Gambaran Upaya...(Nurindra, dkk)
BALABA Vol. 11 No. 01, Juni 2015: 35-42
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KABUPATEN KEEROM PROVINSI PAPUA TAHUN 2011-2014 DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) IN KEEROM REGENCY, PAPUA PROVINCE IN 2011-2014 Semuel Sandy*, Iman HS Sasto Balai Litbang Biomedis Papua Jl. Kesehatan No.10 Dok II Jayapura *E_mail:
[email protected] Received date: 4/11/2014, Revised date: 20/1/2015, Accepted date: 16/3/2015
ABSTRAK Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah Dengue di Papua pernah dilaporkan pada tahun 1993, 1994 dan 2001. Di Kabupaten Keerom sudah ditemukan kasus DBD walaupun jumlahnya sedikit.Tujuan penulisan artikel ini untuk memberikan gambaran mengenai situasi DBD di Kabupaten Keerom periode 2011-2014 sehingga dapat digunakan menjadi data dasar program pengendalian DBD. Artikel ini menggunakan hasil kajian data sekunder DBD dari Dinas Kesehatan Kabupaten Keerom dan Balai Metereologi dan Geofisika (BMG) Jayapura, kemudian dilakukan analisis secara deskriptif untuk menilai kecendrungan kasus DBD periode tahun 2011-2014. Angka insidensi (IR) cenderung meningkat dari 15.99 per 100.000 penduduk tahun 2011 menjadi 19.30 per 100.000 penduduk pada tahun 2012, 28.97 per 100.000 penduduk pada tahun 2013 dan 34.44 per 100.000 penduduk pada tahun 2014. DBD periode 2011-2014 lebih banyak ditemukan pada lakilaki (31 kasus) dibandingkan perempuan (20 kasus), sedangkan kelompok umur yang paling banyak terkenana demam berdarah adalah kelompok usia 5-14 tahun. DBD di Kabupaten Keerom mengalami peningkatan seiring dengan perkembangan mobilitas penduduk, pembukaan lahan pemukiman dan juga adanya pengaruh perubahan iklim global. Kata kunci: angka insidensi, Dengue, Kabupaten Keerom ABSTRACT Out break of dengue fever have been reported in Papua in 1993, 1994 and 2001. In Keerom regency DHF cases was already found though few in number. The aims of this study was to provide an overview of DHF situation in Keerom regency in 20112014 so it can be used as basic data to dengue control program. This article uses the results of secondary data collection DHF from Keerom District Health Office and the Center for Meteorology and Geophysics Agency (BMG) Jayapura, then performed a descriptive analysis to assess the trend of dengue cases in 2011-2014 period. Figures of Insidence Rate (IR) tends to increase from 15.99 per 100,000 population in 2011 to 19,30 per 100,000 population in 2012, 28.97 per 100,000 population in 2013 and 34.44 per 100,000 population in 2014, DHF is more common in men (31 cases) than women (20 cases), while the most infections of dengue is 5-14 years groups. DHF in Keerom increase in line with the development of population mobility, land clearing settlement also the effect of global climate change. Keywords: incidence rate, Dengue, Keerom Regency
PENDAHULUAN Demam berdarah di Indonesia sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang besar. Sejak pertama kali dilaporkan dari Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968 penyakit ini meningkat dan menyebar ke seluruh pelosok tanah air. Meskipun kasus yang terbanyak masih terpusat di kota-kota besar di Jawa tetapi banyak pula kota-kota di luar Jawa yang cukup tinggi penderitanya.1 Hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit Demam Berdarah Dengue (DBD). Hal ini disebabkan karena vektor DBD yaitu
22
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus tersebar luas di wilayah Indonesia. Vektor ini mampu berkembangbiak sepanjang tahun, dan kepadatan vektor mencapai puncaknya pada musim penghujan dan menurun pada saat musim kemarau.2 DBD adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Demam berdarah dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp. Aedes aegypti merupakan vektor primer dan Ae. albopictus vektor sekunder penyakit DBD, sedangkan manusia
35
Demam Berdarah Dengue..............(Sandy dan Sasto)
merupakan satu-satunya reservoir virus Dengue. Jumlah penderita DBD di Indonesia pada tahun 2012 sebanyak 90.245 kasus dengan jumlah kematian 816 orang (IR= 37,27 per 100.000 penduduk dan CFR= 0,90%). Selama tahun 2012 lebih kurang terdapat 14 kabupaten/kota dari 8 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB DBD yaitu: Kota Kupang (NTT), Kabupaten Sumba Timur (NTT), Maluku Tenggara (Maluku), Kota Tual (Maluku), Buru (Maluku), Maluku Tenggara Barat (Maluku), Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan), Kabupaten Pesisir Selatan (Sumatra Barat), Kota Bukit Tinggi (Sumatra Barat), Kabupaten Asahan (Sumatra Utara), Kota Gunung Sitoli (Sumatra Utara) Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat), Kabupaten Fak-Fak (Papua Barat) dan Kabupaten Bone (Sulawesi Selatan). Tahun 2012 jumlah Kabupaten/Kota di Indonesia yang terjangkit DBD mengalami peningkatan sebesar 11% dibandingkan tahun 2011 menjadi 415 Kabupaten/Kota terjangkit. Peningkatan ini disebabkan oleh semakin luasnya penyebaran DBD. Pola kasus DBD tidak banyak berubah dari tahun ke tahun di Indonesia, jumlah kasus meningkat menjelang akhir tahun dan mencapai puncaknya pada bulan Januari-Februari seiring dengan meningkatnya curah hujan dan populasi nyamuk Aedes spp. Kasus DBD biasanya turun dan mencapai titik terendah pada bulan Agustus dan September.2 Peningkatan jumlah kasus demam berdarah juga diakibatkan mobilisasi dan tingkat kepadatan penduduk, sistem transportasi antar wilayah yang semakin baik, pembukaan pemukiman baru, perilaku masyarakat menyimpan air, serta kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam memberantas sarang nyamuk.3 Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencegah meningkatnya dan meluasnya penyakit ini melalui program-program pencegahan tetapi tampaknya usaha tersebut belum mencapai hasil yang diharapkan. Kasus DBD masih terus terjadi dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun satu hal yang menggembirakan adalah bahwa angka kematian dapat ditekan turun sampai 3%.1 Kasus DBD di Jayapura pertama kali dilaporkan pada tahun 1979 dan data kasus selanjutnya sempat hilang selama beberapa tahun. Laporan kejadian luar biasa (KLB) DBD muncul pada bulan September 1993 sampai Februari 1994 di kota Jayapura, Papua. Kasus KLB DBD kembali
36
terjadi di Papua pada bulan April 2001 di mana dilaporkan 217 kasus DBD dari Jayapura dan ditemukan 72 tersangka kasus DBD pada saat dilakukan investigasi KLB.4,5 Kasus tertinggi terjadi di awal bulan yaitu Januari dan pertengahan bulan Juni-September. Pada bulan tersebut merupakan musim penghujan dengan durasi yang lama, sehingga menimbulkan genangan air pada berbagai kontainer seperti kaleng bekas, ban bekas, wadah penampungan air, bak, tandon air, tempayan, ember, sehingga berpotensi sebagai habitat jentik Aedes sp. Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah penyebaran virus Dengue melalui penanganan secara cepat pasien Dengue dengan memberikan pengobatan, melakukan pemutusan rantai penularan dari manusia-nyamuk-manusia dengan upaya pemberian larvasida temephos dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Usaha pengurangan habitat perkembangbiakan jentik Aedes spp. telah dilakukan dinas kesehatan dan puskesmas dengan memberikan penyuluhan informasi dan sosialisasi kepada masyarakat agar menutup tempat penampungan air, membersihkan dengan cara menguras air dan menyikat dinding bak mandi, tandon air, drum, tempayan, ember penampungan air. Pemberian larvasida temephos juga telah dilakukan oleh dinas kesehatan dan puskesmas. Upaya yang paling efektif dan efisien dalam pencegahan kasus DBD adalah memberdayakan masyarakat, namun hasil yang diharapkan masih kurang berhasil.6 Tujuan penulisan artikel ini untuk memberikan gambaran kasus DBD di Kabupaten Keerom dan tren selama 4 tahun terakhir, sehingga data ini bermanfaat dalam program pengendalian DBD di Kabupaten Keerom.
BALABA Vol. 11 No. 01, Juni 2015: 15-22
Mamuju Propinsi Sulawesi Barat. [Diakses tanggal 20 Januari 2015]. Diunduh dari: http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/1234 56789/5699/JURNAL.pdf?sequence=12013. 14. Sarafino EP. Pengertian dukungan sosial. [Diakses tanggal 2 April 2014]. Diunduh dari: http://www. Psychologymania .com/2012/08/pengertiandukungan-sosial.html.
METODE Kajian ini dilakukan dengan menganalisis data jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) dari Dinas Kesehatan Kabupaten Keerom periode 2011-2014. Sedangkan data klimatologi berupa data curah hujan rata-rata bulanan periode 2011-2014 diperoleh dari Balai Metereologi dan Geofisika Jayapura (BMG Jayapura). Data dianalisis secara deskriptif untuk melihat tren kasus DBD selama 4 tahun terakhir. Perhitungan angka insidensi DBD (incidence rate) jumlah kasus DBD dalam kurun waktu tertentu dibagi jumlah populasi penduduk
21
Gambaran Upaya...(Nurindra, dkk)
keluarga mengetahui bahwa infeksi virus Dengue merupakan penyakit berbahaya yang dapat menular, sehingga mereka berusaha agar penderita cepat sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain.
4.
KESIMPULAN Sebagian besar penderita sudah tepat memilih pengobatan infeksi virus Dengue ke sarana pengobatan medis. Upaya lain yang dilakukan selama sakit antara lain dengan mengkonsumsi jus yang dipercaya dapat mempercepat kesembuhan. Faktor yang diduga terkait dengan perilaku pencarian pengobatan antara lain kondisi waktu berobat, keberadaan sarana, kelengkapan sarana pelayanan pengobatan, dan biaya pengobatan.
6. Nurindra RW, Masturoh I, Hendri, J. Perilaku Pencarian Pengobatan Penderita DBD di Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat. Laporan Hasil Penelitian Loka Litbang P2B2 Ciamis; 2010.
SARAN Perlunya peningkatan sarana dan prasarana medis serta jaminan kesehatan di fasilitas-fasilitas kesehatan, untuk lebih meningkatkan upaya pengobatan dan mengurangi upaya swamedikasi penderita. Peningkatan pengetahuan masyarakat diperlukan untuk bisa mengeliminir keterlambatan penanganan penderita DBD oleh pelayanan kesehatan di fasilitas-fasilitas pengobatan terdekat. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan Kepada Kementerian Kesehatan R.I. melalui Badan Litbang Kesehatan yang memberikan dukungan pembiayaan dan pembinaan dalam pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Pemerintah Kota Sukabumi beserta seluruh jajarannya di Dinas Kesehatan, puskesmas,dan masyarakat Kota Sukabumi atas dukungan baik moril maupun materiil sehingga penelitian ini bisa dilaksanakan dengan baik. DAFTAR PUSTAKA 1.
WHO. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention; 2011.
2. Sukowati S. Masalah vektor demam berdarah dengue dan upaya pengendaliannya. Buletin Jendela Epidemiologi Vol 2 Agustus 2010. 3. Suroso T. Situasi epidemiologi dan program pemberantasan demam berdarah dengue di Indonesia. Dalam Seminar Kajian KLB DBD dari B i o l o g i M o l e k u l e r s a m p a i Pemberantasannya.Yogyakarta: Pusat Kedokteran
20
Tropis, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada; 2005. Foster GM, Anderson BG. Antropologi kesehatan. Jakarta: UI Press; 1986.
5. Santya RNRE, Prasetyowati H, Nurindra R dkk. Pemetaan Model Pengendalian DBD di Kota Sukabumi. Laporan Hasil Penelitian Loka Litbang P2B2 Ciamis; 2012.
7. Ruslan. Pengaruh pengetahuan, sikap, persepsi terhadap perilaku pencarian pengobatan penderita kusta pada fasilitas kesehatan di Kabupaten Bima. [Diakses tanggal 20 Januari 2015]. Diunduh dari: http:// pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/12. 8. Wong LP, Abubakar S. Health beliefs and practices related to dengue fever; a focus group study. [cited 2015 Jan 20]. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC370 8882/. 9.
BALABA Vol. 11 No. 01, Juni 2015: 35-42
yang mempunyai risiko terkena DBD (population at risk) di kalikan dengan konstanta (k = 100.000). Letak geografis Kabupaten Keerom 2°37'0''4°0'0''LS dan 140°15'0''-141°0'0'' BT. Kabupaten Keerom berbatasan dengan Kota Jayapura di sebelah utara, Kabupaten Pegunungan Bintang di sebelah selatan, Kabupaten Jayapura di sebelah barat, Papua New Guinea (PNG) di sebelah timur. Gambaran keadaan iklim Kabupaten Keerom tahun 2012 yaitu curah hujan rata-rata 2.783 mm dengan 250 hari hujan, suhu udara antara 24,2 °C-32,2 °C dengan suhu rata-rata 27,8 °C, kelembaban udara relatif tinggi yaitu 80,8%%. Kabupaten Keerom memiliki tujuh distrik yaitu Arso, Arso Timur, Skanto, Web, Senggi, Waris dan Distrik Towe. Jumlah penduduk Kabupaten Keerom pada tahun 2011 sebesar 50.043 jiwa, tahun 2012 sebesar 50.279 jiwa, tahun 2013 sebesar 51.772 jiwa dan tahun 2014 sebesar 52.259 jiwa. Distrik Arso merupakan wilayah dengan penduduk terbanyak (41,67%) dan tingkat
kepadatan 13 jiwa per km2. Sedangkan Distrik Towe merupakan daerah dengan jumlah penduduk terkecil (4,82%) dan tingkat kepadatan 4 jiwa per km2.7 Gambaran keadaan klimatologi Kabupaten Keerom yang mendukung perkembangbiakan vektor demam berdarah dimana ditemukan jenis Ae. albopictus dan Ae. aegypti. Pertumbuhan penduduk yang cepat dan mobilitas penduduk antar wilayah juga merupakan faktor pendukung penyebaran DBD. Jumlah kasus demam berdarah di Kabupaten Keerom periode tahun 2011-2014 sebanyak 51 kasus. DBD tahun 2014 dengan angka insidensi (IR) 34,44 per 100.000 penduduk dan kasus terendah pada tahun 2011 dengan angka insidensi (IR) 15,99 per 100.000 penduduk (Gambar 1). Distribusi DBD tertinggi terjadi pada Bulan Januari tahun 2012-2014 dan pertengahan Bulan Juni-September pada periode tahun 2012-2014 (Gambar 2).
Kusumawardana I, Ichsan B, Basuki S. Hubungan antara tingkat pengetahuan orang tua tentang demam berdarah dan kejadian demam berdarah di Puskesmas Ngaresan Kecamatan Jebres Surakarta. Jurnal Kesehatan. 2012; 5 (1): 20-8.
10. Khudori. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pemilihan tempat persalinan pasien poliklinik kandungan dan kebidanan Rumah Sakit IMC Bintaro. Jakarta. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta: Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2012.
Gambar 1. Tren Peningkatan Angka Insidensi (IR) Kasus DBD di Kabupaten Keerom Periode 2011-2014 Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Keerom
11. Hamzah. Analisis perilaku masyarakat dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan (studi kasus pemegang jamkesmas di Puskesmas Donggala 2010. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin; 2010. 12. Supardi. Karakteristik Penduduk Sakit Yang Memilih Pengobatan di Rumah. [Diakses tanggal 20 Januari 2015]. Diunduh dari: http:// apotekputer.com/ma /index. php?option=com_content&task =view&id= 191&Itemid=63. 13. Gazali AK, Ibnu IF, Suriah. Perilaku pencarian pengobatan terhadap kejadian malaria pada Suku Mandar di Desa Lara Kecamatan Karossa Kabupaten
Gambar 2. Tren Persentase Rerata Peningkatan Kasus DBD Tiap Bulan di Kabupaten Keerom Periode 2011-2014 Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Keerom
37
Demam Berdarah Dengue..............(Sandy dan Sasto)
DBD dapat terjadi setiap bulannya, namun dengan adanya waktu hujan yang lebih lama akan menyebabkan peningkatan kepadatan nyamuk Aedes spp. sehingga kasus DBD juga akan meningkat. Jika dikaitkan dengan data jumlah curah hujan tahunan periode 2012-2014 diperoleh gambaran bahwa hujan terjadi sepanjang tahun, dan mencapai puncaknya di awal Januari dan Desember (Gambar 3). Distribusi DBD berdasarkan jenis kelamin, dimana periode 2013-2014 jenis kelamin laki-laki (31 kasus) lebih banyak terinfeksi DBD dibandingkan perempuan (20 kasus). Distribusi lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4.. Rerata curah hujan (mm)
Jumlah kasus DBD berdasarkan kelompok umur tahun 2011-2012 banyak ditemukan pada kelompok umur 15-44 tahun, sementara tahun 20132014 jumlah kasus DBD banyak ditemukan pada kelompok umur 5-14 tahun (Gambar 5). PEMBAHASAN Daerah endemis DBD di Kabupaten Keerom yaitu Distrik Arso dan Distrik Skanto. Daerah ini merupakan daerah yang mulai padat penduduknya. Mayoritas penduduk Arso berasal dari pulau Jawa, Sulawesi dan daerah lainnya. Mobilitas transportasi di wilayah ini sangat lancar dan memungkinkan perpindahan penduduk yang tinggi sehingga
450
7 Jumlah Kasus DBD
400 6 350 5 300 250
4
200
3
150 2 100 1 50 0
Jan
Feb Mar April Mei Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des
Kasus DBD 2012
5
1
1
0
0
1
1
0
0
0
1
0
Kasus DBD 2013
4
2
1
0
0
1
1
2
3
1
0
0
Kasus DBD 2014
4
0
0
0
1
4
6
3
0
0
0
0
98
230
Tahun 2012
109.6 284.6338.6 180.5171.6 122.4 77.2 71.6 193 119
Tahun 2013
256 221
Tahun 2014
103.1 142
20
169
76
203 134 170 128
81
0
162 396
53 240.5117.5 199.5 162 77.5 176 110 130 343
Gambar 3. Tren Rerata Curah Hujan dan Rerata Persentase Kasus DBD di Kabupaten Keerom Periode 2012-2014 sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Keerom dan BMG Jayapura
Gambar 4. Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Keerom Periode 2011-2014 sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Keerom
38
BALABA Vol. 11 No. 01, Juni 2015: 15-22
menjadi pilihan masyarakat karena dengan pengobatan sendiri tidak mengalami perubahan dan berdasarkan pengalaman dan informasi dari tetangga dan keluarga. Pengobatan sendiri dengan mengonsumsi ramuan dari bahan-bahan alam seperti: buah, tumbuhan, dan bumbu dapur. Selain itu, dilakukan juga dengan mendatangi dukun karena sudah dimanfaatkan oleh keluarga sejak lama dan kepercayaan akan kemanjuran pengobatannya. Pencarian pengobatan masyarakat selanjutnya bila dengan pengobatan sendiri dan tradisional tidak mengalami perubahan adalah dengan memilih pengobatan modern.12 Berdasarkan hasil wawancara dengan penderita yang menjalani rawat inap didapatkan fakta bahwa mereka tidak mengetahui jika mengalami infeksi virus Dengue sampai setelah menjalani rawat inap. Hal ini menunjukkan bahwa penderita belum memahami gejala penyakit DBD. Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus Dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di bagian anak RSCM menunjukkan pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus Dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai.13 Sebagian besar penderita DBD di Kota Sukabumi yang menjalani rawat inap di RS merupakan penderita dengan infeksi sekunder virus Dengue (IgG, IgM&IgG). Namun, baik penderita infeksi primer dan sekunder memilih upaya pengobatan medis begitu gejala demam menyerang. Dilihat dari pemilihan tempat untuk pengobatan, berupa sarana pengobatan medis, menunjukkan bahwa secara umum upaya memutuskan pencarian pengobatan yang dipilih untuk penderita infeksi virus Dengue di Kota Sukabumi sebagian besar sudah tepat. Hal ini dikarenakan keterjangkauan sarana pelayanan oleh anggota masyarakat yang mudah, termasuk dari aspek biaya dengan adanya asuransi kesehatan daerah. Selain itu, pemilihan dimulai dari kesadaran akan gejala sakit, “musim”
penyakit, termasuk menyarankan pilihan layanan kesehatan ketika seseorang terdapat gejala sakit yang sama atau mirip dengan kejadian yang sedang sering terjadi atau kejadian di masa lalu. Kecepatan memutuskan pemilihan sarana pelayan kesehatan dapat mencegah peran individu sebagai sumber penularan di lingkungan. Kecepatan penderita kontak dengan sarana pelayanan kesehatan terkait infeksi virus Dengue di Kota Sukabumi relatif tidak menemui hambatan dari lingkungan sosial untuk upaya pengobatan. Upaya pencarian pengobatan dan kecepatan upaya pencarian pengobatan akan mempengaruhi proses penularan virus Dengue. Individu yang mengalami viremia akan menjadi sumber virus bagi Aedes spp. Lama waktu saat ketidaktahuan mereka akan kondisi viremia pada diri mereka akan memperbesar kemungkinan mereka menjadi sumber virus bagi lingkungannya. Umumnya penderita melakukan upaya pengobatan tiga sampai empat hari setelah munculnya gejala sakit. Ketanggapan melakukan pengobatan adalah perilaku kesehatan yang pada dasarnya adalah reaksi seseorang terhadap rangsangan yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, dan lingkungan. Reaksi manusia bisa bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), atau aktif (tindakkan nyata, praktek). Upaya sehubungan dengan pencarian pengobatan merupakan salah satu dari perilaku seseorang terhadap penyakit atau rasa sakit yang ada pada diri atau luar dirinya.11 Terkait dukungan sosial dari orang terdekat/keluarga penderita mengenai upaya pengobatan, semua penderita yang dapat diwawancara ulang merasa sangat didukung untuk menjalani rawat inap di RS sampai sembuh. Dukungan sosial menurut Sarafino14 mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya atau menghargainya. Lebih lanjut Sarafino menambahkan bahwa orang-orang yang menerima dukungan sosial memiliki keyakinan bahwa mereka dicintai, bernilai, dan merupakan bagian dari kelompok yang dapat menolong mereka ketika membutuhkan bantuan. Menurut responden hal ini dikarenakan infeksi virus Dengue adalah penyakit berbahaya yang dapat menular. Bahkan dukungan tersebut dalam bentuk fisik dan non fisik berupa semangat, biaya, bahkan banyak diantara responden menyatakan semua anggota keluarga tidak keberatan ikut bergiliran menunggu di rumah sakit. Menurut responden hal ini dikarenakan
19
Gambaran Upaya...(Nurindra, dkk)
BALABA Vol. 11 No. 01, Juni 2015: 35-42
Tabel 2. Upaya Pencarian Pengobatan Penderita DBD Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Imunologi
Imunologi (+) IgG
RS
Dokter Praktek
Puskesmas
Swamedikasi
Jumlah
0
2 (13,33%)
15 (100%)
12 (80%)
1 (6,67%)
IgG&IgM
79 (86,20%)
8 (9,20%)
1 (1,15%)
3 (3,45%)
91 (100%)
IgM
3 (42,86%)
2 (28,57%)
1 (14,29%)
1 (14,29%)
7 (100%)
11
2
6
Jumlah
94
113 Gambar 5. Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur di Kabupaten Keerom Periode 2011-2014 sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Keerom
Pada saat demam dan merasa tidak enak badan penderita segera mencari pengobatan. Jenis pengobatan yang dilakukan para penderita dapat berupa pengobatan medis dan pengobatan sendiri (swamedikasi). Pengobatan medis yang dituju penderita adalah rumah sakit, dokter praktek dan puskesmas. Rumah sakit merupakan tempat berobat terbanyak yang dipilih responden dengan berbagai alasan yang berbeda, yaitu karena kelengkapan alat dan obat, jarak yang dekat, serta jam buka. Dari fasilitas kesehatan, pasien mengetahui pertama kali mereka telah terinfeksi virus Dengue. Hal ini bisa mendorong masyarakat memilih pengobatan medis di fasilitas kesehatan di kemudian hari, apabila terdapat gejala sakit yang serupa ketika mereka terkena DBD. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Andari dalam Khudori 9 bahwa faktor jarak merupakan faktor penting dalam pilihan penderita menggunakan sarana pelayanan kesehatan. Semakin dekat lokasi pelayanan kesehatan, maka semakin tinggi pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Bangli. Selain rumah sakit, dokter praktek dan puskesmas juga merupakan tempat pengobatan medis yang dipilih responden. Alasan pengobatan medis menggunakan dokter praktek lebih dikarenakan karena alasan malas mengantri dan kecepatan dalam pemeriksaan. Dokter yang dituju umumnya adalah dokter umum. Sedangkan pemilihan puskesmas sebagai tempat pengobatan medis dengan alasan biaya yang lebih terjangkau dan dekat dengan tempat tinggal. Pilihan upaya pencarian pengobatan penderita DBD di Kota Sukabumi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang diduga terkait dengan perilaku pencarian pengobatan antara lain kondisi waktu berobat, keberadaan sarana, kelengkapan
18
sarana pelayanan pengobatan, dan biaya pengobatan. Dalam pencarian pengobatan, seorang penderita disamping memilih pelayanan kesehatan modern seperti puskesmas, rumah sakit dan dokter praktek, juga ada yang mencari pengobatan tradisional. Masih banyaknya masyarakat yang menggunakan pengobatan tradisional dan pengobatan sendiri, menunjukkan masih kuatnya tradisi masyarakat dalam hal pencarian pengobatan. Kebiasaan berobat sendiri perlu mendapat perhatian karena merupakan tindakan yang paling sering dilakukan masyarakat sebagai tindakan pertama pada saat menderita sakit.10 Upaya pengobatan swamedikasi dilakukan beberapa responden sebelum mengetahui bahwa mereka terinfeksi virus Dengue. Pengobatan sendiri dalam pengertian umum adalah yang dilakukan orang awam untuk menanggulangi sendiri keluhan sakitnya menggunakan obat, obat tradisional, atau cara lain tanpa petunjuk tenaga kesehatan. Tujuan pengobatan sendiri adalah untuk peningkatan kesehatan, pengobatan sakit ringan dan pengobatan rutin penyakit kronis setelah perawatan dokter. Alasan pengobatan sendiri adalah praktis dari segi waktu, kepercayaan terhadap obat tradisional, masalah privasi, biaya lebih murah, jarak yang jauh ke pelayanan kesehatan dan kurang puas terhadap pelayanan kesehatan.11 Upaya ini dilakukan dengan membeli obat atas kemauan sendiri di warung/toko obat, untuk mengatasi gejala awal yang muncul pada infeksi virus Dengue. Ketika gejala tidak kunjung reda mereka kemudian melakukan upaya pencarian pengobatan ke rumah sakit, disinilah mereka mengetahui adanya infeksi virus Dengue di tubuhnya. Pengobatan sendiri dilakukan dengan mengkombinasi pengobatan tradisional dengan pengobatan modern. Pengobatan tradisional
perkembangan wilayah juga sangat pesat. Disamping itu, adanya pendatang (orang baru dari luar daerah Papua) akan menambah jumlah orang yang rentan terhadap DBD. Perkembangan wilayah juga diikuti perkembangan habitat dari vektor DBD yaitu Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Hal ini dapat dilihat pada tren peningkatan kasus DBD. Peningkatan populasi penduduk yang tidak diimbangi dengan ketersediaan sumber air bersih untuk keperluan rumah tangga, menyebabkan masyarakat membuat wadah penampungan air hujan seperti bak air, tandon air, drum, tempayan, ember yang merupakan habitat potensial perkembangbiakan jentik Aedes sp., ditambah lagi perilaku masyarakat yang membuang kaleng bekas, ban bekas, botol plastik minuman serta bahan-bahan yang dapat menampung air hujan sangat potensial sebagai habitat perkembangbiakan jentik Aedes sp.8,9,10 Hasil penelitian El-Badry dan Nizal menyebutkan bahwa peningkatan pertumbuhan penduduk akan berpengaruh terhadap mobilitas penduduk dan peningkatan sarana transportasi dimana hal ini merupakan faktor risiko yang memberikan dampak peningkatan populasi dan penyebaran geografis Aedes sp.11,12 Di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara umumnya epidemik DBD terjadi setelah beberapa minggu musim penghujan.13 Gambaran keadaan iklim di Kabupaten Keerom menunjukkan musim penghujan dapat terjadi beberapa kali dalam seminggu dengan intensitas sedang. Hal ini dapat dilihat dari data iklim dimana jumlah hujan di daerah ini adalah 250 hari hujan per tahun (68%). Wabah DBD dapat terjadi di suatu wilayah meskipun kepadatan nyamuk Aedes aegypti rendah atau sebaliknya. Hal ini dipengaruhi berapa besar peranan kerentanan nyamuk Ae. aegypti dari beberapa daerah terhadap virus Dengue, dan
bagaimana pengaruh kelembaban, temperatur, besarnya angin terhadap umur nyamuk, sebab jika vektor DBD berumur panjang akan mempunyai kesempatan menularkan virus DBD ke orang lain semakin besar.14 Suhu lingkungan berpengaruh terhadap masa inkubasi ekstrinsik nyamuk. Inkubasi ekstrinsik nyamuk juga dipengaruhi oleh kelembaban, tingkat viremia pada manusia, dan galur virus. Peningkatan suhu akan mempersingkat inkubasi ekstrinsik nyamuk dan meningkatkan transmisi DBD. Suhu yang meningkat sampai 34°C akan mempengaruhi suhu air habitat nyamuk yang selanjutnya berpengaruh terhadap penetasan telur menjadi larva secara lebih cepat.15 Hal ini didukung oleh Dulay berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh perubahan iklim terhadap DBD di Iligan Filipina yang meyimpulkan bahwa suhu, kelembaban, curah hujan merupakan faktor prediktor peningkatan DBD.16 Penelitian yang dilakukan oleh Zubaedah dkk di Banjar Baru melaporkan bahwa faktor curah hujan memberikan pengaruh terhadap kejadian DBD diikuti oleh tingkat kelembaban udara, sedangkan analisis mengenai suhu terhadap kejadian DBD tidak ditemukan signifikansi. 1 7 Seperti diketahui peningkatan curah hujan berpengaruh signifikan terhadap kelembaban. Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktifitas penyebaran nyamuk dan juga merupakan faktor utama dalam perkembangan penyakit tular vektor.18 Peningkatan kasus DBD akan mulai terjadi satu bulan sebelum puncak hujan terjadi dan memberikan hasil yang signifikan pada bulan berikutnya dan menetap selama sebulan setelah puncak hujan, dan kasus menyusut pada bulan kedua dan akan hilang pada bulan ketiga.19 Pernyataan yang sama oleh Iriani menyebutkan tingkat curah hujan berkorelasi
39
Demam Berdarah Dengue..............(Sandy dan Sasto)
dengan jumlah kasus DBD dan korelasi paling kuat terjadi pada puncak curah hujan, serta perubahan puncak curah hujan sejalan dengan perubahan jumlah kasus DBD.19 Penyebaran penyakit DBD secara pesat sejak tahun 1968 di Indonesia dikarenakan virus Dengue semakin mudah menyebar karena didukung oleh faktor: (1) meningkatnya mobilitas penduduk karena sarana transportasi di dalam kota maupun antar daerah semakin membaik, (2) kebiasaan masyarakat menampung air bersih untuk keperluan sehari-hari pada musim penghujan dan kemarau, apalagi ketersediaan air bersih belum mencukupi kebutuhan dengan sumber yang terbatas atau letaknya jauh dari pemukiman mendorong masyarakat menampung air di rumah masing-masing, (3) sikap dan pengetahuan masyarakat mengenai pencegahan penyakit DBD yang masih kurang.20 Jumlah kasus DBD di Kabupaten Keerom berdasarkan jenis kelamin ditemukan jumlah kasus DBD pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Penyebaran infeksi DBD tidak terfokus pada jenis kelamin dalam artian semua jenis kelamin berpeluang terkena gigitan nyamuk infektif virus DBD. Penelitian yang dilakukan Viennet et al. tahun 2014 di Quensland, Australia dimana kasus DBD juga lebih banyak ditemukan pada laki-laki (52,1%) di bandingkan perempuan (47,7%).21 Penelitian yang dilakukan Maria dkk menyebutkan kasus DBD lebih banyak ditemukan pada laki-laki (53,8%) dibandingkan perempuan (46,2%).21 Demikian pula DBD di Thailand dan Filipina tidak ditemukan perbedaan signifikan kerentanan serangan DBD berdasarkan jenis kelamin.23 Data distribusi kasus berdasarkan kelompok umur menunjukkan bahwa hampir semua kelompok umur berisiko terinfeksi DBD. Anak usia sekolah (5-14 tahun) merupakan kelompok umur yang paling rentan terkena DBD sehingga dapat diprediksikan bahwa penularan DBD kemungkinan juga terjadi di sekolah. Sasaran penanggulangan kasus DBD di sekolah-sekolah perlu disosialisasikan dengan memberikan infomasi dan edukasi kepada anak sekolah, guru, dan petugas kebersihan sekolah mengenai bahaya DBD. Pengendalian populasi nyamuk Aedes sp. di sekolah perlu dijadwalkan dengan pengendalian sarang nyamuk antara lain membersihkan sampah kaleng, botol bekas dan ban bekas, membersihkan bak air dan menutup tempat wadah penyimpanan air.
KESIMPULAN Angka insidensi demam berdarah dengue di Kabupaten Keerom cenderung meningkat dari tahun 2011-2014 dan puncak kasus DBD terjadi pada Bulan Januari dimana pada bulan tersebut memiliki intensitas curah hujan tinggi. Anak usia sekolah (514 tahun) merupakan kelompok umur yang paling rentan terkena DBD.
BALABA Vol. 11 No. 01, Juni 2015: 15-22
Distribusi penderita menurut umur dan jenis kelamin disajikan pada Gambar 1, sedangkan distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Distribusi Penderita Infeksi Virus Dengue Berdasarkan Jenis Pekerjaan Jenis Pekerjaan
SARAN Kewaspadaan dini masyarakat di Kabupaten Keerom terhadap bahaya DBD perlu ditingkatkan, dimana terjadi kecenderungan peningkatan kasus DBD dari tahun ketahun. Penerapan metode 3 M Plus dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) perlu disosialisasikan di masyarakat dan sekolah agar dapat mencegah munculnya DBD. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Kepala Balai Litbang Biomedis Papua, dan Dinas Kesehatan Kabupaten Keerom beserta rekanrekan Balai litbang Biomedis Papua atas bantuan dan saran sehingga tulisan artikel ini dapat terwujud. DAFTAR PUSTAKA 1.
Waryudi S. Effektifitas fogging malathion masal pada pencegahan/pemberantasan demam berdarah dengue. CDK; 1994. Hal 28-30.
2. Hotnida S dan Lasbudi PS. Pengamatan larva Aedes di Desa Sukaraya Kabupaten Oku dan Dusun Martapura Kabupaten Oku tahun 2004. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2007; 17 (2): 28-33.
Buruh
Jumlah
Persentase (%)
4
3,5
Dagang/WiraSwasta
38
33,6
IRT
26
23
Pelajar/MHS Pensiunan/Purnawirawan
23 6
20,3 5,3
PNS
12
10,6
4
3,5
113
100
Tidak bekerja Jumlah
Berdasarkan hasil wawancara terlihat bahwa sebagian besar penderita infeksi virus Dengue di Kota Sukabumi ketika demam dan merasa tidak enak badan segera mencari pengobatan ke rumah sakit. Namun, ada beberapa penderita yang melakukan pengobatan sendiri (swamedikasi) yaitu sekitar 6 orang (5,5%). Pengobatan sendiri dilakukan ketika merasa kondisi badan kurang sehat yaitu dengan menggunakan obat penghilang sakit dan atau penurun panas yang dijual bebas. Hal itu mereka lakukan dengan alasan belum mengetahui jika terinfeksi virus Dengue. Ketika dua sampai tiga hari tidak menunjukkan gejala membaik atau merasa badan menjadi lebih merasa sakit, barulah mereka memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat
baik milik pemerintah atau swasta. Upaya pencarian pengobatan berdasarkan hasil pemeriksaan imunologi di sajikan dalam Tabel 2. Semua responden menyatakan bahwa mereka mengetahui terinfeksi virus Dengue setelah berada di rumah sakit setidaknya setelah menjalani perawatan pada hari pertama. Dengan demikian hampir semuanya mendapatkan pengobatan standar medis untuk penanganan infeksi virus Dengue di rumah sakit. Upaya lain yang dilakukan selama sakit antara lain dengan mengkonsumsi jus (misalnya: jambu, korma, angkak dan minuman berkhasiat lainnya) yang mereka percaya dapat mempercepat kesembuhannya. Cara ini dilakukan oleh sekitar 46,74% responden. Selain itu, tidak ada responden yang mencari pengobatan di dua tempat sekaligus. PEMBAHASAN Pada umumnya responden menyatakan bahwa gejala awal yang dirasakan responden adalah demam dan pegal-pegal yang tak kunjung sembuh selama dua-tiga hari. Gejala ini merupakan gejala yang umum dari DBD. Gejala klinis DBD diawali dengan demam mendadak, disertai dengan muka kemerahan (flushed face) dan gejala klinis lain yang tidak khas, meyerupai gejala demam Dengue, seperti anoreksia, muntah, nyeri kepala dan nyeri pada otot dan sendi. Pada beberapa pasien mengeluh nyeri tenggorokan dan pada pemeriksaan ditemukan faring hiperemis. Gejala lain yaitu perasaan tidak enak di daerah epigastrum, nyeri di bawah lengkungan iga kanan, kadang-kadang nyeri perut dapat dirasakan di seluruh perut.8
3. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tahun 2012. Kementrian Kesehatan; 2013 [Diakses tanggal 23 Januari 2015]. Diunduh dari: http://www.tbindonesia.or.id/pdf/profilpppl2012130917032535-phpapp02.p 4.
Richards AL, Bagus R, Baso SM, Follows GA, Tan R, Graham RR, Sandjaja B, Corwin AL, Punjabi N. The first reported outbreak of dengue hemorrhagic fever in Irian Jaya, Indonesia. Am J Trop Med Hyg. 1997; 57: 49-55.
5. Sukri NC, Laras K, Wandra T, Didi S, Larasati RP, Rachdyatmaka JR, Osok S, dkk. Transmission of epidemic dengue hemorrhagic fever in easternmost Gambar 1. Sebaran Penderita Infeksi Virus Dengue di Kota Sukabumi Tahun 2012 Menurut Usia dan Jenis Kelamin
40
17
Gambaran Upaya...(Nurindra, dkk)
menunjukkan gejala sakit meskipun dalam darahnya terdapat virus Dengue. Sebaliknya pada orang yang tidak punya kekebalan yang cukup akan menunjukkan gejala demam ringan sampai sakit berat, yaitu demam tinggi disertai perdarahan, bahkan syok. Hal ini tergantung pada kekebalan yang dimilikinya.3 Perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan, penatalaksanaan pengobatan yang cepat dan tepat dapat menurunkan angka kematian. Perilaku pencarian pengobatan dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap dan praktek individu. Pengetahuan, sikap dan praktek (PSP) membentuk jenis respon manusia akan adanya suatu kondisi tertentu. Dalam bidang kesehatan, kondisi tersebut dibangun oleh unsur sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan yang berhubungan dengan pencarian pengobatan baik ke fasilitas modern, tradisional, atau mengobati sendiri.4 Pemahaman pengetahuan, sikap dan perilaku yang berbeda-beda menyebabkan tingkat antisipasi terhadap penyakit DBD berbeda pula. Pemahaman yang baik tentang PSP ini amat diperlukan dalam upaya untuk menekan angka kesakitan akibat DBD. Masalah keterlambatan berobat berhubungan erat dengan faktor PSP dari keluarga terutama pengambil keputusan untuk berobat. Hasil penelitian di Banjar Baru menunjukkan pengetahuan, sikap dan dorongan keluarga mempengaruhi perilaku ibu penderita DBD dalam pencarian pengobatan anak tersangka menderita DBD ke fasilitas pelayanan kesehatan.5 Penelitian di Kamboja menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi ibu mencari pengobatan untuk anak tersangka DBD adalah persepsi derajat keparahan dari kondisi anak, kepercayaan terhadap hal-hal tertentu, pelayanan tenaga kesehatan dan keterjangkauan terhadap tempat pengobatan.6 Angka kejadian DBD di Kota Sukabumi tahun 2012 sebanyak 1250 kasus. Hal ini menunjukkan masih tingginya kasus dan penularan DBD di Kota Sukabumi. Upaya pencarian pengobatan dan kecepatan upaya pencarian pengobatan akan mempengaruhi proses penularan virus Dengue.7 Individu yang mengalami viremia akan menjadi sumber virus bagi Aedes sp. Lama waktu saat ketidaktahuan mereka akan kondisi viremia pada diri mereka akan memperbesar kemungkinan mereka menjadi sumber virus bagi
16
lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi upaya pencarian pengobatan penderita infeksi virus Dengue. METODE Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah semua penderita DBD di Kota Sukabumi pada tahun 2012 sebanyak 1549 kasus. Angka ini berasal dari hasil ekstrapolasi jumlah kasus dari tahun 2004-2011. Berdasarkan perhitungan menggunakan “sample size determination in health studies”, maka diperoleh jumlah sampel penelitian sebanyak 125 penderita yang didiagnosa terinfeksi virus Dengue, baik Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD), maupun Dengue Shock Syndrome (DSS), oleh petugas medis RSUD Syamsudin S.H. dan RS. Assyfa. Kegiatan penelitian dimulai dengan wawancara penderita DBD. Wawancara dilakukan kepada penderita di rumah sakit oleh tim peneliti yang dipandu dengan pedoman wawancara untuk memperoleh data upaya pengobatan yang pernah dilakukan penderita selama sakit dan dukungan lingkungan terhadap upaya pengobatan. Sampel pertama dipilih yaitu pasien positif Dengue ke-8 ketika penelitian dimulai, berlanjut dipilih setiap kelipatan 8. HASIL Jumlah responden yang terkumpul selama periode penelitian adalah sebanyak 125 responden, dimana 12 responden tidak bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian. Sehingga sampai akhir periode penelitian hanya didapatkan 113 responden penelitian. Penentuan penderita infeksi virus Dengue ini berdasarkan pemeriksaan imunologi pada laboratorium rumah sakit. Berdasarkan pemeriksan imunologinya penderita dikategorikan menjadi penderita dengan IgG negatif IgM positif, penderita dengan IgG dan IgM positif dan penderita dengan IgG positif IgM negatif. Penderita terdiri dari laki-laki dan perempuan dari semua kelompok umur. Umumnya penderita tidak sampai mengalami syok, meskipun ada beberapa kasus kematian. Komposisi jumlah penderita laki-laki dan perempuan hampir sama. Sebagian besar penderita yang diwawancarai memiliki jenis pekerjaan berdagang atau wiraswasta (33,6%) diikuti dengan ibu rumah tangga (23%).
BALABA Vol. 11 No. 01, Juni 2015: 35-42
Indonesia. Am J Trop Med Hyg. 2003; 68: 529-35. 6. Kasnodihardjo dan Sumengen. Aspek perilaku dalam kaitannya dengan penyakit demam berdarah di Kodya Sukabumi. CDK. 1994; 31-33. 7. BPS Kabupaten Keerom. Kabupaten Keerom dalam angka. Badan Pusat Statistik Kab. Keerom; 2013. 8. Hasyimi M, Lestari EW, Sukowati S. Kesenangan bertelur Aedes sp. CDK. 1994; 19-21. 9.
Pranoto, Munif A. Kaitan tempat perindukan vector dengan pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap penyakit masyarakat demam berdarah dengue di Kodya Batam. CDK. 1994; 22-27.
10. Chen CD, Lee HL, Stella-Wong SP, Lau KW, SofianAzirun M. Container survey of mosquito breeding sites in a university campus in Kuala Lumpur, Malaysia, Bulletin Dengue. 2009; 33: 187-93. 11. El-Badry AA, Al-Ali KH. Prevalence and seasonal distribution of dengue mosquito, Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in Al-Madinah AlMunawwarah, Saudi Arabia. J Entomol, 2010; 7: 808. 12. MG Nizal Ahmad, H Rosita, H Mazrura, MA Zainudin, O Hidayatulfatih, MA Faridah, I Artika Noor, AC Er. Dengue infections and circulating serotypes in Negeri Sembilan, Malaysia. Malaysian Journal of Public Health. 2012; 12 (1): 21-30. 13. Kusyogo C. Kajian faktor-faktor perilaku dalam keluarga yang mempengaruhi pencegahan penyakit DBD di Kelurahan Meteseh Kota Semarang. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2006; 16 (4): 32-42. 14. Wuryadi S. Masalah penyakit demam berdarah dengue pada pelita VI. CDK. 1994;11-3. 15. Sintorini MM. Pengaruh iklim terhadap kasus demam berdarah dengue. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2007; 2 (1): 11-8.
17. Zubaedah T. Dampak perubahan iklim terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue di Kota Banjar Baru, Kalimantan selatan selama tahun 20052010. Jurnal Buski. 2012; 4 (2): 59-65. 18. World Health Organization. Pencegahan dan penanggulangan penyakit demam berdarah dengue. Diterjemahkan oleh Departemen Kesehatan RI, 2003. Regional Publication SEARO No. 29. 19. Iriani Y. Hubungan antara curah hujan dan peningkatan kasus demam berdarah dengue anak di Kota Palembang. 2012; 13 (6): 378-83. 20. Koban AW. Kebijakan pemberantasan wabah penyakit menular: kasus kejadian luar biasa demam berdarah dengue (KLB DBD). [Diakses tanggal 30 Januari 2015]. Diunduh dari: http://theindonesianinstitute.com/wpc o n t e n t / u p l o a d s / 2 0 0 5 / 0 6 / 0 9 - P O L I C YASSESSMENT-Pemberantasan-KLB-DemamBerdarah-oleh-Antonius-Wiwan-Koban-Juni2005.pdf. 21. Viennet E, Ritchi SA, Faddy HM, Williams CR, Harley D. Epidemiology of dengue in a high-income country: a case study in Queensland, Australia. Journal Parasite And Vectors. 2014; 7: 379. 22. Maria I, Ishak H, Selomo M. Faktor risiko kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kota Makassar tahun 2013. [Diakses tanggal 30 Januari 2015]. D i u n d u h d a r i : http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/12345 6789/5820/ita%20maria_faktor%20risiko%20kejad ian.pdf?sequence=1. 23. Djunaedi D. Demam berdarah epidemiologi, imunopatologi, patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanaanya. Malang: UMM Press; 2006. Hal 9-14.
16. Dulay AVS, Bautista JR, Teves VG. Climate change and incidence of dengue fever (DF) and dengue hemorrhagic fever (DHF) in Iligan City, Lanao del Norte, Philippines. International Research Journal of Biological Sciences. 2013; 2 (7): 37-41.
41
Demam Berdarah Dengue..............(Sandy dan Sasto)
BALABA Vol. 11 No. 01, Juni 2015: 15-22
GAMBARAN UPAYA PENCARIAN PENGOBATAN PENDERITA DBD DI KOTA SUKABUMI TAHUN 2012 HEALTH SEEKING BEHAVIOR OF DHF PATIENT IN SUKABUMI CITY IN 2012 1
1
2
1
Rohmansyah Wahyu Nurindra *, Roy Nusa Rahagus Edo Santya , Heni Prasetyowati Loka Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Ciamis, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI Jl. Raya Pangandaran Km.03 Ds. Babakan Kp. Kamurang, Pangandaran, Jawa Barat, Indonesia 2 Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI *E_mail :
[email protected] Received date: 3/4/2014, Revised date: 1/5/2015, Accepted date: 6/4/2015
ABSTRAK Upaya dan kecepatan pencarian pengobatan akan mempengaruhi proses penularan virus Dengue. Individu yang mengalami viremia akan menjadi sumber virus bagi Aedes spp. Lama waktu ketidaktahuan individu dalam kondisi viremia memperbesar peluang menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi upaya pencarian pengobatan penderita infeksi virus Dengue di Kota Sukabumi. Penelitian observasional dengan desain cross sectional. Sampel penelitian sebanyak 125 penderita yang didiagnosa Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD), dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Wawancara dilakukan kepada penderita di rumah sakit untuk memperoleh data upaya pengobatan dan dukungan lingkungan terhadap upaya pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 83,2% penderita langsung berobat ke RS, 9,7% berobat ke dokter praktek, 1,2% berobat ke puskesmas dan 5,3 % melakukan swamedikasi. Upaya lain yang dilakukan responden untuk mempercepat kesembuhan dengan mengkonsumsi jus (46,74%). Kesimpulan dari penelitian ini, sebagian besar (94,1%) upaya pencarian pengobatan pada penderita infeksi virus Dengue di Kota Sukabumi sudah tepat. Sementara upaya swamedikasi sebaiknya tetap disertai dengan upaya pengobatan ke fasilitas pengobatan modern milik pemerintah ataupun swasta. Kata kunci: pengobatan, DBD, Kota Sukabumi, penderita ABSTRACT Health seeking behavior and accuracy for treatments will affect the transmission of Dengue virus . Individuals with viremia would be a source of virus for Aedes spp. The length of time of their ignorance of the viremia condition in themselves will increase the likelihood of them becoming a source of virus for the environment. This study aims to identify health seeking behavior of Dengue patients in Sukabumi. This study is an observational study with cross sectional design. Number of samples were 125 patients that diagnosed with Dengue infection (DD, DHF, DSS). Interviews were conducted on patients in hospitals to obtain data treatment and support environmental efforts to attempt treatment. The results showed as much as 83.2 % of patients directly to the hospital for treatment, 9.7% went to the doctor practices, 1.2 % went to health centers and 5.3 % did self medication. Other efforts to could speed up respondents recovery with juice consumption (46.74%). The conclusion of this study, the majority (94.1%) the search for treatment in patients with dengue virus infection in Sukabumi was right. While swamedikasi (self-medication) efforts should be accompanied by treatment efforts modern facilities government or private . Keywords: treatment, DHF, Sukabumi City, people
PENDAHULUAN Penyakit infeksi virus Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.1 Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada anak serta sering menimbulkan wabah. Secara keseluruhan, penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) tidak ada perbedaan jenis kelamin, tetapi kematian lebih banyak pada anak perempuan
42
daripada anak laki-laki.2 Angka kesakitan dan kematian DBD yang dilaporkan dari berbagai negara bervariasi dan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus Dengue, prevalensi serotipe virus Dengue dan kondisi meteorologis.1 Tidak semua orang yang digigit nyamuk Aedes sp. membawa virus Dengue akan terserang demam berdarah. Orang yang mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus ini tidak akan
15