dipakai adalah suhu dan curah hujan (presipitasi). Klasifikasi iklim umumnya sangat spesifik yang didasarkan atas tujuan penggunaannya, misalnya untuk pertanian, penerbangan atau kelautan. Pengklasifikasian iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim sebagai landasannya, tetapi hanya memilih data unsur-unsur iklim yang berhubungan dan secara langsung mempengaruhi aktivitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut (Hidayati, 2001).. Menurut Trenberth, Houghton dan Filho (1995) cit. Ditjen. Penataan Ruang - Dekimpraswil, 2002), iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan . Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal. Perubahan iklim (anomali) akan membawa pengaruh pada intensitas dampak dan sangat tergantung pada tingkat penyimpangannya. Unsur-unsur iklim adalah sebagai berikut: 1.Penyinaran Matahari Matahari merupakan pengatur iklim di bumi yang sangat penting dan menjadi sumber energi utama di bumi. Energi matahari dipancarkan ke segala arah dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Penyinaran Matahari ke Bumi dipengaruhi oleh kondisi awan dan perbedaan sudut datang sinar matahari. 2.Suhu Udara Suhu udara adalah keadaan panas atau dinginnya udara yang sifatnya menyebar dan berbeda-beda pada daerah tertentu. Persebaran secara horizontal menunjukkan suhu udara tertinggi terdapat di daerah tropis garis ekuator (garis khayal yang membagi bumi menjadi bagian utara dan selatan) dan semakin ke arah kutub suhu udara semakin dingin. Sedang persebaran secara vertikal commit to user 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menunjukkan, semakin tinggi tempat, maka suhu udara semakin dingin. Alat untuk mengukur suhu disebut termometer. 3.Kelembapan Udara (humidity) Dalam udara terdapat air yang terjadi karena penguapan. Makin tinggi suhu udara, makin banyak uap air yang dikandungnya. Hal ini berarti, makin lembablah udara tersebut. Jadi, Humidity adalah banyaknya uap air yang dikandung oleh udara. Alat pengukurnya adalah higrometer. 4.Per-Awanan Awan merupakan massa dari butir-butir kecil air yang larut di lapisan atmosfer bagian bawah. Awan dapat menunjukkan kondisi cuaca. 5.Curah Hujan Curah hujan adalah jumlah hujan yang jatuh di suatu daerah selama waktu tertentu. Untuk mengetahui besarnya curah hujan digunakan alat yang disebut penakar hujan (Rain Gauge). 6.Angin Angin adalah udara yang berggerak dari daerah yang bertekanan tinggi (maksimum) ke daerah yang bertekanan rendah (minimum). Perbedaan tekanan udara disebabkan oleh adanya perbedaan suhu udara. Bila suhu udara tinggi, berarti tekanannya rendah dan sebaliknya. Alat untuk mengukur arah dan kecepatan angin disebut anemometer.
B. Keterkaitan dengan Asas Ilmu Lingkungan Untuk mengetahui keterkaitan antara asas lingkungan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini maka. Ada 5 asas dari 14 asas lingkungan yang berakitan dengan kajian ini yakni asas 3, asas 4, asas 5, asas 7 dan asas 11. Berikut akan disampaikan 14 asas ilmu lingkungan serta penjelasan asas terkait. Asas 1.
Semua energi yang memasuki sebuah organisma (hidup) populasi atau ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau terlepaskan. Energi dapat diubah dari bentuk satu ke bentuk yang lain, tetapi tidak dapat hilang, dihancurkan, atau diciptakan. (Hukum Termodinamika I). commit to user 28
perpustakaan.uns.ac.id
Asas 2.
digilib.uns.ac.id
Tak ada sistem pengubah energi yang betul-betul efisien. (Hukum Termodinamika II)
Asas 3.
Materi, energi, ruang, waktu, dan keanakaragaman, semuanya termasuk kategori alam. Penjelasan : Fokus kajian ini adalah tentang sumber daya alam yang merupakan materi, energy yang terdapat pada ruang yaitu sub DAS Keerom pada waktu sekarang serta keanekaragaman (flora dan fauna endemis) yang ada di Sub DAS Keerom. Sehingga asas 3 sangat terkait dengan kajian ini.
Asas 4.
Untuk semua kategori alam, kalau pengadaannya sudah mencapai optimum, pengaruh unit kenaikannya sering menurun dengan penambahan sumber alam itu sampai ke suatu tingkat maksimum. Melampaui batas maksimum ini tak akan ada yang menguntungkan lagi . Untuk semua kategori alam (kecuali keanakaragaman dan waktu) kenaikan pengadaannya yang melampaui batas maksimum, bahkan akan berpengaruh merusak karena kesan peracunan. Ini adalah asas penjenuhan, untuk banyak gejala sering berlaku kemungkinan penghancuran yang disebabkan oleh pengadaan sumber alam yang sudah mendekati batas maksimum. Penjelasan :Asas 4 sangat terkait dengan penelitian ini terutama tentang pemanfaatan sumber daya alam di Sub DAS Keerom. Jika ekploitasi berlebihan maka suatu ketika akan melebihi daya dukung dan daya tampung lingkungan di Sub DAS Keerom, yang pada akhirnya terjadi kerusakan lingkungan.
Asas 5.
Ada dua jenis sumber daya alam dasar, yaitu sumber alam yang pengadaiannya dapat merangsang penggunaan yang seterusnya, dan yang tak mempunyai daya rangsang penggunaan lebih lanjut. Penjelasan: dua jenis sumber daya alam. Dalam hal ini sumber daya air di sub DAS Keerom
(sebagai fungsi lingkungan) sangat
menentukan keberlajutan vegetasi dan juga satwa serta manusia yang hidup dan berinteraksi di wilayah Sub DAS Keerom. Jika fungsi air sebagai pengatur siklus hidrologi, commit to user stok air tanah dan lainya tidak 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berfungsi dengan baik karena terjadi penebangan hutan dalam skala besar, maka sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan ekosistem di wilayah Sub DAS Keerom. Asas 6.
Individu dan spesies yang memepunyai lebih banyak keturunan dari pada saingannya, cenderung berhasil mengalahkan saingannya itu.
Asas 7. Kemantapan keanakaragaman suatu komunitas lebih tinggi dialam lingkungan yang mudah diramal. Penjelasan: Mudah diramal artinya mempunyai pola keteraturan faktor lingkungan, artinya bahwa jika lingkungan stabil maka keanekaragaman tinggi, dan sebaliknya. Hal ini sama dengan kondisi Sub DAS Keerom yang memeiliki tingkat keanekaragaman yang cukup tinggi, dikhawatirkan akan terganggu dengan adanya aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam, terutama dalam menebang hutan, membuka ladang dan berburu. Asas 8. Sebuah habitat dapat jenuh atau tidak oleh keanekaragaman takson, bergantung kepada bagaimana nicia dalam lingkungan hidup itu dapat memisahkan takson tersebut. Asas 9.
Keanekaragaman Komunitas Apa Saja Sebanding Dengan Biomassa Dibagi Produktifitas.
Asas 10. Pada lingkungan yang stabil perbandingan antara biomassa dan produktivitas dalam perjalanan waktu naik mencapai sebuah asimtot. Asas 11. Sistem yang sudah mantap (dewasa) mengeksploitasi sistem yang belum mantap (belum dewasa) Penjelasalan: Dalam hal ini terjadi antara masyarakat kota (sistem yang sudah mantap) dan masyarakat desa/kampung (sistem yang belum mantap). Masyarakat kota yang sudah maju dalam aspek pendidikan,
teknologi
dan
ekonomi
sangat
mudah
untuk
mempengaruhi masyarakat adat Senggi yang masih belum mapan baik secara pendidikan, ekonomi maupun teknologi untuk memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki. Dengan demikian masyarakat adat sebagai sistem atau komunitas yang belum mantap sangat mudah untuk dipengaruhi oleh masyarakat commit to userkota. 30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Asas 12. Kesempurnaan adptasi suatu sifat atau tabiat bergantung kepada kepentingan relatifnya di dalam leadaan suatu lingkungan.. Asas 13. Lingkungan yang secara fisik mantap memungkinkan terjadinya penimbunan keanekaragaman biologi dalam ekosistem yang mantap yang kemudian dapat mengalahkan kemantapan populasi.. Asas 14. Derajat pola keteraturan naik-turunnya populasi bergantung kepada jumlah keturunan dalam sejarah populasi sebelumnya yang nanti akan mempengaruhi populasi itu. C. Kerangka pikir Berdasarkan uraian pada kajian teori pada bagian sebelumnya maka kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dijelaskan dari gambar 4 berikut Faktor Internal (Respons) 1. Persepsi
Pemanfaatan Sumberdaya Alam
Faktor Eksternal (Stimulus) a. Faktor Sosial 1. Status Sosial 2. Pendidikan
Perilaku Masyarakat
Tidak Ramah Lingkungan
b. Faktor Ekonomi 1. Permintaan 2. Pendapatan c. Faktor Pendukung 1. Akses jalan 2. telekomunikasi
Ramah Lingkungan
Merusak
Memelihara
Mengabaikan
Memperbaiki
d. Faktor Pendorong 1. Lemahnya penegakan hukum 2. Keterlibatan oknum aparat
Kondisi Eksisting Sub DAS Keerom
Gambar 4 . Skema Kerangka Pikir Penelitian
commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Penelitian yang Relefan 1. Judul penelitian “ Faktor-faktor Sosial Budaya yang Mempengaruhi Perilaku Masyarakat Terhadap Konservasi Sumnber Daya Hutan Pada Kawasan Selatan Cagar Alam Pegunungan Cycloops Provinsi Papua (Ferdinand Saras Dhiksawan, 1997). Penelitian ini bertuijuan untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat, serta norma adat yang berhubungan dengan konservasi sumber daya hutan. Analisis data yang digunakan untuk mengetahui gambaran umum perilaku masyarakat dalam konservasi sumber daya hutan, adalah teknik tabulasi frekuensi. Perbedaan perilaku menggunakan teknik kai kuadrat, sedangkan koefisien korelasi jenjang dari Kendall digunakan untuk menguji hubungan antara variabel perilaku. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa antara sikap dan tindakan masyarakat dalam konservasi sumberdaya hutan tidak terdapat hubungan yang signifikan. Hal yang sama juga terdapat antara norma adat dengan perilaku masyarakat juga tidak terdapat hubungan yang signifikan. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini bahwa rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya frekuensi penyuluhan, lemahnya lembaga adat, tuntutan kebutuhan ekonomi dan kedatangan migran sebagai pemicu pemanfaatan sumber daya hutandi wilayah konservasi. 2. Judul Penelitian “Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Dalam Upaya Konservasi Daerah Aliran Sungai. Studi Kasus Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang.” (Fransisca Emilia, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi/aktivitas pengelolaan dan menganalisis aspek-aspek CBNRM, serta menyusun model implementasi CBNRM dalam mendukung konservasi DAS. Analisis data dilakukan melalui pendekatan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat aktivitas pengelolaan dilakukan dengan baik secara partisipatif oleh masyarakat desa sendiri sedangkan Pemkab Semarang dan LSM Komunitas Salunding berperan sebagai fasilitator. Adapun pada aspek CBNRM menunjukkan keberhasilan pada lima aspek, yaitu Equity (keadilan), empowerment (pemberdayaan), conflict resolution (resolusi konflik), knowledge and awareness (pengetahuan dan kesadaran), dan biodiversity protection (perlindungan keanekaragaman hayati). Sedangkan commit topada user aspek sustainable utilization 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(pemanfaatan berkelanjutan) belum menunjukkan keberhasilan.
Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, rekomendasi yang disampaikan adalah perlu adanya dukungan dari pengambil kebijakan terhadap inisiatif-inisiatif pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, perlu dilakukan replikasi model konseptual CBNRM untuk mendukung konservasi DAS, dan Desa Keseneng perlu bekerjasama dengan desa-desa tetangga untuk mendukung keberhasilan keenam aspek CBNRM.
commit to user 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB. III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kampung Senggi Distrik Senggi Kabupaten Keerom Provinsi Papua. Pemilihan kampung
Senggi dikarenakan
secara geografis wilayah kampung ini terdapat dalam Sub Das Keerom yang memiliki potensi sumber daya alam baik sumber daya hutan, sumber daya air dan sumber daya lahan yang melimpah. Potensi sumber daya alam tersebut menjadi tumpuan masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari seperti berladang, berburu, mencari sagu dan mengambil kayu yang dapat mempengaruhi kualitas dan fungsi dari Sub DAS. Secara Administratif kampung Senggi merupakan ibu kota Distrik yang menjadi pusat pemerintahan, perekonomian dan sosial budaya antara masyarakat adat dengan para migran. Dikhawatirkan bahwa daerah ini kedepan akan dieksploitasi seiring dengan pertumbuhan penduduk terutama migrasi dari wilayah sekitarnya seperti Kota Jayapura dan Sentani yang mulai padat. Salah satu contoh adalah kebijakan pemerintah memberikan ijin kepada perusahaan untuk mengelola hutan maupun untuk perkebunan kelapa sawit. Hal ini akan memberikan ancaman terhadap eksistensi dari Daerah Aliran Sungai yang sampai saat ini belum dilakukan pengelolaan yang memadai. Dengan demikian maka lokasi penelitian ini sangat menarik untuk dikaji lebih jauh.
2. Waktu Penelitian Waktu penelitian dan pengambilan data hasil penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2014. Selain bulan tersebut ada beberapa bulan yang terlewatkan sebagai fase persiapan menyangkut observasi lapangan, penyusunan proposal penelitian, instrument penelitian (angket) dan data interview.
B. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan commit to user menyajikan data dan informasi yang didapat dilapangan dalam bentuk tabel, grafik 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maupun gambar, kemudian mendeskripsikan dalam bentuk narasi. Penelitian ini juga termasuk dalam kategori studi kasus karena menggunakan individu atau kelompok sebagai bahan studi. (Sarwono, /2006).
Berdasarkan tujuan penelitian yang sudah disampaikan pada bagian sebelumnya maka pendekatan dalam penelitian ini dapat dikategorikan kedalam penelitian eksploratori, yakni digunakan untuk melakukan pencarian jawaban mengapa muncul kejadian-kejadian tertentu. (Sarwono, 2006).
C. Populasi dan Sampel Kasto (1987) menyebutkan bahwa, populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Dalam penelitian ini, populasi meliputi kepala keluarga yang berdomisili secara hukum di wilayah administratif kampung
Senggi
Distrik
Senggi
Kabupaten
Keerom.
Berdasarkan
data
kependudukan Kabupaten Keerom terdapat 95 rumah tangga atau kepala keluarga yang bermukim di kampung Senggi. Berdasarkan observasi yang dilakukan terhadap karakteristik populasi sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian yaitu sebanyak 68 KK, dan penduduk yang bermata pencaharian di bidang perdagangan sebanyak 5 KK. Sedangkan sebanyak 22 KK mempunyai mata pencaharian di bidang lain. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2012 :118). Sementara itu, (Bungin, 2007:79) menyebutkan bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang (paling tidak) dari 10 persen dari populasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penentuan besarnya sampel juga diperhatikan dari beberapa aspek seperti tingkat keragaman populasi. Semakin tinggi tingkat heterogenitas populasi maka semakin besar jumlah sampel yang dibutuhkan. Sebaliknya makin tinggi tingkat homogenitasnya, bahkan satu sampel dapat dikatakan cukup representatif. (Bungin, 2007 : 80). Penentuan sampel dalam penelitian ini sebesar 50 % dari jumlah populasi yaitu 47,5 yang dibulatkan menjadi 45 responden. Adapun jumlah dan karakteristik responden dibagi sebagi berikut. commit to user 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jumlah dan karakteristik Responden Teknik
Jumlah Sampel
Keterangan
Angket/Kuesioner
30
Kepala Keluarga
Wawancara Mendalam
5
Tokoh Adat,Tokoh Masyarakat
Diskusi Kelompok Terfokus
10
KK,
Tokoh
Adat,
Tokoh
Masyarakat Jumlah
45
D. Data dan Sumber Data Data yang akan diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari lokasi penelitian yaitu di Distik Senggi Kabupaten Keerom. Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder. Menurut (Suryana, 2013) kedua jenis data tersebut diberikan pengertian sebagai berikut; 1. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru yang memiliki sifat up to date. Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus mengumpulkannya secara langsung. Teknik yang dapat digunakan peneliti
untuk
mengumpulkan
data
primer
antara
lain
observasi,
wawancaramendalam diskusi terfokus (focus grup discussion – FGD) dan penyebaran kuesioner. 2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Dalam penelitian ini, data sekunder yang diambil dari arsip dan dokumen pada kantor Distrik Senggi.
E. Teknik Sampling Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan berbagai teknik diantaranya Teknik Acak Sederhana (Simple Random Sampling)
Teknik acak
sederhana adalah teknik penarikan sampel yang paling mudah dilakukan, dimana commit to user pengambilan sampel yang dilakukan secara acak atau random dari populasi, 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang memungkinkan setiap individu berpeluang untuk menjadi sampel penelitian, dengan cara rendomisasi atau dengan cara melalui undian. (Arikunto, 2010). Teknik acak sederhana ini digunakan untuk mencari 30 responden yaitu kepala keluarga di kampung Senggi. 30 responden tersebut diperoleh melalui pencabutan lotre yang disiapkan sebanyak 95 undian kemudian akan ditarik sebanyak 30 kali untuk menentukan calon responden dari daftar kepala keluarga yang diberikan oleh kepala kampung Senggi. Dalam penarikan lotre tersebut juga disiapkan sebanyak 5 responden cadangan untuk mengantisipasi jika ada responden yang tidak ada di tempat atau tidak bersedia diwawancarai. Pemilihan responden untuk wawancara mendalam digunakan teknik non probabilitas, yaitu suatu teknik pengambilan sampel yang tidak didasarkan pada rumusan statistik tetapi lebih pada pertimbangan subyektif peneliti dengan didasarkan pada jangkauan dan kedalaman masalah yang diteliti. (Sarwono 2006:205). Cara memilih informan akan dilakukan dengan teknik penilaian yaitu memilih sampel dari suatu populasi didasarkan pada informasi yang tersedia, sehingga perwakilan terhadap populasi dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini responden yang terdiri dari 1 orang tokoh adat, 1 orang
tokoh
masyarakat, 1 orang aparat kampung, 1 orang tokoh pemuda dan 1 orang aparat keamanan.
F. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini meliputi studi literatur, observasi, angket dan wawancara mendalam.
1.
Studi Literatur Sebelum mengumpulkan data di lapangan, peneliti melakukan studi
literatur untuk memperoleh gambaran umum berupa peta lokasi, peta Sub Das Keerom, dan kondisi geografis wilayah Distrik Senggi. Studi literatur juga dilakukan untuk memperoleh informasi-informasi yang terkait pengelolaan sumber daya alam berupa peraturan-peraturan maupun kebijakan. Studi literatur untuk memperoleh data - data tersebut dilakukan dengan penelusuran pustaka, pencarian melalui internet dan mendatangi instansi yang memiliki data terkait. commit to user 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Observasi Peneliti melakukan observasi untuk berkenalan dengan warga Distrik Senggi. Dalam observasi peneliti berusaha untuk dapat diterima dan menjadi bagian dari warga kampung sehingga dalam melakukan penelitian berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pada tahap ini, peneliti melakukan pengamatan lapangan secara langsung untuk mengetahui potensi sumber daya alam yang ada di Sub DAS Keerom. Pengamatan juga dilakukan terhadap aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Hasil pengamatan didokumentasikan dengan kamera.
3. Angket/Kuesioner Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan pendistribusian angket/kuesioner yang ditujukan kepada kepala keluarga di wilayah kampung Senggi yang akan dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini. Kuesioner disusun dengan mengacu pada tujuan penelitian. Kesederhanaan pertanyaan dan beberapa alternatif jawaban yang disediakan untuk setiap pertanyaan dimaksudkan agar responden dapat menjawab sesuai dengan kondisi dan keyakinan dirinya. Adapun pertanyaan dalam kuesioner tersebut berisikan seputar permasalahan yang dikaji diantaranya; identitas responden, status sosial, pendididkan, mata pencaharian, dan pendapatan. Butir – butir permasalahan tersebut kemudian dikembangkan dan dirumuskan dalam bentuk kuesioner yang akan digunakan sebagai alat untuk pengumpulan data. (Lampiran).
4. Wawancara mendalam Selain pengumpulan data dengan teknik kuesioner, dalam penelitian ini juga akan dilakukan wawancara untuk menggali secara detail mengenai permasalahan yang akan diteliti terutama pemanfaatan sumberdaya alam di Sub DAS Keerom. Penggalian informasi dari narasumber dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dimana peneliti menggali informasi sebanyak mungkin commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari narasumber dalam suasana santai dan rileks. Pemilihan narasumber yang diwawancarai menggunakan teknik purposive (bertujuan) dan snowball (bola salju). Peneliti akan mewawancari kepala suku sebagai keyperson (narasumber kunci), kemudian kepala suku menginformasikan narasumber berikutnya yang memahami permasalahan. Selanjutnya, narasumber kedua tersebut juga menunjukkan narasumber-narasumber lain yang memahami permasalahan. Demikian seterusnya sampai tidak ada informasi baru yang diperoleh. Jumlah narasumber penelitian ini sebanyak 5 orang yang terdiri atas kepala suku, kepala kampung, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda. Fokus permasalahan yang akan ditanyakan dalam wawancara mendalam terutama mengenai pertanyaan penelitian ke empat yaitu apakah faktor status sosial ekonomi berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam.
5. Diskusi Kelompok Terfokus / Fokus Group Discussion Diskusi kelompok terfokus dimaksudkan untuk mempertajam data dan informasi yang diperoleh dari dua teknik pengumpulan data sebelumnya yaitu melalui angket dan wawancara mendalam. Metode ini dilakukan karena mempertimbangkan beberapa hal terutama aspek budaya masyarakat yang lebih responsif menyampaikan data dan informasi secara terbuka. Pada diskusi ini juga
dimungkinkan
untuk
melakukan
klarifikasi
terhadap
pernyataan
sebelumnya. Adapun peserta dari diskusi kelompok terfokus ini terdiri dari; ketua LMA, para kepala suku, tokoh masyarakat, aparat distrik, aparat kampung dan kepala keluarga yang semuanya berjumlah 10 orang.
G. Validitas data Validasi data dilakukan untuk mengetahui keabsahan hasil penelitian, validasi dilakukan setelah mendapatkan data dari responden baik berupa observasi, wawancara dan angket. Dengan ketiga teknik pengumpulan data tersebut, maka validasi data yang digunakan adalah triangulasi teknik dengan tiga teknik pengumpulan data. Triangulasi teknik dilakukan untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda (Sugiyono, commit to user2012: 373). 39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Proses validasi untuk memastikan keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menanyakan permasalahan yang sama kepada informan/ respoden yang sama dengan teknik yang berbeda. dinyatakan valid, apabila pernyataan dan kenyataan tidak memiliki perbedaan dan pernyataan yang diperoleh melalui teknik yang berbeda memiliki makna atau arti yang sama sehingga tidak terjadi perbedaan.
H. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif kualitatif. Secara garis besar analisis dibagi dalam tiga kegiatan yang dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles & Huberman 1992). Analisis data dilakukan secara terus-menerus mulai saat penyusunan konseptual penelitian, saat pengumpulan data di lapangan dan sesudahnya.
Reduksi
dilakukan
untuk
memilih,
menyederhanakan,
mentransformasikan data, menajamkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi. Penyajian data dilakukan dalam bentuk teks naratif, matriks, grafik, dan bagan. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan yang diverifikasi selama penelitian berlangsung. Ketiga komponen analisis data tersebut dapat digambarkan dalam Gambar 5 Pengumpulan Data Penyajian Data
Reduksi Data
Kesimpulan-kesimpulan: Penarikan/Verifikasi
Gambar 5. Skema Analisis Data BAB IVPenelitian Sumber: Miles & Huberman 1992
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Kondisi fisik DAS Mamberamo Sub DAS Keerom terletak di wilayah administratif distrik Senggi kabupaten Keerom Provinsi Papua, dengan luas wilayah 3.088,55 km2. Secara geografis wilayah ini terletak antara 140º18’27” - 140º59’12” BT dan 3º15’32” - 3º42’11” LS. Berdasarkan peta Rupa Bumi Indonesia Provinsi Papua Lembar 3412 Tahun 2004 Bakosurtanal, skala 1: 50.000, keadaan topografi wilayah pada umumnya datar sampai curam yang secara umum dapat dikatakan datar. Topografi datar mendominasi areal tersebut yaitu 50% dan landai menempati urutan kedua yaitu 41%, tidak terdapat areal yang kelerengannya lebih dari 40% atau sangat curam. Ketinggian tempat bervariasi dari 214 m dpl sampai 520 m dpl dan sebagian besar areal mempunyai rata-rata ketinggian sekitar 260m dpl. (Laporan Studi Amdal PT. Semarak Dharma Timber, 2012). Berdasarkan data iklim Kabupaten Keerom Provinsi Papua selama 6 tahun terakhir (2005-2010), tipe iklim di daerah ini termasuk dalam tipe iklim A (sangat basah) menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Fergusson (1952). Rata-rata curah hujan tahunan sebesar 1.872 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 107 hari. Curah hujan rata-rata bulanan sebesar 156 mm/bulan dengan rata-rata jumlah hari hujan bulanan sebanyak 8,93 hari hujan. Berdasarkan kalender air, dari data ratarata curah hujan, hampir tidak ditemukan adanya bulan kering (curah hujan kurang dari 60 mm/bulan).
Suhu rata-rata di wilayah ini berkisar antara 25,2-27,6oC
dengan rata-rata tahunan 26,3oC; kelembaban rata-rata berkisar antara 77-85% dengan rata-rata tahunan sebesar 82%. Data curah hujan secara lengkap disajikan pada Tabel 1.
commit to user 41
digilib.uns.ac.id
Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 1. Data Iklim Rata-rata Kabupaten Keerom selama 6 tahun terakhir (2005-2010) Bulan Curah Hari Hujan Temperatur Kelembaban Hujan (hari) (0C) (%) (mm) Januari 218 12 26,2 84 Pebruari 152 8 27,2 82 Maret 183 7 26,6 83 April 205 10 25,7 85 Mei 244 11 25,3 85 Juni 90 8 26,2 79 Juli 150 8 26,1 80 Agustus 87 6 27,6 77 September 120 9 26,6 81 Oktober 99 6 26,3 80 Nopember 98 10 25,2 81 Desember 228 13 26,1 83 Jumlah 1,872 107 315,1 980 Rataan 156 8.93 26,3 82 Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika
Wilayah penelitian seluruhnya berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Membramo dan termasuk Sub DAS Keerom. Terdapat 5 Sub-sub DAS sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2. Sungai utama yang ada dalam wilayah studi ialah Sungai Bompai, Sungai Waruta, Sungai Web dan Sungai Yabanda semuanya bermuara ke Sungai Keerom. Sub-sub DAS Web merupakan bagian yang paling luas yaitu 44.536 Ha (29,4%), sedangkan yang paling kecil ialah Sub-sub DAS Bompai seluas 13.037 Ha (8,6%).
Tabel 2. Pengelompokan Daerah Aliran Sungai Sub DAS Keerom N0.
I 1. 2. 3. 4. 5. 6.
DAS/Sub DAS
Sub Sub DAS
Membramo Keerom
DAS
Luas (Ha) Sub Sub sub DAS DAS
151.625 151.625 Keerom Hulu Bompai Waruta Web Yabanda
23.408 13.037 36.174 44.536 34.470
Luas (%) 100 100 15,4 8,6 23,9 29,4 22,7
Sumber: Studi AMDAL PT. Semarak Dharma Timber, 2012
Aliran sungai dan percabangan anak sungai merupakan suatu jaringan yang commit to user mengalir ke sungai yang lebih besar dan membentuk pola tertentu. 43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan pengamatan lapangan dan telaahan peta sungai di wilayan studi pola aliran tergolong trellis, percabangan anak-anak sungainya umumnya tegak lurus terhadap induk sungai. Bentuk DAS dari muara ke arah hulu cenderung melebar berbentuk radial. Sebagai akibat dari bentuk tersebut, maka waktu yang diperlukan aliran yang datang dari segala penjuru arah alur sungai memerlukan waktu yang hampir bersamaan. Berdasarkan metode Strahler, tingkat percabangan anak sungai dengan induk sungainya tergolong orde 3. Berdasarkan peta Rupa Bumi Indonesia Provinsi Papua Lembar 3412 Tahun 2004 Bakosurtanal, skala 1 : 50.000 keadaan topografi lokasi penelitian pada umumnya datar sampai curam. Topografi datar mendominasi areal tersebut yang mencapai 50.96% dari total lokasi penelitian, sementara itu tidak terdapat areal yang kelerengannya lebih dari 40% atau sangat curam.
Ketinggian tempat
bervariasi dari 214 m dpl sampai 520 m dpl dan sebagian besar areal mempunyai rata-rata ketinggian sekitar 260 m dpl. Secara umum lokasi penelitian berada pada daerah dengan kondisi tektonik yang stabil, ditunjang oleh bentuk topografi dataran dan perbukitan bergelombang landai (kemiringan lereng dominan antara 0% hingga 15%), sehinga mempunyai karakteristik daerah yang cukup stabil, terhadap kemungkinan terjadinya gerakan tanah berupa longsoran, amblasan maupun jenis gerakan tanah yang lainnya. Bencana tanah longsor terjadi karena proses alamiah dalam perubahan struktur muka bumi, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: a. Fenomena alam, seperti curah hujan, tata air tanah dan struktur geologi. b. Aktivitas manusia yang tidak terkendali dalam mengeksploitasi alam, yang mengakibatkan kondisi alam dan lingkungan menjadi rusak. c. Kawasan rawan gempa, serta dicirikan dengan kondisi kemiringan lereng lebih dari 20o (kemiringan lereng sekitar 37%).
2. Kondisi Biologi Kondisi biologis wilayah ini sangat melimpah terutama wilayah hutan yang kaya akan sumber daya alam yang meliputi berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Adapun jenis tumbuhan yang ditemukan Intsia bijuga, Octomeles sp, commit tomeliputi user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Myristica sp., Arthocarpus communis, Pometia pinnata, Calophylum inophyllum, Pandanus sp, Metroxylon sagu, Ficus sp., Bambusa sp., Cyathea sp, Dendrobium sp., Calamus sp., Artocatpus communis, Astonia scholaris, Syzygium sp., dan lainlain data lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Daftar Jenis Tumbuhan yang di temukan di Lokasi Penelitian No.
Nama Ilmiah
Family
Nama Perdagangan
1
Agatis labilardieri
Araucariaceae
Agatis
2
Aglaia argetea
Meliaceae
Langsat Hutan
3
Aglaia cucullata
Meliaceae
Langsat
4
Agrostistachys longifolia
Euphorbiaceae
Jenjulong
5
Aguilaria sp.
Thymelaeaceae
Gaharu
6
Aleurites moluccana
Euphorbiaceae
Kemiri
7
Alpitonia sp.
Dipterocarpaceae
Daun Otikai
8
Alstonia scholaris
Apocynaceae
Kayu susu
9
Anisoptera polyandra
Dipterocarpaceae
Mersawa
10
Artocarpus communis
Moraceae
Sukun
11
Bambusa sp.
Poaceae
Bambu
12
Begonia sp.
Begoniaceae
Begonia
13
Calamus trachycoleus
Acoraceae
Rotan
14
Calophyllum euryphyllum
Calophyllaceae
Bintangur
15
Campnosperma brevipetiolata
Anacardiaceae
Terentang
16
Canarium aspernum
Burseraceae
Kenari
17
Canarium decamanum
Burseraceae
Kenari
18
Caryota sp.
Arecaceae
Palm Hutan
19
Celtis latifolia
Ulmaceae
Penjalin
20
Cerbera floribunda
Apocynaceae
Bintaro/ Buah Tinta
21
Chisocheton ceramicus
Meliaceae
Pingu
22
Chrysophyllum lanceolata
Sapotaceae
Kayu Nasi
23
Cinometra ramiflora
Fabaceae
Medang
24
Decaspermum fruticosum
Myrtaceae
-
25
Dendrobium sp.
Orchidaceae
Anggrek bulan
26
Dracontomelum edule
Anacardiaceae
Sengkuwang
27
Dryobalanops aromatic
Dipterocarpaceae
Kayu kamper
28
Elaeocarpus sp.
Elaeocarpaceae
Kerkit
29
Endospermum molucanum
Euphorbiaceae
Sesendok
30
Euodia sp.
Rutaceae
-
31
Ficus grandis
Moraceae
Beringin
32
Ficus quercifolia
Moraceae
Beringin
33
Ficus septica
Moraceae
Beringin
34
Ficus variegate
Moraceae
Beringin
35
Garcinia dulcis
Clusiaceae
Beriang
commit to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lanjutan tabel 3. No. 36
Nama Ilmiah
Family
Nama Perdagangan
Gnetum gnemon
Gnetaceae
Genemo/melinjo
37
Gonocarium pyriforme
Icacinaceae
-
38
Haplolobus floribunda
Chrysobalanaceae
-
39
Homalium foetidum
Salicaceae
Gia
40
Horsfieldia sylvestris
Myristicaceae
Au-au
41
Inocarpus edulis
Myrtaceae
Gayang/Gayam
42
Intsia acuminate
Fabaceae
Kayu Besi/Merbau
43
Intsia bijuga
Fabaceae
Kayu Besi/Merbau
44
Johannestijsmania altifrons
Arecaceae
Daun Sang
45
Knema tomentela
Myristicaceae
-
46
Koordesiodendron pinnatum
Dipterocarpaceae
Bugis
47
Licuala sp.
Arecaceae
Palm Hutan
48
Lindsaea linearis
Lindsaeaceae
Paku-pakuan Tanah
49
Lindsaea lucida
Lindsaeaceae
Paku-pakuan Tanah
50
Lindsaea ensifolia
Lindsaeaceae
Paku-pakuan Tanah
51
Lithocarpus rufovillosus
Fagaceae
-
52
Litsea tuberculata
Lauraceae
Medang
53
Macodes petola
Orchidaceae
Anggrek Permata
54
Metroxylon sago
Arecaceae
Sagu
55
Myristica hollrungi
Myristiceae
Mendarahan
56
Myristica sp.
Myristiceae
Mendarahan
57
Nauclea orientalis
Rubiaceae
Mendarahan
58
Octomeles sp
Datiscaceae
Binuang
59
Palainopsis sp.
Orchidaceae
Anggrek Bulan
60
Palaquium sp.
Sapotaceae
Nyatoh
61
Pandanus sp.
Pandanaceae
Pandan
62
Pimelodendron amboinicum
Euphorbiaceae
-
63
Podocarpus blumei
Coniferae
Kibima
64
Pometia acuminate
Sapindaceae
Matoa
65
Pometia coreaceae
Sapindaceae
Matoa
66
Pometia pinnata
Sapindaceae
Matoa
67
Pterocarpus indicus
Fabaceae
Sonokembang
68
Ptychosperma sp.
Arecaceae
Palm hutan
69
Shorea sp.
Dipterocarpaceae
Meranti
70
Socratea exorrhiza
Arecaceae
Palm hutan
71
Spondias dulcis
Anacardiaceae
Kendondong Hutan
72
Sterculia parkinsonii
Sterculiaceae
Kelumpang
73
Syzygium sp.
Myrtaceae
Jambu hutan
74
Vatica papuana
Dipterocarpaceae
Resak
Vitex cofasus
Verbenaceae
Gopasa
75
Sumber: Studi AMDAL PT. Semarak Dharma Timber, 2012
commit to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Kondisi Sosial a. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Penduduk di wilayah Distrik Senggi merupakan campuran antara penduduk asli dan penduduk pendatang dari berbagai daerah serta transmigran dari luar Papua, yang didatangkan oleh pemerintah sekitar tahun 1990-an. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Keerom, pada tahun 2010, jumlah penduduk Distrik Senggi berjumlah 2.737 jiwa sementara jumlah rumah tanggga (RT) di Distrik Senggi berjumlah 541 KK. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Keerom, penduduk Distrik Senggi hanya 5,63% . Sebaran penduduk di wilayah ini tidak merata, konsentrasi penduduk hanya terpusat pada pusat kampung atau distrik. Kepadatan penduduk Distrik Senggi hanya 1 jiwa per km2. Berdasarkan jenis kelamin, secara keseluruhan jumlah penduduk laki-laki lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Sex ratio penduduk Distrik Senggi adalah 140. Artinya terdapat 140 penduduk laki-laki di setiap 100 penduduk perempuan. Adapun perincian jumlah dan tingkat kepadatan penduduk di wilayah studi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Distrik dan Kampung di Wilayah Senggi Kabupaten/ Distrik/ Kampung
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Kepadatan Jumlah Penduduk Perem Penduduk (Jiwa/Km2)
Jumlah RT
Jml Pddk/ RT
Luas Wilayah (Km2)
Lakilaki
Kab. Keerom
9.365,00
26.532
22.004
48.536
5,18
11.280
4,30
Distrik Senggi
3.088,55
1.597
1.140
2.737
0,89
541
5,06
495,56
268
236
504
1,00
115
4,30
No.
puan
1.
Kp Usku
2.
Kp Molof
1.408,03
252
217
469
0,30
79
5,90
3.
Kp Senggi
891,61
353
250
603
0,60
95
6.30
4.
Kp Yabanda
145,10
328
196
524
3,60
98
5.30
5.
Kp. Warlef
138,90
135
60
195
1,40
32
6,10
Sumber : Badan Pusat Statistik, Kabupaten Keerom, 2011
commit to user 47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan hasil SP2000 diketahui laju pertumbuhan penduduk di kabupaten Keerom sebesar 3,59 persen per tahun. Pertumbuhan penduduk ini tergolong cukup tinggi. Demikian halnya dengan laju pertumbuhan penduduk di Distrik Senggi yang berada di atas 2,00 persen. Berdasarkan komposisi umur, penduduk di wilayah Distrik Senggi tergolong penduduk muda, dimana kelompok umur muda produktif dan kelompok muda non produktif sebesar 98,49 %. Pengetahuan tentang komposisi penduduk menurut kelompok umur
berguna untuk mengetahui angka beban tanggungan
(dependency ratio). Artinya semakin kecil angka ketergantungan maka semakin kecil penghasilan yang diperoleh golongan penduduk usia produktif yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk usia non produktif. Dengan demikian semakin besar penghasilan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan seorang penduduk usia produktif. Berdasarkan data pada Tabel 5 diketahui bahwa dependency ratio (DR) untuk Distrik Senggi adalah 61,36 artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif (15 – 59 tahun) harus menanggung 61 dan 74 orang yang tergolong dalam kelompok penduduk non produktif (0-14 tahun dan 60 tahun ke atas).
Tabel 5. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin Distrik Distrik Senggi Jumlah
Jumlah Penduduk (Jiwa) Jumlah >60 0 - ≤14 >14 -≤ 59 Lk Pr Lk Pr Lk Pr 535 461 1.035 655 27 14 2.470 1.087
907 1.852 1.261
62
28
5.197
DR 61,36 --
Sumber : Badan Pusat Statistik, Kabupaten Keerom, 2011
b. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan kehidupan masyarakat serta berperan untuk meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan sangat penting karena merupakan dasar untuk pengembangan pola berpikir konstruktif dan kreatif. Dengan pendidikan yang cukup memadai, maka seseorang commit baik to usersecara ekonomi maupun sosial. akan bisa berkembang secara optimal 48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pendidikan itu sendiri dapat dipandang dari arti luas dan arti teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti proses. Dalam arti yang luas pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan jiwa, watak, atau kemampuan fisik individu. (Kneller 1967 : 63 dalam Siswoyo 2008 : 17). Secara umum kondisi pendidikan di distrik Senggi meliputi kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendukung. Persoalan klasik yaitu kekurangan guru menjadi salah satu faktor penghambat proses pendidikan di daerah ini. Keadaan sarana pendidikan di ibu kota Distrik Senggi relatif memadai, sedangkan beberapa kampung yang sulit dijangkau masih terdapat kekurangan guru dan juga kondisi bangunan sekolah yang tidak layak. Selain itu permasalahan utama yang dihadapi oleh anak didik di wilayah studi adalah akses atau sarana transportasi dari kampung menuju sekolah yang belum memadai. Tidak ada sarana transportasi regular yang melayani rute ini, transportasi hanya melayani rute dari ibukota Distrik Senggi menuju Kota Jayapura pergi pulang.
Jarak terdekat Senggi yaitu dari lokasi
transmigrasi yang berjarak sekitar ± 3 km, dari kampung Warlef ± 1,5 km. Sedangkan jarak dengan kampung Usku ± 1 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor, kampung Molof tidak ada jalan darat, harus menggunakan perahu motor (loang boat), perjalanan bisa ditempuh dalam 1 hari penuh. Di setiap kampung sudah terdapat Sekolah Dasar (SD), namun Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/K) hanya terdapat di ibukota Distrik Senggi Oleh karena itu, apabila siswa lulusan Sekolah Dasar (SD) dari kampung-kampung terjauh tersebut ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya maka harus menetap di Senggi. Di Senggi terdapat 1 (satu) unit Sekolah Menengah Kejuruan dengan Bidang Keahlian Agroteknologi dan Agribisnis. Adapun jumlah sekolah berdasarkan kampung di wilayah studi disajikan pada tabel 6 berikut ini.
commit to user 49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 6 Jumlah Sekolah Di Distrik Senggi No
Kampung
TK Neg
SD
SMP
SMU
SMK
Swt Neg Swt Neg
Swt
Neg
Swt
Neg
Swt
1. Kp Usku
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
2. Kp Molof
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
3. Kp Senggi
0
0
1
0
1
0
0
0
1
0
4. Kp Yabanda
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
5. Kp. Warlef
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Sumber : Badan Pusat Statistik Keerom, 2011
Karena kendala biaya maka banyak orang tua murid yang tidak mampu untuk membiayai anaknya melanjutkan sekolah sehingga cukup banyak anak yang terpaksa tidak melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, dan hanya tamat Sekolah Dasar. Gambaran tingkat pendidikan dan jumlah murid yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dapat dilihat dari jumlah murid di tiap jenjang pendidikan. Di Distrik Senggi misalnya, dari 480 murid SD pada tahun yang sama, ternyata hanya berbanding 74 murid SMP atau 15,42 % kemudian hanya 26 murid SMK atau 5,42%. Artinya murid yang melanjutkan pendidikan pada tiga tahun terakhir relatif sedikit yang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Data jumlah murid dan guru di wilayah studi disajikan pada tabel 7.
Tabel. 7 Jumlah Murid dan Guru Di Distrik Senggi No.
Kampung
TK
SD
SMP
SMU
SMK
M
G
M
G
M
G
M
G
M
G
1.
Kp Usku
0
0
85
6
0
0
0
0
0
0
2.
Kp Molof
0
0
107 4
0
0
0
0
0
0
3.
Kp Senggi
0
0
81
74
14
0
0
26
8
4.
Kp Yabanda
0
0
109 9
0
0
0
0
0
0
5.
Kp. Warlef
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
480 32
74
14
0
0
26
8
Distrik Senggi
5
0
Sumber : Kecamatan Dalam Angka, 2011. Keterangan : M : Murid, G : Guru
commit to user 50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 8. Tingkat pendidikan Responden Tingkat Pendidikan Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Akademi/Diploma Total
Jumlah Responden 10 3 14 3 30
% 33,3 10,0 46,7 10,0 100,0
Sumber: Data primer, 2014
Tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini umunya tamat SLTA yaitu sebanyak 14 responden atau 46,7 %, 33,3 % tamat Sekolah Dasar (SD), 10 % tamat SLTP dan 10 % sisanya tamat Akademi. Jika dilihat dari tabel 8 diatas secara umum bahwa tingkat pendidikan masyarakat di daerah ini cukup baik, namun tentu saja perlu perhatian serius dari pemerintah khususnya mengenai lulusan pada tingkat lanjut. b. Sosial Ekonomi Secara umum kondisi sosial ekonomi masyarakat pada Distrik Senggi masih bersumber dari hasil hutan, terutama hasil pertanian. Berdasarkan data BPS, diketahui bahwa lebih dari 80% penduduk Senggi bermata pencaharian sebagai petani dan 20% bermata pencaharian sebagai pedagang, industri dan sektor lainnya. Jenis komoditi pertanian yang utama di wilayah studi adalah tanaman Coklat. Hampir dipastikan semua keluarga di Distrik Senggi memiliki tanaman Coklat baik itu ditanam di lahan sekitar rumah maupun di kebun. Kebun coklat tersebut merupakan bantuan pemerintah melalui pemberian bibit kepada masyarakat untuk ditanam pada lahan-lahan milik pribadi. Setiap kepala keluarga memperoleh bibit coklat sekitar ± 200 anakan pohon, untuk ditanam dan dirawat sendiri. Selain itu terdapat juga penduduk asli yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, seperti guru atapun tenaga kesehatan, umumnya mereka ini berdomisili pada kampung kampung yang dekat dengan ibu kota distrik.
commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 7. Cara pengeringan biji coklat dan tanaman coklat masyarakat
Pendapatan masyarakat cukup beragam karena tidak ada penghasilan tetap setiap bulan. Selain mengharapkan dari hasil penjualan coklat, pada masa tidak panen petani mencari tambahan pendapatan dengan memancing ikan di sungai, atau berburu binatang di hutan. Hasil buruannya selain untuk dimakan sendiri beberapa bagian dijual kepada masyarakat sekitar. Harga daging babi mencapai Rp. 20.000 per kg. Faktor ketidakpastian
pendapatan menyebabkan rata-rata
pendapatan yang diterima setiap bulan menjadi rendah. Mayoritas responden (83,4%) mendapat pendapatan di bawah 1 juta rupiah dan hanya 16,7% yang memperoleh pendapatan diatas 1 juta rupiah. (Tabel 9) Tabel 9. Pendapatan Rata-rata perbulan responden dari mata pencaharian utama Jumlah Nilai Pendapatan
Responden
%
Rp.100.000,- - Rp.300.000,-
2
6,7
Rp.300.000,- - Rp.500.000,-
3
10,0
Rp.500.000,- - Rp.750.000,-
6
20,0
Rp.750.000,- - Rp.1.000.000,-
14
46,7
>Rp.1.000.000,-
5
16,7
30
100,0
Total Sumber : Data Sekunder,2014
commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebagaimana masyarakat Papua pada umumnya, masyarakat di wilayah Sub DAS Keerom merupakan masyarakat yang masih tergantung dengan sumberdaya hutan. Selain mengambil kayu, masyarakat juga mengambil manfaat berupa hasil hutan nir kayu. Hasil hutan nir kayu adalah sumberdaya hutan, baik berupa tumbuhan maupun satwa liar yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hutan. Hasil hutan nir kayu dari kelompok tumbuhan yang dimanfaatkan biasanya berupa buah-buahan, obat-obatan, rotan, sagu, kulit masohi. Sedangkan dari kelompok satwa liar biasanya dimanfaatkan dagingnya sebagai sumber protein adalah babi, kanguru (lao-lao), rusa, mambruk dan kasuari. Sementara itu penduduk transmigran memiliki mata pencaharian yang lebih beragam. Pada awal kedatangan trasmigran pada tahun 1991 dipastikan bahwa semua warga transmigran bermata pencaharian sebagai petani ladang. Hingga kini mata pencaharian warga transmigran lebih beragam yaitu sebagai petani, pedagang maupun wiraswasta lainnya. Banyak diantara para transmigran juga berprofesi sebagai tukang gergaji kayu di hutan. Beragamnya mata pencaharian penduduk pendatang memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan penduduk setempat. Dari pengamatan kondisi rumah tinggal dan fasilitas yang dimiliki, terlihat bahwa tingkat kesejahteraan penduduk transmigran jauh lebih baik jika dibandingkan dengan penduduk asli. Sebagian besar transmigran sudah memiliki rumah permanen dan memiliki kendaraan baik roda dua maupun roda empat.
Gambar 8. Kios milik pedagang warga commit to trasmigran user 53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 10. Jumlah Rumah Tangga Berdasarkan Sektor Ekonomi Berdasarkan Pekerjaan Utama Kepala Rumah Tangga, 2010. Distrik/ Kampung
No.
Pertanian
Distrik Senggi 1. Kp Usku 2. Kp Molof 3. 4. 5.
Kp Senggi Kp Yabanda Kp. Warlef
PerdaganganIndustri
Lainnya
393 108 70
12 0 0
2 0 0
80 4 8
68 56 15
5 0 1
0 0 0
22 8 13
Jumlah 487 112 78 95 64 29
Sumber : Distrik Dalam Angka, 2013
B. Identifikasi penurunan fungsi Sub DAS Keerom. Menurut Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, kondisi sebuah DAS dikatakan baik jika memenuhi beberapa kriteria: 1. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun 2. Kualitas air baik dari tahun ke tahun 3. Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil. Hal ini digambarkan dengan nisbah. 4. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun Jika sebagian saja dari kriteria tersebut tidak terpenuhi maka dapat dipastikan wilayah DAS telah mengalami gangguan yang bisa menurunkan fungsi dan kualitas DAS. Demikian halnya dengan Sub DAS Keerom yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Untuk mengetahui adanya gangguan terhadap wilayah sub DAS Keerom, maka dilakukan identifikasi penurunan fungsi Sub DAS. Adapun metode dalam melakukan identifikasi penurunan fungsi Sub DAS diketahui melalui: 1. Hasil pengukuran sedimentasi dan debit sungai 2. Hasil pengukuran erosi 3. Pemeriksaan Kualitas Air Sungai 4. Identifikasi Aktivitas masyarakat pada daerah hulu. Data yang digunakan dalam melakukan identifikasi bersumber dari data sekunder dan data primer. Data sekunder commitdiperoleh to user dari data penelitian sebelumnya 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada wilayah sub DAS Keerom terutama data menyangkut pengkuran sedimentasi, debit, pengukuran erosi dan pemeriksaan kualitas air sungai, yang dilakukan pada studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) PT. Semarak Dharma Timber Tahun 2012. Adapun alasan utama dalam penggunaan data tersebut dikarenakan lokasi penelitian ini merupakan lokasi yang sama dengan lokasi kajian AMDAL PT. Semarak Dharma Timber yang semuanya berada dalam wilayah Sub DAS Keerom. Selain itu hasil pemeriksaan kualitas air menggunakan laboratorium terakreditasi yaitu Balai Laboratorium Kesehatan Daerah Jayapura. Sementara itu identifikasi aktivitas masyarakat menggunakan data primer berupa hasil wawancara dengan masyarakat serta tampilan visual aktivitas masyarakat di lokasi penelitian. Tujuan identifikasi tersebut dimaksudkan untuk mengetahui faktor dominan yang berpengaruh terhadap menurunya fungsi Sub DAS Keerom. Hasil identifikasi tersebut seperti dijelaskan berikut ini. a. Sedementasi dan debit Sedimen merupakan tanah dan partikel-partikel tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi.
Sedimen yang terbawa oleh suatu aliran akan
diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti, proses ini dinamakan sedimentasi atau pengendapan. Salah satu faktor yang menentukan sedimentasi dan debit adalah kelerengan. Kelas lereng di wilayah Sub DAS keerom tergolong datar (0-8%) sebanyak 50,96% dan landai (8-15%) sebanyak 39%, sisanya berupa lereng agak curam sampai sangat curam sekitar 0,91% dan yang curam 8,5%. Berdasarkan hasil pengkuran sedimentasi pada beberapa titik pasa sub DAS Keerom dilakukan pengambilan sampel air untuk analisis sedimen melayang pada beberapa lokasi dilakukan setelah hujan (debit tinggi) dan sebagian lagi dilakukan pada kondisi debit normal.
Berdasarkan hasil analisis laboratorium
besarnya sedimen melayang pada kondisi debit tinggi berkisar 125 mg/l – 792 mg/l dan pada kondisi debit normal 55 mg/l sampai 81 mg/l. Berdasarkan pengamatan lapangan perbedaan tinggi muka air pada kondisi debit normal dan debit tinggi khususnya di lokasi pengamatan Sungai Keerom (1) down stream adalah sekitar 3-4 meter. Pada saat pengumpulan data dilapangan juga commit to user dilakukan pengamatan secara visual terhadap kondisi sungai Keerom yaitu pada 55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dua titik pengamatan. Titik pertama berada pada jembatan yang terdapat di bagian hulu kampung Senggi, dan titik kedua terletak pada bagian hilir dari kampung Senggi yaitu pada jembatan penghubung yang baru dilakukan pembangunan kembali pata tahun 2010 yang lalu akibat mengalami kerusakan.
Gambar. 9. Titik pengamatan Sedimentasi pada sungai Keerom. Atas: Titik 1 hulu, bawah : titik 2 hilir
Pada titik pertama terlihat kondisi sungai nampak airnya berwarna keruh meskipun pada saat pengamatan dilakukan pada bulan Juni dimana curah hujan tergolong rendah. Terlihat bahwa tidak terdapat sedimentasi yang terendap di dasar sungai secara signifikan, kondisi sungai nampak normal dengan aliran air tenang. Kondisi yang berbeda tampak pada titik pengamatan kedua dimana terlihat kedalaman sungai kurang dari 1 cm, juga tampak tumpukan kayu yang tersangkut pada tiang jembatan. Terlihat juga sedimentasi pada dasar sungai yang membentuk delta. Perbedaan pada kedua titip pengamatan tersebut dikarenakan tingkat aktivitas commit to user masyarakat lebih banyak berada pada lokasi antara titik pengamatan pertama dan 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
titik pengamatan kedua, sehingga material maupun sedemen yang terbawa oleh air sungai terendapkan pada titik pengamatan kedua. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh struktur jembatan dimana tiang penopang jembatan tersebut cukup banyak dibagian tengah sehingga menahan material berupa kayu bulat sehingga aliran air menjadi melambat. Pada dasar sungai juga terlihat sedimentasi yang telah membentuk delta, diperkirakan terbentuk pada beberapa kejadian banjir terdahulu.
b. Erosi Hasil pengkuran dan prediksi erosi yang pernah dilakukan di wilayah Sub DAS Keerom meliputi: 1. Prediksi laju erosi aktual dihitung pada masing-masing satuan lahan (SL), berdasarkan berbagai data yang diperoleh, baik data sekunder maupun data primer yang diperoleh langsung di lapangan. 2. Kelas erosi yang terjadi dibandingkan dengan skala kualitas lingkungan yang diturunkan dari kriteria yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan (1998) tentang kriteria dan klasifikasi tingkat bahaya erosi (TBE) berdasarkan erosi yang terjadi dan kedalaman solum tanah 3. Nilai erosivitas hujan (R) sebesar 1,147.
Nilai R ini digunakan untuk
menghitung potensi erosi pada seluruh SL. 4.Hasil prediksi laju erosi pada masing-masing SL jika dibandingkan dengan TBE (Tingkat Bahaya Erosi) sesuai dengan kriteria yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan (1998), Setelah dilakukan proses tersebut diatas maka secara umum menunjukkan tingkat bahaya erosi yang terjadi tergolong sangat ringan (skala kualitas lingkungan 5) meliputi luas areal seluas 89,940.83 ha (62.48%), tingkat bahaya erosi yang tergolong ringan (skala kualitas lingkungan 4) meliputi areal seluas 49,388.02 ha (34.31%), dan sisanya berupa wilayah dengan tingkat bahaya erosi sedang sampai berat (skala kualitas lingkungan 3-4) meliputi areal seluas 4,624.15 ha (3.21%). Wilayah dengan tingkat bahaya erosi tergolong sedang sampai berat terletak pada wilayah berlereng agak curam sampai curam dengan penutupan lahan commit to user berupa hutan bekas tebangan dan non hutan. 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jumlah erosi aktual pada pada Sub DAS Keerom diketahui sebesar 1.999.516,64 Ton/tahun. (lampiran tabel). Lebih jauh, sedimen yang terbawa masuk ke dalam badan-badan air hanya sebagian saja dari tanah yang tererosi dari tempatnya. Berdasarkan luas daerah tangkapan air (Sub-sub DAS) dan besarnya erosi yang terjadi di atasnya, maka besarnya sedimentasi dapat diperkirakan dengan pendekatan nilai SDR (Sediment Delivery Ratio). SDR merupakan nisbah antara jumlah sedimen yang terangkut ke dalam sungai terhadap jumlah erosi yang terjadi di dalam Sub DAS/Sub-sub DAS terkait. Nilai-nilai SDR yang disajikan menunjukkan besarnya erosi yang jatuh ke sungai sebagai sedimentasi maksimum sebesar +12% dari total erosi yang terjadi di sub-sub DAS terkait, dengan rata-rata SDR tetimbang sebesar 10.25%, artinya jika seluruh erosi yang terjadi di wilayah ini dijumlahkan, maka banyaknya sedimen yang akan masuk dan sampai ke badan-badan air (sungai) adalah sekitar 10.25%.
c. Kualitas Air Permukaan Data kualitas air suatu perairan dapat menggambarkan tingkat kualitas lingkungan di daerah aliran sungai (DAS). Karena semua sumber alami maupun aktifitas yang terkait dengan sistem hidrologi suatu DAS akan mengalir dan menjadi beban sungai bersangkutan yang selanjutnya mempengaruhi kualitas air. Hasil analisis kualitas air terhadap sampel air sungai di lokasi penelitian disajikan pada tabel di bawah ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi kualitas perairan sungai untuk beberapa parameter baik sifat fisik maupun kimia berada di atas NAB baku mutu air Kelas II PP No. 82 Tahun 2001.
Tabel 11. Hasil Analisis Kualitas Air Sungai di Areal Studi PARAMETER
Sa-
LokasitoPengambilan Sampel commit user
BAKU)*
58
perpustakaan.uns.ac.id
tuan
digilib.uns.ac.id
SI -1
SI-3
SI-6
SI-4
SI-5
SI-2
SI-7
SI-8
SI-9
MUTU
25,9
25,5
24,6
27,4
29,6
26,6
28,5
24,1
25,0
Dev. 3
91,5
196,0
10,0
72,3
70,2
146,2
-
-
89,7
1000
125,0
792,0
125,0
81,0
55,0
697,0
25,0
80,0
81,0
50
6,87
7,76
8,78
7,98
7,62
7,76
7,39
6,71
6,77
6,0- 9,0
27,73
15,09
12,98
28,51
27,27
28,34
-
-
152,0
38,0
16,0
154,0
144,0
144,0
14,0
37,0
10,02
10,09
9,44
9,33
9,23
9,97
-
-
1,92
1,40
0,62
0,53
0,72
0,10
0,07
1,00
0,65
0,5
8,30
16,10
4,40
0,90
0,30
4,40
0,8
6,40
2,6
10
mg /L
0,05
0,051
0,029
0,008
0,002
0,032
0,008
0,033
0,008
0,06
mg /L
0,610
0,83
0,40
0,18
0,10
0,13
0,16
0,28
0,57
0,2
mg /L
24,0
47,0
70,0
11,0
13,0
32,0
24,0
16,0
13,0
400
Sulfit ( H2S ) B.b. Pemeriksaan Kimia Anorganik Logam Terlarut Besi ( Fe )
mg /L
0,004
0,006
0,008
0,002
0,001
0,003
0,003
0,006
0,002
0,002
mg /L
0,891
1,905
0,420
0,118
0,050
0,020
0,070
0,513
0,197
0,3
Cadmium ( Cd )
mg /L
0,009
0,010
0,006
0,001
0,010
0,003
0,003
0,004
0,001
0,01
Calcium ( Ca) Chromium ( Cr Valensi 6) Magnesium (Mg )
mg /L
9,181
15,132 1,391
0,711
0,691
15,267 0,690
0,267
1,035
mg /L
-
-
-
-
-
-
-
-
mg /L
6,517
6,075
2,015
2,360
2,187
6,116
0,110
1,323
Mercury ( Hg )
mg /L <0,0008 0,001 <0,0008 <0,0008 <0,0008 0,001
-
-
Timbal ( Pb ) C. Pemeriksaan Kimia Organik Minyak / Lemak
mg /L
0,031
0,052
0,038
0,003
0,032
0,015
0,012
0,001
µg/l
6,0
99,0
99,0
23,0
76,0
37,0
-
-
≥ 898
50
89
≥1898
494
294
390
≥ 898
55
123
≥1898 ≥1898 ≥1898
A. Pemeriksaan Fisika / Lapangan o Temperatur C Zat Padat Terlarut ( mg /L TDS ) Zat Padat Tersuspensi mg /L (TSS) B.a. Pemeriksaan Kimia Anorganik Bukan Logam pH Biological Oxygen mg /L Demand ( BOD5 ) Chemical Oxygen mg /L Demand ( COD ) Dissolved Oxygen mg /L (DO) Ammonia sebagai mg /L (NH3-N) Lanjutan 11 Nitrat sebagai (NO3-N) tabel mg /L Nitrit sebagai (NO2-N) Phosphat sebagai (PO4 – P) Sulfat ( SO4 )
3 1,55
25 >4
0,05 1,981 0,002 0,002
0,03
1000
D. Mikrobiologi Air Fecal Coliform Total Coliform
Jml/100 ≥1898 ml Jml/100 ≥1898 ml
265
1000
≥898 >1898
5000
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Kesehatan Daerah Jayapura, 2012 Keterangan: Lokasi pengambilan sampel pada sungai Keerom ditandai dengan warna merah. )* Baku Mutu Berdasarkan PP No. 82 tahun 2001, Kelas II
1). Sifat Fisik
commit to user 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Konsentrasi TSS di semua lokasi pengambilan contoh berada di atas NAB (50 mg/l). Terdapat perbedaan konsentrasi TSS yang pengambilan contoh ujinya dilakukan pada saat debit tinggi dan debit normal. Ada korelasi antara tingkat konsentrasi TSS dengan besar kecilnya debit. Contoh uji yang diambil pada kondisi debit tinggi mempunyai konsentrasi TSS yang tinggi bila dibandingkan dengan contoh uji yang diambil pada kondisi debit normal. Konsentrasi TSS pada kondisi debit tinggi berkisar 125 mg/l – 792 mg/l, sedangkan konsentrasi TSS pada kondisi debit normal 55 mg/l sampai 81 mg/l. Pada kondisi debit tinggi, konsentrasi TSS dipengaruhi oleh penggerusan lapisan tanah pada bagian dasar sungai dan tebing sungai oleh pergerakan air. Selain itu sedimen juga berasal dari daratan yang terbawa oleh aliran air hujan yang kebetulan waktu pengambilan contoh dilakukan pada musim hujan. Secara Skala
Kualitas Lingkungan
(SKL) konsentrasi TSS di wilayah studi
tergolong SKL= 1(sangat buruk) sampai SKL = 3 (sedang). 2)
Sifat Kimia Hasil analisis menunjukkan bahwa parameter BOD5 berkisar 12,98 mg/l
sampai 28,51 mg/ldan COD berkisar 14,0 mg/l sampai 154,0 mg/l. Secara SKL tergolong buruk sampai sangat buruk SKL=3 sampai SKL=1. Derajat kemasaman menunjukkan pH 6,71 sampai 8,78 tergolong netral. Bentuk senyawa Sulfur dalam air yang mempunyai aerasi baik adalah dalam bentuk sulfat. Ion sulfat banyak terdapat di perairan alami. Dalam keadaan anaerob senyawa sulfat direduksi secara kimia oleh bakteri membentuk gas H2S. Sumber ion sulfat di perairan sungai dapat berasal dari limbah domestik dan oksidasi mineral-mineral sulfida.
Konsentrasi sulfat di perairan areal studi 11,0 mg/l – 70,0
mg/l
(NAB=400 mg/l). Senyawa-senyawa nitrogen terdapat dalam keadaan terlarut dalam air atau sebagai bahan tersuspensi dan merupakan senyawa-senyawa yang sangat penting dalam air dan memegang peranan yang sangat kuat dalam reaksi-reaksi biologi perairan. Sumber-sumber nitrogen dalam air bermacam-macam, meliputi hancuran bahan organik, buangan domestik, limbah, dan pupuk.
Nitrogen perairan
merupakan penyebab utama pertumbuhan ganggang yang sangat pesat yang commit to user menyebabkan eutrofikasi. 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Konsentrasi nitrat di sungai dalam areal studi berkisar 0,03 mg/l – 15 mg/l. Konsentrasi tertinggi terdapat di lokasi Si-3 (S. Keerom-1) Nilai ambang batas menurut Baku Mutu Air kelas II PP No. 82 Tahun 2001 adalah 10 mg/l. Amoniak merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH4+ pada pH rendah dan disebut amonium. Dalam air permukaan amoniak diantaranya berasal dari oksidasi zat organis (HaObCcNd) secara mikrobiologis. Rasa NH3 kurang enak, sehingga kadarnya harus rendah yaitu nol untuk air minum dan di bawah 0,5 mg/l untuk air sungai. Konsentrasi amoniak air sungai di areal studi berkisar< 0,01 mg/l – 1,92 mg/l. Nitrit merupakan unsur yang tidak stabil yang merupakan hasil intermediate penguraian amonia menjadi nitrat. Konsentrasi nitrit di perairan arael studi nilainya 0,002 mg/l sampai 0,051 mg/l. (NAB= 0,06 mg/l). Unsur Fosfor merupakan unsur esensial untuk pertumbuhan algae dan organisma biologi perairan. Kelebihan unsur P dalam perairan dapat menyebabkan eutrofikasi dan dapat menurunkan kadar oksigen terlarut. Konsentrasi 6 – 20 ppm dalam perairan telah dapat menyebabkan blooming algae. Konsentrasi total fosfat di areal studi berkisa 0,10 mg/l – 0,83 mg/l (NAB=0,2). Kandungan logam berat besi (Fe) di areal studi adalah 0,02 – 1,92 mg/l. (NAB=0,3). Konsentrasi timbal berkisar 0,001 mg/l- 0,052 mg/l (NAB=0,03 mg/l). Untuk parameter kimia lainnya yang dianalisis masih memenuhi kriteria baku mutu air kelas II. Hasil analisis mikrobiologi menunjukkan bahwa tiga contoh uji yang diambil di lokasi Si-1 (S. Yabanda) dan Si-5 (S. Tekai) mempunyai jumlah bakteri coli yang melebihi NAB (1000 jml/100 ml). Berdasarkan Skala Kualitas Lingkungan, air sungai yang ada di areal studi dilihat dari beberapa parameter kunci (TSS, BOD5 dan COD) memiliki SKL= 4 (baik) sampai SKL=1 (sangat buruk) Berdasarkan metoda Indeks Pencemaran (pollution index), status mutu air sungai yang ada di dalam wilayah studi
tergolong tercemar ringan dengan nilai PI
(pollution index) berkisar 1,22 sampai 3,13. Kriteria menurut Kepmen LH No. 115 tahun 2003 untuk 1,0 < PI ≤ 5 adalah tergolong cemar ringan. Hasil perhitungan indeks pencemaran secara lengkap disajikan pada Tabel 12. commit to user Air Tabel 12. Hasil perhitungan Indeks Pencemaran 61
perpustakaan.uns.ac.id
No
Kode
1 2 3 4 5 6 7 8 9
SI – 1 SI – 2 SI – 3 SI – 4 SI – 5 SI – 6 SI – 7 SI – 8 Si-9
Lokasi Pengambilan Contoh Uji S. Yabanda S. Bompai S. Keerom-1 S. Kai S. Tekai S. Web -1 S. Keerom-2 S. Keerom-3 S. Web-2
digilib.uns.ac.id
Indeks Pencemaran 1,85 2,18 2,52 3,13 2,73 1,22 2,31 2,31 2,12
Sumber: Hasil Perhitungan Tim AMDAL, Maret 2012
Berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi perairan pada sub DAS Keerom menunjukan telah terjadi pencemaran sungai yaitu taraf tercemar ringan yang dibuktikan dengan beberapa parameter yang berada diatas nilai ambang batas baku mutu sesuai Lampiran Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Kualitas Air Kelas II. Pada pasal 8 poin b Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001 disebutkan bahwa “Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan air, untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut”.
C. Faktor Dominan penyebab penurunan fungsi Sub DAS Keerom Dari penjelasan pada bagian sebelumnya bahwa telah terjadi pencemaran pada sub DAS Keerom yang tergolong dalam skala tercemar ringan berdasarkan metoda Indeks Pencemaran (pollution index), bahwa status mutu air sungai yang ada di sub DAS Keerom tergolong tercemar ringan dengan nilai PI (pollution index) berkisar 1,22 sampai 3,13. Terjadinya pencemaran pada sungai Keerom tidak terlepas dari aktivitas yang terjadi di wilayah hulu, dikarenakan semua dampak aktivitas pada wilayah hulu akan mengalir melalui sungai-sungai kecil kemudian masuk ke sungai utama. Berdasarkan hasil pemeriksaaan pada bagian sebelumnya menunjukan adanya peningkatan beberapa parameter fisik seperti Zat Padat Tersuspensi (TSS) yang jumlahnya melebihi nilai ambang batas baku mutu. Konsentrasi TSS dipengaruhi commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh penggerusan lapisan tanah pada bagian dasar sungai dan tebing sungai oleh pergerakan air. Selain itu sedimen juga berasal dari daratan yang terbawa oleh aliran air hujan yang kebetulan waktu pengambilan contoh dilakukan pada musim hujan. Jika dilihat dari topografi wilayah maka sungai Keerom cenderung landai, sehingga faktor utama yang mempengaruhi meningkatnya jumlah TSS di sungai Keerom adalah peningkatan erosi dan sedimentasi pada wilayah hulu yang terjadi baik secara alami maupun pengaruh aktivitas masyarakat pada wilayah hulu. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat, tokoh masyarakat dan aparat kampung di Distrik Senggi diketahui bahwa terdapat aktivitas masyarakat yang dilakukan baik di pinggir sungai maupun memanfaatkan sungai sebagai sarana transportasi, aktivitas tersebut diantaranya; 1. Berladang Kegiatan berladang merupakan bentuk pemanfaatan sumber daya lahan untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Lokasi ladang masyarakat pada umumnya terdapat di lahan datar. Namun demikian terdapat juga lokasi ladang masyarakat di pinggir sungai. Pembukaan ladang di pinggir sungai dilakukan terutama oleh masyarakat yang gemar berburu dan mencari sagu. “ Kegiatan berladang di pinggir sungai sudah berlangsung turun temurun dan hingga sekarang ini sebagian masyarakat masih melakukan aktivitas tersebut, tetapi tidak banyak itu hanya kalau mereka berburu dan mencari sagu ”.., (Tokoh Adat Senggi, kom.prim, 2014). Pembukaan ladang di pinggir sungai dilakukan dengan menebang pohon kemudian membersihkan, lalu membakar dan menanam. Pembukaan ladang dengan menebang pohon tersebut mengakibatkan berkurangnya tajuk sehingga ketika musim hujan terjadi potensi tanah yang terbawa oleh aliran permukaan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi hutan yang memiliki tutupan masih rapat. Hal ini seperti hasil penelitian (Lihawa, 2012) yang menyebutkan bahwa kemampuan air hujan sebagai penyebab terjadinya erosi adalah bersumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan, dimana kedua indikator tersebut mempengaruhi besarnya energi kinetik air hujan. Energi kinetik air hujan yang menyebabkan terkelupasnya partikel-partikel tanah. Padato lahan commit userdengan vegetasi penutupnya rapat 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan disertai oleh tanaman bawah, maka air hujan yang jatuh akan tertahan oleh tajuk tanaman, sehingga kecepatan jatuhnya tetesan air hujan akan berkurang. Pembukaan ladang-ladang baru di wilayah hulu sungai Keerom baik yang dilakukan di pinggir sungai maupun di wilayah hutan memiliki potensi untuk meningkatkan laju erosi dan sedimentasi. 2. Berburu Kegiatan berburu dilakukan secara tradisional dengan menggunakan peralatan berupa panah, tombak dan parang. Sebagian kecil masyarakat sudah menggunakan peralatan modern seperti senapan angina untuk berburu. Lokasi perburuan bisa dilakukan dimana saja, baik dipinggir kampung, di pinggir sungai maupun di wilayah hutan. Kegiatan berburu di pinggir sungai dilakukan hanya jika ditemukan hewan buruan di lokasi tersebut. Kegiatan berburu di wilayah hulu dan pinggir sungai tidak berdampak terhadap penebangan kayu sehingga kegiatan ini tidak menimbulkan terjadinya erosi dan sedimentasi. 3. Mencari Sagu Aktivitas mencari sagu banyak dilakukan di pinggir sungai karena tipikal tanaman ini yang tumbuh di daerah yang banyak terdapat air. Kegiatan mengambil sagu dimulai dengan mencari sagu yang telah berumur tua kemudian ditebang menggunakan kampak, setelah itu pohon sagu akan dikupas bagian kulit yang keras kemudian mengambil sari patih yang terdapat di bagian batang. Proses untuk memperoleh tepung sagu dilakukan di pinggir sungai, hal ini karena proses tersebut membutuhkan air yang banyak untuk menyaring maupun mengendapkan sari patih sagu. Aktivtas penabangan sagu dipinggir sungai tidak berdampak signifikan kepada terjadinya erosi dan peningkatan sedimentasi karena aktivitas tersebut tidak dilakukan dalam jumlah yang besar dan hanya dilakukan pada tanaman sagu yang telah berumur tua. 4. Menebang kayu Dari hasil wawancara dengan tokoh adat diketahui bahwa kegiatan yang paling banyak dilakukan dipinggir sungai adalah penebangan kayu. Para operator (penebang) membangun kemah (pondok) di pinggir sungai kemudian tinggal dan menetap dalam beberapa waktu antara satu hingga tiga bulan lamanya untuk menebang dan mengolah kayu. commit Kemahto (pondok) tersebut dibangun dengan user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memanfaatkan kayu di sekitar sungai. Jalur sungai juga digunakan untuk transportasi kayu dari wilayah hutan menuju ibu kota distrik di Senggi. “Waktu kami mancing di sungai menemukan tukang sensor (operator) punya kem berjajar di pinggir-pingir sungai, jadi sekitar wilayah sungai itu mereka sudah tebang habis pohon-pohon, bukan hanya kayu besi saja tetapi semua jenis pohon mereka tebang. Padahal izin yang diberikan oleh pemilik hutan hanya untuk kayu besi saja, namun dalam kenyataan mereka tebang semua pohon. Ini yang harus diperbaiki…,” (Ketua LMA Senggi, kom, prim, 2014) Menurut Mawardi (2012:115) bahwa pada umumnya tanah-tanah yang tak berpenutup (terbuka) secara potensial akan mengalami erosi yang lebih tinggi dari pada tanah yang berpenutup (cover crops). Penebangan kayu yang dilakukan di wilayah hutan dan pinggir sungai menyebabkan berkurangnya tajuk sehingga ketika musim hujan terjadi potensi tanah yang terbawa oleh aliran permukaan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi hutan yang memiliki tutupan yang masih rapat. Dengan demikian maka dapat disumpulkan bahwa aktivitas berladang dan aktivitas mengambil kayu memiliki dampak signifikan terhadap terjadinya erosi dan sedimentasi di sungai Keerom. Hal ini bisa dilihat dari morfologi sub DAS Keerom yang memiliki banyak percabangan anak sungai. Aliran sungai dan percabangan anak sungai merupakan suatu jaringan yang mengalir ke sungai yang lebih besar dan membentuk pola tertentu. Berdasarkan pengamatan lapangan pola aliran tergolong trellis, percabangan anak-anak sungai umumnya tegak lurus terhadap induk sungai. Bentuk DAS dari hulir ke arah hulu cenderung melebar berbentuk radial. Sebagai akibat dari bentuk tersebut, maka waktu yang diperlukan aliran yang datang dari segala penjuru arah alur sungai memerlukan waktu yang hampir bersamaan. Aliran sungai-sungai kecil yang jumlahnya cukup banyak tersebut berfungsi sebagai media penghantar material yang tererosi dari wilayah hutan yang terdapat aktivitas penebangan kayu baik untuk
tujuan pembukaan
ladang maupun pengambilan kayu untuk tujuan komersil. Kondisi tersebut didukung dengan tingginya curah hujan di wilayah ini yang rata-rata bulanan sebesar 156 mm dan rata-rata hari hujan bulanan selama commit to user tahun 2006 – 2010 sebanyak 8,93 hari. (lihat tabel 1). 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor yang memperkuat pendapat ini adalah berdasarkan analisis laboratorium dari sampel air pada lokasi sungai Keerom besarnya sedimen melayang pada kondisi debit tinggi berkisar 125 mg/l – 792 mg/l dan pada kondisi debit normal 55 mg/l sampai 81mg/l. Selain itu dapat dilihat pada kondisi sungai ketika musim hujan sering terjadi banjir yang disertai dengan material kayu-kayu bulat berbagai ukuran. Kayu-kayu ini merupakan bagian dari penebangan hutan yang terjadi di wilayah hulu. Juga merupakan kayu-kayu berukuran kecil yang ikut tertimpa kayu besar pada saat dilakukan penebangan di pinggir sungai. Kayu-kayu tersebut terbawa arus sungai dan sebagian tersangkut pada tiang jembatan. Aktivitas tersebut semuanya berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya hutan di wilayah ini. Sungai merupakan salah satu sarana yang paling mudah untuk menjangkau wilayah hulu, dengan pertimbangan bahwa akses dengan jalan darat ditempuh dalam waktu yang lama. Sebelum adanya akses jalan di wilayah ini masyarakat memanfaatkan sungai sebagai sarana transportasi utama selain jalan darat.
D. Analisis perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam. Menurut
Setyono (2011), relasi manusia dan lingkungan bersifat
eksistensial. Manusia hanya ada dalam lingkungan (Umwelt) dan manusialah yang membuatnya menjadi lingkungan hidup yang manusiawi (Lebenswelt). Hubungan yang eksistensial itu diungkapkan dengan istilah yang disebut oleh filsuf Heidegger sebagai 'Sorge' (pemeliharaan). Menurut Heidegger pemeliharaan merupakan hakikat seluruh eksistensi manusia sehingga ia menyatukan segala unsur kehidupan. Selain perilaku ramah lingkungan “memelihara” yang sudah dijelaskan diatas
juga dikenal perilaku ramah lingkungan “memperbaiki”, yaitu suatu
tindakan nyata yang dilakukan untuk memulihkan kondisi lingkungan yang telah rusak akibat ulah manusia. Memperbaiki atau memulihkan lingkungan yang telah rusak merupakan tanggung jawab moral manusia, baik secara individu maupun secara kolektif. Seperti di jelaskan oleh Keraf (2002:146) prinsip tanggung jawab moral ini menuntut manusia untuk mengambil prakrsa, usaha, kebijakan dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dengan segala isinya. commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ini berarti, kelestarian alam dan kerusakan alam merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat manusia. Lebih lanjut Setyono, (2011) menjelaskan perilaku tidak ramah lingkungan dapat dikategorikan dalam dua sub yaitu merusak dan mengabaikan. Tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkup global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber pada perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan dikarenakan: 1. Sistem pengelolaan yang tidak ramah dan kurang peduli pada lingkungan. 2. Kurang menghargai terhadap alam lingkungan beserta isinya, baik biotik ataupun abiotik. 3. Mengeksploitasi serta berusaha memiliki secara maksimal atau berlimpah. 4. Tidak berusaha untuk memulihkan kembali kerusakan yang ditimbulkan, akibat pengeksploitasian sumber daya alam. 5. Kurang memikirkan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan akibat pengeksploisasian sumber daya alam. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Setyono (2011) tersebut maka sejumlah aktivitas masyarakat di wilayah Sub DAS Keerom dikategorikan dalam perilaku yang tidak ramah lingkungan. Perilaku tidak ramah lingkungan yang dimaksud seperti “merusak” yaitu aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup atau aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang berdampak pada terjadinya kerusakan lingkungan.
Demikian
juga
dengan
perilaku
tidak
ramah
lingkungan
“mengabaikan” yang diartikan sama dengan pembiaran terhadap kerusakan yang sudah ditimbulkan serta tidak ada niat baik untuk melakukan upaya perbaikan. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan menunjukan bahwa perilaku masyarakat tersebut didasari oleh adanya aktivitas sosial ekonomi yang meningkat di wilayah Distrik Senggi. “Setiap orang punya hak masingmasing untuk menjual kayu pada hak ulayat. Mereka terserah mau beli apa saja dari hasil penjualan kayu. Cari uang paling gampang adalah dengan jual kayu. Kalau hari ini bapak butuh uang misalnya Rp. 500.000,- maka tinggal tunjuk saja 1 pohon dan langsung terima uang. Ini cara paling gampang untuk bisa dapat uang…, “(Tokoh masyarakat: kom. Prim. 2014) commit to user Intervensi masyarakat ke wilayah hutan Distrik Senggi terus mengalami 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peningkatan, baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan dasar maupun untuk tujuan komersil.
Perambahan hutan tidak hanya dilakukan oleh pemilik hak ulayat
setempat tetapi telah melibatkan masyarakat transmigrasi maupun masyarakat dari luar Senggi. Adanya akses jalan dan terbukanya sarana komunikasi mendorong terjadinya percepatan aktivatas masyarakat terhadap hutan di wilayah ini. Kurangnya pengawasan dan pemantauan dari instansi terkait serta ketidakmampuan lembaga adat dalam melakukan proteksi menyebabkan banyak pihak berlombalomba untuk mengeruk kekayaan alam terutama kayu yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tabel 13 menunjukkan 90 % responden mengatakan bahwa di wilayah hutan Distrik Senggi terdapat aktivitas masyarakat berladang, mencari sagu, berburu dan mengambil kayu. 10 % responden menyebutkan hanya ada aktivitas berladang saja. Tabel 13. Aktivitas masyarakat di Sub DAS Keerom Aktivitas Masyarakat Hanya berladang Berladang, Mencari sagu, berburu, menebang kayu Total
Jumlah Responden
%
3
10,0
27 30
90,0 100,0
Sumber: Data primer, 2014
Aktivitas masyarakat tersebut seperti tergambar pada tabel 13 memang merupakan aktivitas keseharian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehingga sangat wajar apabila masyarakat memanfaatkan hutan sebagai tempat mencari nafkah. Tidak hanya untuk tujuan memenuhi kebutuhan akan konsumsi tetapi juga untuk tujuan ekonomi karena ada nilai dari sumber daya alam tersebut serta ada kebutuhan yang tidak hanya terbatas pada konsumsi semata. Hal tersebut diakui masyarakat sebagai akibat dari adanya modernisasi serta masuknya budaya luar yang memperkenalkan uang dan fungsinya, sehingga hasil hutan yang sebelumnya hanya untuk konsumsi terbatas kini memiliki nilai lebih serta kompleksitas yang semakin rumit. 1. Aktivitas Berladang Pemanfaatan dan penggunaan lahan oleh masyarakat sekitar Sub DAS commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keerom pada umumnya masih subsisten dengan tingkat teknologi (budidaya) yang masih terbatas. Sistem bercocok tanam masih dilakukan secara sederhana dan dalam banyak hal masih bergantung kepada “kemurahan alam”. Sistem bercocok tanam yang dilakukan penduduk masih dengan sistim perladangan berpindah. Hal ini tidak lepas dari pertimbangan yang didasarkan pada faktor kesuburan tanah. Tanaman yang pertama kali ditanam adalah ubi jalar, dan ubi kayu. Selanjutnya tanaman keras seperti coklat dan pinang. Urutan dalam membuka ladang tersebut dimulai dari mencari lokasi untuk ladang pada hak ulayat masing-masing, kemudian dilanjutkan dengan menebang habis pohon – pohon di lokasi tersebut kemudian membersihkan, membakar lalu dilanjutkan dengan proses menenam. Sampai sekarang pola perladangan tersebut masih berlangsung, kecuali pada lahan-lahan yang sudah ditanami tanaman coklat. Pola perladangan tersebut tidak ramah lingkungan karena diolah dengan cara menebang habis baik pohon besar maupun pohon kecil, serta adanya pembakaran lahan menunjukan dampak terhadap lingkungan menjadi terganggu. Sekarang ini sudah banyak penduduk yang mencoba pola perladangan menetap dengan memanfaatkan ladang yang sudah ditanami coklat kemudian pada bagian pinggir ladang ditanami berbagai jenis umbi-umbian serta sayur-mayur yang bisa dipanen antara 1-3 bulan sekali. Setiap tahun petani hanya bisa melakukan pemanenan coklat sebanyak 2 musim yaitu musim panen I pada bulan Januari – April dan musim panen II pada bulan Mei – Juli. Bagi petani yang memiliki tanaman coklat yang terawat rata-rata hasil sekali musim panen mencapai ± 100150 kg. Sedangkan petani yang memiliki lahan yang sempit atau tidak ter pelihara hanya mendapat hasil ± 10 – 20 kg. Biji coklat yang sudah dikeringkan dihargai oleh pedagang pengumpul di kampung antara Rp. 15.000– Rp. 25.000 per kg tergantung harga pasar regional. Namun tidak jarang, terutama pada kampungkampung yang aksesibilitasnya sulit, harga biji coklat hanya mencapai Rp. 10.000 per kg. Hasil panen dari kebun coklat tersebut kemudian dijual ke para pembeli yang ada di lokasi transmigrasi dengan harga bervariasi mulai dari harga terendah Rp. 15.000,- hingga Rp. 18.000,-.Sekali jual petani memperoleh keuntungan berkisar Rp. 400.000,- hingga Rp. 500.000,commit tonamun user apabila terjadi penurunan harga 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
per kilogram maka petani hanya memperoleh separuh dari nilai tersebut diatas. Uang hasil penjualan tersebut kemudian petani membeli kebutuhan sehari-hari di kios-kios milik pedagang di lokasi transmigrasi. Tabel 14 menunjukan betapa nilai uang begitu berharga sehingga tujuan utama dari aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang awalnya hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari kini telah meluas, tidak hanya konsumsi semata. Tabel 14. Apa tujuan utama bapak/ibu membuka ladang Jawaban Responden Hanya untuk kebutuhan sehari-hari Mengisi waktu luang Kebutuhan sehari-hari dan untuk dijual Total
Jumlah Responden 2 1 27 30
% 6,7 3,3 90,0 100,0
Sumber: Data Primer, 2014
Pada tabel 14, ketika ditanya apa tujuan utama dalam membuka ladang atau aktivitas berkebun maka mayoritas responden (90%) menjawab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk dijual. Sedangkan 6,7 % responden menjawab hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan 3,3 % menjawab untuk mengisi waktu luang. Tidak bisa dipungkiri bahwa tujuan membuka ladang memang untuk memenuhi konsumsi rumah tangga responden, namun demikian adanya permintaan akan sayur – mayur, umbi-umbian serta biji coklat membuat masyarakat mau tidak mau memanfaatkan ladang yang dimilikinya dengan baik untuk menghasilkan panen yang maksimal. Lokasi berladang merupakan hak milik dari masing-masing kepala keluarga, ada yang merupakan hak milik bersama dalam suatu suku ataupun keret. Pembagian lokasi untuk berladang sudah diatur dalam setiap suku sehingga lokasi berladang tidak bisa ditentukan sepihak oleh kepala keluarga. Lokasi berladang sangat menentukan kualitas hasil panen karena menyangkut kesuburan tanah, sehingga dalam pemilihan lokasi harus mencari lokasi yang ideal untuk diolah. Ketika ditanya kepada responden tentang dimana lokasi yang digunakan untuk berladang, maka 9,3 % atau 28 responden menjawab di lahan datar, dan sisanya 6,7 % menjawab di lereng bukit. Selanjutnya dapat dilihat pada tabel 15 berikut.
commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 15 Di lokasi mana bpk/ibu berladang Jawaban Responden Lereng bukit (tanpa pengelolaan) Lahan datar (dengan cara tradisional) Total
Jumlah Responden 2 28 30
% 6,7 93,3 100,0
Sumber: Data Primer, 2014
Tabel 15 menunjukan bahwa dalam pemilihan lokasi berladang mayoritas responden memilih lokasi yang datar dimana pada lokasi seperti ini sangat ideal untuk berladang, selain itu untuk mengurangi resiko kerusakan seperti terjadinya erosi dan sedimentasi. Pilihan mayoritas masyarakat untuk berladang pada lahan datar menunjukan perilaku yang ramah lingkungan. Ketika ditanya tentang pengolahan lahan setelah masa panen selesai, maka 46,7 % atau 14 responden menjawab mengolah kembali lahan tersebut dengan jenis tanaman yang sama, 36, 7 % responden menjawab meninggalkan lahan tersebut dan mencarilahan baru untuk diolah, dan sisanya 16, 7 % responden menjawab meninggalkan lahan tersebut dan mencari lahan bekas olahan pada musim panen sebelumnya, seperti tampak pada table 16 berikut ini. Tabel 16. Jika masa panen sudah selesai apakah yang bpk/ibu lakukan dengan lahan bekas tanam tersebut Jawaban Responden Jumlah Responden % Mengolah kembali lahan tersebut dengan jenis tanaman yang sama Meninggalkan lahan tersebut dan mencari lahan baru untuk diolah Meninggalkan lahan tersebut dan mencari lahan bekas olahan pada musim sebelumnya Total
14
46,7
11
36,7
5
16,7
30
100,0
Sumber: Data Primer, 2014
Variasi jawaban responden tersebut menunjukan keadaan yang sebenarnya terjadi di lokasi penenlitian. Hal tersebut seperti diperkuat oleh beberapa informan kunci pada waktu dilakukan wawancara mendalam menyebutkan bahwa aktivitas
berladang di wilayah Senggi sangat bervariasi. Sebagian besar masyarakat commit to user mempunyai kebun coklat yang merupakan bantuan pemerintah dalam bentuk bibit 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang kemudian ditanam oleh masyarakat pada lahan milik pribadi ataupun lahan milik keret. Lokasi kebun coklat tersebut umunya terdapat di pinggiran kampung. Sebagian masyarakat juga masih melakukan aktivitas perladangan berpindah. Jenis tanaman pada lading tersebut umumnya umbi-umbian, sayur- mayur serta pisang, proses menanam pada ladang tersebut dilakukan dilakukan dengan cara subsisten. Pada umumnya ladang tersebut terdapat pada lokasi tempat berburu dan agak berjauhan dengan kampung. Pada ladang tersebut biasa dibuat pondok kecil untuk tempat menginap ketika hendak berburu ataupun mengambil sagu. Secara umum aktivitas berladang yang dilakukan oleh masyarakat mengandung aspek ramah lingkungan terutama dalam pemilihan lokasi berladang mayoritas masyarakat berladang pada lahan datar. Namun demikian dalam pengolahan ladang tersebut belum sepenuhnya memuat kaidah-kaidah ramah lingkungan karena masih dilakukan penebangan pohon membakar ketika membuka ladang.
yang diikuti dengan
Pola ini sama dengan hasil penelitian
sebelumnya oleh (Harsoyo, 1997) yang dilakukan dilakukan pada Cagar Alam Cycloop, dimana pada kedua wilayah ini masyarakatnya sama-sama menerapkan pola perladangan berpindah, namun yang membedakan ialah pada masyarakat di Cagar Alam Cycloop melakukan pola perladangan yang ramah lingkungan karena dalam membuka ladang baru tidak menebang habis semua pohon, tetapi hanya pohon kecil saja, sedangkan pohon besar dibiarkan untuk tempat berteduh di siang hari. Seperti dikatakan oleh Sudaryono (2002) bahwa guna menjamin pemanfaatan
yang
lestari,
lahan
harus
dikelola
dengan
memperhatikan
keseimbangan antara aspek konservasi dan pemanfaatannya. Pemanfaatan sumberdaya lahan dilakukan dengan mempertimbangkan: a. fungsi lokasi lahan dalam tatanan lingkungan berdasarkan karakteristik tanah, lahan dan wilayah; b. cara-cara pemanfaatan yang memperhitungkan kaidah konservasi; c. pemanfaatannya disesuaikan dengan tata ruang; d. kelembagaan dan kualitas sumberdaya manusia; e. peran serta masyarakat secara luas. Masyarakat masih mementingkan commit toaspek user pemanfaatan
dari pada aspek 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
konservasi. Ini terlihat dari pola perladangan dimana sebagian responden masih melakukan perladangan berpindah, demikian pula dengan teknik membuka ladang masyarakat menebang habis pohon di suatu lokasi kemudian mengolahnya lebih lanjut, seperti terlihat pada tabel 17. Kondisi ini bisa dimaklumi karena keterbatasan sumber daya manusia serta kurangnya perhatian pemerintah untuk melakukan edukasi dalam hal bercocok tanam yang ramah lingkungan.
Tabel 17. Skemal perilaku masyarakat dalam aktivitas berladang No Aktivitas Ramah Kategori berladang Lingkungan 1 Lokasi 93,3 % di lahan Memelihara datar 2 Pola Perladangan Memelihara menetap (50 %) 3 Teknik
4
Pengolahan lahan setelah panen
46,7 %. Mengolah Memperbaiki kembali lahan tersebut dengan jenis tanaman yang sama
Tidak Ramah Lingkungan 6,7 % pada lereng bukut. Ladang berpindah (50%) Menebang habis pohon, Membakar (100 %)
(36,7%) Meninggalkan lahan tersebut dan mencari lahan baru untuk diolah (16,6%)Meninggalkan lahan tersebut dan mencari lahan bekas olahan pada musim sebelumnya Jumlah 190 210 Rata-rata 47,5 % 52,5 % Sumber: Pengolahan data primer (data diolah dari tabel sebelumnya)
Ketegori Merusak Merusak
Merusak
Mengabaikan
Mengabaikan
Berdasarkan tabel 17 dapat dijelaskan bahwa aktivitas berladang yang dilakukan oleh masyarakat Sub DAS Keerom terkategorikan dalam perilaku tidak ramah lingkungan yaitu sebesar 52,5 %, sedangkan aktivitas berladang yang termasuk dalam perilaku ramah lingkungan sebesar 47,5 %. Jika dilihat dari jumlah tersebut terdapat selisih 5 %. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Setyono (2011) tentang perilaku ramah lingkungan dan perilaku tidak ramah lingkungan, yang kemudian dibagi lagi menjadi dua sub yang terdiri dari masing-masing untuk perilaku ramah lingkungan dibagi dua menjadi sub memelihara dan sub memperbaiki, sedangkan perilaku tidak commit to user 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ramah lingkungan dibagi menjadi sub merusak dan sub mengabaikan. Untuk lebih jelas menganai pembagian perilaku tersebut dalam kaitanya dengan aktivitas berladang yang sudah dijabarkan dalam tabel 17 maka berikut ini akan ditampilkan diagram yang meggambarkan profil perilaku masyarakat dalam aktivitas berladang.
Profil Perilaku Masyarakat
13% 36%
Keteranga Memelihara
Memperbaiki 39%
Merusak 12%
Mengabaikan
Gambar 10. Diagram perilaku masyarakat dalam aktivitas berladang (Data diolah dari tabel 17)
Berdasarkan gambar 10 dapat diketahui perilaku masyarakat secara rinci yang dikembangkan dari tabel 17 sebelumnya. Diagram tersebut menggambarkan perilaku masyarakat dalam aktivitas berladang di sub DAS Keerom. 39 % dari seluruh aktivitas berladang masyarakat termasuk dalam perilaku merusak. Berikut ini akan disajikan penjelasan rinci dari setiap tindakan perilaku masyarakat berdasarkan hasil penelitian. a. Perilaku merusak Perilaku merusak pada aktivitas berladang yaitu terjadi ketika masyarakat membuka ladang pada lereng bukit. Dari jawaban responden pada tabel 15 dimana 6,7 % menjawab membuka ladang di lereng bukit tanpa melakukan tindakan konservasi maka pola tersebut dinilai tidak ramah lingkungan. Akibat dari pola pembukaan ladang pada lereng bukit tersebut bisa mempercepat terjadinya erosi. commit to user Kondisi ini diperparah dengan teknik membuka ladang dengan cara menebang 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
habis pohon, membersihkan, membakar lalu menanam. Pola dan teknik berladang seperti ini sudah barang tentu sangat rawan terhadap perubahan lingkungan, terutama jika dilakukan pada daerah dengan kemiringan lereng tertentu. Menurut (Arsyad, 1989). Topografi merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap tingkat erosi. Unsur topografi meliputi : kemiringan lereng, panjang lereng, konfigurasi keseragaman dan arah lereng. Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia Provinsi Papua Lembar 3412 Tahun 2004 Bakosurtanal, skala 1 : 50.000 wilayah yang tergolong Curam, (25 – 40%) meliputi 12.894 ha atau 8,5 % dari total luas wilayah. (Lampiran IV). Suatu wilayah dengan kemiringan lereng diatas 10 % sudah semestinya dilakukan tindakan konservasi lahan untuk mencegah degradasi lahan yang diakibatkan oleh erosi. Tindakan konservasi dimaksud seperti metode sipil teknik dengan pembuatan guludan dan pembuatan teras pada lahan dengan lereng yang curam, dan juga metode vegetatif yaitu metode konservasi lahan kritis dengan menanam berbagai jenis tanaman seperti tanaman penutup tanah, tanaman penguat teras, penanaman dalam strip, pergiliran tanaman, serta penggunaan pupuk organik dan mulsa. Perilaku merusak dalam aktivitas berladang juga diketahui dari lokasi pembukaan ladang di pinggir sungai yang dilakukan dengan menebang pohon kemudian membersihkan, lalu membakar dan menanam. Pembukaan ladang dengan menebang pohon tersebut mengakibatkan berkurangnya tajuk sehingga ketika musim hujan terjadi potensi tanah yang terbawa oleh aliran permukaan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi hutan yang memiliki tutupan masih rapat. Hal ini seperti hasil penelitian (Lihawa, 2012) yang menyebutkan bahwa kemampuan air hujan sebagai penyebab terjadinya erosi adalah bersumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan, dimana kedua indikator tersebut mempengaruhi besarnya energi kinetik air hujan. Energi kinetik air hujan yang menyebabkan terkelupasnya partikel-partikel tanah. Pada lahan dengan vegetasi penutupnya rapat dan disertai oleh tanaman bawah, maka air hujan yang jatuh akan tertahan oleh tajuk tanaman, sehingga kecepatan jatuhnya tetesan air hujan akan berkurang. Pembukaan ladang-ladang baru di wilayah hulu sungai Keerom baik yang commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilakukan di pinggir sungai maupun di wilayah hutan memiliki potensi untuk meningkatkan laju erosi dan sedimentasi.
b. Perilaku memelihara Dijelaskan oleh (Rohadi, 2010) bahwa perilaku memelihara adalah budaya perilaku yang membuat lingkungan hidup bertahan seperti kondisi semula. Pada gambar 10 diketahui perilaku memelihara dalam aktivitas berladang 36 %, data tersebut diolah dari tabel 17, yaitu bahwa tindakan masyarakat dalam aktivitas berladang yang termasuk dalam perilaku memelihara adalah pada lokasi berladang sebagian besar masyarakat membuka ladang pada lahan datar, dan sebagian lagi sudah menerapkan pola perladangan menetap. Pembukaan ladang pada lahan datar diyakini tidak berpengaruh signifikan terhadap terjadinya erosi dan sedimentasi. Dari hasil pengamatan yang dilakukan dapat diketahui bahwa
lokasi ladang
tersebut memiliki kemiringan lereng di bawah dari 5 %. Pemilihan lokasi yang memiliki kemiringan lereng dibawah 5 % menunjukan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat sejalan dengan prinsip ramah lingkungan. Dengan memilih lokasi berladang pada lahan datar maka masyarakat ikut memelihara lingkungan terutama lahan dari bahaya erosi. Perladangan dilakukan pada lahan datar juga dinilai menguntungkan petani karena tidak perlu mengeluarkan biaya dan tenaga untuk melakukan rekayasa lahan baik secara teknis maupun rekayasa lahan secara sipil untuk mencegah terjadinya erosi lahan. Tindakan pemeliharaan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut sejalan dengan pandangan Setyono (2011), yang mengatakan bahwa pemeliharaan merupakan dasar perhubungan manusia dengan lingkungan. Manusia menghadapi lingkungan dengan sikap memelihara agar lingkungan menjadi pendukung hidupnya.
c. Perilaku mengabaikan Menurut Rohadi (2010) mengabaikan adalah budaya perilaku yang tidak peduli dengan lingkungan hidup, prakteknya juga dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup. Perilaku mengabaikan pada aktivitas berladang diketahui dari hasil penelitian pada tabel 17 dimana % menjawab meninggalkan lahan commit36,7 to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut dan mencari lahan baru untuk di kelola dan 16,6 % menjawab meninggalkan lahan tersebut dan mencari lahan bekas tanam pada musim sebelumnya untuk dikelola. Dari jawaban responden tersebut diatas menunjukan bahwa ada proses pembiaran atau mengabaikan suatu kondisi yang sudah dilakukan oleh masyarakat dalam hal ini adalah pembukaan lahan. Dari hasil wawancara yang dilakukan diketahui bahwa tindakan masyarakat yang mengabaikan ataupun meninggalkan lahan setelah masa panen merupakan pengetahuan tradisional secara turun temurun bahwa untuk menanam kembali pada lahan yang telah dipanen, harus dibiarkan dan tidak boleh ditanam hingga beberapa musim, hal ini diyakini oleh masyarakat untuk proses penyuburan alami. Ketika hendak memanfaatkan kembali lahan bekas olahan tersebut maka masyarakat harus melakukan penebangan lagi dalam areal yang akan dibuka, hal ini dikarenakan jenis tumbuhan tertentu sudah tumbuh besar dan menutupi areal tersebut. Tindakan masyarakat yang meninggalkan lahan setelah masa panen bisa berdampak pada terjadinya erosi, terutama untuk lokasi ladang yang berada pada kemiringan lereng diatas 10 %. Pada lahan tersebut sangat mudah tererosi karena baru saja dipanen, sudah tentu lahan tersebut akan terbuka karena tidak ada tanaman atau tumbuhan yang menutup tanah, sehingga pada saat terjadi hujan butiran air yang jatuh akan langsung menghantam permukaan tanah sehingga potensi material tanah untuk terbawa oleh aliran permukaan menjadi lebih besar jika dibandingkan dengan tanah yang memiliki tutupan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tindakan mengabaikan lahan setelah masa panen merupakan perilaku yang tidak ramah lingkungan, sebagaimana disampaikan oleh Setyono (2011) bahwa ciri dari perilaku tidak ramah lingkungan tersebut diantara adalah tidak berusaha untuk memulihkan kembali kerusakan yang ditimbulkan akibat pengeksploitasian sumberdaya alam, dan kurang memikirkan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan akibat pengekspoitasian sumberdaya alam.
d. Perilaku memperbaiki Budaya perilaku memperbaiki merupakan kebalikan dari perilaku mengabaikan. Jika perilaku mengabaikan budaya perilaku yaitu budaya commitmerupakan to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perilaku yang tidak peduli dengan lingkungan hidup, prakteknya juga dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup, maka perilaku memperbaiki adalah budaya perilaku yang membuat kualitas lingkungan hidup meningkat, bisanya dengan inovasi baru, (Rohadi, 2010). Aktivitas berladang yang dilakukan masyarakat di kampung Senggi diketahui perilaku memperbaiki seperti terlihat pada tabel 17 yaitu 46,7 % responden yang melakukan penanaman kembali pada lahan yang telah dipanen. Artinya bahwa ada upaya atau inisiatif dari warga masyarakat untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang telah rusak atau terganggu. Kondisi yang telah rusak yang dimaksudkan disini adalah ketika membuka ladang masyarakat melakukan penebangan pohon pada areal yang hendak dibuka. Penebangan pohon tersebut sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa merupakan tindakan yang tidak ramah lingkungan. Dengan tindakan masyarakat yang melakukan penanaman kembali pada lahan yang baru selesai dipanen menunjukan bahwa masyarakat berupaya untuk memperbaiki kondisi yang telah rusak sebelumnya. Jika lahan yang baru saja dipanen dibiarkan begitu saja maka akan menimbulkan kerusakan sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya dan menjadi perilaku mengabaikan. Namun tindakan yang dilakukan masyarakat tersebut justru ramah terhadap lingkungan. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan dilapangan bahwa lahan yang dilakukan penanaman atau pengolahan kembali tersebut merupakan lahan yang ditanami coklat sehingga secara ekonomi menguntungkan masyarakat. Masyarakat tidak perlu membuka lahan baru yang memerlukan waktu dan biaya, sehingga bisa dilakukan penghematan. Ketika dilakukan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat dan tokoh perempuan di lokasi penelitian diketahui bahwa tindakan masyarakat yang melakukan penanaman kembali pada lahan yang telah dipanen tersebut terjadi pada lahan coklat. Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa sebagian masyarakat di kampung Senggi menanam coklat yang merupakan bantuan pemerintah untuk setiap kepala keluarga memperoleh bibit coklat sebanyak kurang lebih 200 anakan pohon coklat. Tanaman coklat tersebut ditanam pada lahan milik pribadi yaitu lahan yang sebelumnya merupakan ladang berpindah. Dengan adanya tanaman coklat maka sebagian masyarakat pola perladangan menetap. commit tomenerapkan user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tanaman coklat ditanam memenuhi lahan sekitar 2 hektar kemudian di bagian pinggir lahan tersebut ditanami dengan tanaman jangka pendek seperti umbiumbian, sayur mayur serta pisang dan tanaman pinang. Tanaman jangka pendek tersebut dipanen antara 1-3 bulan sekali. Setiap tahun petani hanya bisa melakukan pemanenan coklat sebanyak 2 musim yaitu musim panen I pada bulan Januari – April dan musim panen II pada bulan Mei – Juli. Bagi petani yang memiliki tanaman coklat yang terawat rata-rata hasil sekali musim panen mencapai lebih kurang 100-150 kg. Sedangkan petani yang memiliki lahan yang sempit atau tidak ter pelihara hanya mendapat hasil lebih kurang 10 – 20 kg. Biji coklat yang sudah dikeringkan dihargai oleh pedagang pengumpul di kampung antara Rp. 15.000 – Rp. 25.000 per kg tergantung harga pasar regional. Namun tidak jarang, terutama pada kampung-kampung yang aksesibilitasnya sulit, harga biji coklat hanya mencapai Rp. 10.000 per kg. Tanaman coklat atau kakao merupakan tanaman jangka panjang dan juga jenis tanaman keras yang memiliki akar tunggang yang kuat sehingga mampu mencengkram dan memperkuat tanah. Kakao adalah tanaman dengan surface root feeder, artinya sebagain besar akar lateralnya (mendatar) berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada kedalaman tanah (jeluk) 0-30 cm. Menurut Himme (cit. www.smecda.com, 2015), 56% akar lateral tumbuh pada jeluk 0-10 cm, 26 % pada jeluk 11-20 cm, 14 % pada jeluk 21-30 cm, dan hanya 4 % tumbuh pada jeluk di atas 30 cm dari permukaan tanah. Jangkauan jelajah akar lateral dinyatakan jauh di luar proyeksi tajuk. Ujungnya membentuk cabang-cabang kecil yang susunannya ruwet (intricate). Dari pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa tanaman coklat masyarakat di kampung Senggi ditanam pada lahan dengan kemiringan lereng antara 0 sampai 5 % sehingga sangat baik untuk mencegah terjadinya erosi, meskipun sebelumnya lahan diolah dengan menebang habis pohon tetapi ketika ditanami coklat bisa mengembalikan fungsi lingkungan yang telah terganggu.
2. Aktivitas Mengambil Sagu Sagu merupakan makanan pokok masyarakat Papua pada umumnya, hampir di setiap tempat di tanah Papuacommit bisa to dijumpai user tanaman dengan nama latin 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Metroxylon sp tersebut. Demikian pula dengan masyarakat di wilayah Senggi yang masih mengandalkan sagu untuk kebutuhan konsumsi setiap hari, selain bahan panganan tradisional lain. Setiap keret (marga) maupun suku di wilayah ini memiliki dusun sagu masing-masing yang bisa diambil kapan saja. Aktivitas pengambilan sagu biasa dikerjakan oleh dua sampai tiga orang hingga lima orang tergantung sistem pembagian kerja pada masing-masing keret, dan bisa dikerjakan antara 1 - 3 hari hingga lebih dari satu minggu, mulai dari menebang sampai menokok isi sagu untuk diambil patihnya. Sangat mudah menemukan tanaman ini di hutan sekitar, patih sagu tersebut juga bisa disimpan dalam kurun waktu yang lama. Tujuan utama dari aktivitas mengambil sagu tentu saja untuk konsumsi sehari-hari, namun ketika ditanya kepada responden tentang apa tujuan utama responden mencari sagu, maka mayoritas yaitu 24 responden (80%) responden menjawab untuk dikonsumsi sendiri dan juga untuk dijual, sisanya 6 responden (20%) yang menjawab hanya untuk dikonsumsi, seperti pada tabel 18 berikut. Tabel. 18. Apa tujuan utama bapak/ibu mencari sagu Jawaban Responden
Jumlah Responden
%
Hanya untuk konsumsi
6
20,0
Konsumsi dan dijual
24
80,0
30
100,0
Total Sumber: Data Primer, 2014
Tabel 18 menunjukan betapa nilai uang dan pemanfaatannya begitu penting bagi masyarakat sehingga aktivitas mengambil sagu yang semula hanya untuk konsumsi, kini banyak di cari untuk di jual meskipun pembeli atau pasar masih terbatas pada warga di wilayah Distrik. Karena faktor ekonomi inilah yang mendorong masyarakat meningkatkan intensitas pengambilan sagu. Ketika ditanya tentang intensitas kepala keluarga dalam mengambil sagu maka jawaban responden beragam. 53,3 % menjawab sebulan sekali, 30 % menjawab lebih dari sebulan, 13, 3 % menjawab seminggu sekali, dan 3,3 % menjawab tiga minggu sekali. Selengkapnya dapat dilihat dari Tabel 19 berikut. commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 19. Seberapa sering bapak/ibu mengambil sagu Jawaban Responden Jumlah Responden seminggu sekali 4 tiga minggu sekali 1 sebulan sekali 16 > sebulan sekali 9 Total 30
% 13,3 3,3 53,3 30,0 100,0
Sumber: Data Primer, 2014
Ketika dilakukan wawancara mendalam dengan tokoh adat di Senggi terungkap bahwa aktivitas pengambilan sagu biasa dilakukan paling cepat antara 1 – 3 bulan sekali ambil, namun dengan adanya permintaan dan kebutuhan masyarakat untuk memperoleh uang maka aktivitas pengambilan sagu untuk tujuan komersil sudah mulai dilakukan oleh masyarakat, meskipun jumlahnya belum begitu banyak.
L sagu
Gambar 11. Aktivitas mengambil sagu di lokasi penelitian
Aktivitas mengambil sagu oleh masyarakat dilakukan secara tradisional yaitu pohon sagu ditebang menggunakan kampak dan parang kemudian di kuliti bagian luar yang keras menggunakan kampak dan pengambilan patih sagu menggunakan alat tradisional yang terbuat dari kayu. Dengan menggunakan alat tradisinal yang terbuat dari kayu kemudian isi sari patih sagu dipukul-pukul untuk mengeluarkan dari batang sagu. Setelah sari patih tersebut sudah berhasil dikeluarkan maka tahap selanjutnya adalah memisahkan tepung sagu dengan bagian yang kasar. Proses untuk memisahkan tepung sagu tersebut dilakukan dengan cara memeras dan menyaring to user kayu yang ditancapkan ketanah menggunkan kain yang sudah diikatcommit pada sebatang 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kemudian ujung kayu tersebut dibengkokan untuk memperoleh tekanan. Penggunaan peralatan tradisional dalam pengambilan sagu menunjukan prilaku yang ramah lingkungan karena dilakukan dengan sabar dan juga tidak terkesan eksploitatif, jika dibandingkan dengan menggunakan peralatan modern seperti gergaji mesin untuk menebang serta mesin parut untuk mengambil patih sagu akan mendorong masyarakat untuk mengeksploitasi tanaman sagu. Ketika ditanya mengenai apakah setelah pohon sagu ditebang dilakukan penanaman kembali dilokasi tersebut mayoritas responden (80%) menjawab ya, dilakukan penanaman kembali anakan pohon sagu di lokasi tersebut, dan sisanya 20 % responden menjawab tidak melakukan penanaman kembali, seperti terlihat pada Tabel 20 berikut.
Tabel 20. Apakah setelah pohon sagu ditebang, dilakukan penanaman kembali dilokasi tersebut Jawaban Responden Jumlah Responden % Ya 24 80,0 Tidak 6 20,0 Total 30 100,0 Sumber: Data Primer, 2014
Tindakan masyarakat yang melakukan penanaman kembali anakan pohon sagu di lokasi yang baru saja ditebang tersebut menunjukan prilaku masyarakat yang ramah lingkungan karena tergolong dalam tindakan memperbaiki dimana pohon sagu yang telah ditebang tentu saja mengalami kerusakan dan tidak mungkin untuk tumbuh lagi kecuali dilakukan penanaman kembali. Menurut tokoh adat setempat bahwa tindakan tersebut telah berlangsung turun temurun. Tindakan ramah lingkungan memperbaiki tersebut sejalan dengan prinsip ramah lingkungan yang disampaikan oleh Keraf (2002:146) yaitu suatu tindakan nyata yang dilakukan untuk memulihkan kondisi lingkungan yang telah rusak akibat ulah manusia. Memperbaiki atau memulihkan lingkungan yang telah rusak merupakan tanggung jawab moral manusia, baik secara individu maupun secara kolektif. Seperti di jelaskan oleh Keraf (2002:146) prinsip tanggung jawab moral ini menuntut manusia untuk mengambil prakrsa, usaha, kebijakan dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dengan segala isinya. Ini berarti, commit to user 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kelestarian alam dan kerusakan alam merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat manusia. Dengan demikian tindakan masyarakat yang
menanam kembali anakan
pohon sagu setelah ditebang merupakan kearifan lokal masyarakat Senggi yang muncul melalui prakarsa dan tindakan nyata yang. Tindakan tersebut juga bisa diartikan sebagai keberlangsungan ekonomi sekaligus keberlangsungan ekologi karena satu pohon sagu dewasa mengandung patih sagu yang sangat banyak. Untuk mengetahui bentuk perilaku masyarakat dalam pengambilan sagu, maka akan ditampilkan tabel yang menggambarkan skema perilaku masyarakat seperti tampak pada tabel 21 berikut ini.
Tabel 21. Skema perilaku masyarakat dalam pengambilan sagu No
1 2 3
4 5
Aktivitas mengambil sagu Lokasi Alat untuk menebang Intensitas
Teknik pengolahan Pengelolaan pasca panen
Ramah Lingkungan
Kategori
Lahan datar (100%) Tradisional (100%) > 3 minggu Sekali ambil (86,7%) Tradisional (100%) Ditanam kembali (80%)
Tidak Ramah Lingkungan
Ketegori
Memelihara
-
-
Memelihara
-
-
Memelihara
Setiap minggu Ambil (13,3%)
Memelihara
-
Memperbaiki
Tidak ditanam kembali (20%)
Jumlah 466,7 33,3 Rata-rata 93,34 % 6,66 % Sumber: Data primer (diolah dari tabel sebelumnya dan hasil wawancara masyarakat)
Merusak
Mengabai kan
dengan
Untuk memudahkan dalam memahami perilaku masyarakat dalam pengambilan sagu maka berikut ditampilkan diagram perilaku masyarakat, seperti tergambar berikut ini.
commit to user 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Profil Perilaku Masyarakat
3% 4%
Keteranga
16%
Memelihara Memperbaiki Merusak 77%
Mengabaikan
Gambar 12. Diagram perilaku masyarakat pada aktivitas mengambil sagu (data diolah dari tabel 21)
Tabel 21 dan gambar 12 menggambarkan perilaku masyarakat dalam pengambilan sagu tergolong tindakan ramah lingkungan yang terdiri dari perilaku memelihara dan perilaku memerbaiki sebesar 93,34 %. Sedangkan perilaku tidak ramah lingkungan yaitu perilaku merusak dan perilaku mengabaikan sebesar 6,66 %. a. Perilaku memelihara Perilaku memelihara adalah budaya perilaku yang membuat lingkungan hidup bertahan seperti kondisi semula (Rohadi, 2010). Perilaku memelihara yang dilakukan oleh masyarakat dapat diketahui dari lokasi mengambil sagu di lahan datar. Secara umum lokasi yang ditanami sagu memang berada di lahan datar, karena sebagian besar lokasi di wilayah Sub DAS Keerom topografinya relatif datar. Selain itu tipikal tanaman sagu yang membutuhkan air dalam jumlah banyak dalam proses pertumbuhan sehingga daerah ini memang sangat cocok untuk tanaman sagu. Seperti sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa Sub DAS Keerom banyak dialiri oleh sungai baik sungai besar maupun sungai-sungai kecil. Selain itu tanaman sagu (Metroxylon sp) juga tidak memerlukan perawatan khusus dalam proses pertumbuhan, bahkan sebagian besar dari tanaman sagu di wilayah ini commit to user dapat tumbuh secara alami. Sangat jarang ditemukan tanaman ini pada lokasi 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan topografi yang bergelombang hingga curam. Tindakan masyarakat yang tergolong dalam perilaku memelihara juga tercermin pada peralatan yang digunakan untuk menebang dan mengolah sagu yakni menggunakan peralatan tradisional seperti parang, kampak dan bahan-bahan tradisional lainnya. Jika dibandingkan dengan peralatan modern seperti gergaji mesin dan mesin parut yang sudah marak digunakan pada beberapa wilayah lain di Indonesia, jelas teknik tradisional lebih ramah lingkungan. Jika menggunakan teknik tradisional, dalam sehari satu kelompok yang terdiri dari 3-5 orang hanya mampu menebang dan mengolah satu pohon sagu saja, tetapi jika menggunakan teknik modern maka tidak butuh waktu lama untuk menebang dan mengolah sagu. Jika menggunakan teknik modern maka dalam sehari bisa mengolah sagu lebih dari 10 pohon. Bisa dibayangkan apabila pola di terapkan oleh masyarakat di Sub DAS Keerom bisa memicu eksploitasi hutan sagu yang sebagian besar tumbuh secara alami tersebut.
b. Perilaku memperbaiki Tindakan ramah lingkungan yang berikut terkait dengan perilaku memperbaiki yang menurut Rohadi (2011) disebut sebagai budaya perilaku yang membuat kualitas lingkungan hidup meningkat, biasanya dengan inovasi baru. Maka dalam hal ini inovasi baru yang dilakukan adalah dengan tindakan masyarakat menanam kembali anakan pohon sagu pada pada lokasi yang baru ditebang. Ketika dilakukan wawancara dengan tokoh adat Senggi diketahui bahwa tindakan masyarakat yang melakukan penanaman kembali di lokasi yang baru saja ditebang merupakan tradisi turun temurun, namun demikian tradisi ini bukan merupakan suatu kewajiban tetapi hanya kesadaran dari setiap keret maupun suku untuk selalu melakukan penanaman ketika menebang pohon sagu. “ Menanam anakan pohon sagu di lokasi yang baru saja ditebang itu sudah berlangsung sejak jaman orang tua kami, sampai sekarang pun kami masih melakukan, tetapi tidak tahu apakah suku dan keret lain juga melakukan yang seperti kami lakukan. “ (Tokoh Adat Senggi: kom. Prim. 2014) Tindakan ramah lingkungan memperbaiki tersebut sejalan dengan prinsip ramah lingkungan yang disampaikan oleh toKeraf commit user (2002:146) yaitu suatu tindakan 85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nyata yang dilakukan untuk memulihkan kondisi lingkungan yang telah rusak akibat ulah manusia. Memperbaiki atau memulihkan lingkungan yang telah rusak merupakan tanggung jawab moral manusia, baik secara individu maupun secara kolektif. Seperti di jelaskan oleh Keraf (2002:146) prinsip tanggung jawab moral ini menuntut manusia untuk mengambil prakrsa, usaha, kebijakan dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dengan segala isinya. Ini berarti, kelestarian alam dan kerusakan alam merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat manusia. Dengan demikian tindakan masyarakat yang menanam kembali anakan pohon sagu setelah ditebang merupakan kearifan lokal masyarakat Senggi yang muncul melalui prakarsa dan tindakan nyata. Tindakan tersebut juga bisa diartikan sebagai keberlangsungan ekonomi sekaligus keberlangsungan ekologi karena satu pohon sagu dewasa mengandung patih sagu yang sangat banyak.
c. Perilaku mengabaikan Perilaku mengabaikan adalah kebalikan dari perilaku memperbaiki. Jika memperbaiki adalah budaya perilaku yang membuat kualitas lingkungan hidup meningkat, maka mengabaikan adalah budaya perilaku yang tidak peduli dengan lingkungan hidup, prakteknya juga dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup (Rohadi, 2010). Berdasarkan gambar 12 perilaku masyarakat yang tergolong dalam mengabaikan sebesar 4 %, seperti terlihat dari tabel 21 bahwa sebagian kecil masyarakat melakukan tindakan yang tidak ramah lingkungan ketika menebang pohon sagu. 4 % responden dari jumlah total 30 responden menjawab tidak melakukan penanaman kembali ketika menebang pohon sagu. Dengan kata lain bahwa ketika pohon sagu selesai ditebang dan diolah maka dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya untuk menanam kembali. Dari hasil Diskusi Kelompok Terfokus diketahu bahwa tindakan masyarakat yang tidak melakukan penenaman kembali anakan pohon sagu di lokasi yang baru saja ditebang karena berbagai alasan. Dari hasil rekaman diskusi yang dilakukan terhadap 10 orang yang terdiri dari 1 orang ketua LMA (Lembaga Musyawarh Adat) 4 orang kepala suku, 1 orang aparat Distrik, 1 orang aparat kampung dan 3 orang kepala keluarga commitdiketahui to user bahwa tradisi masyarakat yang 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melakukan penanaman anakan pohon sagu merupakan tradisi turun temurun dan setiap warga masyarakat mengetahui tradisi tersebut. Dari 10 orang yang hadir dalam diskusi tersebut juga sepakat bahwa tradisi ini harus perlu dilestarikan. Ketika disinggung mengenai adanya pembiaran dari sebagian kecil warga yang tidak melakukan penanaman kembali anakan pohon sagu pada lokasi yang baru saja ditebang, maka jawaban kepala LMA yaitu masing-masing keret memiliki hak tersendiri terhadap dusun sagu dan tidak bisa diintervensi. Demikian pula dengan para kepala suku yang menjawab seperti jawaban ketua LMA tersebut, bahwa hak setiap suku untuk Sementara itu dari kepala keluarga yang hadir mengatakan bahwa tindakan masyarakat yang mengabaikan ketika menabang pohon sagu dikarenakan tujuan utama dari pengambilan sagu untuk dijual sehingga tidak sempat untuk melakukan penenaman kembali. Selain itu ada pula yang mengatakan lupa melakukan penanaman.
d. Perilaku merusak Menurut Rohadi (2010) merusak adalah budaya perilaku yang membuat kualitas lingkungan hidup menurun. Pada gambar 12 diketahui perilaku merusak sebesar 3 % artinya hanya 3 % responden yang menjawab melakukan aktivitas mengambil sagu yang tergolong merusak. Aktivitas yang tergolong merusak tersebut sebagaimana terlihat pada tabel 21 yaitu pada intensitas mengambil sagu, yaitu ketika responden menjawab melakukan pengambilan sagu setiap minggu. Sementara itu sebagian besar responden menjawab melakukan pengambilan sagu lebih dari 3 minggu sekali. Berdasarkan jawaban tersebut maka dapat dikatakan pengambilan sagu oleh masyarakat dalam waktu setiap minggu berpotensi merusak karena bersifat eksploitatif. Dikatakan eksploitatif karena pohon sagu adalah salah satu jenis tanaman yang waktu pertumbuhan cukup lama dari mulai ditanam sampai dipanan. Rata-rata jangka waktu dari mulai pohon sagu ditanam hingga waktu panen adalah antara 10-15 tahun sehingga apabila tidak dilakukan pengambilan dengan intensitas tinggi tanpa dilakukan budidaya maka dikahawatirkan ketersediaan taman sagu akan habis. commit to user 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Berburu Berburu merupakan ciri khas masyarakat Papua selain meramu sagu, aktivitas ini dilakukan turun temurun. Tujuan utama berburu adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Biasanya kegiatan berburu dilakukan bersamaan dengan meramu sagu. Demikian pula dengan masyarakat di wilayah Senggi melakukan kegiatan berburu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Kegiatan berburu dilakukan diwilayah hutan, ada pula warga yang berburu di pinggir kampung. Kondisi hutan yang masih alam menjadikan wilayah habitat hewan buruan masih terjaga sehingga keberadaan hewan buruan tidak sulit untuk dijumpai. Hewanhewan yang sering diburu adalah Babi hutan, Rusa, Kasuari, burung Mambruk dan lainnya. Terbukanya akses ke wilayah ini menjadikan aktivitas berburu tidak hanya terbatas untuk konsumsi semata tetapi juga untuk dijual. Ketika ditanya kepada responden tentang apa tujuan utama bapak/ibu berburu, maka jawaban mayoritas (70%) responden mengatakan untuk konsumsi dan dijual, sementara sisanya (30%) responden menjawab hanya untuk konsumsi. Jawaban mayoritas ini menujukan betapa aktivitas berburu dilakukan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutahan konsumsi tetapi juga untuk di jual. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 22 berikut. Tabel. 22 Apa tujuan utama bapak/ibu berburu Jawaban Responden Jumlah responden Konsumsi sehari-hari 9 Untuk konsumsi dan dijual 21 Total 30
% 30,0 70,0 100,0
Sumber: Data Primer, 2014
Peralatan yang digunakan untuk berburu adalah senjata tradisional berupa busur – panah, tombak dan parang. Ada juga warga yang menggunakan senjata modern berupa senapan angin. Jawaban responden mengenai pertanyaan alat apa yang digunakan dalam berburu, maka 25 responden (83,3 %) menjawab alat tradisional, sedangkan sisanya 16, 7 % responden menjawab menggunakan alat modern berupa sepan angin, selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 23 berikut.
commit to user 88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 23. Alat apa yang sering bpk/ibu gunakan untuk berburu Jawaban Responden Jumlah Responden alat tradisional (panah,jerat, tombak 25 dan parang) alat modern (senapan angin) 5 Total 30
% 83,3 16,7 100,0
Sumber: Data Primer, 2014
Penggunaan alat modern berupa senapan angin dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi keberadaan hewan-hewan buruan terutama jenis burung seperti Cenderawasih yang dilindungi. Penggunaan senapan angin untuk berburu juga disinyalir dilakukan oleh warga dari luar Senggi. Ketika ditanya pengetahuan responden tentang apakah ada orang luar selain warga kampung yang juga melakukan kegiatan berburu di wilayah hutan sekitar, 83 % atau 25 responden menjawab Ya, ada, sedangkan 16, 7 % responden menjawab tidak ada. Seperti pada tabel 24 berikut.
Tabel 24 Sepengetahuan bpk/ibu apakah ada pihak lain selain warga kampung yang melakukan aktifitas berburu di wilayah ini Jawaban Responden Jumlah Responden % Ya, ada 25 83,3 Tidak ada 5 16,7 Total 30 100,0 Sumber: Data Primer, 2014
Tabel 24 menunjukan adanya pihak luar yang melakukan aktivitas berburu yang tentu saja membuat kekhawatiran dari warga karena bisa mengancam keberadaan satwa yang dilindungi, dan juga menurut warga kegiatan berburu yang dilakukan oleh pihak lain tersebut juga tidak mendapat izin dari warga sekitar. Namun ada juga warga yang mengatakan bahwa kegiatan berburu yang dilakukan oleh orang luar tersebut diketahui dan mendapat izin warga setempat, bahkan kegiatan berburu dilakukan bersama-sama dengan warga kampung. Ketika ditanya pengetahuan responden tentang apakah aktivitas berburu pihak lain tersebut mendapat izin dari warga kampung atau tidak. Sebagian besar responden 56,67 % menjawab mendapat izin dari warga kampung, 43,33 % responden menjawab tidak mendapat izin dan sisanya. Seperti tampak pada tabel 25 berikut. commit to user 89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel. 25 Apakah aktifitas berburu tersebut mendapat izin dari warga Jawaban Responden Jumlah Responden % Ya 17 56,67 Tidak 13 43,33 Total 30 100,0 Sumber: Data Primer, 2014
Ketika ditanya tentang apakah ada larangan untuk berburu hewan tertentu, maka 90 % atau 27 responden menjawab ada larangan, dan 10 % atau 3 responden menjawab tidak ada larangan. Seperti tampak pada tabel 26 berikut. Tabel. 26 Apakah terdapat larangan jenis hewan tertentu yang tidak boleh diburu Jawaban Responden Ya, ada Tidak ada Total
Jumlah Responden 27 3 30
% 90,0 10,0 100,0
Sumber: Data Primer, 2014
Adanya larangan untuk tidak berburu hewan tertentu menunjukan perilaku masyarakat yang ramah lingkungan karena untuk melindungi hewan tertentu atau satwa yang endemis seperti Cenderawasih (Paradisaea apoda)
dan Kakatua
(Cacatua galerita). Seperti diketahui bahwa Cenderawasih dan Kakatua merupakan burung endemis Papua dan saat ini keberadaanya terancam karena sering diburu untuk dijadikan hiasan, bahkan juga ada yang di selendupkan dalam kondisi hidup ke luar Papua. Pada diskusi yang dilakukan dengan tokoh adat dilokasi penelitian diperoleh informasi bahwa ada aturan yang tidak tertulis yang sudah turun temurun dilakukan oleh warga sekitar tentang larangan untuk tidak berburu hewan endemis seperti burung Cenderawasih karena burung ini dikeramatkan oleh masyarakat dan hanya diperuntukan untuk acara adat. Selain itu ancaman kepunahan karena saat ini banyak aktivitas
penebangan
kayu
di
wilayah
hutan
sekitar
yang juga
sangat
mengkhawatirkan. Perilaku masyarakat secara rinci akan digambarkan pada tabel 27 dan gambar 13 berikut.
commit to user 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 27. Skema Perilaku masyarakat dalam aktivitas berburu No 1
2
3
Aktivitas berburu Peralatan
Persepsi terhadap keterlibatan pihak luar Larangan
Ramah Lingkungan Tradisional (panah, jerat, tombak) (83,3%) Tidak mengizinkan (43,33)
Ada larangan (90%)
Kategori Memelihara
Memelihara
Tidak Ramah Ketegori Lingkungan Modern: senapan Merusak angin. (16,7%)
Mengizinkan (56,67%)
Merusak Merusak
Memperbaiki
Tidak ada (10%)
Mengabai kan
Jumlah 216,63 88,37 Rata-rata 72,21 % 27,79 % Sumber: data primer (diolah dari tabel 20,21,22 dan tabel 23)
Profil Perilaku Masyarakat
3%
Keteranga
25% 42%
30%
Memelihara Memperbaiki Merusak Mengabaikan
Gambar 13. Diagram perilaku masyarakat dalam dalam aktivitas berburu
Pada tabel 27 dan gambar 13 menunjukan perilaku masyarakat kampung Senggi dalam aktivitas berburu seperti dijelaskan berikut ini.
a. Perilaku memelihara Pada gambar 13 perilaku memelihara sebesar 42 %, jumlah ini merupakan turunan dari tabel 27. Perilaku memelihara pada aktivitas berburu ditandai dengan peralatan yang digunakan berupa alat-alat yang terdiri dari panah, jerat commit tradisional to user 91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan tombak. Selain itu persepsi masyarakat yang tidak memberi izin kepada pihak luar untuk berburu juga merupakan perilaku ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Rohadi (2010) bahwa budaya tradisional adalah cara pikir dan perilaku komunitas yang dilandasi oleh tradisi yang bersifat turun menurun dari nenek moyang mereka. Sedangkan, budaya rasional adalah perilaku yang lebih dilandasi ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh rasio. Dalam kajian ini perilaku masyarakat yang melakukan aktivitas berburu dengan peralatan tradisional merupakan tradisi yang dilakukan turun temurun
dan hal ini diyakini tidak
menyebabkan punahnya satwa. Hal ini sejalan dengan sembilan prinsip yang dikemukakan oleh Keraf (2002) yaitu: 1) Sikap hormat terhadap alam Hormat terhadap alam merupakan suatu prinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari alam semesta secara keseluruhan. Setiap anggota komunitas sosial mempunyai kewajiban untuk menghargai kehidupan bersama (kohesivitas sosial), demikian pula setiap anggota komunitas ekologis harus menghargai dan menghormati setiap kehidupan dan spesies dalam komunitas ekologis. 2) Prinsip tanggung jawab Setiap bagian dari benda di alam semesta ini diciptakanan oleh Tuhan dengan tujuan masing-masing, terlepas dari apakah tujuan itu untuk untuk kepentingan manusia atau tidak. Oleh karena itu manusia sebagai bagian dari alam semesta, bertanggungjawab pula untuk menjaganya. 3) Solidaritas kosmis Prinsip solidaritas muncul dari kenyataan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam semesta sehingga kedudukan manusia sederajat dan setara dengan alam dan semua makhluk hidup lainnya. Prinsip ini kemudian mendorong manusia untuk menyelamatkan lingkungan dan semua kehidupan di alam semesta. 4) Prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam Prinsip kasih sayang dan kepedulian adalah prinsip moral satu arah menuju yang lain tanpa mengharapkan balasan. 5) Prinsip “No Harm” Karena manusia mempunyai kewajiban moral dan tanggung jawab terhadap alam, maka tentu saja manusia tidak mungkin merugikan alam secara tidak wajar. commit to user 92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Meskipun manusia diperkenankan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan segala isi alam, namun hal itu tidak berarti harus dengan mengeksploitasi serta memusnahkan spesies tertentu untuk kebutuhan hidup manusia. 6) Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam Yang menjadi penekanan dalam prinsip ini adalah nilai, kualitas, cara hidup yang baik, dan bukan kekayaan, sarana, standar material yang menjurus kepada sikap rakus dan ketamakan. Dengan sikap tamak dan rakus maka alam akan di eksploitasi secara berlebihan untuk mengejar kepentingan ekonomi. Dengan demikian maka pola konsumsi dan produksi manusia modern harus dibatasi. 7) Prinsip keadilan Prinsip keadilan menekankan tentang akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaaan sumber daya alam dan pelestarian alam, dan dalam ikut menikmati pemanfaatan sumber daya alam. 8) Prinsip demokrasi Prinsip demokrasi ini berkaitan dengan pengambilan kebijakan dibidang lingkungan yang menentukan baik-buruk, rusak tidaknya, tercemar tidaknya lingkungan hidup. 9) Prinsip integritas moral Prinsip ini dimaksudkan untuk pejabat publik dalam mengambil kebijakan harus pro terhadap lingkungan dan tidak sekedar mengejar keuntungan pribadi dan kelompok yang pada akhirnya akan mengorbankan lingkungan. Kesalahan pengambilan keputusan akan menyebabkan rusaknya lingkungan.
b. Perilaku memperbaiki Memperbaiki merupakan tindakan ramah lingkungan disebut sebagai budaya perilaku yang membuat kualitas lingkungan hidup meningkat (Rohadi, 2010) Perilaku memperbaiki seperti pada tabel 27 dan gambar 13 dalam bentuk larangan. Larangan tersebut bertujuan untuk memproteksi jenis satwa tertentu seperti burung Cenderawasih dan burung Kakatua dari kepunahan. Hal ini tidak terlepas dari adanya kekhawatiran masyarakat karena masuknya pihak luar ke wilayah hutan untuk commit to user 93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berbagai tujuan. Selain itu larangan tersebut dibuat karena alasan adat, dimana Cenderawasih memiliki nilai religius dan hanya digunakan ketika diadakan acara adat tertentu, sehingga keberadaannya perlu dilindungi.
c. Perilaku merusak Perilaku mengabaikan adalah kebalikan dari perilaku memperbaiki. Jika memperbaiki adalah budaya perilaku yang membuat kualitas lingkungan hidup meningkat, Selain perilaku ramah lingkungan juga terdapat perilaku tidak ramah lingkungan seperti merusak dan mengabaikan seperti terlihat pada tabel 27 dan gambar 13 yaitu perilaku merusak sebesar 25 % dan perilaku mengabaikan 3 %. Aktivitas berburu yang tergolong dalam perilaku merusak yaitu ketika masyarakat berburu menggunakan senapan angin. Penggunaan senapan angin merupakan keinginan yang dipengaruhi oleh pemikiran rasional bahwa dengan menggunakan senapan maka akan memperoleh hasil buruan dalam jumlah banyak. Sebagaimana disampaikan oleh Rohadi (2010) bahwa merusak merupakan perilaku tidak ramah lingkungan yang dipengaruhi oleh pemikiran rasional. Adanya keinginan untuk memperoleh hasil buruan dalam jumlah banyak tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi dimana terjadi permintaan akan beberapa jenis satwa. Seperti berburu burung cenderawasih untuk dikeringkan kemudian dijual, tanduk rusa untuk hiasan dan lainnya. Semuanya merupakan perilaku yang tidak ramah lingkungan yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan didukung oleh faktor lainnya seperti terbukanya akses jalan, sarana komunikasi yang memadai serta lemahnya penegakan hukum. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Senggi diketahui bahwa kegiatan berburu dengan menggunakan senapan angina pada umumnya dilakukanm oleh pihak luar. “Orang-orang dari luar kampung sering berburu diwilayah hutan sini, kadang mereka tidak meminta izin kepada masyarakat, biasanya kami ketemu mereka dihutan menggunakan senapan angin”…, (Tokoh Masyarakat Senggi, kom. prim, 2014)
d. Perilaku mengabaikan Menurut Setyono (2011), perilaku tidak ramah lingkungan merusak dan mengabaikan memiliki ciri-ciri sebagai berikut. commit to user 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Sistem pengelolaan yang tidak ramah dan kurang peduli pada lingkungan. 2) Kurang menghargai terhadap alam lingkungan beserta isinya, baik biotik ataupun abiotik. 3) Mengeksploitasi serta berusaha memiliki secara maksimal atau berlimpah. 4) Tidak berusaha untuk memulihkan kembali kerusakan yang ditimbulkan, akibat pengeksploitasian sumber daya alam. 5) Kurang memikirkan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan akibat pengeksploiasian sumber daya alam. Berdasarkan tabel 27 diketahui perilaku mengabaikan terjadi ketika ditanya tentang adanya larangan untuk berburu hewan tertentu. Sebagian kecil masyarakat berpandangan bahwa tidak perlu ada larangan karena berbagai jenis hewan buruan dan satwa disediakan oleh alam untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Masyarakat bebes melakukan aktivitas berburu tanpa harus ada larangan. Pemikiran seperti ini dinilai tidak ramah lingkungan dan tidak sejalan dengan prinsip dasar yang disampaikan oleh Keraf (2002) terutama Prinsip “No Harm” Karena manusia mempunyai kewajiban moral dan tanggung jawab terhadap alam, maka tentu saja manusia tidak mungkin merugikan alam secara tidak wajar. Meskipun manusia diperkenankan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan segala isi alam, namun hal itu tidak berarti harus dengan mengeksploitasi serta memusnahkan spesies tertentu untuk kebutuhan hidup manusia. (Keraf, 2002).
4. Aktivitas Mengambil Kayu Masyarakat di lokasi penelitian juga melakukan kegiatan pengambilan kayu yang dilakukan di wilayah hutan maupun di pinggir kampung. Tujuan pengambilan kayu diantaranya untuk kayu bakar, bahan bangunan rumah dan ada juga mengambil kayu untuk dijual. Ketika ditanya kepada responden tentang apa tujuan utama dari menebang kayu, maka jawaban responden 100 % atau semuanya menjawab untuk bahan bangunan rumah dan juga untuk dijual. Artinya selain kayu digunakan untuk bahan bangunan rumah yang memang merupakan kebutuhan utama dalam membangun rumah juga ditebang untuk dijual. Seperti tampak pada tabel 28 berikut. commit to user 95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel. 28 Selain untuk kayu bakar, apa tujuan lain bapak/ibu menebang kayu Jawaban responden Jumlah Responden % Untuk bahan bangunan rumah saja Untuk bahan bangunan rumah dan 30 100,0 untuk dijual Total 30 100,0 Sumber: Data Primer, 2014
Ketika ditelusuri lebih jauh mengenai penjualan kayu oleh masyarakat tersebut dikarenakan ada permintaan dari pengusaha lokal di kota Jayapura yang membeli kayu masyarakat. Adanya akses jalan yang memadai sehingga transportasi menjadi mudah sangat mendukung kegiatan pengangkutan kayu keluar wilayah Senggi. Menurut informasi dari tokoh adat setempat bahwa aktivitas pengambilan kayu di wilayah Senggi sudah dimulai dari sejak dibukanya lokasi transmigrasi diawal tahun 1990-an. Hasil temuan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Harsoyo (1997) tentang faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap konservasi sumber daya hutan di cagar alam pegunungan Cycloop bahwa sudah jarang ditemukan masyarakat yang menabang pohon untuk dijual. Penebangan pohon yang dilakukan oleh masyarakat hanya diperuntukan untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk kayu bakar dan pembuatan pagar. (Harsoyo, 1997). Lokasi tempat menebang pohon yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah Sub DAS Keerom terdiri dari lokasi di pinggir kali dan wilayah hutan sekitar seperti pada tabel 29 berikut. Tabel. 29 Apakah lokasi menebang kayu yang bpk/ibu lakukan di pinggir kali Jawaban Responden Ya Tidak Total
Jumlah Responden 26 4 30
% 86,7 13,3 100,0
Sumber: Data primer, 2014
Tabel 29 menunjukan sebagian besar responden menjawab bahwa lokasi menebang kayu di pinggir sungai yaitu sebesar 86,7 % sedangkan 13,3 % responden menjawab lokasi untuk menebang commit kayu bukan to userdi pinggir sungai tetapi di lahan 96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
datar. Jawaban responden tersebut berkorelasi dengan penjelasan pada bagian sebelumnya tentang faktor-faktor dominan yang mepengaruhi terganggunya Sub DAS Keerom. Penjelasan pada bagian sebelumnya bahwa faktor dominan yang mempengaruhi tercemarnya sungai Keerom adalah aktivitas pengambilan kayu pada wilayah hulu. Fungsi pohon yang merupakan sumber daya hutan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pada suatu wilayah. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Mawardi (2012) bahwa sumber daya hutan telah melindungi puluhan Daerah Aliran Sungai dari bahaya banjir, kekeringan, erosi dan sedimentasi. Namun dilain pihak, kualitas dan kuantitas sumberdaya hutan cenderung semakin menurun. Hal ini antara lain karena penebangan hutan yang berlebihan, kebakaran hutan, perambahan hutan dan alif fungsi hutan untuk peruntukan lain (perkebunan dan pengembangan infrastruktur fisik seperti jalan, perumahan dan sebagainya). (Mawardi, 2012). Kegiatan pengambilan kayu kini mulai marak dilakukan dan dikhawatirkan bisa memicu masalah lingkungan seperti kerusakan hutan dan juga banjir. Ketika ditanya kepada responden tentang apakah melakukan pemilihan pada saat menebang kayu maka jawaban responden 66,67 % menjawab ya melakukan pemilihan, sedangkan sisanya 33,33 % menjawab tidak melakukan pemilihan. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 30 berikut.
Tabel. 30 Apakah dalam menebang pohon dilakukan pemilihan Jawaban Responden Ya Tidak Total
Jumlah Responden 20 10 30
% 66,67 33,33 100,0
Sumber: Data primer, 2014
Tabel 30 menunjukan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat ketika menebang kayu yaitu sebagian besar mengaku melakukan pemilihan saat menebang kayu. Pemilihan tersebut yaitu memilih jenis kayu yang sudah berumur tua dan memiliki diameter batang yang sudah layak tebang. Sedangkan sebagian kecil responden mengaku pada saat menebang kayu tidak dilakukan pemilihan, artinya commit to user baik jenis dan ukuran kayu yang ditebang tidak masalah yang penting ditebang 97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kemudian baru dilihat apakah kondisi kayu tersebut layak untuk diolah atau tidak. Jika layak maka proses menggergaji dilakukan. Jika tidak layak maka pohon yang sudah ditebang tersebut ditinggalkan begitu saja. Inilah faktor penyebab mengapa ketika musim hujan terjadi banyak dijumpai berbagai jenis kayu bulat dalam berbagai ukuran yang terbawa arus sungai dan sebagian tersangkut pada jembatan penyeberangan. Informasi dari masyarakat mengatakan bahwa pada beberapa lokasi sering terjadi banjir pada musim penghujan. Adapun kerusakan yang terjadi berupa putusnya jembatan penghubung terutama di sungai utama yaitu sungai Keerom yang mengalami beberapa kali kerusakan sejak 10 tahun terakhir.
Gambar 14 Kayu gergajian yang siap diangkut di pinggir jalan maupun di kampung Senggi Kerusakan tersebut diakibatkan oleh terjangan kayu-kayu bulat yang dibawa oleh banjir dan terjebak di bawah beton penyangga jembatan.
Kondisi ini menyebabkan aliran air di sekitarnya meluas dan menerjang kedua sisi sungai. Terjangan tersebut menyebabkan lapisan tanah dibangian bawah teraliri air sehingga lama kelamaan tidak mampu menahan beban diatasnya sehingga terjadi longsor yang mengakibatkan rusaknya fondasi jembatan beton di sungai Keerom. Menurut informasi dari warga kampung Senggi bahwa kerusakan jembatan sudah terjadi beberapa kali dalam 10 tahun terakhir.
commit to user 98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 15. Tampak jembatan sungai Keerom. (Gambar kiri adalah jembatan lama, dan gambar kanan adalah jembatan baru. Terlihat bekas tumpukan kayu yang terbawa banjir dan masih tersangkut di bagian bawah jembatan).
Kegiatan pengambilan kayu di sub DAS Keerom tergolong cukup tinggi dan terjadi di setiap kampung. Hal ini bisa dijumpai ketika melewati jalan dari Ibu kota Senggi ke wilayah kampung di sekitarnya. Nampak tumpukan kayu gergajian di pinggir jalan yang siap diangkut. Informasi yang diperoleh dari tokoh adat setempat menyebutkan bahwa aktivitas pengambilan kayu diwilayah ini melibatkan pemilik hak ulayat, pembeli (pemilik modal), operator dan tenaga pengangkut. Operator dan tenaga pengangkut dipekerjakan oleh pembeli. Mula-mula pemilik kayu bersama operator chain-sow melakukan survey ke lokasi hak ulayatnya, kemudian pemilik akan menunjukan kayu mana saja yang akan ditebang, jumlah pohon dan harga telah disepakati oleh pemilik kayu dan pembeli yang merupakan pengusaha kayu lokal. Biasanya 1 pohon jenis merbau (kayu besi) dibeli seharga Rp.300.000,- per meter kubik. Kemudian operator akan menebang sejumlah pohon yang telah disepakati tersebut, kemudian digergaji dengan ukuran yang sesuai dengan pesanan dari pembeli atau pemilik modal, kemudian diangkut/ditarik melalui jalan setapak menggunakan motor yang telah dimodifikasi untuk bisa mengangkut kayu gergajian dalam jumlah ¼ meter kubik dalam sekali angkut. Jarak tempuh dari lokasi kayu ditebang sampai di jalan raya sekitar lebih kurang 7 km. Dalam transaksi jual beli telah disepakati harga kayu untuk setiap pihak yang berperan dalam proses pemanfaatan hasil hutan kayu tersebut. Pemilik kayu menjual per meter kubik seharga Rp. 300.000,- jasa operator chain-sow diharga Rp. 750.000,- per meter kubik, sedangkan jasa tenaga commit to userpengangkut dihargai Rp. 400.000,99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
per meter kubik. Jika di total maka harga kayu merbau 1 meter kubik ketika berada di pinggir jalan raya sebesar Rp.1.450.000,-. Rata-rata satu pohon merbau berukuran besar bisa menghasilkan 4 meter kubik maka perhitungan nilai kayu untuk masingmasing pihak dapat dilakukan sebagai berikut.
Tabel. 31. Perhitungan nilai kayu dan keuntungan para pihak ∑ M3
Harga Pasaran Lokal/m3 (Rp)
Total (Rp)
Keuntungan para pihak
1
4
5.000.000
20.000.000
Pemilik Modal Rp.3.550.000/ M3 14.200.000
2
8
5.000.000
40.000.000
28.400.000
6.000.000
3.200.000
2.400.000
3
12
5.000.000
60.000.000
42.600.000
9.000.000
4.800.000
3.600.000
10
40
5.000.000
200.000.000
142.000.000
30.000.000
16.000.000
12.000000
100
400
5.000.000
2.000.000.000
Pohon
Operator
Buruh Pemilik Angkut Kayu Rp.750.000/ Rp.400.000/ Rp.300.000/ M3 M3 M3 3.000.000 1.600.000 1.200.000
1.420.000.000 300.000.000 160.000.000 120.000.000
Sumber: Pengolahan data primer, 2014 Berdasarkan tabel 31 terlihat bahwa nilai kayu merbau yang diperjual belikan di Sub DAS Keerom sangat tinggi. Diketahui bahwa harga pasaran lokal di kota Jayapura sebesar Rp.5.000.000,-/M3. Jika 1 pohon merbau siap panen rata-rata 4 M3 maka harga 1 pohon sebesar Rp.20.000.000,-. Nilai tersebut akan langsung dibayarkan oleh pemilik modal kepada masing-masing; operator (Rp.3.000.000,-), buruh angkut (Rp.1.600.000,-) dan pemilik kayu (Rp.1.200.000,-) sehingga total sebesar Rp.5.800.000,- sisanya sebesar Rp.14.200.000,- adalah merupakan keuntungan pemilik modal setelah kayu terjual di kota Jayapura. Uang sejumlah Rp.14.200.000,- tersebut sudah termasuk biaya angkut dari Senggi ke Jayapura, ditambah dengan biaya retribusi setiap kampung yang dilewati sepanjang perjalanan dari Distrik Senggi – Distrik Waris sebesar Rp.50.000,/kampung, dengan jumlah sebanyak 5 kampung, juga termasuk biaya keamanan setiap Pos penjagaan di sepanjang jalan yang dilewati truk Rp.50.000,-/Pos dengan jumlah 10 Pos. Jika ditotal maka pengeluaran untuk tetribusi kampung sebesar Rp.250.000,- dan pengeluaran untuk biaya keamanan Pos penjagaan sebesar Rp.500.000,- sehingga dalam sekali angkut pemilik modal harus menyisihkan dana sebesar Rp.750.000,- untuk biaya perjalanan dengan jasa angkut dan sopir, commit toditambah user 100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
serta biaya lain-lain yang tak terduga. Jumlah kayu olahan yang dapat diangkut oleh truk dalam sekali perjalanan mencapai 4 M3, dengan jarak tempuh 90 Km dalam waktu sekitar 7-8 jam perjalanan. Pada tabel 31 juga terlihat simulasi yang dibuat untuk mengetahui jika jumlah pohon yang ditebang bertambah, maka bertambah pula kubikasi serta penghasilan dari masing-masing pihak. Dari hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa pihak yang paling diuntungkan dalam pemanfaatan kayu di Sub DAS Keerom adalah pemilik modal memperoleh keuntungan sebesar 71 %, dikuti oleh operator sebesar 15 %, kemudia buruh angkut memperoleh 8 % dan pemilik kayu yaitu masyarakat adat memperoleh 6 %. Apabila dilihat dari nilai uang yang diperoleh tentu saja pemilik hak ulayat memperoleh jumlah uang yang lebih sedikit, namun tentunya juga beban kerja yang titanggung berbeda pula. Pemilik kayu hanya menerima bayaran harga kayu tanpa harus bersusah payah, sedangkan operator harus menebang kayu kemudian mengolah menjadi berbagai ukuran sesuai permintaan, demikian pula dengan tenaga pengangkut yang mengangkut kayu ke atas motor kemudian membawanya melalui jalan setapak yang sempit. Keduanya memiliki resiko kecelakaan yang cukup besar.
Gambar 16. Jalan setapak dan motor yang sudah dimodifikasi untuk mengangkut kayu
Gambar
16.
memperlihatkan
kondisi
jalan
setapak
yang
dibuat
menggunakan bantalan kayu yang akan dilalui oleh motor pengangkut kayu. Cara menangkut kayu menggunakan motor cukup sulit karena pengendara tidak boleh menaiki motor layaknya pengendara motor seperti biasanya melainkan harus dengan menuntun. Meskipun mesin motor dalam keadaan hidup pengendara tetap harus menuntun untuk menjaga keseimbangan commit to usermuatan kayu yang panjangnya 4 101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
meter. Apabila motor biasanya memiliki tarikan gas dan rem tangan disebelah kanan maka untuk motor pengangkut ini telah dipindahkan ke sebelah kiri, hal ini untuk memudahkan ketika menuntun motor tersebut. Dari hasil wawancara dengan tenaga pengangkut di lokasi penelitian, diketahui bahwa “sering terjadi kecelakaan sewaktu mengangkut kayu dan menciderai kami pengendara. Bisa dibayangkan beban muatan kayu besi/merbau ukuran 10 x 10 cm yang panjangnya 4 meter sebanyak 10 batang terjatuh dan menindih pengendara, sudah banyak kecelakaan kerja yang menyebabkan cidera yang fatal seperti putusnya jari kaki karena ditindih oleh kayu”…, (Pengangkut kayu. Kom. prim, 2014). Meskipun resiko kecelakaan bisa terjadi kapan saja namun para pengangkut kayu tetap melakukan pekerjaan tersebut lantaran penghasilan yang diperoleh lumayan besar. Dari hasil wawancara dengan salah seorang pengangkut kayu menyebutkan bahwa dalam satu bulan bisa memperoleh pendapatan bersih sebesar sepuluh juta rupiah, namun apabila mampu mengejar target pendapatan maksimal bisa mencapat dua puluh juta rupiah per bulan. Hasil ini cukup fantastis jika dibandingkan dengan pemilik kayu yang memperoleh lebih sedikit dari hasil yang diperoleh oleh pengangkut kayu.
Gambar 17. Dua orang pengakut kayu dan motornya
Kegiatan pengambilan kayu di wilayah hutan sekitar sub DAS Keerom memicu terjadinya kerusakan hutan karena aktivitas ini tidak diikuti dengan penanaman kembali anakan pohon di lokasi yang telah ditebang. Seperti sudah dujelaskan pada bagian sebelumnya bahwa terjadinya pencemaran sungai Keerom diakibatkan oleh kegiatan penebangan kayu tersebut. Dari hasil diskusi dengan para tokoh adat dan tokoh masyarakatcommit Distrikto Senggi diketahui bahwa sebenarnya user 102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat sangat berkeberatan dengan aktivitas tersebut karena akan merusak lingkungan. Namun dilain pihak masyarakat tidak memiliki pilihan lain untuk bisa memperoleh uang. Menjual kayu merupakan cara memperoleh uang yang sangat mudah. “Jika ingin memperoleh sejumlah uang maka yang dilakukan adalah hanya menghubungi pembeli kemudian menunjukan lokasi dan langsung dibayar kes sejumlah uang tersebut”…, (Tokoh Adat Senggi. Kom.prim, 2014). Inilah yang membuat masyarakat terkadang enggan mencari pekerjaan lain untuk memperoleh pendapatan.
Gambr 18. Diskusi dengan tokoh adat dan tokoh masyarakat Senggi
Dijelaskan oleh tokoh adat setempat bahwa “Jika saja pemerintah serius memperhatikan kesejahteraan warga maka kegiatan pengambilan kayu di wilayah Senggi bisa dihentikan, pemerintalah yang harus bertanggungjawab atas hal ini. Mengapa pemerintah, karena sejak pemerintah membuka lokasi transmigrasi maka akses jalan ke wilayah Senggi dapat dijangkau dengan mudah. Dengan begitu maka orang dengan mudah dapat masuk ke Senggi untuk melakukan berbagai aktivitas salah satunya yaitu pengambilan kayu”…, (Tokoh Adat Senggi. kom.prim, 2014). Sementara program transmigrasi yang awalnya diharapkan mampu menularkan teknologi pertanian kepada masyarakat lokal ternyata tidak bisa berjalan dengan baik. Baik masyarakat adat maupun transmigran mengakui bahwa mereka sulit untuk mengembangkan usaha dibidang pertanian. Dijelaskan bahwa pada awal kedatangan transmigrasi telah terjadi pembauaran dimana ditengah-tengah pemukiman transmigrasi ditempatkan commit to user beberapa kepala keluarga dari warga lokal Senggi sebagai bagian dari proses 103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sosialisasi dan transformasi nilai-nilai sosial budaya dari kedua warga yang berbeda suku bangsa tersebut. Pada awalnya masyarakat lokal telah diajarkan bagaimana cara bercocok tanam yang benar, dan hasil panen yang diperoleh juga sudah terbukti. Namun yang menjadi kendala adalah bagaiman memasarkan hasil panen tersebut, sementara jarak dari lokasi tansmigrasi menuju kota jayapura sebagai pasar menjanjikan untuk menjual hasil panenan harus ditempuh dalam waktu 5-6 jam perjalanan dengan kondisi jalan yang rusak dan berlubang. Inilah awal mula warga transmigran maupun warga lokal tidak dapat melanjutkan usaha budidaya dibidang pertanian. Warga transmigran lebih cenderung membuka usaha warung dan kios sembako dan sebagian lagi turut bergerak di usaha mengambil kayu. Adapun melakukan kegiatan bercocok tanam hanya sekedar untuk pasaran lokal di Senggi dan hasilnya pun tidak banyak. Dari hasil diskusi tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat melakukan kegiatan penebangan kayu untuk dijual karena alasan utama yaitu faktor ekonomi. Warga transmigran rata-rata memiliki rumah yang layak dan juga kendaraan baik roda dua maupun roda empat membuat masyarakat lokal juga ingin seperti warga transmigran. Di sinilah terjadi kesenjangan ekonomi antara warga transmigran dan warga lokal. Maka cara berpikir warga lokal yaitu bagaimana memaksimalkan potensi sumber daya alam yang ada untuk bisa meningkatkan kesejahteraan. Meskipun dilain pihak mereka sadar akan terjadinya ancaman kerusakan hutan apabila aktivitas penebangan kayu tidak dikendalikan. Meskipun telah terjadi kuantitas penebangan kayu yang cukup tinggi namun beberapa upaya dilakukan oleh masyarakat dan juga pemerintah setempat untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan akibat penebangan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan himbauan berupa pemasangan papan yang berisi pesan untuk menjaga hutan dari kerusakan seperti pada gambar 19 berikut.
commit to user 104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 19. Sosialisasi tentang pentingnya menjaga hutan
Papan himbauan tersebut diprakarsai oleh Pemerintah kabupaten Keerom dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menunjukan bahwa ancaman akan terjadinya bencana alam terutama banjir diwilayah ini sudah mendapat perhatian dari pemerintah. Namun demikian tidak cukup hanya dengan himbauan melainkan diikuti dengan pengawasan dilapangan serta pemberian sanksi dan denda kepada setiap orang yang melanggar. Berdasarkan uraian tersebut dapat digambarkan skema perilaku masyarakat dalam aktivitas mengambil kayu pada Sub DAS Keerom sebagai berikut.
Tabel 32. Skema Perilaku masyarakat dalam aktivitas mengambil kayu No Aktivitas mengabil kayu 1 Lokasi 2
Pemilihan Jenis kayu
3
Penanaman kembali Larangan
4
Ramah Lingkungan
Kategori
Bukan dipinggir Memelihara kali (13,3%) Kayu yang Memelihara berumur tua (66,67%) Ada (100%)
Memperbaiki
Tidak Ramah Lingkungan Di pinggir kali (86,7%) Sembarang kayu boleh ditebang (33,33%) Tidak dilakukan (100%) -
Ketegori
Merusak Merusak
Mengabai kan Mengabai kan
Jumlah 197,97 220,03 Rata-rata 45 % 55 % Sumber: data primer (diolah dari tabel 29 dan tabel 30 dan hasil wawancara dengan commit to user masyarakat) 105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Profil Perilaku Masyarakat
20%
25%
Keteranga Memelihara Memperbaiki 25%
30%
Merusak
Mengabaikan
Gambar 20. Diagram perilaku masyarakat dalam dalam aktivitas mengambil kayu
Berdasarkan tabel 32 dan gambar 20 dapat diketahui perilaku masyarakat dalam pengambilan kayu di wilayah Sub DAS Keerom. Data tersebut menunjukan perilaku tidak ramah lingkungan sebesar 55 % yang terdiri dari perilaku merusak 30 % dan perilaku mengabaikan 25 %. a. Perilaku merusak Perilaku merusak dalam aktivitas mengambil kayu berkaitan dengan lokasi dan pemilihan jenis kayu yang ditebang. Hasil penelitian pada tabel 32 menunjukan bahwa 86,7% responden menjawab melakukan penebangan kayu di pinggir sungai. Dalam melakukan penebangan kayu 33,33% responden menjawab sembarang kayu boleh ditebang. Pola inilah yang tergolong dalam perilaku merusak seperti yang dikemukakan oleh Rohadi (2010) bahwa perilaku merusak adalah budaya perilaku yang membuat kualitas lingkungan hidup menurun. Penebangan kayu yang dilakukan di wilayah hutan dan pinggir sungai menyebabkan berkurangnya tajuk sehingga ketika musim hujan terjadi potensi tanah yang terbawa oleh aliran permukaan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi hutan yang memiliki tutupan yang masih rapat. Menurut Mawardi (2012:115) bahwa pada umumnya tanah-tanah yang tak berpenutup (terbuka) secara potensial akan mengalami erosi yang lebih tinggi dari pada tanah yang berpenutup (cover crops).
commit to user 106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari hasil wawancara dengan tokoh adat diketahui bahwa para operator (penebang) membangun kemah (pondok) di pinggir sungai kemudian tinggal dan menetap dalam beberapa waktu antara satu hingga tiga bulan lamanya untuk menebang dan mengolah kayu. Kemah (pondok) tersebut dibangun dengan memanfaatkan kayu di sekitar sungai. Jalur sungai juga digunakan untuk transportasi kayu dari wilayah hutan menuju ibu kota distrik di Senggi. “Waktu kami mancing di sungai menemukan tukang sensor (operator) punya kem berjajar di pinggir-pingir sungai, jadi sekitar wilayah sungai itu mereka sudah tebang habis pohon-pohon, bukan hanya kayu besi saja tetapi semua jenis pohon mereka tebang. Padahal izin yang diberikan oleh pemilik hutan hanya untuk kayu besi saja, namun dalam kenyataan mereka tebang semua pohon. Ini yang harus diperbaiki…,” (Ketua LMA Senggi, kom, prim, 2014) Adapun faktor penyebab dari perilaku masyarakat tersebut karena pengaruh ekonomi dan juga tingkat pendidikan yang rendah. Karena ingin memperoleh penghasilan dari menjual kayu, karena adanya permintaan yang tinggi masyarakat tidak berpikir panjang tentang bahaya yang ditimbulkan dari melakukan penebangan kayu di pinggir kali. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, lemahnya pengawasan dari instansi terkait serta didukung oleh sarana dan prasarana transportasi yang memadai.
b. Perilaku mengabaikan Selain kegiatan yang tergolong dalam perilaku merusak tersebut juga terdapat perilaku mengabaikan yaitu tidak melakukan penanaman kembali anakan pohon di lokasi yang sudah ditebang. Berdasarkan tabel 32 terlihat bahwa 100% atau seluruh responden mengaku tidak melakukan penanaman kembali pada lokasi yang telah ditebang. Tindakan ini dapat memicu kerusakan lahan karena lahan bekas tebangan tersebut akan gundul kemudian diikuti oleh laju erosi yang tinggi dan peningkatan sedimentasi yang pada akhirnya terjadi lahan kritis. Dari hasil wawancara dengan kepala keluarga di lokasi penelitian diketahui bahwa tindakan masyarakat yang tidak melakukan penanaman kembali anakan pohon pada lokasi yang telah ditebang dikarenakan berbagai alasan. “Selama ini kami tidak tahu kalau menebang commitpohon to userharus melakukan penanaman 107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kembali, hutan kami masih luas sehingga kayu masih melimpah”…, (Kepala Keluarga kampung Senggi, kom.prim, 2014). Masyarakat mengaku tidak tahu bahwa ada aturan dalam bidang Kehutanan apabila menabang pohon ada kewajiban untuk melakukan penanaman kembali. Tidak ada sosialisasi kepada masyarakat tentang adanya kewajiban menanam pohon. c. Perilaku memelihara Selain perilaku merusak dan mengabaikan pada aktivitas menebang pohon juga ditemukan perilaku ramah lingkungan yaitu memelihara. Tindakan masyarakat yang tergolong dalam perilaku memelihara berdasarkan tabel 32 adalah lokasi menebang kayu dimana 13,3 % responden menjawab menebang kayu di wilayah hutan dan bukan di pinggir kali, selain itu 66,67% responden juga menjawab melakukan pemilihan jenis kayu yang berumur tua untuk ditebang. Kedua tindakan tersebut dikategorikan dalam perilaku memelihara dikarenakan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan tidak bersifat merusak dan ekspolatif.
d. Perilaku memperbaiki Adanya larangan untuk tidak menebang kayu pada areal tertentu yang merupakan lokasi yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat merupakan kearifan lokal masyarakat Senggi yang perlu dilestarikan. Berdasarkan tabel 32 diketahui bahwa seluruh responden menjawab ada larangan tidak tertulis yang telah disepakati dan dijalankan turun temurun. Larangan tersebut ditujukan untuk melindungi tempat-tempat yang dianggap keramat oleh setiap suku. Lokasi-lokasi tersebut biasanya berupa gunung batu, sumber mata air, rawa serta jenis pohon tertentu yang diyakini sebagai tempat bersemayam roh nenek moyang. Jika tradisi ini terus dipelihara maka bisa membendung terjadinya perusakan hutan melalui pembalakan. Hampir setiap suku di kampung Senggi mengatakan bahwa memiliki tempat keramat pada hutan milik. Lokasi tersebut tidak boleh ditebang ataupun dibuka untuk tujuan apapun juga. Dengan demikian maka kondisi hutan disekitar tempat-tempat keramat tersebut
berfungsi
sebagaimana mestinya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Rohadi (2010) budaya memperbaiki yang merupakan perilaku ramah lingkungan commit to user 108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tradisional adalah cara pikir dan perilaku komunitas yang dilandasi oleh tradisi yang bersifat turun temurun dari nenek moyang mereka. Secara umum aktivitas penabangan kayu di Sub DAS Keerom dapat dipastikan tidak memiliki izin atau illegal. Dikatakan illegal karena proses penabangan kayu yang dilakukan selama ini tidak memenuhi prinsip peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara hukum status Sub DAS Keerom merupakan hutan hak yang dimiliki oleh masyarakat adat Senggi. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut -II) No.38 Tahun 2009 tentang Standar Pedoman dan penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak bagian umum pasal 1 point 10 menyebutkan bahwa Standard Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standard, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian. Lebih lanjut pada poin 12 disebutkan bahwa Sertifikat Legalitas Kayu (Sertifikat LK) adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin atau pemilik hutan hak yang menyatakan kahwa pemegang izin atau pemilik hutan hak telah mengikuti standard legalitas kayu (legal compliance) dalam memperoleh hasil hutan kayu. Standar Verefikasi Legalitas Kayu atau disingkat SVLK memiliki definisi sebagai persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu dan produk kayu yang dibuat berdasar kesepakatan parapihak di sektor kehutanan. SVLK memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian. Artinya bahwa, kayu disebut legal bila kebenaran asal kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan. Yakni, dengan memenuhi semua persyaratan
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Pemberlakuan P.38/2009 dimaksudkan untuk menuju pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL), serta penerapan tata-kelola kehutanan, pemberantasan penebangan liar dan perdagangannya. Menurut P.38/2009,
terdapat empat kelompok sasaran yang wajib
melaksana kan SVLK. Mereka itu commit yakni pemegang to user IUPHHK-HA/HPH, IUPHHK109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HT/HTI dan IUPHHK-RE; IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm; pemilik Hutan Hak; pemegang IPK; dan pemegang IUIPHHK dan IUI Lanjutan. Masing-masing kelompok sasaran memiliki prinsip, kriteria, indikator dan verifier berbeda. Menurut Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan tersebut sebagai langkah untuk mengurangi kerusakan hutan dan susutnya lahan hutan di Indonesia sangat tinggi yang membahayakan kelestarian sumberdaya hutan dan memicu perubahan iklim global. Salah satu penyebab surutnya sumberdaya hutan adalah pembalakan liar. Ada beberapa jalan untuk mengerem pembalakan liar, yaitu dengan
memotong
perdagangan kayu ilegal. Caranya, dengan mengawasi transaksi kayu illegal melalui sertifikasi (labelling) atas asal-usul kayu. Dalam bisnis perkayuan, cara ini lazim disebut Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Melalui verifikasi, ada harapan kayu di pasaran dapat dipertanggungjawabkan legalitasnya. Orang tak lagi asal menebang pohon, asal menjual, dan asal membeli kayu. (Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme, 2012). Praktek illegal loging yang selama ini berlangsung di Sub DAS Keerom seakan tidak tersentuh oleh aparat hukum karena aparat sendiri yang turut berperan dalam praktek tersebut. (hasil wawancara dengan tokoh adat Senggi, 2014). Peran yang dimaksud adalah dengan memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk mendapatkan legalitas kayu ketika kayu hendak di jual keluar daerah.
E. Faktor Pengaruh Perilaku Masyarakat Berdasarkan hasil pembahasan pada bagian sebelumnya tentang perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam pada Sub DAS Keerom, maka pada bagian ini akan ditampilkan faktor pengaruh perilaku masyarakat tersebut. Sebagaimana dijelaskan oleh Skiner (1983 cit Widayati, 2011) bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Senada dengan pendapat tersebut Widayati (2011) mengatakan bahwa faktor eksternal atau stimulus ini meliputi faktor lingkungan, baik fisik maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada, faktor eksternal yang paling berperan dalam membentuk perilaku manusia adalah faktor sosial dan budaya tempat mereka commit to user 110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berada. Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya perilaku adalah perhatian, motivasi, persepsi, inteligensi, fantasi, dan sebagainya. (Widayati 2011). Berdasarkan teori yang disampaikan tersebut maka dapat digambarkan hubungan pengaruh timbal balik Stimulus lingkungan dengan tanggapan manusia yaitu
masyarakat
Distrik
Senggi
yang
merespons
atau
menanggapi
stimulus/rangsangan dari luar tersebut. Lingkungan (E=environmet)
Manusia (M= man) Tanggapan (R1) - Persepsi bahwa sumber daya alam harus dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup
Stimulus (S1) - Kondisi fisik Sub Das - Sumber daya alam (lahan, kayu, hutan)
Tanggapan (R2) - Motivasi untuk mendapatkan keuntungan menjadi mudah. - Persepsi bahwa sda harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Individu/ Kelompok Masyarakat
Tanggapan (R4) Keinginan untuk melakukan Jual beli barang dan jasa menjadi lebih mudah
Tanggapan (R3) Merasa kurang diperhatikan, memotivasi masyarakat untuk mengekploitasi sda. Merasa ada kesempatan
Stimulus (S2) Faktor Ekonomi - Permintaan terhadap sumber daya alam meningkat - Pendapatan rendah
Senggi
Stimulus (S3) Faktor pendukung - Tersedianya sarana dan prasarana yang menunjang (jalan, telekomunikasi) Stimulus (S4) Faktor pendorong - Lemahnya penagakan hukum - Keterlibatan oknum aparat sebagai backing
Gambar 21. Pengaruh timbal balik Stimulus Lingkungan dengan Tanggapan Manusia di Sub DAS Keerom (dikembangkan dari Widayati,(data diperoleh dari hasil pembahasan sebelumnya)
Berdasakan gambar 21 dapat diketahui faktor pengaruh dari perilaku masyarakat terhadap lingkungan maupun sebaliknya pengaruh faktor lingkungan terhadap tanggapan (Respon) manusia. Pada gambar 21 terlihat bahwa terdapat faktor lingkungan (Stimulus) yakni faktor eksternal yang terdiri dari S1: faktor fisik to user S2: faktor ekonomi yang terdiri berupa sumber daya alam di Sub commit DAS Keerom, 111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari adanya permintaan terhadap barang dan jasa, juga tingkat pendapatan masyarakat yang rendah.
S3: faktor pendukung yakni sarana dan prasarana
penunjang yang tersedia berupa jalan, telekomunikasi dan lainnya. Serta S4: faktor pendorong yaitu lemahnya penegakan hukum dan keterlibatan oknum aparat terutama dalam illegal loging. Keempat faktor ekstrernal tersebut mempengaruhi faktor internal yaitu tanggapan atau respon dalam diri setiap individu maupun kelompok masyarakat di distrik Senggi. Faktor-faktor internal tersebut diantaranya persepsi (R1) motovasi (R2) keinginan (R3) dan perhatian (R4) dalam menanggapi stimulus yang diberikan. Kemampuan masyarakat dalam menerima stimulus tersebut yang kemudian melahirkan perilaku ramah lingkungan dan perilaku tidak ramah lingkungan seperti sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa kemampuan individu dalam merespon stimulus yang bervariasi, sebagian masyarakat merespon secara positif dan tidak berlebihan dalam pemanfaatan sumber daya alam, namun sebagian masyarakat merespon secara negatif dan berlebihan dalam memanfaatkan sumber daya alam sehingga terkesan mengeksploitasi. Eksploitasi yang berlebihan tersebut yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi Sub DAS Keerom. (data hasil pemeriksaan kualitas air). Untuk mengetahui hubungan faktor pengaruh antara stimulus dan respon dalam kaitanya dengan aktivitas masyarakat pada Sub DAS Keerom maka berikut ini ditampilkan tabel yang dikembangkan dari hasil pembahasan sebelumnya serta gambar 21. Selanjutnya dapat dilihat pada tabel 33 berikut.
commit to user 112
Tabel 33. Pengaruh faktor internal dan faktor eksternal terhadap prilaku masyarakat dalam aktivitas pemanfaatan sumber daya alam
Faktor Fisik/Biologi
Aktivitas Masyarakat
Faktor Internal
Berladang
Pemenuhan kebutuhan hidup (pangan)
Pengaruh Tokoh adat kepala suku dominan. Masyarakat belum menerapkan teknik bercocok tanam modern
Kondisi daya melimpah
sumber alam
Tingkat pendapatan rendah Permintaan barang dan jasa meningkat. Terutama untuk coklat, pembeli datang langsung di lokasi
Mengambil sagu
Pemenuhan kebutuhan hidup (pangan)
Hutan sagu melimpah, setiap kepala keluarga memiliki dusun sagu
Berburu
Pemenuhan kebutuhan, Sedikit motivasi untuk mengekploitasi terutama dari warga luar
Dusun sagu sudah dubagi menurut suku, kepala suku menentukan Peran tokoh adat dalam penegakan aturan/larangan
Habitat melimpah
Mengambil kayu
Adanya motivasi untuk, memanfaatkan sda kayu
Peran kepala suku sebagai pemilik hak ulaiat. Kurangnya edukasi kepada masyarakat
Hutan kayu melimpah (berbagai jenis terutama merbau (Intsia) dan matoa.
Faktor Sosial
satwa
Faktor Eksternal Faktor Ekonomi Faktor Pendukung
Faktor Pendorong
Kesimpulan
Tersedinya sarana dan prasarana seperti jalan dan telekomunikasi
Kurangnya perhatian pemerintah dalam program transmigrasi, seperti tidak tersedianya pasar. Sehingga transmigran beralih profesi
Berpengaruh Negatif, sehingga timbul perilaku tidak ramah Lingkungan (gambar 10)
Hanya sedikit permintaan pasar, selebihnya untuk konsumsi
Akses ke dusun sagu mudah. Pemnggunaan peralatan tradisinal
Kurangnya perhatian pemerintah muntuk pengembangan tanaman sagu.
Berpengaruh Positif, perilaku ramah lingkumngan (gambar 12)
Sebagian besar untuk konsumsi masyarakat. Permintaan terhadap beberapa jenis satwa meningkat. Tingginya permintaan. Pendapatan masyarakat dari sector lain rendah. Adanya keinginan untuk perbaikan ekonomi
Akses jalan memadai, sarana komunikasi memadai, penggunaan peralatan tradisional
Terdapat larangan yang wajib dipatuhi oleh setiap warga
Berpengaruh positif. Perilaku ramah lingkungan (gambar 13)
Tersedianya akses transportasi yang memadai, sarana komunikasi memdai
Lemahnya penegakan hukum, Tidak ada pengawasan Serta adanya keterlibatan oknum aparat dalam membekingi praktek illegal loging
Berpengaruh Negatif. Perilaku tidak ramah lingkungan (gambar 20)
Sumber: Data primer, 2014 (diolah dari data sebelumnya)
113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan tabel 33 terlihat bahwa pengaruh faktor internal dalam merespon faktor eksternal mempengaruhi perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam. Pengaruh faktor eksternal lebih banyak ditanggapi secara negatif oleh masyarakat sehingga menimbulkan perilaku tidak ramah lingkungan yaitu merusak dan mengabaikan. Terutama pada aktivitas berladang dan aktivitas mengambil kayu. Sedangkan pada aktivitas mengabil sagu dan berburu faktor eksternal tersebut direspon secara positif dan melahirkan perilaku ramah lingkungan. Dengan demikian maka secara keseluruhan dapat dihitung besaran perilaku secara keseluruhan yaitu kumulasi dari empat aktivitas yang menjadi fokus kajian ini. Tujuan dari pada perhitungan komulatif tersebut untuk mengetahui profil perikau masyarakat secara keseluruhan, seperti tampak pada tabel dan gambar berikut. Tabel 34. Profil Perilaku Masyarakat No Aktivitas 1 2 3 4
Ramah Lingkungan
Berladang Mengambil sagu Berburu Mengambil Kayu
47,5 % 93,34 % 72,21 % 45 %
Jumlah 258,05 Rata-rata 64,51 Sumber: data primer (diolah dari tabel 17,21,27dan tabel 32)
Tidak Ramah Lingkungan 52,5% 6,66 % 27,79 % 55 % 141,95 35, 49
Profil Perilaku Masyarakat 12%
Keteranga 44%
23%
Memelihara
Memperbaiki Merusak 21%
Mengabaikan
commit to user 114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan tabel 34 dan gambar 22 diperoleh hasil secara keseluruhan dari kajian terhadap perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam di Sub DAS Keerom. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam di Sub DAS Keerom tergolong perilaku ramah lingkungan yaitu sebesar 64, 52 % sedangkan perilaku tidak ramah lingkungan sebesar 35.49 %. Jika di rinci menurut kategori perilaku maka perilaku memelihara sebesar 44 %, perilaku memperbaiki 21 %, perilaku merusak 23 % dan perilaku mengabaikan 12 %. Jika melihat dan mengamati hasil perhitungan tersebut dimana perilaku ramah lingkungan lebih mendominasi, namun demikian perlu dipahami bahwa faktor penyebab tingginya perilaku ramah lingkungan tersebut karena pengaruh dari tingginya persentase nilai hitung dari perilaku pada aktivitas mengambil sagu dan aktivitas berburu. Sedangkan persentase nilai hitung dari perilaku pada aktivitas berladang dan aktivitas mengabil kayu meskipun juga lebih tinggi namun pada hitungan kumulatif persentase nilai pada aktivitas mengabil sagu dan aktivitas berburu lebih tinggi. Hal terpenting yang perlu dipahami juga bahwa dampak yang ditimbulkan dari setiap aktivitas masyarakat tersebut berbeda terhadap lingkungan. Seperti pada aktivitas berladang terutama lokasi ladang pada lereng bukit dan aktivitas penabangan kayu di pinggir kali berdampak signifikan terhadap peningkatan erosi dan sedimentasi. Artinya bahwa hasil pemeriksaan kualitas air yang menunjukan bahwa telah terjadi pencemaran yang tergolong cemar ringan pada sungai Keerom memiliki korelasi positif dengan hasil penelitian ini.
commit to user 115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB. V KESIMPULAN
A. Kesimpulan Berdasarkan tujuan penelitian, data hasil penelitian, dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Penurunan fungsi Sub DAS Keerom disebabkan oleh peningkatan erosi dan sedimentasi yang kemudian berdampak pada kualitas air permukaan pada sungai Keerom. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan kualitas air yang menunjukan
bahwa
beberapa
parameter melebihi ambang batas baku mutu. Parameter tersebut diantaranya Zat Padat Tersuspensi (TSS) 792 mg/l, Biological Oxygen Demand (BOD) 15, 09 mg/l, dan Chemical Oxygen Demand (COD) 38 mg/l. Berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi perairan pasa Sub DAS Keerom menunjukan telah terjadi pencemaran sungai taraf tercemar ringan menurut metode Indeks Pencemaran (Pollution index) berkisar 1,22 sampai 3,13 sesuai kriteria Kepmen LH No.115 Tahun 2003. 2. Faktor yang paling dominan dalam penurunan fungsi Sub DAS Keerom adalah aktivitas berladang dan aktivitas mengambil kayu karena memiliki dampak signifikan terhadap terjadinya erosi dan sedimentasi di sungai Keerom. Hal ini bisa dilihat dari morfologi sub DAS Keerom yang memiliki banyak percabangan anak sungai. Aliran sungai dan percabangan anak sungai merupakan suatu jaringan yang mengalir ke sungai yang lebih besar dan membentuk pola tertentu. Aktivitas penebangan kayu yang dilakukan pada pinggir sungai sepanjang aliran sungai baik sungai kecil maupun sungai utama yaitu sungai Keerom. Aktivitas tersebut yang menyebabkan terjadinya erosi dan sedimentasi yang masuk ke sungai Keerom yang mengakibatkan melebihinya ambang batas baku mutu oleh parameter TSS, BOD dan COD. 3. Perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam di sub DAS Keerom tergolong ke dalam perilaku ramah lingkungan yaitu perilaku memelihara dan perilaku memperbaiki. Perilaku ramah lingkungan tercermin dalam aktivitas mengabil sagu dan berburu. Sedangkan pada aktivitas berladang dan mengambil kayu tindakan yang commit to user 116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilakukan masyarakat tergolong dalam perilaku tidak ramah lingkungan, yaitu merusak dan mengabaikan. Secara umum pemanfaatan sumber daya alam yang berdampak signifikan terhadap tercemarnya sungai Keerom adalah aktivitas berladang dan aktivitas mengambil kayu. Dengan demikian maka dapat disimpulkan perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya
alam di Sub DAS Keerom tergolong ke dalam Etika
Antroposentrisme yaitu teori lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta, alam hanya dipandang berarti sejauh memberikan manfaat kepada manusia. 4. Faktor utama yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam di sub DAS Keerom adalah faktor ekonomi. Pendapatan masyarakat yang rendah merupakan pemicu utama masyarakat mengeksploitasi sumber daya alam terutama penjualan kayu, yang didorong oleh adanya permintaan akan sumber daya alam kayu yang terus meningkat. Faktor lain adalah tingkat pendidikan yang rendah, serta faktor pendukung lainnya seperti faktor fisik, sarana dan prasarana jalan dan telekomunikasi serta lemeahnya penegakan hukum.
B. Saran 1. Kepada pemerintah khusnya instansi terkait untuk melakukan pemantauan dan pemeriksaan berkala kualitas air sungai Keerom untuk memperoleh data secara berkala untuk mengetahui perubahan lingkungan yang terjadi pada wilayah Sub DAS Keerom. 2. Kapasisitas lembaga adat di Distrik Senggi harus diperkuat untuk mampu menghasilkan seperangkat aturan adat yang bertujuan memproteksi wilayah adat yang di dalamnya mencakup sumber daya alam yang semakin hari terancam dari kerusakan dan kepunahan. Hal ini juga bertujuan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya alam terutama aktivitas berladang dan mengambil kayu ke arah ramah lingkungan. 3. Pemerintah
Provinsi
dan
Pemerintah
Kabupaten
supaya
lebih
serius
dalam
memperhatikan wilayah-wilayah yang didalamnya terdapat komunitas masyarakat adat, termasuk rutin memberikan eduksi yang bertujuan merubah pola pikir dan perilaku masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan.
commit to user 117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Pemerintah kabupaten Keerom harus aktif melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu mulai dari proses penebangan sampai distribusi yang bertujuan meminimalisir terjadinya pembalakan liar.
commit to user 118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Boedojo. 1986. Arsitektur, Manusia, dan Pengamatannya. Jakarta: Djambatan. Emilia, F. 2013. Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Dalam Upaya Konservasi Daerah Aliran Sungai. (Studi Kasus Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang). Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang (Unpublished) Ditjen. Penataan Ruang, 2002 – Dekimpraswil, Review Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kebijakan Nasional Untuk Pengembangan Kawasan Budidaya, Bahan Sosialisasi RTRWN dalam rangka Roadshow dengan Departemen Pertanian, Jakarta Harsoyo, F. SD, 1997. Faktor-faktor Sosial Budaya yang mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap Konservasi Sumber Daya Hutan pada Kawasan Selatan Cagar Alam Pegunungan Cycloop Kecamatan Sentani Kabupatren Jayapura. Tesis S2 Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Unpublished) Hadi, A, 2013. http://softilmu.blogspot.com/2013/07/pengertian-dan-klasifikasi-iklim.html (Diakses tanggal 25 Januari 2015) Hidayati, R. 2001. Masalah Perubahan Iklim di Indonesia Beberapa Contoh Kasus, Program Pasca Sarjana / S-3, Institut Pertanian Bogor. Juhadi. 2007 Pola-Pola Pemanfaatan Lahan dan Degradasi Lingkungan pada Kawasan Perbukitan. Jurnal Geografi. Volume 4 No. 1 Januari 2007. FIS UNNES. Keraf, S. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 115 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air Lihawa, F. 2012. Tingkat Erosi Permukaan Pada Lahan Pertanian Jagung Di DAS Alo-Pohu Provinsi Gorontalo. Pusat Studi Lingkungan Universitas Negeri Gorontalo Prosiding Konferensi Dan Seminar Nasional Pusat Studi Lingkungan Hidup Indonesia Ke 21 13 – 15 September 2012 Di Mataram commit userYogyakarta: Bursa Ilmu. Mawardi, M. 2012. Rekayasa Konservasi Tanah dantoAir. 119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mitchell, Setiawan B dan Rahmi HD. 2000. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Peraturan Pemerintah N0 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air Redi, A. 2014. Hukum Sumber Daya Alam dalam Sektor Kehutanan. Sinar Grafika Jakarta Rohadi, T. 2010. Budaya Lingkungan, Akar Masalah dan Solusi Krisis Lingkungan. Yogyakarta: Ecologi Press Rohadi T. 2010. Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota Di Yogyakarta. Jurnal Ekosains. Vol. II, No. 3 Oktober 2010. Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu Setyono, P. 2011. Etika, Moral, dan Bunuh Diri Lingkungan dalam Perspektif Ekologi. Surakarta: UNS Press dan LPP UNS. Siburian, R. 2011. Politik Ekologi (Pengelolaan Taman Nasional Era Otda) LIPI- Obor Indonesia, Jakarta Siswoyo, D. 2008, ”Arti Pendidikan dan Batas-batas Pendidikan”, Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: UNY Press. Sodikin, 2012. Kinerja Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Indikator Penggunaan Lahan pada DAS Padang Guci Bengkulu. Jurnal Penelitian Pengembangan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.Vol 1 No. 2 September 2012. Sudaryono, 2002. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu, Konsep Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol 3 No. 2 Mei 2003. Sugiyono 2002, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Suryana, C. Data dan Jenis Data Penelitian. Dalam http:// csuryana. Wordpress.com (diakses 10 Desember 2013). Undang – Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Widayati, W. 2011. Ekologi Manusia. Konsep, Implementasi dan Pengembangannya. Kendari: commit to user Unhalu Press. 120
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user -1-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lampiran I
KUESIONER PENELITIAN KAJIAN PERILAKU MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM PADA SUB DAS KEEROM DISTRIK SENGGI KABUPATEN KEEROM PROVINSI PAPUA A. Identitas Responden 1. Nama : ...................................................................................................... 2. Umur : ...................................................................................................... 3. Alamat : ...................................................................................................... 4. Nama Kampung : ....................................................................................... Laki – Laki
5. Jenis Kelamin :
Perempuan
6. Status Perkawinan: a. Kawin b. Tidak Kawin c. Duda/janda 7. Jumlah tanggungan............orang a. Isteri ................... orang b. Anak .................. orang c. Kerabat .............. orang 8. Pendidikan terakhir a. Tidak tamat SD b. Tamat SD c. Tamat SLTP d. Tamat SLTA e. Tamat A
kademi/Diploma
f. Tamat Sarjana/Strata Satu 9. Pekerjaan saat ini: a. Pegawai Negeri Sipil commit to user -2-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Pegawai Swasta c. TNI/Polri d. Petani/Peladang e. Nelayan f. Buruh g. Lainnya (sebutkan ....................... ) 10. Bila sebagai petani/peladang, kegiatan yang bapak/ibu kerjakan sebagai : a. Peladang menetap b. Peladang berpindah c. Perambah hutan d. Peladang berpindah dan perambah hutan e. Peladang menetap dan perambah hutan 11. Berapa penghasilan bapak/ibu dalam 1 (satu) bulan a. < Rp.100.000,b. Rp.100.000,- - Rp.300.000,c. Rp.300.000,- - Rp.500.000,d. Rp.500.000,- - Rp.750.000,e. Rp.750.000,- - Rp.1.000.000,f. > Rp.1.000.000,- (sebutkan besarnya dalam Rp......................) 12. Berapa Pengeluaran bapak/ibu dalam 1 (satu) bulan a. < Rp.100.000,b. Rp.100.000,- - Rp.300.000,c. Rp.300.000,- - Rp.500.000,d. Rp.500.000,- - Rp.750.000,e. Rp.750.000,- - Rp.1.000.000,f. > Rp.1.000.000,- (sebutkan besarnya dalam Rp......................) 13. Apakah ada aktivitas masyarakat pada wilayah hutan disekitar Sub DAS Keerom? a. Ya, ada b. Tidak ada 14. Jika ya, apa saja jenis kegiatan masyarakat tersebut? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Berladang
commit to user -3-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Mencari sagu c. Berburu d. Menebang kayu e. lainnya (sebutkan .................................) B. Kegiatan pemanfaatan sumber daya alam “ Berladang” 1. Dilokasi mana saja bapak/ibu berladang? a. Lahan datar b. Lahan bergelombang c. Lereng bukit d. Daerah resapan air 2. Apakah lokasi ladang bapak/ibu berada di lereng bukit? a. Ya, ada b. Tidak ada 3. Jika Ya, bagaimana pola perladangan tersebut? a. Dikelola dengan teknik pengelolaan yang ramah lingkungan b. Tidak dilakukan pengelolaan/ditanam sembarangan 4. Bagaimana urutan dalam membuka ladang tersebut? a. Menebang habis pohon - membersihkan - membakar - menanam b. Menebang sebagian pohon – membersihkan – menanam c. Membersihkan areal tanpa menebang – menanam d. Lainnya, (sebutkan .....................) 5. Jenis tanaman apa yang ditanami pada ladang bapak/ibu? a. Tanaman palawija b. Sayuran c. Campuran antara palawija dan sayuran d. Lainnya, (sebutkan.................) 6. Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam mengolah lahan sampai masa panen selesai? .................................................................. 7. Jika masa panen pada lahan sudah selesai apakah yang bapak/ibu lakukan dengan lahan bekas tanam tersebut? a. Mengolah kembali lahan tersebut dengan jenis tanaman yang sama commit to user -4-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Mengolah kembali lahan tersebut dengan tanaman jenis tanaman berbeda c. Meninggalkan lahan tersebut dan mencari lahan baru untuk diolah d. Meninggalkan lahan tersebut dan mencari lahan bekas olahan pada tahun sebelumnya 8. Apakah ada larangan tertentu lokasi untuk berladang? a.Ya, ada b. Tidak ada 9. Untuk tujuan apa bapak/ibu membuka ladang? a. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari b. Untuk dijual c. Hanya untuk mengisi waktu luang d. Jawaban a, dan b benar. 10. Jika untuk dijual, jenis tanaman apa saja yang sering dijual? C. Kegiatan pemanfaatan sumber daya alam “Mencari Sagu” 1. Dilokasi mana sajakah bapak/ibu mencari sagu? a. Di lahan milik sendiri b. Di lahan milik adat c. Di sembarang tempat 2. Berapa lama waktu yang diperlukan dari menebang pohon sagu sampai selesai mengambil patinya? .....................hari 3. Berapa banyak orang yang dibutuhkan untuk mencari sagu? ....................orang 4. Jenis alat apa yang digunakan untuk menebang pohon sagu? a. Alat tradisional (kampak/parang) b. Alat Modern (Sensow) 5. Seberapa sering bapak/ibu mencari sagu? a. Seminggu sekali b. Tiga minggu sekali c. Sebulan sekali d. Lainnya, (sebutkan ...................) 6. Apa tujuan utama bapak/ibu mencari sagu? commit to user -5-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Untuk dikonsumsi sendiri b. Untuk dijual c. Untuk acara adat d. Untuk dikonsumsi sendiri dan dijual 7. Apakah setelah pohon sagu ditebang, dilakukan penenaman kembali di lokasi tersebut? a. Ya b. Tidak 8. Apakah terdapat jenis pohon sagu tertentu yang tidak boleh ditebang? a. Ya b. Tidak ada D. Kegiatan pemanfaatan sumber daya alam “Berburu” 1. Dimana biasanya bapak/ibu melakukan kegiatan berburu? a. Di pinggir kampung b. Di dalam hutan c. Di sembarang tempat d. Lainnya, (Sebutkan ..............................) 2. Alat apa yang bapak/ibu gunakan untuk berburu? a. Alat tradisional (panah, jerat, tombak, parang) b. Alat modern (senapan angin) c. Bahan racun (potas, dll) d. Lainnya, (sebutkan..........................) 3. Dalam kegiatan berburu, bagaimana bapak/ibu memilih hewan buruan? a. Hewan yang berumur tua b. Hewan yang tidak dilindungi c. Sembarang hewan boleh diburu d. Lainnya, (sebutkan .................) 4. Apa tujuan utama bapak/ibu berburu? a. Untuk konsumsi sehari-hari b. Untuk dijual dagingnya c. Untuk dijual dalam keadaan hidup
commit to user -6-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Untuk dikonsumsi dan dijual 5. Sepengetahuan bapak/ibu apakah ada pihak lain selain warga kampung yang juga melakukan aktivitas berburu? a. Ya, ada b. Tidak ada 6. Jika ya, apakah aktivitas berburu tersebut mendapatkan izin dari warga? a. Ya b. Tidak 7. Menurut bapak/ibu apa motivasi utama dari pihak luar kampung yang melakukan aktivitas berburu di hutan? a. Untuk dikonsuimsi sendiri b. Untuk dijual dalam keadaan hidup c. Untuk dijual dalam keadaan mati d. Untuk dijual bagian tubuh tertentu 8. Apakah terdapat larangan jenis hewan tertentu yang tidak boleh diburu? a. Ya, ada b. Tidak ada 9. Jika ya, jenis hewan apa saja yang dilarang untuk diburu? ............................................................................... 10. Apa alasan utama adanya larangan untuk memburu jenis hewan tertentu? Sebutkan :............................................................................... E. Kegiatan pemanfaatan sumber daya alam “Mengambil Kayu” 1. Dimana biasanya bapak/ibu mengambil kayu bakar a. Di pekarangan rumah b. Di pinggir kampung c. Di dalam hutan d. Lainnya, (sebutkan...............) 2. Bagaimana cara bapak/ibu mengambil dan memilih kayu bakar? a. Mengambil ranting-ranting pohon yang telah rubuh dan berumur tua b. Menebang jenis pohon tertentu c. Menebang jenis pohon apa saja
commit to user -7-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Lainnya, (Sebutkan .........................) 3. Selain untuk kayu bakar apa tujuan lain bapak/ibu mencari kayu? a. Untuk bahan bangunan rumah b. Untuk dijual c. Untuk bahan bangunan rumah dan untuk dijual d. Lainnya, (Sebutkan .................) 4. Jika untuk dijual maka jenis kayu apa saja yang sering diambil? (Jawaban boleh lebih dari satu) a. Kayu Matoa b. Kayu Merbau/besi c. Kayu Matoa dan merbau/besi d. Lainnya, (sebutkan .......................) 5. Dimana biasanya jenis kayu tersebut ditebang untuk di jual? a. Di Hutan b. Di Pinggir kali c. Di sembarang tempat d. Lainnya, (sebutkan..................) 6. Apakah dalam menebang pohon dilakukan pemilihan? a. Ya, b. Tidak 7. Jika ya, pemilihan seperti apa yang bapak/ibu lakukan? a. Memilih jenis pohon yang telah berumur tua b. Menebang sembarang pohon yang penting dirasa sudah cukup untuk ditebang c. Dilakukan pengukuran batang pohon terlebih dahulu sebelum ditebang 8. Menurut bapak/ibu siapakah yang berhak menentukan jenis kayu yang ditebang untuk dijual? a. Diri sendiri b. Kepala Keret c. Kepala suku d. Ketua LMA. 9. Dimana biasanya bapak/ibu menebang kayu untuk dijual? a. Di lahan milik sendiri
commit to user -8-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Di lahan milik keret c. Di lahan milik suku d. Di sembarang lahan 10. Dalam menebang pohon apakah bapak/ibu melakukan sendiri atau menyewa pihak lain a. Melakukan sendiri b. Menyewa pihak lain 11. Menurut bapak/ibu apakah ada aktivitas menebang pohon di pinggir kali? a. Ya, ada b. Tidak ada 12. Jika ya, siapa yang melakukan aktivitas penebangan pohon di pinggir kali tersebut? a. Warga kampung b. Warga dari luar kampung c. Pihak lain, (Sebutkan...................................) 13. Menurut bapak/ibu apakah ada aktivitas menebang pohon di lereng bukit? a. Ya, ada b. Tidak ada 14. Jika ya, siapa yang melakukan aktivitas penebangan pohon di lereng bukit tersebut? a. Warga kampung b. Warga dari luar kampung c. Pihak lain, (Sebutkan...................................) 15. Menurut bapak/ibu apakah dihutan ini terdapat jenis pohon keramat yang tidak boleh di tebang? a. Ya, ada b. tidak ada 16. Jika ada, dilokasi mana saja jenis pohon keramat tersebut terdapat? a. Terdapat di setiap lokasi b. Di tempat tertentu c. Lainnya, (Sebutkan ..............................) 17. Selain pohon keramat apakah ada lokasi-lokasi berikut ini yang dikeramatkan. a. Mata air b. Gunung/bukit
commit to user -9-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Lainnya :.....................................
Lampiran II
PANDUAN WAWANCARA PERTANYAAN TERSTRUKTUR Nama Responden
:
Jabatan
:
A. Status Sosial 1. Apakah status sosial seseorang dapat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan di tingkat adat. 2. Siapa yang memimiliki kedudukan yang paling tinggi dalam struktur adat 3. Apa peran dari seorang pemimpin adat, meliputi apa saja? 4. Apakah ada peraturan tertulis tentang pemanfaatan sumber daya alam
B. Pendidikan 1. Apakah pendidikan penting bagi masyarakat 2. Seberapa penting 3. Apakah fasilitas pendidikan memadai 4. Apakah tenaga guru memadai 5. Apa kendala utama dari aspek pendidikan
C. Transmigrasi 1. Apa dampak dari adanya program transmigrasi di wilayah ini. 2. Apa dampak positif dan negatifnya 3. Bagaimana proses sosialisasi antara warga asli dan warga transmigran 4. Apa kontribusi warga transmigran terhadap pembangunan diwilayah ini. 5. Bagaimana perilaku warga transmigran commit to user - 10 -
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Transportasi 1. Apakah sarana transportasi diwilayah ini memadai 2. Bagaimana kondisi jalan dan jembatan 3. Jenis kendaraan apa saja yang sering melewati 4. Jenis angkutan apa saja yang paling banyak melalui jalan tersebut 5. Apa faktor utama terhambatnya pembangunan jalan diwilayah ini E. Teknologi Informasi 1. Apakah sarana transportasi di wilayah ini memadai 2. Apa saja jenis sarana transportasi yang ada 3. Apa kesulitan utama dari sarana transportasi yang ada
G. Pengetahuan dan persepsi dan tentang pemanfaatan sumber daya alam 1. Menurut bapak/ibu bagaimana pemanfaatan sda di wilayah ini 2. Apakah ramah lingkungan atau tidak ramah lingkungan 3. Bagaimana dengan aktivitas berikut ini: - Berladang - Berburu - Mencari sagu - Menebang kayu 4.
Apakah ada aturan tertulis tentang aktivitas tersebut diatas
5.
Apakah ada larangan-larangan tertentu yang tidak tertulis.
6.
Bagaimana penerapan dari aturan tersebut
7.
Bagaimana penerapan dari larangan tersebut
8.
Adakah sanksi apabila aturan dan larangan tersebut dilanggar
9.
Faktor apa yang paling dominan berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sda
10. Kegiatan apa yang bapak/ibu amati tergolong merusak 11. Kegiatan apa yang bapak/ibu amati tergolong mengabaikan 13. Kegiatan menjaga/memlihara apa yang sedang berlangsung 14. Kegiatan memperbaiki apa yang sedang berlangsung. commit to user - 11 -
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lampiran III Prediksi laju erosi aktual di Sub DAS Keerom Satuan Lahan
Penutupan 1) Lahan
R
K
LS
CP
Solum (cm)
Kelas 3) Erosi
LOA
1,147
0.27
1.20
0.05
18.58
>90
R
3,034.85
NH
1,147
0.27
1.20
0.10
37.16
>90
R
453.62
VF
1,147
0.27
1.20
0.001
0.37
>90
SR
2,024.98
TA
1,147
0.27
1.20
0.001
0.37
>90
SR
2,427.91
LOA
1,147
0.27
9.50
0.05
147.10
>90
S
1,482.05
NH
1,147
0.27
9.50
0.10
294.21
>90
B
66.92
VF
1,147
0.27
9.50
0.001
2.94
>90
SR
2,733.21
TA
1,147
0.27
9.50
0.001
2.94
>90
SR
3,109.25
LOA
1,147
0.29
0.25
0.05
4.16
>90
SR
59,395.82
NH
1,147
0.29
0.25
0.10
8.32
>90
SR
1,134.04
VF
1,147
0.29
0.25
0.001
0.08
>90
SR
142.36
TA
1,147
0.29
0.25
0.001
0.08
>90
SR
2,661.52
LOA
1,147
0.29
1.20
0.05
19.96
>90
R
43,224.52
NH
1,147
0.29
1.20
0.10
39.92
>90
R
1,155.79
VF
1,147
0.29
1.20
0.001
0.40
>90
SR
1,125.12
TA
1,147
0.29
1.20
0.001
0.40
>90
SR
5,119.92
LOA
1,147
0.29
4.25
0.05
70.68
>90
S
402.09
VF
1,147
0.29
4.25
0.001
1.41
>90
SR
561.35
TA
1,147
0.29
4.25
0.001
1.41
>90
SR
413.77
LOA
1,147
0.28
0.25
0.05
4.01
>90
SR
3,746.24
VF
1,147
0.28
0.25
0.001
0.08
>90
SR
2,055.40
TA
1,147
0.28
0.25
0.001
0.08
>90
SR
449.34
LOA
1,147
0.28
4.25
0.05
68.25
>90
S
2.70
2)
Laju Erosi (ton/ha/thn)
Luas (ha)
SL-1
SL-2
SL-3
SL-4
SL-5
SL-6
SL-7
commit to user - 12 -
perpustakaan.uns.ac.id
Satuan Lahan
digilib.uns.ac.id
Penutupan 1) Lahan
R
K
LS
CP
LOA
1,147
0.28
9.50
0.05
VF
1,147
0.28
9.50
TA
1,147
0.28
LOA
1,147
NH TA
SL-8
SL-9
Solum (cm)
Kelas 3) Erosi
152.55
>90
S
2,670.39
0.001
3.05
>90
SR
955.12
9.50
0.001
3.05
>90
SR
1,885.47
0.28
1.20
0.05
19.27
>90
R
934.50
1,147
0.28
1.20
0.10
38.54
>90
R
67.45
1,147
0.28
1.20
0.10
38.54
>90
R
517.29
2)
Laju Erosi (ton/ha/thn)
Luas Total Sumber
Luas (ha)
143,953.00
:Studi AMDAL PT. Semarak Dharma Timber, 2012 Data diolah dari hasil overlay antara Peta Areal Kerja, Peta Penutupan Lahan dan Peta Satuan Lahan
Keterangan
:
1)
LOA = log over area (hutan bekas tebangan); VF = virgin forest (hutan primer); NH = non hutan (belukar, semak); TA = tertutup awan
2)
Nilai K untuk jenis tanah yang diwakili dengan kode SPT 80 (SL-6, SL-7 dan SL-8) dan kode SPT 100 (SL-9) dihitung dari hasil rata-rata seluruh nilai K yang terukur
3)
Diturunkan dari kriterian tingkat bahaya erosi (TBE) yang dikeluarkan oleh Dirjen RRL, Dephut (1998)
Prediksi jumlah erosi aktual pada masing-masing unit SL di wilayah kajian Satuan Lahan
Penutupan 1) Lahan
Laju Erosi (ton/ha/thn)
Luas (ha)
Jumlah Erosi (ton/thn)
LOA
18.58
3,034.85
56,391.68
NH
37.16
453.62
16,857.89
VF
0.37
2,024.98
752.54
TA
0.37
2,427.91
902.28
7,941.36
74,904.40
SL-1
Jumlah SL-1 LOA
147.10
1,482.05
218,013.74
NH
294.21
66.92
19,688.33
VF
2.94
2,733.21
8,041.25
TA
2.94
3,109.25
9,147.58
7,391.43
254,890.90
SL-2
Jumlah SL-2
commit to user - 13 -
perpustakaan.uns.ac.id
Satuan Lahan
digilib.uns.ac.id
Penutupan 1) Lahan
Laju Erosi (ton/ha/thn)
LOA
4.16
59,395.82
246,960.39
NH
8.32
1,134.04
9,430.35
VF
0.08
142.36
11.84
TA
0.08
2,661.52
221.33
63,333.73
256,623.91
Luas (ha)
Jumlah Erosi (ton/thn)
SL-3
Jumlah SL-3 LOA
19.96
43,224.52
862,666.42
NH
39.92
1,155.79
46,134.04
VF
0.40
1,125.12
449.10
TA
0.40
5,119.92
2,043.65
50,625.36
911,293.20
SL-4
Jumlah SL-4
SL-5
LOA
70.68
402.09
28,421.23
VF
1.41
561.35
793.57
TA
1.41
413.77
584.93
1,377.21
29,799.74
Jumlah SL-5
SL-6
LOA
4.01
3,746.24
15,039.30
VF
0.08
2,055.40
165.03
TA
0.08
449.34
36.08
6,250.99
15,240.41
2.70
184.36
2.70
184.36
152.55
2,670.39
407,370.50
VF
3.05
955.12
2,914.09
TA
3.05
1,885.47
5,752.62
5,510.98
416,037.21
Jumlah SL-6 SL-7
LOA
68.25
Jumlah SL-7 LOA SL-8
Jumlah SL-8
commit to user - 14 -
perpustakaan.uns.ac.id
Satuan Lahan
SL-9
Penutupan 1) Lahan
digilib.uns.ac.id
Laju Erosi (ton/ha/thn)
LOA
19.27
934.50
18,007.35
NH
38.54
67.45
2,599.56
TA
38.54
517.29
19,935.96
1,519.24
40,542.87
Jumlah SL-9 Sumber
:
Jumlah Erosi (ton/thn)
Luas (ha)
Studi AMDAL PT. SEmarak Dharma Timber, 2012 Data diolah dari Tabel sebelumnya
Prediksi jumlah erosi aktual di wilayah studi didasarkan pada Sub-sub DAS terkait Sub DAS/Sub-Sub DAS
Satuan Lahan
SL-4
Penutupan 1) Lahan
Laju erosi (ton/ha/thn)
Luas (ha)
Jumlah erosi (ton/thn)
LOA
19.96
10,351.55
206,594.19
NH
39.92
618.47
24,686.54
TA
0.40
547.89
218.69
LOA
19.27
934.50
18,007.35
NH
38.54
67.45
2,599.56
TA
38.54
517.29
19,935.96
13,037.15
272,042.29
Sub-sub DAS Bompai
SL-9
Jumlah Sub-sub DAS Bompai
SL-3 Sub-sub DAS Keerom Hulu
LOA
4.16
18,389.84
76,462.67
NH
8.32
111.19
924.66
TA
0.08
1,063.63
88.45
LOA
19.96
547.17
10,920.39
NH
39.92
97.76
3,902.10
20,209.60
92,298.27
SL-4
Jumlah Sub-sub DAS Keerom Hulu
SL-3
LOA
4.16
19,253.78
80,054.81
NH
8.32
944.13
7,851.19
VF
0.08
126.60
10.53
LOA
4.01
3,746.24
15,039.30
Sub-sub DAS Waruta
SL-6
commit to user - 15 -
perpustakaan.uns.ac.id
Sub DAS/Sub-Sub DAS
digilib.uns.ac.id
Satuan Lahan
SL-7
SL-8
Penutupan 1) Lahan
Laju erosi (ton/ha/thn)
Luas (ha)
Jumlah erosi (ton/thn)
VF
0.08
2,055.40
165.03
TA
0.08
449.34
36.08
LOA
68.25
2.70
184.36
LOA
152.55
2,670.39
407,370.50
VF
3.05
955.12
2,914.09
TA
3.05
1,885.47
5,752.62
32,089.19
519,378.51
Jumlah Sub-sub DAS Waruta LOA
18.58
2,137.30
39,714.00
NH
37.16
240.75
8,947.12
VF
0.37
0.92
0.34
TA
0.37
2,143.51
796.59
LOA
147.10
1,467.61
215,889.28
NH
294.21
34.81
10,242.74
VF
2.94
410.87
1,208.81
TA
2.94
3,083.12
9,070.72
LOA
4.16
21,562.29
89,653.32
NH
8.32
268.61
2,233.68
VF
0.08
15.76
1.31
TA
0.08
1,597.88
132.88
LOA
19.96
6,266.25
125,060.61
VF
0.40
43.60
17.40
TA
0.40
3,498.78
1,396.56
LOA
70.68
402.09
28,421.23
VF
1.41
561.35
793.57
TA
1.41
413.77
584.93
44,149.29
534,165.10
SL-1
SL-2
Sub-sub DAS Web SL-3
SL-4
SL-5
Jumlah Sub-sub DAS Web
commit to user - 16 -
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Satuan Lahan
Sub DAS/Sub-Sub DAS
Penutupan 1) Lahan
Laju erosi (ton/ha/thn)
Luas (ha)
Jumlah erosi (ton/thn)
LOA
18.58
897.55
16,677.68
NH
37.16
212.87
7,910.77
VF
0.37
2,024.07
752.20
TA
0.37
284.40
105.69
LOA
147.10
14.44
2,124.46
NH
294.21
32.11
9,445.59
VF
2.94
2,322.33
6,832.43
TA
2.94
26.12
76.86
LOA
19.96
26,059.55
520,091.23
NH
39.92
439.56
17,545.39
VF
0.40
1,081.53
431.70
TA
0.40
1,073.25
428.39
Jumlah Sub-sub DAS Yabanda
34,467.78
582,422.41
Grand Total
143,953.00
SL-1
Sub-sub DAS Yabanda
SL-2
SL-4
Sumber Keterangan
: :
Data diolah dari Peta Hidrologi, Peta Tanah, Peta Lereng dan Peta Penutupan Lahan wilayah studi LOA = log over area (hutan bekas tebangan); VF = virgin forest (hutan primer); NH = non hutan (semak, belukar); TA = tertutup awan
1)
Tabel 3.11. Penyebaran Kelas Lereng di wilayah kajian Luas No.
Kelas Lereng (ha)
(%)
1
Datar, A (0-8%)
77.262
50,96
2
Landai, B (9-15%)
60.089
39,63
3
Agak Curam, C (15-25%)
1.380
0,91
4
Curam, D (25 – 40%)
12.894
8,50
5
Sangat Curam, E (>40%)
-
-
151,625
100.00
Jumlah Sumber :
Peta Rupa Bumi Indonesia Provinsi Papua Lembar 3412 Tahun 2004 Bakosurtanal, skala 1 : 50.000
commit to user
- 17 -
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DOKUMENTASI PENELITIAN LAPANGAN
Gambar 1. Proses Pengambilan Isi Sagu secara tradisional
Gambar 2. Alat pemerasan dan pemisahan sari patih sagu secara tradisional
commit to user
- 18 -
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 3. Kantor Desa Senggi
Gambar 4. Lahan kebun Coklat milik warga commit to user - 19 -
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 5 dan 6. Tempat pengolahan kayu di Lokasi penelitian
commit to user - 20 -
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user - 21 -